PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA SKRIPSI SAMUEL CHRISTIAN NABABAN H34080123 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 RINGKASAN SAMUEL CHRISTIAN NABABAN. Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANDRIYONO KILAT ADHI). Udang sebagai salah satu komoditas utama ekspor perikanan Indonesia telah memberikan kontribusi paling besar dibandingkan dengan hasil sumberdaya laut lainnya. Meskipun jumlah eskpor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia. Dalam perdagangan yang telah dilakukan, banyak negara-negara importir memberikan batasan dan aturan yang pada dasarnya untuk melindungi konsumen dari setiap komoditas yang akan diimpor. Uni Eropa sebagai salah satu impotir terbesar dunia akan produk udang memiliki pola perdagangan yang jauh lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang menghambat kinerja ekspor udang Indonesia, (2) menganalisis kasus notification oleh European-RASFF terhadap produk ekspor udang Indonesia atas kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa, dan (3) mendeskripsikan kebijakan pemerintah dalam penanganan kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk meningkatkan kinerja ekspor udang Indonesia. Kajian penelitian ini dilakukan menggunakan data sekunder dalam skala nasional dan internasional dengan menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif. Kajian terhadap ekspor udang Indonesia dilakukan dengan memperbandingkan kontribusi ekspor udang Indonesia ketiga negara tujuan utama ekspor. Tahun 2005-2011 menunjukkan perbedaan kontribusi ekspor udang Indonesia di ketiga pasar utama, yaitu: Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pada periode tersebut ekspor udang Indonesia di Amerika Serikat memberikan trend peningkatan yang baik, berbeda dengan Jepang dan Uni Eropa yang perlahan mengalami penurunan. Hasil kajian dari tahun 2006 menggambarkan kinerja ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa mengalami penurunan yaitu dari 31,016 ton pada tahun 2006 menjadi 13,383 ton pada tahun 2010. Indonesia sebagai salah satu eksportir utama udang ke Uni Eropa diberikan kebijakan-kebijakan khusus terkait Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT) yang penerapannya dapat dikelompokkan menjadi tarif, nontarif, dan administratif. Berdasarkan analisis deskriptif, tarif yang ditetapkan Uni Eropa bagi produk udang Indonesia tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara tujuan ekspor lainnya yang pada umumnya menetapkan tarif free. Penerapan tarif yang diberikan Uni Eropa tidaklah adil bagi Indonesia dan sangat diskriminatif. Indonesia perlu melakukan trade creation antara Indonesia dengan Uni Eropa yang nantinya akan memberikan produk ekspor perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa dikenakan tarif yang berbeda dengan negara-negara di luar kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa. Kebijakan nontarif dan administratif yang memberatkan Indonesia untuk meningkatkan nilai ekspor produk perikanannya ke Uni Eropa adalah CD 2010/220 dan catch certification untuk perikanan tangkap. Adanya ketetapan zero tolerance dari Uni Eropa perlu dicermati dan diadopsi sebagai standar mutlak bagi ii pelaku eksportir udang di Indonesia dengan penanganan intensif setiap tahapan dalam budidaya udang baik di tingkat petambak/pembudidaya hingga unit pengolah yaitu dengan melakukan farm registration, farm inspection, feed quality control, farm monitoring, dan raw materials control. Melalui data kasus notification selama tahun 2004-2011, tercatat bahwa Indonesia mengalami kasus notification dari European-RASFF sebanyak 149 kasus dengan 169 alasan penolakan untuk produk ikan dan 34 kasus dengan 37 alasan penolakan untuk produk udang. Notification yang diterima oleh Indonesia adalah karena melebihi batas kandungan maksimum logam berat dan histamin untuk produk ikan dan mengandung antibiotik untuk produk udang. Perkembangan kasus penolakan produk perikanan khususnya udang yang dialami Indonesia sudah mengalami penurunan setiap tahunnya. Produk udang dari tahun 2009-2011 sudah tidak terdeteksi lagi adanya kandungan antibotik Menurunnya kasus penolakan produk perikanan di Uni Eropa dalam lima tahun terakhir telah menunjukkan kinerja yang baik bagi pelaku eksportir dalam memenuhi persyaratan yang diterapkan oleh Komisi Eropa. Hal ini juga tidak terlepas dari peran pemerintah yang juga menerapkan kebijakan dan peraturan dalam merespon setiap regulasi ataupun peraturan yang ditetapkan Uni Eropa. Penetapan peraturan tambahan dalam peningkatan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan terutama mengenai Organisasi dan Tata Kerja Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan diharapkan dapat melakukan pembinaan yang baik terhadap seluruh stakeholder melaui BKIPM sebagai Competent Authority. Selain itu, penetapan mekanisme pelaksanaan NRCP (National Residu Control Plan) yang dikeluarkan oleh Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan dalam rangka memenuhi pemberlakuan ketentuan zero tolerance telah menunjukkan progres yang baik. Hal ini terbukti tidak ditemukan lagi adanya kandungan antibiotik terlarang seperti chloramphenicol dan nitrofuran oleh European-RASFF terhadap komoditas udang asal Indonesia. Kondisi ini diharapkan dapat dipertahankan, sehingga pada tahun selanjutnya volume ekspor udang Indonesia dapat memenuhi target yang sudah ditetapkan. iii PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA SAMUEL CHRISTIAN NABABAN H34080123 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 iv Judul Skripsi : Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia Nama : Samuel Christian Nababan NIM : H34080123 Menyetujui, Pembimbing Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi NIP. 19600611 198403 1002 Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1002 Tanggal Lulus: v PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juli 2012 Samuel Christian Nababan H34080123 vi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 29 Oktober 1990. Penulis anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sebulon Nababan dan Ibunda Ria Nellyta Hutajulu. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Antonious VI Medan pada tahun 2002 dan pendidikan menengah pertama pada tahun 2005 di SLTP Santa Maria Medan. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam Komisi Pelayanan Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (KPS UKM PMK IPB) dan terlibat melayani di SMPN 11 Bogor dan Persekutuan Siswa Kristen Bogor (PSKB). Penulis juga pernah diberi tanggung jawab menjadi pengurus bidang pelayanan KPS tahun 2010-2011 dan di bidang pelayanan BPH UKM PMK IPB tahun 2011. Penulis menjadi Asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan mahasiswa TPB IPB pada tahun ajaran 2009/2010 dan juga menjadi Guru Pendidikan Agama Kristen di SMA Negeri 8 Bogor tahun ajaran 2010/2011 dibawah koordinasi Bimas Kristen Kementerian Agama Kota Bogor. Tahun 2009-2011 penulis pernah terlibat aktif dalam Paduan Suara Mahasiswa IPB Agriaswara dan Psalterio Singers GKI Pengadilan Bogor dalam mengikuti berbagai konser serta kompetisi. Penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan, diantaranya Panita Kebaktian Awal Tahun Ajaran tahun 2009, Retreat Angkatan Mahasiswa Baru Tahun 2009/2010, Kamp Pembimbing Siswa KPS PMK IPB Tahun 2010, Kamp Siswa Kristen Bogor Tahun 2011, dan Panitia Lustrum VI KPS PMK IPB Tahun 2012. vii KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, penyertaan, dan kasih setia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat mengakhiri masa perkuliahan dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia”. Skripsi ini ditulis selain untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana Departemen Agribisnis pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, juga untuk meningkatkan kemampuan penulis dalam menganalisis kinerja ekspor perikanan Indonesia khususnya komoditas udang dalam menghadapi kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa. Melalui pembelajaran selama menyelesaikan skirpsi ini, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pelaku eksportir, masyarakat, pemerintah, dan para peneliti, khususnya yang berada di perguruan tinggi untuk terus berjuang menghasilkan penelitian dan analisis dalam pembangunan bangsa melalui pengelolaan sumberdaya yang baik dan berkelanjutan. Bogor, Juli 2012 Samuel Christian Nababan \ viii UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi dan masa perkuliahan ini juga tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pihak telah membantu ataupun mengisi kehidupan penulis selama berada di kampus IPB. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, motivasi, arahan, kesabaran, dan teladan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Ir. Popong Nurhayati, M.M. yang telah menjadi pembimbing akademik dan seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis yang telah memberikan ilmu selama penulis mengikuti perkuliahan. 3. Ir. Suharno, M.Adev. selaku dosen penguji utama atas kesediannya menguji penelitian penulis serta memberikan arahan, pencerahan, dan saran untuk membangun penulis. 4. Dra. Yusalina, M.Si. selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dan saran bagi penelitian penulis. 5. Keluarga Terkasih, Bapak Sebulon Nababan, Mama Ria Hutajulu, Abang Imanuel Caesar F. Nababan, dan Adik Sylvia R.A. Nababan atas damai dan sukacita yang telah dibangun dalam keluarga. Segala doa, kebersamaan, semangat, dan kasih sayang sangat berarti bagi penulis dalam menjalani perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini. 6. Ibu Riama Sianipar yang telah menghantarkan penulis bertemu dengan staf di Direktorat Pemasaran Luar Negeri, P2HP Kementerian Kelautan dan Perikanan. 7. Staf Direktorat P2HP, KKP: Bapak Gosen Sitanggang, Bapak Jaya Wijaya, Bapak Helwijaya Marpaung, Bapak Tri Arga Wikandono, dan Bapak Yustinus Edy Pramono atas kesediaannya untuk diwawancari serta berdiskusi langsung terkait penelitian penulis. 8. Meiada Prabawani, seseorang yang turut hadir dalam doa dan mendoakan penulis. Terima kasih untuk persahabatan, sharing hidup, kasih sayang, dukungan, dan pengertiannya dalam memahami pikiran, perilaku, dan prinsip-prinsip penulis. ix 9. Seluruh teman seperjuangan di AGB angkatan 45 yang pernah menjadi teman satu kelompok mengerjakan tugas, diskusi, dan aktivitas lainnya. Khususnya kepada Liber, Yulius, Andreas, Greff, Sherly, Vonika, Eva, dan Pitta atas kebersamaan yang telah dibangun selama perkuliahan. 10. Teman-teman satu bimbingan skripsi: Andi Facino, Dinda Puti, dan Marosimy Millaty melalui kerja keras, perjuangan, dan semangat yang sangat berarti. 11. Rekan kerja Gladikarya Desa Cibolangkaler, Kab. Sukabumi: Teresa, Tami, Andika, dan Tia Anis atas kerjasama selama berada di desa melalui diskusi, debat, kebersamaan, dan perselisihan. Semuanya telah membangun penulis dalam melihat kehidupan di masyarakat. 12. Teman-teman KTB Nehemia: Bang Jose, Steward, dan Tunggul atas teladan, PA bersama, sukacita, gaya hidup, dan segenap doa yang sangat berarti. Adik-adik Kelompok Kecil Onesiforus: Kadek, Bina, dan Pahlevi yang juga terus berjuang bersama dalam sekolah pemuridan. Adik-adik KPD Faithful di KPS: Flora, Ramadanita, dan Herianto atas kebersamaan bertumbuh mengenal pelayanan KPS. 13. Rekan sekerja di BPH PMK: Steward, Citra, Lia, dan Vonika atas sharing hidup, kerendahan hati, kebersamaan, pertolongan, doa, dan perjuangan dalam menjalankan amanah. 14. Seluruh keluarga besar Komisi Pelayanan Siswa PMK IPB. Tim Eleveners: Arni Novriana Sijabat, Christian S, Indah Alsita, Tommy, Sandy, dan Putri yang berjuang bersama menjangkau siswa-siswi di SMPN11. Tim PSKB, khususnya: Anggresia dan Novrika yang juga telah menjadi rekan sekerja sejak asistensi. AKPS 45 lainnya yang telah menjadi rekan penulis dalam banyak kegiatan. 15. Teman-teman kontrakan Bapa House: Handrio, Tunggul, Hisar, Ranto, Agung, Rodex, Joen, dan Alex atas kebersamaan yang telah dibangun. Bogor, Juli 2012 Samuel Christian Nababan x DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xiv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xv I PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................... 1 1 6 8 9 9 II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2.1. Komoditas Udang di Pasaran Internasional ............................. 2.2. Uni Eropa ................................................................................. 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu ...................................................... 2.3.1. Penelitian Mengenai Komoditas Udang ....................... 2.3.2. Penelitian Mengenai Kebijakan Perdagangan............... 2.3.3. Keterkaitan dengan Peneltian Terdahulu ...................... 10 10 12 14 14 15 16 III KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................ 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 3.1.1. Teori Perdagangan Internasional................................... 3.1.2. Kebijakan Perdagangan ................................................. 3.1.3. Analisis Kebijakan ........................................................ 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ 18 18 18 20 23 23 IV METODE PENELITIAN............................................................. 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 4.2. Desain Penelitian ..................................................................... 4.3. Data dan Instrumentasi ............................................................ 4.4. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................... 4.5.1. Metode Pengolahan Data .............................................. 4.5.2. Analisis Data Kualitatif ................................................. 26 26 26 26 27 28 28 28 V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA .......... 5.1. Perdagangan Internasional Hasil Perikanan ............................ 5.2. Perkembangan Ekspor Produk Perikanan Indonesia ............... 5.3. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ................................. 5.3.1. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional ........................................................ 5.3.2. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa 30 30 32 34 34 36 xi VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA .................................................................. 6.1. Kebijakan Perdagangan Internasional ..................................... 6.1.1. Penerapan Kebijakan Hambatan Tarif di Uni Eropa..... 6.1.2. Penerapan Kebijakan Hambatan Nontarif di Uni Eropa ...................................................................... 6.1.3. Penerapan Kebijakan Adminstratif di Uni Eropa ......... 6.2. Analisis Kasus Penolakan Ekspor Udang di Uni Eropa .......... 6.3. Kebijakan Pengembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia 43 50 53 59 VII KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 7.1. Kesimpulan .............................................................................. 7.2. Saran ........................................................................................ 63 63 64 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 65 LAMPIRAN ......................................................................................... 69 38 38 39 xii DAFTAR TABEL Nomor Halaman Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan UsahaTahun 2006-2010 .............. 1 Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Menurut Komoditas Utama Tahun 2007-2011 ............................................................... 2 Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama Tahun 2012-2014 ............................................................................ 4 Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2000-2008 ......................................................... 5 Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Terhadap Kebutuhan Impor Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008 ......................................................................... 6 6. Negara-Negara Anggota Uni Eropa ............................................... 13 7. Perincian Sumber Data Penelitian .................................................. 27 8. Nilai Ekpor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010 ............................ 30 9. Nilai Impor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010 ............................ 31 10. Tarif Bea Masuk Komoditas Udang di Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang Tahun 2011 ...................................... 40 11. Inventarisasi Kebijakan Nontarif Uni Eropa yang Berpengaruh Terhadap Produk Ekspor Udang Indonesia .............. 44 1. 2. 3. 4. 5. xiii DAFTAR GAMBAR Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Halaman Alur Kerangka Pemikiran Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia ............................................................................ 25 Grafik Perkembangan Ekspor Perikanan Indonesia Tahun 2001-2011 ............................................................................ 32 Share Ekspor Perikanan Indonesia Tahun 2010 per Kelompok Komoditas ............................................................... 34 Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Utama Tahun 2005-2011 ............................................................................ 35 Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Tahun 2000-2011 ............................................................................ 36 Perkembangan Jumlah Kasus Produk Ikan dan Udang yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011 ............................................................................ 54 Perkembangan Jumlah Alasan Kasus Produk Ikan yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011 ............................................................................ 55 Perkembangan Jumlah Alasan Kasus Produk Udang yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011 ............................................................................ 57 xiv DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Prosedur Ekspor Barang Secara Umum ....................................... 70 2. Alur Prosedur Ekspor Hasil Perikanan ........................................ 71 3. Dokumen dalam Perdagangan Internasional Hasil Perikanan ..... 72 xv I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang cukup besar di bidang perikanan, terutama karena memiliki luas perairan mencapai 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia1. Berdasarkan luas perairan yang meliputi 2/3 bagian dari total luas wilayahnya, Indonesia memiliki potensi hasil perikanan yang melimpah baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang dapat merajai bisnis perikanan dunia. Adanya keunggulan tersebut membuat Indonesia memiliki peluang yang besar untuk terus melakukan ekspansi perdagangan produk hasil perikanan di pasar dunia. Berdasarkan data statistik Indonesia, sektor perikanan telah memberikan kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 199.219,00 miliar pada tahun 2010. Secara terperinci, potensi sektor perikanan di dalam perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010 Kontribusi Terhadap PDB (Miliar Rupiah) Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010 Tanaman Pangan 214.346,3 265.090,9 347.871,70 419.194,8 483.521,1 Perkebunan 63.401,4 81.595,5 106.186,40 11.423,1 135.258,1 Peternakan 51.074,7 61.325,2 82.835,40 104.883,9 119.094,9 Kehutanan 30.065,7 35.883,7 39.992,10 45.119,6 48.050,5 Perikanan 74.335,7 97.697,3 136.435,80 176.620,0 199.219,0 Total PDB 3.339.216,8 3.950.893 4.948.688,4 5.603.871,2 6.422.918,2 Sumber: BPS (2011) Pada Tabel 1, kontribusi subsektor perikanan menempati urutan kedua setelah subsektor tanaman pangan. Sumbangan sektor perikanan terhadap nilai PDB menunjukkan nilai yang terus meningkat selama selang periode tahun 2006 hingga 2010. Trend PDB subsektor perikanan yang semakin meningkat ini 1 (http://www.mgi.esdm.go.id). Morfologi Dasar Laut Indonesia. Diakses tanggal 10 April 2012. menunjukkan prospek yang sangat menjanjikan bagi Indonesia dan seluruh stakeholder yang terlibat dalam kegiatan agribisnis perikanan. Menurut Suryawati (2007), produksi perikanan Indonesia telah mengalami kenaikan yang cukup pesat. Pertumbuhan produksi tersebut mencapai 6,87 persen/tahun pada periode 1977-1988, 8,25 persen/tahun pada periode 1988-1995, 3,72 persen/tahun pada periode 1995-1998, dan 4,35 persen/tahun pada periode 1998-2003. Pada semua periode, pertumbuhan tinggi yang terjadi di sebagian besar produksi merupakan hasil kontribusi perikanan tangkap laut yang berperan sangat dominan pada perikanan Indonesia. Ikan dan produk perikanan lainnya merupakan komoditas perdagangan yang sangat prospektif. Pada tahun 2007, total ekspor produk perikanan tangkap dunia telah mencapai 90.063.851 ton, dan telah terjadi peningkatan rata-rata sebesar 0,54 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2003. Sedangkan total produksi perikanan budidaya dunia telah mencapai 50.329.007 ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 6,65 persen jika dibandingkan dengan total produksi tahun 2003. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumberdaya perikanan, pada tahun 2007 berada di peringkat ketiga untuk perikanan tangkap dunia setelah China dan Peru. (DKP, 2009). Tanpa mengabaikan upaya pemenuhan kebutuhan domestik, produksi perikanan Indonesia, terutama untuk komoditas bernilai tinggi, didorong untuk memasok keperluan ekspor. Total ekspor produk perikanan Indonesia pada tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Menurut Komoditas Utama Tahun 2007-2011 Tahun (ton) Komoditas 2007 2008 2009 2010 2011 Udang 157.545 170.583 150.989 145.092 158,062 Tuna, Cakalang 121.316 130.056 131.550 122.450 141,774 Ikan lainnya 393.679 424.401 430.513 622.932 618,294 Kepiting 21.510 20.713 18.673 21.537 23,089 Lainnya 160.279 165.923 149.688 191.564 218,130 Sumber: KKP (2012) Tabel 2 menunjukkan bahwa ekspor produk perikanan Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seluruh komoditas unggulan 2 sektor perikanan Indonesia antara lain adalah udang, ikan tuna, cakalang, tongkol, rumput laut, ikan hias, dan lain sebagainya memiliki potensi yang besar untuk diperdagangkan di pasar dunia dengan tujuan utama adalah Jepang, Amerika, dan Uni Eropa. Pada Tabel 2 terlihat bahwa udang memiliki volume ekspor terbesar di pasar dunia bila dibandingkan dengan hasil sumberdaya laut Indonesia lainnya. Peningkatan ekspor yang terjadi tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi produk perikanan, karena adanya perubahan pola makan masyarakat dunia dari red meat ke white meat. Hal ini berarti peluang terhadap peningkatan ekspor komoditas perikanan semakin besar. Meskipun jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif dan mengalami penurunan pada tahun 2009 dan 2010, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia. Fluktuasi ekspor udang Indonesia tersebut diduga karena adanya persaingan yang cukup ketat dengan negara eksportir udang lainnya yang diketahui memiliki teknologi, cara pengolahan, dan strategi pemasaran yang lebih baik (Setiyorini, 2010). Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu dan tekonologi khususnya di bidang pangan, udang semakin akrab dengan para konsumen di negara maju sebagai bahan pangan yang bergizi. Hal ini membuat harga udang di pasar internasional sangat beragam. Keragaman harga ini bukan saja berkaitan dengan ukuran, warna, tekstur, cita rasa, dan bentuk penyajian produknya, tetapi juga berkaitan dengan preferensi konsumen dan negara asal udang tersebut. Udang putih (white shrimps) yang berasal dari laut tropika di pasaran Amerika Serikat dan Eropa memiliki harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan udang warna lain diperairan yang sama. Kuruma shrimps (Panaeus japonicus) memiliki harga yang istimewa di pasar Jepang. Di pasaran Eropa, tiger shrimps memiliki harga yang tinggi karena ukuran, tekstur daging, dan cita rasanya banyak digemari oleh para konsumen di pasar yang bersangkutan (Murty, 1991). Melihat besarnya potensi udang untuk terus diekspor ke dunia, Direktorat Pemasaran Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan jumlah target nilai ekspor yang besar pada produk udang hingga tahun 2014. Secara terperinci, jumlah target nilai ekspor produk hasil perikanan tahun 2012-2014 dapat dilihat pada Tabel 3. 3 Tabel 3. Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama Tahun 2012-2014 Nilai Ekspor (US$ 1000) No Komoditas 2012 2013 2014 1 Udang-Shrimp 1.327.954 1.812.891 2.042.576 2 Tuna/Cakalang-Tuna/Skipjack 481.742 540.135 714.256 3 Sarden Kaleng 44.944 46.332 62.787 4 Ikan Dasar (Kakap Merah,Putih, 818.744 827.788 1.029.043 Layur, dll) 5 Kerapu 239.235 242.124 302.428 6 Kepiting 262.001 333.424 318.289 7 Tilapia 21.607 21.868 27.314 8 Bandeng 4.358 4.411 5.509 9 Rumput Laut 125.465 125.951 126.097 10 Lainnya 300.842 303.398 372.190 TOTAL 3.600.000 4.200.000 5.000.000 Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP (2011) Pada tahun 2011, target yang ditetapkan untuk nilai ekspor produk perikanan sebesar US$ 3,2 miliar disambut dengan optimis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan akan tercapai. Perhitungan dari Januari – Oktober 2011, total nilai ekspor perikanan sudah mencapai US$ 2,8 miliar, sehingga target US$ 3,2 miliar akan tercapai diakhir tahun 20112. Data saat ini ternyata menunjukkan bahwa target tersebut telah tercapai. Tabel 3 menunjukkan bahwa udang ditargetkan akan memperoleh nilai ekspor hasil perikanan yang paling besar dari komoditas perikanan lainnya yaitu sebesar US$ 1.3 miliar pada tahun 2012 dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa udang tetap menjadi komoditas primadona hasil perikanan Indonesia untuk terus ditingkatkan kinerja ekspornya, sehingga mampu memenuhi permintaan dunia akan udang yang terus meningkat. Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting untuk melihat besarnya peluang pasar yang dapat dipenuhi oleh Indonesia. Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa merupakan pasar utama ekspor udang Indonesia. Ketiga negara tujuan ekspor ini memiliki pola konsumsi yang berbeda akan udang, sehingga kebutuhan 2 (http://www.kkp.go.id). Ekspor Udang Ditargetkan Naik 100 persen. Diakses tanggal 09 Mei 2012. 4 impor tiga negara ini pun berbeda. Kebutuhan tiga negara tujuan ekspor terbesar di dunia akan udang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008 Jepang Amerika Serikat Uni Eropa Tahun Volume Trend Volume Trend Volume Trend (ribu ton) (%) (ribu ton) (%) (ribu ton) (%) 2002 251,19 332,88 345,73 2003 235,49 -0,06 399,62 0,20 412,33 0,19 2004 244,21 0,04 396,96 -0,01 403,75 -0,02 2005 234,73 -0,04 397,38 0,00 433,60 0,07 2006 232,18 -0,01 420,31 0,06 490,08 0,13 2007 208,99 -0,10 417,30 -0,01 495,52 0,01 2008 198,52 -0,05 431,75 0,03 471,29 -0,05 Rata-rata 229,33 -0,04 399,46 0,05 436,04 0,06 Pertumbuhan Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah) Tabel 4 menunjukkan kebutuhan konsumsi akan udang di Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Dari tahun 2002-2008, kebutuhan udang di Jepang tidak mencapai 300 ribu ton, sedangkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa selalu berada diatas 300 ribu. Rata-rata pertumbuhan volume kebutuhan udang di Amerika Serikat mencapai 399 ribu ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 0,05 persen. Meskipun rata-rata peningkatan kebutuhan udang di Uni Eropa hanya berbeda 0,01 persen dengan Amerika Serikat, namun dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa Uni Eropa memiliki kebutuhan udang yang lebih besar dibandingkan Amerika Serikat dan Jepang. Setiap tahunnya, volume kebutuhan udang di Uni Eropa selalu berada di atas Amerika Serikat dan Jepang. Ini menunjukkan bahwa Uni Eropa telah menjadi pasar ekspor terbesar untuk komoditas udang. Banyaknya kebutuhan impor udang di Uni Eropa selalu diupayakan untuk terpenuhi seluruhnya melalui permintaan ke berbagai negara eksportir udang, salah satunya Indonesia. Permintaan impor udang oleh Uni Eropa yang dapat dipenuhi oleh Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. 5 Tabel 5. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Terhadap Kebutuhan Impor Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008 Jepang Amerika Serikat Uni Eropa Tahun Volume Trend Volume Trend Volume Trend (ribu ton) (%) (ribu ton) (%) (ribu ton) (%) 2002 59,62 16,84 16,11 2003 60,24 0,01 21,90 0,30 24,10 0,50 2004 49,28 -0,18 40,54 0,85 24,35 0,01 2005 48,05 -0,02 50,70 0,25 27,18 0,12 2006 50,58 0,05 61,24 0,21 35,23 0,30 2007 40,33 -0,20 60,40 -0,01 28,85 -0,18 2008 39,58 -0,02 80,48 0,33 26,83 -0,07 Rata-rata 49,67 -0,06 47,44 0,32 26,09 0,11 Pertumbuhan Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah) Tabel 5 menunjukkan kontribusi ekspor udang Indonesia terhadap kebutuhan impor di tiga negara importir utama komoditas udang. Pemenuhan kebutuhan impor udang di Uni Eropa memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar 11 persen, namun kontribusi Indonesia terhadap kebutuhan udang di Uni Eropa masih sangat kecil dibandingkan Jepang dan Amerika Serikat. Pemenuhan kebutuhan di Uni Eropa dari udang asal Indonesia cenderung berada dibawah 30.000 ton, sehingga untuk mengatasi hal ini pada tahun 2012 ditargetkan ekspor udang menjadi 300.000 ton3 untuk memenuhi kebutuhan dunia akan udang, khususnya di Uni Eropa. 1.2. Perumusan Masalah Sektor perikanan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB Indonesia, dimana udang merupakan komoditas unggulan yang mempunyai nilai ekspor terbesar dari nilai perdagangan dunia hasil perikanan. Bagi Indonesia, udang merupakan komoditas ekspor andalan dan sumber perolehan devisa, sehingga kinerja ekspor udang Indonesia perlu dikaji lebih dalam agar di masa yang akan datang dapat memenuhi kebutuhan pasar dunia, khususnya di Uni Eropa. Indonesia sebagai salah satu negara eksportir utama udang dunia telah memiliki sumberdaya yang cukup untuk terus meningkatkan kinerja ekspornya. Produksi udang Indonesia yang tergantung oleh luas lahan tambak dan laut telah 3 (http://www.bisnis.com). Ekspor Udang; Target Volume Naik Jadi 300.000 Ton. Diakses tanggal 09 Mei 2012. 6 tercukupi, bahkan setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan (Rakhmawan 2009). Dewasa ini, dalam perdagangan internasional, banyak negara di dunia telah memberikan pembatasan atas jenis dan jumlah komoditas udang yang dapat diimpor negaranya. Pembatasan atas jenis ataupun jumlah yang dilakukan, pada dasarnya untuk melindungi konsumen dari komoditas udang yang diimpor, termasuk dari Indonesia. Atas pembatasan dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh negara importir, berbagai masalah pun muncul dalam pengembangan ekspor udang Indonesia. Kegiatan perdagangan udang internasional yang terjadi hingga saat ini sangat dinamis, karena negara-negara importir memperhatikan kualitas, harga, jenis udang, dan faktor lainnya dalam mengimpor udang. Selain itu, kebijakan udang internasional terkadang merugikan salah satu negara eksportir dan menguntungkan negara eksportir yang lainnya. Kondisi ini biasanya disebut dengan istilah diskriminasi baik berupa kebijakan tarif atau nontarif. Ketiga importir terbesar di dunia, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa memiliki pola konsumsi yang berbeda-beda. Selain itu, kebijakan dan peraturan yang ditetapkan pun berbeda. Uni Eropa memiliki pola perdagangan yang jauh lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan pasar Jepang dan Amerika Serikat. Perdagangan udang di Uni Eropa meliputi berbagai bangsa dan negara yang ada di Eropa, hubungan tradisional antara satu negara Eropa dengan pemasok tertentu dari suatu negara juga menentukan pola perdagangan udang impor yang dianutnya (Murty, 1991). Dikemukakan oleh Nugroho (2007) yang diacu dalam Painthe (2008), terdapat masalah dalam pasar Uni Eropa yang sering dialami oleh eksportir dalam memenuhi standar internasional, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical Barrier to Trade (TBT), dan tarif. Berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS) yaitu ketentuan mengenai zero tolerance yang ditetapkan Uni Eropa, ternyata masih menjadi bahan perdebatan di forum internasional mengingat sampai sekarang belum ada standar internasional tentang batas ambang yang diperbolehkan (maximum residu limit) terutama dari Codex Alimentarius. Dalam hal tarif, walaupun dalam KTM III 7 WTO di Doha telah disepakati bahwa semua hambatan tarif akan segera dievaluasi dan digraduasi, namun dalam kenyataannya komitmen ini masih terus diganjal oleh negara-negara maju (Putro, 2007). Tarif yang diberlakukan bagi komoditas udang ekspor saat ini bervariasi dan bersifat diskriminatif untuk beberapa negara pengekspor. Selain itu, ketatnya standardisasi yang ditetapkan Uni Eropa untuk melindungi konsumennya mengakibatkan banyak terdeteksinya produk-produk perikanan yang masuk ke Uni Eropa oleh European-RASFF dengan berbagai alasan terkait keamanan dan kesehatan konsumen. Hal inilah yang dialami Indonesia dalam memenuhi permintaan komoditas udang di pasar internasional, khususnya Uni Eropa. Oleh sebab itu, perlu dikaji setiap peraturan atau kebijakan yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor. Kebijakan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, khususnya Uni Eropa, diharapkan tidak lagi menjadi hambatan, melainkan dapat dipenuhi, sehingga kinerja ekspor udang Indonesia meningkat. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta dalam hambatan perdagangan udang di pasar Uni Eropa dan juga mengacu pada latar belakang yang telah dibuat, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Apa saja kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang menjadi hambatan bagi ekspor komoditas udang Indonesia? 2) Bagaimana kasus-kasus yang pernah terjadi terkait kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa kepada Indonesia dalam ekspor udang? 3) Apa saja yang telah dilakukan pemerintah sebagai respon untuk penanganan kebijakan yang menjadi hambatan bagi kinerja ekspor udang Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang menghambat kinerja ekspor udang Indonesia. 2) Menganalisis kasus notification oleh European-RASFF terhadap produk ekspor udang Indonesia atas kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa. 3) Mendeskripsikan kebijakan pemerintah dalam penanganan kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk meningkatkan kinerja ekspor udang Indonesia. 8 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa: 1) Masukan bagi pemerintah dan pelaku ekspor sebagai rekomendasi suatu kebijakan yang dapat meningkatkan produksi dan ekspor udang Indonesia guna mewujudkan Indonesia sebagai negara eksportir udang utama di dunia. 2) Bagi kaum akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan, masukan, dan sumber informasi untuk penelitian yang akan dilakukan selanjutnya serta meningkatkan motivasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan guna mendukung peningkatan perdagangan udang Indonesia. 3) Bagi penulis, kegiatan penelitian ini menjadi proses pembelajaran yang baik untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam hal perdagangan internasional komoditas perikanan Indonesia khususnya udang. 4) Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumber informasi untuk mengetahui kondisi ekspor udang Indonesia. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada komoditas udang Indonesia yang di ekspor ke Uni Eropa. Udang yang diperdagangkan di pasar Uni Eropa tidak dibedakan berdasarkan udang beku dan udang segar ataupun jenisnya. Banyak kebijakan yang yang ditetapkan dalam perdagangan udang Indonesia ke Uni Eropa, namun dalam penelitian ini dilakukan deskripsi dan analisis kebijakan yang dinyatakan menjadi hambatan bagi Indonesia hingga tahun 2011 terhadap ekspor komoditas udang. Kasus yang pernah terjadi dalam setiap kebijakan yang ditetapkan oleh Uni Eropa juga dianalisis. Kebijakan dan Regulasi perdagangan Indonesia juga dideskripsikan sebagai ekuivalen kebijakan dengan Uni Eropa, selanjutnya dilihat pengaruh dari kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perkembangan ekspor udang Indonesia. 9 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komoditas Udang di Pasaran Internasional Komoditas udang dalam dunia perdagangan biasa disebut dengan istilah shrimp. Spesies udang sendiri di seluruh dunia tercatat tidak kurang dari 2700 buah. Secara geografis udang bisa dikelompokkan menjadi empat golongan, yakni udang tropis, udang china, udang atlantik utara, udang laut utara. Jenis yang dihasilkan Indonesia tergolong udang tropis. Udang tropis menguasai pasar hingga 70 persen dari angka konsumsi udang, sedangkan golongan lainnya hanya 30 persen saja. Jenis udang yang dipasarkan oleh Indonesia adalah jenis udang tropis (Nazaruddin, 1993). Beragam spesies udang dikenal dalam dunia perdagangan internasional (Murty, 1991). Keragaman spesies udang ini dapat dipilah-pilah lebih lanjut diantaranya menurut asal habitatnya. Berdasarkan asal habitatnya, spesies udang yang telah dikenal dalam jalur perdagangan internasional dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yakni: 1) Spesies udang laut dingin. Kelompok ini berasal dari dan hidup pada lautan daerah dingin. Pertumbuhan udang jenis ini cenderung lebih lambat dan bentuk ukuran fisiknya lebih kecil jika dibandingkan dengan udang yang berasal dari daerah laut tropika. Spesies udang laut dingin menyebar dan banyak ditangkap di daerah sebelah utara Jepang, Alaska, Kanada, disebelah barat laut dan timur laut Amerika Serikat, Islandia, Greenland, dan di sebelah utara Eropa. Spesies utama dari perairan laut dingin yang lazim dijumpai dipasar internasional antara lain Pandalus borealis (deep water prawn/nothern prawn) dan Crangon crangon (common shrimp). 2) Spesies udang laut tropika Kelompok spesies ini berasal dari dan hidup pada perairan pantai daerah tropika, serta memiliki ukuran yang lebih besar. Daerah penyebaran udang laut tropika meliputi Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat, Jepang, Eropa bagian selatan, Thailand, dan Indonesia. Salah satu jenis udang laut tropika yang menjadi primadona adalah udang windu atau giant tiger prawn dan udang putih atau indian white prawn. Jenis udang yang berasal dari perairan tropika ini menempati bagian terbesar di pasar udang Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. 3) Spesies udang air tawar Umumnya kelompok spesies ini hidup pada danau atau sungai di daerah tropika dan memiliki ukuran yang besar. Spesies udang ini dalam dunia perdagangan internasional umumnya dikenal sebagai giant river prawn, namun jenis udang ini kurang memiliki kedudukan yang penting pada perdagangan udang di pasar internasional, karena daerah pemasarannya terbatas hanya di beberapa negara saja seperti Belgia, Belanda, Prancis, dan Jerman. Bentuk produk udang yang dijajakan di pasaran internasional cukup beragam dari satu pangsa pasar ke pangsa pasar lainnya. Keragaman bentuk produk ini menandakan bahwa setiap negara konsumen memiliki preferensi yang berbeda-beda dalam mengonsumsi udang. Berikut ini adalah berbagai variasi produk udang yang diperdagangkan di pasar dunia (Murty, 1991): 1) Udang hidup Jenis udang hidup yang banyak diperdagangkan ini merupakan spesies Panaeus japonicus. Udang jenis ini banyak dikonsumsi dan diproduksi secara domestik di Jepang. Mayoritas konsumen di Jepang lebih sering mengonsumsi dalam keadaan mentah setelah dicampur dengan sake dan dikuliti. Udang jenis ini harganya cenderung lebih mahal karena membutuhkan teknik penanganan khusus agar udang tetap segar dan cita rasanya tidak berkurang. 2) Udang segar Udang dalam bentuk ini terbatas pada daerah-daerah yang dekat dengan pelabuhan perikanan. Umumnya udang segar seperti ini sudah mengalami perlakuan pendinginan di kapal setelah proses penangkapannya. Perlakuan tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemunduran mutu dan mencegah atau memperlambat proses pembusukan. 3) Udang beku Udang beku menempati pangsa pasar terbesar dalam perdagangan udang dunia. Hampir seluruh udang yang diekspor dan diperdagangkan di pasar 11 dunia adalah udang beku. Udang beku dibedakan menjadi tiga jenis, yakni udang mentah beku (raw frozen), udang matang beku (cooked frozen), dan udang setengah matang yang dibekukan (semi-cooked frozen). 4) Udang kering Udang mengalami proses pengeringan secara tradisional terlebih dahulu sebelum dipasarkan. Pada umumnya proses pengeringan ini dilakukan oleh para nelayan di negara-negara berkembang. Hongkong merupakan negara importir terbesar udang kering. Di Hongkong, udang kering ini diolah lebih lanjut sebagai bahan baku industri pangan. 2.2. Uni Eropa Menurut Delegasi Komisi Eropa untuk Indonesia (2010), Uni Eropa merupakan kelompok 27 negara-negara independen yang unik dengan lebih dari 492 juta warga negara yang tinggal dalam batas wilayahnya. Negara-negara anggota terikat dengan serangkaian traktrat yang telah ditandatangani seiring perkembangannya. Semua traktat itu harus disepakati oleh masing-masing negara anggota dan kemudian diratifikasi baik oleh parlemen nasional ataupun melalui referendum (European Union, 2010). Nama Uni Eropa muncul pada tahun 1992 menggantikan nama Komunitas Masyarakat Eropa bersamaan dengan ditandatanganinya Traktat Maastricht (Traktat Uni Eropa) pada tanggal 07 Februari 1992. Urutan masuknya negara-negara dalam keanggotaan Uni Eropa dapat dilihat pada Tabel 6. Uni Eropa bukanlah sebuah negara federal atau organisasi internasional dalam pengertian tradisional, akan tetapi merupakan sebuah badan otonom di antara keduanya. Uni Eropa bersifat unik karena negara – negara anggotanya tetap menjadi negara berdaulat yang independen, akan tetapi negara-negara tersebut menggabungkan kedaulatannya dan dengan demikian memperoleh kekuatan dan pengaruh kolektif yang lebih besar. Dalam praktiknya, penggabungan kedaulatan berarti bahwa negara-negara anggota mendelegasikan kuasa dalam hal pengambilan keputusan kepada lembaga yang telah didirikan bersama sehingga keputusan – keputusan mengenai masalah – masalah tertentu yang melibatkan kepentingan bersama dapat diambil secara demokratis pada tingkat Eropa. Uni Eropa memiliki tiga lembaga utama, yaitu: 12 1) Parlemen Eropa, memiliki warga negara Uni Eropa. 2) Dewan Uni Eropa, memiliki masing-masing negara anggota. 3) Komisi Eropa, berupaya untuk menegakkan kepentingan Uni Eropa secara menyeluruh. Segitiga kelembagaan tersebut menghasilkan kebijakan dan undang – undang yang berlaku di seluruh Uni Eropa. Ketiga lembaga utama tersebut didukung oleh Badan Pemeriksa Keuangan Eropa yang mengawasi penggunaan anggaran Uni Eropa dan Mahkamah Eropa yang membantu memastikan bahwa negara – negara anggota mematuhi undang – undang Uni Eropa yang telah dibuat. Tabel 6. Negara-Negara Anggota Uni Eropa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Negara Jerman Belanda Belgia Luksemburg Perancis Italia Inggris Raya Denmark Irlandia Yunani Portugal Spanyol Austria Swedia Finlandia Estonia Hongaria Latvia Lituania Malta Polandia Republik Ceko Siprus Selatan Slovenia Slowakia Bulgaria Rumania Tahun Bergabung dengan Uni Eropa 1950 1950 1950 1950 1950 1950 1973 1973 1973 1981 1986 1986 1995 1995 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2007 2007 Sumber: European Union (2010) 13 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu 2.3.1. Penelitian Mengenai Komoditas Udang Rakhmawan (2009) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing komoditas udang di Indonesia dengan menggunakan dua metode analisis yakni analisis kuantitif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitif dilakukan untuk menjelaskan tingkat daya saing yang dilakukan dengan alat analisis RCA (Revealed Comparative Advantage). Jika nilai RCA > 1, maka komoditas udang Indonesia memiliki daya saing yang baik di pasar dunia, dan sebaliknya. Salain itu juga digunakan metode regresi linier berganda dengan menggunakan analisis OLS (Ordinary Least Square) yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing komoditas udang Indonesia (udang segar dan beku pada jenis udang windu dan vannamei). Sedangkan pada analisis deskriptif kualitatif digunakan Porter’s Diamond Theory untuk mengkaji potensi, kendala, dan peluang yang berarti menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif komoditas udang Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komoditas udang Indonesia memiliki daya saing yang kuat karena nilai RCA yang diperoleh lebih besar dari satu. Sedangkan dengan metode analisis Porter’s Diamond Theory, dapat ditunjukkan bahwa komoditas udang Indonesia memiliki potensi dalam faktor input yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, dan juga infrastruktur yang unggul namun masih memiliki keterbatasan hal penguasaan ilmu pengetahuan dan komoditas udang. Anwar (2009) mengkaji analisis respon produksi, permintaan domestik, dan penawaran udang Indonesia. Pada penelitian tersebut, persamaan produksi udang tidak dibedakan antara udang tambak ataupun laut, dan penawaran ekspor tidak dibedakan berdasarkan negara tujuan ekspor udang Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa harga domestik dan luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi udang Indonesia. Konsumsi domestik udang dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan perkapita dan harga kepiting sebagai komoditas substitusi, sedangkan penawaran ekpsor dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah produksi udang Indonesia, dummy krisis, dan jumlah ekspor udang Indonesia satu tahun lalu. 14 Retnowati (1990) dengan metode analisis Two Stage Least Square (2 SLS), dalam penelitiannya tentang analisis ekonomi udang Indonesia di pasar Jepang dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa variabel bebas yang berpengaruh nyata adalah harga udang di pasar internasional, sedangkan variabel bebas harga komoditas substitusi di Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan pendapatan perkapita Indonesia tidak berpengaruh nyata. Penelitian tentang perdagangan udang Indonesia di pasar domestik dan internasional juga pernah dilakukan Irwan (1997) dengan menggunakan metode analisis 2 SLS dengan periode tahun 1974 – 1995. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa produksi udang Indonesia dipengaruhi oleh harga udang domestik, tingkat suku bunga rupiah, dan jumlah produksi tahun sebelumnya. Ekspor udang Indonesia ke Jepang hanya dipengaruhi oleh jumlah ekspor udang Indonesia berskala satu tahun, sedangkan ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat hanya dipengaruhi oleh jumlah ekspor udang Indonesia ke negara selain Amerika Serikat dan Jepang. 2.3.2. Penelitian Mengenai Kebijakan Perdagangan Penelitian terkait mengenai kebijakan perdagangan telah dilakukan oleh Rastikarany dan Painthe pada tahun 2008. Rastikarany (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan tarif dan nontarif Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia. Pada penelitian ini, digunakan analisis regresi, deskriptif, dan peramalan untuk ekspor tuna beberapa tahun mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tarif dan nontarif berpengaruh nyata terhadap volume ekspor tuna Indonesia. Dalam peramalan beberapa tahun mendatang yang dilakukan menunjukkan Indonesia akan terus menjadi salah satu pemasok utama komoditas tuna di pasar Eropa. Painthe (2008) melakukan penelitian dengan topik yang sama dengan komoditas udang menggunakan analisis regresi, deskriptif, dan peramalan. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di pasar Eropa baik kebijakan tarif dan nontarif. Hasil penelitian juga mendeskripsikan kebijakan-kebijakan apa yang telah diterapkan oleh Indonesia sebagai respon atas persyaratan dan peraturan yang ditetapkan oleh pasar Eropa. Dalam penelitiannya dengan analisis regresi menunjukkan bahwa 15 kebijakan tarif di pasar Eropa berpengaruh nyata terhadap volume ekspor udang Indonesia di pasar Eropa. Hal ini terlihat dalam data yang menunjukkan bahwa pernah terjadi penurunan volume ekspor dikarenakan udang yang di ekspor Indonesia tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pasar Eropa. Lambaga (2009) juga melakukan penelitian mengenai kebijakan perdagangan. Dalam analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan ditetapkannya peraturan EC No 882/2004 yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan pengawasan, ternyata menunjukkan pengaruh negatif. Ini berarti jika importir menetapkan kebijakan nontarif maka volume ekspor perikanan akan menurun. Sedangkan Painthe (2008) dan Rastikarany (2008) melakukan analisis yang sama namun dengan komoditas yang berbeda yaitu udang dan tuna terhadap ditetapkannya peraturan EC 178/2002 tentang persyaratan mutu undang-undang pangan serta prosedur keamanan pangan. Hasil analisis menunjukkan pengaruh positif terhadap hambatan nontarif bagi penelitian Painthe dan tidak berpengaruh nyata terhadap model dugaan bagi penelitian Rastikarany. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang seharusnya karena pada saat yang sama volume ekspor udang ke Uni Eropa ternyata mengalami peningkatan. Untuk itu penelitian dengan menganalisis pengaruh kebijakan perdagangan yang diterapkan seperti yang dilakukan oleh Painthe (2008), Rastikarany (2008), dan Lambaga (2009), harusnya menempatkan variabel dalam blok-blok perdagangan dengan menambahkan variabel lain yang diduga juga memiliki hubungan dengan kebijakan yang diterapkan pada saat itu seperti nilai tukar mata uang dan pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor seperti yang telah dilakukan Koeshendrajana dan Aisya (2006). Penelitian dengan melihat pengaruh kebijakan perdagangan juga bisa menggunakan analisis deskriptiftabulatif untuk melihat pengaruh nyata penerapan kebijakan pada saat itu terhadap kinerja produk ekspor pada saat itu seperti yang dilakukan Hartono (2005). 2.3.3. Keterkaitan dengan Peneltian Terdahulu Pada penelitian-penelitian terdahulu, khususnya skripsi menggunakan analisis kuantitatif, namun pada penelitian kali ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif untuk membahas kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa serta kasus 16 penolakan yang terjadi akibat kebijakan tersebut. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menjadi bahan perbandingan dalam mendeskripsikan kondisi ekspor udang Indonesia di pasar internasional, khususnya di Uni Eropa. Dalam kaitannya dengan penelitian terdahulu, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekpor udang di pasar internasional digunakan untuk melihat signifikansi volume ekspor udang yang terjadi saat ini dengan kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa terkait perdagangan udang. Penelitian ini terdapat kesamaan dengan penelitian sebelumnya, yaitu dalam gambaran umum mendeskripsikan kondisi ekspor udang Indonesia di pasar internasional. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada tujuan ekspor yang lebih difokuskan pada pasar Eropa, yaitu mengkaji kebijakankebijakan yang diberlakukan di Uni Eropa dan menganalisis kasus-kasus yang terjadi terkait penetapan kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap kinerja ekspor pada saat itu, serta melihat respon pemerintah dalam mengatasi kebijakan yang berlaku. Penggunaan data terbaru yang digunakan untuk membandingkan kondisi ekspor udang Indonesia di Uni Eropa dari tahun sebelumnya hingga saat ini. 17 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teori-teori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan, dan analisis kebijakan. 3.1.1. Teori Perdagangan Internasional Setiap negara memiliki sumberdaya alam, letak geografis, iklim, karakteristik penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Perbedaan yang dimiliki oleh masingmasing negara tersebut menghasilkan produk yang berbeda baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Perbedaan tersebut secara tidak langsung mengharuskan suatu negara untuk melakukan perdagangan, baik dengan alasan perluasan pasar, mendapatkan sumberdaya, mendapatkan keuntungan, ataupun mendapatkan teknologi yang lebih modern. Perdagangan merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi di setiap negara karena perdagangan akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara dan meningkatkan output dunia. Perdagangan juga cenderung meningkatkan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam lingkup domestik ataupun internasional. Perdagangan dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunannya melalui promosi serta mengutamakan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif (Todaro, 2003). Menurut Kindleberger (1995) diacu dalam Anwar (2009), perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran bersaing. Pada prinsipnya, perdagangan antara dua negara timbul akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan permintaan disebabkan oleh selera dan tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan penawaran disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan pendapatan nasional suatu negara. 3.1.2. Pergeseran Pola Perdagangan Internasional Salah satu hal yang sangat mempengaruhi kinerja industri perikanan Indonesia adalah adanya pergeseran pola perdagangan dunia. Saat ini, pola perdagangan internasional tidak lagi hanya tunduk pada prinsip-prinsip supplydemand, tetapi juga dibentuk oleh isu-isu, konvensi, dan berbagai macam kesepakatan internasional. Banyak konvensi yang telah disepakati, diratifikasi, dan mengikat. Menurut Putro (2001), perjanjian internasional yang berpengaruh langsung bahkan cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas perikanan di pasar internasional dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu: 1) Perjanjian internasional yang bernuansa menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, seperti Code of Conduct for Responsible Fisheries, International Convention for The Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Commission, Agreement on Straddling Stocks and Highly Migratory Fish Species, dan sebagainya. Dengan adanya perjanjian ini maka ikan-ikan komersial penting yang dijual di pasar internasional harus ditangkap dari sumberdaya yang lestari. 2) Perjanjian internasional tentang perlindungan satwa yang terancam punah yaitu Convention of International Trade of Endanger Species (CITES). Melalui perjanjian ini maka beberapa jenis ikan/fauna laut dan air tawar dibatasi pemasarannya karena populasinya dikhawatirkan akan punah. 3) Perjanjian internasional tentang perdagangan yaitu perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT oleh WTO), termasuk di dalamnya perjanjian Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), dan Agreement on Technical Barrier on Trade (TBT oleh WTO). Perjanjian GATT/WTO mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap perdagangan global komoditas perikanan. Dari satu sudut pandang, oleh beberapa negara, pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan tersebut dimanfaatkan sebagai suatu peluang untuk melaksanakan strategi perang dagang. Kecenderungannya, dimasa-masa mendatang kesepakatan semacam itu akan bertambah banyak karena perang dagang akan berlangsung semakin intensif. Biasanya, suatu kesepakatan 19 internasional dikemas dalam kerangka justifikasi ilmiah atau isu-isu global yang telah disepakati sebelumnya secara universal. Indonesia harus mengikuti semua aturan yang terkandung dalam konvensikonvensi tersebut. Kecepatan dan konsistensi merespon kesepakatan dalam konvensi tersebut akan berdampak langsung pada perdagangan internasional produk-produk perikanan Indonesia. 3.1.3. Kebijakan Perdagangan Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikro ilmu ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif suatu komoditas. Dalam arti luas, kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk dari perdagangan internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, kuota, dan sebagainya, tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam negeri yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan internasional seperti misalnya kebijaksanaan moneter dan fiskal (Nopirin, 1999) diacu dalam (Rastikarany, 2008). Kebijakan perdagangan dilakukan sebagai proses proteksi terhadap produk-produk yang dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan bebas. Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat nontarif (non tariff barrier). Hambatan yang bersifat tarif merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan hambatan yang bersifat nontarif merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakantindakan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang. 3.1.3.1. Kebijakan Hambatan Tarif (Tariff barrier) Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, ada dua macam tarif yaitu tarif ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif impor adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk 20 dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Sedangkan tarif ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditas yang di ekspor (Salvatore, 1997). Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut (Hady, 2004): 1) Pembebanan bea masuk atau tarif rendah antara nol sampai lima persen dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, alat-alat militer/pertahanan/keamanan, dan lainnya. 2) Tarif sedang antara nol sampai dua puluh persen dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup diproduksi dalam negeri. 3) Tarif tinggi di atas dua puluh persen dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok. Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan diskriminatif yang digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis asal impor, meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan konsumsi barang tertentu, dan lain-lain. Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi produk dalam negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi ekonomi (Rastikarany, 2008). 3.1.3.2. Kebijakan Hambatan Nontarif (Non Tariff Barrier) Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan nontarif yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan yang dilakukan oleh negara/organisasi internasional yang menerima komoditas dari negara lain. Kebijakan non tariff barrier terdiri atas beberapa bagian yaitu: 1) Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak; pembatasan impor atau quota system; peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu; peraturan kesehatan atau karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara; peraturan kebudayaan, perizinan impor/import licenses; embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export Restraint), OMA (Orderly Marketing Agreement). 21 2) Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tata laksana impor tertentu; penetapan harga bea; penetapan forres rate (kurs valas) dan pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling regulation; documentation hended; quality and testing standard; pungutan administrasi (fees); dan tariff classification. 3) Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah; subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties; domestic assistance programs; dan trade-diverting. 4) Import charges, terdiri dari import deposits; supplementary duties; dan variable levies. Menurut Koo dan Kennedy (2005), beberapa negara menggunakan bermacam kebijakan perdagangan (tarif dan nontarif) untuk melindungi industri yang tidak efisien. Hal ini berlaku pada pertanian. Rata-rata tarif untuk produk pertanian (tiga puluh persen) lebih besar daripada untuk produk industri (enam persen). Tarif adalah pajak yang dibebankan pemerintah untuk suatu komoditas sebagai batas garis nasional. Tarif digunakan untuk melindungi ekonomi domestik dari kompetisi luar negeri. Hambatan nontarif bisa mengandung rintangan dengan angka yang besar selain tarif, seperti kebijakan, peraturan, dan prosedur yang mempengaruhi perdagangan. Hambatan nontarif yang paling banyak digunakan untuk mengontrol impor pertanian yaitu (Koo dan Kennedy, 2005): (1) pembatasan kuantitatif dan pembatasan sepesifik sejenis (misalnya kuota, voluntary export restraints, dan kartel internasional); (2) beban nontarif dan kebijakan yang berhubungan mempengaruhi impor (misalnya kebijakan antidumping dan kebijakan countervailing); (3) kebijakan umum pemerintah yang membatasi (misalnya kebijakan kompetisi dan penetapan perdagangan); (4) prosedur umum dan kegiatan administrasi (misalnya prosedur evaluasi dan prosedur perizinan); dan (5) hambatan teknis (peraturan dan standar kualitas kesehatan dan sanitasi, keamanan, peraturan dan standar industrial, dan peraturan pengemasan dan pelabelan. 22 3.1.4. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn, 1999) diacu dalam (Rastikarany, 2008). Dunn (1999) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan perspektif. Analisis kebijakan dapat menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini di rancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sedang berlangsung). Metode ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-akibat dari suatu gejala. Teknik pengolahan data kualitatif yang umum digunakan dalam metode deskriptif adalah analisis isi (content analysis). Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey dan Aronson (1968) tentang content analysis, selalu menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi (Bungin, 2003). Analisis ini dalam Julianingsih (2003) adalah suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi karakter-karakter khusus suatu pesan secara objektif dan sistematis. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Sebagai salah satu negara pemasok utama udang ke Uni Eropa, Indonesia memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Adanya peningkatan permintaan dan penawaran komoditas udang di pasar internasional menjadikan persaingan semakin banyak menghadapi tantangan yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor Indonesia, khususnya Uni Eropa. Setiap kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa sangat mempengaruhi perdagangan internasional. 23 Kebijakan tersebut berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical Barrier toTtrade (TBT), dan tarif. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk melindungi konsumen negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa terhadap setiap komoditas ekspor Indonesia. Kebijakan perdagangan yang diterapkan di Uni Eropa akan dikaji dalam analisis deskriptif dengan membandingkan juga respon kebijakan yang telah dilakukan Indonesia untuk memenuhi kebijakan perdagangan ini. Gambaran penelitian ini secara menyeluruh dapat dilihat pada Gambar 1. 24 Potensi Perikanan Indonesia Perairan Indonesia yang Luas Kelimpahan Tenaga Kerja Jumlah Produksi Perikanan Indonesia Komoditas & Produk Non Udang Komoditas & Produk Udang Penawaran Udang untuk Konsumsi Domestik Penawaran Udang untuk konsumsi Luar Negeri Pasar Ekspor Lainnya Uni Eropa Kebijakan Perdagangan Sanitary and Phytosanitary (SPS) Technical barrier to trade (TBT), Tariff Respon Kebijakan Perdagangan Indonesia dan Penerapannya di Indonesia Total Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Kasus Notification oleh European-RASFF Analisis Kualitatif Deskriptif = Ruang Lingkup Kajian Peneltian Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia 25 IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan meliputi perancangan penelitian, perumusan masalah, pengumpulan data dari berbagai instansi terkait, pengolahan data, analisis data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan menggunakan data nasional dan internasional. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam waktu tiga bulan, yaitu dari bulan Maret hingga Mei 2012. 4.2. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini, yaitu metode deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk memaparkan kebijakan perdagangan di Uni Eropa, kebijakan perdagangan Indonesia, dan menganalisis kasus-kasus penolakan yang pernah terjadi, pengaruh kebijakan terhadap ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, maupun penjelasan atau narasi singkat atas tabulasi dan tampilan grafik. 4.3. Data dan Instrumentasi Berdasarkan sumbernya, data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data/informasi yang diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara dengan stakeholders seperti pejabat dinas kelautan dan perikanan mengenai produksi dan ekspor udang Indonesia serta permasalahan ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa. Selain itu data primer melalui wawancara/diskusi di pakai untuk mengkonfirmasi kesesuaian kasus notification oleh European-RASFF dari Directorates General of Health and Consumers (DG Sanco) terhadap produk perikanan asal Indonesia. Data sekunder yang merupakan data teks berupa keterangan mengenai prosedur ekspor, kondisi pasar Uni Eropa, peraturan perdagangan Uni Eropa, dan data-data lain yang relevan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh melalui informasi dan laporan tertulis dari lembaga atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Food and Agriculture Organization (FAO), World Trade Organization (WTO), European Commission (EC), dan Directorates General of Health and Consumers (DG Sanco). Selain itu, data juga diperoleh dari literatur berupa skripsi, buku teks, dan website yang yang terkait dengan penelitian. Rincian data yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perincian Sumber Data Penelitian No Data Yang Diperlukan 1 Total Ekspor dan Impor Uni Eropa 2 Total Ekspor dan Impor Perikanan Uni Eropa 3 Total Ekspor dan Impor Udang dari ke Uni Eropa 4 Total Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa 5 Kebijakan Perdagangan Uni Eropa yang terkait dengan perikanan 6 7 8 Kebijakan Indonesia yang terkait dengan ekspor Perikanan Indonesia Prosedur umum ekspor perikanan Kasus Penolakan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Sumber Data KKP, DKP, Kemendag Direktorat P2HP DKP, Depdag/BPEN Direktorat P2HP, European Commission. KKP, BKIPM DKP Direktorat P2HP, DG Sanco 4.4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan sebagai langkah awal untuk mengelompokkan data yang akan di bahas. Data berupa kebijakan baik yang diterapkan Uni Eropa maupun pemerintah Indonesia terkait produk perikanan khususnya udang diobservasi lalu dikumpulkan berdasarkan jenisnya, tahun pelaksanaannya, dan ketentuan dalam kebijakan tersebut. Selain itu, mengenai kasus notification oleh European-RASFF, data diobservasi melalui website dikumpulkan dan dikonfirmasi kepada stakeholder di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan dikelompokan berdasarkan jenis produk perikanan (khususnya ikan dan udang), tahun ekspor, dan alasan notification. Kelompok berdasarkan ikan dan udang dilakukan untuk membandingkan jumlah notification antara ikan dan udang oleh European-RASFF. Kelompok berdasarkan tahun dikelompokan untuk melihat perkembangan notification yang dialami produk ikan dan udang Indonesia, mengetahui perbedaan terjadinya kasus penolakan yang mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif setiap tahunnya. Kelompok berdasarkan alasan penolakan produk dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan jumlah alasan paling banyak. 27 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Metode Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pengelompokan data dari data-data yang telah dikumpulkan. Data-data yang berupa gambaran umum kondisi perdagangan udang dan produk perikanan lainnya diolah dari berbagai sumber yang di dapat untuk disederhanakan dalam bentuk grafik ataupun tabel. Kemudian data-data tersebut dimasukkan sebagai bahan untuk dikelompokkan sesuai kebutuhan penelitian sebelum dianalisis. Selanjutnya data kebijakan terkait produk udang dan perikanan lainnya yang ditetapkan Uni Eropa dikelompokkan untuk disederhanakan sebagai bahan menghubungkan terhadap fakta ekspor udang dan perikanan lainnya yang terjadi. Pengolahan selanjutanya, untuk mengkonfirmasi pengaruh kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk ikan dan udang Indonesia, maka data mengenai kasus notification oleh European-RASFF diolah menjadi lebih sederhana untuk mengelompokkan kasus yang terjadi berdasarkan tahunnya serta alasan notification yang diterima. Data yang sudah dikumpulkan dari website tersebut kemudian dimasukkan sebagai input computer lalu di olah menjadi lebih sederhana dalam bentuk gambar dan grafik dengan bantuan program Microsoft Excel untuk dianalisis dengan metode kualitatif deskriptif. 4.5.2. Analisis Data Kualitatif Analisis data kualitatif yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Metode deskriptif bertujuan untuk: 1) Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, 2) Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, 3) Membuat perbandingan atau evaluasi, 4) Menentukan apa yang dilakukan pihak lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. 28 Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, diarahkan untuk memahami (understand) suatu fenomena sosial (Bungin, 2003). Fenomena sosial yang akan dipahami dalam penelitian ini adalah kondisi ekspor udang Indonesia terhadap kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Pendekatan ini digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau keadaan yang terjadi dalam perdagangan udang Indonesia, dalam hal ini fokus pada kebijakan. Analisis kualitatif deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk menghubungkan fakta perkembangan ekspor udang Indonesia dengan adanya kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Selain itu, analisis ini juga mengkonfirmasi kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa terhadap kaitannya atas alasan fakta notification yang dikeluarkan European-RASFF terhadap produk ikan dan udang Indonesia, sehingga dari analisis ini dapat dipahami apa yang terjadi pada penerapan kebijakan perdagangan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk perikanan Indonesia, khususnya udang. Analisis yang dilakukan juga untuk mengetahui bagaimana penanganan yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. 29 V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA 5.1. Perdagangan Internasional Hasil Perikanan Selama lebih dari beberapa dekade ini, sektor perikanan dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Berdasarkan data International Trade Centre (ITC) dan Kementerian Perdagangan tahun 2010, perdagangan internasional dalam komoditas perikanan mencapai US$ 103 miliar, mengalami kenaikan 13,2 persen dari tahun 2009 (US$ 91 miliar). Meskipun pada tahun 2009 nilai total ekspor mengalami penurunan dari tahun 2008 (US$ 96 miliar), namun angka yang dicapai tersebut masih terhitung tinggi. Sejak tahun 2000, perdagangan internasional di sektor perikanan dunia telah menunjukkan peningkatan secara signifikan (Aisya, et al. 2006). Secara terperinci, data ekspor komoditas perikanan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Ekspor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010 Nilai (juta US$) Share (%) No Negara 2007 2008 2009 2010 2010 1 China 9,508.86 10,364.12 10,500.16 13,539.77 13.03 2 Norway 6,089.74 6,722.43 6,923.22 8,660.35 8.33 3 Thailand 5,614.68 6,487.52 6,208.88 7,012.62 6.75 4 USA 4,387.76 4,364.02 4,075.66 4,544.43 4.37 5 Vietnam 3,764.00 4,510.57 4,253.37 4,368.40 4.20 6 Canada 3,657.84 3,672.86 3,211.09 3,804.87 3.66 7 Netherlands 2,713.90 2,865.08 2,627.14 3,439.00 3.31 8 Spain 3,285.14 3,490.64 3,131.11 3,293.28 3.17 9 Indonesia 2,258.92 2,699.68 2,466.20 2,863.83 2.76 10 Chile 3,166.16 3,409.71 3,010.62 2,846.10 2.74 11 Lainnya 43,678.83 47,780.89 45,209.56 49,575.63 47.69 Total 88,125.83 96,367.51 91,616.99 103,948.26 100.00 Sumber: ITC Comtrade (2011), Kemendag (2011), BPS (2011), (diolah) Berdasarkan Tabel 8, ekspor perikanan dunia dikuasai oleh China sebesar US$ 13,5 miliar pada tahun 2010 dengan kontribusi sebesar 13,03 persen dari ekspor perikanan dunia. Asia Tenggara berkontribusi sebesar 13,71 persen dari ekspor perikanan dunia melalui Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Melalui sepuluh negara eksportir terbesar perikanan dunia tersebut, dapat dilihat bahwa perdagangan internasional hasil perikanan terus meningkat setiap tahunnya. Jika dilihat dari data FAO 2004, perdagangan internasional dalam ekspor komditas perikanan telah mencapai mencapai US$ 58,2 miliar pada tahun 2002, mengalami kenaikan relatif lima persen pada tahun 2000 dan 45 persen sejak tahun 1992. Peningkatan ekspor perikanan dunia tidak terlepas dari impor perikanan dunia yang tercatat juga terus meningkat setiap tahunnya. Data impor perikanan dunia dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai Impor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010 Nilai (Juta US$) No Negara 2007 2008 2009 2010 1 USA 12,852.19 13,207.72 12,127.38 13,588.34 2 Japan 12,099.44 13,305.58 12,114.15 13,463.85 3 Spain 6,953.18 7,038.11 5,795.99 6,294.02 4 France 5,091.72 5,507.90 5,257.19 5,590.74 5 Italy 5,213.11 5,511.88 5,040.30 5,271.60 6 China 3,505.68 3,716.65 3,660.07 4,449.14 7 Germany 3,849.13 4,100.53 4,365.10 4,437.00 8 UK 3,707.57 3,782.90 3,096.68 3,137.74 9 Hongkong 2,472.44 2,685.91 2,734.49 3,118.58 10 Sweden 2,333.70 2,569.66 2,451.18 3,086.56 11 Lainnya 31,203.03 35,445.66 32,540.99 35,678.39 Total 89,281.19 96,872.50 89,183.52 98,115.95 Share (%) 2010 13.85 13.72 6.41 5.70 5.37 4.53 4.52 3.20 3.18 3.15 36.36 100.00 Sumber: ITC Comtrade (2011), Kemendag (2011), (diolah) Tabel 9 menunjukkan bahwa sepuluh negara importir perikanan dunia terdiri dari USA, Jepang, Spanyol, Prancis, Italia, Cina, Jerman, Inggris, Hongkong, dan Swedia. Negara lainnya yang termasuk dalam importir perikanan dunia umumnya dikuasai oleh negara-negara Uni Eropa. Lebih dari 70 persen nilai impor dunia telah terkonsentrasi pada tiga wilayah utama, yaitu: Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Importir terbesar dari Tabel 9 terlihat dikuasai oleh Amerika Serikat, namun jumlah ini tidak begitu jauh jika dibandingkan dengan Jepang yang juga berkontribusi di atas tiga belas persen terhadap impor perikanan dunia. Pada tahun 2002, melalui data FAO yang diacu dalam data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2009, Jepang pernah menjadi importir perikanan terbesar, yaitu dengan menguasai 22 persen dari nilai impor perikanan dunia. Uni Eropa tercatat tidak jauh berbeda dengan saat ini, dimana impor perikanannya dikuasai oleh Spanyol, Prancis, Italia, Jerman, dan Inggris. 31 5.2. Perkembangan Ekspor Produk Perikanan Indonesia Berdasarkan data statistik ekspor hasil perikanan, selama sepuluh tahun terakhir (2001-2011) volume ekspor produk hasil perikanan Indonesia mengalami kenaikan volume yang cukup baik, namun mengalami penurunan pada tahun tertentu dimana salah satu penyebabnya karena terjadinya krisis keuangan di negara importir utama produk perikanan. Grafik perkembangan volume ekspor produk perikanan Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2. 1,400,000 1,159,349 1,103,576 Volume (Ton) 1,200,000 1,000,000 857,783 907,970 926,478 857,922 854,328 911,674 881,413 2007 2008 800,000 565,739 600,000 487,116 400,000 200,000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2009 2010 2011 Gambar 2. Grafik Perkembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Tahun 2001-2011 Sumber: BPS (2012), KKP (2012), (diolah) Berdasarkan Gambar 2, total ekspor hasil perikanan Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat baik dari tahun 2001-2011. Meskipun pada tahun 2003-2009 mengalami fluktuasi yang stagnan, namun setelah tahun 2009 volume ekspor hasil perikanan Indonesia kembali meningkat mencapai 1,10 juta ton pada tahun 2010 dan 1,15 juta ton pada tahun 2011 dengan nilai sebesar US$ 2,8 miliar dan US$ 3,5 miliar. Dari total nilai hasil ekspor produk hasil perikanan Indonesia tahun 2011, 66 persen ekspor produk perikanan Indonesia masuk ke pasar tradisional yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Jumlah ini mengalami penurunan dibanding tahun 2010 yang mencapai 70 persen, namun mengalami peningkatan di pasar prospektif (Asia Tenggara dan Asia Timur) dan pasar potensial (Timur Tengah, Afrika, dan eks Eropa Timur) sebesar 34 persen pada tahun 2011. 32 Komoditas hasil produk perikanan Indonesia yang diekspor meliputi udang, tuna, ikan ekonomis penting lainnya (kerapu, kakap, tenggiri, tilapia, dll), cephalopoda (squid, ocopus, cuttlefish), daging kepiting rajungan, kepiting, rumput laut, teripang, dan lobster. Komoditas perikanan tersebut diolah menjadi produk perikanan (produk akhir) yang dapat dikelompokkan menurut proses penanganan dan atau pengolahannya sebagai berikut: 1) Produk hidup, 2) Produk segar (fresh product) melalui proses pendinginan, 3) Produk beku (frozen product) baik mentah (raw) atau masak (cooked) melalui proses pembekuan, 4) Produk kaleng (canned product) melalui proses pemanasan dengan suhu tinggi (sterilisasi) dan pasteurisasi, 5) Produk kering (dried product) melalui proses pengeringan alami, atau mekanis, 6) Produk asin kering (dried salted product) melalui proses penggaraman dan pengeringan alami, atau mekanis, 7) Produk asap (smoked product) melalui proses pengasapan, 8) Produk fermentasi (fermented product) melalui fermentasi, 9) Produk masak (cooked product) melalui pemasakan/pengukusan, 10) Surimi (based product) melalui proses leaching atau pengepresan (minced). Secara lebih detail, jumlah share ekspor produk hasil perikanan Indonesia berdasarkan kelompok komoditas tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 3. 33 Gambar 3. Share Ekspor Perikanan Indonesia Komoditas. Sumber: BPS (2011), (diolah) Tahun 2010 Per Kelompok Pada Gambar 3, diketahui bahwa share ekspor perikanan Indonesia berdasarkan kelompok komoditas didominasi oleh kelompok crustaceae (udang dan kepiting) yaitu sebesar 34,19 persen. Sisanya dipenuhi oleh kelompok ikan olahan (kalengan) 19,82 persen, ikan beku 11,87 persen, fillet dan daging ikan 9,32 persen, ikan segar atau dingin 8,50 persen, dan di bawah lima persen terdiri dari rumput laut, molusca, ikan kering, mutiara, ikan hidup, ikan hias, dan lainnya. 5.3. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia 5.3.1. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional Indonesia merupakan salah satu negara eksportir terbesar di dunia untuk komoditas udang. Berdasarkan total ekspor perikanan Indonesia tahun 2011, komoditas udang memberikan kontribusi hasil ekspor sebesar 37,19 persen dari total nilai ekspor perikanan Indonesia yang mencapai US$ 3,5 miliar (KKP, 2012). Perkembangan ekspor udang Indonesia menurut negara tujuan utama dapat dilihat pada Gambar 4. 34 80,000 70,000 Volume (Ton) 60,000 Jepang Amerika Serikat Uni Eropa 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 4. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Utama Tahun 2011 Sumber: BPS (2012), KKP (2012), (diolah) 2005- Gambar 4 menunjukkan perbedaan kontribusi ekspor udang Indonesia di ketiga pasar utama tersebut, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa tahun 2005-2011. Periode tersebut menunjukkan bahwa volume ekspor udang Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebesar 170,5 ribu ton dan terendah pada tahun 2010 yaitu sebesar 145 ribu ton. Jika dilihat menurut negara tujuan ekspornya, Amerika Serikat memberikan perkembangan yang baik sebagai importir udang Indonesia. Meskipun dalam periode tahun 2008-2010 mengalami penurunan yang cukup besar, namun pada tahun 2011 ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat kembali meningkat menjadi 70 ribu ton dengan nilai US$ 615 juta. Kondisi ini berbeda dengan periode 1993-2002, dimana Amerika Serikat sebagai tujuan utama ekspor dengan pangsa rata-rata 11,46 persen, berada jauh dibawah Jepang dengan rata-rata 57,34 persen (Aisya, et al. 2006). Peningkatan yang terjadi dalam periode ini didukung kuat oleh peningkatan konsumsi udang Amerika Serikat, dimana sejak periode tahun 1997-2005, kebutuhan Amerika Serikat untuk konsumsi rumah tangga tercatat sebesar 355.000 ton dan data statistik menunjukkan konsumsi udang Amerika Serikat selama kurun waktu tahun 1997-2000 rata-rata meningkat tujuh persen lebih tinggi dari konsumsi 35 tahun 1996 dan melewati rekor tertinggi sebelumnya sebesar dua persen (Infofish, 2003). Perkembangan nilai ekspor udang Indonesia sama halnya seperti perkembangan volumenya yang berfluktuatif, namun nilai ekspor komoditas ini tidak selalu sejalan dengan perkembangan volumenya. Volume udang seperti yang disebutkan sebelumnya tertinggi pada tahun 2008, akan tetapi nilai ekspor tertingginya justru terjadi pada tahun 2011 yaitu senilai US$ 1,3 miliar, sedangkan pada tahun 2008 hanya US$ 1,1 miliar. Sementara itu, nilai ekspor terendah terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar US$ 948,1 juta. Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai ekspor udang Indonesia secara implisit lebih respon terhadap perubahan harga udang dunia (Aisya, et al. 2006). 5.3.2. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Uni Eropa (UE) dengan 27 negara anggota saat ini menjadi pasar terbesar di dunia untuk komoditas perikanan. Penduduk yang diperkirakan mencapai hampir setengah miliar akan membutuhkan pasokan bahan pangan yang luar biasa. Diperkirakan konsumsi komoditas perikanan selama enam tahun terakhir mengalami pertumbuhan sebesar 18 persen (Purnomo, 2007a). Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang banyak masuk ke Uni Eropa adalah udang. Perkembangan volume ekspor udang selama 12 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 5. 35,000 Volume (Ton) 30,000 25,000 31,016 28,84527,834 27,775 26,317 23,689 23,689 20,000 20,056 17,734 16,140 15,000 16,659 13,383 10,000 5,000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 5. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Tahun 20002011. Sumber: KKP (2012), (diolah) 36 Produk udang yang diekspor ke Uni Eropa terdiri dari bentuk segar (fresh atau chilled), bentuk beku (frozen), dan bentuk olahan (preserved) baik dalam kemasan kedap udara (in airtight containers) maupun kemasan tidak kedap udara (in not airtight containers). Volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa didominasi oleh udang beku dan segar. Uni Eropa setiap tahunnya mengimpor udang tidak kurang dari 300 ribu ton dan merupakan pasar udang terbesar bersama Jepang dan Amerika Serikat, namun selama periode tahun 2000-2011 (Gambar 5), ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa tidak pernah berkontribusi lebih dari 10 persen kebutuhan impor udang Uni Eropa. Meskipun demikian, jika dilihat perkembangan pada periode 19741999, volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa telah menunjukkan peningkatan yang sangat baik, dimana pada periode tersebut meningkat sebesar 2.545,46 persen yaitu dari 0,55 ribu ton menjadi 14,55 ribu ton (DKP 2009). Hingga periode 2011 ini, volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa tertinggi berada pada tahun 2006 yaitu sebesar 31 ribu ton. Importir udang terbesar di pasar Uni Eropa ini adalah Spanyol, Inggris, dan Perancis. Penurunan volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dalam lima tahun terakhir ini, menurut Yusuf dan Tajerin (2007) disebabkan oleh melemahnya harga rata-rata udang di pasar internasional sebagai akibat dari lonjakan produksi, terutama udang vannamae. Disamping itu, banyak muncul berbagai hambatan perdagangan perdagangan yang bernuansa tarif seperti isu “dumping” dan hambatan-hambatan nontarif seperti bioterrorism act, traceability, zero tolerance terhadap residu antibiotik, isu lingkungan, dan sebagainya. 37 VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA 6.1. Kebijakan Perdagangan Internasional Pada dasarnya, suatu kebijakan yang ditetapkan berdasarkan suatu kesepakatan adalah untuk melindungi pihak tertentu sebagai pelaku perdagangan. Koo dan Kennedy (2005) juga mengatakan bahwa beberapa negara yang menggunakan bermacam-macam kebijakan perdagangan adalah untuk melindungi industri yang tidak efisien. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi tertentu akan menjadi hambatan bagi pihak lain jika tidak dapat memenuhi kebijakan tersebut. Dalam bidang perdagangan internasional dikenal adanya hambatan-hambatan perdagangan atau trade barriers yang dapat digolongkan menjadi tiga bidang yaitu tariff barrier, non tariff barrier, dan administrative barrier. Tariff barrier adalah kebijakan penetapan kuota dan tarif bea masuk oleh suatu negara pengimpor terhadap suatu produk tertentu. Non tariff barrier merupakan standar internasional dalam food safety sebagaimana dirumuskan oleh Codex Alimentarius Commission yaitu suatu badan internasional antarnegara. Persyaratan yang penting antara lain adalah konsep HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) sebagai instrumen untuk mengaplikasikan SPS (Sanitary and Phytosanitary Agreement) dimana untuk dapat memenuhi standar tersebut dibutuhkan biaya yang besar yang nantinya akan menambah biaya produksi. Selain itu, dalam technical barrier yang menetapkan health and sanitary regulations, setiap negara memiliki standar yang berbeda-beda kriteria atau ambang batasnya. Sedangkan yang termasuk dalam administrative barrier adalah health certificate dari competent authority negara pengekspor dan ecolabelling yang bertujuan untuk mempromosikan ramah lingkungan. Menurut Pruto (2001), salah satu kelompok perjanjian internasional yang berpengaruh langsung bahkan cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas perikanan di pasar internasional tentang perdagangan adalah perjanjian General Agreement on Tariff and Trade (GATT oleh WTO), dimana terdapat perjanjian Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), dan Agreement on Technical Barrier on Trade (TBT oleh WTO). 6.1.1. Penerapan Kebijakan Hambatan Tarif di Uni Eropa Penetapan kuota dan tarif bea masuk merupakan kebijakan tarif yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Semua tarif produk perikanan Uni Eropa telah ditetapkan dalam Persetujuan Umum Perdagangan dan Tarif atau General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sekarang digantikan oleh Organiasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Tujuan utama dibentuknya GATT/WTO adalah: 1) Liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia sehingga produksi meningkat. 2) Memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hamban tarif bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan lainnya (non tariff barrier). 3) Mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang intellectual property rights dan investasi. Penetapan tarif bea masuk yang ditetapkan oleh ketiga importir terbesar dunia perlu diketahui untuk melihat dan membandingkan penerapan yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan negara lainnya. Tarif bea masuk yang dikenakan Amerika Serikat pada produk udang yang tidak di olah (beku, direbus, digarami, dan dikeringkan) adalah nol persen atau free. Untuk produk udang olahan, tarif bea masuk yang dikenakan adalah lima persen sampai sepuluh persen, bahkan kadang udang diterapkan “special rate” yang lebih tinggi yaitu 20 persen. Sebelum Indonesia bergabung dalam EPA (Economic Partnership Agreement) tahun 2007, tarif umum yang ditetapkan Jepang pada komoditas udang olahan adalah sebesar 4,8 - 6 persen sementara tarif dari WTO diwajibkan sebesar 4,8 - 5,3 persen. “Special rate” yang diberikan negara Jepang untuk produk olahan sebesar 3,2 persen, tetapi untuk produk olahan yang termasuk kategori “other” diberikan tarif nol persen atau free. Setelah Indonesia bergabung dalam EPA, penetapan tarif yang diberlakukan Jepang untuk produk udang olahan Indonesia adalah free. Untuk produk udang non olahan (beku, direbus, digarami, dan dikeringkan) juga diberikan tarif bea masuk nol persen atau free. Penerapan tarif bea masuk produk perikanan ke negara-negara Uni Eropa berkisar nol persen untuk belut hidup (live eels) sampai 25 persen untuk produk kaleng (canned mackerel, bonito and anchovies). Secara umum, tingkat tarif yang 39 diberlakukan oleh Uni Eropa tergolong paling tinggi jika dibandingkan negaranegara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang. Tarif bea masuk biasanya akan semakin tinggi bagi “value added products”, namun Uni Eropa menyediakan mekanisme yang berbeda untuk mengurangi pajak (duties) yaitu rata-rata tarif dikurangi sekitar 3-4 persen (KKP, 2010). Data tarif bea masuk komoditas udang di pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Tarif Bea Masuk komoditas udang di Uni Eropa, Amerika Serkikat, dan Jepang Tarif Bea Masuk (%) Amerika Kode HS Produk Uni Eropa Jepang Serikat MFN GSP MFN MFN 030613100 Of the familiy pandalidae 12,0 4,2 Free Free 030613300 Shrimp of the genus crangon 12,0 4,2 Free Free by boiling in water 030613400 Deepwater rose shrimps 12,0 4,2 Free Free (Parapenaeus) 030613500 Shrimps of the genus penaeus 12,0 4.2 Free Free 030613800 Other 12,0 4,2 Free Free 030621000 Rock lobster by boiling in 12,5 4,3 Free Free water 030622100 Live lobster 8,0 2,8 Free Free 030623310 Shrimp of the genus crangon 18,0 14,5 Free Free fresh, chilled, live, dried, salted 160520100 Shrimps and prawns 20,0 7,0 5,0 Free 160530100 Lobster 20,0 7,0 10,0 Free Sumber: DG Taxud (2012), USITC (2012), Japan Customs (2012), (diolah) Keterangan: Kode HS 03.06.13: Beku: udang kecil dan udang biasa Kode HS 03.06.2x: Segar: udang besar, udang kecil, dan udang biasa Kode HS 16.05.x0: Udang besar, kecil, dan udang biasa, diolah atau diawetkan Tabel 10 menunjukkan bahwa penetapan tarif yang diberlakukan Uni Eropa lebih tinggi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang. Tarif yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk produk udang Indonesia adalah sebesar 12 persen untuk udang beku, 8-18 persen untuk produk udang segar, dan 20 persen untuk produk udang olahan. Oleh karena itu, Uni Eropa sebagai kelompok negara maju, memberikan skema khusus kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yaitu berupa Generalized System of Preferences (GSP) guna memperluas akses pasar ke negara-negara Uni Eropa. Berdasarkan pasal 7 point 2 dari skema GSP untuk periode 1 Januari 2002 s/d 31 Desember 2004, produk 40 shrimps prawns merupakan produk yang termasuk dalam daftar “sensitif”. Oleh sebab itu, produk tersebut mendapatkan preferensi 3,5 persen, namun pada skema yang lama penurunan tarif yang diperoleh lebih besar dari 3,5 persen. Berdasarkan pasal 7 point 3 beneficiary diperbolehkan untuk menggunakan ketentuan yang lama jika tarif pada skema GSP sebelumnya lebih tinggi. Oleh sebab itu, tarif produk udang beku di Uni Eropa dengan GSP akan diberlakukan sesuai dengan tarif yang lama yaitu sebesar 4,2 persen dengan tarif MFN (Most Favoured Nations) sebesar 12 persen. Masyarakat Uni Eropa pertama kali menerapkan skema GSP pada tahun 1971. Peraturan yang tercantum dalam GSP terus mengalami perkembangan. Pada tahun 2002, dikeluarkan skema GSP, yaitu Council Regulation (EC) 2211/2002. Pemberlakuan skema tersebut dimulai tanggal 1 Januari 2002 - 31 Desember 2005. Pada tahun 2005 dikeluarkan Council Regulation (EC) 980/2005 yang dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 31 Desember 2008. Pada tahun 2008 juga dikeluarkan Council Regulation (EC) 732/2008 yang dilaksanakan untuk periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember 2011. Penetapan skema GSP sejak tahun 2006-2008 telah ditetapkan berlaku sampai tahun 2015 mendatang dengan maksud memberikan kontinuitas dan stabilitas bagi negara-negara penerima GSP (European Commission, 2010). Selama periode 1 januari 2009 sampai 31 Desember 2011, berdasarkan Council Regulation (EC) 732/2008, terdapat tiga skema peraturan yang ditetapkan: 1) Skema umum (general scheme), yaitu kepada negara-negara berkembang penerima GSP dapat menikmati fasilitas GSP 2) Skema intensif khusus (GSP+) untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan pemerintahan yang bersih, GSP (+) menyediakan keuntungan tambahan terhadap negara yang menerapkan standar internasional terhadap kebebasan manusia (HAM) dan buruh, perlindungan lingkungan, perlawanan terhadap obat-obatan terlarang, dan pemerintahan yang bersih. 3) Skema khusus bagi negara tertinggal (LCDs) yang juga dikenal sebagai Everything But Arms (EBA). EBA memberikan perlakuan yang paling menguntungkan terhadap semua dengan tujuan membebaskan bea tarif dan bebas kuota untuk akses pasar ke Uni Eropa. 41 Penetapan tarif oleh Uni Eropa terhadap produk ekspor Indonesia merupakan hambatan yang paling menonjol yang dihadapi industri perikanan Indonesia. Jika dibandingkan penetapan tarif yang diberlakukan Uni Eropa terhadap Indonesia dengan negara-negara bekas jajahan negara-negara Eropa seperti yang tergabung dalam ACP (Africa, Carribea, Pacific Countries), tarif yang diberlakukan terhadap Indonesia merupakan suatu jumlah yang besar. Negara-negara yang tergabung dalam ACP dikenakan tarif rendah atau bahkan bebas tarif seperti yang dialami negara-negara persemakmuran yang mengekspor ke Inggris. Perlakuan istimewa tersebut tidak dialami Indonesia yang pernah dijajah Belanda sebagai anggota Uni Eropa dalam kurun waktu sangat panjang. Menurut Purnomo (2007b), pendekatan dan usulan untuk mendapatkan kompensasi tarif dari Belanda karena Indonesia pernah dijajah Belanda memang pernah dilakukan namun tidak berhasil. Pemberlakuan tarif bea masuk oleh Uni Eropa sebagai salah satu negara importir utama terbesar di dunia pada dasarnya telah memberatkan negara-negara eksportir udang, khususnya Indonesia. Apabila pengurangan tarif dilakukan lebih besar lagi dalam bentuk GSP, maka nilai ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dapat lebih meningkat. Painthe (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa selama ini negara-negara impotir, khususnya negara berkembang terus berjuang untuk mendapatkan zero tariff untuk komoditas ekspor negara tersebut. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan juga menyebutkan dengan adanya penurunan tarif, nilai ekspor komoditas udang Indonesia akan meningkat. Meskipun demikian, Uni Eropa sebagai salah satu negara importir udang terbesar di dunia tetap menjadi pangsa ekspor strategis untuk Indonesia karena permintaan akan udang di pasar Eropa cenderung meningkat. Oleh karena itu, untuk mengatasi pemberian tarif yang tergolong tinggi, Indonesia perlu melakukan trade creation antara Indonesia dan Uni Eropa seperti yang telah dilakukan antara Indonesia dengan Jepang dalam bentuk EPA (Economic Partnership Agreement). Trade creation bagi Indonesia nantinya akan memberikan produk ekspor perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa dikenakan tarif yang berbeda dengan negara-negara di luar kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa. 42 6.1.2. Penerapan Kebijakan Hambatan Nontarif di Uni Eropa Semua kebijakan ekspor yang tidak berkaitan dengan pengenaan pajak atau pungutan impor dan menjadi hambatan bagi pelaku eksportir dapat dimasukkan ke dalam hambatan nontarif yang ternyata menjadi hambatan paling dominan. Kesepakatan akan konsep Sanitary and Phytosanitary (SPS) yang mecakup keamanan pangan (food safety attributes) dan kandungan gizi (nutrion attributes) yang ditetapkan oleh Komisi Eropa bila tidak dipenuhi, produk udang Indonesia akan mengalami banyak hambatan yang akhirnya berakibat penolakan dengan alasan non tariff barrier to trade. Hambatan nontarif ini pada hakekatnya menjadi hambatan utama dan sering melebar ke berbagai hal (Purnomo, 2007b). Perhatian utama Uni Eropa saat ini berada pada bahan pangan yang masuk ke Uni Eropa. Menerapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor sudah menjadi hak importir dalam menjamin dan melindungi keselamatan konsumen. Ketentuanketentuan dari kelompok negara di Uni Eropa dapat yang diidentifikasikan sebagai hambatan nontarif adalah sebagai berikut: 1) Kondisi kesehatan dalam produksi dan penempatan di pasar-pasar produk perikanan. 2) Peraturan syarat hygiene minimum yang harus diterangkan pada produk perikanan tangkap di tempat-tempat pelabuhan kapal perikanan. 3) Pengaturan maksimal kontaminasi-kontaminasi makanan. Kebijakan terkait nontarif yang diterapkan Uni Eropa untuk produk udang sebagian besar sama dengan peraturan yang diterapkan untuk produk perikanan lainnya khususnya mengenai standar kesehatan, keselamatan konsumen, dan perlindungan bagi kelestarian lingkungan. Dewasa ini, perhatian publik di negara maju terhadap sanitary dan hygene produk pangan telah meningkat (Ahmed, 2006). Hal ini menyebabkan negara pengimpor (negara maju) melakukan pengetatan atas aturan keamanan produk yang diimpor. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sering mengeluhkan terkena dampak aturan sanitary and phytosanitary yang ketat dari negara-negara pengimpor utama. Daftar kebijakan nontarif di Uni Eropa yang berpengaruh terhadap produk udang dapat dilihat pada Tabel 11. 43 Tabel 11. Inventarisasi Kebijakan Nontarif Uni Eropa yang Berpengaruh Terhadap Produk Ekspor Udang Indonesia No 1. Regulasi Council Directive 91/493/EEC 2. Council Directive No. 92/48/EEC 3. Regulasi (EC) No. 446/2001 8 Maret 2001 Regulasi (EC) No. 178/2002 dari Dewan dan Parlemen Eropa 28 Januari 2002 4. 5. Regulasi (EC) No. 852/2004 29 April 2004 6. Regulasi (EC) No. 853/2004 29 April 2004 7. Regulasi (EC) No. 854/2004 29 April 2004 8. Deskripsi Mengatur mengenai kondisi kesehatan untuk produk dan pemasaran produk perikanan Ketentuan bagi negara dunia ketiga harus mempunyai sistem yang setara dengan yang ada di UE agar adapat melakukan ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa. Menenai ketentuan batas minimum higien untuk produk perikanan Menetapkan taraf maksimum bagi pencemar tertentu dalam bahan pangan. Prinsip-prinsip umum dan persyaratan hukum pangan, pembentukan otoritas keamanan pangan eropa dan penetapan prosedur yang terkait dengan keamanan pangan Regulasi ini merupakan ratifikasi SPS dari WTO dan standar keamanan pangan internasional yang memuat Codex Alimentarius. Persyaratan umum produksi primer, persyaratan teknis, HACCP, pendaftaran/ pengakuan usaha makanan, petunjuk nasional untuk praktik yang baik. Aturan higienis yang spesifik untuk makanan dari asal hewan (pengakuan dari perusahaan, kesehatan, dan identifikasi pendanaan, impor, informasi rantai pangan) Aturan khusus bagi organisasi pengawasan resmi atas produk asal hewan yang dimaksudkan untuk konsumsi manusia. Kriteria mikrobiologis untuk bahan pangan Regulasi (EC) No. 2073/2005 15 November 2005 9. Commission Decision Kondisi khusus untuk produk perikanan asal 2006/236/EC 21 Maret 2006 Indonesia dan yang ditujukan untuk konsumsi manusia dan mengatur systemic border control yaitu mengecek setiap consignment/container di setiap port entry 10. Commission Decision Mengubah keputusan dari CD 2006/236/EC 2008/660/EC 31 Juli 2008 menjadi persyaratan untuk uji produk perikanan yang berasal dari Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada produk tangkap 11. Commission Decision Mewajibkan uji sampel terhadap paling 2010/220/EU 16 April 2010 sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa Sumber: KKP (2011), Commission Decision (2012), (diolah) 44 Regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa (European Commission) pada Tabel 11 secara umum diberlakukan dua puluh hari setelah diterbitkan dalam Official Journal (OJ). European Commision adalah lembaga eksekutif pemerintah Uni Eropa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan Uni Eropa kepada dewan dan parlemen Eropa, termasuk di dalamnya peraturan mengenai pengawasan mutu dan keamaan pangan (EU, 2010) Menurut Ababouch (2006) yang diacu dalam Lambaga (2009), peraturan yang disyaratkan negara importir seringkali menjadi penghambat dalam perdagangan. Negara berkembang yang umumnya merupakan eksportir utama produk perikanan seringkali dihadapkan pada penolakan akibat kompleksitas program sanitasi dan persyaratan mutu dari negara tujuan eskpor. Selain itu, tidak harmonisnya standar dan sistem yang digunakan pada negara tujuan eskpor juga menghambat perdagangan internasional. Uni Eropa memberlakukan persyaratan mutu yang lebih ketat terhadap produk perikanan budidaya. Sesuai dengan EC Food Law No. EC/2002/178 dan EU Regulation No. 2377/90 tentang Regulation on Residue Control and Monitoring of Aqualucture Products, maka semua negara eksportir produk perikanan budidaya diwajibkan untuk menyampaikan laporan hasil monitoring residu obat-obatan dan antiobiotik kepada Directorate General of Health and Consumer Protection (DG Sanco) secara rutin setiap tahun. Peraturan tersebut pun terus berkembang menjadi ketentuan zero tolerance terhadap residu antibiotik untuk setiap perikanan budidaya yang akan masuk ke Uni Eropa. Kunci pokok regulasi yang ditetapkan Komisi Eropa menitikberatkan pada perlindungan konsumen tingkat tinggi terkait standar mutu dan keamanan pangan di Uni Eropa yaitu EC No. 178/2002 tentang persyaratan mutu undang-undang pangan secara prosedur keamanan pangan. Hal ini juga dikatakan oleh Painthe (2008) dalam penelitiannya. Saat peraturan tersebut dikeluarkan, salah satu kebijakan yang cukup signifikan mempengaruhi perkembangan impor pangan Uni Eropa adalah diterapkannya Rapid Alert System for Food and Feeds (RASFF). Pengaruh ini berdampak kepada peredaran produk negara eksportir di Uni Eropa. RASFF merupakan jejaring kerja dalam sistem siaga cepat untuk pemberitahuan risiko langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari 45 pangan atau pakan. Melalui RASFF yang diacu dalam Saputra (2011), produk pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa akan menerima tiga notification yaitu alert notification, information notification, dan border rejection notification. Alert notification merupakan sebuah “pemberitahuan peringatan” atau peringatan yang dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Peraturan lain pada EC/853/2004 yang juga dikeluarkan oleh Komisi Eropa, menempatkan persyaratan kesehatan makanan untuk produk yang berasal dari hewan, mencakup sistem prosedur HACCP. Aturan ini memberikan tanggung jawab pada produsen pangan utama untuk keamanan pangan melalui pengecekan sendiri dan teknik pengendalian terhadap bahaya. Peraturan ini diberikan karena pengembangan budidaya produk perikanan, khususnya udang, hanya mengutamakan peningkatan produksi dan menyampingkan aspek mutu dan keamanan pangan, padahal menurut Putro (2008) produk udang budidaya sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri-bakteri patogen maupun residu antibiotik/obat-obatan dan pestisida yang membahayakan kesehatan konsumen. Oleh karena itu, ditetapkannya konsep HACCP oleh Komisi Eropa juga perlu diterapkan dalam industri udang nasional dalam standardisasi budidaya untuk mencegah residu obat-obatan dan kontaminasi berbagai senyawa kimia dalam produk udang budidaya, serta mencegah terjadinya kontaminasi mikrobiologi ketika udang dibudidayakan di kolam/tambak maupun di tempat pengolahan menjadi produk beku untuk di ekspor. Berdasarkan peraturan atau regulasi yang ditetapkan oleh Uni Eropa sebagai hambatan nontarif (Tabel 11), maka Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan kewajiban dasar bagi pengolah, buyer, dan competent authority dari negara pengekspor yang akan melakukan ekspor produk udang ataupun produk 46 perikanan lainnya ke Uni Eropa untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut, diantaranya: 1) Pengolah (Unit pengolahan/perusahaan/eksportir) harus menerapkan dan memantau kegiatan pengolahan berdasarkan: a. Article 3 sampai 6 dari EC 852/2004, secara umum kewajiban bagi perusahaan untuk mengawasi atau memonitor keamanan pangan produk dan proses pengolahan yang menjadi tanggung jawabnya. b. Menerapkan keadaan umum hygienic primary production article 4.1 dan PART A annex I dari EC 852/2004. c. Menerapkan detail (detail requirements) setelah primary production (article 4.2 dan Annex II EC 852/2004). d. Persyaratan Mikrobiologi pada Article 4.3 EC 852/2004 dan EC No. 2073/2005. e. Menerapkan prosedur prinsip-prinsip HACCP (article 5 dari EC 852/2004). f. Unit pengolah harus teregistrasi sesuai article 6 dari EC 852/2004. 2) Buyer/Importer (food business operators importing products) melaksanakan pengawasan sesuai dengan persyaratan EC 853/2004, dan harus menjamin bahwa produk-produk tersebut telah memiliki dan menerapkan sistem penanganan pengolahan yang sehat dan produk tersebut diperiksa di border inspection posts. 3) Pemerintah (competent authority) di negara pengekspor berkewajiban: a. Competent authority melakukan pengawasan (official control) yang memenuhi kriteria yang tercantum dalam EC 882/2004 b. Competent authority mengawasi perusahaan yang diberi wewenang untuk ekspor ke Uni Eropa agar tetap memenuhi European Community Requirements c. Competent authority mempertahankan, memperbaharui, dan mengkomunikasikan kepada Komisi Eropa mengenai perusahaan yang tidak memenuhi atau tidak lagi memenuhi European Community Requirements. Compentent authority melakukan ini sesuai dengan Article 12 paragraf 2 EC 854/2004. 47 d. Sertifikat-sertifikat yang dipersyaratkan harus diterbitkan sebelum pengapalan atau meninggalkan pelabuhan. Kewajiban lain dapat diterapkan seiring dengan perkembangan kebijakan yang diberikan oleh Komisi Eropa dalam memberikan regulasi bagi negara-negara eksportir. Pada tahun 2008, Komisi Eropa menetapkan kebijakan CD 2008/660/EC dimana keputusan dari CD 2006/236/EC tidak hanya mengatur systemic border control yang mengecek setiap consignment/container di setiap port entry, melainkan menjadi persyaratan untuk uji produk perikanan yang berasal dari Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada produk perikanan tangkap. Kebijakan yang ditetapkan Komisi Eropa mengharuskan eksportir Indonesia melakukan pengujian terhadap setiap komoditas perikanan. Kebijakan yang diterapkan Uni Eropa ini secara nyata juga menyebabkan volume ekspor produk perikanan Indonesia khususnya tuna sebagai produk perikanan tangkap mengalami penurunan sejak diberlakukannya kebijakan tersebut yaitu dari 12,610 ton pada tahun 2007 menjadi 12,132 ton pada tahun 2008. Meskipun pada tahun berikutnya terjadi kenaikan volume menjadi 13,370 ton, namun pada tahun 2010 kembali mengalami penurunan menjadi 8,434 ton. Regulasi yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk perikanan Indonesia, pada dasarnya telah membawa para pelaku eksportir untuk meningkatkan kualitasnya. Keseriusan pelaku eksportir tersebut telah didukung oleh pemerintah Indonesia dalam pemenuhan standardisasi yang ditetapkan Uni Eropa. Pada tanggal 15 Maret 2010 melalui CD 2010/219/EU, Komisi Eropa mencabut CD 2006/236/EC dan CD 2008/660/EC untuk uji logam berat dan histamin pada produk perikanan tangkap. Pencabutan ini didasari karena hasil tes yang dilakukan Komisi Eropa terhadap produk perikanan di Indonesia tidak melebih tingkat maksimum kandungan logam berat dan histamine. Oleh karena itu, setiap kali pengiriman produk perikanan ke Uni Eropa tidak perlu dilakukan tes uji logam berat dan histamin. Pada tahun 2011, pencabutan peraturan tersebut membuat para pelaku ekspor perikanan tangkap kembali mengekspor secara besar-besaran ke Uni Eropa, sehingga terjadi peningkatan volume ekspor untuk produk perikanan tangkap seperti tuna, yakni dari 8,434 ton menjadi 30,134 ton. 48 Hingga saat ini, kebijakan nontarif untuk produk ekspor perikanan Indonesia ke Uni Eropa diberatkan oleh ketentuan yang diterapkan Komisi Eropa dalam CD 220/2010. Kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa memberikan dampak yang berbeda untuk setiap produk perikanan, khususnya udang yang adalah produk perikanan budidaya. Peraturan CD 220/2010 ini mewajibkan uji sampel bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa. Kebijakan ini didasari karena ditemukannya kandungan antibiotik pada penjual pakan ikan yang berada sekitar tempat budidaya perikanan Indonesia. Kewajiban uji atas produk ekspor perikanan budidaya dapat mengancam daya saing ekspor dan mengurangi pendapatan negara dari produk udang yang biasanya diekspor ke Uni Eropa.. Berdasarkan data statistik ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, terbukti bahwa pada tahun 2010 volume ekspor udang Indonesia mengalami penurunan sebesar 43,51 persen. Penurunan ini terjadi selain karena produksi rendah pada tahun tersebut, adalah akibat kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa dalam CD 220/2010. Peraturan ini mewajibkan sampel yang diperiksa diambil 20 persen dari total volume udang yang diekspor. Oleh sebab itu, jika ada lima kontainer udang, maka satu kontainer harus diperiksa. Satu kontainer biayanya bisa mencapai 3.500 euro dan ditanggung sendiri oleh eksportir. Akibatnya, pengusaha atau pelaku ekspor harus menanggung beban dengan mengurangi margin keuntungan 4. Hal ini berarti kewajiban untuk uji sampel bebas antibiotik mengharuskan para pengusaha ekspor membayar lebih untuk setiap kontainer yang diuji, sehingga untuk mengimbangi biaya pengujian yang ditetapkan Uni Eropa, pengusaha ekspor Indonesia bisa saja melakukan kenaikan harga ekspor. Namun, menurut Darmawan (2011) sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), kenaikan harga ekspor udang hampir tidak mungkin dilakukan Indonesia karena akan sulit bersaing dengan produk udang dan perikanan lainnya dari Thailand dan Vietnam yang juga menjadi pemasok terbesar ekspor perikanan di Asia Tenggara. Selain itu, produk perikanan dari kedua negara itu pun tidak dikenai kewajiban pemeriksaan residu antibiotik seperti Indonesia. Kewajiban uji sampel bebas antibiotik menjadi alasan kuat 4 (http://www.bbrse.kkp.go.id). Ekspor Udang ke Uni Eropa Bakal Turun 11 persen. Diakses tanggal 20 Mei 2012. 49 banyaknya pelaku eksportir yang mengganti tujuan ekspornya ke negara lain, sehingga pada tahun 2010 terjadi penurunan volume ekspor udang ke Uni Eropa dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan analisis deskriptif tentang penerapan kebijakan Uni Eropa terhadap seluruh produk perikanan yang diimpor, seluruh kebijakan nontarif oleh Uni Eropa haruslah dipenuhi oleh seluruh eksportir karena menyangkut kesehatan dan keamanan konsumen. Meskipun kebijakan yang ditetapkan oleh Uni Eropa sangat ketat terhadap produk perikanan, khususnya udang yang adalah produk perikanan budidaya, namun pasar Eropa masih tetap prospektif untuk terus dimasuki oleh negara-negara pengekspor udang di dunia seperti Indonesia. Ketetapan adanya zero tolerance yang diangkat oleh Uni Eropa terhadap produk udang budidaya akan antibiotik seharusnya tidaklah menjadi masalah bagi pelakupelaku eksportir jika ingin memasuki pasar Eropa. Bagi Indonesia, adanya zero tolerance harusnya membawa seluruh stakeholder untuk mencermati secara intensif setiap tahapan dalam budidaya udang di tingkat petambak/pembudidaya hingga unit pengolah. 6.1.3. Penerapan Kebijakan Adminstratif di Uni Eropa Masalah lain yang dapat menjadi hambatan bagi produk ekspor hasil perikanan adalah masalah yang berkaitan dengan administrasi. Alasan yang paling umum menjadi hambatan administratif adalah approval number, health certificate, dan competent authority. Mengenai health certificate, Komisi Eropa menetapkan bahwa setiap eksportir harus dilengkapi dengan dua health certificate yaitu: (1) Health certificae atau sertifikat kesehatan produk perikanan eskpor untuk tujuan konsumsi manusia yang dikeluarkan oleh Balai/Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan (2) Health certificate atau sertifikat kesehatan produk perikanan ekspor untuk hama dan penyakit ikan atau media pembawanya yang dikeluarkan oleh Stasiun Karantina, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang biasanya berlokasi di lingkungan pelabuhan umum atau bandar udara. Eksportir/pengolah/unit pengolahan juga harus dilengkapi Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP). Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) merupakan dokumen yang menyatakan bahwa unit pengolahan tempat produk perikanan 50 diolah telah memenuhi standar kelayakan dasar penanganan/pengolahan ikan atau Good Manufacturing Practices (GMP), dan prosedur standar sanitasi atau Standard Sanitation Operating Procedures (SSOP). Dalam proses mendapatkan SKP, maka Dinas Perikanan dan Kelautan berkewajiban untuk melakukan kegiatan penilikan awal/prainspeksi (preinspection) atau dapat diistilahkan praSKP. Hal ini merupakan pembinaan terhadap perusahaan/unit pengolahan ikan sebelum institusi teknis yaitu Direktorat Standarisasi dan Akreditasi, Ditjen P2HP melakukan penilikan/inspeksi SKP lebih lanjut. Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) merupakan salah satu persyaratan bagi unit pengolahan ikan/eksportir pengolah dalam memperoleh health certificate yang diterbitkan oleh LPPMHP. Selain persyaratan SKP, eksportir produsen/pengolah juga harus memiliki surat keterangan validasi HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) apabila melakukan eskpor produk perikanan ke Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Khusus untuk ekspor ke Uni Eropa, eksportir harus dilengkapi dengan approval number yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa atas usulan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan sebagai Otoritas Kompeten (Competent Authority). Persetujuan (approval) izin ekspor yang diberikan oleh Komisi Eropa kepada para eksportir ternyata hanya diberikan kepada perusahaan eksportir yang sudah dianggap qualified-fulfiling the equivalence conditions for production and plecing on the market dan bukan diberikan kepada semua perusahaan di suatu negara. Selanjutnya, Komisi Eropa akan memberikan informasi daftar perusahaan yang layak ekspor (list of authorized countries) kepada publik melalui website dan dokumen publik lainnya. Hingga tahun 2011, jumlah unit pengolah/eksportir produk perikanan Indonesia yang telah mempunyai approval number adalah 189 unit. Produk hasil perikanan Indonesia umumnya ditolak karena unit pengolah (eksportir) yang bersangkutan belum mempunyai approval number yang dikeluarkan Komisi Eropa. Tahapan Pengawasan secara administratif hasil perikanan yang masuk (impor) ke Uni Eropa dapat dilihat sebagai berikut (KKP, 2010): 1) Competent authority negara pengirim menghubungi Komisi Eropa untuk memohon persetujuan approval number of fisheries establishments atau perusahaan/eksportir hasil perikanan. 51 2) Approval number yang diusulkan, jika diterima atau ditolak akan diterbitkan dalam official journal dari European Community dan disebarkan secara elektronik ke semua member states. 3) Melalui commission decision ditetapkan format health certificate dan list of establishments (unit pengolahan) yang disetujui (telah mendapat approval number). 4) Competent authority dari negara pengirim menerbitkan health certificate dan stempel yang dikeluarkan oleh commission decision. 5) Komisi Eropa melalui Food and Veterinary Office (FVO), Directorate General of Consumer Protection (DG Sanco) melakukan kunjungan ke negara pengirim baik member states maupun negara ketiga untuk misi inspeksi sistem/standar higienis apakah ekuivalen dengan peraturan Uni Eropa. 6) Prosedur ekspor harus masuk mealalui pos pengawasan perbatasan (Border Inspection Post/BIP). 7) Buyer/Importer di negara Uni Eropa harus memberitahu kepada BIP tentang kedatangan Consignment dalam kurun waktu 24 jam melalui laut dan enam jam melalui udara. 8) Official fish inspector atau official veterinary surgeon melakukan pemeriksaan seperti diuraikan berikut: a. Documentary check (pengecekan dokumen) adalah memeriksa dokumendokumen terkait dengan pengiriman barang/produk, termasuk certificate of origin dan health certificate. b. Identity check (identifikasi dokumen) adalah pengecekan visual untuk melihat kecocokan dan konsistensi antara dokumen-dokumen dan produk-produk, termasuk dokumen lain seperti certificate of origin, approval number, dll. c. Physical check (Pemeriksaan fisik) adalah pemeriksaan produk yang dilakukan oleh organoleptik, fish/veterinary pengepakan dan inspector sendiri pengemasan (BIP) (packaging), seperti suhu (temperature), dan atau memungkinkan mengambil contoh dan menguji ke laboratorium (sampling and laboratory testing). 52 9) Jika pemeriksaan dokumen memuaskan pihak inspektur sesuai dengan Common Veterinary Entry Document (CVED) yang diterbitkan, maka consignment tersebut dapat masuk ke Uni Eropa. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan gagal karena masalah mutu dan keamanan produk yang tidak memenuhi syarat atau kandungan tertentu melebih batas yang diberlakukan, maka dilakukan salah satu dari dua pilihan yaitu: dikirim kembali (re-export) atau dihancurkan (destroyed). Berdasarkan Council Regulation (EC) No. 1005/2008 tanggal 28 September 2009 mengenai establishing a community system to prevent, deter, and eliminate illegal, unreported and unregulated fishing, Uni Eropa juga mewajibkan adanya catch certification atas semua produk perikanan hasil tangkapan dari laut yang diekspor ke kawasan tersebut sejak 1 Januari 2010. Sertifikat hasil tangkapan ikan mencakup beberapa hal antara lain: 1) Sertifikasi hasil tangkapan merupakan persyaratan bagi produk perikanan, termasuk produk olahannya yang masuk pasar Uni Eropa. 2) Sertifikasi diisi dan dilengkapi oleh eksportir yang telah memiliki approval number, serta diajukan kepada competent authority, yaitu Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap untuk divalidasi. Hal ini berarti produk perikanan yang akan diekspor merupakan hasil tangkapan dari kegiatan yang telah memenuhi ketentuan pengolahan/konservasi perikanan. 6.2. Analisis Kasus Penolakan Ekspor Udang di Uni Eropa Berdasarkan data yang dilansir oleh RASFF sejak 2004-2011, produk perikanan Indonesia menerima tiga notification oleh European-RASFF, yaitu alert notification, information notification, dan border rejection notification. Alert notification merupakan sebuah “pemberitahuan peringatan” atau “peringatan” di pasar atau ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa. Perkembangan jumlah 53 kasus produk perikanan yang menerima notification dari European-RASFF dapat dilihat pada Gambar 6. 45 Jumlah kasus 40 Ikan Udang 35 30 25 20 15 10 5 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 6. Perkembangan Jumlah Kasus Produk Ikan dan Udang yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011 Sumber: DG Sanco (2012), (diolah) Berdasarkan Gambar 6, secara menyeluruh dapat dilihat bahwa jumlah kasus produk ikan dan udang yang menerima notification dari tahun 2004-2011 sudah mengalami penurunan. Ini menunjukkan bahwa standardisasi produk hasil perikanan Indonesia sudah semakin mendekati standar internasional. Dari tahun 2004-2011, produk ikan menerima notification sebanyak 149 kasus yang terdiri dari 61 persen notification information, 29 persen alert notification, dan 10 persen border rejection notification. Berbeda dengan produk ikan, produk udang hanya menerima notification sebanyak 34 kasus yang terdiri dari 82 persen information notification, dan sisanya alert notification dan border rejection notification masing-masing sembilan persen. Banyaknya produk yang menerima notification berupa information dan alert berarti produk ikan dan udang diketahui memiliki masalah atau dapat membahayakan kesehatan setelah masuk ke dalam pasar di Uni Eropa, sedangkan notification berupa border rejection berarti produk telah ditolak masuk ke pasar Uni Eropa karena membahayakan kesehatan. Dari Gambar 6, khususnya untuk produk udang terlihat perkembangan yang baik dimana sejak tiga tahun terakhir produk udang Indonesia hampir tidak menerima notification dari EuropeanRASFF. Berbeda dengan produk ikan, meskipun sudah mengalami penurunan 54 penerimaan notification selama tahun 2004-2011, namun notification yang diterima tetap tergolong membahayakan, khususnya dari tahun 2008-2011 yang tercatat ada 11 kasus produk ikan yang menerima border rejection notification. Ini berarti produk ikan Indonesia tidak bisa masuk ke Uni Eropa, dengan kata lain harus dihancurkan atau dikembalikan. Produk ikan yang teridentifkasi berbahaya dan menerima notification oleh European-RASFF disebabkan oleh beberapa alasan yang diterima dari produk ikan tersebut. Alasan terjadinya notification pada produk ikan asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7. 25 mercury carbon monoxide treatment 20 histamine Jumlah alasan cadmium 15 poor hygienic state unauthorised substances malachite green, chrystal violet, and leucomalachite green ohters 10 5 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun Gambar 7. Perkembangan Jumlah Alasan Kasus Produk Ikan yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011 Sumber: DG Sanco (2012), (diolah) Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa notification yang diterima dari European-RASFF adalah karena banyaknya produk ikan yang belum sesuai dengan standardisasi Uni Eropa. Alasan terbesar terjadinya notification dari tahun 2004-2011 pada produk ikan tersebut adalah karena produk ikan Indonesia melebihi batas kandungan logam berat seperti mercury dan cadmium. Untuk alasan logam berat, setiap tahunnya Indonesia menerima notification karena produk ikan terdeteksi mengandung mercury ataupun cadmium. Pada periode tersebut, Indonesia menerima notification adanya kandungan logam berat untuk produk ikan sebanyak 41 persen dari 169 total alasan yang diterima dari European-RASFF, 10 persen karena alasan bahwa produk ikan Indonesia 55 mengandung zat beracun yang dapat membahayakan kesehatan seperti histamine, dan sisanya karena alasan proses seperti pengolahan, penangkapan, pengepakan, dll. Jika dilihat perkembangannya dari tahun 2004-2011, alasan notification yang diterima Indonesia sudah banyak berkurang terutama mengenai standardisasi proses seperti unauthorised substances malachite green, chrystal violet, and leucomalachite green, poor hygienc, dan carbon monoxide treatment, namun untuk hal logam berat, produk ikan Indonesia masih terdeteksi adanya produk ikan yang melebih batas maksimum. Adapun kasus notification yang diterima karena produk ikan terdeteksi logam berat seperti mercury dan cadmium pada tahun 2008 adalah karena adanya kebijakan CD 2008/660 yang ditetapkan Uni Eropa yang mengharuskan eksportir Indonesia melakukan pengujian terhadap setiap komoditas perikanan. Kasus penolakan ini dikarenakan produk ikan Indonesia melewati batas maksimum kandungan logam berat untuk perikanan tangkap. Meskipun sudah mengalami penurunan dari periode tahun 2004-2007, namun kasus notification yang diterima tetap harus menjadi perhatian khusus bagi seluruh stakeholder, terutama karena masih ditemukannya produk ikan yang melebih batas kandungan logam berat. Ikan dan produk perikanan lainnya secara umum diberikan regulasi atau peraturan yang sama, tetapi setiap produk bisa menerima alasan yang berbedabeda, tergantung pada penanganan/budidaya untuk produk perikanan budidaya dan penangkapan untuk produk perikanan tangkap. Seperti halnya udang, produk udang sebagai produk perikanan budidaya teridentifkasi berbahaya dan menerima notification oleh European-RASFF disebabkan paling banyak karena alasan antibiotik. Kandungan antibiotik yang terkandung dalam produk perikanan budidaya, khususnya udang telah menjadi perhatian khusus oleh Uni Eropa. Berbagai alasan lain sehingga terjadinya notification pada produk udang asal Indonesia dapat dilihat pada Gambar 8. 56 7 Cadmium Prohibited subtance nitrofuran (metabolite), furazolidone and nitrofurazone Prohibited subtance chloramphenicol 6 Jumlah Alasan 5 Vibrio spp. 4 Too high count of aerobic mesophiles 3 Other 2 1 0 2004 2005 2006 2007 2008 Tahun 2009 2010 2011 Gambar 8. Perkembangan Jumlah Alasan Pasus Produk Udang yang Menerima Notification dari European-RASFF Tahun 2004-2011 Sumber: DG Sanco (2012), (diolah) Gambar 8 menunjukkan perkembangan penurunan kasus notification yang diterima oleh Indonesia untuk produk udang. Untuk alasan antibiotik seperti prohibited substance chloramphenicol, nitrofuran (metabolite) furazolidone, dan nitrofurazone, notification yang diterima menunjukan penurunan kasus. Pada tahun 2004, notification yang diterima sangat tinggi, tetapi pada tahun selanjutnya notification untuk alasan antibiotik semakin berkurang. Berbeda dengan produk ikan, produk udang lebih banyak mengalami penolakan dengan alasan yaitu menggunakan zat yang dilarang seperti chloramphenicol dan nitrofuran serta alasan karena mengandung mikroorganisme seperti Vibrio parahaemolyticus. Produk udang Indonesia dari Gambar 8 menunjukkan perkembangan yang baik dalam hal pemenuhan standardisasi yang sesuai dengan negara importir. Hal ini terbukti bahwa pada tahun 2009-2011, Indonesia tidak menerima notification adanya produk yang membahayakan kesehatan. Adapun satu notification yang diterima pada tahun 2010 hanya karena alasan proses yaitu poor temperature control pada produk udang beku. Adapun kebijakan yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk udang sebagai produk perikanan melalui CD 2010/220, yang mewajibkan uji sampel bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa tidak mengakibatkan terjadi 57 notification oleh European-RASFF. Data kasus notification pada Gambar 8 telah menunjukkan bahwa kebijakan CD 2010/220 yang ditetapkan Uni Eropa terhadap residu antibiotik ternyata tidak ditemukan. Kebijakan CD 2010/220 dapat diajukan kepada Komisi Eropa oleh competent authority untuk segera dicabut karena berdasarkan ketetapan yang disepakati bahwa apabila kebijakan yang ditetapkan sudah dipenuhi dalam waktu satu tahun maka kebijakan tersebut perlu ditinjau ulang. Kasus notification yang terjadi untuk produk udang dan ikan Indonesia di Uni Eropa dapat menjadi jawaban untuk melihat bahwa kebijakan yang diterapkan khususnya nontarif terkait Sanitary and Phytosanitary berpengaruh pada kinerja ekspor udang dan produk perikanan Indonesia lainnya, dimana produk ekspor udang Indonesia telah memenuhi standar keamanan dan kesehatan konsumen di pasar internasional, khususnya Uni Eropa. Selain itu, menurunnya jumlah kasus notification untuk produk ikan dan udang yang diterima dari European-RASFF menunjukkan bahwa penanganan yang dilakukan para pelaku eksportir Indonesia sudah baik dalam memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Berdasarkan hasil analisis penerapan kebijakan Uni Eropa dan kasus notification yang di terima Indonesia oleh European-RASFF menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk setiap produk udang dan perikanan yang masuk dari negara-negara eksportir memang haruslah dipenuhi karena menyangkut kesehatan dan keamanan konsumen. Penurunan volume ekspor udang dan produk perikanan lainnya ke Uni Eropa tidak hanya sematamata karena peraturan yang ditetapkan Uni Eropa melainkan juga karena faktor produksi udang dan penanganan pada setiap produk perikanan. Sedikitnya kasus notification dalam tiga tahun terakhir yang di terima Indonesia dari EuropeanRASFF terhadap produk udang harus dapat dipertahankan oleh seluruh stakeholder. Mengadopsi ketentuan Uni Eropa mengenai zero tolerance terhadap antibiotik berbahaya sangat penting sebagai standar mutlak bagi seluruh pelaku eksportir agar dapat meningkatkan kinerja ekspornya. Tindakan yang dapat dilakukan dalam mengadopsi hal tersebut adalah dengan mencermati secara intensif setiap tahapan dalam budidaya udang baik di tingkat petambak/pembudidaya hingga unit pengolah yaitu dengan melakukan farm 58 registration, farm inspection, feed quality control, farm monitoring, dan raw materials control. 6.3. Kebijakan Pengembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Kebijakan pemerintah dalam pengembangan ekspor hasil perikanan harusnya bertumpu pada kebijakan pengembangan mutu dan keamanan pangan. Meskipun menurt Painthe (2008) perlu juga dilakukan kebijakan pengembangan produk dan pasar yang berorientasi pada “market base development” melalui diversifikasi produk dan pasarnya, namun dalam hal pengembangan pasar ekspor hasil perikanan, Sub Direktorat Pengembangan Ekspor pada tahun 2010 telah menetapkan target pencapaian pasar ekspor baru hingga tahun 2014. Target pasar yang akan ditambah dalam ekspor hasil perikanan Indonesia diantaranya: Uni Emirat Arab, Ceko, dan Ukraina pada tahun 2010; Slovakia, Turki, dan India pada tahun 2011; Mesir, New Zealand, dan Islandia pada tahun 2012; Bahrain, Venezuela, Brazil, dan Papua Nugini pada tahun 2013; Oman, Peru, Kroasia, Afrika Selatan, dan Lithuania pada tahun 2014. Untuk pencapaian pengembangan pasar sesuai target yang ditetapkan, langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan ekspor hasil perikanan di Indonesia adalah perlunya mengetahui prosedur umum ekspor barang (lampiran 1), alur prosedur ekspor hasil perikanan (lampiran 2), dan dokumen yang harus dimiliki dalam perdagangan hasil perikanan (lampiran 3). Ketiga hal tersebut menjadi dasar yang harus diketahui dan dimiliki oleh seluruh pelaku ekspor agar dapat mengembangkan pasar ekspor hasil perikanan. Menjawab tantangan peraturan negara-negara importir utama hasil perikanan seperti Uni Eropa yang memiliki persyaratan yang cukup ketat mengenai standar mutu dan keamanan pangan, pemerintah mempunyai tanggung jawab dan peran penting untuk menghasilkan produk perikanan yang sehat, aman, dan bermutu baik. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah membangun Sistem Perkarantinaan Ikan dan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Sistem tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari hulu ke hilir untuk memberikan jaminan terhadap produk hasil perikanan yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha sejak praproduksi sampai dengan pendistribusian agar dapat 59 memenuhi persyaratan kesehatan ikan dan aman untuk dikonsumsi manusia. Sebagai upaya pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit ikan karantina serta penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan membentuk Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) yang kemudian ditunjuk sebagai otoritas kompeten dalam pengendalian. Peraturan lainnya untuk meningkatkan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia, (BKIPM, 2012 ) yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. 5) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2005 tentang Tindakan Karantina Ikan untuk Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina. 6) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2007 tentang Tindakan Karantina Untuk Pemasukan Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina dari Luar Negeri dan dari Suatu Area ke Area lain di dalam Wilayah Republik Indonesia. 7) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.26/MEN/2008 tentang Kewenangan Penerbitan, Format dan Pemeriksaan Sertifikat Kesehatan dibidang Karantina Ikan dan Sertifikat Kesehatan dibidang Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 8) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan. 60 9) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 10) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/MEN/2011 tentang Instalasi Karantina Ikan. 11) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.25/MEN/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.53/MEN/2010 tentang Penetapan Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina. 13) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.03/MEN/2010 tentang Penetapan Jenis-jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media Pembawa dan Sebarannya. 14) Peraturan Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan selaku Otoritas Kompeten Nomor PER. 03/BKIPM/2011 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 15) Keputusan Kepala Pusat Karantina Ikan Nomor KEP.209/PKRI/VIII/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK). Selain kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam pengembangan ekspor hasil perikanan Indonesia, berlandaskan pada kebijakan Uni Eropa dalam pemberlakuan ketentuan zero tolerance terhadap residu antibiotik tertentu pada udang seperti chloramphenicol, nitrofuran dan furazolidone yang dapat mengakibatkan pada pemusnahan produk udang di port of entry Uni Eropa, maka Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP menetapkan mekanisme pelaksanaan NRCP (National Residu Control Plan) sebagai berikut (KKP, 2011): 1) Pelaku Usaha Pelaku usaha bertanggung jawab untuk melakukan identifikasi dan dokumentasi segala informasi terkait produk perikanan budidaya yang 61 dihasilkan, sekurang-kurangnya satu langkah ke depan dan satu langkah ke belakang. Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) segera menarik produk yang terdeteksi mengandung residu atau terkontaminasi dari pasar, dan bila diperlukan segera melaporkannya kepada Dinas Perikanan setempat/otoritas kompeten; dan (2) Segera memusnahkan produk yang terdeteksi tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan dan segera melaporkannya kepada Dinas Perikanan setempat/otoritas kompeten. 2) Dinas Perikanan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Dinas perikanan di provinsi bertanggung jawab untuk (1) melakukan monitoring pada setiap tahapan proses produksi dan distribusi produk perikanan budidaya untuk memastikan sistem traceability berjalan sesuai persyaratan; dan (2) emberlakukan sanksi berupa penalti pada perusahaan atau pembudidaya yang tidak mampu memenuhi persyaratan traceability. Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) memastikan bahwa pelaku usaha memenuhi kewajibannya dalam penerapan traceability; (2) melakukan tindakan yang memadai dalam menjamin pelaksanaan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan; dan (3) menelusuri risiko sepanjang rantai produksi; dan (4) menginformasikan kepada otoritas kompeten bila terjadi ketidaksesuaian. 3) Kementerian Kelautan dan Perikanan/Otoritas Kompeten Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertanggung jawab dalam hal: (1) menerbitkan peraturan yang diperlukan terkait traceability; dan (2) melakukan inspeksi secara berkala untuk memastikan pelaku usaha memenuhi standar keamanan pangan termasuk penerapan traceabality. Tindakan yang diambil saat risiko teridentifikasi adalah (1) memberikan peringatan dini kepada seluruh provinsi tentang adanya risiko ketidaksesuaian; (2) meminta informasi lengkap dari pelaku usaha untuk dapat dilakukan traceability dan penanganan secara terkoordinasi baik di dalam maupun antara kementerian terkait; dan (3) bilamana perlu mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor dan impor. 62 VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Kebijakan perdagangan internasional oleh Uni Eropa yang menghambat kinerja ekspor udang Indonesia yaitu: kebijakan tarif berupa tarif normal MFN (Most Favoured Nations) yang tergolong tinggi dimana 12 persen untuk produk udang beku dan hidup, dan 20 persen untuk produk udang olahan, kebijakan nontarif berupa CD 2010/220 dan kebijakan administratif berupa approval number dan catch certification untuk produk perikanan tangkap. 2) Kasus notification yang terdiri dari alert notification, information notification, dan border rejection notification terhadap produk udang Indonesia tercatat oleh European-RASFF sebanyak 34 kasus dengan 37 alasan notification. Pada tahun 2004-2008, notification yang diterima terhadap produk udang Indonesia yaitu adanya kandungan antibiotik yang membahayakan kesehatan seperti chloramphenicol dan nitrofuran. Penurunan kasus penolakan terjadi pada tahun 2009-2011 dimana Indonesia tidak menerima notification lagi adanya produk yang membahayakan kesehatan konsumen seperti tahun sebelumnya. 3) Dalam merespon kebijakan dan peraturan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk udang, Indonesia telah melakukan negosiasi penurunan tarif terhadap produk perikanan, namun tetap tidak berhasil. Kebijakan nontarif khususnya terkait sanitary and phytosanitary telah direspon oleh Indonesia dengan menetapkan BKIPM (Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) sebagai competent authority untuk menangani pembinaan secara khusus kepada pembudidaya udang melalui penetapan mekanisme pelaksanaan NRCP (National Residu Control Plan). Mekanisme ini dilakukan dalam rangka memenuhi pemberlakuan ketentuan zero tolerance oleh Uni Eropa. 7.2. Saran Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini yaitu: 1) Dalam mengembangkan kinerja perdagangan dalam ekspor perikanan dan dapat bersaing dengan eksportir lainnya, usaha perikanan perlu meningkatkan efisiensi produksi sehingga harga jual produk bisa lebih rendah dari kompetitor, peningkatan kualitas produk perikanan yang bermutu tinggi sehingga kebijakan yang diterapkan Uni Eropa tidak lagi menjadi hambatan, dan meningkatkan akses pasar yang lebih luas. 2) Meskipun sudah pernah dilakukan namun tidak berhasil, pemerintah harus terus melakukan negosiasi untuk penurunan tarif dari Uni Eropa yang diberlakukan bagi Indonesia. 3) Indonesia perlu melakukan trade creation antara Indonesia dengan Uni Eropa yang nantinya akan memberikan produk ekspor perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa dikenakan tarif yang berbeda dengan negara-negara di luar kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa. 4) Adanya ketetapan zero tolerance dari Uni Eropa perlu dicermati dan diadopsi sebagai standar mutlak bagi pelaku eksportir udang di Indonesia dengan penanganan intensif setiap tahapan dalam budidaya udang baik di tingkat petambak/pembudidaya hingga unit pengolah yaitu dengan melakukan farm registration, farm inspection, feed quality control, farm monitoring, dan raw materials control. 5) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan studi kasus di perusahaan ekspor komoditas perikanan untuk mengkaji penerapan atau pun proses pengolahan yang dilakukan perusahaan terhadap kesusaian dengan peryaratan yang diterapkan oleh pemerintah. 6) Penelitian untuk melihat potensi pasar selain pasar utama (Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang) juga perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia di Internasional. 64 DAFTAR PUSTAKA Ahmed M. 2006. Market Acces and Trade Liberlalisation. International Centre for Trade and Sustainable Develompment (ITCD). Geneva: ITCD. Aisya LK, Dewita SY, Koeshendrajana S. 2006. Pola Perdagangan Internasional Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Eknomi Kelautan dan Perikanan 1 (Juni):49 – 65. Anwar N. 2009. Analisis Respon Produksi, Permintaan Domestik dan Penawaran Ekspor Udang Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. [BKIPM] Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 2011. Kasus Penolakan Produk Perikanan Indonesia di Negara Mitra. Jakarta: Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. [BKIPM] Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. 2012. Petunjuk Teknis Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tentang Organisasi dan Tatakerja UPT. Jakarta: Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Kaemanan Hasil Perikanan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Tahun 2001-2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Pendapatan Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Share Expor Perikanan Indonesia Tahun 2010 Per Kelompok Komoditas. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bungin B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Darmawan T. 2011. Ekspor Udang ke Uni Eropa Bakal Turun 11 Persen. http://www.bbrse.kkp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&i d=160&Itemid=54. [20 Mei 2012]. [DG Sanco] Directorates General of Health and Consumers. 2012. Database of European-RASFF Notifications. https://webgate.ec.europa.eu/rasffwindow/portal. [05 Juli 2012] [DG Taxud] Directorates-General of Taxation and Customs Union. 2012. Database of European Commission Online Customs Tariff. http://europa.eu.int/comm/taxation_customs/dds/en/home.htm. [23 April 2012]. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Ekonomi Udang Indonesia: Model, Analisis, dan Simulasi Kebijakan. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan. [EC] European Commission. 2010. Summaries of Contributions to the Public Consultation. The revision and updating of the European Union’s Scheme of Generalised System of Preferences (the GSP scheme). Bruxelles: European Commission. [EU] European Union. 2010. The Commission Union. http://europa.eu/abouteu/countries/index_en.htm. [23 April 2012]. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. Yearbook: Fishery Statistics Commodities Vol. 75, 2004. Hady H. 2004. Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hartono TT, Koeshendrajana S, Aisya LK. 2005. Analisis Hambatan Perdagangan Internasional Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11:1-14. Irwan M. 1997. Perdagangan Udang Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Infofish. 1995 – 2001. Infofish Market Digest/Infofish Trade News. Infofish Fact Sheet ITN 4/1995; ITN 14/1997; ITN 17/1999; ITN 19/2001. FAO – Kuala Lumpur, Malaysia. [Japan Customs] Ministry of Finance. 2012. Japan's Tariff Schedule as of January 2011. http://www.customs.go.jp/index_e.htm. [12 Juni 2012]. Julianingsih S. 2003. Inventarsasi Kebijakan Nasional dan Internasional Perikanan Tangkap untuk Penangkapan Tuna. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2011. Statistik Ekspor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010. Jakarta: Kementerian Perdagangan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Alur Prosedur Ekspor Hasil Perikanan. Jakarta: Direktorat Pemasaran Luar Negeri. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Utama Tahun 2005-2011. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan Tahun 2005-2011. Jakarta: Direktorat Pemasaran Luar Negeri. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa tahun 2000-2011. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Mekanisme Pelaksanaan National Recidu Control Plan Jakarta: Direktorat Perikanan Budidaya. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama Tahun 2012-2014. Jakarta: Direktorat Pemasaran Luar Negeri. 66 [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Pedoman Ekspor Perikanan ke Negara Mitra. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Ekspor Perikanan Pasar Produktif. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Koeshendrajana S, Aisya LK. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Udang Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 1 (Desember):153-163. Koo WW, Kennedy PL. 2005. International Trade and Agriculture. United Kingdom: Blackwell Publishing. Lambaga A. 2009. Akselerasi Ekspor Produk Perikanan Indonesia Melalui Penerapan Standar. Di Dalam Prosiding Produk Perikanan Indonesia (PPI) Standardisasi; Makasar, 3 Juni 2009. hlm 1-11. Murty KH. 1991. Perdagangan Udang Internasional. Cetakan I. Jakarta: Penebar Swadaya. Nazaruddin. 1993. Seri Komoditas ekspor Pertanian: Perikanan dan Peternakan. Cetakan I. Jakarta: Penebar Swadaya. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Painthe RE. 2008. Analisis Pengaruh Hambatan Tarif dan Nontarif di Pasar Uni Eropa Terhadap Ekspor Komoditas Udang Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Purnomo A. 2007. Pasar Uni Eropa: Ikut atau Semaput. Dalam Craby & Starky, Buletin Pengolahan dan Pemasaran Perikanan. Edisi februari 2007. Jakarta: Ditjen P2HP – DKP. Purnomo A. 2007. Permasalahan Makro di Sektor Perikanan dan Alternatif Kebijakannya. Di dalam Manadiyanto, Nasution Z, editor. Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang, dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hlm 18-19. Putro S. 2001. Platform Riset Pemasaran. Disampaikan dalam Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan; Jakarta, 2 Oktober 2001. Putro S. 2007. Bisnis Udang dalam Era Globalisasi. Disampaikan dalam Forum Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan: Jakarta, Juni 2007. Putro S. 2008. Peran Mutu dalam Menunjang Ekspor Udang Nasional. Squalen vol. 3 no. 1. Jakarta, Juni 2008. Rakhmawan H. 2009. Analisis Daya Saing Komoditas Udang Indonesia di Pasar Internasional. [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 67 Rastikarany H. 2008. Analisis Pengaruh Kebijakan Tarif dan Nontarif Uni Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Retnowati N. 1990. Analisis Ekonomi Udang Indonesia di Pasar Eropa. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga. Saputra MA. 2011. Analisis Alasan Penolakan Produk Pangan Ekspor Indonesia oleh Amerika Serikat dan Eropa Selama Tahun 2002-2010. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Setiyorini A. 2010. Analisis Permintaan Ekspor Udang Indonesia Di Pasar Dunia (Studi Kasus: Pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa). [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Suryawati SH, Purnomo AH. 2007. Penawaran Komoditas Perikanan Indonesia: Trend Produksi, Sentra Produksi, dan Teknologi Pengolahannya. Di dalam Manadiyanto, Nasution Z, editor. Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang, dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hlm 39-66. Todaro P, Stephen CS. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga. [USITC] United States International Trade Commission. 2012. Harmonized Tariff Schedule of the United States Annotated. http://www.usitc.gov/tata/hts/archive/index.htm. [12 Juni 2012]. Yusuf R, Tajerin. 2007. Strategi Pemasaran Komoditas Perikanan Indonesia. Di Dalam Manadiyanto, Nasution Z, editor. Potret dan Strategi Pengembangan Perikanan Tuna, Udang, dan Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hlm 137-138. 68 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Ekspor Barang Secara Umum Berdasarkan sumber KKP (2010), prosedur ekspor barang secara umum dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Eksportir dan importir mengadakan korespondensi/negoisasi. Apabila terjadi kesepakatan dibuat kontrak dagang (sales contract). 2) Importir mengajukan permohonan pembukaan L/C kepada opening bank di luar negeri. 3) Opening bank meneruskan L/C kepada eksportir melalui correspondent/receiving bank di Indonesia. 4) Correspondent/receiving bank meneruskan/memberitahukan L/C kepada eksportir. 5) Eksportir melakukan produksi dan penyiapan barang ekspor. 6) Eksportir menghubungi maskapai pelayaran/penerbangan untuk pelaksanaan pengiriman barang. 7) Apabila barang sudah siap ekspor, dan ada kepastian jadwal pengapalan, eksportir mendaftarkan pemberitahuan ekspor barang (PEB)/ di instansi bea dan cukai di pelabuhan muat. Pihak bea dan cukai akan memfiat muat PEB untuk pemuatan ke atas kapal. 8) Kegiatan pemuatan barang ke kapal. Apabila importir mewajibkan barang ekspor harus disertai SKA, maka eksportir mengrus dokumen Surat Keterangan Asal atau SKA (Certificate of Origin) pada isntansi penerbit SKA. 9) Eksportir melakukan negoisasi L/C kepada correspondent/receiving bank, dengan membawa B/L negotiable, PEB yang difiat muat bea dan cukai serta dokumen-dokumen lain yang disyaratkan dalam L/C. 10) Correspondent/receiving bank mengirim dokumen-dokumen tersebut pada butir 8 dan melakukan penagihan L/C kepada opening bank di luar negeri. 11) Opening bank menyerahkan dokumen tersebut pada butir delapan kepada importir untuk keperluan pengurusan pengeluaran barang dari pelabuhan serta penyelesaian kewajiban/tagihan oleh importir. 12) Importir melaksanakan pengeluaran barang dari pelabuhan dalam negeri. 70 Lampiran 2. Alur Prosedur Ekspor Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan: IUP SIUP Kementerian Kehutanan/KKP CITES Kementerian Perdagangan/Dinas Perdagangan Certificate of Origin Kementerian Keuangan via Ditjen Bea & Cukai Pemberitahuan Ekspor Barang Verifikasi/Validasi/Kotrol unreported data ekspor Perikanan Tangkap/Budidaya Ijin Usaha (Dinas KP Prov/Kabupaten/Kota Pengembangan Traceability Pengendalian di rantai supplai bahan baku: register supplier bahan baku Eksportir: Trader/Forwarder Produsen/ Establishments EKSPOR Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP): Sertifikat Kelayakan Pengolahan – (PRG/GMP) – P2HP Sertifikasi HACCP-based Integrated Quality Management Program – BKIPM Approval Number for EU-BKIPM List of Establishment/exporter - Korea, China, Rusia, Kanda. Catch Certification (EU) since 1 January 2010 DJPT CDS untuk SBT (DJPT) LPPMHP, Diskanla Provinsi/Kabupaten Health Certifiate for sanitary measure of fishery product DS 2031 (for USA) Stasiun Karantina Ikan (Pusat Karantina Ikan – BKIPM) Health Certificate for phytosanitary measures of live fish/seed Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP 2012. 71 Lampiran 3. Dokumen dalam Perdagangan Internasional Hasil Perikanan Menurut Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP (2010), jenis dokumen sebagai persyaratan ekspor dan lembaga yang menerbitkan dokumen dapat dilihat sebagai berikut: 1) Produsen Kontrak Penjualan Manufacturer Certificate Instruktur Manual Brosur 2) Eksportir Brosur Offersheet Sale’s Contract Invoice Consular Invoice Packing List Weight Note – Measuement List Etter of Indemnity Letter of Subrogation Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) Pemberitahuan Ekspor barang Tertentu 3) Bank Akad Kredit Letter of Credit Surat Setoran Pajak (SPP) Surat Setoran Bea Cukai (SSBC) Nota Perhitungan Pembayaran Wesel Ekspor 4) Balai/Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Health certificate atau sertifikat kesehatan produk perikanan eskpor untuk tujuan konsumsi manusia 5) Stasiun Karantina 72 Health certificate atau sertifikat kesehatan produk perikanan ekspor untuk hama dan penyakit ikan atau media pembawanya 6) Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) 7) Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Surat Keterangan Audit Verifikasi penerapan HACCP Approval number khusus untuk ekspor ke Uni Eropa 8) Usaha Jasa Transportasi (Freight Forwarder) Packing List Measurement List Weight Note 9) Bea dan Cukai Fiat (izin) muat barang 10) Independent Surveyor Certificate of Quality Certificate of Weight Chemical Analysis Survey Report Inspection Certifcate Test Certificate 11) Perusahaan Asuransi Cover Note Insurace Policy 12) BPEN, CBI, dan SIPPO General Information Trade Promotion and Exibithion Trade Mission Trade Fairs Trade Consultation 13) Perusahaan Pelayaran (Shipping Company) Mate’s Receipt (resi mualim) 73 Bill of lading Exept Bewijs (EB) Cllaims Constatering Beweijs (CCB) 14) Angkutan Udara Airways Bill (AWB) 15) Dinas Perdagangan Provinsi Kuota produk perikanan Surat Keterangan Negara Asal (SKA) atau Certificate of Origin) Angka Pengenal Ekspor (APE) Angka Pengenal Impor umum (API-U) Angka Pengenal Impor – Terdaftar (Approved Traders) 16) Kantor Inspeksi Pajak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 17) Kedutaan Negara Asing Consular Invoice Customs Invoice 74