1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Permasalahan
Pesatnya kemajuan teknologi, dalam konteks perpustakaan berpengaruh
terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan oleh perpustakaan. Teknologi yang
didominasi oleh penggunaan komputer dianggap telah mampu menggantikan
fungsi tenaga manusia dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas yang
biasa dikerjakan manusia, tidak terkecuali pustakawan. Meski tidak seluruh aspek
manusia dapat digantikan mesin, namun harus diakui bahwa teknologi mampu
menghasilkan produk yang segi kuantitas maupun kualitasnya melebihi produk
hasil karya manusia (Suwarno, 2010:3). Perpustakaan perguruan tinggi adalah
perpustakaan yang berada di lingkungan perguruan tinggi yang pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari suatu perguruan tinggi. Perpustakaan ini bersama
sama dengan unit kerja lainnya dan dengan peran yang berbeda-beda bertugas
membantu perguruan tingginya untuk melaksanakan program Tri Dharma
Perguruan Tinggi. Tujuan diselengggarakan perpustakaan perguruan tinggi adalah
untuk menunjang terlaksananya program pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat di perguruan tinggi atau lazim dikenal dengan Tri Dharma
Perguruan Tinggi. Hal ini ditempuh melalui pelayanan informasi yang meliputi
lima aspek yaitu pengumpulan informasi, pengolahan informasi, pemanfaatan
informasi, penyebaran informasi, pemeliharaan atau pelestarian informasi
(Saleh, 1995:17). Proses pendidikan di perguruan tinggi tidak lepas dari kegiatan
penelitian dan pengembangan, inovasi serta rekayasa ilmu pengetahuan, sehingga
1
2
perpustakaan perguruan tinggi sering dikatakan sebagai “jantungnya” universitas
(Sutarno, 2006:36). Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut perpustakaan
perguruan tinggi memiliki koleksi antara lain buku, majalah, laporan hasil
penelitian, surat kabar, kaset audio, CD-ROM, serta layanan internet. Semua
bahan koleksi tersebut disimpan di perpustakaan dengan tata urutan yang
sistematis sehingga mudah dan cepat dalam penemuan kembali informasi.
Biasanya pada perpustakaan perguruan tinggi, koleksi perpustakaan dilayankan
dengan sistem terbuka kepada pengguna. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
kebebasan kepada pengguna untuk memilih bahan pustaka yang diinginkan dan
sangat bermanfaat untuk meningkatkan minat baca. Pengguna pun akan memiliki
alternatif lain seandainya bahan pustaka yang dikehendaki tidak ada, maka ia
dapat memilih bahan pustaka yang lain yang sesuai dengan kebutuhan
informasinya. Namun hal yang sangat disayangkan dari dilaksanakannya sistem
layanan terbuka ini adalah timbulnya perilaku penyalahgunaan koleksi
perpustakaan oleh pengguna, hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyo-Basuki
(1992:41) yang menyatakan bahwa kerusakan fisik seperti dokumen kotor,
goresan pada foto dan rekaman, halaman koyak, dan coretan pada dokumen sering
terjadi bila unit informasi terbuka untuk umum.
Koleksi perpustakaan bisa mengalami kerusakan yang
tidak hanya
disebabkan oleh alam misalnya sinar matahari langsung dan kelembaban udara,
melainkan juga disebabkan oleh manusia. Manusia yang dalam hal ini adalah
pengguna perpustakaan dapat menyebabkan kerusakan fisik pada koleksi
perpustakaan. Kerusakan fisik koleksi perpustakaan dapat berupa antara lain
3
dokumen kotor, goresan pada foto dan rekaman, halaman robek, dan lain-lain,
bahkan manusia yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan hilangnya
bahan pustaka dari perpustakaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeatminah
(1992:1) yaitu manusia yang tidak bertanggung jawab merupakan perusak yang
paling hebat, karena tidak hanya menyebabkan kerusakan tetapi juga hilangnya
bahan pustaka. Pengguna perpustakaan dapat bertindak sebagai lawan atau kawan
dalam usaha pelestarian bahan pustaka. Sulistyo-Basuki menegaskan bahwa
manusia dalam hal ini pengguna perpustakaan dapat merupakan lawan atau juga
kawan. Pengguna perpustakaan menjadi kawan bilamana dia membantu
pengamanan buku dengan cara menggunakan bahan pustaka secara cermat dan
hati-hati. Pengguna akan menjadi musuh bilamana dia memperlakukan buku
dengan kasar sehingga sobek atau rusak. Perpustakaan perguruan tinggi sangat
rawan terhadap perilaku penyalahgunaan koleksi. Hal ini disebabkan salah
satunya karena perpustakaan perguruan tinggi melayankan koleksinya dengan
sistem layanan terbuka. Dalam sistem layanan terbuka ini pengguna dapat secara
langsung memilih bahan pustaka yang diinginkan ke rak tempat jajaran koleksi
diletakkan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Hendrick dan Murfin pada tahun 1974
menemukan bahwa 8,3 % mahasiswa di Perpustakaan Kent State University
melakukan mutilasi terhadap jurnal-jurnal. Demikian juga penelitian yang
dilakukan Gouke dan Murfin dalam Adewoye (1992:30) yang menunjukkan
bahwa untuk majalah, perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi melaporkan
kira-kira 150 artikel telah dimutilasi tiap bulan. Di Indonesia, berdasarkan
4
penelitian yang dilakukan oleh Roskusumah (1999:50), di Perpustakaan Fakultas
Seni Rupa ITB menyebutkan bahwa 50 % mahasiswa memutilasi majalah ilmiah.
Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanis (1999:60-61) di
Perpustakaan Centre Cultural Francais di Bandung yang menyebutkan bahwa
81,58 responden menyatakan sering merobek majalah. Di UPT Perpustakaan
Universitas Negeri Yogyakarta dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanis
pada tahun 2001 sebanyak 34,04 % responden mengaku pernah melakukan
mutilasi pada koleksi majalah di perpustakaan.
Dari artikel yang diterbitkan oleh harian Media Indonesia tanggal 5 Januari
2002 disebutkan bahwa jumlah buku koleksi Perpustakaan Daerah Jawa Timur
terus mengalami penyusutan. Ini disebabkan banyak pengunjung tidak
mengembalikan buku yang pernah dipinjam. Kepala Badan Perpustakaan Daerah
Jawa Timur saat itu, Suprastowo, menuturkan bahwa tiap bulan selalu saja ada
sekitar 10 buku yang hilang. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi hilang satu
saja bisa mengurangi jumlah koleksi buku, bila dihitung sejak perpustakaan
berdiri, jumlah buku yang hilang sudah mencapai ribuan. Biasanya buku yang
hilang bukan karena dicuri, tapi pengunjung malas untuk mengembalikan, jadi
hilangnya buku tidak disebabkan lemahnya pengawasan yang dilakukan, namun
semata-mata karena pengunjung malas mengembalikan. Pihak perpustakaan akan
langsung meminta pengunjung yang bersangkutan untuk mengembalikan buku
yang dipinjam jika alamatnya jelas. Dan jika buku yang dipinjam hilang, maka
pengunjung yang bersangkutan harus mau mengganti sesuai dengan judul buku
yang dipinjam.Selain faktor malas, ketentuan denda terhadap pengunjung yang
5
terlambat mengembalikan buku buku juga sangat ringan. Satu buku hanya
dikenakan denda berupa uang sebesar Rp. 500,00, padahal harga buku saat ini
sangat mahal. Pengelola perpustakaan tidak bisa berbuat banyak dengan denda,
karena memang aturan yang ditetapkan pemerintah provinsi seperti itu. Yang bisa
dilakukan pihak perpustakaan hanya sebatas pengawasan secara ketat terhadap
setiap pengunjung dan menyeleksi calon anggota. Pihak perpustakaan juga
menyadari bahwa untuk mengawasi pengunjung yang setiap hari mencapai 500
orang tidak mudah. Apalagi, jumlah petugas perpustakaan tidak terlalu banyak
dibanding pengunjung. Dengan berbagai keterbatasan, perpustakaan daerah harus
tetap melayani, karena perpustakaan sudah menjadi milik publik, jadi harus tetap
melayani pengunjung seperti biasa. Meski banyak buku yang hilang, pihak
perpustakaan mengaku tidak gundah, karena tiap tahun jumlah buku yang menjadi
koleksi juga terus bertambah. Jika dibandingkan antara buku hilang dan masuk,
buku yang masuk masih lebih besar. Untuk mengawasi jumlah buku yang banyak
memang tidak mudah. Pihak perpustakaan hanya berharap kesadaran pengunjung
untuk tetap bisa merawat dan menjaga. Apalagi, beban Perpustakaan Daerah Jawa
Timur semakin berat, karena tidak hanya melayani di Surabaya, tapi juga
mendistribusikan ke perpustakaan umum di kabupaten dan kota.
Penyalahgunaan koleksi dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar
bagi perpustakaan. Kerugian dibagi dua yaitu kerugian secara finansial dan
kerugian secara sosial. Kerugian secara finansial yaitu kerugian yang dirasakan
oleh perpustakaan dalam hal dana yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki
koleksi yang rusak, mengganti kerugian kertas, dan menjaga kualitas bahan
6
pustaka.Bahkan peringatan yang tegas dalam artikel yang berjudul Vandalism of
Library Books tentang besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki
koleksi yang rusak. Peringatan itu berbunyi : “Please be aware that a mutilated
book or journal may cost anywhere from a few dollars to hundreds to replace.”
Kerugian sosial yang dialami oleh perpustakaan karena adanya koleksi yang rusak
antara lain adalah berkurangnya kepercayaan atau dapat memberikan suatu citra
(image) yang kurang baik terhadap perpustakaan sebagai gudang informasi.
Misalnya tindakan mutilasi dapat menimbulkan rasa marah dan frustasi pengguna
yang menginginkan suatu artikel di suatu majalah yang ternyata tidak ada karena
telah dirobek orang lain. Hal ini sesuai dengan sebuah pernyataan dalam artikel
yang berjudul Vandalism of Library Books yaitu :”More frustrating still is
actually finding the right volume, turning to the page where the article should be
and discovering that someone has torn or cut out the pages.”
Pengguna
terkadang harus menunggu beberapa hari untuk memperoleh artikel yang
diinginkan karena harus menunggu perbaikan majalah oleh pustakawan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Constantinou (1995:505) yaitu : ”Students can not use the
library resources to their fullest because they cannot find articles in mutilated
journals. They often have to wait for days to get replacement pages through ill
services.”
Perilaku
penyalahgunaan
koleksi
sangat
berbahaya
karena
akan
berdampak buruk bagi perpustakaan antara lain terhalangnya transfer informasi
dan ilmu pengetahuan serta kemajuannya, terganggunya iklim pendidikan, biaya
preservasi bahan pustaka yang meningkat, mengurangi bahkan menghilangkan
7
keindahan koleksi, berdampak sosial pada lingkungan dan diri objek misalnya
menularnya kebiasaan melakukan perilaku penyalahgunaan koleksi kepada orang
lain dan lain sebagainya.
Berangkat dari masalah ini penulis tertarik untuk
meneliti mengenai perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan oleh pengguna
perpustakaan dan beberapa faktor yang mempengaruhinya.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan yang menjadi pokok pertanyaan dalam penelitian ini yaitu :
1.
Bagaimana perilaku penyalahgunaan koleksi buku dan skripsi yang dilakukan
oleh pengguna Perpustakaan STIESIA ?
2.
Faktor-faktor apa yang mendorong pengguna Perpustakaan STIESIA
melakukan perilaku penyalahgunaan koleksi di perpustakaan ?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku penyalahgunaan
koleksi perpustakaan oleh pengguna Perpustakaan STIESIA Surabaya. Temuan
dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun
rekomendasi bagi Perpustakaan STIESIA dalam menyusun kebijakan untuk
mencegah terjadinya perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan oleh
pengguna.
8
I.4 Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Akademis
Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya kajian Ilmu Informasi dan
Perpustakaan, khususnya dalam bidang perilaku penyalahgunaan koleksi di
kalangan pengguna perpustakaan.
2.
Manfaat Praktis
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi bagi pihak
perpustakaan, baik di lingkungan internal maupun eksternal Perpustakaan
STIESIA Surabaya, khususnya dalam hal penyusunan sistem kebijakan
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan koleksi perpustakaan.
I.5 Landasan Teori
I.5.1 Definisi Perilaku
Di dalam kamus Psikologi disebutkan bahwa perilaku mempunyai empat
arti (Chaplin dalam Prabandari, 1994) :
1.
Beberapa respon yang dilakukan organisme
2.
Sebagai salah satu respon spesifik dari seluruh pola respon
3.
Suatu kegiatan atau aktivitas
4.
Suatu gerakan atau beberapa gerakan yang kompleks
Perilaku atau aktivitas yang berlaku pada individu atau organisme tidak
timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh
organisme yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal
9
(Walgito, 1991). Perilaku dapat diobservasi (Siegler dalam Prabandari, 1994) baik
langsung seperti tertawa, minum, dan sebagainya ataupun tidak langsung seperti
pikiran dan perasaan. Psikolog membuat asumsi atau teori tentang perasaan,
sikap, pikiran, dan proses mental lainnya yang ada di belakang individu.
Lingkungan mental internal dapat dipelajari sebagai manifestasi organisme dalam
berperilaku. Perilaku dilakukan sebagai suatu respon, demikian menurut Chaplin.
Respon akan terjadi akibat suatu penyebab atau stimulus. Individu akan
melakukan sesuatu karena ada penyebab atau stimulus. Penyebab perilaku itu
antara lain bila seseorang memberi penilaian positif pada perilaku itu dan yakin
bahwa orang lain mempunyai arti penting baginya serta menghendakinya untuk
melakukan perilaku itu (Ajzen dalam Prabandari, 1994).
Sedangkan definisi perilaku menurut Skinner (1938) yang dikutip
Notoatmodjo (1997) adalah hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan
tanggapan (respon). Ada dua jenis respon yaitu responden respon dan operant
respon. Responden respon adalah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan
tertentu. Perangsangan itu menimbulkan respon yang bersifat relatif tetap.
Misalnya makanan yang lezat beraroma akan merangsang keluarnya air liur.
Operant respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh rangsangan tertentu.
Perangsangan itu akan mengikuti atau memperkuat suatu perilaku tertentu yang
telah dilakukan oleh organisme.
Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi
yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Karakteristik individu
meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap
10
yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan
faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki
kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya
lebih besar daripada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi
perilaku lebih kompleks.
Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan
(theory of reasoned action) (Ajzen & Fishbein, 1980 dalam Brehm & Kassin,
1990; Ajzen, 1988). Dengan mencoba melihat penyebab perilaku yang dilakukan
atas kemauan sendiri, teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi bahwa manusia
umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal, bahwa manusia
mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan bahwa secara eksplisit
maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka. Teori
tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu
proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya terbatas
hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum
tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak
hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma subyektif (subjective norms) yaitu
keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga,
sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subyektif membentuk suatu
intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.
Teori perilaku beralasan kemudian diperluas dan dimodifikasi oleh Ajzen
(1988). Modifikasi ini dinamai Teori Perilaku Terencana (theory of planned
behavior). Dalam teori perilaku terencana keyakinan-keyakinan berpengaruh pada
11
sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subyektif, dan pada kontrol
perilaku yang dihayati. Ketiga komponen berinteraksi dan menjadi determinan
bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang
bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Sikap terhadap suatu perilaku
dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil
yang diinginkan atau tidak diinginkan. Keyakinan mengenai perilaku apa yang
bersifat normatif (yang diharapkan oleh orang lain) dan motivasi untuk bertindak
sesuai dengan harapan normatif tersebut membentuk norma subyektif dalam diri
individu. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan
individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang
bersangkutan. Kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika diri seseorang
sedang berada dalam kondisi yang lemah.
Menurut teori perilaku terencana, di antara berbagai keyakinan yang
akhirnya akan menentukan intensi dan perilaku tertentu adalah keyakinan
mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan (Ajzen,
1988). Keyakinan ini dapat berasal dari pengalaman dengan perilaku yang
bersangkutan di masa lalu, dapat juga dipengaruhi oleh informasi tidak langsung
mengenai perilaku itu misalkan dengan melihat pengalaman teman atau orang lain
yang pernah melakukannya, dan dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
yang mengurangi atau menambah kesan kesukaran untuk melakukan perbuatan
yang bersangkutan. Perilaku manusia tidaklah sederhana untuk dipahami dan
diprediksikan. Begitu banyak faktor-faktor internal dan eksternal dari dimensi
masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi perilaku manusia.
12
Di samping berbagai faktor penting seperti hakikat stimulus itu sendiri, latar
belakang pengalaman individu, motivasi, status kepribadian, dan sebagainya,
memang sikap individu ikut menentukan bagaimanakah perilaku seseorang
di lingkungannya. Pada gilirannya, lingkungan secara timbal balik akan
mempengaruhi sikap dan perilaku. Interaksi antara situasi lingkungan dengan
sikap, dengan berbagai faktor di dalam maupun diluar individu akan membentuk
suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang.
1.5.2 Pembentukan Perilaku
Perilaku terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu.
Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan
hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial,
terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang
lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku
masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi sosial
itu meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun
lingkungan psikologis di sekelilingnya. Dalam
interaksi sosialnya, individu
bereaksi membentuk pola perilaku tertentu terhadap berbagai objek psikologis
yang dihadapinya. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan
perilaku adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap
penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama,
serta faktor emosi dalam diri individu.
13
1.
Pengalaman Pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan
menjadi salah satu dasar terbentuknya perilaku. Untuk dapat mempunyai
tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang
berkaitan dengan objek psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan
membentuk perilaku positif ataukah perilaku negatif, akan tergantung pada
berbagai faktor lain. Sehubungan dengan hal ini, Middlebrook (1974)
mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek
psikologis cenderung akan membentuk perilaku negatif terhadap objek
tersebut. Pembentukan kesan atau tanggapan terhadap objek merupakan
proses kompleks dalam diri individu yang melibatkan individu yang
bersangkutan, situasi di mana tanggapan itu terbentuk, dan atribut atau ciriciri objektif yang dimiliki oleh stimulus. Untuk dapat menjadi dasar
pembentukan perilaku, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan
yang kuat. Karena itu perilaku akan lebih mudah terbentuk apabila
pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor
emosional. Dalam situasi yang
melibatkan emosi, penghayatan akan
pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Namun, dinamika
ini tidaklah sederhana dikarenakan suatu pengalaman tunggal jarang sekali
dapat menjadi dasar pembentukan perilaku. Individu sebagai orang yang
menerima pengalaman, orang yang melakukan tanggapan atau penghayatan,
biasanya tidak melepaskan pengalaman yang sedang dialaminya dari
14
pengalaman-pengalaman lain yang terdahulu, yang relevan. Bagaimana
individu bereaksi terhadap pengalaman saat ini jarang lepas dari
penghayatannya terhadap pengalaman-pengalaman di masa lalu.
2.
Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan perilaku kita. Seorang ahli psikologi, Burrhus
Frederick Skinner sangat menekankan pengaruh lingkungan termasuk
kebudayaan dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian, katanya, tidak
lain daripada pola perilaku konsisten yang menggambarkan sejarah
reinforcement (penguatan, ganjaran) yang kita alami (Hergenhahn, 1982).
Kita memiliki pola perilaku tertentu dikarenakan kita mendapat reinforcement
(penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk perilaku tersebut bukan untuk
perilaku yang lain. Tanpa kita sadari kebudayaan telah menanamkan garis
pengarah perilaku kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah
mewarnai perilaku anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang
memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota
kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian individu yang telah
mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam
pembentukan perilaku individual.
3.
Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu di antara komponen sosial
yang ikut mempengaruhi perilaku kita. Seseorang yang kita anggap penting,
seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan
15
pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang
yang berarti khusus bagi kita (significant others), akan banyak mempengaruhi
pembentukan perilaku kita terhadap sesuatu. Diantara orang yang biasanya
dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya
lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri, suami, dan
lain-lain. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki perilaku yang
konformis atau searah dengan perilaku orang yang dianggapnya penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan
keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting
tersebut. Pada masa anak-anak dan remaja, orang tua biasanya menjadi figur
yang paling berarti bagi anak. Interaksi antara anak dan orang tua merupakan
determinan utama perilaku si anak. Perilaku orang tua dan perilaku anak
cenderung untuk selalu sama sepanjang hidup (Middlebrook, 1974). Namun,
biasanya apabila dibandingkan dengan pengaruh teman sebaya, maka
pengaruh perilaku orang tua jarang menang. Hal itu terutama terjadi pada
remaja di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Seorang anak yang
biasanya belum begitu kritis mengenai suatu hal, akan cenderung mengambil
perilaku yang serupa dengan perilaku orang tuanya dikarenakan adanya
proses imitasi atau peniruan terhadap model yang dianggapnya penting, yakni
orang tuanya sendiri. Akan tetapi, bila terjadi pertentangan antara perilaku
orang tua dan perilaku teman sebaya dalam kelompok anak tersebut, maka
anak akan cenderung untuk mengambil perilaku yang sesuai dengan perilaku
kelompok. Bagi seorang anak persetujuan atau kesesuaian perilaku sendiri
16
dengan perilaku kelompok sebaya adalah sangat penting untuk menjaga status
afiliasinya dengan teman-teman, untuk menjaga agar ia tidak dianggap
“asing” dan lalu dikucilkan oleh kelompok. Sedangkan ketidaksesuaian
dengan perilaku orang tua menjadi berkurang pentingnya dan bahkan
ketidaksesuaian itu dapat dianggapnya sebagai suatu bentuk independensi
atau kemandirian yang dapat dibanggakannya.
4.
Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan
opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas
pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang
dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai
sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya perilaku
terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi
tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai
sesuatu hal sehingga terbentuklah arah perilaku tertentu. Walaupun pengaruh
media massa tidaklah sebesar pengaruh interaksi individual secara langsung,
namun dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku, peranan media
massa tidak kecil artinya. Karena itulah, salah satu bentuk informasi sugestif
dalam media massa, yaitu iklan selalu dimanfaatkan dalam dunia usaha guna
meningkatkan penjualan atau memperkenalkan suatu produk baru. Dalam hal
ini, informasi dalam iklan selalu berisi segi positif mengenai produk sehingga
dapat menimbulkan pengaruh afektif yang positif pula. Memang, sebenarnya
17
iklan merupakan suatu bentuk strategi persuasi dan strategi pembentukan
perilaku positif terhadap barang yang ditawarkan yang menjadi objek perilaku
konsumen. Dalam pemberitaan di surat kabar maupun di radio atau media
komunikasi lainnya, berita-berita faktual yang seharusnya disampaikan secara
obyektif, seringkali dimasuki unsur subyektivitas penulis berita, baik secara
sengaja maupun tidak. Hal ini seringkali berpengaruh terhadap perilaku
pembaca atau pendengarnya, sehingga dengan hanya menerima berita-berita
yang sudah dimasuki unsur subyektif itu, terbentuklah perilaku tertentu.
5.
Lembaga Pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai
pengaruh dalam pembentukan perilaku dikarenakan keduanya meletakkan
dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan
baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaranajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan
sistem kepercayaan, maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya
kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan perilaku individu
terhadap sesuatu hal.
6.
Pengaruh Faktor Emosional
Tidak semua bentuk perilaku ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk perilaku
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego. Perilaku demikian dapat merupakan perilaku yang sementara dan segera
18
berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan perilaku
yang lebih persisten dan bertahan lama.
I.5.3 Perilaku Penyalahgunaan Koleksi Perpustakaan
Perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan dapat digolongkan
menjadi empat macam yaitu :
1.
Theft (pencurian) adalah tindakan mengambil bahan pustaka tanpa melalui
prosedur yang berlaku di perpustakaan dengan atau tanpa bantuan orang lain.
Pencurian bermacam-macam jenisnya, dari pencurian kecil-kecilan sampai
yang besar. Bentuk pencurian yang sering terjadi adalah menggunakan kartu
perpustakaan curian. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Obiagwu
(1992:291) yaitu :”Theft ranges from petty stealing or pilfering to large-scale
stealing and bulglary. Borrowing through fraudulent means such as using
stolen admission or identity cards is also a form of theft.” Dikatakan
pencurian manakala koleksi yang tersedia di perpustakaan tidak dapat
diketahui keberadaannya dikarenakan telah diambil oleh orang lain yang tidak
bertanggung jawab. Di kalangan pustakawan, “meminjam” jangka panjang
alias mencuri koleksi, biasanya dilakukan karena didorong alasan mahalnya
harga buku. Jika membeli, padahal buku tersebut paling hanya dibaca
sebagian atau pada bab-bab tertentu dan hanya digunakan untuk satu mata
kuliah.
2.
Mutilation
(perobekan)
adalah
tindakan
perobekan,
pemotongan,
penghilangan, dari artikel, ilustrasi dari jurnal, majalah, buku, ensiklopedia,
19
dan lain-lain tanpa atau dengan menggunakan alat. Hal ini sesuai dengan
yang dikatakan oleh Marcel Obiagwu (1992:291) dalam artikelnya Library
Abuse in Academic Institutions yaitu :”Mutilation is the excision of articles
and illustration from journal, books, encyclopedias, etc.” Ada dua tipe
mutilasi yaitu pertama adalah mutilasi yang meliputi perobekan halaman
yang sebagian besar terdiri dari ilustrasi dan fotografi, dan kedua adalah
mutilasi teks dan tulisan. Sebagai contoh, tindakan mutilasi majalah dapat
berbentuk berbagai macam,antara lain adalah perobekan halaman cover atau
sampul majalah, perobekan satu halaman atau beberapa halaman dari suatu
majalah, perobekan bagian dalam dari halaman di dalam suatu majalah.
Dibandingkan dengan tindakan penyalahgunaan koleksi yang lain, mutilasi
menduduki peringkat paling tinggi. Tindakan mutilasi dilakukan oleh
sebanyak 40% dari 180 responden (Obiagwu, 1992:295). Sobekan maupun
coretan di buku perpustakaan bukanlah barang baru yang ditemui. Ulah
sebagian pengguna memang seperti itu karena alasan praktis dan jalan pintas
belaka. Beberapa pengguna bahkan tega menyobek buku karena malas
memfotokopi. Biasanya mereka ini tidak membawa kartu anggota. Karena
sudah jauh-jauh datang dan lupa membawa kartu anggota, daripada pulang
dengan tangan kosong dan harus kembali lagi, akhirnya mereka sobek saja
halaman yang mereka butuhkan. Ulah nakal atau negatif seperti itu tentu saja
membuat gemas para pustakawan. Beberapa pustakawan di Perpustakaan
Universitas Negeri Yogyakarta dengan semangat menuturkan hampir di
setiap proses pengecekan koleksi selalu menjumpai sisa-sisa perbuatan tak
20
berbudaya, mutilasi dan corat-coret. Bahkan tidak hanya satu halaman saja
yang disobek. Ada yang satu bab hilang. Yang lebih parah lagi ada buku yang
tersisa sampulnya saja.
3.
Unauthorized Borrowing (peminjaman tidak sah) adalah tindakan pengguna
perpustakaan yang melanggar ketentuan peminjaman. Tindakan ini
meliputi pelanggaran batas waktu pinjam, pelanggaran jumlah koleksi
yang dipinjam, membawa pulang bahan pustaka dari perpustakaan tanpa
melaporkannya ke petugas atau pustakawan, meskipun dengan maksud untuk
mengembalikannya dan membawa pulang bahan-bahan yang belum diproses
dari pelayanan teknis. Bentuk lain dari peminjaman tidak sah adalah
peredaran buku yang tersembunyi di dalam perpustakaan untuk kepentingan
tertentu atau pribadi.
4.
Vandalism (vandalisme) adalah tindakan perusakan bahan pustaka dengan
menulisi, mencoret-coret, memberi tanda khusus, membasahi, membakar, dan
lain-lain (Obiagwu, 1992:292). Vandalisme merupakan sebutan yang sering
digunakan orang untuk mengomentari aksi-aksi anarkis oleh beberapa orang
yang tidak bertanggung jawab. Vandal sendiri awalnya dikenal dari bangsa
Yunani (Romawi) yang mirip dengan bangsa barbar. Dalam kenyataannya,
ternyata perpustakaan termasuk sebagai salah satu arena terjadinya
vandalisme. Vandalisme yang merupakan sikap perusakan barang-barang
milik umum atau orang lain yang konon adalah nama yang diberikan oleh
warga Roma kepada suku dari Andalusia yang terkenal dengan brutal.
Menurut Kuriake Kharismawan, terjadi vandalisme juga di perpustakaan.
21
Vandalisme di perpustakaan merupakan tindakan penambahan, penghapusan,
pengubahan, perusakan yang secara sengaja dilakukan. Dari 80%
perpustakaan universitas di Indonesia mengalami mutilasi buku. Meski
menurut Kuriake Kharismawan, vandalisme dapat saja disebabkan karena
seseorang mengalami frustasi, fase kebingungan, badai (mayoritas dialami
oleh remaja) dimana merupakan masalah sulit berfikir untuk berempati
dengan orang lain. Selain itu pula vandalisme dilakukan karena lingkungan,
stres, dan design. Vandalisme yang sering terjadi di masyarakat terjadi karena
ada kesenjangan apa yang disampaikan lembaga ilmiah dengan yang ada di
lapangan sehingga dapat membuat bingung dan vandalisme sendiri
merupakan suatu netralitas karena bisa dikatakan kejahatan bila tidak ada
perijinan. Upaya pencegahan salah satunya yaitu dimana pihak perpustakaan
harus membuat kiat-kiat sendiri agar vandalisme tidak terjadi lagi dan hal itu
dapat disusun berdasarkan motivasi, kasus, dan solusinya. Bila seseorang
memiliki keinginan untuk mencuri karena tidak ada yang mengawasi dapat
diatasi dengan kontrol. Misalnya saja dengan pemasangan kamera monitor
atau pemasangan kaca cembung. Dengan pengontrolan tersebut, maka akan
meminimalisasikan vandalisme yang mungkin terjadi. Sense of belonging
atau rasa memiliki adalah bentuk perasaan yang ada pada masing-masing diri
untuk ikut merasa memiliki. Artinya apabila masing-masing individu
pengguna maupun petugas mempunyai sense of belonging atau rasa
handarbeni begitu orang Jawa bilang, maka dalam dirinya akan timbul
perasaan untuk ikut menjaga, mengawasi, dan memelihara sesuatu yang
22
menjadi milik bersama yaitu koleksi dan fasilitas perpustakaan. Perasaan
handarbeni timbul manakala pernah kita merasakan ada sesuatu kekuatan
yang mengawasi walaupun wujudnya abstrak tapi kita yakin ada yang
memantau setiap gerak kita. Kita yakin adanya suatu kekuatan yang
melahirkan rasa takut, ketaatan, dan kepatuhan dengan apa yang kita kenal
sebagai iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kebalikan dari rasa memiliki
adalah perasaan egois, perasaan yang lebih berorientasi kepada kepentingan
pribadi. Perasaan yang bertujuan hanya untuk memuaskan keinginan diri
sendiri, yang penting tujuan dan keinginan tercapai. Sikap, perasaan seperti
ini adalah sikap pecundang. Tanpa mau berpikir bagaimana dengan
kepentingan pengguna yang lain. Perasaan egois ini akan melahirkan perilaku
negatif diantanaya vandalisme. Tepat kiranya apabila perbuatan sebagian atau
oknum pengguna yang tidak bertanggung jawab kita klasifikasikan sama
dengan vandalisme karena oknum pengguna dengan menggunakan alat cutter
atau silet telah dengan sadis memotong halaman buku hingga tembus ke
halaman yang lain yang tidak dia butuhkan. Tidak peduli dengan akibat
kerusakan yang ditimbulkan, tidak peduli akan hilangnya sebagian informasi,
tidak peduli apakah suatu ketika ada teman yang membutuhkan bagian
informasi yang terpotong atau yang diambil dengan paksa dan tidak
bertanggung jawab.
23
I.5.4 Faktor Pendorong terjadinya Perilaku
Jika ditinjau dari perspektif psikologi, perilaku merupakan fungsi
interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya, yang berarti perilaku
seseorang tidak hanya ditentukan dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungannya.
Karena itu dalam konteks perpustakaan, perilaku pengguna selain ditentukan oleh
karakteristik
pribadi
masing-masing,
juga
dipengaruhi
oleh
lingkungan
perpustakaan. Apabila ada perilaku pengguna yang tidak sesuai dengan harapan
pengelola atau sebaliknya maka perilaku tersebut harus dilihat sebagai hasil
interaksi dari keduanya. Menurut Mangkunegara (2005) perilaku pengguna adalah
tindakan yang dilakukan individu, kelompok, atau organisasi terkait dengan
proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan dan menggunakan barang atau
jasa yang dibutuhkan yang dapat dipengaruhi lingkungan. Sedangkan menurut
Engel et al (2006) dalam Sangadji (2013:7) perilaku pengguna adalah tindakan
yang langsung terlibat dalam pemerolehan dan pengonsumsian produk/jasa,
termasuk proses yang mendahului dan menyusul tindakan ini. Jadi dalam hal ini,
perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan yang dilakukan oleh pengguna
berkaitan erat dengan kebutuhannya dalam mendapatkan sumber informasi yang
dia butuhkan. Pengguna berkunjung ke perpustakaan karena adanya suatu
kebutuhan yang ingin dipenuhi. Ada tiga kebutuhan yang sering ditemui pada
pengguna perpustakaan menurut Fisher (1988) antara lain:
1.
Needs for information, merupakan suatu kebutuhan akan informasi yang
bersifat umum.
24
2.
Needs for material and fasilities, merupakan kebutuhan untuk mendapatkan
buku-buku atau bahan pustaka lain, serta kebutuhan akan fasilitas
perpustakaan yang menunjang kegiatan belajar.
3.
Needs for guidance and support, merupakan kebutuhan untuk mendapatkan
bimbingan atau petunjuk yang memudahkan pengguna mendapatkan apa
yang diinginkan.
Kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendasari pengguna perpustakaan
untuk mencari cara bagaimana agar kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dan
terkadang cara-cara yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhannya
tersebut menyimpang. Misalnya untuk mendapatkan informati terkini di sebuah
majalah, mereka terkadang nekad untuk menyobek halaman yang memuat
informasi yang mereka butuhkan. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor
yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat
kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab
seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat
menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku
tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, dibalik perilaku penyalahgunaan koleksi
yang dilakukan oleh pengguna, ada faktor-faktor yang menyebabkan pengguna
melakukan perilaku tersebut, apakah mencoret-coret buku, menyobek halaman
buku, atau bentuk penyalahgunaan koleksi perpustakaan yang lain.
25
1.6 Metode dan Prosedur Penelitian
I.6.1 Pendekatan dan Fokus Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif. Tipe deskriptif dipilih karena
peneliti
bermaksud
menggambarkan
perilaku
penyalahgunaan
koleksi
perpustakaan di kalangan pengguna perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Indonesia Surabaya dengan tanpa melakukan pengujian hipotesis. Penelitian
deskriptif merupakan jenis penelitian yang menggambarkan suatu fenomena atau
kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan
dengan masalah dan unit yang diteliti. Peneliti di sini bermaksud mendeskripsikan
perilaku penyalahgunaan koleksi perpustakaan yang dilakukan oleh pengguna
Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Surabaya. Peneliti juga
menetapkan bahwa studi ini bertipe deskriptif karena merujuk pada studi yang
pernah dilakukan oleh Agus Rusmana, dkk di tahun 2001. Agus Rusmana
melakukan studi mengenai perilaku pelanggaran pengguna perpustakaan
perguruan tinggi di Universitas Padjajaran Bandung. Dalam studi ini,
ia menggambarkan berbagai perilaku pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna
perpustakaan.
I.6.2 Variabel Penelitian
I.6.2.1 Definisi Konseptual
1. Perilaku Penyalahgunaan Koleksi Perpustakaan
Semua tindakan yang dilakukan oleh pengguna perpustakaan yang
menyebabkan kerugian bagi perpustakaan dan pengguna lainnya. Perilaku
penyalahgunaan koleksi perpustakaan meliputi pencurian, mutilasi bahan
26
pustaka, peminjaman tidak sah, dan vandalisme (menggaris bawahi tulisan
pada buku dengan pensil atau bolpoin, memberi warna pada buku
menggunakan stabilo, mencoret-coret buku, dan melipat beberapa halaman
dari buku).
2. Pengguna Perpustakaan
Pengguna perpustakaan yang dimaksud adalah pengguna eksternal yang
memanfaatkan jasa layanan perpustakaan dalam pemenuhan kebutuhan
informasi mereka.
I.6.2.2 Operasionalisasi Konsep
1. Pencurian Koleksi Perpustakaan
Theft (pencurian) adalah tindakan mengambil bahan pustaka tanpa melalui
prosedur yang berlaku di perpustakaan dengan atau tanpa bantuan orang
lain.
2. Mutilation
(perobekan)
penghilangan,
dari
adalah
tindakan
artikel, ilustrasi
dari
perobekan,
jurnal,
pemotongan,
majalah,
buku,
ensiklopedia, dan lain-lain tanpa atau dengan menggunakan alat.
3. Peminjaman tidak sah adalah tindakan pengguna perpustakaan yang
melanggar ketentuan peminjaman. Tindakan ini meliputi pelanggaran
batas waktu pinjam, pelanggaran jumlah koleksi yang dipinjam, membawa
pulang bahan pustaka dari perpustakaan tanpa melaporkannya ke petugas
atau pustakawan, meskipun dengan maksud untuk mengembalikannya dan
membawa pulang bahan-bahan yang belum diproses dari pelayanan teknis.
27
4. Vandalism (vandalisme) adalah tindakan perusakan bahan pustaka dengan
menulisi, mencoret-coret, memberi tanda khusus, membasahi, membakar,
dan lain-lain (Obiagwu, 1992:292). Vandalisme merupakan sebutan yang
sering digunakan orang untuk mengomentari aksi-aksi anarkis oleh
beberapa orang yang tidak bertanggung jawab.
5. Pengguna Perpustakaan
Di lingkungan perguruan tinggi pengguna perpustakaan yang dimaksud
adalah sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi yaitu mahasiswa,
dosen, peneliti, dan karyawan. Pengguna perpustakaan yang selanjutnya
disebut pengguna adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat atau
lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan.
I.6.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Perpustakaan STIESIA Surabaya. Selama ini
penulis melihat Perpustakaan STIESIA melayani kebutuhan pengguna dari
beberapa Program Studi yaitu Program Studi Ilmu Akuntansi, Manajemen dan
Perpajakan. Dilihat dari hal ini, pengguna Perpustakaan STIESIA pasti beragam
dan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan koleksi pun akan lebih besar. Untuk
itu, perlu pengkajian lebih lanjut mengenai perilaku penyalahgunaan koleksi yang
mereka lakukan, sehingga diharapkan pihak perpustakaan dapat meminimalisasi
kejadian tersebut demi kepentingan perpustakaan dan seluruh penggunanya.
28
I.6.4 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi sasaran (target population) adalah populasi yang menjadi
sasaran penelitian dan sekaligus menjadi cakupan kesimpulan penelitian secara
keseluruhan (Adam, 2006). Sasaran dalam penelitian ini adalah pengguna
eksternal Perpustakaan STIESIA. Pengguna perpustakaan merupakan barometer
keberhasilan suatu perpustakaan. Pengguna (users) secara tidak langsung adalah
tujuan dari sistem perpustakaan. Fleming (1990) secara tegas mengatakan bahwa
pengguna adalah mereka yang menerima manfaat utama dari suatu sistem
informasi yang diciptakan.
Sedangkan
teknik
pengambilan
sampelnya
menggunakan
teknik
accidental sampling (sampel secara kebetulan) yaitu mengambil responden yang
kebetulan ditemui pada saat kegiatan penelitian berlangsung. Adapun jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 100 orang. Penentuan jumlah sampel ini
berdasarkan rumus Slovin (Umar, 2008 : 65) yaitu :
29
N
n=
1 + N e2
Keterangan:
n
= Ukuran sampel
N
= Jumlah populasi
e
= Ukuran kelonggaran, karena pengambilan sampel dalam penelitian ini
sebesar 5%
Maka jumlah sampel yang diperoleh yaitu :
100
n=
1 + 100 (0,0025)
100
=
1 + 0,25
100
=
1,25
= 80 responden
30
I.6.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ada beberapa teknik pengumpulan data yang penulis
lakukan yaitu :
1. Observasi, yaitu dengan mengamati secara langsung tentang kegiatan yang
berlangsung di Perpustakaan STIESIA Surabaya.
2. Wawancara dengan para pustakawan dan Kepala Perpustakaan STIESIA
tentang berbagai perilaku penyalahgunaan koleksi yang sering dilakukan
oleh pengguna perpustakaan.
3. Kuesioner, untuk memperoleh data tertulis dari responden dengan cara
menyebarkan daftar pertanyaan secara langsung berupa sejumlah
pertanyaan berstruktur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Dalam kuesioner ini untuk mengukur variabel dan penilaiannya
menggunakan Skala Likert yang dijadikan 5 (lima) alternatif jawaban
yang diberi skor untuk keperluan analisis kuantitatif, yaitu:
a. Jawaban sering sekali
Nilai skor 5
b. Jawaban sering
Nilai skor 4
c. Jawaban cukup sering
Nilai skor 3
d. Jawaban jarang
Nilai skor 2
e. Jawaban tidak pernah
Nilai skor 1
4. Studi Kepustakaan, merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan mengkaji berbagai sumber bacaan atau referensi yang dianggap
relevan dengan masalah tersebut di atas.
31
I.6.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
I.6.6.1 Teknik Pengolahan Data
Untuk pengolahan data hasil penelitian ini, penulis menggunakan teknik
prosentase dan teknik coding. Hal ini dimaksudkan untuk melihat serta sekaligus
menganalisis daftar pertanyaan yang diajukan sebagai dasar untuk pengambilan
kesimpulan penelitian.
Adapun penggunaan teknik coding untuk masing-masing instrumen
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Pencurian Koleksi
Skor ∑ nilai terendah adalah 1 + 1 + 1 = 3
Skor ∑ nilai tertinggi adalah 5 + 5 + 5 = 15
Skala 3 – 15 = 13
Interval : tinggi = 11 – 15
sedang = 7 – 10
rendah = 3 – 6
2. Mutilasi Koleksi
Skor ∑ nilai terendah adalah 1 + 1 = 2
Skor ∑ nilai tertinggi adalah 5 + 5 = 10
Skala 2 – 10 = 9
Interval : tinggi = 6 – 8
sedang = 4 – 6
rendah = 2 – 4
32
3. Peminjaman Tidak Sah
Skor ∑ nilai terendah adalah 1 + 1 + 1 + 1 = 4
Skor ∑ nilai tertinggi adalah 5 + 5 + 5 + 5 = 20
Skala 4 – 20 = 17
Interval : tinggi = 15 – 20
sedang = 9 – 14
rendah = 4 – 8
4. Vandalisme Koleksi
Skor ∑ nilai terendah adalah 1 + 1 + 1 + 1 = 4
Skor ∑ nilai tertinggi adalah 5 + 5 + 5 + 5 = 20
Skala 4 – 20 = 17
Interval : tinggi = 15 – 20
sedang = 9 – 14
rendah = 4 – 8
I.6.6.2 Teknik Analisis Data
Untuk melakukan teknik analisis datanya, penulis melakukan pengolahan
data dari hasil penyebaran angket dengan menyajikannya dalam berupa table
tunggal. Untuk selanjutnya dari table yang disajikan tersebut dilakukan analisis
berdasarkan coding pada masing-masing instrumen penelitian dengan didukung
dari hasil wawancara, observasi, maupun berdasarkan studi literatur dari
sumber-sumber yang terkait dengan kegiatan penelitian tersebut.
Download