BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang, fenomena marginalisasi dan beban ganda yang dialami oleh perempuan-perempuan menjadi hal yang biasa ditemui. Konsep sexual division of labor1, atau pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin nampaknya semakin menempatkan perempuan pada posisi yang sangat lemah. Perempuan juga memiliki beban ganda karena mereka harus mencari nafkah untuk keluarga dan dituntut untuk menyelesaikan sebagian besar pekerjaan domestik, sehingga mereka harus membagi waktu dan sumber daya untuk memenuhi kedua kewajiban tersebut secara bersamaan (Kusujiarti, 1997: 83). Daulay mengatakan bahwa jika merujuk pada teori-teori feminis yang berkembang, teori feminis Marxist melihat bahwa sumber penindasan perempuan adalah karena mereka tidak punya akses dalam penguasaan modal atau kapital (Daulay, 2001: 8). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa sumber dari marginalisasi perempuan di Indonesia adalah perekonomian perempuan yang belum kuat, sehingga menyebabkan adanya beban ganda yang dialami oleh perempuan. Sejak tahun 1970-an, pemerintah mulai memperhatikan isu-isu mengenai marginalisasi perempuan di Indonesia dengan menjadikan perempuan sebagai subjek pelaksanaan dalam proses pembangunan negara untuk mengatasi permasalahan 1 Sexual division of labor merupakan gagasan dari Maxine Molyneux (2010) yang terdapat dalam Jurnal How Gendered is Gender and Development? Culture, Masculinity, and Gender Difference. 1 mengenai marginalisasi perempuan dan memperkuat perekonomian perempuan. Tepatnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno mulai dibentuk Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MenUPW). MenUPW memiliki visi untuk meningkatkan peranan perempuan dalam pembangunan yang kemudian memunculkan ideologi ‘Panca Dharma Wanita’2, yang berisi mengenai hak-hak yang dimiliki oleh wanita, yakni wanita sebagai: 1) istri dan pendamping suami, 2) pendidik dan pembina generasi muda, 3) ibu pengatur rumah tangga, 4) pekerja yang menambah penghasilan keluarga, dan 5) anggota organisasi masyarakat khususnya organisasi wanita dan organisasi sosial. Maka dari itu, dibutuhkan suatu program-program baik dari pemerintah, maupun nonpemerintah untuk memajukan perekonomian negara melalui pemberdayaan perempuan. Konsep keterlibatan perempuan dalam negara yang kemudian dikenal dengan istilah GAD (Gender and Development)3 ini tidak akan terlaksana jika politik suatu 2 M. Darwin telah menghadiri secara langsung perumusan “Panca Dharma Wanita” pada tahun 1980. Hasil dari penelitiannya mengenai perempuan, termasuk juga perumusan mengenai “Panca Dharma Wanita” kemudian dituangkan ke dalam bukunya yang berjudul Negara dan Perempuan. Reorientasi Kebijakan Publik (2005). 3 GAD bukan hanya melihat masalah perempuan saja, tetapi lebih menitikberatkan pembangunan yang akan dilihat dari sudut pandang keadilan gender. Konsep GAD muncul pada tahun 1980-an sebagai bentuk implementasi dari konsep WID (Women In Development). 2 negara masih menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior dan subordinatif (Handayani dan Sugiarti, 2008: 42). Oleh karena itu, salah satu upaya yang kemudian dilakukan agar perempuan tidak ditempatkan pada posisi yang inferior adalah dengan pemberdayaan perempuan melalui organisasi-organisasi perempuan. Hal-hal tersebut kemudian menimbulkan munculnya organisasi-organisasi pemberdayaan perempuan di Indonesia. Munculnya organisasi-organisasi pemberdayaan perempuan ini diharapkan mampu menempatkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki. Maka dari itu, pada tahun 1990, salah satu organisasi pemberdayaan perempuan bernama Himpunan Serikat Perempuan Independen Indonesia yang biasa disebut dengan HAPSARI muncul. HAPSARI yang pertama kali muncul di Deli Serdang, Sumatra Utara memiliki tujuan utama yakni untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan yang disebabkan oleh budaya patriarki. HAPSARI yang kemudian menjadi organisasi berbentuk federasi mulai mendirikan serikat-serikat perempuan yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Perluasan jaringan tersebut tidak dapat terjadi tanpa bantuan dari pihak donor yang turut membantu dalam bidang materi maupun non materi. Perluasan jaringan HAPSARI ke wilayah-wilayah di Indonesia ini kemudian memunculkan organisasiorganisasi yang disebut dengan Serikat Perempuan. Pada dasarnya Serikat-serikat Perempuan anggota HAPSARI memiliki tujuan yang sama, yakni untuk membebaskan perempuan dari ketidakberdayaan baik dalam bidang sosial maupun ekonomi melalui pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan di masing3 masing wilayah di Indonesia didasarkan pada potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah tersebut. Potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah tersebut kemudian dikembangkan oleh HAPSARI dengan bantuan para donor untuk memberdayakan perempuan. Sampai saat ini sudah ada 10 Serikat Perempuan anggota HAPSARI yang tersebar di wilayah-wilayah di Indonesia. Salah satu dari anggota HAPSARI yang ada di Kulon Progo, yakni SPI (Serikat Perempuan Independen) Kulon Progo, yang kemudian akan menjadi subjek penelitian saya dibentuk pada tahun 2010. SPI Kulon Progo memiliki programprogram yang didasarkan pada pemberdayaan perempuan desa melalui penguatan ekonomi. Sebagian besar masyarakat di Kulon Progo berprofesi sebagai petani kopi, teh, dan kakao (cokelat), sehingga program pemberdayaan perempuan di Kulon Progo dipusatkan pada penguatan ekonomi melalui program pertanian. Anggota SPI Kulon Progo berasal dari tujuh Kecamatan, empat Desa, serta tiga Dusun di wilayah Kabupaten Kulon Progo. Dusun Keceme yang berada di wilayah perbukitan bagian utara Kulon Progo memiliki rata-rata ketinggian 1.000 m di atas permukaan air laut menjadikan masyarakatnya memiliki kesulitan untuk mencapai akses perekonomian. Perempuan-perempuan Keceme sebagai penentu perdagangan hasil pertanian di dalam rumah tangga masih kesulitan untuk mengakses pasar. Jarak Dusun Keceme ke pasar yang berada di dekat Kantor Kecamatan Samigaluh dan Borobudur sangat jauh. Waktu yang ditempuh untuk sampai ke pasar bisa berkisar antara dua sampai empat jam dengan berjalan kaki angkutan umum jarang sekali melintas di Dusun Keceme. Melihat hal tersebut, HAPSARI dan SPI 4 Kulon Progo kemudian memusatkan penerapan program-programnya di Dusun Keceme. 1.2. Rumusan Masalah Sebagai organisasi pemberdayaan perempuan melalui penguatan ekonomi SPI Kulon Progo akan memberikan dampak pada anggota-anggotanya serta keluarga para anggotanya, terutama anggota-anggota yang tinggal di Dusun Keceme. Programprogram yang dilakukan oleh SPI Kulon Progo akan memberikan dampak terhadap kehidupan sehari-hari para anggotanya. Jika akses perempuan terhadap sumbersumber ekonomi berubah, maka relasi-relasi gender dalam keluarga akan mengalami perubahan pula. Keterlibatan perempuan anggota SPI Kulon Progo akan berdampak pula pada aktivitas di dalam keluarga (domestik) dan aktivitas di luar rumah (publik). Dampak yang diperoleh akan berbeda dengan perempuan yang bukan merupakan anggota SPI Kulon Progo. Maka dari itu muncul pertanyaan-pertanyaan, yakni: 1. Apa saja program-program yang telah dilakukan oleh SPI Kulon Progo? 2. Mengapa perempuan-perempuan di Dusun Keceme memutuskan untuk menjadi anggota SPI Kulon Progo? 3. Bagaimana pengaruh keikutsertaan Perempuan Keceme ke dalam SPI Kulon Progo terhadap perekonomian keluarga, aktivitas domestik, serta aktivitas publik para anggotanya? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengatahui apa saja program-program yang telah dilakukan oleh SPI Kulon Progo serta pengaruh dari 5 program-program tersebut terhadap anggotanya. Penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk mengetahui apa motivasi para anggota untuk masuk dalam organisasi SPI Kulon Progo. Serta untuk mengetahui perubahan-perubahan relasi gender yang terjadi pada keluarga anggota sebelum dan setelah menjadi anggota SPI Kulon Progo, apakah keterlibatan perempuan pada organisasi SPI Kulon Progo mempengaruhi aktivitas domestik, publik, dan ekonomi mereka. 1.4. Tinjauan Pustaka Sejak perempuan mulai dilibatkan di dalam pembangunan banyak penelitianpenelitian mengenai organisasi pemberdayaan perempuan dan perubahan relasi gender. Anwar (2007) dalam penelitiannya mengenai pemberdayaan perempuan melalui pembelajaran vocational skill pada keluarga nelayan di Bandung setuju dengan pernyataan Hagen dan Mc. Cleland yang mengatakan bahwa titik awal dari perubahan sosial adalah pendidikan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan peran individu dan masyarakat melalui pemanfaatan potensi dirinya. Ia juga mengatakan bahwa pengorganisasian dapat dilakukan dengan menanamkan perasaan solidaritas dan jiwa pembangunan di antara mereka. Selain itu, dengan memahami sifat partisipasi perempuan di dalam organisasi baru akan memungkinkan bila kendala terhadap patisipasi tersebut diakui (Mosse, 2003: 233). Harsono (1997) dalam tulisannya mengatakan bahwa partisipasi perempuan dalam pembangunan di Indonesia dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk organisasi resmi pemerintah maupun organisasi non pemerintah (ORNOP). Organisasi resmi pemerintah seperti PKK dengan program 10 pokok segi PKK 6 menjadikan peran ibu sangat penting dalam keutuhan masyarakat yang sedang membangun. Namun, dalam hal ini partisipasi perempuan dalam pembangunan hanya dipandang sebatas peran mereka dalam sektor domestik saja. Mereka tidak diberi pemahaman bahwa idealisasi semacam itu membawa perempuan kepada keterasingan sosial, karena beratnya beban ganda yang harus mereka perankan bagi orang lain. Orientasi pembangunan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut didasarkan pada model WID, sehingga perempuan yang digalang untuk turut berpartisipasi, bukan pembangunan yang diubah menurut kebutuhan perempuan. Nugroho (2011) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan digunakan untuk membangun kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan. Anwar (2007) menambahkan bahwa pembangunan masyarakat merupakan perpaduan antara pengorganisasian masyarakat (community organization) dengan pengembangan ekonomi (economy development) (Cary, 1970; Sudjana, 2000a: 132). Nugroho juga menambahkan bahwa pendekatan Woman in Development (WID) memberikan perhatian pada peran produktif perempuan dalam pembangunan yang menekankan pada sisi produktivitas tenaga kerja perempuan, khususnya yang berkaitan dengan pendapatan perempuan, tanpa mempedulikan sisi reproduktifnya. Selain itu, Hendito dan Barbari, 1996 mengatakan bahwa pemberdayaan pada dasarnya mengacu pada usaha menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk tahu, mampu, dan mau mengaktualisasi dirinya, melakukan mobilitas ke atas, serta 7 memberikan pengalaman-pengalaman psikologis yang membuat tenaga kerja perempuan merasa lebih berdaya (Sukesi, 2003). Tulisan yang dibuat oleh Anwar, Harsono, Nugroho, dan Sukesi menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan dalam bentuk pengorganisasian dengan pengembangan ekonomi merupakan usaha untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam penelitiannya, Anwar dan Sukesi sudah mengetahui bahwa pendidikan yang didapatkan untuk meningkatkan peran individu akan menimbulkan perubahan psikologis yang berpengaruh juga pada perubahan sosial, namun mereka belum melihat perubahan yang terjadi pada relasi gender di dalam keluarga ketika ekonomi perempuan sudah mapan. Maka dari itu, pada penelitian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perubahan relasi gender yang terbentuk akibat dari keterlibatan perempuan dalam organisasi pemberdayaan perempuan. Pada penelitian lain, Daulay (2001) yang meneliti mengenai perubahan relasi gender pada keluarga Tenaga Kerja Indonesia Wanita (TKIW) di Karawang, Jawa Barat, mengatakan bahwa para TKIW yang sudah memiliki akses secara ekonomi ternyata tidak ingin mendominasi dalam pengambilan keputusan seperti pemanfaatan uang dan sektor publik lainnya. Penelitian Daulay memang menunjukkan adanya perubahan relasi gender pada keluarga TKIW. Ia mengatakan bahwa basis ekonomi yang dimiliki TKIW tidak mempengaruhi mereka untuk mendominasi pengambilan keputusan, tetapi memberikan pengaruh pada pola hubungan gender, sehingga perempuan dapat tawar menawar kekuasaan (bargaining position). Penelitian yang 8 dilakukan Daulay memperlihatkan bahwa kemapanan ekonomi yang didapatkan perempuan tidak semata-mata memberi kebebasan perempuan TKIW dalam pengambilan keputusan publik. Perubahan relasi gender yang terjadi adalah permisifnya suami terhadap istri yang ingin memperbaiki ekonomi keluarga, seperti kelonggaran norma yang kemudian didapatkan para TKIW. Penelitian Daulay pada keluarga menunjukkan bahwa ada pergeseran pola relasi gender di keluarga TKIW dalam pergeseran norma, yakni semula perempuan dilarang untuk bekerja di luar rumah, namun karena tuntutan ekonomi, para suami kemudian memberi izin istrinya untuk bekerja di luar negeri. Penelitian Daulay ini dilakukan pada keluarga migran, sementara permasalahan yang akan diteliti pada skripsi ini adalah mengenai perubahan relasi gender pada keluarga petani yang menjadi anggota organisasi pemberdayaan perempuan. Maka dari itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pembaruan pada penelitian mengenai studi perubahan relasi gender pada keluarga petani. 1.5. Kerangka Teori Gender sebagai suatu konstruksi sosial yang sudah disosialisasikan sejak lahir ternyata menyumbangkan ketidakadilan (inequalities). Manifestasi ketidakadilan ini terjadi pada penentuan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, mekanisme pengambilan keputusan, metode riset, serta pelaksanaan maupun evaluasi proyek pembangunan di lapangan (Mosse, 1996). Maka dari itu, pemerintah Indonesia mulai melibatkan perempuan dalam pembangunan negara. Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MenUPW) mulai dibentuk, dan pada lingkup yang lebih 9 kecil dibentuk Dharma Wanita, PKK, dan organisasi-organisasi perempuan lain, baik organisasi pemerintah maupun non pemerintah (Darwin, 1980). Pada penelitiannya terhadap TKIW di Karawang, Jawa Barat, Daulay (2001: 10) mengatakan bahwa prioritas hidup perempuan adalah anak-anak, perkawinan, dan karir suami, sehingga keluarga akan sangat penting bagi perempuan. Hal di atas juga sejalan dengan teori dari Parsons dan Balles (1902-1979)4 yang kemudian dikenal dengan paham fungsionalis struktural. Parsons dan Balles mengatakan bahwa keluarga sebagai unit sosial memberikan perbedaan peran suami dan istri untuk saling membantu dapat diterima asalkan dilakukan secara demokratis dan dengan kesepakatan antara suami dan istri dalam keluarga atau kehidupan masyarakat. Handayani dan Novianto (2004: 13) mengatakan jika peranan perempuan Jawa dalam ekonomi keluarga jauh lebih berarti dibandingkan suami, maka perempuan akan mempunyai kekuasaan, pengaruh, kekuatan, posisi tawar yang baik, serta kebebasan yang sama dengan suaminya, sehingga muncul gejala matrifokalitas 5. Sejalan dengan Handayani dan Novianto, Burr Ahern dan Knowles (1977)6 berpendapat bahwa ketika pendapatan istri meningkat dan sebanding dengan pendapatan suami, maka ada kecenderungan pengaruh istri juga meningkat. Hal 4 Dikutip dari Modul Kuliah Gender. 5 Gejala matrifokalitas adalah dominasi perempuan melalui jaringan yang terjadi di dalam keluarga inti dan antarkeluarga inti yang terbentuk dan terpelihara oleh perempuan, sehingga perempuan lebih berkuasa dan dominan dalam urusan rumah tangga, sedangkan laki-laki tidak berfungsi (Handayani dan Novianto, 2004:13). 6 Dikutip dari Harmona Daulay (2001: 11). 10 tersebut dapat dikaitkan dengan konteks penelitian pada skripsi ini, di mana perempuan-perempuan anggota sebuah organisasi pemberdayaan perempuan bernama SPI Kulon Progo bekerja di sektor domestik maupun sektor publik yang mengarah pada membantu perekonomian keluarga seperti pernyataan Daulay. Beban ganda yang dialami oleh perempuan-perempuan Kulon Progo khususnya Dusun Keceme, yang kemudian menjadi lokasi penelitian, memunculkan adanya SPI Kulon Progo yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga melalui perempuan tanpa mengeksploitasi perempuan. Keikutsertaan perempuan ke dalam organisasi SPI Kulon Progo memunculkan perubahan relasi gender pada keluarga. Untuk mengetahui perubahan gender yang terjadi di dalam keluarga, maka dibutuhkan sebuah analisis gender7. Analisis gender membantu mengidentifikasi dan mengungkapkan: a. Situasi aktual laki-laki dan perempuan, yang meliputi peranan, tingkat kesejahteraan, keperluan, dan permasalahan yang dihadapi dalam berbagai unit sosial, budaya, dan ekonomi. b. Pembagian beban kerja laki-laki dan perempuan, khususnya dalam keluarga yang meliputi lingkup tanggung jawab, curahan tenaga, dan curahan waktu. c. Saling keterkaitan, saling ketergantungan, dan saling mengisi antara peranan laki-laki dan perempuan, khususnya di dalam keluarga. 7 Analisis gender adalah usaha sistematis untuk mencatat tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam kegiatan sistem produksi barang dan jasa maupun dalam kegiatan reproduksi dan pembinaan sumber daya manusia dalam berbagi unit sosial budaya, dan ekonomi, mulai dari keluarga sebagai unit terkecil sampai berbagai unit kelompok atau organisasi di dalam masyarakat (Daulay, 2001: 20). 11 d. Tingkat akses dan kekuatan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumber-sumber dan manfaat yang diperoleh dari pengerahan sumber-sumber pembangunan atau sumber-sumber produktif maupun sumber daya manusia, khususnya keluarga8. 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Lokasi Penelitian Pertemuan saya dengan SPI Kulon Progo diawali dengan program mata kuliah Praktik Profesi Antropologi (PPA) yang mengharuskan mahasiswanya untuk magang. Pada waktu itu, saya magang di Pusat Studi Wanita yang sedang memiliki kerja sama proyek penelitian dengan HAPSARI yang salah satu anggotanya adalah SPI Kulon Progo. Pada waktu itu, saya berperan sebagai notulen pada acara seminar hasil penelitian yang dilakukan oleh HAPSARI. Saya kemudian tertarik melakukan penelitian dengan organisasi HAPSARI serta SPI Kulon Progo karena organisasi ini memiliki visi untuk pemberdayaan serta penguatan ekonomi perempuan. Penelitian ini dilakukan pada SPI Kulon Progo yang merupakan salah satu anggota dari federasi HAPSARI yang kantornya bertempat di Banjararum, Semaken II, Kecamatan Kali Bawang, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Penelitian ini kemudian dilakukan di Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo yang merupakan lokasi di mana program-program SPI Kulon Progo sering diadakan. Selain itu, SPI Kulon Progo menaruh perhatian sendiri pada Dusun 8 Yamsiah, Achmad, “Tehnik Analisis Gender”, Makalah SEMINAR Nasional Pengembangan Studi Perempuan, Agustus, Jakarta, 1991 yang dikutip dari Harmona Daulay (2001: 20-21). 12 Keceme karena topografi wilayahnya yang menyulitkan warganya, terutama perempuan mencapai akses-akses perekonomian, seperti akses menuju pasar serta pusat-pusat pemerintahan daerah. Para perempuan anggota SPI Kulon Progo di wilayah Suroloyo ini sebagian besar berprofesi sebagai petani teh dan kopi. 1.6.2. Pemilihan Informan SPI Kulon Progo menaruh perhatian khusus pada Dusun Keceme, maka dari itu tiga orang anggota SPI yang bertempat tinggal di Dusun Keceme dipilih sebagai informan. Informan yang dipilih adalah tiga perempuan anggota SPI Kulon Progo di Dusun Keceme yang aktif dan tidak aktif beserta keluarganya termasuk suami dan anak mereka. Informan lain, yakni keluarga anggota SPI, seperti suami dan anak dipilih agar informasi yang didapat merupakan pengalaman yang sebenarnya terjadi pada para keluarga anggota SPI. Pemilihan anggota aktif SPI sebagai informan untuk melihat lebih dalam pengaruh program-program SPI pada diri anggota melalui sudut pandang perempuan anggota SPI itu sendiri. Anggota tidak aktif juga dipilih untuk mengetahui perbedaan penerapan program SPI pada anggota yang aktif dan tidak aktif, sehingga didapatkan hasil nyata yang didapatkan dari keterlibatan perempuan ke dalam SPI. Suami dan anak dari anggota aktif SPI Kulon Progo dipilih menjadi informan agar informasi mengenai perubahan-perubahan sosial maupun ekonomi yang terjadi pada keluarga dapat diketahui. Selain itu, tokoh masyarakat yang ada di sana juga menjadi informan untuk memperdalam informasi mengenai SPI Kulon Progo, serta untuk mengetahui pengaruh SPI Kulon Progo terhadap anggota beserta keluarga pada 13 aktivitas publik. Pendiri HAPSARI dan SPI Kulon Progo juga menjadi salah satu informan dalam penelitian ini agar informasi yang didapatkan mengenai organisasi SPI Kulon Progo akurat. 1.6.3. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah observasi. Setelah sebelumnya observasi dilakukan selama magang dengan organisasi HAPSARI pada bulan Desember 2014, selanjutnya teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipatoris. Observasi partisipatoris dilakukan selama bulan September 2015 dengan menginap di rumah salah satu anggota SPI di Dusun Keceme untuk mengetahui lebih dalam kegiatan informan serta keluarga sehari-hari. Selain itu, teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan wawancara berupa wawancara lepas maupun mendalam, serta life history. Wawancara life history digunakan untuk mengetahui kisah hidup para informan, sehingga didapatkan hasil yang lebih mendalam. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi dokumen, yakni pengumpulan data melalui pengumpualan dokumen atau file tertulis seperti buku, artikel, dan data harian (diary), biografi, autobiografi, data-data statistik dan seterusnya dilakukan ketika akan melakukan penelitian dan setelah melakukan penelitian (Davies, 1998). 14 1.6.4. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka Analisa Harvard (Overhold dkk., 1985)9 tentang profil aktivitas, akses dan profil kontrol, dan faktor-faktor yang berpengaruh (perubahan masa lampau dan masa sekarang). Profil aktivitas digunakan untuk mengidentifikasi ciri-ciri produktif dan tugas reproduksi yang relevan dengan tujuan penelitian. Akses dan profil kontrol digunakan untuk menunjukkan siapa yang mempunyai akses terhadap sumber daya, sumber ekonomi, serta sumber waktu. Faktor-faktor yang berpengaruh (perubahan masa lampau dan masa sekarang) digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh masa lampau dan sekarang agar dapat memberikan petunjuk tentang perubahan. Kerangka ini dipergunakan untuk membangun sebuah uraian dan hubungan analisis gender pada masyarakat tertentu. 1.6.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama yang merupakan pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. Bab dua berisi tentang profil wilayah, profil HAPSARI, serta SPI Kulon Progo. Pada bab tiga berisi tentang pengalaman perempuan sebagai anggota SPI Kulon Progo. Bab ini juga berisi tentang respon dari anggota keluarga laki-laki tentang keterlibatan anggota keluarga mereka di SPI Kulon Progo. 9 Terdapat pada buku “Peranan Jender dalam Proyek Pembangunan” karangan Catherine Overhold, Mary B Anderson, Kathleen Cloud, James E Austin. 15 Bab selanjutnya, yakni bab empat berisi tentang perubahan-perubahan relasi gender yang terjadi sebelum dan sesudah adanya organisasi SPI Kulon Progo. Pada bab ini juga dijelaskan perubahan apa saja yang terjadi pada keluarga anggota SPI Kulon Progo. Kemudian tulisan ini akan diakhiri dengan bab lima yang berisi tentang kesimpulan. 16