QUO VADIS PEMBATALAN UNDANG-UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL LAW MAKING TREATY OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI Gautama Budi Arundhati Abstract The Constitutional Court of Repubic of Indonesia as the guardian of the constitution has the power to commit constitutional review if there is a law against the constitution. The treaty which derives from customary law will become law making treaty if it is ratified by states. Until now there are several treaties ratified by Indonesia. In this matter, the Constitutional Court has authority to review it even though Indonesia does not officialy declare the objection against the norm of customary law. Keywords: Law making treaty, customary law PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu anggota masyarakat dunia, dan merupakan konsekuensi logis, bahwa sebagai bagian dari masyarkat dunia Indonesia memliki peran dan andil dalam memelihara perdamaian dan pemajuan masyarkat dunia. Niat dan kesadaran pemerintah dalam mengembangkan dan mempertahankan eksistensi dalam fora internasional menjadi semakin tampak nyata dengan semakin 41 banyaknya pejanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, mulai diratifikasinya perjanjian internasional dari tingkat agreement sampai dengan tingkat treaty. Telah disadari pula sebelumnya oleh the founding fathers bahwa konsekuensi dari kemerdekaan adalah memberikan tempat bagi Indonesia dalam kedudukan yang sejajar dengan bangsa lain dan salah satu manifestasinya adalah terwujud dalam hak untuk membentuk perjanjian internasional bersama dengan negara lain, sebagaimana termaktub secara tegas di dalam alinea IV pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia… Dipatuhinya kaidah-kaidah hukum internasional adalah wajar karena pembentukan perangkat hukum tersebut adalah atas dasar kehendak negara-negara yang secara bebas dirumuskan dalam bernagai instrumen internasional. 1 hal ini berarti terciptanya sebuah proses dependensi negara-negara karena suatu negara akan semakin tergantung pada negara yang lain berkaitan engan kepentingan masing-masing negara dalam rangka menciptakan hubungan internasional yang damai dan harmonis. Salah satu indikator yang mendekati sempurna mengenai dependensi antar negara adalah adanya permasalahan dalam hubungan antar negara yang muncul semakin hari semakin kompleks, yang berujung pada urgensi diadakannya suatu solusi dalam menyikapi setiap permasalahan bersama yang muncul. Solusi tersebut tidak lain 1 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian,, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 13. 42 dimaksudkan untuk menghindari terjadinya gesekan kepentingan nasional dari masing-masing negara. Suatu solusi menjadi semakin konkret apabila solusi tersebut tercipta dengan didasari adanya niat baik melalui kerjasama antar negara dan diwujudkan dalam suatu naskah perjanjian yang tertulis yang telah disepakati bersama dalam kerangka penciptaan kesepahaman bersama antar negaranegara dengan tujuan terciptanya harmonisme dan perdamaian. Namun demikian, perjanjian internasional semata bukanlah merupakan satu-satunya suatu solusi yang telah tuntas secara keseluruhan, karena masih terdapat suatu mekanisme lain yaitu berupa ratifikasi dalam rangka memasukkan perjanjian internasional sebagai hukum internasional kedalam wilayah yurisdiksi nasional sampai pada tahap suatu perjanjian internasional menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, yaitu menjadikannya sebagai undang-undang. Masalah proses nasionalisasi hukum internasional menjadi hukum nasional belumlah dapat dikatakan telah final, karena permasalahan baru akan muncul apabila suatu kaidah hukum hasil ratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (undang-undang) tersebut harus diujikan seiring dengan munculnya permohonan uji material undang-undang terhadap undang-undang dasar oleh warga negara Indonesia melalui Mahkamah Konstitusi, karena pembatalan peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang merupakan salah satu dari kewenangan Mahkaamah Konstitusi. A. PERMASALAHAN Dari uraian tersebut diatas, maka merupakan hal yang wajar apabila suatu saat muncul permasalahan bilamana suatu undang-undang yang merupakan undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang berbentuk law making treaty yang berasal dari kebiasaan internasional dimohonkan untuk dibatalkan, dan kemungkinan interpretasi macam apa yang selayaknya digunakan oleh hakim. 43 B. PEMBAHASAN C.1. Law Making Treaty sebagai perjanjian internasional yang berasal dari Kebiasaan Internasional Perjanjian internasional, dapat diartikan sebagai suatu hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara dan biasanya melalui penggunaan norma-norma yang disepakati secara sukarela serta mengikat negara-negara satu sama lain yang selanjutnya dituangkan dalam suatu naskah perjanjian yang secara eksplisit dinyatakan untuk disetujui oleh para pihak dalam perjanjian internasional ini dan perjanjian internasional tersebut selalu didasarkan pada sebuah konsensus yang dilandasi oleh asas pacta sunt servanda. Dasar utama pembentukan undang-undang hasil ratifikasi terdapat dalam pengaturan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 5 ayat(1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan pasal 11 ayat (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta Pasal 11 ayat (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya Pasal 11 ayat (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Difinisi Perjanjian Internasional menurut Ps.2 Konvensi Wina 1969 adalah Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya “treaty” means an international agreement concluded between States in 44 written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”. Selanjutnya Ps.1 ayat(3) Undang-Undang No.37 Tahun1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, menyebutkan bahwa: Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik. Lebih jauh Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional menyebutkan bahwa Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Ditinjau dari teori dan tata cara pembentukan UndangUndang, suatu undang-undang yang materi muatannya berasal dari Perjanjian Internasional akan serta-merta mengikat seperti UndangUndang lainnya, dan merupakan konsekuensi terikat perjanjian adalah membuat ketentuan yang menampung apa yang diatur oleh perjanjian dalam wilayah yurisdiksi nasional. Adapun beberapa macam substansi perjanjian internasional yang memerlukan proses ratifikasi menurut Pasal 9 Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional adalah: (1)Pengesahan dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut; (2)pengesahan dilakukan dengan Undang-Undang atau keputusan presiden. Selanjutnya mengenai batasan ratifikasi diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, yaitu pengesahan dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: a.masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; 45 b.perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah neg.RI; c.kedaulatan atau hak berdaulat negara; d.Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup; e.pembentukan kaidah hukum baru; f.pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Sedangkan diluar hal-hal tersebut, dilakukan dengan Keputusan presiden, dan memberikan salinan setiap keputusan presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hal ini diatur melalui ps.11 ayat (1)& ayat (2) Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang perjanjian Internasional. Perjanjian internasional bilamana ditinjau dari pihak yang mengadakannya adalah dilakukan oleh banyak pihak, maka konvensi tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian multilateral dan berdasarkan substansinya, pada umumnya termasuk kategori “law making treaties”, yaitu perjanjian internasional yang dapat melahirkan norma hukum internasional baru, sehingga meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah baru bagi masyarakat internasional. Law making treaties are those agreements whereby states elaborate their perception of international law upon any given topic or establish new rules which are to guide them for future in their international conduct.2 dan ciri yang melekat pada perjanjian internasional semacam ini selalu terbuka bagi negara lain yang ingin turut serta dalam perjanjian internasional tersebut. Berdasarkan tujuan pembentukannya, konvensi-konvensi yang berasal dari kebiasaan internasional adalah bertujuan untuk menyeragamkan kaidah-kaidah hukum diantara negara-negara peserta dan dalam rangka melancarkan hubungan antar negara serta merupakan salah satu upaya dalam rangka menyelesaikan permasalahan antar negara. Perjanjian semacam ini dapat dipandang sebagai hal yang penting mengingat dalam masyarakat 2 th Malcolm Shaw, International Law (5 edition),( Cambridge: Cambridge University Press,2006),hlm. 90. 46 internasional hubungan antar negara adalah sejajar atau koordinatif dan hal ini jauh berbeda dibandingkan dengan mekanisme hukum nasional dimana terdapat suatu lembaga legislatif yang merupakan lembaga pembuat hukum dan merupakan pula lembaga representatif yang mewakili rakyat. Secara hukum tidak terdapat satu penguasapun yang memiliki kewenangan menetapkan serta memaksakan ketentuan hukum dalam tataran internasional. Perjanjian internasional law making treaty sebagai hukum internasional yang terbuka bagi negara peserta yang ingin turut serta terikat dalam perjanjian tersebut, pada umumnya substansi dari perjanjian internasional semacam ini adalah berasal dari kebiasaan internasional. Kebiasaan Internasional mempersyaratkan adanya faktor legalitas, yaitu salah satunya adalah berdasarkan asumsi masing-masing negara secara subyektif, berdasarkan Opinio Iuris Sive Necessitatis, yaitu negara yang tunduk terhadap kebiasaan internasional tersebut merasa bahwa praktek tertentu dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. “Kebiasaan merupakan suatu praktek yang diikuti oleh mereka yang berkepentingan karena mereka merasa secara hukum wajib melakukannya”. Opinio juris diperkenalkan sebagai suatu formula hukum dalam usaha membedakan peraturan-peraturan hukum dengan kelumrahan social semata, dan hal ini menunjuk pada keyakinan subjektif yang dipertahankan oleh negara-negara bahwa suatu praktek tertentu secara hukum dituntut daripadanya.3 Selanjutnya apabila merujuk pada pendapat Malcolm Shaw adalah sebagai berikut: Once one has established the existence of a specified usage, it becomes necessary to consider how the state views its own behavior. Is it to be regarded as a moral or political or legal act or statement? The opinion jurist, or beliefs that state activity is legally obligatory, is the factor which turns the usage 3 Rebecca M.M. Wallace, Hukum Internasional, Terjemahan Bambang Arumanadi,(Semarang: IKIP Semarang, 1993), hlm.17. 47 into a custom and renders it part of the rules of international law. To put it slightly differently, states will behave a certain way because they are convinced it is binding upon them to do so.4 C2.Interpretasi Dalam Constitutional Review UU Ratifikasi Pengujian peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang (constitutional review) adalah merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar1945, yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sehingga dalam hal kasus pengujian undang-undang yang berasal dari perjanjian internasional semacam ini adalah dimungkinkan, mengingat kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Ps. 46 Kovensi Wina: apabila kesalahan tersebut dilakukan secara terang-terangan maka dapat membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Irregularitas Formal: Bentuk perjanjian yang salah atau bertentangan dengan hukum nasional Secara umum dalam memutus suatu permohonan perkara hakim memiliki kebebasan dalam menggunakan metode penafsiran tertentu berdasarkan keyakinan hakim dalam rangka mencari hukumnya. Hal ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari karena Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memberikan pertimbangan dalam tiap–tiap putusannya selalu harus dilandasi oleh prinsip independensi dan imparsialitas. Pencarian hukum 4 Op.cit. hlm. 80 48 rechtsvinding- merupakan pula hal yang mutlak dilakukan oleh hakim Mahkamah Konstitusi karena adanya asas Ius Curia Novit, yaitu asas yang menyatakan bahwa hakim dianggap tahu hukumnya, oleh karena itu hakim Mahkamah Konstitusi tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya sepanjang permohonan perkara tersebut merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi, hal ini bertujuan untuk menghindari non liquet. Alasan pembatalan perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Dewan Permusyawaratan Rakyat melalui proses ratifikasi oleh mahkamah konstitusi haruslah berdasarkan intepretasi historis oleh hakim karena secara historis tiap perjanjian internasional yang berupa law making treaties merupakan suatu norma yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagi kebiasaan internasional terlebih dahulu, ini merupakan suatu konsekuensi dari diterimanya suatu perjanjian internasional tersebut menjadi bagian dari hukum nasional oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan perlu untuk diingat bahwa tiap-tiap perjanjian internasional yang dibuat adalah berdasarkan kehendak dan kepentingan nasional negara pihak. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dimaksud dan dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya5 Hal ini pula dapat dilihat bagaimana suatu perjanjian internasional yang bersangkutan dibuat, yaitu menetapkan suatu norma yang diharapkan dapat mengikat dan mengharmonisasikan norma tersebut pada setiap pihak secara global. 5 Tim Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010), hlm. 73. 49 Interpretasi kedua yang harus digunakan yaitu interpretasi sistematis atau logis, yaitu terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan system perundang-undangan.6 begitu pula halnya dengan suatu perjanjian internasional yang berbentuk law making treaties yang biasanya bersumber pada kebiasaan internasional dan sebelum menjadi suatu perjanjian internasional memang telah diterima sebagai suatu norma yang mengikat, setidaknya berdasarkan opinio iuris sive necesitatis, sehingga perjanjian internasional yang berbentuk law making treaty pada substansinya telah diakui sebelumnya meskipun perjanjian internasional tersebut belumlah diperjanjikan oleh para pihak yang meratifikasinya, yaitu melalui praktek negara yang dilakukan oleh Indonesia dengan asumsi tidak adanya tentangan dari Indonesia dengan berjalannya praktek negara-negara tersebut. Lebih jauh dinyatakan dalam Vienna Convention 1969 Article 27: Internal law and observance of treaties. A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46 dan selanjutnya diuraikan lebih lanjut dalam Article 46 Provisions of internal law regarding competence to conclude treaties 1. A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a rule of its internal law of fundamental importance. 2. A violation is manifest if it would be objectively evident to any State conducting itself in the matter in accordance with normal practice and in good faith. 6 Ibid. hlm. 72 50 Simpulan dari konvensi tersebut adalah suatu perjanjian tetap sah walaupun melanggar ketentuan konstitusi7 C. KESIMPULAN Penolakan terhadap hukum internasional adalah tidak mungkin, karena dalam prakteknya semua tindak-tanduk negara dalam hubungan luar negerinya berpedoman dan didasarkan atas asasasas serta ketentuan yang terdapat dalam hukum internasional itu sendiri8 sehingga praktek negara yang berdasarkan kehendak subyektif (opinio iuris sive necesitatis) merupakan faktor utama yang menentukan suatu hukum internasional diterima sebagai kebiasaan internasional, dan setelah berlaku tanpa adanya keberatan atau tentangan maka dibentuklah perjanjian internasional yang bersubstansi pada kebiasaan internasional tersebut. Konsekuensi dari diterimanya kebiasaan internasional tersebut adalah diterimanya pula perjanjian internasional yang dimaksud, sehingga pembatalan suatu undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang berasal dari kebiasaan internasional yang biasanya dalam bentuk law making treaties adalah hamper tidak mungkin dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, berdasarkan pertimbangan historis dan logis. 7 8 Op.cit, hlm.150. Ibid, hlm. 13. 51 DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan: Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No.37 Tahun.1999 Tentang Hubungan Luar Negeri Undang-Undang No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Konvensi Wina 1969 Tentang Perjanjian Internasional Literatur: Shaw, Malcolm, 2006, International Law (5th Edition), Cambridge University Press, Cambridge, UK. Mauna, Boer, 2001, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta Wallace, Rebecca M.M. 1993 (terjemahan Bambang Arumanadi), Hukum Internasional, IKIP Semarang Press, Semarang. 52