BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menganalisis

advertisement
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menganalisis masing-masing portal berita secara berurutan, mulai dari
porsi pemberitaan terhadap tema kampanye terbuka, porsi pemberitaan terhadap
partai politik, nada pemberitaan terhadap partai politik, hingga terakhir, persilangan
antara netralitas dengan nada pemberitaan kampanye terbuka, kecenderungan masingmasing kubu (yakni media milik politikus dan non-politikus) mulai tampak. Secara
umum, peneliti menyimpulkan bahwa baik portal berita milik politikus maupun nonpolitikus belum sepenuhnya netral. Meski demikian, terdapat perbedaan antara kedua
kubu media dalam hal netralitas. Peneliti mendeskripsikan detail perbedaan tersebut
sebagai berikut:
1. Portal berita milik politikus memiliki “antusiasme” yang lebih besar terhadap
tema pemberitaan kampanye terbuka. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan
porsi pemberitaan yang terpaut cukup jauh, yakni 165 oleh Viva.co.id, 176
oleh Okezone.com, kemudian jauh di bawahnya menyusul Kompas.com
dengan angka 124, baru paling buncit Tempo.co dengan angka 25 selama
waktu analisis.
2. Portal berita milik politikus memberikan porsi pemberitaan yang sangat besar
terhadap partai di mana si pemilik menjadi anggota/politikus, dengan selisih
jumlah yang sangat jauh dari kampanye partai terbanyak kedua. Adapun
Viva.co.id memberikan porsi pemberitaan sebesar 49,1% terhadap Golkar
(sejumlah 81 dari total 165 berita), diikuti oleh Demokrat sebesar 9,1%
(sejumlah 15 dari total 165 berita). Kemudian Okezone lebih besar lagi, yakni
sebesar 60,2% terhadap Hanura (sejumlah 106 dari total 176 berita), diikuti
oleh Demokrat sebesar 15,3% (sejumlah 27 dari total 176 berita).
127
3. Pada portal berita milik non-politikus, porsi pemberitaan terbesar sama-sama
diberikan kepada PDIP, yakni sebesar 60% oleh Tempo.co (15 dari total 25
berita) dan 32,3% oleh Kompas.com (40 dari total 124 berita).
4. Nada pemberitaan dominan pada portal milik politikus adalah positif,
sedangkan nada pemberitaan dominan pada portal berita milik non-politikus
adalah tanpa nada/tidak bisa diidentifikasi. Nada positif pada pemberitaan
kubu pertama terpusat pada partai pemilik media—bahkan partai yang
bersangkutan tidak pernah diberitakan negatif. Sedangkan untuk kubu kedua,
selain tanpa nada, seluruh nada pemberitaan tersebar hampir merata pada
kampanye-kampanye partai yang diliput.
5. Portal berita milik politikus (Viva.co.id dan Okezone.com) didominasi oleh
berita tidak netral, dan portal berita milik non-politikus (Tempo.co dan
Kompas.com) didominasi oleh berita netral.
6. Pada portal milik politikus, sebagian besar pemberitaan positif terhadap partai
pemilik adalah berita tidak netral. Pada Viva.co.id, 82,2% dari keseluruhan
pemberitaan positif yang diberikan pada Golkar adalah tidak netral (60 dari
total 73 pemberitaan positif). Hal yang sama juga berlaku pada Okezone.com.
Sebanyak 89% dari keseluruhan pemberitaan positif yang diberikan pada
Hanura, adalah tidak netral (89 dari 100 pemberitaan positif).
7. Pada portal berita milik non-politikus, berita tidak netral, yang merupakan
sebagian kecil dari pemberitaan, muncul dalam nada yang tersebar tidak
menentu—kecuali untuk PDIP, yang sedikit menonjol pada Kompas.com.
Setelah menguraikan kesimpulan analisis, peneliti akan menjelaskan
kesimpulan penelitian. Berdasarkan pembacaan atas netralitas, kesimpulan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Peneliti menemukan pola yang teratur dalam proses pemberitaan kampanye
terbuka oleh media milik politikus (Viva.co.id dan Okezone.com). Secara
berurutan, polanya tergambar sebagai berikut. Pertama, media milik politikus
128
memberi jatah pemberitaan yang besar bagi tema kampanye terbuka. Inilah
yang disebut peneliti sebagai “antusiasme” di awal kesimpulan analisis.
Kedua, dalam prosesnya, media tersebut akan memberikan ruang yang lapang
bagi pemuatan cerita tentang kampanye terbuka partai pemiliknya. Ketiga,
ruang yang lapang tersebut dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pemilik
media untuk menyebarkan kesan-kesan positif tentang partainya melalui
pemberitaan. Keempat, dalam proses pengumpulan informasi-informasi yang
positif, awak media milik politikus kerap mengabaikan atau justru menentang
sikap netral atas fakta. Inilah terbukti dalam rupa dominasi berita-berita positif
yang tidak netral pada pemberitaan kampanye terbuka oleh media milik
politikus.
2. Di sisi lain, pola yang berbeda ditemukan peneliti ketika mengamati portal
berita milik non-politikus (Tempo.co dan Kompas.com). Sejak awal, porsi
yang diberikan oleh dua media tersebut kecil. Untuk ukuran Tempo.co,
mungkin porsi sekecil itu bisa dikatakan sebagai ketiadaan prioritas. Namun
oleh Kompas.com, sebagai salah satu portal online “senior” di Indonesia, porsi
sejumlah yang ia alokasikan tidak bisa dikatakan banyak. Kemudian,
kebalikan dari kecenderungan media milik politikus, pola yang “teratur”
langsung pecah ketika merambah konsep netralitas. Hal ini tampak jelas pada
pemberitaan Tempo.co. Pada kasus Kompas.com, peneliti memang menyadari
bahwa ada porsi yang agak menonjol pada pemberitaan PDIP. Namun
demikian, jumlahnya masih jauh di bawah berita-berita yang sifatnya tidak
netral-positif oleh media-media milik politikus.
3. Pada bagian terakhir Bab IV, peneliti mengukur skor netralitas masing-masing
media. Semakin besar skor, maka semakin tidak netral portal berita yang
diukur. Skor untuk Viva.co.id dan Okezone.com, masing-masing adalah 4,4
dan 4,9. Sedangkan skor untuk Tempo.co dan Kompas.com, masing-masing
adalah 1,6 dan 2. Skor ini menjadi bermakna ketika melihat kesimpulan
umum nomor 1 dan 2 di atas. Dengan demikian, portal berita yang paling
129
mendekati fungsinya untuk secara ideal menjadi pasar bebas ide dan penyedia
informasi, secara berurutan adalah tempo.co, disusul kompas.com, kemudian
viva.co.id, dan okezone.com.
4. Masing-masing portal berita, baik milik politikus maupun non-politikus,
masih menunjukkan ketidaknetralan. Ini mengindikasikan bahwa ruang
redaksi portal-portal yang diteliti masih menyediakan kelonggaran bagi
masuknya unsur-unsur subjektif dalam pemberitaan. Terlepas dari ada atau
tidaknya indikasi kedekatan media dengan partai politik tertentu, sebagaimana
ditunjukkan oleh positifnya nada pemberitaan (Viva.co.id terhadap Golkar,
Okezone.com terhadap Hanura, Tempo.co tidak terhadap siapa-siapa, dan
Kompas.com terhadap PDIP), lolosnya unsur-unsur subjektif (evaluasi/afeksiapresiasi-penghakiman, dan sensasi) merupakan hal yang tidak bisa
ditoleransi dalam pemberitaan. Lolosnya unsur-unsur subjektif inilah yang
mampu mengaburkan pemberitaan politik dan iklan politik, serta membuat
berita sekedar sebagai “bahan jualan”, bukan sumber informasi yang kredibel
bagi publik.
B. Saran
Peneliti membagi saran menjadi tiga, yakni untuk khalayak, praktisi, dan studi
selanjutnya. Tiga saran ini diuraikan peneliti sebagai berikut:
1. Untuk khalayak. Penelitian ini memberikan sedikit gambaran mengenai
kecenderungan pemberitaan politik oleh media-media massa di Indonesia.
Kesimpulan di atas menggambarkan bahwa informasi politik yang muncul di
media-media massa, terutama yang memiliki “afiliasi” politik, seringkali
mengecoh. Dalam penelitian ini, afiliasi tersebut terwujud dalam bentuk
masuknya unsur-unsur subjektif dalam perlakuan atas fakta. Hal ini, tentu
saja, akan sangat berbahaya bagi pembaca atau pemirsa. Mengutip McNair
(2003), “[perbedaan antara iklan politik dan pemberitaan politik adalah,
bahwa melalui pemberitaan] audiens akan menganggap informasi bermuatan
130
politik yang dicernanya sebagai lebih “hidup” dan lebih “asli”, karena
informasi yang mereka peroleh hasil dari peliputan langsung.” Dengan
kecenderungan pemberitaan sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini,
khalayak harus sangat berhati-hati dalam menyaring informasi, karena kini
antara iklan dan pemberitaan politik seringkali dikaburkan oleh konglomerat
media cum politikus.
2. Untuk
praktisi.
Melihat
kecenderungan
pemberitaan
sebagaimana
disimpulkan dalam penelitian ini, praktisi yang bergelut di bidang kampanye
politik harus jauh lebih hati-hati dalam menyusun strategi. Keterpusatan
kepemilikan media kini, membuat arena persaingan menjadi semakin susut.
Jika kondisinya terus demikian, diperlukan adanya terobosan baru untuk
saluran kampanye, yang efektivitasnya melebihi media massa. Ini adalah salah
satu hal yang wajib dipikirkan pada saat ini.
3. Untuk lembaga pengawas dan pemerintah. Perlu penguatan lembaga
penegak etika yang bertugas mengawasi kinerja pemberitaan, agar tidak
menyesatkan publik. Kekuatan hukum lembaga ini tidak boleh hanya sebatas
pada pengawasan konten, melainkan juga distribusi kepemilikan.
4. Untuk studi selanjutnya. Ketika menjalani proses pengolahan data, peneliti
merasa masih ada banyak hal yang luput dari penelitian ini. Salah satu hal
yang paling jelas adalah kasus menonjolnya pemberitaan Kompas.com
terhadap PDIP. Untuk ini, peneliti melihat dua kemungkinan: pertama,
memang adanya kecenderungan memihak kepada PDIP (keberpihakan), atau
kedua, posisi media darling salah satu kader PDIP sekaligus calon presiden
saat ini, yakni Jokowi (komersialitas). Untuk dua kemungkinan terakhir ini,
peneliti tidak bisa menjangkau, karena berada di luar fokus penelitian ini.
Oleh karena itu, diperlukan adanya studi lebih lanjut. Selain itu, penelitian ini
belum bisa menjadi alat generalisasi bagi kecenderungan pemberitaan media
milik politikus di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya studi-studi
131
lanjut yang mengambil lokus pada jenis-jenis media lain, agar ada gambaran
menyeluruh soal peran politik media massa di Indonesia.
132
Download