1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara berkembang, fenomena marginalisasi dan beban
ganda yang dialami oleh perempuan-perempuan menjadi hal yang biasa ditemui.
Konsep sexual division of labor1, atau pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin
nampaknya semakin menempatkan perempuan pada posisi yang sangat lemah.
Perempuan juga memiliki beban ganda karena mereka harus mencari nafkah untuk
keluarga dan dituntut untuk menyelesaikan sebagian besar pekerjaan domestik,
sehingga mereka harus membagi waktu dan sumber daya untuk memenuhi kedua
kewajiban tersebut secara bersamaan (Kusujiarti, 1997: 83). Daulay mengatakan
bahwa jika merujuk pada teori-teori feminis yang berkembang, teori feminis Marxist
melihat bahwa sumber penindasan perempuan adalah karena mereka tidak punya
akses dalam penguasaan modal atau kapital (Daulay, 2001: 8). Maka dari itu, dapat
dikatakan bahwa sumber dari marginalisasi perempuan di Indonesia adalah
perekonomian perempuan yang belum kuat, sehingga menyebabkan adanya beban
ganda yang dialami oleh perempuan.
Sejak tahun 1970-an, pemerintah mulai memperhatikan isu-isu mengenai
marginalisasi perempuan di Indonesia dengan menjadikan perempuan sebagai subjek
pelaksanaan dalam proses pembangunan negara untuk mengatasi permasalahan
1
Sexual division of labor merupakan gagasan dari Maxine Molyneux (2010) yang terdapat dalam
Jurnal How Gendered is Gender and Development? Culture, Masculinity, and Gender Difference.
1
mengenai marginalisasi perempuan dan memperkuat perekonomian perempuan.
Tepatnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno mulai dibentuk Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita (MenUPW). MenUPW memiliki visi untuk meningkatkan
peranan perempuan dalam pembangunan yang kemudian memunculkan ideologi
‘Panca Dharma Wanita’2, yang berisi mengenai hak-hak yang dimiliki oleh wanita,
yakni wanita sebagai:
1) istri dan pendamping suami,
2) pendidik dan pembina generasi muda,
3) ibu pengatur rumah tangga,
4) pekerja yang menambah penghasilan keluarga, dan
5) anggota organisasi masyarakat khususnya organisasi wanita dan organisasi
sosial.
Maka dari itu, dibutuhkan suatu program-program baik dari pemerintah, maupun nonpemerintah untuk memajukan perekonomian negara melalui pemberdayaan
perempuan.
Konsep keterlibatan perempuan dalam negara yang kemudian dikenal dengan
istilah GAD (Gender and Development)3 ini tidak akan terlaksana jika politik suatu
2
M. Darwin telah menghadiri secara langsung perumusan “Panca Dharma Wanita” pada tahun 1980.
Hasil dari penelitiannya mengenai perempuan, termasuk juga perumusan mengenai “Panca Dharma
Wanita” kemudian dituangkan ke dalam bukunya yang berjudul Negara dan Perempuan. Reorientasi
Kebijakan Publik (2005).
3
GAD bukan hanya melihat masalah perempuan saja, tetapi lebih menitikberatkan pembangunan
yang akan dilihat dari sudut pandang keadilan gender. Konsep GAD muncul pada tahun 1980-an
sebagai bentuk implementasi dari konsep WID (Women In Development).
2
negara masih menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior dan subordinatif
(Handayani dan Sugiarti, 2008: 42). Oleh karena itu, salah satu upaya yang kemudian
dilakukan agar perempuan tidak ditempatkan pada posisi yang inferior adalah dengan
pemberdayaan perempuan melalui organisasi-organisasi perempuan.
Hal-hal tersebut kemudian menimbulkan munculnya organisasi-organisasi
pemberdayaan
perempuan
di
Indonesia.
Munculnya
organisasi-organisasi
pemberdayaan perempuan ini diharapkan mampu menempatkan perempuan pada
posisi yang sejajar dengan laki-laki. Maka dari itu, pada tahun 1990, salah satu
organisasi pemberdayaan perempuan bernama Himpunan Serikat Perempuan
Independen Indonesia yang biasa disebut dengan HAPSARI muncul. HAPSARI yang
pertama kali muncul di Deli Serdang, Sumatra Utara memiliki tujuan utama yakni
untuk membebaskan perempuan dari ketidakadilan yang disebabkan oleh budaya
patriarki.
HAPSARI yang kemudian menjadi organisasi berbentuk federasi mulai
mendirikan serikat-serikat perempuan yang tersebar hampir di seluruh Indonesia.
Perluasan jaringan tersebut tidak dapat terjadi tanpa bantuan dari pihak donor yang
turut membantu dalam bidang materi maupun non materi. Perluasan jaringan
HAPSARI ke wilayah-wilayah di Indonesia ini kemudian memunculkan organisasiorganisasi yang disebut dengan Serikat Perempuan. Pada dasarnya Serikat-serikat
Perempuan anggota HAPSARI memiliki tujuan yang sama, yakni untuk
membebaskan perempuan dari ketidakberdayaan baik dalam bidang sosial maupun
ekonomi melalui pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan di masing3
masing wilayah di Indonesia didasarkan pada potensi-potensi yang dimiliki oleh
masing-masing wilayah tersebut. Potensi-potensi yang dimiliki oleh masing-masing
wilayah tersebut kemudian dikembangkan oleh HAPSARI dengan bantuan para
donor untuk memberdayakan perempuan. Sampai saat ini sudah ada 10 Serikat
Perempuan anggota HAPSARI yang tersebar di wilayah-wilayah di Indonesia.
Salah satu dari anggota HAPSARI yang ada di Kulon Progo, yakni SPI
(Serikat Perempuan Independen) Kulon Progo, yang kemudian akan menjadi subjek
penelitian saya dibentuk pada tahun 2010. SPI Kulon Progo memiliki programprogram yang didasarkan pada pemberdayaan perempuan desa melalui penguatan
ekonomi. Sebagian besar masyarakat di Kulon Progo berprofesi sebagai petani kopi,
teh, dan kakao (cokelat), sehingga program pemberdayaan perempuan di Kulon
Progo dipusatkan pada penguatan ekonomi melalui program pertanian.
Anggota SPI Kulon Progo berasal dari tujuh Kecamatan, empat Desa, serta
tiga Dusun di wilayah Kabupaten Kulon Progo. Dusun Keceme yang berada di
wilayah perbukitan bagian utara Kulon Progo memiliki rata-rata ketinggian 1.000 m
di atas permukaan air laut menjadikan masyarakatnya memiliki kesulitan untuk
mencapai akses perekonomian. Perempuan-perempuan Keceme sebagai penentu
perdagangan hasil pertanian di dalam rumah tangga masih kesulitan untuk mengakses
pasar. Jarak Dusun Keceme ke pasar yang berada di dekat Kantor Kecamatan
Samigaluh dan Borobudur sangat jauh. Waktu yang ditempuh untuk sampai ke pasar
bisa berkisar antara dua sampai empat jam dengan berjalan kaki angkutan umum
jarang sekali melintas di Dusun Keceme. Melihat hal tersebut, HAPSARI dan SPI
4
Kulon Progo kemudian memusatkan penerapan program-programnya di Dusun
Keceme.
1.2. Rumusan Masalah
Sebagai organisasi pemberdayaan perempuan melalui penguatan ekonomi SPI
Kulon Progo akan memberikan dampak pada anggota-anggotanya serta keluarga para
anggotanya, terutama anggota-anggota yang tinggal di Dusun Keceme. Programprogram yang dilakukan oleh SPI Kulon Progo akan memberikan dampak terhadap
kehidupan sehari-hari para anggotanya. Jika akses perempuan terhadap sumbersumber ekonomi berubah, maka relasi-relasi gender dalam keluarga akan mengalami
perubahan pula. Keterlibatan perempuan anggota SPI Kulon Progo akan berdampak
pula pada aktivitas di dalam keluarga (domestik) dan aktivitas di luar rumah (publik).
Dampak yang diperoleh akan berbeda dengan perempuan yang bukan merupakan
anggota SPI Kulon Progo. Maka dari itu muncul pertanyaan-pertanyaan, yakni:
1. Apa saja program-program yang telah dilakukan oleh SPI Kulon Progo?
2. Mengapa perempuan-perempuan di Dusun Keceme memutuskan untuk
menjadi anggota SPI Kulon Progo?
3. Bagaimana pengaruh keikutsertaan Perempuan Keceme ke dalam SPI
Kulon Progo terhadap perekonomian keluarga, aktivitas domestik, serta
aktivitas publik para anggotanya?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengatahui apa saja
program-program yang telah dilakukan oleh SPI Kulon Progo serta pengaruh dari
5
program-program tersebut terhadap anggotanya. Penulisan skripsi ini juga bertujuan
untuk mengetahui apa motivasi para anggota untuk masuk dalam organisasi SPI
Kulon Progo. Serta untuk mengetahui perubahan-perubahan relasi gender yang terjadi
pada keluarga anggota sebelum dan setelah menjadi anggota SPI Kulon Progo,
apakah keterlibatan perempuan pada organisasi SPI Kulon Progo mempengaruhi
aktivitas domestik, publik, dan ekonomi mereka.
1.4. Tinjauan Pustaka
Sejak perempuan mulai dilibatkan di dalam pembangunan banyak penelitianpenelitian mengenai organisasi pemberdayaan perempuan dan perubahan relasi
gender. Anwar (2007) dalam penelitiannya mengenai pemberdayaan perempuan
melalui pembelajaran vocational skill pada keluarga nelayan di Bandung setuju
dengan pernyataan Hagen dan Mc. Cleland yang mengatakan bahwa titik awal dari
perubahan sosial adalah pendidikan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
peran individu dan masyarakat melalui pemanfaatan potensi dirinya. Ia juga
mengatakan bahwa pengorganisasian dapat dilakukan dengan menanamkan perasaan
solidaritas dan jiwa pembangunan di antara mereka. Selain itu, dengan memahami
sifat partisipasi perempuan di dalam organisasi baru akan memungkinkan bila
kendala terhadap patisipasi tersebut diakui (Mosse, 2003: 233).
Harsono (1997) dalam tulisannya mengatakan bahwa partisipasi perempuan
dalam pembangunan di Indonesia dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk
organisasi resmi pemerintah maupun organisasi non pemerintah (ORNOP).
Organisasi resmi pemerintah seperti PKK dengan program 10 pokok segi PKK
6
menjadikan peran ibu sangat penting dalam keutuhan masyarakat yang sedang
membangun. Namun, dalam hal ini partisipasi perempuan dalam pembangunan hanya
dipandang sebatas peran mereka dalam sektor domestik saja. Mereka tidak diberi
pemahaman bahwa idealisasi semacam itu membawa perempuan kepada keterasingan
sosial, karena beratnya beban ganda yang harus mereka perankan bagi orang lain.
Orientasi
pembangunan
yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
tersebut
didasarkan pada model WID, sehingga perempuan yang digalang untuk turut
berpartisipasi, bukan pembangunan yang diubah menurut kebutuhan perempuan.
Nugroho (2011) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan digunakan untuk
membangun kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan. Anwar (2007)
menambahkan bahwa pembangunan masyarakat merupakan perpaduan antara
pengorganisasian masyarakat (community organization) dengan pengembangan
ekonomi (economy development) (Cary, 1970; Sudjana, 2000a: 132). Nugroho juga
menambahkan bahwa pendekatan Woman in Development (WID) memberikan
perhatian pada peran produktif perempuan dalam pembangunan yang menekankan
pada sisi produktivitas tenaga kerja perempuan, khususnya yang berkaitan dengan
pendapatan perempuan, tanpa mempedulikan sisi reproduktifnya.
Selain itu, Hendito dan Barbari, 1996 mengatakan bahwa pemberdayaan pada
dasarnya mengacu pada usaha menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk
tahu, mampu, dan mau mengaktualisasi dirinya, melakukan mobilitas ke atas, serta
7
memberikan pengalaman-pengalaman psikologis yang membuat tenaga kerja
perempuan merasa lebih berdaya (Sukesi, 2003).
Tulisan yang dibuat oleh Anwar, Harsono, Nugroho, dan Sukesi menunjukkan
bahwa
pemberdayaan
perempuan
dalam
bentuk
pengorganisasian
dengan
pengembangan ekonomi merupakan usaha untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan. Dalam penelitiannya, Anwar dan Sukesi sudah mengetahui bahwa
pendidikan yang didapatkan untuk meningkatkan peran individu akan menimbulkan
perubahan psikologis yang berpengaruh juga pada perubahan sosial, namun mereka
belum melihat perubahan yang terjadi pada relasi gender di dalam keluarga ketika
ekonomi perempuan sudah mapan. Maka dari itu, pada penelitian ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai perubahan relasi gender yang terbentuk akibat dari keterlibatan
perempuan dalam organisasi pemberdayaan perempuan.
Pada penelitian lain, Daulay (2001) yang meneliti mengenai perubahan relasi
gender pada keluarga Tenaga Kerja Indonesia Wanita (TKIW) di Karawang, Jawa
Barat, mengatakan bahwa para TKIW yang sudah memiliki akses secara ekonomi
ternyata tidak ingin mendominasi dalam pengambilan keputusan seperti pemanfaatan
uang dan sektor publik lainnya. Penelitian Daulay memang menunjukkan adanya
perubahan relasi gender pada keluarga TKIW. Ia mengatakan bahwa basis ekonomi
yang dimiliki TKIW tidak mempengaruhi mereka untuk mendominasi pengambilan
keputusan, tetapi memberikan pengaruh pada pola hubungan gender, sehingga
perempuan dapat tawar menawar kekuasaan (bargaining position). Penelitian yang
8
dilakukan Daulay memperlihatkan bahwa kemapanan ekonomi yang didapatkan
perempuan tidak semata-mata memberi kebebasan perempuan TKIW dalam
pengambilan keputusan publik. Perubahan relasi gender yang terjadi adalah
permisifnya suami terhadap istri yang ingin memperbaiki ekonomi keluarga, seperti
kelonggaran norma yang kemudian didapatkan para TKIW.
Penelitian Daulay pada keluarga menunjukkan bahwa ada pergeseran pola
relasi gender di keluarga TKIW dalam pergeseran norma, yakni semula perempuan
dilarang untuk bekerja di luar rumah, namun karena tuntutan ekonomi, para suami
kemudian memberi izin istrinya untuk bekerja di luar negeri. Penelitian Daulay ini
dilakukan pada keluarga migran, sementara permasalahan yang akan diteliti pada
skripsi ini adalah mengenai perubahan relasi gender pada keluarga petani yang
menjadi anggota organisasi pemberdayaan perempuan. Maka dari itu, penelitian ini
diharapkan mampu memberikan pembaruan pada penelitian mengenai studi
perubahan relasi gender pada keluarga petani.
1.5. Kerangka Teori
Gender sebagai suatu konstruksi sosial yang sudah disosialisasikan sejak lahir
ternyata menyumbangkan ketidakadilan (inequalities). Manifestasi ketidakadilan ini
terjadi pada penentuan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan,
mekanisme pengambilan keputusan, metode riset, serta pelaksanaan maupun evaluasi
proyek pembangunan di lapangan (Mosse, 1996). Maka dari itu, pemerintah
Indonesia mulai melibatkan perempuan dalam pembangunan negara. Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita (MenUPW) mulai dibentuk, dan pada lingkup yang lebih
9
kecil dibentuk Dharma Wanita, PKK, dan organisasi-organisasi perempuan lain, baik
organisasi pemerintah maupun non pemerintah (Darwin, 1980).
Pada penelitiannya terhadap TKIW di Karawang, Jawa Barat, Daulay (2001:
10) mengatakan bahwa prioritas hidup perempuan adalah anak-anak, perkawinan, dan
karir suami, sehingga keluarga akan sangat penting bagi perempuan. Hal di atas juga
sejalan dengan teori dari Parsons dan Balles (1902-1979)4 yang kemudian dikenal
dengan paham fungsionalis struktural. Parsons dan Balles mengatakan bahwa
keluarga sebagai unit sosial memberikan perbedaan peran suami dan istri untuk saling
membantu dapat diterima asalkan dilakukan secara demokratis dan dengan
kesepakatan antara suami dan istri dalam keluarga atau kehidupan masyarakat.
Handayani dan Novianto (2004: 13) mengatakan jika peranan perempuan
Jawa dalam ekonomi keluarga jauh lebih berarti dibandingkan suami, maka
perempuan akan mempunyai kekuasaan, pengaruh, kekuatan, posisi tawar yang baik,
serta kebebasan yang sama dengan suaminya, sehingga muncul gejala matrifokalitas 5.
Sejalan dengan Handayani dan Novianto, Burr Ahern dan Knowles (1977)6
berpendapat bahwa ketika pendapatan istri meningkat dan sebanding dengan
pendapatan suami, maka ada kecenderungan pengaruh istri juga meningkat. Hal
4
Dikutip dari Modul Kuliah Gender.
5
Gejala matrifokalitas adalah dominasi perempuan melalui jaringan yang terjadi di dalam keluarga inti
dan antarkeluarga inti yang terbentuk dan terpelihara oleh perempuan, sehingga perempuan lebih
berkuasa dan dominan dalam urusan rumah tangga, sedangkan laki-laki tidak berfungsi (Handayani
dan Novianto, 2004:13).
6
Dikutip dari Harmona Daulay (2001: 11).
10
tersebut dapat dikaitkan dengan konteks penelitian pada skripsi ini, di mana
perempuan-perempuan anggota sebuah organisasi pemberdayaan perempuan bernama
SPI Kulon Progo bekerja di sektor domestik maupun sektor publik yang mengarah
pada membantu perekonomian keluarga seperti pernyataan Daulay.
Beban ganda yang dialami oleh perempuan-perempuan Kulon Progo
khususnya Dusun Keceme, yang kemudian menjadi lokasi penelitian, memunculkan
adanya SPI Kulon Progo yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi keluarga
melalui perempuan tanpa mengeksploitasi perempuan. Keikutsertaan perempuan ke
dalam organisasi SPI Kulon Progo memunculkan perubahan relasi gender pada
keluarga. Untuk mengetahui perubahan gender yang terjadi di dalam keluarga, maka
dibutuhkan sebuah analisis gender7. Analisis gender membantu mengidentifikasi dan
mengungkapkan:
a. Situasi aktual laki-laki dan perempuan, yang meliputi peranan, tingkat
kesejahteraan, keperluan, dan permasalahan yang dihadapi dalam berbagai
unit sosial, budaya, dan ekonomi.
b. Pembagian beban kerja laki-laki dan perempuan, khususnya dalam keluarga
yang meliputi lingkup tanggung jawab, curahan tenaga, dan curahan waktu.
c. Saling keterkaitan, saling ketergantungan, dan saling mengisi antara
peranan laki-laki dan perempuan, khususnya di dalam keluarga.
7
Analisis gender adalah usaha sistematis untuk mencatat tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan
dalam kegiatan sistem produksi barang dan jasa maupun dalam kegiatan reproduksi dan pembinaan
sumber daya manusia dalam berbagi unit sosial budaya, dan ekonomi, mulai dari keluarga sebagai unit
terkecil sampai berbagai unit kelompok atau organisasi di dalam masyarakat (Daulay, 2001: 20).
11
d. Tingkat akses dan kekuatan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap
sumber-sumber dan manfaat yang diperoleh dari pengerahan sumber-sumber
pembangunan atau sumber-sumber produktif maupun sumber daya manusia,
khususnya keluarga8.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Lokasi Penelitian
Pertemuan saya dengan SPI Kulon Progo diawali dengan program mata
kuliah Praktik Profesi Antropologi (PPA) yang mengharuskan mahasiswanya untuk
magang. Pada waktu itu, saya magang di Pusat Studi Wanita yang sedang memiliki
kerja sama proyek penelitian dengan HAPSARI yang salah satu anggotanya adalah
SPI Kulon Progo. Pada waktu itu, saya berperan sebagai notulen pada acara seminar
hasil penelitian yang dilakukan oleh HAPSARI. Saya kemudian tertarik melakukan
penelitian dengan organisasi HAPSARI serta SPI Kulon Progo karena organisasi ini
memiliki visi untuk pemberdayaan serta penguatan ekonomi perempuan.
Penelitian ini dilakukan pada SPI Kulon Progo yang merupakan salah satu
anggota dari federasi HAPSARI yang kantornya bertempat di Banjararum, Semaken
II, Kecamatan Kali Bawang, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Penelitian ini
kemudian dilakukan di Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh,
Kulon Progo yang merupakan lokasi di mana program-program SPI Kulon Progo
sering diadakan. Selain itu, SPI Kulon Progo menaruh perhatian sendiri pada Dusun
8
Yamsiah, Achmad, “Tehnik Analisis Gender”, Makalah SEMINAR Nasional Pengembangan Studi
Perempuan, Agustus, Jakarta, 1991 yang dikutip dari Harmona Daulay (2001: 20-21).
12
Keceme karena topografi wilayahnya yang menyulitkan warganya, terutama
perempuan mencapai akses-akses perekonomian, seperti akses menuju pasar serta
pusat-pusat pemerintahan daerah. Para perempuan anggota SPI Kulon Progo di
wilayah Suroloyo ini sebagian besar berprofesi sebagai petani teh dan kopi.
1.6.2. Pemilihan Informan
SPI Kulon Progo menaruh perhatian khusus pada Dusun Keceme, maka dari
itu tiga orang anggota SPI yang bertempat tinggal di Dusun Keceme dipilih sebagai
informan. Informan yang dipilih adalah tiga perempuan anggota SPI Kulon Progo di
Dusun Keceme yang aktif dan tidak aktif beserta keluarganya termasuk suami dan
anak mereka. Informan lain, yakni keluarga anggota SPI, seperti suami dan anak
dipilih agar informasi yang didapat merupakan pengalaman yang sebenarnya terjadi
pada para keluarga anggota SPI. Pemilihan anggota aktif SPI sebagai informan untuk
melihat lebih dalam pengaruh program-program SPI pada diri anggota melalui sudut
pandang perempuan anggota SPI itu sendiri. Anggota tidak aktif juga dipilih untuk
mengetahui perbedaan penerapan program SPI pada anggota yang aktif dan tidak
aktif, sehingga didapatkan hasil nyata yang didapatkan dari keterlibatan perempuan
ke dalam SPI.
Suami dan anak dari anggota aktif SPI Kulon Progo dipilih menjadi informan
agar informasi mengenai perubahan-perubahan sosial maupun ekonomi yang terjadi
pada keluarga dapat diketahui. Selain itu, tokoh masyarakat yang ada di sana juga
menjadi informan untuk memperdalam informasi mengenai SPI Kulon Progo, serta
untuk mengetahui pengaruh SPI Kulon Progo terhadap anggota beserta keluarga pada
13
aktivitas publik. Pendiri HAPSARI dan SPI Kulon Progo juga menjadi salah satu
informan dalam penelitian ini agar informasi yang didapatkan mengenai organisasi
SPI Kulon Progo akurat.
1.6.3. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
observasi. Setelah sebelumnya observasi dilakukan selama magang dengan organisasi
HAPSARI pada bulan Desember 2014, selanjutnya teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi partisipatoris. Observasi partisipatoris dilakukan selama
bulan September 2015 dengan menginap di rumah salah satu anggota SPI di Dusun
Keceme untuk mengetahui lebih dalam kegiatan informan serta keluarga sehari-hari.
Selain itu, teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini
adalah dengan wawancara berupa wawancara lepas maupun mendalam, serta life
history. Wawancara life history digunakan untuk mengetahui kisah hidup para
informan, sehingga didapatkan hasil yang lebih mendalam.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi dokumen, yakni
pengumpulan data melalui pengumpualan dokumen atau file tertulis seperti buku,
artikel, dan data harian (diary), biografi, autobiografi, data-data statistik dan
seterusnya dilakukan ketika akan melakukan penelitian dan setelah melakukan
penelitian (Davies, 1998).
14
1.6.4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka
Analisa Harvard (Overhold dkk., 1985)9 tentang profil aktivitas, akses dan profil
kontrol, dan faktor-faktor yang berpengaruh (perubahan masa lampau dan masa
sekarang). Profil aktivitas digunakan untuk mengidentifikasi ciri-ciri produktif dan
tugas reproduksi yang relevan dengan tujuan penelitian. Akses dan profil kontrol
digunakan untuk menunjukkan siapa yang mempunyai akses terhadap sumber daya,
sumber ekonomi, serta sumber waktu. Faktor-faktor yang berpengaruh (perubahan
masa lampau dan masa sekarang) digunakan untuk mengidentifikasi pengaruh masa
lampau dan sekarang agar dapat memberikan petunjuk tentang perubahan. Kerangka
ini dipergunakan untuk membangun sebuah uraian dan hubungan analisis gender
pada masyarakat tertentu.
1.6.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama yang merupakan
pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. Bab dua berisi tentang profil
wilayah, profil HAPSARI, serta SPI Kulon Progo. Pada bab tiga berisi tentang
pengalaman perempuan sebagai anggota SPI Kulon Progo. Bab ini juga berisi tentang
respon dari anggota keluarga laki-laki tentang keterlibatan anggota keluarga mereka
di SPI Kulon Progo.
9
Terdapat pada buku “Peranan Jender dalam Proyek Pembangunan” karangan Catherine Overhold,
Mary B Anderson, Kathleen Cloud, James E Austin.
15
Bab selanjutnya, yakni bab empat berisi tentang perubahan-perubahan relasi
gender yang terjadi sebelum dan sesudah adanya organisasi SPI Kulon Progo. Pada
bab ini juga dijelaskan perubahan apa saja yang terjadi pada keluarga anggota SPI
Kulon Progo. Kemudian tulisan ini akan diakhiri dengan bab lima yang berisi tentang
kesimpulan.
16
Download