ANALISIS TERHADAP PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI (MENGESAHKAN) PERJANJIAN INTERNASIONAL OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Kasus: Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam Asean) Varida Megawati Simarmata dan Fatmawati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia [email protected] ABSTRAK Dalam penelitian ini terdapat dua pokok permasalahan, yaitu Pertama, berkaitan dengan kedudukan hukum Undang-Undang yang Meratifikasi Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia, dan Kedua, mengenai pengujian UndangUndang yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut terhadap UUD NRI 1945 dengan menganalisis Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UndangUndang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Piagam Asean. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011 tidak melakukan pembedaan kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dengan undang-undang pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional. Kata kunci: Tata urutan, UU ratifikasi, Pengujian undang-undang. Analysis of Ratification of Treaties Act Review by Constitutional Court (Case Study: Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year 2008 on Ratification of Asean Charter) Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. ABSTRACT This research focus on two main problems. First, the legal position of the Ratification of Treaties Act in Indonesian legal system. Second, Ratification of Treaties Act review toward UUD NRI 1945 by Constitutional Court by analyzing Constitutional Court Verdict No. 33/PUU-IX/2011 on Law No. 38 year 2008 on Ratification of Asean Charter. The method used in this research is judicial-normative, using secondary data, this research will also be presented in the form of descriptiveanalytical. The result shows that Law No. 12 year 2011 which regulates the hierarchy of legal norms not distinguish the legal position of ratification of treaties act and law in general. Regarding to Constitutional Court competence to review any Law alleged to be in conflict with the Constitution, therefore Constitutional Court has competence to review ratification of treaties act. Keywords: hierarchy of legal norms, ratification of treaties act, judicial review PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Pilihan kebijakan hukum (legal policy) bahwa Indonesia adalah negara hukum telah dianut sejak lama, meskipun telah berulang kali terjadi penggantian konstitusi dan dengan rumusan yang berbeda-beda.1 Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945). Hal yang sangat pokok dalam sebuah negara hukum adalah ketika negara melaksanakan kekuasaannya, negara tunduk terhadap pengawasan hukum.2 1 Dalam penjelasan UUD 1945 Sebelum Perubahan “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat); Dalam Ps. 1 ayat (1) Konstitusi RIS mengatur: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”; Dalam Ps. 1 ayat (1) UUDS RI mengatur: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”; Dalam Ps. 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur: “Indonesia adalah negara hukum.” Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. Pasca reformasi, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami berbagai perubahan melalui adanya 4 (empat) tahap perubahan terhadap UUD 1945.3 Salah satu materi pembahasan dalam perubahan UUD 1945 adalah penjaminan hak konstitusional warga negara. 4 Pembahasan mengenai hak konstitusional warga negara ini kemudian menghadirkan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) yang berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Bentuk uji materiil undang-undang secara tidak langsung merupakan proses memeriksa, mengadili, dan memutus apakah undang-undang yang diujikan bertentangan atau tidak terhadap UUD 1945. Dalam keseluruhan pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang tidak dijelaskan undang-undang seperti apa yang masuk dalam lingkup pengujian oleh Mahkamah Konstitusi5 mengingat ada beberapa contoh format undangundang yang materi intinya tidak terdapat dalam batang tubuh undang-undang itu sendiri, melainkan terdapat dalam lampirannya. Misalnya, undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan undang-undang yang meratifikasi (mengesahkan) perjanjian internasional.6 Adapun lampiran undang-undang ratifikasi, 2 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa), (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), hlm. 55. 3 Perubahan Tahap I (1999), Perubahan Tahap II (2000), Perubahan Tahap III (2001), dan Perubahan Tahap IV (2002). 4 I Dewa Gede Palguna sebagai juru bicara F-PDIP menyampaikan bahwa perlindungan hak konstitusional warga negara merupakan hal yang harus mendapat perhatian dalam perubahan UUD 1945 dan pembentukan MK bertujuan untuk menjamin konstitusionalitas kehidupan negara sekaligus perlindungan hak konstitusional warga negara. Dikutip dari Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 588. 5 Mahkamah Konstitusi juga pernah melakukan pengujian terhadap Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) karena Mahkamah berpendapat Perpu memiliki norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 6 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Press, PT.Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.135. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. dalam hal ini adalah perjanjian internasional, pada proses pembuatannya berkaitan dengan kewenangan Presiden dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945. Dalam lingkup hukum tata negara, perjanjian internasional ini (traktat) dikenal sebagai sumber hukum formil,7 sepanjang traktat atau perjanjian itu menentukan segi hukum ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang terikat di dalamnya, sekalipun ia termasuk dalam bidang Hukum Internasional. Dalam praktik ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia, telah terdapat pengaturan perjanjian internasional dalam hukum positif Indonesia yaitu Pasal 11 Perubahan Ketiga UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2000 tentan Perjanjian Internasional. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada belum mampu menerangkan hubungan antara hukum internasional (dalam hal ini perjanjian internasional) dengan hukum nasional. Hal ini sangat diperlukan untuk menentukan kedudukan dan status hukum perjanjian internasional dalam hukum nasional Indonesia serta undang-undang ratifikasi sebagai pengesahan dari perjanjian internasional tersebut. Ketiadaan penjelasan tersebut berimplikasi pada berbagai pertanyaan mengenai konstruksi hukum terhadap kedudukan undang-undang ratifikasi perjanjian internasional, yang pada pokoknya berisi dua pasal berisikan pengesahan bahwa Indonesia mengikuti suatu perjanjian internasional serta perjanjian internasional terkait sebagai lampirannya. Pertentangan yang terjadi menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan undang-undang ratifikasi dalam sistem hukum nasional dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang ratifikasi tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perlu tinjauan terhadap kedudukan dan keberlakuan dari undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional di Indonesia serta kaitannya dengan hukum nasional Indonesia, dan pengujian undang-undang (dalam hal ini adalah undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional) oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian dapat dipahami lebih jauh mengenai bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional. Selain itu, untuk memperkaya pembahasan terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan perkembangan pengujian konstitusionalitas yang telah dijalankan oleh berbagai negara 7 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,...Op. Cit, hlm. 231. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. saat ini, maka akan dilakukan perbandingan dengan beberapa negara, yaitu Austria, Georgia, Jerman, dan Ukraina. POKOK PERMASALAHAN 1. Bagaimana kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia? 2. Bagaimana analisis terhadap Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN)ditinjau dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian dan kedudukan undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional? TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, adapun tujuan yang melandasi penulisan tugas akhir dengan topik ini terbagi menjadi dua yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yang ingin dicapai dari penulisan tugas akhir ini adalah mengetahui secara garis besar kedudukan dan keberlakuan undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam hukum nasional dikaitkan kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap undang-undang. Adapun secara lebih khusus yang menjadi tujuan penulisan tugas akhir ini adalah: 1. Mengetahui kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia dan secara khusus mengetahui kedudukan hukum Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN). 2. Mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang pengujian undangundang atas Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) dalam perspektif Hukum Tata Negara Indonesia. TINJAUAN TEORITIS Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. Adapun teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini meliputi teori Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum untuk meninjau kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional berdasarkan pandangan teori ini. Teori Fungsi Legislasi yang dimiliki oleh DPR untuk mengkaji peranan persetujuan DPR dalam suatu undang-undang ratifikasi. Selanjutnya adalah teori Pengujian Norma Hukum untuk memahami sistem pengujian norma serta implikasinya dianutnya sistem pengujian norma, dan yang terakhir adalah teori Hubungan Perjanjian Internasional dengan Hukum Nasional dengan uraian sebagai berikut: 1. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum Stufenbouw des Recht atau dikenal dengan stufentheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, berasal dari Adolf Merkel yang merupakan muridnya sendiri. Adolf Merkel dalam teori pertingkatan hukumnya menyatakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah das Doppelte Rechtsantlitz). 8 Adolf Merkel mengemukakan suatu norma hukum itu ke atas menjadi sumber dan dasar bagi norma hukum dibawahnya, sehingga norma hukum mempunyai masa berlaku yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya.9 Teori Adolf Merkel tersebut disempurnakan oleh Hans Kelsen dengan teori stufentheorie. Hans Kelsen memberikan penjelasan lebih lanjut tentang stufentheorie tersebut sebagai berikut:10 “Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi, disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri kepada suatu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tata norma. Bahwa suatu norma termasuk ke dalam suatu sistem norma tertentu, dapat diuji hanya dengan penegasan bahwa norma tersenut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk sistem norma tersebut. Pencarian alasan validitas dari suatu norma, bukanlah suatu regressus ad infinitum (proses pencarian sampai akhir), pencarian ini diakhiri oleh suatu norma tertinggi yang menjadi dasar validitas terakhir di 8 Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 41. 9 Ibid., hlm. 42. 10 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, [The Pure Theorie of Law]. Diterjemahkan oleh Soemardi, cet.3, ed. revisi (Jakarta: Bee Media, 2007), hlm. 138- 139. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. dalam sistem normatif, sementara sebab pertama atau terakhir tidak mempunyai tempat di dalam suatu sistem realita alam.” Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tersebut, dinyatakan juga bahwa setiap aturan harus ada hierarkinya yang dimulai dari norma dasar yang menjadi tolak ukur validitas bagi norma yang ada di bawahnya.11 2. Fungsi Legislasi Sebagian besar negara di dunia menerapkan pembagian kekuasaan setidaknya pada kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan yudikatif dalam hal ini akan difokuskan pada kekuasaan legislatif. Kekuasaan legislatif memiliki fungsi legislasi, yaitu untuk membentuk undang-undang atau yang lebih sering dikenal dengan fungsi legislasi, yakni fungsi membentuk peraturan-peraturan berupa norma hukum yang mengikat dan membatasi warga negara. 12 Fungsi legislasi ini melekat pada lembaga legislatif yang dalam melaksanakan kegiatan sebagai berikut:13 “(a) Prakarsa pembuatan undang-undang atau legislative initiation; (b) Pembahasan rancangan undang-undang atau law making process; (c) Persetujuan atau pengesahan rancangan undang-undang atau law enactment approval; (d) Serta kegiatan lain yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban rakyat dalam menentukan tindakan yang merepresentasikan jati diri bangsa seperti pemberian persetujuan atau ratifikasi perjanjian/ persetujuan internasional. Hal ini dikarenakan international agreement tersebut akan mengikat langsung kepada rakyat sebagai suatu undang-undang. Sehingga, lembaga legislatif mengambil peranan dalam hal ini.” 3. Pengujian Norma Hukum Teori jenjang norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky berkaitan erat dengan konsep pengujian norma hukum. Bahwa suatu norma adalah milik suatu sistem norma tertentu dapat diuji hanya dengan meyakinkan bahwa norma tersebut menderivasikan validitasnya dari norma dasar yang membentuk tata 11 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, [General Theorie of Law and State], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cet. 5 (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 179. 12 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 34. 13 Ibid. hlm. 39-44. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. hukum. Jadi alasan validitas suatu norma adalah suatu preposisi bahwa terdapat suatu norma akhir yang valid, yaitu norma dasar. Uraian alasan validitas norma ini bukan sesuatu penjelasan yang tiada akhir (regressus ad infinitum), tetapi berakhir pada suatu norma tertinggi yang menjadi alasan akhir validitas di dalam sistem normatif.14 Norma hukum dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justitsial) ataupun mekanisme non-justisial. Jika pengujian itu dilakukan oleh lembaga peradilan, maka proses pengujiannya itu disebut dengan judicial review atau pengujian oleh lembaga judicial. Jika pengujian itu dilakukan bukan oleh lembaga pengadilan, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai judicial review.15 4. Teori Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional Dalam teori hukum tata negara, hukum internasional sudah dikenal sebagai salah satu sumber hukum tata negara. 16 Apabila dilihat dari sudut teori terdapat dua pandangan tentang hukum internasional, yaitu:17 Aliran Dualisme menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hierarki antara kedua sistem hukum ini. Sedangkan, aliran monisme menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Penentuan kecenderuangan suatu negara menganut aliran dualisme atau monisme ini diperlukan ketika terdapat pertentangan diantara hukum internasional dan hukum nasional dalam praktik pelaksanaannya.18 METODE PENELITIAN 14 Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State, sebagaimana dikutip dalam Jimly Asshidiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Setjen & Kepaniteraan MK-RI, 2006), hlm. 94. 15 Ibid., hlm. 1-2. 16 Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 159. 17 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: PT. Alumni, 2003),hlm, 56-59. 18 Hikmahanto Juwana, “Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional” Indonesian Journal of International Law (Vol. 5 Nomor 3 April 2008), hlm. 443. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. Dalam penelitian ini, data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif dan akan disajikan dalam bentuk despriptif analitis. Penelitian ini akan dikerucutkan permasalahannya pada kedudukan undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia serta dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang ratifikasi tersebut berdasarkan studi kasus Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN). Analisa data yang dilakukan penulis mengacu kepada kerangka teori yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, akan diadakan pendekatan perbandingan hukum dengan beberapa negara, yaitu Austria, Georgia, Jerman, dan Ukraina karena negara-negara tersebut pada umumnya menganut tradisi civil law yang fungsi pengujiannya dilakukan oleh sebuah organ yang dilembagakan secara tersendiri dengan penamaan yang berbeda.19 Tipologi penelitian ini masuk ke dalam penelitian deskriptif dengan sifat penelitian berupa studi kepustakaan. Penelitian deskripitif dalam penulisan tugas akhir ini merupakan penelitian untuk mengetahui kedudukan dan keberlakuan dari sebuah undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dalam sistem hukum di Indonesia serta mekanisme perlindungan hak konstitusional dari keberlakuan tersebut apabila dirasakan ada potensi dan/atau pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara dalam perspektif Hukum Tata Negara. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder, yaitu: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: a. Peraturan Dasar, yaitu: UUD 1945 b. Peraturan Perundang-undangan, yang terdiri dari: UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diganti dengan UU 19 Jimly Asshidiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi (Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undang, dan Peraturan di 78 Negara), Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. Nomor 12 Tahun 2011, UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN). 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber hukum primer serta implementasinya,20 yang terdiri dari buku, tesis, disertasi, dan data-data resmi dari lembaga negara atau instansi pemerintahan yang berkaitan dengan objek penelitian. Disamping menggunakan data sekunder tersebut, alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan Sony Maulana Sikumbang, seorang Dosen Pengajar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, karena beliau berkecimpung di bidang Ilmu PerundangUndangan di Indonesia yang sifat keilmuan tersebut berkaitan dengan objek penelitian ini. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur tata urutan perundang-undangan dalam hukum nasional Indonesia, tidak melakukan pembedaan terhadap undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dan undang-undang lainnya. Dimana kedudukan hukum undang-undang menurut tata urutan perundang-undangan di Indonesia berada di bawah UUD 1945, Ketetapan MPR dan di atas PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Dengan kedudukan hukum undang-undang dalam ketentuan tersebut dan konstruksi hukum terhadap undang-undang ratifikasi dikaitkan dengan wewenang MK untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang yang dimuat dalam Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945, maka MK berwenang untuk menguji konstitusionalitas undang-undang ratifikasi terhadap UUD 1945. 20 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 31 Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. PEMBAHASAN Untuk memahami kedudukan hukum UU yang meratifikasi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional RI, maka akan diuraikan terlebih dahulu mengenai istilah ratifikasi, materi muatan UU ratifikasi, dan konstruksi UU ratifikasi ditinjau dari format perundang-undangan menurut hukum nasional Indonesia. 2.1.1 UU Ratifikasi (Pengesahan) PI di Indonesia a. Istilah Ratifikasi (Pengesahan) PI Istilah ratifikasi atau pengesahan yang digunakan dalam praktik hukum perjanjian internasional di Indonesia khususnya UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diambil dan diterjemahkan dari istilah “ratifikasi.” Pengertian ratifikasi menurut ketentuan yang terdapat dalam Vienna Convention on the Law of Treaty 1969 (untuk selanjutnya disebut sebagai VCLT 1969), yaitu “Ratification”, “acceptance”,”approval” and “accession” mean in each case the international act so named whereby a state establishes on the international plane it’s consent to be bound by a treaty.”21 Dalam konsepsi hukum nasional, ratifikasi diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh organ negara (pada umumnya parlemen) kepada kepala negara/ kepala pemerintah untuk melakukan pengikatan diri terhadap perjanjian internasional. 22 Pembedaan istilah ratifikasi (ratification), aksesi (accesion), penerimaan acceptance), dan penyetujuan (approval) tidak menimbulkan akibat hukum yang berbeda, melainkan hanya berbeda pada prosedur seperti didahului oleh penandatanganan atau tidak dan waktu pemberlakuannya.23 Selanjutnya, pengesahan perjanjian internasional diatur dalam Bab III tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, Pasal 9 sampai dengan Pasal 11 UU No. 24 Tahun 2000 yang dalam pengaturan dan pelaksanaannya, pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional 21 Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969, article 2 clause b. Konvensi Vienna diunduh dari:http://untreaty.un.org/ilc/texts-/instruments/english/conventions/1_1_1969.pdf., pada 21 April 2013 pukul 10:13 wib. 22 Ibid., hlm. 73. 23 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta, PT. Tatanusa, 2008), hlm. 36. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. tersebut.24 Pengesahan perjanjian internasional tersebut dilakukan dengan undang-undang atau Peraturan Presiden.25 b. Materi Muatan UU Ratifikasi (Pengesahan) PI Ketentuan mengenai materi muatan perundang-undangan di Indonesia saat ini dirumuskan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang mengatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undangundang, adalah:26 a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Pada penjelasan Pasal 10 ayat (1) butir b dijelaskan lebih lanjut, bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Dalam hal kaitannya dengan undang-undang yang meratifikasi (mengesahkan) perjanjian internasional pada umumnya dan UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan ASEAN Charter secara khusus, ditinjau dari pembentukannya sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamid Attamimi, bahwa wet in formele zin dilihat dari siapa pembentuknya terlepas dari muatannya apakah penetapan (beschiking) atau peraturan (regeling), sehingga adalah kurang tepat melihat wet in formele zin didasarkan pada substansi pengaturan dalam undang-undang ratifikasi tersebut. 27 Sedangkan apabila 24 Ibid., Ps. 9. 25 Ibid., Ps. 9 ayat (2). 26 Republik Indonesia, Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,… Op, Cit., Ps. 10 ayat (1) beserta penjelasannya. 27 Hamid Attamimi juga mengemukakan, penerjemahan kata-kata ‘wet in formele zin’ menjadi undang-undang dalam arti formal tidaklah tepat ataupun kata-kata ‘wet in materiele zin’ menjadi undang-undang dalam arti materil, karena kata ‘Undang-Undang’ dalam Bahasa Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. ditinjau berdasarkan sifat materi yang diatur, maka undang-undang ratifikasi ini memuat peraturan (regeling), karena tujuan pembentukannya adalah mengesahkan dan memuat “persetujuan DPR” dalam rangka menindaklanjuti pengikatan diri negara Indonesia terhadap suatu perjanjian internasional28 dan Sony Maulana Sikumbang juga mengemukakan bahwa undang-undang ratifikasi ini ditetapkan dengan tujuan untuk mengikat masyarakat umum atau dengan sebutan “ditetapkan” untuk berlaku umum, yang berarti ditetapkan untuk mengikat pemerintah dan masyarakat umum.29 c. Format UU Ratifikasi (Pengesahan) PI Apabila ditinjau dari dari format perundang-undangan pada undang-undang, peraturan perundang-undangan dapat dilengkapi dengan lampiran.30 Lampiran-lampiran ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan perundangundangan yang bersangkutan.31 Contoh undang-undang yang memiliki lampiran adalah Undang-undang tentang APBN dan undang-undang tentang pengesahan konvensi ataupun perjanjian-perjanjian internasional. Batang tubuh undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional pada dasarnya juga terdiri atas 2 (dua) pasal. Pasal 1 memuat ketentuan pengesahan Indonesia tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan konteks ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Sebagaimana dikutip dari Maria Farida Indrati, Op. Cit., hlm. 53-54. 28 Berdasarkan hasil wawancara Penulis terhadap Sony Maulana Sikumbang, Dosen pengajar Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 17 Mei 2013, pukul 13: 13 wib. 29 Ibid. 30 Republik Indonesia, Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5324. UU ini memiliki lampiran dan Pasal 44 ayat (2) menyatakan ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UndangUndang ini. Lampiran I UU ini memuat sistematika rancangan dalam kerangka peraturan perundang-undangan terdiri dari: a. Judul; b. Pembukaan; c. Batang Tubuh; d. Penutup; e. Penjelasan (jika diperlukan) f. Lampiran (jika diperlukan) 31 Contoh yang sama dapat dilihat pada ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik yang dicantumkan dalam Lampiran I UU No.12 Tahun 2011 dinyatakan sebagai bagian ynag tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Ibid., Ps. 44 ayat (2). Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. perjanjian internasional dimaksud, yaitu dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sedangkan Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlakunya. Sehingga, dari segi format perundang-undangan, undang-undang yang meratifikasi suatu perjanjian internasional beserta perjanjian internasioal yang menjadi lampirannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. d. UU Ratifikasi (Pengesahan) PI dan Fungsi Legislasi DPR Fungsi legislasi berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.32 Jimly Asshidiqie mengemukakan bahwa pelaksanaan fungsi legislasi dalam pembentukan UU menyangkut 4 (empat) bentuk kegiatan, yaitu:33 1. prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); 2. pembahasan rancangan undang-undang (law making process); 3. persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval); 4. pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on internastional agreement and treaties or other legal binding document). Dalam proses ratifikasi (pengesahan) perjanjian internasional yang mengharuskan persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional tertentu, Bagir Manan berpendapat bahwa:34 “Kalau pengertian perjanjian internasional dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat undang-undang, karenamenciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas negara. Telah menajadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislasi adalah undang-undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR kecuali undang-undang. 32 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,…Op. Cit., hlm. 24. 33 Ibid. 34 Bagir Manan. “Akibat Hukum di dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara)”, Focused Group Discussion, Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 November, 2008, sebagaimana dikutip dari http://www.scribd.com/doc/16710360/Akibat-HukumDi-Dalam-Negeri-Pengesahan-Perjanjian-Internasional-Tinjauan-Hukum-Tata-Negara, diakses pada 9 Mei 2013, pukul 12:56 wib. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. Undang-undang adalah produk yang dihasilkan dari fungsi legislasi DPR, karena itu setiap perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk undang-undang.” 2.1.2 Kedudukan Hukum UU Ratifikasi (Pengesahan) PI dalam Tata Urutan Perundang-undangan (UU No. 12 tahun 2011) Dalam pelbagai pandangan yang merujuk pada sistem hukum positif di dunia, tidak terdapat satu negara pun yang secara khusus mengatur tata urutan urutan perundang-undangan,35 sebagaimana di Indonesia. Kondisi ini disebabkan:36 “Secara hukum tidak ada larangan mengatur tata urutan peraturan perundangundangan, karena sistem hukum itu tidak hanya terbatas pada sistem peraturan perundang-undangan, karena pengaturan itu juga dapat dilihat dari sudut tujuan yang hendak diraih (doelmatigeheid). Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas, atau dalam hal UUD terdapat ungkapan the supreme law of the land.” Indonesia sendiri mengenal dan mengatur tata urutan peraturan perundangundangan dalam hukum nasionalnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 mengenai jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan,37 ditegaskan bahwa kedudukan hukum sebuah undang-undang berada di bawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR serta diatas Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan ayat (2) juga di pasal yang sama disebutkan bahwa kekuatan peraturan perundangundangan sesuai dengan tata urutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Sebuah 35 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 130. Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas yang menyebutkan misalnya “Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam hal UUD ada ungkapan “the supreme law of the land.” Di Jerman dikenal tata urutan (hierarki) sumber hukum (Gesetzesvorrang), yang urutannya UUD (Grundgesetz), perjanjian internasional yang penting, UU yang dibuat oleh parlemen pusat, Peraturan Pemerintah Pusat, Peraturan Menteri Federal, dan UUD negara bagian. Sementara itu, di negara Finlandia, urutan sumber hukumnya adalah Konstitusi, UU yang dibuat oleh Parlemen, dekrit yang dibuat oleh Presiden, kabinet atau menteri, peraturan lainnya yang dibuat oleh pejabat di bawah menteri. Lihat, R.M. Ananda B. Kusuma, “Keabsahan UUD 1945 Pasca Amandemen,” Jurnal Konstitusi Vol. 4 No. 1 (Maret 2007): 148155. 36 Ibid., hlm. 131. 37 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 7 ayat (1). Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. konsekuensi logis dari kedudukan hukum undang-undang ini berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Bagir Manan adalah peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, dalam hal ini undang-undang, harus bersumber dan berdasar dari suatu perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945 dan/atau Ketetapan MPR; dan isi atau materi muatan undang-undang ini tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kesimpulan yang diperoleh dari perbandingan kewenangan MK Indonesia dengan MK negara lain adalah bahwa pada dasarnya setiap negara menerapkan prkatik yang berbeda, bergantung pada ketentuan konstitusional negara tersebut. Sebagaimana MK Austria dan Georgia memiliki kewenangan mengadili konstitusionalitas suatu PI; MK Jerman yang tidak menegaskan kewenangan MK Federal Jerman untuk mengadili konstitusionalitas suatu PI, tetapi menegaskan kedudukan suatu PI; MK Ukraina memberikan pendapat (opinions) kesesuaian antara Konstitusi Ukraina dengan PI. 2.1.3 Kewenangan MK Menguji UU Ratifikasi PI (Analisis Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations Terhadap UUD 1945) Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian undang-undang berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 177/PAN.MK/2011 yang dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 33/PUU-IX/2011. Pada pokoknya para Pemohon menyatakan bagian materi/muatan pasal/ayat dari UU No. 38 Tahun 2008 beserta lampirannya Piagam Asean sebagai bagian yang tidak terpisahkan bertentangan dengan UUD 1945,38 yaitu ketentuan Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n Piagam Asean bertentaangan dengan UUD 1945.39 Kedua Pasal dalam Piagam Asean ini merupakan konsepsi penyatuan pasar di atas landasan neoliberalisme dengan cakupan yang sangat luas meliputi seluruh isu ekonomi, investasi, perdagangan, keuangan, dan perburuhan.40 38 Ibid. hlm. 28. 39 Charter of Southeast Asian Nations, dapat diunduh dari http://www.asean.org/asean/asean-charter/asean-charter, pada 20 April 2013 pukul 21:58 wib. 40 bagian Ringkasan Permohonan, Ibid., hlm. 12. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. Secara keseluruhan, dalam Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 ini terlihat adanya perdebatan mengenai kewenangan MK menguji UU ratifikasi. Hal ini dapat dilihat dari bagian IV, Penjelasan Pemerintah dan adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoleva dan Maria Farida Indrati, yang pada pokoknya adalah menyatakan bahwa MK tidak berwenang menguji uu ratifikasi, sehingga permintaan tersebut harus ditolak. Dalam pemaparan bab sebelumnya telah disebutkan bahwa pengaturan kewenangan MK dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD diatur dalam Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, produk hukum yang diuji konstitusionalitasnya oleh MK adalah “undang-undang” terhadap UUD. Namun, UUD 1945 tidak memberikan lingkup batasan pengertian undang-undang secara tegas.41 Apabila dilihat dari penulisannya, kata “undang-undang” dalam pasal tersebut adalah dengan huruf kecil. Penggunaan huruf kecil dalam kata “undang-undang” ini menimbulkan pertanyaan apakah terdapat signifikansi perbedaan akibat hukum dengan penggunaan huruf kapital pada penulisan kata “Undang-Undang,” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 12 Tahun 2011. Biasanya, penggunaan huruf kapital pada penulisan kata “Undang-Undang” dipahami dalam arti nama atau sebutan kepada undang-undang yang sudah tertentu. Sedangkan, penggunaan huruf kecil pada penulisan kata “undang-undang,” memiliki maksud undang-undang dalam arti umum atau belum tertentu dalam hal nomor dan judul undang-undangnya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa “undang-undang” adalah genus, sedangkan “Undang-Undang” adalah berkaitan dengan udang-undang dengan nomor dan nama tertentu.42 Berangkat dari pemahaman tersebut juga, maka “Undang-Undang” dapat dipahami sebagai produk hukum dalam arti luas yang ruang lingkupnya menyangkut 41 Jimly Asshidiqie, Perihal Undang-Undang…Op. Cit., hlm. 21. 42 Ibid. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. materi dan bentuk tertentu43 yang berkaitan dengan undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin), yang melihat undang-undang dari segi isi, materi, atau substansi yang diatur dan undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin) dilihat dari segi bentuk dan pembentukannya. Jimly Asshidiqie mengemukakan, terhadap undangundang dalam arti formal atau materil ini tidak dilakukan pembedaan dalam hal pengujiannya, undang-undang dapat menjadi objek kajian hukum tata negara dari segi formal ataupun materilnya sekaligus. Berdasarkan pemaparan tentang kedudukan hukum UU. No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam Asean dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia dan kewenangan MK menguji undang-undang terhadap UUD di atas, Penulis berpandangan bahwa untuk menjawab pertanyaan tentang berwenang atau tidaknya MK menguji UU No. 38 Tahun 2008 ini perlu diperhatikan kembali mengenai wewenang MK untuk melakukan pengujian konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 serta produk hukum yang menjadi objek pengujiannya. Sebagaimana telah diuraikan dalam ketentuan yang menjadi landasan konstitusional wewenang MK melakukan pengujian konstitusional, bahwa yang menjadi kewenangan pengujian oleh MK adalah “…undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Pengertian kata “undang-undang” dalam Pasal 24C tersebut tidak terlepas dari ketentuan lain dalam UUD yang menyebut “undang-undang,” yaitu ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 Perubahan Pertama UUD 1945, bahwa istilah “undangundang” mempunyai makna sebagai produk hukum yang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 2011 juga memberikan pengertian “Undang-Undang” adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Pembentukan undang-undang ini berkaitan erat dengan fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR, yaitu fungsi untuk membentuk peraturan-peraturan berupa norma hukum yang mengikat dan membatasi warga negara.44 Baigir Manan mengemukakan bahwa “Persetujuan DPR” dalam undang-undang yang mengesahkan perjanjian 43 Ibid., hlm. 21-22. 44 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,…Op. Cit., 2006), hlm. 34. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. internasional termasuk dalam fungsi legislasi, karena menciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas negara.45 Dengan memperhatikan uraian pada bagian kedudukan hukum UU No. 38 Tahun 2008 pada sub bab sebelumnya, bahwa UU No. 38 Tahun 2008 termasuk dalam produk hukum dengan bentuk “Undang-Undang” yang dibentuk oleh Presiden dan membutuhkan “persetujuan DPR” sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR. UU No. 38 Tahun 2008 juga memiliki Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Asean) sebagai lampirannya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang tersebut. Apabila hal ini dikaitkan dengan kewenangan MK untuk melakukan pengujian konstitusional yang diamanatkan oleh Pasal 24C UUD 1945, maka Penulis berpendapat bahwa MK berwenang untuk melakukan pengujian terhadap “…undang-undang terhadap UndangUndang Dasar,” termasuk undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional, dalam hal ini adalah UU No. 38 Tahun 2008. Namun, pengujian konstitusionalitas yang membatalkan bagian/pasal tertentu dari suatu uu ratifikasi tidak serta merta menjadi suatu penarikan diri Indonesia terhadap suatu perjanjian internasional. Hal ini dikarenakan, mengingat tata cara penarikan diri (withdrawal) dari sutu perjanjian internasional telah ditentukan dalam perjanjian tersebut. SIMPULAN Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh Penulis, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional menurut tata urutan perundang-undangan di Indonesia berada di bawah UUD 1945, Ketetapan MPR dan di atas Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 yang mengatur hierarki perundang-undangan tidak dilakukan pembedaan terhadap undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional dan undang-undang lainnya dalam tata urutannya. 45 Bagir Manan, “Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tatanegara)”, Makalah, Focus Group Discussion Departemen Luar Negeri dan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 29 November 2008, sebagaimana dikutip dari Damos Dumoli Agusman,…Op. Cit, hlm. 91. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. 2. Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini didasari pada ketentuan Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional wewenang MK dalam melakukan pengujian disebutkan bahwa yang menjadi kewenangan pengujian oleh MK adalah “…undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.” Pengertian kata “undang-undang” dalam Pasal 24C tersebut tidak terlepas dari ketentuan lain dalam UUD yang menyebut “undangundang,” yaitu ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 UUD 1945, bahwa istilah “undang-undang” mempunyai makna sebagai produk hukum yang disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Hal ini juga sejalan dengan pendapat MK dalam Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations karena pengujian ini merupakan pengujian konstitusionalitas norma undang-undang, sehingga MK berwenang untuk mengadilinya. SARAN 1. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, sebaiknya DPR dan Pemerintah merevisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, yaitu bagian penjelasan Pasal 10 huruf c yang berkaitan dengan materi muatan undang-undang yaitu termasuk perjanjian internasional tertentu. Dengan menegaskan kedudukan hukum undang-undang yang meratifikasi (mengesahkan) perjanjian internasional setelah memperhatikan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa norma dalam undang-undang yang meratifikasi perjanjian internasional merupakan norma undang-undang serta implikasi hukumnya, atau setidaknya menegaskan implikasi hukum dari diberikannya bentuk hukum “Undang-Undang” untuk “persetujuan DPR” dalam proses ratifikasi perjanjian internasional tertentu terhadap tata urutan perundang-undangan di Indonesia; 2. Perlu dikaji lebih mendalam mengenai implikasi hukum terhadap keterikatan Indonesia atas suatu perjanjian internasional, apabila MK menyatakan ada bagian atau pasal tertentu dalam perjanjian internasional yang diujit terhadap UUD 1945 ternyata inkonstitusional. Hal ini dikarenakan mengingat upaya atau cara-cara penarikan diri (withdrawal) sebuah negara dari suatu perjanjian internasional telah ditentukan dalam perjanjian internasional itu sendiri. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013. DAFTAR PUSTAKA Buku Agusman, Damos Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik Indonesia. Bandung: PT.Refika Aditama, 2010. Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010. --------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007. --------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. Asshidiqie, Jimly dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi (Kompilasi Ketentuan Konstitusi, UndangUndang, dan Peraturan di 78 Negara), Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia. Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Kelsen, Hans. Teori Umum tentang Hukum dan Negara, [General Theorie of Law and State], diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Cet. 5. Bandung: Nusa Media, 2010. Kusumaatmadja, Mochtar dan dan Etty R Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni, 2003. Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010. Mamudji, Sri. et al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Suryokusumo, Sumaryo. Hukum perjanjian Internasional, Cet. 1. Jakarta: PT. Tatanusa, 2008. Syahrizal, Ahmad. Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Cet.1. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006. Jurnal Juwana, Hikmahanto. “Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional” Indonesian Journal of International Law, Vol. 5 No. 3 (April, 2008), hlm. 443-459. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, LN No. 13 Tahun 2006. ----------, Undang-Undang Perjanjian Internasional, UU No. 24 Tahun 2000, LN. 185 Tahun 2000, TLN. 4012. ----------, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2012, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234 ----------, Undang-Undang tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations, UU No. 38 Tahun 2008, LN No. 165 Tahun 2008, TLN No. 4915. Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN), Putusan MK No. 33/PUU-IX/2011. Internet “http://www.asean.org/asean/asean-charter/asean-charter,” pada 20 April 2013 pukul 21:58 wib. “http://www.scribd.com/doc/16710360/Akibat-Hukum-Di-Dalam-Negeri-Pengesahan-PerjanjianInternasional-Tinjauan-Hukum-Tata-Negara,”diakses pada 9 Mei 2013, pukul 12:56 wib. “http://untreaty.un.org/ilc/texts-/instruments/-english/conventions/1_1_1969.pdf.,” pada 21 April 2013 pukul 10:13 wib. Lainnya Wawancara dnegan Sony Maulana Sikumbang. Dosen pengajar Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 17 Mei 2013, pukul 13: 13 wib. Analisis terhadap..., Varida Megawati Simarmata, FH UI, 2013.