arti penting united nations implementing agreement 1995 (unia)

advertisement
ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995
(UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN DI LAUT LEPAS
(Skripsi)
Oleh
YOPIE SEPTIAN RIYADI
0412011260
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2009
ABSTRAK
ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995
(UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN DI LAUT LEPAS
Oleh
YOPIE SEPTIAN RIYADI
Sumber daya perikanan, khususnya sumber daya perikanan laut lepas dewasa ini
mengalami penurunan drastis. Berdasarkan kondisi tersebut, negara-negara
mengadakan Konferensi Hukum Laut Internasional sebanyak tiga kali. Konferensi
Hukum Laut Ketiga disebut juga dengan United Nations Convention on the Law
of the Sea of 10 December 1982 (UNCLOS). Konferensi yang merupakan
implementasi dari UNCLOS salah satunya adalah Agreement for the
Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of
the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of
Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, selanjutnya disebut
UNIA.
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana
pengaturan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut
lepas menurut UNIA dan bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam
kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut
lepas. Metode pendekatan yang digunakan dalam membahas permasalahan skripsi
ini adalah penelitian normatif.
Dalam upaya konservasi dan pengelolaan perikanan menurut UNIA mutlak
diperlukan pendekatan kehati-hatian untuk menentukan tindakan apa yang tepat
untuk diterapkan. Negara pihak diwajibkan melakukan kerjasama antar negara
maupun membentuk sebuah organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau
regional atau disebut RFMOs. RFMOs yang wilayah pengaturannya mencakup
wilayah Indonesia antara lain Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),
Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan
Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
Yopie Septian Riyadi
Arti penting UNIA bagi Indonesia ditinjau dari aspek ekonomi adalah Indonesia
akan mendapatkan alokasi tangkapan jenis ikan yang beruaya terbatas dan ikan
yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional. Ratifikasi UNIA
ditinjau dari aspek hukum akan memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia
dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia. Peraturan perundang-undangan Indonesia banyak
yang telah mendapat pengaruh dari UNIA. Dari aspek upaya konservasi dan
pengelolaan sumber daya perikanan, Indonesia akan mendapatkan bantuan berupa
data dan informasi perikanan yang akurat melalui pertukaran data dan informasi.
Kata kunci: UNIA, Konservasi sumber daya perikanan laut lepas
ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995
(UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN DI LAUT LEPAS
Oleh
YOPIE SEPTIAN RIYADI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2009
Judul Skripsi
:
ARTI PENTING UNITED NATIONS
IMPLEMENTING
AGREEMENT
1995
(UNIA) BAGI INDONESIA DALAM
KAITANNYA DENGAN KONSERVASI
DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA
PERIKANAN DI LAUT LEPAS
Nama Mahasiswa
:
Yopie Septian Riyadi
Nomor Pokok Mahasiswa
:
0412011260
Program Studi
: Hukum Internasional
Fakultas
: Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
A. Baharuddin Naim, S.H, M.H.
NIP. 131925386
Dharma Setiawan, S.H., M.H.
NIP. 131755944
2. Ketua Bagian Hukum Internasional
A. Muthalib Tahar, S.H., M.H.
NIP. 131461850
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua
: A. Baharuddin Naim, S.H., M.H. ……………….
Sekretaris/Anggota
: Dharma Setiawan, S.H., M.H.
……………….
Penguji Utama
: A. Muthalib Tahar, S.H., M.H.
………………..
2. Dekan Fakultas Hukum
Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S.
NIP. 130934469
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 14 Mei 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 September 1986, anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Suyatno dan
Ibu Hj. Dida, Amd.Kes.
Penulis memulai pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak (TK) Amanah
Tangerang diselesaikan pada tahun 1992, Sekolah Dasar (SD) Negeri Karawaci
Baru 2 Perumnas II Tangerang selesai pada tahun 1998, Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 19 Perumnas II Tangerang selesai pada tahun 2001, dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 7 Tangerang, diselesaikan pada
tahun 2004.
Pada tahun 2004, setelah lulus Ujian Akhir Nasional (UAN), penulis mengikuti
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus
pada Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Pusat Studi Bantuan Hukum
(PSBH) periode 2005-2006 di Bidang Pengkaderan. Pada awal tahun 2006 penulis
dipercaya untuk menjadi Ketua Komisi Keuangan pada Dewan Perwakilan
Mahasiswa Fakultas (DPMF) periode 2006-2007. Penulis juga sempat aktif pada
organisasi
eksternal,
yaitu
Perhimpunan
Mahasiswa
Hukum
Indonesia
(PERMAHI). Bulan Juni 2007, penulis mengikuti kegiatan magang di Biro
Hukum dan Organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan selama 45 hari.
Kegiatan magang yang dijalani penulis merupakan sebuah pengalaman yang
sangat berharga, tidak hanya memberikan sebuah perkenalan pada dunia kerja,
tetapi juga membuka wawasan penulis dan memberikan banyak ide untuk
penulisan skripsi ini.
Pada tahun 2007 penulis berkesempatan untuk mengikuti Kompetisi Peradilan
Semu Pidana Prof. Soedarto yang diadakan oleh Universitas Diponegoro
Semarang. Penulis menjadi bagian dalam tim sebagai official dan pembuat berkas.
Dalam kompetisi ini, tim Unila berhasil masuk 5 besar. Pada tahun ini pula
penulis mengikuti Seminar Nasional Pidana yang diadakan oleh Himpunan
Mahasiswa (HIMA) Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun
2008 penulis mengikuti Seminar Nasional dan Kompetisi Peradilan Semu Pidana
Tingkat Nasional Mutiara Djokosoetono yang diadakan Universitas Indonesia,
penulis sebagai tim penyeleksi dan pembuat berkas. Dalam kompetisi ini tim
Unila hanya sampai pada babak penyisihan grup.
MOTTO
Perjuangan Akan Terasa Indah Bila Kita Dapat Menikmatinya
(Penulis)
Penulis)
“ Belajar menulis adalah belajar berfikir. Anda tidaklah mengetahui apapun
dengan jelas kecuali Anda dapat mengungkapkannya secara tertulis”.
(S.I. Hayakawa)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap rasa syukur kepada Allah SWT
kupersembahkan karya kecilku ini kepada :
Keluarga Sederhana, Kecil dan Bahagiaku
Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan dan mendukung
kesuksesanku serta kasih sayang yang tak ternilai, akhirnya aku dapat
menyelesaikan skripsi ini,
adikku Yokie, yang selalu kusayangi, terima kasih atas motivasi dan doa
yang kau berikan
dan
Almamater Tercinta
SANWACANA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat
untuk dapat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Lampung dengan
judul “Arti Penting United Nations Implementing Agreement 1995 (UNIA) Bagi
Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan di Laut Lepas”
Dalam proses penyusunan skripsi ini banyak sekali pihak yang telah memberikan
bantuan kepada penulis baik berupa bimbingan, kritik, saran dan masukan.
Penulis berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Hukum Internasional serta berbagai
pihak pada umumnya. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Allah SWT yang mempunyai kuasa atas jiwa-jiwa lemah yang terbalut
dalam kesempurnaan berselubung ketidaksempurnaan, tempatku bersimpuh,
berserah diri, memanjatkan segala doa. Sesungguhnya manusia hanya bisa
berusaha, Engkaulah yang mempunyai kuasa atas segalanya.
2.
Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
3.
Bapak A. Baharuddin Naim, S.H., M.H. sebagai Pembimbing I
4.
Bapak Dharma Setiawan, S.H., M.H. sebagai Pembimbing II
5.
Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H. sebagai Pembahas I dan sebagai
Ketua Bagian Hukum Internasional
6.
Ibu Darnetty Dae, S.H., M.H. sebagai Pembahas II yang telah memberikan
masukan dan saran kepada penulis.
7.
Bapak Heryandi, S.H., M.S. yang telah banyak memberi saran dan masukan
serta arahan yang sangat membantu dalam memulai penyusunan skripsi ini.
8.
Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademik yang telah
banyak memberikan masukan, bimbingan dan bantuan kepada penulis.
9.
Seluruh Dosen Fakultas Hukum khususnya Dosen Bagian Hukum
Internasional yang telah berbagi ilmu kepada penulis.
10.
Seluruh staf Tata Usaha, khususnya Mas Marjiono, Spd. yang telah banyak
memberikan
motivasi
bagi
penulis
dan
membantu
dalam
proses
administrasi.
11.
Pak Fuad, Pak Rifky dan Pak Rusmana Biro Hukum Departemen Kelautan
dan Perikanan, terima kasih telah meluangkan waktu berbagi pikiran dan ide
untuk skripsi ini.
12.
Papah, Mamah dan Ade Yokie, keluarga kecil bahagia yang selalu
memberikan cahaya terang dan kebahagiaan yang sempurna.
13.
Kawan-kawan FH’04, Nazar, Dwita, Aziz, Apri, Nike, Nitha, Bunga, Arif,
Sofyan², Noya, Vivi, Safta ‘meho’, Dian ‘ibu haji gile’, Mae, Abas, dan lainlain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
14.
Anak-anak PSBH, Andha, Yogi Beni, Selvia, S.H., Titi, S.H., Pipit, S.H.,
Jaksa Ikhsan, S.H., Yulinda, Heni, Astri, Adel, Eko ‘betis’, Terry ‘tejo’,
Bang Erwan, Bang Andi Barkan, Bang Adi, Mumu, Risman, Chandra
‘Aming’, Alrizki, Gatra+Umi, Icha, Uli, Anggi, Intan, Nita, Ikang, Dian,
Dine, Sari, Dina Sirait, Ivin, Aji, Virly, Sarmaida, Susi dll. (Tim MCC
Undip dan Tim MCC Mutdjok, terima kasih telah memberikan pengalaman
dan pembelajaran yang sangat berharga kepada penulis). Tetap Semangat
Majukan PSBH… !!
15.
Kawan-kawan HI COMMUNITY 04 Ali, Desni’bull’, Diah, Bram, Asta,
Rizki, Joel, Yeyen, Nine, Rama, Marfuah, Andi, Suci, Agus.
16.
Aldilla Moniqa, yang selama ini telah setia menemani dan memberikan
kasih sayang serta motivasi kepada penulis.
17.
Para Sahabat, saudara seperjuangan: Ershad ‘poo’, Andi ‘Bembenk’, Zuhdi
‘Uud’ Ferdy ‘dagienk’, Hapit, Jaksa Pedro, Jefry, Indra ‘Mandra’,
18.
Tauners: Mawar, Bim-Bim, Ibu Dini, Inang
19.
Teman-teman 7, Arief ‘Mbe’, Fajar Siregar, Ibul, Nanda, Yudi.
Pada akhirnya penulis hanya dapat menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada
penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bandar Lampung, 14 Mei 2009
Penulis
Yopie Septian Riyadi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup .......................................................... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 8
D. Sistematika Penulisan .............................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian-pengertian .............................................................................. 12
1. Perjanjian Internasional ...................................................................... 12
2. Pengertian Konservasi......................................................................... 13
3. Pengertian Perikanan .......................................................................... 14
4.Pengertian Pengelolaan Perikanan ....................................................... 14
5. Pengertian Laut Lepas ........................................................................ 14
6. Pengertian Organisasi Internasional ................................................... 15
B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Laut .................................................... 17
C. Klasifikasi Perjanjian Internasional ......................................................... 19
1. Klasifikasi Perjanjian Internasional Dari Segi Pihak yang
Mengadakan Perjanjian ..................................................................... 19
2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Ditinjau Dari Jumlah
Peserta yang Mengadakan ................................................................. 20
3. Klasifikasi Perjanjian Ditinjau Dari Sudut Bentuknya ...................... 21
4. Klasifikasi Perjanjian Berdasarkan Tahap Pembentukannya ............. 22
D. Peranan Hukum Internasional Dalam Pembentukan
Hukum Nasional ......................................................................................23
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Tipe Penelitian ........................................................................ 29
B. Pendekatan Masalah ............................................................................... 29
C. Data dan Sumber Data ........................................................................... 29
D. Pengumpulan Data ................................................................................. 31
E. Pengolahan Data .................................................................................... 31
F. Analisis Data ........................................................................................... 32
IV. PEMBAHASAN
A. Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Perikanan Laut lepas .......... 33
1. Tujuan UNIA ..................................................................................... 33
2. Konservasi dan Pengelolaan Sediaan ikan yang Beruaya Terbatas
dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh ................................................ 34
2.1. Penerapan Pendekatan Kehati-hatian ........................................ 35
2.2. Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan .................. 37
3. Kerjasama Antar Negara .................................................................... 38
3.1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Lepas ......................... 39
3.2. Syarat Pembentukan Organisasi dan Pengaturan ...................... 40
3.3. Fungsi Organisasi dan Pengaturan Pengelolaan Perikanan ...... 41
3.4. Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia ........... 42
4. Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum .......................... 53
4.1. Kerjasama Regional dan Sub Regional Dalam Penegakan
Hukum ....................................................................................... 54
B. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia ......................................................... 58
1. Status Perikanan Tuna dan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas
(Straddling Fish Stocks) ..................................................................... 58
2. Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks) ..... 59
3. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia Dari Berbagai Aspek ................. 60
3.1. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Ekonomi ................... 61
3.2. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Hukum ...................... 62
3.3. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Konservasi
dan Pengelolaan Perikanan ....................................................... 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................................. 70
B. Saran ........................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Peta wilayah sebaran ikan tuna sirip biru selatan ................................... 52
2. Peta wilayah RFMOs dunia ................................................................... 53
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika
merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu
diadakan Konferensi Hukum Laut PBB ketiga. Konvensi Hukum Laut PBB ketiga
ini merupakan puncak karya dari PBB mengenai peraturan kelautan. United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS
1982) telah disepakati oleh kurang lebih 130 negara, termasuk Indonesia.
UNCLOS mengatur secara lengkap dan menyeluruh segala hal mengenai laut.
Bagi Indonesia, UNCLOS merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa,
karena usulan Indonesia mengenai negara kepulauan akhirnya disetujui. Indonesia
telah meratifikasi UNCLOS dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea, karena itu
Indonesia telah terikat kepada setiap peraturan yang tercantum dalam UNCLOS.
Peraturan-peraturan dalam UNCLOS 1982 yang berkenaan dengan laut lepas
tercantum dalam Bab VII, dari Pasal 86 hingga Pasal 120. Laut lepas merupakan
bagian-bagian laut yang terletak berdampingan dan berada di luar Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) suatu negara,1 maksudnya adalah laut lepas tidak termasuk dalam
1
Muthalib Tahar, Abdul. 2007. Zona-zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982 dan
Perkembangan Hukum Laut Indonesia (buku ajar). hlm. 35
2
yurisdiksi suatu negara, sehingga tidak ada negara yang dapat memiliki atau
menguasainya.
Terdapat beberapa prinsip kebebasan di laut lepas berdasarkan UNCLOS 1982.
Prinsip kebebasan di laut lepas meliputi:
a. Kebebasan berlayar (freedom of navigation)
b. Kebebasan melakukan penerbangan (freedom of over flight)
c. Kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut (freedom to lay submarine
cabels and pipelines)
d. Kebebasan mendirikan pulau buatan dan instalasi lain yang berdasarkan izin
hukum internasional (freedom to construct artificial island and other
installations permitted under international law)
e. Kebebasan melakukan penangkapan ikan (freedom of fishing)
f. Kebebasan untuk melakukan riset ilmiah kelautan (freedom of scientific
research).2
Dari enam prinsip kebebasan di laut lepas tersebut, salah satunya adalah prinsip
kebebasan melakukan penangkapan ikan. Kebebasan-kebebasan tersebut bukan
merupakan sebuah kebebasan yang memberikan kekuasaan bagi pihak manapun,
tetapi kebebasan diberikan dengan konsep perlindungan, sehingga kegiatan yang
dilakukan di wilayah laut lepas tidak sampai merusak perairan dan sumber daya
alam hayatinya.3
2
Pasal 87 UNCLOS 1982
Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan
Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit 2007
3
3
Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki potensi
yang besar. Salah satu wilayah laut yang termasuk laut lepas adalah Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik. Menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan
tahun 2001, kawasan Samudera Hindia memiliki potensi sebesar 1,078 juta
ton/tahun, Laut Cina Selatan 1,057 juta ton/tahun dan Samudera Pasifik 632,72
juta ton/tahun.4 Besarnya potensi sumber daya perikanan di laut lepas
menimbulkan
adanya
persaingan
negara-negara
yang
berusaha
untuk
menguasainya.
Guna mencegah terjadinya kepunahan sumber daya perikanan di laut lepas,
diperlukan adanya peraturan mengenai pengelolaan dan konservasi. UNCLOS
1982 mengatur mengenai sumber kekayaan hayati di laut lepas dalam Bagian 2
Bab VII tentang Laut Lepas. Bagian 2 Bab VII mengatur mengenai Hak untuk
Menangkap Ikan di Laut Lepas, Kewajiban Negara untuk Mengadakan Tindakan
Bertalian Dengan Warga negaranya untuk Konservasi Sumber Kekayaan Hayati
di Laut Lepas, Kerjasama Negara-negara dalam Konservasi dan pengelolaan
Sumber Kekayaan Hayati, Konservasi Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas,
dan Mamalia Laut.
Pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan di laut
lepas yang terdapat dalam UNCLOS 1982 memerlukan ketentuan internasional
lain yang bersifat khusus, karena itu masih perlu diadakan konvensi selanjutnya
sebagai peraturan pelaksanaannya. Konvensi yang mengatur lebih rinci tentang
pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas adalah :
4
http//www.dkp.go.id.. Diakses pada tanggal 18 oktober 2008.
4
a. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993.
(Persetujuan Untuk Memajukan Penaatan Terhadap Tindakan Konservasi Dan
Pengelolaan Secara Internasional Oleh Kapal-Kapal Ikan Di Laut Lepas,
1993)
b. Code of Conduct for Responsible Fisheries. (Tata Laksana Perikanan Yang
Bertanggung Jawab)
c. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks. (Persetujuan untuk Melaksanakan KetentuanKetentuan Dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut
Tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan Dengan Konservasi dan
Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang
Beruaya Jauh).
Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory
Fish Stocks 1995, umumnya konvensi ini lebih dikenal dengan sebutan United
Nations Implementing Agreement 1995 (selanjutnya disebut UNIA). UNIA berisi
ketentuan-ketentuan dan standar pengelolaan dan konservasi jenis-jenis ikan yang
beruaya jauh, selain itu persetujuan ini juga dimaksudkan sebagai suatu upaya
untuk mengisi kekosongan kebijakan pengelolaan dan konservasi perikanan di
5
sebagian besar dunia, yang dianggap sebagai penyebab berkurangnya sediaan
jenis-jenis ikan yang bernilai komersial tinggi.
Indonesia sebagai negara yang secara geografis terletak diantara Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia merupakan jalur perlintasan khususnya bagi jenis-jenis ikan
yang beruaya jauh, dengan demikian Indonesia memiliki potensi ekonomi yang
besar untuk dikembangkan.
Apabila Indonesia telah meratifikasi UNIA, maka Indonesia akan mempunyai hak
dan kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan
yang beruaya jauh sebagai pelaksanaan dari Pasal 63 tentang persediaan jenis ikan
yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif dua negara pantai atau lebih atau baik
di dalam Zona Ekonomi Eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta
berdekatan dengannya, dan Pasal 64 UNCLOS 1982 tentang persediaan ikan yang
bermigrasi jauh.5
Berdasarkan Pasal 38 UNIA, maka setiap negara yang akan menjadi Negara Pihak
harus melakukan pengesahan (ratifikasi). Perjanjian ini telah berlaku efektif pada
tanggal 11 Desember 2001 setelah negara ke-30 yaitu Malta mendepositkan
instrumen ratifikasinya pada tanggal 11 November 2001.6
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UNIA tentang kerjasama untuk pengelolaan dan
konservasi, konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas
maupun jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dimandatkan untuk diatur lebih lanjut
5
6
Naskah Akademis Ratifikasi UNIA 1995
Naskah Akademis Ratifikasi UNIA 1995, ibid
6
melalui
organisasi
pengelolaan
perikanan
regional
(Regional
Fisheries
Management Organizations, selanjutnya disingkat RFMOs). Organisasi ini juga
merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal 118 UNCLOS 1982.
RFMOs merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan untuk
menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan
yang demikian di seluruh kawasan. Anggota dari organisasi ini adalah negara
pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh yang warga negaranya
memanfaatkan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) di
kawasan tersebut.
Salah satu syarat untuk menjadi anggota beberapa RFMOs, setiap negara terlebih
dahulu harus meratifikasi UNIA. Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi
perjanjian tersebut, sehingga Indonesia belum menjadi anggota dan di beberapa
RFMOs, Indonesia baru menjadi negara peninjau (observer). Posisi Indonesia
yang hanya sebagai negara peninjau menyebabkan jatah penangkapan ikan-ikan
tertentu di laut lepas menjadi terbatas, padahal terdapat beberapa ikan ekonomis
yang berkembang biak di wilayah Indonesia.
Saat ini telah berdiri beberapa RFMOs yang area pengaturannya mencakup
wilayah Indonesia, antara lain Indian Ocean Tuna Commission (selanjutnya
disingkat IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna
(selanjutnya disingkat CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries
Commission (selanjutnya disingkat WCPFC).
7
Peraturan mengenai sumber daya perikanan yang dimiliki Indonesia saat ini
adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118). Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 merupakan rujukan dari diratifikasinya UNCLOS 1982 dengan
Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations
Convention on The Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Hukum Laut). Sebagai konsekuensi hukum diratifikasinya UNCLOS
1982, Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan
pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut
lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang
berlaku.7
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, tujuan
pengelolaan perikanan antara lain adalah menjamin kelestarian sumber daya ikan,
lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.8 Dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004, ketentuan mengenai pengelolaan perikanan diatur dalam Bab IV
tentang pengelolaan perikanan. Mengenai kerjasama internasional pengelolaan
sumber daya perikanan terdapat dalam Pasal 10, antara lain kewajiban negara
dalam mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah
konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan, dan juga keikutsertaan pemerintah
dalam keanggotaan organisasi atau badan pengelolaan perikanan regional maupun
internasional.
7
8
Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
8
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian yang akan
dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Arti Penting United Nations
Implementing Agreement 1995 (UNIA) Bagi Indonesia Dalam Kaitannya Dengan
Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut Lepas.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Dari uraian latar belakang permasalahan diatas, yang menjadi permasalahan
dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan tentang konservasi perikanan laut lepas menurut United
Nations Implementing Agreement (UNIA)?
2. Bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam kaitannya dengan
konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini secara substantif mengenai perlindungan sumber
daya perikanan di laut lepas yang diatur dalam United Nations Implementing
Agreement (UNIA) dan arti penting UNIA bagi Indonesia.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaturan mengenai konservasi sumber
daya perikanan di laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement
(UNIA).
9
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan arti penting UNIA bagi Indonesia dengan
aspek ekonomi, hukum, aspek hukum, dan aspek konservasi dan pengelolaan
sebagai indikatornya.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai 2 (dua) aspek kegunaan yaitu kegunaan praktis dan
kegunaan teoritis.
1. Kegunaan Praktis
a) Sebagai salah satu sarana untuk memperluas pengetahuan bagi peneliti di
bidang Hukum Internasional, khususnya mengenai sejauh mana UNIA
mengatur perlindungan sumber daya perikanan laut lepas
b) Sebagai upaya untuk pelatihan dan pengembangan wawasan keilmuan penulis
di bidang Hukum Internasional.
2. Kegunaan Teoritis
a) Sebagai bahan pemikiran mahasiswa bahwa ilmu hukum mempunyai bidang
penerapan yang luas tidak hanya terbatas pada satu bidang saja
b) Penelitian ini sebagai sumber informasi dan bacaan dari berbagai pihak yang
memerlukan.
D. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini secara keseluruhan maka
sistematika penulisan disusun sebagai berikut:
10
I. PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan merupakan sebuah pengantar awal untuk memasuki isi dari
penelitian ini. Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan
kegunaan penelitian serta sistematika penulisan skripsi sebagai arahan pada
penulisan. Diharapkan, bab pendahuluan ini dapat memberikan gambaran umum
mengenai ketentuan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat
dalam hukum UNIA.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pemahaman kepada pengertian umum tentang pokok-pokok
bahasan dalam hal ini mengenai ketentuan konservasi sumber daya perikanan di
laut lepas yang menjadi dasar penelitian ini.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
yaitu tentang langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan
pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikan sumber dan
jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data. Dari proses pengolahan
data kemudian diuraikan dengan cara melakukan analisis data.
IV. PEMBAHASAN
Bab ini memuat pembahasan yaitu tentang ketentuan pengaturan konservasi
sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat dalam Agreement for the
Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of
the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of
Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNIA) dan arti
pentingnya bagi Indonesia.
11
V. PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan secara ringkas dari hasil pembahasan dan penelitian
serta beberapa saran dari penulis sehubungan dengan permasalahan yang telah
dibahas.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian-pengertian
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang
diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.1
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, yang dimaksud perjanjian internasional
adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum
Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di
bidang hukum publik.2
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perjanjian internasional telah
terjawab dengan adanya Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.
Walaupun perjanjian ini tidak berlaku surut namun dapat diterapkan pada
perjanjian sebelumnya yang telah dibuat, karena konvensi ini merupakan hasil
kerja Komisi Hukum Internasional yang mantap.
1
2
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional.Cet. Keempat 1982
Pasal 1 huruf (a) UU No. 24 Tahun 2000
13
Komisi Hukum Internasional telah menyelesaikan rancangan konvensi hukum
perjanjian internasional antara negara-negara dan organisasi internasional atau
antara dua organisasi internasional atau lebih. Rancangan konvensi mengambil
contoh model Konvensi Wina bagi hukum perjanjian, sekalipun belum ada
konferensi diplomatik yang telah diadakan untuk mempertimbangkan dan
mengambil rancangan itu sebagai suatu konvensi.
2. Pengertian Konservasi
Konservasi sumber daya ikan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari
peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.3
Menurut
Compliance
Agreement,
tindakan
pengelolaan
dan
konservasi
internasional adalah tindakan untuk melindungi dan mengelola satu atau beberapa
spesies sumber kekayaan hayati laut yang disetujui dan diterapkan sesuai dengan
peraturan terkait dengan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam
UNCLOS 1982.4
3
4
UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Naskah Akademik Ratifikasi Compliance Agreement 1993
14
3. Pengertian Perikanan
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkugannya mulai dari pra produksi,
produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan.5
4. Pengertian Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi
dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan
keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum
dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.6
Tindakan konservasi dan pengelolaan berarti tindakan untuk melindungi dan
mengelola satu atau beberapa spesies sumber daya hayati yang disetujui dan
diterapkan konsisten dengan ketentuan yang terkait dari hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam UNIA. 7
5. Pengertian Laut Lepas
Laut lepas adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona
ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu
negara atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Hal ini tidak
5
6
7
Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, ibid, Pasal 1 ayat (7)
Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 1 ayat 1 (a)
15
mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua
negara di Zona Ekonomi Eksklusif.8
Sedangkan menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, laut lepas adalah
bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI), laut territorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan
pedalaman Indonesia.9 Secara simple laut lepas didefinisikan sebagai “bagian laut
yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. 10
Daerah ini tidak dapat di klain kedaulatannya oleh negara manapun. Laut lepas
berada di luar batas 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif. Laut ini terbuka bagi
semua negara dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingankepentingan negara lain.
6. Pengertian Organisasi Internasional
Sampai saat ini tidak ada pengertian yang baku tentang organisasi internasional.
Bowett D.W. mengatakan :
“… dan tidak ada definisi organisasi internasional yang diterima secara
umum. Pada umumnya, bagaimanapun juga organisasi ini adalah
organisasi permanen (misalnya, di bidang postel atau administrasi kereta
api), yang didirikan atas dasar perjanjian internasional, yang kebanyakan
merupakan perjanjian multilateral daripada perjanjian bilateral dan dengan
tujuan tertentu”.11
Sedangkan menurut Boer Mauna, organisasi internasional adalah suatu
perhimpunan negara-negara yang merdeka dan berdaulat yang bertujuan untuk
mencapai kepentingan bersama melalui organ-organ dari perhimpunan itu
8
Pasal 86 UNCLOS 1982
Pasal 1 ayat (22) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
10
Muthalib Tahar, Abdul. 2007. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982 dan Perkembangan Hukum Laut
Indonesia. hlm. 30
11
Syahmin A.K,S.H. Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, 1985 hlm 3
9
16
sendiri.12 Walaupun tidak mempunyai pengertian yang pasti, organisasi
internasional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a) Mempunyai organ permanen.
b) Obyeknya merupakan kepentingan semua orang / negara, bukan untuk
mencari keuntungan.
c) Keanggotaannya terbuka untuk setiap individu atau kelompok dari setiap
negara.13
Organisasi internasional juga dapat diklasifikasikan yang dimaksudkan untuk
mengetahui fungsi, tujuan serta ruang lingkup aktivitas lembaga tersebut.
Berdasarkan fungsi, organisasi internasional dapat dibagi menjadi fungsi politis,
fungsi administratif, fungsi yudisial, fungsi ekonomis, fungsi sosial dan fungsi
legislatif. Sedangkan berdasarkan ruang lingkup; organisasi global atau universal
dan organisasi regional.
Menurut Bowett D.W., organisasi internasional dapat diklasifikasikan berdasarkan
kompetensinya menjadi 2 yaitu, organisasi internasional yang mempunyai
kompetensi universal dan organisasi internasional yang kompetensinya terbatas.
Sedangkan menurut Schwarzenberger, organisasi internasional mempunyai lima
fungsi.14
12
13
14
Syahmin A.K,S.H., ibid., hlm 5
Syahmin A.K,S.H., op cit., hlm 9
Syahmin A.K,S.H.,ibid, hlm 10 – 11
5 fungsi organisasi menurut Schwarzenberger, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
Lamanya yang diharapkan, ad-hoc, professional dan lembaga yang permanen.
Sifat kekuasaannya : judicial, conciliatory, governmental, administrative, co-odative dan lembaga legislative. Jika lemabag memberikan bantuan
secara menyeluruh atau sebagian dari kekuasaannya, maka alembaga tersebut adalah komprehensif, sebaliknya apabila tidak, disebut nonkomprehensif.
Sifat homogen atau heterogen sasarannya, yakni lembaga memiliki satu atau beberapa maksud dan tujuan sejalan dengan sifat sesungguhya, juga
tujuannya adalah politis dan fungsional yang disebutkan dalam ekonomi, social serta kemnusiaan dan kelembagaan.
Bidang yurisdiksinya :
a.
Personal scope (ratione personae) menyangkut universal, universalist dan sectional. Terhadap lembaga yang bertujuan hidup bersama-sama,
tetapi tidak cukup mencapai obyeknya, keadaan Negara ini diistilahkan dengan universalist. Sedangkan apabila Negara-negara anggota
termaksud diuji kebenaran lembaga-lembaga terbatas tersebut saling berlawanan jajarannya, maka mereka sectional group.
b.
Geographical scope ( ratione loci ) berupa : global, regional dan local
c.
Substantive scope ( ratione materiae ), berbentuk general dan limited.
d.
Temporal scope ( rationae temporis ), dimana yurisdiksi lembaga pengadilan internasional fungsinya terbatas pada perselisihan yang timbul
setelah diadakan perjanjian tertentu.
Tingkat integrasi ; yang meliputi lembaga internasional dan lembaga supranasional.
17
UNCLOS 1982 merumuskan Organisasi Internasional sebagai suatu organisasi
antar pemerintah yang dibentuk oleh negara-negara yang kepadanya telah
dialihkan oleh negara-negara anggotanya kompetensi mengenai hal-hal yang di
atur oleh Konvensi ini, termasuk kompetensi untuk membuat perjanjian yang
berkenaan dengan hal-hal tersebut.15
Organisasi internasional yang bergerak dalam pengelolaan perikanan di laut lepas
disebut Regional Fisheries Management Organization (RFMOs). RFMOs
merupakan organisasi internasional yang bersifat sub regional, regional dan
internasional yang melakukan pengelolaan perikanan di laut lepas. Organisasi ini
merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal 118 UNCLOS 1982.
RFMOs merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan untuk
menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan
yang demikian di seluruh kawasan. Anggota dari organisasi ini adalah negara
pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh yang warga negaranya
memanfaatkan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) di
kawasan tersebut.
B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Laut
Bumi yang dihuni oleh umat manusia 70 % terdiri atas air atau lautan. Air
merupakan sebuah komponen bumi yang sangat penting. Manusia membutuhkan
air, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan terhadap air secara
langsung contohnya adalah untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci,
minum dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan tidak langsungnya adalah kebutuhan
15
Lampiran IX pasal 1 UNCLOS 1982
18
manusia terhadap kekayaan sumber daya alam yang terdapat di dalam air, seperti
ikan.
Kekayaan alam yang terkandung dalam air, dalam hal ini adalah laut, sangat
banyak, baik itu kekayaan alam hayati maupun mineral. Karena itu wajar saja
apabila manusia, dalam hal ini negara, berusaha untuk mengeksploitasinya
sedemikian rupa bahkan menguasainya. Pada abad ke-16 timbul dua pemikiran
mengenai siapa yang berhak memiliki laut. Pertama adalah Mazhab Res
Communis yang dicetuskan Hugo Grotius pada tahun 1609. Mazhab ini
beranggapan bahwa laut merupakan milik bersama seluruh umat manusia,
sehingga tidak ada satupun negara yang berhak untuk menguasainya. Pada saat itu
kegunaan laut hanya untuk pelayaran dan penangkapan ikan. Pelopornya adalah
Kekaisaran Romawi. Yang kedua adalah Mazhab Res Nullius yang beranggapan
bahwa laut dapat dimiliki apabila yang berhasrat untuk memilikinya bisa
menguasai dengan mendudukinya. Seiring dengan perkembangan zaman, pada
akhirnya dapat ditemukan sebuah titik temu diantara kedua mazhab tersebut, yaitu
bahwa pada dasarnya laut merupakan milik bersama seluruh umat manusia.
Walaupun begitu, negara masih mempunyai wilayah perairan dengan batas-batas
yang telah ditentukan.
Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga
telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) di Montego Bay,
Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982 yang ditandatangani oleh 117 (seratus
19
tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara.
Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Hukum Laut,
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut mengatur
rezim-rezim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh.
C. Klasifikasi Perjanjian Internasional
Secara
formal,
perjanjian
internasional
tidak
dapat
digolongkan
atau
diklasifikasikan. Walaupun begitu, beberapa sarjana berpendapat bahwa
perjanjian internasional dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam yang
ditinjau dari beberapa segi atau beberapa hal sebagai berikut :
1) Subyek (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian;
2) Jumlah pihak yang mengadakan perjanjian;
3) Corak atau bentuk dari perjanjian itu sendiri;
4) Proses atau tahapan pembentukan perjanjian;
5) Sifat pelaksanaan perjanjian itu sendiri; dan
6) Fungsi dari perjanjian internasional itu sendiri dalam pembentukan
hukum.
Berikut adalah penjelasan secara singkat dari masing-masing jenis klasifikasi
perjanjian tersebut secara berurutan.16
1. Klasifikasi Perjanjian Internasional Dari Segi Pihak yang Mengadakan
Perjanjian
Berdasarkan
pihak-pihak
yang
mengadakan
perjanjian
maka
perjanjian
internasional dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
16
Syahmin, A.K, S.H. 1985. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina
1969)..hlm 11.
20
a) Perjanjian antar negara. Perjanjian ini adalah perjanjian antar negara
dengan negara lainnya yang didasari atas kesetaraan bersama.
b) Perjanjian antara negara dengan subyek hukum internasional lainnya.
Perjanjian ini misalnya dengan organisasi internasional, atau dengan Kursi
Suci (Vatikan) yang merupakan subyek hukum internasional dalam arti
yang terbatas.
c) Perjanjian antara subyek hukum internasional lain selain negara satu sama
lainnya. Perjanjian khususnya antara satu organisasi internasional lainnya.
Misalnya perjanjian internasional yang diadakan antara negara-negara
yang tergabung di dalam sebuah organisasi internasional dengan
organisasi internasional lainnya.
2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Ditinjau dari Jumlah Peserta yang
Mengadakan
Perjanjian ini dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
a) Perjanjian Bilateral, yaitu perjanjian yang hanya diadakan oleh dua pihak
(negara) saja. Pada umumya, perjanjian jenis ini hanya mengatur soal-soal
khusus yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak saja. Misalnya
perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dan Republik Philipina di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Perjanjian bilateral ini bersifat
tertutup (gesloten verdrag), artinya tertutup kemungkinan bagi pihak
ketiga untuk ikut sebagai peserta bagi perjanjian itu. Perjanjian bilateral
pada umunya termasuk apa yang dinamakan “Treaty Contracts”
(perjanjian yang bersifat kontrak).
21
b) Perjanjian Multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak
(negara), yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open
verdrag). Hal-hal yang diatur didalamnya adalah hal-hal yang lazim
menyangkut
kepentingan
umum
yang
tidak
hanya
menyangkut
kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja, melainkan
menyangkut pula kepentingan lain yang bukan peserta perjanjian.
Perjanjian multilateral inilah yang umumnya dikategorikan “Law Making
Treaties” atau perjanjian yang membentuk hukum, bersama-sama dengan
“treaty contract” termasuk dalam klasifikasi ke-6 yang mempunyai
hubungan erat dengan kedudukan perjanjian sebagai sumber hukum
internasional.
3. Klasifikasi Perjanjian Ditinjau dari Sudut Bentuknya
Penggolongan perjanjian berdasarkan atas corak atau bentuknya, dapat dibedakan
atas tiga macam.
a) Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta dari
perjanjian ini lazimnya disebut “High Contracting State” (pihak peserta
Agung). Dalam praktek, pihak yang mewakili negara dalam pembuatan
perjanjian itu dapat pula diwakilkan/dikuasakan kepada menteri luar
negeri
atau
duta
besar
sebagai
pejabat
“kuasa
penuh”
(full
atau
inter
powers/plenipotentiaries).
b) Perjanjian
antar
pemerintah
(inter-government
form
departemental form). Seperti halnya dalam perjanjian antar kepala negara,
dalam perjanjian antar pemerintah ini pun dapat dan bahkan sudah sering
22
ditunjuk menteri luar negeri atau duta besar yang diakreditasikan pada
negara dimana perjanjian itu diadakan. Pihak peserta perjanjian umumnya
tetap disebut “contracting state” walaupun para pesertanya dan perjanjian
itu sendiri dinamakan perjanjian antar pemerintah (inter-government
form).
c) Perjanjian antar negara (inter state form). Di dalam perjanjian ini, pihak
peserta perjanjian sesuai dengan namanya, disebut negara. Sebagai pejabat
yang berkuasa penuh mewakilinya adalah dapat pula ditunjuk menteri luar
negeri atau duta besar.
4. Klasifikasi Perjanjian Berdasarkan Tahap Pembentukannya
Penggolongan perjanjian berdasarkan atas tahap pembentukannya dapat
dibedakan atas 2 macam, yaitu :
a) Perjanjian yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan, yakni
perundingan, penandatanganan dan ratifikasi yang lazimnya diadakan
untuk hal-hal yang dianggap badan perwakilan rakyat. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, untuk perjanjian ini dapat digunakan kata “perjanjian
internasional atau traktat”.
b) Perjanjian yang hanya melewati dua tahap pembentukan yaitu perundingan
dan penandatanganan. Merupakan perjanjian yang sederhana sifatnya, dan
diadakan untuk hal-hal yang tidak begitu penting dan memerlukan
penyelesaian yang cepat, seperti perjanjian perdagangan yang berjangka
pendek. Untuk perjanjian internasional jenis ini dinamakan “persetujuan”.
23
D. Peranan Hukum Internasional dalam Pembentukan Hukum Nasional
Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua
teori utama yang dikenal, yaitu monisme dan dualisme.
1 Monisme
Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh
hukum yang mengatur hidup manusia.17 Penulis-penulis yang mendukung
konstruksi monistik sebagian besar berusaha menemukan dasar pandangannya
pada analisis yang benar-benar ilmiah mengenai struktur intern dari sistem-sistem
hukum tersebut.
Pengikut-pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai ketentuan
tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa
kaidah yang mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan lain yang
bukan negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan
kesatuan bidang pengetahuan dan point yang menentukan, karenanya adalah
apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan.
Perangkat hukum nasional dan hukum internasional mempunyai hubungan yang
hierarkis. Hubungan hierarkis dalam teori monisme melahirkan dua pendapat
berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional
dan hukum internasional. Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih
utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai
paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum
17
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, hal 60
24
internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham
monisme dengan primat hukum internasional.
Menurut paham monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional
merupakan perpanjangan tangan dari hukum nasional, atau dapat dikatakan bahwa
hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.
Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada
hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan
yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
a) tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara;
b) dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak
pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang
berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing
negara.18
Monisme dengan primat hukum internasional berangapan bahwa hukum nasional
bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum nasional tunduk
pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat
berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.19
2. Dualisme
Penganut aliran dualistik melihat hukum nasional dan hukum internasional
sebagai tidak saling tergantung satu dengan lainnya. Kedua sistem itu mengatakan
18
19
Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 60-61
http://www.google.com/.ratifikasi/panmohamadfaiz.html
25
pokok permasalahan yang berbeda. Hukum internasional mengatur hubungan
antara negara yang berdaulat sementara hukum nasional mengatur urusan dalam
negeri negara bersangkutan, contohnya hubungan antar eksekutif dengan warga
negaranya dan hubungan antar warga negara dengan yang lainnya secara
individual. Sejalan dengan itu, aliran dualis berpendapat bahwa kedua sistem
saling tolak menolak satu sama lain dan tidak bisa mempunyai kontak satu sama
lain. Jika hukum internasional diterapkan dalam negara, hanyalah karena hukum
internasional telah secara jelas dimasukkan ke dalam hukum nasional.
Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.20 Terdapat beberapa
alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme, antara lain:
a) sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum
internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional
bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional
bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat
hukum internasional
b) subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik
dalam hukum perdata, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
c) struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum
pada realitasnya terdapat mahkamah dan organ eksekutif yang hanya
terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam
hukum internasional
20
Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 57
26
d) kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak
dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan
hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku
secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.21
3. Transformasi dan Adopsi Khusus
Uraian di atas tampaknya belum lengkap jika tanpa menyinggung secara ringkas
beberapa teori yang berkenaan dengan hukum internasional di dalam lingkungan
hukum nasional.
Kaum positivisme telah mengemukakan pandangan bahwa kaidah-kaidah hukum
internasional tidak dapat diberlakukan secara langsung di dalam lingkungan
hukum
nasional
oleh
pengadilan
nasional
atau
oleh
siapapun,
untuk
memberlakukan kaidah tersebut harus menjalani suatu proses adopsi khusus ke
dalam hukum nasional. Menurut teori kaum positivisme, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistem yang sama sekali terpisah dan berbeda
secara struktural, sistem yang pertama tidak dapat menyinggung sistem hukum
nasional kecuali sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang sepenuhnya
logis, memperkenankan perangkat konstitusinya dipakai untuk tujuan tersebut.
Berkaitan dengan kaidah-kaidah traktat, dikatakan bahwa harus ada suatu
transformasi traktat yang bersangkutan, dan transformasi traktat ke dalam hukum
nasional ini, yang bukan hanya menjadi syarat formal, melainkan merupakan
syarat substantif, dengan sendirinya mengesahkan perluasan berlakunya kaidah
yang dimuat dalam traktat-traktat terhadap individu-individu.
21
Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 57-58
27
Teori-teori transformasi bersandar pada sifat konsensual hukum yang berbeda
dengan sifat non-konsensual dari hukum nasional. Secara khusus teori
transformasi yang didasarkan atas suatu anggapan adanya perbedaan antara traktat
di satu pihak dan undang-undang atau peraturan-peraturan nasional di pihak lain
menurut teori ini ada perbedaan antara traktat yang memiliki sifat janji-janji
(promises) dan perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (commands).
Akibat dari perbedaan mendasar ini adalah diperlukannya suatu transformasi dari
satu tipe ke tipe yang lain baik secara formal maupun secara substantif. Penentang
teori transformasi berpendapat bahwa hal perbedaan tersebut tampak dibuat-buat,
mereka berpendapat bahwa apabila diperhatikan fungsi sebenarnya dari
ketentuan-ketentuan dalam traktat atau undang-undang maka akan tampak bahwa
tidak ada satupun yang terlalu melebih-lebihkan “janji-janji” daripada “perintahperintah”. Tujuan dari traktat dan undang-undang yang menjadi landasan umum
adalah untuk menetapkan bahwa keadaan tertentu dari fakta akan menimbulkan
akibat hukum tertentu, perbedaan antara janji dan perintah memang relevan
dengan bentuk dan prosedur, akan tetapi tidak pada karakter hukum yang
sebenarnya dari instrumen ini. Oleh karena itu tidak benar menganggap bahwa
transformasi dari sistem yang satu ke sistem yang lain merupakan hal yang
penting secara material.
Sebagai jawaban terhadap teori transformasi, para penentang teori ini
mengemukakan teori mereka, yakni teori delegasi. Menurut teori delegasi, ada
suatu pendelegasian kepada setiap konstitusi negara oleh kaidah-kaidah
konstitusional dari hukum internasional yaitu hak untuk menentukan kapan
ketentuan suatu traktat atau konvensi berlaku dan bagaimana cara ketentuan
28
tersebut dimasukkan ke dalam hukum nasional. Prosedur atau metode-metode
yang dipakai untuk maksud ini oleh negara yang merupakan suatu kelanjutan dari
proses yang dimulai sejak penutupan traktat atau konvensi. Dalam hal ini tidak
ada transformasi, tidak ada penciptaan kaidah atau hukum nasional baru, yang ada
hanyalah suatu perpanjangan dari satu pembentukan hukum. Dengan demikian
persyaratan-persyaratan hukum nasional semata-mata merupakan bagian dari satu
mekanisme tunggal untuk menciptakan hukum.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Tipe Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka berupa peraturan perundangundangan, buku-buku, atau literatur hukum serta bahan-bahan lain yang sesuai
dengan pembahasan dalam penulisan skripsi ini.
B. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah
melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.1
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan secara yuridis teoritis, yaitu
kajian terhadap peraturan perundang-undangan beserta peraturan-peraturan
lainnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dalam
skripsi ini.
C. Data dan Sumber Data
Data adalah informasi atau keterangan-keterangan yang diperlukan dalam
penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
1
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Hlm 112
30
yaitu data yang bersumber dari data kepustakaan. Data sekunder terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum mengikat yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan, terdiri dari :
a) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
b) Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks 1995
c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer, misalnya artikel-artikel ilmiah, buku-buku, hasil penelitian
hukum atau bahan-bahan yang berhubungan dengan pembahasan mengenai
pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas.
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari
literatur-literatur di bidang ilmu hukum dan tulisan ilmiah yang berhubungan
dengan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas, pendapat-pendapat
para sarjana, berita serta berbagai keterangan dari media massa dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
31
D. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan studi
pustaka, yaitu menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan
dalam penelitian ini, perjanjian-perjanjian internasional, dan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan laut lepas. Kegiatan studi
pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1) Menentukan sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan,
dokumen hukum, catatan hukum, dan literatur hukum.
2) Identifikasi data sekunder yang diperlukan yaitu proses mencari dan
mengenal bahan hukum berupa ketentuan pasal perundang-undangan,
nama dokumen hukum, nama catatan hukum dan judul, nama pengarang,
tahun terbit dan halaman karya tulis bidang hukum.
3) Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara
mengutip atau pencatatan.
4) Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya
dengan kebutuhan dan rumusan masalah.
E. Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data yang dilakukan
dengan cara:
1) Pemeriksaan data yaitu mengoreksi data yang sudah terkumpul apakah
sudah lengkap, benar, dan sesuai dengan masalah.
32
2) Penandaan data yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan
jenis sumber data seperti buku, literatur, perundang-undangan atau
dokumen.
3) Rekonstruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan,
dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.
4) Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika
bahasan berdasarkan urutan masalah.
F. Analisis Data
Bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut kemudian dianalisis secara
kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisa guna menjawab permasalahan yang
ada sehingga dapat menarik suatu kesimpulan.
IV. PEMBAHASAN
A. Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Perikanan Laut Lepas
Pada pembahasan ini akan diuraikan konservasi dan pengelolaan sumber daya
perikanan laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement
(selanjutnya disingkat UNIA).
1. Tujuan UNIA
Tujuan dari UNIA berdasarkan Pasal 2 adalah untuk menjamin konservasi jangka
panjang dan penggunaan berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas
dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas
ketentuan-ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982.
Perjanjian ini menggalakkan ketertiban di laut melalui konservasi dan pengelolaan
sumber daya alam di laut lepas secara efektif, antara lain dengan secara rinci
menetapkan standar internasional minimum untuk konservasi dan pengelolaan
jenis-jenis ikan yang berada di ZEE dua negara (beruaya terbatas) serta jenis ikan
yang bermigrasi jauh.1
1
Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Alumni, 2003, hal
193
34
2. Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas dan
Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh
Adapun prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam konservasi dan pengelolaan
sumber daya perikanan laut lepas menurut Pasal 5 adalah:
a) Mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang
sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh
dan memajukan tujuan penggunaan optimum mereka;
b) Menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan
sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang
lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang
terkait termasuk kebutuhan khusus negara berkembang dan dengan
memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan sediaan
jenis ikan dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara
umum, baik di tingkat sub regional, regional, maupun global;
c) Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Pasal 6;
d) Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan
faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang
termasuk dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau
tergantung pada sediaan target tersebut;
e) Mengambil, apabila diperlukan, tindakan konservasi dan pengelolaan
untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau
tergantung pada sediaan target tersebut, dengan tujuan untuk memelihara
atau memulihkan populasi dari spesies tersebut diatas tingkat dimana
reproduksinya dapat sangat terancam;
f) Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan serta
tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan,
tangkapan spesies yang bukan target, baik ikan maupun bukan spesies
ikan, (selanjutnya disebut sebagai spesies non target) dan dampak terhadap
spesies berhubungan atau tergantung, khususnya spesies yang terancam,
melalui tindakan termasuk, yang lazim, pengembangan dan penggunaan
yang selektif, alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkungan dan
murah;
g) Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut;
h) Mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi kegiatan
penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi
kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan tidak
melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya
ikan;
i) Memperhatikan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;
j) Mengumpulkan dan memberikan, pada saat yang tepat, data yang lengkap
dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal,
tangkapan spesies target dan non target dan usaha penangkapan ikan,
35
sebagaimana tercantum di dalam Lampiran I, juga informasi dari program
riset nasional dan internasional;
k) Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi
yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; dan
l) Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan
melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan.2
2.1. Penerapan Pendekatan Kehati-hatian
Sumber daya perikanan laut lepas merupakan sumber daya yang bersifat
kompleks. Kompleksitas tersebut tidak hanya berkaitan dengan sistem alam itu
sendiri, tetapi juga dalam penentuan seberapa besar sumber daya perikanan yang
terkandung di dalamnya, agar dapat diketahui batasan dalam mengeksploitasi
sumber daya tersebut. Dimensi kompleksitas dalam pengelolaan sumber daya
perikanan juga ditandai dengan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan
resiko pengelolaan yang ditimbulkan. Jumlah stok ikan, misalnya, tidak pasti.
Selain itu, tidak ada input yang digunakan, seperti halnya pakan dalam budi daya,
untuk mengendalikan pertumbuhan ikan. Pengetahuan tentang pertumbuhan ikan,
migrasi, dan mortalitas sangat fragmentary.3 Sampai saat ini alasan utama untuk
dibutuhkannya usaha konservasi dan pengelolaan dikarenakan jumlah tangkapan
yang kian menurun setiap tahunnya.
Sulit diketahuinya jumlah potensi sumber daya perikanan di laut lepas
menyebabkan usaha konservasi dan pengelolaan memerlukan penerapan
pendekatan kehati-hatian dari setiap negara yang melakukan eksploitasi.
Pendekatan kehati-hatian dilakukan agar eksploitasi tidak dilakukan secara besarbesaran, sedangkan jumlah potensinya belum diketahui secara pasti. Penerapan
2
Naskah terjemahan UNIA 1995 Pasal 5
Fauzi, A., dan Suzi Anna. 2008. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan, P.T
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 12.
3
36
pendekatan kehati-hatian dilakukan sampai diperoleh data yang akurat mengenai
besarnya sediaan ikan yang dimiliki, sehingga dapat dilakukan konservasi jangka
panjang.
Dalam Pasal 6 ayat 3, dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian, negaranegara harus:
a) Meningkatkan pengambilan keputusan untuk konservasi dan pengelolaan
sumber daya ikan dengan mendapatkan dan membagikan informasi
ilmiah terbaik yang tersedia dan menerapkan teknik lanjutan untuk
menangani risiko dan ketidakpastian;
b) Menerapkan petunjuk pelaksanaan sebagaimana ditentukan di dalam
Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah terbaik yang
tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan dan tindakan yang dilakukan
apabila mereka terlampaui;
c) Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang berkaitan dengan
ukuran dan produktivitas dari sediaan, titik referensi, kondisi sediaan
dalam kaitan dengan titik referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi
pertumbuhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan pada spesies
non target dan berhubungan atau tergantung, serta kondisi saat ini dan
prakiraan lautan, lingkungan, dan sosial ekonomi; dan
d) Mengembangkan pengumpulan data dan program riset untuk menilai
dampak atas penangkapan pada spesies non target, berhubungan atau
tergantung, dan lingkungan mereka, dan menyetujui perencanaan yang
diperlukan untuk menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk
melindungi habitat yang mendapatkan perhatian khusus.4
Dalam hal penangkapan ikan baru, atau eksploratori, negara-negara harus
mengambil tindakan konservasi pengelolaan, termasuk antara lain batas
penangkapan dan batas-batas upaya secara sangat berhati-hati. Tindakan tersebut
harus dilakukan sampai diperoleh data yang akurat untuk memungkinkan
penilaian terhadap dampak dari penangkapan ikan untuk kelestarian jangka
panjang sediaan tersebut. Negara-negara juga harus mengambil tindakan-tindakan
4
Naskah terjemahan UNIA 1995 Pasal 6 ayat 3
37
dengan basis darurat apabila kegiatan perikanan mengakibatkan ancaman yang
serius bagi kelestarian sumber daya tersebut.
2.2. Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan
Setiap negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di laut lepas
harus menyesuaikan tindakannya dengan konvensi, tanpa mengabaikan hak
berdaulat negara-negara pantai untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan sumber daya hayati kelautan di bawah yurisdiksi nasional.
Kewajiban negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang
beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh antara lain:
a) Untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas, negara-negara meminta secara
langsung ataupun melalui mekanisme yang sesuai untuk kerjasama dengan
negara lain yang wilayahnya berdampingan dengan laut lepas untuk
menyetujui tindakan-tindakan yang diperlukan untuk konservasi sediaansediaan ikan tersebut.
b) Untuk sediaan ikan yang beruaya jauh, negara-negara yang warga
negaranya melakukan penangkapan sediaan ikan tersebut pada suatu
regional tertentu harus melakukan kerjasama, baik secara langsung atau
melalui mekanisme yang sesuai untuk melakukan kerjasama sebagaimana
ditentukan dalam Bagian III UNIA, baik di dalam maupun di luar wilayah
yurisdiksi nasional dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan
meningkatkan tujuan penggunaan optimum dari sediaan tersebut pada
seluruh regional tersebut. 5
5
Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 7 ayat 1
38
Dari kerjasama yang telah dilakukan, negara-negara wajib memberikan informasi
secara teratur setiap tindakan yang telah mereka setujui untuk sediaan ikan
beruaya terbatas maupun sediaan ikan yang beruaya jauh di dalam wilayah di
bawah yurisdiksi nasional mereka dan pengaturan kegiatan-kegiatan kapal
perikanan yang mengibarkan bendera mereka yang melakukan penangkapan ikan
di laut lepas kepada negara-negara lain yang melakukan penangkapan ikan di laut
lepas di dalam regional maupun sub regional yang sesuai.
3. Kerjasama Antar Negara
Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam Pasal 7 UNIA, setiap negara yang
warga negaranya melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas
maupun sediaan ikan yang beruaya jauh harus bekerjasama dalam upaya
konservasi dan pengelolaan. Pasal 8 berisi tentang mekanisme kerjasama antar
negara tersebut.
Dalam upaya konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas
maupun sediaan ikan yang beruaya jauh dibagi menjadi wilayah sub regional dan
regional berdasarkan wilayah migrasi ikan tersebut. Setiap negara yang akan
melakukan penangkapan sediaan ikan tersebut wajib untuk mengikuti kerjasama
yang berkaitan dengan sediaan ikan tersebut.
Apabila suatu negara memiliki bukti adanya eksploitasi berlebihan terhadap
sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh atau
negara tersebut sedang mengembangkan penangkapan ikan baru untuk sediaan
tersebut, maka negara tersebut harus segera melakukan konsultasi dengan itikad
39
baik. Konsultasi dapat dimulai atas permintaan negara yang bersangkutan untuk
merumuskan pengaturan yang memadai untuk menjamin konservasi dan
pengelolaan sediaan tersebut dengan menjadikan UNIA sebagai acuan
pengaturannya dengan tetap memperhatikan hak, kepentingan dan kewajiban
negara lain. Apabila mempunyai efek yang besar terhadap tindakan konservasi
yang telah ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan sub regional maupun
regional yang kompeten, negara yang akan melakukan tindakan tersebut harus
berkonsultasi melalui organisasi atau pengaturan tersebut dengan anggota atau
pesertanya.
3.1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Lepas
Kerjasama antar negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di
laut lepas sesuai dengan Pasal 8 UNIA tersebut diamanatkan dalam bentuk
organisasi pengelolaan perikanan. Organisasi pengelolaan perikanan dibagi
menjadi dua berdasarkan wilayah pengelolaannya, yaitu organisasi pengelolaan
perikanan sub regional dan organisasi pengelolaan perikanan regional. Dalam hal
suatu negara akan melakukan permintaan untuk tindakan konsultasi, negara
tersebut dapat melakukan permintaan konsultasi terhadap organisasi pengelolaan
perikanan sub regional maupun regional sesuai dengan wilayah pengelolaannya.
Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas
dan sediaan ikan yang beruaya jauh pada laut lepas serta negara-negara pantai
harus melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama menjadi anggota dalam
organisasi pengelolaan perikanan tersebut atau menjadi peserta pada pengaturan
40
tersebut, atau dengan menyetujui untuk melaksanakan ketentuan yang telah
dirumuskan organisasi pengelolaan perikanan atau pengaturan tersebut.
Keuntungan menjadi anggota dalam sebuah organisasi pengelolaan perikanan
salah satunya adalah negara anggota mempunyai akses terhadap spesies sumber
daya ikan yang telah ditetapkan tindakan pengelolaannya. 6
Apabila tidak ada organisasi pengelolaan sumber daya perikanan untuk
merumuskan tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya
terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, maka negara-negara yang
berkepentingan terhadap spesies tersebut dan negara pantai yang terkait harus
bekerjasama untuk membentuk organisasi dan berpartisipasi dalam kerja
organisasi tersebut, dan membuat pengaturan lain yang sesuai dalam upaya
menjamin kelestarian sumber daya perikanan di laut lepas.
3.2. Syarat Pembentukan Organisasi dan Pengaturan
Dalam pembentukan pengaturan maupun organisasi pengelolaan perikanan sub
regional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan
yang beruaya jauh, berdasarkan Pasal 9 UNIA, negara-negara harus menyetujui:
a) Sediaan terhadap mana tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan
diterapkan, dengan memperhatikan karakteristik biologis dari sediaan
dimaksud dan sifat dari perikanan yang terkait;
b) Wilayah penerapan, dengan memperhatikan Pasal 7 ayat 1, dan
karakteristik dari sub regional atau regional termasuk faktor-faktor sosial
ekonomi, geografis dan lingkungan;
c) Hubungan antara bekerjanya organisasi atau pengaturan baru tersebut dan
peranan, tujuan dan operasi dari setiap organisasi atau pengaturan
pengelolaan perikanan terkait yang telah ada; dan
6
Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 8 ayat (4)
41
d) Mekanisme dengan mana organisasi atau pengaturan akan mendapatkan
pengarahan ilmiah dan perubahan status dari sediaan tersebut, termasuk
apabila dimungkinkan, pendirian suatu badan penasehat ilmiah.
Negara-negara pembentuk pengaturan atau organisasi pengelolaan perikanan sub
regional atau regional tersebut selain mempunyai beberapa hal yang harus
disetujui di atas, juga terikat pada kewajiban untuk memberikan informasi kepada
negara-negara lain yang diketahui memiliki kepentingan nyata dalam kerja
pengaturan atau organisasi yang diusulkan.7
3.3. Fungsi Organisasi dan Pengaturan Pengelolaan Perikanan
Adapun fungsi pengaturan dan organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan
regional yang juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara
menurut Pasal 10 UNIA adalah:
a) Menyetujui dan mengikuti tindakan konservasi dan pengelolaan untuk
menjamin kelestarian jangka panjang dari sediaan ikan yang beruaya
terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh;
b) Menyetujui, jika sesuai, pada hak keikutsertaan antara lain alokasi
tangkapan yang diperbolehkan atau tingkat usaha penangkapan perikanan;
c) Menyetujui dan menerapkan setiap standar umum minimum internasional
yang direkomendasikan untuk tata laksana yang bertanggung jawab untuk
operasi penangkapan ikan;
d) Menghasilkan dan mengevaluasi saran ilmiah, perubahan status sediaan
tersebut dan menilai dampak penangkapan ikan pada spesies non target
dan berhubungan atau bergantung;
e) Menyetujui standar untuk pengumpulan, pelaporan, verifikasi dan
pertukaran data perikanan untuk sediaan tersebut;
f) Mengumpulkan dan menyebarluaskan data statistik yang akurat dan
lengkap, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, untuk menjamin
bahwa bukti ilmiah terbaik tersedia, serta memelihara keterbatasan apabila
diperlukan;
g) Memajukan dan melaksanakan penilaian ilmiah dari sediaan tersebut dan
riset yang relavan dan penyebarluasan hasil-hasilnya;
h) Merumuskan mekanisme kerja sama yang memadai untuk pemantauan,
pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum yang efektif;
7
Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 9
42
i) Menyetujui sarana dengan mana kepentingan-kepentingan penangkapan
dari anggota-anggota baru dari organisasi atau peserta baru dalam
pengaturan akan diakomodasikan;
j) Menyetujui prosedur pengambilan keputusan yang memfasilitasi
persetujuan tindakan konservasi dan pengelolaan secara cepat dan efektif;
k) Memajukan penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan Bagian
VIII;
l) Menjamin kerja sama penuh dari badan-badan dan industri nasional yang
terkait dalam pelaksanaan rekomendasi dan keputusan dari organisasi atau
pengaturan; dan
m) Melakukan publikasi tindakan konservasi dan pengelolaan yang telah
dirumuskan oleh organisasi atau pengaturan.8
3.4. Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia
Organisasi pengelolaan perikanan laut lepas dapat disebut juga Regional Fisheries
Management Organizations atau selanjutnya disingkat RFMOs. Saat ini telah
terbentuk beberapa RFMOs yang wilayah pengelolaannya berada di sekitar
wilayah Indonesia, antara lain Indian Ocean Tuna Commission (selanjutnya
disingkat IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna
(selanjutnya disingkat CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries
Commission (selanjutnya disingkat WCPFC).
a. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)
Perjanjian pembentukan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) disetujui
melalui Resolusi 1/105 pada Sidang ke 105 Dewan FAO, tanggal 25 Desember
1993 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 27 Maret 1996. Sebelum adanya
IOTC, terdapat suatu badan yang terlebih dahulu dibentuk, yaitu The Indo-Pacific
Tuna Development and Management Programme (selanjutnya disingkat IPTP).
IPTP dibentuk pada tahun 1982 di Colombo, Srilanka, dengan pendanaan dari
8
Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 10
43
UNDP dan dijalankan oleh FAO, tetapi sejak 1986 IPTP didanai oleh anggotanya.
Program IPTP mencakup wilayah lautan India dan area sekitar Pasifik Barat.
IOTC dapat disebut sebagai pewaris langsung segala kegiatan yang dilakukan
oleh IPTP.9
IOTC merupakan RFMOs yang secara khusus mengatur spesies ikan tertentu,
antara lain Yellowfin Tuna, Skipjack Tuna, Albacore Tuna, Bigeye Tuna, Southern
Bluefin Tuna, Long Tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Narrow Barred Spanish
Mackerel, Indo Pasific King Mackerel, Indo Pasific Blue Marlin, Black Marlin,
Strip Marlin, Indo Pasific Sailfish, dan Swordfish. Area pengaturannya berada
pada Samudera Hindia dan laut-laut sekitarnya, termasuk perairan sebelah utara
Konvergensi Antartika. Negara yang sudah menjadi anggota diantaranya adalah
Australia, China, Commoros, Eritrea, European Union, Perancis, India, Iran,
Jepang, Korea Selatan, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Oman, Pakistan,
Seychlelles, Srilangka, Sudan, Thailand, Inggris dan Indonesia.10
Fungsi dan tanggung jawab IOTC antara lain:
a). Menjaga kondisi dibawah pengawasan dan tren dari stok dan untuk
mengumpulkan, menganalisis dan menyebarkan informasi ilmiah,
tangkapan dan data lain yang relevan dengan konservasi dan pengelolaan
stok dan penangkapan ikan berdasarkan perjanjian;
b). Meningkatkan,
merekomendasikan,
dan
mengkoordinasi
aktivitas
penelitian dan pengembangan dalam menjaga stok dan perikanan yang
9
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI,2005,Jurnal Hukum Internasional,Jakarta,hal
513
10
Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan
Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit.DKP. 2007. hal 20
44
dilingkupi perjanjian ini, dan aktivitas lain yang diputuskan komisi,
termasuk aktivitas yang berkaitan dengan pertukaran teknologi, pelatihan,
berdasarkan kebutuhan untuk menjamin keikutsertaan anggota komisi
yang sepatutnya dalam perikanan dan kepentingan istimewa dan
kebutuhan anggota dalam wilayah negara-negara berkembang;
c). Menerapkan, sesuai dengan Pasal IX dan landasan bukti ilmiah,
konservasi dan pengelolaan sumber daya, untuk menjamin konservasi stok
yang diliputi oleh perjanjian ini dan untuk meningkatkan tujuan
penggunaan optimum mereka di dalam wilayah pengelolaan;
d). Menjaga aspek sosial dan ekonomi perikanan dilandasi dengan stok yang
diliputi oleh perjanjian yang disikapi, secara khusus, keuntungan negara
pantai yang sedang berkembang;
e). Mempertimbangkan dan menjawab program organisasi dan anggaran
otonom, seperti pertimbangan anggaran periode sebelumnya;
f). Menyebarkan laporan kegiatan, program, pertimbangan dan anggaran
otonom dan tindakan lain yang mungkin layak untuk dilakukan oleh
Dewan atau Konferensi FAO kepada Direktur Jenderal FAO;
g). Menerapkan tata peraturannya sendiri, Regulasi Keuangan dan peraturan
administratif internal lain yang dibutuhkan untuk mencapai fungsi komisi,
dan
h). Menjalankan kegiatan lain yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan
komisi.11
11
Terjemahan Bebas Pasal 5 ayat 2 Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna
Commission, 1993
45
Keanggotaan Indonesia dalam IOTC sangat penting dan menguntungkan dalam
rangka mendukung upaya pemerintah dalam program revitalisasi perikanan,
khususnya tuna. Manfaat keanggotaan Indonesia pada IOTC secara detail antara
lain:
a). Membantu Indonesia dalam menanggulangi Illegal, Unregulated,
Unreported (IUU) Fishing;
b). Membuka kesempatan kerjasama dengan negara lain;
c). Menjaga kelestarian sumber daya ikan tuna melalui penetapan peraturanperaturan;
d). Terhindar dari embargo atas ekspor tuna;
e). Ikut serta mengatur pengelolaan SDI tuna di Samudera Hindia;
f). Rencana pengembangan armada perikanan Indonesia akan lebih terbuka
dalam memanfaatkan sumber-sumber perikanan;
g). Turut menentukan kuota hasil tangkapan maupun kuota ekspor, dan
h). Sebagai wahana kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan.12
b. Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC)
Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) mengatur mengenai
spesies Skipjack Tuna, Yellowfin Tuna, Albacore Tuna, dan Bigeye Tuna. Wilayah
pengaturannya meliputi Samudera Pasifik Barat dan Tengah. Status Indonesia
dalam organisasi ini adalah sebagai non-cooperating parties. Konvensi
12
http://www.sdi.dkp.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=18, diakses pada
tanggal 26 April 2009
46
pembentuk RFMOs ini adalah Convention on the Conservation and Management
of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean.
Adapun fungsi WCPFC antara lain adalah:
a) Menentukan jumlah tangkapan total atau tingkat total usaha perikanan
dalam area konvensi untuk sediaan ikan yang beruaya jauh seperti yang
ditetapkan komisi dan menerapkan konservasi dan pengelolaan sumber
daya lain dan bila perlu merekomendasikan untuk menjamin ketahanan
jangka panjang sediaan tersebut.
b) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar anggota komisi untuk
menjamin konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh
dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional suatu negara dan sumber daya
yang sama dan sesuai di laut lepas
c) Menerapkan, apabila dibutuhkan, konservasi dan pengelolaan sumber daya
dan rekomendasi untuk spesies non target dan spesies yang bergantung
atau
berhubungan
dengan
sediaan
target,
dengan
tujuan
untuk
mempertahankan atau mengembalikan populasi spesies di atas tingkat
reproduksi dimana mereka dimanfaatkan secara serius.
d) Menerapkan standar penangkapan, pemeriksaan dan untuk pergantian
waktu dan melaporkan data perikanan untuk sediaan ikan yang beruaya
jauh di area konvensi yang sesuai dengan Lampiran I Konvensi, yang
merupakan bagian dari konvensi
e) Mengembangkan, dimana dibutuhkan, kriteria untuk alokasi jumlah
tangkapan total atau tingkat total usaha perikanan bagi sediaan ikan yang
beruaya jauh dalam area konvensi
47
f) Menerapkan standar minimum internasional yang direkomendasikan bagi
peraturan operasi perikanan yang bertanggung jawab
g) Mengamati dan mengevaluasi perekonomian dan aspek perikanan lainberkaitan dengan data dan informasi yang sesuai dengan kerja komisi
h) Menyetujui,
dalam
artian
mengakomodasi
segala
keuntungan
penangkapan ikan yang dilakukan oleh anggota baru komisi
i) Menerapkan prosedur dan regulasi ekonomi dan regulasi administratif
internal lain yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi fungsi komisi
j) Mempertimbangkan dan menjawab proposal anggaran komisi
k) Mendiskusikan setiap pertanyaan atau masalah yang kompeten dengan
komisi dan menerapkan setiap rekomendasi yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan konvensi ini.13
c. Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)
Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) adalah
organisasi regional dalam penangkapan ikan khusus spesies tuna sirip biru selatan
di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pembentukan CCSBT didasari oleh
menurunnya jumlah stok ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna/SBT) dewasa,
dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an.
Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun
1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia,
Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk
meningkatkan stok ikan tuna sirip biru selatan pada tahun 1985, dengan cara
13
Terjemahan bebas Pasal 10 Convention on the Conservation and Management of Highly
Migratory Fish Stocks in the Western and central Pacific Ocean 2000.
48
membatasi kuota tangkapan kapal ikannya. Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia,
Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of
Southern Bluefin Tuna, namun Konvensi ini baru efektif berlaku pada tanggal 20
Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut melakukan formalisasi. Adapun tujuan
dan sasaran konvensi adalah:
a) Pengaturan
jumlah
tangkapan
yang
diperbolehkan
dan
alokasi
penangkapan SBT untuk setiap negara anggota.
b) Sebagai suatu mekanisme pengaturan untuk aktivitas anggota yang terkait
dengan perikanan SBT.
c) Membantu kegiatan-kegiatan langsung yang ditujukan pada perlindungan
ekologi, khususnya spesies SBT dan yang terkait dengan kehidupannya
serta by-catch.
d) Mendorong negara bukan anggota untuk turut serta berpartisipasi sebagai
Cooperating non-members atau berpartisipasi sebagai Observer.
e) Bekerjasama dengan organisasi regional perikanan
tuna lainnya yang
memiliki wilayah konvensi yang sama.14
CCSBT sebagai organisasi pengelolaan regional memiliki beberapa fungsi, antara
lain:
a) Bertanggung jawab untuk menetapkan jumlah tangkapan total dan
alokasinya bagi setiap negara anggota;
b) Mengambil keputusan untuk mendukung dan melaksanakan pengelolaan
perikanan;
14
Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Convention of Southern Bluefin Tuna. 2007.
DKP, hal 3
49
c) Bekerjasama dengan RFMOs lain di wilayah yang sama-sama diminati;
d) memfasilitasi diadakannya forum diskusi mengenai issue yang relevan
dengan tujuan konservasi dari konvensi ini, dan
e) Bertindak sebagai koordinator mekanisme aktivitas para anggota terkait
perikanan tuna sirip biru selatan.15
Efektivitas pelaksanaan konvensi ini dihadapkan pada beberapa negara yang
melakukan penangkapan ikan tuna sirip biru selatan, namun belum menjadi
anggota seperti Korea dan Taiwan. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat
tambahan negara anggota CCSBT, yaitu Korea pada tanggal 17 Oktober 2001 dan
Taiwan pada tanggal 30 Agustus 2002. Sementara bagi negara yang belum mau
menjadi anggota, pada pertemuan bulan Oktober 2003, CCSBT menyepakati
untuk mengundang negara-negara yang tertarik pada perikanan tuna sirip biru
selatan untuk menjadi co-operating non-member. Namun status negara cooperating non-member hanya berpartisipasi dalam bisnis atau tidak punya hak
suara dalam pertemuan CCSBT. Selain itu, negara co-operating non-member
disyaratkan untuk menyepakati batasan jumlah tangkapan. Beberapa negara yang
diterima sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina (2 Agustus 2004),
Afrika Selatan (24 Agustus 2006) dan Uni Eropa (13 Oktober 2006). Komisi ini
dapat diikuti oleh setiap negara yang memiliki kapal perikanan yang terlibat
dalam penangkapan tuna sirip biru selatan atau setiap negara pantai yang memiliki
wilayah ZEE atau daerah perikanan yang dilintasi oleh migrasi tuna. Indonesia,
Korea dan Taiwan memiliki jumlah kapal penangkapan tuna sirip biru selatan
15
http;//www.ccsbt.org/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2009
50
yang cukup signifikan, namun status Indonesia baru menjadi member pada tahun
2007.
Indonesia mempunyai kepentingan tersendiri dalam perikanan tuna sirip biru
selatan karena mereka bertelur dan berkembang biak di ZEEI di Selatan Jawa, tapi
Indonesia belum mempunyai peranan besar dalam penangkapan dan pemanfaatan
ikan tersebut, walaupun harganya sangat mahal di jepang.16 Pertemuan CCSBT
ke-14 berhasil menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable
catch/TAC) selama tahun 2007-2009 sebesar 11.810 ton. Alokasi untuk Jepang
berlaku sampai tahun 2011 dan untuk negara anggota lainnya berlaku sampai
tahun 2009. Sementara untuk non-member dan observer hanya untuk tahun 2007.
Alokasi untuk negara member seperti Jepang (3.000 ton), Australia (5.265 ton),
Korea Selatan (1.140 ton), Taiwan (1.1.40 ton), Selandia Baru (420 ton),
sementara untuk negara non-member dan observer seperti Filipina (45 ton),
Afrika
Selatan
(40
ton)
dan
Uni
Eropa
(10
ton).
Namun demikian, bagi Indonesia CCSBT sangatlah dilematis. Di satu sisi, jumlah
tangkapan ikan tuna di wilayah tersebut relatif kecil dibandingkan dengan beban
membership fee yang harus dibayarkan sekitar US$ 150 ribu. Di sisi lain, ancaman
pemboikotan tuna Indonesia di pasar dunia juga patut dipertimbangkan. Akan
tetapi, sebenarnya Indonesia masih memiliki “senjata” bahwa spawning ground
tuna sirip biru selatan ada di wilayah Selatan Jawa Indonesia. Hal ini sebagaimana
informasi yang terdapat pada website CCSBT (www.ccsbt.org), disebutkan bahwa
perkembangbiakan tuna sirip biru selatan di perairan hangat Selatan Jawa
Indonesia pada bulan September hingga April. Lalu setelah itu, juvenil tuna sirip
16
Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan
Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit.DKP. 2007. hal 21
51
biru selatan akan bermigrasi ke pantai barat Australia. Bersyukur, Indonesia pada
tahun 2007 sudah menjadi anggota tetap CCSBT. Fakta inilah yang dapat
dijadikan senjata diplomasi Indonesia dalam melakukan negosiasi dengan anggota
CCSBT, baik dalam jumlah kuota maupun jumlah fee yang harus dibayarkan.
Adapun manfaat keikutsertaan Indonesia pada CCSBT dari berbagai aspek
adalah:
a) Aspek politik domestik. Keikutsertaan pada CCSBT akan mendukung
kebijakan nasional Indonesia bagi upaya konservasi dan pengelolaan
perikanan yang bermigrasi jauh (Highly Migratory Fish Stocks),
khususnya jenis Southern Bluefin Tuna (SBT). Dengan menjadi anggota
CCSBT, Indonesia dapat secara langsung mempengaruhi keputusankeputusan yang diambil CCSBT.
b) Aspek politik luar negeri. Lebih memperkuat posisi Indonesia dalam
forum organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan
komitmen Indonesia sebagai negara Pihak pada UNCLOS 1982 dalam
kerjasama internasional bagi kegiatan konservasi dan pemanfaatan
sumberdaya ikan yang berkelanjutan.
c) Aspek teknis ekonomi. Memberikan jaminan dan kepastian usaha,
terutama bagi para pelaku usaha Indonesia yang memanfaatkan tuna sirip
biru selatan dengan lancar. Keikutsertaan pada CCSBT juga akan
memberikan peluang bagi tersedianya bantuan teknis dan finansial dari
CCSBT, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia
oleh negara-negara anggota CCSBT. Manfaat lainnya juga akan
memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran informasi dan data
52
perikanan yang tepat dan akurat diantara negara anggota dalam rangka
kegiatan konservasi sumberdaya tuna sirip biru selatan.
d) Aspek yuridis. Keikutsertaan Indonesia pada CCSBT merupakan
implementasi dari Undang-undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan, dimana telah disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia
berusaha
untuk
ikut
serta
secara
aktif
dalam
keanggotaan
badan/lembaga/organisasi regional dan internasional. Disamping itu,
pengelolaan perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia
diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan
dan standar internasional. Tujuan dari kebijakan ini agar tercapainya
manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian
sumber daya ikan.17
Gambar 1. Peta jalur migrasi ikan tuna sirip biru selatan
17
Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Convention of Southern Bluefin Tuna. 2007.
DKP, hal 5
53
Gambar 2. Peta lokasi pengaturan RFMOs di dunia
4. Kerjasama Internasional dalam Penegakan Hukum
Berdasarkan Pasal 20 UNIA, negara-negara yang menjadi anggota organisasi atau
pengaturan internasional konservasi pengelolaan perikanan sub regional atau
regional memiliki kewajiban untuk bekerjasama berkaitan dengan upaya
penegakan hukum. Setiap negara berkewajiban untuk memenuhi permintaan
negara lain yang sedang melakukan penyelidikan atas pelanggaran terhadap
tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh. Apabila terdapat sebuah negara yang sedang
melaksanakan penyelidikan atas pelanggaran tersebut, maka negara lain harus
berupaya memenuhi permintaan negara tersebut yang berkaitan dengan proses
penyelidikan.
Suatu negara dalam proses penyelidikan tersebut dapat melakukannya secara
langsung, bekerjasama dengan negara lain yang berkaitan, maupun melalui
54
organisasi internasional atau pengaturan internasional pengelolaan perikanan sub
regional atau regional yang terkait. Informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan
dan hasil penyelidikan harus dapat disediakan untuk semua negara, baik negara
yang berkepentingan maupun negara yang akan terpengaruh oleh hasil
penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran tersebut.18
4.1. Kerjasama sub regional dan regional dalam penegakan hukum
Demi menjamin penaatan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan
ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, suatu negara yang
menjadi anggota pada organisasi atau pengaturan pengelolaan sub regional dan
regional melalui inspektur yang berwenang dapat naik ke atas kapal dan
memeriksa kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera negara lain di
wilayah laut lepas yang dinaungi oleh suatu organisasi atau pengaturan perikanan
sub regional dan regional.
Prosedur untuk menaiki kapal perikanan yang diduga melakukan pelanggaran atas
tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional dibuat oleh
negara-negara melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan sub regional dan
regional. Prosedur yang akan dibuat tidak membedakan antara negara anggota dan
bukan anggota dari organisasi atau pengaturan sub regional dan regional. Negaranegara harus mengumumkan prosedur-prosedur yang telah disepakati kepada
negara-negara yang kapal-kapalnya melakukan penangkapan ikan di laut lepas.
18
Naskah Akademik UNIA 1995 Pasal 20
55
Sebelum melakukan tindakan pemeriksaan kapal, baik langsung maupun melalui
organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional,
harus menginformasikan semua negara yang kapal-kapalnya melakukan kegiatan
penangkapan ikan pada sub regional dan regional dalam bentuk identifikasi
masalah kepada inspektur berwenang negara tersebut. Kapal yang akan digunakan
untuk memeriksa kapal perikanan harus mempunyai tanda yang jelas, sehingga
dapat teridentifikasi sebagai kapal pemerintah.
Setelah menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan, apabila terdapat alasan yang
cukup untuk menduga bahwa kapal tersebut melakukan pelanggaran terhadap
tindakan konservasi dan pengelolaan, negara yang memeriksa secepatnya
melindungi bukti yang didapat dan menginformasikan negara bendera kapal
tersebut. Negara bendera harus menanggapi informasi tersebut dalam jangka
waktu 3 hari dalam 5 hari kerja setelah menerima informasi tersebut atau jangka
waktu yang lain yang mungkin ditentukan dalam prosedur yang dibuat oleh
negara-negara melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub
regional atau regional. Negara bendera yang telah diinformasikan tersebut harus
memenuhi
kewajiban-kewajibannya
untuk
melakukan
penyelidikan
dan
mengambil tindakan hukum apabila terdapat bukti yang meyakinkan, kemudian
memberikan wewenang kepada negara yang melakukan pemeriksaan untuk
melakukan penyelidikan.
Apabila negara bendera memberikan wewenang kepada negara yang melakukan
pemeriksaan untuk melakukan penyelidikan, negara yang menerima wewenang
tersebut harus memberitahukan hasil penyelidikannya tersebut kepada negara
56
bendera. Setelah negara bendera menerima hasil penyelidikan, maka negara
bendera harus memenuhi kewajibannya untuk mengambil tindakan penegakan
hukum. Sebagai alternatif, negara bendera juga dapat memberikan wewenang
kepada negara yang melakukan penyelidikan untuk mengambil tindakan
penegakan hukum yang telah ditentukan oleh negara bendera terhadap kapal
perikanannya.
Apabila negara yang memeriksa sebuah kapal perikanan yang telah cukup bukti
melakukan pelanggaran serius dan negara bendera telah gagal menanggapi atau
mengambil tindakan sebagaimana ditentukan di atas, maka inspektur yang
memeriksa dapat tetap berada di atas kapal dan meminta nakhoda kapal tersebut
untuk membantu penyelidikan lanjutan, bahkan apabila memungkinkan membawa
kapal tersebut ke pelabuhan terdekat atau pelabuhan lain yang telah ditentukan
dalam prosedur yang telah dibuat. Setelah sampai di pelabuhan, negara pemeriksa
secepatnya menginformasikan negara bendera letak dan nama pelabuhan tersebut.
Negara pemeriksa dan negara bendera, apabila memungkinkan negara pelabuhan
harus menjamin kesejahteraan para anak buah kapal tanpa memandang
kewarganegaraannya. Hasil penyelidikan negara pemeriksa harus diinformasikan
kepada negara bendera dan organisasi yang terkait.
Inspektur dari negara pemeriksa harus memperhatikan kesejahteraan para anak
buah kapal dan mengurangi campur tangan dengan operasi penangkapan ikan
serta menghindari tindakan yang akan merugikan hasil tangkapan di atas kapal.
Negara pemeriksa harus menjamin bahwa menaiki dan pemeriksaan tidak
dilaksanakan apabila mengganggu kapal perikanan.
57
Negara bendera dapat setiap saat mengambil tindakan untuk memenuhi
kewajibannya mengenai penaatan dan penegakan hukum oleh negara bendera.
Apabila kapal yang melakukan pelanggaran berada dalam pengarahan oleh negara
pemeriksa, negara pemeriksa harus menyerahkan kapal tersebut kepada negara
bendera dengan seluruh informasi dan hasil penyelidikannya, atas instruksi negara
bendera.
Apabila terdapat alasan yang memungkinkan untuk mencurigai bahwa sebuah
kapal perikanan di laut lepas tanpa kebangsaan, suatu negara dapat menaiki dan
memeriksa kapal tersebut. Bila bukti yang didapat memungkinkan, maka negara
tersebut dapat mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan hukum
internasional. Adapun pelanggaran serius yang diatur dalam Pasal 21 UNIA
adalah:
a) melakukan penangkapan ikan tanpa lisensi, otorisasi atau izin yang masih
berlaku yang dikeluarkan oleh negara bendera sesuai dengan Pasal 18 ayat
3 (a);
b) gagal untuk memelihara catatan-catatan yang akurat mengenai tangkapan
dan data yang berkaitan dengan tangkapan, sebagaimana diminta atau
dipersyaratkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub
regional atau regional yang terkait, atau salah pelaporan yang serius
terhadap tangkapan, bertentangan dengan persyaratan-persyaratan
pelaporan dari organisasi atau pengaturan tersebut;
c) melakukan penangkapan ikan pada suatu wilayah yang tertutup,
melakukan penangkapan ikan selama musim yang tertutup atau melakukan
penangkapan ikan tanpa, atau setelah pencapaian dari, suatu kuota yang
ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub
regional atau regional yang terkait;
d) mengarahkan penangkapan ikan untuk suatu sediaan yang tunduk pada
moratorium atau untuk mana kegiatan penangkapan ikan dilarang;
e) menggunakan alat tangkap yang dilarang;
f) memalsukan atau menyembunyikan tanda-tanda, identitas, atau
pendaftaran dari kapal perikanan;
g) menyembunyikan, merusak atau membuang bukti-bukti yang berkaitan
dengan suatu penyelidikan;
58
h) melakukan pelanggaran yang berulang-ulang yang bersama-sama
membentuk suatu pelanggaran yang serius terhadap tindakan konservasi
dan pengelolaan; atau
i) pelanggaran-pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan dalam
prosedur yang ditentukan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan
perikanan sub regional atau regional yang terkait.19
B. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian lautnya bersinggungan
dengan laut lepas yang memiliki sumber daya perikanan yang potensial,
khususnya sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya
jauh. Potensi tersebut harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan tetap
memperhatikan upaya konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut, mengingat
sediaan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
1. Status Perikanan Tuna dan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas
(Straddling Fish Stocks)
Dalam bahasan ini, ikan-ikan yang beruaya terbatas dalam artian melakukan ruaya
antara dua wilayah yurisdiksi yang berbeda, secara fisik akan bergerak dari
Indonesia ke wilayah negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia (Malaysia,
Filipina, Brunei dan Australia) atau sebaliknya. Dari 22 spesies ikan kakap yang
berada di Indonesia bagian timur, melalui genetic study baru terbukti hanya tiga
spesies yang merupakan straddling fish stocks. Hal ini menunjukkan bahwa
penentuan suatu jenis ikan sebagai straddling fish stocks seyogyanya melalui
suatu pengkajian terlebih dahulu karena ini akan berimplikasi terhadap
pengelolaannya. Jenis-jenis ikan lain yang dikaji dengan Australia sehubungan
19
Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 21 ayat (11)
59
dengan straddling fish stocks management adalah cucut dan pari, dimana pada
tahap pertama telah diidentifikasikan sekitar 200 spesies.20
2. Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks)
Perairan Indonesia dan ZEE Indonesia (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik)
merupakan lintasan ikan-ikan yang beruaya jauh yang termasuk ke dalam
kelompok Tuna Besar (large tuna) dan Paruh Panjang (bill fish).
Jenis ikan yang termasuk Tuna Besar adalah:
a). Madidihang/ Yellowfin Tuna/ Thunus Albacores;
b). Mata Besar/ Big Eye/ Thunus Obesus;
c). Albacora/ Albacore/ Thunus Alalunga;
d). Tuna Sirip Biru Selatan/ Southern Bluefin Tuna/ Thunus Tonggol;
e). Cakalang/ Skipjack/ Katsowonnus Pelamis
Sedangkan yang termasuk kelompok Paruh Panjang adalah:
a). Ikan Layaran/ Sail Fish/ Istiophonus Platypterus;
b). Ikan Pedang/ Swordfish/ Xiphias Gladius;
c). Setuhuk/ Marlin/ Makaria Spp;
d). Setuhuk Loreng/ Stripped Marlin/ Tetrapturus Audaxs. 21
Pada umumnya ikan-ikan ini mempunyai umur yang relatif panjang, misalnya Big
eye, Yellowfin, dan Skipjack memiliki usia hingga 5 sampai 6 tahun, bahkan
Southern Bluefin Tuna dapat mencapai 40 tahun. Kehati-hatian perlu diberikan
dalam pengelolaan sumber daya yang berumur panjang. Sumber daya ikan yang
20
21
Naskah Akademis Pengesahan UNIA 1995 hal 14
Naskah Akademis Pengesahan UNIA , ibid, hal 13
60
berumur panjang membutuhkan waktu recovery yang cukup lama apabila jenis
ikan tersebut collapse.
Selain merupakan lintasan perjalanan ikan-ikan yang beruaya jauh, perairan
Indonesia juga merupakan tempat pemijahan, misalnya tempat pemijahan
Southern Bluefin Tuna berada di Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa dan Bali.
Indikasi menunjukkan bahwa baik di Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik
tingkat tangkapan (catch rate/hook rate) terlihat lebih tinggi di laut lepas bila
dibandingkan dengan yang di ZEE Indonesia dimana hal itu mendorong kapalkapal Indonesia menangkap ikan di laut lepas. Adapun tingkat pemanfaatan
sumber daya highly migratory fish stocks ini secara global (Indonesia termasuk di
dalamnya) sudah hampir jenuh dieksploitasi (nearly heavy exploited), hal ini
ditandai dengan penurunan tingkat tangkapan, rata-rata ukuran ikan yang
tertangkap semakin kecil, serta daerah penangkapannya yang semakin jauh.
3. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Melihat kondisi sumber daya perikanan dunia dewasa ini, dimana sumber daya
perikanan, khususnya perikanan laut lepas yang semakin menurun dan posisi
Indonesia sebagai negara yang bersinggungan dengan laut lepas, sudah saatnya
Indonesia meratifikasi UNIA sebagai salah satu perjanjian yang mengatur
mengenai konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh. Dalam pembahasan ini hanya akan dibatasi arti
penting UNIA ditinjau dari aspek ekonomi, aspek hukum dan aspek upaya
konservasi dan pengelolaan perikanan.
61
3.1. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Ekonomi
Jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh dalam
bermigrasi melintas di wilayah perairan Indonesia dan juga untuk tempat
pemijahan bagi jenis tertentu, misalnya Southern Bluefin Tuna. Indonesia
walaupun sebagai tempat pemijahan, tetapi tidak memiliki jatah tangkapan yang
besar untuk jenis ikan tersebut karena belum meratifikasi UNIA. Apabila
Indonesia meratifikasi UNIA, maka Indonesia akan mendapatkan alokasi sumber
daya ikan untuk jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis-jenis ikan yang
beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional, sehingga akan sangat
menguntungkan Indonesia. Alokasi tersebut memberikan Indonesia hak dan
kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan laut lepas.
Kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan laut lepas sangat
berpengaruh pada usaha di bidang perikanan Indonesia. Usaha di bidang
perikanan merupakan kegiatan yang salah satunya bergantung pada lahan usaha
yang di dalamnya terkandung potensi sumber daya ikan (selanjutnya disingkat
SDI). Oleh karenanya, tidak dapat dihindari dan bahkan suatu keharusan untuk
melakukan kajian potensi SDI. Bahkan lebih dari itu kiranya dapat diungkap
informasi yang jelas dan transparan tentang peluang usaha komoditas prospektif
yang dapat dikembangkan untuk pasaran lokal maupun ekspor, yang sekaligus
sebagai bahan informasi bagi calon investor.
UNIA mengatur mengenai kerjasama dengan negara berkembang. Indonesia
sebagai negara berkembang tentunya akan sangat terbantu dengan kerjasama
tersebut. Dengan meratifikasi UNIA, Indonesia akan memperoleh perlakuan
62
khusus sebagai negara berkembang, antara lain untuk mendapatkan bantuan
keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah, dan
bantuan pengawasan dan penegakan hukum. Selain itu Indonesia juga akan
mendapatkan bantuan dana untuk penerapan UNIA, termasuk bantuan dana untuk
penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi antara negara yang bersangkutan dan
negara pihak lainnya.22
3.2. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Hukum
Sesuai dengan Bagian VI tentang Penaatan dan Penegakan Hukum, apabila
Indonesia meratifikasi UNIA maka Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan pemeriksaan fisik terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan
bendera Indonesia yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap tindakan
konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas. Indonesia juga
dapat bekerjasama dengan negara lain yang juga negara pihak UNIA dalam
penaatan dan penegakan hukum. Indonesia dapat meminta bantuan kepada negara
lain yang berkepentingan atau melalui organisasi pengelolaan perikanan sub
regional dan regional yang terkait dalam tindakan penyelidikan. Setiap negara
yang dimintai bantuan tersebut berkewajiban untuk membantu. Kewenangan yang
diberikan terhadap negara pihak UNIA tersebut tentunya akan memberikan
kekuatan hukum bagi Indonesia dalam upaya pencegahan pelanggaran tindakan
konservasi.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dimana 2/3 wilayahnya merupakan
laut yang didalamnya terdapat sumberdaya alam hayati yang melimpah, sudah
22
Daftar Inventarisasi Masalah Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang RI Tentang
Pengesahan UNIA. Draft Hasil Pembahasan Tgl 20 Februari 2009. DKP.
63
seharusnya instrumen internasional yang telah ada dirumuskan oleh Indonesia,
sehingga Indonesia dapat turut berperan serta. Akan sangat rugi apabila Indonesia
tidak berpartisipasi ke dalam peraturan-peraturan internasional tentang laut lepas
yang telah ada. Apalagi banyak spesies ikan ekonomis yang berada dalam wilayah
laut Indonesia. Ratifikasi juga ditujukan agar pengelolaan dan konservasi dapat
dilakukan dengan lebih baik agar sumber daya alam hayatinya dapat tetap terjaga
dengan baik. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
(selanjutnya disebut UU Perikanan) yang dimiliki Indonesia saat ini sudah cukup
menunjukkan bahwa Indonesia sangat memperhatikan kondisi sumber daya
perikanan saat ini dan mendukung upaya konservasi dan pengelolaan perikanan
untuk menjaga sumber daya tersebut dari kepunahan. Ratifikasi UNIA yang fokus
terhadap konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh dapat memantapkan kebijakan pemerintah
Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan secara melanggar hukum di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia oleh kapal-kapal perikanan
asing, dan membuka kesempatan bagi kapal perikanan Indonesia untuk
melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas.
Walaupun Indonesia belum meratifikasi UNIA, tetapi pada dasarnya ketentuanketentuan dalam UU Perikanan menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari
ketentuan konservasi dan pengelolaan dalam UNIA. Ada beberapa ketentuan
dalam UU Perikanan yang sesuai dan sejalan dengan UNIA, karena UU Perikanan
juga mencakup mengenai kegiatan perikanan di laut lepas seperti tercantum dalam
Pasal 5 ayat (2) UU Perikanan telah dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan di
laut
lepas
diselenggarakan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan,
64
persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Pasal
tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah melakukan penyesuaian terhadap
instrumen-instrumen peraturan internasional mengenai hukum laut, khususnya
laut lepas.
Azas dan tujuan UU Perikanan adalah salah satu bagian yang secara jelas telah
sesuai dengan UNIA. Azas pengelolaan perikanan Indonesia ada dalam Pasal 2,
yaitu berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan
pengelolaan perikanan Indonesia tercantum dalam Pasal 3, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil;
Meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;
Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan;
Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;
Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan;
Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
lingkungan sumber daya ikan secara optimal;dan
9. Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan
tata ruang.23
Selain itu masih ada beberapa pasal dalam UU Perikanan yang mendapat
pengaruh dari UNIA, antara lain:
1. Pasal 8 UU Perikanan mengenai larangan penggunaan bahan peledak,
bahan kimia ataupun cara-cara yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sesuai dengan prinsip umum UNIA dalam Pasal 1.
23
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Pasal 3
65
2.
Ketentuan dalam UNIA mengenai kewajiban negara untuk menyesuaikan
tindakan konservasi dan pengelolaan dengan yang terdapat dalam
Konvensi telah diterapkan UU Perikanan dalam Pasal 9 (larangan
memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat di kapal
perikanan yang melanggar peraturan), Pasal 14 (pengaturan dan/atau
pengembangan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber
daya ikan), Pasal 23 (larangan penggunaan alat yang membahayakan
manusia atau lingkungan), dan Pasal 52 (penelitian dan pengembangan
perikanan).
3. Pengembangan sistem informasi dan data statistik perikanan dalam Pasal
46 UU Perikanan didasarkan pada Pasal 6 UNIA tentang pendekatan
kehati-hatian.
4. Ketentuan dalam UNIA mengenai kerjasama internasional untuk
konservasi dan pengelolaan (Pasal 8), fungsi-fungsi organisasi atau
pengelolaan pengelolaan perikanan sub regional dan regional (Pasal 10),
transparansi kegiatan organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan
sub regional dan regional (Pasal 12), kewajiban-kewajiban negara bendera
(Pasal 18), penaatan dan penegakan hukum oleh negara bendera (Pasal
19), dan kerjasama internasional dalam penegakan hukum (Pasal 20),
mekanismenya telah diatur dalam Pasal 10 UU Perikanan mengenai
kerjasama internasional.
5. Transparansi kegiatan yang dilakukan oleh negara seperti diatur dalam
Pasal 47 dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) merupakan penerapan dari Pasal
12 UNIA tentang transparansi kegiatan.
66
6. Kewajiban-kewajiban negara bendera yang diatur dalam Pasal 18 UNIA
juga sejalan dengan ketentuan dalam UU Perikanan, tetapi diatur secara
terpisah dalam Pasal 9, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 28, Pasal 31, Pasal 36,
Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 47.
7. Prosedur dasar pemeriksaan kapal dan pengejaran yang ada dalam Pasal
22 UNIA memang telah diterapkan dalam UU Perikanan, tetapi dalam UU
Perikanan hanya ada kewenangan dari petugas penyidik dalam Bab XIV
tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Perikanan, tetapi tidak ada kewaiban seperti yang terdapat dalam UNIA.
Ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut
lepas dalam UU Perikanan tidak seluruhnya sesuai dengan ketentuan dalam UNIA
masih terdapat kekurangan-kekurangan yang harus segera dibenahi dalam rangka
ikut serta aktif dalam mengelola perikanan laut lepas secara lebih profesional dan
bertanggung jawab.
Pengaturan pengelolaan perikanan di laut lepas dalam peraturan perundangundangan di Indonesia yang mendapat pengaruh dari UNIA selain UU Perikanan
antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan.
Dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa walaupun sumberdaya ikan
dimanfaatkan
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat
dan
kesejahteraan rakyat, namun demikian dalam memanfaatkan sumberdaya
ikan harus senantiasa menjaga kelestariannya sehingga dapat memberi
manfaat secara terus menerus dan lestari. Salah satu cara untuk menjaga
67
kelestarian sumberdaya ikan dilakukan melalui perizinan baik bagi
perusahaan perikanan Indonesia maupun perusahaan perikanan asing yang
melakukan usaha penangkapan ikan di ZEE Indonesia.
2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2006 Tentang
Usaha Perikanan Tangkap. Dalam Pasal 6, dijelaskan bahwa setiap orang
atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan kegiatan usaha di
bidang penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (selanjutnya
disingkat WPP) Indonesia wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan
(selanjutnya disingkat SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan
(selanjutnya disingkat SIPI). Dalam Pasal 7, dijelaskan bahwa orang atau
badan hukum yang akan melakukan kegiatan usaha perikanan di laut lepas
wajib memiliki SIUP, SIPI, Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (selanjutnya
disingkat SIKPI), dan pemberiannya memperhatikan ketentuan hukum
internasional yang berlaku. Dalam Pasal 8, dijelaskan bahwa kapal
penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melakukan kegiatan di
WPP Indonesia harus mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan
pangkalan yang telah ditetapkan dalam SIPI dan/atau SIKPI. Khusus bagi
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dapat menitipkan ikan ke
kapal penangkap ikan lainnya berbendera Indonesia atau ke kapal
pengangkut ikan berbendera Indonesia dalam satu kesatuan manajemen
usaha termasuk yang dilakukan melalui kerjasama usaha, dan didaratkan
di pelabuhan pangkalan di Indonesia. Dalam Pasal 11, dijelaskan bahwa
kapal
pengangkut
ikan
berbendera
Indonesia
dapat
melakukan
pengangkutan ikan dari pelabuhan yang satu ke pelabuhan yang lain
68
sebagaimana tercantum dalam SIKPI dan/atau dari sentra-sentra kegiatan
nelayan ke pelabuhan dan/atau dari pelabuhan dalam negeri ke luar negeri.
Dalam Pasal 50, dijelaskan bahwa setiap orang atau badan hukum asing
dapat
menanamkan
modalnya
pada
perusahaan
Indonesia
yang
menggunakan fasilitas Penanaman Modal Dalam Negeri (selanjutnya
disingkat PMDN) Dalam Pasal 61, dijelaskan bahwa ikan hasil tangkapan
dari kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam rangka
Penanaman Modal Asing (selanjutnya disingkat PMA) dan PMDN wajib
didaratkan di pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI dan/atau
SIKPI
3. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber
Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan
dari UU Perikanan seperti diamanatkan dalam Pasal 13 ayat (2) mengenai
konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Peraturan Pemerintah ini
merupakan
amanat
dari
UU
Perikanan
Pasal
56
mengenai
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan perikanan yang diatur
dalam Bab VIII Pasal 52 sampai Pasal 55.
3.3. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Upaya Konservasi dan
Pengelolaan Perikanan
Sumber daya hayati laut, meskipun bersifat dapat diperbaharui, namun
kemampuan untuk pulihnya bersifat terbatas. Pemanfaatan sumber daya hayati
laut yang tidak terkendali dapat berdampak pada menurunnya populasi sumber
69
daya. Apabila tidak segera direhabilitasi, pada gilirannya sumber daya tersebut
akan menjadi kritis dan akhirnya akan terjadi kelangkaan spesies.
Keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi UNIA antara lain untuk meningkatkan
upaya perlindungan dan konservasi sumber daya ikan, baik di ZEEI maupun di
laut lepas, selain itu juga untuk mengurangi pencurian ikan di wilayah ZEEI
Indonesia, di lain pihak Indonesia juga bertanggung jawab atas panangkapan ikan
oleh kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera Indonesia di laut lepas.
Dalam mencapai upaya konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya
terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, negara-negara pihak UNIA akan
mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan tepat
waktu, melalui mekanisme pertukaran data dan informasi.
Sebagai negara berkembang, Indonesia akan dapat bekerjasama dengan negara
lain untuk meningkatkan kemampuan dalam upaya melindungi dan mengelola
sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan juga
untuk mengembangkan perikanan Indonesia, khususnya untuk sediaan tersebut.24
24
Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 25 ayat (1)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan dalam Bab IV, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan UNIA, tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang
beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh mewajibkan negaranegara yang terkait untuk menerapkan prinsip pendekatan kehati-hatian, agar
dapat diketahui tindakan yang tepat berdasarkan kondisi sumber daya
perikanan di suatu wilayah tertentu. Negara-negara yang melakukan kegiatan
pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas diwajibkan untuk saling
bekerjasama. Kerjasama tersebut diamanatkan dalam bentuk organisasi
konservasi dan pengelolaan perikanan sub regional dan regional. Organisasi
konservasi dan pengelolaan perikanan regional disebut dengan Regional
Fisheries Management Organizations (RFMOs). Saat ini telah terbentuk
beberapa RFMOs yang wilayah pengaturannya mencakup wilayah Indonesia
antara lain Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission For The
Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central
Pacific Fisheries Commission (WCPFC).
71
2. Arti penting UNIA bagi Indonesia dapat ditinjau dari aspek ekonomi,
aspek hukum, dan aspek upaya konservasi dan pengelolaan perikanan.
Ditinjau dari aspek ekonomi, apabila Indonesia meratifikasi UNIA, Indonesia
akan memperoleh alokasi sumber daya jenis ikan yang beruaya terbatas dan
ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional. Sebagai negara
berkembang, Indonesia akan mendapat perlakuan khusus, antara lain untuk
mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi,
bantuan penelitian ilmiah dan bantuan pengawasan dan penegakan hukum.
Dari aspek hukum, ratifikasi UNIA dapat memantapkan kebijakan Pemerintah
Indonesia dalam upaya memberantas penangkapan ikan secara melanggar
hukum. Peraturan perundang-undangan Indonesia banyak yang telah
mendapat pengaruh dari UNIA, sehingga peraturan pengelolaan di Indonesia
akan semakin baik. Dari aspek upaya konservasi dan pengelolaan perikanan,
Indonesia akan mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara
mudah dan tepat waktu, melalui mekanisme pertukaran data dan informasi.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa pendapat yang
dapat dijadikan masukan serta pertimbangan, yaitu:
1. Konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan, khususnya sediaan
ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh menjadi
hal yang sangat penting dan mendesak saat ini. Indonesia sebagai negara
yang menjadi lintasan migrasi sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh, harus secepatnya meratifikasi UNIA agar
72
Indonesia dapat memanfaatkan sediaan tersebut secara maksimal tanpa
melupakan tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional.
2. Indonesia harus menerapkan pengaturan konservasi dan pengelolaan
perikanan laut lepas yang terdapat dalam UNIA ke dalam peraturanperaturan pengelolaan perikanan nasional.
3. Indonesia turut serta sebagai anggota dan berperan aktif dalam organisasi
dan pengaturan perikanan sub regional dan regional yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Bowett, D.W, Q.C.LL.D.1995. Hukum Organisasi Internasional.Cet. Kedua.Sinar
Grafika, Jakarta
Fauzi, A., dan Suzi Anna. 2008. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan
Kelautan, P.T Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Kusumaatmadja, Mochtar.1982. Pengantar Hukum Internasional. Cet. Keempat
Binacipta,Bandung
__________. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Alumni Bandung
__________ dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Alumni,
Bandung.
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional. 2005. Jurnal Hukum Internasional.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya
Bakti. Bandung
Syahmin, A.K, S.H.1985. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi
Wina 1969).C.V. AMRICO,Bandung.
______.1985. Pokok-pokok
Palembang.
Hukum
Organisasi
Internasional.Bina
Cipta,
Tahar, Abdul Muthalib. 2007. Zona-zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982
dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. Buku Ajar. Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas
Lampung Press. Bandar Lampung.
Perjanjian Internasional
Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the
Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly
Migratory Fish Stocks 1995
Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission. 2003
Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish
Stocks in the Western and Central Pacific Ocean. 2000.
The Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
Naskah Akademis Agreement for the Implementation of the Provisions of the
United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982
relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and
Highly Migratory Fish Stocks (UNIA I995). Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Naskah Terjemahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the
United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982
relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and
Highly Migratory Fish Stocks (UNIA). Departemen Kelautan dan Perikanan.
Naskah Akademik Penerimaan (Acceptance) Agreement to Promote Compliance
with International Conservation and Management Measures by Fishing
Vessels on the High Seas 1993. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Conservation of Southern
Bluefin Tuna. 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Hasil Seminar
Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya
Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret Tahun 2007 di
Hotel Transit 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Hasil Rapat
Urgensi dan Konsekuensi Pengesahan UNIA 1995, Departemen Kelautan dan
Perikanan. Tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Daftar Inventarisasi Masalah Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang
Republik Indonesia Tentang Pengesahan UNIA. Draft Hasil Pembahasan
Tgl 20 Februari 2009. Departeman Kelautan dan Perikanan.
Pustaka Online
http//www.dkp.go.id.. Diakses pada tanggal 18 oktober 2008
http://www.sdi.dkp.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=18.
Diakses pada tanggal 26 April 2009
http://www.ccsbt.org/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2009.
http://www.google.com/.ratifikasi/panmohamadfaiz.html
LAMPIRAN
UNITED
NATIONS
A
General Assembly
Distr.
GENERAL
A/CONF.164/37
8 September 1995
ORIGINAL:
ENGLISH
UNITED NATIONS CONFERENCE ON
STRADDLING FISH STOCKS AND
HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS
Sixth session
New York, 24 July-4 August 1995
AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF
THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA
OF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION AND
MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY
MIGRATORY FISH STOCKS
95-27467S (E)
271095
/...
A/CONF.164/37
English
Page 2
AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF
THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA
OF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION AND
MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY
MIGRATORY FISH STOCKS
The States Parties to this Agreement,
Recalling the relevant provisions of the United Nations Convention on the
Law of the Sea of 10 December 1982,
Determined to ensure the long-term conservation and sustainable use of
straddling fish stocks and highly migratory fish stocks,
Resolved to improve cooperation between States to that end,
Calling for more effective enforcement by flag States, port States and
coastal States of the conservation and management measures adopted for such
stocks,
Seeking to address in particular the problems identified in chapter 17,
programme area C, of Agenda 21 adopted by the United Nations Conference on
Environment and Development, namely, that the management of high seas fisheries
is inadequate in many areas and that some resources are overutilized; noting
that there are problems of unregulated fishing, over-capitalization, excessive
fleet size, vessel reflagging to escape controls, insufficiently selective gear,
unreliable databases and lack of sufficient cooperation between States,
Committing themselves to responsible fisheries,
Conscious of the need to avoid adverse impacts on the marine environment,
preserve biodiversity, maintain the integrity of marine ecosystems and minimize
the risk of long-term or irreversible effects of fishing operations,
Recognizing the need for specific assistance, including financial,
scientific and technological assistance, in order that developing States can
participate effectively in the conservation, management and sustainable use of
straddling fish stocks and highly migratory fish stocks,
Convinced that an agreement for the implementation of the relevant
provisions of the Convention would best serve these purposes and contribute to
the maintenance of international peace and security,
Affirming that matters not regulated by the Convention or by this Agreement
continue to be governed by the rules and principles of general international
law,
Have agreed as follows:
/...
A/CONF.164/37
English
Page 3
PART I
GENERAL PROVISIONS
Article 1
Use of terms and scope
1.
For the purposes of this Agreement:
(a) "Convention" means the United Nations Convention on the Law of the Sea
of 10 December 1982;
(b) "conservation and management measures" means measures to conserve and
manage one or more species of living marine resources that are adopted and
applied consistent with the relevant rules of international law as reflected in
the Convention and this Agreement;
(c) "fish" includes molluscs and crustaceans except those belonging to
sedentary species as defined in article 77 of the Convention; and
(d) "arrangement" means a cooperative mechanism established in accordance
with the Convention and this Agreement by two or more States for the purpose,
inter alia, of establishing conservation and management measures in a subregion
or region for one or more straddling fish stocks or highly migratory fish
stocks.
2.
(a) "States Parties" means States which have consented to be bound by this
Agreement and for which the Agreement is in force.
(b)
This Agreement applies mutatis mutandis:
(i)
to any entity referred to in article 305, paragraph 1 (c), (d) and
(e), of the Convention and
(ii)
subject to article 47, to any entity referred to as an "international
organization" in Annex IX, article 1, of the Convention
which becomes a Party to this Agreement, and to that extent "States Parties"
refers to those entities.
3.
This Agreement applies mutatis mutandis to other fishing entities whose
vessels fish on the high seas.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 4
Article 2
Objective
The objective of this Agreement is to ensure the long-term conservation and
sustainable use of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks
through effective implementation of the relevant provisions of the Convention.
Article 3
Application
1.
Unless otherwise provided, this Agreement applies to the conservation and
management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks beyond
areas under national jurisdiction, except that articles 6 and 7 apply also to
the conservation and management of such stocks within areas under national
jurisdiction, subject to the different legal regimes that apply within areas
under national jurisdiction and in areas beyond national jurisdiction as
provided for in the Convention.
2.
In the exercise of its sovereign rights for the purpose of exploring and
exploiting, conserving and managing straddling fish stocks and highly migratory
fish stocks within areas under national jurisdiction, the coastal State shall
apply mutatis mutandis the general principles enumerated in article 5.
3.
States shall give due consideration to the respective capacities of
developing States to apply articles 5, 6 and 7 within areas under national
jurisdiction and their need for assistance as provided for in this Agreement.
To this end, Part VII applies mutatis mutandis in respect of areas under
national jurisdiction.
Article 4
Relationship between this Agreement and the Convention
Nothing in this Agreement shall prejudice the rights, jurisdiction and
duties of States under the Convention. This Agreement shall be interpreted and
applied in the context of and in a manner consistent with the Convention.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 5
PART II
CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS
AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS
Article 5
General principles
In order to conserve and manage straddling fish stocks and highly migratory
fish stocks, coastal States and States fishing on the high seas shall, in giving
effect to their duty to cooperate in accordance with the Convention:
(a) adopt measures to ensure long-term sustainability of straddling fish
stocks and highly migratory fish stocks and promote the objective of their
optimum utilization;
(b) ensure that such measures are based on the best scientific evidence
available and are designed to maintain or restore stocks at levels capable of
producing maximum sustainable yield, as qualified by relevant environmental and
economic factors, including the special requirements of developing States, and
taking into account fishing patterns, the interdependence of stocks and any
generally recommended international minimum standards, whether subregional,
regional or global;
(c)
apply the precautionary approach in accordance with article 6;
(d) assess the impacts of fishing, other human activities and
environmental factors on target stocks and species belonging to the same
ecosystem or associated with or dependent upon the target stocks;
(e) adopt, where necessary, conservation and management measures for
species belonging to the same ecosystem or associated with or dependent upon the
target stocks, with a view to maintaining or restoring populations of such
species above levels at which their reproduction may become seriously
threatened;
(f) minimize pollution, waste, discards, catch by lost or abandoned gear,
catch of non-target species, both fish and non-fish species, (hereinafter
referred to as non-target species) and impacts on associated or dependent
species, in particular endangered species, through measures including, to the
extent practicable, the development and use of selective, environmentally safe
and cost-effective fishing gear and techniques;
(g)
protect biodiversity in the marine environment;
(h) take measures to prevent or eliminate overfishing and excess fishing
capacity and to ensure that levels of fishing effort do not exceed those
commensurate with the sustainable use of fishery resources;
(i)
take into account the interests of artisanal and subsistence fishers;
/...
A/CONF.164/37
English
Page 6
(j) collect and share, in a timely manner, complete and accurate data
concerning fishing activities on, inter alia, vessel position, catch of target
and non-target species and fishing effort, as set out in Annex I, as well as
information from national and international research programmes;
(k) promote and conduct scientific research and develop appropriate
technologies in support of fishery conservation and management; and
(l) implement and enforce conservation and management measures through
effective monitoring, control and surveillance.
Article 6
Application of the precautionary approach
1.
States shall apply the precautionary approach widely to conservation,
management and exploitation of straddling fish stocks and highly migratory fish
stocks in order to protect the living marine resources and preserve the marine
environment.
2.
States shall be more cautious when information is uncertain, unreliable or
inadequate. The absence of adequate scientific information shall not be used as
a reason for postponing or failing to take conservation and management measures.
3.
In implementing the precautionary approach, States shall:
(a) improve decision-making for fishery resource conservation and
management by obtaining and sharing the best scientific information available
and implementing improved techniques for dealing with risk and uncertainty;
(b) apply the guidelines set out in Annex II and determine, on the basis
of the best scientific information available, stock-specific reference points
and the action to be taken if they are exceeded;
(c) take into account, inter alia, uncertainties relating to the size and
productivity of the stocks, reference points, stock condition in relation to
such reference points, levels and distribution of fishing mortality and the
impact of fishing activities on non-target and associated or dependent species,
as well as existing and predicted oceanic, environmental and socio-economic
conditions; and
(d) develop data collection and research programmes to assess the impact
of fishing on non-target and associated or dependent species and their
environment, and adopt plans which are necessary to ensure the conservation of
such species and to protect habitats of special concern.
4.
States shall take measures to ensure that, when reference points are
approached, they will not be exceeded. In the event that they are exceeded,
States shall, without delay, take the action determined under paragraph 3 (b) to
restore the stocks.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 7
5.
Where the status of target stocks or non-target or associated or dependent
species is of concern, States shall subject such stocks and species to enhanced
monitoring in order to review their status and the efficacy of conservation and
management measures. They shall revise those measures regularly in the light of
new information.
6.
For new or exploratory fisheries, States shall adopt as soon as possible
cautious conservation and management measures, including, inter alia, catch
limits and effort limits. Such measures shall remain in force until there are
sufficient data to allow assessment of the impact of the fisheries on the
long-term sustainability of the stocks, whereupon conservation and management
measures based on that assessment shall be implemented. The latter measures
shall, if appropriate, allow for the gradual development of the fisheries.
7.
If a natural phenomenon has a significant adverse impact on the status of
straddling fish stocks or highly migratory fish stocks, States shall adopt
conservation and management measures on an emergency basis to ensure that
fishing activity does not exacerbate such adverse impact. States shall also
adopt such measures on an emergency basis where fishing activity presents a
serious threat to the sustainability of such stocks. Measures taken on an
emergency basis shall be temporary and shall be based on the best scientific
evidence available.
Article 7
Compatibility of conservation and management measures
1.
Without prejudice to the sovereign rights of coastal States for the purpose
of exploring and exploiting, conserving and managing the living marine resources
within areas under national jurisdiction as provided for in the Convention, and
the right of all States for their nationals to engage in fishing on the high
seas in accordance with the Convention:
(a) with respect to straddling fish stocks, the relevant coastal States
and the States whose nationals fish for such stocks in the adjacent high seas
area shall seek, either directly or through the appropriate mechanisms for
cooperation provided for in Part III, to agree upon the measures necessary for
the conservation of these stocks in the adjacent high seas area;
(b) with respect to highly migratory fish stocks, the relevant coastal
States and other States whose nationals fish for such stocks in the region shall
cooperate, either directly or through the appropriate mechanisms for cooperation
provided for in Part III, with a view to ensuring conservation and promoting the
objective of optimum utilization of such stocks throughout the region, both
within and beyond the areas under national jurisdiction.
2.
Conservation and management measures established for the high seas and
those adopted for areas under national jurisdiction shall be compatible in order
to ensure conservation and management of the straddling fish stocks and highly
migratory fish stocks in their entirety. To this end, coastal States and States
fishing on the high seas have a duty to cooperate for the purpose of achieving
/...
A/CONF.164/37
English
Page 8
compatible measures in respect of such stocks. In determining compatible
conservation and management measures, States shall:
(a) take into account the conservation and management measures adopted and
applied in accordance with article 61 of the Convention in respect of the same
stocks by coastal States within areas under national jurisdiction and ensure
that measures established in respect of such stocks for the high seas do not
undermine the effectiveness of such measures;
(b) take into account previously agreed measures established and applied
for the high seas in accordance with the Convention in respect of the same
stocks by relevant coastal States and States fishing on the high seas;
(c) take into account previously agreed measures established and applied
in accordance with the Convention in respect of the same stocks by a subregional
or regional fisheries management organization or arrangement;
(d) take into account the biological unity and other biological
characteristics of the stocks and the relationships between the distribution of
the stocks, the fisheries and the geographical particularities of the region
concerned, including the extent to which the stocks occur and are fished in
areas under national jurisdiction;
(e) take into account the respective dependence of the coastal States and
the States fishing on the high seas on the stocks concerned; and
(f) ensure that such measures do not result in harmful impact on the
living marine resources as a whole.
3.
In giving effect to their duty to cooperate, States shall make every effort
to agree on compatible conservation and management measures within a reasonable
period of time.
4.
If no agreement can be reached within a reasonable period of time, any of
the States concerned may invoke the procedures for the settlement of disputes
provided for in Part VIII.
5.
Pending agreement on compatible conservation and management measures, the
States concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make every
effort to enter into provisional arrangements of a practical nature. In the
event that they are unable to agree on such arrangements, any of the States
concerned may, for the purpose of obtaining provisional measures, submit the
dispute to a court or tribunal in accordance with the procedures for the
settlement of disputes provided for in Part VIII.
6.
Provisional arrangements or measures entered into or prescribed pursuant to
paragraph 5 shall take into account the provisions of this Part, shall have due
regard to the rights and obligations of all States concerned, shall not
jeopardize or hamper the reaching of final agreement on compatible conservation
and management measures and shall be without prejudice to the final outcome of
any dispute settlement procedure.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 9
7.
Coastal States shall regularly inform States fishing on the high seas in
the subregion or region, either directly or through appropriate subregional or
regional fisheries management organizations or arrangements, or through other
appropriate means, of the measures they have adopted for straddling fish stocks
and highly migratory fish stocks within areas under their national jurisdiction.
8.
States fishing on the high seas shall regularly inform other interested
States, either directly or through appropriate subregional or regional fisheries
management organizations or arrangements, or through other appropriate means, of
the measures they have adopted for regulating the activities of vessels flying
their flag which fish for such stocks on the high seas.
PART III
MECHANISMS FOR INTERNATIONAL COOPERATION CONCERNING STRADDLING
FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS
Article 8
Cooperation for conservation and management
1.
Coastal States and States fishing on the high seas shall, in accordance
with the Convention, pursue cooperation in relation to straddling fish stocks
and highly migratory fish stocks either directly or through appropriate
subregional or regional fisheries management organizations or arrangements,
taking into account the specific characteristics of the subregion or region, to
ensure effective conservation and management of such stocks.
2.
States shall enter into consultations in good faith and without delay,
particularly where there is evidence that the straddling fish stocks and highly
migratory fish stocks concerned may be under threat of over-exploitation or
where a new fishery is being developed for such stocks. To this end,
consultations may be initiated at the request of any interested State with a
view to establishing appropriate arrangements to ensure conservation and
management of the stocks. Pending agreement on such arrangements, States shall
observe the provisions of this Agreement and shall act in good faith and with
due regard to the rights, interests and duties of other States.
3.
Where a subregional or regional fisheries management organization or
arrangement has the competence to establish conservation and management measures
for particular straddling fish stocks or highly migratory fish stocks, States
fishing for the stocks on the high seas and relevant coastal States shall give
effect to their duty to cooperate by becoming members of such organization or
participants in such arrangement, or by agreeing to apply the conservation and
management measures established by such organization or arrangement. States
having a real interest in the fisheries concerned may become members of such
organization or participants in such arrangement. The terms of participation in
such organization or arrangement shall not preclude such States from membership
or participation; nor shall they be applied in a manner which discriminates
against any State or group of States having a real interest in the fisheries
concerned.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 10
4.
Only those States which are members of such an organization or participants
in such an arrangement, or which agree to apply the conservation and management
measures established by such organization or arrangement, shall have access to
the fishery resources to which those measures apply.
5.
Where there is no subregional or regional fisheries management organization
or arrangement to establish conservation and management measures for a
particular straddling fish stock or highly migratory fish stock, relevant
coastal States and States fishing on the high seas for such stock in the
subregion or region shall cooperate to establish such an organization or enter
into other appropriate arrangements to ensure conservation and management of
such stock and shall participate in the work of the organization or arrangement.
6.
Any State intending to propose that action be taken by an intergovernmental
organization having competence with respect to living resources should, where
such action would have a significant effect on conservation and management
measures already established by a competent subregional or regional fisheries
management organization or arrangement, consult through that organization or
arrangement with its members or participants. To the extent practicable, such
consultation should take place prior to the submission of the proposal to the
intergovernmental organization.
Article 9
Subregional and regional fisheries management organizations
and arrangements
1.
In establishing subregional or regional fisheries management organizations
or in entering into subregional or regional fisheries management arrangements
for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, States shall agree,
inter alia, on:
(a) the stocks to which conservation and management measures apply, taking
into account the biological characteristics of the stocks concerned and the
nature of the fisheries involved;
(b) the area of application, taking into account article 7, paragraph 1,
and the characteristics of the subregion or region, including socio-economic,
geographical and environmental factors;
(c) the relationship between the work of the new organization or
arrangement and the role, objectives and operations of any relevant existing
fisheries management organizations or arrangements; and
(d) the mechanisms by which the organization or arrangement will obtain
scientific advice and review the status of the stocks, including, where
appropriate, the establishment of a scientific advisory body.
2.
States cooperating in the formation of a subregional or regional fisheries
management organization or arrangement shall inform other States which they are
/...
A/CONF.164/37
English
Page 11
aware have a real interest in the work of the proposed organization or
arrangement of such cooperation.
Article 10
Functions of subregional and regional fisheries management
organizations and arrangements
In fulfilling their obligation to cooperate through subregional or regional
fisheries management organizations or arrangements, States shall:
(a) agree on and comply with conservation and management measures to
ensure the long-term sustainability of straddling fish stocks and highly
migratory fish stocks;
(b) agree, as appropriate, on participatory rights such as allocations of
allowable catch or levels of fishing effort;
(c) adopt and apply any generally recommended international minimum
standards for the responsible conduct of fishing operations;
(d) obtain and evaluate scientific advice, review the status of the stocks
and assess the impact of fishing on non-target and associated or dependent
species;
(e) agree on standards for collection, reporting, verification and
exchange of data on fisheries for the stocks;
(f) compile and disseminate accurate and complete statistical data, as
described in Annex I, to ensure that the best scientific evidence is available,
while maintaining confidentiality where appropriate;
(g) promote and conduct scientific assessments of the stocks and relevant
research and disseminate the results thereof;
(h) establish appropriate cooperative mechanisms for effective monitoring,
control, surveillance and enforcement;
(i) agree on means by which the fishing interests of new members of the
organization or new participants in the arrangement will be accommodated;
(j) agree on decision-making procedures which facilitate the adoption of
conservation and management measures in a timely and effective manner;
(k) promote the peaceful settlement of disputes in accordance with
Part VIII;
(l) ensure the full cooperation of their relevant national agencies and
industries in implementing the recommendations and decisions of the organization
or arrangement; and
/...
A/CONF.164/37
English
Page 12
(m) give due publicity to the conservation and management measures
established by the organization or arrangement.
Article 11
New members or participants
In determining the nature and extent of participatory rights for new
members of a subregional or regional fisheries management organization, or for
new participants in a subregional or regional fisheries management arrangement,
States shall take into account, inter alia:
(a) the status of the straddling fish stocks and highly migratory fish
stocks and the existing level of fishing effort in the fishery;
(b) the respective interests, fishing patterns and fishing practices of
new and existing members or participants;
(c) the respective contributions of new and existing members or
participants to conservation and management of the stocks, to the collection and
provision of accurate data and to the conduct of scientific research on the
stocks;
(d) the needs of coastal fishing communities which are dependent mainly on
fishing for the stocks;
(e) the needs of coastal States whose economies are overwhelmingly
dependent on the exploitation of living marine resources; and
(f) the interests of developing States from the subregion or region in
whose areas of national jurisdiction the stocks also occur.
Article 12
Transparency in activities of subregional and regional fisheries
management organizations and arrangements
1.
States shall provide for transparency in the decision-making process and
other activities of subregional and regional fisheries management organizations
and arrangements.
2.
Representatives from other intergovernmental organizations and
representatives from non-governmental organizations concerned with straddling
fish stocks and highly migratory fish stocks shall be afforded the opportunity
to take part in meetings of subregional and regional fisheries management
organizations and arrangements as observers or otherwise, as appropriate, in
accordance with the procedures of the organization or arrangement concerned.
Such procedures shall not be unduly restrictive in this respect. Such
intergovernmental organizations and non-governmental organizations shall have
/...
A/CONF.164/37
English
Page 13
timely access to the records and reports of such organizations and arrangements,
subject to the procedural rules on access to them.
Article 13
Strengthening of existing organizations and arrangements
States shall cooperate to strengthen existing subregional and regional
fisheries management organizations and arrangements in order to improve their
effectiveness in establishing and implementing conservation and management
measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks.
Article 14
Collection and provision of information and cooperation
in scientific research
1.
States shall ensure that fishing vessels flying their flag provide such
information as may be necessary in order to fulfil their obligations under this
Agreement. To this end, States shall in accordance with Annex I:
(a) collect and exchange scientific, technical and statistical data with
respect to fisheries for straddling fish stocks and highly migratory fish
stocks;
(b) ensure that data are collected in sufficient detail to facilitate
effective stock assessment and are provided in a timely manner to fulfil the
requirements of subregional or regional fisheries management organizations or
arrangements; and
(c)
take appropriate measures to verify the accuracy of such data.
2.
States shall cooperate, either directly or through subregional or regional
fisheries management organizations or arrangements:
(a) to agree on the specification of data and the format in which they are
to be provided to such organizations or arrangements, taking into account the
nature of the stocks and the fisheries for those stocks; and
(b) to develop and share analytical techniques and stock assessment
methodologies to improve measures for the conservation and management of
straddling fish stocks and highly migratory fish stocks.
3.
Consistent with Part XIII of the Convention, States shall cooperate, either
directly or through competent international organizations, to strengthen
scientific research capacity in the field of fisheries and promote scientific
research related to the conservation and management of straddling fish stocks
and highly migratory fish stocks for the benefit of all. To this end, a State
or the competent international organization conducting such research beyond
areas under national jurisdiction shall actively promote the publication and
/...
A/CONF.164/37
English
Page 14
dissemination to any interested States of the results of that research and
information relating to its objectives and methods and, to the extent
practicable, shall facilitate the participation of scientists from those States
in such research.
Article 15
Enclosed and semi-enclosed seas
In implementing this Agreement in an enclosed or semi-enclosed sea, States
shall take into account the natural characteristics of that sea and shall also
act in a manner consistent with Part IX of the Convention and other relevant
provisions thereof.
Article 16
Areas of high seas surrounded entirely by an area under
the national jurisdiction of a single State
1.
States fishing for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks
in an area of the high seas surrounded entirely by an area under the national
jurisdiction of a single State and the latter State shall cooperate to establish
conservation and management measures in respect of those stocks in the high seas
area. Having regard to the natural characteristics of the area, States shall
pay special attention to the establishment of compatible conservation and
management measures for such stocks pursuant to article 7. Measures taken in
respect of the high seas shall take into account the rights, duties and
interests of the coastal State under the Convention, shall be based on the best
scientific evidence available and shall also take into account any conservation
and management measures adopted and applied in respect of the same stocks in
accordance with article 61 of the Convention by the coastal State in the area
under national jurisdiction. States shall also agree on measures for
monitoring, control, surveillance and enforcement to ensure compliance with the
conservation and management measures in respect of the high seas.
2.
Pursuant to article 8, States shall act in good faith and make every effort
to agree without delay on conservation and management measures to be applied in
the carrying out of fishing operations in the area referred to in paragraph 1.
If, within a reasonable period of time, the fishing States concerned and the
coastal State are unable to agree on such measures, they shall, having regard to
paragraph 1, apply article 7, paragraphs 4, 5 and 6, relating to provisional
arrangements or measures. Pending the establishment of such provisional
arrangements or measures, the States concerned shall take measures in respect of
vessels flying their flag in order that they not engage in fisheries which could
undermine the stocks concerned.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 15
PART IV
NON-MEMBERS AND NON-PARTICIPANTS
Article 17
Non-members of organizations and non-participants
in arrangements
1.
A State which is not a member of a subregional or regional fisheries
management organization or is not a participant in a subregional or regional
fisheries management arrangement, and which does not otherwise agree to apply
the conservation and management measures established by such organization or
arrangement, is not discharged from the obligation to cooperate, in accordance
with the Convention and this Agreement, in the conservation and management of
the relevant straddling fish stocks and highly migratory fish stocks.
2.
Such State shall not authorize vessels flying its flag to engage in fishing
operations for the straddling fish stocks or highly migratory fish stocks which
are subject to the conservation and management measures established by such
organization or arrangement.
3.
States which are members of a subregional or regional fisheries management
organization or participants in a subregional or regional fisheries management
arrangement shall, individually or jointly, request the fishing entities
referred to in article 1, paragraph 3, which have fishing vessels in the
relevant area to cooperate fully with such organization or arrangement in
implementing the conservation and management measures it has established, with a
view to having such measures applied de facto as extensively as possible to
fishing activities in the relevant area. Such fishing entities shall enjoy
benefits from participation in the fishery commensurate with their commitment to
comply with conservation and management measures in respect of the stocks.
4.
States which are members of such organization or participants in such
arrangement shall exchange information with respect to the activities of fishing
vessels flying the flags of States which are neither members of the organization
nor participants in the arrangement and which are engaged in fishing operations
for the relevant stocks. They shall take measures consistent with this
Agreement and international law to deter activities of such vessels which
undermine the effectiveness of subregional or regional conservation and
management measures.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 16
PART V
DUTIES OF THE FLAG STATE
Article 18
Duties of the flag State
1.
A State whose vessels fish on the high seas shall take such measures as may
be necessary to ensure that vessels flying its flag comply with subregional and
regional conservation and management measures and that such vessels do not
engage in any activity which undermines the effectiveness of such measures.
2.
A State shall authorize the use of vessels flying its flag for fishing on
the high seas only where it is able to exercise effectively its responsibilities
in respect of such vessels under the Convention and this Agreement.
3.
Measures to be taken by a State in respect of vessels flying its flag shall
include:
(a) control of such vessels on the high seas by means of fishing licences,
authorizations or permits, in accordance with any applicable procedures agreed
at the subregional, regional or global level;
(b)
establishment of regulations:
(i)
to apply terms and conditions to the licence, authorization or permit
sufficient to fulfil any subregional, regional or global obligations
of the flag State;
(ii)
(iii)
(iv)
to prohibit fishing on the high seas by vessels which are not duly
licensed or authorized to fish, or fishing on the high seas by vessels
otherwise than in accordance with the terms and conditions of a
licence, authorization or permit;
to require vessels fishing on the high seas to carry the licence,
authorization or permit on board at all times and to produce it on
demand for inspection by a duly authorized person; and
to ensure that vessels flying its flag do not conduct unauthorized
fishing within areas under the national jurisdiction of other States;
(c) establishment of a national record of fishing vessels authorized to
fish on the high seas and provision of access to the information contained in
that record on request by directly interested States, taking into account any
national laws of the flag State regarding the release of such information;
(d) requirements for marking of fishing vessels and fishing gear for
identification in accordance with uniform and internationally recognizable
vessel and gear marking systems, such as the Food and Agriculture Organization
of the United Nations Standard Specifications for the Marking and Identification
of Fishing Vessels;
/...
A/CONF.164/37
English
Page 17
(e) requirements for recording and timely reporting of vessel position,
catch of target and non-target species, fishing effort and other relevant
fisheries data in accordance with subregional, regional and global standards for
collection of such data;
(f) requirements for verifying the catch of target and non-target species
through such means as observer programmes, inspection schemes, unloading
reports, supervision of transshipment and monitoring of landed catches and
market statistics;
(g) monitoring, control and surveillance of such vessels, their fishing
operations and related activities by, inter alia:
(i)
the implementation of national inspection schemes and subregional and
regional schemes for cooperation in enforcement pursuant to articles
21 and 22, including requirements for such vessels to permit access by
duly authorized inspectors from other States;
(ii)
the implementation of national observer programmes and subregional and
regional observer programmes in which the flag State is a participant,
including requirements for such vessels to permit access by observers
from other States to carry out the functions agreed under the
programmes; and
(iii)
the development and implementation of vessel monitoring systems,
including, as appropriate, satellite transmitter systems, in
accordance with any national programmes and those which have been
subregionally, regionally or globally agreed among the States
concerned;
(h) regulation of transshipment on the high seas to ensure that the
effectiveness of conservation and management measures is not undermined; and
(i) regulation of fishing activities to ensure compliance with
subregional, regional or global measures, including those aimed at minimizing
catches of non-target species.
4.
Where there is a subregionally, regionally or globally agreed system of
monitoring, control and surveillance in effect, States shall ensure that the
measures they impose on vessels flying their flag are compatible with that
system.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 18
PART VI
COMPLIANCE AND ENFORCEMENT
Article 19
Compliance and enforcement by the flag State
1.
A State shall ensure compliance by vessels flying its flag with subregional
and regional conservation and management measures for straddling fish stocks and
highly migratory fish stocks. To this end, that State shall:
(a)
enforce such measures irrespective of where violations occur;
(b) investigate immediately and fully any alleged violation of subregional
or regional conservation and management measures, which may include the physical
inspection of the vessels concerned, and report promptly to the State alleging
the violation and the relevant subregional or regional organization or
arrangement on the progress and outcome of the investigation;
(c) require any vessel flying its flag to give information to the
investigating authority regarding vessel position, catches, fishing gear,
fishing operations and related activities in the area of an alleged violation;
(d) if satisfied that sufficient evidence is available in respect of an
alleged violation, refer the case to its authorities with a view to instituting
proceedings without delay in accordance with its laws and, where appropriate,
detain the vessel concerned; and
(e) ensure that, where it has been established, in accordance with its
laws, a vessel has been involved in the commission of a serious violation of
such measures, the vessel does not engage in fishing operations on the high seas
until such time as all outstanding sanctions imposed by the flag State in
respect of the violation have been complied with.
2.
All investigations and judicial proceedings shall be carried out
expeditiously. Sanctions applicable in respect of violations shall be adequate
in severity to be effective in securing compliance and to discourage violations
wherever they occur and shall deprive offenders of the benefits accruing from
their illegal activities. Measures applicable in respect of masters and other
officers of fishing vessels shall include provisions which may permit,
inter alia, refusal, withdrawal or suspension of authorizations to serve as
masters or officers on such vessels.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 19
Article 20
International cooperation in enforcement
1.
States shall cooperate, either directly or through subregional or regional
fisheries management organizations or arrangements, to ensure compliance with
and enforcement of subregional and regional conservation and management measures
for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks.
2.
A flag State conducting an investigation of an alleged violation of
conservation and management measures for straddling fish stocks or highly
migratory fish stocks may request the assistance of any other State whose
cooperation may be useful in the conduct of that investigation. All States
shall endeavour to meet reasonable requests made by a flag State in connection
with such investigations.
3.
A flag State may undertake such investigations directly, in cooperation
with other interested States or through the relevant subregional or regional
fisheries management organization or arrangement. Information on the progress
and outcome of the investigations shall be provided to all States having an
interest in, or affected by, the alleged violation.
4.
States shall assist each other in identifying vessels reported to have
engaged in activities undermining the effectiveness of subregional, regional or
global conservation and management measures.
5.
States shall, to the extent permitted by national laws and regulations,
establish arrangements for making available to prosecuting authorities in other
States evidence relating to alleged violations of such measures.
6.
Where there are reasonable grounds for believing that a vessel on the high
seas has been engaged in unauthorized fishing within an area under the
jurisdiction of a coastal State, the flag State of that vessel, at the request
of the coastal State concerned, shall immediately and fully investigate the
matter. The flag State shall cooperate with the coastal State in taking
appropriate enforcement action in such cases and may authorize the relevant
authorities of the coastal State to board and inspect the vessel on the high
seas. This paragraph is without prejudice to article 111 of the Convention.
7.
States Parties which are members of a subregional or regional fisheries
management organization or participants in a subregional or regional fisheries
management arrangement may take action in accordance with international law,
including through recourse to subregional or regional procedures established for
this purpose, to deter vessels which have engaged in activities which undermine
the effectiveness of or otherwise violate the conservation and management
measures established by that organization or arrangement from fishing on the
high seas in the subregion or region until such time as appropriate action is
taken by the flag State.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 20
Article 21
Subregional and regional cooperation in enforcement
1.
In any high seas area covered by a subregional or regional fisheries
management organization or arrangement, a State Party which is a member of such
organization or a participant in such arrangement may, through its duly
authorized inspectors, board and inspect, in accordance with paragraph 2,
fishing vessels flying the flag of another State Party to this Agreement,
whether or not such State Party is also a member of the organization or a
participant in the arrangement, for the purpose of ensuring compliance with
conservation and management measures for straddling fish stocks and highly
migratory fish stocks established by that organization or arrangement.
2.
States shall establish, through subregional or regional fisheries
management organizations or arrangements, procedures for boarding and inspection
pursuant to paragraph 1, as well as procedures to implement other provisions of
this article. Such procedures shall be consistent with this article and the
basic procedures set out in article 22 and shall not discriminate against
non-members of the organization or non-participants in the arrangement.
Boarding and inspection as well as any subsequent enforcement action shall be
conducted in accordance with such procedures. States shall give due publicity
to procedures established pursuant to this paragraph.
3.
If, within two years of the adoption of this Agreement, any organization or
arrangement has not established such procedures, boarding and inspection
pursuant to paragraph 1, as well as any subsequent enforcement action, shall,
pending the establishment of such procedures, be conducted in accordance with
this article and the basic procedures set out in article 22.
4.
Prior to taking action under this article, inspecting States shall, either
directly or through the relevant subregional or regional fisheries management
organization or arrangement, inform all States whose vessels fish on the high
seas in the subregion or region of the form of identification issued to their
duly authorized inspectors. The vessels used for boarding and inspection shall
be clearly marked and identifiable as being on government service. At the time
of becoming a Party to this Agreement, a State shall designate an appropriate
authority to receive notifications pursuant to this article and shall give due
publicity of such designation through the relevant subregional or regional
fisheries management organization or arrangement.
5.
Where, following a boarding and inspection, there are clear grounds for
believing that a vessel has engaged in any activity contrary to the conservation
and management measures referred to in paragraph 1, the inspecting State shall,
where appropriate, secure evidence and shall promptly notify the flag State of
the alleged violation.
6.
The flag State shall respond to the notification referred to in paragraph 5
within three working days of its receipt, or such other period as may be
prescribed in procedures established in accordance with paragraph 2, and shall
either:
/...
A/CONF.164/37
English
Page 21
(a) fulfil, without delay, its obligations under article 19 to investigate
and, if evidence so warrants, take enforcement action with respect to the
vessel, in which case it shall promptly inform the inspecting State of the
results of the investigation and of any enforcement action taken; or
(b)
authorize the inspecting State to investigate.
7.
Where the flag State authorizes the inspecting State to investigate an
alleged violation, the inspecting State shall, without delay, communicate the
results of that investigation to the flag State. The flag State shall, if
evidence so warrants, fulfil its obligations to take enforcement action with
respect to the vessel. Alternatively, the flag State may authorize the
inspecting State to take such enforcement action as the flag State may specify
with respect to the vessel, consistent with the rights and obligations of the
flag State under this Agreement.
8.
Where, following boarding and inspection, there are clear grounds for
believing that a vessel has committed a serious violation, and the flag State
has either failed to respond or failed to take action as required under
paragraphs 6 or 7, the inspectors may remain on board and secure evidence and
may require the master to assist in further investigation including, where
appropriate, by bringing the vessel without delay to the nearest appropriate
port, or to such other port as may be specified in procedures established in
accordance with paragraph 2. The inspecting State shall immediately inform the
flag State of the name of the port to which the vessel is to proceed. The
inspecting State and the flag State and, as appropriate, the port State shall
take all necessary steps to ensure the well-being of the crew regardless of
their nationality.
9.
The inspecting State shall inform the flag State and the relevant
organization or the participants in the relevant arrangement of the results of
any further investigation.
10. The inspecting State shall require its inspectors to observe generally
accepted international regulations, procedures and practices relating to the
safety of the vessel and the crew, minimize interference with fishing operations
and, to the extent practicable, avoid action which would adversely affect the
quality of the catch on board. The inspecting State shall ensure that boarding
and inspection is not conducted in a manner that would constitute harassment of
any fishing vessel.
11.
For the purposes of this article, a serious violation means:
(a) fishing without a valid licence, authorization or permit issued by the
flag State in accordance with article 18, paragraph 3 (a);
(b) failing to maintain accurate records of catch and catch-related data,
as required by the relevant subregional or regional fisheries management
organization or arrangement, or serious misreporting of catch, contrary to the
catch reporting requirements of such organization or arrangement;
/...
A/CONF.164/37
English
Page 22
(c) fishing in a closed area, fishing during a closed season or fishing
without, or after attainment of, a quota established by the relevant subregional
or regional fisheries management organization or arrangement;
(d) directed fishing for a stock which is subject to a moratorium or for
which fishing is prohibited;
(e)
using prohibited fishing gear;
(f) falsifying or concealing the markings, identity or registration of a
fishing vessel;
(g) concealing, tampering with or disposing of evidence relating to an
investigation;
(h) multiple violations which together constitute a serious disregard of
conservation and management measures; or
(i) such other violations as may be specified in procedures established by
the relevant subregional or regional fisheries management organization or
arrangement.
12. Notwithstanding the other provisions of this article, the flag State may,
at any time, take action to fulfil its obligations under article 19 with respect
to an alleged violation. Where the vessel is under the direction of the
inspecting State, the inspecting State shall, at the request of the flag State,
release the vessel to the flag State along with full information on the progress
and outcome of its investigation.
13. This article is without prejudice to the right of the flag State to take
any measures, including proceedings to impose penalties, according to its laws.
14. This article applies mutatis mutandis to boarding and inspection by a State
Party which is a member of a subregional or regional fisheries management
organization or a participant in a subregional or regional fisheries management
arrangement and which has clear grounds for believing that a fishing vessel
flying the flag of another State Party has engaged in any activity contrary to
relevant conservation and management measures referred to in paragraph 1 in the
high seas area covered by such organization or arrangement, and such vessel has
subsequently, during the same fishing trip, entered into an area under the
national jurisdiction of the inspecting State.
15. Where a subregional or regional fisheries management organization or
arrangement has established an alternative mechanism which effectively
discharges the obligation under this Agreement of its members or participants to
ensure compliance with the conservation and management measures established by
the organization or arrangement, members of such organization or participants in
such arrangement may agree to limit the application of paragraph 1 as between
themselves in respect of the conservation and management measures which have
been established in the relevant high seas area.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 23
16. Action taken by States other than the flag State in respect of vessels
having engaged in activities contrary to subregional or regional conservation
and management measures shall be proportionate to the seriousness of the
violation.
17. Where there are reasonable grounds for suspecting that a fishing vessel on
the high seas is without nationality, a State may board and inspect the vessel.
Where evidence so warrants, the State may take such action as may be appropriate
in accordance with international law.
18. States shall be liable for damage or loss attributable to them arising from
action taken pursuant to this article when such action is unlawful or exceeds
that reasonably required in the light of available information to implement the
provisions of this article.
Article 22
Basic procedures for boarding and inspection pursuant
to article 21
1.
The inspecting State shall ensure that its duly authorized inspectors:
(a) present credentials to the master of the vessel and produce a copy of
the text of the relevant conservation and management measures or rules and
regulations in force in the high seas area in question pursuant to those
measures;
(b) initiate notice to the flag State at the time of the boarding and
inspection;
(c) do not interfere with the master’s ability to communicate with the
authorities of the flag State during the boarding and inspection;
(d) provide a copy of a report on the boarding and inspection to the
master and to the authorities of the flag State, noting therein any objection or
statement which the master wishes to have included in the report;
(e) promptly leave the vessel following completion of the inspection if
they find no evidence of a serious violation; and
(f) avoid the use of force except when and to the degree necessary to
ensure the safety of the inspectors and where the inspectors are obstructed in
the execution of their duties. The degree of force used shall not exceed that
reasonably required in the circumstances.
2.
The duly authorized inspectors of an inspecting State shall have the
authority to inspect the vessel, its licence, gear, equipment, records,
facilities, fish and fish products and any relevant documents necessary to
verify compliance with the relevant conservation and management measures.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 24
3.
The flag State shall ensure that vessel masters:
(a)
accept and facilitate prompt and safe boarding by the inspectors;
(b) cooperate with and assist in the inspection of the vessel conducted
pursuant to these procedures;
(c) do not obstruct, intimidate or interfere with the inspectors in the
performance of their duties;
(d) allow the inspectors to communicate with the authorities of the flag
State and the inspecting State during the boarding and inspection;
(e) provide reasonable facilities, including, where appropriate, food and
accommodation, to the inspectors; and
(f)
facilitate safe disembarkation by the inspectors.
4.
In the event that the master of a vessel refuses to accept boarding and
inspection in accordance with this article and article 21, the flag State shall,
except in circumstances where, in accordance with generally accepted
international regulations, procedures and practices relating to safety at sea,
it is necessary to delay the boarding and inspection, direct the master of the
vessel to submit immediately to boarding and inspection and, if the master does
not comply with such direction, shall suspend the vessel’s authorization to fish
and order the vessel to return immediately to port. The flag State shall advise
the inspecting State of the action it has taken when the circumstances referred
to in this paragraph arise.
Article 23
Measures taken by a port State
1.
A port State has the right and the duty to take measures, in accordance
with international law, to promote the effectiveness of subregional, regional
and global conservation and management measures. When taking such measures a
port State shall not discriminate in form or in fact against the vessels of any
State.
2.
A port State may, inter alia, inspect documents, fishing gear and catch on
board fishing vessels, when such vessels are voluntarily in its ports or at its
offshore terminals.
3.
States may adopt regulations empowering the relevant national authorities
to prohibit landings and transshipments where it has been established that the
catch has been taken in a manner which undermines the effectiveness of
subregional, regional or global conservation and management measures on the high
seas.
4.
Nothing in this article affects the exercise by States of their sovereignty
over ports in their territory in accordance with international law.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 25
PART VII
REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES
Article 24
Recognition of the special requirements of developing States
1.
States shall give full recognition to the special requirements of
developing States in relation to conservation and management of straddling fish
stocks and highly migratory fish stocks and development of fisheries for such
stocks. To this end, States shall, either directly or through the United
Nations Development Programme, the Food and Agriculture Organization of the
United Nations and other specialized agencies, the Global Environment Facility,
the Commission on Sustainable Development and other appropriate international
and regional organizations and bodies, provide assistance to developing States.
2.
In giving effect to the duty to cooperate in the establishment of
conservation and management measures for straddling fish stocks and highly
migratory fish stocks, States shall take into account the special requirements
of developing States, in particular:
(a) the vulnerability of developing States which are dependent on the
exploitation of living marine resources, including for meeting the nutritional
requirements of their populations or parts thereof;
(b) the need to avoid adverse impacts on, and ensure access to fisheries
by, subsistence, small-scale and artisanal fishers and women fishworkers, as
well as indigenous people in developing States, particularly small island
developing States; and
(c) the need to ensure that such measures do not result in transferring,
directly or indirectly, a disproportionate burden of conservation action onto
developing States.
Article 25
Forms of cooperation with developing States
1.
States shall cooperate, either directly or through subregional, regional or
global organizations:
(a) to enhance the ability of developing States, in particular the
least-developed among them and small island developing States, to conserve and
manage straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and to develop
their own fisheries for such stocks;
(b) to assist developing States, in particular the least-developed among
them and small island developing States, to enable them to participate in high
seas fisheries for such stocks, including facilitating access to such fisheries
subject to articles 5 and 11; and
/...
A/CONF.164/37
English
Page 26
(c) to facilitate the participation of developing States in subregional
and regional fisheries management organizations and arrangements.
2.
Cooperation with developing States for the purposes set out in this article
shall include the provision of financial assistance, assistance relating to
human resources development, technical assistance, transfer of technology,
including through joint venture arrangements, and advisory and consultative
services.
3.
Such assistance shall, inter alia, be directed specifically towards:
(a) improved conservation and management of straddling fish stocks and
highly migratory fish stocks through collection, reporting, verification,
exchange and analysis of fisheries data and related information;
(b)
stock assessment and scientific research; and
(c) monitoring, control, surveillance, compliance and enforcement,
including training and capacity-building at the local level, development and
funding of national and regional observer programmes and access to technology
and equipment.
Article 26
Special assistance in the implementation of this Agreement
1.
States shall cooperate to establish special funds to assist developing
States in the implementation of this Agreement, including assisting developing
States to meet the costs involved in any proceedings for the settlement of
disputes to which they may be parties.
2.
States and international organizations should assist developing States in
establishing new subregional or regional fisheries management organizations or
arrangements, or in strengthening existing organizations or arrangements, for
the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory
fish stocks.
PART VIII
PEACEFUL SETTLEMENT OF DISPUTES
Article 27
Obligation to settle disputes by peaceful means
States have the obligation to settle their disputes by negotiation,
inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to
regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 27
Article 28
Prevention of disputes
States shall cooperate in order to prevent disputes. To this end, States
shall agree on efficient and expeditious decision-making procedures within
subregional and regional fisheries management organizations and arrangements and
shall strengthen existing decision-making procedures as necessary.
Article 29
Disputes of a technical nature
Where a dispute concerns a matter of a technical nature, the States
concerned may refer the dispute to an ad hoc expert panel established by them.
The panel shall confer with the States concerned and shall endeavour to resolve
the dispute expeditiously without recourse to binding procedures for the
settlement of disputes.
Article 30
Procedures for the settlement of disputes
1.
The provisions relating to the settlement of disputes set out in Part XV of
the Convention apply mutatis mutandis to any dispute between States Parties to
this Agreement concerning the interpretation or application of this Agreement,
whether or not they are also Parties to the Convention.
2.
The provisions relating to the settlement of disputes set out in Part XV of
the Convention apply mutatis mutandis to any dispute between States Parties to
this Agreement concerning the interpretation or application of a subregional,
regional or global fisheries agreement relating to straddling fish stocks or
highly migratory fish stocks to which they are parties, including any dispute
concerning the conservation and management of such stocks, whether or not they
are also Parties to the Convention.
3.
Any procedure accepted by a State Party to this Agreement and the
Convention pursuant to article 287 of the Convention shall apply to the
settlement of disputes under this Part, unless that State Party, when signing,
ratifying or acceding to this Agreement, or at any time thereafter, has accepted
another procedure pursuant to article 287 for the settlement of disputes under
this Part.
4.
A State Party to this Agreement which is not a Party to the Convention,
when signing, ratifying or acceding to this Agreement, or at any time
thereafter, shall be free to choose, by means of a written declaration, one or
more of the means set out in article 287, paragraph 1, of the Convention for the
settlement of disputes under this Part. Article 287 shall apply to such a
declaration, as well as to any dispute to which such State is a party which is
not covered by a declaration in force. For the purposes of conciliation and
/...
A/CONF.164/37
English
Page 28
arbitration in accordance with Annexes V, VII and VIII to the Convention, such
State shall be entitled to nominate conciliators, arbitrators and experts to be
included in the lists referred to in Annex V, article 2, Annex VII, article 2,
and Annex VIII, article 2, for the settlement of disputes under this Part.
5.
Any court or tribunal to which a dispute has been submitted under this Part
shall apply the relevant provisions of the Convention, of this Agreement and of
any relevant subregional, regional or global fisheries agreement, as well as
generally accepted standards for the conservation and management of living
marine resources and other rules of international law not incompatible with the
Convention, with a view to ensuring the conservation of the straddling fish
stocks and highly migratory fish stocks concerned.
Article 31
Provisional measures
1.
Pending the settlement of a dispute in accordance with this Part, the
parties to the dispute shall make every effort to enter into provisional
arrangements of a practical nature.
2.
Without prejudice to article 290 of the Convention, the court or tribunal
to which the dispute has been submitted under this Part may prescribe any
provisional measures which it considers appropriate under the circumstances to
preserve the respective rights of the parties to the dispute or to prevent
damage to the stocks in question, as well as in the circumstances referred to in
article 7, paragraph 5, and article 16, paragraph 2.
3.
A State Party to this Agreement which is not a Party to the Convention may
declare that, notwithstanding article 290, paragraph 5, of the Convention, the
International Tribunal for the Law of the Sea shall not be entitled to
prescribe, modify or revoke provisional measures without the agreement of such
State.
Article 32
Limitations on applicability of procedures for the
settlement of disputes
Article 297, paragraph 3, of the Convention applies also to this Agreement.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 29
PART IX
NON-PARTIES TO THIS AGREEMENT
Article 33
Non-parties to this Agreement
1.
States Parties shall encourage non-parties to this Agreement to become
parties thereto and to adopt laws and regulations consistent with its
provisions.
2.
States Parties shall take measures consistent with this Agreement and
international law to deter the activities of vessels flying the flag of
non-parties which undermine the effective implementation of this Agreement.
PART X
GOOD FAITH AND ABUSE OF RIGHTS
Article 34
Good faith and abuse of rights
States Parties shall fulfil in good faith the obligations assumed under
this Agreement and shall exercise the rights recognized in this Agreement in a
manner which would not constitute an abuse of right.
Part XI
RESPONSIBILITY AND LIABILITY
Article 35
Responsibility and liability
States Parties are liable in accordance with international law for damage
or loss attributable to them in regard to this Agreement.
PART XII
REVIEW CONFERENCE
Article 36
Review conference
1.
Four years after the date of entry into force of this Agreement, the
Secretary-General of the United Nations shall convene a conference with a view
/...
A/CONF.164/37
English
Page 30
to assessing the effectiveness of this Agreement in securing the conservation
and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. The
Secretary-General shall invite to the conference all States Parties and those
States and entities which are entitled to become parties to this Agreement as
well as those intergovernmental and non-governmental organizations entitled to
participate as observers.
2.
The conference shall review and assess the adequacy of the provisions of
this Agreement and, if necessary, propose means of strengthening the substance
and methods of implementation of those provisions in order better to address any
continuing problems in the conservation and management of straddling fish stocks
and highly migratory fish stocks.
PART XIII
FINAL PROVISIONS
Article 37
Signature
This Agreement shall be open for signature by all States and the other
entities referred to in article 1, paragraph 2(b), and shall remain open for
signature at United Nations Headquarters for twelve months from the fourth of
December 1995.
Article 38
Ratification
This Agreement is subject to ratification by States and the other entities
referred to in article 1, paragraph 2(b). The instruments of ratification shall
be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article 39
Accession
This Agreement shall remain open for accession by States and the other
entities referred to in article 1, paragraph 2(b). The instruments of accession
shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
Article 40
Entry into force
1.
This Agreement shall enter into force 30 days after the date of deposit of
the thirtieth instrument of ratification or accession.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 31
2.
For each State or entity which ratifies the Agreement or accedes thereto
after the deposit of the thirtieth instrument of ratification or accession, this
Agreement shall enter into force on the thirtieth day following the deposit of
its instrument of ratification or accession.
Article 41
Provisional application
1.
This Agreement shall be applied provisionally by a State or entity which
consents to its provisional application by so notifying the depositary in
writing. Such provisional application shall become effective from the date of
receipt of the notification.
2.
Provisional application by a State or entity shall terminate upon the entry
into force of this Agreement for that State or entity or upon notification by
that State or entity to the depositary in writing of its intention to terminate
provisional application.
Article 42
Reservations and exceptions
No reservations or exceptions may be made to this Agreement.
Article 43
Declarations and statements
Article 42 does not preclude a State or entity, when signing, ratifying or
acceding to this Agreement, from making declarations or statements, however
phrased or named, with a view, inter alia, to the harmonization of its laws and
regulations with the provisions of this Agreement, provided that such
declarations or statements do not purport to exclude or to modify the legal
effect of the provisions of this Agreement in their application to that State or
entity.
Article 44
Relation to other agreements
1.
This Agreement shall not alter the rights and obligations of States Parties
which arise from other agreements compatible with this Agreement and which do
not affect the enjoyment by other States Parties of their rights or the
performance of their obligations under this Agreement.
2.
Two or more States Parties may conclude agreements modifying or suspending
the operation of provisions of this Agreement, applicable solely to the
/...
A/CONF.164/37
English
Page 32
relations between them, provided that such agreements do not relate to a
provision derogation from which is incompatible with the effective execution of
the object and purpose of this Agreement, and provided further that such
agreements shall not affect the application of the basic principles embodied
herein, and that the provisions of such agreements do not affect the enjoyment
by other States Parties of their rights or the performance of their obligations
under this Agreement.
3.
States Parties intending to conclude an agreement referred to in
paragraph 2 shall notify the other States Parties through the depositary of this
Agreement of their intention to conclude the agreement and of the modification
or suspension for which it provides.
Article 45
Amendment
1.
A State Party may, by written communication addressed to the
Secretary-General of the United Nations, propose amendments to this Agreement
and request the convening of a conference to consider such proposed amendments.
The Secretary-General shall circulate such communication to all States Parties.
If, within six months from the date of the circulation of the communication, not
less than one half of the States Parties reply favourably to the request, the
Secretary-General shall convene the conference.
2.
The decision-making procedure applicable at the amendment conference
convened pursuant to paragraph 1 shall be the same as that applicable at the
United Nations Conference on Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish
Stocks, unless otherwise decided by the conference. The conference should make
every effort to reach agreement on any amendments by way of consensus and there
should be no voting on them until all efforts at consensus have been exhausted.
3.
Once adopted, amendments to this Agreement shall be open for signature at
United Nations Headquarters by States Parties for twelve months from the date of
adoption, unless otherwise provided in the amendment itself.
4.
Articles 38, 39, 47 and 50 apply to all amendments to this Agreement.
5.
Amendments to this Agreement shall enter into force for the States Parties
ratifying or acceding to them on the thirtieth day following the deposit of
instruments of ratification or accession by two thirds of the States Parties.
Thereafter, for each State Party ratifying or acceding to an amendment after the
deposit of the required number of such instruments, the amendment shall enter
into force on the thirtieth day following the deposit of its instrument of
ratification or accession.
6.
An amendment may provide that a smaller or a larger number of ratifications
or accessions shall be required for its entry into force than are required by
this article.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 33
7.
A State which becomes a Party to this Agreement after the entry into force
of amendments in accordance with paragraph 5 shall, failing an expression of a
different intention by that State:
(a)
be considered as a Party to this Agreement as so amended; and
(b) be considered as a Party to the unamended Agreement in relation to any
State Party not bound by the amendment.
Article 46
Denunciation
1.
A State Party may, by written notification addressed to the
Secretary-General of the United Nations, denounce this Agreement and may
indicate its reasons. Failure to indicate reasons shall not affect the validity
of the denunciation. The denunciation shall take effect one year after the date
of receipt of the notification, unless the notification specifies a later date.
2.
The denunciation shall not in any way affect the duty of any State Party to
fulfil any obligation embodied in this Agreement to which it would be subject
under international law independently of this Agreement.
Article 47
Participation by international organizations
1.
In cases where an international organization referred to in Annex IX,
article 1, of the Convention does not have competence over all the matters
governed by this Agreement, Annex IX to the Convention shall apply mutatis
mutandis to participation by such international organization in this Agreement,
except that the following provisions of that Annex shall not apply:
(a)
article 2, first sentence; and
(b)
article 3, paragraph 1.
2.
In cases where an international organization referred to in Annex IX,
article 1, of the Convention has competence over all the matters governed by
this Agreement, the following provisions shall apply to participation by such
international organization in this Agreement:
(a) at the time of signature or accession, such international organization
shall make a declaration stating:
(i)
that it has competence over all the matters governed by this
Agreement;
/...
A/CONF.164/37
English
Page 34
(ii)
that, for this reason, its member States shall not become States
Parties, except in respect of their territories for which the
international organization has no responsibility; and
(iii)
that it accepts the rights and obligations of States under this
Agreement;
(b)
participation of such an international organization shall in no case
confer any rights under this Agreement on member States of the international
organization;
(c) in the event of a conflict between the obligations of an international
organization under this Agreement and its obligations under the agreement
establishing the international organization or any acts relating to it, the
obligations under this Agreement shall prevail.
Article 48
Annexes
1.
The Annexes form an integral part of this Agreement and, unless expressly
provided otherwise, a reference to this Agreement or to one of its Parts
includes a reference to the Annexes relating thereto.
2.
The Annexes may be revised from time to time by States Parties. Such
revisions shall be based on scientific and technical considerations.
Notwithstanding the provisions of article 45, if a revision to an Annex is
adopted by consensus at a meeting of States Parties, it shall be incorporated in
this Agreement and shall take effect from the date of its adoption or from such
other date as may be specified in the revision. If a revision to an Annex is
not adopted by consensus at such a meeting, the amendment procedures set out in
article 45 shall apply.
Article 49
Depositary
The Secretary-General of the United Nations shall be the depositary of this
Agreement and any amendments or revisions thereto.
Article 50
Authentic texts
The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of this
Agreement are equally authentic.
IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized
thereto, have signed this Agreement.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 35
OPENED FOR SIGNATURE at New York, this fourth day of December, one thousand nine
hundred and ninety-five, in a single original, in the Arabic, Chinese, English,
French, Russian and Spanish languages.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 36
ANNEX I
STANDARD REQUIREMENTS FOR THE COLLECTION AND SHARING OF DATA
Article 1
General principles
1.
The timely collection, compilation and analysis of data are fundamental to
the effective conservation and management of straddling fish stocks and highly
migratory fish stocks. To this end, data from fisheries for these stocks on the
high seas and those in areas under national jurisdiction are required and should
be collected and compiled in such a way as to enable statistically meaningful
analysis for the purposes of fishery resource conservation and management.
These data include catch and fishing effort statistics and other fishery-related
information, such as vessel-related and other data for standardizing fishing
effort. Data collected should also include information on non-target and
associated or dependent species. All data should be verified to ensure
accuracy. Confidentiality of non-aggregated data shall be maintained. The
dissemination of such data shall be subject to the terms on which they have been
provided.
2.
Assistance, including training as well as financial and technical
assistance, shall be provided to developing States in order to build capacity in
the field of conservation and management of living marine resources. Assistance
should focus on enhancing capacity to implement data collection and
verification, observer programmes, data analysis and research projects
supporting stock assessments. The fullest possible involvement of developing
State scientists and managers in conservation and management of straddling fish
stocks and highly migratory fish stocks should be promoted.
Article 2
Principles of data collection, compilation and exchange
The following general principles should be considered in defining the
parameters for collection, compilation and exchange of data from fishing
operations for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks:
(a) States should ensure that data are collected from vessels flying their
flag on fishing activities according to the operational characteristics of each
fishing method (e.g., each individual tow for trawl, each set for long-line and
purse-seine, each school fished for pole-and-line and each day fished for troll)
and in sufficient detail to facilitate effective stock assessment;
(b) States should ensure that fishery data are verified through an
appropriate system;
(c) States should compile fishery-related and other supporting scientific
data and provide them in an agreed format and in a timely manner to the relevant
/...
A/CONF.164/37
English
Page 37
subregional or regional fisheries management organization or arrangement where
one exists. Otherwise, States should cooperate to exchange data either directly
or through such other cooperative mechanisms as may be agreed among them;
(d) States should agree, within the framework of subregional or regional
fisheries management organizations or arrangements, or otherwise, on the
specification of data and the format in which they are to be provided, in
accordance with this Annex and taking into account the nature of the stocks and
the fisheries for those stocks in the region. Such organizations or
arrangements should request non-members or non-participants to provide data
concerning relevant fishing activities by vessels flying their flag;
(e) such organizations or arrangements shall compile data and make them
available in a timely manner and in an agreed format to all interested States
under the terms and conditions established by the organization or arrangement;
and
(f) scientists of the flag State and from the relevant subregional or
regional fisheries management organization or arrangement should analyse the
data separately or jointly, as appropriate.
Article 3
Basic fishery data
1.
States shall collect and make available to the relevant subregional or
regional fisheries management organization or arrangement the following types of
data in sufficient detail to facilitate effective stock assessment in accordance
with agreed procedures:
(a)
time series of catch and effort statistics by fishery and fleet;
(b) total catch in number, nominal weight, or both, by species (both
target and non-target) as is appropriate to each fishery. [Nominal weight is
defined by the Food and Agriculture Organization of the United Nations as the
live-weight equivalent of the landings];
(c) discard statistics, including estimates where necessary, reported as
number or nominal weight by species, as is appropriate to each fishery;
(d)
effort statistics appropriate to each fishing method; and
(e) fishing location, date and time fished and other statistics on fishing
operations as appropriate.
2.
States shall also collect where appropriate and provide to the relevant
subregional or regional fisheries management organization or arrangement
information to support stock assessment, including:
(a)
composition of the catch according to length, weight and sex;
/...
A/CONF.164/37
English
Page 38
(b) other biological information supporting stock assessments, such as
information on age, growth, recruitment, distribution and stock identity; and
(c) other relevant research, including surveys of abundance, biomass
surveys, hydro-acoustic surveys, research on environmental factors affecting
stock abundance, and oceanographic and ecological studies.
Article 4
Vessel data and information
1.
States should collect the following types of vessel-related data for
standardizing fleet composition and vessel fishing power and for converting
between different measures of effort in the analysis of catch and effort data:
(a)
vessel identification, flag and port of registry;
(b)
vessel type;
(c) vessel specifications (e.g., material of construction, date built,
registered length, gross registered tonnage, power of main engines, hold
capacity and catch storage methods); and
(d) fishing gear description (e.g., types, gear specifications and
quantity).
2.
The flag State will collect the following information:
(a)
navigation and position fixing aids;
(b)
communication equipment and international radio call sign; and
(c)
crew size.
Article 5
Reporting
A State shall ensure that vessels flying its flag send to its national
fisheries administration and, where agreed, to the relevant subregional or
regional fisheries management organization or arrangement, logbook data on catch
and effort, including data on fishing operations on the high seas, at
sufficiently frequent intervals to meet national requirements and regional and
international obligations. Such data shall be transmitted, where necessary, by
radio, telex, facsimile or satellite transmission or by other means.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 39
Article 6
Data verification
States or, as appropriate, subregional or regional fisheries management
organizations or arrangements should establish mechanisms for verifying fishery
data, such as:
(a)
position verification through vessel monitoring systems;
(b) scientific observer programmes to monitor catch, effort, catch
composition (target and non-target) and other details of fishing operations;
(c)
vessel trip, landing and transshipment reports; and
(d)
port sampling.
Article 7
Data exchange
1.
Data collected by flag States must be shared with other flag States and
relevant coastal States through appropriate subregional or regional fisheries
management organizations or arrangements. Such organizations or arrangements
shall compile data and make them available in a timely manner and in an agreed
format to all interested States under the terms and conditions established by
the organization or arrangement, while maintaining confidentiality of
non-aggregated data, and should, to the extent feasible, develop database
systems which provide efficient access to data.
2.
At the global level, collection and dissemination of data should be
effected through the Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Where a subregional or regional fisheries management organization or arrangement
does not exist, that organization may also do the same at the subregional or
regional level by arrangement with the States concerned.
/...
A/CONF.164/37
English
Page 40
ANNEX II
GUIDELINES FOR THE APPLICATION OF PRECAUTIONARY REFERENCE
POINTS IN CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH
STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS
1.
A precautionary reference point is an estimated value derived through an
agreed scientific procedure, which corresponds to the state of the resource and
of the fishery, and which can be used as a guide for fisheries management.
2.
Two types of precautionary reference points should be used: conservation,
or limit, reference points and management, or target, reference points. Limit
reference points set boundaries which are intended to constrain harvesting
within safe biological limits within which the stocks can produce maximum
sustainable yield. Target reference points are intended to meet management
objectives.
3.
Precautionary reference points should be stock-specific to account,
inter alia, for the reproductive capacity, the resilience of each stock and the
characteristics of fisheries exploiting the stock, as well as other sources of
mortality and major sources of uncertainty.
4.
Management strategies shall seek to maintain or restore populations of
harvested stocks, and where necessary associated or dependent species, at levels
consistent with previously agreed precautionary reference points. Such
reference points shall be used to trigger pre-agreed conservation and management
action. Management strategies shall include measures which can be implemented
when precautionary reference points are approached.
5.
Fishery management strategies shall ensure that the risk of exceeding limit
reference points is very low. If a stock falls below a limit reference point or
is at risk of falling below such a reference point, conservation and management
action should be initiated to facilitate stock recovery. Fishery management
strategies shall ensure that target reference points are not exceeded on
average.
6.
When information for determining reference points for a fishery is poor or
absent, provisional reference points shall be set. Provisional reference points
may be established by analogy to similar and better-known stocks. In such
situations, the fishery shall be subject to enhanced monitoring so as to enable
revision of provisional reference points as improved information becomes
available.
7.
The fishing mortality rate which generates maximum sustainable yield should
be regarded as a minimum standard for limit reference points. For stocks which
are not overfished, fishery management strategies shall ensure that fishing
mortality does not exceed that which corresponds to maximum sustainable yield,
and that the biomass does not fall below a predefined threshold. For overfished
stocks, the biomass which would produce maximum sustainable yield can serve as a
rebuilding target.
-----
Download