BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Program Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series merupakan sinetron yang tayang menjelang bulan Ramadhan tahun 2012 lalu. Sinetron ini diangkat dari FTV dengan judul yang sama yaitu Tukang Bubur Naik Haji yang ditayangkan oleh stasiun televisi RCTI. Ide awal cerita sinetron ini diambil dari dua tokoh dari inti cerita FTV Tukang Bubur Naik Haji, yaitu H. Sulam (anak dari penjual bubur ayam) dan Emak (Ibu dari H. Sulam dan penjual bubur ayam), yang kemudian oleh penulis cerita dalam sinetron ini dimunculkan tokoh seperti H. Muhidin, Rumanah, Roby, Mang Odjo, dan lainnya. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji mengangkat tentang kehidupan masyarakat sehari-hari, dengan berbagai konflik di dalamnya seperti orang yang seolah-olah dermawan namun mengharapkan pujian orang dan kecenderungan untuk berbuat pamer. Dalam sientron ini diceritakan dua karakter haji yang memiliki perilaku yang berbeda. Tokoh Sulam yang memiliki sifat penyabar, berkat ketekunan dan keikhlasannya akhirnya dia dapat naik haji dan memperbesar usaha bubur ayamnya. Sedangkan tokoh H. Muhidin dan Hj. Maemunah yang memiliki sifat dengki selalu memusuhi keluarga H. Sulam dengan terus menerus memfitnah dan mencari-cari kesalahan keluarga H. Sulam. Namun niat jahat dan fitnah yang selalu disebarkan H. Muhidin selalu tidak berhasil karena keluarga H. Sulam sendiri tidak terpengaruh emosinya dan selalu bersikap rendah hati dan tidak sombong. Berbagai konflik yang terjadi dalam sinetron ini diselesaikan dengan kembali pada Al Quran dan Hadist Rasulullah sebagai pedoman dan pegangan hidup umat Islam. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series tayang setiap hari, mulai 28 Mei 2013 pada pukul 19.00 WIB. Secara terperinci program sinetron, kru, dan pemain dapat dipaparkan sebagai berikut : 31 Tabel 4.1 Tim Produksi dan Pemeran Tokoh Tukang Bubur Naik Haji The Series Judul Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series Format Sinetron Religi Pembuat Sinema Art Cerita & skenario H. Imam Tantowi Sutradara H. Ucik Supra Produser Leo Sutanto Eksekutif Produser Elly Yanti Noor Co Produser Novi Christina Mitzy Christina Cindy Christina Co-Sutradara Rindra Panca - Aca Hasanuddin Depi Herlambang Astrada Dedet – fence F Nayoan Idhol Dg puji – Taslim idrus Produser Pelaksana Baso Natsir Adhitya Gautama Desain Produksi Heru Hendriyarto Supervisi Editing Bagus Kadarmodo Penata Musik Purwacaraka Koordinator lagu Ryan S. Pitna Editor Anwar Sani-Budhidha Basofi-Rosario Casting Bobby Andika Penata Videografi Sutan Penata Artistik Haris Desain Opening Yoseph Wariki 32 Visual Effect Rosy Tauhid Ace Unit manager M. Romli Pemain Uci Bing Slamet : Hj. Rodiah Nani Wijaya : Emak Latief Satepu : H. Muhidin Andi Arsyil Rahman : Roby Citra Kirana : Rumanah Aditya Herpavi. R : Rahmadi Alice Norin : Rere El Manik : Ustadz Zakaria Marini Zumarnis : Umi Mariam Hamka Devito Siregar : Togu Dina Lorenza : Riamah Rio Reifan : Restu Ricky Malau : Badar Nova Soraya : Romlah Eddy Oglek : Kardun Lenny Charlotte : Mak Enok Ali Syakieb : Jamal Abdel Achrian : Encing Nelan Connie Sutedja : Nyai Hj. Iroh Salim Bungsu : Mang Odjo Deny Sudarsiman : Machmud Dorman Borisman : H. Rasyidi Lulu Zakaria : Hj. Rasyidi Ravi Romario : Joni Ujang Ronda : Sobari Mega Aulia : Atikah 33 Intan Pramita : Laila Tyas Wahono : Ustad Sulthony Cut Syifa : Maesaroh Christian Bennedict : Farid Harun : Aki Dawud Etty Sumiati : Ninik Leha Binyo Sungkar : Tarmiji Rusdi Syarief : Mali Dewi Alam Purnama : So’imah Adam Rama Fadilla : Hisyam Willa Julaiha : Ncum Sisy Syahwardi : Neneng Markoneng Rahmi Nurullina : Nafisha Jihan Jeihan : Ngadimin Irwan Chandra : Ko Wan Wan Qheyla Zareyya Valendro : Jessi Ayu Adriana : Ci Leny Kasiman Ahong : Ko Acong Tengku Firmansyah : Abi Nafisha Cindy Fatika Sari : Umi Nafisha Tetty Liz Indriati : Ibu Restu Asri Pramawati sebagai : Epih Celine Evangelista : Ketty Amelia Ekawati : Ulah Ali : Bayu Najwa : Anggi Mat Oli : Syape’i 34 4.2 Sinopsis Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series Episode 439-441 Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series merupakan sinetron religi yang bercerita tentang kehidupan masyarakat sehari-hari. Episode 439-441 sinetron yang bergenre religi Islam ini menyuguhkan tentang perayaan tahun baru Imlek dengan mengahdirkan sebuah keluarga yang beretnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Cu di tengah-tengah masyarakat muslim. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 bercerita tentang kehidupan masyarakat yang beragama Islam dengan suatu keluarga yang berbeda latar belakang agama dan etnis yang akan merayakan tahun baru Imlek. Keluarga yang berbeda latar belakang etnis dan agama yang dimunculkan dalam sinetron Tukang Bubur naik Haji The Series episode 439-441 adalah keluarga Wan Wan yang beretnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu. Keluarga Wan Wan terdiri dari Acong (ayah Wan Wan), Leny (Istri Wan Wan), dan Jessy (anak Koh Wan Wan). Keluarga ini merupakan warga baru, yang baru saja pindah di kampung yang masyarakatnya mayoritas adalah muslim. Sebagai keluarga yang baru saja pindah di kampung tersebut, keluarga Wan Wan digambarkan sebagai keluarga yang baik hati dan ramah. Sebagai keturunan Tionghoa, keluarga Wan Wan tentunya merayakan Imlek. Dalam proses persiapan menyambut perayaan tahun baru Imlek, banyak suka duka yang dialami oleh keluarga Wan Wan yang merupakan satu-satunya keluarga beretnis Tionghoa di kampung tersebut. Konflik muncul ketika ornamen yang dipesan oleh Wan Wan diantar ke rumahnya, mendapat sorotan yang tidak baik dari H. Muhidin yang selalu berburuk sangka kepada orang lain. Buruk sangka H. Muhidin kepada keluarga Wan Wan yang dinilainya ri’a dengan membeli ornamen-ornamen seperti lampion dan pohon bambu. Sikap dari H. Muhidin yang berprasangka buruk terhadap keluarga Wan Wan disanggah oleh ustadz Zakaria yang memiliki pandangan berbeda dengan H. Muhidin, karena ustadz Zakaria mengetahui jika sebentar lagi tahun baru Imlek dan keluarga Wan 35 Wan beretnis Tionghoa yang tentunya merayakan Imlek. Sehingga menurut ustadz Zakaria memesan ornamen-ornamen Imlek meruapakan hal yang wajar. Perayaan tahun baru Imlek tidak hanya disambut bahagia oleh Wan Wan dan keluarganya, tetapi juga masyarakat sekitar tempat tinggal Wan Wan, yang terlihat dari sikap Romi, Syape’i, Mali dan Tarmiji yang bersedia membantu keluarga Wan Wan dalam persiapan menyambut tahun baru Imlek seperti menghias rumah dengan memasang ornamen-ornamen khas Imlek. Kekompakan keluarga Wan Wan dan warga terlihat ketika mereka bergotong royong menghias rumah sebagai bentuk menyambut tahun baru Imlek keluarga Wan Wan. Selesai menghias rumah, mereka dijamu oleh keluarga Wan Wan. Namun Romi dan hansip Syape’i menolak karena masih ada tugas lain yang menunggu. Berbeda dengan sikap Mali dan Tarmiji yang membantu keluarga Wan Wan karena mempunyai tujuan lain, yaitu mengharapkan imbalan. Leny, istri dari Wan Wan menyiapkan 4 angpau yang akan diberikan kepada mereka karena Mali serta Tarmiji yang meminta imbalan dan sudah membantu keluarga Wan Wan. Mali dan Tarmiji menerima imbalan yang diberikan oleh keluarga Wan Wan, tetapi Romi, dan Syape’i menolak, dengan alasan mereka membantu dengan tulus dan ikhlas. Masalah lain muncul ketika Acong berencana untuk mengadakan pementasan barongsai dikampungnya, dalam perayaan tahun baru Imlek. Rencana mengadakan pementasan barongsai, karena ingin memberikan surprise kepada para warga, yang diutarakan Acong ketika sedang berkumpul bersama keluarga. Tetapi rencana Acong tersebut, mendapat pandangan lain dari Wan Wan. Menurut Wan Wan, rencana papinya yang ingin mengadakan pementasan barongsai seharusnya meminta izin kepada ketua RW jika ingin mengadakan acara di lingkungan kampung tersebut. Dimana menurut Wan Wan mengadakan pementasan barongsai tentunya akan melibatkan banyak pihak. Akhirnya solusi dari masalah tersebut diperoleh dari pendapat Leny, dengan memberikan saran untuk meminta izin kepada H. Muhidin selaku ketua RW. Keputusan tersebut 36 mendapat persetujuan dari seluruh anggota keluarga Wan Wan dan berencana segera menemui ketua RW. Sebagai warga yang baik, keluarga Wan Wan meminta ijin kepada H. Muhidin selaku ketua RW, jika keluarganya berencana mengadakan pementasan barongsai saat perayaan tahun baru Imlek. Namun, jawaban mengejutkan dari H. Muhidin yang tidak memberikan ijin kepada keluarga etnis Tionghoa tersebut. Mendengar jawaban yang diberikan oleh H.Muhidin, keluarga Wan Wan terlihat terkejut dan bingung karena sudah terlanjur mmesan barongsai. Begitulah H. Muhidin dengan sifatnya yang tidak peduli dengan orang lain. Namun karena nasehat Ki Dawud, akhirnya H. Muhidin menyetujui dan memberikan izin dengan syarat supaya keluarga Wan Wan juga memperhatikan keamanan selama pementasan barongsai berlangsung. Keluarga Wan Wan bahagia jika akhirnya rencana keluarganya mengadakan pementasan barongsai dapat terselenggara pada perayaan tahun baru Imlek nanti. Tahun baru Imlek disambut bahagia dan penuh semangat oleh keluarga Wan Wan, hal tersebut terlihat dari kekompakan keluarga ini yang akan pergi ke klenteng untuk beribadah, karena di kampung lingkungan tempat tinggal mereka, seluruh warganya beragama Islam maka tidak ada klenteng. Ketika Roby dan Ki Dawud sedang jogging keliling kampung, di depan rumah Wan Wan mereka bertemu dengan keluarga Acong yang hendak berangkat ke klenteng untuk beribadah. Sosok Roby dan Ki Dawud yang dikenal baik menyapa keluarga beretnis Tionghoa tersebut. Ki Dawud memberikan semangat kepada keluarga Acong dalam merayakan tahun baru Imlek. Sikap yang ditunjukkan oleh Ki Dawud tentunya memberikan kebahagaiaan pada keluarga yang berbeda etnis dan agama tersebut. Meskipun para warga memiliki latar belakang agama dan etnis dengan keluarga Wan Wan, mereka hadir di pementasan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga beretntis Tionghoa itu.Sikap antusias dan partisipasi para warga dalam pementasan barongsai yang merupakan adat istiadat dan budaya Tionghoa 37 tersebut juga disambut mereka dengan bahagia. Hal tersebut terlihat dari seluruh warga yang hadir ke rumah keluarga Wan Wan untuk menonton barongsai. Bahkan dari perayaan itu seorang H. Muhidin yang semula tidak mengijinkan, juga hadir dalam pemetasan barongsai. Kebahagiaan tidak hanya dirasakan oleh keluarga Wan Wan yang merayakan Imlek, tetapi juga seluruh warga kampung dengan adanya toleransi satu sama lainnya meskipun berbeda etnis dan agama. Seperti keluarga Sobari, keluarga Ki Dawud, keluarga ustadz Zakaria juga merasakan kebahagiaan meskipun mereka tidak merayakan. Selesai pementasan Barongsai Acong dan keluarganya membagikan angpau kepada para warga. Para warga yang mendapatkan angpau merasa senang seperti Mali dan Tarmiji. Mereka juga mengucapkan Gong Xi Fa Chai dan mendoakan keluarga Wan Wan yang merayakan Imlek, agar semakin sukses kedepannya. Sebagai warga minoritas, keluarga yang berlatar belakang Khong Hu Chu dan Tionghoa ini sangat senang dan bahagia dengan partisipasi para warga yang berkenan hadir dalam acara yang diselenggarakannya. Pementasan barongsai sebagai bagian perayaan tahun baru Imlek keluarga Wan Wan memberikan hiburan tersendiri bagi para warga, karena perayaan tersebut baru pertama kali diselenggarakan di kampungnya. Seperti diutarakan oleh salah satu warga bernama Romlah seusai menonton barongsai di rumah keluarga Wan Wan. Perasaan terhibur juga dirasakan oleh keluarga Sulam yang juga turut menonton dan merasa bersyukur karena memiliki tetangga yang berasal dari berbagai suku bangsa. Akan tetapi bagi H. Muhidin yang selalu iri dengan kebahagiaan orang lain, dia menilai jika acara yang diselenggarakan warga baru beretnis Tionghoa tersebut tidak menarik dengan membandingkan pertunjukkan barongsai lain yang pernah dia tonton yang dinilainya jauh lebih menarik. Dengan sikapnya yang selalu berburuk sangka terhadap orang lain, H. Muhidin menilai kebaikan keluarga Wan Wan hanya untuk menarik perhatian warga kampung dan hanya memuji dirinya sendiri. 38 Pada akhir cerita, H. Muhidin menegur Roby dan Rumanah jika anak muda sekarang ini suka bersenang-senang. Karena menurut H. Muhdin menonton barongsai tadi tidak ada manfaatnya. Berbeda pandangan dengan Rumanah, menurutnya menonton barongsai bukan sesuatu hal yang menimbulkan dosa, karena berniat baik dengan menghargai keluarga Wan Wan sebagai satu-satunya keluarga beretnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu yang meryakan Imlek. 4.3Analisa Data Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk. Metode analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk digambarkan menjadi tiga dimensi atau bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial (Eriyanto, 2011: 224-227). Dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Dari dimensi ini akan terlihat strategi yang dilakukan oleh sutradara dan penulis skenario untuk menegaskan tema tertentu yang disuguhkan kepada penonton. Pada dimensi kognisi sosial dipelajari proses produksi teks yang melibatkan kognisi pembuat teks. Dimensi ini untuk melihat bagaimana representasi kognisi dan strategi sutradara serta penulis skenario dalam memproduksi sinetron. Sedangkan pada dimensi konteks sosial, mempelajari bagaimana bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Dimensi ini diaplikasikan untuk melihat bagaimana wacana yang diproduksi dan di konstruksi dalam masyarakat. 4.3.1 Analisis Teks Sinetron TukangBubur Naik Haji The Series di RCTI Episode 439-441 Dalam penelitian ini analisis teks dimaksudkan untuk menguak wacana toleransi dalam teks sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series di RCTI Episode 439-441 yang merujuk pada pesan sosial. Dimensi teks ysng dikemukakan oleh Van Dijk terdiri dari tiga tingkatan yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan 39 makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang diangkat. Dari struktur ini akan terlihat jelas pandangan sutradara dan penulis skenario pada suatu peristiwa yang meguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Superstruktur merupakan kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Dari hal ini akan muncul kesan dalam benak penonton. Pada struktur mikro, merupakan makna wacana yang diamati dari bagian kecil dari suatu teks yaitu kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Struktur ini melihat bagaimana pandangan sutradara dan penulis skenario dalam pemakaian bahasa pada struktur pendahuluan, isi, dan penutup. 4.3.1.1 Analisis Struktur Makro Pada struktur ini akan menguraikan tentang analisis struktur makro wacana toleransi yang terdapat dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441, seperti yang terlihat bagaimana makna global di bangun dalam sinetron ini. Struktur makro berbicara tentang teks yaitu bagaimana sinetron ini dapat ditangkap dan dimaknai oleh penonton secara keseluruhan, disamping itu akan terlihat juga bagaimana pandangan sutradara dan penulis skenario pada suatu peristiwa atau masalah. Setelah melihat tuntas sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441, dengan memperhatikan dialog, visualisasi sinetron, serta para tokoh yang ditampilkan, peneliti menyimpulkan topik utama dari sinetron ini adalah “Toleransi Antar Suku dan antar Umat Beragama”. Topi tersebut menjadi menarik, karena dimunculkan keluarga berketurunan Tionghoa yang beragama Khonghuchu dan merayakan Imlek di tengah-tengah masyarakat yang beragama Islam, mengingat sinetron ini merupakan sinetron bergenre religi Islam. Dengan akan diperingatinya perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh keluarga etnis Tionghoa, terlihat masyarakat yang 40 beragama Islam menunjukkan sikap toleransinya dalam berbagai bentuk. Diangkatnya topik toleransi pada sinetron ini, toleransi merupakan suatu sikap dasar manusia sebagai umat yang beragama, untuk menghormati, menghargai, dan tidak mengganggu ibadah serta sistem keyakinan pada penganut agama lain. Menurut Soerjono Soekanto toleransi yaitu suatu sikap yang merupakan perwujudan pemahaman diri terhadap sikap pihak lain yang tidak setuju (Soekanto, 1985:518). Mengacu pada makna toleransi, dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 mengarah pada beberapa adegan cerita dimana tema tentang toleransi digambarkan begitu jelas, seperti telihat pada beberapa sub tema berikut. a. Saling Membantu Dalam kehidupan sosial, manusia tidak akan pernah lepas dari salah satu perannya dalam membantu orang lain. Karena, manusia adalah mahluk sosial yang saling memerlukan antara satu sama lain. Di Indonesia, budaya saling membantu merupakan sesuatu yang akrab dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut juga terlihat pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 dimana perayaan imlek tidak hanya disambut suka cita oleh umat Khonghuchu dan masyarakat Tionghoa, tetapi juga disambut oleh para warga termasuk yang beragama Islam yang ditunjukkan dengan sikap saling membantu, seperti yang terlihat pada beberapa scene sinetron ini. Kesediaan warga (Syape’i dan Romi) membantu persiapan Imlek keluarga Wan Wan Scene 12 Jessi : Pi minggir bentar pi, stop! 41 Acong : Ada apa Jessi? Jessi : Bang Romi sama bang Peii mau kemana? Romi : Eh Jessi…mau jalan-jalan Syape’i : Eh selamat siang babah Acong, koh Wan Wan, ci leny, ngomong-ngomong ini kok pada penuh? Dari mana mau kemana to? Acong : yah biasa…habis belanja keperluan Imlek. Syape’i : Waaahh Gong Xi Fa Chai, kalo begitu pasti ada yang bisa saya bantu dong nanti buat acara Imlek? Jessi : Bang Romi sama bang hansip Peii besok pagi ke rumah aja, ikutan ngehias rumah Jessi… Syape’i :Boleh-boleh Jessi, saya pasti dateng…Romi mau to? Romi : Insyaallah Jessi… Wan Wan : Ya sudah nanti dateng aja ke rumah, ajak-ajak temen yang lain biar rame sekalian. Syape’i dan Romi : Siap koh Wan Wan Syape’i :Kami pasti dateng. Syape’i menunjukkan sikap yang ramah dengan menyapa keluarga Wan Wan yang pulang dari berbelanja keperluan Imlek. Meskipun berbeda etnis dan agama, terjalin hubungan yang harmonis diantara mereka, terlihat dari sikap Syape’i dan Romi yang menawarkan diri membantu keluarga Wan Wan pada persiapan perayaan tahun baru Imlek. 42 Mali, Tarmiji, Romi dan hansip Syape’i membantu menghias rumah keluarga Wan Wan Scene 16 Tarmiji : Wah koh, kayaknya lagi banyak kerjaan nih? Acong : (sambil tersenyum) biasa kan mau imlek. Mali : Maaf koh, kira-kira perlu bantuan gak? Acong : Boleh, kalo mau bantu. Oek sangat senang, ayo silahkan. Syape’i : Waduh udah pada sibuk aja nih? Bapak Acong, saya bantu ya? Acong : Iya, boleh-boleh ayo! Ayo silahkan ayo. Kesibukan terlihat di rumah keluarga Acong yang akan merayakan Imlek, Mali, Tarmiji, Romi dan hansip Syape’i menawarkan diri membantu persiapan Imlek keluarga Acong. Sikap yang mereka tunjukkan sebagai bentuk toleransi terhadap keluarga beretnis Tionghoa yang tentunya membuat senang dan bahagia keluarga tersebut. Mereka membantu memasang berbagai ornamen ciri khas Imlek seperti lampion, pohon bambu, beserta pernak pernik Imlek lainnya. b. Menghargai Perbedaan Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya multikultural dengan beragam perbedaan, baik suku, agama, maupun budaya. Untuk hidup damai dan berdampingan, dibutuhkan toleransi satu sama lain demi terciptanya keharmonisan di tengah perbedaan yang sudah ada. 43 Dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 terlihat sikap menghargai perbedaan yang ditunjukkan warga beragama Islam terhadap warga minoritas berketurunan Tionghoa dan beragama Khonghuchu, dengan memberikan kebebasan mengadakan pertunjukkan barongsai sebagai bagian dari perayaan tahun baru Imlek. Hal demikian terlihat pada adegan dalam scene 35, yang diuraikan sebagai berikut. Ki Dawud menegur H. Muhidin agar memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan mengadakan pertunjukkan barongsai. Scene 35 Wan Wan : Sebelumnya saya minta maaf pak haji sama semua yang ada disini. Saya mohon bicara sebentar. Ki Dawud : Iya silahkan aja ngomong…. H. Muhidin: Iya silahkan…. Wan Wan : Begini, menyambut perayaan Imlek, saya mau minta ijin untuk merayakan pertunjukkan barongsai di rumah saya. H. Muhidin : (dengan nada marah) Kagak bisa!!! Enak aja mau ngadain gituan!! Wan Wan : Jadi? Gak boleh pak haji? Waduh gimana ya, Kebetulan saya sudah terlanjur memesan barongsainya. Ki Dawud : Eh Din, lo harus kasih ijin. Emang kenape sih kagak boleh? Itu kan hak nye dia, mau bikin acara menyambut perayaan hari besarnye dia. 44 Kalo lo kagak kasih ijin, gue tambahin hukuman lo, mau? Si Acong kan temen gue. H. Muhidin : Iye be, aye ijinin deh. Tapi inget ye jaga keamanannye! Ki Dawud : Nah begitu dong, sekali-sekali biar warga kampung lo nonton barogsai dari deket,kan selama ini nonton dari film-film sama di TV-TV deh. Cong, Wan Wan, gak pape gua tanggung jawab. H. Muhidin :Iye be, ini aye juga kasih ijin, Cuma kasih taunya dadakan. Besok lagi kalo kasih tau jangan dadakan ye? Wan Wan : Iya, makasih pak haji RW. Acong : Kamsiya, makasih pak haji RW. Ki Dawud memberikan teguran dengan tegas kepada H. Muhidin agar keluarga Wan Wan mendapat ijin menyelengarakan pertunjukkan barongsai sebagai hak mereka pada perayaan agamanya. Berkat teguran Ki Dawud, keluarga Wan Wan mendapat ijin mengadakan pementasan barongsai pada perayaan tahun baru Imlek. Bahkan wujud sikap menghargai perbedaan yang ditunjukkan Ki Dawud diyakinkan dengan bersedia bertanggung jawab atas pelaksanaan pementasan barongsai. Menghormati keluarga Acong yang akan beribadah dan bersedia hadir pada acara pertunjukkan barongsai sebagai bagian dari perayaan Imlek. 45 Scene 39 Ki Dawud: Waduh, udah rapi ni Cong? Acong : Iya pak mandor, kita mau ke klenteng. Maklum kampung ini nggak ada klentengnya. Ki Dawud : Emang kagak ada disini. Ngomong-ngomong kompak banget pake baju merah-merah.Yang semangat ye tahun baru Imlek. Acong : Oh iya pak mandor, jangan lupa ntar siang kesini ya? Ada itu, pementasan Barongsai. Ki Dawud : Tenang Cong! Insyaallah gua bakal dateng deh, gua pengen liat Barongsai dari deket. Acong : Kamsiya, terima kasih ya… Dialog ini terjadi ketika Ki Dawud dan Roby sedang jogging dan melewati rumah keluarga Acong. Ki Dawud menyapa dan memberikan semangat kepada keluarga Acong dalam merayakan tahun baru Imlek. Tidak lupa juga Acong mengingatkan Ki Dawud untuk hadir menonton pementasan barongsai. Sikap menghargai ditunjukkan Ki Dawud dengan menerima dan bersedia hadir untuk melihat pementasan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga Acong yang merupakan warga minoritas dikampungnya sebagai bagian dari perayaan tahun baru Imlek. Menonton pementasan barongsai sebagai bentuk menghargai dan menghormati perayaan tahun baru Imlek Scene 41 Rumanah, Roby, Ki Dawud, Nini : Assalamuallaikum… H. Muhidin : Nah ini lu juga pada mau kmana sih? 46 Ki Dawud : Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape? Rumanah : Abah gak mau ikut? H. Muhidin : Kagak, kagak penting nonton begituan rum, udah sono kalo mau pergi. Rumanah: Kami pergi ya bah, assalamuallaikum. H. Muhidin : Waalaikumsalam (kemudian H. Muhidin melamun) Ustad Zakaria : Assalamualaikum, pak Haji…. Riyamah, Umi Zakaria : Assalamualaikum… H. Muhidin : Waalaikumsalam…. Ustad Zakaria : Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton barongsai? H. Muhidin : Kagak pak ustad, eh Ini mamah ngomongngomong mau nonton barongsai juga? Riyamah : Iya pak Haji…. H. Muhidin : (hening) Ustad Zakaria : Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak? H. Muhidin : Oh jelas dong, ikut dong! Kan aye ketua RW, Acong sama Wan Wan aje ngundang saya secara khusus. Pak ustad, tunggu sebentar ye?Mamah tunggu ye? Para warga yang mayoritas beragama Islam menghargai perayaan Imlek dengan datang ke rumah keluarga Wan Wan yang merayakan Imlek untuk menonton pementasan barongsai. Perayaan tahun baru Imlek dirayakan dengan menyelenggarakan pementasan barongsai sebagai hiburan untuk masyarakat, akan memupuk dan mengikat rasa persaudaraan, kekeluargaan, serta semangat toleransi. 47 Kedatangan para warga sebagai bentuk menghargai dan menghormati keluarga Acong yang merayakan perayaan tahun baru Imlek dan barongsai adalah sebagai budaya dari etnis Tionghoa. Dalam dalog diatas, sikap H. Muhidin yang semula tidak mau menonton pementasan barongsai, tetapi pada akhirnya bersedia ikut menonton barongsai, walaupun dengan alasan lain mau menghadiri pementasan barongsai karena ada Riyamah, perempuan yang disukainya. Mendoakan dan memberikan ucapan tahun baru Imlek Scene 42 Tarmiji : Gong Xi Fa Chai Acong :Eh, terima kasih ya. Doain keluarga gue awet, sukses merayakan Imlek ini! Tarmiji : Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin banyak. Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai Mali : (bersalaman dengan keluarga Wan Wan) Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai Dialog ini terjadi setelah pementasan barongsai selesai, keluarga Acong membagikan angpau kepada para warga sebagai tradisi etnis Tionghoa pada perayaan Imlek. Selain itu Mali dan Tarmiji mengucapkan Gong Xi Fa Cai sebagai ucapan tahun baru Imlek kepada keluarga Acong dan mendoakan keluarga Acong supaya rejekinya semakin banyak. Sikap yang ditunjukkan para warga dengan memberikan ucapan selamat tahun baru Imlek dan mendoakan keluarga Acong merupakan bentuk silaturahmi antara sesama umat manusia, agama, serta suku. dan 48 pembagian angpau sebagai wujud tali asih keluarga Acong kepada para warga melalui pertunjukkan barongsai sebagai bagian dari Imlek. c. Muslim menerima perbedaan (suku, budaya, dan agama) Dengan kenakeragaman suku, agama, dan budaya yang ada di Indonesia, agama Islam merupakan salah satu agama yang menerima perbedaan dan keberagaman dengan mengajarkan pentingnya toleransi dan harus dikembangkan dalam kehidupan masyarakat, namun tetap dalam batasan toleransi yang diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Hal demikian juga terlihat dalam scene 50 sinetron ini, yang diuraikan sebagai berikut. Scene 50 H. Muhidin : Assalamualaikum…. Rumanah, Roby : Waalaikumsalam….. H. Muhidin : Wah udah pulang seneng-seneg yah? Anak jaman sekarang bukannya banyak istighfar, dzikir, sholat, eh hobinya seneng-seneng doang, kalo ada tontonan heboh, pengen nonton terus. Rumanah : Bah, abah kenapa sih suka banget berprasangka yang enggak-enggak dari dulu? Kenapa sih bah? Lagian kan apa yang kita lakuin tadi juga gak dosa, nggak menyebabkan kemusyrikan kan? Karena itu semua sifatnya hanya hiburan semata bah. H. Muhidin : Yaa.. tapi baiknya itu kan tenang di rumah. Kesana itu kagak ada manfaatnya nonton begituan. Rumanah : Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka punya kebahagiaan sendiri bah. 49 H. Muhidin : Ah sok tau lu… Rumanah : Ya… Rum bukan sok tau bah.Ya udah terserah deh bah kalo abah nilainya seperti itu, yang jelas kedatangan kita tadi tujuannya baik. Kedatangan Roby dan Rumanah menghadiri pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan keluarga Acong sebagai etnis Tionghoa yang merayakan Imlek sebagai bentuk menghargai dan menghormati perayaan warga minoritas tersebut. Pernyataan yang diungkapkan oleh Rumanah pada dialog diatas karena mimiliki tujuan yang baik yang memberikan kebahagiaan keluarga Acong, namun tentunya hal tersebut sesuai dengan batasan dalam ajaran agama yang dianut Rumanah yaitu agama Islam. Sehingga dari pernyataan yang diungkapkan oleh Rumanah melalui dialog diatas menegaskan jika umat Islam menerima perbedaan, baik suku, budaya, dan agama. Berdasarkan uraian diatas, topik “Toleransi antar etnis dan antar umat beragama” yang diangkat sientron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441, peneliti dapat menganalisa bahwa keberadaan etnis Tionghoa diakui dan dianggap menjadi bagian dari masyarakat yang juga terdiri dari berbagai suku dan agama. Terbentuknya topik utama didukung dengan beberapa subtopik seperti saling membantu, menghargai perbedaan, dan muslim menerima perbedaan. Dan kecenderungan beberapa scene episode 439-441 adalah, dalam adegannya mengarah pada upaya toleransi. Pemilihan topik toleransi tentang perayaan Imlek di sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 merupakan upaya dari pengkonstruksian wacana atas perayaan tahun baru Imlek. Sinetron ini mempunyai maksud dan tujuan tertentu dalam pemilihan topik tentang toleransi. Kecenderungan yang menonjol adalah, dalam 50 setiap scenenya mengarah kepada upaya mengenai penerimaan budaya China serta keharmonisan interaksi antar etnis dan agama. Bentuk interaksi harmonis dapat terlihat dari perayaan tahun baru Imlek etnis Tionghoa di tengah-tengah masyarakat yang beragama Islam dapat dilihat dengan partisipasi masyarakat mulai dari membantu dalam persiapan Imlek dan hadir dalam pementasan barongsai yang diselenggarakan oleh etnis Tionghoa. 4.3.1.2 Analisis Superstruktur Superstruktur berbicara tentang struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun secara utuh. Pada sub bahasan ini akan menguraikan analisis superstruktur sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441. Secara keseluruhan bangunan alur cerita dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 telah membentuk satu kesatuan arti. Para penonton disuguhkan pada suatu nilai pemahaman tentang toleransi antar etnis dan antar umat beragama. Alur cerita dalam sinetron ini terbagi tiga bagian yaitu bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Bagian awal sinetron menceritakan tentang sebuah keluarga beretnis Tionghoa yang akan merayakan tahun baru Imlek di daerah tempat tinggalnya yang mayoritas warganya beragama Islam. Pada pertengahan sinetron muncul konflik – konflik, dan selanjutnya pada bagian akhir merupakan bagian kesimpulan dari sinetron. Pada struktur ini akan terlihat bagaimana sutradara serta penulis cerita dan skenario mengemas detail-detail sinetron, yang akan penulis uraikan dengan bantuan gambar untuk membantu memperjelas analisa. 51 1. Pendahuluan Tabel 4.2 Pendahuluan Durasi Keterangan 00:28:39 (Cuplikan dialog yang dilakukan Jessi, Syape’i, Wan Wan, dan Acong pada scene 12) Jessi : Pi minggir bentar pi, stop! Acong : Ada apa Jessi? Jessi : Bang Romi sama bang Peii mau kemana? Romi : Eh Jessi…mau jalan-jalan Syape’i : Eh selamat siang babah Acong, koh Wan Wan, ci leny, ngomong-ngomong ini kok pada penuh? Dari mana mau kemana to? Acong : yah biasa…habis belanja keperluan Imlek Hansip Syape’i : Waaahh Gong Xi Fa Chai, kalo begitu pasti ada yang bisa saya bantu dong nanti buat acara Imlek. Jessi : Bang Romi sama bang hansip Peii besok pagi ke rumah aja, ikutan ngehias rumah Jessi… Hansip Syape’i :Boleh-boleh Jessi, saya pasti dateng…Romi mau to? 52 Romi : Insyaallah Jessi… Wan Wan : Ya sudah nanti dateng aja ke rumah, ajak-ajak temen yang lain biar rame sekalian. Hansip Syape’i dan Romi : Siap koh Wan Wan Hansip Syape’i :Kami pasti dateng. Alur yang ditampilkan dalam sinetron ini adalah, bahwa keluarga Wan Wan yang merupakan warga baru di kampung tersebut akan merayakan tahun baru Imlek. Mereka menyiapkan segala sesuatu keperluan Imlek dalam menyambut perayaan tahun baru Imlek. Ketika keluarga Wan Wan yang hendak pulang dari berbelanja keperluan Imlek, di dalam mobil membicarakan tentang perayaan tahun baru Imlek yang datang sebentar lagi. Dalam pembicaraan tersebut Wan Wan mengatakan jika sudah mempersiapkan segala keperluan Imlek mulai dari pohon sampai lampion sudah dipesan. Keluarga ini sudah siap dalam menyambut perayaan tahun baru Imlek. Cuplikan dialog diatas terjadi ketika keluarga Wan Wan akan pulang ke rumah setelah berbelanja keperluan Imlek. Pada dialog diatas, bahwa tokoh SyapeiI dan Romi merupakan anggota masyarakat beragama Islam dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan keluarga beretnis Tionghoa yang ditunjukkan dengan sikap ramah. Hubungan yang terjalin baik antara keluarga Wan Wan dengan Syape’i dan Romi yang berbeda etnis dan agama, terlihat dengan dukungan dan antusias mereka terhadap perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan keluarga tersebut, dengan kesediaan mereka membantu keluarga Wan Wan pada acara Imlek. 53 Kesediaan Syape’i dan Romi membantu tentunya disambut bahagia keluarga Wan Wan, dengan ajakan Jessi putri dari Wan Wan untuk menghias rumah dalam rangka menyambut perayaan tahun baru Imlek. Hal tersebut menunjukkan adanya sebuah upaya untuk mewujudkan sikap toleransi. 2. Isi Tabel 4.3 Isi (scene 16) Durasi Keterangan 00:36:57 (Dialog Syape’i, Romi, Mali, Tarmiji, dan Acong pada scene 16) Romi : Bang, bang ada mobil lampion bang. Syape’i : Wah kayaknya mobil yang bawa keperluan Imlek keluarganya Koh Wan Wan uda datang. Ya udah kita bantuin yok? Romi : Ayooo…! Tarmiji : Wah koh, kayaknya lagi banyak kerjaan nih? Acong : (sambil tersenyum) biasa kan mau imlek. Mali : Maaf koh, kira-kira perlu bantuan gak? 54 Acong : Boleh, kalo mau bantu. Oek sangat senang, ayo silahkan. (Dialog hansip Syape’i dan Acong pada scene 16) Syape’i : Waduh udah pada sibuk aja nih? Bapak Acong, saya bantu ya? Acong : Iya, boleh-boleh ayo! Ayo silahkan ayo. (Cuplikan dialog yang dilakukan oleh Leny, Syape’i, Romi, dan Acong pada scene 16) 55 Cuplikan dialog setelah menghias rumah keluarga Wan Wan Leny : Ini juga untuk Romi sama bang hansip. Syape’i : Ndak usah Ci Leny, terima kasih. Maaf bukannya kami ndak mau trima, tapi kami membantu ini dengan tulus kok. Romi : Iya, kami ikhals Ci. Acong : Sudah trima aja Romi, pak hansip, kami ikhlas kok. Syape’i : Sekali lagi minta maaf, kami takut ketulusan kami ini luntur kalau menerima uang ini. Isi dari sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 menceritakan tentang persiapan Imek keluarga Acong. Cuplikan dialog tersebut berlangsung di rumah keluarga Acong yang akan menghias rumah dalam rangka menyambut perayaan tahun baru Imlek. Melihat ornamen Imlek di depan rumah keluarga Wan Wan, mereka menawarkan diri untuk membantu. Sikap yang ditunjukkan oleh Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi untuk membantu persiapan Imlek disambut bahagia oleh Acong. Mereka membantu memasang dan menghias berbagai ornamen Imlek seperti lampion dan pohon bambu. Tokoh Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi digambarkan sebagai warga yang dekat dengan orang yang berbeda etnis dan tidak se-agama. Selesai memasang ornamen Imlek, mereka di jamu oleh keluarga Wan Wan. Bahkan keluarga ini memberikan imbalan kepada mereka sebagai bentuk menghargai Mali, Tarmiji, hansip Syape’i dan Romi yang sudah membantu keluarganya menghias rumah. Mali dan Tarmiji menerima pemberian amplop dari Leny istri Wan Wan, karena di sisi lain sikap Mali dan Tarmiji membantu keluarga Wan Wan karena ingin mendapatkan imbalan. 56 Berbeda dengan Syape’i dan Romi yang menolak pemberian dari Leny. Hal tersebut terlihat dari perkataan hansip Syape’i: “Ndak usah Ci Leny, terima kasih. Maaf bukannya kami ndak mau trima, tapi kami membantu ini dengan tulus kok”. Yang kemudian diperjelas dengan jawaban Romi: “Iya, kami ikhals Ci”. Dialog tersebut menggambarkan bahwa tokoh Syape’i dan Romi yang memiliki rasa toleransi. Dimana tokoh Syape’i dan Romi yang digambarkan pada sinetron ini memiliki jiwa sosial yang tinggi terhadap keluarga Wan Wan meskipun bebeda etnis dan agama dengan kesediaan mereka membantu persiapan Imlek keluarga tersebut. Alur yang ditampilkan pada scene ini terlihat dari salah satu wujud nilai sosial yang dilakukan hansip Syape’i dan Romi yakni dengan tulus dan ikhlas membantu menghias rumah keluarga Wan Wan yang akan merayakan tahun baru Imlek. Tabel 4.4 Isi (scene 35) Durasi Keterangan 01:27:55 (Cuplikan dialog yang dilakukan Wan Wan, H. Muhidin, dan Ki Dawud pada scene 35) Wan Wan : Sebelumnya saya minta maaf pak haji sama semua 57 yang ada disini. Saya mohon bicara sebentar. Ki Dawud : Iya silahkan aja ngomong…. H. Muhidin: Iya silahkan…. Wan Wan : Begini, menyambut perayaan Imlek, saya mau minta ijin untuk merayakan pertunjukkan barongsai di rumah saya. H. Muhidin : (dengan nada marah) Kagak bisa!!! Enak aja mau ngadain gituan!! Wan Wan : Jadi? Gak boleh pak haji? Waduh gimana ya, Kebetulan saya sudah terlanjur memesan barongsainya. Ki Dawud : Eh Din, lo harus kasih ijin. Emang kenape sih kagak boleh? Itu kan hak nye dia, mau bikin acara menyambut perayaan hari besarnye dia. Kalo lo kagak kasih ijin, gue tambahin hukuman lo, mau? Si Acong kan temen gue. H. Muhidin : Iye be, aye ijinin deh. Tapi inget ye jaga keamanannye! Ki Dawud : Nah begitu dong, sekali-sekali biar warga kampung lo nonton barogsai dari deket,kan selama ini nonton dari filmfilm sama di TV-TV deh. Cong, Wan Wan, gak pape gua tanggung jawab. H. Muhidin :Iye be, ini aye juga kasih ijin, Cuma kasih taunya dadakan. Besok lagi kalo kasih tau jangan dadakan ye? Wan Wan : Iya, makasih pak haji RW. Acong : Kamsiya, makasih pak haji RW. Isi dari scene ini menceritakan tentang suasana ketika keluarga Wan Wan datang ke rumah H. Muhidin selaku ketua RW di kampung tersebut untuk meminta ijin. Dalam kunjungannya ke rumah pak RW, Wan Wan mengutarakan maksud kedatangannya 58 dengan keluarga adalah untuk meminta ijin menyelenggarakan pementasan barongsai pada peryaan tahun baru Imlek. Mendengar maksud keluarga Wan Wan berkunjung ke rumahnya meminta ijin untuk mengadakan pementasan barongsai, H. Muhidin menjawab dengan nada marah dan tidak memberikan ijin. Suasana berubah menjadi hening ketika H. Muhidin tidak memberikan ijin, Wan Wan dan keluarganya pun terlihat bingung karena sudah terlanjur memesan barongsai. Maksud dari Wan Wan dan keluarganya menemui H. Muhidin, selain meminta ijin juga menunjukkan etika keluarga Wan Wan menghormati H. Muhidin selaku ketua RW dilingkungan tempat tinggalnya. Jika maksud kedatangan keluarga Wan Wan selain meminta ijin menyelenggarakan pementasan sebagai bagian dari perayaan Imlek keluarga tersebut, tetapi juga sebagai pemberitahuan. Dalam cuplikan dialog di atas, Ki Dawud menegur H. Muhidin yang memberikan penjelasan, jika rencana keluarga Wan Wan ingin mengadakan pementasan barongsai merupakan hak mereka sebagai wujud memperingati hari besarnya. Sikap Ki Dawud yang berusaha memberikan penjelasan kepada H. Muhidin, juga menunjukkan betapa dia menghargai hak-hak keluarga Wan Wan sebagai warga yang berketurunan Tionghoa dan beragama Khonghuchu yang akan merayakan Imlek. Dengan teguran Ki Dawud tersebut, akhirnya H. Muhidin memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan menyelenggarakan pementasan barongsai. Hal tersebut membuat lega dan bahagia keluarga Wan Wan karena akhirnya mendapat ijin menyelenggarakan pementasan barongsai di kampung yang masyarakatnya beragama Islam. 59 Alur yang ditampilkan pada scene ini terlihat dari tokoh Ki Dawud digambarkan sebagai seseorang yang dekat dengan keluarga Acong yang berbeda etnis dan agama. Salah satu bentuk sikap toleransi Ki Dawud adalah bersedia bertanggung jawab atas acara pementasan barongsai yang diselenggarakan keluarga Acong. Dengan sikap tersebut menunjukkan bahwa sosok Ki Dawud dalam sinetron ini merupakan masyarakat dan umat Islam yang baik dan memiliki rasa toleransi yang tinggi. Tabel 4.5 Isi (scene 39) Durasi Keterangan 01:38:34 (Cuplikan dialog yang dilakukan Ki Dawud dan Acong pada scene 39) Ki Dawud : Waduh, udah rapi ni Cong? Acong : Iya pak mandor, kita mau ke klenteng. Maklum kampung ini nggak ada klentengnya. Ki Dawud : Emang kagak ada disini. Ngomong-ngomong kompak banget pake baju merah-merah. Yang semangat ye tahun baru Imlek. Acong : Oh iya pak mandor, jangan lupa ntar siang kesini ya? 60 Ada itu, pementasan Barongsai. Ki Dawud : Tenang Cong! Insyaallah gua bakal dateng deh, gua pengen liat Barongsai dari deket. Acong : Kamsiya, terima kasih ya… Isi dari scene diatas menceritakan tentang suasana perayaan tahun baru Imlek keluarga Wan Wan. Dialog tersebut terjadi ketika keluarga Wan Wan akan pergi ke klenteng untuk beribadah. Ki Dawud dan Roby yang kebetulan melewati rumah keluarga Acong, mereka menyapa dan memberikan semangat kepada keluarga tersebut dalam merayakan Imlek. Mendapat semangat dari temannya yang beragama Islam tentunya membuat Acong dan keluarganya merasa bahagia. Acong mewakili keluarganya mengucapkan terima kasih atas semangat yang diberikan Ki Dawud dan Roby kepada keluarga mereka. Acong juga mengundang Roby dan Ki Dawud dengan mengingatkan mereka untuk hadir pada pementasan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarganya. Undangan dari keluarga Acong disambut baik oleh Ki Dawud dengan kesediaannya akan hadir menonton pementasan barongsai. Pemberiaan semangat dan kesediaan hadir dalam pementasan barongsai oleh Ki Dawud sebagai umat Islam ini menunjukkan bahwa adanya hubungan toleransi antara umat Islam terhadap keluarga yang beragama Khonghuchu yang merayakan tahun baru Imlek. 61 Tabel 4.6 Isi (scene 41) Durasi Keterangan 01:40:38 (Cuplikan dialog yang dilakukan H. Muhidin dan Mahmud pada scene 41) H. Muhidin : Kayak anak kecil aja lu pada!! Mahmud : Eh Bang, eh kampung kita belum pernah ada pementasan Barongsai. Baru sekarang nih, rugi kalo kagak nonton, ikut nonton kagak? H. Muhidin :Kagak ah, kaki gua juga masih sakit, yang ada ntar diinjek-injek. Rumanah, Roby, Ki Dawud, Nini : Assalamuallaikum… H. Muhidin : Nah ini lu juga pada mau kmana sih? Ki Dawud : Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape? Rumanah : Abah gak mau ikut? H. Muhidin : Kagak, kagak penting nonton begituan rum, udah sono kalu mau pergi. Rumanah: Kami pergi ya bah, assalamuallaikum. Tidak lama kemudian, Ustad Zakaria, Umi Zakaria, dan Riyamah lewat depan toko H. Muhidin hendak ke rumah keluarga Wan Wan 62 01:41:23 (Cuplikan dialog yang dilakukan H. Muhidin dan ustad Zakaria pada scene 41) Ustad Zakaria : Assalamualaikum, pak Haji…. Riyamah, Umi Zakaria : Assalamualaikum… H. Muhidin : Waalaikumsalam…. Ustad Zakaria : Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton barongsai? H. Muhidin : Kagak pak ustad, eh Ini mamah ngomong-ngomong mau nonton barongsai juga? Riyamah : Iya pak Haji…. H. Muhidin : (hening) Ustad Zakaria : Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak? H. Muhidin : Oh jelas dong, ikut dong! Kan aye ketua RW, Acong sama Wan Wan aje ngundang saya secara khusus. Pak ustad, tunggu sebentar ye? Mamah tunggu ye? 63 Isi dari scene diatas menceritakan tentang para warga yang akan pergi ke rumah keluarga Wan Wan untuk menonton barongsai. Terlihat Mahmud dan keluarganya yang bersemangat untuk menonton pementasan barongsai. Ketika melewati depan toko H. Muhidin, dia berkata “Kayak anak kecil aja lu pada!!”. Mendengar perkataan H. Muhidin tersebut, Mahmud memberikan jawaban jika di kampungnya baru pertama kali ada pementasan barongsai dan rugi jika tidak menonton. Dari jawaban Mahmud tersebut, kehadirannya untuk menonton pementasan barongsai sebagai bentuk menghormati perayaan imlek yang dirayakan oleh keluarga Wan Wan. Mahmud juga mengajak H. Muhidin untuk menonton pementasan barongsai namun ditolaknya. Beberapa saat kemudian Ki Dwaud, Nini, Roby, dan Rumanah juga pergi ke rumah keluarga Wan Wan untuk menonton pementasan barongsai. Melihat keluarga, H. Muhidin menanyakan mereka akan pergi kemana. Kemudian di jawab oleh Ki Dawud “Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape?”. Sikap yang ditunjukkan oleh Ki Dawud, Nini, Roby dan Rumanah datang ke rumah keluarga Acong menunjukkan jika mereka sebagai non Tionghoa sama halnya dengan Mahmud dan keluarganya yaitu menghormati dan menghargai acara pementasan barongsai sebagai bagian dari perayaan Imlek yang dirayakan oleh keluarga Acong. Tidak beberapa lama setelah keluarga Mahmud, Ki dawud, Nini, Roby, dan Rumanah pergi ke rumah Acong, keluarga ustad Zakaria dan Riyamah melewati toko H. Muhidin. Mereka juga hendak pergi ke rumah keluarga Acong untuk menonton pementasan barongsai. Melihat H. Muhidin di depan tokonya dan terlihat sedang melamun ustad Zakaria menyapa H. Muhidin dengan salam. Kemudian ustad Zakaria mengajak H. Muhidin 64 menonton pementasan barongsai yang terlihat pada dialog: “Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak?”,yang kemudian dijawab H. Muhidin dengan bersemangat “Oh jelas dong, ikut dong! Kan aye ketua RW, Acong sama Wan Wan aje ngundang saya secara khusus. Pak ustad, tunggu sebentar ye? Mamah tunggu ye?”. Dari dialog tersebut terlihat, jika sebelumnya H. Muhidin tidak mau datang ke rumah keluarga Acong, karena ada Riyamah perempuan yang disukainya, akhirnya dia memutuskan untuk ikut rombongan ustad Zakaria pergi ke rumah keluarga Acong menyaksikan pementasan barongsai. Selain karena Riyamah, sikap yang ditunjukkan H. Muhidin juga untuk menghargai undangan keluarga Acong yang secara khusus mengundangnya selaku ketua RW di kampung tersebut. Kesediaan keluarga ustad Zakaria hadir ke rumah keluarga Acong menunjukkan sikap sebagai anggota masyarakat dan umat Islam yang menghormati keluarga Acong yang pada saat hari tersebut merayakan tahun baru Imlek dan menghargai kebudayaan keluarga Acong yaitu budaya Cina dengan menonton pementasan barongsai yang diselenggarakan. Berdasarkan dari uraian diatas menampilkan alur sikap menghormati masyarakat yang beragama Islam terhadap etnis Tionghoa yang merayakan Imlek, ditunjukkan dengan menghadiri acara yang diselenggarakan yaitu pementasan barongsai sebagai tradisi etnis Tionghoa sebagai wujud toleransi. 65 Tabel 4.7 Isi (scene 42) Durasi Keterangan (Cuplikan gambar pementasan barongsai, scene 42) (Cuplikan dialog yang dilakukan Tarmiji dan Acong pada scene 42) Tarmiji : Gong Xi Fa Chai Acong :Eh, terima kasih ya. Doain keluarga gue awet, sukses merayakan Imlek ini! Tarmiji : Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin banyak. Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai Mali : (bersalaman dengan keluarga Wan Wan) Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai 66 Isi dari scene 42, melalui visualisasi gambar disuguhkan tentang pementasan barongsai di rumah keluarga Wan Wan. Pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga beretnis Tionghoa tersebut terlihat sangat meriah. Seluruh warga yang mayoritas beragama Islam ikut berpartisipasi dengan hadir ke rumah keluarga Wan Wan dan menyaksikan pertunjukkan barongsai. Terlihat para warga terhibur dan senang dengan acara yang disuguhkan oleh keluarga Wan Wan, karena pertunjukkan barongsai baru pertama kali diselenggarakan di kampung tersebut. Sikap yang ditunjukkan oleh seluruh warga dengan hadir di acara acara tersebut yang merupakan bagian dari perayaan Imlek etnis Tionghoa menggambarkan jika berbeda etnis, budaya dan agama tetapi dapat hidup berdampingan dan harmonis dengan saling menghormati. Setelah pementasan barongsai selesai, diceritakan mengenai keluarga Acong yang membagikan angpau kepada para warga setelah pementasan barongsai selesai. Seperti yang dapat diketahui jika perayaan Imlek identik dengan pembagian angpau oleh orangorang berketurunan Tionghoa. Terlihat para warga dengan antusias mengantri untuk mendapatkan angpau. Ketika Tarmiji menerima angpau dia juga mengucapakan “Gong Xi Fa Chai” kepada keluarga Acong.Ucapan “Gong Xi Fa Chai” merupakan ucapan pada perayaan tahun baru Imlek. Keluarga Acong terlihat sangat senang dengan ucapan yang diberikan Tramiji dan meminta doa agar keluarganya awet serta sukses dalam merayakan Imlek. Yang kemudian dijawab oleh Tarmiji pada dialog berikut: “Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin banyak. Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai”. Sikap yang ditunjukkan Tarmiji sebagai umat Islam, merupakan bentuk menghormati dan 67 menghargai keluarga Acong yang merayakan Imlek. Tidak hanya Tramiji, Mali juga mengucapakan“Gong Xi Fa Chai” kepada keluarga Acong. Memberikan ucapan selamat tahun baru dan mendoakan keluarga Acong menunjukkan adanya sikap toleransi dan menghargai perbedaan baik etnis, budaya, dan agama. 4. Penutup Tabel 4.8 Penutup Durasi Keterangan 02:05:36 (Cuplikan dialog yang dilakukan H. Muhidin dan Rumanah pada scene 50) H. Muhidin : Assalamualaikum…. Rumanah, Roby : Waalaikumsalam….. H. Muhidin : Wah udah pulang seneng-seneg yah? Anak jaman sekarang bukannya banyak istighfar, dzikir, sholat, eh hobinya seneng-seneng doang, kalo ada tontonan heboh, pengen nonton terus. Rumanah : Bah, abah kenapa sih suka banget berprasangka yang enggak-enggak dari dulu? Kenapa sih bah? Lagian kan 68 apa yang kita lakuin tadi juga gak dosa, nggak menyebabkan kemusyrikan kan? Karena itu semua sifatnya hanya hiburan semata bah. H. Muhidin : Yaa.. tapi baiknya itu kan tenang di rumah. Kesana itu kagak ada manfaatnya nonton begituan. Rumanah : Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka punya kebahagiaan sendiri bah. H. Muhidin :Ah sok tau lu… Rumanah : Ya… Rum bukan sok tau bah. Ya udah terserah deh bah kalo abah nilainya seperti itu, yang jelas kedatangan kita tadi tujuannya baik. Bagian penutup dari sinetron ini menjelaskan tentang maksud kedatangan Rumanah dan Roby di rumah keluarga Acong, yang menurut H. Muhidin anak sekarang heboh jika ada tontonan dan menonton pementasan barongsai tidak ada manfaatnya. Perbedaan pendapat terjadi diantara Rumanah dengan H. Muhidin mengenai pandangan mereka menonton pementasan barongsai di rumah keluarga Acong. Pernyataan dari Rumanah yang mengatakan “Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka punya kebahagiaan sendiri bah”. Rumanah menjelaskan kepada Abahnya jika tujuannya dengan Roby menonton barongsai sebagai bentuk menghormati keluarga Acong yang merayakan tahun baru Imlek karena menonton pementasan barongsai sifatnya sebagai hiburan yang tidak menimbulkan dosa dan kemusyrikan. Alasan lain juga dijelaskan 69 Rumanah kepada Abahnya, mengenai kedatangannya dengan Roby dan juga para warga lain tentunya juga akan memberikan kebahagiaan tersendiri bagi keluarga Acong yang merupakan satusatunya keluarga yang berketurunan Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu di kampung tersebut. Sikap yang ditunjukkan oleh Rumanah dan Roby hadir ke rumah keluarga Acong tidak hanya sekedar menonton pementasan barongsai saja, melainkan juga menghargai budaya keluarga Acong sebagai etnis Tionghoa. Selain itu juga sebagai bentuk diterimanya barongsai sebagai budaya China/ Tionghoa di tengahtengah masyarakat yang beragama Islam. Berdasarkan analisa peneliti pada superstruktur, alur teks pada sinetron mengenai konsep Imlek yaitu menayangkan toleransi masyarakat yang beragama Islam terhadap perayaan tahun baru Imlek etnis Tionghoa. Dalam menyuguhkan toleransi antar suku dan umat beragama, hampir seluruh tokoh sinetron ini menunjukkan sikap toleransinya yang ditunjukkan dengan berbagai bentuk. Strategi tersebut menekankan wacana mengenai masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, serta agama sebagai upaya mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan multikultural. Alur pada sinetron ini menempatkan barongsai sebagai budaya yang penting sebagai bagian dari perayaan Imlek oleh sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series pada episode 439-441 sebagai media, barongsai bukan lagi hal yang dilarang seperti masa Orde Baru. Pengemasan pertunjukkan barongsai sebagai wujud kebebasan bagi etnis Tionghoa dalam melestarikan dan mengekspresikan budaya Tionghoanya. 70 Pada bagian isi sinetron merupakan penggambaran sikap toleransi antar suku dan umat beragama masyarakat yang beragama Islam terhadap perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh salah satu keluarga yang beretnis Tionghoa. Pada beberapa scene, bagian isi digambarkan secara detil mengenai sikap toleransi, baik membantu persiapan Imlek dan memberikan ijin menyelenggarakan pertunjukkan barongsai sebagai adat istiadat etnis Tionghoa saat tahun baru Imlek, menghormati dan menghargai keluarga etns Tionghoa yang akan beribadah ke klenteng, serta menghadiri acara yang untuk menonton pertunjukkan barongsai sebagai bagian dari perayaan tahun baru Imlek keluarga tersebut. Sedangkan pada bagian penutup menjelaskan bahwa sikap toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat Islam terhadap perayaan Imlek sesuai dengan batasan dari ajaran agama. 4.3.1.3 Analisis Struktur Mikro Struktur mikro merupakan makna lokal dari suatu teks yang dapat di amati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks. Dalam struktur mikro ini akan terlihat bagaimana sesungguhnya makna lokal yang ingin dibangun dalam sinetron ini. Penulis akan mengamati beberapa scene yang menjadi objek kajian dalam struktur ini. Berikut analisis struktur mikro sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 39-440-441. a. Scene 12 dan 16 Dalam scene 12 dan 16 menggambarkan kesediaan Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi membantu persiapan Imlek keluarga Wan Wan, membawa suatu pemahaman mengenai penerimaan dan dukungan terhadap perayaan tahun baru Imlek keluarga etnis Tionghoa. Sikap Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi sebagai pemeluk Islam yang bersedia membantu berbeda motif dan tujuan; Mali dan 71 Tramiji membantu keluarga Wan Wan karena berharap ada imbalan upah yang diterima, sedangkan Syape’i dan Romi membantu dengan niat tulus dan ikhlas untuk keluarga Wan Wan dalam penyelenggaraan perayaan tahun baru Imlek. Sebagai penerimaan dan dukungan dapat dilihat dari beberapa adegan Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi pada scene 12 dan 16 seperti analisa berikut ini. Scene 12 Syape’i : Eh selamat siang babah Acong, koh Wan Wan, ci leny, ngomong-ngomong ini kok pada penuh? Dari mana mau kemana to? Acong : Yah biasa…habis belanja keperluan Imlek Syape’i : Waaahh Gong Xi Fa Chai? Kalo begitu pasti ada yang bisa saya bantu dong nanti buat acara Imlek? Makna yang ingin ditampilkan scene 12 episode 439-441 sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series adalah menggambarkan interaksi harmonis antara warga beretnis Tinghoa yang akan merayakan Imlek dengan masyarakat yang beragama Islam. Penempatan kalimat yang menjelaskan bahwa tokoh Syape’i dan Romi bersedia membantu keluarga Acong untuk acara Imlek, memberikan asumsi bahwa perayaan Imlek mendapat sambutan yang baik di lingkungan tempat tinggal keluarga Acong yang mayoritas menganut agama Islam. Kalimat tersebut memberi gagasan bahwa etnis Tionghoa membaur dengan masyarakat yang berbeda suku serta agama. Berdasarkan uraian scene 12, peneliti dapat menganalisa bahwa cuplikan dialog diatas mengarah pada wacana yang dibangun mengenai dukungan dan penerimaan etnis Tionghoa dan beragama Khonghuchu oleh masyarakat khususnya yang beragama Islam. Disisi lain, sinetron ini secara tidak langsung melalui wacana 72 yang dibangun tersebut memberikan gambaran bagi masyarakat mengenai suatu hubungan interaksi harmonis antar suku dan antar agama untuk mengajarkan pentingnya menghargai dan menghormati meskipun terdapat banyak perbedaan. Selain itu, penggunaan kata “Gong Xi Fa Chai” pada awal cerita tentunya dibuat dengan tujuan tertentu, termasuk untuk membangun pemahaman mendasar tentang topik yang akan disampaikan. Hal tersebut menjelaskan bahwa keluarga beretnis Tionghoa tersebut akan merayakan tahun baru Imlek. Scene 16 Tarmiji : Wah koh, kayaknya lagi banyak kerjaan nih? Acong : (sambil tersenyum) biasa kan mau imlek. Mali : Maaf koh, kira-kira perlu bantuan gak? Acong : Boleh, kalo mau bantu. Oek sangat senang, ayo silahkan. Syape’i : Waduh udah pada sibuk aja nih? Bapak Acong, saya bantu ya? Acong : Iya, boleh-boleh ayo! Ayo silahkan ayo. Dari scene 16, makna yang ingin ditampilkan yaitu bahwa perayaan Imlek keluarga Acong juga disambut bahagia oleh masyarakat tempat tinggalnya, meskipun mereka tidak merayakan Imlek. Terlihat dengan kesediaan tokoh Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi membantu menghias rumah dalam keluarga Acong, membawa suatu pemahaman bahwa masyarakat yang tidak merayakan Imlek ikut merasakan kemeriahan tersebut. Sikap yang ditunjukkan Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi dalam membantu persiapan Imlek keluarga Acong merupakan bukti bahwa sebagai anggota masyarakat muslim mengamalkan ajaran agama mengenai toleransi dengan sikap dan perilakunya terhadap warga non muslim. Terlebih seperti apa yang dilakukan oleh Syapei 73 dan Romi membantu dengan niat tulus dan ikhlas seperti yang terlihat dalam scene 16 ketika keluarga Acong memberikan imbalan dalam membantu persiapan perayaan Imlek, namun ditolak oleh mereka yang terlihat pada teks kalimat Syape’i: “Ndak usah Ci Leny, terima kasih. Maaf bukannya kami ndak mau trima, tapi kami membantu ini dengan tulus kok”. Yang kemudian diperjelas dengan jawaban Romi: “Iya, kami ikhals Ci”. Berdasarkan analisa peneliti, pada scene 16 memberikan makna mengenai ketulusan dalam membantu, sebagai bentuk sikap toleransi terhdap etnis Tionghoa meskipun berbeda latar belakang baik suku, agama, dan budaya. b. Scene 35 dan 39 Scene 35 Wan Wan : Sebelumnya saya minta maaf pak Haji, sama semua yang ada disini. Saya mohon bicara sebentar. Ki Dawud : Iya silahkan aja ngomong…. H. Muhidin: Iya silahkan…. Wan Wan : Begini, menyambut perayaan Imlek, saya mau minta ijin untuk merayakan pertunjukkan barongsai di rumah saya. H. Muhidin : (dengan nada marah) Kagak bisa!!! Enak aja mau ngadain gituan!! Wan Wan : Jadi? Gak boleh pak haji? Waduh gimana ya, Kebetulan saya sudah terlanjur memesan barongsainya. Dari cuplikan dialog diatas dapat dilihat bahwa tujuan keluarga Wan Wan selain meminta ijin juga sebagai pemberitahuan kepada H. Muhidin yang menjabat sebagai ketua RW di kampung tersebut, bahwa keluarga Wan Wan akan mengadakan pementasan barongsai saat perayaan tahun baru Imlek. 74 Berdasarkan analisa peneliti pada dialog yang diugkapkan oleh tokoh Wan Wan diatas memberikan makna, bahwa keluarga Wan Wan sebagai masyarakat minoritas menunjukkan etika dengan meminta ijin dan pemberitahauan mengenai pementasan barongsai yang akan diselenggarakan sebagai bentuk menghormati ketua RW yaitu H. Muhidin. Hal tersebut membawa suatu pemahaman bahwa nilai-nilai etika merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena manusia sebagai makhluk sosial akan selalu bersinggungan dengan manusia lain. Ki Dawud : Eh Din, lo harus kasih ijin. Emang kenape sih kagak boleh? Itu kan hak nye dia, mau bikin acara menyambut perayaan hari besarnye dia. Kalo lo kagak kasih ijin, gue tambahin hukuman lo, mau? Si Acong kan temen gue. Wacana yang ingin ditampilkan yaitu sikap toleransi yang ditunjukkan Ki Dawud, salah satu sikapnya yang mencerminkan toleransi terlihat pada kalimat yang terdapat scene 35 ketika Ki Dawud menegur dan akan menambah hukuman H. Muhidin agar keluarga Wan Wan diberikan ijin menyelenggarakan pertunjukkan barongsai saat perayaan Imlek. Sikap yang ditunjukkan oleh Ki Dawud mengungkapkan bahwa perayaan Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu merupakan hak mereka dalam menyelenggarakan perayaan hari besar. Berdasarkan analisa peneliti pada dialog diatas membawa suatu pemahaman, jika perayaan Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa sebagai kaum minoritas di Indonesia perlu diberikan kebebasan sebagai bentuk hak asasi manusia. 75 Dalam setiap agama mengajarkan akan pentingnya toleransi, begitu juga dalam ajaran Islam. Hal tersebut terlihat jelas pada Qs. Al-hujarat: 13 (Al-Quran dan terjemahannya: 517), yang menerangkan bahwa Tuhan menghendaki penciptaan manusia beragam. Keberagaman sengaja diciptakan sebagai media untuk saling mengenal, berdialog, dan kerjasama. Karena dengan saluran saling mengenal, kedamaian dan ketentraman, di alam dunia ini. Dalam konteks sinetron ini, ditampilkan sikap toleransi seperti yang terlihat pada tokoh Ki Dawud dengan menghormati dan menghargai keluarga Acong yang akan beribadah ke klenteng saat perayaan tahun baru Imlek, walaupun di kampung tersebut tdak terdapat klenteng, hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga Acong merupakan warga minoritas. Seperti yang dipaparkan dalam scene 39, tokoh Ki Dawud memberikan semangat kepada keluarga Acong dalam merayakan Imlek sebagai bentuk toleransi. Dalam pemilihan kata dan kalimat yang diproduksi pada sinetron ini memberikan detil mengenai toleransi seperti yang diungkapkan tokoh Ki Dawud dalam kalimat “emang kagak ada disini. Ngomong-ngomong kompak banget pake baju merah-merah. Yang semangat ye tahun baru Imlek” terhadap keluarga Acong. Kalimat tersebut memiliki maksud dan mengarah pada suatu pemahaman bahwa perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh kaum minoritas di tengah-tengah masyarakat mayoritas merupakan bentuk diterima dan didukungnya perayaan tersebut. Berdasarkan uraian dari cuplikan dialog diatas, peneliti berkesimpulan jika sinetron ini bermaksud menyampaikan pesan sosial dan membangun wacana toleransi bagi penonton terhadap kehidupan berbangsa dengan beragam suku, budaya, dan agama yang mengedepankan nilai toleransi antar sesama. 76 Adegan-adegan dalam scene 35 dan 39 yang telah diuraikan di atas memperkuat tema utama dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441, sehingga mudah untuk dipahami maksud dari sinetron tersebut. c. Scene 41 dan 42 Sinetron Tukang bubur Naik Haji the Series episode 439-441 mengusung tema Imlek melalui produksi pesan sosial pada tokohtokoh sinetron yang berlatar belakang agama Islam untuk mengarahakan masyarakat mengenai nilai toleransi dalam kehidupan berbangsa. Dengan mengangkat tema tentang perayaan tahun baru Imlek dalam sinetron ini, merupakan bentuk menghargai tradisi dan kepercayaan masyarakat etnis Tionghoa sebagai bagian dari budaya Indonesia yang diterima oleh masyarakat. Penanaman nilai toleransi yang dikonstruksi pada sinetron ini, mengarahkan masyarakat agar tidak ada lagi sikap diskriminasi dan pembedaan terhadap suku, budaya, serta agama pada masyarakat minoritas seperti etnis Tionghoa. Hal tersebut terlihat pada beberapa adegan dalam sinetron yang dipaparkan berikut ini. Scene 41 Rumanah, Roby, Ki Dawud, Nini : Assalamuallaikum… H. Muhidin : Nah ini lu juga pada mau kmana sih? Ki Dawud : Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape? Rumanah : Abah gak mau ikut? H. Muhidin : Kagak, kagak penting nonton begituan rum, udah sono kalo mau pergi. Rumanah: Kami pergi ya bah, assalamuallaikum. H. Muhidin : Waalaikumsalam (kemudian H. Muhidin melamun) 77 Ustad Zakaria : Assalamualaikum, pak Haji…. Riyamah, Umi Zakaria : Assalamualaikum… H. Muhidin : Waalaikumsalam…. Ustad Zakaria : Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton barongsai? H. Muhidin : Kagak pak ustad, eh Ini mamah ngomong-ngomong mau nonton barongsai juga? Riyamah : Iya pak Haji…. H. Muhidin : (hening) Ustad Zakaria : Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak? H. Muhidin : Oh jelas dong, ikut dong! Kan aye ketua RW, Acong sama Wan Wan aje ngundang saya secara khusus. Pak ustad, tunggu sebentar ye? Mamah tunggu ye? Pemilihan kalimat dalam scene 41, menggambarkan para warga yang mayoritas muslim berbondong-bondong datang ke rumah keluarga Wan Wan untuk menonton pertunjukkan barongsai, menunjukkan adanya toleransi yang terlihat pada kesediaan dan partisipasi mereka datang menonton pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga Wan Wan sebagai bagian dari perayaan tahun baru Imlek, hal teresbut memberikan makna jika perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa juga dirasakan dengan sikap senang menonton barongsai oleh masyarakat non Tionghoa terlebih tontonan tersebut baru pertama kali diselenggarakan dikampungnya. Selain menghormati perayaan keluarga beretnis Tionghoa yang di lingkungan tersebut, pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan juga sebagai media hiburan bagi para warga yang beragama lain. Berdasarkan dari analisa peneliti, scene 41 menjelaskan bahwa perayaan Imlek mendapat dukungan dari masyarakat sebagai bentuk tidak adanya pembedaan bagi etnis Tionghoa dan beragama 78 Khonghuchu sebagai etnis dan agama minoritas. Selain memberikan arahan nilai sosial bagi penonton atau pemirsa juga untuk dapat menghargai budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari kekayaan budaya Bangsa Indonesia. Dalam pemaparan lain, terlihat bagaimana hasil pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga Wan Wan terhadap masyarakat, yaitu hubungan yang harmonis antar etnis dan agama. Rasa ketertarikan yang ditunjukkan masyarakat beragama Islam terhadap pertunjukkan barongsai memberikan keuntungan tersendiri bagi keluarga beretnis Tionghoa yaitu rasa senang dan bahagia karena keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat dilingkungannya. Perwujudan toleransi masyarakat yang beragama Islam dilakukan sebagai bukti dalam kerangka hubungan sosial, diperlukan sikap toleransi tanpa memandang suku, budaya, dan agama. Disisi lain kehadiran masyarakat menonton pertunjukkan barongsai menunjukkan adanya hubungan harmonis yang terjalin dan memberikan keuntungan bagi etnis Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan Tionghoanya dan sebagai media untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa barongsai merupakan kebudayaan etnis Tionghoa. Barongsai yang di kemas dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 ditempatkan sebagai bagian yang penting dalam perayaan tahun baru Imlek. hal tersebut menunjukkan bahwa barongsai tidak lagi dianggap sebagai budaya etnis Tionghoa yang dilarang seperti yang selama ini diberlakukan pada masa pemerintahan presiden Soeharto yang melarang berbagai hal berbau Tionghoa. Sehingga pertunjukkan barongsai tidak lagi dianggap sebagai suatu hal yang dilarang, bahkan sekarang ini 79 kebudayaan etnis Tionghoa tersebut diterima oleh masyarakat dari berbagai suku dan agama. Scene 42 Tarmiji : Gong Xi Fa Chai Acong :Eh, terima kasih ya. Doain keluarga gue awet, sukses merayakan Imlek ini! Tarmiji : Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin banyak.Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai Mali : (bersalaman dengan keluarga Wan Wan) Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai Penggunaan kata ”Gong Xi Fa Chai” pada dialog scene 42 mengarah pada pesan mengenai ucapan pada perayaan Imlek. Hal tersebut pula yang terlihat pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 yang diucapkan tokoh Mali dan Tarmiji kepada keluarga Acong. Dari cuplikan dialog pada scene 42 diatas memberikan makna adanya toleransi masyarakat yang beragama Islam terhadap keluarga beretnis Tionghoa sebagai minoritas yang merayakan tahun baru Imlek. Berdasarkan dari analisa peneliti, penggunaan kata “Gong Xi Fa Chai“ yang biasa diberikan oleh masyarakat selama ini, hanya bersifat ikut-ikutan. Karena penggunaan kata selamat tanpa pemahaman mengenai arti kata”Gong Xi Fa Chai” sebagai ucapan selamat tahun baru Imlek. Sebenarnya arti dari kata “Gong Xi Fa Chai” sendiri yaitu “selamat semoga murah rezeki”. Kebiasaan memberikan ucapan tersebut, selama ini digunakan oleh masyarakat non etnis Tionghoa dalam memberikan ucapan selamat kepada etnis Tionghoa pada perayaan tahun baru Imlek. Tetapi sebenarnya “Gong Xi Fa Chai” bukanlah ucapan yang berkaitan langsung dengan tahun baru, karena ucapan yang tepat adalah “Xin Nien 80 Kuai Lok” yang artinya selamat tahun baru. Ucapan pada perayaan Imlek lebih lengkapnya “Gong Xi Fa Chai, Xin Nien Kuai Lok” yang berarti “selamat semoga murah rezeki dan selamat tahun baru”. Tetapi penggunaan “Gong Xi Fa Cahi” dalam cerita ini bermaksud memberikan makna pesan bahwa agama Islam memiliki sikap toleransi terhadap etnis Tionghoa dengan mengucapkan kalimat tersebut. d. Scene 50 H. Muhidin : Assalamualaikum…. Rumanah, Roby : Waalaikumsalam….. H. Muhidin : Wah udah pulang seneng-seneg yah? Anak jaman sekarang bukannya banyak istighfar, dzikir, sholat, eh hobinya seneng-seneng doang, kalo ada tontonan heboh, pengen nonton terus. Rumanah : Bah, abah kenapa sih suka banget berprasangka yang enggak-enggak dari dulu? Kenapa sih bah? Lagian kan apa yang kita lakuin tadi juga gak dosa, nggak menyebabkan kemusyrikan kan? Karena itu semua sifatnya hanya hiburan semata bah. H. Muhidin : Yaa.. tapi baiknya itu kan tenang di rumah. Kesana itu kagak ada manfaatnya nonton begituan. Rumanah : Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka punya kebahagiaan sendiri bah. H. Muhidin : Ah sok tau lu… Rumanah : Ya… Rum bukan sok tau bah. Ya udah terserah deh bah kalo abah nilainya seperti itu, yang jelas kedatangan kita tadi tujuannya baik. 81 Berdasarkan penggunaan kalimat dalam scene 50, peneliti menganalisa bahwa cuplikan dialog pada tokoh Rumanah, membawa suatu pemahaman tentang makna toleransi antar etnis dan agama. Atas dasar hubungan sosial, ditunjukkan sikap toleransi dengan mengahdiri pertunjukkan barongsai yang merupakan bagian dari perayaan Imlek. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk empati dan penghormatan dari masyarakat yang beragama Islam terhadap perayaan Imlek etnis Tionghoa sebagai warga minoritas di lingkungan mereka. Selain itu menonton barongsai juga tidak menimbulkan dosa menurut ajaran agama Islam, karena hanya bersifat hiburan saja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada struktur mikro, peneliti menganalisa bahwa secara keseluruhan, dari semua teks dalam sinetron episode 439-441 menampilkan pesan sosial secara eksplisit. Dalam menampilkan teks tersebut mengesankan pada penonton untuk paham dan mengarahkan penonton mengenai makna pesan sosial yang disampaikan. Karena sinetron ini menggambarkan toleransi tidak hanya melalui dialog saja, namun juga menonjolkan melalui visual (gambar) sebagai pendukung isi pesan yang disampaikan. Dari seluruh uraian di atas, peneliti berkesimpulan bahwa dialog dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana mestinya. Sinteron ini menggunakan bahasa betawi dan sisipan bahasa mandarin pada beberapa tokoh yang mudah dimengerti dan dipahami. Dengan demikian meskipun menggunakan bahasa betawi dan sedikit bahasa mandarin, akan tetapi masih mudah dipahami oleh penonton dan lebih menekankan maksud dari sinetron, yang membedakan hanya gaya bicara dan intonasi. 82 4.3.2 Analisis Kognisi Sosial Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series di RCTI Episode 439-441 Pada analisis wacana model Van Dijk, analisis tidak hanya difokuskan pada teks semata, karena struktur wacana menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, membutuhkan analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, yaitu proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi pembuat teks dalam memproduksi suatu teks (Eriyanto, 2011:260). Analisis kognisi sosial dilakukan dalam sinetron ini untuk mengetahui kenapa penggambaran wacana toleransi cenderung seperti itu, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental penulis cerita dan skenario bagaimana struktur mental penulis cerita dan skenario ketika memahami hal tersebut. Pada proses terbentuknya teks mengenai pesan sosial, penulis cerita dan skenario memasukkan isu yang tengah berkembang di masyarakat mengenai perayaan tahun baru Imlek dengan memunculkan tokoh-tokoh berketurunan Tionghoa. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 berusaha untuk memberikan tontonan tentang toleransi yang dikemas secara menarik dengan nuansa religi yang sesuai dengan latar belakang sinetron ini yaitu religi Islam. Berdasarkan analisa peneliti, terbentuknya teks mengenai pesan sosial sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series ini, menceritakan kejadiankejadian seperti yang layaknya terjadi di kehidupan nyata. Seperti halnya yang terlihat pada episode 439-441, sinetron ini ingin menyampaikan pesannya didasarkan atas nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat. Penyampaian nilai 83 sosial dilakukan dengan menyajikan gambaran kepada penonton tentang bagaimana toleransi antar etnis dan antar umat beragama melalui episode ini. Bagaimana konsep toleransi antar etnis dan antar umat beragama dipahami, dimengerti, dan kemudian digambarkan ke dalam teks, tentunya hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti memasukkan informasi sebagai keperluan untuk menggambarkan nilai sosial. Dimana dalam analisa peneliti, penggambaran wacana toleransi pada sinetron ini dipahami sebagai bentuk mengajarkan ajaran agama Islam yaitu Nabi Muhammad SAW mengajarkan Islam sebagai agama kasih sayang dan menolak kekerasan yang dapat memicu konflik. Nabi juga melindungi minoritas dalam melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya (Spencer, 2003:226-228). Mengacu dari ajaran agama yang mengajarkan pentingnya toleransi, penggambaran bentuk toleransi pada sinetron ini terlihat pada sikap umat Islam kepada masyarakat beretnis Tionghoa dan beragama Khonghuchu, dengan menghormati dan menghargai perayaan Imlek seperti halnya dengan yang dimunculkan pada sinetron ini. Nilai sosial yang ditekankan dalam sinetron ini adalah nilai sosial yang mengandung penerapan sikap terhadap individu yang bernilai kebaikan dalam ruang lingkup hubungan antar manusia yang tercermin dalam sikap tokoh-tokoh sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441. Sementara itu terkait dengan bagaimana penulis cerita dan skenario memandang serta menggambarkan peran dan posisinya, sedikit banyak akan berpengaruh dalam cerita sinetron yang diproduksi. Berdasarkan analisa peneliti, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 dipandang sebagai bentuk representasi mental penulis cerita dan skenario dalam memandang toleransi. Bahwa toleransi antar etnis dan antar umat beragama merupakan ajaran agama yang harus diamalkan. Oleh karena itu Imlek yang kental dengan etnis Tionghoa menjadi konsep menarik bagi sinetron ini untuk 84 menyampaikan toleransi. Bahkan penayangan episode ini juga bertepatan dengan perayaan tahun baru Imlek 10 Februari 2013. 4.3.3 Analisis Konteks Sosial Sinetron TukangBubur Naik Haji The Series di RCTI Episode 439-441 Dimensi ketiga analisis wacana yang diungkapkan oleh Van Dijk adalah konteks sosial. Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang di masyarakat, sehingga untuk meneliti teks diperlukan analsis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal dipoduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Menurut Van Dijk dalam analisis mengenai masyarakat ada dua poin penting yaitu kekuasaan (power) dan akses (acess) (Eriyanto,2011:272). Dalam penelitian ini akan diuraikan penelitian bagaimana dimensi sosial masyarakat mampu menjawab wacana apa yang muncul dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 terkait wacana toleransi dengan konsep Imlek yang diangkat dalam sinetron ini. 1. Praktik kekuasaan Van Dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan yang dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik, kekuasaan dipahami oleh Van Dijk juga berbentuk persuasif, tindakan seseorang secara tidak langsung mengontrol dengan mempengaruhi kondisi mental seperti kepercayaan, sikap, dan pengetahuan (Eriyanto, 2011:272). Analisis wacana memberikan perhatian yang besar terhadap apa yang disebut sebagai dominasi, juga memberi perhatian atas produksi lewat legitimasi melalui bentuk kontrol pikiran. Secara umum dianalisis bagaimana proses produksi itu secara umum dipakai untuk membentuk kesadaran dan konsensus. 85 Seperti yang telah diuraikan oleh Van Dijk, kekuasaan dipahami juga berbentuk persuasif, tindakan seseorang secara tidak langsung mengontrol dengan mempengaruhi kondisi mental, tentu dalam kajian ini yang dimaksudkan adalah respon masyarakat yang dominan pemeluk agama Islam terhadap keberadaan keluarga yang beretnis Tionghoa sebagai penganut Konghuchu yang merayakan perayaan tahun baru Imlek. Dengan mengangkat konsep Imlek pada episode 439-441, memberikan gambaran kepada masyarakat, khususnya anggota masayarakat yang beragama Islam memandang pentingnya tentang toleransi didalam kehidupan bermasyarakat, dengan berbeda budaya, berbeda etnis, dan berbeda agama tetapi saling menghormati satu sama lain. Hal tersebut terlihat dari penggambaran perayaan Imlek dalam masyarakat di lingkungan tempat tinggal keluarga Wan Wan yang mayoritas pemeluk agama Islam, dimana dalam sinetron tersebut muncul sikap antusias masyarakat untuk membantu persiapan penyelenggaraannya maupun antusias di dalam menonton pertunjukkan barongsai. Sehingga sinetron ini menggambarkan bentuk toleransi dengan sikap dominasi masyarakat yang beragama Islam terhadap etnis Tionghoa yang merayakan Imlek sebagai minoritas. Hal tersebut dikarenakan ingin menekankan nilai-nilai sosial yang menyangkut toleransi bagi masyarakat khususnya yang beragama Islam untuk mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam hal bagaimana realisasi tentang toleransi. Disisi lain, kekuasaan yang terdapat pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 juga bersifat koersif. Komunikasi instruktif/ koersif adalah memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi (Widjaja, 2002:32). Koersif dapat berbentuk perintah atau instruksi. Akibat dari kegiatan koersif adalah perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku dengan perasaan terpaksa karena diancam, yang menimbulkan rasa tidak senang (Effendy, 2008:21). Dalam konteks sinetron, toleransi yang bersifat koersif terlihat pada tokoh H. Muhidin ketika mendapat tekanan dari Ki Dawud 86 untuk memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan menyelenggarakan pementasan barongsai untuk perayaan tahun baru Imlek. Tekanan Ki Dawud terhadap H. Muhidin dengan ancaman akan menambah hukuman jika tidak memberikan ijin. Hal tersebut menandakan bahwa sikap M. Muhidin memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan dengan perasaan terpaksa. Berdasarkan dari uraian diatas, konsep Imlek yang digambarkan pada episode 439-441 sebenarnya merupakan praktik kekuasaan media dalam memberikan pembelajaran kepada masyarakat mengenai pentingnya toleransi. Wacana yang ditekankan dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 sebagai upaya menumbuhkan rasa toleransi, menghargai, dan menghormati antar etnis dan antar pemeluk agama lain bagi masyarakat dan mengamalkan ajaran Islam. 2. Akses Atas Media Analisis wacana Van Dijk memberi perhatian yang besar pada akses, bagaimana akses di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempunyai akses pada media, dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses yang lebih besar tidak hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang dapat disebarkan dan di diskusikan kepada khalayak (Eriyanto, 2011:272). Akses yang lebih besar kan hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar tetapi juga menentukan topik pada isi wacana apa yang dapat disebarkan. Dari konsep perayaan tahun baru Imlek yang dikemas dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series, bahwa dari beberapa sinetron lainnya, disini peneliti mengkategorikannya sebagai sinetron bertema religi Islam, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series yang tayang di RCTI lah yang 87 mengemas tentang toleransi antar suku dan agama, melalui konsep perayaan tahun baru Imlek memberikan gambaran mengenai keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat yang mayoritas pemeluk agama Islam. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series melalui episode 439-441, memiliki ruang dan kesempatan untuk mengangkat konsep Imlek tentang toleransi antar suku dan agama. Sehingga dalam penyampaian pesannya pun cenderung menggambarkan tentang sikap toleransi ditunjukkan dengan kehidupan masyarakat yang harmonis dan dapat hidup berdampingan, meskipun berbeda etnis dan agama. Dari pihak masyarakat yang beragama Islam misalnya, menunjukkan sikap penerimaan dan dukungan pada perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh warga minoritas di kampung mereka, yaitu keluarga Wan Wan yang beretnis Tionghoa. Penerimaan dan dukungan yang ditunjukkan dengan berbagai bentuk seperti membantu persiapan Imlek, menghadiri acara pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan, dan memberikan ucapan selamat tahun baru Imlek serta mendoakan keluarga Wan Wan. Di lain pihak, yaitu keluarga Wan Wan yang merupakan etnis Tionghoa dan merayakan Imlek juga merasakan penerimaan dan dukungan dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya meskipun penuh dengan perbedaan, baik suku, agama, serta budaya. Sehingga melalui episode ini, penonton dapat menangkap pesan bahwa konsep perayaan tahun baru Imlek oleh etnis Tionghoa, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat dari suku dan agama lain meskipun hal tersebut bagian dari adat istiadat dan tradisi etnis Tionghoa. Bagi penonton sinetron ini, dapat dipahami bahwa perayaan tahun baru Imlek sebagai salah satu budaya etnis Tionghoa di Indonesia sekarang ini, karena sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa mendapatkan perlakuaan yang berbeda bahkan segala bentuk praktek keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat 88 etnis Tionghoa di Indonesia dilarang. Sehingga etnis Tionghoa yang ada di Indonesia merasa dibatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya. Berbeda pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan hak etnis Tionghoa dengan mencabut Instruksi Presiden No 6 Tahun 1967. Dengan dicabutnya Instruksi Presiden, maka warga negara Indonesia yang beretnis Tionghoa dapat melakukan kembali kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Yang sebelumnya dilarang untuk diselenggarakan secara bebas kemudian diperkuat lagi oleh Presiden Megawati Soekarno Putri dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No 12 Tahun 2002 yang menetapkan Imlek sebagai hari Nasional Yau Hoon. Oleh karena itu dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari Nasional, maka segala bentuk kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat etnis Tionghoa dapat dilaksanakan secara bebas serta telah diakui oleh negara. Dari paparan tersebut diatas, peneliti berkesimpulan bahwa sinetron ini sebagai media memberikan akses karena realitas sosial yang tidak menunjukkan toleransi. Oleh karena itu sinetron ini sebaga media media meluruskan makna toleransi melalui konsep Imlek yang digambarkan pada episode 439-441. Artinya pihak sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series berperan sebagai moderator yaitu dengan mengangkat konsep tahun baru Imlek tentang toleransi. 4.4 Pembahasan 4.4.1 Konsep Toleransi dalam Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series Episode 439-441 Menurut Alwi Shihab (1991:41), menegaskan ada dua komitmen penting dalam menumbuh kembangkan kehidupan antar agama guna menciptakan keharmonisan, pertama toleransi, kedua pluralisme. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 menyuguhkan wacana toleransi berupa 89 penting dan indahnya toleransi di tengah perbedaan yang ada diantara masyarakat di Indonesia. Perbedaan disini dapat berupa suku, bahasa, agama, dan budaya. Berdasarkan analisa peneliti, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 ini melihat Imam Tantowi selaku penulis cerita dan skenario menempatkan pemaknaan pentingnya toleransi kepada masyarakat. Jika dalam kehidupan bersama Imam Tantowi mempunyai alasan mengangkat tema Imlek di sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 yang menyampaikan pesan sosial berupa toleransidalam sinetron tersebut. “ Ingatlah kita hidup di Indonesia dengan keberagaman suku maupun agama. Termasuk agama Islam. Islam mengajarkan betapa pentingnya toleransi. Nabi Muhammad SAW mengajarkan Islam sebagai agama kasih sayang dan menolak kekerasan yang dapat memicu konflik. Nabi juga melindungi minoritas dalam melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya. K.H Abdurahman Wahid (Gusdur) pernah mengatakan bahwa Nabi Muhammad pun pernah meminta tiga orang pendeta Kristiani yang datang 90 dari Najran (provinsi timur di Arab Saudi) untuk beribadah menurut agama mereka di Masjid.Pernah juga diceritakan pada suatu hari ada orang Arab pedalaman kencing di masjid Nabi di Madinah.Terang saja para sahabat geram dan ingin memikul orang itu. Namun, Rasulullah SAW mencegahnya, dan kemudian menyuruh para sahabat kerja bakti menyiram dan membersihkan air seni laki-laki tak kenal sopan santun itu. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah). Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, pengarang kitab Fath al-Bari, riwayat ini memperlihatkan dengan jelas sikap toleransi Nabi SAW dan keluhuran budi pekertinya. Adakah dalam Islam larangan berkawan dan berbuat baik dengan orang yang non muslim? TBNH menghadirkan tokoh dengan karakter keturunan tionghoa ini adalah juga untuk mengajarkan toleransi, menghargai dan menghormati suku dan pemeluk agama lain. Tapi tentu saja toleransi sesuai dengan kaidah islami, bukan toleransi yang kebablasan”. 1 Dari pernyataan yang diungkapkan oleh Imam Tantowi dapat diartikan bahwa melalui sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441, penulis cerita dan skenario sinetron ini ingin memberikan pengertian toleransi yang baik, dimana di Indonesia sendiri terdiri dari banyak suku, budaya, dan agama yang diperlukan adanya hubungan yang selaras. Melalui sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series, Imam Tantowi dapat memberikan makna toleransi pada episode 439-441 dengan tema Imlek seperti yang dipaparkannya dalam pernyataan diatas. Dimana episode 439-441 menunjukkan gambaran toleransi dengan cara menghargai dan menghormati antar suku, antar budaya, dan antar pemeluk agama lain. Sebagai penulis cerita dan skenario, Imam Tantowi telah memberikan konsep toleransi yang di 1 http://www.facebook.com/TBNH.theseries/posts/427175117366742 91 representasikan melalui sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441. 4.4.2 Harmonisasi Pemeluk Agama Islam dengan Etnis Tionghoa dalam Kehidupan Bermasyarakat Toleransi sangat diperlukan dalam menjaga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari latar belakang suku dan agama yang berbeda. Demi menciptakan keharmonisan dalam masyarakat maka diperlukan sikap menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi termasuk didalamnya toleransi antar suku dan umat beragama. Dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 tidak terdapat pembedaan, walaupun berasal dari latar belakang suku dan agama yang berbeda, mereka merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia sehingga berusaha tetap menjaga kerukunan dengan memelihara sikap toleransi antar umat beragama Islam dengan keluarga yang beretnis Tionghoa. Analisis yang penulis lakukan pada beberapa scene sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 menunjukkan adanya harmonisasi pemeluk agama Islam dengan etnis Tionghoa. Pernyataan tersebut merujuk pada analisis tokoh-tokoh yang diuraikan berikut ini : 1. Syape’i dan Romi Syape’i dan Romi digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sikap toleransi yang ditunjukkan terhadap keluarga beretnis Tionghoa di lingkungan tempat tinggalnya, dengan kesediaan mereka membantu persiapan perayaan tahun baru Imlek keluarga tersebut. Bantuan yang diberikan bersifat sukarela tanpa ada paksaan. Kesediaan membantu berupa sumbangan tenaga menghias rumah keluarga Wan Wan sebagai bagian menyambut perayaan tahun baru Imlek, namun hal itu merupakan wujud dari keharmonisan dan kerukunan antar suku serta umat beragama. 92 2. Ki Dawud Dalam sinetron ini, Ki Dawud merupakan tokoh yang menjunjung tinggi toleransi. Toleransi yang dilakukan Ki Dawud terwujud melalui toleransi perkataan dan toleransi perbuatan. Sikap toleransi ditunjukkan Ki Dawud dengan mengusahakan keluarga Acong agar mendapat ijin dari H. Muhidin selaku ketua RW untuk menyelenggarakan pertunjukkan barongsai di kampung mereka pada perayaan tahun baru Imlek, menghormati Acong dan keluarganya ketika akan beribadah ke Klenteng serta memberikan semangat kepada keluarga Acong dalam merayakan tahun baru Imlek, dan menghadiri pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan keluarga Acong. Adanya sikap toleransi yang ditunjukkan oleh tokoh Ki Dawud tersebut menunjukkan sebagai tanda, bahwa hal trsebut sangat diperlukan untuk tetap menjaga kerukunan, keharmonisan, dan rasa persaudaraan diantara mereka meskipun berbeda suku dan agama. 3. Mali dan Tarmiji Toleransi antar suku dan umat beragama terjalin antara masyarakat yang beragama Islam dengan warga yang beretnis Tionghoa, tercermin ketika warga yang beretnis Tionghoa merayakan tahun baru Imlek maka warga lain yang beragama Islam memberikan ucapan selamat. Sikap toleransi terlihat dari sikap tokoh Mali dan Tarmiji terhadap etnis Tionghoa dengan pemberian ucapan selamat dengan kata “Gong Xi Fa Chai” kepada keluarga Acong. Berdasarkan uraian datas, peneliti menganalisa bahwa sikap toleransi yang ditunjukkan oleh warga yang beragama Islam terhadap keluarga beretnis Tionghoa merayakan Imlek, menggambarkan harmonisasi antara masyarakat pemeluk agama Islam dengan etnis Tionghoa seperti yang terlihat pada tokohtokoh dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441, seperti yang telah dipaparkan diatas. Perbedaan suku dan agama ternyata tidak 93 menjadi hambatan bagi para warga yang beragama Islam untuk dapat berinteraksi karena sudah memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap warga yang beretnis Tionghoa. Sehingga meskipun berbeda latar belakang suku dan agama, dengan sikap toleransi maka akan tercipta kehidupan yang damai dan diliputi sikap saling menghargai dan menghormati antar warga yang berbeda suku serta agama. 4.4.3 Diterimanya Barongsai Sebagai Kebudayaan di Indonesia Indonesia sebagai negara yang majemuk dan terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya, sangat menghormati perbedaan. Sebagai negara yang majemuk, kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia tentunya harus di lestarikan, termasuk budaya-budaya etnis Tionghoa. Perkembangan etnis Tionghoa yang sebelumnya dibatasi di Indonesia, setelah masa reformasi diberikan kebebasan. Berbagai macam kebudayaan dan upacara adat China pun mulai berkembang di Indonesia. Barongsai, Liong, dan kebudayaan China lain yang sebelumnya hanya boleh diselenggarakan secara tertutup, sekarang ini dapat diseleggarakan secara bebas dan terbuka. Hal ini menunjukkan penerimaan Indonesia atas etnis Tionghoa, agamanya yaitu Khonghuchu, dan kebudayaannya. Barongsai telah menjadi bagian dari kenakeragaman budaya Indonesia. Dimana barongsai merupakan salah satu budaya China yang sudah ada sejak dahulu. Kesenian barongsai semakin menarik perhatian dan digemari oleh masyarakat. Tetapi, barongsai hanya bisa dilihat pada waktu-waktu tertentu saja, salah satunya saat perayaan tahun baru Imlek etnis Tionghoa. Bagi etnis Tionghoa, seni barongsai yang diselenggarakan saat tahun baru Imlek merupakan tradisi mereka. Sejak diperbolehkannya kembali budaya etnis Tionghoa di Indonesia, mulai bermunculan acara-acara yang bernuansa Tionghoa. Seperti saat perayaan tahun baru Imlek, masyarakat etnis Tionghoa menjadikan momen tersebut 94 untuk memperkenalkan budaya Tionghoa termasuk barongsai. Dengan kebebasan yang diberikan kepada etnis Tionghoa di Indonesia, dapat melakukan kembali semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China termasuk barongsai, menandakan jika kesenian China ini diterima sebagai budaya di Indonesia. Dalam konteks sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series, penggambaran barongsai yang merupakan budaya dari etnis Tionghoa, dalam sinetron ini digambarkan sebagai bagian dari perayaan Imlek yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal tersebut terlihat dari kesediaan dari seluruh warga kampung tempat tinggal Acong yang mayoritas adalah beragama Islam untuk hadir dalam pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga Acong. Seperti yang terlihat dalam kalimat yang diungkapkan oleh tokoh Ki Dawud dalam scene 39 “Tenang Cong! Insyaallah gua bakal dateng deh, gua pengen liat Barongsai dari deket”, tokoh ustad Zakaria pada scene 41 “Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton barongsai?”. Kebahagiaan tidak hanya dirasakan oleh Acong dan kelarganya, tetapi juga seluruh warga kampung. Semangat dari para warga menonton pertunjukkan barongsai menandakan jika barongsai sebagai budaya China mendapat dukungan dari seluruh masyarakat. Selain itu, sikap yang ditunjukkan oleh warga sekitar tempat tinggal Acong terhadap barongsai juga sebagai bentuk menghargai dan ikut memiliki sebagai bagian dari budaya Indonesia. 4.4.4 Refleksi Kritis Hasil Penelitian Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak dan kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas beragam suku bangsa, termasuk Tionghoa (Cina), yang sudah menjadi bagian dari keragaman di Indonesia. Salah satu perayaan masyarakat keturunan Tionghoa adalah perayaan tahun baru Imlek. Imlek dengan berbagai ciri khasnya telah menambah semakin 95 banyaknya keragaman (agama dan budaya) di Indonesia. Namun meskipun berbeda suku, agama, bahasa, dan budaya, tetap satu kesatuan utuh. Berbicara tentang keberagaman suku dan agama merupakan suatu topik yang menarik, sebab melihat Indonesia sebagai negara yang multikultural terdapat banyak sisi yang dapat dijadikan objek untuk disimak. Oleh karena itu topik tentang keberagaman suku dan agama menarik untuk dikaji dan divisualisasikan dalam berbagai karya seperti sinetron. Seperti halnya dengan karya-karya kesenian seperti sinetron, ada yang menampilkan tentang keberagaman suku dan agama yang ada di Indonesia sebagai bentuk mempererat persuadaraan dan kebersamaan. Pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-44, dapat saja sebagai salah satu bentuk aktualisasi perayaan Imlek di Indonesia saat ini, setelah penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina di Indonesia diijinkan kembali dan hari tahun baru Imlek ditetapkan sebagai hari nasional oleh pemerintah atau sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Seres episode 439-441 ini merupakan suatu bentuk toleransi kepada masyarakat berketurunan Tionghoa untuk mempererat persaudaraan dan kebersamaan ditengah-tengah keberagaman suku dan agama. Dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series ini sebenarnya ingin menampilkan sebuah gambaran realitas kehidupan masyarakat tentang pesan sosial dalam bentuk toleransi antar suku dan antar umat beragama, yang dikemas dalam bentuk toleransi antara umat Islam kepada masyarakat berketurunan Tionghoa. Dimana dalam penggambaran sinetron ini umat Islam disini merupakan para warga yang terdiri dari berbagai suku serperti suku Jawa, Batak, dan Betawi yang bergama Islam, menunjukkan sikap toleransinya kepada sebuah keluarga yaitu keluarga Wan Wan sebagai keturunan Tionghoa yang merayakan Imlek. Penggambaran karakter pada tokoh keluarga Wan Wan sebagai keluarga berketurunan Tionghoa yang ditonjolkan pada episode 439- 96 441, memberikan perhatian karena dianggap sebagai bentuk diterimanya masyarakat berketurunan Tionghoa dalam kehidupan masyarakat. Sinetron ini juga dapat menggambarkan bahwa umat Islam mengamalkan ajaran agama tentang pentingya toleransi. Dimana toleransi disini toleransi antar suku dan antar umat beragama dalam kehidupan di masyarakat. Masyarakat berketurunan Tionghoa dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama yang berbeda, begitu juga dengan sebaliknya. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap saling menghormati dan menghargai antar suku dan antar umat beragama. Diterimanya masyarakat berketurunan Tionghoa di Indonesia juga dapat terlihat pada tahun baru Imlek yang ditetapkan sebagai berketurunan hari Tionghoa libur dapat nasional oleh pemerintah. merayakan tahun baru Masyarakat Imlek dan menyelenggarakan pementasan barongsai lagi setelah pemerintah mencabut Kepres (Keputusan Presiden) no 6 tahun 2000. Karena sebelumnya perayaan Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan demikian di dalam kehidupan bermasyarakat, bersama-sama menjunjung toleransi dengan sikap menghargai dan menghormati perbedaan antar suku dan antar umat beragama. Dengan toleransi dapat menunjukkan bahwa kita bisa menghargai suku, agama dan budaya lain. 97