penerapan kebijakan perdagangan internasional di uni eropa dan

advertisement
PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA
SKRIPSI
SAMUEL CHRISTIAN NABABAN
H34080123
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
RINGKASAN
SAMUEL CHRISTIAN NABABAN. Penerapan Kebijakan Perdagangan
Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang
Indonesia. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANDRIYONO KILAT ADHI).
Udang sebagai salah satu komoditas utama ekspor perikanan Indonesia
telah memberikan kontribusi paling besar dibandingkan dengan hasil sumberdaya
laut lainnya. Meskipun jumlah eskpor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif,
namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan
Indonesia. Dalam perdagangan yang telah dilakukan, banyak negara-negara
importir memberikan batasan dan aturan yang pada dasarnya untuk melindungi
konsumen dari setiap komoditas yang akan diimpor. Uni Eropa sebagai salah satu
impotir terbesar dunia akan produk udang memiliki pola perdagangan yang jauh
lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni
Eropa yang menghambat kinerja ekspor udang Indonesia, (2) menganalisis kasus
notification oleh European-RASFF terhadap produk ekspor udang Indonesia atas
kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa, dan (3) mendeskripsikan kebijakan
pemerintah dalam penanganan kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk
meningkatkan kinerja ekspor udang Indonesia. Kajian penelitian ini dilakukan
menggunakan data sekunder dalam skala nasional dan internasional dengan
menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif. Kajian terhadap ekspor udang
Indonesia dilakukan dengan memperbandingkan kontribusi ekspor udang
Indonesia ketiga negara tujuan utama ekspor. Tahun 2005-2011 menunjukkan
perbedaan kontribusi ekspor udang Indonesia di ketiga pasar utama, yaitu: Jepang,
Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pada periode tersebut ekspor udang Indonesia di
Amerika Serikat memberikan trend peningkatan yang baik, berbeda dengan
Jepang dan Uni Eropa yang perlahan mengalami penurunan. Hasil kajian dari
tahun 2006 menggambarkan kinerja ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa
mengalami penurunan yaitu dari 31,016 ton pada tahun 2006 menjadi 13,383 ton
pada tahun 2010.
Indonesia sebagai salah satu eksportir utama udang ke Uni Eropa
diberikan kebijakan-kebijakan khusus terkait Sanitary and Phytosanitary (SPS)
dan Technical Barrier to Trade (TBT) yang penerapannya dapat dikelompokkan
menjadi tarif, nontarif, dan administratif. Berdasarkan analisis deskriptif, tarif
yang ditetapkan Uni Eropa bagi produk udang Indonesia tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan negara tujuan ekspor lainnya yang pada umumnya
menetapkan tarif free. Penerapan tarif yang diberikan Uni Eropa tidaklah adil bagi
Indonesia dan sangat diskriminatif. Indonesia perlu melakukan trade creation
antara Indonesia dengan Uni Eropa yang nantinya akan memberikan produk
ekspor perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa dikenakan tarif yang
berbeda dengan negara-negara di luar kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa.
Kebijakan nontarif dan administratif yang memberatkan Indonesia untuk
meningkatkan nilai ekspor produk perikanannya ke Uni Eropa adalah CD
2010/220 dan catch certification untuk perikanan tangkap. Adanya ketetapan zero
tolerance dari Uni Eropa perlu dicermati dan diadopsi sebagai standar mutlak bagi
ii
pelaku eksportir udang di Indonesia dengan penanganan intensif setiap tahapan
dalam budidaya udang baik di tingkat petambak/pembudidaya hingga unit
pengolah yaitu dengan melakukan farm registration, farm inspection, feed quality
control, farm monitoring, dan raw materials control.
Melalui data kasus notification selama tahun 2004-2011, tercatat bahwa
Indonesia mengalami kasus notification dari European-RASFF sebanyak 149
kasus dengan 169 alasan penolakan untuk produk ikan dan 34 kasus dengan 37
alasan penolakan untuk produk udang. Notification yang diterima oleh Indonesia
adalah karena melebihi batas kandungan maksimum logam berat dan histamin
untuk produk ikan dan mengandung antibiotik untuk produk udang.
Perkembangan kasus penolakan produk perikanan khususnya udang yang dialami
Indonesia sudah mengalami penurunan setiap tahunnya. Produk udang dari tahun
2009-2011 sudah tidak terdeteksi lagi adanya kandungan antibotik
Menurunnya kasus penolakan produk perikanan di Uni Eropa dalam lima
tahun terakhir telah menunjukkan kinerja yang baik bagi pelaku eksportir dalam
memenuhi persyaratan yang diterapkan oleh Komisi Eropa. Hal ini juga tidak
terlepas dari peran pemerintah yang juga menerapkan kebijakan dan peraturan
dalam merespon setiap regulasi ataupun peraturan yang ditetapkan Uni Eropa.
Penetapan peraturan tambahan dalam peningkatan mutu dan keamanan hasil
perikanan Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan terutama mengenai
Organisasi dan Tata Kerja Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan
diharapkan dapat melakukan pembinaan yang baik terhadap seluruh stakeholder
melaui BKIPM sebagai Competent Authority. Selain itu, penetapan mekanisme
pelaksanaan NRCP (National Residu Control Plan) yang dikeluarkan oleh
Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan dalam rangka memenuhi
pemberlakuan ketentuan zero tolerance telah menunjukkan progres yang baik. Hal
ini terbukti tidak ditemukan lagi adanya kandungan antibiotik terlarang seperti
chloramphenicol dan nitrofuran oleh European-RASFF terhadap komoditas
udang asal Indonesia. Kondisi ini diharapkan dapat dipertahankan, sehingga pada
tahun selanjutnya volume ekspor udang Indonesia dapat memenuhi target yang
sudah ditetapkan.
iii
PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA
SAMUEL CHRISTIAN NABABAN
H34080123
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
iv
Judul Skripsi
: Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa
dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia
Nama
: Samuel Christian Nababan
NIM
: H34080123
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi
NIP. 19600611 198403 1002
Mengetahui,
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
NIP. 19580908 198403 1002
Tanggal Lulus:
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Penerapan
Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap
Ekspor Udang Indonesia” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2012
Samuel Christian Nababan
H34080123
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 29 Oktober 1990. Penulis anak
kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sebulon Nababan dan Ibunda Ria
Nellyta Hutajulu. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Antonious VI
Medan pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama pada tahun 2005 di
SLTP Santa Maria Medan. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Medan
dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam Komisi Pelayanan
Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (KPS UKM
PMK IPB) dan terlibat melayani di SMPN 11 Bogor dan Persekutuan Siswa
Kristen Bogor (PSKB). Penulis juga pernah diberi tanggung jawab menjadi
pengurus bidang pelayanan KPS tahun 2010-2011 dan di bidang pelayanan BPH
UKM PMK IPB tahun 2011.
Penulis menjadi Asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan mahasiswa
TPB IPB pada tahun ajaran 2009/2010 dan juga menjadi Guru Pendidikan Agama
Kristen di SMA Negeri 8 Bogor tahun ajaran 2010/2011 dibawah koordinasi
Bimas Kristen Kementerian Agama Kota Bogor. Tahun 2009-2011 penulis pernah
terlibat aktif dalam Paduan Suara Mahasiswa IPB Agriaswara dan Psalterio
Singers GKI Pengadilan Bogor dalam mengikuti berbagai konser serta kompetisi.
Penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan, diantaranya Panita Kebaktian Awal
Tahun Ajaran tahun 2009, Retreat Angkatan Mahasiswa Baru Tahun 2009/2010,
Kamp Pembimbing Siswa KPS PMK IPB Tahun 2010, Kamp Siswa Kristen
Bogor Tahun 2011, dan Panitia Lustrum VI KPS PMK IPB Tahun 2012.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat,
penyertaan, dan kasih setia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat
mengakhiri masa perkuliahan dan menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya
Terhadap Ekspor Udang Indonesia”. Skripsi ini ditulis selain untuk memenuhi
persyaratan penyelesaian Program Sarjana Departemen Agribisnis pada Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, juga untuk meningkatkan kemampuan penulis dalam
menganalisis kinerja ekspor perikanan Indonesia khususnya komoditas udang
dalam menghadapi kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa.
Melalui pembelajaran selama menyelesaikan skirpsi ini, penulis berharap
tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pelaku eksportir, masyarakat, pemerintah,
dan para peneliti, khususnya yang berada di perguruan tinggi untuk terus berjuang
menghasilkan penelitian dan analisis dalam pembangunan bangsa melalui
pengelolaan sumberdaya yang baik dan berkelanjutan.
Bogor, Juli 2012
Samuel Christian Nababan
\
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi dan masa perkuliahan ini juga tidak terlepas dari keterlibatan
berbagai pihak telah membantu ataupun mengisi kehidupan penulis selama berada
di kampus IPB. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, kesabaran, dan teladan kepada
penulis selama penyusunan skripsi ini.
2.
Ir. Popong Nurhayati, M.M. yang telah menjadi pembimbing akademik dan
seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis yang telah memberikan ilmu
selama penulis mengikuti perkuliahan.
3.
Ir. Suharno, M.Adev. selaku dosen penguji utama atas kesediannya menguji
penelitian penulis serta memberikan arahan, pencerahan, dan saran untuk
membangun penulis.
4.
Dra. Yusalina, M.Si. selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan yang
telah memberikan masukan dan saran bagi penelitian penulis.
5.
Keluarga Terkasih, Bapak Sebulon Nababan, Mama Ria Hutajulu, Abang
Imanuel Caesar F. Nababan, dan Adik Sylvia R.A. Nababan atas damai dan
sukacita yang telah dibangun dalam keluarga. Segala doa, kebersamaan,
semangat, dan kasih sayang sangat berarti bagi penulis dalam menjalani
perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.
6.
Ibu Riama Sianipar yang telah menghantarkan penulis bertemu dengan staf di
Direktorat Pemasaran Luar Negeri, P2HP Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
7.
Staf Direktorat P2HP, KKP: Bapak Gosen Sitanggang, Bapak Jaya Wijaya,
Bapak Helwijaya Marpaung, Bapak Tri Arga Wikandono, dan Bapak
Yustinus Edy Pramono atas kesediaannya untuk diwawancari serta berdiskusi
langsung terkait penelitian penulis.
8.
Meiada Prabawani, seseorang yang turut hadir dalam doa dan mendoakan
penulis. Terima kasih untuk persahabatan, sharing hidup, kasih sayang,
dukungan, dan pengertiannya dalam memahami pikiran, perilaku, dan
prinsip-prinsip penulis.
ix
9.
Seluruh teman seperjuangan di AGB angkatan 45 yang pernah menjadi teman
satu kelompok mengerjakan tugas, diskusi, dan aktivitas lainnya. Khususnya
kepada Liber, Yulius, Andreas, Greff, Sherly, Vonika, Eva, dan Pitta atas
kebersamaan yang telah dibangun selama perkuliahan.
10. Teman-teman satu bimbingan skripsi: Andi Facino, Dinda Puti, dan
Marosimy Millaty melalui kerja keras, perjuangan, dan semangat yang sangat
berarti.
11. Rekan kerja Gladikarya Desa Cibolangkaler, Kab. Sukabumi: Teresa, Tami,
Andika, dan Tia Anis atas kerjasama selama berada di desa melalui diskusi,
debat, kebersamaan, dan perselisihan. Semuanya telah membangun penulis
dalam melihat kehidupan di masyarakat.
12. Teman-teman KTB Nehemia: Bang Jose, Steward, dan Tunggul atas teladan,
PA bersama, sukacita, gaya hidup, dan segenap doa yang sangat berarti.
Adik-adik Kelompok Kecil Onesiforus: Kadek, Bina, dan Pahlevi yang juga
terus berjuang bersama dalam sekolah pemuridan. Adik-adik KPD Faithful di
KPS: Flora, Ramadanita, dan Herianto atas kebersamaan bertumbuh
mengenal pelayanan KPS.
13. Rekan sekerja di BPH PMK: Steward, Citra, Lia, dan Vonika atas sharing
hidup, kerendahan hati, kebersamaan, pertolongan, doa, dan perjuangan
dalam menjalankan amanah.
14. Seluruh keluarga besar Komisi Pelayanan Siswa PMK IPB. Tim Eleveners:
Arni Novriana Sijabat, Christian S, Indah Alsita, Tommy, Sandy, dan Putri
yang berjuang bersama menjangkau siswa-siswi di SMPN11. Tim PSKB,
khususnya: Anggresia dan Novrika yang juga telah menjadi rekan sekerja
sejak asistensi. AKPS 45 lainnya yang telah menjadi rekan penulis dalam
banyak kegiatan.
15. Teman-teman kontrakan Bapa House: Handrio, Tunggul, Hisar, Ranto,
Agung, Rodex, Joen, dan Alex atas kebersamaan yang telah dibangun.
Bogor, Juli 2012
Samuel Christian Nababan
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
xv
I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1.1. Latar Belakang .........................................................................
1.2. Perumusan Masalah .................................................................
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................
1
1
6
8
9
9
II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
2.1. Komoditas Udang di Pasaran Internasional .............................
2.2. Uni Eropa .................................................................................
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu ......................................................
2.3.1. Penelitian Mengenai Komoditas Udang .......................
2.3.2. Penelitian Mengenai Kebijakan Perdagangan...............
2.3.3. Keterkaitan dengan Peneltian Terdahulu ......................
10
10
12
14
14
15
16
III KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ...................................................
3.1.1. Teori Perdagangan Internasional...................................
3.1.2. Kebijakan Perdagangan .................................................
3.1.3. Analisis Kebijakan ........................................................
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................
18
18
18
20
23
23
IV METODE PENELITIAN.............................................................
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................
4.2. Desain Penelitian .....................................................................
4.3. Data dan Instrumentasi ............................................................
4.4. Metode Pengumpulan Data .....................................................
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ....................................
4.5.1. Metode Pengolahan Data ..............................................
4.5.2. Analisis Data Kualitatif .................................................
26
26
26
26
27
28
28
28
V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA ..........
5.1. Perdagangan Internasional Hasil Perikanan ............................
5.2. Perkembangan Ekspor Produk Perikanan Indonesia ...............
5.3. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia .................................
5.3.1. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia di
Pasar Internasional ........................................................
5.3.2. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa
30
30
32
34
34
36
xi
VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA
DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR
UDANG INDONESIA ..................................................................
6.1. Kebijakan Perdagangan Internasional .....................................
6.1.1. Penerapan Kebijakan Hambatan Tarif di Uni Eropa.....
6.1.2. Penerapan Kebijakan Hambatan Nontarif di
Uni Eropa ......................................................................
6.1.3. Penerapan Kebijakan Adminstratif di Uni Eropa .........
6.2. Analisis Kasus Penolakan Ekspor Udang di Uni Eropa ..........
6.3. Kebijakan Pengembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia
43
50
53
59
VII KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................
7.1. Kesimpulan ..............................................................................
7.2. Saran ........................................................................................
63
63
64
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
65
LAMPIRAN .........................................................................................
69
38
38
39
xii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2000 Menurut Lapangan UsahaTahun 2006-2010 ..............
1
Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Menurut Komoditas
Utama Tahun 2007-2011 ...............................................................
2
Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama
Tahun 2012-2014 ............................................................................
4
Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan
Uni Eropa Tahun 2000-2008 .........................................................
5
Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Terhadap Kebutuhan
Impor Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa
Tahun 2002 – 2008 .........................................................................
6
6.
Negara-Negara Anggota Uni Eropa ...............................................
13
7.
Perincian Sumber Data Penelitian ..................................................
27
8.
Nilai Ekpor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010 ............................
30
9.
Nilai Impor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010 ............................
31
10. Tarif Bea Masuk Komoditas Udang di Uni Eropa,
Amerika Serikat, dan Jepang Tahun 2011 ......................................
40
11. Inventarisasi Kebijakan Nontarif Uni Eropa yang
Berpengaruh Terhadap Produk Ekspor Udang Indonesia ..............
44
1.
2.
3.
4.
5.
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Halaman
Alur Kerangka Pemikiran Penerapan Kebijakan Perdagangan
Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor
Udang Indonesia ............................................................................
25
Grafik Perkembangan Ekspor Perikanan Indonesia
Tahun 2001-2011 ............................................................................
32
Share Ekspor Perikanan Indonesia Tahun 2010
per Kelompok Komoditas ...............................................................
34
Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Utama
Tahun 2005-2011 ............................................................................
35
Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa
Tahun 2000-2011 ............................................................................
36
Perkembangan Jumlah Kasus Produk Ikan dan Udang yang
Menerima Notification dari European-RASFF
Tahun 2004-2011 ............................................................................
54
Perkembangan Jumlah Alasan Kasus Produk Ikan yang
Menerima Notification dari European-RASFF
Tahun 2004-2011 ............................................................................
55
Perkembangan Jumlah Alasan Kasus Produk Udang yang
Menerima Notification dari European-RASFF
Tahun 2004-2011 ............................................................................
57
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Prosedur Ekspor Barang Secara Umum .......................................
70
2.
Alur Prosedur Ekspor Hasil Perikanan ........................................
71
3.
Dokumen dalam Perdagangan Internasional Hasil Perikanan .....
72
xv
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang cukup
besar di bidang perikanan, terutama karena memiliki luas perairan mencapai 5,8
juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia1. Berdasarkan luas
perairan yang meliputi 2/3 bagian dari total luas wilayahnya, Indonesia memiliki
potensi hasil perikanan yang melimpah baik perikanan tangkap maupun perikanan
budidaya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang
dapat merajai bisnis perikanan dunia. Adanya keunggulan tersebut membuat
Indonesia memiliki peluang yang besar untuk terus melakukan ekspansi
perdagangan produk hasil perikanan di pasar dunia.
Berdasarkan data statistik Indonesia, sektor perikanan telah memberikan
kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 199.219,00
miliar pada tahun 2010. Secara terperinci, potensi sektor perikanan di dalam
perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010
Kontribusi Terhadap PDB (Miliar Rupiah)
Lapangan
Usaha
2006
2007
2008
2009
2010
Tanaman
Pangan
214.346,3 265.090,9 347.871,70
419.194,8
483.521,1
Perkebunan
63.401,4 81.595,5 106.186,40
11.423,1
135.258,1
Peternakan
51.074,7 61.325,2
82.835,40
104.883,9
119.094,9
Kehutanan
30.065,7 35.883,7
39.992,10
45.119,6
48.050,5
Perikanan
74.335,7 97.697,3 136.435,80
176.620,0
199.219,0
Total PDB 3.339.216,8 3.950.893 4.948.688,4 5.603.871,2 6.422.918,2
Sumber: BPS (2011)
Pada Tabel 1, kontribusi subsektor perikanan menempati urutan kedua
setelah subsektor tanaman pangan. Sumbangan sektor perikanan terhadap nilai
PDB menunjukkan nilai yang terus meningkat selama selang periode tahun 2006
hingga 2010. Trend PDB subsektor perikanan yang semakin meningkat ini
1
(http://www.mgi.esdm.go.id). Morfologi Dasar Laut Indonesia. Diakses tanggal 10
April 2012.
menunjukkan prospek yang sangat menjanjikan bagi Indonesia dan seluruh
stakeholder yang terlibat dalam kegiatan agribisnis perikanan.
Menurut Suryawati (2007), produksi perikanan Indonesia telah mengalami
kenaikan yang cukup pesat. Pertumbuhan produksi tersebut mencapai 6,87
persen/tahun pada periode 1977-1988, 8,25 persen/tahun pada periode 1988-1995,
3,72 persen/tahun pada periode 1995-1998, dan 4,35 persen/tahun pada periode
1998-2003. Pada semua periode, pertumbuhan tinggi yang terjadi di sebagian
besar produksi merupakan hasil kontribusi perikanan tangkap laut yang berperan
sangat dominan pada perikanan Indonesia.
Ikan dan produk perikanan lainnya merupakan komoditas perdagangan
yang sangat prospektif. Pada tahun 2007, total ekspor produk perikanan tangkap
dunia telah mencapai 90.063.851 ton, dan telah terjadi peningkatan rata-rata
sebesar 0,54 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2003. Sedangkan total
produksi perikanan budidaya dunia telah mencapai 50.329.007 ton dengan
kenaikan rata-rata sebesar 6,65 persen jika dibandingkan dengan total produksi
tahun 2003. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumberdaya perikanan,
pada tahun 2007 berada di peringkat ketiga untuk perikanan tangkap dunia setelah
China dan Peru. (DKP, 2009).
Tanpa mengabaikan upaya pemenuhan kebutuhan domestik, produksi
perikanan Indonesia, terutama untuk komoditas bernilai tinggi, didorong untuk
memasok keperluan ekspor. Total ekspor produk perikanan Indonesia pada tahun
2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Menurut Komoditas Utama
Tahun 2007-2011
Tahun (ton)
Komoditas
2007
2008
2009
2010
2011
Udang
157.545
170.583
150.989
145.092
158,062
Tuna, Cakalang
121.316
130.056
131.550
122.450
141,774
Ikan lainnya
393.679
424.401
430.513
622.932
618,294
Kepiting
21.510
20.713
18.673
21.537
23,089
Lainnya
160.279
165.923
149.688
191.564
218,130
Sumber: KKP (2012)
Tabel 2 menunjukkan bahwa ekspor produk perikanan Indonesia
cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seluruh komoditas unggulan
2
sektor perikanan Indonesia antara lain adalah udang, ikan tuna, cakalang, tongkol,
rumput laut, ikan hias, dan lain sebagainya memiliki potensi yang besar untuk
diperdagangkan di pasar dunia dengan tujuan utama adalah Jepang, Amerika, dan
Uni Eropa. Pada Tabel 2 terlihat bahwa udang memiliki volume ekspor terbesar di
pasar dunia bila dibandingkan dengan hasil sumberdaya laut Indonesia lainnya.
Peningkatan ekspor yang terjadi tidak terlepas dari meningkatnya
konsumsi produk perikanan, karena adanya perubahan pola makan masyarakat
dunia dari red meat ke white meat. Hal ini berarti peluang terhadap peningkatan
ekspor komoditas perikanan semakin besar. Meskipun jumlah ekspor udang
Indonesia masih tergolong fluktuatif dan mengalami penurunan pada tahun 2009
dan 2010, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor
perikanan Indonesia. Fluktuasi ekspor udang Indonesia tersebut diduga karena
adanya persaingan yang cukup ketat dengan negara eksportir udang lainnya yang
diketahui memiliki teknologi, cara pengolahan, dan strategi pemasaran yang lebih
baik (Setiyorini, 2010).
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu dan tekonologi
khususnya di bidang pangan, udang semakin akrab dengan para konsumen di
negara maju sebagai bahan pangan yang bergizi. Hal ini membuat harga udang di
pasar internasional sangat beragam. Keragaman harga ini bukan saja berkaitan
dengan ukuran, warna, tekstur, cita rasa, dan bentuk penyajian produknya, tetapi
juga berkaitan dengan preferensi konsumen dan negara asal udang tersebut.
Udang putih (white shrimps) yang berasal dari laut tropika di pasaran Amerika
Serikat dan Eropa memiliki harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan
udang warna lain diperairan yang sama. Kuruma shrimps (Panaeus japonicus)
memiliki harga yang istimewa di pasar Jepang. Di pasaran Eropa, tiger shrimps
memiliki harga yang tinggi karena ukuran, tekstur daging, dan cita rasanya
banyak digemari oleh para konsumen di pasar yang bersangkutan (Murty, 1991).
Melihat besarnya potensi udang untuk terus diekspor ke dunia, Direktorat
Pemasaran Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan jumlah
target nilai ekspor yang besar pada produk udang hingga tahun 2014. Secara
terperinci, jumlah target nilai ekspor produk hasil perikanan tahun 2012-2014
dapat dilihat pada Tabel 3.
3
Tabel 3. Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama Tahun
2012-2014
Nilai Ekspor (US$ 1000)
No
Komoditas
2012
2013
2014
1 Udang-Shrimp
1.327.954
1.812.891
2.042.576
2 Tuna/Cakalang-Tuna/Skipjack
481.742
540.135
714.256
3 Sarden Kaleng
44.944
46.332
62.787
4 Ikan Dasar (Kakap Merah,Putih,
818.744
827.788
1.029.043
Layur, dll)
5 Kerapu
239.235
242.124
302.428
6 Kepiting
262.001
333.424
318.289
7 Tilapia
21.607
21.868
27.314
8 Bandeng
4.358
4.411
5.509
9 Rumput Laut
125.465
125.951
126.097
10 Lainnya
300.842
303.398
372.190
TOTAL
3.600.000
4.200.000
5.000.000
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP (2011)
Pada tahun 2011, target yang ditetapkan untuk nilai ekspor produk
perikanan sebesar US$ 3,2 miliar disambut dengan optimis oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan akan tercapai. Perhitungan dari Januari – Oktober 2011,
total nilai ekspor perikanan sudah mencapai US$ 2,8 miliar, sehingga target US$
3,2 miliar akan tercapai diakhir tahun 20112. Data saat ini ternyata menunjukkan
bahwa target tersebut telah tercapai. Tabel 3 menunjukkan bahwa udang
ditargetkan akan memperoleh nilai ekspor hasil perikanan yang paling besar dari
komoditas perikanan lainnya yaitu sebesar US$ 1.3 miliar pada tahun 2012 dan
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa udang
tetap menjadi komoditas primadona hasil perikanan Indonesia untuk terus
ditingkatkan kinerja ekspornya, sehingga mampu memenuhi permintaan dunia
akan udang yang terus meningkat.
Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting untuk melihat besarnya
peluang pasar yang dapat dipenuhi oleh Indonesia. Amerika Serikat, Jepang, dan
Uni Eropa merupakan pasar utama ekspor udang Indonesia. Ketiga negara tujuan
ekspor ini memiliki pola konsumsi yang berbeda akan udang, sehingga kebutuhan
2
(http://www.kkp.go.id). Ekspor Udang Ditargetkan Naik 100 persen. Diakses tanggal
09 Mei 2012.
4
impor tiga negara ini pun berbeda. Kebutuhan tiga negara tujuan ekspor terbesar
di dunia akan udang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa
Tahun 2002 – 2008
Jepang
Amerika Serikat
Uni Eropa
Tahun
Volume Trend
Volume Trend Volume Trend
(ribu ton)
(%)
(ribu ton) (%) (ribu ton) (%)
2002
251,19
332,88
345,73
2003
235,49 -0,06
399,62 0,20
412,33 0,19
2004
244,21
0,04
396,96 -0,01
403,75 -0,02
2005
234,73 -0,04
397,38 0,00
433,60 0,07
2006
232,18 -0,01
420,31 0,06
490,08 0,13
2007
208,99 -0,10
417,30 -0,01
495,52 0,01
2008
198,52 -0,05
431,75 0,03
471,29 -0,05
Rata-rata
229,33 -0,04
399,46 0,05
436,04 0,06
Pertumbuhan
Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)
Tabel 4 menunjukkan kebutuhan konsumsi akan udang di Jepang,
Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Dari tahun 2002-2008, kebutuhan udang di
Jepang tidak mencapai 300 ribu ton, sedangkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa
selalu berada diatas 300 ribu. Rata-rata pertumbuhan volume kebutuhan udang di
Amerika Serikat mencapai 399 ribu ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 0,05
persen. Meskipun rata-rata peningkatan kebutuhan udang di Uni Eropa hanya
berbeda 0,01 persen dengan Amerika Serikat, namun dari Tabel 4 dapat dilihat
bahwa Uni Eropa memiliki kebutuhan udang yang lebih besar dibandingkan
Amerika Serikat dan Jepang. Setiap tahunnya, volume kebutuhan udang di Uni
Eropa selalu berada di atas Amerika Serikat dan Jepang. Ini menunjukkan bahwa
Uni Eropa telah menjadi pasar ekspor terbesar untuk komoditas udang.
Banyaknya kebutuhan impor udang di Uni Eropa selalu diupayakan untuk
terpenuhi seluruhnya melalui permintaan ke berbagai negara eksportir udang,
salah satunya Indonesia. Permintaan impor udang oleh Uni Eropa yang dapat
dipenuhi oleh Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
5
Tabel 5. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Terhadap Kebutuhan Impor
Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008
Jepang
Amerika Serikat
Uni Eropa
Tahun
Volume Trend
Volume
Trend Volume Trend
(ribu ton) (%)
(ribu ton)
(%) (ribu ton) (%)
2002
59,62
16,84
16,11
2003
60,24 0,01
21,90 0,30
24,10 0,50
2004
49,28 -0,18
40,54 0,85
24,35 0,01
2005
48,05 -0,02
50,70 0,25
27,18 0,12
2006
50,58 0,05
61,24 0,21
35,23 0,30
2007
40,33 -0,20
60,40 -0,01
28,85 -0,18
2008
39,58 -0,02
80,48 0,33
26,83 -0,07
Rata-rata
49,67 -0,06
47,44 0,32
26,09 0,11
Pertumbuhan
Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)
Tabel 5 menunjukkan kontribusi ekspor udang Indonesia terhadap
kebutuhan impor di tiga negara importir utama komoditas udang. Pemenuhan
kebutuhan impor udang di Uni Eropa memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar 11
persen, namun kontribusi Indonesia terhadap kebutuhan udang di Uni Eropa
masih sangat kecil dibandingkan Jepang dan Amerika Serikat. Pemenuhan
kebutuhan di Uni Eropa dari udang asal Indonesia cenderung berada dibawah
30.000 ton, sehingga untuk mengatasi hal ini pada tahun 2012 ditargetkan ekspor
udang menjadi 300.000 ton3 untuk memenuhi kebutuhan dunia akan udang,
khususnya di Uni Eropa.
1.2. Perumusan Masalah
Sektor perikanan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB
Indonesia, dimana udang merupakan komoditas unggulan yang mempunyai nilai
ekspor terbesar dari nilai perdagangan dunia hasil perikanan. Bagi Indonesia,
udang merupakan komoditas ekspor andalan dan sumber perolehan devisa,
sehingga kinerja ekspor udang Indonesia perlu dikaji lebih dalam agar di masa
yang akan datang dapat memenuhi kebutuhan pasar dunia, khususnya di Uni
Eropa. Indonesia sebagai salah satu negara eksportir utama udang dunia telah
memiliki sumberdaya yang cukup untuk terus meningkatkan kinerja ekspornya.
Produksi udang Indonesia yang tergantung oleh luas lahan tambak dan laut telah
3
(http://www.bisnis.com). Ekspor Udang; Target Volume Naik Jadi 300.000 Ton.
Diakses tanggal 09 Mei 2012.
6
tercukupi,
bahkan
setiap
tahunnya
cenderung
mengalami
peningkatan
(Rakhmawan 2009).
Dewasa ini, dalam perdagangan internasional, banyak negara di dunia
telah memberikan pembatasan atas jenis dan jumlah komoditas udang yang dapat
diimpor negaranya. Pembatasan atas jenis ataupun jumlah yang dilakukan, pada
dasarnya untuk melindungi konsumen dari komoditas udang yang diimpor,
termasuk dari Indonesia. Atas pembatasan dan peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh negara importir, berbagai masalah pun muncul dalam
pengembangan
ekspor
udang
Indonesia.
Kegiatan
perdagangan
udang
internasional yang terjadi hingga saat ini sangat dinamis, karena negara-negara
importir memperhatikan kualitas, harga, jenis udang, dan faktor lainnya dalam
mengimpor udang. Selain itu, kebijakan udang internasional terkadang merugikan
salah satu negara eksportir dan menguntungkan negara eksportir yang lainnya.
Kondisi ini biasanya disebut dengan istilah diskriminasi baik berupa kebijakan
tarif atau nontarif.
Ketiga importir terbesar di dunia, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni
Eropa memiliki pola konsumsi yang berbeda-beda. Selain itu, kebijakan dan
peraturan yang ditetapkan pun berbeda. Uni Eropa memiliki pola perdagangan
yang jauh lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan pasar Jepang dan Amerika
Serikat. Perdagangan udang di Uni Eropa meliputi berbagai bangsa dan negara
yang ada di Eropa, hubungan tradisional antara satu negara Eropa dengan
pemasok tertentu dari suatu negara juga menentukan pola perdagangan udang
impor yang dianutnya (Murty, 1991).
Dikemukakan oleh Nugroho (2007) yang diacu dalam Painthe (2008),
terdapat masalah dalam pasar Uni Eropa yang sering dialami oleh eksportir dalam
memenuhi standar internasional, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan
Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical Barrier to Trade (TBT), dan tarif.
Berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS) yaitu ketentuan mengenai
zero tolerance yang ditetapkan Uni Eropa, ternyata masih menjadi bahan
perdebatan di forum internasional mengingat sampai sekarang belum ada standar
internasional tentang batas ambang yang diperbolehkan (maximum residu limit)
terutama dari Codex Alimentarius. Dalam hal tarif, walaupun dalam KTM III
7
WTO di Doha telah disepakati bahwa semua hambatan tarif akan segera
dievaluasi dan digraduasi, namun dalam kenyataannya komitmen ini masih terus
diganjal oleh negara-negara maju (Putro, 2007). Tarif yang diberlakukan bagi
komoditas udang ekspor saat ini bervariasi dan bersifat diskriminatif untuk
beberapa negara pengekspor. Selain itu, ketatnya standardisasi yang ditetapkan
Uni Eropa untuk melindungi konsumennya mengakibatkan banyak terdeteksinya
produk-produk perikanan yang masuk ke Uni Eropa oleh European-RASFF
dengan berbagai alasan terkait keamanan dan kesehatan konsumen.
Hal inilah yang dialami Indonesia dalam memenuhi permintaan komoditas
udang di pasar internasional, khususnya Uni Eropa. Oleh sebab itu, perlu dikaji
setiap peraturan atau kebijakan yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor.
Kebijakan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, khususnya Uni Eropa,
diharapkan tidak lagi menjadi hambatan, melainkan dapat dipenuhi, sehingga
kinerja ekspor udang Indonesia meningkat. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta
dalam hambatan perdagangan udang di pasar Uni Eropa dan juga mengacu pada
latar belakang yang telah dibuat, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1) Apa saja kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang
menjadi hambatan bagi ekspor komoditas udang Indonesia?
2) Bagaimana kasus-kasus yang pernah terjadi terkait kebijakan yang ditetapkan
Uni Eropa kepada Indonesia dalam ekspor udang?
3) Apa saja yang telah dilakukan pemerintah sebagai respon untuk penanganan
kebijakan yang menjadi hambatan bagi kinerja ekspor udang Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang menghambat
kinerja ekspor udang Indonesia.
2) Menganalisis kasus notification oleh European-RASFF terhadap produk
ekspor udang Indonesia atas kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa.
3) Mendeskripsikan kebijakan pemerintah dalam penanganan kebijakan yang
ditetapkan Uni Eropa untuk meningkatkan kinerja ekspor udang Indonesia.
8
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa:
1) Masukan bagi pemerintah dan pelaku ekspor sebagai rekomendasi suatu
kebijakan yang dapat meningkatkan produksi dan ekspor udang Indonesia
guna mewujudkan Indonesia sebagai negara eksportir udang utama di dunia.
2) Bagi kaum akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan, masukan, dan sumber informasi untuk penelitian yang akan
dilakukan selanjutnya serta meningkatkan motivasi untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan guna mendukung peningkatan perdagangan udang
Indonesia.
3) Bagi penulis, kegiatan penelitian ini menjadi proses pembelajaran yang baik
untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam
hal perdagangan internasional komoditas perikanan Indonesia khususnya
udang.
4) Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumber
informasi untuk mengetahui kondisi ekspor udang Indonesia.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada komoditas udang Indonesia
yang di ekspor ke Uni Eropa. Udang yang diperdagangkan di pasar Uni Eropa
tidak dibedakan berdasarkan udang beku dan udang segar ataupun jenisnya.
Banyak kebijakan yang yang ditetapkan dalam perdagangan udang Indonesia ke
Uni Eropa, namun dalam penelitian ini dilakukan deskripsi dan analisis kebijakan
yang dinyatakan menjadi hambatan bagi Indonesia hingga tahun 2011 terhadap
ekspor komoditas udang. Kasus yang pernah terjadi dalam setiap kebijakan yang
ditetapkan oleh Uni Eropa juga dianalisis. Kebijakan dan Regulasi perdagangan
Indonesia juga dideskripsikan sebagai ekuivalen kebijakan dengan Uni Eropa,
selanjutnya dilihat pengaruh dari kebijakan-kebijakan tersebut
terhadap
perkembangan ekspor udang Indonesia.
9
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komoditas Udang di Pasaran Internasional
Komoditas udang dalam dunia perdagangan biasa disebut dengan istilah
shrimp. Spesies udang sendiri di seluruh dunia tercatat tidak kurang dari 2700
buah. Secara geografis udang bisa dikelompokkan menjadi empat golongan, yakni
udang tropis, udang china, udang atlantik utara, udang laut utara. Jenis yang
dihasilkan Indonesia tergolong udang tropis. Udang tropis menguasai pasar
hingga 70 persen dari angka konsumsi udang, sedangkan golongan lainnya hanya
30 persen saja. Jenis udang yang dipasarkan oleh Indonesia adalah jenis udang
tropis (Nazaruddin, 1993).
Beragam spesies udang dikenal dalam dunia perdagangan internasional
(Murty, 1991). Keragaman spesies udang ini dapat dipilah-pilah lebih lanjut
diantaranya menurut asal habitatnya. Berdasarkan asal habitatnya, spesies udang
yang telah dikenal dalam jalur perdagangan internasional dapat dibedakan
menjadi tiga kelompok besar, yakni:
1) Spesies udang laut dingin.
Kelompok ini berasal dari dan hidup pada lautan daerah dingin. Pertumbuhan
udang jenis ini cenderung lebih lambat dan bentuk ukuran fisiknya lebih kecil
jika dibandingkan dengan udang yang berasal dari daerah laut tropika.
Spesies udang laut dingin menyebar dan banyak ditangkap di daerah sebelah
utara Jepang, Alaska, Kanada, disebelah barat laut dan timur laut Amerika
Serikat, Islandia, Greenland, dan di sebelah utara Eropa. Spesies utama dari
perairan laut dingin yang lazim dijumpai dipasar internasional antara lain
Pandalus borealis (deep water prawn/nothern prawn) dan Crangon crangon
(common shrimp).
2) Spesies udang laut tropika
Kelompok spesies ini berasal dari dan hidup pada perairan pantai daerah
tropika, serta memiliki ukuran yang lebih besar. Daerah penyebaran udang
laut tropika meliputi Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat,
Jepang, Eropa bagian selatan, Thailand, dan Indonesia. Salah satu jenis udang
laut tropika yang menjadi primadona adalah udang windu atau giant tiger
prawn dan udang putih atau indian white prawn. Jenis udang yang berasal
dari perairan tropika ini menempati bagian terbesar di pasar udang Jepang,
Amerika Serikat, dan Eropa.
3) Spesies udang air tawar
Umumnya kelompok spesies ini hidup pada danau atau sungai di daerah
tropika dan memiliki ukuran yang besar. Spesies udang ini dalam dunia
perdagangan internasional umumnya dikenal sebagai giant river prawn,
namun jenis udang ini kurang memiliki kedudukan yang penting pada
perdagangan udang di pasar internasional, karena daerah pemasarannya
terbatas hanya di beberapa negara saja seperti Belgia, Belanda, Prancis, dan
Jerman.
Bentuk produk udang yang dijajakan di pasaran internasional cukup
beragam dari satu pangsa pasar ke pangsa pasar lainnya. Keragaman bentuk
produk ini menandakan bahwa setiap negara konsumen memiliki preferensi yang
berbeda-beda dalam mengonsumsi udang. Berikut ini adalah berbagai variasi
produk udang yang diperdagangkan di pasar dunia (Murty, 1991):
1) Udang hidup
Jenis udang hidup yang banyak diperdagangkan ini merupakan spesies
Panaeus japonicus. Udang jenis ini banyak dikonsumsi dan diproduksi secara
domestik di Jepang. Mayoritas konsumen di Jepang lebih sering
mengonsumsi dalam keadaan mentah setelah dicampur dengan sake dan
dikuliti. Udang jenis ini harganya cenderung lebih mahal karena
membutuhkan teknik penanganan khusus agar udang tetap segar dan cita
rasanya tidak berkurang.
2) Udang segar
Udang dalam bentuk ini terbatas pada daerah-daerah yang dekat dengan
pelabuhan perikanan. Umumnya udang segar seperti ini sudah mengalami
perlakuan pendinginan di kapal setelah proses penangkapannya. Perlakuan
tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemunduran mutu dan mencegah
atau memperlambat proses pembusukan.
3) Udang beku
Udang beku menempati pangsa pasar terbesar dalam perdagangan udang
dunia. Hampir seluruh udang yang diekspor dan diperdagangkan di pasar
11
dunia adalah udang beku. Udang beku dibedakan menjadi tiga jenis, yakni
udang mentah beku (raw frozen), udang matang beku (cooked frozen), dan
udang setengah matang yang dibekukan (semi-cooked frozen).
4) Udang kering
Udang mengalami proses pengeringan secara tradisional terlebih dahulu
sebelum dipasarkan. Pada umumnya proses pengeringan ini dilakukan oleh
para nelayan di negara-negara berkembang. Hongkong merupakan negara
importir terbesar udang kering. Di Hongkong, udang kering ini diolah lebih
lanjut sebagai bahan baku industri pangan.
2.2. Uni Eropa
Menurut Delegasi Komisi Eropa untuk Indonesia (2010), Uni Eropa
merupakan kelompok 27 negara-negara independen yang unik dengan lebih dari
492 juta warga negara yang tinggal dalam batas wilayahnya. Negara-negara
anggota terikat dengan serangkaian traktrat yang telah ditandatangani seiring
perkembangannya. Semua traktat itu harus disepakati oleh masing-masing negara
anggota dan kemudian diratifikasi baik oleh parlemen nasional ataupun melalui
referendum (European Union, 2010). Nama Uni Eropa muncul pada tahun 1992
menggantikan
nama
Komunitas
Masyarakat
Eropa
bersamaan
dengan
ditandatanganinya Traktat Maastricht (Traktat Uni Eropa) pada tanggal 07
Februari 1992. Urutan masuknya negara-negara dalam keanggotaan Uni Eropa
dapat dilihat pada Tabel 6.
Uni Eropa bukanlah sebuah negara federal atau organisasi internasional
dalam pengertian tradisional, akan tetapi merupakan sebuah badan otonom di
antara keduanya. Uni Eropa bersifat unik karena negara – negara anggotanya tetap
menjadi negara berdaulat yang independen, akan tetapi negara-negara tersebut
menggabungkan kedaulatannya dan dengan demikian memperoleh kekuatan dan
pengaruh kolektif yang lebih besar.
Dalam praktiknya, penggabungan kedaulatan berarti bahwa negara-negara
anggota mendelegasikan kuasa dalam hal pengambilan keputusan kepada lembaga
yang telah didirikan bersama sehingga keputusan – keputusan mengenai masalah
– masalah tertentu yang melibatkan kepentingan bersama dapat diambil secara
demokratis pada tingkat Eropa. Uni Eropa memiliki tiga lembaga utama, yaitu:
12
1) Parlemen Eropa, memiliki warga negara Uni Eropa.
2) Dewan Uni Eropa, memiliki masing-masing negara anggota.
3) Komisi Eropa, berupaya untuk menegakkan kepentingan Uni Eropa secara
menyeluruh.
Segitiga kelembagaan tersebut menghasilkan kebijakan dan undang –
undang yang berlaku di seluruh Uni Eropa. Ketiga lembaga utama tersebut
didukung oleh Badan Pemeriksa Keuangan Eropa yang mengawasi penggunaan
anggaran Uni Eropa dan Mahkamah Eropa yang membantu memastikan bahwa
negara – negara anggota mematuhi undang – undang Uni Eropa yang telah dibuat.
Tabel 6. Negara-Negara Anggota Uni Eropa
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Negara
Jerman
Belanda
Belgia
Luksemburg
Perancis
Italia
Inggris Raya
Denmark
Irlandia
Yunani
Portugal
Spanyol
Austria
Swedia
Finlandia
Estonia
Hongaria
Latvia
Lituania
Malta
Polandia
Republik Ceko
Siprus Selatan
Slovenia
Slowakia
Bulgaria
Rumania
Tahun Bergabung dengan
Uni Eropa
1950
1950
1950
1950
1950
1950
1973
1973
1973
1981
1986
1986
1995
1995
2004
2004
2004
2004
2004
2004
2004
2004
2004
2004
2004
2007
2007
Sumber: European Union (2010)
13
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu
2.3.1. Penelitian Mengenai Komoditas Udang
Rakhmawan (2009) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing
komoditas udang di Indonesia dengan menggunakan dua metode analisis yakni
analisis kuantitif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitif dilakukan untuk
menjelaskan tingkat daya saing yang dilakukan dengan alat analisis RCA
(Revealed Comparative Advantage). Jika nilai RCA > 1, maka komoditas udang
Indonesia memiliki daya saing yang baik di pasar dunia, dan sebaliknya. Salain itu
juga digunakan metode regresi linier berganda dengan menggunakan analisis OLS
(Ordinary Least Square) yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi daya saing komoditas udang Indonesia (udang segar dan beku
pada jenis udang windu dan vannamei). Sedangkan pada analisis deskriptif
kualitatif digunakan Porter’s Diamond Theory untuk mengkaji potensi, kendala,
dan peluang yang berarti menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
keunggulan komparatif komoditas udang Indonesia.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komoditas udang Indonesia
memiliki daya saing yang kuat karena nilai RCA yang diperoleh lebih besar dari
satu. Sedangkan dengan metode analisis Porter’s Diamond Theory, dapat
ditunjukkan bahwa komoditas udang Indonesia memiliki potensi dalam faktor
input yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, dan juga infrastruktur
yang unggul namun masih memiliki keterbatasan hal penguasaan ilmu
pengetahuan dan komoditas udang.
Anwar (2009) mengkaji analisis respon produksi, permintaan domestik,
dan penawaran udang Indonesia. Pada penelitian tersebut, persamaan produksi
udang tidak dibedakan antara udang tambak ataupun laut, dan penawaran ekspor
tidak dibedakan berdasarkan negara tujuan ekspor udang Indonesia. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa harga domestik dan luas lahan berpengaruh nyata terhadap
produksi udang Indonesia. Konsumsi domestik udang dipengaruhi secara nyata
oleh pendapatan perkapita dan harga kepiting sebagai komoditas substitusi,
sedangkan penawaran ekpsor dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah produksi
udang Indonesia, dummy krisis, dan jumlah ekspor udang Indonesia satu tahun
lalu.
14
Retnowati (1990) dengan metode analisis Two Stage Least Square (2
SLS), dalam penelitiannya tentang analisis ekonomi udang Indonesia di pasar
Jepang dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa variabel bebas yang
berpengaruh nyata adalah harga udang di pasar internasional, sedangkan variabel
bebas harga komoditas substitusi di Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat, dan pendapatan perkapita Indonesia tidak berpengaruh nyata.
Penelitian tentang perdagangan udang Indonesia di pasar domestik dan
internasional juga pernah dilakukan Irwan (1997) dengan menggunakan metode
analisis 2 SLS dengan periode tahun 1974 – 1995. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa produksi udang Indonesia dipengaruhi oleh harga udang
domestik, tingkat suku bunga rupiah, dan jumlah produksi tahun sebelumnya.
Ekspor udang Indonesia ke Jepang hanya dipengaruhi oleh jumlah ekspor udang
Indonesia berskala satu tahun, sedangkan ekspor udang Indonesia ke Amerika
Serikat hanya dipengaruhi oleh jumlah ekspor udang Indonesia ke negara selain
Amerika Serikat dan Jepang.
2.3.2. Penelitian Mengenai Kebijakan Perdagangan
Penelitian terkait mengenai kebijakan perdagangan telah dilakukan oleh
Rastikarany dan Painthe pada tahun 2008. Rastikarany (2008) melakukan
penelitian mengenai pengaruh kebijakan tarif dan nontarif Uni Eropa terhadap
ekspor tuna Indonesia. Pada penelitian ini, digunakan analisis regresi, deskriptif,
dan peramalan untuk ekspor tuna beberapa tahun mendatang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kebijakan tarif dan nontarif berpengaruh nyata terhadap
volume ekspor tuna Indonesia. Dalam peramalan beberapa tahun mendatang yang
dilakukan menunjukkan Indonesia akan terus menjadi salah satu pemasok utama
komoditas tuna di pasar Eropa.
Painthe (2008) melakukan penelitian dengan topik yang sama dengan
komoditas udang menggunakan analisis regresi, deskriptif, dan peramalan.
Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan kebijakan-kebijakan yang
diberlakukan di pasar Eropa baik kebijakan tarif dan nontarif. Hasil penelitian
juga mendeskripsikan kebijakan-kebijakan apa yang telah diterapkan oleh
Indonesia sebagai respon atas persyaratan dan peraturan yang ditetapkan oleh
pasar Eropa. Dalam penelitiannya dengan analisis regresi menunjukkan bahwa
15
kebijakan tarif di pasar Eropa berpengaruh nyata terhadap volume ekspor udang
Indonesia di pasar Eropa. Hal ini terlihat dalam data yang menunjukkan bahwa
pernah terjadi penurunan volume ekspor dikarenakan udang yang di ekspor
Indonesia tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pasar Eropa.
Lambaga (2009) juga melakukan penelitian mengenai kebijakan
perdagangan. Dalam analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan
ditetapkannya peraturan EC No 882/2004 yang mewajibkan pemerintah untuk
melakukan pengawasan, ternyata menunjukkan pengaruh negatif. Ini berarti jika
importir menetapkan kebijakan nontarif maka volume ekspor perikanan akan
menurun. Sedangkan Painthe (2008) dan Rastikarany (2008) melakukan analisis
yang sama namun dengan komoditas yang berbeda yaitu udang dan tuna terhadap
ditetapkannya peraturan EC 178/2002 tentang persyaratan mutu undang-undang
pangan serta prosedur keamanan pangan. Hasil analisis menunjukkan pengaruh
positif terhadap hambatan nontarif bagi penelitian Painthe dan tidak berpengaruh
nyata terhadap model dugaan bagi penelitian Rastikarany. Dalam penelitiannya
dikatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang seharusnya karena
pada saat yang sama volume ekspor udang ke Uni Eropa ternyata mengalami
peningkatan.
Untuk
itu
penelitian
dengan
menganalisis
pengaruh
kebijakan
perdagangan yang diterapkan seperti yang dilakukan oleh Painthe (2008),
Rastikarany (2008), dan Lambaga (2009), harusnya menempatkan variabel dalam
blok-blok perdagangan dengan menambahkan variabel lain yang diduga juga
memiliki hubungan dengan kebijakan yang diterapkan pada saat itu seperti nilai
tukar mata uang dan pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor seperti yang
telah dilakukan Koeshendrajana dan Aisya (2006). Penelitian dengan melihat
pengaruh kebijakan perdagangan juga bisa menggunakan analisis deskriptiftabulatif untuk melihat pengaruh nyata penerapan kebijakan pada saat itu terhadap
kinerja produk ekspor pada saat itu seperti yang dilakukan Hartono (2005).
2.3.3. Keterkaitan dengan Peneltian Terdahulu
Pada penelitian-penelitian terdahulu, khususnya skripsi menggunakan
analisis kuantitatif, namun pada penelitian kali ini menggunakan analisis kualitatif
deskriptif untuk membahas kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa serta kasus
16
penolakan yang terjadi akibat kebijakan tersebut. Penelitian terdahulu yang telah
dilakukan menjadi bahan perbandingan dalam mendeskripsikan kondisi ekspor
udang Indonesia di pasar internasional, khususnya di Uni Eropa. Dalam kaitannya
dengan
penelitian
terdahulu,
penelitian
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penawaran ekpor udang di pasar internasional digunakan untuk
melihat signifikansi volume ekspor udang yang terjadi saat ini dengan kebijakan
yang diterapkan oleh Uni Eropa terkait perdagangan udang.
Penelitian ini terdapat kesamaan dengan penelitian sebelumnya, yaitu
dalam gambaran umum mendeskripsikan kondisi ekspor udang Indonesia di pasar
internasional. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada
tujuan ekspor yang lebih difokuskan pada pasar Eropa, yaitu mengkaji kebijakankebijakan yang diberlakukan di Uni Eropa dan menganalisis kasus-kasus yang
terjadi terkait penetapan kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa. Analisis
deskriptif digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap kinerja ekspor pada saat
itu, serta melihat respon pemerintah dalam mengatasi kebijakan yang berlaku.
Penggunaan data terbaru yang digunakan untuk membandingkan kondisi ekspor
udang Indonesia di Uni Eropa dari tahun sebelumnya hingga saat ini.
17
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh
teori-teori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi teori
perdagangan internasional, kebijakan perdagangan, dan analisis kebijakan.
3.1.1. Teori Perdagangan Internasional
Setiap negara memiliki sumberdaya alam, letak geografis, iklim,
karakteristik penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur
ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Perbedaan yang dimiliki oleh masingmasing negara tersebut menghasilkan produk yang berbeda baik dari segi
kuantitas
maupun
kualitas.
Perbedaan
tersebut
secara
tidak
langsung
mengharuskan suatu negara untuk melakukan perdagangan, baik dengan alasan
perluasan pasar, mendapatkan sumberdaya, mendapatkan keuntungan, ataupun
mendapatkan teknologi yang lebih modern.
Perdagangan merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan
ekonomi di setiap negara karena perdagangan akan memperbesar kapasitas
konsumsi suatu negara dan meningkatkan output dunia. Perdagangan juga
cenderung meningkatkan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan
dalam lingkup domestik ataupun internasional. Perdagangan dapat membantu
semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunannya melalui promosi
serta mengutamakan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan
komparatif (Todaro, 2003).
Menurut Kindleberger (1995) diacu dalam Anwar (2009), perdagangan
internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara
permintaan dan penawaran bersaing. Pada prinsipnya, perdagangan antara dua
negara timbul akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan
permintaan disebabkan oleh selera dan tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan
penawaran disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat
teknologi. Perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk
meningkatkan pendapatan nasional suatu negara.
3.1.2. Pergeseran Pola Perdagangan Internasional
Salah satu hal yang sangat mempengaruhi kinerja industri perikanan
Indonesia adalah adanya pergeseran pola perdagangan dunia. Saat ini, pola
perdagangan internasional tidak lagi hanya tunduk pada prinsip-prinsip supplydemand, tetapi juga dibentuk oleh isu-isu, konvensi, dan berbagai macam
kesepakatan internasional. Banyak konvensi yang telah disepakati, diratifikasi,
dan mengikat. Menurut Putro (2001), perjanjian internasional yang berpengaruh
langsung bahkan cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas
perikanan di pasar internasional dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori,
yaitu:
1) Perjanjian internasional yang bernuansa menjaga kelestarian sumberdaya
perikanan, seperti Code of Conduct for Responsible Fisheries, International
Convention for The Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT), Indian Ocean
Tuna Commission, Agreement on Straddling Stocks and Highly Migratory
Fish Species, dan sebagainya. Dengan adanya perjanjian ini maka ikan-ikan
komersial penting yang dijual di pasar internasional harus ditangkap dari
sumberdaya yang lestari.
2) Perjanjian internasional tentang perlindungan satwa yang terancam punah
yaitu Convention of International Trade of Endanger Species (CITES).
Melalui perjanjian ini maka beberapa jenis ikan/fauna laut dan air tawar
dibatasi pemasarannya karena populasinya dikhawatirkan akan punah.
3) Perjanjian internasional tentang perdagangan yaitu perjanjian General
Agreement on Tariff and Trade (GATT oleh WTO), termasuk di dalamnya
perjanjian Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), dan
Agreement on Technical Barrier on Trade (TBT oleh WTO). Perjanjian
GATT/WTO mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap perdagangan
global komoditas perikanan.
Dari satu
sudut
pandang, oleh beberapa
negara, pemberlakuan
kesepakatan-kesepakatan tersebut dimanfaatkan sebagai suatu peluang untuk
melaksanakan
strategi
perang
dagang.
Kecenderungannya,
dimasa-masa
mendatang kesepakatan semacam itu akan bertambah banyak karena perang
dagang akan berlangsung semakin intensif. Biasanya, suatu kesepakatan
19
internasional dikemas dalam kerangka justifikasi ilmiah atau isu-isu global yang
telah disepakati sebelumnya secara universal.
Indonesia harus mengikuti semua aturan yang terkandung dalam konvensikonvensi tersebut. Kecepatan dan konsistensi merespon kesepakatan dalam
konvensi tersebut akan berdampak langsung pada perdagangan internasional
produk-produk perikanan Indonesia.
3.1.3. Kebijakan Perdagangan
Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikro
ilmu ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu
yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif
suatu komoditas. Dalam arti luas, kebijaksanaan ekonomi internasional adalah
tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk dari perdagangan
internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, kuota, dan sebagainya, tetapi
juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam negeri yang secara tidak
langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan internasional seperti
misalnya kebijaksanaan moneter dan fiskal (Nopirin, 1999) diacu dalam
(Rastikarany, 2008).
Kebijakan perdagangan dilakukan sebagai proses proteksi terhadap
produk-produk yang dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan
bebas. Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang
bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat nontarif (non tariff
barrier). Hambatan yang bersifat tarif merupakan hambatan terhadap arus barang
ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan
tarif lainnya, sedangkan hambatan yang bersifat nontarif merupakan hambatan
terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakantindakan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang.
3.1.3.1. Kebijakan Hambatan Tarif (Tariff barrier)
Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas
batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, ada dua macam tarif yaitu tarif
ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif impor adalah pungutan
bea
masuk
yang
dikenakan
atas
barang
impor
yang
masuk
untuk
20
dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Sedangkan tarif ekspor merupakan
pajak untuk suatu komoditas yang di ekspor (Salvatore, 1997).
Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut
(Hady, 2004):
1) Pembebanan bea masuk atau tarif rendah antara nol sampai lima persen
dikenakan
untuk
bahan
kebutuhan
pokok
dan
vital,
alat-alat
militer/pertahanan/keamanan, dan lainnya.
2) Tarif sedang antara nol sampai dua puluh persen dikenakan untuk barang
setengah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup diproduksi dalam
negeri.
3) Tarif tinggi di atas dua puluh persen dikenakan untuk barang-barang mewah
dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan
bukan barang kebutuhan pokok.
Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan diskriminatif yang
digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain melindungi produk dalam
negeri dari persaingan dengan produk sejenis asal impor, meningkatkan
penerimaan negara, mengendalikan konsumsi barang tertentu, dan lain-lain.
Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi produk dalam
negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi ekonomi (Rastikarany,
2008).
3.1.3.2. Kebijakan Hambatan Nontarif (Non Tariff Barrier)
Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah
hambatan nontarif yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan
disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan
yang dilakukan oleh negara/organisasi internasional yang menerima komoditas
dari negara lain. Kebijakan non tariff barrier terdiri atas beberapa bagian yaitu:
1) Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak; pembatasan
impor atau quota system; peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk
tertentu; peraturan kesehatan atau karantina, peraturan pertahanan dan
keamanan negara; peraturan kebudayaan, perizinan impor/import licenses;
embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export
Restraint), OMA (Orderly Marketing Agreement).
21
2) Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tata laksana
impor tertentu; penetapan harga bea; penetapan forres rate (kurs valas) dan
pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling regulation;
documentation hended; quality and testing standard; pungutan administrasi
(fees); dan tariff classification.
3) Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah; subsidi
dan insentif ekspor; countervailing duties; domestic assistance programs; dan
trade-diverting.
4) Import charges, terdiri dari import deposits; supplementary duties; dan
variable levies.
Menurut Koo dan Kennedy (2005), beberapa negara menggunakan
bermacam kebijakan perdagangan (tarif dan nontarif) untuk melindungi industri
yang tidak efisien. Hal ini berlaku pada pertanian. Rata-rata tarif untuk produk
pertanian (tiga puluh persen) lebih besar daripada untuk produk industri (enam
persen). Tarif adalah pajak yang dibebankan pemerintah untuk suatu komoditas
sebagai batas garis nasional. Tarif digunakan untuk melindungi ekonomi domestik
dari kompetisi luar negeri.
Hambatan nontarif bisa mengandung rintangan dengan angka yang besar
selain tarif, seperti kebijakan, peraturan, dan prosedur yang mempengaruhi
perdagangan. Hambatan nontarif yang paling banyak digunakan untuk mengontrol
impor pertanian yaitu (Koo dan Kennedy, 2005): (1) pembatasan kuantitatif dan
pembatasan sepesifik sejenis (misalnya kuota, voluntary export restraints, dan
kartel internasional); (2) beban nontarif dan kebijakan yang berhubungan
mempengaruhi
impor
(misalnya
kebijakan
antidumping
dan
kebijakan
countervailing); (3) kebijakan umum pemerintah yang membatasi (misalnya
kebijakan kompetisi dan penetapan perdagangan); (4) prosedur umum dan
kegiatan administrasi (misalnya prosedur evaluasi dan prosedur perizinan); dan
(5) hambatan teknis (peraturan dan standar kualitas kesehatan dan sanitasi,
keamanan, peraturan dan standar industrial, dan peraturan pengemasan dan
pelabelan.
22
3.1.4. Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan
dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan
bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn, 1999) diacu dalam
(Rastikarany, 2008). Dunn (1999) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah
sebuah disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan
argumen untuk menghasilkan dan memindahkan yang ada hubungannya dengan
kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka
memecahkan masalah-masalah kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari
berbagai disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan
perspektif.
Analisis kebijakan dapat menggunakan metode deskriptif. Metode
deskriptif ini di rancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan
nyata
sekarang
(sedang
berlangsung).
Metode
ini
digunakan
untuk
menggambarkan sifat suatu keadaan yang sedang berjalan pada saat penelitian
dilakukan, dan memeriksa sebab-akibat dari suatu gejala. Teknik pengolahan data
kualitatif yang umum digunakan dalam metode deskriptif adalah analisis isi
(content analysis).
Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952)
sampai Lindzey dan Aronson (1968) tentang content analysis, selalu
menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis, dan
generalisasi (Bungin, 2003). Analisis ini dalam Julianingsih (2003) adalah suatu
teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi karakter-karakter
khusus suatu pesan secara objektif dan sistematis.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Sebagai salah satu negara pemasok utama udang ke Uni Eropa, Indonesia
memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Adanya peningkatan
permintaan dan penawaran komoditas udang di pasar internasional menjadikan
persaingan semakin banyak menghadapi tantangan yang diberlakukan oleh negara
tujuan ekspor Indonesia, khususnya Uni Eropa. Setiap kebijakan yang
diberlakukan Uni Eropa sangat mempengaruhi perdagangan internasional.
23
Kebijakan tersebut berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical
Barrier toTtrade (TBT), dan tarif.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk melindungi
konsumen negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa terhadap setiap
komoditas ekspor Indonesia. Kebijakan perdagangan yang diterapkan di Uni
Eropa akan dikaji dalam analisis deskriptif dengan membandingkan juga respon
kebijakan
yang telah
dilakukan
Indonesia
untuk
memenuhi
kebijakan
perdagangan ini. Gambaran penelitian ini secara menyeluruh dapat dilihat pada
Gambar 1.
24
Potensi Perikanan
Indonesia
Perairan Indonesia
yang Luas
Kelimpahan
Tenaga Kerja
Jumlah Produksi Perikanan Indonesia
Komoditas & Produk
Non Udang
Komoditas &
Produk Udang
Penawaran Udang untuk
Konsumsi Domestik
Penawaran Udang untuk
konsumsi Luar Negeri
Pasar Ekspor
Lainnya
Uni Eropa
Kebijakan
Perdagangan
 Sanitary and
Phytosanitary
(SPS)
 Technical barrier
to trade (TBT),
 Tariff
Respon Kebijakan
Perdagangan Indonesia
dan Penerapannya
di Indonesia
Total
Ekspor
Udang
Indonesia ke
Uni Eropa
Kasus Notification oleh European-RASFF
Analisis Kualitatif Deskriptif
= Ruang Lingkup Kajian Peneltian
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Penerapan Kebijakan Perdagangan
Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor
Udang Indonesia
25
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang dilakukan meliputi perancangan penelitian, perumusan
masalah, pengumpulan data dari berbagai instansi terkait, pengolahan data,
analisis data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini dilakukan
di Indonesia dengan menggunakan data nasional dan internasional. Pemilihan
lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan tujuan penelitian.
Penelitian ini dilakukan dalam waktu tiga bulan, yaitu dari bulan Maret hingga
Mei 2012.
4.2. Desain Penelitian
Desain penelitian dalam penelitian ini, yaitu metode deskriptif yang
bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antarfenomena yang
diselidiki. Dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk memaparkan
kebijakan perdagangan di Uni Eropa, kebijakan perdagangan Indonesia, dan
menganalisis kasus-kasus penolakan yang pernah terjadi, pengaruh kebijakan
terhadap ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, maupun penjelasan atau narasi
singkat atas tabulasi dan tampilan grafik.
4.3. Data dan Instrumentasi
Berdasarkan sumbernya, data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa
data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data/informasi yang
diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara dengan stakeholders seperti pejabat
dinas kelautan dan perikanan mengenai produksi dan ekspor udang Indonesia
serta permasalahan ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa. Selain itu data primer
melalui wawancara/diskusi di pakai untuk mengkonfirmasi kesesuaian kasus
notification oleh European-RASFF dari Directorates General of Health and
Consumers (DG Sanco) terhadap produk perikanan asal Indonesia. Data sekunder
yang merupakan data teks berupa keterangan mengenai prosedur ekspor, kondisi
pasar Uni Eropa, peraturan perdagangan Uni Eropa, dan data-data lain yang
relevan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh melalui informasi dan
laporan tertulis dari lembaga atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik
(BPS), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Food and Agriculture
Organization (FAO), World Trade Organization (WTO), European Commission
(EC), dan Directorates General of Health and Consumers (DG Sanco). Selain itu,
data juga diperoleh dari literatur berupa skripsi, buku teks, dan website yang yang
terkait dengan penelitian. Rincian data yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perincian Sumber Data Penelitian
No
Data Yang Diperlukan
1 Total Ekspor dan Impor Uni Eropa
2 Total Ekspor dan Impor Perikanan Uni Eropa
3 Total Ekspor dan Impor Udang dari ke Uni Eropa
4 Total Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa
5 Kebijakan Perdagangan Uni Eropa yang terkait
dengan perikanan
6
7
8
Kebijakan Indonesia yang terkait dengan ekspor
Perikanan Indonesia
Prosedur umum ekspor perikanan
Kasus Penolakan Ekspor Udang Indonesia ke Uni
Eropa
Sumber Data
KKP,
DKP, Kemendag
Direktorat P2HP
DKP, Depdag/BPEN
Direktorat P2HP,
European
Commission.
KKP, BKIPM
DKP
Direktorat P2HP,
DG Sanco
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan
data
dilakukan
sebagai
langkah
awal
untuk
mengelompokkan data yang akan di bahas. Data berupa kebijakan baik yang
diterapkan Uni Eropa maupun pemerintah Indonesia terkait produk perikanan
khususnya udang diobservasi lalu dikumpulkan berdasarkan jenisnya, tahun
pelaksanaannya, dan ketentuan dalam kebijakan tersebut. Selain itu, mengenai
kasus notification oleh European-RASFF, data diobservasi melalui website
dikumpulkan dan dikonfirmasi kepada stakeholder di Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), dan dikelompokan berdasarkan jenis produk perikanan
(khususnya ikan dan udang), tahun ekspor, dan alasan notification. Kelompok
berdasarkan ikan dan udang dilakukan untuk membandingkan jumlah notification
antara ikan dan udang oleh European-RASFF. Kelompok berdasarkan tahun
dikelompokan untuk melihat perkembangan notification yang dialami produk ikan
dan udang Indonesia, mengetahui perbedaan terjadinya kasus penolakan yang
mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif setiap tahunnya. Kelompok
berdasarkan alasan penolakan produk dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan
jumlah alasan paling banyak.
27
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
4.5.1. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan
pengelompokan data dari data-data yang telah dikumpulkan. Data-data yang
berupa gambaran umum kondisi perdagangan udang dan produk perikanan
lainnya diolah dari berbagai sumber yang di dapat untuk disederhanakan dalam
bentuk grafik ataupun tabel. Kemudian data-data tersebut dimasukkan sebagai
bahan untuk dikelompokkan sesuai kebutuhan penelitian sebelum dianalisis.
Selanjutnya data kebijakan terkait produk udang dan perikanan lainnya yang
ditetapkan Uni Eropa dikelompokkan untuk disederhanakan sebagai bahan
menghubungkan terhadap fakta ekspor udang dan perikanan lainnya yang terjadi.
Pengolahan selanjutanya, untuk mengkonfirmasi pengaruh kebijakan yang
ditetapkan Uni Eropa terhadap produk ikan dan udang Indonesia, maka data
mengenai kasus notification oleh European-RASFF diolah menjadi lebih
sederhana untuk mengelompokkan kasus yang terjadi berdasarkan tahunnya serta
alasan notification yang diterima. Data yang sudah dikumpulkan dari website
tersebut kemudian dimasukkan sebagai input computer lalu di olah menjadi lebih
sederhana dalam bentuk gambar dan grafik dengan bantuan program Microsoft
Excel untuk dianalisis dengan metode kualitatif deskriptif.
4.5.2. Analisis Data Kualitatif
Analisis data kualitatif yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Deskriptif
artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Metode deskriptif
bertujuan untuk:
1) Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang
ada,
2) Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku,
3) Membuat perbandingan atau evaluasi,
4) Menentukan apa yang dilakukan pihak lain dalam menghadapi masalah yang
sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan
keputusan pada waktu yang akan datang.
28
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, diarahkan untuk
memahami (understand) suatu fenomena sosial (Bungin, 2003). Fenomena sosial
yang akan dipahami dalam penelitian ini adalah kondisi ekspor udang Indonesia
terhadap kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Pendekatan ini digunakan untuk
melukiskan secara sistematis fakta atau keadaan yang terjadi dalam perdagangan
udang Indonesia, dalam hal ini fokus pada kebijakan.
Analisis kualitatif deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk
menghubungkan fakta perkembangan ekspor udang Indonesia dengan adanya
kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Selain itu, analisis ini juga mengkonfirmasi
kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa terhadap kaitannya atas alasan fakta
notification yang dikeluarkan European-RASFF terhadap produk ikan dan udang
Indonesia, sehingga dari analisis ini dapat dipahami apa yang terjadi pada
penerapan kebijakan perdagangan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk
perikanan Indonesia, khususnya udang. Analisis yang dilakukan juga untuk
mengetahui bagaimana penanganan yang tepat untuk mengatasi permasalahan
yang terjadi.
29
V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA
5.1. Perdagangan Internasional Hasil Perikanan
Selama lebih dari beberapa dekade ini, sektor perikanan dunia telah
banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Berdasarkan data International
Trade Centre (ITC) dan Kementerian Perdagangan tahun 2010, perdagangan
internasional dalam komoditas perikanan mencapai US$ 103 miliar, mengalami
kenaikan 13,2 persen dari tahun 2009 (US$ 91 miliar). Meskipun pada tahun 2009
nilai total ekspor mengalami penurunan dari tahun 2008 (US$ 96 miliar), namun
angka yang dicapai tersebut masih terhitung tinggi. Sejak tahun 2000,
perdagangan internasional di sektor perikanan dunia telah menunjukkan
peningkatan secara signifikan (Aisya, et al. 2006). Secara terperinci, data ekspor
komoditas perikanan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai Ekspor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010
Nilai (juta US$)
Share (%)
No
Negara
2007
2008
2009
2010
2010
1 China
9,508.86 10,364.12 10,500.16 13,539.77
13.03
2 Norway
6,089.74 6,722.43 6,923.22
8,660.35
8.33
3 Thailand
5,614.68 6,487.52 6,208.88
7,012.62
6.75
4 USA
4,387.76 4,364.02 4,075.66
4,544.43
4.37
5 Vietnam
3,764.00 4,510.57 4,253.37
4,368.40
4.20
6 Canada
3,657.84 3,672.86 3,211.09
3,804.87
3.66
7 Netherlands
2,713.90 2,865.08 2,627.14
3,439.00
3.31
8 Spain
3,285.14 3,490.64 3,131.11
3,293.28
3.17
9 Indonesia
2,258.92 2,699.68 2,466.20
2,863.83
2.76
10 Chile
3,166.16 3,409.71 3,010.62
2,846.10
2.74
11 Lainnya
43,678.83 47,780.89 45,209.56 49,575.63
47.69
Total
88,125.83 96,367.51 91,616.99 103,948.26
100.00
Sumber: ITC Comtrade (2011), Kemendag (2011), BPS (2011), (diolah)
Berdasarkan Tabel 8, ekspor perikanan dunia dikuasai oleh China sebesar
US$ 13,5 miliar pada tahun 2010 dengan kontribusi sebesar 13,03 persen dari
ekspor perikanan dunia. Asia Tenggara berkontribusi sebesar 13,71 persen dari
ekspor perikanan dunia melalui Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Melalui
sepuluh negara eksportir terbesar perikanan dunia tersebut, dapat dilihat bahwa
perdagangan internasional hasil perikanan terus meningkat setiap tahunnya. Jika
dilihat dari data FAO 2004, perdagangan internasional dalam ekspor komditas
perikanan telah mencapai mencapai US$ 58,2 miliar pada tahun 2002, mengalami
kenaikan relatif lima persen pada tahun 2000 dan 45 persen sejak tahun 1992.
Peningkatan ekspor perikanan dunia tidak terlepas dari impor perikanan
dunia yang tercatat juga terus meningkat setiap tahunnya. Data impor perikanan
dunia dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Impor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010
Nilai (Juta US$)
No Negara
2007
2008
2009
2010
1 USA
12,852.19 13,207.72 12,127.38 13,588.34
2 Japan
12,099.44 13,305.58 12,114.15 13,463.85
3 Spain
6,953.18 7,038.11
5,795.99 6,294.02
4 France
5,091.72 5,507.90
5,257.19 5,590.74
5 Italy
5,213.11 5,511.88
5,040.30 5,271.60
6 China
3,505.68 3,716.65
3,660.07 4,449.14
7 Germany
3,849.13 4,100.53
4,365.10 4,437.00
8 UK
3,707.57 3,782.90
3,096.68 3,137.74
9 Hongkong
2,472.44 2,685.91
2,734.49 3,118.58
10 Sweden
2,333.70 2,569.66
2,451.18 3,086.56
11 Lainnya
31,203.03 35,445.66 32,540.99 35,678.39
Total
89,281.19 96,872.50 89,183.52 98,115.95
Share (%)
2010
13.85
13.72
6.41
5.70
5.37
4.53
4.52
3.20
3.18
3.15
36.36
100.00
Sumber: ITC Comtrade (2011), Kemendag (2011), (diolah)
Tabel 9 menunjukkan bahwa sepuluh negara importir perikanan dunia
terdiri dari USA, Jepang, Spanyol, Prancis, Italia, Cina, Jerman, Inggris,
Hongkong, dan Swedia. Negara lainnya yang termasuk dalam importir perikanan
dunia umumnya dikuasai oleh negara-negara Uni Eropa. Lebih dari 70 persen
nilai impor dunia telah terkonsentrasi pada tiga wilayah utama, yaitu: Uni Eropa,
Jepang, dan Amerika Serikat. Importir terbesar dari Tabel 9 terlihat dikuasai oleh
Amerika Serikat, namun jumlah ini tidak begitu jauh jika dibandingkan dengan
Jepang yang juga berkontribusi di atas tiga belas persen terhadap impor perikanan
dunia. Pada tahun 2002, melalui data FAO yang diacu dalam data Kementerian
Kelautan dan Perikanan tahun 2009, Jepang pernah menjadi importir perikanan
terbesar, yaitu dengan menguasai 22 persen dari nilai impor perikanan dunia. Uni
Eropa tercatat tidak jauh berbeda dengan saat ini, dimana impor perikanannya
dikuasai oleh Spanyol, Prancis, Italia, Jerman, dan Inggris.
31
5.2. Perkembangan Ekspor Produk Perikanan Indonesia
Berdasarkan data statistik ekspor hasil perikanan, selama sepuluh tahun
terakhir (2001-2011) volume ekspor produk hasil perikanan Indonesia mengalami
kenaikan volume yang cukup baik, namun mengalami penurunan pada tahun
tertentu dimana salah satu penyebabnya karena terjadinya krisis keuangan di
negara importir utama produk perikanan. Grafik perkembangan volume ekspor
produk perikanan Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2.
1,400,000
1,159,349
1,103,576
Volume (Ton)
1,200,000
1,000,000
857,783
907,970
926,478
857,922
854,328
911,674 881,413
2007
2008
800,000
565,739
600,000
487,116
400,000
200,000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2009
2010
2011
Gambar 2. Grafik Perkembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Tahun 2001-2011
Sumber: BPS (2012), KKP (2012), (diolah)
Berdasarkan Gambar 2, total ekspor hasil
perikanan
Indonesia
menunjukkan perkembangan yang sangat baik dari tahun 2001-2011. Meskipun
pada tahun 2003-2009 mengalami fluktuasi yang stagnan, namun setelah tahun
2009 volume ekspor hasil perikanan Indonesia kembali meningkat mencapai 1,10
juta ton pada tahun 2010 dan 1,15 juta ton pada tahun 2011 dengan nilai sebesar
US$ 2,8 miliar dan US$ 3,5 miliar. Dari total nilai hasil ekspor produk hasil
perikanan Indonesia tahun 2011, 66 persen ekspor produk perikanan Indonesia
masuk ke pasar tradisional yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Jumlah
ini mengalami penurunan dibanding tahun 2010 yang mencapai 70 persen, namun
mengalami peningkatan di pasar prospektif (Asia Tenggara dan Asia Timur) dan
pasar potensial (Timur Tengah, Afrika, dan eks Eropa Timur) sebesar 34 persen
pada tahun 2011.
32
Komoditas hasil produk perikanan Indonesia yang diekspor meliputi
udang, tuna, ikan ekonomis penting lainnya (kerapu, kakap, tenggiri, tilapia, dll),
cephalopoda (squid, ocopus, cuttlefish), daging kepiting rajungan, kepiting,
rumput laut, teripang, dan lobster. Komoditas perikanan tersebut diolah menjadi
produk perikanan (produk akhir) yang dapat dikelompokkan menurut proses
penanganan dan atau pengolahannya sebagai berikut:
1) Produk hidup,
2) Produk segar (fresh product) melalui proses pendinginan,
3) Produk beku (frozen product) baik mentah (raw) atau masak (cooked) melalui
proses pembekuan,
4) Produk kaleng (canned product) melalui proses pemanasan dengan suhu
tinggi (sterilisasi) dan pasteurisasi,
5) Produk kering (dried product) melalui proses pengeringan alami, atau
mekanis,
6) Produk asin kering (dried salted product) melalui proses penggaraman dan
pengeringan alami, atau mekanis,
7) Produk asap (smoked product) melalui proses pengasapan,
8) Produk fermentasi (fermented product) melalui fermentasi,
9) Produk masak (cooked product) melalui pemasakan/pengukusan,
10) Surimi (based product) melalui proses leaching atau pengepresan (minced).
Secara lebih detail, jumlah share ekspor produk hasil perikanan Indonesia
berdasarkan kelompok komoditas tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 3.
33
Gambar 3.
Share Ekspor Perikanan Indonesia
Komoditas.
Sumber: BPS (2011), (diolah)
Tahun
2010
Per
Kelompok
Pada Gambar 3, diketahui bahwa share ekspor perikanan Indonesia
berdasarkan kelompok komoditas didominasi oleh kelompok crustaceae (udang
dan kepiting) yaitu sebesar 34,19 persen. Sisanya dipenuhi oleh kelompok ikan
olahan (kalengan) 19,82 persen, ikan beku 11,87 persen, fillet dan daging ikan
9,32 persen, ikan segar atau dingin 8,50 persen, dan di bawah lima persen terdiri
dari rumput laut, molusca, ikan kering, mutiara, ikan hidup, ikan hias, dan
lainnya.
5.3. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia
5.3.1. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional
Indonesia merupakan salah satu negara eksportir terbesar di dunia untuk
komoditas udang. Berdasarkan total ekspor perikanan Indonesia tahun 2011,
komoditas udang memberikan kontribusi hasil ekspor sebesar 37,19 persen dari
total nilai ekspor perikanan Indonesia yang mencapai US$ 3,5 miliar (KKP,
2012). Perkembangan ekspor udang Indonesia menurut negara tujuan utama dapat
dilihat pada Gambar 4.
34
80,000
70,000
Volume (Ton)
60,000
Jepang
Amerika Serikat
Uni Eropa
50,000
40,000
30,000
20,000
10,000
0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 4. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Utama Tahun
2011
Sumber: BPS (2012), KKP (2012), (diolah)
2005-
Gambar 4 menunjukkan perbedaan kontribusi ekspor udang Indonesia di
ketiga pasar utama tersebut, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa tahun
2005-2011. Periode tersebut menunjukkan bahwa volume ekspor udang Indonesia
mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebesar 170,5 ribu ton dan terendah
pada tahun 2010 yaitu sebesar 145 ribu ton. Jika dilihat menurut negara tujuan
ekspornya, Amerika Serikat memberikan perkembangan yang baik sebagai
importir udang Indonesia. Meskipun dalam periode tahun 2008-2010 mengalami
penurunan yang cukup besar, namun pada tahun 2011 ekspor udang Indonesia ke
Amerika Serikat kembali meningkat menjadi 70 ribu ton dengan nilai US$ 615
juta. Kondisi ini berbeda dengan periode 1993-2002, dimana Amerika Serikat
sebagai tujuan utama ekspor dengan pangsa rata-rata 11,46 persen, berada jauh
dibawah Jepang dengan rata-rata 57,34 persen (Aisya, et al. 2006). Peningkatan
yang terjadi dalam periode ini didukung kuat oleh peningkatan konsumsi udang
Amerika Serikat, dimana sejak periode tahun 1997-2005, kebutuhan Amerika
Serikat untuk konsumsi rumah tangga tercatat sebesar 355.000 ton dan data
statistik menunjukkan konsumsi udang Amerika Serikat selama kurun waktu
tahun 1997-2000 rata-rata meningkat tujuh persen lebih tinggi dari konsumsi
35
tahun 1996 dan melewati rekor tertinggi sebelumnya sebesar dua persen (Infofish,
2003).
Perkembangan nilai ekspor udang Indonesia sama halnya seperti
perkembangan volumenya yang berfluktuatif, namun nilai ekspor komoditas ini
tidak selalu sejalan dengan perkembangan volumenya. Volume udang seperti
yang disebutkan sebelumnya tertinggi pada tahun 2008, akan tetapi nilai ekspor
tertingginya justru terjadi pada tahun 2011 yaitu senilai US$ 1,3 miliar, sedangkan
pada tahun 2008 hanya US$ 1,1 miliar. Sementara itu, nilai ekspor terendah
terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar US$ 948,1 juta. Fenomena ini menunjukkan
bahwa nilai ekspor udang Indonesia secara implisit lebih respon terhadap
perubahan harga udang dunia (Aisya, et al. 2006).
5.3.2. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa
Uni Eropa (UE) dengan 27 negara anggota saat ini menjadi pasar terbesar
di dunia untuk komoditas perikanan. Penduduk yang diperkirakan mencapai
hampir setengah miliar akan membutuhkan pasokan bahan pangan yang luar
biasa. Diperkirakan konsumsi komoditas perikanan selama enam tahun terakhir
mengalami pertumbuhan sebesar 18 persen (Purnomo, 2007a). Salah satu
komoditas perikanan Indonesia yang banyak masuk ke Uni Eropa adalah udang.
Perkembangan volume ekspor udang selama 12 tahun terakhir dapat dilihat pada
Gambar 5.
35,000
Volume (Ton)
30,000
25,000
31,016
28,84527,834
27,775
26,317
23,689
23,689
20,000
20,056
17,734
16,140
15,000
16,659
13,383
10,000
5,000
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Gambar 5.
Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Tahun 20002011.
Sumber: KKP (2012), (diolah)
36
Produk udang yang diekspor ke Uni Eropa terdiri dari bentuk segar (fresh
atau chilled), bentuk beku (frozen), dan bentuk olahan (preserved) baik dalam
kemasan kedap udara (in airtight containers) maupun kemasan tidak kedap udara
(in not airtight containers). Volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa
didominasi oleh udang beku dan segar.
Uni Eropa setiap tahunnya mengimpor udang tidak kurang dari 300 ribu
ton dan merupakan pasar udang terbesar bersama Jepang dan Amerika Serikat,
namun selama periode tahun 2000-2011 (Gambar 5), ekspor udang Indonesia ke
Uni Eropa tidak pernah berkontribusi lebih dari 10 persen kebutuhan impor udang
Uni Eropa. Meskipun demikian, jika dilihat perkembangan pada periode 19741999, volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa telah menunjukkan
peningkatan yang sangat baik, dimana pada periode tersebut meningkat sebesar
2.545,46 persen yaitu dari 0,55 ribu ton menjadi 14,55 ribu ton (DKP 2009).
Hingga periode 2011 ini, volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa tertinggi
berada pada tahun 2006 yaitu sebesar 31 ribu ton. Importir udang terbesar di pasar
Uni Eropa ini adalah Spanyol, Inggris, dan Perancis.
Penurunan volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dalam lima tahun
terakhir ini, menurut Yusuf dan Tajerin (2007) disebabkan oleh melemahnya
harga rata-rata udang di pasar internasional sebagai akibat dari lonjakan produksi,
terutama udang vannamae. Disamping itu, banyak muncul berbagai hambatan
perdagangan perdagangan yang bernuansa tarif seperti isu “dumping” dan
hambatan-hambatan nontarif seperti bioterrorism act, traceability, zero tolerance
terhadap residu antibiotik, isu lingkungan, dan sebagainya.
37
VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA DAN
PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA
6.1. Kebijakan Perdagangan Internasional
Pada dasarnya, suatu kebijakan yang ditetapkan berdasarkan suatu
kesepakatan adalah untuk melindungi pihak tertentu sebagai pelaku perdagangan.
Koo dan Kennedy (2005) juga mengatakan bahwa beberapa negara yang
menggunakan bermacam-macam kebijakan perdagangan adalah untuk melindungi
industri yang tidak efisien. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi
tertentu akan menjadi hambatan bagi pihak lain jika tidak dapat memenuhi
kebijakan tersebut. Dalam bidang perdagangan internasional dikenal adanya
hambatan-hambatan perdagangan atau trade barriers yang dapat digolongkan
menjadi tiga bidang yaitu tariff barrier, non tariff barrier, dan administrative
barrier.
Tariff barrier adalah kebijakan penetapan kuota dan tarif bea masuk oleh
suatu negara pengimpor terhadap suatu produk tertentu. Non tariff barrier
merupakan standar internasional dalam food safety sebagaimana dirumuskan oleh
Codex Alimentarius Commission yaitu suatu badan internasional antarnegara.
Persyaratan yang penting antara lain adalah konsep HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point) sebagai instrumen untuk mengaplikasikan SPS (Sanitary
and Phytosanitary Agreement) dimana untuk dapat memenuhi standar tersebut
dibutuhkan biaya yang besar yang nantinya akan menambah biaya produksi.
Selain itu,
dalam technical barrier yang menetapkan health and sanitary
regulations, setiap negara memiliki standar yang berbeda-beda kriteria atau
ambang batasnya. Sedangkan yang termasuk dalam administrative barrier adalah
health certificate dari competent authority negara pengekspor dan ecolabelling
yang bertujuan untuk mempromosikan ramah lingkungan. Menurut Pruto (2001),
salah satu kelompok perjanjian internasional yang berpengaruh langsung bahkan
cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas perikanan di pasar
internasional tentang perdagangan adalah perjanjian General Agreement on Tariff
and Trade (GATT oleh WTO), dimana terdapat perjanjian Agreement on Sanitary
and Phytosanitary Measures (SPS), dan Agreement on Technical Barrier on
Trade (TBT oleh WTO).
6.1.1. Penerapan Kebijakan Hambatan Tarif di Uni Eropa
Penetapan kuota dan tarif bea masuk merupakan kebijakan tarif yang
ditetapkan oleh Uni Eropa. Semua tarif produk perikanan Uni Eropa telah
ditetapkan dalam Persetujuan Umum Perdagangan dan Tarif atau General
Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sekarang digantikan oleh Organiasi
Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Tujuan utama
dibentuknya GATT/WTO adalah:
1) Liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia
sehingga produksi meningkat.
2) Memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hamban
tarif bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan lainnya (non tariff barrier).
3) Mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang intellectual property
rights dan investasi.
Penetapan tarif bea masuk yang ditetapkan oleh ketiga importir terbesar
dunia perlu diketahui untuk melihat dan membandingkan penerapan yang
dilakukan oleh Uni Eropa dengan negara lainnya. Tarif bea masuk yang
dikenakan Amerika Serikat pada produk udang yang tidak di olah (beku, direbus,
digarami, dan dikeringkan) adalah nol persen atau free. Untuk produk udang
olahan, tarif bea masuk yang dikenakan adalah lima persen sampai sepuluh
persen, bahkan kadang udang diterapkan “special rate” yang lebih tinggi yaitu 20
persen. Sebelum Indonesia bergabung dalam EPA (Economic Partnership
Agreement) tahun 2007, tarif umum yang ditetapkan Jepang pada komoditas
udang olahan adalah sebesar 4,8 - 6 persen sementara tarif dari WTO diwajibkan
sebesar 4,8 - 5,3 persen. “Special rate” yang diberikan negara Jepang untuk
produk olahan sebesar 3,2 persen, tetapi untuk produk olahan yang termasuk
kategori “other” diberikan tarif nol persen atau free. Setelah Indonesia bergabung
dalam EPA, penetapan tarif yang diberlakukan Jepang untuk produk udang olahan
Indonesia adalah free. Untuk produk udang non olahan (beku, direbus, digarami,
dan dikeringkan) juga diberikan tarif bea masuk nol persen atau free.
Penerapan tarif bea masuk produk perikanan ke negara-negara Uni Eropa
berkisar nol persen untuk belut hidup (live eels) sampai 25 persen untuk produk
kaleng (canned mackerel, bonito and anchovies). Secara umum, tingkat tarif yang
39
diberlakukan oleh Uni Eropa tergolong paling tinggi jika dibandingkan negaranegara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang. Tarif bea masuk
biasanya akan semakin tinggi bagi “value added products”, namun Uni Eropa
menyediakan mekanisme yang berbeda untuk mengurangi pajak (duties) yaitu
rata-rata tarif dikurangi sekitar 3-4 persen (KKP, 2010). Data tarif bea masuk
komoditas udang di pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10. Tarif Bea Masuk komoditas udang di Uni Eropa, Amerika Serkikat, dan
Jepang
Tarif Bea Masuk (%)
Amerika
Kode HS
Produk
Uni Eropa
Jepang
Serikat
MFN GSP
MFN
MFN
030613100 Of the familiy pandalidae
12,0
4,2
Free
Free
030613300 Shrimp of the genus crangon
12,0
4,2
Free
Free
by boiling in water
030613400 Deepwater rose shrimps
12,0
4,2
Free
Free
(Parapenaeus)
030613500 Shrimps of the genus penaeus
12,0
4.2
Free
Free
030613800 Other
12,0
4,2
Free
Free
030621000 Rock lobster by boiling in
12,5
4,3
Free
Free
water
030622100 Live lobster
8,0
2,8
Free
Free
030623310 Shrimp of the genus crangon
18,0
14,5
Free
Free
fresh, chilled, live, dried, salted
160520100 Shrimps and prawns
20,0
7,0
5,0
Free
160530100 Lobster
20,0
7,0
10,0
Free
Sumber: DG Taxud (2012), USITC (2012), Japan Customs (2012), (diolah)
Keterangan:
Kode HS 03.06.13: Beku: udang kecil dan udang biasa
Kode HS 03.06.2x: Segar: udang besar, udang kecil, dan udang biasa
Kode HS 16.05.x0: Udang besar, kecil, dan udang biasa, diolah atau diawetkan
Tabel 10 menunjukkan bahwa penetapan tarif yang diberlakukan Uni
Eropa lebih tinggi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang. Tarif
yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk produk udang Indonesia adalah sebesar 12
persen untuk udang beku, 8-18 persen untuk produk udang segar, dan 20 persen
untuk produk udang olahan. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai kelompok negara
maju, memberikan skema khusus kepada negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, yaitu berupa Generalized System of Preferences (GSP) guna
memperluas akses pasar ke negara-negara Uni Eropa. Berdasarkan pasal 7 point 2
dari skema GSP untuk periode 1 Januari 2002 s/d 31 Desember 2004, produk
40
shrimps prawns merupakan produk yang termasuk dalam daftar “sensitif”. Oleh
sebab itu, produk tersebut mendapatkan preferensi 3,5 persen, namun pada skema
yang lama penurunan tarif yang diperoleh lebih besar dari 3,5 persen. Berdasarkan
pasal 7 point 3 beneficiary diperbolehkan untuk menggunakan ketentuan yang
lama jika tarif pada skema GSP sebelumnya lebih tinggi. Oleh sebab itu, tarif
produk udang beku di Uni Eropa dengan GSP akan diberlakukan sesuai dengan
tarif yang lama yaitu sebesar 4,2 persen dengan tarif MFN (Most Favoured
Nations) sebesar 12 persen.
Masyarakat Uni Eropa pertama kali menerapkan skema GSP pada tahun
1971. Peraturan yang tercantum dalam GSP terus mengalami perkembangan. Pada
tahun 2002, dikeluarkan skema GSP, yaitu Council Regulation (EC) 2211/2002.
Pemberlakuan skema tersebut dimulai tanggal 1 Januari 2002 - 31 Desember
2005. Pada tahun 2005 dikeluarkan Council Regulation (EC) 980/2005 yang
dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2008. Pada tahun
2008 juga dikeluarkan Council Regulation (EC) 732/2008 yang dilaksanakan
untuk periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember 2011. Penetapan skema GSP
sejak tahun 2006-2008 telah ditetapkan berlaku sampai tahun 2015 mendatang
dengan maksud memberikan kontinuitas dan stabilitas bagi negara-negara
penerima GSP (European Commission, 2010). Selama periode 1 januari 2009
sampai 31 Desember 2011, berdasarkan Council Regulation (EC) 732/2008,
terdapat tiga skema peraturan yang ditetapkan:
1) Skema umum (general scheme), yaitu kepada negara-negara berkembang
penerima GSP dapat menikmati fasilitas GSP
2) Skema intensif khusus (GSP+) untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan pemerintahan yang bersih, GSP (+) menyediakan
keuntungan tambahan terhadap negara yang menerapkan standar internasional
terhadap kebebasan manusia (HAM) dan buruh, perlindungan lingkungan,
perlawanan terhadap obat-obatan terlarang, dan pemerintahan yang bersih.
3) Skema khusus bagi negara tertinggal (LCDs) yang juga dikenal sebagai
Everything But Arms (EBA). EBA memberikan perlakuan yang paling
menguntungkan terhadap semua dengan tujuan membebaskan bea tarif dan
bebas kuota untuk akses pasar ke Uni Eropa.
41
Penetapan tarif oleh Uni Eropa terhadap produk ekspor Indonesia
merupakan hambatan yang paling menonjol yang dihadapi industri perikanan
Indonesia. Jika dibandingkan penetapan tarif yang diberlakukan Uni Eropa
terhadap Indonesia dengan negara-negara bekas jajahan negara-negara Eropa
seperti yang tergabung dalam ACP (Africa, Carribea, Pacific Countries), tarif
yang diberlakukan terhadap Indonesia merupakan suatu jumlah yang besar.
Negara-negara yang tergabung dalam ACP dikenakan tarif rendah atau bahkan
bebas tarif seperti yang dialami negara-negara persemakmuran yang mengekspor
ke Inggris. Perlakuan istimewa tersebut tidak dialami Indonesia yang pernah
dijajah Belanda sebagai anggota Uni Eropa dalam kurun waktu sangat panjang.
Menurut Purnomo (2007b), pendekatan dan usulan untuk mendapatkan
kompensasi tarif dari Belanda karena Indonesia pernah dijajah Belanda memang
pernah dilakukan namun tidak berhasil.
Pemberlakuan tarif bea masuk oleh Uni Eropa sebagai salah satu negara
importir utama terbesar di dunia pada dasarnya telah memberatkan negara-negara
eksportir udang, khususnya Indonesia. Apabila pengurangan tarif dilakukan lebih
besar lagi dalam bentuk GSP, maka nilai ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa
dapat lebih meningkat. Painthe (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa
selama ini negara-negara impotir, khususnya negara berkembang terus berjuang
untuk mendapatkan zero tariff untuk komoditas ekspor negara tersebut. Selain itu,
hasil penelitian yang dilakukan juga menyebutkan dengan adanya penurunan tarif,
nilai ekspor komoditas udang Indonesia akan meningkat.
Meskipun demikian, Uni Eropa sebagai salah satu negara importir udang
terbesar di dunia tetap menjadi pangsa ekspor strategis untuk Indonesia karena
permintaan akan udang di pasar Eropa cenderung meningkat. Oleh karena itu,
untuk mengatasi pemberian tarif yang tergolong tinggi, Indonesia perlu
melakukan trade creation antara Indonesia dan Uni Eropa seperti yang telah
dilakukan antara Indonesia dengan Jepang dalam bentuk EPA (Economic
Partnership Agreement). Trade creation bagi Indonesia nantinya akan
memberikan produk ekspor perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa
dikenakan tarif yang berbeda dengan negara-negara di luar kerja sama antara
Indonesia dan Uni Eropa.
42
6.1.2. Penerapan Kebijakan Hambatan Nontarif di Uni Eropa
Semua kebijakan ekspor yang tidak berkaitan dengan pengenaan pajak
atau pungutan impor dan menjadi hambatan bagi pelaku eksportir dapat
dimasukkan ke dalam hambatan nontarif yang ternyata menjadi hambatan paling
dominan. Kesepakatan akan konsep Sanitary and Phytosanitary (SPS) yang
mecakup keamanan pangan (food safety attributes) dan kandungan gizi (nutrion
attributes) yang ditetapkan oleh Komisi Eropa bila tidak dipenuhi, produk udang
Indonesia akan mengalami banyak hambatan yang akhirnya berakibat penolakan
dengan alasan non tariff barrier to trade. Hambatan nontarif ini pada hakekatnya
menjadi hambatan utama dan sering melebar ke berbagai hal (Purnomo, 2007b).
Perhatian utama Uni Eropa saat ini berada pada bahan pangan yang masuk ke Uni
Eropa. Menerapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor sudah menjadi
hak importir dalam menjamin dan melindungi keselamatan konsumen. Ketentuanketentuan dari kelompok negara di Uni Eropa dapat yang diidentifikasikan
sebagai hambatan nontarif adalah sebagai berikut:
1) Kondisi kesehatan dalam produksi dan penempatan di pasar-pasar produk
perikanan.
2) Peraturan syarat hygiene minimum yang harus diterangkan pada produk
perikanan tangkap di tempat-tempat pelabuhan kapal perikanan.
3) Pengaturan maksimal kontaminasi-kontaminasi makanan.
Kebijakan terkait nontarif yang diterapkan Uni Eropa untuk produk udang
sebagian besar sama dengan peraturan yang diterapkan untuk produk perikanan
lainnya khususnya mengenai standar kesehatan, keselamatan konsumen, dan
perlindungan bagi kelestarian lingkungan. Dewasa ini, perhatian publik di negara
maju terhadap sanitary dan hygene produk pangan telah meningkat (Ahmed,
2006). Hal ini menyebabkan negara pengimpor (negara maju) melakukan
pengetatan atas aturan keamanan produk yang diimpor. Negara-negara
berkembang seperti Indonesia sering mengeluhkan terkena dampak aturan
sanitary and phytosanitary yang ketat dari negara-negara pengimpor utama.
Daftar kebijakan nontarif di Uni Eropa yang berpengaruh terhadap produk udang
dapat dilihat pada Tabel 11.
43
Tabel 11. Inventarisasi Kebijakan Nontarif Uni Eropa yang Berpengaruh
Terhadap Produk Ekspor Udang Indonesia
No
1.
Regulasi
Council Directive 91/493/EEC
2.
Council Directive No. 92/48/EEC
3.
Regulasi (EC) No. 446/2001 8
Maret 2001
Regulasi (EC) No. 178/2002 dari
Dewan dan Parlemen Eropa 28
Januari 2002
4.
5.
Regulasi (EC) No. 852/2004 29
April 2004
6.
Regulasi (EC) No. 853/2004 29
April 2004
7.
Regulasi (EC) No. 854/2004 29
April 2004
8.
Deskripsi
 Mengatur mengenai kondisi kesehatan
untuk produk dan pemasaran produk
perikanan
 Ketentuan bagi negara dunia ketiga harus
mempunyai sistem yang setara dengan
yang ada di UE agar adapat melakukan
ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa.
Menenai ketentuan batas minimum higien
untuk produk perikanan
Menetapkan taraf maksimum bagi pencemar
tertentu dalam bahan pangan.
Prinsip-prinsip umum dan persyaratan
hukum pangan, pembentukan otoritas
keamanan pangan eropa dan penetapan
prosedur yang terkait dengan keamanan
pangan
 Regulasi ini merupakan ratifikasi SPS
dari WTO dan standar keamanan pangan
internasional yang memuat Codex
Alimentarius.
 Persyaratan umum produksi primer,
persyaratan teknis, HACCP, pendaftaran/
pengakuan usaha makanan, petunjuk
nasional untuk praktik yang baik.
Aturan higienis yang spesifik untuk makanan
dari asal hewan (pengakuan dari perusahaan,
kesehatan, dan identifikasi pendanaan,
impor, informasi rantai pangan)
Aturan khusus bagi organisasi pengawasan
resmi atas produk asal hewan yang
dimaksudkan untuk konsumsi manusia.
Kriteria mikrobiologis untuk bahan pangan
Regulasi (EC) No. 2073/2005 15
November 2005
9. Commission Decision
Kondisi khusus untuk produk perikanan asal
2006/236/EC 21 Maret 2006
Indonesia dan yang ditujukan untuk
konsumsi manusia dan mengatur systemic
border control yaitu mengecek setiap
consignment/container di setiap port entry
10. Commission Decision
Mengubah keputusan dari CD 2006/236/EC
2008/660/EC 31 Juli 2008
menjadi persyaratan untuk uji produk
perikanan yang berasal dari Indonesia untuk
keberadaan logam berat dan histamin pada
produk tangkap
11. Commission Decision
Mewajibkan uji sampel terhadap paling
2010/220/EU 16 April 2010
sedikit 20 persen dari produk perikanan
budidaya di semua pelabuhan pintu masuk
ke Eropa
Sumber: KKP (2011), Commission Decision (2012), (diolah)
44
Regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa (European Commission)
pada Tabel 11 secara umum diberlakukan dua puluh hari setelah diterbitkan dalam
Official Journal (OJ). European Commision adalah lembaga eksekutif pemerintah
Uni Eropa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan Uni Eropa
kepada dewan dan parlemen Eropa, termasuk di dalamnya peraturan mengenai
pengawasan mutu dan keamaan pangan (EU, 2010)
Menurut Ababouch (2006) yang diacu dalam Lambaga (2009), peraturan
yang disyaratkan negara importir seringkali menjadi penghambat dalam
perdagangan. Negara berkembang yang umumnya merupakan eksportir utama
produk perikanan seringkali dihadapkan pada penolakan akibat kompleksitas
program sanitasi dan persyaratan mutu dari negara tujuan eskpor. Selain itu, tidak
harmonisnya standar dan sistem yang digunakan pada negara tujuan eskpor juga
menghambat perdagangan internasional. Uni Eropa memberlakukan persyaratan
mutu yang lebih ketat terhadap produk perikanan budidaya. Sesuai dengan EC
Food Law No. EC/2002/178 dan EU Regulation No. 2377/90 tentang Regulation
on Residue Control and Monitoring of Aqualucture Products, maka semua negara
eksportir produk perikanan budidaya diwajibkan untuk menyampaikan laporan
hasil monitoring residu obat-obatan dan antiobiotik kepada Directorate General
of Health and Consumer Protection (DG Sanco) secara rutin setiap tahun.
Peraturan tersebut pun terus berkembang menjadi ketentuan zero tolerance
terhadap residu antibiotik untuk setiap perikanan budidaya yang akan masuk ke
Uni Eropa.
Kunci pokok regulasi yang ditetapkan Komisi Eropa menitikberatkan pada
perlindungan konsumen tingkat tinggi terkait standar mutu dan keamanan pangan
di Uni Eropa yaitu EC No. 178/2002 tentang persyaratan mutu undang-undang
pangan secara prosedur keamanan pangan. Hal ini juga dikatakan oleh Painthe
(2008) dalam penelitiannya. Saat peraturan tersebut dikeluarkan, salah satu
kebijakan yang cukup signifikan mempengaruhi perkembangan impor pangan Uni
Eropa adalah diterapkannya Rapid Alert System for Food and Feeds (RASFF).
Pengaruh ini berdampak kepada peredaran produk negara eksportir di Uni Eropa.
RASFF merupakan jejaring kerja dalam sistem siaga cepat untuk pemberitahuan
risiko langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari
45
pangan atau pakan. Melalui RASFF yang diacu dalam Saputra (2011), produk
pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa
akan
menerima
tiga notification
yaitu
alert notification,
information
notification, dan border rejection notification. Alert notification merupakan
sebuah “pemberitahuan peringatan” atau peringatan yang dikirim melalui RASFF
ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau
ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan
sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar
negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak
memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification
untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar
Eropa atau mengalami penolakan di Eropa.
Peraturan lain pada EC/853/2004 yang juga dikeluarkan oleh Komisi
Eropa, menempatkan persyaratan kesehatan makanan untuk produk yang berasal
dari hewan, mencakup sistem prosedur HACCP. Aturan ini memberikan tanggung
jawab pada produsen pangan utama untuk keamanan pangan melalui pengecekan
sendiri dan teknik pengendalian terhadap bahaya. Peraturan ini diberikan karena
pengembangan
budidaya
produk
perikanan,
khususnya
udang,
hanya
mengutamakan peningkatan produksi dan menyampingkan aspek mutu dan
keamanan pangan, padahal menurut Putro (2008) produk udang budidaya sangat
rentan
terhadap
kontaminasi
bakteri-bakteri
patogen
maupun
residu
antibiotik/obat-obatan dan pestisida yang membahayakan kesehatan konsumen.
Oleh karena itu, ditetapkannya konsep HACCP oleh Komisi Eropa juga perlu
diterapkan dalam industri udang nasional dalam standardisasi budidaya untuk
mencegah residu obat-obatan dan kontaminasi berbagai senyawa kimia dalam
produk udang budidaya, serta mencegah terjadinya kontaminasi mikrobiologi
ketika udang dibudidayakan di kolam/tambak maupun di tempat pengolahan
menjadi produk beku untuk di ekspor.
Berdasarkan peraturan atau regulasi yang ditetapkan oleh Uni Eropa
sebagai hambatan nontarif (Tabel 11), maka Kementerian Kelautan dan Perikanan
menetapkan kewajiban dasar bagi pengolah, buyer, dan competent authority dari
negara pengekspor yang akan melakukan ekspor produk udang ataupun produk
46
perikanan lainnya ke Uni Eropa untuk memenuhi persyaratan-persyaratan
tersebut, diantaranya:
1) Pengolah (Unit pengolahan/perusahaan/eksportir) harus menerapkan dan
memantau kegiatan pengolahan berdasarkan:
a.
Article 3 sampai 6 dari EC 852/2004, secara umum kewajiban bagi
perusahaan untuk mengawasi atau memonitor keamanan pangan produk
dan proses pengolahan yang menjadi tanggung jawabnya.
b.
Menerapkan keadaan umum hygienic primary production article 4.1 dan
PART A annex I dari EC 852/2004.
c.
Menerapkan detail (detail requirements) setelah primary production
(article 4.2 dan Annex II EC 852/2004).
d.
Persyaratan Mikrobiologi pada Article 4.3 EC 852/2004 dan EC No.
2073/2005.
e.
Menerapkan prosedur prinsip-prinsip HACCP (article 5 dari EC
852/2004).
f.
Unit pengolah harus teregistrasi sesuai article 6 dari EC 852/2004.
2) Buyer/Importer (food business operators importing products) melaksanakan
pengawasan sesuai dengan persyaratan EC 853/2004, dan harus menjamin
bahwa produk-produk tersebut telah memiliki dan menerapkan sistem
penanganan pengolahan yang sehat dan produk tersebut diperiksa di border
inspection posts.
3) Pemerintah (competent authority) di negara pengekspor berkewajiban:
a.
Competent authority melakukan pengawasan (official control) yang
memenuhi kriteria yang tercantum dalam EC 882/2004
b.
Competent authority
mengawasi perusahaan yang diberi wewenang
untuk ekspor ke Uni Eropa agar tetap memenuhi European Community
Requirements
c.
Competent
authority
mempertahankan,
memperbaharui,
dan
mengkomunikasikan kepada Komisi Eropa mengenai perusahaan yang
tidak memenuhi atau tidak lagi memenuhi European Community
Requirements. Compentent authority melakukan ini sesuai dengan
Article 12 paragraf 2 EC 854/2004.
47
d.
Sertifikat-sertifikat yang dipersyaratkan harus diterbitkan sebelum
pengapalan atau meninggalkan pelabuhan.
Kewajiban lain dapat diterapkan seiring dengan perkembangan kebijakan
yang diberikan oleh Komisi Eropa dalam memberikan regulasi bagi negara-negara
eksportir.
Pada tahun 2008, Komisi Eropa menetapkan kebijakan CD 2008/660/EC
dimana keputusan dari CD 2006/236/EC tidak hanya mengatur systemic border
control yang mengecek setiap consignment/container di setiap port entry,
melainkan menjadi persyaratan untuk uji produk perikanan yang berasal dari
Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada produk perikanan
tangkap. Kebijakan yang ditetapkan Komisi Eropa mengharuskan eksportir
Indonesia melakukan pengujian terhadap setiap komoditas perikanan. Kebijakan
yang diterapkan Uni Eropa ini secara nyata juga menyebabkan volume ekspor
produk perikanan Indonesia khususnya tuna sebagai produk perikanan tangkap
mengalami penurunan sejak diberlakukannya kebijakan tersebut yaitu dari 12,610
ton pada tahun 2007 menjadi 12,132 ton pada tahun 2008. Meskipun pada tahun
berikutnya terjadi kenaikan volume menjadi 13,370 ton, namun pada tahun 2010
kembali mengalami penurunan menjadi 8,434 ton.
Regulasi yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk perikanan
Indonesia, pada dasarnya telah membawa para pelaku eksportir untuk
meningkatkan kualitasnya. Keseriusan pelaku eksportir tersebut telah didukung
oleh pemerintah Indonesia dalam pemenuhan standardisasi yang ditetapkan Uni
Eropa. Pada tanggal 15 Maret 2010 melalui CD 2010/219/EU, Komisi Eropa
mencabut CD 2006/236/EC dan CD 2008/660/EC untuk uji logam berat dan
histamin pada produk perikanan tangkap. Pencabutan ini didasari karena hasil tes
yang dilakukan Komisi Eropa terhadap produk perikanan di Indonesia tidak
melebih tingkat maksimum kandungan logam berat dan histamine. Oleh karena
itu, setiap kali pengiriman produk perikanan ke Uni Eropa tidak perlu dilakukan
tes uji logam berat dan histamin. Pada tahun 2011, pencabutan peraturan tersebut
membuat para pelaku ekspor perikanan tangkap kembali mengekspor secara
besar-besaran ke Uni Eropa, sehingga terjadi peningkatan volume ekspor untuk
produk perikanan tangkap seperti tuna, yakni dari 8,434 ton menjadi 30,134 ton.
48
Hingga saat ini, kebijakan nontarif untuk produk ekspor perikanan
Indonesia ke Uni Eropa diberatkan oleh ketentuan yang diterapkan Komisi Eropa
dalam CD 220/2010. Kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa memberikan dampak
yang berbeda untuk setiap produk perikanan, khususnya udang yang adalah
produk perikanan budidaya. Peraturan CD 220/2010 ini mewajibkan uji sampel
bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya
di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa. Kebijakan ini didasari karena
ditemukannya kandungan antibiotik pada penjual pakan ikan yang berada sekitar
tempat budidaya perikanan Indonesia. Kewajiban uji atas produk ekspor
perikanan budidaya dapat mengancam daya saing ekspor dan mengurangi
pendapatan negara dari produk udang yang biasanya diekspor ke Uni Eropa..
Berdasarkan data statistik ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, terbukti
bahwa pada tahun 2010 volume ekspor udang Indonesia mengalami penurunan
sebesar 43,51 persen. Penurunan ini terjadi selain karena produksi rendah pada
tahun tersebut, adalah akibat kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa dalam CD
220/2010. Peraturan ini mewajibkan sampel yang diperiksa diambil 20 persen dari
total volume udang yang diekspor. Oleh sebab itu, jika ada lima kontainer udang,
maka satu kontainer harus diperiksa. Satu kontainer biayanya bisa mencapai 3.500
euro dan ditanggung sendiri oleh eksportir. Akibatnya, pengusaha atau pelaku
ekspor harus menanggung beban dengan mengurangi margin keuntungan 4. Hal ini
berarti kewajiban untuk uji sampel bebas antibiotik mengharuskan para pengusaha
ekspor membayar lebih untuk setiap kontainer yang diuji, sehingga untuk
mengimbangi biaya pengujian yang ditetapkan Uni Eropa, pengusaha ekspor
Indonesia bisa saja melakukan kenaikan harga ekspor. Namun, menurut
Darmawan (2011) sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran
Produk Perikanan Indonesia (AP5I), kenaikan harga ekspor udang hampir tidak
mungkin dilakukan Indonesia karena akan sulit bersaing dengan produk udang
dan perikanan lainnya dari Thailand dan Vietnam yang juga menjadi pemasok
terbesar ekspor perikanan di Asia Tenggara. Selain itu, produk perikanan dari
kedua negara itu pun tidak dikenai kewajiban pemeriksaan residu antibiotik
seperti Indonesia. Kewajiban uji sampel bebas antibiotik menjadi alasan kuat
4
(http://www.bbrse.kkp.go.id). Ekspor Udang ke Uni Eropa Bakal Turun 11 persen. Diakses
tanggal 20 Mei 2012.
49
banyaknya pelaku eksportir yang mengganti tujuan ekspornya ke negara lain,
sehingga pada tahun 2010 terjadi penurunan volume ekspor udang ke Uni Eropa
dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan analisis deskriptif tentang penerapan kebijakan Uni Eropa
terhadap seluruh produk perikanan yang diimpor, seluruh kebijakan nontarif oleh
Uni Eropa haruslah dipenuhi oleh seluruh eksportir karena menyangkut kesehatan
dan keamanan konsumen. Meskipun kebijakan yang ditetapkan oleh Uni Eropa
sangat ketat terhadap produk perikanan, khususnya udang yang adalah produk
perikanan budidaya, namun pasar Eropa masih tetap prospektif untuk terus
dimasuki oleh negara-negara pengekspor udang di dunia seperti Indonesia.
Ketetapan adanya zero tolerance yang diangkat oleh Uni Eropa terhadap produk
udang budidaya akan antibiotik seharusnya tidaklah menjadi masalah bagi pelakupelaku eksportir jika ingin memasuki pasar Eropa. Bagi Indonesia, adanya zero
tolerance harusnya membawa seluruh stakeholder untuk mencermati secara
intensif setiap tahapan dalam budidaya udang di tingkat petambak/pembudidaya
hingga unit pengolah.
6.1.3. Penerapan Kebijakan Adminstratif di Uni Eropa
Masalah lain yang dapat menjadi hambatan bagi produk ekspor hasil
perikanan adalah masalah yang berkaitan dengan administrasi. Alasan yang paling
umum menjadi hambatan administratif adalah approval number, health
certificate, dan competent authority. Mengenai health certificate, Komisi Eropa
menetapkan bahwa setiap eksportir harus dilengkapi dengan dua health certificate
yaitu: (1) Health certificae atau sertifikat kesehatan produk perikanan eskpor
untuk tujuan konsumsi manusia yang dikeluarkan oleh Balai/Laboratorium
Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan (2) Health certificate atau
sertifikat kesehatan produk perikanan ekspor untuk hama dan penyakit ikan atau
media pembawanya yang dikeluarkan oleh Stasiun Karantina, Kementerian
Kelautan dan Perikanan yang biasanya berlokasi di lingkungan pelabuhan umum
atau bandar udara.
Eksportir/pengolah/unit pengolahan juga harus dilengkapi Sertifikat
Kelayakan Pengolahan (SKP). Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) merupakan
dokumen yang menyatakan bahwa unit pengolahan tempat produk perikanan
50
diolah telah memenuhi standar kelayakan dasar penanganan/pengolahan ikan atau
Good Manufacturing Practices (GMP), dan prosedur standar sanitasi atau
Standard Sanitation Operating Procedures (SSOP). Dalam proses mendapatkan
SKP, maka Dinas Perikanan dan Kelautan berkewajiban untuk melakukan
kegiatan penilikan awal/prainspeksi (preinspection) atau dapat diistilahkan praSKP. Hal ini merupakan pembinaan terhadap perusahaan/unit pengolahan ikan
sebelum institusi teknis yaitu Direktorat Standarisasi dan Akreditasi, Ditjen P2HP
melakukan penilikan/inspeksi SKP lebih lanjut. Sertifikat Kelayakan Pengolahan
(SKP) merupakan salah satu persyaratan bagi unit pengolahan ikan/eksportir
pengolah dalam memperoleh health certificate yang diterbitkan oleh LPPMHP.
Selain persyaratan SKP, eksportir produsen/pengolah juga harus memiliki
surat keterangan validasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points)
apabila melakukan eskpor produk perikanan ke Amerika Serikat, Uni Eropa, dan
Jepang. Khusus untuk ekspor ke Uni Eropa, eksportir harus dilengkapi dengan
approval number yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa atas usulan Badan
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan sebagai
Otoritas Kompeten (Competent Authority). Persetujuan (approval) izin ekspor
yang diberikan oleh Komisi Eropa kepada para eksportir ternyata hanya diberikan
kepada perusahaan eksportir yang sudah dianggap qualified-fulfiling the
equivalence conditions for production and plecing on the market dan bukan
diberikan kepada semua perusahaan di suatu negara. Selanjutnya, Komisi Eropa
akan memberikan informasi daftar perusahaan yang layak ekspor (list of
authorized countries) kepada publik melalui website dan dokumen publik lainnya.
Hingga tahun 2011, jumlah unit pengolah/eksportir produk perikanan Indonesia
yang telah mempunyai approval number adalah 189 unit. Produk hasil perikanan
Indonesia umumnya ditolak karena unit pengolah (eksportir) yang bersangkutan
belum mempunyai approval number yang dikeluarkan Komisi Eropa.
Tahapan Pengawasan secara administratif hasil perikanan yang masuk
(impor) ke Uni Eropa dapat dilihat sebagai berikut (KKP, 2010):
1) Competent authority negara pengirim menghubungi Komisi Eropa untuk
memohon persetujuan approval number of fisheries establishments atau
perusahaan/eksportir hasil perikanan.
51
2) Approval number yang diusulkan, jika diterima atau ditolak akan diterbitkan
dalam official journal dari European Community dan disebarkan secara
elektronik ke semua member states.
3) Melalui commission decision ditetapkan format health certificate dan list of
establishments (unit pengolahan) yang disetujui (telah mendapat approval
number).
4) Competent authority dari negara pengirim menerbitkan health certificate dan
stempel yang dikeluarkan oleh commission decision.
5) Komisi Eropa melalui Food and Veterinary Office (FVO), Directorate
General of Consumer Protection (DG Sanco) melakukan kunjungan ke
negara pengirim baik member states maupun negara ketiga untuk misi
inspeksi sistem/standar higienis apakah ekuivalen dengan peraturan Uni
Eropa.
6) Prosedur ekspor harus masuk mealalui pos pengawasan perbatasan (Border
Inspection Post/BIP).
7) Buyer/Importer di negara Uni Eropa harus memberitahu kepada BIP tentang
kedatangan Consignment dalam kurun waktu 24 jam melalui laut dan enam
jam melalui udara.
8) Official fish inspector atau official veterinary surgeon melakukan
pemeriksaan seperti diuraikan berikut:
a.
Documentary check (pengecekan dokumen) adalah memeriksa dokumendokumen terkait dengan pengiriman barang/produk, termasuk certificate
of origin dan health certificate.
b.
Identity check (identifikasi dokumen) adalah pengecekan visual untuk
melihat kecocokan dan konsistensi antara dokumen-dokumen dan
produk-produk, termasuk dokumen lain seperti certificate of origin,
approval number, dll.
c.
Physical check (Pemeriksaan fisik) adalah pemeriksaan produk yang
dilakukan
oleh
organoleptik,
fish/veterinary
pengepakan
dan
inspector
sendiri
pengemasan
(BIP)
(packaging),
seperti
suhu
(temperature), dan atau memungkinkan mengambil contoh dan menguji
ke laboratorium (sampling and laboratory testing).
52
9) Jika pemeriksaan dokumen memuaskan pihak inspektur sesuai dengan
Common Veterinary Entry Document (CVED) yang diterbitkan, maka
consignment tersebut dapat masuk ke Uni Eropa. Jika hasil pemeriksaan
menunjukkan gagal karena masalah mutu dan keamanan produk yang tidak
memenuhi syarat atau kandungan tertentu melebih batas yang diberlakukan,
maka dilakukan salah satu dari dua pilihan yaitu: dikirim kembali (re-export)
atau dihancurkan (destroyed).
Berdasarkan Council Regulation (EC) No. 1005/2008 tanggal 28
September 2009 mengenai establishing a community system to prevent, deter, and
eliminate illegal, unreported and unregulated fishing, Uni Eropa juga mewajibkan
adanya catch certification atas semua produk perikanan hasil tangkapan dari laut
yang diekspor ke kawasan tersebut sejak 1 Januari 2010. Sertifikat hasil
tangkapan ikan mencakup beberapa hal antara lain:
1) Sertifikasi hasil tangkapan merupakan persyaratan bagi produk perikanan,
termasuk produk olahannya yang masuk pasar Uni Eropa.
2) Sertifikasi diisi dan dilengkapi oleh eksportir yang telah memiliki approval
number, serta diajukan kepada competent authority, yaitu Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap untuk divalidasi.
Hal ini berarti produk perikanan yang akan diekspor merupakan hasil
tangkapan dari kegiatan yang telah memenuhi ketentuan pengolahan/konservasi
perikanan.
6.2. Analisis Kasus Penolakan Ekspor Udang di Uni Eropa
Berdasarkan data yang dilansir oleh RASFF sejak 2004-2011, produk
perikanan Indonesia menerima tiga notification oleh European-RASFF, yaitu
alert notification, information notification, dan border rejection notification. Alert
notification merupakan sebuah “pemberitahuan peringatan” atau “peringatan” di
pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification
merupakan sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau
pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan
tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan
notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum
masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Perkembangan jumlah
53
kasus produk perikanan yang menerima notification dari European-RASFF dapat
dilihat pada Gambar 6.
45
Jumlah kasus
40
Ikan
Udang
35
30
25
20
15
10
5
0
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 6. Perkembangan Jumlah Kasus Produk Ikan dan Udang yang Menerima
Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011
Sumber: DG Sanco (2012), (diolah)
Berdasarkan Gambar 6, secara menyeluruh dapat dilihat bahwa jumlah
kasus produk ikan dan udang yang menerima notification dari tahun 2004-2011
sudah mengalami penurunan. Ini menunjukkan bahwa standardisasi produk hasil
perikanan Indonesia sudah semakin mendekati standar internasional. Dari tahun
2004-2011, produk ikan menerima notification sebanyak 149 kasus yang terdiri
dari 61 persen notification information, 29 persen alert notification, dan 10 persen
border rejection notification. Berbeda dengan produk ikan, produk udang hanya
menerima notification sebanyak 34 kasus yang terdiri dari 82 persen information
notification, dan sisanya alert notification dan border rejection notification
masing-masing sembilan persen.
Banyaknya produk yang menerima notification berupa information dan
alert berarti produk ikan dan udang diketahui memiliki masalah atau dapat
membahayakan kesehatan setelah masuk ke dalam pasar di Uni Eropa, sedangkan
notification berupa border rejection berarti produk telah ditolak masuk ke pasar
Uni Eropa karena membahayakan kesehatan. Dari Gambar 6, khususnya untuk
produk udang terlihat perkembangan yang baik dimana sejak tiga tahun terakhir
produk udang Indonesia hampir tidak menerima notification dari EuropeanRASFF. Berbeda dengan produk ikan, meskipun sudah mengalami penurunan
54
penerimaan notification selama tahun 2004-2011, namun notification yang
diterima tetap tergolong membahayakan, khususnya dari tahun 2008-2011 yang
tercatat ada 11 kasus produk ikan yang menerima border rejection notification. Ini
berarti produk ikan Indonesia tidak bisa masuk ke Uni Eropa, dengan kata lain
harus dihancurkan atau dikembalikan. Produk ikan yang teridentifkasi berbahaya
dan menerima notification oleh European-RASFF disebabkan oleh beberapa
alasan yang diterima dari produk ikan tersebut. Alasan terjadinya notification
pada produk ikan asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7.
25
mercury
carbon monoxide treatment
20
histamine
Jumlah alasan
cadmium
15
poor hygienic state
unauthorised substances malachite green, chrystal
violet, and leucomalachite green
ohters
10
5
0
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 7. Perkembangan Jumlah Alasan Kasus Produk Ikan yang Menerima
Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011
Sumber: DG Sanco (2012), (diolah)
Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa notification yang diterima dari
European-RASFF adalah karena banyaknya produk ikan yang belum sesuai
dengan standardisasi Uni Eropa. Alasan terbesar terjadinya notification dari tahun
2004-2011 pada produk ikan tersebut adalah karena produk ikan Indonesia
melebihi batas kandungan logam berat seperti mercury dan cadmium. Untuk
alasan logam berat, setiap tahunnya Indonesia menerima notification karena
produk ikan terdeteksi mengandung mercury ataupun cadmium. Pada periode
tersebut, Indonesia menerima notification adanya kandungan logam berat untuk
produk ikan sebanyak 41 persen dari 169 total alasan yang diterima dari
European-RASFF, 10 persen karena alasan bahwa produk ikan Indonesia
55
mengandung zat beracun yang dapat membahayakan kesehatan seperti histamine,
dan sisanya karena alasan proses seperti pengolahan, penangkapan, pengepakan,
dll.
Jika dilihat perkembangannya dari tahun 2004-2011, alasan notification
yang diterima Indonesia sudah banyak berkurang terutama mengenai standardisasi
proses seperti unauthorised substances malachite green, chrystal violet, and
leucomalachite green, poor hygienc, dan carbon monoxide treatment, namun
untuk hal logam berat, produk ikan Indonesia masih terdeteksi adanya produk
ikan yang melebih batas maksimum. Adapun kasus notification yang diterima
karena produk ikan terdeteksi logam berat seperti mercury dan cadmium pada
tahun 2008 adalah karena adanya kebijakan CD 2008/660 yang ditetapkan Uni
Eropa yang mengharuskan eksportir Indonesia melakukan pengujian terhadap
setiap komoditas perikanan. Kasus penolakan ini dikarenakan produk ikan
Indonesia melewati batas maksimum kandungan logam berat untuk perikanan
tangkap. Meskipun sudah mengalami penurunan dari periode tahun 2004-2007,
namun kasus notification yang diterima tetap harus menjadi perhatian khusus bagi
seluruh stakeholder, terutama karena masih ditemukannya produk ikan yang
melebih batas kandungan logam berat.
Ikan dan produk perikanan lainnya secara umum diberikan regulasi atau
peraturan yang sama, tetapi setiap produk bisa menerima alasan yang berbedabeda, tergantung pada penanganan/budidaya untuk produk perikanan budidaya
dan penangkapan untuk produk perikanan tangkap. Seperti halnya udang, produk
udang sebagai produk perikanan budidaya teridentifkasi berbahaya dan menerima
notification oleh European-RASFF disebabkan paling banyak karena alasan
antibiotik. Kandungan antibiotik yang terkandung dalam produk perikanan
budidaya, khususnya udang telah menjadi perhatian khusus oleh Uni Eropa.
Berbagai alasan lain sehingga terjadinya notification pada produk udang asal
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 8.
56
7
Cadmium
Prohibited subtance nitrofuran (metabolite),
furazolidone and nitrofurazone
Prohibited subtance chloramphenicol
6
Jumlah Alasan
5
Vibrio spp.
4
Too high count of aerobic mesophiles
3
Other
2
1
0
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
2009
2010
2011
Gambar 8. Perkembangan Jumlah Alasan Pasus Produk Udang yang Menerima
Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011
Sumber: DG Sanco (2012), (diolah)
Gambar 8 menunjukkan perkembangan penurunan kasus notification yang
diterima oleh Indonesia untuk produk udang. Untuk alasan antibiotik seperti
prohibited substance chloramphenicol, nitrofuran (metabolite) furazolidone, dan
nitrofurazone, notification yang diterima menunjukan penurunan kasus. Pada
tahun 2004, notification yang diterima sangat tinggi, tetapi pada tahun selanjutnya
notification untuk alasan antibiotik semakin berkurang. Berbeda dengan produk
ikan, produk udang lebih banyak mengalami penolakan dengan alasan yaitu
menggunakan zat yang dilarang seperti chloramphenicol dan nitrofuran serta
alasan karena mengandung mikroorganisme seperti Vibrio parahaemolyticus.
Produk udang Indonesia dari Gambar 8 menunjukkan perkembangan yang baik
dalam hal pemenuhan standardisasi yang sesuai dengan negara importir. Hal ini
terbukti bahwa pada tahun 2009-2011, Indonesia tidak menerima notification
adanya produk yang membahayakan kesehatan. Adapun satu notification yang
diterima pada tahun 2010 hanya karena alasan proses yaitu poor temperature
control pada produk udang beku.
Adapun kebijakan yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk
udang sebagai produk perikanan melalui CD 2010/220, yang mewajibkan uji
sampel bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan
budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa tidak mengakibatkan terjadi
57
notification oleh European-RASFF. Data kasus notification pada Gambar 8 telah
menunjukkan bahwa kebijakan CD 2010/220 yang ditetapkan Uni Eropa terhadap
residu antibiotik ternyata tidak ditemukan. Kebijakan CD 2010/220 dapat
diajukan kepada Komisi Eropa oleh competent authority untuk segera dicabut
karena berdasarkan ketetapan yang disepakati bahwa apabila kebijakan yang
ditetapkan sudah dipenuhi dalam waktu satu tahun maka kebijakan tersebut perlu
ditinjau ulang.
Kasus notification yang terjadi untuk produk udang dan ikan Indonesia di
Uni Eropa dapat menjadi jawaban untuk melihat bahwa kebijakan yang diterapkan
khususnya nontarif terkait Sanitary and Phytosanitary berpengaruh pada kinerja
ekspor udang dan produk perikanan Indonesia lainnya, dimana produk ekspor
udang Indonesia telah memenuhi standar keamanan dan kesehatan konsumen di
pasar internasional, khususnya Uni Eropa. Selain itu, menurunnya jumlah kasus
notification untuk produk ikan dan udang yang diterima dari European-RASFF
menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan para pelaku eksportir Indonesia
sudah baik dalam memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan oleh Uni Eropa.
Berdasarkan hasil analisis penerapan kebijakan Uni Eropa dan kasus
notification yang di terima Indonesia oleh European-RASFF menunjukkan bahwa
setiap kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk setiap produk udang dan
perikanan yang masuk dari negara-negara eksportir memang haruslah dipenuhi
karena menyangkut kesehatan dan keamanan konsumen. Penurunan volume
ekspor udang dan produk perikanan lainnya ke Uni Eropa tidak hanya sematamata karena peraturan yang ditetapkan Uni Eropa melainkan juga karena faktor
produksi udang dan penanganan pada setiap produk perikanan. Sedikitnya kasus
notification dalam tiga tahun terakhir yang di terima Indonesia dari EuropeanRASFF terhadap produk udang harus dapat dipertahankan oleh seluruh
stakeholder. Mengadopsi ketentuan Uni Eropa mengenai zero tolerance terhadap
antibiotik berbahaya sangat penting sebagai standar mutlak bagi seluruh pelaku
eksportir agar dapat meningkatkan kinerja ekspornya. Tindakan yang dapat
dilakukan dalam mengadopsi hal tersebut adalah dengan mencermati secara
intensif
setiap
tahapan
dalam
budidaya
udang
baik
di
tingkat
petambak/pembudidaya hingga unit pengolah yaitu dengan melakukan farm
58
registration, farm inspection, feed quality control, farm monitoring, dan raw
materials control.
6.3. Kebijakan Pengembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia
Kebijakan pemerintah dalam pengembangan ekspor hasil perikanan
harusnya bertumpu pada kebijakan pengembangan mutu dan keamanan pangan.
Meskipun menurt Painthe (2008) perlu juga dilakukan kebijakan pengembangan
produk dan pasar yang berorientasi pada “market base development” melalui
diversifikasi produk dan pasarnya, namun dalam hal pengembangan pasar ekspor
hasil perikanan, Sub Direktorat Pengembangan Ekspor pada tahun 2010 telah
menetapkan target pencapaian pasar ekspor baru hingga tahun 2014. Target pasar
yang akan ditambah dalam ekspor hasil perikanan Indonesia diantaranya: Uni
Emirat Arab, Ceko, dan Ukraina pada tahun 2010; Slovakia, Turki, dan India pada
tahun 2011; Mesir, New Zealand, dan Islandia pada tahun 2012; Bahrain,
Venezuela, Brazil, dan Papua Nugini pada tahun 2013; Oman, Peru, Kroasia,
Afrika Selatan, dan Lithuania pada tahun 2014.
Untuk pencapaian pengembangan pasar sesuai target yang ditetapkan,
langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan ekspor hasil perikanan
di Indonesia adalah perlunya mengetahui prosedur umum ekspor barang (lampiran
1), alur prosedur ekspor hasil perikanan (lampiran 2), dan dokumen yang harus
dimiliki dalam perdagangan hasil perikanan (lampiran 3). Ketiga hal tersebut
menjadi dasar yang harus diketahui dan dimiliki oleh seluruh pelaku ekspor agar
dapat mengembangkan pasar ekspor hasil perikanan.
Menjawab tantangan peraturan negara-negara importir utama hasil
perikanan seperti Uni Eropa yang memiliki persyaratan yang cukup ketat
mengenai standar mutu dan keamanan pangan, pemerintah mempunyai tanggung
jawab dan peran penting untuk menghasilkan produk
perikanan yang sehat,
aman, dan bermutu baik. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah
melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah membangun Sistem
Perkarantinaan Ikan dan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Sistem tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir untuk
memberikan jaminan terhadap produk hasil perikanan yang dihasilkan oleh
seluruh unit usaha sejak praproduksi sampai dengan pendistribusian agar dapat
59
memenuhi persyaratan kesehatan ikan dan aman untuk dikonsumsi manusia.
Sebagai upaya pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit ikan karantina serta
penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan membentuk Badan
Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM)
yang kemudian ditunjuk sebagai otoritas kompeten dalam pengendalian.
Peraturan lainnya untuk meningkatkan mutu dan keamanan hasil
perikanan Indonesia, (BKIPM, 2012 ) yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan.
5) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2005
tentang Tindakan Karantina Ikan untuk Pengeluaran Media Pembawa Hama
dan Penyakit Ikan Karantina.
6) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2007
tentang Tindakan Karantina Untuk Pemasukan Media Pembawa Hama dan
Penyakit Ikan Karantina dari Luar Negeri dan dari Suatu Area ke Area lain di
dalam Wilayah Republik Indonesia.
7) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.26/MEN/2008
tentang Kewenangan Penerbitan, Format dan Pemeriksaan Sertifikat
Kesehatan dibidang Karantina Ikan dan Sertifikat Kesehatan dibidang Mutu
dan Keamanan Hasil Perikanan.
8) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan.
60
9) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010
tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
10) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2011
tentang Instalasi Karantina Ikan.
11) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.25/MEN/2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.53/MEN/2010
tentang Penetapan Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa
Hama dan Penyakit Ikan Karantina.
13) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.03/MEN/2010
tentang Penetapan Jenis-jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan,
Media Pembawa dan Sebarannya.
14) Peraturan Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Nomor PER. 03/BKIPM/2011
tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan.
15) Keputusan Kepala Pusat Karantina Ikan Nomor KEP.209/PKRI/VIII/2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan
Karantina (HPIK).
Selain kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam pengembangan ekspor
hasil perikanan Indonesia, berlandaskan pada kebijakan Uni Eropa dalam
pemberlakuan ketentuan zero tolerance terhadap residu antibiotik tertentu pada
udang seperti chloramphenicol, nitrofuran dan furazolidone yang dapat
mengakibatkan pada pemusnahan produk udang di port of entry Uni Eropa, maka
Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya, KKP menetapkan mekanisme pelaksanaan NRCP (National Residu
Control Plan) sebagai berikut (KKP, 2011):
1) Pelaku Usaha
Pelaku usaha bertanggung jawab untuk melakukan identifikasi dan
dokumentasi segala informasi terkait produk perikanan budidaya yang
61
dihasilkan, sekurang-kurangnya satu langkah ke depan dan satu langkah ke
belakang.
Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) segera menarik
produk yang terdeteksi mengandung residu atau terkontaminasi dari pasar,
dan bila diperlukan segera melaporkannya kepada Dinas Perikanan
setempat/otoritas kompeten; dan (2) Segera memusnahkan produk yang
terdeteksi tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan dan
segera melaporkannya kepada Dinas Perikanan setempat/otoritas kompeten.
2) Dinas Perikanan di Provinsi dan Kabupaten/Kota
Dinas perikanan di provinsi bertanggung jawab untuk (1) melakukan
monitoring pada setiap tahapan proses produksi dan distribusi produk
perikanan budidaya untuk memastikan sistem traceability berjalan sesuai
persyaratan; dan (2) emberlakukan sanksi berupa penalti pada perusahaan
atau pembudidaya yang tidak mampu memenuhi persyaratan traceability.
Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) memastikan
bahwa pelaku usaha memenuhi kewajibannya dalam penerapan traceability;
(2) melakukan tindakan yang memadai dalam menjamin pelaksanaan sistem
jaminan mutu dan keamanan pangan; dan (3) menelusuri risiko sepanjang
rantai produksi; dan (4) menginformasikan kepada otoritas kompeten bila
terjadi ketidaksesuaian.
3) Kementerian Kelautan dan Perikanan/Otoritas Kompeten
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertanggung jawab dalam
hal: (1) menerbitkan peraturan yang diperlukan terkait traceability; dan (2)
melakukan inspeksi secara berkala untuk memastikan pelaku usaha
memenuhi standar keamanan pangan termasuk penerapan traceabality.
Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) memberikan
peringatan
dini
kepada
seluruh
provinsi
tentang
adanya
risiko
ketidaksesuaian; (2) meminta informasi lengkap dari pelaku usaha untuk
dapat dilakukan traceability dan penanganan secara terkoordinasi baik di
dalam maupun antara kementerian terkait; dan (3) bilamana perlu
mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor dan impor.
62
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1) Kebijakan perdagangan internasional oleh Uni Eropa yang menghambat
kinerja ekspor udang Indonesia yaitu: kebijakan tarif berupa tarif normal
MFN (Most Favoured Nations) yang tergolong tinggi dimana 12 persen
untuk produk udang beku dan hidup, dan 20 persen untuk produk udang
olahan, kebijakan nontarif berupa CD 2010/220 dan kebijakan administratif
berupa approval number dan catch certification untuk produk perikanan
tangkap.
2) Kasus notification yang terdiri dari alert notification, information
notification, dan border rejection notification terhadap produk udang
Indonesia tercatat oleh European-RASFF sebanyak 34 kasus dengan 37
alasan notification. Pada tahun 2004-2008, notification yang diterima
terhadap produk udang Indonesia yaitu adanya kandungan antibiotik yang
membahayakan kesehatan seperti chloramphenicol dan nitrofuran. Penurunan
kasus penolakan terjadi pada tahun 2009-2011 dimana Indonesia tidak
menerima notification lagi adanya produk yang membahayakan kesehatan
konsumen seperti tahun sebelumnya.
3) Dalam merespon kebijakan dan peraturan yang ditetapkan Uni Eropa
terhadap produk udang, Indonesia telah melakukan negosiasi penurunan tarif
terhadap produk perikanan, namun tetap tidak berhasil. Kebijakan nontarif
khususnya terkait sanitary and phytosanitary telah direspon oleh Indonesia
dengan menetapkan BKIPM (Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan) sebagai competent authority untuk menangani
pembinaan secara khusus kepada pembudidaya udang melalui penetapan
mekanisme pelaksanaan NRCP (National Residu Control Plan). Mekanisme
ini dilakukan dalam rangka memenuhi pemberlakuan ketentuan zero
tolerance oleh Uni Eropa.
7.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini yaitu:
1) Dalam mengembangkan kinerja perdagangan dalam ekspor perikanan dan
dapat bersaing dengan eksportir lainnya, usaha perikanan perlu meningkatkan
efisiensi produksi sehingga harga jual produk bisa lebih rendah dari
kompetitor, peningkatan kualitas produk perikanan yang bermutu tinggi
sehingga kebijakan yang diterapkan Uni Eropa tidak lagi menjadi hambatan,
dan meningkatkan akses pasar yang lebih luas.
2) Meskipun sudah pernah dilakukan namun tidak berhasil, pemerintah harus
terus melakukan negosiasi untuk penurunan tarif dari Uni Eropa yang
diberlakukan bagi Indonesia.
3) Indonesia perlu melakukan trade creation antara Indonesia dengan Uni Eropa
yang nantinya akan memberikan produk ekspor perikanan Indonesia yang
masuk ke Uni Eropa dikenakan tarif yang berbeda dengan negara-negara di
luar kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa.
4) Adanya ketetapan zero tolerance dari Uni Eropa perlu dicermati dan diadopsi
sebagai standar mutlak bagi pelaku eksportir udang di Indonesia dengan
penanganan intensif setiap tahapan dalam budidaya udang baik di tingkat
petambak/pembudidaya hingga unit pengolah yaitu dengan melakukan farm
registration, farm inspection, feed quality control, farm monitoring, dan raw
materials control.
5) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan studi kasus di perusahaan
ekspor komoditas perikanan untuk mengkaji penerapan atau pun proses
pengolahan yang dilakukan perusahaan terhadap kesusaian dengan peryaratan
yang diterapkan oleh pemerintah.
6) Penelitian untuk melihat potensi pasar selain pasar utama (Amerika Serikat,
Uni Eropa, dan Jepang) juga perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing
produk perikanan Indonesia di Internasional.
64
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed M. 2006. Market Acces and Trade Liberlalisation. International Centre
for Trade and Sustainable Develompment (ITCD). Geneva: ITCD.
Aisya
LK, Dewita SY, Koeshendrajana S. 2006. Pola Perdagangan
Internasional Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial
Eknomi Kelautan dan Perikanan 1 (Juni):49 – 65.
Anwar N. 2009. Analisis Respon Produksi, Permintaan Domestik dan
Penawaran Ekspor Udang Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
[BKIPM] Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan. 2011. Kasus Penolakan Produk Perikanan Indonesia di Negara
Mitra. Jakarta: Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan.
[BKIPM] Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan. 2012. Petunjuk Teknis Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Tentang Organisasi dan Tatakerja UPT. Jakarta: Badan
Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Kaemanan Hasil Perikanan.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Indonesia
Tahun 2001-2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Pendapatan Domestik Bruto Menurut
Lapangan Usaha Tahun 2006-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Share Expor Perikanan Indonesia Tahun 2010
Per Kelompok Komoditas. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bungin B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Darmawan T. 2011. Ekspor Udang ke Uni Eropa Bakal Turun 11 Persen.
http://www.bbrse.kkp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i
d=160&Itemid=54. [20 Mei 2012].
[DG Sanco] Directorates General of Health and Consumers. 2012. Database of
European-RASFF
Notifications.
https://webgate.ec.europa.eu/rasffwindow/portal. [05 Juli 2012]
[DG Taxud] Directorates-General of Taxation and Customs Union. 2012.
Database of European Commission Online Customs Tariff.
http://europa.eu.int/comm/taxation_customs/dds/en/home.htm. [23 April
2012].
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Ekonomi Udang Indonesia:
Model, Analisis, dan Simulasi Kebijakan. Jakarta: Badan Riset Kelautan
dan Perikanan.
[EC]
European Commission. 2010. Summaries of Contributions to the Public
Consultation. The revision and updating of the European Union’s Scheme
of Generalised System of Preferences (the GSP scheme). Bruxelles:
European Commission.
[EU] European Union. 2010. The Commission Union. http://europa.eu/abouteu/countries/index_en.htm. [23 April 2012].
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. Yearbook: Fishery Statistics
Commodities Vol. 75, 2004.
Hady H. 2004. Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Hartono TT, Koeshendrajana S, Aisya LK. 2005. Analisis Hambatan Perdagangan
Internasional Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia 11:1-14.
Irwan M. 1997. Perdagangan Udang Indonesia di Pasar Domestik dan
Internasional. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Infofish. 1995 – 2001. Infofish Market Digest/Infofish Trade News. Infofish Fact
Sheet ITN 4/1995; ITN 14/1997; ITN 17/1999; ITN 19/2001. FAO –
Kuala Lumpur, Malaysia.
[Japan Customs] Ministry of Finance. 2012. Japan's Tariff Schedule as of January
2011. http://www.customs.go.jp/index_e.htm. [12 Juni 2012].
Julianingsih S. 2003. Inventarsasi Kebijakan Nasional dan Internasional
Perikanan Tangkap untuk Penangkapan Tuna. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
[Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2011. Statistik Ekspor Perikanan Dunia
Tahun 2007-2010. Jakarta: Kementerian Perdagangan.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Alur Prosedur Ekspor Hasil
Perikanan. Jakarta: Direktorat Pemasaran Luar Negeri.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Kontribusi Ekspor Udang
Indonesia Menurut Pasar Utama Tahun 2005-2011. Jakarta: Direktorat
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Hasil
Perikanan Tahun 2005-2011. Jakarta: Direktorat Pemasaran Luar Negeri.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Udang
Indonesia ke Uni Eropa tahun 2000-2011. Jakarta: Direktorat Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Perikanan.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Mekanisme Pelaksanaan
National Recidu Control Plan Jakarta: Direktorat Perikanan Budidaya.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Target Ekspor Hasil
Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama Tahun 2012-2014. Jakarta:
Direktorat Pemasaran Luar Negeri.
66
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Pedoman Ekspor Perikanan
ke Negara Mitra. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Ekspor Perikanan
Pasar Produktif. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Perikanan.
Koeshendrajana S, Aisya LK. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan 1 (Desember):153-163.
Koo WW, Kennedy PL. 2005. International Trade and Agriculture. United
Kingdom: Blackwell Publishing.
Lambaga A. 2009. Akselerasi Ekspor Produk Perikanan Indonesia Melalui
Penerapan Standar. Di Dalam Prosiding Produk Perikanan Indonesia
(PPI) Standardisasi; Makasar, 3 Juni 2009. hlm 1-11.
Murty KH. 1991. Perdagangan Udang Internasional. Cetakan I. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Nazaruddin. 1993. Seri Komoditas ekspor Pertanian: Perikanan dan Peternakan.
Cetakan I. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Painthe RE. 2008. Analisis Pengaruh Hambatan Tarif dan Nontarif di Pasar Uni
Eropa Terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia. [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Purnomo A. 2007. Pasar Uni Eropa: Ikut atau Semaput. Dalam Craby & Starky,
Buletin Pengolahan dan Pemasaran Perikanan. Edisi februari 2007.
Jakarta: Ditjen P2HP – DKP.
Purnomo A. 2007. Permasalahan Makro di Sektor Perikanan dan Alternatif
Kebijakannya. Di dalam Manadiyanto, Nasution Z, editor. Potret dan
Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang, dan Rumput Laut
Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hlm 18-19.
Putro S. 2001. Platform Riset Pemasaran. Disampaikan dalam Forum Riset Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan; Jakarta, 2 Oktober 2001.
Putro S. 2007. Bisnis Udang dalam Era Globalisasi. Disampaikan dalam Forum
Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan:
Jakarta, Juni 2007.
Putro S. 2008. Peran Mutu dalam Menunjang Ekspor Udang Nasional. Squalen
vol. 3 no. 1. Jakarta, Juni 2008.
Rakhmawan H. 2009. Analisis Daya Saing Komoditas Udang Indonesia di Pasar
Internasional. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
67
Rastikarany H. 2008. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Nontarif Uni Eropa
Terhadap Ekspor Tuna Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Retnowati N. 1990. Analisis Ekonomi Udang Indonesia di Pasar Eropa. [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga.
Saputra MA. 2011. Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia
oleh Amerika Serikat dan Eropa Selama Tahun 2002-2010. [skripsi].
Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Setiyorini A. 2010. Analisis Permintaan Ekspor Udang Indonesia Di Pasar Dunia
(Studi Kasus: Pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa). [skripsi]. Bogor:
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Suryawati SH, Purnomo AH. 2007. Penawaran Komoditas Perikanan Indonesia:
Trend Produksi, Sentra Produksi, dan Teknologi Pengolahannya. Di dalam
Manadiyanto, Nasution Z, editor. Potret dan Strategi Pengembangan
Perikanan Tuna, Udang, dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan
Riset Kelautan dan Perikanan. Hlm 39-66.
Todaro P, Stephen CS. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ke-8.
Jakarta: Erlangga.
[USITC] United States International Trade Commission. 2012. Harmonized Tariff
Schedule
of
the
United
States
Annotated.
http://www.usitc.gov/tata/hts/archive/index.htm. [12 Juni 2012].
Yusuf R, Tajerin. 2007. Strategi Pemasaran Komoditas Perikanan Indonesia. Di
Dalam Manadiyanto, Nasution Z, editor. Potret dan Strategi
Pengembangan Perikanan Tuna, Udang, dan Rumput Laut Indonesia.
Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hlm 137-138.
68
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Ekspor Barang Secara Umum
Berdasarkan sumber KKP (2010), prosedur ekspor barang secara umum dapat
diuraikan sebagai berikut:
1) Eksportir dan importir mengadakan korespondensi/negoisasi. Apabila terjadi
kesepakatan dibuat kontrak dagang (sales contract).
2) Importir mengajukan permohonan pembukaan L/C kepada opening bank di
luar negeri.
3) Opening
bank
meneruskan
L/C
kepada
eksportir
melalui
correspondent/receiving bank di Indonesia.
4) Correspondent/receiving bank meneruskan/memberitahukan L/C kepada
eksportir.
5) Eksportir melakukan produksi dan penyiapan barang ekspor.
6) Eksportir menghubungi maskapai pelayaran/penerbangan untuk pelaksanaan
pengiriman barang.
7) Apabila barang sudah siap ekspor, dan ada kepastian jadwal pengapalan,
eksportir mendaftarkan pemberitahuan ekspor barang (PEB)/ di instansi bea
dan cukai di pelabuhan muat. Pihak bea dan cukai akan memfiat muat PEB
untuk pemuatan ke atas kapal.
8) Kegiatan pemuatan barang ke kapal. Apabila importir mewajibkan barang
ekspor harus disertai SKA, maka eksportir mengrus dokumen Surat
Keterangan Asal atau SKA (Certificate of Origin) pada isntansi penerbit
SKA.
9) Eksportir melakukan negoisasi L/C kepada correspondent/receiving bank,
dengan membawa B/L negotiable, PEB yang difiat muat bea dan cukai serta
dokumen-dokumen lain yang disyaratkan dalam L/C.
10) Correspondent/receiving bank mengirim dokumen-dokumen tersebut pada
butir 8 dan melakukan penagihan L/C kepada opening bank di luar negeri.
11) Opening bank menyerahkan dokumen tersebut pada butir delapan kepada
importir untuk keperluan pengurusan pengeluaran barang dari pelabuhan serta
penyelesaian kewajiban/tagihan oleh importir.
12) Importir melaksanakan pengeluaran barang dari pelabuhan dalam negeri.
70
Lampiran 2. Alur Prosedur Ekspor Hasil Perikanan
Kementerian Kelautan dan
Perikanan:
 IUP
 SIUP
 Kementerian Kehutanan/KKP
CITES
 Kementerian Perdagangan/Dinas Perdagangan
Certificate of Origin
 Kementerian Keuangan via Ditjen Bea & Cukai
Pemberitahuan Ekspor Barang
Verifikasi/Validasi/Kotrol
unreported data ekspor
Perikanan
Tangkap/Budidaya
Ijin Usaha
(Dinas KP
Prov/Kabupaten/Kota
Pengembangan
Traceability
 Pengendalian di rantai
supplai bahan baku:
register supplier bahan
baku
Eksportir:
 Trader/Forwarder
 Produsen/
Establishments
EKSPOR
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP):
 Sertifikat Kelayakan Pengolahan – (PRG/GMP) – P2HP
 Sertifikasi HACCP-based Integrated Quality Management
Program – BKIPM
 Approval Number for EU-BKIPM
 List of Establishment/exporter - Korea, China, Rusia, Kanda.
 Catch Certification (EU) since 1 January 2010 DJPT
 CDS untuk SBT (DJPT)
LPPMHP, Diskanla Provinsi/Kabupaten
 Health Certifiate for sanitary measure of fishery product
 DS 2031 (for USA)
Stasiun Karantina Ikan (Pusat Karantina Ikan – BKIPM)
 Health Certificate for phytosanitary measures of live
fish/seed
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP 2012.
71
Lampiran 3. Dokumen dalam Perdagangan Internasional Hasil Perikanan
Menurut Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP (2010), jenis dokumen
sebagai persyaratan ekspor dan lembaga yang menerbitkan dokumen dapat dilihat
sebagai berikut:
1) Produsen

Kontrak Penjualan

Manufacturer Certificate

Instruktur Manual

Brosur
2) Eksportir

Brosur

Offersheet

Sale’s Contract

Invoice

Consular Invoice

Packing List

Weight Note – Measuement List

Etter of Indemnity

Letter of Subrogation

Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)

Pemberitahuan Ekspor barang Tertentu
3) Bank

Akad Kredit

Letter of Credit

Surat Setoran Pajak (SPP)

Surat Setoran Bea Cukai (SSBC)

Nota Perhitungan Pembayaran Wesel Ekspor
4) Balai/Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan

Health certificate atau sertifikat kesehatan produk perikanan eskpor
untuk tujuan konsumsi manusia
5) Stasiun Karantina
72

Health certificate atau sertifikat kesehatan produk perikanan ekspor
untuk hama dan penyakit ikan atau media pembawanya
6) Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan

Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)
7) Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.

Surat Keterangan Audit Verifikasi penerapan HACCP

Approval number khusus untuk ekspor ke Uni Eropa
8) Usaha Jasa Transportasi (Freight Forwarder)

Packing List

Measurement List

Weight Note
9) Bea dan Cukai

Fiat (izin) muat barang
10) Independent Surveyor

Certificate of Quality

Certificate of Weight

Chemical Analysis

Survey Report

Inspection Certifcate

Test Certificate
11) Perusahaan Asuransi

Cover Note

Insurace Policy
12) BPEN, CBI, dan SIPPO

General Information

Trade Promotion and Exibithion

Trade Mission

Trade Fairs

Trade Consultation
13) Perusahaan Pelayaran (Shipping Company)

Mate’s Receipt (resi mualim)
73

Bill of lading

Exept Bewijs (EB)

Cllaims Constatering Beweijs (CCB)
14) Angkutan Udara

Airways Bill (AWB)
15) Dinas Perdagangan Provinsi

Kuota produk perikanan

Surat Keterangan Negara Asal (SKA) atau Certificate of Origin)

Angka Pengenal Ekspor (APE)

Angka Pengenal Impor umum (API-U)

Angka Pengenal Impor – Terdaftar (Approved Traders)
16) Kantor Inspeksi Pajak

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
17) Kedutaan Negara Asing

Consular Invoice

Customs Invoice
74
Download