Wacana Toleransi Pada Sinetron (Analisis Wacana Kritis Sinetron

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Program Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series
Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series merupakan sinetron yang tayang
menjelang bulan Ramadhan tahun 2012 lalu. Sinetron ini diangkat dari FTV
dengan judul yang sama yaitu Tukang Bubur Naik Haji yang ditayangkan oleh
stasiun televisi RCTI. Ide awal cerita sinetron ini diambil dari dua tokoh dari inti
cerita FTV Tukang Bubur Naik Haji, yaitu H. Sulam (anak dari penjual bubur
ayam) dan Emak (Ibu dari H. Sulam dan penjual bubur ayam), yang kemudian
oleh penulis cerita dalam sinetron ini dimunculkan tokoh seperti H. Muhidin,
Rumanah, Roby, Mang Odjo, dan lainnya.
Sinetron Tukang Bubur Naik Haji mengangkat tentang kehidupan masyarakat
sehari-hari, dengan berbagai konflik di dalamnya seperti orang yang seolah-olah
dermawan namun mengharapkan pujian orang dan kecenderungan untuk berbuat
pamer. Dalam sientron ini diceritakan dua karakter haji yang memiliki perilaku
yang berbeda. Tokoh Sulam yang memiliki sifat penyabar, berkat ketekunan dan
keikhlasannya akhirnya dia dapat naik haji dan memperbesar usaha bubur
ayamnya. Sedangkan tokoh H. Muhidin dan Hj. Maemunah yang memiliki sifat
dengki selalu memusuhi keluarga H. Sulam dengan terus menerus memfitnah dan
mencari-cari kesalahan keluarga H. Sulam. Namun niat jahat dan fitnah yang
selalu disebarkan H. Muhidin selalu tidak berhasil karena keluarga H. Sulam
sendiri tidak terpengaruh emosinya dan selalu bersikap rendah hati dan tidak
sombong. Berbagai konflik yang terjadi dalam sinetron ini diselesaikan dengan
kembali pada Al Quran dan Hadist Rasulullah sebagai pedoman dan pegangan
hidup umat Islam.
Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series tayang setiap hari, mulai 28 Mei
2013 pada pukul 19.00 WIB. Secara terperinci program sinetron, kru, dan pemain
dapat dipaparkan sebagai berikut :
31
Tabel 4.1 Tim Produksi dan Pemeran Tokoh Tukang Bubur Naik Haji The
Series
Judul Sinetron
Tukang Bubur Naik Haji The Series
Format
Sinetron Religi
Pembuat
Sinema Art
Cerita & skenario
H. Imam Tantowi
Sutradara
H. Ucik Supra
Produser
Leo Sutanto
Eksekutif Produser
Elly Yanti Noor
Co Produser
Novi Christina
Mitzy Christina
Cindy Christina
Co-Sutradara
Rindra Panca - Aca Hasanuddin
Depi Herlambang
Astrada
Dedet – fence F Nayoan
Idhol Dg puji – Taslim idrus
Produser Pelaksana
Baso Natsir
Adhitya Gautama
Desain Produksi
Heru Hendriyarto
Supervisi Editing
Bagus Kadarmodo
Penata Musik
Purwacaraka
Koordinator lagu
Ryan S. Pitna
Editor
Anwar Sani-Budhidha
Basofi-Rosario
Casting
Bobby Andika
Penata Videografi
Sutan
Penata Artistik
Haris
Desain Opening
Yoseph Wariki
32
Visual Effect
Rosy Tauhid Ace
Unit manager
M. Romli
Pemain
Uci Bing Slamet
: Hj. Rodiah
Nani Wijaya
: Emak
Latief Satepu
: H. Muhidin
Andi Arsyil Rahman
: Roby
Citra Kirana
: Rumanah
Aditya Herpavi. R
: Rahmadi
Alice Norin
: Rere
El Manik
: Ustadz Zakaria
Marini Zumarnis
: Umi Mariam
Hamka Devito Siregar
: Togu
Dina Lorenza
: Riamah
Rio Reifan
: Restu
Ricky Malau
: Badar
Nova Soraya
: Romlah
Eddy Oglek
: Kardun
Lenny Charlotte
: Mak Enok
Ali Syakieb
: Jamal
Abdel Achrian
: Encing Nelan
Connie Sutedja
: Nyai Hj. Iroh
Salim Bungsu
: Mang Odjo
Deny Sudarsiman
: Machmud
Dorman Borisman
: H. Rasyidi
Lulu Zakaria
: Hj. Rasyidi
Ravi Romario
: Joni
Ujang Ronda
: Sobari
Mega Aulia
: Atikah
33
Intan Pramita
: Laila
Tyas Wahono
: Ustad Sulthony
Cut Syifa
: Maesaroh
Christian Bennedict
: Farid
Harun
: Aki Dawud
Etty Sumiati
: Ninik Leha
Binyo Sungkar
: Tarmiji
Rusdi Syarief
: Mali
Dewi Alam Purnama
: So’imah
Adam Rama Fadilla
: Hisyam
Willa Julaiha
: Ncum
Sisy Syahwardi
: Neneng
Markoneng
Rahmi Nurullina
: Nafisha
Jihan Jeihan
: Ngadimin
Irwan Chandra
: Ko Wan Wan
Qheyla Zareyya Valendro
: Jessi
Ayu Adriana
: Ci Leny
Kasiman Ahong
: Ko Acong
Tengku Firmansyah
: Abi Nafisha
Cindy Fatika Sari
: Umi Nafisha
Tetty Liz Indriati
: Ibu Restu
Asri Pramawati sebagai
: Epih
Celine Evangelista
: Ketty
Amelia Ekawati
: Ulah
Ali
: Bayu
Najwa
: Anggi
Mat Oli
: Syape’i
34
4.2 Sinopsis Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series Episode 439-441
Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series merupakan sinetron religi yang
bercerita tentang kehidupan masyarakat sehari-hari. Episode 439-441 sinetron
yang bergenre religi Islam ini menyuguhkan tentang perayaan tahun baru Imlek
dengan mengahdirkan sebuah keluarga yang beretnis Tionghoa dan beragama
Khong Hu Cu di tengah-tengah masyarakat muslim. Sinetron Tukang Bubur Naik
Haji The Series episode 439-441 bercerita tentang kehidupan masyarakat yang
beragama Islam dengan suatu keluarga yang berbeda latar belakang agama dan
etnis yang akan merayakan tahun baru Imlek.
Keluarga yang berbeda latar belakang etnis dan agama yang dimunculkan
dalam sinetron Tukang Bubur naik Haji The Series episode 439-441 adalah
keluarga Wan Wan yang beretnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu.
Keluarga Wan Wan terdiri dari Acong (ayah Wan Wan), Leny (Istri Wan Wan),
dan Jessy (anak Koh Wan Wan). Keluarga ini merupakan warga baru, yang baru
saja pindah di kampung yang masyarakatnya mayoritas adalah muslim. Sebagai
keluarga yang baru saja pindah di kampung tersebut, keluarga Wan Wan
digambarkan sebagai keluarga yang baik hati dan ramah. Sebagai keturunan
Tionghoa, keluarga Wan Wan tentunya merayakan Imlek.
Dalam proses persiapan menyambut perayaan tahun baru Imlek, banyak suka
duka yang dialami oleh keluarga Wan Wan yang merupakan satu-satunya
keluarga beretnis Tionghoa di kampung tersebut. Konflik muncul ketika ornamen
yang dipesan oleh Wan Wan diantar ke rumahnya, mendapat sorotan yang tidak
baik dari H. Muhidin yang selalu berburuk sangka kepada orang lain. Buruk
sangka H. Muhidin kepada keluarga Wan Wan yang dinilainya ri’a dengan
membeli ornamen-ornamen seperti lampion dan pohon bambu. Sikap dari H.
Muhidin yang berprasangka buruk terhadap keluarga Wan Wan disanggah oleh
ustadz Zakaria yang memiliki pandangan berbeda dengan H. Muhidin, karena
ustadz Zakaria mengetahui jika sebentar lagi tahun baru Imlek dan keluarga Wan
35
Wan beretnis Tionghoa yang tentunya merayakan Imlek. Sehingga menurut
ustadz Zakaria memesan ornamen-ornamen Imlek meruapakan hal yang wajar.
Perayaan tahun baru Imlek tidak hanya disambut bahagia oleh Wan Wan dan
keluarganya, tetapi juga masyarakat sekitar tempat tinggal Wan Wan, yang
terlihat dari sikap Romi, Syape’i, Mali dan Tarmiji yang bersedia membantu
keluarga Wan Wan dalam persiapan menyambut tahun baru Imlek seperti
menghias rumah dengan memasang ornamen-ornamen khas Imlek. Kekompakan
keluarga Wan Wan dan warga terlihat ketika mereka bergotong royong menghias
rumah sebagai bentuk menyambut tahun baru Imlek keluarga Wan Wan. Selesai
menghias rumah, mereka dijamu oleh keluarga Wan Wan. Namun Romi dan
hansip Syape’i menolak karena masih ada tugas lain yang menunggu. Berbeda
dengan sikap Mali dan Tarmiji yang membantu keluarga Wan Wan karena
mempunyai tujuan lain, yaitu mengharapkan imbalan. Leny, istri dari Wan Wan
menyiapkan 4 angpau yang akan diberikan kepada mereka karena Mali serta
Tarmiji yang meminta imbalan dan sudah membantu keluarga Wan Wan. Mali
dan Tarmiji menerima imbalan yang diberikan oleh keluarga Wan Wan, tetapi
Romi, dan Syape’i menolak, dengan alasan mereka membantu dengan tulus dan
ikhlas.
Masalah lain muncul ketika Acong berencana untuk mengadakan pementasan
barongsai dikampungnya, dalam perayaan tahun baru Imlek. Rencana
mengadakan pementasan barongsai, karena ingin memberikan surprise kepada
para warga, yang diutarakan Acong ketika sedang berkumpul bersama keluarga.
Tetapi rencana Acong tersebut, mendapat pandangan lain dari Wan Wan.
Menurut Wan Wan, rencana papinya yang ingin mengadakan pementasan
barongsai seharusnya meminta izin kepada ketua RW jika ingin mengadakan
acara di lingkungan kampung tersebut. Dimana menurut Wan Wan mengadakan
pementasan barongsai tentunya akan melibatkan banyak pihak. Akhirnya solusi
dari masalah tersebut diperoleh dari pendapat Leny, dengan memberikan saran
untuk meminta izin kepada H. Muhidin selaku ketua RW. Keputusan tersebut
36
mendapat persetujuan dari seluruh anggota keluarga Wan Wan dan berencana
segera menemui ketua RW.
Sebagai warga yang baik, keluarga Wan Wan meminta ijin kepada H.
Muhidin selaku ketua RW, jika keluarganya berencana mengadakan pementasan
barongsai saat perayaan tahun baru Imlek. Namun, jawaban mengejutkan dari H.
Muhidin yang tidak memberikan ijin kepada keluarga etnis Tionghoa tersebut.
Mendengar jawaban yang diberikan oleh H.Muhidin, keluarga Wan Wan terlihat
terkejut dan bingung karena sudah terlanjur mmesan barongsai. Begitulah H.
Muhidin dengan sifatnya yang tidak peduli dengan orang lain. Namun karena
nasehat Ki Dawud, akhirnya H. Muhidin menyetujui dan memberikan izin dengan
syarat supaya keluarga Wan Wan juga memperhatikan keamanan selama
pementasan barongsai berlangsung. Keluarga Wan Wan bahagia jika akhirnya
rencana keluarganya mengadakan pementasan barongsai dapat terselenggara pada
perayaan tahun baru Imlek nanti.
Tahun baru Imlek disambut bahagia dan penuh semangat oleh keluarga Wan
Wan, hal tersebut terlihat dari kekompakan keluarga ini yang akan pergi ke
klenteng untuk beribadah, karena di kampung lingkungan tempat tinggal mereka,
seluruh warganya beragama Islam maka tidak ada klenteng. Ketika Roby dan Ki
Dawud sedang jogging keliling kampung, di depan rumah Wan Wan mereka
bertemu dengan keluarga Acong yang hendak berangkat ke klenteng untuk
beribadah. Sosok Roby dan Ki Dawud yang dikenal baik menyapa keluarga
beretnis Tionghoa tersebut. Ki Dawud memberikan semangat kepada keluarga
Acong dalam merayakan tahun baru Imlek. Sikap yang ditunjukkan oleh Ki
Dawud tentunya memberikan kebahagaiaan pada keluarga yang berbeda etnis dan
agama tersebut.
Meskipun para warga memiliki latar belakang agama dan etnis dengan
keluarga Wan Wan, mereka hadir di pementasan barongsai yang diselenggarakan
oleh keluarga beretntis Tionghoa itu.Sikap antusias dan partisipasi para warga
dalam pementasan barongsai yang merupakan adat istiadat dan budaya Tionghoa
37
tersebut juga disambut mereka dengan bahagia. Hal tersebut terlihat dari seluruh
warga yang hadir ke rumah keluarga Wan Wan untuk menonton barongsai.
Bahkan dari perayaan itu seorang H. Muhidin yang semula tidak mengijinkan,
juga hadir dalam pemetasan barongsai. Kebahagiaan tidak hanya dirasakan oleh
keluarga Wan Wan yang merayakan Imlek, tetapi juga seluruh warga kampung
dengan adanya toleransi satu sama lainnya meskipun berbeda etnis dan agama.
Seperti keluarga Sobari, keluarga Ki Dawud, keluarga ustadz Zakaria juga
merasakan kebahagiaan meskipun mereka tidak merayakan. Selesai pementasan
Barongsai Acong dan keluarganya membagikan angpau kepada para warga. Para
warga yang mendapatkan angpau merasa senang seperti Mali dan Tarmiji.
Mereka juga mengucapkan Gong Xi Fa Chai dan mendoakan keluarga Wan Wan
yang merayakan Imlek, agar semakin sukses kedepannya. Sebagai warga
minoritas, keluarga yang berlatar belakang Khong Hu Chu dan Tionghoa ini
sangat senang dan bahagia dengan partisipasi para warga yang berkenan hadir
dalam acara yang diselenggarakannya.
Pementasan barongsai sebagai bagian perayaan tahun baru Imlek keluarga
Wan Wan memberikan hiburan tersendiri bagi para warga, karena perayaan
tersebut baru pertama kali diselenggarakan di kampungnya. Seperti diutarakan
oleh salah satu warga bernama Romlah seusai menonton barongsai di rumah
keluarga Wan Wan. Perasaan terhibur juga dirasakan oleh keluarga Sulam yang
juga turut menonton dan merasa bersyukur karena memiliki tetangga yang berasal
dari berbagai suku bangsa. Akan tetapi bagi H. Muhidin yang selalu iri dengan
kebahagiaan orang lain, dia menilai jika acara yang diselenggarakan warga baru
beretnis Tionghoa tersebut tidak menarik dengan membandingkan pertunjukkan
barongsai lain yang pernah dia tonton yang dinilainya jauh lebih menarik. Dengan
sikapnya yang selalu berburuk sangka terhadap orang lain, H. Muhidin menilai
kebaikan keluarga Wan Wan hanya untuk menarik perhatian warga kampung dan
hanya memuji dirinya sendiri.
38
Pada akhir cerita, H. Muhidin menegur Roby dan Rumanah jika anak muda
sekarang ini suka bersenang-senang. Karena menurut H. Muhdin menonton
barongsai tadi tidak ada manfaatnya. Berbeda pandangan dengan Rumanah,
menurutnya menonton barongsai bukan sesuatu hal yang menimbulkan dosa,
karena berniat baik dengan menghargai keluarga Wan Wan sebagai satu-satunya
keluarga beretnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu yang meryakan Imlek.
4.3Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis wacana
kritis Teun A. Van Dijk. Metode analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk
digambarkan menjadi tiga dimensi atau bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan
konteks sosial (Eriyanto, 2011: 224-227). Dimensi teks, yang diteliti adalah
bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan
suatu tema tertentu. Dari dimensi ini akan terlihat strategi yang dilakukan oleh
sutradara dan penulis skenario untuk menegaskan tema tertentu yang disuguhkan
kepada penonton. Pada dimensi kognisi sosial dipelajari proses produksi teks
yang melibatkan kognisi pembuat teks. Dimensi ini untuk melihat bagaimana
representasi kognisi dan strategi sutradara serta penulis skenario dalam
memproduksi sinetron. Sedangkan pada dimensi
konteks sosial, mempelajari
bagaimana bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu
masalah. Dimensi ini diaplikasikan untuk melihat bagaimana wacana yang
diproduksi dan di konstruksi dalam masyarakat.
4.3.1 Analisis Teks Sinetron TukangBubur Naik Haji The Series di RCTI
Episode 439-441
Dalam penelitian ini analisis teks dimaksudkan untuk menguak
wacana toleransi dalam teks sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series
di RCTI Episode 439-441 yang merujuk pada pesan sosial. Dimensi teks
ysng dikemukakan oleh Van Dijk terdiri dari tiga tingkatan yaitu struktur
makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan
39
makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan
melihat topik atau tema yang diangkat. Dari struktur ini akan terlihat jelas
pandangan sutradara dan penulis skenario pada suatu peristiwa yang
meguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Superstruktur merupakan
kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, dan penutup. Dari hal
ini akan muncul kesan dalam benak penonton. Pada struktur mikro,
merupakan makna wacana yang diamati dari bagian kecil dari suatu teks
yaitu kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.
Struktur ini melihat bagaimana pandangan sutradara dan penulis skenario
dalam pemakaian bahasa pada struktur pendahuluan, isi, dan penutup.
4.3.1.1 Analisis Struktur Makro
Pada struktur ini akan menguraikan tentang analisis struktur
makro wacana toleransi yang terdapat dalam sinetron Tukang Bubur
Naik Haji The Series episode 439-441, seperti yang terlihat bagaimana
makna global di bangun dalam sinetron ini. Struktur makro berbicara
tentang teks yaitu bagaimana sinetron ini dapat ditangkap dan
dimaknai oleh penonton secara keseluruhan, disamping itu akan
terlihat juga bagaimana pandangan sutradara dan penulis skenario
pada suatu peristiwa atau masalah.
Setelah melihat tuntas sinetron Tukang Bubur Naik Haji The
Series episode 439-441, dengan memperhatikan dialog, visualisasi
sinetron, serta para tokoh yang ditampilkan, peneliti menyimpulkan
topik utama dari sinetron ini adalah “Toleransi Antar Suku dan antar
Umat Beragama”. Topi tersebut menjadi menarik, karena dimunculkan
keluarga berketurunan Tionghoa yang beragama Khonghuchu dan
merayakan Imlek di tengah-tengah masyarakat yang beragama Islam,
mengingat sinetron ini merupakan sinetron bergenre religi Islam.
Dengan akan diperingatinya perayaan tahun baru Imlek yang
dirayakan oleh keluarga etnis Tionghoa, terlihat masyarakat yang
40
beragama Islam menunjukkan sikap toleransinya dalam berbagai
bentuk.
Diangkatnya topik toleransi pada sinetron ini, toleransi
merupakan suatu sikap dasar manusia sebagai umat yang beragama,
untuk menghormati, menghargai, dan tidak mengganggu ibadah serta
sistem keyakinan pada penganut agama lain. Menurut Soerjono
Soekanto toleransi yaitu suatu sikap yang merupakan perwujudan
pemahaman diri terhadap sikap pihak lain yang tidak setuju (Soekanto,
1985:518). Mengacu pada makna toleransi, dalam sinetron Tukang
Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 mengarah pada beberapa
adegan cerita dimana tema tentang toleransi digambarkan begitu jelas,
seperti telihat pada beberapa sub tema berikut.
a. Saling Membantu
Dalam kehidupan sosial, manusia tidak akan pernah lepas dari
salah satu perannya dalam membantu orang lain. Karena, manusia
adalah mahluk sosial yang saling memerlukan antara satu sama
lain. Di Indonesia, budaya saling membantu merupakan sesuatu
yang akrab dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut juga
terlihat pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode
439-441 dimana perayaan imlek tidak hanya disambut suka cita
oleh umat Khonghuchu dan masyarakat Tionghoa, tetapi juga
disambut oleh para warga termasuk yang beragama Islam yang
ditunjukkan dengan sikap saling membantu, seperti yang terlihat
pada beberapa scene sinetron ini.

Kesediaan warga (Syape’i dan Romi) membantu persiapan
Imlek keluarga Wan Wan
Scene 12
Jessi : Pi minggir bentar pi, stop!
41
Acong : Ada apa Jessi?
Jessi : Bang Romi sama bang Peii mau kemana?
Romi : Eh Jessi…mau jalan-jalan
Syape’i : Eh selamat siang babah Acong, koh Wan Wan, ci
leny, ngomong-ngomong ini kok pada penuh? Dari
mana mau kemana to?
Acong : yah biasa…habis belanja keperluan Imlek.
Syape’i : Waaahh Gong Xi Fa Chai, kalo begitu pasti ada
yang bisa saya bantu dong
nanti buat acara
Imlek?
Jessi : Bang Romi sama bang hansip Peii besok pagi ke
rumah aja, ikutan ngehias rumah Jessi…
Syape’i :Boleh-boleh Jessi, saya pasti dateng…Romi mau
to?
Romi : Insyaallah Jessi…
Wan Wan : Ya sudah nanti dateng aja ke rumah, ajak-ajak
temen yang lain biar rame sekalian.
Syape’i dan Romi : Siap koh Wan Wan
Syape’i :Kami pasti dateng.
Syape’i menunjukkan sikap yang ramah dengan
menyapa keluarga Wan Wan yang pulang dari berbelanja
keperluan Imlek. Meskipun berbeda etnis dan agama,
terjalin hubungan yang harmonis diantara mereka, terlihat
dari sikap Syape’i dan Romi yang menawarkan diri
membantu keluarga Wan Wan pada persiapan perayaan
tahun baru Imlek.
42

Mali, Tarmiji, Romi dan hansip Syape’i membantu
menghias rumah keluarga Wan Wan
Scene 16
Tarmiji : Wah koh, kayaknya lagi banyak kerjaan nih?
Acong : (sambil tersenyum) biasa kan mau imlek.
Mali : Maaf koh, kira-kira perlu bantuan gak?
Acong : Boleh, kalo mau bantu. Oek sangat senang, ayo
silahkan.
Syape’i : Waduh udah pada sibuk aja nih? Bapak Acong,
saya bantu ya?
Acong : Iya, boleh-boleh ayo! Ayo silahkan ayo.
Kesibukan terlihat di rumah keluarga Acong yang akan
merayakan Imlek, Mali, Tarmiji, Romi dan hansip Syape’i
menawarkan diri membantu persiapan Imlek keluarga
Acong. Sikap yang mereka tunjukkan sebagai bentuk
toleransi terhadap keluarga beretnis Tionghoa yang
tentunya membuat senang dan bahagia keluarga tersebut.
Mereka membantu memasang berbagai ornamen ciri khas
Imlek seperti lampion, pohon bambu, beserta pernak pernik
Imlek lainnya.
b. Menghargai Perbedaan
Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya multikultural
dengan beragam perbedaan, baik suku, agama, maupun budaya.
Untuk hidup damai dan berdampingan, dibutuhkan toleransi satu
sama lain demi terciptanya keharmonisan di tengah perbedaan
yang sudah ada.
43
Dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode
439-441 terlihat sikap menghargai perbedaan yang ditunjukkan
warga beragama Islam terhadap warga minoritas berketurunan
Tionghoa dan beragama Khonghuchu, dengan memberikan
kebebasan mengadakan pertunjukkan barongsai sebagai bagian
dari perayaan tahun baru Imlek. Hal demikian terlihat pada adegan
dalam scene 35, yang diuraikan sebagai berikut.

Ki Dawud menegur H. Muhidin agar memberikan ijin
kepada keluarga Wan Wan mengadakan pertunjukkan
barongsai.
Scene 35
Wan Wan : Sebelumnya saya minta maaf pak haji sama
semua yang ada disini. Saya mohon bicara
sebentar.
Ki Dawud : Iya silahkan aja ngomong….
H. Muhidin: Iya silahkan….
Wan Wan : Begini, menyambut perayaan Imlek, saya mau
minta ijin untuk merayakan pertunjukkan
barongsai di rumah saya.
H. Muhidin : (dengan nada marah) Kagak bisa!!! Enak aja
mau ngadain gituan!!
Wan Wan : Jadi? Gak boleh pak haji? Waduh gimana ya,
Kebetulan saya sudah terlanjur memesan
barongsainya.
Ki Dawud : Eh Din, lo harus kasih ijin. Emang kenape sih
kagak boleh? Itu kan hak nye dia, mau bikin
acara menyambut perayaan hari besarnye dia.
44
Kalo lo kagak kasih ijin, gue tambahin
hukuman lo, mau? Si Acong kan temen gue.
H. Muhidin : Iye be, aye ijinin deh. Tapi inget ye jaga
keamanannye!
Ki Dawud : Nah begitu dong, sekali-sekali biar warga
kampung lo nonton barogsai dari deket,kan
selama ini nonton dari film-film sama di TV-TV
deh. Cong, Wan Wan, gak pape gua tanggung
jawab.
H. Muhidin :Iye be, ini aye juga kasih ijin, Cuma kasih
taunya dadakan. Besok lagi kalo kasih tau
jangan dadakan ye?
Wan Wan : Iya, makasih pak haji RW.
Acong : Kamsiya, makasih pak haji RW.
Ki Dawud memberikan teguran dengan tegas kepada H.
Muhidin
agar
keluarga
Wan
Wan
mendapat
ijin
menyelengarakan pertunjukkan barongsai sebagai hak
mereka pada perayaan agamanya. Berkat teguran Ki
Dawud, keluarga Wan Wan mendapat ijin mengadakan
pementasan barongsai pada perayaan tahun baru Imlek.
Bahkan
wujud
sikap
menghargai
perbedaan
yang
ditunjukkan Ki Dawud diyakinkan dengan bersedia
bertanggung jawab atas pelaksanaan pementasan barongsai.

Menghormati keluarga Acong yang akan beribadah dan
bersedia hadir pada acara pertunjukkan barongsai sebagai
bagian dari perayaan Imlek.
45
Scene 39
Ki Dawud: Waduh, udah rapi ni Cong?
Acong : Iya pak mandor, kita mau ke klenteng. Maklum
kampung ini nggak ada klentengnya.
Ki Dawud : Emang kagak ada disini. Ngomong-ngomong
kompak banget pake baju merah-merah.Yang
semangat ye tahun baru Imlek.
Acong : Oh iya pak mandor, jangan lupa ntar siang kesini
ya? Ada itu, pementasan Barongsai.
Ki Dawud : Tenang Cong! Insyaallah gua bakal dateng
deh, gua pengen liat Barongsai dari deket.
Acong : Kamsiya, terima kasih ya…
Dialog ini terjadi ketika Ki Dawud dan Roby sedang
jogging dan melewati rumah keluarga Acong. Ki Dawud
menyapa dan memberikan semangat kepada keluarga
Acong dalam merayakan tahun baru Imlek. Tidak lupa juga
Acong mengingatkan Ki Dawud untuk hadir menonton
pementasan barongsai. Sikap menghargai ditunjukkan Ki
Dawud dengan menerima dan bersedia hadir untuk melihat
pementasan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga
Acong yang merupakan warga minoritas dikampungnya
sebagai bagian dari perayaan tahun baru Imlek.

Menonton
pementasan
barongsai
sebagai
bentuk
menghargai dan menghormati perayaan tahun baru Imlek
Scene 41
Rumanah, Roby, Ki Dawud, Nini : Assalamuallaikum…
H. Muhidin : Nah ini lu juga pada mau kmana sih?
46
Ki Dawud : Mau ke rumah temen gua si Acong, emang
nape?
Rumanah : Abah gak mau ikut?
H. Muhidin : Kagak, kagak penting nonton begituan rum,
udah sono kalo mau pergi.
Rumanah: Kami pergi ya bah, assalamuallaikum.
H. Muhidin : Waalaikumsalam
(kemudian H. Muhidin melamun)
Ustad Zakaria : Assalamualaikum, pak Haji….
Riyamah, Umi Zakaria : Assalamualaikum…
H. Muhidin : Waalaikumsalam….
Ustad Zakaria : Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton
barongsai?
H. Muhidin : Kagak pak ustad, eh Ini mamah ngomongngomong mau nonton barongsai juga?
Riyamah : Iya pak Haji….
H. Muhidin : (hening)
Ustad Zakaria : Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak?
H. Muhidin : Oh jelas dong, ikut dong! Kan aye ketua RW,
Acong sama Wan Wan aje ngundang saya
secara khusus. Pak ustad, tunggu sebentar
ye?Mamah tunggu ye?
Para warga yang mayoritas beragama Islam menghargai
perayaan Imlek dengan datang ke rumah keluarga Wan
Wan yang merayakan Imlek untuk menonton pementasan
barongsai. Perayaan tahun baru Imlek dirayakan dengan
menyelenggarakan pementasan barongsai sebagai hiburan
untuk masyarakat, akan memupuk dan mengikat rasa
persaudaraan, kekeluargaan, serta semangat toleransi.
47
Kedatangan para warga sebagai bentuk menghargai dan
menghormati keluarga Acong yang merayakan perayaan
tahun baru Imlek dan barongsai adalah sebagai budaya dari
etnis Tionghoa. Dalam dalog diatas, sikap H. Muhidin yang
semula tidak mau menonton pementasan barongsai, tetapi
pada akhirnya bersedia ikut menonton barongsai, walaupun
dengan alasan lain mau menghadiri pementasan barongsai
karena ada Riyamah, perempuan yang disukainya.

Mendoakan dan memberikan ucapan tahun baru Imlek
Scene 42
Tarmiji : Gong Xi Fa Chai
Acong :Eh, terima kasih ya. Doain keluarga gue awet,
sukses merayakan Imlek ini!
Tarmiji : Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya
makin banyak. Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa
Chai
Mali : (bersalaman dengan keluarga Wan Wan) Gong Xi
Fa Chai, Gong Xi Fa Chai
Dialog ini terjadi setelah pementasan barongsai selesai,
keluarga Acong membagikan angpau kepada para warga
sebagai tradisi etnis Tionghoa pada perayaan Imlek. Selain
itu Mali dan Tarmiji mengucapkan Gong Xi Fa Cai sebagai
ucapan tahun baru Imlek kepada keluarga Acong dan
mendoakan keluarga Acong supaya rejekinya semakin
banyak. Sikap yang ditunjukkan para warga dengan
memberikan ucapan selamat tahun baru Imlek dan
mendoakan keluarga Acong merupakan bentuk silaturahmi
antara sesama umat manusia, agama, serta suku. dan
48
pembagian angpau sebagai wujud tali asih keluarga Acong
kepada para warga melalui pertunjukkan barongsai sebagai
bagian dari Imlek.
c. Muslim menerima perbedaan (suku, budaya, dan agama)
Dengan kenakeragaman suku, agama, dan budaya yang ada di
Indonesia, agama Islam merupakan salah satu agama yang
menerima perbedaan dan keberagaman dengan mengajarkan
pentingnya toleransi dan harus dikembangkan dalam kehidupan
masyarakat,
namun
tetap
dalam
batasan
toleransi
yang
diperbolehkan dalam ajaran agama Islam. Hal demikian juga
terlihat dalam scene 50 sinetron ini, yang diuraikan sebagai
berikut.
Scene 50
H. Muhidin : Assalamualaikum….
Rumanah, Roby : Waalaikumsalam…..
H. Muhidin : Wah udah pulang seneng-seneg yah? Anak jaman
sekarang bukannya banyak istighfar, dzikir, sholat, eh
hobinya seneng-seneng doang, kalo ada tontonan
heboh, pengen nonton terus.
Rumanah : Bah, abah kenapa sih suka banget berprasangka yang
enggak-enggak dari dulu? Kenapa sih bah? Lagian kan
apa yang kita lakuin tadi juga gak dosa, nggak
menyebabkan kemusyrikan kan? Karena itu semua
sifatnya hanya hiburan semata bah.
H. Muhidin : Yaa.. tapi baiknya itu kan tenang di rumah. Kesana
itu kagak ada manfaatnya nonton begituan.
Rumanah : Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada
manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka
punya kebahagiaan sendiri bah.
49
H. Muhidin : Ah sok tau lu…
Rumanah : Ya… Rum bukan sok tau bah.Ya udah terserah deh bah
kalo abah nilainya seperti itu, yang jelas kedatangan
kita tadi tujuannya baik.
Kedatangan Roby dan Rumanah menghadiri pertunjukkan
barongsai yang diselenggarakan keluarga Acong sebagai etnis
Tionghoa yang merayakan Imlek sebagai bentuk menghargai dan
menghormati perayaan warga minoritas tersebut. Pernyataan yang
diungkapkan oleh Rumanah pada dialog diatas karena mimiliki
tujuan yang baik yang memberikan kebahagiaan keluarga Acong,
namun tentunya hal tersebut sesuai dengan batasan dalam ajaran
agama yang dianut Rumanah yaitu agama Islam. Sehingga dari
pernyataan yang diungkapkan oleh Rumanah melalui dialog diatas
menegaskan jika umat Islam menerima perbedaan, baik suku,
budaya, dan agama.
Berdasarkan uraian diatas, topik “Toleransi antar etnis dan
antar umat beragama” yang diangkat sientron Tukang Bubur Naik Haji
The Series episode 439-441, peneliti dapat menganalisa bahwa
keberadaan etnis Tionghoa diakui dan dianggap menjadi bagian dari
masyarakat yang juga terdiri dari berbagai suku dan agama.
Terbentuknya topik utama didukung dengan beberapa subtopik seperti
saling membantu, menghargai perbedaan, dan muslim menerima
perbedaan. Dan kecenderungan beberapa scene episode 439-441
adalah, dalam adegannya mengarah pada upaya toleransi.
Pemilihan topik toleransi tentang perayaan Imlek di sinetron
Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 merupakan
upaya dari pengkonstruksian wacana atas perayaan tahun baru Imlek.
Sinetron ini mempunyai maksud dan tujuan tertentu dalam pemilihan
topik tentang toleransi. Kecenderungan yang menonjol adalah, dalam
50
setiap scenenya mengarah kepada upaya mengenai penerimaan budaya
China serta keharmonisan interaksi antar etnis dan agama. Bentuk
interaksi harmonis dapat terlihat dari perayaan tahun baru Imlek etnis
Tionghoa di tengah-tengah masyarakat yang beragama Islam dapat
dilihat dengan partisipasi masyarakat mulai dari membantu dalam
persiapan Imlek dan hadir dalam pementasan barongsai yang
diselenggarakan oleh etnis Tionghoa.
4.3.1.2 Analisis Superstruktur
Superstruktur
berbicara
tentang
struktur
wacana
yang
berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian
teks tersusun secara utuh. Pada sub bahasan ini akan menguraikan
analisis superstruktur sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series
episode 439-441. Secara keseluruhan bangunan alur cerita dalam
sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 telah
membentuk satu kesatuan arti. Para penonton disuguhkan pada suatu
nilai pemahaman tentang toleransi antar etnis dan antar umat
beragama. Alur cerita dalam sinetron ini terbagi tiga bagian yaitu
bagian pendahuluan, isi, dan penutup.
Bagian awal sinetron menceritakan tentang sebuah keluarga
beretnis Tionghoa yang akan merayakan tahun baru Imlek di daerah
tempat tinggalnya yang mayoritas warganya beragama Islam. Pada
pertengahan sinetron muncul konflik – konflik, dan selanjutnya pada
bagian akhir merupakan bagian kesimpulan dari sinetron.
Pada struktur ini akan terlihat bagaimana sutradara serta
penulis cerita dan skenario mengemas detail-detail sinetron, yang akan
penulis uraikan dengan bantuan gambar untuk membantu memperjelas
analisa.
51
1. Pendahuluan
Tabel 4.2 Pendahuluan
Durasi
Keterangan
00:28:39
(Cuplikan dialog yang dilakukan Jessi, Syape’i, Wan Wan, dan
Acong pada scene 12)
Jessi : Pi minggir bentar pi, stop!
Acong : Ada apa Jessi?
Jessi : Bang Romi sama bang Peii mau kemana?
Romi : Eh Jessi…mau jalan-jalan
Syape’i : Eh selamat siang babah Acong, koh Wan Wan, ci
leny, ngomong-ngomong ini kok pada penuh? Dari mana mau
kemana to?
Acong : yah biasa…habis belanja keperluan Imlek
Hansip Syape’i : Waaahh Gong Xi Fa Chai, kalo begitu pasti
ada yang bisa saya bantu dong nanti buat acara Imlek.
Jessi : Bang Romi sama bang hansip Peii besok pagi ke rumah
aja, ikutan ngehias rumah Jessi…
Hansip Syape’i :Boleh-boleh Jessi, saya pasti dateng…Romi
mau to?
52
Romi : Insyaallah Jessi…
Wan Wan : Ya sudah nanti dateng aja ke rumah, ajak-ajak
temen yang lain biar rame sekalian.
Hansip Syape’i dan Romi : Siap koh Wan Wan
Hansip Syape’i :Kami pasti dateng.
Alur yang ditampilkan dalam sinetron ini adalah, bahwa
keluarga Wan Wan
yang merupakan warga baru di kampung
tersebut akan merayakan tahun baru Imlek. Mereka menyiapkan
segala sesuatu keperluan Imlek dalam menyambut perayaan tahun
baru Imlek. Ketika keluarga Wan Wan yang hendak pulang dari
berbelanja keperluan Imlek, di dalam mobil membicarakan tentang
perayaan tahun baru Imlek yang datang sebentar lagi. Dalam
pembicaraan
tersebut
Wan
Wan
mengatakan
jika
sudah
mempersiapkan segala keperluan Imlek mulai dari pohon sampai
lampion sudah dipesan. Keluarga ini sudah siap dalam menyambut
perayaan tahun baru Imlek.
Cuplikan dialog diatas terjadi ketika keluarga Wan Wan
akan pulang ke rumah setelah berbelanja keperluan Imlek. Pada
dialog diatas, bahwa tokoh SyapeiI dan Romi merupakan anggota
masyarakat beragama Islam dapat menjalin hubungan yang
harmonis dengan keluarga beretnis Tionghoa yang ditunjukkan
dengan sikap ramah.
Hubungan yang terjalin baik antara keluarga Wan Wan
dengan Syape’i dan Romi yang berbeda etnis dan agama, terlihat
dengan dukungan dan antusias mereka terhadap perayaan tahun
baru Imlek yang dirayakan keluarga tersebut, dengan kesediaan
mereka membantu keluarga Wan Wan pada acara Imlek.
53
Kesediaan Syape’i dan Romi membantu tentunya disambut
bahagia keluarga Wan Wan, dengan ajakan Jessi putri dari Wan
Wan untuk menghias rumah dalam rangka menyambut perayaan
tahun baru Imlek. Hal tersebut menunjukkan adanya sebuah upaya
untuk mewujudkan sikap toleransi.
2. Isi
Tabel 4.3 Isi (scene 16)
Durasi
Keterangan
00:36:57
(Dialog Syape’i, Romi, Mali, Tarmiji, dan Acong
pada scene 16)
Romi : Bang, bang ada mobil lampion bang.
Syape’i : Wah kayaknya mobil yang bawa keperluan Imlek
keluarganya Koh Wan Wan uda datang. Ya udah kita bantuin
yok?
Romi : Ayooo…!
Tarmiji : Wah koh, kayaknya lagi banyak kerjaan nih?
Acong : (sambil tersenyum) biasa kan mau imlek.
Mali : Maaf koh, kira-kira perlu bantuan gak?
54
Acong : Boleh, kalo mau bantu. Oek sangat senang, ayo
silahkan.
(Dialog hansip Syape’i dan Acong pada scene 16)
Syape’i : Waduh udah pada sibuk aja nih? Bapak Acong, saya
bantu ya?
Acong : Iya, boleh-boleh ayo! Ayo silahkan ayo.
(Cuplikan dialog yang dilakukan oleh Leny, Syape’i, Romi, dan
Acong pada scene 16)
55
Cuplikan dialog setelah menghias rumah keluarga Wan Wan
Leny : Ini juga untuk Romi sama bang hansip.
Syape’i : Ndak usah Ci Leny, terima kasih. Maaf bukannya
kami ndak mau trima, tapi kami membantu ini dengan tulus kok.
Romi : Iya, kami ikhals Ci.
Acong : Sudah trima aja Romi, pak hansip, kami ikhlas kok.
Syape’i : Sekali lagi minta maaf, kami takut ketulusan kami ini
luntur kalau menerima uang ini.
Isi dari sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series
episode 439-441 menceritakan tentang persiapan Imek keluarga
Acong. Cuplikan dialog tersebut berlangsung di rumah keluarga
Acong yang akan menghias rumah dalam rangka menyambut
perayaan tahun baru Imlek. Melihat ornamen Imlek di depan
rumah keluarga Wan Wan, mereka menawarkan diri untuk
membantu. Sikap yang ditunjukkan oleh Mali, Tarmiji, Syape’i
dan Romi untuk membantu persiapan Imlek disambut bahagia oleh
Acong. Mereka membantu memasang dan menghias berbagai
ornamen Imlek seperti lampion dan pohon bambu. Tokoh Mali,
Tarmiji, Syape’i dan Romi digambarkan sebagai warga yang dekat
dengan orang yang berbeda etnis dan tidak se-agama.
Selesai memasang ornamen Imlek, mereka di jamu oleh
keluarga Wan Wan. Bahkan keluarga ini memberikan imbalan
kepada mereka sebagai bentuk menghargai Mali, Tarmiji, hansip
Syape’i dan Romi yang sudah membantu keluarganya menghias
rumah. Mali dan Tarmiji menerima pemberian amplop dari Leny
istri Wan Wan, karena di sisi lain
sikap Mali dan Tarmiji
membantu keluarga Wan Wan karena ingin mendapatkan imbalan.
56
Berbeda dengan Syape’i dan Romi yang menolak pemberian dari
Leny. Hal tersebut terlihat dari perkataan hansip Syape’i: “Ndak
usah Ci Leny, terima kasih. Maaf bukannya kami ndak mau trima,
tapi kami membantu ini dengan tulus kok”. Yang kemudian
diperjelas dengan jawaban Romi: “Iya, kami ikhals Ci”. Dialog
tersebut menggambarkan bahwa tokoh Syape’i dan Romi yang
memiliki rasa toleransi. Dimana tokoh Syape’i dan Romi yang
digambarkan pada sinetron ini memiliki jiwa sosial yang tinggi
terhadap keluarga Wan Wan meskipun bebeda etnis dan agama
dengan kesediaan mereka membantu persiapan Imlek keluarga
tersebut. Alur yang ditampilkan pada scene ini terlihat dari salah
satu wujud nilai sosial yang dilakukan hansip Syape’i dan Romi
yakni dengan tulus dan ikhlas membantu menghias rumah keluarga
Wan Wan yang akan merayakan tahun baru Imlek.
Tabel 4.4 Isi (scene 35)
Durasi
Keterangan
01:27:55
(Cuplikan dialog yang dilakukan Wan Wan, H. Muhidin, dan Ki
Dawud pada scene 35)
Wan Wan : Sebelumnya saya minta maaf pak haji sama semua
57
yang ada disini. Saya mohon bicara sebentar.
Ki Dawud : Iya silahkan aja ngomong….
H. Muhidin: Iya silahkan….
Wan Wan : Begini, menyambut perayaan Imlek, saya mau minta
ijin untuk merayakan pertunjukkan barongsai di rumah saya.
H. Muhidin : (dengan nada marah) Kagak bisa!!! Enak aja mau
ngadain gituan!!
Wan Wan : Jadi? Gak boleh pak haji? Waduh gimana ya,
Kebetulan saya sudah terlanjur memesan barongsainya.
Ki Dawud : Eh Din, lo harus kasih ijin. Emang kenape sih kagak
boleh? Itu kan hak nye dia, mau bikin acara menyambut
perayaan hari besarnye dia. Kalo lo kagak kasih ijin, gue
tambahin hukuman lo, mau? Si Acong kan temen gue.
H. Muhidin : Iye be, aye ijinin deh. Tapi inget ye jaga
keamanannye!
Ki Dawud : Nah begitu dong, sekali-sekali biar warga kampung
lo nonton barogsai dari deket,kan selama ini nonton dari filmfilm sama di TV-TV deh. Cong, Wan Wan, gak pape gua
tanggung jawab.
H. Muhidin :Iye be, ini aye juga kasih ijin, Cuma kasih taunya
dadakan. Besok lagi kalo kasih tau jangan dadakan ye?
Wan Wan : Iya, makasih pak haji RW.
Acong : Kamsiya, makasih pak haji RW.
Isi dari scene ini menceritakan tentang suasana ketika
keluarga Wan Wan datang ke rumah H. Muhidin selaku ketua RW
di kampung tersebut untuk meminta ijin. Dalam kunjungannya ke
rumah pak RW, Wan Wan mengutarakan maksud kedatangannya
58
dengan keluarga adalah untuk meminta ijin menyelenggarakan
pementasan barongsai pada peryaan tahun baru Imlek. Mendengar
maksud keluarga Wan Wan berkunjung ke rumahnya meminta ijin
untuk mengadakan pementasan barongsai, H. Muhidin menjawab
dengan nada marah dan tidak memberikan ijin. Suasana berubah
menjadi hening ketika H. Muhidin tidak memberikan ijin, Wan
Wan dan keluarganya pun terlihat bingung karena sudah terlanjur
memesan barongsai.
Maksud dari Wan Wan dan keluarganya menemui H.
Muhidin, selain meminta ijin juga menunjukkan etika keluarga
Wan
Wan
menghormati H.
Muhidin
selaku
ketua
RW
dilingkungan tempat tinggalnya. Jika maksud kedatangan keluarga
Wan Wan selain meminta ijin menyelenggarakan pementasan
sebagai bagian dari perayaan Imlek keluarga tersebut, tetapi juga
sebagai pemberitahuan.
Dalam cuplikan dialog di atas, Ki Dawud menegur H.
Muhidin yang memberikan penjelasan, jika rencana keluarga Wan
Wan ingin mengadakan pementasan barongsai merupakan hak
mereka sebagai wujud memperingati hari besarnya. Sikap Ki
Dawud yang berusaha memberikan penjelasan kepada H. Muhidin,
juga menunjukkan betapa dia menghargai hak-hak keluarga Wan
Wan sebagai warga yang berketurunan Tionghoa dan beragama
Khonghuchu yang akan merayakan Imlek. Dengan teguran Ki
Dawud tersebut, akhirnya H. Muhidin memberikan ijin kepada
keluarga Wan Wan menyelenggarakan pementasan barongsai. Hal
tersebut membuat lega dan bahagia keluarga Wan Wan karena
akhirnya mendapat ijin menyelenggarakan pementasan barongsai
di kampung yang masyarakatnya beragama Islam.
59
Alur yang ditampilkan pada scene ini terlihat dari tokoh Ki
Dawud digambarkan sebagai seseorang yang dekat dengan
keluarga Acong yang berbeda etnis dan agama. Salah satu bentuk
sikap toleransi Ki Dawud adalah bersedia bertanggung jawab atas
acara pementasan barongsai yang diselenggarakan keluarga
Acong. Dengan sikap tersebut menunjukkan bahwa sosok Ki
Dawud dalam sinetron ini merupakan masyarakat dan umat Islam
yang baik dan memiliki rasa toleransi yang tinggi.
Tabel 4.5 Isi (scene 39)
Durasi
Keterangan
01:38:34
(Cuplikan dialog yang dilakukan Ki Dawud dan Acong pada
scene 39)
Ki Dawud : Waduh, udah rapi ni Cong?
Acong : Iya pak mandor, kita mau ke klenteng. Maklum
kampung ini nggak ada klentengnya.
Ki Dawud : Emang kagak ada disini. Ngomong-ngomong
kompak banget pake baju merah-merah. Yang semangat ye
tahun baru Imlek.
Acong : Oh iya pak mandor, jangan lupa ntar siang kesini ya?
60
Ada itu, pementasan Barongsai.
Ki Dawud : Tenang Cong! Insyaallah gua bakal dateng deh,
gua pengen liat Barongsai dari deket.
Acong : Kamsiya, terima kasih ya…
Isi dari scene diatas menceritakan tentang suasana perayaan
tahun baru Imlek keluarga Wan Wan. Dialog tersebut terjadi ketika
keluarga Wan Wan akan pergi ke klenteng untuk beribadah. Ki
Dawud dan Roby yang kebetulan melewati rumah keluarga Acong,
mereka menyapa dan memberikan semangat kepada keluarga
tersebut dalam merayakan Imlek. Mendapat semangat dari
temannya yang beragama Islam tentunya membuat Acong dan
keluarganya merasa bahagia. Acong mewakili keluarganya
mengucapkan terima kasih atas semangat yang diberikan Ki
Dawud dan Roby kepada keluarga mereka. Acong juga
mengundang Roby dan Ki Dawud dengan mengingatkan mereka
untuk hadir pada pementasan barongsai yang diselenggarakan oleh
keluarganya. Undangan dari keluarga Acong disambut baik oleh
Ki Dawud dengan kesediaannya akan hadir menonton pementasan
barongsai. Pemberiaan semangat dan kesediaan hadir dalam
pementasan barongsai oleh Ki Dawud sebagai umat Islam ini
menunjukkan bahwa adanya hubungan toleransi antara umat Islam
terhadap keluarga yang beragama Khonghuchu yang merayakan
tahun baru Imlek.
61
Tabel 4.6 Isi (scene 41)
Durasi
Keterangan
01:40:38
(Cuplikan dialog yang dilakukan H. Muhidin dan Mahmud pada
scene 41)
H. Muhidin : Kayak anak kecil aja lu pada!!
Mahmud : Eh Bang, eh kampung kita belum pernah ada
pementasan Barongsai. Baru sekarang nih, rugi kalo kagak
nonton, ikut nonton kagak?
H. Muhidin :Kagak ah, kaki gua juga masih sakit, yang ada ntar
diinjek-injek.
Rumanah, Roby, Ki Dawud, Nini : Assalamuallaikum…
H. Muhidin : Nah ini lu juga pada mau kmana sih?
Ki Dawud : Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape?
Rumanah : Abah gak mau ikut?
H. Muhidin : Kagak, kagak penting nonton begituan rum, udah
sono kalu mau pergi.
Rumanah: Kami pergi ya bah, assalamuallaikum.
Tidak lama kemudian, Ustad Zakaria, Umi Zakaria, dan Riyamah
lewat depan toko H. Muhidin hendak ke rumah keluarga Wan
Wan
62
01:41:23
(Cuplikan dialog yang dilakukan H. Muhidin dan ustad Zakaria pada
scene 41)
Ustad Zakaria : Assalamualaikum, pak Haji….
Riyamah, Umi Zakaria : Assalamualaikum…
H. Muhidin : Waalaikumsalam….
Ustad Zakaria : Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton
barongsai?
H. Muhidin : Kagak pak ustad, eh Ini mamah ngomong-ngomong
mau nonton barongsai juga?
Riyamah : Iya pak Haji….
H. Muhidin : (hening)
Ustad Zakaria : Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak?
H. Muhidin : Oh jelas dong, ikut dong! Kan aye ketua RW, Acong
sama Wan Wan aje ngundang saya secara khusus. Pak ustad,
tunggu sebentar ye? Mamah tunggu ye?
63
Isi dari scene diatas menceritakan tentang para warga yang
akan pergi ke rumah keluarga Wan Wan untuk menonton
barongsai. Terlihat Mahmud dan keluarganya yang bersemangat
untuk menonton pementasan barongsai. Ketika melewati depan
toko H. Muhidin, dia berkata “Kayak anak kecil aja lu pada!!”.
Mendengar perkataan H. Muhidin tersebut, Mahmud memberikan
jawaban jika di kampungnya baru pertama kali ada pementasan
barongsai dan rugi jika tidak menonton. Dari jawaban Mahmud
tersebut, kehadirannya untuk menonton pementasan barongsai
sebagai bentuk menghormati perayaan imlek yang dirayakan oleh
keluarga Wan Wan. Mahmud juga mengajak H. Muhidin untuk
menonton pementasan barongsai namun ditolaknya.
Beberapa saat kemudian Ki Dwaud, Nini, Roby, dan Rumanah
juga pergi ke rumah keluarga Wan Wan untuk menonton
pementasan barongsai. Melihat keluarga, H. Muhidin menanyakan
mereka akan pergi kemana. Kemudian di jawab oleh Ki Dawud
“Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape?”. Sikap yang
ditunjukkan oleh Ki Dawud, Nini, Roby dan Rumanah datang ke
rumah keluarga Acong menunjukkan jika mereka sebagai non
Tionghoa sama halnya dengan Mahmud dan keluarganya yaitu
menghormati dan menghargai acara pementasan barongsai sebagai
bagian dari perayaan Imlek yang dirayakan oleh keluarga Acong.
Tidak beberapa lama setelah keluarga Mahmud, Ki dawud,
Nini, Roby, dan Rumanah pergi ke rumah Acong, keluarga ustad
Zakaria dan Riyamah melewati toko H. Muhidin. Mereka juga
hendak pergi ke rumah keluarga Acong untuk menonton
pementasan barongsai. Melihat H. Muhidin di depan tokonya dan
terlihat sedang melamun ustad Zakaria menyapa H. Muhidin
dengan salam. Kemudian ustad Zakaria mengajak H. Muhidin
64
menonton pementasan barongsai yang terlihat pada dialog:
“Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak?”,yang kemudian
dijawab H. Muhidin dengan bersemangat “Oh jelas dong, ikut
dong! Kan aye ketua RW, Acong sama Wan Wan aje ngundang
saya secara khusus. Pak ustad, tunggu sebentar ye? Mamah
tunggu ye?”. Dari dialog tersebut terlihat, jika sebelumnya H.
Muhidin tidak mau datang ke rumah keluarga Acong, karena ada
Riyamah perempuan yang disukainya, akhirnya dia memutuskan
untuk ikut rombongan ustad Zakaria pergi ke rumah keluarga
Acong
menyaksikan pementasan barongsai.
Selain karena
Riyamah, sikap yang ditunjukkan H. Muhidin juga untuk
menghargai undangan keluarga Acong yang secara khusus
mengundangnya selaku ketua RW di kampung tersebut.
Kesediaan keluarga ustad Zakaria hadir ke rumah keluarga
Acong menunjukkan sikap sebagai anggota masyarakat dan umat
Islam yang menghormati keluarga Acong yang pada saat hari
tersebut merayakan tahun baru Imlek dan menghargai kebudayaan
keluarga Acong yaitu budaya Cina dengan menonton pementasan
barongsai yang diselenggarakan.
Berdasarkan dari uraian diatas menampilkan alur sikap
menghormati masyarakat yang beragama Islam terhadap etnis
Tionghoa yang merayakan Imlek, ditunjukkan dengan menghadiri
acara yang diselenggarakan yaitu pementasan barongsai sebagai
tradisi etnis Tionghoa sebagai wujud toleransi.
65
Tabel 4.7 Isi (scene 42)
Durasi
Keterangan
(Cuplikan gambar pementasan barongsai, scene 42)
(Cuplikan dialog yang dilakukan Tarmiji dan Acong pada scene 42)
Tarmiji : Gong Xi Fa Chai
Acong :Eh, terima kasih ya. Doain keluarga gue awet, sukses
merayakan Imlek ini!
Tarmiji : Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin
banyak. Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai
Mali : (bersalaman dengan keluarga Wan Wan) Gong Xi Fa Chai,
Gong Xi Fa Chai
66
Isi dari scene 42, melalui visualisasi gambar disuguhkan
tentang pementasan barongsai di rumah keluarga Wan Wan.
Pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga
beretnis Tionghoa tersebut terlihat sangat meriah. Seluruh warga
yang mayoritas beragama Islam ikut berpartisipasi dengan hadir ke
rumah keluarga Wan Wan dan menyaksikan pertunjukkan
barongsai. Terlihat para warga terhibur dan senang dengan acara
yang disuguhkan oleh keluarga Wan Wan, karena pertunjukkan
barongsai baru pertama kali diselenggarakan di kampung tersebut.
Sikap yang ditunjukkan oleh seluruh warga dengan hadir di acara
acara tersebut yang merupakan bagian dari perayaan Imlek etnis
Tionghoa menggambarkan jika berbeda etnis, budaya dan agama
tetapi dapat hidup berdampingan dan harmonis dengan saling
menghormati.
Setelah pementasan barongsai selesai, diceritakan mengenai
keluarga Acong yang membagikan angpau kepada para warga
setelah pementasan barongsai selesai. Seperti yang dapat diketahui
jika perayaan Imlek identik dengan pembagian angpau oleh orangorang berketurunan Tionghoa. Terlihat para warga dengan antusias
mengantri untuk mendapatkan angpau. Ketika Tarmiji menerima
angpau dia juga mengucapakan “Gong Xi Fa Chai” kepada
keluarga Acong.Ucapan “Gong Xi Fa Chai” merupakan ucapan
pada perayaan tahun baru Imlek. Keluarga Acong terlihat sangat
senang dengan ucapan yang diberikan Tramiji dan meminta doa
agar keluarganya awet serta sukses dalam merayakan Imlek. Yang
kemudian dijawab oleh Tarmiji pada dialog berikut: “Iya koh,
mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin banyak. Gong Xi
Fa Chai, Gong Xi Fa Chai”. Sikap yang ditunjukkan Tarmiji
sebagai umat Islam, merupakan bentuk menghormati dan
67
menghargai keluarga Acong yang merayakan Imlek. Tidak hanya
Tramiji, Mali juga mengucapakan“Gong Xi Fa Chai” kepada
keluarga Acong. Memberikan ucapan selamat tahun baru dan
mendoakan keluarga Acong menunjukkan adanya sikap toleransi
dan menghargai perbedaan baik etnis, budaya, dan agama.
4. Penutup
Tabel 4.8 Penutup
Durasi
Keterangan
02:05:36
(Cuplikan dialog yang dilakukan H. Muhidin dan Rumanah
pada scene 50)
H. Muhidin : Assalamualaikum….
Rumanah, Roby : Waalaikumsalam…..
H. Muhidin : Wah udah pulang seneng-seneg yah? Anak jaman
sekarang bukannya banyak istighfar, dzikir, sholat, eh hobinya
seneng-seneng doang, kalo ada tontonan heboh, pengen
nonton terus.
Rumanah : Bah, abah kenapa sih suka banget berprasangka
yang enggak-enggak dari dulu? Kenapa sih bah? Lagian kan
68
apa yang kita lakuin tadi juga gak dosa, nggak menyebabkan
kemusyrikan kan? Karena itu semua sifatnya hanya hiburan
semata bah.
H. Muhidin : Yaa.. tapi baiknya itu kan tenang di rumah.
Kesana itu kagak ada manfaatnya nonton begituan.
Rumanah : Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada
manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka punya
kebahagiaan sendiri bah.
H. Muhidin :Ah sok tau lu…
Rumanah : Ya… Rum bukan sok tau bah. Ya udah terserah deh
bah kalo abah nilainya seperti itu, yang jelas kedatangan kita
tadi tujuannya baik.
Bagian penutup dari sinetron ini menjelaskan tentang maksud
kedatangan Rumanah dan Roby di rumah keluarga Acong, yang
menurut H. Muhidin anak sekarang heboh jika ada tontonan dan
menonton pementasan barongsai tidak ada manfaatnya. Perbedaan
pendapat terjadi diantara Rumanah dengan H. Muhidin mengenai
pandangan mereka menonton pementasan barongsai di rumah
keluarga Acong. Pernyataan dari Rumanah yang mengatakan “Ya
mungkin buat abah sama sekali gak ada manfaatnya, tapi buat
keluarga babah Acong, mereka punya kebahagiaan sendiri bah”.
Rumanah menjelaskan kepada Abahnya jika tujuannya dengan
Roby menonton barongsai sebagai bentuk menghormati keluarga
Acong yang merayakan tahun baru Imlek karena menonton
pementasan barongsai sifatnya sebagai hiburan yang tidak
menimbulkan dosa dan kemusyrikan. Alasan lain juga dijelaskan
69
Rumanah kepada Abahnya, mengenai kedatangannya dengan
Roby dan juga para warga lain tentunya juga akan memberikan
kebahagiaan tersendiri bagi keluarga Acong yang merupakan satusatunya keluarga yang berketurunan Tionghoa dan beragama
Khong Hu Chu di kampung tersebut.
Sikap yang ditunjukkan oleh Rumanah dan Roby hadir ke
rumah keluarga Acong tidak hanya sekedar menonton pementasan
barongsai saja, melainkan juga menghargai budaya keluarga
Acong sebagai etnis Tionghoa. Selain itu juga sebagai bentuk
diterimanya barongsai sebagai budaya China/ Tionghoa di tengahtengah masyarakat yang beragama Islam.
Berdasarkan analisa peneliti pada superstruktur, alur teks pada
sinetron mengenai konsep Imlek yaitu menayangkan toleransi
masyarakat yang beragama Islam terhadap perayaan tahun baru Imlek
etnis Tionghoa. Dalam menyuguhkan toleransi antar suku dan umat
beragama, hampir seluruh tokoh sinetron ini menunjukkan sikap
toleransinya yang ditunjukkan dengan berbagai bentuk. Strategi
tersebut menekankan wacana mengenai masyarakat Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku, budaya, serta agama sebagai upaya
mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan multikultural.
Alur pada sinetron ini menempatkan barongsai sebagai budaya
yang penting sebagai bagian dari perayaan Imlek oleh sinetron Tukang
Bubur Naik Haji The Series pada episode 439-441 sebagai media,
barongsai bukan lagi hal yang dilarang seperti masa Orde Baru.
Pengemasan pertunjukkan barongsai sebagai wujud kebebasan bagi
etnis Tionghoa dalam melestarikan dan mengekspresikan budaya
Tionghoanya.
70
Pada bagian isi sinetron merupakan penggambaran sikap
toleransi antar suku dan umat beragama masyarakat yang beragama
Islam terhadap perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh salah
satu keluarga yang beretnis Tionghoa. Pada beberapa scene, bagian isi
digambarkan secara detil mengenai sikap toleransi, baik membantu
persiapan Imlek dan memberikan ijin menyelenggarakan pertunjukkan
barongsai sebagai adat istiadat etnis Tionghoa saat tahun baru Imlek,
menghormati dan menghargai keluarga etns Tionghoa yang akan
beribadah ke klenteng, serta menghadiri acara yang untuk menonton
pertunjukkan barongsai sebagai bagian dari perayaan tahun baru Imlek
keluarga tersebut. Sedangkan pada bagian penutup menjelaskan bahwa
sikap toleransi yang ditunjukkan oleh masyarakat Islam terhadap
perayaan Imlek sesuai dengan batasan dari ajaran agama.
4.3.1.3 Analisis Struktur Mikro
Struktur mikro merupakan makna lokal dari suatu teks yang
dapat di amati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh
suatu teks. Dalam struktur mikro ini akan terlihat bagaimana
sesungguhnya makna lokal yang ingin dibangun dalam sinetron ini.
Penulis akan mengamati beberapa scene yang menjadi objek kajian
dalam struktur ini. Berikut analisis struktur mikro sinetron Tukang
Bubur Naik Haji The Series episode 39-440-441.
a. Scene 12 dan 16
Dalam scene 12 dan 16 menggambarkan kesediaan Mali,
Tarmiji, Syape’i dan Romi membantu persiapan Imlek keluarga
Wan Wan, membawa suatu pemahaman mengenai penerimaan dan
dukungan terhadap perayaan tahun baru Imlek keluarga etnis
Tionghoa. Sikap Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi sebagai pemeluk
Islam yang bersedia membantu berbeda motif dan tujuan; Mali dan
71
Tramiji membantu keluarga Wan Wan karena berharap ada imbalan
upah yang diterima, sedangkan Syape’i dan Romi membantu
dengan niat tulus dan ikhlas untuk keluarga Wan Wan dalam
penyelenggaraan perayaan tahun baru Imlek. Sebagai penerimaan
dan dukungan dapat dilihat dari beberapa adegan Mali, Tarmiji,
Syape’i dan Romi pada scene 12 dan 16 seperti analisa berikut ini.
Scene 12
Syape’i : Eh selamat siang babah Acong, koh Wan Wan, ci leny,
ngomong-ngomong ini kok pada penuh? Dari mana mau
kemana to?
Acong : Yah biasa…habis belanja keperluan Imlek
Syape’i : Waaahh Gong Xi Fa Chai? Kalo begitu pasti ada yang
bisa saya bantu dong nanti buat acara Imlek?
Makna yang ingin ditampilkan scene 12 episode 439-441
sinetron
Tukang
Bubur
Naik
Haji
The
Series
adalah
menggambarkan interaksi harmonis antara warga beretnis Tinghoa
yang akan merayakan Imlek dengan masyarakat yang beragama
Islam. Penempatan kalimat yang menjelaskan bahwa tokoh Syape’i
dan Romi bersedia membantu keluarga Acong untuk acara Imlek,
memberikan asumsi bahwa perayaan Imlek mendapat sambutan
yang baik di lingkungan tempat tinggal keluarga Acong yang
mayoritas menganut agama Islam. Kalimat tersebut memberi
gagasan bahwa etnis Tionghoa membaur dengan masyarakat yang
berbeda suku serta agama.
Berdasarkan uraian scene 12, peneliti dapat menganalisa
bahwa cuplikan dialog diatas mengarah pada wacana yang
dibangun mengenai dukungan dan penerimaan etnis Tionghoa dan
beragama Khonghuchu oleh masyarakat khususnya yang beragama
Islam. Disisi lain, sinetron ini secara tidak langsung melalui wacana
72
yang dibangun tersebut memberikan gambaran bagi masyarakat
mengenai suatu hubungan interaksi harmonis antar suku dan antar
agama
untuk
mengajarkan
pentingnya
menghargai
dan
menghormati meskipun terdapat banyak perbedaan. Selain itu,
penggunaan kata “Gong Xi Fa Chai” pada awal cerita tentunya
dibuat dengan tujuan tertentu, termasuk untuk membangun
pemahaman mendasar tentang topik yang akan disampaikan. Hal
tersebut menjelaskan bahwa keluarga beretnis Tionghoa tersebut
akan merayakan tahun baru Imlek.
Scene 16
Tarmiji : Wah koh, kayaknya lagi banyak kerjaan nih?
Acong : (sambil tersenyum) biasa kan mau imlek.
Mali : Maaf koh, kira-kira perlu bantuan gak?
Acong : Boleh, kalo mau bantu. Oek sangat senang, ayo silahkan.
Syape’i : Waduh udah pada sibuk aja nih? Bapak Acong, saya
bantu ya?
Acong : Iya, boleh-boleh ayo! Ayo silahkan ayo.
Dari scene 16, makna yang ingin ditampilkan yaitu bahwa
perayaan Imlek keluarga Acong juga disambut bahagia oleh
masyarakat tempat tinggalnya, meskipun mereka tidak merayakan
Imlek. Terlihat dengan kesediaan tokoh Mali, Tarmiji, Syape’i dan
Romi membantu menghias rumah dalam keluarga Acong,
membawa suatu pemahaman bahwa masyarakat yang tidak
merayakan Imlek ikut merasakan kemeriahan tersebut.
Sikap yang ditunjukkan Mali, Tarmiji, Syape’i dan Romi dalam
membantu persiapan Imlek keluarga Acong merupakan bukti
bahwa sebagai anggota masyarakat muslim mengamalkan ajaran
agama mengenai toleransi dengan sikap dan perilakunya terhadap
warga non muslim. Terlebih seperti apa yang dilakukan oleh Syapei
73
dan Romi membantu dengan niat tulus dan ikhlas seperti yang
terlihat dalam scene 16 ketika keluarga Acong memberikan imbalan
dalam membantu persiapan perayaan Imlek, namun ditolak oleh
mereka yang terlihat pada teks kalimat Syape’i: “Ndak usah Ci
Leny, terima kasih. Maaf bukannya kami ndak mau trima, tapi kami
membantu ini dengan tulus kok”. Yang kemudian diperjelas dengan
jawaban Romi: “Iya, kami ikhals Ci”.
Berdasarkan analisa peneliti, pada scene 16 memberikan makna
mengenai ketulusan dalam membantu, sebagai bentuk sikap
toleransi terhdap etnis Tionghoa meskipun berbeda latar belakang
baik suku, agama, dan budaya.
b. Scene 35 dan 39
Scene 35
Wan Wan : Sebelumnya saya minta maaf pak Haji, sama semua
yang ada disini. Saya mohon bicara sebentar.
Ki Dawud : Iya silahkan aja ngomong….
H. Muhidin: Iya silahkan….
Wan Wan : Begini, menyambut perayaan Imlek, saya mau minta
ijin untuk merayakan pertunjukkan barongsai di rumah saya.
H. Muhidin : (dengan nada marah) Kagak bisa!!! Enak aja mau
ngadain gituan!!
Wan Wan : Jadi? Gak boleh pak haji? Waduh gimana ya,
Kebetulan saya sudah terlanjur memesan barongsainya.
Dari cuplikan dialog diatas dapat dilihat bahwa tujuan keluarga
Wan Wan selain meminta ijin juga sebagai pemberitahuan kepada
H. Muhidin yang menjabat sebagai ketua RW di kampung tersebut,
bahwa keluarga Wan Wan akan mengadakan pementasan barongsai
saat perayaan tahun baru Imlek.
74
Berdasarkan analisa peneliti pada dialog yang diugkapkan oleh
tokoh Wan Wan diatas memberikan makna, bahwa keluarga Wan
Wan sebagai masyarakat minoritas menunjukkan etika dengan
meminta ijin dan pemberitahauan mengenai pementasan barongsai
yang akan diselenggarakan sebagai bentuk menghormati ketua RW
yaitu H. Muhidin. Hal tersebut membawa suatu pemahaman bahwa
nilai-nilai
etika
merupakan
hal
penting
dalam
kehidupan
bermasyarakat, karena manusia sebagai makhluk sosial akan selalu
bersinggungan dengan manusia lain.
Ki Dawud : Eh Din, lo harus kasih ijin. Emang kenape sih kagak
boleh? Itu kan hak nye dia, mau bikin acara
menyambut perayaan hari besarnye dia. Kalo lo kagak
kasih ijin, gue tambahin hukuman lo, mau? Si Acong
kan temen gue.
Wacana yang ingin ditampilkan yaitu sikap toleransi yang
ditunjukkan Ki Dawud, salah satu sikapnya yang mencerminkan
toleransi terlihat pada kalimat yang terdapat scene 35 ketika Ki
Dawud menegur dan akan menambah hukuman H. Muhidin agar
keluarga Wan Wan diberikan ijin menyelenggarakan pertunjukkan
barongsai saat perayaan Imlek. Sikap yang ditunjukkan oleh Ki
Dawud mengungkapkan bahwa perayaan Imlek yang dirayakan
oleh etnis Tionghoa dan beragama Khong Hu Chu merupakan hak
mereka dalam menyelenggarakan perayaan hari besar.
Berdasarkan analisa peneliti pada dialog diatas membawa
suatu pemahaman, jika perayaan Imlek yang dirayakan oleh etnis
Tionghoa sebagai kaum minoritas di Indonesia perlu diberikan
kebebasan sebagai bentuk hak asasi manusia.
75
Dalam setiap agama mengajarkan akan pentingnya toleransi,
begitu juga dalam ajaran Islam. Hal tersebut terlihat jelas pada Qs.
Al-hujarat:
13
(Al-Quran
dan
terjemahannya:
517),
yang
menerangkan bahwa Tuhan menghendaki penciptaan manusia
beragam. Keberagaman sengaja diciptakan sebagai media untuk
saling mengenal, berdialog, dan kerjasama. Karena dengan saluran
saling mengenal, kedamaian dan ketentraman, di alam dunia ini.
Dalam konteks sinetron ini, ditampilkan sikap toleransi seperti
yang terlihat pada tokoh Ki Dawud dengan menghormati dan
menghargai keluarga Acong yang akan beribadah ke klenteng saat
perayaan tahun baru Imlek, walaupun di kampung tersebut tdak
terdapat klenteng, hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga Acong
merupakan warga minoritas. Seperti yang dipaparkan dalam scene
39, tokoh Ki Dawud memberikan semangat kepada keluarga Acong
dalam merayakan Imlek sebagai bentuk toleransi.
Dalam pemilihan kata dan kalimat yang diproduksi pada
sinetron ini memberikan detil mengenai toleransi seperti yang
diungkapkan tokoh Ki Dawud dalam kalimat “emang kagak ada
disini. Ngomong-ngomong kompak banget pake baju merah-merah.
Yang semangat ye tahun baru Imlek” terhadap keluarga Acong.
Kalimat tersebut memiliki maksud dan mengarah pada suatu
pemahaman bahwa perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh
kaum minoritas di tengah-tengah masyarakat mayoritas merupakan
bentuk diterima dan didukungnya perayaan tersebut.
Berdasarkan uraian dari cuplikan dialog diatas, peneliti
berkesimpulan jika sinetron ini bermaksud menyampaikan pesan
sosial dan membangun wacana toleransi bagi penonton terhadap
kehidupan berbangsa dengan beragam suku, budaya, dan agama
yang mengedepankan nilai toleransi antar sesama.
76
Adegan-adegan dalam scene 35 dan 39 yang telah diuraikan di
atas memperkuat tema utama dalam sinetron Tukang Bubur Naik
Haji The Series episode 439-441, sehingga mudah untuk dipahami
maksud dari sinetron tersebut.
c. Scene 41 dan 42
Sinetron Tukang bubur Naik Haji the Series episode 439-441
mengusung tema Imlek melalui produksi pesan sosial pada tokohtokoh sinetron yang berlatar belakang agama Islam untuk
mengarahakan
masyarakat
mengenai
nilai
toleransi
dalam
kehidupan berbangsa. Dengan mengangkat tema tentang perayaan
tahun baru Imlek dalam sinetron ini, merupakan bentuk menghargai
tradisi dan kepercayaan masyarakat etnis Tionghoa sebagai bagian
dari budaya Indonesia yang diterima oleh masyarakat. Penanaman
nilai toleransi yang dikonstruksi pada sinetron ini, mengarahkan
masyarakat agar tidak ada lagi sikap diskriminasi dan pembedaan
terhadap suku, budaya, serta agama pada masyarakat minoritas
seperti etnis Tionghoa. Hal tersebut terlihat pada beberapa adegan
dalam sinetron yang dipaparkan berikut ini.
Scene 41
Rumanah, Roby, Ki Dawud, Nini : Assalamuallaikum…
H. Muhidin : Nah ini lu juga pada mau kmana sih?
Ki Dawud : Mau ke rumah temen gua si Acong, emang nape?
Rumanah : Abah gak mau ikut?
H. Muhidin : Kagak, kagak penting nonton begituan rum, udah
sono kalo mau pergi.
Rumanah: Kami pergi ya bah, assalamuallaikum.
H. Muhidin : Waalaikumsalam
(kemudian H. Muhidin melamun)
77
Ustad Zakaria : Assalamualaikum, pak Haji….
Riyamah, Umi Zakaria : Assalamualaikum…
H. Muhidin : Waalaikumsalam….
Ustad Zakaria : Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton barongsai?
H. Muhidin : Kagak pak ustad, eh Ini mamah ngomong-ngomong
mau nonton barongsai juga?
Riyamah : Iya pak Haji….
H. Muhidin : (hening)
Ustad Zakaria : Gimana pak Haji jadi mau nonton kagak?
H. Muhidin : Oh jelas dong, ikut dong! Kan aye ketua RW, Acong
sama Wan Wan aje ngundang saya secara khusus. Pak ustad,
tunggu sebentar ye? Mamah tunggu ye?
Pemilihan kalimat dalam scene 41, menggambarkan para
warga yang mayoritas muslim berbondong-bondong datang ke
rumah keluarga Wan Wan untuk menonton pertunjukkan barongsai,
menunjukkan adanya toleransi yang terlihat pada kesediaan dan
partisipasi mereka datang menonton pertunjukkan barongsai yang
diselenggarakan oleh keluarga Wan Wan sebagai bagian dari
perayaan tahun baru Imlek, hal teresbut memberikan makna jika
perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh etnis Tionghoa juga
dirasakan
dengan
sikap
senang
menonton
barongsai
oleh
masyarakat non Tionghoa terlebih tontonan tersebut baru pertama
kali diselenggarakan dikampungnya. Selain menghormati perayaan
keluarga
beretnis
Tionghoa
yang
di
lingkungan
tersebut,
pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan juga sebagai media
hiburan bagi para warga yang beragama lain.
Berdasarkan dari analisa peneliti, scene 41 menjelaskan bahwa
perayaan Imlek mendapat dukungan dari masyarakat sebagai
bentuk tidak adanya pembedaan bagi etnis Tionghoa dan beragama
78
Khonghuchu
sebagai
etnis
dan
agama
minoritas.
Selain
memberikan arahan nilai sosial bagi penonton atau pemirsa juga
untuk dapat menghargai budaya etnis Tionghoa sebagai bagian dari
kekayaan budaya Bangsa Indonesia. Dalam pemaparan lain, terlihat
bagaimana hasil pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh
keluarga Wan Wan terhadap masyarakat, yaitu hubungan yang
harmonis antar etnis dan agama.
Rasa ketertarikan yang
ditunjukkan masyarakat beragama Islam terhadap pertunjukkan
barongsai memberikan keuntungan tersendiri bagi keluarga beretnis
Tionghoa yaitu rasa senang dan bahagia karena keberadaannya
dapat diterima oleh masyarakat dilingkungannya.
Perwujudan toleransi masyarakat yang beragama Islam
dilakukan sebagai bukti dalam kerangka hubungan sosial,
diperlukan sikap toleransi tanpa memandang suku, budaya, dan
agama. Disisi lain kehadiran masyarakat menonton pertunjukkan
barongsai menunjukkan adanya hubungan harmonis yang terjalin
dan
memberikan
keuntungan
bagi
etnis
Tionghoa
untuk
mengekspresikan kebudayaan Tionghoanya dan sebagai media
untuk
menunjukkan
kepada
masyarakat
bahwa
barongsai
merupakan kebudayaan etnis Tionghoa.
Barongsai yang di kemas dalam sinetron Tukang Bubur Naik
Haji The Series episode 439-441 ditempatkan sebagai bagian yang
penting
dalam
perayaan
tahun
baru
Imlek.
hal
tersebut
menunjukkan bahwa barongsai tidak lagi dianggap sebagai budaya
etnis Tionghoa yang dilarang seperti yang selama ini diberlakukan
pada masa pemerintahan presiden Soeharto yang melarang berbagai
hal berbau Tionghoa. Sehingga pertunjukkan barongsai tidak lagi
dianggap sebagai suatu hal yang dilarang, bahkan sekarang ini
79
kebudayaan etnis Tionghoa tersebut diterima oleh masyarakat dari
berbagai suku dan agama.
Scene 42
Tarmiji : Gong Xi Fa Chai
Acong :Eh, terima kasih ya. Doain keluarga gue awet, sukses
merayakan Imlek ini!
Tarmiji : Iya koh, mudah-mudahan keluarga koh rejekinya makin
banyak.Gong Xi Fa Chai, Gong Xi Fa Chai
Mali : (bersalaman dengan keluarga Wan Wan) Gong Xi Fa Chai,
Gong Xi Fa Chai
Penggunaan kata ”Gong Xi Fa Chai” pada dialog scene 42
mengarah pada pesan mengenai ucapan pada perayaan Imlek. Hal
tersebut pula yang terlihat pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji
The Series episode 439-441 yang diucapkan tokoh Mali dan Tarmiji
kepada keluarga Acong. Dari cuplikan dialog pada scene 42 diatas
memberikan makna adanya toleransi masyarakat yang beragama
Islam terhadap keluarga beretnis Tionghoa sebagai minoritas yang
merayakan tahun baru Imlek.
Berdasarkan dari analisa peneliti, penggunaan kata “Gong Xi
Fa Chai“ yang biasa diberikan oleh masyarakat selama ini, hanya
bersifat ikut-ikutan. Karena penggunaan kata selamat tanpa
pemahaman mengenai arti kata”Gong Xi Fa Chai” sebagai ucapan
selamat tahun baru Imlek. Sebenarnya arti dari kata “Gong Xi Fa
Chai” sendiri yaitu “selamat semoga murah rezeki”. Kebiasaan
memberikan ucapan tersebut, selama ini digunakan oleh masyarakat
non etnis Tionghoa dalam memberikan ucapan selamat kepada etnis
Tionghoa pada perayaan tahun baru Imlek. Tetapi sebenarnya
“Gong Xi Fa Chai” bukanlah ucapan yang berkaitan langsung
dengan tahun baru, karena ucapan yang tepat adalah “Xin Nien
80
Kuai Lok” yang artinya selamat tahun baru. Ucapan pada perayaan
Imlek lebih lengkapnya “Gong Xi Fa Chai, Xin Nien Kuai Lok”
yang berarti “selamat semoga murah rezeki dan selamat tahun
baru”. Tetapi penggunaan “Gong Xi Fa Cahi” dalam cerita ini
bermaksud memberikan makna pesan bahwa agama Islam memiliki
sikap toleransi terhadap etnis Tionghoa dengan mengucapkan
kalimat tersebut.
d. Scene 50
H. Muhidin : Assalamualaikum….
Rumanah, Roby : Waalaikumsalam…..
H. Muhidin : Wah udah pulang seneng-seneg yah? Anak jaman
sekarang bukannya banyak istighfar, dzikir, sholat, eh
hobinya seneng-seneng doang, kalo ada tontonan
heboh, pengen nonton terus.
Rumanah : Bah, abah kenapa sih suka banget berprasangka yang
enggak-enggak dari dulu? Kenapa sih bah? Lagian kan
apa yang kita lakuin tadi juga gak dosa, nggak
menyebabkan kemusyrikan kan? Karena itu semua
sifatnya hanya hiburan semata bah.
H. Muhidin : Yaa.. tapi baiknya itu kan tenang di rumah. Kesana
itu kagak ada manfaatnya nonton begituan.
Rumanah : Ya mungkin buat abah sama sekali gak ada
manfaatnya, tapi buat keluarga babah Acong, mereka
punya kebahagiaan sendiri bah.
H. Muhidin : Ah sok tau lu…
Rumanah : Ya… Rum bukan sok tau bah. Ya udah terserah deh
bah kalo abah nilainya seperti itu, yang jelas
kedatangan kita tadi tujuannya baik.
81
Berdasarkan penggunaan kalimat dalam scene 50, peneliti
menganalisa bahwa cuplikan dialog pada tokoh Rumanah,
membawa suatu pemahaman tentang makna toleransi antar etnis
dan agama. Atas dasar hubungan sosial, ditunjukkan sikap toleransi
dengan mengahdiri pertunjukkan barongsai yang merupakan bagian
dari perayaan Imlek. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk empati
dan penghormatan dari masyarakat yang beragama Islam terhadap
perayaan Imlek etnis Tionghoa sebagai warga minoritas di
lingkungan mereka. Selain itu menonton barongsai juga tidak
menimbulkan dosa menurut ajaran agama Islam, karena hanya
bersifat hiburan saja.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada struktur mikro,
peneliti menganalisa bahwa secara keseluruhan, dari semua teks dalam
sinetron episode 439-441 menampilkan pesan sosial secara eksplisit.
Dalam menampilkan teks tersebut mengesankan pada penonton untuk
paham dan mengarahkan penonton mengenai makna pesan sosial yang
disampaikan. Karena sinetron ini menggambarkan toleransi tidak hanya
melalui dialog saja, namun juga menonjolkan melalui visual (gambar)
sebagai pendukung isi pesan yang disampaikan.
Dari seluruh uraian di atas, peneliti berkesimpulan bahwa dialog
dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441
tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana mestinya. Sinteron
ini menggunakan bahasa betawi dan sisipan bahasa mandarin pada
beberapa tokoh yang mudah dimengerti dan dipahami. Dengan
demikian meskipun menggunakan bahasa betawi dan sedikit bahasa
mandarin, akan tetapi masih mudah dipahami oleh penonton dan lebih
menekankan maksud dari sinetron, yang membedakan hanya gaya
bicara dan intonasi.
82
4.3.2 Analisis Kognisi Sosial Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series di
RCTI Episode 439-441
Pada analisis wacana model Van Dijk, analisis tidak hanya difokuskan
pada teks semata, karena struktur wacana menunjukkan atau menandakan
sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana
makna tersembunyi dari teks, membutuhkan analisis kognisi dan konteks
sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak
mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, yaitu
proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi pembuat teks dalam
memproduksi suatu teks (Eriyanto, 2011:260).
Analisis kognisi sosial dilakukan dalam sinetron ini untuk mengetahui
kenapa penggambaran wacana toleransi cenderung seperti itu, dibutuhkan
analisis kognisi sosial untuk menemukan struktur mental penulis cerita dan
skenario bagaimana struktur mental penulis cerita dan skenario ketika
memahami hal tersebut.
Pada proses terbentuknya teks mengenai pesan sosial, penulis cerita dan
skenario memasukkan isu yang tengah berkembang di masyarakat mengenai
perayaan tahun baru Imlek dengan memunculkan tokoh-tokoh berketurunan
Tionghoa. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441
berusaha untuk memberikan tontonan tentang toleransi yang dikemas secara
menarik dengan nuansa religi yang sesuai dengan latar belakang sinetron ini
yaitu religi Islam.
Berdasarkan analisa peneliti, terbentuknya teks mengenai pesan sosial
sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series ini, menceritakan kejadiankejadian seperti yang layaknya terjadi di kehidupan nyata. Seperti halnya yang
terlihat pada episode 439-441, sinetron ini ingin menyampaikan pesannya
didasarkan atas nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat. Penyampaian nilai
83
sosial dilakukan dengan menyajikan gambaran kepada penonton tentang
bagaimana toleransi antar etnis dan antar umat beragama melalui episode ini.
Bagaimana konsep toleransi antar etnis dan antar umat beragama dipahami,
dimengerti, dan kemudian digambarkan ke dalam teks, tentunya hal ini
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti memasukkan informasi sebagai
keperluan untuk menggambarkan nilai sosial. Dimana dalam analisa peneliti,
penggambaran wacana toleransi pada sinetron ini dipahami sebagai bentuk
mengajarkan ajaran agama Islam yaitu Nabi Muhammad SAW mengajarkan
Islam sebagai agama kasih sayang dan menolak kekerasan yang dapat memicu
konflik. Nabi juga melindungi minoritas dalam melaksanakan ibadah sesuai
keyakinannya (Spencer, 2003:226-228).
Mengacu dari ajaran agama yang mengajarkan pentingnya toleransi,
penggambaran bentuk toleransi pada sinetron ini terlihat pada sikap umat Islam
kepada masyarakat beretnis Tionghoa dan beragama Khonghuchu, dengan
menghormati dan menghargai perayaan Imlek seperti halnya dengan yang
dimunculkan pada sinetron ini. Nilai sosial yang ditekankan dalam sinetron ini
adalah nilai sosial yang mengandung penerapan sikap terhadap individu yang
bernilai kebaikan dalam ruang lingkup hubungan antar manusia yang tercermin
dalam sikap tokoh-tokoh sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode
439-441.
Sementara itu terkait dengan bagaimana penulis cerita dan skenario
memandang serta menggambarkan peran dan posisinya, sedikit banyak akan
berpengaruh dalam cerita sinetron yang diproduksi. Berdasarkan analisa
peneliti, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441
dipandang sebagai bentuk representasi mental penulis cerita dan skenario dalam
memandang toleransi. Bahwa toleransi antar etnis dan antar umat beragama
merupakan ajaran agama yang harus diamalkan. Oleh karena itu Imlek yang
kental dengan etnis Tionghoa menjadi konsep menarik bagi sinetron ini untuk
84
menyampaikan toleransi. Bahkan penayangan episode ini juga bertepatan
dengan perayaan tahun baru Imlek 10 Februari 2013.
4.3.3 Analisis Konteks Sosial Sinetron TukangBubur Naik Haji The Series di
RCTI Episode 439-441
Dimensi ketiga analisis wacana yang diungkapkan oleh Van Dijk adalah
konteks sosial. Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang di
masyarakat, sehingga untuk meneliti teks diperlukan analsis intertekstual
dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal dipoduksi dan
dikonstruksi dalam masyarakat. Menurut Van Dijk dalam analisis mengenai
masyarakat ada dua poin penting yaitu kekuasaan (power) dan akses (acess)
(Eriyanto,2011:272).
Dalam penelitian ini akan diuraikan penelitian bagaimana dimensi sosial
masyarakat mampu menjawab wacana apa yang muncul dalam sinetron Tukang
Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 terkait wacana toleransi dengan
konsep Imlek yang diangkat dalam sinetron ini.
1. Praktik kekuasaan
Van Dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan yang dimiliki
oleh suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol
kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya didasarkan pada kepemilikan atas
sumber-sumber yang bernilai seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain
berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik, kekuasaan dipahami oleh
Van Dijk juga berbentuk persuasif, tindakan seseorang secara tidak langsung
mengontrol dengan mempengaruhi kondisi mental seperti kepercayaan,
sikap, dan pengetahuan (Eriyanto, 2011:272). Analisis wacana memberikan
perhatian yang besar terhadap apa yang disebut sebagai dominasi, juga
memberi perhatian atas produksi lewat legitimasi melalui bentuk kontrol
pikiran. Secara umum dianalisis bagaimana proses produksi itu secara umum
dipakai untuk membentuk kesadaran dan konsensus.
85
Seperti yang telah diuraikan oleh Van Dijk, kekuasaan dipahami juga
berbentuk persuasif, tindakan seseorang secara tidak langsung mengontrol
dengan mempengaruhi kondisi mental, tentu dalam kajian ini yang
dimaksudkan adalah respon masyarakat yang dominan pemeluk agama Islam
terhadap keberadaan keluarga yang beretnis Tionghoa sebagai penganut
Konghuchu
yang merayakan perayaan tahun baru Imlek. Dengan
mengangkat konsep Imlek pada episode 439-441, memberikan gambaran
kepada masyarakat, khususnya anggota masayarakat yang beragama Islam
memandang pentingnya tentang toleransi didalam kehidupan bermasyarakat,
dengan berbeda budaya, berbeda etnis, dan berbeda agama tetapi saling
menghormati satu sama lain. Hal tersebut terlihat dari penggambaran
perayaan Imlek dalam masyarakat di lingkungan tempat tinggal keluarga
Wan Wan yang mayoritas pemeluk agama Islam, dimana dalam sinetron
tersebut muncul sikap antusias masyarakat untuk membantu persiapan
penyelenggaraannya maupun antusias di dalam menonton pertunjukkan
barongsai. Sehingga sinetron ini menggambarkan bentuk toleransi dengan
sikap dominasi masyarakat yang beragama Islam terhadap etnis Tionghoa
yang merayakan Imlek sebagai minoritas. Hal tersebut dikarenakan ingin
menekankan nilai-nilai sosial yang menyangkut toleransi bagi masyarakat
khususnya yang beragama Islam untuk mencontoh Nabi Muhammad SAW
dalam hal bagaimana realisasi tentang toleransi.
Disisi lain, kekuasaan yang terdapat pada sinetron Tukang Bubur Naik
Haji The Series episode 439-441 juga bersifat koersif. Komunikasi instruktif/
koersif adalah memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi (Widjaja,
2002:32). Koersif dapat berbentuk perintah atau instruksi. Akibat dari
kegiatan koersif adalah perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku dengan
perasaan terpaksa karena diancam, yang menimbulkan rasa tidak senang
(Effendy, 2008:21). Dalam konteks sinetron, toleransi yang bersifat koersif
terlihat pada tokoh H. Muhidin ketika mendapat tekanan dari Ki Dawud
86
untuk memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan menyelenggarakan
pementasan barongsai untuk perayaan tahun baru Imlek. Tekanan Ki Dawud
terhadap H. Muhidin dengan ancaman akan menambah hukuman jika tidak
memberikan ijin. Hal tersebut menandakan bahwa sikap M. Muhidin
memberikan ijin kepada keluarga Wan Wan dengan perasaan terpaksa.
Berdasarkan dari uraian diatas, konsep Imlek yang digambarkan pada
episode 439-441 sebenarnya merupakan praktik kekuasaan media dalam
memberikan pembelajaran kepada
masyarakat
mengenai pentingnya
toleransi. Wacana yang ditekankan dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji
The Series episode 439-441 sebagai upaya menumbuhkan rasa toleransi,
menghargai, dan menghormati antar etnis dan antar pemeluk agama lain bagi
masyarakat dan mengamalkan ajaran Islam.
2. Akses Atas Media
Analisis wacana Van Dijk memberi perhatian yang besar pada akses,
bagaimana akses di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat.
Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang berkuasa
mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempunyai akses pada media, dan
kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses
yang lebih besar tidak hanya memberi kesempatan untuk mengontrol
kesadaran khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi
wacana apa yang dapat disebarkan dan di diskusikan kepada khalayak
(Eriyanto, 2011:272). Akses yang lebih besar kan hanya memberi
kesempatan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar tetapi juga
menentukan topik pada isi wacana apa yang dapat disebarkan.
Dari konsep perayaan tahun baru Imlek yang dikemas dalam sinetron
Tukang Bubur Naik Haji The Series, bahwa dari beberapa sinetron lainnya,
disini peneliti mengkategorikannya sebagai sinetron bertema religi Islam,
sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series yang tayang di RCTI lah yang
87
mengemas tentang toleransi antar suku dan agama, melalui konsep perayaan
tahun baru Imlek memberikan gambaran mengenai keberadaan etnis
Tionghoa di Indonesia yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat yang
mayoritas pemeluk agama Islam.
Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series melalui episode 439-441,
memiliki ruang dan kesempatan untuk mengangkat konsep Imlek tentang
toleransi antar suku dan agama. Sehingga dalam penyampaian pesannya pun
cenderung menggambarkan tentang sikap toleransi ditunjukkan dengan
kehidupan masyarakat yang harmonis dan dapat hidup berdampingan,
meskipun berbeda etnis dan agama. Dari pihak masyarakat yang beragama
Islam misalnya, menunjukkan sikap penerimaan dan dukungan pada
perayaan tahun baru Imlek yang dirayakan oleh warga minoritas di kampung
mereka, yaitu keluarga Wan Wan yang beretnis Tionghoa. Penerimaan dan
dukungan yang ditunjukkan dengan berbagai bentuk seperti membantu
persiapan
Imlek,
menghadiri
acara
pertunjukkan
barongsai
yang
diselenggarakan, dan memberikan ucapan selamat tahun baru Imlek serta
mendoakan keluarga Wan Wan.
Di lain pihak, yaitu keluarga Wan Wan yang merupakan etnis Tionghoa
dan merayakan Imlek juga merasakan penerimaan dan dukungan dari
masyarakat sekitar tempat tinggalnya meskipun penuh dengan perbedaan,
baik suku, agama, serta budaya. Sehingga melalui episode ini, penonton
dapat menangkap pesan bahwa konsep perayaan tahun baru Imlek oleh etnis
Tionghoa, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat dari suku dan agama lain
meskipun hal tersebut bagian dari adat istiadat dan tradisi etnis Tionghoa.
Bagi penonton sinetron ini, dapat dipahami bahwa perayaan tahun baru
Imlek sebagai salah satu budaya etnis Tionghoa di Indonesia sekarang ini,
karena sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, masyarakat
etnis Tionghoa mendapatkan perlakuaan yang berbeda bahkan segala bentuk
praktek keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat
88
etnis Tionghoa di
Indonesia dilarang. Sehingga etnis Tionghoa yang ada di Indonesia merasa
dibatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan agama,
kepercayaan, dan adat istiadatnya. Berbeda pada masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan hak etnis Tionghoa dengan
mencabut Instruksi Presiden No 6 Tahun 1967. Dengan dicabutnya Instruksi
Presiden, maka warga negara Indonesia yang beretnis Tionghoa dapat
melakukan kembali kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Yang
sebelumnya dilarang untuk diselenggarakan secara bebas kemudian diperkuat
lagi oleh Presiden Megawati Soekarno Putri dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden No 12 Tahun 2002 yang menetapkan Imlek sebagai hari
Nasional Yau Hoon. Oleh karena itu dengan ditetapkannya Imlek sebagai
hari Nasional, maka segala bentuk kegiatan agama, kepercayaan, dan adat
istiadat etnis Tionghoa dapat dilaksanakan secara bebas serta telah diakui
oleh negara.
Dari paparan tersebut diatas, peneliti berkesimpulan bahwa sinetron ini
sebagai media memberikan akses karena realitas sosial yang tidak
menunjukkan toleransi. Oleh karena itu sinetron ini sebaga media media
meluruskan makna toleransi melalui konsep Imlek yang digambarkan pada
episode 439-441. Artinya pihak sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series
berperan sebagai moderator yaitu dengan mengangkat konsep tahun baru
Imlek tentang toleransi.
4.4 Pembahasan
4.4.1 Konsep Toleransi dalam Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series
Episode 439-441
Menurut Alwi Shihab (1991:41), menegaskan ada dua komitmen penting
dalam menumbuh kembangkan kehidupan antar agama guna menciptakan
keharmonisan, pertama toleransi, kedua pluralisme. Sinetron Tukang Bubur
Naik Haji The Series episode 439-441 menyuguhkan wacana toleransi berupa
89
penting dan indahnya toleransi di tengah perbedaan yang ada diantara
masyarakat di Indonesia. Perbedaan disini dapat berupa suku, bahasa, agama,
dan budaya. Berdasarkan analisa peneliti, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The
Series episode 439-441 ini melihat Imam Tantowi selaku penulis cerita dan
skenario menempatkan pemaknaan pentingnya toleransi kepada masyarakat.
Jika dalam kehidupan bersama Imam Tantowi mempunyai alasan mengangkat
tema Imlek di sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441
yang menyampaikan pesan sosial berupa toleransidalam sinetron tersebut.
“ Ingatlah kita hidup di Indonesia dengan keberagaman suku maupun
agama. Termasuk agama Islam. Islam mengajarkan betapa pentingnya
toleransi. Nabi Muhammad SAW mengajarkan Islam sebagai agama kasih
sayang dan menolak kekerasan yang dapat memicu konflik. Nabi juga
melindungi minoritas dalam melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya.
K.H Abdurahman Wahid (Gusdur) pernah mengatakan bahwa Nabi
Muhammad pun pernah meminta tiga orang pendeta Kristiani yang datang
90
dari Najran (provinsi timur di Arab Saudi) untuk beribadah menurut
agama mereka di Masjid.Pernah juga diceritakan pada suatu hari ada
orang Arab pedalaman kencing di masjid Nabi di Madinah.Terang saja
para sahabat geram dan ingin memikul orang itu. Namun, Rasulullah SAW
mencegahnya, dan kemudian menyuruh para sahabat kerja bakti menyiram
dan membersihkan air seni laki-laki tak kenal sopan santun itu. (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah). Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, pengarang
kitab Fath al-Bari, riwayat ini memperlihatkan dengan jelas sikap
toleransi Nabi SAW dan keluhuran budi pekertinya. Adakah dalam Islam
larangan berkawan dan berbuat baik dengan orang yang non muslim?
TBNH menghadirkan tokoh dengan karakter keturunan tionghoa ini adalah
juga untuk mengajarkan toleransi, menghargai dan menghormati suku dan
pemeluk agama lain.
Tapi tentu saja toleransi sesuai dengan kaidah islami, bukan toleransi
yang kebablasan”. 1
Dari pernyataan yang diungkapkan oleh Imam Tantowi dapat diartikan
bahwa melalui sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441,
penulis cerita dan skenario sinetron ini ingin memberikan pengertian toleransi
yang baik, dimana di Indonesia sendiri terdiri dari banyak suku, budaya, dan
agama yang diperlukan adanya hubungan yang selaras.
Melalui sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series, Imam Tantowi dapat
memberikan makna toleransi pada episode 439-441 dengan tema Imlek seperti
yang dipaparkannya dalam pernyataan diatas. Dimana episode 439-441
menunjukkan gambaran toleransi dengan cara menghargai dan menghormati
antar suku, antar budaya, dan antar pemeluk agama lain. Sebagai penulis cerita
dan skenario, Imam Tantowi telah memberikan konsep toleransi yang di
1
http://www.facebook.com/TBNH.theseries/posts/427175117366742
91
representasikan melalui sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode
439-441.
4.4.2 Harmonisasi Pemeluk Agama Islam dengan Etnis Tionghoa dalam
Kehidupan Bermasyarakat
Toleransi sangat
diperlukan dalam menjaga keharmonisan dalam
kehidupan bermasyarakat yang terdiri dari latar belakang suku dan agama yang
berbeda. Demi menciptakan keharmonisan dalam masyarakat maka diperlukan
sikap menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi termasuk didalamnya toleransi
antar suku dan umat beragama.
Dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441 tidak
terdapat pembedaan, walaupun berasal dari latar belakang suku dan agama
yang berbeda, mereka merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia sehingga
berusaha tetap menjaga kerukunan dengan memelihara sikap toleransi antar
umat beragama Islam dengan keluarga yang beretnis Tionghoa.
Analisis yang penulis lakukan pada beberapa scene sinetron Tukang Bubur
Naik Haji The Series episode 439-441 menunjukkan adanya harmonisasi
pemeluk agama Islam dengan etnis Tionghoa. Pernyataan tersebut merujuk
pada analisis tokoh-tokoh yang diuraikan berikut ini :
1. Syape’i dan Romi
Syape’i dan Romi digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sikap
toleransi
yang ditunjukkan terhadap keluarga beretnis Tionghoa di
lingkungan tempat tinggalnya, dengan kesediaan mereka membantu
persiapan perayaan tahun baru Imlek keluarga tersebut. Bantuan yang
diberikan bersifat sukarela tanpa ada paksaan. Kesediaan membantu
berupa sumbangan tenaga menghias rumah keluarga Wan Wan sebagai
bagian menyambut perayaan tahun baru Imlek, namun hal itu merupakan
wujud dari keharmonisan dan kerukunan antar suku serta umat beragama.
92
2. Ki Dawud
Dalam sinetron ini, Ki Dawud merupakan tokoh yang menjunjung
tinggi toleransi. Toleransi yang dilakukan Ki Dawud terwujud melalui
toleransi perkataan dan toleransi perbuatan. Sikap toleransi ditunjukkan Ki
Dawud dengan mengusahakan keluarga Acong agar mendapat ijin dari H.
Muhidin selaku ketua RW untuk menyelenggarakan pertunjukkan
barongsai di kampung mereka pada perayaan tahun baru Imlek,
menghormati Acong dan keluarganya ketika akan beribadah ke Klenteng
serta memberikan semangat kepada keluarga Acong dalam merayakan
tahun baru Imlek, dan menghadiri pertunjukkan barongsai yang
diselenggarakan keluarga Acong.
Adanya sikap toleransi yang ditunjukkan oleh tokoh Ki Dawud
tersebut menunjukkan sebagai tanda, bahwa hal trsebut sangat diperlukan
untuk tetap menjaga kerukunan, keharmonisan, dan rasa persaudaraan
diantara mereka meskipun berbeda suku dan agama.
3. Mali dan Tarmiji
Toleransi antar suku dan umat beragama terjalin antara masyarakat
yang beragama Islam dengan warga yang beretnis Tionghoa, tercermin
ketika warga yang beretnis Tionghoa merayakan tahun baru Imlek maka
warga lain yang beragama Islam memberikan ucapan selamat.
Sikap
toleransi terlihat dari sikap tokoh Mali dan Tarmiji terhadap etnis
Tionghoa dengan pemberian ucapan selamat dengan kata “Gong Xi Fa
Chai” kepada keluarga Acong.
Berdasarkan uraian datas, peneliti menganalisa bahwa sikap toleransi yang
ditunjukkan oleh warga yang beragama Islam terhadap keluarga beretnis
Tionghoa merayakan Imlek, menggambarkan harmonisasi antara masyarakat
pemeluk agama Islam dengan etnis Tionghoa seperti yang terlihat pada tokohtokoh dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-441,
seperti yang telah dipaparkan diatas. Perbedaan suku dan agama ternyata tidak
93
menjadi hambatan bagi para warga yang beragama Islam untuk dapat
berinteraksi karena sudah memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap warga
yang beretnis Tionghoa. Sehingga meskipun berbeda latar belakang suku dan
agama, dengan sikap toleransi maka akan tercipta kehidupan yang damai dan
diliputi sikap saling menghargai dan menghormati antar warga yang berbeda
suku serta agama.
4.4.3 Diterimanya Barongsai Sebagai Kebudayaan di Indonesia
Indonesia sebagai negara yang majemuk dan terdiri dari berbagai suku,
agama, dan budaya, sangat menghormati perbedaan. Sebagai negara yang
majemuk, kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia tentunya harus di
lestarikan, termasuk budaya-budaya etnis Tionghoa.
Perkembangan etnis Tionghoa yang sebelumnya dibatasi di Indonesia,
setelah masa reformasi diberikan kebebasan. Berbagai macam kebudayaan dan
upacara adat China pun mulai berkembang di Indonesia. Barongsai, Liong, dan
kebudayaan China lain yang sebelumnya hanya boleh diselenggarakan secara
tertutup, sekarang ini dapat diseleggarakan secara bebas dan terbuka. Hal ini
menunjukkan penerimaan Indonesia atas etnis Tionghoa, agamanya yaitu
Khonghuchu, dan kebudayaannya.
Barongsai telah menjadi bagian dari kenakeragaman budaya Indonesia.
Dimana barongsai merupakan salah satu budaya China yang sudah ada sejak
dahulu. Kesenian barongsai semakin menarik perhatian dan digemari oleh
masyarakat. Tetapi, barongsai hanya bisa dilihat pada waktu-waktu tertentu
saja, salah satunya saat perayaan tahun baru Imlek etnis Tionghoa. Bagi etnis
Tionghoa, seni barongsai yang diselenggarakan saat tahun baru Imlek
merupakan tradisi mereka.
Sejak diperbolehkannya kembali budaya etnis Tionghoa di Indonesia,
mulai bermunculan acara-acara yang bernuansa Tionghoa. Seperti saat perayaan
tahun baru Imlek, masyarakat etnis Tionghoa menjadikan momen tersebut
94
untuk memperkenalkan budaya Tionghoa termasuk barongsai. Dengan
kebebasan yang diberikan kepada etnis Tionghoa di Indonesia, dapat melakukan
kembali semua kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China
termasuk barongsai, menandakan jika kesenian China ini diterima sebagai
budaya di Indonesia.
Dalam konteks sinetron Tukang Bubur
Naik Haji The Series,
penggambaran barongsai yang merupakan budaya dari etnis Tionghoa, dalam
sinetron ini digambarkan sebagai bagian dari perayaan Imlek yang dapat
diterima oleh masyarakat. Hal tersebut terlihat dari kesediaan dari seluruh
warga kampung tempat tinggal Acong yang mayoritas adalah beragama Islam
untuk hadir dalam pertunjukkan barongsai yang diselenggarakan oleh keluarga
Acong. Seperti yang terlihat dalam kalimat yang diungkapkan oleh tokoh Ki
Dawud dalam scene 39 “Tenang Cong! Insyaallah gua bakal dateng deh, gua
pengen liat Barongsai dari deket”, tokoh ustad Zakaria pada scene 41
“Sendirian aja pak Haji? Kagak nonton barongsai?”. Kebahagiaan tidak hanya
dirasakan oleh Acong dan kelarganya, tetapi juga seluruh warga kampung.
Semangat dari para warga menonton pertunjukkan barongsai menandakan jika
barongsai sebagai budaya China mendapat dukungan dari seluruh masyarakat.
Selain itu, sikap yang ditunjukkan oleh warga sekitar tempat tinggal Acong
terhadap barongsai juga sebagai bentuk menghargai dan ikut memiliki sebagai
bagian dari budaya Indonesia.
4.4.4 Refleksi Kritis Hasil Penelitian
Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak dan
kepulauan terbesar di dunia, terdiri atas beragam suku bangsa, termasuk
Tionghoa (Cina), yang sudah menjadi bagian dari keragaman di Indonesia.
Salah satu perayaan masyarakat keturunan Tionghoa adalah perayaan tahun
baru Imlek. Imlek dengan berbagai ciri khasnya telah menambah semakin
95
banyaknya keragaman (agama dan budaya) di Indonesia. Namun meskipun
berbeda suku, agama, bahasa, dan budaya, tetap satu kesatuan utuh.
Berbicara tentang keberagaman suku dan agama merupakan suatu topik
yang menarik, sebab melihat Indonesia sebagai negara yang multikultural
terdapat banyak sisi yang dapat dijadikan objek untuk disimak. Oleh karena itu
topik tentang keberagaman suku dan agama menarik untuk dikaji dan
divisualisasikan dalam berbagai karya seperti sinetron. Seperti halnya dengan
karya-karya kesenian seperti sinetron, ada yang menampilkan tentang
keberagaman suku dan agama yang ada di Indonesia sebagai bentuk
mempererat persuadaraan dan kebersamaan.
Pada sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series episode 439-44, dapat
saja sebagai salah satu bentuk aktualisasi perayaan Imlek di Indonesia saat ini,
setelah penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat
Cina di Indonesia diijinkan kembali dan hari tahun baru Imlek ditetapkan
sebagai hari nasional oleh pemerintah atau sinetron Tukang Bubur Naik Haji
The Seres episode 439-441 ini merupakan suatu bentuk toleransi kepada
masyarakat berketurunan Tionghoa untuk mempererat persaudaraan dan
kebersamaan ditengah-tengah keberagaman suku dan agama.
Dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series ini sebenarnya ingin
menampilkan sebuah gambaran realitas kehidupan masyarakat tentang pesan
sosial dalam bentuk toleransi antar suku dan antar umat beragama, yang
dikemas dalam bentuk toleransi antara umat Islam kepada masyarakat
berketurunan Tionghoa. Dimana dalam penggambaran sinetron ini umat Islam
disini merupakan para warga yang terdiri dari berbagai suku serperti suku Jawa,
Batak, dan Betawi yang bergama Islam, menunjukkan sikap toleransinya
kepada sebuah keluarga yaitu keluarga Wan Wan sebagai keturunan Tionghoa
yang merayakan Imlek. Penggambaran karakter pada tokoh keluarga Wan Wan
sebagai keluarga berketurunan Tionghoa yang ditonjolkan pada episode 439-
96
441, memberikan perhatian karena dianggap sebagai bentuk diterimanya
masyarakat berketurunan Tionghoa dalam kehidupan masyarakat.
Sinetron ini juga dapat menggambarkan bahwa umat Islam mengamalkan
ajaran agama tentang pentingya toleransi. Dimana toleransi disini toleransi antar
suku dan antar umat beragama dalam kehidupan di masyarakat. Masyarakat
berketurunan Tionghoa dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku dan agama yang berbeda, begitu juga dengan sebaliknya. Hal
tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap saling menghormati dan menghargai
antar suku dan antar umat beragama. Diterimanya masyarakat berketurunan
Tionghoa di Indonesia juga dapat terlihat pada tahun baru Imlek yang
ditetapkan sebagai
berketurunan
hari
Tionghoa
libur
dapat
nasional
oleh pemerintah.
merayakan
tahun
baru
Masyarakat
Imlek
dan
menyelenggarakan pementasan barongsai lagi setelah pemerintah mencabut
Kepres (Keputusan Presiden) no 6 tahun 2000. Karena sebelumnya perayaan
Imlek dilarang dirayakan di depan umum.
Dengan demikian di dalam kehidupan bermasyarakat, bersama-sama
menjunjung toleransi dengan sikap menghargai dan menghormati perbedaan
antar suku dan antar umat beragama. Dengan toleransi dapat menunjukkan
bahwa kita bisa menghargai suku, agama dan budaya lain.
97
Download
Study collections