Budaya Pop dan Kaum Muda

advertisement
Yang Muda Yang Bertingkah:
Konsumsi, Resistensi, dan Kreativitas Kaum Muda dalam Budaya Pop
Ikwan Setiawan
Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
Peneliti di Matatimoer Institute
1. Pengantar: Budaya Pop yang Diperdebatkan
Sampai dengan saat ini, budaya populer (selanjutnya disebut “budaya pop), belum
bisa dirumuskan dalam sebuah definisi konseptual yang memuaskan. Definisi-definisi
yang selama ini berkembang lebih banyak dikaitkan dengan pengertian budaya massa
(mass culture) yang merupakan produk utama dari industri budaya (cultural industries)
dalam era kapitalisme lanjut (advanced-capitalism) dewasa ini. Musik pop, film, acara
televisi, majalah, tabloid, dan koran, selama ini dianggap sebagai wujud dari budaya
pop karena paling banyak dinikmati oleh masyarakat kebanyakan. Hal inilah yang
menjadi titik pijak para pemikir Mazhab Frankfurt melihat budaya populer sebagai alat
untuk pengelabuhan massa (mass deception) dan menggiring mereka sebagai konsumen
sejati produk-produk industrial dengan janji-janji perayaan individualisme yang
nyatanya serba diatur dalam standard dan komodifikasi homogen (Adorno, 1957;
Adorno & Hokheirmer, 1993; Lowenthal, 1957). Kepanikan lain terhadap budaya pop
lebih banyak terkait dengan masalah moralitas. Ganz (1974) menjabarkan beberapa
kepanikan terhadap popularitas budaya pop dalam beberapa kecenderungan, yakni: (1)
budaya pop membahayakan eksistensi budaya tinggi (high culture) karena meminjam
dan mengkorupsi struktur dan isi dari budaya dalam bentuk-bentuk yang sepele
(trivial) sehingga menghilangkan esensi keadiluhungannya dan (2) budaya pop secara
emosional menimbulkan efek negatif kepada para penikmatnya karena lebih banyak
mengumbar seks dan kekerasan, serta secara intelektual bersifat destruktif karena
menawarkan isi dan tampilan yang eskapis sehingga menjauhkan penikmatnya dari
realitas kehidupan. Bisa ditebak, sasaran dari kepanikan ini adalah kaum muda sebagai
konsumen mayoritas dari produk industri budaya, karena dipandang sebagai subjek
sosial yang masih labil secara mental dan pikiran sehingga sangat mudah terpengaruh
oleh tampilan-tampilan surfisial dari budaya pop yang menghanyutkan dan mereduksi
kemampuan nalar.
Pemahaman di atas memang tidak salah. Namun, simplisitas dan kekakuan
paradigma bisa melahirkan sudut pandang sempit dalam memahami budaya pop yang
1
sebenarnya tidak hanya berupa produk ataupun teks estetik, tetapi juga praktik yang
melibatkan pemaknaan simbolis, artikulasi-disartikulasi kepentingan ideologis/kuasa,
maupun resistensi. Memang benar, budaya pop merupakan produk industrial yang
banyak digemari masyarakat, tetapi di balik itu semua, bisa dilihat adanya pertarungan
kepentingan, sebagaimana banyak dilontarkan oleh para pemikir cultural studies.
Dengan perspektif Gramscian, mereka menjadikan budaya pop sebagai kajian yang
menarik dan berusaha melepaskan beban-beban moralitas yang selama ini
dikhawatirkan, karena ada persoalan kepentingan kuasa yang dinaturalisasi dan
didepolitisasi melalui teks dalam praktik budaya populer yang sudah biasa dikonsumsi
oleh rakyat kebanyakan (Bennet, 1986; Storey, 1993; Hall, 1986, 2002).
Kajian lain yang masih berada dalam perspektif cultural studies, adalah bagaimana
proses konsumsi dan pemaknaan simbolis dalam praktik budaya pop dilakukan oleh
konsumen. Mengikuti pemikiran kulturalisme1, Fiske (1995: 325-326) mengajukan satu
pemikiran bahwa dalam mengkonsumsi produk industri budaya massa, konsumen
mempunyai otoritas sepenuhnya.
Budaya pop dalam masyarakat industri benar-benar eksis, meskipun tidak pernah murni
dan otentik karena selalu diciptakan dari sumber budaya yang bertentangan dengannya
(budaya tinggi, pen.). Budaya pop secara tipikal terikat pada produk dan teknologi
budaya massa, tetapi kreativitasnya berada dalam cara-cara menggunakan produk dan
teknologi tersebut, bukan dalam proses produksinya...Industri budaya massa industrial
bukanlah budaya populer meskipun ia menyediakan sumber kultural bagi lahirnya budaya
populer. Budaya pop secara khusus melibatkan seni membuat dari apa yang tersedia/ada.
Mengikuti pemahaman tersebut, lahirnya budaya pop sebenarnya berlangsung dalam
proses konsumsi yang dilakukan konsumen terhadap produk industri budaya massa.
Ketika produk-produk tertentu dianggap sesuai dengan kepentingan konsumen, maka
ia akan berubah menjadi budaya pop. Namun, konsumen mempunyai otoritas untuk
mempraktikkan “seni membuat dari apa yang tersedia” oleh industri budaya massa.
Inilah yang kemudian, menurut Fiske, melahirkan “pertarungan semiotik” (semiotic
struggle) dalam budaya pop. Artinya, para penikmat bisa saja memberikan maknamakna simbolis atau ideologis yang berbeda atau bahkan bersikap resisten terhadap
produk maupun teks industrial (resistant semiotics). Dengan kata, lain mereka bisa
Dalam pemikiran kulturalisme, Williams (1961) menganggap budaya sebagai praktik kehidupan seharihari di mana tidak hanya berupa ekspresi artistik maupun seni rekaman modern, tetapi juga berupa apaapa yang berarti dan berharga bagi rakyat sehingga mensyaratkan adanya komunikasi dan interaksi sosial.
Hall (1971) juga menjelaskan bahwa budaya bisa berarti “cara kehidupan sosial dijalani dan diatur,
makna dan nilai yang menginformasikan tindakan manusia, yang mewujud di dalam dan memediasi relasi
sosial, kehidupan politik, dan lain-lain. Dengan demikian menyiratkan adanya permainan antara
penandaan dan interpretasi dari para anggotanya.
1
2
memberikan makna dan memunculkan kenikmatan berdasarkan identitas dan
kepentingan sosial masing-masing dalam proses konsumsi. Sejalan dengan pemikiran
tersebut, Jansson (2002), dengan memodifikasi dalil encoding-decoding Hall menjelaskan
bahwa dalam praktik konsumsi sebuah produk industri budaya—ia menyebutnya
budaya citra (image culture) karena dipadukan dengan simulasi dalam mediatisasi—
konsumen selalu bergantung pada konteks sosio-kultural dan situasional dan tidak
sepenuhnya mau mengikuti keinginan dari produsen.
Nyatanya, saat ini memang banyak muncul budaya pop yang semakin digemari
oleh masyarakat kebanyakan. Kaum muda adalah salah satu di antara mereka. Mereka
yang sedari lahir sudah dikepung oleh kemajuan pesat industri kapitalis sudah biasa
menemukan benda-benda di sekelilingnya sebagai produk-produk komodifikasi yang
serba standard, homogen, dan massif—dari mainan hingga tayangan kartun di
televisi—sebagai karakteristik dari industri budaya yang terus bertransformasi dan
berkembang hingga hari ini. Mereka yang sehari-hari bersekolah, kuliah, hingga
bekerja menemukan budaya pop sebagai praktik konsumsi yang bisa sedikit membuat
rileks dari rutinitas harian. Apakah mereka harus dipersalahkan ketika menjalani
kehidupan dalam gemerlap budaya pop? Tentu tidak. Mengapa? Karena mereka adalah
subjek-subjek yang menikmati wacana, praktik, dan produk-produk kemajuan sebuah
negara yang dengan bangga menyandarkan diri pada kapitalisme di mana lalu-lintas
produk industri budaya menjadi menu keseharian bagi bangsa ini. Ketika produkproduk tersebut dimaknai dalam praktik konsumsi budaya pop oleh kaum muda, maka
mereka tentu saja tidak harus dipersalahkan.
Dengan logika tersebut, kaum muda sebagai pelaku budaya pop tidak harus
selamanya dianggap sebagai subjek yang begitu mudah terjebak dalam pengaruh
negatif budaya pop, meskipun tidak menutup kemungkinan hal itu bisa terjadi. Yang
harus diperhatikan adalah bagaimana kaum muda melakukan praktik konsumsi
terhadap produk-produk tersebut? Apakah mereka sebatas terjebak dalam euforia
selebrasi konsumsi? Apakah mereka menggunakan budaya pop sebagai bagian dari
strategi kultural yang bersifat resisten? Apakah mereka secara semiotik memaknai
kembali simbol dan nilai yang ada dalam budaya pop dan selanjutnya meramunya
sebagai budaya yang mewadai kepentingan identitas kultural mereka? Dari
perkembangan budaya pop dan praktik konsumsi kaum muda, apa signifikansinya
terhadap perkembangan budaya Indonesia saat ini? Tulisan ini akan dikembangkan
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Adapun asumsi yang dijadikan acuan
3
adalah (1) bahwa sangat mungkin dalam menikmati budaya pop, kaum muda mampu
melakukan negosiasi-negosiasi kepentingan mereka dengan cara melakukan peramuan
(bricolage) dan pemaknaan kembali terhadap budaya massa industrial, demi
kepentingan kultural mereka serta resistensi terhadap rejim budaya normatif dan (2)
bahwa bisa jadi popularitas budaya pop di kalangan kaum muda bisa memberikan
signifikansi—baik yang dianggap positif maupun negatif—terhadap budaya Indonesia
saat ini.
2. Kaum Muda dan Budaya Pop: Resistensi dalam Konsumsi Kreatif
Pembicaraan tentang kaum muda (young people/youth) dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora sudah lama diperdebatkan, baik dalam hal peran, kenakalan, hingga
masalah-masalah psikis terkait dengan perkembangan mental dan pikiran mereka.
Parsons, sebagaimana dikutip Barker (2004: 334), memposisikan kaum muda/remaja
sebagai kategori sosial yang perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme
yang mensyaratkan adanya spesialisasi dalam pekerjaan. Karena tanggung jawab
keluarga terhadap anak-anaknya tidak lagi berlangsung seperti jaman pra-kapitalis,
maka mengisi masa transisi sebelum menginjak usia dewasa, kaum muda perlu
diberikan pelatihan maupun pendidikan yang bisa menjembatani antara masa kanakkanak dan dewasa. Proses ini merupakan fungsi sosialisasi terhadap kaum muda
sebelum mereka menginjak ke fase kehidupan kapitalis. Dalam masa transisi inilah,
kaum muda lebih banyak diwacanakan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan
budaya orang dewasa. Maka, kaum muda bukan lagi semata-mata kategori usia
transisional, melainkan sebuah konstruksi dan formasi diskursif yang diwacanakan
terus-menerus dalam masyarakat, sesuai dengan konteks kepentingan sosio-kultural
yang ada dalam sebuah masyarakat.
Sebagai wacana, kaum muda dalam sebuah masyarakat, Indonesia misalnya,
memang tidak bisa dikonstruksikan dalam ketunggalan (singularity). Selalu saja
bermunculan formasi diskursif yang memposisikan kaum muda dalam ragam wacana,
meskipun poin akhirnya tetaplah memberikan acuan kepada masyarakat bagaimana
harus memposisikan kaum muda secara stereotip. “Kaum muda penggerak
pembangunan”, “kaum muda penerus perjuangan”, “kaum muda pewaris budaya
bangsa”, “nasib bangsa ada di tangan kaum muda”, dan masih banyak lagi wacana yang
bernada positif. Wacana-wacana tersebut diwujudkan dalam praktik-praktik diskursif
pelatihan, pendidikan, dan keorganisasian yang menjadi aparatus yang tepat untuk
4
terus menyebarkan pengetahuan konsensual tentang kaum muda. Dengan wacanawacana itu kaum muda dibayangkan menjadi subjek sosial yang akan menuruti apa-apa
yang diharapkan dan diimpikan oleh kelas kuasa dalam masyarakat sehingga
ketertiban dan kemajuan bersama bisa diwujudkan. Karena kepentingan konsensual
menjadi wacana ideologis hegemonik yang terus disebarkan, maka ketika terjadi
penyimpangan yang dilakukan oleh kelas kuasa adalah menyebarkan wacana terkait
dengan “kenakalan remaja”, “kriminalitas remaja”, “kaum muda pengguna narkoba”,
“kaum muda dan seks bebas”, “kaum muda pemberontak”, dan wacana-wacana lain
yang terkait dengan potensi penyimpangan dan gangguan yang bisa dilakukan oleh dan
terjadi pada kaum muda. Inilah yang oleh Grossberg (1992) disebut sebagai “cara
pandang ambivalen” terhadap kaum muda. Di satu sisi mereka dijadikan penanda
ideologis (ideological sign) yang dibebani oleh citra utopis masa depan, tetapi di sisi lain,
mereka ditakuti sebagai ancaman atas norma dan regulasi konsensual dalam
masyarakat.
Dalam konteks ambivalensi inilah, kaum muda bisa mengalami masalah psikis
yang merasa selalu terbebani oleh norma dan harapan yang bersifat sosio-kultural dari
orang dewasa atau tua agar mereka menjadi lebih baik dan siap menyongsong
kehidupan di masa mendatang, sementara di sisi lain mereka juga ingin merasakan
kehidupan di masa kini. Celakanya, kaum muda menemukan realitas bahwa orang
dewasa atau generasi tua yang selalu mengarapkan mereka menjadi baik, ternyata
tidak banyak memberi memberi contoh-contoh yang sebanding. Korupsi para pejabat
publik, perselingkuhan, nepotisme, dan lain-lain menjadi penanda betapa harapan
normatif tersebut hanya menjadi retorika lip service yang cenderung berusaha
menghegemoni kaum muda dengan wacana-wacana yang ternyata tidak berdasar.
Dalam kondisi itulah, kaum muda menemukan budaya pop sebagai ruang, situs, dan
praktik yang bisa digunakan untuk menegosiasikan kepentingan-kepentingan
individual yang serba terhimpit oleh kepentingan kuasa dalam masyarakat. Kebaruan
dan kedinamisan yang ditawarkan budaya massa industrial menjadi daya tarik
tersendiri bagi kaum muda yang memang terus berusaha menemukan identitas diri di
tengah-tengah segala tuntutan sosio-kultural yang mengepung mereka. Musik, film,
pakaian, majalah gaul, handphone, play station, dan lain-lain menjadi produk yang
menawarkan beragam kemungkinan untuk memanjakan dan meliarkan hasrat kaum
muda yang mendamba kebebasan dalam berekspresi dan berbudaya dalam norma dan
ritual mereka sendiri. Dari sinilah muncul praktik budaya pop di kalangan kaum muda
5
di mana mereka berusaha membuat identitas kultural yang berbeda dengan budaya
masyarakat.
Ketidakmauan untuk mengikuti rejim budaya normative-mainstream yang ada
dalam masyarakat inilah yang bisa disebut sebagai resistensi oleh kaum muda dalam
praktik budaya pop, meskipun bukan berarti perlawanan secara frontal. Fiske (2002:
241) menjelaskan bahwa:
Resistensi merujuk pada penolakan untuk menerima identitas sosial yang ditawarkan
ideologi dominan dan kontrol sosial yang menyertainya. Penolakan terhadap ideologi,
juga terhadap makna dan kontrol, memang bisa jadi tidak menantang sistem sosial
namun melawan inkorporasi serta menjalankan dan memperkuat makna perbedaan sosial
yang menjadi pra-syarat bagi tantangan sosial lainnya. Oposisi kenikmatan pop terhadap
kontrol sosial berarti bahwa mereka selalu memuat potensi untuk resistensi atau
subversi: sebuah fakta bahwa tindakan subversif merupakan persoalan semiotik atau
kultural…Sistem sosiopolitik pada akhirnya bergantung pada sistem kultural, atau
dengan kata lain, makna oleh masyarakat digunakan untuk membuat relasi sosial dan
kenikmatan yang mereka cari bisa jadi menstabilkan atau men-destabilkan sistem sosial
tersebut. Makna dan kenikmatan mempunyai efektivitas sosial yang menyebar dan
bersifat umum, meskipun tidak harus memberikan efek sosial yang langsung dan
demonstratif.
Resistensi dalam bentuk penolakan terhadap ideologi dominan yang menyatu dalam
budaya masyarakat, menjadikan kaum muda masuk ke dalam hingar-bingar budaya
pop yang menjanjikan kenikmatan makna kultural sehingga mereka sejenak tidak
harus menghiraukan batasan-batasan normatif di keluarga, sekolah, maupun
masyarakat.
Apa yang dilakukan kaum muda dengan praktik budaya pop-nya bisa dibaca
sebagai bentuk dari fase “liminalitas” (liminality) dalam ritus kehidupan mereka. Turner
(1974), meminjam dari van Gennep, secara antropologis menjelaskan bahwa dalam
kehidupan manusia terdapat sebuah fase di mana mereka mempraktikkan pembebasan
dari rejim sosio-kultural normatif di mana ikatan dan batasan sosial diganggu. Fase
liminal biasanya terjadi ketika seseorang berada dalam “ruang antara” (in-between space)
dari satu fase kehidupan ke fase kehidupan yang lain. Dalam fase inilah kaum muda
berusaha menemukan bentuk dan praktik kultural yang berbeda dengan yang dijalani
oleh orang tua atau masyarakatnya sehingga bisa merasakan hilangnya keterikatan
dengan rejim sosio-kultural yang ada untuk membangun dunianya sendiri memalui
praktik kenikmatan pop.
Perayaan dalam mengkonsumsi budaya pop juga bisa dilihat sebagai “praktik
karnaval” (carnivalesque) yang memberikan ruang jedah kebebasan bagi kaum muda
dari batasan-batasan sosial mereka. Pemikiran tentang carnivalesque berasal dari
6
Mikhail Bakhtin ketika mengkaji novel satiris karya Rabelais melalui perbandingan
dengan tradisi karnaval yang pernah hidup di Eropa pada jaman pertengahan di mana
orang-orang akan menikmati hari libur dari pekerjaannya serta melakukan
“pengejekan” dan “pengonyolan” terhadap kuasa negara dan gereja terbebas dari kuasa
rejim gereja melalui pesta minuman keras, makan sepuas-puasnya, dan, bahkan,
aktivitas seksual yang terkesan tidak bermoral (Brooker, 2007: 24-25). Dalam
pemahaman yang lebih kritis, Webb (2005: 122) berargumen bahwa praktik karnaval
bisa dilihat dari beberapa perspektif. Pertama, selama karnaval terdapat penundaanpenundaan (suspension) terhadap semua pembedaan dan batasan hirarkial, sehingga
semua terlihat sama. Kedua, norma dan larangan dalam kehidupan sehari-hari ditunda
dalam karnaval sehingga yang muncul adalah atmosfer kebebasan, kejujuran, dan
keakraban. Ketiga, karnaval memungkinkan penundaan terhadap pengaturan resmi
akan ruang dan waktu sehingga rakyat bisa diorganisir dengan caranya sendiri.
Keempat, kebenaran menjadi relatif di dalam karnaval, karena di sini yang dirayakan
adalah semangat pembebasan temporer. Kelima, diri individu menjadi begitu cair
karena mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari kolektivitas.
Budaya pop memang memberikan ruang untuk perayaan fase liminalitas maupun
praktik karnaval bagi kaum muda yang menjadi sebuah ruang pembebasan,
kenikmatan, dan resistensi terhadap hegemoni rejim budaya dalam masyarakat.
Dentuman drum, petikan gitar, dan lengkingan suara penyanyi dalam konser musik
nyatanya cukup menarik bagi kaum muda untuk „pergi dan keluar sementara‟ dari
kebosanan dan kejenuhan praktik sehari-hari yang berasal dari bermacam tuntutan
normatif, baik dari orang tua, guru, maupun pemuka agama. Di bioskop, mall, kafe,
maupun diskotik, mereka bisa lepas dari rejim pengawasan orang tua sembari
menikmati makan malam, minuman bersoda atau bahkan beralkohol, ngrumpi sebagai
penanda identitas dugem. Handayani (2005) dengan riset etnografi di Yogya,
menemukan satu realitas bahwa informanya (dua orang mahasiswi di PTS Yogya yang
kebetulan nyambi kerja jadi SPG), sudah biasa menikmati gaya hidup dugem dengan
motivasi masing-masing. Salah satu informannya, Mi, menjelaskan bahwa ia sejak
SMA di Yogya, sudah berani mencoba-coba praktik yang dianggap tidak baik, seperti
minum beralkohol—di kafe maupun diskotik—demi untuk mencari pengalaman dan
keluar dari tradisi pengawasan yang keras oleh orang tuannya. Meskipun demikian, ia
tidak sampai larut dan kecanduan, karena sebelum menjalankan kenakalannya, ia
berjanji untuk tidak terjebak dan melupakan tugas belajarnya. Buktinya ia tetap
7
mendapatkan rangking di kelasnya. Rupanya ia sudah punya strategi berupa
penanaman keyakinan dalam dirinya agar tidak jauh terlibat sehingga ketika ingin
berhenti, ia bisa saja berhenti. Ketika mahasiswa dan menjadi SPG ia juga sering
dugem, bukan lagi untuk senang-senang, tetapi untuk mempererat persahabatan
dengan sesama SPG sehingga kalau ada job bisa cepat tahu. Dari kasus Mi, bisa dilihat
bahwa pemaknaan budaya pop tidak harus selamanya negatif, karena selalu ada
konteks dan pertimbangan yang melatarbelakanginya. Hal itu juga menunjukkan
bahwa tidak semua yang menikmati budaya pop akan larut dan tidak cenderung
berdampak negatif terhadap kehidupan mereka.
Di tempat-tempat play station ataupun internet game zone, para siswa
SMP/SMA—bahkan anak-anak SD—begitu bergembira memainkan stick atau mouse
untuk berperan sebagai „dalang‟ dari permainan kontemporer yang menyerupai
wayang tersebut. Keakraban mereka dengan produk-produk budaya tersebut memang,
di satu sisi, menandakan adanya perayaan konsumsi, tetapi di sisi lain, melalui praktik
di ruang-ruang itulah mereka bisa menegosiasikan kepentingan mereka tanpa harus
diganggu oleh bermacam norma. Di ruang itulah, resistensi berlangsung meskipun,
setelah kembali ke ruang normatif, mereka harus memasang „muka manis‟ agar
terbebas dari sanksi-sanksi sosial yang akan menimpah. Artinya, suatu saat mereka
bisa menjadi penurut, tetapi pada saat yang lain mereka benar-benar menjadi subjek
resisten. Saat menjadi muda, mereka merayakan dunia pop-nya, karena ketika
menginjak dewasa mungkin mereka juga akan kembali ke dalam norma-norma sosiokultural yang akan mengatur kehidupan mereka dalam keberaturan dan ketertiban.
Meskipun tidak menutup kemungkinan, mereka tetap akan membawa semangat
resistensi yang pernah dirasakan ketika muda, tetapi dalam pemaknaan dan konteks
yang berbeda.
Anggapan bahwa kaum muda penikmat budaya pop, seperti musik, kafe, mall,
maupun diskotik, sebagai semata-mata pemuja konsumerisme yang tidak punya
idealisme kritis juga perlu dipertanyakan kembali. Gerakan Kaum muda, semisal
mahasiswa, yang biasa nongkrong di kafe atau di mall maupun berselancar di dunia
maya, nyatanya bisa menjadi penggerak dari gerakan reformasi pada tahun 1998.
Artinya di balik klub atau komunitas tersebut, kaum muda bisa juga melakukan
aktivitas-aktivitas kreatif yang terkadang bersikap tanggap terhadap kondisi sosial.
Mereka bukan lagi kaum muda yang selalu asyik bermotor atau menikmati segelas
kopi sembari menari mngikuti alunan musik blue atau jazz, tetapi bisa juga
8
merencakan sebuah gerakan politik untuk mengganggu kemapanan kelas kuasa,
meskipun mereka tetap tidak bisa menjadi pahlawan bagi bangsanya (Budiman, 2002).
Lalu, bagaimana dengan praktik budaya pop yang dilakukan kaum muda di desa?
Apakah praktik budaya yang lahir bisa memberikan ruang bagi mereka untuk
melakukan resistensi dalam kontestasi sosio-kultural? Untuk menjawab dua
pertanyaan tersebut, perlu kiranya, kita menggeser atau bahkan merubah paradigma
dalam memandang masyarakat desa. Masyarakat desa di Indonesia, saat ini tidak
sepenuhnya „ndeso‟ dan „katrok‟ seperti yang sering diungkapkan Thukul dalam Empat
Mata. Masyarakat desa Indonesia sejak intensifikasi pertanian melalui Revolusi Hijau
dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah bertransformasi dalam
jagat sosio-kultural yang sangat dipengaruhi budaya modern perkotaan. Kaum muda
desa setiap hari bisa menyaksikan gaya hidup dan budaya yang terjadi di perkotaan
melalui layar televisi, baik dalam bentuk sinetron maupun film. Kaum muda desa juga
biasa menikmati musik-musik industri yang semakin berkembang, baik dari genre
rock, melo-pop, hingga dangdut. Genre dangdutlah yang banyak digemari oleh kaum
muda desa dan menjadi bagian penting dari budaya pop mereka, meskipun mereka juga
sering mendengarkan atau menonton lagu-lagu pop dari Dewa, Padi, Slank, Ungu,
Peterpan, dan lain-lain.
Bagi kaum muda desa yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani, buruh
bangunan, atau pengangguran sekalipun, praktik budaya pop memang lebih banyak
berlangsung di arena pertunjukan musik dangdut atau campursari—dalam konteks
masyarakat Jawa. Di ruang-ruang itulah mereka menyemaikan kehidupan subkultur
yang sekilas tampak mengumbar hasrat untuk berjoget, mengikuti liukan tubuh
penyanyi.2 Keliaran tersebut juga bisa dibaca sebagai pelampiasan dari rutinitas
pekerjaan di sawah ataupun permasalahan sehari-hari yang mereka hadapi. Dengan
keliaran itu pula, kaum muda berusaha melepaskan diri dari beban norma tradisi yang
mengekang mereka dalam kepatuhan: sebuah praktik pembebasan. Pengaruh dari
keliaran tersebut adalah terkadang menyebabkan tawuran antarpenonton yang
Para penyanyi sering juga mengeluarkan ucapan-ucapan provokatif yang membuat suasana semakin
„panas‟. “Gimana, mau goyang lagi?” dan “Apanya yang mau digoyang?” seperti sudah menjadi „dalil‟
wajib yang semakin menggugah hasrat para pemuda untuk bergoyang. Dan para penonoton biasanya
menjawab dengan “Terus!” (untuk pertanyaan pertama) dan “Itunya”, “Bokongnya”, “Semuanya” (untuk
pertanyaan kedua. Merespons jawaban dari pasukan goyang seperti itu, si penyanyi hanya akan
tersenyum genit dan meminta para pemusik untuk memulai lagu berikutnya. Ucapan “mau goyang
lagi?”, “apanya yang mau digoyang?”, “itunya”, ataupun “bokongnya” secara denotatif bermakna ajakan
untuk terus bergoyang. Secara konotatif bisa jadi bermakna sebuah „ajakan‟ untuk melampaui batasbatas moralitas, karena semuanya kemudian bisa digoyang, mulai dari paha, pantat, perut, maupun
wilayah dada.
2
9
biasanya terjadi karena dua penonton saling bersentuhan (nyenggol) dalam kondisi di
bawah pengaruh minuman keras, meskipun dalam beberapa kasus tawuran itu memang
sengaja diprovokasi oleh aparat keamanan.3
3. Subkultur: Melawan Pop dan Budaya Mainstream
Dalam perkembangannya, popularitas budaya pop industrial yang dalam banyak
hal serba standard dan seragam, mendorong lahirnya subkultur (subculture). Dalam
pemikiran cultural studies, budaya dalam subkultur mengacu pada keseluruhan cara
hidup atau peta makna konseptual yang menjadikan wacana dan praktik yang ada
dapat dipahami oleh para anggotanya. Wacana dan praktik yang dikembangkan dalam
subkultur kaum muda, tentu saja, berbeda dengan budaya mainstream yang ada dalam
masyarakat. Beberapa pemikiran tentang subkultur kaum muda, bisa diajukan dengan
memodifikasi rangkuman Barker (ibid.hlm.337-339) tentang subkultur secara umum.
1. Atribut yang mendefinisikan subkultur terletak pada bagaimana akses diletakkan
pada perbedaan antara kelompok sosio-kultural tertentu dengan budaya masyarakat
yang lebih luas. Kaum muda menemukan subkultur sebagai ruang untuk
penyimpangan terhadap norma-norma yang ada dalam budaya masyarakat.
2. Subktultur kaum muda memunculkan suatu upaya untuk mengatasi masalahmasalah kolektif yang muncul dari kontradiksi berbagai struktur dan norma sosiokultural dalam masyarakat. Subkultur membangun sebuah identitas kolektif di mana
identitas individu bisa diperoleh di luar identitas yang melekat pada kelas,
pendidikan, dan pekerjaan.
3. Subkultur kaum muda menyediakan aktivitas hiburan bermakna yang bertentangan
dengan sekolah maupun tempat kerja mereka.
4. Subktultur kaum muda memberikan deskripsi wacana dan praktik alternatif dari
realitas sosial sehingga bisa menjadi solusi bagi dilema eksistensi mereka.
Signifikansi identitas kolektif yang ditawarkan subkultur dalam memandang realitas
sosio-kultural masyarakat, tentu memerlukan satu atribut dan praktik yang
membedakan mereka dengan apa-apa yang menjadi mainstream.
Dalam arena pertunjukan dangdut di beberapa wilayah Jawa Timur, seperti Lamongan, Mojokerto,
Lumajang, Jember, dan lain-lain, terdapa istilah “senggol bacok” (menyentuh bacok), yang artinya ketika
bersentuhan antarpenonton bisa memicu terjadinya tawuran yang terkadang harus sampai di bawa ke
rumah sakit dan berurusan dengan aparat keamanan. Namun, apakah senggolan dan alkohol bisa
menyebabkan tawuran. Menurut penuturan Joko Mursyito, pimpinan Orkes Melayu Monalisa di
Kulonprogo, Yogyakarta, dalam beberapa kasus aparat keamanan sengaja memancing terjadinya
keributan: “Kadang-kadang tawuran itu „tidak murni‟ bersumber dari penonton. Kadang-kadang ada
„pihak-pihak tertentu‟ (maksudnya aparat keamanan, pen) yang sengaja masuk ke kerumunan penonton.
Biasanya mereka berada di depan panggung. Ketika suasana semakin panas, biasanya beberapa dari
mereka mendorong dua kelompok pasukan goyang sehingga saling bersentuhan hingga saling
memukul. Hasilnya, ya tawuran itu. Ya, tau sendirilah, setelah itu mesti urusannya ya ke kantor, kemana
lagi. Kan dapat duit. Saya sebenarnya juga tidak suka dengan kejadian seperti itu, tapi ya gimana lagi,
terkadang saya juga „membutuhkan‟ mereka. Ya sama-sama ngerti lah.” Wawancara, 27 November
2006, ketika penulis melakukan penelitian untuk tugas akhir salah satu matakuliah di UGM.
3
10
Konsumsi kreatif yang menjadi karakteristik dari praktik dalam subkultur kaum
muda memang berasal dari pemaknaan ulang budaya massa industrial yang bersifat
massif dan serba seragam. Konsumsi kreatif yang menghasilkan atribut dan praktik
kultural tersebut berasal dari proses peramuan kembali (bricolage) yang melibatkan
penataan ulang dan rekontekstualisasi barang/objek untuk mengkomunikasikan
makna yang lebih baru dan segar (Clarke, 1976: 177). Konsumsi kreatif merupakan
bentuk partisipasi aktif dari para anggota sebuah subkultur. Dengan partisipasi aktif
itulah komoditas menjadi lebih bermakna untuk kepentingan identitas kolektif sesuai
dengan kebutuhan mereka (Douglas & Isherwood, 1979: 75). Subkultur kaum muda,
dengan demikian, bukan semata-mata proses konsumsi produk budaya massa
industrial. Lebih dari itu, ia merupakan proses konsumsi kreatif yang mempunyai
tendensi politis-kultural. Pertama,
sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni
tradisi besar serta massifikasi dan komodifikasi barang konsumsi. Kedua, sebagai
pemaknaan kreatif atas komoditas yang dihasilkan industri demi kepentingan identitas
kultural kolektif dan gerakan kaum muda. Ketiga, resistensi terhadap ketidakmapanan
sosial sebagai akibat ketidakadilan yang diciptakan kelas kuasa. Dari sinilah
pemaknaan „budaya pop‟ dalam konteks subkultur lahir: terciptanya praktik dan ritual
yang sudah menciptakan identitas kultural mereka sendiri. Artinya, sebagai respon
dari popularitas budaya pop yang dijalani kaum muda kebanyakan, subkultur telah
menciptakan budaya popnya yang biasa dijalani oleh para anggotanya sehingga
menjadi populer di lingkupnya sendiri.
Lahirnya komunitas pecinta musik rock, heavy metal, punk, reggae, underground
hingga hi-hop merupakan perwujudan dari hasrat, impian, dan harapan untuk melawan
ketidakadilan dan ketidaksetaraan dalam struktur sosial masyarakat kapitalis yang
terlalu banyak menguntungkan para pemilik modal dan pejabat-pejabat politik. Tidak
mengerankan, ritual pertunjukan musik seringkali menjadi umpatan yang terkadang
diselingi dengan praktik kekerasan terhadap diri sendiri sebagai bentuk protes
terhadap wacana dan praktik sosio-kultural yang nyatanya tidak bisa membawa
kebaikan untuk semua. Di samping itu gerakan politis-kultural yang mereka usung
bisa dibaca sebagai perlawanan terhadap standarisasi musik industrial yang lebih
berlirik romantis, dan tidak kritis terhadap realitas sosial, serta mengedepankan nada
yang teramat melo dan sudah terlanjur menjadi trend budaya pop bagi kaum muda.
Kebisingan musik dan kekerasan praktik dalam memainkan musik atau menonton
pertunjukan merupakan atribut dan ritual yang menandakan resistensi tersebut.
11
Sementara klub motor maupun klub hobi tertentu—filateli, pembaca buku,
ngrumpi di mall, dan lain-lain—memang lebih dekat dengan pemaknaan kreatif dalam
budaya pop dalam konteks estetisasi yang bisa membedakan identitas kultural kolektif
mereka di tengah-tengah „seragamisasi‟ kehidupan kultural masyarakat kapitalis.
Kondisi tersebut memang lebih banyak terjadi di kelas menengah kota. Abdullah
(2006: 33-35), menjelaskan, bahwa saat ini dalam kelas menengah kota tengah
berlangsung proses konsumsi simbolis dan transformasi estetis yang menunjukkan betapa
nilai-nilai simbolis dari produk dan praktik kultural yang menyertainya telah
mendapatkan penekanan yang lebih besar dibandingkan dengan nilai-nilai kegunaan
dan fungsional (2006: 33-35). Proses konsumsi simbolis paling tidak menandakan (1)
terjadinya pembedaan proses konsumsi yang membedakan kelas sosial yang satu
dengan yang lain; (2) barang-barang yang dikonsumsi telah menjadi representasi dari
kehadiran mereka; dan, (3) konsumsi citra telah menjadi proses konsumsi yang penting
di mana citra yang dipancarkan suatu produk dan praktik merupakan alat ekspresi diri
bagi kelompok. Sementara proses estetitasi yang terjadi dalam kehidupan kelas
menengah kota bisa dilihat sebagai (1) terjadinya proses seni dalam konsumsi barang
yang menegaskan nilai-nilai khusus; (2) terjadinya proses individualisasi dalam
memaknai sebuah produk. Dalam kehidupan kota, kelompok dengan status sosial
tertentu menggunakan pola konsumsi
sebagai alat untuk memapankan tingkatan
sosial mereka dan sebagai garis pembatas diri mereka dengan kelompok yang lain
(Bocock, 1994: 183). Dengan kata lain, realitas konsumsi dalam masyarakat kota
menunjukkan bahwa produk budaya massa industri tidak hanya dikonsumsi dalam
kepasifan yang seragam, tetapi adanya partikularitas-partikularitas yang kemudian
menjadi karakteristik yang membedakan kedirian dan status sosial mereka di tengahtengah masyarakt. Menurut Lury (1996: 45), kondisi tersebut menunjukkan terjadinya
pergeseran dari pola konsumsi dari producer-led (produsen yang menentukan dan
membentuk pola konsumsi) menuju consummer-led (konsumen yang menentukan dan
memberikan makna atas apa-apa yang mereka konsumsi).
Namun, hal itu bukan berarti mereka kehilangan semangat untuk maju atau tidak
mampu menyikapi permasalahan-permasalahan sosial yang ada. Dalam kasus
subkultur kaum muda pengendara motor, bisa dilihat bagaimana motor-motor
pabrikan yang diproduksi serba homogen, baik dalam hal kapasitas mesin maupun
modelnya, diramu ulang (modifikasi) oleh para anggota klub motor untuk dijadikan
12
ekspresi estetis yang membedakaannya dengan motor lain.4 Di samping itu motor
yang berfungsi untuk alat transportasi semata telah menjadi ajang unjuk nyali melalui
praktik free style yang mempertontonkan praktik mengendari motor dalam gaya
ekstrim. Pada kesempatan lain, anggota sebuah klub motor bisa saja melakukan ritual
touring sambil mengadakan bhakti sosial kepada kurban bencana alam atau memberi
santunan kepada keluarga miskin. Artinya, keberadaan klub-klub motor ataupun klubklub lain sejenis, tidaklah berusaha menolak keberadaan kapitalisme ataupun
ketidakmapanan struktur sosial, tetapi memberikan pemaknaan lain yang lebih estetis
terhadap itu semua.
Kenyataan betapa kompleksnya budaya pop dan kaum muda, memang tidak bisa
didekati hanya dengan sudut pandang resistensi subkultur maupun praktik resistensi
dalam konsumsi semata. Thornton (1995) dalam kajiannya tentang klub-klub musik,
misalnya, menemukan realitas bahwa praktik budaya pop (dalam konteks subkultur)
bukanlah berkaitan dengan resistensi terhadap kelas kuasa, melainkan semata-mata
sebagai usaha untuk membuat pembedaan (distinction) antara sebuah kelompok kaum
muda dengan kelompok yang lain sebagai modal subkultur (subculture capital). Mereka
menerima status di dalam dunia sosio-kulturalnya sendiri melalui kepemilikan
terhadap pengetahuan subkultur. Klub kaum muda pecinta jazz di Indonesia, misalnya,
akan mengembangkan modal subkultural melalui praktik ritual yang berbeda dengan
klub pecinta reggae. Keberbedaan inilah yang menjadi penting ketika kaum muda
menemukan dunia mereka serba seragam oleh popularitas budaya pop industrial.
Meskipun demikian, tetap ada satu kata kunci yang melekat dalam praktik budaya pop
dalam subkultur dengan bermacam variannya, yakni “keinginan untuk berbeda”.
4. Sebuah Jawaban: Budaya Pop sebagai Inspirasi Pembebasan dan Kreativitas Berbasis
Komunitas/Budaya Lokal
Dari penjabaran bisa dilihat adanya beberapa poin penting terkait dengan praktik
konsumsi budaya pop dan kaum muda. Pertama, budaya pop lahir dari proses konsumsi
Di samping modifikasi, anggota sebuah klub motor juga dilengkapi dengan seragam berupa pakaian,
emblem, atau sticker motor, sebagai atribut yang membedakan dengan klun motor lain. Untuk semakin
memperkukuh solidaritas dan identitas kolektif, klub motor melakukan touring dengan waktu berkala,
satu minggu atau satu bulan. Dalam touring ini biasanya ada permainan outbond atau kegiatan rekreatif
dan sosial lainnya. Klub motor juga memanfaatkan popularitas interbet untuk membuat website yang
menjadi sarana komunikasi antaranggota dan sekaligus mempromosikan identitas kelompok mereka di
jagat maya. Website-website klub motor, antara lain (1) Scooter, http://scooterownersgroup.org; (2)
Depok Tiger Club, http://detic.honda-tiger.or.id; (3) Yahama Jupiter Owners Community,
http://www.yjoc.info; (4) Komunitas Honda Tiger Indonesia, http://www.honda-tiger.or.id; (5) Komunitas
Yamaha MX Indonesia, http://www.ymci.web.id/; dan lain-lain.
4
13
yang dilakukan oleh kaum muda terhadap budaya massa industrial karena memenuhi
hasrat dan keinginan mereka yang dinamis dan ingin terlihat beda dengan generasi
tua/dewasa. Kedua, popularitas budaya pop yang serba standard, meskipun bagi
banyak kaum muda menjadi penanda dari identitas kultural, ternyata menimbulkan
kekurang puasan pada sebagian kaum muda lain sehingga mereka mengembangkan
atribut dan ritual dalam subkultur yang sekaligus membedakan mereka dari praktik
budaya pop dan budaya mainstream. Keinginan untuk ingin dilihat berbeda, baik dari
para penikmat budaya pop, maupun dari pelaku subkultur merupakan resistensi simbolis
dari kemapanan yang ada di sekitar mereka. Ketiga, kaum muda dan budaya pop,
nyatanya, bukan hanya satu entitas sepele, karena mereka bisa menjelma sebagai
kekuatan reformatif di balik semua praktik budaya yang mereka jalani.
Namun, pemahaman-pemahaman di atas masih saja memunculkan kekhawatiran
terkait dengan nasib budaya lokal bangsa ini karena kaum muda semakin tenggelam
dalam budaya yang mengagungkan gaya hidup (life style) yang cenderung memuja
Barat. Memang kaum muda berhasil melakukan konsumsi kreatif demi perayaan
identitas mereka, tetapi, kalau disimak lagi, apa-apa yang mereka konsumsi—dari
pakaian, musik, film, hingga majalah—merupakan turunan dari model atau bentuk
yang berkembang sebelumnya di dunia Barat. Laki-laki dan perempuan muda di mall
banyak mengenakan model pakaian terbaru yang berasal atau dijiplak dari model yang
biasa dikenakan kaum selebritis Amerika—yang kemudian juga dijiplak oleh para
selebritis Indonesia. Wacana dan praktik Barat, nyatanya, memang sangat hegemonik
di Indonesia sehingga pilihan untuk menjadi subjek yang terbaratkan, bukan lagi
sebuah paksaan, tetapi kesadaran yang menjadi semacam tuntutan apabila ingin
dikatakan gaul. Inilah kenyataan kalau kita membicarakan budaya pop dan kaum muda
dalam konteks keindonesiaan.
Meskipun demikian, kekhawatiran berlebihan terhadap persoalan itu tidak perlu
terus dipelihara karena hanya menghabiskan energi. Kenyataanya, kehadiran yang
Barat, bukan hanya masalah yang dihadapi Indonesia. Negara-negara bekas jajahan,
juga mengalami hal serupa di mana budaya Barat menjelma sebagai paktik diskursif
yang terus menghantui eksistensi budaya lokal yang hendak dikembangkan sebagai
antitesa, apalagi dengan proses globalisasi informasi dan komunikasi media dewasa ini.
Budaya Barat, tentu saja tidak semua jelek, karena di dalamnya juga terdapat
pemikiran atau praktik yang mengarah kepada kemajuan. Seperti dilontarkan oleh
Sutan Takdir Alisjahbana pada periode 30-an, bahwa untuk menjadi maju, bangsa
14
Indonesia harus mau mengambil pemikiran dari negara-negara maju, seperti Amerika
dan Eropa (1998: 2-11). Namun, seperti dikemukakan Armin Pane, sebagaimana
dikutip Faruk (1999: 6), hal itu bukan berarti harus meninggalkan kasanah budaya
lokal, tetapi mengambil yang baik dari Barat sembari terus mengembangkan yang
lokal—yang tentunya masih hidup dan berkembang. Yang berbahaya sebenarnya
adalah ketika kaum muda sekedar larut dalam gaya hidup Barat tanpa bisa mengambil
pikiran-pikiran maju ala Barat dan mengolahnya menjadi produk yang menandakan
keindonesiaan. Bagi masyarakat poskolonial seperti Indonesia, mengikuti pemikiran
Bhaba (1994), sebenarnya selalu tersedia “ruang ketiga” (third space) atau “ruang
antara” di mana praktik mimikri (mimicry) selalu terjadi dan mewujud dalam produk
dan praktik budaya hibrid yang menegosiasikan kepentingan subjek poskolonial
terhadap kuasa diskursif superioritas Barat dan sekaligus menunjukkan bahwa mereka
tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh narasi besar pembaratan. Menurut Hesmondhalgh
(2007: 235), sebagian besar musik pop lokal saat ini memang lebih banyak diwarnai
dengan hibriditas sebagai hasil dari reinterpretasi terhadap gaya dan teknik bermusik,
tetapi berbasis pada kepentingan kaum muda lokal, baik untuk mengekspresikan
persoalan hidup atau mengkritisi ketimpangan sosial.
Musik yang diusung Dewa, Slank, Padi, Gigi, Peterpan, Nidji, dan lain-lain,
semua memang mengambil gaya dan teknik dari cara bermusik Barat, bahkan major
label yang memproduksi dan mendistribusikannya tidak jarang merupakan perusahaan
transnasional yang beroperasi di Indonesia. Begitupula dengan film-film pop
Indonesia. Namun, apabila diperhatikan mereka tetap mengusung tema-tema berbasis
lokal Indonesia sehingga menjadi begitu populer di kalangan kaum muda sebagai
ekspresi identitas kultural. Pertunjukan mereka selalu dipenuhi oleh kaum muda yang
begitu histeris dengan penampilan band-band idolanya, meskipun terkadang harus
menelan kurban setelah terjadinya keributan atau desak-desakan antarpenonton akibat
kurangnya kapasitas stadion atau gedung. Yang harus dikritisi adalah ternyata tidak
semua budaya pop dalam musik, misalnya, mampu menjadi kekuatan penggerak yang
memunculkan kreativitas bagi kaum muda untuk bergerak dalam ikut berpartisipasi
dalam permasalahan konkrit yang dihadapi masyarakat. Mereka hanya berhenti pada
proses perayaan konsumsi kreatif hiburan dan gaya hidup yang beraroma neotribalisme,5 sebagai penegas identitas kultural mereka yang melampaui kelas sosial.
Shildrick (2004), mengutip pendapat Bennet, Maffesoli, dan Holland, menjelaskan bahwa budaya kaum
muda saat ini tidak lagi terjebak pada subkultur yang merayakan identitas dalam kepentingan kelas5
15
Meskipun demikian, ada juga band, seperti Slank, yang memberikan contoh dalam
memperhatikan kehidupan orang kecil dengan melakukan touring sosial dan terlibat
dalam aktivitas mereka. Persoalan apakah tindakan yang dilakukan diikuti oleh para
penggemarnya, Slankers, bukanlah kapasitas tulisan ini untuk menjelaskannya.
Memang, saat ini banyak kaum muda yang larut dalam budaya pop dan mereka
bertingkah seperti orang Barat tanpa menghiraukan budaya lokalnya lagi. Tetapi,
masih banyak pula kaum muda yang peduli dengan budaya atau komunitas lokalnya
dan berusaha menggunakan budaya pop untuk dijadikan inspirasi bagi perjuanganperjuangan kemanusiaan maupun kultural. Mereka bisa saja berada dalam ruang ketiga
dengan meniru sebagian budaya pop yang berasal dari Barat dan meramunya dengan
kasanah budaya lokal demi kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan Barat.
Memang sekilas tampak mereka sudah terhegemoni Barat, tetapi sebenarnya mereka
sedang bernegosiasi untuk kepentingan yang lebih luas dan dalam praktiknya mampu
menciptakan budaya pop berbasis lokal.
Bahruddin, pengelolah Sekolah Alternatif Qarriyah Thayyibah (QT) di Desa
Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah adalah salah satu contohnya.6 Dia tidak menolak
budaya pop dalam kehidupan kaum muda, tetapi menggunakannya untuk
memberdayakan kreativitas mereka. Melalui sekolah berbasis internet dan komunitas
lokal, ia dan para siswa yang sekaligus menjadi kawannya, tidak pernah alergi dengan
friendster, e-mail, ataupun situs-situs unlimited di internet, meski mereka tinggal di desa.
Para siswa juga sudah biasa menonton film, sinetron, maupun mendengarkan musik.
Semua bentuk budaya pop yang ada dalam kehidupan mereka, diolah kembali menjadi
piranti untuk pembelajaran yang bisa memberikan pencerahan. Para siswa dibiarkan
merdeka dengan pilihannya sendiri. Bagi mereka yang gemar menulis fiksi
dipersilahkan menulis novel atau puisi. Bagi mereka yang suka melihat film,
dipersilahkan membuat film. Konsep pendidikan dengan media budaya pop tersebut,
ternyata berhasil membangkitkan gelora ekspresif-kreatif dari para siswa sehingga di
usia SMP atau SMA mereka sudah pandai menulis artikel, puisi, novel, ataupun
kelas sosial. Budaya kaum muda saat ini lebih banyak ditandai dengan konsumsi gaya estetik dan
penggunaan musik pop yang sesuai dengan kepentingan individual yang lebih cair dan transisional dan
tidak lagi didasarkan kepada kepentingan kelas seperti yang dilakukan oleh pemikir cultural studies
dalam kajian subkultur. Artinya, semua kaum muda, tanpa memandang kelas sosial mereka, bisa terlibat
dalam perayaan gaya hidup maupun musik yang lebih ditentukan oleh pilihan-pilihan pembeda
(community of choice) sebagai penanda lahirnya “persona posmodern” atau “identifikasi berlipat ganda”
dari budaya kaum muda saat ini sehingga tidak bisa hanya dipandang dalam konteks subkultur yang
begitu ketat.
6 Informasi tentang QT diperoleh penulis dari wawancara dengan Bahruddin dan beberapa siswanya,
pada 19 April 2008 di Kalibening Salatiga.
16
menciptakan lagu sekaligus aransemen musiknya. Kalau semula budaya pop sekedar
menjadi pembeda antara dunia kaum muda dan kaum tua, bagi para siswa di QT telah
menjadi kawan untuk menimbulkan inspirasi kreatif sehingga mampu meciptakan
budaya pop yang sesuai dengan kesukaan dan kebutuhan mereka sendiri yang
sekaligus membebaskan mereka dari kekangan sistem dan kurikulum pendidikan
formal di Indonesia.
Capaian-capaian yang diperoleh dan dinikmati oleh para siswa QT, bisa
diasumsikan oleh Habermas dengan ruang publik borjuisnya. Habermas (2007)
memaparkan ruang publik klasik sebagai tempat untuk memperdebatkan berita atau
karya sastra sebagai bentuk budaya pop yang dihasilkan industri budaya massa. Ruang
publik telah menjadi praktik budaya pop yang berhasil memposisikan individu-invidivu
di kedai kopi maupun salon dalam perdebatan kreatif tentang isu-isu politik, hukum,
maupun ekonomi tanpa menghiraukan status kelas, meskipun dalam perkembangannya
ruang publik tersebut perlahan menghilang karena industri telah mengkomodifikasi
perdebatan-perdebatan tersebut sebagai opini dari para pakar tertentu. Di QT yang
terjadi adalah bagaimana budaya pop dijadikan sarana untuk memperdebatkan dan
membebaskan ide dari kekangan-kekangan normatif sembari mengkritisi persoalan
sosial maupun keseharian sehingga melahirkan ruang publik emansipatoris yang
mampu mendorong lahirnya produk-produk baru budaya pop untuk kepentingan
pembebasan kreatif para siswa.
Di Banyuwangi Jawa Timur, dalam konteks yang berbeda, budaya pop yang
merupakan hasil dari hibridasi dengan budaya pop bernuansa Barat, juga berkembang
luas, bahkan sudah menjadi penggerak industri rekaman lokal. Kaum muda berkumpul
membentuk satu grup musik yang memadukan genre musik pop Barat, seperti blues
dan rock, dengan genre musik Using yang mendayu-dayu, tetapi dinamis (Setiawan,
2007a). Meskipun pada awalnya dianggap sebagai penyimpangan, nyatanya, genre
musik baru yang diberi nama patrol opera Banyuwangi ini mampu menjadi budaya pop
yang tidak hanya menarik perhatian kaum muda, tetapi juga kaum tua, baik di
Banyuwangi maupun kabupaten di sekitarnya (Jember, Lumajang, Situbondo,
Bondowoso), bahkan sampai di Malang dan Surabaya. Bahkan salah satu album yang
beredar dalam satu tahun (2002) berhasil mencapai angka 150 ribu copy CD yang
terjual. Aransemen blues dan rock dengan alat modern seperti gitar, bass, drum,
keyboard, diramu sedemikian rupa dengan aransemen musik Using yang diwarnai
dengan kendang, seruling, dan kempul. Hibridasi aransemen dan jenis musik tersebut
17
dilengkapi dengan lirik berbahasa Using dengan tema lagu beragam, dari masalah
cinta (mayoritas) sampai persoalan sosial rakyat kecil.
Kondisi yang sedikit berbeda terjadi di Jember Jawa Timur, di mana beberapa
kelompok jaranan/jathilan, menggunakan produk budaya pop dalam konteks yang
lebih parsial. Beberapa kaum muda yang terlibat di dalam kelompok, menawarkan
kepada para anggota yang lebih tua (secara usia) untuk memasukkan unsur musik pop,
seperti dangdut, untuk dijadikan pelengkap—atau lebih tepatnya tempelan—dalam
pertunjukan jaranan (Setiawan, 2005). Penyanyi dangdut dipersilakan menyanyi pada
atraksi tarian jaranan dan sesudah pertunjukan tarian selesai. Para penonton
dipersilahkan memberikan saweran. Hal itu dilakukan agar rakyat desa—terutama
kaum muda—yang sudah terbiasa dengan musik dangdut, mau menonton kembali
atraksi pertunjukan jaranan dengan tarian-tarian dan atraksi trance-nya sehingga
kesenian ini tetap bisa digemari oleh komunitas pendukungnya dan “tidak terasing di
desanya sendiri”. Hal serupa juga dilakukan beberapa dalang muda di Jember.
Pembukaan pertunjukan wayang diawali dengan musik dangdut atau campursari yang
bisa menarik kedatangan para penonton yang berasal dari kaum muda agar mau
menonton wayang. Terbukti, banyak di antara mereka yang menikmati pagelaran
wayang, meskipun ada juga yang pergi dan kembali lagi ketika sesi cinguk limbuk diisi
kembali dengan musik dangdut (Setiawan, 2007b). Apakah ini bisa dikatakan sebagai
hegemoni budaya pop industrial? Tunggu dulu. Budaya pop industrial hanya dijadikan
alat untuk menegosiasikan budaya lokal, dan titik tekannya tentu saja tetap pada usaha
untuk pemberdayaan yang terus berlanjut.
5. Jangan Main-main dengan Budaya Pop dan Kaum Muda: Simpulan
Paparan di atas, paling tidak, mengimplikasikan bahwa untuk mengkaji persoalan
kaum muda dan budaya pop di Indonesia, bermacam sudut pandang bisa digunakan.
Selalu ada konteks partikular maupun konteks yang lebih luas dalam mempersoalkan
kaum muda dan konsumsi budaya pop. Penyederhanaan konteks dalam paradigma
moralitas atau kapitalisme, tentu saja akan menjadikan kajian terjebak dalam dalil-dalil
deterministik yang tidak bisa membongkar persoalan yang sebenarnya, meskipun itu
tidak sepenuhnya salah. Yang pasti, jangan selalu memposisikan kaum muda sebagai
„makhluk-makhluk dungu‟ yang hanya terjebak dan tidak bisa keluar lagi dari gaya
hidup dan praktik budaya pop karena mereka sebenarnya merupakan individu-individu
18
yang mempunyai beragam kepentingan dan pertimbangan dalam menjalakan
kebudayaannya sendiri.
Budaya hari ini adalah budaya pop itu sendiri, dan kaum mudalah yang banyak
menjadi penggerak dan pelakunya demi capaian dan kepentingan kultural yang mereka
impikan. Maka, kajian-kajian dalam konteks yang lebih partikular—baik melalui kajian
teks maupun etnografi—menjadi begitu penting untuk dilakukan karena kemampuan
memetakan praktik, bentuk, dan perayaan budaya pop di kalangan kaum muda, bisa
membuka kesadaran kritis terus menerus akan persoalan budaya yang sebenarnya
dihadapi
bangsa
ini.
Bukan
sekedar
usaha
untuk
memperdebatkan
dan
mempertahankan budaya nasional yang teralu utopis, karena realitas budaya pop sudah
semakin menggejala. Kalau memang kaum muda selalu diposisikan sebagai penerus
perjuangan bangsa, maka kontribusi kajian budaya pop menjadi signifikan karena akan
bisa diketahui bagaimana sebenarnya mereka membayangkan budaya dan perjalanan
bangsa ini ke depan menurut cita-cita dan pemikiran ideal mereka sendiri. Di sinilah
dibutuhkan kesiapan strategi, sudut pandang, dan cara analisis dari kalangan
akademisi-kritis untuk membongkar apa yang ada di balik teks dan praktik budaya
pop, bukan sekedar dalil-dalil yang berusaha menghakimi mereka dalam konteks
degradasi dan dekadensi moral.
Kekayaan paradigma akan menjadi faktor penentu yang mampu mengarahkan
kajian budaya pop dan kaum muda dalam lingkup yang spesifik sembari terus
memberikan kritik sehingga kesadaran berbudaya tidak lagi diposisikan sebagai “harus
ini” dan “harus itu” tetapi pada “bagaimana mereka menjalani?”, “bagaimana mereka
menginterpretasi?”, “bagaimana mereka bernegosiasi dalam kreativitas?”, “apakah
mungkin terjadi hegemoni melalui teks budaya pop”, dan “apakah mungkin mereka
terhegemoni, melawan, atau menyiasati?” Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan
memunculkan kritik terus menerus yang diharapkan akan semakin menumbuhkan
kedewasaan dalam melihat budaya pop dan kaum muda serta kemungkinankemungkinan strategi agensi untuk semakin memberdayakan kaum muda dan juga
budaya pop yang mereka jalani. Dengan demikian, kaum muda dan budaya pop tidak
lagi harus diletakkan di wilayah margin, tetapi dimasukkan ke dalam bagian sah dari
kebudayaan yang ada di bangsa ini: kebudayaan yang terus menjadi, bukannya sudah
jadi.
Budaya pop memang sudah menjadi realitas yang tidak bisa ditolak lagi. Ke
depan, kaum muda akan terus “bertingkah” dalam beragam kondisi, bentuk, dan
19
praktik yang bisa saja membuat para akademisi budaya merasa ngeri atau tersenyum
manis. Ketika para akademisi tidak menyiapkan diri untuk menjawab realitas tersebut,
maka, bisa jadi mereka akan menjadi penonton yang hanya bisa mengumpat, menangis,
atau bahagia, tanpa bisa berbuat apa-apa. Di samping kesiapan kajian, keterlibatan
aktif-partisipatoris untuk masuk ke dalam praktik budaya pop dan ruang publik kaum
muda, menjadi kepentingan yang sudah semestinya selalu diusahakan oleh para
akademisi sehingga tidak sekedar berdiri di menara gading, tetapi terlibat sebagai
intelektual organik yang secara sadar berusaha memberikan kontribusi yang
mencerahkan, bukan sekedar menghakimi. Yang muda memang akan selalu
bertingkah, tetapi sangat ironis kalau yang lebih mengerti atau yang lebih tua hanya
bisa kepradah (kebingunan dan terkaget-kaget). Semoga kita tidak menjadi bagian dari
mereka yang kepradah.
Daftar Bacaan
Abdullah, Irwan.2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Antariksa, “Bioskop dan Kemajuan Indonesia Awal Abad XX”, dalam Budi Susanto
(ed).2005. Penghibur (an): Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia.
Yogyakarta: Lembaga Studi Realino bekerjasama dengan Penerbit Kanisius.
Adorno,Theodor W. “Television and the Pattern of Mass Culture”, dalam Bernard
Rosenberg and David Manning White (ed).1957. Mass Culture. Illionis: The Free
Press.
Adorno, Theodor W. & Max Horkheimer.1993. “The culture industry: enlightment as
mass deception”, dalam Simon During (ed).1957. The Cultural Studies Reader. New
York: Routledge.
Alisjahbana, Sutan Takdir, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, dalam
Achdiat K. Miharja (ed).1998. Polemik Kebudayaan (Cetakan ke-3). Jakarta: Balai
Pustaka.
Barker, Chris.2004. Cultural Studie, Teori dan Praktik (terj. Nurhadi). Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Bennet, Tony, “Introduction: the turn to Gramsci” and “The Politics of „the popular‟
and popular culture”, dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott
(eds).1986. Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University
Press.
Bhabha, Homi K.1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Bocock, Robert.1994. “The Emergence of the Consumer Society”, dalam The Polity
Reader in Cultural Theory. Cambridge: Polity Press.
Brooker, Peter.2007. A Glossary of Cultural Theory (Second Edition). London: Arnold.
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
20
Clarke, J., “Style”, dalam Stuart Hall & T. Jefferson (eds).1976. Resistence through
Rituals: Youth Subcultures in Post-War Britain. London: Hutchinson.
Douglas, Mary & Isherwood, Mary.1979. The World of Goods, Toward an Anthropology
of Consumption. New York: Routledge.
Faruk, “Mimikri dalam Sastra Indonesia”, dalam Jurnal Kalam, Edisi 14, 1999.
Fiske, John, “Popular Culture” dalam Lentricchia & Thomas McLaughin (et.al).1995.
Critical Terms for Literary Study. Chicago: University of Chicago.
__________.2002. Television Culture. London: Routledge.
Gans, Herbert J.1974. Popular Culture and High Culture, An Analysis and Evaluation of
Taste. New York: Basic Books Inc.
Grossberg, L.1992. We Gotta Out This Place: Popular Conservation and Postmodern
Culture. London: Routledge.
Habermas, Jürgen.2007. Ruang Publik, Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat
Borjuis (terj. Yudi Santoso. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Haesmondhalgh, David.2007. The Cultural Industries, 2nd Edition. London: Sage
Publication.
Hall, Stuart, “Popular culture and the state” dan David Cardiff&Paddy Scannell.1986.
“Good luck war workers! Class, politics, and entertainment in wartime
broadcasting” dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott
(eds).1986. Popular Culture and Social Relations. Philadelpia: Open University
Press.
__________.1971. “Introduction”, in Working Paper in Cultural Studies, Spring.
Birmingham: CCCS Birmingham University.
___________, “Notes on Deconstructing The Popular”, dalam Stephen Duncombe
(ed).2002. Resistance Culture. London: Verso.
Handayani, Christina S., “Para Saksi Identitas Dugem”, dalam Budi Susanto (ed).2005.
Penghibur (an): Masa Lalu dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia. Yogyakarta:
Lembaga Studi Realino bekerjasama dengan Penerbit Kanisius.
Jansson, Andre, “The Mediatization of Consumption: Towards an analytical
framework of image culture”, dalam Journal of Consumer Culture, Vol. 2, No. 1,
2002. London: Sage Publications.
Lowenthal, Leo, “Historical Perspective of Popular Culture, dalam Bernard Rosenberg
and David Manning White (eds). Mass Culture. Illionis: The Free Press.
Lury, Celia.1996. “Material Culture and Consumer Culture” dalam Consumer Culture.
Cambridge: Polity Press.
McDonald, Dwight.1956. “A Theory of Mass Culture” dalam Bernard Rosenberg and
David Manning White (eds).1957. Mass Culture. Illionis: The Free Press.
Saputro, Kurniawan Adi, “Melihat Ingatan Buatan: Menonton Penonton Film
Indonesia 1900-1964”, dalam Budi Susanto (ed).2005. Penghibur (an): Masa Lalu
dan Budaya Hidup Masa Kini Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino
bekerjasama dengan Penerbit Kanisius.
21
Setiawan, Ikwan.2005. “Menjaga Ritual Menyiasati Pasar: Strategi Survival Kelompok
Jaranan di Jember. Laporan penelitian (belum dipublikasikan) Dana Internal Grant.
Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.
______________, “Transformasi Masa Lalu dalam Nyanyian Masa Kini: Hibridasi dan
Negosiasi Lokalitas dalam Musik Populer Using”, dalam Jurnal Kultur, Vol. 1,
No. 2, September 2007a. Jember: Pusat Penelitian Budaya Jawa dan Madura
Lembaga Penelitian Universitas Jember.
______________.2007b. “Menyemaikan Multikulturalisme: Peran Strategis Seni
Pertunjukan Etnis dalam Mengembangkan Masyarakat Multikultural di
Jember”. Laporan penelitian (belum dipublikasikan) Dana DIKTI. Jember:
Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Shildrick, Tracy, “Youth culture, subculture, and the important of neighbourhood”,
dalam Jurnal Young, Vol. 14, No. 1, 2006. London: Sage Publications.
Storey, John.1993. An Introductory Guide to
Culture.Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf.
Cultural
Theory
and
Popular
Thornton, Sarah.1995. Club Cultures: Music, Media, and Subcultural Capital. London:
Polity Press.
Turner, Victor.1974. Dramas, Field and Metaphors. Itacha: Cornell University Press.
Webb, Darren, “Bakhtin at the Seaside: Utopia, Modernity, and Carnivalesque”, dalam
Journal of Theory, Culture, and Society, Vol. 22, No. 3, 2002. London: Sage
Publications.
Williams, Raymond.1961. The Long Revolution. London: Chatto and Windus.
22
Download