ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS (Skripsi) Oleh YOPIE SEPTIAN RIYADI 0412011260 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2009 ABSTRAK ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS Oleh YOPIE SEPTIAN RIYADI Sumber daya perikanan, khususnya sumber daya perikanan laut lepas dewasa ini mengalami penurunan drastis. Berdasarkan kondisi tersebut, negara-negara mengadakan Konferensi Hukum Laut Internasional sebanyak tiga kali. Konferensi Hukum Laut Ketiga disebut juga dengan United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 (UNCLOS). Konferensi yang merupakan implementasi dari UNCLOS salah satunya adalah Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, selanjutnya disebut UNIA. Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana pengaturan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas menurut UNIA dan bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas. Metode pendekatan yang digunakan dalam membahas permasalahan skripsi ini adalah penelitian normatif. Dalam upaya konservasi dan pengelolaan perikanan menurut UNIA mutlak diperlukan pendekatan kehati-hatian untuk menentukan tindakan apa yang tepat untuk diterapkan. Negara pihak diwajibkan melakukan kerjasama antar negara maupun membentuk sebuah organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional atau disebut RFMOs. RFMOs yang wilayah pengaturannya mencakup wilayah Indonesia antara lain Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Yopie Septian Riyadi Arti penting UNIA bagi Indonesia ditinjau dari aspek ekonomi adalah Indonesia akan mendapatkan alokasi tangkapan jenis ikan yang beruaya terbatas dan ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional. Ratifikasi UNIA ditinjau dari aspek hukum akan memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Peraturan perundang-undangan Indonesia banyak yang telah mendapat pengaruh dari UNIA. Dari aspek upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan, Indonesia akan mendapatkan bantuan berupa data dan informasi perikanan yang akurat melalui pertukaran data dan informasi. Kata kunci: UNIA, Konservasi sumber daya perikanan laut lepas ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS Oleh YOPIE SEPTIAN RIYADI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2009 Judul Skripsi : ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS Nama Mahasiswa : Yopie Septian Riyadi Nomor Pokok Mahasiswa : 0412011260 Program Studi : Hukum Internasional Fakultas : Hukum MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing A. Baharuddin Naim, S.H, M.H. NIP. 131925386 Dharma Setiawan, S.H., M.H. NIP. 131755944 2. Ketua Bagian Hukum Internasional A. Muthalib Tahar, S.H., M.H. NIP. 131461850 MENGESAHKAN 1. Tim Penguji Ketua : A. Baharuddin Naim, S.H., M.H. ………………. Sekretaris/Anggota : Dharma Setiawan, S.H., M.H. ………………. Penguji Utama : A. Muthalib Tahar, S.H., M.H. ……………….. 2. Dekan Fakultas Hukum Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 130934469 Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 14 Mei 2009 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 September 1986, anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Suyatno dan Ibu Hj. Dida, Amd.Kes. Penulis memulai pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak (TK) Amanah Tangerang diselesaikan pada tahun 1992, Sekolah Dasar (SD) Negeri Karawaci Baru 2 Perumnas II Tangerang selesai pada tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 19 Perumnas II Tangerang selesai pada tahun 2001, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 7 Tangerang, diselesaikan pada tahun 2004. Pada tahun 2004, setelah lulus Ujian Akhir Nasional (UAN), penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai pengurus pada Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH) periode 2005-2006 di Bidang Pengkaderan. Pada awal tahun 2006 penulis dipercaya untuk menjadi Ketua Komisi Keuangan pada Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (DPMF) periode 2006-2007. Penulis juga sempat aktif pada organisasi eksternal, yaitu Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI). Bulan Juni 2007, penulis mengikuti kegiatan magang di Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan selama 45 hari. Kegiatan magang yang dijalani penulis merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga, tidak hanya memberikan sebuah perkenalan pada dunia kerja, tetapi juga membuka wawasan penulis dan memberikan banyak ide untuk penulisan skripsi ini. Pada tahun 2007 penulis berkesempatan untuk mengikuti Kompetisi Peradilan Semu Pidana Prof. Soedarto yang diadakan oleh Universitas Diponegoro Semarang. Penulis menjadi bagian dalam tim sebagai official dan pembuat berkas. Dalam kompetisi ini, tim Unila berhasil masuk 5 besar. Pada tahun ini pula penulis mengikuti Seminar Nasional Pidana yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa (HIMA) Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2008 penulis mengikuti Seminar Nasional dan Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Mutiara Djokosoetono yang diadakan Universitas Indonesia, penulis sebagai tim penyeleksi dan pembuat berkas. Dalam kompetisi ini tim Unila hanya sampai pada babak penyisihan grup. MOTTO Perjuangan Akan Terasa Indah Bila Kita Dapat Menikmatinya (Penulis) Penulis) “ Belajar menulis adalah belajar berfikir. Anda tidaklah mengetahui apapun dengan jelas kecuali Anda dapat mengungkapkannya secara tertulis”. (S.I. Hayakawa) PERSEMBAHAN Dengan mengucap rasa syukur kepada Allah SWT kupersembahkan karya kecilku ini kepada : Keluarga Sederhana, Kecil dan Bahagiaku Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan dan mendukung kesuksesanku serta kasih sayang yang tak ternilai, akhirnya aku dapat menyelesaikan skripsi ini, adikku Yokie, yang selalu kusayangi, terima kasih atas motivasi dan doa yang kau berikan dan Almamater Tercinta SANWACANA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk dapat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Lampung dengan judul “Arti Penting United Nations Implementing Agreement 1995 (UNIA) Bagi Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut Lepas” Dalam proses penyusunan skripsi ini banyak sekali pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik berupa bimbingan, kritik, saran dan masukan. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Hukum Internasional serta berbagai pihak pada umumnya. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT yang mempunyai kuasa atas jiwa-jiwa lemah yang terbalut dalam kesempurnaan berselubung ketidaksempurnaan, tempatku bersimpuh, berserah diri, memanjatkan segala doa. Sesungguhnya manusia hanya bisa berusaha, Engkaulah yang mempunyai kuasa atas segalanya. 2. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung. 3. Bapak A. Baharuddin Naim, S.H., M.H. sebagai Pembimbing I 4. Bapak Dharma Setiawan, S.H., M.H. sebagai Pembimbing II 5. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H. sebagai Pembahas I dan sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional 6. Ibu Darnetty Dae, S.H., M.H. sebagai Pembahas II yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis. 7. Bapak Heryandi, S.H., M.S. yang telah banyak memberi saran dan masukan serta arahan yang sangat membantu dalam memulai penyusunan skripsi ini. 8. Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan dan bantuan kepada penulis. 9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum khususnya Dosen Bagian Hukum Internasional yang telah berbagi ilmu kepada penulis. 10. Seluruh staf Tata Usaha, khususnya Mas Marjiono, Spd. yang telah banyak memberikan motivasi bagi penulis dan membantu dalam proses administrasi. 11. Pak Fuad, Pak Rifky dan Pak Rusmana Biro Hukum Departemen Kelautan dan Perikanan, terima kasih telah meluangkan waktu berbagi pikiran dan ide untuk skripsi ini. 12. Papah, Mamah dan Ade Yokie, keluarga kecil bahagia yang selalu memberikan cahaya terang dan kebahagiaan yang sempurna. 13. Kawan-kawan FH’04, Nazar, Dwita, Aziz, Apri, Nike, Nitha, Bunga, Arif, Sofyan², Noya, Vivi, Safta ‘meho’, Dian ‘ibu haji gile’, Mae, Abas, dan lainlain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 14. Anak-anak PSBH, Andha, Yogi Beni, Selvia, S.H., Titi, S.H., Pipit, S.H., Jaksa Ikhsan, S.H., Yulinda, Heni, Astri, Adel, Eko ‘betis’, Terry ‘tejo’, Bang Erwan, Bang Andi Barkan, Bang Adi, Mumu, Risman, Chandra ‘Aming’, Alrizki, Gatra+Umi, Icha, Uli, Anggi, Intan, Nita, Ikang, Dian, Dine, Sari, Dina Sirait, Ivin, Aji, Virly, Sarmaida, Susi dll. (Tim MCC Undip dan Tim MCC Mutdjok, terima kasih telah memberikan pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga kepada penulis). Tetap Semangat Majukan PSBH… !! 15. Kawan-kawan HI COMMUNITY 04 Ali, Desni’bull’, Diah, Bram, Asta, Rizki, Joel, Yeyen, Nine, Rama, Marfuah, Andi, Suci, Agus. 16. Aldilla Moniqa, yang selama ini telah setia menemani dan memberikan kasih sayang serta motivasi kepada penulis. 17. Para Sahabat, saudara seperjuangan: Ershad ‘poo’, Andi ‘Bembenk’, Zuhdi ‘Uud’ Ferdy ‘dagienk’, Hapit, Jaksa Pedro, Jefry, Indra ‘Mandra’, 18. Tauners: Mawar, Bim-Bim, Ibu Dini, Inang 19. Teman-teman 7, Arief ‘Mbe’, Fajar Siregar, Ibul, Nanda, Yudi. Pada akhirnya penulis hanya dapat menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bandar Lampung, 14 Mei 2009 Penulis Yopie Septian Riyadi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup .......................................................... 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 8 D. Sistematika Penulisan .............................................................................. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian .............................................................................. 12 1. Perjanjian Internasional ...................................................................... 12 2. Pengertian Konservasi......................................................................... 13 3. Pengertian Perikanan .......................................................................... 14 4.Pengertian Pengelolaan Perikanan ....................................................... 14 5. Pengertian Laut Lepas ........................................................................ 14 6. Pengertian Organisasi Internasional ................................................... 15 B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Laut .................................................... 17 C. Klasifikasi Perjanjian Internasional ......................................................... 19 1. Klasifikasi Perjanjian Internasional Dari Segi Pihak yang Mengadakan Perjanjian ..................................................................... 19 2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Ditinjau Dari Jumlah Peserta yang Mengadakan ................................................................. 20 3. Klasifikasi Perjanjian Ditinjau Dari Sudut Bentuknya ...................... 21 4. Klasifikasi Perjanjian Berdasarkan Tahap Pembentukannya ............. 22 D. Peranan Hukum Internasional Dalam Pembentukan Hukum Nasional ......................................................................................23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Tipe Penelitian ........................................................................ 29 B. Pendekatan Masalah ............................................................................... 29 C. Data dan Sumber Data ........................................................................... 29 D. Pengumpulan Data ................................................................................. 31 E. Pengolahan Data .................................................................................... 31 F. Analisis Data ........................................................................................... 32 IV. PEMBAHASAN A. Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Perikanan Laut lepas .......... 33 1. Tujuan UNIA ..................................................................................... 33 2. Konservasi dan Pengelolaan Sediaan ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh ................................................ 34 2.1. Penerapan Pendekatan Kehati-hatian ........................................ 35 2.2. Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan .................. 37 3. Kerjasama Antar Negara .................................................................... 38 3.1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Lepas ......................... 39 3.2. Syarat Pembentukan Organisasi dan Pengaturan ...................... 40 3.3. Fungsi Organisasi dan Pengaturan Pengelolaan Perikanan ...... 41 3.4. Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia ........... 42 4. Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum .......................... 53 4.1. Kerjasama Regional dan Sub Regional Dalam Penegakan Hukum ....................................................................................... 54 B. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia ......................................................... 58 1. Status Perikanan Tuna dan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas (Straddling Fish Stocks) ..................................................................... 58 2. Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks) ..... 59 3. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia Dari Berbagai Aspek ................. 60 3.1. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Ekonomi ................... 61 3.2. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Hukum ...................... 62 3.3. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Konservasi dan Pengelolaan Perikanan ....................................................... 68 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................................. 70 B. Saran ........................................................................................................ 72 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Peta wilayah sebaran ikan tuna sirip biru selatan ................................... 52 2. Peta wilayah RFMOs dunia ................................................................... 53 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi Hukum Laut PBB ketiga. Konvensi Hukum Laut PBB ketiga ini merupakan puncak karya dari PBB mengenai peraturan kelautan. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS 1982) telah disepakati oleh kurang lebih 130 negara, termasuk Indonesia. UNCLOS mengatur secara lengkap dan menyeluruh segala hal mengenai laut. Bagi Indonesia, UNCLOS merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa, karena usulan Indonesia mengenai negara kepulauan akhirnya disetujui. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea, karena itu Indonesia telah terikat kepada setiap peraturan yang tercantum dalam UNCLOS. Peraturan-peraturan dalam UNCLOS 1982 yang berkenaan dengan laut lepas tercantum dalam Bab VII, dari Pasal 86 hingga Pasal 120. Laut lepas merupakan bagian-bagian laut yang terletak berdampingan dan berada di luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara,1 maksudnya adalah laut lepas tidak termasuk dalam 1 Muthalib Tahar, Abdul. 2007. Zona-zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia (buku ajar). hlm. 35 2 yurisdiksi suatu negara, sehingga tidak ada negara yang dapat memiliki atau menguasainya. Terdapat beberapa prinsip kebebasan di laut lepas berdasarkan UNCLOS 1982. Prinsip kebebasan di laut lepas meliputi: a. Kebebasan berlayar (freedom of navigation) b. Kebebasan melakukan penerbangan (freedom of over flight) c. Kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut (freedom to lay submarine cabels and pipelines) d. Kebebasan mendirikan pulau buatan dan instalasi lain yang berdasarkan izin hukum internasional (freedom to construct artificial island and other installations permitted under international law) e. Kebebasan melakukan penangkapan ikan (freedom of fishing) f. Kebebasan untuk melakukan riset ilmiah kelautan (freedom of scientific research).2 Dari enam prinsip kebebasan di laut lepas tersebut, salah satunya adalah prinsip kebebasan melakukan penangkapan ikan. Kebebasan-kebebasan tersebut bukan merupakan sebuah kebebasan yang memberikan kekuasaan bagi pihak manapun, tetapi kebebasan diberikan dengan konsep perlindungan, sehingga kegiatan yang dilakukan di wilayah laut lepas tidak sampai merusak perairan dan sumber daya alam hayatinya.3 2 Pasal 87 UNCLOS 1982 Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit 2007 3 3 Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki potensi yang besar. Salah satu wilayah laut yang termasuk laut lepas adalah Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2001, kawasan Samudera Hindia memiliki potensi sebesar 1,078 juta ton/tahun, Laut Cina Selatan 1,057 juta ton/tahun dan Samudera Pasifik 632,72 juta ton/tahun.4 Besarnya potensi sumber daya perikanan di laut lepas menimbulkan adanya persaingan negara-negara yang berusaha untuk menguasainya. Guna mencegah terjadinya kepunahan sumber daya perikanan di laut lepas, diperlukan adanya peraturan mengenai pengelolaan dan konservasi. UNCLOS 1982 mengatur mengenai sumber kekayaan hayati di laut lepas dalam Bagian 2 Bab VII tentang Laut Lepas. Bagian 2 Bab VII mengatur mengenai Hak untuk Menangkap Ikan di Laut Lepas, Kewajiban Negara untuk Mengadakan Tindakan Bertalian Dengan Warga negaranya untuk Konservasi Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas, Kerjasama Negara-negara dalam Konservasi dan pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati, Konservasi Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas, dan Mamalia Laut. Pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat dalam UNCLOS 1982 memerlukan ketentuan internasional lain yang bersifat khusus, karena itu masih perlu diadakan konvensi selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaannya. Konvensi yang mengatur lebih rinci tentang pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas adalah : 4 http//www.dkp.go.id.. Diakses pada tanggal 18 oktober 2008. 4 a. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993. (Persetujuan Untuk Memajukan Penaatan Terhadap Tindakan Konservasi Dan Pengelolaan Secara Internasional Oleh Kapal-Kapal Ikan Di Laut Lepas, 1993) b. Code of Conduct for Responsible Fisheries. (Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab) c. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks. (Persetujuan untuk Melaksanakan KetentuanKetentuan Dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan Dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh). Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995, umumnya konvensi ini lebih dikenal dengan sebutan United Nations Implementing Agreement 1995 (selanjutnya disebut UNIA). UNIA berisi ketentuan-ketentuan dan standar pengelolaan dan konservasi jenis-jenis ikan yang beruaya jauh, selain itu persetujuan ini juga dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk mengisi kekosongan kebijakan pengelolaan dan konservasi perikanan di 5 sebagian besar dunia, yang dianggap sebagai penyebab berkurangnya sediaan jenis-jenis ikan yang bernilai komersial tinggi. Indonesia sebagai negara yang secara geografis terletak diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia merupakan jalur perlintasan khususnya bagi jenis-jenis ikan yang beruaya jauh, dengan demikian Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan. Apabila Indonesia telah meratifikasi UNIA, maka Indonesia akan mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh sebagai pelaksanaan dari Pasal 63 tentang persediaan jenis ikan yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif dua negara pantai atau lebih atau baik di dalam Zona Ekonomi Eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengannya, dan Pasal 64 UNCLOS 1982 tentang persediaan ikan yang bermigrasi jauh.5 Berdasarkan Pasal 38 UNIA, maka setiap negara yang akan menjadi Negara Pihak harus melakukan pengesahan (ratifikasi). Perjanjian ini telah berlaku efektif pada tanggal 11 Desember 2001 setelah negara ke-30 yaitu Malta mendepositkan instrumen ratifikasinya pada tanggal 11 November 2001.6 Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UNIA tentang kerjasama untuk pengelolaan dan konservasi, konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas maupun jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dimandatkan untuk diatur lebih lanjut 5 6 Naskah Akademis Ratifikasi UNIA 1995 Naskah Akademis Ratifikasi UNIA 1995, ibid 6 melalui organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organizations, selanjutnya disingkat RFMOs). Organisasi ini juga merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal 118 UNCLOS 1982. RFMOs merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan yang demikian di seluruh kawasan. Anggota dari organisasi ini adalah negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh yang warga negaranya memanfaatkan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) di kawasan tersebut. Salah satu syarat untuk menjadi anggota beberapa RFMOs, setiap negara terlebih dahulu harus meratifikasi UNIA. Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut, sehingga Indonesia belum menjadi anggota dan di beberapa RFMOs, Indonesia baru menjadi negara peninjau (observer). Posisi Indonesia yang hanya sebagai negara peninjau menyebabkan jatah penangkapan ikan-ikan tertentu di laut lepas menjadi terbatas, padahal terdapat beberapa ikan ekonomis yang berkembang biak di wilayah Indonesia. Saat ini telah berdiri beberapa RFMOs yang area pengaturannya mencakup wilayah Indonesia, antara lain Indian Ocean Tuna Commission (selanjutnya disingkat IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (selanjutnya disingkat CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (selanjutnya disingkat WCPFC). 7 Peraturan mengenai sumber daya perikanan yang dimiliki Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 merupakan rujukan dari diratifikasinya UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Sebagai konsekuensi hukum diratifikasinya UNCLOS 1982, Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.7 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, tujuan pengelolaan perikanan antara lain adalah menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.8 Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, ketentuan mengenai pengelolaan perikanan diatur dalam Bab IV tentang pengelolaan perikanan. Mengenai kerjasama internasional pengelolaan sumber daya perikanan terdapat dalam Pasal 10, antara lain kewajiban negara dalam mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan, dan juga keikutsertaan pemerintah dalam keanggotaan organisasi atau badan pengelolaan perikanan regional maupun internasional. 7 8 Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 8 Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Arti Penting United Nations Implementing Agreement 1995 (UNIA) Bagi Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut Lepas. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Dari uraian latar belakang permasalahan diatas, yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan tentang konservasi perikanan laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement (UNIA)? 2. Bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas? 2. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini secara substantif mengenai perlindungan sumber daya perikanan di laut lepas yang diatur dalam United Nations Implementing Agreement (UNIA) dan arti penting UNIA bagi Indonesia. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaturan mengenai konservasi sumber daya perikanan di laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement (UNIA). 9 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan arti penting UNIA bagi Indonesia dengan aspek ekonomi, hukum, aspek hukum, dan aspek konservasi dan pengelolaan sebagai indikatornya. 2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai 2 (dua) aspek kegunaan yaitu kegunaan praktis dan kegunaan teoritis. 1. Kegunaan Praktis a) Sebagai salah satu sarana untuk memperluas pengetahuan bagi peneliti di bidang Hukum Internasional, khususnya mengenai sejauh mana UNIA mengatur perlindungan sumber daya perikanan laut lepas b) Sebagai upaya untuk pelatihan dan pengembangan wawasan keilmuan penulis di bidang Hukum Internasional. 2. Kegunaan Teoritis a) Sebagai bahan pemikiran mahasiswa bahwa ilmu hukum mempunyai bidang penerapan yang luas tidak hanya terbatas pada satu bidang saja b) Penelitian ini sebagai sumber informasi dan bacaan dari berbagai pihak yang memerlukan. D. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami skripsi ini secara keseluruhan maka sistematika penulisan disusun sebagai berikut: 10 I. PENDAHULUAN Bab Pendahuluan merupakan sebuah pengantar awal untuk memasuki isi dari penelitian ini. Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan skripsi sebagai arahan pada penulisan. Diharapkan, bab pendahuluan ini dapat memberikan gambaran umum mengenai ketentuan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat dalam hukum UNIA. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan pemahaman kepada pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan dalam hal ini mengenai ketentuan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang menjadi dasar penelitian ini. III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu tentang langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikan sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data. Dari proses pengolahan data kemudian diuraikan dengan cara melakukan analisis data. IV. PEMBAHASAN Bab ini memuat pembahasan yaitu tentang ketentuan pengaturan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat dalam Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNIA) dan arti pentingnya bagi Indonesia. 11 V. PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan secara ringkas dari hasil pembahasan dan penelitian serta beberapa saran dari penulis sehubungan dengan permasalahan yang telah dibahas. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian 1. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.1 Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang dimaksud perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.2 Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perjanjian internasional telah terjawab dengan adanya Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Walaupun perjanjian ini tidak berlaku surut namun dapat diterapkan pada perjanjian sebelumnya yang telah dibuat, karena konvensi ini merupakan hasil kerja Komisi Hukum Internasional yang mantap. 1 2 Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional.Cet. Keempat 1982 Pasal 1 huruf (a) UU No. 24 Tahun 2000 13 Komisi Hukum Internasional telah menyelesaikan rancangan konvensi hukum perjanjian internasional antara negara-negara dan organisasi internasional atau antara dua organisasi internasional atau lebih. Rancangan konvensi mengambil contoh model Konvensi Wina bagi hukum perjanjian, sekalipun belum ada konferensi diplomatik yang telah diadakan untuk mempertimbangkan dan mengambil rancangan itu sebagai suatu konvensi. 2. Pengertian Konservasi Konservasi sumber daya ikan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.3 Menurut Compliance Agreement, tindakan pengelolaan dan konservasi internasional adalah tindakan untuk melindungi dan mengelola satu atau beberapa spesies sumber kekayaan hayati laut yang disetujui dan diterapkan sesuai dengan peraturan terkait dengan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982.4 3 4 UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Naskah Akademik Ratifikasi Compliance Agreement 1993 14 3. Pengertian Perikanan Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkugannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.5 4. Pengertian Pengelolaan Perikanan Pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.6 Tindakan konservasi dan pengelolaan berarti tindakan untuk melindungi dan mengelola satu atau beberapa spesies sumber daya hayati yang disetujui dan diterapkan konsisten dengan ketentuan yang terkait dari hukum internasional sebagaimana tercantum dalam UNIA. 7 5. Pengertian Laut Lepas Laut lepas adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Hal ini tidak 5 6 7 Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, ibid, Pasal 1 ayat (7) Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 1 ayat 1 (a) 15 mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua negara di Zona Ekonomi Eksklusif.8 Sedangkan menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), laut territorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.9 Secara simple laut lepas didefinisikan sebagai “bagian laut yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. 10 Daerah ini tidak dapat di klain kedaulatannya oleh negara manapun. Laut lepas berada di luar batas 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif. Laut ini terbuka bagi semua negara dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingankepentingan negara lain. 6. Pengertian Organisasi Internasional Sampai saat ini tidak ada pengertian yang baku tentang organisasi internasional. Bowett D.W. mengatakan : “… dan tidak ada definisi organisasi internasional yang diterima secara umum. Pada umumnya, bagaimanapun juga organisasi ini adalah organisasi permanen (misalnya, di bidang postel atau administrasi kereta api), yang didirikan atas dasar perjanjian internasional, yang kebanyakan merupakan perjanjian multilateral daripada perjanjian bilateral dan dengan tujuan tertentu”.11 Sedangkan menurut Boer Mauna, organisasi internasional adalah suatu perhimpunan negara-negara yang merdeka dan berdaulat yang bertujuan untuk mencapai kepentingan bersama melalui organ-organ dari perhimpunan itu 8 Pasal 86 UNCLOS 1982 Pasal 1 ayat (22) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, 10 Muthalib Tahar, Abdul. 2007. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. hlm. 30 11 Syahmin A.K,S.H. Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, 1985 hlm 3 9 16 sendiri.12 Walaupun tidak mempunyai pengertian yang pasti, organisasi internasional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a) Mempunyai organ permanen. b) Obyeknya merupakan kepentingan semua orang / negara, bukan untuk mencari keuntungan. c) Keanggotaannya terbuka untuk setiap individu atau kelompok dari setiap negara.13 Organisasi internasional juga dapat diklasifikasikan yang dimaksudkan untuk mengetahui fungsi, tujuan serta ruang lingkup aktivitas lembaga tersebut. Berdasarkan fungsi, organisasi internasional dapat dibagi menjadi fungsi politis, fungsi administratif, fungsi yudisial, fungsi ekonomis, fungsi sosial dan fungsi legislatif. Sedangkan berdasarkan ruang lingkup; organisasi global atau universal dan organisasi regional. Menurut Bowett D.W., organisasi internasional dapat diklasifikasikan berdasarkan kompetensinya menjadi 2 yaitu, organisasi internasional yang mempunyai kompetensi universal dan organisasi internasional yang kompetensinya terbatas. Sedangkan menurut Schwarzenberger, organisasi internasional mempunyai lima fungsi.14 12 13 14 Syahmin A.K,S.H., ibid., hlm 5 Syahmin A.K,S.H., op cit., hlm 9 Syahmin A.K,S.H.,ibid, hlm 10 – 11 5 fungsi organisasi menurut Schwarzenberger, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Lamanya yang diharapkan, ad-hoc, professional dan lembaga yang permanen. Sifat kekuasaannya : judicial, conciliatory, governmental, administrative, co-odative dan lembaga legislative. Jika lemabag memberikan bantuan secara menyeluruh atau sebagian dari kekuasaannya, maka alembaga tersebut adalah komprehensif, sebaliknya apabila tidak, disebut nonkomprehensif. Sifat homogen atau heterogen sasarannya, yakni lembaga memiliki satu atau beberapa maksud dan tujuan sejalan dengan sifat sesungguhya, juga tujuannya adalah politis dan fungsional yang disebutkan dalam ekonomi, social serta kemnusiaan dan kelembagaan. Bidang yurisdiksinya : a. Personal scope (ratione personae) menyangkut universal, universalist dan sectional. Terhadap lembaga yang bertujuan hidup bersama-sama, tetapi tidak cukup mencapai obyeknya, keadaan Negara ini diistilahkan dengan universalist. Sedangkan apabila Negara-negara anggota termaksud diuji kebenaran lembaga-lembaga terbatas tersebut saling berlawanan jajarannya, maka mereka sectional group. b. Geographical scope ( ratione loci ) berupa : global, regional dan local c. Substantive scope ( ratione materiae ), berbentuk general dan limited. d. Temporal scope ( rationae temporis ), dimana yurisdiksi lembaga pengadilan internasional fungsinya terbatas pada perselisihan yang timbul setelah diadakan perjanjian tertentu. Tingkat integrasi ; yang meliputi lembaga internasional dan lembaga supranasional. 17 UNCLOS 1982 merumuskan Organisasi Internasional sebagai suatu organisasi antar pemerintah yang dibentuk oleh negara-negara yang kepadanya telah dialihkan oleh negara-negara anggotanya kompetensi mengenai hal-hal yang di atur oleh Konvensi ini, termasuk kompetensi untuk membuat perjanjian yang berkenaan dengan hal-hal tersebut.15 Organisasi internasional yang bergerak dalam pengelolaan perikanan di laut lepas disebut Regional Fisheries Management Organization (RFMOs). RFMOs merupakan organisasi internasional yang bersifat sub regional, regional dan internasional yang melakukan pengelolaan perikanan di laut lepas. Organisasi ini merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal 118 UNCLOS 1982. RFMOs merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan yang demikian di seluruh kawasan. Anggota dari organisasi ini adalah negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh yang warga negaranya memanfaatkan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) di kawasan tersebut. B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Laut Bumi yang dihuni oleh umat manusia 70 % terdiri atas air atau lautan. Air merupakan sebuah komponen bumi yang sangat penting. Manusia membutuhkan air, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan terhadap air secara langsung contohnya adalah untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, minum dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan tidak langsungnya adalah kebutuhan 15 Lampiran IX pasal 1 UNCLOS 1982 18 manusia terhadap kekayaan sumber daya alam yang terdapat di dalam air, seperti ikan. Kekayaan alam yang terkandung dalam air, dalam hal ini adalah laut, sangat banyak, baik itu kekayaan alam hayati maupun mineral. Karena itu wajar saja apabila manusia, dalam hal ini negara, berusaha untuk mengeksploitasinya sedemikian rupa bahkan menguasainya. Pada abad ke-16 timbul dua pemikiran mengenai siapa yang berhak memiliki laut. Pertama adalah Mazhab Res Communis yang dicetuskan Hugo Grotius pada tahun 1609. Mazhab ini beranggapan bahwa laut merupakan milik bersama seluruh umat manusia, sehingga tidak ada satupun negara yang berhak untuk menguasainya. Pada saat itu kegunaan laut hanya untuk pelayaran dan penangkapan ikan. Pelopornya adalah Kekaisaran Romawi. Yang kedua adalah Mazhab Res Nullius yang beranggapan bahwa laut dapat dimiliki apabila yang berhasrat untuk memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Seiring dengan perkembangan zaman, pada akhirnya dapat ditemukan sebuah titik temu diantara kedua mazhab tersebut, yaitu bahwa pada dasarnya laut merupakan milik bersama seluruh umat manusia. Walaupun begitu, negara masih mempunyai wilayah perairan dengan batas-batas yang telah ditentukan. Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982 yang ditandatangani oleh 117 (seratus 19 tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara. Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Hukum Laut, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut mengatur rezim-rezim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh. C. Klasifikasi Perjanjian Internasional Secara formal, perjanjian internasional tidak dapat digolongkan atau diklasifikasikan. Walaupun begitu, beberapa sarjana berpendapat bahwa perjanjian internasional dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam yang ditinjau dari beberapa segi atau beberapa hal sebagai berikut : 1) Subyek (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian; 2) Jumlah pihak yang mengadakan perjanjian; 3) Corak atau bentuk dari perjanjian itu sendiri; 4) Proses atau tahapan pembentukan perjanjian; 5) Sifat pelaksanaan perjanjian itu sendiri; dan 6) Fungsi dari perjanjian internasional itu sendiri dalam pembentukan hukum. Berikut adalah penjelasan secara singkat dari masing-masing jenis klasifikasi perjanjian tersebut secara berurutan.16 1. Klasifikasi Perjanjian Internasional Dari Segi Pihak yang Mengadakan Perjanjian Berdasarkan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian maka perjanjian internasional dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 16 Syahmin, A.K, S.H. 1985. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969)..hlm 11. 20 a) Perjanjian antar negara. Perjanjian ini adalah perjanjian antar negara dengan negara lainnya yang didasari atas kesetaraan bersama. b) Perjanjian antara negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Perjanjian ini misalnya dengan organisasi internasional, atau dengan Kursi Suci (Vatikan) yang merupakan subyek hukum internasional dalam arti yang terbatas. c) Perjanjian antara subyek hukum internasional lain selain negara satu sama lainnya. Perjanjian khususnya antara satu organisasi internasional lainnya. Misalnya perjanjian internasional yang diadakan antara negara-negara yang tergabung di dalam sebuah organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya. 2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Ditinjau dari Jumlah Peserta yang Mengadakan Perjanjian ini dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : a) Perjanjian Bilateral, yaitu perjanjian yang hanya diadakan oleh dua pihak (negara) saja. Pada umumya, perjanjian jenis ini hanya mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak saja. Misalnya perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dan Republik Philipina di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Perjanjian bilateral ini bersifat tertutup (gesloten verdrag), artinya tertutup kemungkinan bagi pihak ketiga untuk ikut sebagai peserta bagi perjanjian itu. Perjanjian bilateral pada umunya termasuk apa yang dinamakan “Treaty Contracts” (perjanjian yang bersifat kontrak). 21 b) Perjanjian Multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak (negara), yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open verdrag). Hal-hal yang diatur didalamnya adalah hal-hal yang lazim menyangkut kepentingan umum yang tidak hanya menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja, melainkan menyangkut pula kepentingan lain yang bukan peserta perjanjian. Perjanjian multilateral inilah yang umumnya dikategorikan “Law Making Treaties” atau perjanjian yang membentuk hukum, bersama-sama dengan “treaty contract” termasuk dalam klasifikasi ke-6 yang mempunyai hubungan erat dengan kedudukan perjanjian sebagai sumber hukum internasional. 3. Klasifikasi Perjanjian Ditinjau dari Sudut Bentuknya Penggolongan perjanjian berdasarkan atas corak atau bentuknya, dapat dibedakan atas tiga macam. a) Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta dari perjanjian ini lazimnya disebut “High Contracting State” (pihak peserta Agung). Dalam praktek, pihak yang mewakili negara dalam pembuatan perjanjian itu dapat pula diwakilkan/dikuasakan kepada menteri luar negeri atau duta besar sebagai pejabat “kuasa penuh” (full atau inter powers/plenipotentiaries). b) Perjanjian antar pemerintah (inter-government form departemental form). Seperti halnya dalam perjanjian antar kepala negara, dalam perjanjian antar pemerintah ini pun dapat dan bahkan sudah sering 22 ditunjuk menteri luar negeri atau duta besar yang diakreditasikan pada negara dimana perjanjian itu diadakan. Pihak peserta perjanjian umumnya tetap disebut “contracting state” walaupun para pesertanya dan perjanjian itu sendiri dinamakan perjanjian antar pemerintah (inter-government form). c) Perjanjian antar negara (inter state form). Di dalam perjanjian ini, pihak peserta perjanjian sesuai dengan namanya, disebut negara. Sebagai pejabat yang berkuasa penuh mewakilinya adalah dapat pula ditunjuk menteri luar negeri atau duta besar. 4. Klasifikasi Perjanjian Berdasarkan Tahap Pembentukannya Penggolongan perjanjian berdasarkan atas tahap pembentukannya dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu : a) Perjanjian yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan, yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi yang lazimnya diadakan untuk hal-hal yang dianggap badan perwakilan rakyat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, untuk perjanjian ini dapat digunakan kata “perjanjian internasional atau traktat”. b) Perjanjian yang hanya melewati dua tahap pembentukan yaitu perundingan dan penandatanganan. Merupakan perjanjian yang sederhana sifatnya, dan diadakan untuk hal-hal yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat, seperti perjanjian perdagangan yang berjangka pendek. Untuk perjanjian internasional jenis ini dinamakan “persetujuan”. 23 D. Peranan Hukum Internasional dalam Pembentukan Hukum Nasional Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua teori utama yang dikenal, yaitu monisme dan dualisme. 1 Monisme Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.17 Penulis-penulis yang mendukung konstruksi monistik sebagian besar berusaha menemukan dasar pandangannya pada analisis yang benar-benar ilmiah mengenai struktur intern dari sistem-sistem hukum tersebut. Pengikut-pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan lain yang bukan negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan dan point yang menentukan, karenanya adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan. Perangkat hukum nasional dan hukum internasional mempunyai hubungan yang hierarkis. Hubungan hierarkis dalam teori monisme melahirkan dua pendapat berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional. Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum 17 Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, hal 60 24 internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Menurut paham monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan perpanjangan tangan dari hukum nasional, atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang dikemukakan adalah sebagai berikut: a) tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara; b) dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.18 Monisme dengan primat hukum internasional berangapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.19 2. Dualisme Penganut aliran dualistik melihat hukum nasional dan hukum internasional sebagai tidak saling tergantung satu dengan lainnya. Kedua sistem itu mengatakan 18 19 Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 60-61 http://www.google.com/.ratifikasi/panmohamadfaiz.html 25 pokok permasalahan yang berbeda. Hukum internasional mengatur hubungan antara negara yang berdaulat sementara hukum nasional mengatur urusan dalam negeri negara bersangkutan, contohnya hubungan antar eksekutif dengan warga negaranya dan hubungan antar warga negara dengan yang lainnya secara individual. Sejalan dengan itu, aliran dualis berpendapat bahwa kedua sistem saling tolak menolak satu sama lain dan tidak bisa mempunyai kontak satu sama lain. Jika hukum internasional diterapkan dalam negara, hanyalah karena hukum internasional telah secara jelas dimasukkan ke dalam hukum nasional. Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.20 Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme, antara lain: a) sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional b) subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata, sedangkan pada hukum internasional adalah negara; c) struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya terdapat mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional 20 Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 57 26 d) kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.21 3. Transformasi dan Adopsi Khusus Uraian di atas tampaknya belum lengkap jika tanpa menyinggung secara ringkas beberapa teori yang berkenaan dengan hukum internasional di dalam lingkungan hukum nasional. Kaum positivisme telah mengemukakan pandangan bahwa kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat diberlakukan secara langsung di dalam lingkungan hukum nasional oleh pengadilan nasional atau oleh siapapun, untuk memberlakukan kaidah tersebut harus menjalani suatu proses adopsi khusus ke dalam hukum nasional. Menurut teori kaum positivisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem yang sama sekali terpisah dan berbeda secara struktural, sistem yang pertama tidak dapat menyinggung sistem hukum nasional kecuali sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang sepenuhnya logis, memperkenankan perangkat konstitusinya dipakai untuk tujuan tersebut. Berkaitan dengan kaidah-kaidah traktat, dikatakan bahwa harus ada suatu transformasi traktat yang bersangkutan, dan transformasi traktat ke dalam hukum nasional ini, yang bukan hanya menjadi syarat formal, melainkan merupakan syarat substantif, dengan sendirinya mengesahkan perluasan berlakunya kaidah yang dimuat dalam traktat-traktat terhadap individu-individu. 21 Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 57-58 27 Teori-teori transformasi bersandar pada sifat konsensual hukum yang berbeda dengan sifat non-konsensual dari hukum nasional. Secara khusus teori transformasi yang didasarkan atas suatu anggapan adanya perbedaan antara traktat di satu pihak dan undang-undang atau peraturan-peraturan nasional di pihak lain menurut teori ini ada perbedaan antara traktat yang memiliki sifat janji-janji (promises) dan perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (commands). Akibat dari perbedaan mendasar ini adalah diperlukannya suatu transformasi dari satu tipe ke tipe yang lain baik secara formal maupun secara substantif. Penentang teori transformasi berpendapat bahwa hal perbedaan tersebut tampak dibuat-buat, mereka berpendapat bahwa apabila diperhatikan fungsi sebenarnya dari ketentuan-ketentuan dalam traktat atau undang-undang maka akan tampak bahwa tidak ada satupun yang terlalu melebih-lebihkan “janji-janji” daripada “perintahperintah”. Tujuan dari traktat dan undang-undang yang menjadi landasan umum adalah untuk menetapkan bahwa keadaan tertentu dari fakta akan menimbulkan akibat hukum tertentu, perbedaan antara janji dan perintah memang relevan dengan bentuk dan prosedur, akan tetapi tidak pada karakter hukum yang sebenarnya dari instrumen ini. Oleh karena itu tidak benar menganggap bahwa transformasi dari sistem yang satu ke sistem yang lain merupakan hal yang penting secara material. Sebagai jawaban terhadap teori transformasi, para penentang teori ini mengemukakan teori mereka, yakni teori delegasi. Menurut teori delegasi, ada suatu pendelegasian kepada setiap konstitusi negara oleh kaidah-kaidah konstitusional dari hukum internasional yaitu hak untuk menentukan kapan ketentuan suatu traktat atau konvensi berlaku dan bagaimana cara ketentuan 28 tersebut dimasukkan ke dalam hukum nasional. Prosedur atau metode-metode yang dipakai untuk maksud ini oleh negara yang merupakan suatu kelanjutan dari proses yang dimulai sejak penutupan traktat atau konvensi. Dalam hal ini tidak ada transformasi, tidak ada penciptaan kaidah atau hukum nasional baru, yang ada hanyalah suatu perpanjangan dari satu pembentukan hukum. Dengan demikian persyaratan-persyaratan hukum nasional semata-mata merupakan bagian dari satu mekanisme tunggal untuk menciptakan hukum. III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Tipe Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka berupa peraturan perundangundangan, buku-buku, atau literatur hukum serta bahan-bahan lain yang sesuai dengan pembahasan dalam penulisan skripsi ini. B. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.1 Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan secara yuridis teoritis, yaitu kajian terhadap peraturan perundang-undangan beserta peraturan-peraturan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini. C. Data dan Sumber Data Data adalah informasi atau keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, 1 Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Hlm 112 30 yaitu data yang bersumber dari data kepustakaan. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum mengikat yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, terdiri dari : a) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 b) Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan 2. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, misalnya artikel-artikel ilmiah, buku-buku, hasil penelitian hukum atau bahan-bahan yang berhubungan dengan pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas. 3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari literatur-literatur di bidang ilmu hukum dan tulisan ilmiah yang berhubungan dengan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas, pendapat-pendapat para sarjana, berita serta berbagai keterangan dari media massa dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. 31 D. Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan studi pustaka, yaitu menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, perjanjian-perjanjian internasional, dan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan laut lepas. Kegiatan studi pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1) Menentukan sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, catatan hukum, dan literatur hukum. 2) Identifikasi data sekunder yang diperlukan yaitu proses mencari dan mengenal bahan hukum berupa ketentuan pasal perundang-undangan, nama dokumen hukum, nama catatan hukum dan judul, nama pengarang, tahun terbit dan halaman karya tulis bidang hukum. 3) Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara mengutip atau pencatatan. 4) Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah. E. Pengolahan Data Setelah data-data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data yang dilakukan dengan cara: 1) Pemeriksaan data yaitu mengoreksi data yang sudah terkumpul apakah sudah lengkap, benar, dan sesuai dengan masalah. 32 2) Penandaan data yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data seperti buku, literatur, perundang-undangan atau dokumen. 3) Rekonstruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan. 4) Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah. F. Analisis Data Bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisa guna menjawab permasalahan yang ada sehingga dapat menarik suatu kesimpulan. IV. PEMBAHASAN A. Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Perikanan Laut Lepas Pada pembahasan ini akan diuraikan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement (selanjutnya disingkat UNIA). 1. Tujuan UNIA Tujuan dari UNIA berdasarkan Pasal 2 adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan penggunaan berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan-ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982. Perjanjian ini menggalakkan ketertiban di laut melalui konservasi dan pengelolaan sumber daya alam di laut lepas secara efektif, antara lain dengan secara rinci menetapkan standar internasional minimum untuk konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang berada di ZEE dua negara (beruaya terbatas) serta jenis ikan yang bermigrasi jauh.1 1 Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Alumni, 2003, hal 193 34 2. Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh Adapun prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas menurut Pasal 5 adalah: a) Mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimum mereka; b) Menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang terkait termasuk kebutuhan khusus negara berkembang dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan sediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub regional, regional, maupun global; c) Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Pasal 6; d) Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada sediaan target tersebut; e) Mengambil, apabila diperlukan, tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada sediaan target tersebut, dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi dari spesies tersebut diatas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam; f) Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan serta tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies yang bukan target, baik ikan maupun bukan spesies ikan, (selanjutnya disebut sebagai spesies non target) dan dampak terhadap spesies berhubungan atau tergantung, khususnya spesies yang terancam, melalui tindakan termasuk, yang lazim, pengembangan dan penggunaan yang selektif, alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkungan dan murah; g) Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut; h) Mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan; i) Memperhatikan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten; j) Mengumpulkan dan memberikan, pada saat yang tepat, data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan non target dan usaha penangkapan ikan, 35 sebagaimana tercantum di dalam Lampiran I, juga informasi dari program riset nasional dan internasional; k) Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; dan l) Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan.2 2.1. Penerapan Pendekatan Kehati-hatian Sumber daya perikanan laut lepas merupakan sumber daya yang bersifat kompleks. Kompleksitas tersebut tidak hanya berkaitan dengan sistem alam itu sendiri, tetapi juga dalam penentuan seberapa besar sumber daya perikanan yang terkandung di dalamnya, agar dapat diketahui batasan dalam mengeksploitasi sumber daya tersebut. Dimensi kompleksitas dalam pengelolaan sumber daya perikanan juga ditandai dengan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan resiko pengelolaan yang ditimbulkan. Jumlah stok ikan, misalnya, tidak pasti. Selain itu, tidak ada input yang digunakan, seperti halnya pakan dalam budi daya, untuk mengendalikan pertumbuhan ikan. Pengetahuan tentang pertumbuhan ikan, migrasi, dan mortalitas sangat fragmentary.3 Sampai saat ini alasan utama untuk dibutuhkannya usaha konservasi dan pengelolaan dikarenakan jumlah tangkapan yang kian menurun setiap tahunnya. Sulit diketahuinya jumlah potensi sumber daya perikanan di laut lepas menyebabkan usaha konservasi dan pengelolaan memerlukan penerapan pendekatan kehati-hatian dari setiap negara yang melakukan eksploitasi. Pendekatan kehati-hatian dilakukan agar eksploitasi tidak dilakukan secara besarbesaran, sedangkan jumlah potensinya belum diketahui secara pasti. Penerapan 2 Naskah terjemahan UNIA 1995 Pasal 5 Fauzi, A., dan Suzi Anna. 2008. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan, P.T Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 12. 3 36 pendekatan kehati-hatian dilakukan sampai diperoleh data yang akurat mengenai besarnya sediaan ikan yang dimiliki, sehingga dapat dilakukan konservasi jangka panjang. Dalam Pasal 6 ayat 3, dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian, negaranegara harus: a) Meningkatkan pengambilan keputusan untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan dengan mendapatkan dan membagikan informasi ilmiah terbaik yang tersedia dan menerapkan teknik lanjutan untuk menangani risiko dan ketidakpastian; b) Menerapkan petunjuk pelaksanaan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah terbaik yang tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan dan tindakan yang dilakukan apabila mereka terlampaui; c) Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang berkaitan dengan ukuran dan produktivitas dari sediaan, titik referensi, kondisi sediaan dalam kaitan dengan titik referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi pertumbuhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan pada spesies non target dan berhubungan atau tergantung, serta kondisi saat ini dan prakiraan lautan, lingkungan, dan sosial ekonomi; dan d) Mengembangkan pengumpulan data dan program riset untuk menilai dampak atas penangkapan pada spesies non target, berhubungan atau tergantung, dan lingkungan mereka, dan menyetujui perencanaan yang diperlukan untuk menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk melindungi habitat yang mendapatkan perhatian khusus.4 Dalam hal penangkapan ikan baru, atau eksploratori, negara-negara harus mengambil tindakan konservasi pengelolaan, termasuk antara lain batas penangkapan dan batas-batas upaya secara sangat berhati-hati. Tindakan tersebut harus dilakukan sampai diperoleh data yang akurat untuk memungkinkan penilaian terhadap dampak dari penangkapan ikan untuk kelestarian jangka panjang sediaan tersebut. Negara-negara juga harus mengambil tindakan-tindakan 4 Naskah terjemahan UNIA 1995 Pasal 6 ayat 3 37 dengan basis darurat apabila kegiatan perikanan mengakibatkan ancaman yang serius bagi kelestarian sumber daya tersebut. 2.2. Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan Setiap negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di laut lepas harus menyesuaikan tindakannya dengan konvensi, tanpa mengabaikan hak berdaulat negara-negara pantai untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati kelautan di bawah yurisdiksi nasional. Kewajiban negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh antara lain: a) Untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas, negara-negara meminta secara langsung ataupun melalui mekanisme yang sesuai untuk kerjasama dengan negara lain yang wilayahnya berdampingan dengan laut lepas untuk menyetujui tindakan-tindakan yang diperlukan untuk konservasi sediaansediaan ikan tersebut. b) Untuk sediaan ikan yang beruaya jauh, negara-negara yang warga negaranya melakukan penangkapan sediaan ikan tersebut pada suatu regional tertentu harus melakukan kerjasama, baik secara langsung atau melalui mekanisme yang sesuai untuk melakukan kerjasama sebagaimana ditentukan dalam Bagian III UNIA, baik di dalam maupun di luar wilayah yurisdiksi nasional dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan penggunaan optimum dari sediaan tersebut pada seluruh regional tersebut. 5 5 Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 7 ayat 1 38 Dari kerjasama yang telah dilakukan, negara-negara wajib memberikan informasi secara teratur setiap tindakan yang telah mereka setujui untuk sediaan ikan beruaya terbatas maupun sediaan ikan yang beruaya jauh di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional mereka dan pengaturan kegiatan-kegiatan kapal perikanan yang mengibarkan bendera mereka yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas kepada negara-negara lain yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas di dalam regional maupun sub regional yang sesuai. 3. Kerjasama Antar Negara Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam Pasal 7 UNIA, setiap negara yang warga negaranya melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas maupun sediaan ikan yang beruaya jauh harus bekerjasama dalam upaya konservasi dan pengelolaan. Pasal 8 berisi tentang mekanisme kerjasama antar negara tersebut. Dalam upaya konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas maupun sediaan ikan yang beruaya jauh dibagi menjadi wilayah sub regional dan regional berdasarkan wilayah migrasi ikan tersebut. Setiap negara yang akan melakukan penangkapan sediaan ikan tersebut wajib untuk mengikuti kerjasama yang berkaitan dengan sediaan ikan tersebut. Apabila suatu negara memiliki bukti adanya eksploitasi berlebihan terhadap sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh atau negara tersebut sedang mengembangkan penangkapan ikan baru untuk sediaan tersebut, maka negara tersebut harus segera melakukan konsultasi dengan itikad 39 baik. Konsultasi dapat dimulai atas permintaan negara yang bersangkutan untuk merumuskan pengaturan yang memadai untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut dengan menjadikan UNIA sebagai acuan pengaturannya dengan tetap memperhatikan hak, kepentingan dan kewajiban negara lain. Apabila mempunyai efek yang besar terhadap tindakan konservasi yang telah ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan sub regional maupun regional yang kompeten, negara yang akan melakukan tindakan tersebut harus berkonsultasi melalui organisasi atau pengaturan tersebut dengan anggota atau pesertanya. 3.1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Lepas Kerjasama antar negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di laut lepas sesuai dengan Pasal 8 UNIA tersebut diamanatkan dalam bentuk organisasi pengelolaan perikanan. Organisasi pengelolaan perikanan dibagi menjadi dua berdasarkan wilayah pengelolaannya, yaitu organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan organisasi pengelolaan perikanan regional. Dalam hal suatu negara akan melakukan permintaan untuk tindakan konsultasi, negara tersebut dapat melakukan permintaan konsultasi terhadap organisasi pengelolaan perikanan sub regional maupun regional sesuai dengan wilayah pengelolaannya. Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh pada laut lepas serta negara-negara pantai harus melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama menjadi anggota dalam organisasi pengelolaan perikanan tersebut atau menjadi peserta pada pengaturan 40 tersebut, atau dengan menyetujui untuk melaksanakan ketentuan yang telah dirumuskan organisasi pengelolaan perikanan atau pengaturan tersebut. Keuntungan menjadi anggota dalam sebuah organisasi pengelolaan perikanan salah satunya adalah negara anggota mempunyai akses terhadap spesies sumber daya ikan yang telah ditetapkan tindakan pengelolaannya. 6 Apabila tidak ada organisasi pengelolaan sumber daya perikanan untuk merumuskan tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, maka negara-negara yang berkepentingan terhadap spesies tersebut dan negara pantai yang terkait harus bekerjasama untuk membentuk organisasi dan berpartisipasi dalam kerja organisasi tersebut, dan membuat pengaturan lain yang sesuai dalam upaya menjamin kelestarian sumber daya perikanan di laut lepas. 3.2. Syarat Pembentukan Organisasi dan Pengaturan Dalam pembentukan pengaturan maupun organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, berdasarkan Pasal 9 UNIA, negara-negara harus menyetujui: a) Sediaan terhadap mana tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan diterapkan, dengan memperhatikan karakteristik biologis dari sediaan dimaksud dan sifat dari perikanan yang terkait; b) Wilayah penerapan, dengan memperhatikan Pasal 7 ayat 1, dan karakteristik dari sub regional atau regional termasuk faktor-faktor sosial ekonomi, geografis dan lingkungan; c) Hubungan antara bekerjanya organisasi atau pengaturan baru tersebut dan peranan, tujuan dan operasi dari setiap organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan terkait yang telah ada; dan 6 Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 8 ayat (4) 41 d) Mekanisme dengan mana organisasi atau pengaturan akan mendapatkan pengarahan ilmiah dan perubahan status dari sediaan tersebut, termasuk apabila dimungkinkan, pendirian suatu badan penasehat ilmiah. Negara-negara pembentuk pengaturan atau organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional tersebut selain mempunyai beberapa hal yang harus disetujui di atas, juga terikat pada kewajiban untuk memberikan informasi kepada negara-negara lain yang diketahui memiliki kepentingan nyata dalam kerja pengaturan atau organisasi yang diusulkan.7 3.3. Fungsi Organisasi dan Pengaturan Pengelolaan Perikanan Adapun fungsi pengaturan dan organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional yang juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara menurut Pasal 10 UNIA adalah: a) Menyetujui dan mengikuti tindakan konservasi dan pengelolaan untuk menjamin kelestarian jangka panjang dari sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh; b) Menyetujui, jika sesuai, pada hak keikutsertaan antara lain alokasi tangkapan yang diperbolehkan atau tingkat usaha penangkapan perikanan; c) Menyetujui dan menerapkan setiap standar umum minimum internasional yang direkomendasikan untuk tata laksana yang bertanggung jawab untuk operasi penangkapan ikan; d) Menghasilkan dan mengevaluasi saran ilmiah, perubahan status sediaan tersebut dan menilai dampak penangkapan ikan pada spesies non target dan berhubungan atau bergantung; e) Menyetujui standar untuk pengumpulan, pelaporan, verifikasi dan pertukaran data perikanan untuk sediaan tersebut; f) Mengumpulkan dan menyebarluaskan data statistik yang akurat dan lengkap, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, untuk menjamin bahwa bukti ilmiah terbaik tersedia, serta memelihara keterbatasan apabila diperlukan; g) Memajukan dan melaksanakan penilaian ilmiah dari sediaan tersebut dan riset yang relavan dan penyebarluasan hasil-hasilnya; h) Merumuskan mekanisme kerja sama yang memadai untuk pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum yang efektif; 7 Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 9 42 i) Menyetujui sarana dengan mana kepentingan-kepentingan penangkapan dari anggota-anggota baru dari organisasi atau peserta baru dalam pengaturan akan diakomodasikan; j) Menyetujui prosedur pengambilan keputusan yang memfasilitasi persetujuan tindakan konservasi dan pengelolaan secara cepat dan efektif; k) Memajukan penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan Bagian VIII; l) Menjamin kerja sama penuh dari badan-badan dan industri nasional yang terkait dalam pelaksanaan rekomendasi dan keputusan dari organisasi atau pengaturan; dan m) Melakukan publikasi tindakan konservasi dan pengelolaan yang telah dirumuskan oleh organisasi atau pengaturan.8 3.4. Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia Organisasi pengelolaan perikanan laut lepas dapat disebut juga Regional Fisheries Management Organizations atau selanjutnya disingkat RFMOs. Saat ini telah terbentuk beberapa RFMOs yang wilayah pengelolaannya berada di sekitar wilayah Indonesia, antara lain Indian Ocean Tuna Commission (selanjutnya disingkat IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (selanjutnya disingkat CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (selanjutnya disingkat WCPFC). a. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) Perjanjian pembentukan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) disetujui melalui Resolusi 1/105 pada Sidang ke 105 Dewan FAO, tanggal 25 Desember 1993 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 27 Maret 1996. Sebelum adanya IOTC, terdapat suatu badan yang terlebih dahulu dibentuk, yaitu The Indo-Pacific Tuna Development and Management Programme (selanjutnya disingkat IPTP). IPTP dibentuk pada tahun 1982 di Colombo, Srilanka, dengan pendanaan dari 8 Naskah terjemahan UNIA 1995, op cit, Pasal 10 43 UNDP dan dijalankan oleh FAO, tetapi sejak 1986 IPTP didanai oleh anggotanya. Program IPTP mencakup wilayah lautan India dan area sekitar Pasifik Barat. IOTC dapat disebut sebagai pewaris langsung segala kegiatan yang dilakukan oleh IPTP.9 IOTC merupakan RFMOs yang secara khusus mengatur spesies ikan tertentu, antara lain Yellowfin Tuna, Skipjack Tuna, Albacore Tuna, Bigeye Tuna, Southern Bluefin Tuna, Long Tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Narrow Barred Spanish Mackerel, Indo Pasific King Mackerel, Indo Pasific Blue Marlin, Black Marlin, Strip Marlin, Indo Pasific Sailfish, dan Swordfish. Area pengaturannya berada pada Samudera Hindia dan laut-laut sekitarnya, termasuk perairan sebelah utara Konvergensi Antartika. Negara yang sudah menjadi anggota diantaranya adalah Australia, China, Commoros, Eritrea, European Union, Perancis, India, Iran, Jepang, Korea Selatan, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Oman, Pakistan, Seychlelles, Srilangka, Sudan, Thailand, Inggris dan Indonesia.10 Fungsi dan tanggung jawab IOTC antara lain: a). Menjaga kondisi dibawah pengawasan dan tren dari stok dan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyebarkan informasi ilmiah, tangkapan dan data lain yang relevan dengan konservasi dan pengelolaan stok dan penangkapan ikan berdasarkan perjanjian; b). Meningkatkan, merekomendasikan, dan mengkoordinasi aktivitas penelitian dan pengembangan dalam menjaga stok dan perikanan yang 9 Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI,2005,Jurnal Hukum Internasional,Jakarta,hal 513 10 Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit.DKP. 2007. hal 20 44 dilingkupi perjanjian ini, dan aktivitas lain yang diputuskan komisi, termasuk aktivitas yang berkaitan dengan pertukaran teknologi, pelatihan, berdasarkan kebutuhan untuk menjamin keikutsertaan anggota komisi yang sepatutnya dalam perikanan dan kepentingan istimewa dan kebutuhan anggota dalam wilayah negara-negara berkembang; c). Menerapkan, sesuai dengan Pasal IX dan landasan bukti ilmiah, konservasi dan pengelolaan sumber daya, untuk menjamin konservasi stok yang diliputi oleh perjanjian ini dan untuk meningkatkan tujuan penggunaan optimum mereka di dalam wilayah pengelolaan; d). Menjaga aspek sosial dan ekonomi perikanan dilandasi dengan stok yang diliputi oleh perjanjian yang disikapi, secara khusus, keuntungan negara pantai yang sedang berkembang; e). Mempertimbangkan dan menjawab program organisasi dan anggaran otonom, seperti pertimbangan anggaran periode sebelumnya; f). Menyebarkan laporan kegiatan, program, pertimbangan dan anggaran otonom dan tindakan lain yang mungkin layak untuk dilakukan oleh Dewan atau Konferensi FAO kepada Direktur Jenderal FAO; g). Menerapkan tata peraturannya sendiri, Regulasi Keuangan dan peraturan administratif internal lain yang dibutuhkan untuk mencapai fungsi komisi, dan h). Menjalankan kegiatan lain yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan komisi.11 11 Terjemahan Bebas Pasal 5 ayat 2 Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission, 1993 45 Keanggotaan Indonesia dalam IOTC sangat penting dan menguntungkan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program revitalisasi perikanan, khususnya tuna. Manfaat keanggotaan Indonesia pada IOTC secara detail antara lain: a). Membantu Indonesia dalam menanggulangi Illegal, Unregulated, Unreported (IUU) Fishing; b). Membuka kesempatan kerjasama dengan negara lain; c). Menjaga kelestarian sumber daya ikan tuna melalui penetapan peraturanperaturan; d). Terhindar dari embargo atas ekspor tuna; e). Ikut serta mengatur pengelolaan SDI tuna di Samudera Hindia; f). Rencana pengembangan armada perikanan Indonesia akan lebih terbuka dalam memanfaatkan sumber-sumber perikanan; g). Turut menentukan kuota hasil tangkapan maupun kuota ekspor, dan h). Sebagai wahana kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan.12 b. Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) mengatur mengenai spesies Skipjack Tuna, Yellowfin Tuna, Albacore Tuna, dan Bigeye Tuna. Wilayah pengaturannya meliputi Samudera Pasifik Barat dan Tengah. Status Indonesia dalam organisasi ini adalah sebagai non-cooperating parties. Konvensi 12 http://www.sdi.dkp.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=18, diakses pada tanggal 26 April 2009 46 pembentuk RFMOs ini adalah Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean. Adapun fungsi WCPFC antara lain adalah: a) Menentukan jumlah tangkapan total atau tingkat total usaha perikanan dalam area konvensi untuk sediaan ikan yang beruaya jauh seperti yang ditetapkan komisi dan menerapkan konservasi dan pengelolaan sumber daya lain dan bila perlu merekomendasikan untuk menjamin ketahanan jangka panjang sediaan tersebut. b) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar anggota komisi untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional suatu negara dan sumber daya yang sama dan sesuai di laut lepas c) Menerapkan, apabila dibutuhkan, konservasi dan pengelolaan sumber daya dan rekomendasi untuk spesies non target dan spesies yang bergantung atau berhubungan dengan sediaan target, dengan tujuan untuk mempertahankan atau mengembalikan populasi spesies di atas tingkat reproduksi dimana mereka dimanfaatkan secara serius. d) Menerapkan standar penangkapan, pemeriksaan dan untuk pergantian waktu dan melaporkan data perikanan untuk sediaan ikan yang beruaya jauh di area konvensi yang sesuai dengan Lampiran I Konvensi, yang merupakan bagian dari konvensi e) Mengembangkan, dimana dibutuhkan, kriteria untuk alokasi jumlah tangkapan total atau tingkat total usaha perikanan bagi sediaan ikan yang beruaya jauh dalam area konvensi 47 f) Menerapkan standar minimum internasional yang direkomendasikan bagi peraturan operasi perikanan yang bertanggung jawab g) Mengamati dan mengevaluasi perekonomian dan aspek perikanan lainberkaitan dengan data dan informasi yang sesuai dengan kerja komisi h) Menyetujui, dalam artian mengakomodasi segala keuntungan penangkapan ikan yang dilakukan oleh anggota baru komisi i) Menerapkan prosedur dan regulasi ekonomi dan regulasi administratif internal lain yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi fungsi komisi j) Mempertimbangkan dan menjawab proposal anggaran komisi k) Mendiskusikan setiap pertanyaan atau masalah yang kompeten dengan komisi dan menerapkan setiap rekomendasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan konvensi ini.13 c. Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) adalah organisasi regional dalam penangkapan ikan khusus spesies tuna sirip biru selatan di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah stok ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna/SBT) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan tuna sirip biru selatan pada tahun 1985, dengan cara 13 Terjemahan bebas Pasal 10 Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and central Pacific Ocean 2000. 48 membatasi kuota tangkapan kapal ikannya. Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna, namun Konvensi ini baru efektif berlaku pada tanggal 20 Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut melakukan formalisasi. Adapun tujuan dan sasaran konvensi adalah: a) Pengaturan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan alokasi penangkapan SBT untuk setiap negara anggota. b) Sebagai suatu mekanisme pengaturan untuk aktivitas anggota yang terkait dengan perikanan SBT. c) Membantu kegiatan-kegiatan langsung yang ditujukan pada perlindungan ekologi, khususnya spesies SBT dan yang terkait dengan kehidupannya serta by-catch. d) Mendorong negara bukan anggota untuk turut serta berpartisipasi sebagai Cooperating non-members atau berpartisipasi sebagai Observer. e) Bekerjasama dengan organisasi regional perikanan tuna lainnya yang memiliki wilayah konvensi yang sama.14 CCSBT sebagai organisasi pengelolaan regional memiliki beberapa fungsi, antara lain: a) Bertanggung jawab untuk menetapkan jumlah tangkapan total dan alokasinya bagi setiap negara anggota; b) Mengambil keputusan untuk mendukung dan melaksanakan pengelolaan perikanan; 14 Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Convention of Southern Bluefin Tuna. 2007. DKP, hal 3 49 c) Bekerjasama dengan RFMOs lain di wilayah yang sama-sama diminati; d) memfasilitasi diadakannya forum diskusi mengenai issue yang relevan dengan tujuan konservasi dari konvensi ini, dan e) Bertindak sebagai koordinator mekanisme aktivitas para anggota terkait perikanan tuna sirip biru selatan.15 Efektivitas pelaksanaan konvensi ini dihadapkan pada beberapa negara yang melakukan penangkapan ikan tuna sirip biru selatan, namun belum menjadi anggota seperti Korea dan Taiwan. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat tambahan negara anggota CCSBT, yaitu Korea pada tanggal 17 Oktober 2001 dan Taiwan pada tanggal 30 Agustus 2002. Sementara bagi negara yang belum mau menjadi anggota, pada pertemuan bulan Oktober 2003, CCSBT menyepakati untuk mengundang negara-negara yang tertarik pada perikanan tuna sirip biru selatan untuk menjadi co-operating non-member. Namun status negara cooperating non-member hanya berpartisipasi dalam bisnis atau tidak punya hak suara dalam pertemuan CCSBT. Selain itu, negara co-operating non-member disyaratkan untuk menyepakati batasan jumlah tangkapan. Beberapa negara yang diterima sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina (2 Agustus 2004), Afrika Selatan (24 Agustus 2006) dan Uni Eropa (13 Oktober 2006). Komisi ini dapat diikuti oleh setiap negara yang memiliki kapal perikanan yang terlibat dalam penangkapan tuna sirip biru selatan atau setiap negara pantai yang memiliki wilayah ZEE atau daerah perikanan yang dilintasi oleh migrasi tuna. Indonesia, Korea dan Taiwan memiliki jumlah kapal penangkapan tuna sirip biru selatan 15 http;//www.ccsbt.org/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2009 50 yang cukup signifikan, namun status Indonesia baru menjadi member pada tahun 2007. Indonesia mempunyai kepentingan tersendiri dalam perikanan tuna sirip biru selatan karena mereka bertelur dan berkembang biak di ZEEI di Selatan Jawa, tapi Indonesia belum mempunyai peranan besar dalam penangkapan dan pemanfaatan ikan tersebut, walaupun harganya sangat mahal di jepang.16 Pertemuan CCSBT ke-14 berhasil menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC) selama tahun 2007-2009 sebesar 11.810 ton. Alokasi untuk Jepang berlaku sampai tahun 2011 dan untuk negara anggota lainnya berlaku sampai tahun 2009. Sementara untuk non-member dan observer hanya untuk tahun 2007. Alokasi untuk negara member seperti Jepang (3.000 ton), Australia (5.265 ton), Korea Selatan (1.140 ton), Taiwan (1.1.40 ton), Selandia Baru (420 ton), sementara untuk negara non-member dan observer seperti Filipina (45 ton), Afrika Selatan (40 ton) dan Uni Eropa (10 ton). Namun demikian, bagi Indonesia CCSBT sangatlah dilematis. Di satu sisi, jumlah tangkapan ikan tuna di wilayah tersebut relatif kecil dibandingkan dengan beban membership fee yang harus dibayarkan sekitar US$ 150 ribu. Di sisi lain, ancaman pemboikotan tuna Indonesia di pasar dunia juga patut dipertimbangkan. Akan tetapi, sebenarnya Indonesia masih memiliki “senjata” bahwa spawning ground tuna sirip biru selatan ada di wilayah Selatan Jawa Indonesia. Hal ini sebagaimana informasi yang terdapat pada website CCSBT (www.ccsbt.org), disebutkan bahwa perkembangbiakan tuna sirip biru selatan di perairan hangat Selatan Jawa Indonesia pada bulan September hingga April. Lalu setelah itu, juvenil tuna sirip 16 Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret tahun 2007 di Hotel Transit.DKP. 2007. hal 21 51 biru selatan akan bermigrasi ke pantai barat Australia. Bersyukur, Indonesia pada tahun 2007 sudah menjadi anggota tetap CCSBT. Fakta inilah yang dapat dijadikan senjata diplomasi Indonesia dalam melakukan negosiasi dengan anggota CCSBT, baik dalam jumlah kuota maupun jumlah fee yang harus dibayarkan. Adapun manfaat keikutsertaan Indonesia pada CCSBT dari berbagai aspek adalah: a) Aspek politik domestik. Keikutsertaan pada CCSBT akan mendukung kebijakan nasional Indonesia bagi upaya konservasi dan pengelolaan perikanan yang bermigrasi jauh (Highly Migratory Fish Stocks), khususnya jenis Southern Bluefin Tuna (SBT). Dengan menjadi anggota CCSBT, Indonesia dapat secara langsung mempengaruhi keputusankeputusan yang diambil CCSBT. b) Aspek politik luar negeri. Lebih memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara Pihak pada UNCLOS 1982 dalam kerjasama internasional bagi kegiatan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. c) Aspek teknis ekonomi. Memberikan jaminan dan kepastian usaha, terutama bagi para pelaku usaha Indonesia yang memanfaatkan tuna sirip biru selatan dengan lancar. Keikutsertaan pada CCSBT juga akan memberikan peluang bagi tersedianya bantuan teknis dan finansial dari CCSBT, serta terhindar dari embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota CCSBT. Manfaat lainnya juga akan memudahkan Indonesia dalam hal pertukaran informasi dan data 52 perikanan yang tepat dan akurat diantara negara anggota dalam rangka kegiatan konservasi sumberdaya tuna sirip biru selatan. d) Aspek yuridis. Keikutsertaan Indonesia pada CCSBT merupakan implementasi dari Undang-undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dimana telah disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia berusaha untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional. Disamping itu, pengelolaan perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan standar internasional. Tujuan dari kebijakan ini agar tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan.17 Gambar 1. Peta jalur migrasi ikan tuna sirip biru selatan 17 Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Convention of Southern Bluefin Tuna. 2007. DKP, hal 5 53 Gambar 2. Peta lokasi pengaturan RFMOs di dunia 4. Kerjasama Internasional dalam Penegakan Hukum Berdasarkan Pasal 20 UNIA, negara-negara yang menjadi anggota organisasi atau pengaturan internasional konservasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional memiliki kewajiban untuk bekerjasama berkaitan dengan upaya penegakan hukum. Setiap negara berkewajiban untuk memenuhi permintaan negara lain yang sedang melakukan penyelidikan atas pelanggaran terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Apabila terdapat sebuah negara yang sedang melaksanakan penyelidikan atas pelanggaran tersebut, maka negara lain harus berupaya memenuhi permintaan negara tersebut yang berkaitan dengan proses penyelidikan. Suatu negara dalam proses penyelidikan tersebut dapat melakukannya secara langsung, bekerjasama dengan negara lain yang berkaitan, maupun melalui 54 organisasi internasional atau pengaturan internasional pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait. Informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan dan hasil penyelidikan harus dapat disediakan untuk semua negara, baik negara yang berkepentingan maupun negara yang akan terpengaruh oleh hasil penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran tersebut.18 4.1. Kerjasama sub regional dan regional dalam penegakan hukum Demi menjamin penaatan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, suatu negara yang menjadi anggota pada organisasi atau pengaturan pengelolaan sub regional dan regional melalui inspektur yang berwenang dapat naik ke atas kapal dan memeriksa kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera negara lain di wilayah laut lepas yang dinaungi oleh suatu organisasi atau pengaturan perikanan sub regional dan regional. Prosedur untuk menaiki kapal perikanan yang diduga melakukan pelanggaran atas tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional dibuat oleh negara-negara melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan sub regional dan regional. Prosedur yang akan dibuat tidak membedakan antara negara anggota dan bukan anggota dari organisasi atau pengaturan sub regional dan regional. Negaranegara harus mengumumkan prosedur-prosedur yang telah disepakati kepada negara-negara yang kapal-kapalnya melakukan penangkapan ikan di laut lepas. 18 Naskah Akademik UNIA 1995 Pasal 20 55 Sebelum melakukan tindakan pemeriksaan kapal, baik langsung maupun melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, harus menginformasikan semua negara yang kapal-kapalnya melakukan kegiatan penangkapan ikan pada sub regional dan regional dalam bentuk identifikasi masalah kepada inspektur berwenang negara tersebut. Kapal yang akan digunakan untuk memeriksa kapal perikanan harus mempunyai tanda yang jelas, sehingga dapat teridentifikasi sebagai kapal pemerintah. Setelah menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan, apabila terdapat alasan yang cukup untuk menduga bahwa kapal tersebut melakukan pelanggaran terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan, negara yang memeriksa secepatnya melindungi bukti yang didapat dan menginformasikan negara bendera kapal tersebut. Negara bendera harus menanggapi informasi tersebut dalam jangka waktu 3 hari dalam 5 hari kerja setelah menerima informasi tersebut atau jangka waktu yang lain yang mungkin ditentukan dalam prosedur yang dibuat oleh negara-negara melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional. Negara bendera yang telah diinformasikan tersebut harus memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk melakukan penyelidikan dan mengambil tindakan hukum apabila terdapat bukti yang meyakinkan, kemudian memberikan wewenang kepada negara yang melakukan pemeriksaan untuk melakukan penyelidikan. Apabila negara bendera memberikan wewenang kepada negara yang melakukan pemeriksaan untuk melakukan penyelidikan, negara yang menerima wewenang tersebut harus memberitahukan hasil penyelidikannya tersebut kepada negara 56 bendera. Setelah negara bendera menerima hasil penyelidikan, maka negara bendera harus memenuhi kewajibannya untuk mengambil tindakan penegakan hukum. Sebagai alternatif, negara bendera juga dapat memberikan wewenang kepada negara yang melakukan penyelidikan untuk mengambil tindakan penegakan hukum yang telah ditentukan oleh negara bendera terhadap kapal perikanannya. Apabila negara yang memeriksa sebuah kapal perikanan yang telah cukup bukti melakukan pelanggaran serius dan negara bendera telah gagal menanggapi atau mengambil tindakan sebagaimana ditentukan di atas, maka inspektur yang memeriksa dapat tetap berada di atas kapal dan meminta nakhoda kapal tersebut untuk membantu penyelidikan lanjutan, bahkan apabila memungkinkan membawa kapal tersebut ke pelabuhan terdekat atau pelabuhan lain yang telah ditentukan dalam prosedur yang telah dibuat. Setelah sampai di pelabuhan, negara pemeriksa secepatnya menginformasikan negara bendera letak dan nama pelabuhan tersebut. Negara pemeriksa dan negara bendera, apabila memungkinkan negara pelabuhan harus menjamin kesejahteraan para anak buah kapal tanpa memandang kewarganegaraannya. Hasil penyelidikan negara pemeriksa harus diinformasikan kepada negara bendera dan organisasi yang terkait. Inspektur dari negara pemeriksa harus memperhatikan kesejahteraan para anak buah kapal dan mengurangi campur tangan dengan operasi penangkapan ikan serta menghindari tindakan yang akan merugikan hasil tangkapan di atas kapal. Negara pemeriksa harus menjamin bahwa menaiki dan pemeriksaan tidak dilaksanakan apabila mengganggu kapal perikanan. 57 Negara bendera dapat setiap saat mengambil tindakan untuk memenuhi kewajibannya mengenai penaatan dan penegakan hukum oleh negara bendera. Apabila kapal yang melakukan pelanggaran berada dalam pengarahan oleh negara pemeriksa, negara pemeriksa harus menyerahkan kapal tersebut kepada negara bendera dengan seluruh informasi dan hasil penyelidikannya, atas instruksi negara bendera. Apabila terdapat alasan yang memungkinkan untuk mencurigai bahwa sebuah kapal perikanan di laut lepas tanpa kebangsaan, suatu negara dapat menaiki dan memeriksa kapal tersebut. Bila bukti yang didapat memungkinkan, maka negara tersebut dapat mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan hukum internasional. Adapun pelanggaran serius yang diatur dalam Pasal 21 UNIA adalah: a) melakukan penangkapan ikan tanpa lisensi, otorisasi atau izin yang masih berlaku yang dikeluarkan oleh negara bendera sesuai dengan Pasal 18 ayat 3 (a); b) gagal untuk memelihara catatan-catatan yang akurat mengenai tangkapan dan data yang berkaitan dengan tangkapan, sebagaimana diminta atau dipersyaratkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait, atau salah pelaporan yang serius terhadap tangkapan, bertentangan dengan persyaratan-persyaratan pelaporan dari organisasi atau pengaturan tersebut; c) melakukan penangkapan ikan pada suatu wilayah yang tertutup, melakukan penangkapan ikan selama musim yang tertutup atau melakukan penangkapan ikan tanpa, atau setelah pencapaian dari, suatu kuota yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait; d) mengarahkan penangkapan ikan untuk suatu sediaan yang tunduk pada moratorium atau untuk mana kegiatan penangkapan ikan dilarang; e) menggunakan alat tangkap yang dilarang; f) memalsukan atau menyembunyikan tanda-tanda, identitas, atau pendaftaran dari kapal perikanan; g) menyembunyikan, merusak atau membuang bukti-bukti yang berkaitan dengan suatu penyelidikan; 58 h) melakukan pelanggaran yang berulang-ulang yang bersama-sama membentuk suatu pelanggaran yang serius terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan; atau i) pelanggaran-pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan dalam prosedur yang ditentukan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait.19 B. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian lautnya bersinggungan dengan laut lepas yang memiliki sumber daya perikanan yang potensial, khususnya sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Potensi tersebut harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan tetap memperhatikan upaya konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut, mengingat sediaan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi. 1. Status Perikanan Tuna dan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas (Straddling Fish Stocks) Dalam bahasan ini, ikan-ikan yang beruaya terbatas dalam artian melakukan ruaya antara dua wilayah yurisdiksi yang berbeda, secara fisik akan bergerak dari Indonesia ke wilayah negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia (Malaysia, Filipina, Brunei dan Australia) atau sebaliknya. Dari 22 spesies ikan kakap yang berada di Indonesia bagian timur, melalui genetic study baru terbukti hanya tiga spesies yang merupakan straddling fish stocks. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan suatu jenis ikan sebagai straddling fish stocks seyogyanya melalui suatu pengkajian terlebih dahulu karena ini akan berimplikasi terhadap pengelolaannya. Jenis-jenis ikan lain yang dikaji dengan Australia sehubungan 19 Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 21 ayat (11) 59 dengan straddling fish stocks management adalah cucut dan pari, dimana pada tahap pertama telah diidentifikasikan sekitar 200 spesies.20 2. Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks) Perairan Indonesia dan ZEE Indonesia (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) merupakan lintasan ikan-ikan yang beruaya jauh yang termasuk ke dalam kelompok Tuna Besar (large tuna) dan Paruh Panjang (bill fish). Jenis ikan yang termasuk Tuna Besar adalah: a). Madidihang/ Yellowfin Tuna/ Thunus Albacores; b). Mata Besar/ Big Eye/ Thunus Obesus; c). Albacora/ Albacore/ Thunus Alalunga; d). Tuna Sirip Biru Selatan/ Southern Bluefin Tuna/ Thunus Tonggol; e). Cakalang/ Skipjack/ Katsowonnus Pelamis Sedangkan yang termasuk kelompok Paruh Panjang adalah: a). Ikan Layaran/ Sail Fish/ Istiophonus Platypterus; b). Ikan Pedang/ Swordfish/ Xiphias Gladius; c). Setuhuk/ Marlin/ Makaria Spp; d). Setuhuk Loreng/ Stripped Marlin/ Tetrapturus Audaxs. 21 Pada umumnya ikan-ikan ini mempunyai umur yang relatif panjang, misalnya Big eye, Yellowfin, dan Skipjack memiliki usia hingga 5 sampai 6 tahun, bahkan Southern Bluefin Tuna dapat mencapai 40 tahun. Kehati-hatian perlu diberikan dalam pengelolaan sumber daya yang berumur panjang. Sumber daya ikan yang 20 21 Naskah Akademis Pengesahan UNIA 1995 hal 14 Naskah Akademis Pengesahan UNIA , ibid, hal 13 60 berumur panjang membutuhkan waktu recovery yang cukup lama apabila jenis ikan tersebut collapse. Selain merupakan lintasan perjalanan ikan-ikan yang beruaya jauh, perairan Indonesia juga merupakan tempat pemijahan, misalnya tempat pemijahan Southern Bluefin Tuna berada di Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa dan Bali. Indikasi menunjukkan bahwa baik di Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik tingkat tangkapan (catch rate/hook rate) terlihat lebih tinggi di laut lepas bila dibandingkan dengan yang di ZEE Indonesia dimana hal itu mendorong kapalkapal Indonesia menangkap ikan di laut lepas. Adapun tingkat pemanfaatan sumber daya highly migratory fish stocks ini secara global (Indonesia termasuk di dalamnya) sudah hampir jenuh dieksploitasi (nearly heavy exploited), hal ini ditandai dengan penurunan tingkat tangkapan, rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, serta daerah penangkapannya yang semakin jauh. 3. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia Ditinjau Dari Berbagai Aspek Melihat kondisi sumber daya perikanan dunia dewasa ini, dimana sumber daya perikanan, khususnya perikanan laut lepas yang semakin menurun dan posisi Indonesia sebagai negara yang bersinggungan dengan laut lepas, sudah saatnya Indonesia meratifikasi UNIA sebagai salah satu perjanjian yang mengatur mengenai konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Dalam pembahasan ini hanya akan dibatasi arti penting UNIA ditinjau dari aspek ekonomi, aspek hukum dan aspek upaya konservasi dan pengelolaan perikanan. 61 3.1. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Ekonomi Jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh dalam bermigrasi melintas di wilayah perairan Indonesia dan juga untuk tempat pemijahan bagi jenis tertentu, misalnya Southern Bluefin Tuna. Indonesia walaupun sebagai tempat pemijahan, tetapi tidak memiliki jatah tangkapan yang besar untuk jenis ikan tersebut karena belum meratifikasi UNIA. Apabila Indonesia meratifikasi UNIA, maka Indonesia akan mendapatkan alokasi sumber daya ikan untuk jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis-jenis ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional, sehingga akan sangat menguntungkan Indonesia. Alokasi tersebut memberikan Indonesia hak dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan laut lepas. Kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan laut lepas sangat berpengaruh pada usaha di bidang perikanan Indonesia. Usaha di bidang perikanan merupakan kegiatan yang salah satunya bergantung pada lahan usaha yang di dalamnya terkandung potensi sumber daya ikan (selanjutnya disingkat SDI). Oleh karenanya, tidak dapat dihindari dan bahkan suatu keharusan untuk melakukan kajian potensi SDI. Bahkan lebih dari itu kiranya dapat diungkap informasi yang jelas dan transparan tentang peluang usaha komoditas prospektif yang dapat dikembangkan untuk pasaran lokal maupun ekspor, yang sekaligus sebagai bahan informasi bagi calon investor. UNIA mengatur mengenai kerjasama dengan negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang tentunya akan sangat terbantu dengan kerjasama tersebut. Dengan meratifikasi UNIA, Indonesia akan memperoleh perlakuan 62 khusus sebagai negara berkembang, antara lain untuk mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah, dan bantuan pengawasan dan penegakan hukum. Selain itu Indonesia juga akan mendapatkan bantuan dana untuk penerapan UNIA, termasuk bantuan dana untuk penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi antara negara yang bersangkutan dan negara pihak lainnya.22 3.2. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Hukum Sesuai dengan Bagian VI tentang Penaatan dan Penegakan Hukum, apabila Indonesia meratifikasi UNIA maka Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera Indonesia yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas. Indonesia juga dapat bekerjasama dengan negara lain yang juga negara pihak UNIA dalam penaatan dan penegakan hukum. Indonesia dapat meminta bantuan kepada negara lain yang berkepentingan atau melalui organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional yang terkait dalam tindakan penyelidikan. Setiap negara yang dimintai bantuan tersebut berkewajiban untuk membantu. Kewenangan yang diberikan terhadap negara pihak UNIA tersebut tentunya akan memberikan kekuatan hukum bagi Indonesia dalam upaya pencegahan pelanggaran tindakan konservasi. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dimana 2/3 wilayahnya merupakan laut yang didalamnya terdapat sumberdaya alam hayati yang melimpah, sudah 22 Daftar Inventarisasi Masalah Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang RI Tentang Pengesahan UNIA. Draft Hasil Pembahasan Tgl 20 Februari 2009. DKP. 63 seharusnya instrumen internasional yang telah ada dirumuskan oleh Indonesia, sehingga Indonesia dapat turut berperan serta. Akan sangat rugi apabila Indonesia tidak berpartisipasi ke dalam peraturan-peraturan internasional tentang laut lepas yang telah ada. Apalagi banyak spesies ikan ekonomis yang berada dalam wilayah laut Indonesia. Ratifikasi juga ditujukan agar pengelolaan dan konservasi dapat dilakukan dengan lebih baik agar sumber daya alam hayatinya dapat tetap terjaga dengan baik. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (selanjutnya disebut UU Perikanan) yang dimiliki Indonesia saat ini sudah cukup menunjukkan bahwa Indonesia sangat memperhatikan kondisi sumber daya perikanan saat ini dan mendukung upaya konservasi dan pengelolaan perikanan untuk menjaga sumber daya tersebut dari kepunahan. Ratifikasi UNIA yang fokus terhadap konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dapat memantapkan kebijakan pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan secara melanggar hukum di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia oleh kapal-kapal perikanan asing, dan membuka kesempatan bagi kapal perikanan Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas. Walaupun Indonesia belum meratifikasi UNIA, tetapi pada dasarnya ketentuanketentuan dalam UU Perikanan menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari ketentuan konservasi dan pengelolaan dalam UNIA. Ada beberapa ketentuan dalam UU Perikanan yang sesuai dan sejalan dengan UNIA, karena UU Perikanan juga mencakup mengenai kegiatan perikanan di laut lepas seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) UU Perikanan telah dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan di laut lepas diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, 64 persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Pasal tersebut membuktikan bahwa Indonesia telah melakukan penyesuaian terhadap instrumen-instrumen peraturan internasional mengenai hukum laut, khususnya laut lepas. Azas dan tujuan UU Perikanan adalah salah satu bagian yang secara jelas telah sesuai dengan UNIA. Azas pengelolaan perikanan Indonesia ada dalam Pasal 2, yaitu berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan pengelolaan perikanan Indonesia tercantum dalam Pasal 3, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil; Meningkatkan penerimaan dan devisa negara; Mendorong perluasan dan kesempatan kerja; Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing; Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal;dan 9. Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.23 Selain itu masih ada beberapa pasal dalam UU Perikanan yang mendapat pengaruh dari UNIA, antara lain: 1. Pasal 8 UU Perikanan mengenai larangan penggunaan bahan peledak, bahan kimia ataupun cara-cara yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sesuai dengan prinsip umum UNIA dalam Pasal 1. 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Pasal 3 65 2. Ketentuan dalam UNIA mengenai kewajiban negara untuk menyesuaikan tindakan konservasi dan pengelolaan dengan yang terdapat dalam Konvensi telah diterapkan UU Perikanan dalam Pasal 9 (larangan memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat di kapal perikanan yang melanggar peraturan), Pasal 14 (pengaturan dan/atau pengembangan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan), Pasal 23 (larangan penggunaan alat yang membahayakan manusia atau lingkungan), dan Pasal 52 (penelitian dan pengembangan perikanan). 3. Pengembangan sistem informasi dan data statistik perikanan dalam Pasal 46 UU Perikanan didasarkan pada Pasal 6 UNIA tentang pendekatan kehati-hatian. 4. Ketentuan dalam UNIA mengenai kerjasama internasional untuk konservasi dan pengelolaan (Pasal 8), fungsi-fungsi organisasi atau pengelolaan pengelolaan perikanan sub regional dan regional (Pasal 10), transparansi kegiatan organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional (Pasal 12), kewajiban-kewajiban negara bendera (Pasal 18), penaatan dan penegakan hukum oleh negara bendera (Pasal 19), dan kerjasama internasional dalam penegakan hukum (Pasal 20), mekanismenya telah diatur dalam Pasal 10 UU Perikanan mengenai kerjasama internasional. 5. Transparansi kegiatan yang dilakukan oleh negara seperti diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) merupakan penerapan dari Pasal 12 UNIA tentang transparansi kegiatan. 66 6. Kewajiban-kewajiban negara bendera yang diatur dalam Pasal 18 UNIA juga sejalan dengan ketentuan dalam UU Perikanan, tetapi diatur secara terpisah dalam Pasal 9, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 28, Pasal 31, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 47. 7. Prosedur dasar pemeriksaan kapal dan pengejaran yang ada dalam Pasal 22 UNIA memang telah diterapkan dalam UU Perikanan, tetapi dalam UU Perikanan hanya ada kewenangan dari petugas penyidik dalam Bab XIV tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Sidang Pengadilan Perikanan, tetapi tidak ada kewaiban seperti yang terdapat dalam UNIA. Ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas dalam UU Perikanan tidak seluruhnya sesuai dengan ketentuan dalam UNIA masih terdapat kekurangan-kekurangan yang harus segera dibenahi dalam rangka ikut serta aktif dalam mengelola perikanan laut lepas secara lebih profesional dan bertanggung jawab. Pengaturan pengelolaan perikanan di laut lepas dalam peraturan perundangundangan di Indonesia yang mendapat pengaruh dari UNIA selain UU Perikanan antara lain: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 Tentang Usaha Perikanan. Dalam Penjelasan Umum disebutkan bahwa walaupun sumberdaya ikan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kesejahteraan rakyat, namun demikian dalam memanfaatkan sumberdaya ikan harus senantiasa menjaga kelestariannya sehingga dapat memberi manfaat secara terus menerus dan lestari. Salah satu cara untuk menjaga 67 kelestarian sumberdaya ikan dilakukan melalui perizinan baik bagi perusahaan perikanan Indonesia maupun perusahaan perikanan asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEE Indonesia. 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap. Dalam Pasal 6, dijelaskan bahwa setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan melakukan kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (selanjutnya disingkat WPP) Indonesia wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (selanjutnya disingkat SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (selanjutnya disingkat SIPI). Dalam Pasal 7, dijelaskan bahwa orang atau badan hukum yang akan melakukan kegiatan usaha perikanan di laut lepas wajib memiliki SIUP, SIPI, Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (selanjutnya disingkat SIKPI), dan pemberiannya memperhatikan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Dalam Pasal 8, dijelaskan bahwa kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan yang melakukan kegiatan di WPP Indonesia harus mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang telah ditetapkan dalam SIPI dan/atau SIKPI. Khusus bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dapat menitipkan ikan ke kapal penangkap ikan lainnya berbendera Indonesia atau ke kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia dalam satu kesatuan manajemen usaha termasuk yang dilakukan melalui kerjasama usaha, dan didaratkan di pelabuhan pangkalan di Indonesia. Dalam Pasal 11, dijelaskan bahwa kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia dapat melakukan pengangkutan ikan dari pelabuhan yang satu ke pelabuhan yang lain 68 sebagaimana tercantum dalam SIKPI dan/atau dari sentra-sentra kegiatan nelayan ke pelabuhan dan/atau dari pelabuhan dalam negeri ke luar negeri. Dalam Pasal 50, dijelaskan bahwa setiap orang atau badan hukum asing dapat menanamkan modalnya pada perusahaan Indonesia yang menggunakan fasilitas Penanaman Modal Dalam Negeri (selanjutnya disingkat PMDN) Dalam Pasal 61, dijelaskan bahwa ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam rangka Penanaman Modal Asing (selanjutnya disingkat PMA) dan PMDN wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI dan/atau SIKPI 3. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Perikanan seperti diamanatkan dalam Pasal 13 ayat (2) mengenai konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Peraturan Pemerintah ini merupakan amanat dari UU Perikanan Pasal 56 mengenai penyelenggaraan penelitian dan pengembangan perikanan yang diatur dalam Bab VIII Pasal 52 sampai Pasal 55. 3.3. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Upaya Konservasi dan Pengelolaan Perikanan Sumber daya hayati laut, meskipun bersifat dapat diperbaharui, namun kemampuan untuk pulihnya bersifat terbatas. Pemanfaatan sumber daya hayati laut yang tidak terkendali dapat berdampak pada menurunnya populasi sumber 69 daya. Apabila tidak segera direhabilitasi, pada gilirannya sumber daya tersebut akan menjadi kritis dan akhirnya akan terjadi kelangkaan spesies. Keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi UNIA antara lain untuk meningkatkan upaya perlindungan dan konservasi sumber daya ikan, baik di ZEEI maupun di laut lepas, selain itu juga untuk mengurangi pencurian ikan di wilayah ZEEI Indonesia, di lain pihak Indonesia juga bertanggung jawab atas panangkapan ikan oleh kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera Indonesia di laut lepas. Dalam mencapai upaya konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, negara-negara pihak UNIA akan mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan tepat waktu, melalui mekanisme pertukaran data dan informasi. Sebagai negara berkembang, Indonesia akan dapat bekerjasama dengan negara lain untuk meningkatkan kemampuan dalam upaya melindungi dan mengelola sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan juga untuk mengembangkan perikanan Indonesia, khususnya untuk sediaan tersebut.24 24 Naskah Terjemahan UNIA 1995 Pasal 25 ayat (1) V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan dalam Bab IV, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Berdasarkan UNIA, tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh mewajibkan negaranegara yang terkait untuk menerapkan prinsip pendekatan kehati-hatian, agar dapat diketahui tindakan yang tepat berdasarkan kondisi sumber daya perikanan di suatu wilayah tertentu. Negara-negara yang melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas diwajibkan untuk saling bekerjasama. Kerjasama tersebut diamanatkan dalam bentuk organisasi konservasi dan pengelolaan perikanan sub regional dan regional. Organisasi konservasi dan pengelolaan perikanan regional disebut dengan Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Saat ini telah terbentuk beberapa RFMOs yang wilayah pengaturannya mencakup wilayah Indonesia antara lain Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). 71 2. Arti penting UNIA bagi Indonesia dapat ditinjau dari aspek ekonomi, aspek hukum, dan aspek upaya konservasi dan pengelolaan perikanan. Ditinjau dari aspek ekonomi, apabila Indonesia meratifikasi UNIA, Indonesia akan memperoleh alokasi sumber daya jenis ikan yang beruaya terbatas dan ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional. Sebagai negara berkembang, Indonesia akan mendapat perlakuan khusus, antara lain untuk mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah dan bantuan pengawasan dan penegakan hukum. Dari aspek hukum, ratifikasi UNIA dapat memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam upaya memberantas penangkapan ikan secara melanggar hukum. Peraturan perundang-undangan Indonesia banyak yang telah mendapat pengaruh dari UNIA, sehingga peraturan pengelolaan di Indonesia akan semakin baik. Dari aspek upaya konservasi dan pengelolaan perikanan, Indonesia akan mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan tepat waktu, melalui mekanisme pertukaran data dan informasi. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyampaikan beberapa pendapat yang dapat dijadikan masukan serta pertimbangan, yaitu: 1. Konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan, khususnya sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh menjadi hal yang sangat penting dan mendesak saat ini. Indonesia sebagai negara yang menjadi lintasan migrasi sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, harus secepatnya meratifikasi UNIA agar 72 Indonesia dapat memanfaatkan sediaan tersebut secara maksimal tanpa melupakan tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional. 2. Indonesia harus menerapkan pengaturan konservasi dan pengelolaan perikanan laut lepas yang terdapat dalam UNIA ke dalam peraturanperaturan pengelolaan perikanan nasional. 3. Indonesia turut serta sebagai anggota dan berperan aktif dalam organisasi dan pengaturan perikanan sub regional dan regional yang ada. DAFTAR PUSTAKA Literatur Bowett, D.W, Q.C.LL.D.1995. Hukum Organisasi Internasional.Cet. Kedua.Sinar Grafika, Jakarta Fauzi, A., dan Suzi Anna. 2008. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan, P.T Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Kusumaatmadja, Mochtar.1982. Pengantar Hukum Internasional. Cet. Keempat Binacipta,Bandung __________. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Alumni Bandung __________ dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Alumni, Bandung. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional. 2005. Jurnal Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung Syahmin, A.K, S.H.1985. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969).C.V. AMRICO,Bandung. ______.1985. Pokok-pokok Palembang. Hukum Organisasi Internasional.Bina Cipta, Tahar, Abdul Muthalib. 2007. Zona-zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia. Buku Ajar. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung. Perjanjian Internasional Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission. 2003 Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean. 2000. The Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 Naskah Akademis Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UNIA I995). Departemen Kelautan dan Perikanan. Naskah Terjemahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UNIA). Departemen Kelautan dan Perikanan. Naskah Akademik Penerimaan (Acceptance) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993. Departemen Kelautan dan Perikanan. Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Hasil Seminar Makalah seminar “Pengaturan Perikanan di Laut Lepas dan Pengaruhnya Terhadap Kebijakan Perikanan Indonesia” pada bulan Maret Tahun 2007 di Hotel Transit 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. Hasil Rapat Urgensi dan Konsekuensi Pengesahan UNIA 1995, Departemen Kelautan dan Perikanan. Tahun 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan. Daftar Inventarisasi Masalah Penjelasan Atas Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pengesahan UNIA. Draft Hasil Pembahasan Tgl 20 Februari 2009. Departeman Kelautan dan Perikanan. Pustaka Online http//www.dkp.go.id.. Diakses pada tanggal 18 oktober 2008 http://www.sdi.dkp.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=18. Diakses pada tanggal 26 April 2009 http://www.ccsbt.org/. Diakses pada tanggal 1 Mei 2009. http://www.google.com/.ratifikasi/panmohamadfaiz.html LAMPIRAN UNITED NATIONS A General Assembly Distr. GENERAL A/CONF.164/37 8 September 1995 ORIGINAL: ENGLISH UNITED NATIONS CONFERENCE ON STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS Sixth session New York, 24 July-4 August 1995 AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS 95-27467S (E) 271095 /... A/CONF.164/37 English Page 2 AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS The States Parties to this Agreement, Recalling the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982, Determined to ensure the long-term conservation and sustainable use of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, Resolved to improve cooperation between States to that end, Calling for more effective enforcement by flag States, port States and coastal States of the conservation and management measures adopted for such stocks, Seeking to address in particular the problems identified in chapter 17, programme area C, of Agenda 21 adopted by the United Nations Conference on Environment and Development, namely, that the management of high seas fisheries is inadequate in many areas and that some resources are overutilized; noting that there are problems of unregulated fishing, over-capitalization, excessive fleet size, vessel reflagging to escape controls, insufficiently selective gear, unreliable databases and lack of sufficient cooperation between States, Committing themselves to responsible fisheries, Conscious of the need to avoid adverse impacts on the marine environment, preserve biodiversity, maintain the integrity of marine ecosystems and minimize the risk of long-term or irreversible effects of fishing operations, Recognizing the need for specific assistance, including financial, scientific and technological assistance, in order that developing States can participate effectively in the conservation, management and sustainable use of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, Convinced that an agreement for the implementation of the relevant provisions of the Convention would best serve these purposes and contribute to the maintenance of international peace and security, Affirming that matters not regulated by the Convention or by this Agreement continue to be governed by the rules and principles of general international law, Have agreed as follows: /... A/CONF.164/37 English Page 3 PART I GENERAL PROVISIONS Article 1 Use of terms and scope 1. For the purposes of this Agreement: (a) "Convention" means the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982; (b) "conservation and management measures" means measures to conserve and manage one or more species of living marine resources that are adopted and applied consistent with the relevant rules of international law as reflected in the Convention and this Agreement; (c) "fish" includes molluscs and crustaceans except those belonging to sedentary species as defined in article 77 of the Convention; and (d) "arrangement" means a cooperative mechanism established in accordance with the Convention and this Agreement by two or more States for the purpose, inter alia, of establishing conservation and management measures in a subregion or region for one or more straddling fish stocks or highly migratory fish stocks. 2. (a) "States Parties" means States which have consented to be bound by this Agreement and for which the Agreement is in force. (b) This Agreement applies mutatis mutandis: (i) to any entity referred to in article 305, paragraph 1 (c), (d) and (e), of the Convention and (ii) subject to article 47, to any entity referred to as an "international organization" in Annex IX, article 1, of the Convention which becomes a Party to this Agreement, and to that extent "States Parties" refers to those entities. 3. This Agreement applies mutatis mutandis to other fishing entities whose vessels fish on the high seas. /... A/CONF.164/37 English Page 4 Article 2 Objective The objective of this Agreement is to ensure the long-term conservation and sustainable use of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks through effective implementation of the relevant provisions of the Convention. Article 3 Application 1. Unless otherwise provided, this Agreement applies to the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks beyond areas under national jurisdiction, except that articles 6 and 7 apply also to the conservation and management of such stocks within areas under national jurisdiction, subject to the different legal regimes that apply within areas under national jurisdiction and in areas beyond national jurisdiction as provided for in the Convention. 2. In the exercise of its sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing straddling fish stocks and highly migratory fish stocks within areas under national jurisdiction, the coastal State shall apply mutatis mutandis the general principles enumerated in article 5. 3. States shall give due consideration to the respective capacities of developing States to apply articles 5, 6 and 7 within areas under national jurisdiction and their need for assistance as provided for in this Agreement. To this end, Part VII applies mutatis mutandis in respect of areas under national jurisdiction. Article 4 Relationship between this Agreement and the Convention Nothing in this Agreement shall prejudice the rights, jurisdiction and duties of States under the Convention. This Agreement shall be interpreted and applied in the context of and in a manner consistent with the Convention. /... A/CONF.164/37 English Page 5 PART II CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS Article 5 General principles In order to conserve and manage straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, coastal States and States fishing on the high seas shall, in giving effect to their duty to cooperate in accordance with the Convention: (a) adopt measures to ensure long-term sustainability of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and promote the objective of their optimum utilization; (b) ensure that such measures are based on the best scientific evidence available and are designed to maintain or restore stocks at levels capable of producing maximum sustainable yield, as qualified by relevant environmental and economic factors, including the special requirements of developing States, and taking into account fishing patterns, the interdependence of stocks and any generally recommended international minimum standards, whether subregional, regional or global; (c) apply the precautionary approach in accordance with article 6; (d) assess the impacts of fishing, other human activities and environmental factors on target stocks and species belonging to the same ecosystem or associated with or dependent upon the target stocks; (e) adopt, where necessary, conservation and management measures for species belonging to the same ecosystem or associated with or dependent upon the target stocks, with a view to maintaining or restoring populations of such species above levels at which their reproduction may become seriously threatened; (f) minimize pollution, waste, discards, catch by lost or abandoned gear, catch of non-target species, both fish and non-fish species, (hereinafter referred to as non-target species) and impacts on associated or dependent species, in particular endangered species, through measures including, to the extent practicable, the development and use of selective, environmentally safe and cost-effective fishing gear and techniques; (g) protect biodiversity in the marine environment; (h) take measures to prevent or eliminate overfishing and excess fishing capacity and to ensure that levels of fishing effort do not exceed those commensurate with the sustainable use of fishery resources; (i) take into account the interests of artisanal and subsistence fishers; /... A/CONF.164/37 English Page 6 (j) collect and share, in a timely manner, complete and accurate data concerning fishing activities on, inter alia, vessel position, catch of target and non-target species and fishing effort, as set out in Annex I, as well as information from national and international research programmes; (k) promote and conduct scientific research and develop appropriate technologies in support of fishery conservation and management; and (l) implement and enforce conservation and management measures through effective monitoring, control and surveillance. Article 6 Application of the precautionary approach 1. States shall apply the precautionary approach widely to conservation, management and exploitation of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks in order to protect the living marine resources and preserve the marine environment. 2. States shall be more cautious when information is uncertain, unreliable or inadequate. The absence of adequate scientific information shall not be used as a reason for postponing or failing to take conservation and management measures. 3. In implementing the precautionary approach, States shall: (a) improve decision-making for fishery resource conservation and management by obtaining and sharing the best scientific information available and implementing improved techniques for dealing with risk and uncertainty; (b) apply the guidelines set out in Annex II and determine, on the basis of the best scientific information available, stock-specific reference points and the action to be taken if they are exceeded; (c) take into account, inter alia, uncertainties relating to the size and productivity of the stocks, reference points, stock condition in relation to such reference points, levels and distribution of fishing mortality and the impact of fishing activities on non-target and associated or dependent species, as well as existing and predicted oceanic, environmental and socio-economic conditions; and (d) develop data collection and research programmes to assess the impact of fishing on non-target and associated or dependent species and their environment, and adopt plans which are necessary to ensure the conservation of such species and to protect habitats of special concern. 4. States shall take measures to ensure that, when reference points are approached, they will not be exceeded. In the event that they are exceeded, States shall, without delay, take the action determined under paragraph 3 (b) to restore the stocks. /... A/CONF.164/37 English Page 7 5. Where the status of target stocks or non-target or associated or dependent species is of concern, States shall subject such stocks and species to enhanced monitoring in order to review their status and the efficacy of conservation and management measures. They shall revise those measures regularly in the light of new information. 6. For new or exploratory fisheries, States shall adopt as soon as possible cautious conservation and management measures, including, inter alia, catch limits and effort limits. Such measures shall remain in force until there are sufficient data to allow assessment of the impact of the fisheries on the long-term sustainability of the stocks, whereupon conservation and management measures based on that assessment shall be implemented. The latter measures shall, if appropriate, allow for the gradual development of the fisheries. 7. If a natural phenomenon has a significant adverse impact on the status of straddling fish stocks or highly migratory fish stocks, States shall adopt conservation and management measures on an emergency basis to ensure that fishing activity does not exacerbate such adverse impact. States shall also adopt such measures on an emergency basis where fishing activity presents a serious threat to the sustainability of such stocks. Measures taken on an emergency basis shall be temporary and shall be based on the best scientific evidence available. Article 7 Compatibility of conservation and management measures 1. Without prejudice to the sovereign rights of coastal States for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the living marine resources within areas under national jurisdiction as provided for in the Convention, and the right of all States for their nationals to engage in fishing on the high seas in accordance with the Convention: (a) with respect to straddling fish stocks, the relevant coastal States and the States whose nationals fish for such stocks in the adjacent high seas area shall seek, either directly or through the appropriate mechanisms for cooperation provided for in Part III, to agree upon the measures necessary for the conservation of these stocks in the adjacent high seas area; (b) with respect to highly migratory fish stocks, the relevant coastal States and other States whose nationals fish for such stocks in the region shall cooperate, either directly or through the appropriate mechanisms for cooperation provided for in Part III, with a view to ensuring conservation and promoting the objective of optimum utilization of such stocks throughout the region, both within and beyond the areas under national jurisdiction. 2. Conservation and management measures established for the high seas and those adopted for areas under national jurisdiction shall be compatible in order to ensure conservation and management of the straddling fish stocks and highly migratory fish stocks in their entirety. To this end, coastal States and States fishing on the high seas have a duty to cooperate for the purpose of achieving /... A/CONF.164/37 English Page 8 compatible measures in respect of such stocks. In determining compatible conservation and management measures, States shall: (a) take into account the conservation and management measures adopted and applied in accordance with article 61 of the Convention in respect of the same stocks by coastal States within areas under national jurisdiction and ensure that measures established in respect of such stocks for the high seas do not undermine the effectiveness of such measures; (b) take into account previously agreed measures established and applied for the high seas in accordance with the Convention in respect of the same stocks by relevant coastal States and States fishing on the high seas; (c) take into account previously agreed measures established and applied in accordance with the Convention in respect of the same stocks by a subregional or regional fisheries management organization or arrangement; (d) take into account the biological unity and other biological characteristics of the stocks and the relationships between the distribution of the stocks, the fisheries and the geographical particularities of the region concerned, including the extent to which the stocks occur and are fished in areas under national jurisdiction; (e) take into account the respective dependence of the coastal States and the States fishing on the high seas on the stocks concerned; and (f) ensure that such measures do not result in harmful impact on the living marine resources as a whole. 3. In giving effect to their duty to cooperate, States shall make every effort to agree on compatible conservation and management measures within a reasonable period of time. 4. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, any of the States concerned may invoke the procedures for the settlement of disputes provided for in Part VIII. 5. Pending agreement on compatible conservation and management measures, the States concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature. In the event that they are unable to agree on such arrangements, any of the States concerned may, for the purpose of obtaining provisional measures, submit the dispute to a court or tribunal in accordance with the procedures for the settlement of disputes provided for in Part VIII. 6. Provisional arrangements or measures entered into or prescribed pursuant to paragraph 5 shall take into account the provisions of this Part, shall have due regard to the rights and obligations of all States concerned, shall not jeopardize or hamper the reaching of final agreement on compatible conservation and management measures and shall be without prejudice to the final outcome of any dispute settlement procedure. /... A/CONF.164/37 English Page 9 7. Coastal States shall regularly inform States fishing on the high seas in the subregion or region, either directly or through appropriate subregional or regional fisheries management organizations or arrangements, or through other appropriate means, of the measures they have adopted for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks within areas under their national jurisdiction. 8. States fishing on the high seas shall regularly inform other interested States, either directly or through appropriate subregional or regional fisheries management organizations or arrangements, or through other appropriate means, of the measures they have adopted for regulating the activities of vessels flying their flag which fish for such stocks on the high seas. PART III MECHANISMS FOR INTERNATIONAL COOPERATION CONCERNING STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS Article 8 Cooperation for conservation and management 1. Coastal States and States fishing on the high seas shall, in accordance with the Convention, pursue cooperation in relation to straddling fish stocks and highly migratory fish stocks either directly or through appropriate subregional or regional fisheries management organizations or arrangements, taking into account the specific characteristics of the subregion or region, to ensure effective conservation and management of such stocks. 2. States shall enter into consultations in good faith and without delay, particularly where there is evidence that the straddling fish stocks and highly migratory fish stocks concerned may be under threat of over-exploitation or where a new fishery is being developed for such stocks. To this end, consultations may be initiated at the request of any interested State with a view to establishing appropriate arrangements to ensure conservation and management of the stocks. Pending agreement on such arrangements, States shall observe the provisions of this Agreement and shall act in good faith and with due regard to the rights, interests and duties of other States. 3. Where a subregional or regional fisheries management organization or arrangement has the competence to establish conservation and management measures for particular straddling fish stocks or highly migratory fish stocks, States fishing for the stocks on the high seas and relevant coastal States shall give effect to their duty to cooperate by becoming members of such organization or participants in such arrangement, or by agreeing to apply the conservation and management measures established by such organization or arrangement. States having a real interest in the fisheries concerned may become members of such organization or participants in such arrangement. The terms of participation in such organization or arrangement shall not preclude such States from membership or participation; nor shall they be applied in a manner which discriminates against any State or group of States having a real interest in the fisheries concerned. /... A/CONF.164/37 English Page 10 4. Only those States which are members of such an organization or participants in such an arrangement, or which agree to apply the conservation and management measures established by such organization or arrangement, shall have access to the fishery resources to which those measures apply. 5. Where there is no subregional or regional fisheries management organization or arrangement to establish conservation and management measures for a particular straddling fish stock or highly migratory fish stock, relevant coastal States and States fishing on the high seas for such stock in the subregion or region shall cooperate to establish such an organization or enter into other appropriate arrangements to ensure conservation and management of such stock and shall participate in the work of the organization or arrangement. 6. Any State intending to propose that action be taken by an intergovernmental organization having competence with respect to living resources should, where such action would have a significant effect on conservation and management measures already established by a competent subregional or regional fisheries management organization or arrangement, consult through that organization or arrangement with its members or participants. To the extent practicable, such consultation should take place prior to the submission of the proposal to the intergovernmental organization. Article 9 Subregional and regional fisheries management organizations and arrangements 1. In establishing subregional or regional fisheries management organizations or in entering into subregional or regional fisheries management arrangements for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, States shall agree, inter alia, on: (a) the stocks to which conservation and management measures apply, taking into account the biological characteristics of the stocks concerned and the nature of the fisheries involved; (b) the area of application, taking into account article 7, paragraph 1, and the characteristics of the subregion or region, including socio-economic, geographical and environmental factors; (c) the relationship between the work of the new organization or arrangement and the role, objectives and operations of any relevant existing fisheries management organizations or arrangements; and (d) the mechanisms by which the organization or arrangement will obtain scientific advice and review the status of the stocks, including, where appropriate, the establishment of a scientific advisory body. 2. States cooperating in the formation of a subregional or regional fisheries management organization or arrangement shall inform other States which they are /... A/CONF.164/37 English Page 11 aware have a real interest in the work of the proposed organization or arrangement of such cooperation. Article 10 Functions of subregional and regional fisheries management organizations and arrangements In fulfilling their obligation to cooperate through subregional or regional fisheries management organizations or arrangements, States shall: (a) agree on and comply with conservation and management measures to ensure the long-term sustainability of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks; (b) agree, as appropriate, on participatory rights such as allocations of allowable catch or levels of fishing effort; (c) adopt and apply any generally recommended international minimum standards for the responsible conduct of fishing operations; (d) obtain and evaluate scientific advice, review the status of the stocks and assess the impact of fishing on non-target and associated or dependent species; (e) agree on standards for collection, reporting, verification and exchange of data on fisheries for the stocks; (f) compile and disseminate accurate and complete statistical data, as described in Annex I, to ensure that the best scientific evidence is available, while maintaining confidentiality where appropriate; (g) promote and conduct scientific assessments of the stocks and relevant research and disseminate the results thereof; (h) establish appropriate cooperative mechanisms for effective monitoring, control, surveillance and enforcement; (i) agree on means by which the fishing interests of new members of the organization or new participants in the arrangement will be accommodated; (j) agree on decision-making procedures which facilitate the adoption of conservation and management measures in a timely and effective manner; (k) promote the peaceful settlement of disputes in accordance with Part VIII; (l) ensure the full cooperation of their relevant national agencies and industries in implementing the recommendations and decisions of the organization or arrangement; and /... A/CONF.164/37 English Page 12 (m) give due publicity to the conservation and management measures established by the organization or arrangement. Article 11 New members or participants In determining the nature and extent of participatory rights for new members of a subregional or regional fisheries management organization, or for new participants in a subregional or regional fisheries management arrangement, States shall take into account, inter alia: (a) the status of the straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and the existing level of fishing effort in the fishery; (b) the respective interests, fishing patterns and fishing practices of new and existing members or participants; (c) the respective contributions of new and existing members or participants to conservation and management of the stocks, to the collection and provision of accurate data and to the conduct of scientific research on the stocks; (d) the needs of coastal fishing communities which are dependent mainly on fishing for the stocks; (e) the needs of coastal States whose economies are overwhelmingly dependent on the exploitation of living marine resources; and (f) the interests of developing States from the subregion or region in whose areas of national jurisdiction the stocks also occur. Article 12 Transparency in activities of subregional and regional fisheries management organizations and arrangements 1. States shall provide for transparency in the decision-making process and other activities of subregional and regional fisheries management organizations and arrangements. 2. Representatives from other intergovernmental organizations and representatives from non-governmental organizations concerned with straddling fish stocks and highly migratory fish stocks shall be afforded the opportunity to take part in meetings of subregional and regional fisheries management organizations and arrangements as observers or otherwise, as appropriate, in accordance with the procedures of the organization or arrangement concerned. Such procedures shall not be unduly restrictive in this respect. Such intergovernmental organizations and non-governmental organizations shall have /... A/CONF.164/37 English Page 13 timely access to the records and reports of such organizations and arrangements, subject to the procedural rules on access to them. Article 13 Strengthening of existing organizations and arrangements States shall cooperate to strengthen existing subregional and regional fisheries management organizations and arrangements in order to improve their effectiveness in establishing and implementing conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. Article 14 Collection and provision of information and cooperation in scientific research 1. States shall ensure that fishing vessels flying their flag provide such information as may be necessary in order to fulfil their obligations under this Agreement. To this end, States shall in accordance with Annex I: (a) collect and exchange scientific, technical and statistical data with respect to fisheries for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks; (b) ensure that data are collected in sufficient detail to facilitate effective stock assessment and are provided in a timely manner to fulfil the requirements of subregional or regional fisheries management organizations or arrangements; and (c) take appropriate measures to verify the accuracy of such data. 2. States shall cooperate, either directly or through subregional or regional fisheries management organizations or arrangements: (a) to agree on the specification of data and the format in which they are to be provided to such organizations or arrangements, taking into account the nature of the stocks and the fisheries for those stocks; and (b) to develop and share analytical techniques and stock assessment methodologies to improve measures for the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. 3. Consistent with Part XIII of the Convention, States shall cooperate, either directly or through competent international organizations, to strengthen scientific research capacity in the field of fisheries and promote scientific research related to the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks for the benefit of all. To this end, a State or the competent international organization conducting such research beyond areas under national jurisdiction shall actively promote the publication and /... A/CONF.164/37 English Page 14 dissemination to any interested States of the results of that research and information relating to its objectives and methods and, to the extent practicable, shall facilitate the participation of scientists from those States in such research. Article 15 Enclosed and semi-enclosed seas In implementing this Agreement in an enclosed or semi-enclosed sea, States shall take into account the natural characteristics of that sea and shall also act in a manner consistent with Part IX of the Convention and other relevant provisions thereof. Article 16 Areas of high seas surrounded entirely by an area under the national jurisdiction of a single State 1. States fishing for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks in an area of the high seas surrounded entirely by an area under the national jurisdiction of a single State and the latter State shall cooperate to establish conservation and management measures in respect of those stocks in the high seas area. Having regard to the natural characteristics of the area, States shall pay special attention to the establishment of compatible conservation and management measures for such stocks pursuant to article 7. Measures taken in respect of the high seas shall take into account the rights, duties and interests of the coastal State under the Convention, shall be based on the best scientific evidence available and shall also take into account any conservation and management measures adopted and applied in respect of the same stocks in accordance with article 61 of the Convention by the coastal State in the area under national jurisdiction. States shall also agree on measures for monitoring, control, surveillance and enforcement to ensure compliance with the conservation and management measures in respect of the high seas. 2. Pursuant to article 8, States shall act in good faith and make every effort to agree without delay on conservation and management measures to be applied in the carrying out of fishing operations in the area referred to in paragraph 1. If, within a reasonable period of time, the fishing States concerned and the coastal State are unable to agree on such measures, they shall, having regard to paragraph 1, apply article 7, paragraphs 4, 5 and 6, relating to provisional arrangements or measures. Pending the establishment of such provisional arrangements or measures, the States concerned shall take measures in respect of vessels flying their flag in order that they not engage in fisheries which could undermine the stocks concerned. /... A/CONF.164/37 English Page 15 PART IV NON-MEMBERS AND NON-PARTICIPANTS Article 17 Non-members of organizations and non-participants in arrangements 1. A State which is not a member of a subregional or regional fisheries management organization or is not a participant in a subregional or regional fisheries management arrangement, and which does not otherwise agree to apply the conservation and management measures established by such organization or arrangement, is not discharged from the obligation to cooperate, in accordance with the Convention and this Agreement, in the conservation and management of the relevant straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. 2. Such State shall not authorize vessels flying its flag to engage in fishing operations for the straddling fish stocks or highly migratory fish stocks which are subject to the conservation and management measures established by such organization or arrangement. 3. States which are members of a subregional or regional fisheries management organization or participants in a subregional or regional fisheries management arrangement shall, individually or jointly, request the fishing entities referred to in article 1, paragraph 3, which have fishing vessels in the relevant area to cooperate fully with such organization or arrangement in implementing the conservation and management measures it has established, with a view to having such measures applied de facto as extensively as possible to fishing activities in the relevant area. Such fishing entities shall enjoy benefits from participation in the fishery commensurate with their commitment to comply with conservation and management measures in respect of the stocks. 4. States which are members of such organization or participants in such arrangement shall exchange information with respect to the activities of fishing vessels flying the flags of States which are neither members of the organization nor participants in the arrangement and which are engaged in fishing operations for the relevant stocks. They shall take measures consistent with this Agreement and international law to deter activities of such vessels which undermine the effectiveness of subregional or regional conservation and management measures. /... A/CONF.164/37 English Page 16 PART V DUTIES OF THE FLAG STATE Article 18 Duties of the flag State 1. A State whose vessels fish on the high seas shall take such measures as may be necessary to ensure that vessels flying its flag comply with subregional and regional conservation and management measures and that such vessels do not engage in any activity which undermines the effectiveness of such measures. 2. A State shall authorize the use of vessels flying its flag for fishing on the high seas only where it is able to exercise effectively its responsibilities in respect of such vessels under the Convention and this Agreement. 3. Measures to be taken by a State in respect of vessels flying its flag shall include: (a) control of such vessels on the high seas by means of fishing licences, authorizations or permits, in accordance with any applicable procedures agreed at the subregional, regional or global level; (b) establishment of regulations: (i) to apply terms and conditions to the licence, authorization or permit sufficient to fulfil any subregional, regional or global obligations of the flag State; (ii) (iii) (iv) to prohibit fishing on the high seas by vessels which are not duly licensed or authorized to fish, or fishing on the high seas by vessels otherwise than in accordance with the terms and conditions of a licence, authorization or permit; to require vessels fishing on the high seas to carry the licence, authorization or permit on board at all times and to produce it on demand for inspection by a duly authorized person; and to ensure that vessels flying its flag do not conduct unauthorized fishing within areas under the national jurisdiction of other States; (c) establishment of a national record of fishing vessels authorized to fish on the high seas and provision of access to the information contained in that record on request by directly interested States, taking into account any national laws of the flag State regarding the release of such information; (d) requirements for marking of fishing vessels and fishing gear for identification in accordance with uniform and internationally recognizable vessel and gear marking systems, such as the Food and Agriculture Organization of the United Nations Standard Specifications for the Marking and Identification of Fishing Vessels; /... A/CONF.164/37 English Page 17 (e) requirements for recording and timely reporting of vessel position, catch of target and non-target species, fishing effort and other relevant fisheries data in accordance with subregional, regional and global standards for collection of such data; (f) requirements for verifying the catch of target and non-target species through such means as observer programmes, inspection schemes, unloading reports, supervision of transshipment and monitoring of landed catches and market statistics; (g) monitoring, control and surveillance of such vessels, their fishing operations and related activities by, inter alia: (i) the implementation of national inspection schemes and subregional and regional schemes for cooperation in enforcement pursuant to articles 21 and 22, including requirements for such vessels to permit access by duly authorized inspectors from other States; (ii) the implementation of national observer programmes and subregional and regional observer programmes in which the flag State is a participant, including requirements for such vessels to permit access by observers from other States to carry out the functions agreed under the programmes; and (iii) the development and implementation of vessel monitoring systems, including, as appropriate, satellite transmitter systems, in accordance with any national programmes and those which have been subregionally, regionally or globally agreed among the States concerned; (h) regulation of transshipment on the high seas to ensure that the effectiveness of conservation and management measures is not undermined; and (i) regulation of fishing activities to ensure compliance with subregional, regional or global measures, including those aimed at minimizing catches of non-target species. 4. Where there is a subregionally, regionally or globally agreed system of monitoring, control and surveillance in effect, States shall ensure that the measures they impose on vessels flying their flag are compatible with that system. /... A/CONF.164/37 English Page 18 PART VI COMPLIANCE AND ENFORCEMENT Article 19 Compliance and enforcement by the flag State 1. A State shall ensure compliance by vessels flying its flag with subregional and regional conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. To this end, that State shall: (a) enforce such measures irrespective of where violations occur; (b) investigate immediately and fully any alleged violation of subregional or regional conservation and management measures, which may include the physical inspection of the vessels concerned, and report promptly to the State alleging the violation and the relevant subregional or regional organization or arrangement on the progress and outcome of the investigation; (c) require any vessel flying its flag to give information to the investigating authority regarding vessel position, catches, fishing gear, fishing operations and related activities in the area of an alleged violation; (d) if satisfied that sufficient evidence is available in respect of an alleged violation, refer the case to its authorities with a view to instituting proceedings without delay in accordance with its laws and, where appropriate, detain the vessel concerned; and (e) ensure that, where it has been established, in accordance with its laws, a vessel has been involved in the commission of a serious violation of such measures, the vessel does not engage in fishing operations on the high seas until such time as all outstanding sanctions imposed by the flag State in respect of the violation have been complied with. 2. All investigations and judicial proceedings shall be carried out expeditiously. Sanctions applicable in respect of violations shall be adequate in severity to be effective in securing compliance and to discourage violations wherever they occur and shall deprive offenders of the benefits accruing from their illegal activities. Measures applicable in respect of masters and other officers of fishing vessels shall include provisions which may permit, inter alia, refusal, withdrawal or suspension of authorizations to serve as masters or officers on such vessels. /... A/CONF.164/37 English Page 19 Article 20 International cooperation in enforcement 1. States shall cooperate, either directly or through subregional or regional fisheries management organizations or arrangements, to ensure compliance with and enforcement of subregional and regional conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. 2. A flag State conducting an investigation of an alleged violation of conservation and management measures for straddling fish stocks or highly migratory fish stocks may request the assistance of any other State whose cooperation may be useful in the conduct of that investigation. All States shall endeavour to meet reasonable requests made by a flag State in connection with such investigations. 3. A flag State may undertake such investigations directly, in cooperation with other interested States or through the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement. Information on the progress and outcome of the investigations shall be provided to all States having an interest in, or affected by, the alleged violation. 4. States shall assist each other in identifying vessels reported to have engaged in activities undermining the effectiveness of subregional, regional or global conservation and management measures. 5. States shall, to the extent permitted by national laws and regulations, establish arrangements for making available to prosecuting authorities in other States evidence relating to alleged violations of such measures. 6. Where there are reasonable grounds for believing that a vessel on the high seas has been engaged in unauthorized fishing within an area under the jurisdiction of a coastal State, the flag State of that vessel, at the request of the coastal State concerned, shall immediately and fully investigate the matter. The flag State shall cooperate with the coastal State in taking appropriate enforcement action in such cases and may authorize the relevant authorities of the coastal State to board and inspect the vessel on the high seas. This paragraph is without prejudice to article 111 of the Convention. 7. States Parties which are members of a subregional or regional fisheries management organization or participants in a subregional or regional fisheries management arrangement may take action in accordance with international law, including through recourse to subregional or regional procedures established for this purpose, to deter vessels which have engaged in activities which undermine the effectiveness of or otherwise violate the conservation and management measures established by that organization or arrangement from fishing on the high seas in the subregion or region until such time as appropriate action is taken by the flag State. /... A/CONF.164/37 English Page 20 Article 21 Subregional and regional cooperation in enforcement 1. In any high seas area covered by a subregional or regional fisheries management organization or arrangement, a State Party which is a member of such organization or a participant in such arrangement may, through its duly authorized inspectors, board and inspect, in accordance with paragraph 2, fishing vessels flying the flag of another State Party to this Agreement, whether or not such State Party is also a member of the organization or a participant in the arrangement, for the purpose of ensuring compliance with conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks established by that organization or arrangement. 2. States shall establish, through subregional or regional fisheries management organizations or arrangements, procedures for boarding and inspection pursuant to paragraph 1, as well as procedures to implement other provisions of this article. Such procedures shall be consistent with this article and the basic procedures set out in article 22 and shall not discriminate against non-members of the organization or non-participants in the arrangement. Boarding and inspection as well as any subsequent enforcement action shall be conducted in accordance with such procedures. States shall give due publicity to procedures established pursuant to this paragraph. 3. If, within two years of the adoption of this Agreement, any organization or arrangement has not established such procedures, boarding and inspection pursuant to paragraph 1, as well as any subsequent enforcement action, shall, pending the establishment of such procedures, be conducted in accordance with this article and the basic procedures set out in article 22. 4. Prior to taking action under this article, inspecting States shall, either directly or through the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement, inform all States whose vessels fish on the high seas in the subregion or region of the form of identification issued to their duly authorized inspectors. The vessels used for boarding and inspection shall be clearly marked and identifiable as being on government service. At the time of becoming a Party to this Agreement, a State shall designate an appropriate authority to receive notifications pursuant to this article and shall give due publicity of such designation through the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement. 5. Where, following a boarding and inspection, there are clear grounds for believing that a vessel has engaged in any activity contrary to the conservation and management measures referred to in paragraph 1, the inspecting State shall, where appropriate, secure evidence and shall promptly notify the flag State of the alleged violation. 6. The flag State shall respond to the notification referred to in paragraph 5 within three working days of its receipt, or such other period as may be prescribed in procedures established in accordance with paragraph 2, and shall either: /... A/CONF.164/37 English Page 21 (a) fulfil, without delay, its obligations under article 19 to investigate and, if evidence so warrants, take enforcement action with respect to the vessel, in which case it shall promptly inform the inspecting State of the results of the investigation and of any enforcement action taken; or (b) authorize the inspecting State to investigate. 7. Where the flag State authorizes the inspecting State to investigate an alleged violation, the inspecting State shall, without delay, communicate the results of that investigation to the flag State. The flag State shall, if evidence so warrants, fulfil its obligations to take enforcement action with respect to the vessel. Alternatively, the flag State may authorize the inspecting State to take such enforcement action as the flag State may specify with respect to the vessel, consistent with the rights and obligations of the flag State under this Agreement. 8. Where, following boarding and inspection, there are clear grounds for believing that a vessel has committed a serious violation, and the flag State has either failed to respond or failed to take action as required under paragraphs 6 or 7, the inspectors may remain on board and secure evidence and may require the master to assist in further investigation including, where appropriate, by bringing the vessel without delay to the nearest appropriate port, or to such other port as may be specified in procedures established in accordance with paragraph 2. The inspecting State shall immediately inform the flag State of the name of the port to which the vessel is to proceed. The inspecting State and the flag State and, as appropriate, the port State shall take all necessary steps to ensure the well-being of the crew regardless of their nationality. 9. The inspecting State shall inform the flag State and the relevant organization or the participants in the relevant arrangement of the results of any further investigation. 10. The inspecting State shall require its inspectors to observe generally accepted international regulations, procedures and practices relating to the safety of the vessel and the crew, minimize interference with fishing operations and, to the extent practicable, avoid action which would adversely affect the quality of the catch on board. The inspecting State shall ensure that boarding and inspection is not conducted in a manner that would constitute harassment of any fishing vessel. 11. For the purposes of this article, a serious violation means: (a) fishing without a valid licence, authorization or permit issued by the flag State in accordance with article 18, paragraph 3 (a); (b) failing to maintain accurate records of catch and catch-related data, as required by the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement, or serious misreporting of catch, contrary to the catch reporting requirements of such organization or arrangement; /... A/CONF.164/37 English Page 22 (c) fishing in a closed area, fishing during a closed season or fishing without, or after attainment of, a quota established by the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement; (d) directed fishing for a stock which is subject to a moratorium or for which fishing is prohibited; (e) using prohibited fishing gear; (f) falsifying or concealing the markings, identity or registration of a fishing vessel; (g) concealing, tampering with or disposing of evidence relating to an investigation; (h) multiple violations which together constitute a serious disregard of conservation and management measures; or (i) such other violations as may be specified in procedures established by the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement. 12. Notwithstanding the other provisions of this article, the flag State may, at any time, take action to fulfil its obligations under article 19 with respect to an alleged violation. Where the vessel is under the direction of the inspecting State, the inspecting State shall, at the request of the flag State, release the vessel to the flag State along with full information on the progress and outcome of its investigation. 13. This article is without prejudice to the right of the flag State to take any measures, including proceedings to impose penalties, according to its laws. 14. This article applies mutatis mutandis to boarding and inspection by a State Party which is a member of a subregional or regional fisheries management organization or a participant in a subregional or regional fisheries management arrangement and which has clear grounds for believing that a fishing vessel flying the flag of another State Party has engaged in any activity contrary to relevant conservation and management measures referred to in paragraph 1 in the high seas area covered by such organization or arrangement, and such vessel has subsequently, during the same fishing trip, entered into an area under the national jurisdiction of the inspecting State. 15. Where a subregional or regional fisheries management organization or arrangement has established an alternative mechanism which effectively discharges the obligation under this Agreement of its members or participants to ensure compliance with the conservation and management measures established by the organization or arrangement, members of such organization or participants in such arrangement may agree to limit the application of paragraph 1 as between themselves in respect of the conservation and management measures which have been established in the relevant high seas area. /... A/CONF.164/37 English Page 23 16. Action taken by States other than the flag State in respect of vessels having engaged in activities contrary to subregional or regional conservation and management measures shall be proportionate to the seriousness of the violation. 17. Where there are reasonable grounds for suspecting that a fishing vessel on the high seas is without nationality, a State may board and inspect the vessel. Where evidence so warrants, the State may take such action as may be appropriate in accordance with international law. 18. States shall be liable for damage or loss attributable to them arising from action taken pursuant to this article when such action is unlawful or exceeds that reasonably required in the light of available information to implement the provisions of this article. Article 22 Basic procedures for boarding and inspection pursuant to article 21 1. The inspecting State shall ensure that its duly authorized inspectors: (a) present credentials to the master of the vessel and produce a copy of the text of the relevant conservation and management measures or rules and regulations in force in the high seas area in question pursuant to those measures; (b) initiate notice to the flag State at the time of the boarding and inspection; (c) do not interfere with the master’s ability to communicate with the authorities of the flag State during the boarding and inspection; (d) provide a copy of a report on the boarding and inspection to the master and to the authorities of the flag State, noting therein any objection or statement which the master wishes to have included in the report; (e) promptly leave the vessel following completion of the inspection if they find no evidence of a serious violation; and (f) avoid the use of force except when and to the degree necessary to ensure the safety of the inspectors and where the inspectors are obstructed in the execution of their duties. The degree of force used shall not exceed that reasonably required in the circumstances. 2. The duly authorized inspectors of an inspecting State shall have the authority to inspect the vessel, its licence, gear, equipment, records, facilities, fish and fish products and any relevant documents necessary to verify compliance with the relevant conservation and management measures. /... A/CONF.164/37 English Page 24 3. The flag State shall ensure that vessel masters: (a) accept and facilitate prompt and safe boarding by the inspectors; (b) cooperate with and assist in the inspection of the vessel conducted pursuant to these procedures; (c) do not obstruct, intimidate or interfere with the inspectors in the performance of their duties; (d) allow the inspectors to communicate with the authorities of the flag State and the inspecting State during the boarding and inspection; (e) provide reasonable facilities, including, where appropriate, food and accommodation, to the inspectors; and (f) facilitate safe disembarkation by the inspectors. 4. In the event that the master of a vessel refuses to accept boarding and inspection in accordance with this article and article 21, the flag State shall, except in circumstances where, in accordance with generally accepted international regulations, procedures and practices relating to safety at sea, it is necessary to delay the boarding and inspection, direct the master of the vessel to submit immediately to boarding and inspection and, if the master does not comply with such direction, shall suspend the vessel’s authorization to fish and order the vessel to return immediately to port. The flag State shall advise the inspecting State of the action it has taken when the circumstances referred to in this paragraph arise. Article 23 Measures taken by a port State 1. A port State has the right and the duty to take measures, in accordance with international law, to promote the effectiveness of subregional, regional and global conservation and management measures. When taking such measures a port State shall not discriminate in form or in fact against the vessels of any State. 2. A port State may, inter alia, inspect documents, fishing gear and catch on board fishing vessels, when such vessels are voluntarily in its ports or at its offshore terminals. 3. States may adopt regulations empowering the relevant national authorities to prohibit landings and transshipments where it has been established that the catch has been taken in a manner which undermines the effectiveness of subregional, regional or global conservation and management measures on the high seas. 4. Nothing in this article affects the exercise by States of their sovereignty over ports in their territory in accordance with international law. /... A/CONF.164/37 English Page 25 PART VII REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES Article 24 Recognition of the special requirements of developing States 1. States shall give full recognition to the special requirements of developing States in relation to conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and development of fisheries for such stocks. To this end, States shall, either directly or through the United Nations Development Programme, the Food and Agriculture Organization of the United Nations and other specialized agencies, the Global Environment Facility, the Commission on Sustainable Development and other appropriate international and regional organizations and bodies, provide assistance to developing States. 2. In giving effect to the duty to cooperate in the establishment of conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, States shall take into account the special requirements of developing States, in particular: (a) the vulnerability of developing States which are dependent on the exploitation of living marine resources, including for meeting the nutritional requirements of their populations or parts thereof; (b) the need to avoid adverse impacts on, and ensure access to fisheries by, subsistence, small-scale and artisanal fishers and women fishworkers, as well as indigenous people in developing States, particularly small island developing States; and (c) the need to ensure that such measures do not result in transferring, directly or indirectly, a disproportionate burden of conservation action onto developing States. Article 25 Forms of cooperation with developing States 1. States shall cooperate, either directly or through subregional, regional or global organizations: (a) to enhance the ability of developing States, in particular the least-developed among them and small island developing States, to conserve and manage straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and to develop their own fisheries for such stocks; (b) to assist developing States, in particular the least-developed among them and small island developing States, to enable them to participate in high seas fisheries for such stocks, including facilitating access to such fisheries subject to articles 5 and 11; and /... A/CONF.164/37 English Page 26 (c) to facilitate the participation of developing States in subregional and regional fisheries management organizations and arrangements. 2. Cooperation with developing States for the purposes set out in this article shall include the provision of financial assistance, assistance relating to human resources development, technical assistance, transfer of technology, including through joint venture arrangements, and advisory and consultative services. 3. Such assistance shall, inter alia, be directed specifically towards: (a) improved conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks through collection, reporting, verification, exchange and analysis of fisheries data and related information; (b) stock assessment and scientific research; and (c) monitoring, control, surveillance, compliance and enforcement, including training and capacity-building at the local level, development and funding of national and regional observer programmes and access to technology and equipment. Article 26 Special assistance in the implementation of this Agreement 1. States shall cooperate to establish special funds to assist developing States in the implementation of this Agreement, including assisting developing States to meet the costs involved in any proceedings for the settlement of disputes to which they may be parties. 2. States and international organizations should assist developing States in establishing new subregional or regional fisheries management organizations or arrangements, or in strengthening existing organizations or arrangements, for the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. PART VIII PEACEFUL SETTLEMENT OF DISPUTES Article 27 Obligation to settle disputes by peaceful means States have the obligation to settle their disputes by negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice. /... A/CONF.164/37 English Page 27 Article 28 Prevention of disputes States shall cooperate in order to prevent disputes. To this end, States shall agree on efficient and expeditious decision-making procedures within subregional and regional fisheries management organizations and arrangements and shall strengthen existing decision-making procedures as necessary. Article 29 Disputes of a technical nature Where a dispute concerns a matter of a technical nature, the States concerned may refer the dispute to an ad hoc expert panel established by them. The panel shall confer with the States concerned and shall endeavour to resolve the dispute expeditiously without recourse to binding procedures for the settlement of disputes. Article 30 Procedures for the settlement of disputes 1. The provisions relating to the settlement of disputes set out in Part XV of the Convention apply mutatis mutandis to any dispute between States Parties to this Agreement concerning the interpretation or application of this Agreement, whether or not they are also Parties to the Convention. 2. The provisions relating to the settlement of disputes set out in Part XV of the Convention apply mutatis mutandis to any dispute between States Parties to this Agreement concerning the interpretation or application of a subregional, regional or global fisheries agreement relating to straddling fish stocks or highly migratory fish stocks to which they are parties, including any dispute concerning the conservation and management of such stocks, whether or not they are also Parties to the Convention. 3. Any procedure accepted by a State Party to this Agreement and the Convention pursuant to article 287 of the Convention shall apply to the settlement of disputes under this Part, unless that State Party, when signing, ratifying or acceding to this Agreement, or at any time thereafter, has accepted another procedure pursuant to article 287 for the settlement of disputes under this Part. 4. A State Party to this Agreement which is not a Party to the Convention, when signing, ratifying or acceding to this Agreement, or at any time thereafter, shall be free to choose, by means of a written declaration, one or more of the means set out in article 287, paragraph 1, of the Convention for the settlement of disputes under this Part. Article 287 shall apply to such a declaration, as well as to any dispute to which such State is a party which is not covered by a declaration in force. For the purposes of conciliation and /... A/CONF.164/37 English Page 28 arbitration in accordance with Annexes V, VII and VIII to the Convention, such State shall be entitled to nominate conciliators, arbitrators and experts to be included in the lists referred to in Annex V, article 2, Annex VII, article 2, and Annex VIII, article 2, for the settlement of disputes under this Part. 5. Any court or tribunal to which a dispute has been submitted under this Part shall apply the relevant provisions of the Convention, of this Agreement and of any relevant subregional, regional or global fisheries agreement, as well as generally accepted standards for the conservation and management of living marine resources and other rules of international law not incompatible with the Convention, with a view to ensuring the conservation of the straddling fish stocks and highly migratory fish stocks concerned. Article 31 Provisional measures 1. Pending the settlement of a dispute in accordance with this Part, the parties to the dispute shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature. 2. Without prejudice to article 290 of the Convention, the court or tribunal to which the dispute has been submitted under this Part may prescribe any provisional measures which it considers appropriate under the circumstances to preserve the respective rights of the parties to the dispute or to prevent damage to the stocks in question, as well as in the circumstances referred to in article 7, paragraph 5, and article 16, paragraph 2. 3. A State Party to this Agreement which is not a Party to the Convention may declare that, notwithstanding article 290, paragraph 5, of the Convention, the International Tribunal for the Law of the Sea shall not be entitled to prescribe, modify or revoke provisional measures without the agreement of such State. Article 32 Limitations on applicability of procedures for the settlement of disputes Article 297, paragraph 3, of the Convention applies also to this Agreement. /... A/CONF.164/37 English Page 29 PART IX NON-PARTIES TO THIS AGREEMENT Article 33 Non-parties to this Agreement 1. States Parties shall encourage non-parties to this Agreement to become parties thereto and to adopt laws and regulations consistent with its provisions. 2. States Parties shall take measures consistent with this Agreement and international law to deter the activities of vessels flying the flag of non-parties which undermine the effective implementation of this Agreement. PART X GOOD FAITH AND ABUSE OF RIGHTS Article 34 Good faith and abuse of rights States Parties shall fulfil in good faith the obligations assumed under this Agreement and shall exercise the rights recognized in this Agreement in a manner which would not constitute an abuse of right. Part XI RESPONSIBILITY AND LIABILITY Article 35 Responsibility and liability States Parties are liable in accordance with international law for damage or loss attributable to them in regard to this Agreement. PART XII REVIEW CONFERENCE Article 36 Review conference 1. Four years after the date of entry into force of this Agreement, the Secretary-General of the United Nations shall convene a conference with a view /... A/CONF.164/37 English Page 30 to assessing the effectiveness of this Agreement in securing the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. The Secretary-General shall invite to the conference all States Parties and those States and entities which are entitled to become parties to this Agreement as well as those intergovernmental and non-governmental organizations entitled to participate as observers. 2. The conference shall review and assess the adequacy of the provisions of this Agreement and, if necessary, propose means of strengthening the substance and methods of implementation of those provisions in order better to address any continuing problems in the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. PART XIII FINAL PROVISIONS Article 37 Signature This Agreement shall be open for signature by all States and the other entities referred to in article 1, paragraph 2(b), and shall remain open for signature at United Nations Headquarters for twelve months from the fourth of December 1995. Article 38 Ratification This Agreement is subject to ratification by States and the other entities referred to in article 1, paragraph 2(b). The instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. Article 39 Accession This Agreement shall remain open for accession by States and the other entities referred to in article 1, paragraph 2(b). The instruments of accession shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. Article 40 Entry into force 1. This Agreement shall enter into force 30 days after the date of deposit of the thirtieth instrument of ratification or accession. /... A/CONF.164/37 English Page 31 2. For each State or entity which ratifies the Agreement or accedes thereto after the deposit of the thirtieth instrument of ratification or accession, this Agreement shall enter into force on the thirtieth day following the deposit of its instrument of ratification or accession. Article 41 Provisional application 1. This Agreement shall be applied provisionally by a State or entity which consents to its provisional application by so notifying the depositary in writing. Such provisional application shall become effective from the date of receipt of the notification. 2. Provisional application by a State or entity shall terminate upon the entry into force of this Agreement for that State or entity or upon notification by that State or entity to the depositary in writing of its intention to terminate provisional application. Article 42 Reservations and exceptions No reservations or exceptions may be made to this Agreement. Article 43 Declarations and statements Article 42 does not preclude a State or entity, when signing, ratifying or acceding to this Agreement, from making declarations or statements, however phrased or named, with a view, inter alia, to the harmonization of its laws and regulations with the provisions of this Agreement, provided that such declarations or statements do not purport to exclude or to modify the legal effect of the provisions of this Agreement in their application to that State or entity. Article 44 Relation to other agreements 1. This Agreement shall not alter the rights and obligations of States Parties which arise from other agreements compatible with this Agreement and which do not affect the enjoyment by other States Parties of their rights or the performance of their obligations under this Agreement. 2. Two or more States Parties may conclude agreements modifying or suspending the operation of provisions of this Agreement, applicable solely to the /... A/CONF.164/37 English Page 32 relations between them, provided that such agreements do not relate to a provision derogation from which is incompatible with the effective execution of the object and purpose of this Agreement, and provided further that such agreements shall not affect the application of the basic principles embodied herein, and that the provisions of such agreements do not affect the enjoyment by other States Parties of their rights or the performance of their obligations under this Agreement. 3. States Parties intending to conclude an agreement referred to in paragraph 2 shall notify the other States Parties through the depositary of this Agreement of their intention to conclude the agreement and of the modification or suspension for which it provides. Article 45 Amendment 1. A State Party may, by written communication addressed to the Secretary-General of the United Nations, propose amendments to this Agreement and request the convening of a conference to consider such proposed amendments. The Secretary-General shall circulate such communication to all States Parties. If, within six months from the date of the circulation of the communication, not less than one half of the States Parties reply favourably to the request, the Secretary-General shall convene the conference. 2. The decision-making procedure applicable at the amendment conference convened pursuant to paragraph 1 shall be the same as that applicable at the United Nations Conference on Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, unless otherwise decided by the conference. The conference should make every effort to reach agreement on any amendments by way of consensus and there should be no voting on them until all efforts at consensus have been exhausted. 3. Once adopted, amendments to this Agreement shall be open for signature at United Nations Headquarters by States Parties for twelve months from the date of adoption, unless otherwise provided in the amendment itself. 4. Articles 38, 39, 47 and 50 apply to all amendments to this Agreement. 5. Amendments to this Agreement shall enter into force for the States Parties ratifying or acceding to them on the thirtieth day following the deposit of instruments of ratification or accession by two thirds of the States Parties. Thereafter, for each State Party ratifying or acceding to an amendment after the deposit of the required number of such instruments, the amendment shall enter into force on the thirtieth day following the deposit of its instrument of ratification or accession. 6. An amendment may provide that a smaller or a larger number of ratifications or accessions shall be required for its entry into force than are required by this article. /... A/CONF.164/37 English Page 33 7. A State which becomes a Party to this Agreement after the entry into force of amendments in accordance with paragraph 5 shall, failing an expression of a different intention by that State: (a) be considered as a Party to this Agreement as so amended; and (b) be considered as a Party to the unamended Agreement in relation to any State Party not bound by the amendment. Article 46 Denunciation 1. A State Party may, by written notification addressed to the Secretary-General of the United Nations, denounce this Agreement and may indicate its reasons. Failure to indicate reasons shall not affect the validity of the denunciation. The denunciation shall take effect one year after the date of receipt of the notification, unless the notification specifies a later date. 2. The denunciation shall not in any way affect the duty of any State Party to fulfil any obligation embodied in this Agreement to which it would be subject under international law independently of this Agreement. Article 47 Participation by international organizations 1. In cases where an international organization referred to in Annex IX, article 1, of the Convention does not have competence over all the matters governed by this Agreement, Annex IX to the Convention shall apply mutatis mutandis to participation by such international organization in this Agreement, except that the following provisions of that Annex shall not apply: (a) article 2, first sentence; and (b) article 3, paragraph 1. 2. In cases where an international organization referred to in Annex IX, article 1, of the Convention has competence over all the matters governed by this Agreement, the following provisions shall apply to participation by such international organization in this Agreement: (a) at the time of signature or accession, such international organization shall make a declaration stating: (i) that it has competence over all the matters governed by this Agreement; /... A/CONF.164/37 English Page 34 (ii) that, for this reason, its member States shall not become States Parties, except in respect of their territories for which the international organization has no responsibility; and (iii) that it accepts the rights and obligations of States under this Agreement; (b) participation of such an international organization shall in no case confer any rights under this Agreement on member States of the international organization; (c) in the event of a conflict between the obligations of an international organization under this Agreement and its obligations under the agreement establishing the international organization or any acts relating to it, the obligations under this Agreement shall prevail. Article 48 Annexes 1. The Annexes form an integral part of this Agreement and, unless expressly provided otherwise, a reference to this Agreement or to one of its Parts includes a reference to the Annexes relating thereto. 2. The Annexes may be revised from time to time by States Parties. Such revisions shall be based on scientific and technical considerations. Notwithstanding the provisions of article 45, if a revision to an Annex is adopted by consensus at a meeting of States Parties, it shall be incorporated in this Agreement and shall take effect from the date of its adoption or from such other date as may be specified in the revision. If a revision to an Annex is not adopted by consensus at such a meeting, the amendment procedures set out in article 45 shall apply. Article 49 Depositary The Secretary-General of the United Nations shall be the depositary of this Agreement and any amendments or revisions thereto. Article 50 Authentic texts The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of this Agreement are equally authentic. IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized thereto, have signed this Agreement. /... A/CONF.164/37 English Page 35 OPENED FOR SIGNATURE at New York, this fourth day of December, one thousand nine hundred and ninety-five, in a single original, in the Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish languages. /... A/CONF.164/37 English Page 36 ANNEX I STANDARD REQUIREMENTS FOR THE COLLECTION AND SHARING OF DATA Article 1 General principles 1. The timely collection, compilation and analysis of data are fundamental to the effective conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. To this end, data from fisheries for these stocks on the high seas and those in areas under national jurisdiction are required and should be collected and compiled in such a way as to enable statistically meaningful analysis for the purposes of fishery resource conservation and management. These data include catch and fishing effort statistics and other fishery-related information, such as vessel-related and other data for standardizing fishing effort. Data collected should also include information on non-target and associated or dependent species. All data should be verified to ensure accuracy. Confidentiality of non-aggregated data shall be maintained. The dissemination of such data shall be subject to the terms on which they have been provided. 2. Assistance, including training as well as financial and technical assistance, shall be provided to developing States in order to build capacity in the field of conservation and management of living marine resources. Assistance should focus on enhancing capacity to implement data collection and verification, observer programmes, data analysis and research projects supporting stock assessments. The fullest possible involvement of developing State scientists and managers in conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks should be promoted. Article 2 Principles of data collection, compilation and exchange The following general principles should be considered in defining the parameters for collection, compilation and exchange of data from fishing operations for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks: (a) States should ensure that data are collected from vessels flying their flag on fishing activities according to the operational characteristics of each fishing method (e.g., each individual tow for trawl, each set for long-line and purse-seine, each school fished for pole-and-line and each day fished for troll) and in sufficient detail to facilitate effective stock assessment; (b) States should ensure that fishery data are verified through an appropriate system; (c) States should compile fishery-related and other supporting scientific data and provide them in an agreed format and in a timely manner to the relevant /... A/CONF.164/37 English Page 37 subregional or regional fisheries management organization or arrangement where one exists. Otherwise, States should cooperate to exchange data either directly or through such other cooperative mechanisms as may be agreed among them; (d) States should agree, within the framework of subregional or regional fisheries management organizations or arrangements, or otherwise, on the specification of data and the format in which they are to be provided, in accordance with this Annex and taking into account the nature of the stocks and the fisheries for those stocks in the region. Such organizations or arrangements should request non-members or non-participants to provide data concerning relevant fishing activities by vessels flying their flag; (e) such organizations or arrangements shall compile data and make them available in a timely manner and in an agreed format to all interested States under the terms and conditions established by the organization or arrangement; and (f) scientists of the flag State and from the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement should analyse the data separately or jointly, as appropriate. Article 3 Basic fishery data 1. States shall collect and make available to the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement the following types of data in sufficient detail to facilitate effective stock assessment in accordance with agreed procedures: (a) time series of catch and effort statistics by fishery and fleet; (b) total catch in number, nominal weight, or both, by species (both target and non-target) as is appropriate to each fishery. [Nominal weight is defined by the Food and Agriculture Organization of the United Nations as the live-weight equivalent of the landings]; (c) discard statistics, including estimates where necessary, reported as number or nominal weight by species, as is appropriate to each fishery; (d) effort statistics appropriate to each fishing method; and (e) fishing location, date and time fished and other statistics on fishing operations as appropriate. 2. States shall also collect where appropriate and provide to the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement information to support stock assessment, including: (a) composition of the catch according to length, weight and sex; /... A/CONF.164/37 English Page 38 (b) other biological information supporting stock assessments, such as information on age, growth, recruitment, distribution and stock identity; and (c) other relevant research, including surveys of abundance, biomass surveys, hydro-acoustic surveys, research on environmental factors affecting stock abundance, and oceanographic and ecological studies. Article 4 Vessel data and information 1. States should collect the following types of vessel-related data for standardizing fleet composition and vessel fishing power and for converting between different measures of effort in the analysis of catch and effort data: (a) vessel identification, flag and port of registry; (b) vessel type; (c) vessel specifications (e.g., material of construction, date built, registered length, gross registered tonnage, power of main engines, hold capacity and catch storage methods); and (d) fishing gear description (e.g., types, gear specifications and quantity). 2. The flag State will collect the following information: (a) navigation and position fixing aids; (b) communication equipment and international radio call sign; and (c) crew size. Article 5 Reporting A State shall ensure that vessels flying its flag send to its national fisheries administration and, where agreed, to the relevant subregional or regional fisheries management organization or arrangement, logbook data on catch and effort, including data on fishing operations on the high seas, at sufficiently frequent intervals to meet national requirements and regional and international obligations. Such data shall be transmitted, where necessary, by radio, telex, facsimile or satellite transmission or by other means. /... A/CONF.164/37 English Page 39 Article 6 Data verification States or, as appropriate, subregional or regional fisheries management organizations or arrangements should establish mechanisms for verifying fishery data, such as: (a) position verification through vessel monitoring systems; (b) scientific observer programmes to monitor catch, effort, catch composition (target and non-target) and other details of fishing operations; (c) vessel trip, landing and transshipment reports; and (d) port sampling. Article 7 Data exchange 1. Data collected by flag States must be shared with other flag States and relevant coastal States through appropriate subregional or regional fisheries management organizations or arrangements. Such organizations or arrangements shall compile data and make them available in a timely manner and in an agreed format to all interested States under the terms and conditions established by the organization or arrangement, while maintaining confidentiality of non-aggregated data, and should, to the extent feasible, develop database systems which provide efficient access to data. 2. At the global level, collection and dissemination of data should be effected through the Food and Agriculture Organization of the United Nations. Where a subregional or regional fisheries management organization or arrangement does not exist, that organization may also do the same at the subregional or regional level by arrangement with the States concerned. /... A/CONF.164/37 English Page 40 ANNEX II GUIDELINES FOR THE APPLICATION OF PRECAUTIONARY REFERENCE POINTS IN CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS 1. A precautionary reference point is an estimated value derived through an agreed scientific procedure, which corresponds to the state of the resource and of the fishery, and which can be used as a guide for fisheries management. 2. Two types of precautionary reference points should be used: conservation, or limit, reference points and management, or target, reference points. Limit reference points set boundaries which are intended to constrain harvesting within safe biological limits within which the stocks can produce maximum sustainable yield. Target reference points are intended to meet management objectives. 3. Precautionary reference points should be stock-specific to account, inter alia, for the reproductive capacity, the resilience of each stock and the characteristics of fisheries exploiting the stock, as well as other sources of mortality and major sources of uncertainty. 4. Management strategies shall seek to maintain or restore populations of harvested stocks, and where necessary associated or dependent species, at levels consistent with previously agreed precautionary reference points. Such reference points shall be used to trigger pre-agreed conservation and management action. Management strategies shall include measures which can be implemented when precautionary reference points are approached. 5. Fishery management strategies shall ensure that the risk of exceeding limit reference points is very low. If a stock falls below a limit reference point or is at risk of falling below such a reference point, conservation and management action should be initiated to facilitate stock recovery. Fishery management strategies shall ensure that target reference points are not exceeded on average. 6. When information for determining reference points for a fishery is poor or absent, provisional reference points shall be set. Provisional reference points may be established by analogy to similar and better-known stocks. In such situations, the fishery shall be subject to enhanced monitoring so as to enable revision of provisional reference points as improved information becomes available. 7. The fishing mortality rate which generates maximum sustainable yield should be regarded as a minimum standard for limit reference points. For stocks which are not overfished, fishery management strategies shall ensure that fishing mortality does not exceed that which corresponds to maximum sustainable yield, and that the biomass does not fall below a predefined threshold. For overfished stocks, the biomass which would produce maximum sustainable yield can serve as a rebuilding target. -----