1 PENGARUH TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI’ TERHADAP EMPATI REMAJA (Kasus Siswa SMA Negeri 1 Dramaga, Bogor) PUTRI RIZKIA I34060368 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 2 ABSTRACT This study aims to determine the level of exposure influence ‘Jika Aku Menjadi’ among adolescents, factors that influence it, and learn empathy against the poverty annoy adolescents as a result of exposure influence ‘Jika Aku Menjadi’, both cognitive and affective. The research held on SMA Negeri 1 Dramaga, Jl Babakan Dramaga No. 122, Bogor, on April to Mei 2010. Population are adolescent who is student, include ten and eleven grade of high school. Sample (70 respondents) was selected by simple random sampling method. This research used survey method such as questionnaire. The correlation relationship among the variable was obtained using Rank Spearman test and Chi Square test trougth SPSS 16.0 for windows. The results showed that: 1) research indicates that respondent watched ‘Jika Aku Menjadi’ with sufficient frequency (3 to 5 times a month) and high duration (more than 40 minutes). Internal factor influencing adolescent exposure ‘Jika Aku Menjadi’ is ranked in the classroom, while the external factor is the extracurricular activities. 2) Overall, respondents have the high empathy of cognitive and affective against the poverty after watched ‘Jika Aku Menjadi’. Respondents that have high empathy of cognitive and affective against the poverty said they better understand what had happened to the poor around them, the more grateful in their life, more respect to the others, more eager to help poor peoples, dan never give up in their life. Keyword: exposure, ’Jika Aku Menjadi’, and empathy 3 RINGKASAN PUTRI RIZKIA. PENGARUH TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI’ TERHADAP EMPATI REMAJA, Kasus Siswa SMA Negeri 1 Dramaga (Di bawah bimbingan DJUARA P. LUBIS). Bila beberapa tahun lalu masyarakat Indonesia dijejali acara sinetron dan infotainment, maka kini televisi mulai menyodorkan format acara yang lebih menarik dan berbeda, yaitu reality show. Reality show yang diteliti dalam penelitian ini adalah ‘Jika Aku Menjadi’ di Trans TV. ‘Jika Aku Menjadi’ adalah program acara yang menyuguhkan informasi langsung sekitar kehidupan kalangan kelas bawah sehingga dapat memperkenalkan penonton pada kehidupan orang kecil seperti apa adanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ di kalangan remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan mengetahui empati remaja terhadap kemiskinan sebagai akibat terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Dramaga (Jalan Babakan Dramaga No. 122, Bogor). Lokasi ini penulis pilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kemudahan akses karena lokasi ini dekat dengan kampus. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2010. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Populasi penelitian adalah siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga, dari hasil pengambilan sampel secara simple random sampling diperoleh 70 responden. Analisis hubungan menggunakan uji Chi Square dan Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang berjenis kelamin perempuan, berdomisili di kota, memiliki uang saku sedang, dan mengikuti banyak kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya memiliki persentase lebih besar menonton ‘Jika Aku Menjadi’ dibandingkan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’. Secara keseluruhan, remaja memiliki frekuensi menonton tergolong sedang (tiga sampai lima kali dalam sebulan) dan durasi menonton tergolong tinggi (lebih dari 40 menit). Terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal remaja. Faktor internal remaja yang mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah peringkat di kelas. Semakin tinggi peringkat remaja di kelas, semakin tinggi juga frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Faktor eksternal remaja yang mempengaruhi terpaan 4 tayangan adalah kegiatan ekstrakurikuler. Semakin banyak kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti remaja di sekolahnya, semakin tinggi juga frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Remaja memiliki empati kognitif dan afektif yang tinggi terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Remaja yang empati kognitif dan afektifnya tinggi terhadap kemiskinan menyatakan mereka lebih memahami apa yang dialami orang miskin di sekitar mereka, semakin bersyukur dalam menjalani hidup, lebih menghargai orang lain, semakin bersemangat ingin membantu orang miskin, dan tidak ingin mudah putus asa. Pada episode “Pembuat Gelang Simpay”, remaja memiliki tingkat empati pada kognitif dan afektif yang tinggi terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan episode tersebut. 5 PENGARUH TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI’ TERHADAP EMPATI REMAJA (Kasus Siswa SMA Negeri 1 Dramaga, Bogor) PUTRI RIZKIA I34060368 SKRIPSI sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 6 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama : Putri Rizkia NRP : I34060368 Judul : Pengaruh Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ terhadap Empati Remaja (Kasus Siswa SMA Negeri 1 Dramaga, Bogor) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. NIP. 19600315 198503 1 002 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus Ujian:_____________________ 7 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENGARUH TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI’ TERHADAP EMPATI REMAJA (KASUS SISWA SMA NEGERI 1 DRAMAGA, BOGOR)” BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI. Bogor, Agustus 2010 Putri Rizkia I34060368 8 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Indramayu, 16 Mei 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Andre Indra Permana dan Ibu Raedah. Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak-kanak “Kumbang” Persit Kartika Chandra Kirana Ranting 5 Yon Zikon Jakarta Selatan tahun 1993-1994. Penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dasar Negeri 7/83 Girian Weru, Sulawesi Utara dan lulus pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Kandanghaur dan lulus tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Rangkasbitung dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan memilih mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan minor Ilmu Konsumen, Fakultas Ekologi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, yaitu HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Pecinta Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) divisi Public Relation periode 2008-2009. 9 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan kehendakNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ terhadap Empati Remaja (Kasus Siswa SMA Negeri 1 Dramaga, Bogor)”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ di kalangan remaja dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan mengetahui empati remaja terhadap kemiskinan sebagai akibat terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2010 Penulis 10 UCAPAN TERIMAKASIH Penulisan skripsi ini telah berhasil diselesaikan dan tidak lepas dari bantuan, bimbingan, petunjuk, saran, dan kritik dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi, antara lain: 1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS sebagai dosen pembimbing, atas bimbingan, waktu, koreksi, kesabaran dan pemikiran yang sangat berharga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama pada ujian skripsi penulis. 3. Ir. Dwi Sadono, MSi atas kesediaannya menjadi dosen penguji wakil Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. 4. Kepala SMAN 1 Dramaga, Dra. Tri Utami, MM dan seluruh guru serta siswa kelas X dan XI yang telah membantu dan mendukung selama penelitian berlangsung. 5. Papa, Mama tercinta, dan kedua adikku: Happy dan Martin tersayang, yang selalu menjadi inspirasi dalam hidup penulis, menemani dengan doa dan kasih sayang, dan selalu memberi semangat luar biasa yang tidak pernah putus. 6. Mami, Papi, Grace, Sandra, Agnes, yang selalu memberi semangat, doa dan kasih sayangnya kepada penulis selama berada di Bogor. 7. Robin Napitupulu sebagai ’teman’ dalam segala hal, yang selalu menemani dengan doa, kasih sayang, dan semangat kepada penulis. 8. Teman-temanku: Larissa, Andre (Menehe 43), Ratna (Mate 43), Dimas, yang sudah menjadi teman keluh-kesah selama penyelesaian skripsi ini. 9. Teman-teman kos ”Rumah Guru Pardesi”: Kak Dita, Kak Inggi, Kak Novi, Kak Yogi (Zimbabwe), Ratna, Echa, Ferry, Mba Fatma, Mba Oji, atas doa, semangat, dan kebersamaannya. 10. Desni Utami dan Nirmala Dewi sebagai teman satu bimbingan atas semangat dan doanya. 11. Teman-teman KPM 43 atas kebersamaan kita selama ini, khususnya Ogi, Bedil, Fajar, Amel, Ayu, dan Dya. 11 12. Kakak-kakak KPM 42: Kak Vbee, Kak Acit, Kak Anyes, dan Kak Metri, Kak Uthe, atas semangat, doa, dan masukan kepada penulis. 13. Seluruh staf pengajar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ilmu dan berbagi pengalaman. 14. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. 12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. xi DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 1.2 1.3 1.4 Latar Belakang ..................................................................................... Perumusan Masalah.............................................................................. Tujuan Penelitian.................................................................................. Kegunaan Penelitian............................................................................. 1 5 6 6 BAB II PENDEKATAN TEORITIS ....................................................... 7 2.1 Tinjauan Pustaka .................................................................................. 2.1.1 Komunikasi Massa. ..................................................................... 2.1.2 Televisi dan Perkembangannya................................................... 2.1.3 Program Acara Televisi............................................................... 2.1.4 Terpaan Media (Media Exposure)............................................... 2.1.5 Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Remaja dengan Terpaan Media Televisi……………............................................ 2.1.6 Empati ......................................................................................... 2.1.7 Remaja......................................................................................... 2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 2.3 Hipotesis Penelitian.............................................................................. 2.4 Definisi Operasional............................................................................. 7 7 12 18 28 30 36 41 45 45 46 BAB III PENDEKATAN LAPANGAN................................................... 50 3.1 3.2 3.3 3.4 Metode Penelitian................................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................ Teknik Pengumpulan Data ................................................................... Teknik Analisis Data ............................................................................ 50 50 50 52 BAB IV DESKRIPSI UMUM PROGRAM DAN SMA NEGERI 1 DRAMAGA ................................................. 55 4.1 Profil Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’.................................................... 55 4.2 Profil SMA Negeri 1 Dramaga............................................................. 57 4.3 Profil Siswa Kelas X dan XI SMA Negeri 1 Dramaga ........................ 58 13 4.3.1 Jenis Kelamin .............................................................................. 4.3.2 Domisili ....................................................................................... 4.3.3 Uang Saku ................................................................................... 4.3.4 Kegiatan Ekstrakurikuler............................................................. 4.4 Profil Responden .................................................................................. 4.4.1 Jenis Kelamin .............................................................................. 4.4.2 Motivasi Menonton ..................................................................... 4.4.3 Peringkat di Kelas ....................................................................... 4.4.4 Domisili ....................................................................................... 4.4.5 Uang Saku ................................................................................... 4.4.6 Kegiatan Ekstrakurikuler............................................................. 4.4.7 Pekerjaan Orang Tua ................................................................... 4.4.8 Pendapatan Orang Tua ................................................................ 59 59 59 60 60 62 62 62 63 64 64 64 65 BAB V TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI’ DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA ....... 66 5.1 Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’................................................ 5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’............................................................................... 5.2.1 Pengaruh Faktor Internal terhadap Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ..................................................................... 5.2.1.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’......................................... 5.2.1.2 Hubungan Motivasi Menonton dengan Terpaan Tayangan‘Jika Aku Menjadi’.......................................... 5.2.1.3 Hubungan Peringkat di Kelas dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’......................................... 5.2.2 Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ..................................................................... 5.2.2.1 Hubungan Domisili dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ......................................................... 5.2.2.2 Hubungan Uang Saku dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ......................................................... 5.2.2.3 Hubungan Kegiatan Ekstrakurikuler dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’........................... 5.2.2.4 Hubungan Pekerjaan Orang Tua dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’........................... 5.2.2.5 Hubungan Pendapatan Orang Tua dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’........................... 5.3 Resume ................................................................................................. 66 67 68 68 69 70 70 71 72 72 73 74 75 14 BAB VI EMPATI REMAJA TERHADAP KEMISKINAN SEBAGAI AKIBAT TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI’........................................................... 76 6.1 Empati Remaja terhadap Kemiskinan Sebagai Akibat Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’................................................ 6.2 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Empati Remaja (Kognitf dan Afektif) ................................................. 6.2.1 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Kognitif .......................................................................... 6.2.1.1 Hubungan Frekuensi Menonton dengan Kognitif........... 6.2.1.2 Hubungan Durasi Menonton dengan Kognitif................ 6.2.2 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Afektif ............................................................................ 6.2.2.1 Hubungan Frekuensi Menonton dengan Afektif............. 6.2.2.2 Hubungan Durasi Menonton dengan Afektif.................. 6.2.3 Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ Episode ”Pembuat Gelang Simpay” (Sabtu, 1 Mei 2010 Pukul 17.30 WIB)............ 6.3 Resume ................................................................................................. 76 79 79 80 81 82 82 83 83 85 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 86 7.1 Kesimpulan........................................................................................... 86 7.2 Saran ..................................................................................................... 87 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 88 LAMPIRAN ............................................................................................... 91 15 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Perbedaan Hard news dan Soft news Berdasarkan Sifatnya ............ 21 2. Jumlah dan Persentase Siswa Kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga Berdasarkan Jenis Kelamin, Domisili, Uang Saku, Dan Kegiatan Ekstrakurikuler ......................................................... 58 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Motivasi Menonton, Peringkat di Kelas, Domisili, Uang Saku, Kegiatan Ekstrakurikuler, Pekerjaan Orang Tua, dan Pendapatan Orang Tua........................................... 61 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Menonton dan Durasi Menonton Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ .......................................................................... 66 Nilai Uji Chi Square dan Rank Spearman Hubungan antara Faktor Internal Remaja dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ......................................................... 68 Nilai Uji Chi Square dan Rank Spearman Hubungan antara Faktor Eksternal Remaja dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ......................................................... 71 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Empati Remaja (Kognitif dan Afektif) terhadap Kemiskinan ....................................................................... 76 Nilai Uji Rank Spearman Hubungan antara Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Empati Remaja (Kognitif dan Afektif) terhadap Kemiskinan................................... 79 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Empati Remaja (Kognitif dan Afektif) terhadap Kemiskinan Episode “Pembuat Gelang Simpay”............................ 84 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 16 DAFTAR GAMBAR Nomor 1. Halaman Kerangka Pemikiran Pengaruh Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ terhadap Empati Remaja……………………... 45 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media komunikasi dewasa ini berkembang sedemikian pesatnya dengan menawarkan sumber-sumber informasi yang amat luas. Kehebatan teknologi komunikasi menyebabkan berbagai informasi dapat disampaikan dengan mudah. Globalisasi informasi jelas melahirkan satu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya manusia. Pada zaman sekarang ini, dalam rangka melancarkan arus komunikasi, media komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam penyebaran informasi dan salah satu upaya yang dilakukan oleh manusia sebagai khalayak dari media massa dalam memenuhi segala kebutuhan akan informasi dan hiburannya adalah dengan memanfaatkan media massa yang ada. Media massa merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi dari pengirim ke penerima dengan menggunakan alat yang biasa disebut dengan media cetak atau elektronik untuk masyarakat dalam jumlah besar secara bersamaan atau serentak dan dalam waktu yang cepat. Media massa terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu media cetak (seperti majalah, tabloid, surat kabar) dan media elektronik (seperti radio, internet, dan televisi). Televisi merupakan media massa elektronik yang dianggap paling efektif dibandingkan dengan media massa lainnya, karena media televisi merupakan media audio visual yang secara langsung dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan sikap khalayaknya. Televisi, menurut Effendy (1999) adalah medium komunikasi jarak jauh dengan penayangan gambar dan pendengaran suara, baik melalui kawat maupun secara elektronik magnetik tanpa kawat. Televisi yang sering disebut sebagai kotak ajaib, telah memberi pengaruh (negatif dan positif) bagi kehidupan umat manusia. Televisi dengan kekuatannya menciptakan dunia yang tidak berjarak.1 Televisi sebagai media yang muncul belakangan dibanding media cetak dan radio ternyata memberikan nilai yang sangat spektakuler dalam sisi-sisi pergaulan hidup 1 http://www.gp-ansor.org/opini/perkembangan-televisi-di-indonesia.html. Diakses tanggal 20 Februari 2010 pukul 16.45. 2 manusia saat ini. Kemampuan televisi dalam menarik perhatian massa, menunjukkan bahwa media tersebut menguasai jarak secara geografis dan sosiologis. Hingga saat ini, terdapat banyak stasiun televisi di Indonesia, baik yang berskala nasional maupun lokal. Ada 11 stasiun televisi nasional yang ada di Indonesia, yaitu TVRI, RCTI, Indosiar, TPI, ANTV, Trans TV, Trans 7, SCTV, Metro TV, TV ONE dan Global TV.2 Televisi sebagai salah satu media komunikasi memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat modern. Televisi dalam cakupan pengertian komunikasi massa telah menjadi institusi sosial yang mempunyai peranan penting dalam memberikan informasi dan hiburan kepada masyarakat luas. Media televisi menyediakan informasi mengenai politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya sampai kriminal, sehingga pemirsa akan selalu terdorong untuk mencari sesuatu yang tidak diketahuinya, melalui media televisi. Ramainya persaingan di antara media televisi swasta mendorong para pengusaha dan pelaku bisnis untuk kreatif membuat acara menarik. Pihak stasiun televisi, di tengah persaingan yang ketat, berlomba-lomba pula mengemas paket acara siaran yang dapat menarik penonton dalam jumlah besar. Tujuannya sudah jelas yaitu kepentingan bisnis, karena melalui tayangan yang menarik perhatian penonton, diselipkan iklan yang merupakan napas dari eksisnya sebuah industri penyiaran televisi. Program acara yang berkembang belakangan ini adalah reality show. Kurniawan (2009) menjelaskan bahwa reality show adalah sebuah program acara yang isinya mendokumentasikan kehidupan seseorang atau peristiwa yang tidak direkayasa sama sekali dan mendokumentasikan rekayasa realitas tanpa skenario dan artis pendukung. Hal ini menjadikan tayangan yang sifatnya sederhana dan murah dari segi biaya produksi, namun menarik perhatian banyak penonton dan saat ini menjadi program hiburan yang tengah populer di kalangan masyarakat Indonesia maupun dunia. Hal ini sejalan dengan hasil survei yang dikutip oleh Kurniawan (2009) yang menjelaskan bahwa: “Program reality show kini merajai layar kaca. Pantauan AGB Nielsen Media Research di 10 kota besar terhadap 11 stasiun TV nasional selama awal Januari sampai 21 Februari 2009, menunjukkan bahwa penggemar terbanyak program ini kelompok usia remaja (10-11 tahun) dari kelas AB dengan penonton 328 ribu. Sebanyak 56 persen dari jumlah itu adalah pemirsa reality 2 http://www.scribd.com/doc/3322945/Perkembangan-Teknologi-Televisi-dan-Industri-Penyiaran. Diakses tanggal 20 Februari 2010 pukul 19.20. 3 show. Kelompok ini menonton TV 2,5 juta per hari, terbanyak menonton acara entertainment dan program berseri. Program reality show yang paling laris ditonton adalah besutan Trans TV. Sebanyak 7 dari 10 program reality show yang mempunyai rating tertinggi diraih Trans TV”. Data yang disajikan di atas dapat dijadikan argumentasi awal peneliti bahwa reality show sekarang sudah merupakan bagian dari hidup manusia. Dahulu, reality show memiliki konsep yang sederhana. Program ini memotret kehidupan orang awam (bukan selebriti), kemudian disiarkan dan ditonton oleh banyak orang, serta yang disorot kehidupannya pun lumayan senang dan yang menonton pun terhibur. Semakin banyak bermunculannya tayangan seperti ini mungkin karena banyak peminatnya, ini bisa dilihat tayangan reality show semacam ini ada hampir di seluruh stasiun televisi nasional Indonesia dan ditayangkan setiap hari. Waktu tayang program-program tersebut tergolong pada prime time, yakni sore sampai malam hari dimana masyarakat, terutama remaja biasanya sudah berada di rumah dan menggunakan waktu senggangnya untuk menonton televisi. Selain itu, penonton yang berada pada segmen ini sangat beragam (tua, muda, anak-anak dan sebagainya). Stasiun televisi biasanya menempatkan program acara yang paling bagus pada segmen ini karena jumlah audiensnya besar. Selain itu acara prime time juga harus bisa dinikmati semua kalangan termasuk anak-anak. Hal ini menunjukkan betapa populernya jenis-jenis reality show ini. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa program reality show itu sudah menjadi salah satu program unggulan di hampir seluruh stasiun televisi Indonesia. Hal ini terlihat dari berkembangnya konsep program reality show di beberapa stasiun televisi yang bukan hanya menampilkan permasalahan di bidang asmara saja, namun sekarang ini sudah banyak bermacam reality show di berbagai macam bidang permasalahan seperti di bidang sosial. Salah satu reality show yang mendapat respons baik dari para penontonnya dan menjadi acara reality show yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah acara yang disiarkan oleh Trans TV, yaitu ‘Jika Aku Menjadi’. ‘Jika Aku Menjadi’ (JAM) merupakan program yang tayang setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 17.30 WIB menayangkan informasi tentang lika-liku kehidupan orang dengan pekerjaan atau profesi tertentu dari kalangan masyarakat kelas bawah. Program diharapkan bisa membangkitkan semangat toleransi dan solidaritas sosial dari masyarakat kelas atas terhadap masyarakat kalangan bawah. 4 “Inilah letak nilai edukasinya, menyuguhkan informasi langsung seputar kehidupan kalangan kelas bawah (pemulung, nelayan, buruh panggul pasar, kuli panggul pelabuhan, petani penggarap, penangkap kalong, buruh pemetik jamur, tukang kayu, tukang ojek sepeda, dan lain-lain). Informasi dalam JAM ditujukan untuk memberi pemahaman, empati atau simpati pada masyarakat atas. Tidak dengan cara membagi-bagi uang atau barang atau renovasi rumah (seperti program di stasiun-stasiun TV lain), tetapi dengan menampilkan keseharian mereka di rumah, di lingkungan sekitar, di tempat kerja, dan sebagainya. Si talent dalam tayangan ini harus tinggal setidaknya empat sampai lima hari dan menjalani hidup seperti orang dari kalangan bawah yang menjadi narasumbernya. Ia harus mengikuti aktivitas orang itu, mulai dari pagi, siang, sore, malam (si talent menginap di rumah si narasumber), sampai pagi lagi. Letak daya tarik tayangan ini adalah mengeksploitasi kelucuan, kekikukan, kegerahan, ketidaknyamanan, dan “penderitaan” dari talent, dalam menjalani kehidupan sebagai orang kalangan bawah. Di ujung akhir episode tayangan, talent menyatakan “kesan-kesannya” dan hikmah yang ia peroleh, setelah empat sampai lima hari menjalani kehidupan sebagai orang kalangan bawah.3 Penjelasan tersebut menunjukkan suatu realita sosial, bahwa masih banyak orangorang di sekitar yang kurang mampu, tetapi mereka tetap berusaha untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kenyataannya, masih banyak juga masyarakat yang tidak peduli dan kurang berempati terhadap nasib mereka yang kurang beruntung. Empati berasal dari bahasa Yunani yang berarti “ketertarikan fisik”, sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain.4 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fidiyaningrum (2006) diketahui bahwa pengaruh film yang diputar di televisi (audiovisual) terhadap perubahan sikap sangat besar. Individu memiliki kecenderungan untuk meniru objek yang telah dilihatnya. Ketika melihat film “Children of Heaven” yang alur ceritanya sangat “menyentuh” dan dapat membangkitkan empati penonton, mahasiswa yang terlibat dalam penelitian juga mengalami peningkatan kecenderungan empatinya. Sesuai perkembangan usianya, remaja sangat dipengaruhi lingkungannya, termasuk apa yang mereka tonton di televisi. Oleh karena itu, dalam menyeleksi program-program tayangan sebaiknya stasiun televisi menyiarkan program-program yang membantu pendidikan 3 4 http://transtv.co.id. Diakses tanggal 19 Februari 2010 pukul 21.50. http://edukasi.kompasiana.com/2009/10/24/empati-sebuah-resonansi-dari-perasaan/. Diakses tanggal 23 Februari 2010 pukul 21.00. 5 dan perkembangan remaja dan selama ini, penelitian tentang dampak tayangan televisi terhadap perilaku remaja banyak dilakukan pada remaja di kota. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ terhadap empati remaja (khususnya remaja di desa) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian adalah apakah terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ mempengaruhi empati remaja. Perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sejauh mana tingkat terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ di kalangan remaja dan faktorfaktor apa saja yang mempengaruhinya? 2. Sejauh mana empati remaja terhadap kemiskinan sebagai akibat terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ terhadap empati remaja. Terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dan empati remaja tersebut tidak dapat dipisahkan dari faktor internal dan eksternal remaja yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui tingkat terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ di kalangan remaja dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. 2. Mengetahui empati remaja terhadap kemiskinan sebagai akibat terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh terpaan media terhadap sikap remaja. 6 2. Bagi pihak stasiun televisi, khususnya Trans TV, penelitian ini menjadi masukan agar pihak stasiun televisi lebih kreatif lagi dalam membuat konsep program acara yang menghibur sekaligus mendidik untuk remaja. 3. Bagi masyarakat, penelitian dapat juga dijadikan masukan dalam mengontrol perilaku menonton televisi berlebihan yang dilakukan remaja serta semakin selektif dalam memilih program acara yang layak untuk ditonton. 7 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Komunikasi Massa Manusia melakukan komunikasi dalam aktifitas sehari-hari. Selain itu juga komunikasi merupakan cara yang efektif untuk saling berinteraksi maupun mempererat hubungan antar manusia dan juga dapat digunakan untuk memperluas sebaran informasi. Adapun komunikasi yang melibatkan banyak orang disebut komunikasi massa. Merujuk pendapat Tan dan Wright yang dikutip oleh Ardianto dan Erdinaya (2004), komunikasi massa merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Definisi ini dapat menggambarkan komunikasi massa secara jelas. Ahli komunikasi yang mendefinisikan komunikasi dengan memperinci karakteristik komunikasi massa menurut Gerbner yang dikutip oleh Wiryanto (2000) “Mass communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continous flow of messages in industrial societies” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri). Berdasarkan definisi Gerbner di atas tergambar bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus-menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan perorangan, melainkan harus lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu sehingga komunikasi massa banyak dilakukan oleh masyarakat industri. Joseph A. Devito yang dikutip oleh Wiryanto (2000) mengutarakan definisinya sebagai berikut: ”Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa atau khalayak luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah 8 komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis didefinisikan menurut bentuknya: televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita”. Berdasarkan definisi Joseph A. Devito di atas, tergambar bahwa komunikasi massa dibedakan dari jenis suatu komunikasi lainnya dengan kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah komunikan dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar komunikasi itu dapat mencapai pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat. Ada juga pengertian lain dari komunikasi massa yang disampaikan Kuswandi (1998) yaitu berkomunikasi dengan massa (audiens atau khalayak sasaran). Massa disini dimaksudkan sebagai para penerima pesan (komunikan) yang memiliki status sosial dan ekonomi yang heterogen satu sama lain. Pada umumnya, proses komunikasi massa tidak menghasilkan “feed back” yang langsung, tetapi tertunda dalam waktu relatif. Ciri-ciri massa yaitu: 1. Jumlahnya besar. 2. Antara individu, tidak ada hubungan atau organisatoris. 3. Memiliki latar belakang sosial yang berbeda. Dari beberapa definisi mengenai komunikasi massa yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli ilmu komunikasi di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai definisi komunikasi massa, yaitu sebagai proses komunikasi yang berlangsung di mana pesan dikirim dari sumber yang melembaga kepada sejumlah besar orang yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, film, sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Media merupakan pusat perhatian yang dijadikan dalam pembahasan komunikasi massa. Lembaga-lembaga media menyebarluaskan pesan-pesan yang mempengaruhi dan mencerminkan budaya masyarakat, dan mereka menyediakan informasi secara bersamaan pada sejumlah besar audiens yang heterogen dan menjadikan media sebagai bagian dari kekuatan institusional masyarakat Ada banyak pendapat yang dikemukakan untuk mengupas fungsi-fungsi komunikasi massa. Jay Black dan Frederick C. Whitney yang dikutip oleh Nurdin (2007) menyatakan 9 bahwa fungsi komunikasi massa antara lain: 1) to inform (menginformasikan); 2) to entertain (memberi hiburan); 3) to persuade (membujuk); dan 4) transmission of the cultural (transmisi budaya). Komunikasi massa berbeda dengan komunikasi lainnya. Perbedaan itu meliputi komponen-komponen yang terlibat di dalamnya, juga proses berlangsungnya komunikasi tersebut. Adapun karakteristik dari komunikasi massa menurut Effendy (2003) adalah sebagai berikut: 1. Komunikasi massa berlangsung satu arah Berbeda dengan komunikasi antarpersonal yang berlangsung dua arah (two-way traffic communication), komunikasi massa berlangsung satu arah (one-way traffic communication). Ini berarti bahwa, tidak terdapat arus balik komunikan kepada komunikator. Wartawan sebagai komunikator tidak mengetahui tanggapan para penonton, pendengar, atau pembacanya terhadap pesan atau berita yang disiarkannya itu. 2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Komunikator pada komunikasi massa, misalnya wartawan surat kabar atau penyiar televisi karena yang dipergunakannya adalah suatu lembaga dalam menyebarluaskan pesan komunikasinya bertindak atas nama lembaga, sejalan dengan kebijaksanaan surat kabar dan stasiun televisi yang diwakilinya. Ia tidak mempunyai kebebasan individual. 3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum (public) karena di tujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi, tidak ditujukan kepada perorangan atau kepada sekelompok orang tertentu. Hal itulah yang antara lain membedakan media massa dengan media nirmassa. 4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan (stimultaneity) pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan pada yang disebarkan. 10 Hal inilah yang merupakan ciri paling hakiki dibandingkan dengan media komunikasi massa lainnya. 5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen Komunikasi atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Keberadaannya terpencar-pencar, di mana satu sama lainnya tidak saling mengenal dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda dalam berbagai hal, seperti: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita, dan lain sebagainya. Selain memiliki karakteristik, komunikasi massa juga memiliki fungsi bagi masyarakat. Karlinah yang dikutip oleh Ardianto dan Erdinaya (2004) mengemukakan fungsi komunikasi massa secara umum adalah: 1. Fungsi informasi Fungsi memberikan informasi ini diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi yang beragam dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan sesuai kepentingan khalayak. Khalayak sebagai manusia sosial akan selalu merasa haus informasi mengenai segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. 2. Fungsi pendidikan Media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayaknya (mass education), karena media massa banyak menyajikan hal-hal yang sifatnya mendidik. Salah satu cara mendidik yang dilakukan media massa adalah melalui pengajaran nilai, etika, serta aturan-aturan yang berlaku kepada pemirsa atau pembaca. Media massa melakukannya melalui drama, cerita, diskusi dan artikel. 3. Fungsi mempengaruhi Fungsi mempengaruhi dari media massa secara implisit terdapat pada tajuk atau editorial, features, iklan, artikel, dan lain sebagainya. Khalayak dapat terpengaruh oleh iklan-iklan yang ditayangkan di televisi ataupun surat kabar. 4. Fungsi proses pengembangan mental 11 Untuk mengembangkan wawasan, kita membutuhkan berkomunikasi dengan orang lain dan dengan berkomunikasi, manusia akan bertambah pengetahuannya dan berkembang intelektualitasnya. Hal tersebut diperoleh dari pengalaman pribadinya dari orang lain. 5. Fungsi adaptasi lingkungan Setiap manusia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan dunianya untuk dapat bertahan hidup. Proses komunikasi membantu manusia dalam proses penyesuaian tersebut. Proses pengiriman pesan oleh komunikator dan penerima pesan oleh komunikan dapat membantu kita dalam berhubungan dengan orang lain dan saling menyesuaikan diri sehingga menimbulkan kesamaan makna di antara komunikator dan komunikan. 6. Fungsi memanipulasi lingkungan Manipulasi di sini bukanlah diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Memanipulasi lingkungan artinya berusaha untuk saling mempengaruhi dunia dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dalam fungsi manipulasi, komunikasi digunakan sebagai alat kontrol utama dan pengaturan lingkungan. Kata ’massa’ dalam komunikasi massa dapat kita lihat sebagai ”meliputi semua lapisan masyarakat” atau ”khalayak ramai” dalam berbagai tingkat umur, pendidikan, keyakinan, dan status sosial. Tentu saja yang terjangkau oleh saluran media massa. Komunikasi massa berkaitan dengan persoalan efek atau pengaruh terhadap komunikan atau khalayak. Efek komunikasi massa terhadap khalayak meliputi efek kognitif, efek afektif, dan efek behavioral. Efek kognitif yaitu bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mempertimbangkan ketrampilan kognitif. Melalui media massa, seseorang yang asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang suatu peristiwa. Efek afektif berhubungan dengan apa yang dirasakan, disenangai atau dibenci, dan berkaitan dengan emosi, sikap atau nilai. Efek behavioral yaitu perubahan yang dapat diamati seperti pola-pola tindakan, kegiatan atau kebiasaan berperilaku. 2.1.2 Televisi dan Perkembangannya Televisi merupakan penemuan termuda dan terakhir, yang baru mulai berkembang setelah perang dunia kedua dan menempatkan diri sebagai alat komunikasi massa. Televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia dari semua komunikasi yang ada. Televisi 12 mengalami perkembangan yang dramatis, terutama melalui pertumbuhan televisi kabel. Wahyudi (1996) mendefinisikan televisi sebagai berikut: ”Televisi berasal dari dua kata yang berbeda, yaitu ’tele’ (Bahasa Yunani) yang artinya jauh, dan ’visi’ (Videra-Bahasa Latin) yang artinya perhatian. Televisi dalam bahasa Inggris berarti television yang diartikan melihat jauh. Melihat jauh disini diartikan dengan melihat gambar, suara yang diproduksi di suatu tempat (studio televisi), dapat dilihat di tempat lain melalui sebuah perangkat penerima (televisi set)”. Munculnya televisi dalam kehidupan manusia memang menghadirkan suatu peradaban, khususnya dalam proses komunikasi dan informasi yang bersifat massa. Globalisasi informasi dan komunikasi setiap media massa jelas melahirkan suatu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya manusia. Televisi sebagai media massa, mempunyai banyak kelebihan dalam penyampaian pesan-pesannya dibandingkan dengan media massa lain, kerena pesan-pesan yang disampaikan melalui gambar dan suara secara bersamaan dan hidup, sangat cepat (aktual), terlebih lagi dalam siaran langsung dan dapat menjangkau yang sangat luas. Televisi sebagai media massa dapat berfungsi sangat efektif, karena selain dapat menjangkau ruang sangat luas, dapat juga mencapai massa pemirsa sangat banyak di dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai produk teknologi modern, wajar bila medium televisi sebagai media komunikasi massa, dalam waktu yang relatif singkat dapat merebut hati masyarakat dunia dan bahkan saat ini, televisi sudah merupakan kebutuhan hidup bagi sebagian besar keluarga di dunia ini seperti mereka memerlukan makanan, pakaian, perumahan, dan hiburan. Televisi dapat juga sebagai media untuk mempengaruhi para pemirsanya, dengan ditampilkannya tontonan yang menampilkan audio visual sehingga pemirsa dapat benar-benar mengetahui pesan apa yang disampaikan oleh produsen atau komunikator. Setelah memahami itulah mengapa televisi dikatakan sebagai media mempengaruhi. Kuswandi (1998) menyatakan isi pesan media televisi berasal dari sumber resmi tentang sesuatu yang terjadi di masyarakat. Pendapat sumber resmi ini, apabila sudah ditayangkan akan menimbulkan pendapat umum. Televisi sebagai produk teknologi maju dan berkembang sejalan dengan dengan perkembangan teknologi itu sendiri, telah banyak menyentuh kepentingan umat manusia di dunia. Siaran televisi banyak mengalami perubahan di masyarakat, karena sifat medium 13 televisi, pesan-pesan yang disampaikan mempunyai daya rangsang cukup tinggi (audio visual). Wahyudi (1996) menyatakan televisi adalah produk dari teknologi canggih dan kemajuannya sendiri sangat bergantung dari kemajuan-kemajuan yang dicapai dibidang teknologi, khususnya teknologi elektronika. Menurutnya, televisi itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Bersifat umum. 2. Sasaran dan komunikannya bersifat heterogen, artinya komunikannya berasal dari berbagai lapisan, latar belakang, dan status sosial yang berbeda. 3. Hubungan antara komunikator dan komunikannya bersifat non personal menimbulkan keserempakan, artinya dalam menerima pesan komunikator. Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa televisi itu memiliki ciri-ciri, antara lain bersifat umum; bahwa program acara yang disiarkan sifatnya umum, mulai dari hiburan, olahraga, musik, film, sinetron dan lain-lain. Sasaran atau komunikannya bersifat heterogen; televisi bisa menjangkau segala lapisan masyarakat, mulai dari berbagi kelompok umur, kelas sosial, gaya hidup dan profesi yang semuanya menjadi jangkauan televisi. Singkatnya, televisi sudah menjadi bagian atau teman hidup untuk mendapatkan kesenangan, informasi dan hiburan. Hubungan antara komunikator dan komunikannya bersifat non personal; berbeda dengan radio, pada televisi pesan yang disampaikan bertujuan untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Menimbulkan keserempakan; pesan yang diterima oleh satu sama lain bentuk dan isinya sama. Seperti yang dikatakan oleh Rhenald Kasali yang dikutip oleh Kurniawan (2009), kekuatan yang dimiliki oleh televisi itu antara lain: 1. Efisiensi biaya Banyak yang memandang televisi sebagai media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan komersialnya. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. 2. Dampak yang kuat Kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus dua indera, yaitu penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu 14 menciptakan kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengkombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama dan humor. 3. Pengaruh yang kuat Televisi mempunyai kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktunya di muka televisi, sebagai sumber berita, hiburan, dan sarana pendidikan. Keunggulan televisi yang dinyatakan oleh A. Alatas Fahmi yang dikutip oleh Kurniawan (2009), yaitu: 1. Menyangkut isi dan bentuk, media televisi walaupun direkayasa mampu membedakan fakta dan fiksi, realistis, dan tidak terbatas. 2. Menyangkut hubungan dengan khalayaknya, media televisi mempunyai khalayak yang tetap, memerlukan keterlibatan tanpa perhatian sepenuhnya dan intim. 3. Media televisi memiliki tokoh berwatak (baik riil maupun yang direkayasa), sementara media lain khususnya film hanya memiliki tokoh yang direkayasa. Sementara kelemahan televisi, yaitu: 1. Kecenderungan televisi untuk menempatkan khalayaknya sebagai obyek yang pasif, sebagai penerima pesan. 2. Media televisi yang mendorong proses alih nilai dan pengetahuan yang cepat tanpa mempertimbangkan perbedaan tingkat perkembangan budaya dan peradaban yang ada di berbagai wilayah jangkauannya. 3. Media televisi bersifat sangat terbuka dan sulit dikontrol dampak negatifnya karena kekuatan media itu mampu menyita waktu dan perhatian khalayaknya untuk meninggalkan aktivitasnya yang lain pada waktu yang bersamaan. 4. Cepatnya perkembangan teknologi penyiaran televisi bergerak mendahului perkembangan masyarakat dan budaya khalayaknya di berbagai wilayah yang berbeda. Dewasa ini televisi boleh dikatakan telah mendominasi hampir semua waktu luang setiap orang. Hasil penelitian yang pernah dilakukan pada masyarakat Amerika yang dikutip oleh Kurniawan (2009), ditemukan hampir setiap orang di benua itu menghabiskan waktunya antara enam sampai dengan tujuh jam per minggu untuk menonton televisi. Waktu yang paling tinggi terserap adalah pada musim dingin. 15 Menurut Hoffmann yang dikutip oleh Testiandini (2006) fungsi televisi dalam masyarakat tidak dilihat lagi sebagai sarana pendidikan dan juga tidak seharusnya menjadi sarana promosi perdagangan. Adapun fungsi televisi adalah: 1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia Fungsi ini sering disebut fungsi informasi, namun istilah ini tidak digunakan karena dikhawatirkan menimbulkan salah paham seakan-akan televisi adalah sebagai sarana penerangan bagi penguasa kepada masyarakat sesuai kepentingan pemerintah. Fungsi televisi yang sebenarnya adalah mengamati kejadian yang terjadi dalam masyarakat kemudian melaporkannya sesuai kenyataan yang ditemukan. 2. Menghubungkan yang satu dengan yang lain Televisi dapat saja menghubungkan hasil pengawasan yang satu dengan hasil pengawasan yang lain secara lebih gampang daripada sebuah dokumen tertulis, dengan demikian televisi dapat berfungsi sesuai dengan kepentingan masyarakat dan dapat membuka mata pemirsa. 3. Menyalurkan kebudayaan Sebenarnya kebudayaan rakyat sudah cukup terangkat kalau televisi berfungsi sebagai pengawas masyarakat, akan tetapi diharapkan televisi dalam hal ini lebih proaktif. Fungsi televisi ini dapat disebut juga sebagai fungsi pendidikan, namun istilah “pendidikan” tidak digunakan karena di dalam kebudayaan audiovisual tidak ada kurikulum. 4. Hiburan Fungsi ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena kalau tidak menghibur umumnya sebuah tayangan tidak akan ditonton. Hiburan bukan berarti hiburan semata tanpa ada sesuatu yang dapat diambil pelajarannya dari suatu program. 5. Pengarahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat Fungsi kelima ini sering menjadi bahan diskusi, karena mudah disalahgunakan oleh seorang penguasa. Pada situasi tertentu, fungsi ini cukup masuk akal. Misalnya, jika terjadi wabah penyakit di suatu daerah maka televisi bisa saja memberitakan berdasarkan fungsinya sebagai pengawas. 16 Morrisan (2005) menyatakan siaran televisi di Indonesia dimulai pada tahun 1962, saat TVRI menayangkan langsung upacara hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-17 pada tanggal 17 Agustus 1962. Siaran langsung itu masih terhitung sebagai siaran percobaan dan siaran resminya baru dimulai 24 Agustus 1962 pukul 14.30 WIB yang menyiarkan secara langsung upacara pembukaan Asian Games ke-4 dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Sejak pemerintah Indonesia membuka TVRI, selama 27 tahun penonton televisi di Indonesia hanya dapat menonton satu saluran televisi. Zulkarnain (1997) mengatakan sekitar tahun 1975 sudah timbul gagasan untuk menghadirkan stasiun televisi swasta, akan tetapi hingga tahun 1987 gagasan itu masih bisa ‘diredam’. Salah satu masalah yang dihadapi dalam menghadirkan televisi swasta adalah belum adanya UU Penyiaran. Ada beberapa hal prinsip yang harus diperhatikan dalam rancangan UU Penyiaran. Pertama, keberadaan penyiaran radio dan televisi di Indonesia harus memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional Indonesia. Kedua, sebagai sesuatu yang memiliki nilai strategis untuk mempengaruhi, mengarahkan, dan membentuk pendapat umum, semua penyiaran radio dan TV perlu mendapat pengaturan yang jelas. Ketiga, penyiaran berkaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit-geostasioner yang merupakan sumber daya alam. Pemanfaatannya harus diatur bagi kepentingan bersama. Keempat, kepentingan khalayak sebagai sasaran penyiaran harus terjamin secara hukum. Mereka perlu memiliki saluran hukum untuk menyatakan keberatan. Kelima, kepentingan dan kewajiban penyelenggara siaran harus mendapat jaminan hukum dan diatur dalam perundangundangan sehingga segala sesuatu tidak diatur berdasarkan ‘kebijaksanaan’ semata. Keenam, peraturan perundang-undangan harus mengatur masalah persaingan antarpenyelenggara siaran agar tidak merugikan masyarakat. Ketujuh, perkembangan teknologi harus disikapi dengan mempertahankan dan mengembangkan kemandirian serta jati diri. Menurut Zulkarnain (1997), bisnis televisi mulai marak tiga tahun terakhir, setelah keluarnya Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 111 tahun 1990. Pada tahun 1988 RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) dizinkan siaran dengan menggunakan decoder, diikuti SCTV (Surya Citra Televisi) pada tahun 1989. TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) menyusul pada tahun 1991. Tahun 1993 AN-teve (Andalas Televisi) mengudara secara nasional dari Jakarta dan tahun 1994 televisi Indosiar Mandiri milik Indo Salim Group pun mengudara. Morrisan (2005) menambahkan bahwa gerakan reformasi pada tahun 1998 telah memicu perkembangan industri media massa khususnya televisi. Seiring dengan itu, kebutuhan 17 masyarakat terhadap informasi juga semakin bertambah. Menjelang tahun 2000, muncul hampir secara serentak lima televisi swasta baru, yaitu Metro, Trans 7, TV-7, TV ONE, dan Global TV, serta beberapa televisi daerah yang saat ini jumlahnya mencapai puluhan stasiun televisi lokal. Tidak ketinggalan pula munculnya televisi berlangganan yang menyajikan berbagai program dalam dan luar negeri. Morrisan (2005) juga menyatakan setelah Undang-undang Penyiaran disahkan pada tahun 2002, jumlah televisi baru di Indonesia diperkirakan akan terus bermunculan, yang terbagi dalam empat kategori, yaitu televisi publik, swasta, berlangganan dan komunitas. Hingga Juli 2002, jumlah orang yang memiliki pesawat televisi di Indonesia mencapai 25 juta. Kini, penonton televisi Indonesia benar-benar memiliki banyak pilihan untuk menikmati berbagai program televisi. Menurut Sumita Tobing, Dirut Perjan TVRI yang dikutip oleh Morrisan (2005) televisi merupakan salah satu medium terfavorit bagi para pemasang iklan di Indonesia. Media televisi merupakan industri yang padat modal, padat teknologi, dan padat sumberdaya manusia. Namun kemunculan berbagai stasiun televisi di Indonesia tidak diimbangi dengan tersedianya sumberdaya manusia yang memadai. Pada umumnya televisi dibangun tanpa pengetahuan pertelevisian yang memadai dan hanya berdasarkan semangat dan modal yang besar saja. 2.1.3. Program Acara Televisi Produk akhir yang disajikan melalui layar televisi adalah siaran televisi. Siaran televisi ini didapat dengan cara pancaran udara, dapat disiarkan melalui kabel dan dapat merupakan perpaduan keduanya. Morrisan (2005) menyatakan mengelola program acara tidak berbeda dengan memasarkan suatu produk kepada konsumen, keberhasilannya diukur dengan pencapaian atas tujuan atau target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada umumnya tujuan program adalah untuk menarik dan mendapatkan sebanyak mungkin audiens. Jumlah audiens yang banyak bukanlah satu-satunya tujuan penayangan suatu program. Edwin T. Vane dan Lynne. S. Gross yang dikutip oleh Kurniawan (2009) terdapat lima tujuan penayangan suatu program di televisi komersial, yaitu: 1. Mendapatkan sebanyak mungkin audiens 18 Tujuan dari kebanyakan program siaran televisi adalah untuk mendapatkan sebanyak mungkin audiens. Pemasang iklan mengeluarkan banyak dana untuk memastikan dan mempromosikan produk mereka kepada audiens, semakin besar audiens uang dapat dijaring, maka semakin mahal tarif iklan yang harus dibayar, potensi pendapatan perusahaan juga akan meningkat dan keuntungan juga semakin besar. 2. Target audiens tertentu Program yang dikhususkan untuk kalangan tertentu namun dengan daya tarik yang terbatas ini oleh Vane-Gross disebut dengan program demografis karena ditujukan untuk audiens tertentu berdasarkan umur, jenis kelamin, profesi, dan lain-lain. 3. Prestise Adakalanya, stasiun televisi menayangkan suatu program dengan tujuan utama untuk mendapatkan prestise atau pengakuan dari pihak lain. 4. Penghargaan Stasiun televisi terkadang membuat suatu program dengan tujuan untuk memenangkan suatu penghargaan. Pengelola televisi yang memproduksi suatu program yang memiliki kualitas biasanya juga berkeinginan untuk memenangkan penghargaan atas hasil karyanya itu. 5. Kepentingan publik Stasiun televisi terkadang memproduksi program untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan publik di tempat stasiun itu berada. Setiap daerah memiliki masyarakat dengan situasi dan kebutuhan yang berbeda. Program atau acara yang disajikan adalah faktor yang membuat audiens tertarik untuk mengikuti siaran yang dipancarkan stasiun penyiaran apakah itu radio atau televisi. Morissan (2005) mengatakan program dapat disamakan atau dianalogikan dengan produk atau barang (goods) atau pelayanan (services) yang dijual kepada pihak lain, dalam hal ini audiens dan pemasang iklan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa progam adalah produk yang dibutuhkan orang sehingga mereka bersedia mengikutinya. Menurut Heinich, dkk. yang dikutip oleh Kurniawan (2009), secara khusus, program televisi memiliki empat karaktersistik utama, yaitu: 1. Fidelity or realism, yang merupakan karakteristik utama dari program televisi. Fidelity artinya program televisi menggambarkan perwujudan asli dari suatu peristiwa, seseorang, 19 kejadian, dan proses, sehingga pemirsa memiliki kepercayaan terhadap objek yang ditontonnya. 2. Immediacy, artinya pemirsa dapat melihat siaran langsung tentang suatu peristiwa pada saat yang hampir bersamaan dengan terjadinya peristiwa tersebut, bertemu dengan seseorang, atau berkunjung ke suatu tempat dalam waktu yang sangat cepat. 3. Dynamic spacing, di mana program televisi memiliki fitur yang memungkinkan pemirsa untuk menonton informasi yang ditayangkan secara lambat, cepat atau diulang-ulang, terutama untuk tayangan gerak atau psikomotor; olah raga, tari, memasak. 4. Brings people, places, events that’s could not be seen otherwise including magnification, artinya informasi yang disampaikan melalui televisi seringkali merupakan informasi tentang orang, tempat atau peristiwa yang berada diluar jangkauan pemirsa. Adanya televisi, pemirsa tidak harus pergi ke tempat atau peristiwa tersebut secara langsung, cukup menontonnya di televisi. Stasiun televisi setiap harinya menyajikan berbagai jenis program yang jumlahnya sangat banyak dan jenisnya sangat beragam. Pada dasarnya apa saja bisa dijadikan program untuk ditayangkan di televisi selama program itu menarik dan disukai audiens, dan selama tidak bertentangan dengan kesusilaan, hukum dan peraturan yang berlaku. Menurut Morrisan (2005), berbagai jenis program itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar berdasarkan jenisnya, yaitu: 1) program informasi (berita) dan 2) program hiburan (entertainment). Program informasi kemudian dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu berita keras (hard news) yang merupakan laporan berita terkini yang harus segera disiarkan segera dan berita lunak (soft news) merupakan kombinasi dari fakta, gosip, dan opini. Program hiburan terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu musik, drama permainan (game show) dan pertunjukan. A. Program informasi Program informasi adalah segala jenis siaran yang tujuan siarannya untuk memberikan tambahan pengetahuan (informasi) kepada audiens. Daya tarik program ini adalah informasi, dan informasi itulah yang dijual kepada audiens. Program informasi dalam kategori berita 20 keras atau hard news dapat dibedakan dengan berita lunak atau soft news berdasarkan sifatnya menurut Morrisan (2005) dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Berita Hard news dan Soft news berdasarkan Sifatnya Hard News Soft News Harus ada peristiwa peristiwa terlebih Tidak musti ada peristiwa terlebih dahulu dahulu Peristiwa harus aktual (baru terjadi) Tidak musti harus aktual Harus segera disiarkan Tidak bersifat segera (timeless) Mengutamakan informasi terpenting Menekankan pada detail saja Tidak menekankan sisi human interest Sangat menekankan sisi human interest Laporan tidak mendalam (singkat) Laporan bersifat mendalam Teknik penulisan piramida tegak Teknik penulisan piramida terbalik Ditayangkan dalam program berita Ditayangkan dalam program lainnya B. Program hiburan Program hiburan adalah segala bentuk siaran yang bertujuan untuk menghibur audiens dalam bentuk musik, lagu, cerita dan permainan. Program yang termasuk dalam kategori hiburan adalah drama, musik dan permainan (game). 1. Drama Kata ‘drama’ berasal dari bahasa Yunani dran yang berarti bertindak atau berbuat (action). Program drama adalah pertunjukan (show) yang menyajikan cerita mengenai kehidupan atau karakter seseorang atau beberapa orang (tokoh) yang diperankan oleh pemain (artis) yang melibatkan konflik dan emosi. Program drama biasanya menampilkan sejumlah pemain yang memerankan tokoh tertentu. Suatu drama akan mengikuti kehidupan atau petualangan para tokohnya. Program televisi yang termasuk dalam program drama adalah sinema elektronik (sinetron) dan film. 21 a. Sinetron Sinetron merupakan drama yang menyajikan cerita dari berbagai tokoh secara bersamaan. Masing-masing tokoh memiliki alur cerita mereka sendiri-sendiri tanpa harus dirangkum menjadi suatu kesimpulan. Akhir cerita sinetron cenderung selalu terbuka dan sering kali tanpa penyelesaian (open-ended). Cerita cenderung dibuat berpanjang-panjang selama masih ada audiens yang menyukainya. Penayangan sinetron biasanya terbagi dalam beberapa episode. Sinetron yang memiliki episode terbatas disebut dengan miniseri. Episode dalam suatu miniseri merupakan bagian dari cerita keseluruhan, dengan demikian episode sama seperti bab dari buku. b. Film Maksud film di sini adalah film layar lebar yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan film. Alan Landsburg salah seorang produser acara televisi paling sukses di Amerika menyatakan hanya ada tiga tema dalam setiap program drama yang disukai audiens, yaitu tema seks, uang, dan kekuasaan (sex, money and power) (Morrisan, 2005). Tiga tema tersebut merupakan daya tarik yang dapat mendorong audiens mengikuti program drama atau komedi. Tema-tema cerita lain seperti balas dendam, penaklukan, simpati, dan nostalgia juga menjadi tema yang menarik perhatian audiens, namun demikian sebenarnya berbagai tema tersebut dapat dirangkum dalam tiga tema besar awal yaitu seks, uang, dan kekuasaan yang merupakan tiga tema dasar cerita. 2. Permainan Permainan atau game show merupakan salah satu bentuk program yang melibatkan sejumlah orang baik secara individu ataupun kelompok (tim) yang saling bersaing untuk mendapatkan sesuatu, menjawab pertanyaan dan atau memenangkan suatu bentuk permainan. Permainan merupakan salah satu produksi acara televisi yang paling mudah dibuat. Program permainan biasanya membutuhkan biaya produksi yang relatif rendah namun dapat menjadi acara televisi yang sangat digemari. Program permainan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: a. Quiz show Ini merupakan bentuk program permainan yang paling sederhana di mana sejumlah peserta saling bersaing untuk menjawab sejumlah pertanyaan. Permainan ini biasanya melibatkan peserta dari kalangan orang biasa atau anggota masyarakat, namun terkadang 22 pengelola program dapat menyajikan acara khusus yang melibatkan orang-orang terkenal (selebriti). b. Ketangkasan Peserta dalam permainan ini harus menunjukkan kemampuan fisik atau ketangkasannya untuk melewati suatu halangan atau rintangan atau melakukan suatu permainan yang membutuhkan perhitungan dan strategi. Permainan ini terkadang juga menguji pengetahuan umum peserta. c. Reality show Jika melihat karakteristik di atas, reality show dapat dimasukkan ke dalam kelompok fidelity or realism. Reality show bukanlah program baru dalam pertelevisian, akan tetapi konsepnya telah bergeser dari konsep dasar program tersebut. Pada awalnya, reality show mempunyai konsep yang sederhana, yaitu memotret kehidupan orang awam (bukan selebritis), kemudian disiarkan dan ditonton oleh orang banyak. Mereka yang kehidupannya disorot merasa senang dan yang menonton terhibur. Saat ini reality show tidak hanya memotret kehidupan orang, reality show pun menjadi ajang kompetisi. Sesuai dengan namanya maka program ini mencoba menyajikan suatu situasi seperti konflik, persaingan atau hubungan berdasarkan realitas yang sebenarnya. Jadi menyajikan situasi sebagaimana apa adanya. Program ini mencoba menyajikan suatu keadaan yang nyata dengan cara yang sealamiah mungkin tanpa rekayasa. Pada dasarnya reality show tetap merupakan permainan (game). Popularitas program reality show sangat menonjol belakangan ini, bahkan beberapa program yang sebenarnya tidak realistis pun ikut-ikutan menggunakan nama atau jargon reality show untuk mendongkrak daya jualnya. Tingkat realitas yang disajikan dalam reality show ini bermacam-macam, mulai dari yang betul-betul realistis, misalnya hidden camera, hingga yang terlalu banyak rekayasa namun tetap menggunakan nama reality show. Terdapat beberapa bentuk reality show menurut Morrisan (2005), yaitu: 1. Hidden camera atau kamera tersembunyi. Ini merupakan program yang paling realistis yang menunjukkan situasi yang dihadapi seseorang secara apa adanya. Kamera ditempatkan secara tersembunyi yang mengamati gerak-gerik atau tingkah laku subjek yang berada di tengah situasi yang sudah dipersiapkan sebelumnya (direkayasa). 2. Competition show. Program ini melibatkan beberapa orang yang saling bersaing dalam kompetisi yang berlangsung selama beberapa hari atau minggu untuk memenangkan 23 perlombaan, permainan (game) atau pertanyaan. Setiap peserta akan tersingkir satu persatu melalui pemungutan suara (votting), baik oleh peserta, sendiri ataupun audiens. Pemenangnya adalah peserta yang paling akhir bertahan. 3. Relationship show. Seorang kontestan harus memilih salah satu orang dari sejumlah orang yang berminat untuk menjadi pasangannya. Para peminat harus bersaing untuk merebut perhatian kontestan agar tidak tersingkir dari permainan. Pada setiap episode ada satu peminat yang harus disingkirkan. 4. Fly on the wall. Program yang memperlihatkan kehidupan sehari-hari dari seseorang (biasanya orang terkenal) mulai dari kegiatan pribadi hingga aktivitas profesionalnya. Kamera membututi ke mana saja orang bersangkutan pergi. 5. Program mistik. Program yang terkait dengan hal-hal supranatural menyajikan tayangan yang terkait dengan dunia gaib, paranormal, klenik, praktek spiritual magis, mistik kontak dengan roh, dan lain-lain. Program mistik merupakan program yang paling diragukan realitasnya, apakah peserta betul-betul melihat makhluk halus atau tidak, dan apakah penampakan itu betul-betul ada atau tidak. Acara yang terkait dengan mistik ternyata menjadi program yang memiliki audiens sendiri. 6. Program amal (charity), konsep yang disampaikan adalah menolong orang lain. Sebuah tayangan reality show kebanyakan bersifat menghibur, sebagian bermakna dan memberi manfaat, sedangkan sebagian lagi hanyalah memberi kesenangan semata. Ada tayangan reality show yang bersifat menggugah emosi penonton, membuat orang jadi terharu, sedih, bahkan menangis, kemudian ada reality show yang membuat orang tersenyum, bahkan tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan perilaku atau para pemainnya. Berikut ini merupakan dampak positif reality show menurut Rahmasyilla yang dikutip oleh Kurniawan (2009), yaitu: 1. Tujuan semua dari reality show yaitu untuk hiburan, maka tayangan reality show dapat memberikan aspek hiburan untuk melepaskan diri dari permasalahan yang berkembang. 2. Reality show dapat menumbuhkan rasa sosial di kalangan pemirsa terhadap orang lain yang menderita yang ditampilkan dalam tayangan tersebut, seperti yang diharapkan dalam charity reality show. 3. Reality show memberikan pengajaran kepada pemirsa untuk tidak cepat menyerah apabila mendapatkan kesulitan dan tidak mementingkan diri sendiri. 24 4. Menjadi salah satu jalan untuk mencapai cita-cita sebagian masyarakat menjadi seorang bintang melalui reality show yang bertajuk kontes bakat atau pencarian bintang. 5. Dampak positif luar biasa dirasakan oleh media yang menayangkan reality show adalah peningkatan rating dan share. Rating adalah persentase penonton acara itu dari keseluruhan pemirsa yang menonton televisi. Share adalah persentase penonton acara itu dari keseluruhan pemirsa yang menonton televisi saat itu. 6. Peningkatan rating dan share menyebabkan meningkatkan pemasang iklan dalam tayangan tersebut, sehingga pendapatan stasiun televisi bertambah. Selain dampak positifnya, Rahmasyilla yang dikutip oleh Kurniawan (2009) mengatakan dampak negatif reality show adalah: berbentuk tekanan emosi dan psikologis. Tayangan reality show berbentuk tekanan emosi dan psikologis ternyata memberikan efek yang cukup besar terutama untuk objek penderitanya. Mereka yang “dijahili” atau ditakuttakuti banyak yang bersalah secara psikologis, tidak jarang efeknya berupa trauma yang terus dirasakan oleh objek penderita tadi. Berikut beberapa kasus yang berkenaan dengan tayangan reality show berbentuk tekanan emosi: a. Direktur Trans TV dan Produser reality show “Paranoid” dilaporkan oleh Diana Damey Pakpahan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tuntutan ganti rugi Rp 40 Miliar untuk kerugian imateriil dan Rp 250 juta untuk kerugiaan materiil. Gugatan ini buntut dari tindakan Kru Paranoid yang menakut-nakutinya ketika keluar dari RS. Pondok Indah yang menyebabkan korban yang sedang hamil 8 bulan terjatuh. Walaupun tidak berakibat fatal pada janinnya, tetapi korban trauma dan merasa ketakutan kalau sendirian di rumah. b. MOP (Mbikin Orang Panik) mencoba mengerjai targetnya dengan berpura-pura ditangkap polisi karena kedapatan menggunakan narkotika. Kasus ini dianggap merusak citra Polisi, karena pada kasus main-main ini aparat kepolisian memang disertakan dalam skenario. Akhirnya MOP berakhir jam tayangnya. c. Salah satu episode H2C (Harap-Harap Cemas), pihak keluarga yang diinterogasi merasa jengkel dengan pemaksaan yang dilakukan kru acara tersebut sehingga akhirnya mengacungkan senjata api ke kamerawan. Kejengkelan tersebut dapat dimaklumi, tapi penggunaan senjata api menyebabkan mereka berurusan dengan kepolisian. 25 d. Program ‘Gentayangan’ yang ditayangkan live di pantai Karang Bolong, Banten, menyebabkan seorang peserta perempuan yang tidak tahan uji keberanian pingsan ketika keinginannya untuk mengakhiri pengujian tidak direspon secara cepat oleh Kru. Respons yang lambat ini seperti disengaja untuk menambah kesan eksotik siaran langsung tersebut. e. Romy Rafael pernah melakukan hipnotis kepada seorang Bapak sehingga Bapak tersebut berperan sebagai gadis penari yang bergoyang setiap musik dimainkan. Bapak tersebut menjadi bahan lelucon, penonton bergembira melihat Bapak yang “diperalat” tersebut, tetapi bagaimana dengan rasa malu yang dirasakan Bapak tersebut?. f. Melalui ajang kontes bakat, impian menjadi bintang merupakan sesuatu yang menggiurkan bagi setiap orang. Terbukti dengan antusiasme peserta yang mendaftarkan diri dalam kompetisi ini, namun banyak pula yang mencoba ikut serta tanpa menyadari potensi yang diharapkan dalam ajang ini sebenarnya tidak ada dalam dirinya. Tidak jarang mereka menjadi bahan tertawaan, atau bahkan pelecehan karena kejadiankejadian memalukan malah dijadikan tayangan rutin. g. Program charity reality show banyak diprotes karena dianggap mengeksploitasi orang miskin. Berikut beberapa pandangan negatif dari tayangan charity reality show, yaitu: tayangan ini dianggap sebagai eksploitasi terhadap orang miskin; mendidik masyarakat untuk boros, mendapatkan rezeki harus dihabiskan dalam waktu singkat; dan perbuatan baik, menolong orang lain, dipusatkan pada satu bentuk ‘uang’. 3. Musik Program musik dapat ditampilkan dalam dua format, yaitu video klip dan konser. Program musik berupa konser dapat dilakukan di lapangan (outdoor) ataupun di dalam studio (indoor). Program musik di televisi saat ini sangat ditentukan dengan kemampuan artis menarik audiens. Tidak saja dari kualitas suara namun juga berdasarkan bagaimana mengemas penampilannya agar menjadi lebih menarik. Menurut Vane-Gross yang dikutip oleh Morrisan (2005), programmer yang ingin menyajikan acara musik harus mempertimbangkan beberapa hal agar acara itu bisa mendapatkan sebanyak mungkin audiens, yaitu: 26 1. Pemilihan artis yang memiliki daya tarik demografis yang besar, misalnya artis yang memiliki banyak penggemar pria atau artis yang banyak digandrungi para wanita, kelompok remaja (ABG), dan kalangan orang tua. 2. Pengambilan gambar yang menarik secara visual. Televisi harus menampilkan sebanyak mungkin gambar pendukung dan tidak membiarkan suatu pengambilan gambar (sekuen) yang terlalu lama. Mengambil gambar artis yang tengah menyanyi tidak sama dengan mewawancarai si artis. Dalam shooting musik maka gambar harus berganti-ganti secara dinamis. 4. Pertunjukan Program pertunjukan adalah siaran yang menampilkan satu atau banyak pemain yang berada di atas panggung yang menunjukkan kemampuannya kepada sejumlah orang atau hanya kepada audiens televisi. Pertunjukan ini dapat berupa lawak, sulap, dan juga pertunjukan lain seperti srimulat, ketoprak, wayang golek, wayang orang dan sebagainya. Menurut Radikun yang dikutip oleh Testiandini (2006) mengatakan bahwa saat ini tayangan televisi memprihatinkan karena sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Tayangan televisi yang dimaksud adalah tayangan-tayangan berselera rendah yang menampilkan hasrat tercela, sikap negatif, perbuatan merusak, hedonisme, pornografi, kekerasan, sadisme dan egoisme. Menurutnya, tayangan hedonisme adalah tayangan mempertontonkan pelampiasan memburu kesenangan, hidup mewah, berfoya-foya, hidup tanpa batas yang semuanya hanya demi kepuasan hawa nafsu, tanpa menghiraukan akibat buruk di belakang hari tanpa mengindahkan larangan agama sedangkan tayangan pornografi yaitu tayangan yang menampilkan adegan-adegan yang merangsang birahi dan mendorong pergaulan bebas atau seks bebas. Tayangan kekerasan adalah tayangan yang menampilkan penyalahgunaan kekuatan dan keunggulan fisik serta senjata untuk memaksakan kehendak, sedangkan tayangan sadisme menampilkan kebengisan dan kekejaman dimana yang kuat menyiksa yang lemah. Tayangan egoisme adalah tayangan yang menampilkan sikap mementingkan diri sendiri, keserakahan dan mengorbankan orang lain dengan menggunakan strategi yang licik. 2.1.4 Terpaan Media (Media Exposure) Televisi 27 Menurut Rakhmat (2005) terpaan media dapat dioperasionalkan sebagai frekuensi individu dalam menonton televisi, film, membaca majalah atau surat kabar maupun mendengarkan radio. Sari yang dikutip oleh Testiandini (2006) menyatakan terpaan media berusaha mencari data audiens tentang penggunaan media, baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan (longevity). Menurutnya, frekuensi menonton televisi adalah pengumpulan data khalayak tentang berapa kali (hari) seseorang menonton televisi dalam satu minggu (untuk meneliti program harian); berapa kali (minggu) seseorang menonton televisi dalam satu bulan (untuk program mingguan atau tengah bulanan); serta berapa kali (bulan) seseorang menonton televisi dalam satu tahun (untuk program bulanan). Durasi menonton adalah menghitung berapa lama khalayak mengikuti suatu program acara (berapa menit khalayak mengikuti suatu acara). Ardianto dan Erdinaya (2004) menambahkan bahwa durasi berkaitan dengan waktu, yakni jumlah menit dalam setiap penayangan acara. Suatu acara tidak akan mencapai sasaran karena durasi terlalu singkat atau terlalu lama. Rosengren yang dikutip oleh Angdiami (2006) penggunaan media terdiri dari jumlah waktu yang digunakan dalam berbagi media, jenis isi media, media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan. Pakar lainnya, Shore yang dikutip oleh Angdiami (2006) memberikan definisi sebagai berikut: “Terpaan media adalah lebih lengkap daripada akses. Terpaan tidak hanya menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup dekat dengan kehadiran media massa akan tetapi apakah seseorang itu benar-benar terbuka dengan pesan-pesan media tersebut. Terpaan merupakan kegiatan mendengar, melihat dan membaca pesan-pesan media massa ataupun pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu maupun kelompok”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dikutip oleh Kurniawan (2009), terpaan dapat diartikan sebagai serangan berdasarkan intensitas (kualitas) dan frekuensi (kuantitas) karena dengan mengetahui intensitas dan frekuensi menonton yang dilakukan oleh pemirsa, dari situlah dapat diketahui seberapa besar terpaan yang berpengaruh terhadap pemirsa. Menurut Effendy yang dikutip Kurniawan (2009), media exposure (terpaan media) berarti keadaan terlibatnya khalayak tertentu dalam masyarakat suatu negara atau daerah sebagai komunikasi massa, misalnya pembaca surat kabar, pendengar atau pemirsa. Ini bisa berarti bahwa pemirsa di dalam menonton suatu tayangan akan terkena terpaan media tersebut, sehingga penonton akan dapat memenuhi rasa ingin tahunya akan suatu informasi. 28 Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa terpaan merupakan suatu kondisi atau keadaan individu yang menerima pesan dari suatu media secara terus-menerus. Efek terpaan suatu pesan akan terlihat berhasil bergantung pada proses memilih atau menyeleksi informasi dengan aspek-aspek tertentu yang dapat berguna bagi individu, yang diawali dari adanya rangsangan yang diterima oleh alat indera kemudian diproses untuk dikaji kembali. Terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ berkaitan dengan frekuensi dan durasi terhadap tayangan yang disajikan. Lowery dan De Fleur yang dikutip oleh Daisiwan (2007) menambahkan bahwa setiap individu memiliki perilaku tertentu dalam menggunakan media massa. Perilaku tersebut selanjutnya menjadi dasar untuk melihat pengaruh media massa, khususnya televisi. Terdapat tiga hal yang dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk mengidentifikasi perilaku anak-anak dan remaja dalam menonton televisi, yaitu: 1. Total waktu yang digunakan untuk menonton televisi dalam sehari. 2. Pilihan program acara yang ditonton dalam sehari serta program acara yang paling disukai. 3. Frekuensi menonton program acara. 2.1.5 Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Remaja dengan Terpaan Media Televisi 1. Jenis Kelamin. Berdasarkan data hasil penelitian Kuswarno yang dikutip Testiandini (2006) ternyata banyak responden laki-laki menunjukkan motivasi yang rendah untuk memenuhi kebutuhan kognitif dari menonton televisi. Sebaliknya, responden wanita menunjukkan motivasi yang sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan kognitif dengan menonton televisi. Berdasarkan hasil penelitian Riana dan Purwanto yang dikutip oleh Testiandini (2006) ternyata laki-laki lebih menyukai menonton acara hiburan seperti kuis, acara olahraga, dan film action, sedangkan perempuan lebih menyukai menonton sinetron, telenovela, dan infotainment. Morrisan (2005) menambahkan bahwa tidak semua program dapat dibedakan menurut segmen ini. Program drama komedi, misalnya jarang dibedakan menurut segmentasi audiens berdasarkan jenis kelamin (gender). Tetapi program-program tertentu seperti program olahraga (biasanya disukai laki-laki), infotainment (wanita), sinetron (wanita), program 29 memasak (wanita), program berita (laki-laki) dapat menggunakan segmen ini. Pada umumnya wanita lebih banyak menonton televisi dari pada laki-laki. 2. Usia Hasil penelitian Kuswarno yang dikutip oleh Testiandini (2006) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup berarti antara usia responden dengan motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Semakin rendah usia responden, maka motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif juga semakin rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tua responden ternyata semakin banyak membutuhkan informasi dari televisi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 1994 yang dikutip oleh Testiandini (2006) menyatakan orang-orang dari kategori umur 36 sampai 64 tahun menghabiskan waktu untuk menonton televisi lebih banyak dibandingkan kategori usia lain, sedangkan persentase kegiatan menonton televisi paling rendah terdapat pada kelompok usia 25 sampai 29 tahun. Data BPS tersebut semakin menguatkan, bahwa semakin tua usia seseorang, curahan waktu untuk memperoleh informasi dari televisi akan semakin besar. Jika dikaitkan dengan sesama remaja yang bersekolah, misalnya tingkat SLTA, maka variabel usia tidak berlaku karena usia remaja SLTA hampir sama, sehingga tidak ada perbedaan yang sangat mencolok dalam hal selisih umur mereka yang mempengaruhi. Oleh karena itu, variabel usia tidak dijadikan dasar untuk variabel faktor internal remaja yang akan mempengaruhi terpaan tayangan pada remaja. 3. Domisili Menurut Morrisan (2005) mereka yang tinggal di daerah elit di kota memiliki karakter yang berbeda dengan mereka yang tinggal di kawasan perkampungan (desa). Menurut Suharto (2006) menunjukkan bahwa pada remaja di kota Jakarta memiliki durasi menonton berita kriminal yang semakin rendah sejalan dengan peningkatan pengetahuannya tentang kriminalitas. Hal ini dapat terjadi karena mereka menilai apabila tontonan tersebut tidak menambah manfaat bagi dirinya, maka mereka semakin tidak lengkap menonton berita tersebut. Remaja di kota dan remaja di desa mempunyai karakteristik dan aktivitas yang berbeda, misalnya dalam hal pengetahuan dan kegiatan mereka. Oleh karena itu, domisili 30 dapat dijadikan dasar untuk variabel faktor eksternal yang diduga akan mempengaruhi terpaan tayangan pada remaja. 4. Uang saku Hasil penelitian Kuswarno yang dikutip Testiandini (2006) menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat ekonomi, ternyata tingkat motivasi untuk memenuhi kebutuhan kognitif dari televisi akan berkurang. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Bajari yang dikutip Testiandini (2006) menunjukkan bahwa semakin tinggi penghasilan, ternyata semakin menyisihkan televisi karena pilihan kesenangan non media yang luas. Oleh karena itu, uang saku dapat dijadikan dasar untuk variabel faktor eksternal yang diduga akan mempengaruhi terpaan tayangan pada remaja. 5. Kegiatan ekstrakurikuler Hasil penelitian Budyatna yang dikutip Testiandini (2006) juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola menonton antara wanita yang bekerja akibat adanya perbedaan pola pemanfaatan waktu luang. Wanita bekerja lebih sedikit meluangkan waktunya untuk menonton televisi dibandingkan dengan wanita tidak bekerja sehingga diperkirakan efek televisi lebih banyak terjadi pada wanita tidak bekerja dari pada wanita bekerja. Kesesuaian waktu luang dengan waktu penayangan suatu acara televisi juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi akses seseorang terhadap suatu acara televisi pada remaja. Bagi para remaja yang bersekolah, pekerjaan yang dimaksud adalah kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya masing-masing. Remaja yang disibukkan oleh kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya, akan mempunyai waktu luang yang lebih sedikit dibandingkan dengan remaja yang tidak mengikuti. Hal ini akan menyebabkan perbedaan pola penggunaan televisi diantara mereka. Oleh karena itu, kegiatan ekstrakurikuler dapat dijadikan dasar untuk variabel faktor eksternal yang diduga akan mempengaruhi terpaan tayangan pada remaja. 6. Peringkat di kelas (prestasi akademik) Prestasi berkaitan dengan pendidikan. Prestasi yang dimaksud adalah prestasi akademik di sekolah, yaitu peringkat di kelas. Menurut hasil penelitian Suharto (2006) menunjukkan bahwa peringkat di kelas berhubungan nyata positif dengan minat remaja dalam menonton berita kriminal. Artinya, semakin rendah peringkat di kelas maka semakin rendah minat remaja dalam menonton berita kriminal. 7. Motivasi 31 Motivasi merupakan usaha yang dilakukan manusia yang menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan kegiatan. Remaja mempunyai motivasinya masing-masing dalam menonton acara televisi. Berdasarkan penelitan yang dilakukan Shaliza yang dikutip Kurniasih (2006) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara motivasi menonton acara televisi dengan jenis acara yang ditontonnya dimana remaja tingkat SLTP, acara hiburan anak paling banyak ditonton dengan motivasi pelepasan ketegangan (hiburan). Pada tingkat SMU, acara hiburan drama paling banyak ditonton dengan motivasi afektif dan motivasi pelepasan ketegangan (hiburan). Pengaruh siaran televisi terhadap emosi pada remaja SLTP dan SMU menunjukkan bahwa 75 persen memberikan reaksi sesuai dengan acara yang ditontonnya. Motivasi ini kemudian diduga menjadi salah satu variabel faktor internal remaja yang dapat mempengaruhi terpaan tayangan JAM pada remaja. Menurut Joseph R. Dominick yang dikutip oleh Morrisan (2005) menjelaskan berbagai penggunaan dan pemuasan terhadap media ini dapat dikelompokkan ke dalam empat tujuan, yaitu: a. Pengetahuan Seseorang menggunakan media massa untuk mengetahui sesuatu atau memperoleh informasi tentang sesuatu. Hasil survai menunjukkan alasan orang-orang menggunakan media antara lain: saya ingin mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, saya ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia, saya ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh para politisi. b. Hiburan Kebutuhan dasar lainnya pada manusia adalah hiburan dan orang mencari hiburan salah satunya kepada media massa, terutama televisi. Hiburan dapat diperoleh melalui beberapa bentuk yaitu: (1) stimulasi atau pencarian untuk mengurangi rasa bosan atau melepaskan diri dari kegiatan rutin; (2) relaksasi atau santai yang merupakan bentuk pelarian dari tekanan dan masalah; dan (3) pelepasan emosi dari perasaan dan energi terpendam. c. Kepentingan sosial Kebutuhan ini diperoleh melalui pembicaraan atau diskusi tentang sebuah program televisi, film terbaru, atau program radio siaran terbaru. Isi media menjadi bahan perbincangan yang hangat. Media memberikan kesamaan landasan untuk membicarakan 32 masalah sosial. Media juga berfungsi untuk memperkuat hubungan dengan keluarga, teman, dan yang lainnya dalam masyarakat. d. Pelarian Orang yang menggunakan media tidak hanya untuk tujuan santai tetapi juga sebagai bentuk pelarian. Orang menggunakan media massa untuk mengatasi rintangan antara mereka dengan orang lain, atau untuk menghindari aktivitas lain. McQuail yang dikutip oleh Kurniasih (2006) menyebutkan empat motivasi seorang individu baik individu remaja maupun dewasa dalam menonton acara televisi, yaitu: 1. Informasi, misalnya: meliputi mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat, dan dunia; mencari bimbingan menyangkut berbagai masalah praktis, pendapat, dan hal-hal yang berkaitan dengan penentuan pilihan; memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum; belajar, pendidikan diri sendiri; dan memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan. 2. Identitas pribadi, misalnya: menemukan penunjang nilai-nilai pribadi; menemukan model perilaku; mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media); dan meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri. 3. Integrasi dan interaksi sosial, misalnya: memperoleh pengetahuan tentang keadaan orang lain (empati sosial); mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa memiliki; menemukan bahan percakapan dan interaksi sosial; memperoleh teman selain manusia; membantu menjalankan peran sosial; dan memungkinkan seseorang untuk dapat menghubungi sanak keluarga, teman, dan masyarakat. 4. Hiburan, misalnya: melepaskan diri atau terpisah dari permasalahan; bersantai; memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis; mengisi waktu; penyaluran emosi; dan membangkitkan gairah seks. 8. Pekerjaan orang tua Audiens yang memiliki jenis pekerjaan tertentu umumnya mengkonsumsi barangbarang tertentu yang berbeda dengan jenis pekerjaan lainnya. Selera merekapun umumnya juga berbeda dalam mengkonsumsi program. Menurut Morrisan (2005) kalangan ekstekutif lebih menyukai program yang dapat mendorong daya pikir mereka atau membantu mereka dalam mengambil keputusan, misalnya program berita atau film-film tertentu, sementara kalangan pekerja kasar lebih menyukai musik dangdut. 33 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Gilang (2005), pekerjaan ayah sebagai ABRI (75 persen) berhubungan dengan tawuran. Pelajar yang mendapat didikan “keras” akan mencontoh perilaku orang tua karena orang tua merupakan model yang menarik untuk ditiru selain televisi. Oleh karena itu, pekerjaan orang tua dapat dijadikan dasar untuk variabel faktor eksternal yang diduga akan mempengaruhi terpaan tayangan pada remaja. 9. Pendapatan Orang Tua Morrisan (2005) mengatakan selera atau konsumsi sangat dipengaruhi oleh kelas yang ditinggali oleh konsumen tersebut. Program acara yang ditonton biasanya erat hubungannya dengan penghasilan yang diperoleh rumahtangga orang tersebut. Pendapatan seseorang akan menentukan di kelas sosial mana dia berada dan kedudukan sesorang dalam kelas sosial akan mempengaruhi kemampuannya berakses pada sumber-sumber daya. Berdasarkan hasil penelitian Daisiwan (2007), ternyata status ekonomi keluarga tidak berhubungan nyata dengan pola menonton sinetron remaja. Oleh karena itu, penghasilan orang tua dapat dijadikan dasar untuk variabel faktor eksternal yang diduga akan mempengaruhi terpaan tayangan pada remaja. 2.1.6 Empati Empati berasal dari kata Yunani, en (masuk ke dalam) dan pathos (penderitaan). Istilah “empati” juga berasal dari kata einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, secara harfiah berarti “merasa terlibat”. Pengenalan awal empati dalam bahasa Inggris dari kata Yunani empatheia yang berarti “ikut merasakan” (Goleman, 2002). Empati hampir sama dengan simpati, tetapi lebih terhanyut masuk ke dalam seolah ikut merasakannya secara emosional. Baron dan Byrne (2003) mejelaskan empati sebagai berikut: “Empati merupakan respon afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik, dan mencoba menyelesaikan masalah, dengan mengambil perspektif orang lain. Seseorang dapat menjadi empatik kepada karakter fiktif sebagaimana kepada korban pada kehidupan nyata. Empati meliputi komponen afektif maupun kognitif. Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa. Komponen afektif penting untuk empati, dan bahkan anak-anak 34 berusia dua bulan tampak jelas merasakan stres dan sebagai respons dari stres yang dirasakan orang lain”. Johnson, dkk. yang dikuip oleh Sari, dkk. (2008) mengatakan empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seseorang yang berempati digambarkan sebagai seseorang yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, dan mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik. Kemampuan mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya merupakan intisari empati. Tanpa kemampuan ini, orang dapat menjadi terasing, salah menafsirkan perasaan sehingga mati rasa atau tumpulnya perasaan yang berakibat rusaknya hubungan. Salah satu wujud kurangnya empati adalah ketika seseorang merasa cenderung menyamaratakan orang lain dengan dirinya, bukan memandangnya sebagai individu yang unik. Sari, dkk. (2008) juga menambahkan bahwa pada tingkat yang lebih rendah, empati mensyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain, pada tahap yang lebih tinggi empati mengharuskan seseorang mengindera sekaligus menanggapi kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat katakata. Berdasarkan pada pengertian-pengertian di atas, dapat diketahui unsur-unsur dalam empati, yaitu: (a) terjadinya proses persepsi dengan orang lain; (b) terjadinya proses komunikasi dengan orang lain baik verbal maupun nonverbal; (c) mengerti (memahami) apa yang dirasakan oleh orang lain; (d) mengerti (memahami) kebutuhan orang lain; (e) tidak hanya mengandung aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif yang ditunjukkan dalam gerakan, cara berkomunikasi; dan (f) tidak ikut lebur dalam pengalaman emosional orang lain. Memperhatikan unsur-unsur di atas, maka dapat disimpulkan pengertian empati yaitu kemampuan seseorang melihat realita dengan memahami perasaan dan kebutuhan orang lain dan menunjukkannya dalam gerakan cara berkomunikasi tanpa ikut lebur dalam pengalaman emosional orang lain. Goleman yang dikutip oleh Sari, dkk. (2008) mengemukakan prasyarat untuk melakukan empati adalah kesadaran diri, mengenali sinyal-sinyal perasaan yang tersembunyi dalam reaksi-reaksi tubuh sendiri. Seseorang hanya dapat berempati apabila mereka terlebih dahulu mengenali dirinya sendiri. Menurut Munawaroh yang dikutip oleh Sari, dkk. (2008) juga mengatakan bahwa empati akan lebih muncul pada saat individu melakukan aktivitas “thinking with” daripada “thingking for about” orang lain. 35 Empati memerlukan kerjasama antara kemampuan menerima, memahami secara kognitif dan afektif. Komponen kognitif melibatkan pemahaman terhadap perasaan orang lain, baik melalui tanda-tanda atau proses atau hubungan yang simpel maupun pengambilan perspektif yang kompleks. Selain kemampuan kognitif, empati juga melibatkan kemampuan afektif, yaitu respon emosional yang sesuai. Lebih jauh empati membutuhkan pengambilan keputusan untuk bertindak dengan perspektif afektif, sehingga pemahaman dan perasaan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku. Komponen efektif dari empati juga termasuk rasa simpatik, tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka, misalnya individu yang memiliki empati tinggi lebih termotivasi untuk menolong seorang teman daripada mereka yang memiliki empati rendah (Schlenker dan Britt yang dikutip Baron dan Byrne, 2003). Baron dan Byrne (2003) juga menambahkan bahwa kognisi dari empati yang relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain, kadang-kadang disebut sebagai ‘mengambil perspektif’ (persepective taking) yang mampu “menempatkan diri dalam posisi orang lain”. Manusia berbeda dalam memberikan respons terhadap tekanan atau distres emosional orang lain, dimulai dari individu yang sangat berempati secara konsisten merasa tertekan ketika seseorang merasa tidak bahagia sampai individu sosiopatik yang secara emosional tidak terpengaruh terhadap keadaan emosional orang lain. Davis, dkk. yang dikutip Baron dan Byrne (2003) mengatakan: “Perbedaan genetis dalam empati yang dihasilkan dari pemeriksaan lebih dari 800 pasang anak kembar identik dan tidak identik menemukan bahwa faktor keturunan mendasari dua aspek afektif dari empati (tekanan personal dan kepedulian simpatik) tetapi bukan empati kognitif. Faktor-faktor genetis berkontribusi pada sekitar sepertiga dari faktor-faktor yang menjelaskan adanya perbedaan empati afektif di antara orang-orang. Diasumsikan, faktorfaktor eksternal menjelaskan adanya perbedaan dalam empati kognitif dan mempengaruhi dua per tiga perbedaan empati afektif”. Psikolog Jane Stayer yang dikutip oleh Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik seseorang menentukan apakah potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi bagian yang penting dari diri. Situasi spesifik yang dapat meningkatkan atau 36 menghambat perkembangan empati salah satunya adalah peran dari sekolah dalam mengembangkan program pendidikan karakter. Menurut Lord yang dikutip Baron dan Byrne (2003) mengatakan di Amerika Serikat, sekitar 40 dari 50 negara bagian telah menjalankan program-program pendidikan karakter untuk mengajar anak-anak untuk jujur, bertingkah laku baik, menghargai orang lain, dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan empati menurut Lauster yang dikutip oleh Fidiyaningrum (2006), yaitu sebagai berikut: a. Menyadari sepenuhnya emosi, keinginan, hasrat diri sendiri, dan membiarkan juga emosi, hasrat, dan keinginan yang sama tumbuh pada orang lain. b. Belajar mendengar pendapat orang lain, walaupun tidak setuju dengan apa yang dikatakan dan membiarkan orang lain menyelesaikan apa yang dikatakannya serta mengajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian. c. Memperhatikan orang lain di jalan, di restoran dan di bus dan mencoba memahami perasaannya melalui air mukanya. d. Menilai orang lain tidak hanya didasarkan pada tampak luar saja. Jauh lebih penting lagi mengetahui sikap dasar seseorang, dan itu hanya akan didapat melalui pembicaraan dan tanya jawab yang menarik. e. Melihat film pendek di televisi, matikan suaranya dan mencoba memperkirakan pokok persoalan yang dibicarakan. Untuk itu setiap diri perlu menempatkan diri dalam adegan itu. f. Menganalisis perbedaan pendapat dalam suatu pembicaraan, mengapa pendapat seseorang bertentangan sama sekali dengan pendapat yang kita sampaikan. g. Menanyai diri sendiri mengapa dalam suatu situasi tertentu memberikan reaksi tertentu. Mengetahui latar belakang tingkah laku sendiri, maka akan mudah untuk menempatkan diri dalam kedudukan orang lain. h. Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai seseorang. i. Mencoba mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum melakukan penilaian tentang orang itu. Sekali saudara mengetahui mengapa seseorang mempunyai tingkah laku tertentu, maka saudara akan dapat menilainya dengan lebih tepat, dan sikap saudara terhadapnya juga akan lebih sesuai. j. Mengingat selalu bahwa setiap orang dipengaruhi oleh perasaan dan selanjutnya mempengaruhi tingkah lakunya. 37 Empati dalam penelitian ini adalah empati terhadap kemiskinan, yaitu kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain dan mencoba menyelesaikan masalah, dengan mengambil perspektif orang miskin. Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang miskin rasakan. Secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang orang miskin rasakan. Menurut Arsyad yang dikutip oleh Fidiyaningrum (2006), film merupakan salah satu media bimbingan yang dapat dijadikan sarana untuk mendorong dan meningkatkan motivasi, serta untuk menanamkan sikap dan segi-segi afektif lainnya. Teori Titchener mengatakan empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang (Goleman, 2002). Seseorang akan menirukan secara fisik atas beban orang lain terlebih dahulu sehingga akan memudahkan munculnya perasaan serupa yang dialami orang lain pada dirinya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fidiyaningrum (2006) diketahui bahwa pengaruh film yang diputar di televisi (audiovisual) terhadap perubahan sikap sangat besar. Individu memiliki kecenderungan untuk meniru obyek yang telah dilihatnya. Dengan melihat film “Children of Heaven” yang alur ceritanya sangat “menyentuh” dan dapat membangkitkan empati penonton, mahasiswa yang terlibat dalam penelitian juga mengalami peningkatan kecenderungan empatinya (bertambah 3,88 persen dari kondisi awal). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa televisi merupakan media informasi yang dapat memberikan pengaruh terhadap objek yang menontonnya. Tayangan yang disiarkan di televisi banyak menyumbang perubahan sikap dari objek yang menontonnya, termasuk tayangan reality show. Tayangan yang dinilai positif akan memberikan dampak yang positif bagi para penontonnya. 2.1.7 Remaja Hurlock yang dikutip oleh Daisiwan (2007) mengatakan remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintergrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak 38 tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari pubertas. Masa remaja didefinisikan lain oleh Mappiare yang dikutip Daisiwan (2007), menurutnya masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari beberapa definisi tersebut, remaja adalah masa tumbuh kembang dari anak-anak menuju dewasa. Remaja juga mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berfikir remaja ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat dewasa, tapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode perkembangan (Shaw dan Costanzo yang dikutip Ali dan Asrori, 2005). Sebelumnya remaja tidak memiliki tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau “fase topan dan badai”. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya (Monks dkk. yang dikutip Ali dan Asrori, 2005). Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi maupun fisik. Pada masa remaja perubahan yang terjadi sangat besar baik dari fisik maupun perubahan perilakunya. Ada empat perubahan pada masa remaja yang dikutip oleh Daisiwan (2007) dari Sabri, yaitu: 1. Meningkatnya emosi, perubahan emosi banyak terjadi pada awal masa remaja. 2. Perubahan tubuh, minat, dan peran. 3. Berubahnya minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. 4. Sebagian remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja, membuat mereka mempunyai masalah yang sulit diatasi oleh diri mereka sendiri. Remaja berusaha melepaskan diri dari orang tua, untuk menemukan identitas diri mereka. Remaja ingin mencari kejelasan tentang siapa diri mereka sebenarnya. Menurut Yusuf yang dikutip oleh Farida (2005), proses perkembangan mencari identitas diri dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya: 39 1. Iklim keluarga, yang berkaitan dengan interaksi sosio-emosional antaranggota keluarga, sikap, dan perlakuan orang tua terhadap anak. 2. Tokoh idola, orang-orang yang dianggap remaja sebagai figur yang memiliki posisi di masyarakat. Pada umumnya remaja mengidolakan tokoh-tokoh dari kalangan selebriti. 3. Peluang pengembangan diri, yaitu kesempatan untuk melihat ke depan dan menguji dirinya dalam setting kehidupan yang beragam. Berdasarkan keterangan di atas, remaja sering meniru selebritis favoritnya ketika mereka menonton televisi. Remaja meniru cara berpakaian, model rambut, dan cara berbicara para idola mereka. Mengingat tokoh idolanya sering muncul di media massa, terutama di televisi, maka remaja sangat suka dan termotivasi dalam menonton televisi. Perkembangan intelektual yang terus menerus menyebabkan remaja mencapai tahap berpikir operasional formal. Tahap ini memungkinkan remaja mampu berpikir secara lebih abstrak, menguji hipotesis, dan mempertimbangkan apa saja peluang yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya. Kemampuan intelektual seperti ini membedakan fase remaja dari fase-fase sebelumnya (Shaw dan Costanzo, yang dikutip Ali dan Asrori, 2005). Perkembangan remaja membawa perubahan psikis yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan sifat-sifat baru. Karakteristik umum perkembangan remaja adalah bahwa remaja merupakan peralihan dari masa anak menuju masa dewasa sehingga seringkali menunjukkan sifat-sifat karakteristik seperti kegelisahan atau kebingungan karena terjadi suatu pertentangan, keinginan untuk menghayal dan aktivitas kelompok. Adapun karakteristik penyesuaian diri remaja yang dijelaskan oleh Ali dan Asrori (2005) adalah sebagai berikut: 1. Penyesuaian diri terhadap peran dan aktivitas. Penyesuaian diri remaja secara khas berupaya untuk dapat berperan sebagai subjek yang kepribadiannya memang berada dengan anak-anak ataupun orang dewasa. 2. Penyesuaian diri remaja terhadap pendidikan. Penyesuaian diri remaja secara khas bertujuan ingin meraih sukses dalam studi, tetapi dengan cara-cara yang menimbulkan perasaan bebas dan senang. 3. Penyesuaian diri remaja terhadap kehidupan seks. Remaja ingin memahami kondisi seksual dirinya dan lawan jenisnya serta mampu bertindak untuk menyalurkan dorongan seksualnya yang dapat dimengerti dan dapat dibenarkan oleh norma sosial dan agama. 40 4. Penyesuaian diri terhadap norma sosial. Hal ini dilakukan agar dapat terwujud internalisasi norma, baik pada kelompok remaja, lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat luar. 5. Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan waktu. Remaja melakukan penyesuaian antara dorongan kebebasannya serta inisiatif serta kreativitasnya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Penggunaan waktu luang akan menunjang pengembangan diri dan manfaat sosial. 6. Penyesuaian diri remaja terhadap penggunaan uang. Remaja berusaha untuk mampu bertindak secara profesional, melakukan penyesuaian antara kelayakan pemenuhan kebutuhannya dengan kondisi ekonomi orang tuanya. Upaya penyesuaian penggunaan uang diharapkan akan menjadi efektif dan efisien serta tidak menimbulkan keguncangan pada diri remaja itu sendiri. 7. Penyesuaian diri remaja terhadap kecemasan, konflik, dan frustasi. Strateginya melalui mekanisme pertahanan diri seperti kompensasi, rasionalisasi, proyeksi, sublimasi, identifikasi, regresi, dan fiksasi. Seorang remaja yang sedang menonton tayangan televisi secara tidak sengaja akan mempelajari atau merumuskan hal-hal baru yang kemudian akan diingatnya dan kemudian ditiru. Proses internalisasi dapat terjadi apabila individu menerima pengaruh karena nilai-nilai yang ditayangkan televisi sesuai dengan sistem nilai pada dirinya. Remaja dapat mengidentifikasikan dirinya berdasarkan tontonan di dalam televisi, kepribadiannya terbentuk oleh style televisi. Remaja seperti ini menunjukkan betapa televisi telah berhasil menginfiltrasi realitas dan menuntun gaya hidup remaja. Apabila seorang remaja tidak dapat menyesuaikan diri antara informasi yang akan mereka terapkan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, maka remaja tersebut akan mengalami perubahan moral yang tidak sejalan dengan kematangan mental dan akan mengakibatkan bahaya psikologis dalam diri remaja tersebut. 2.2 Kerangka Pemikiran Tayangan yang bertema sosial di televisi berpotensi memunculkan pengaruh yang positif terhadap remaja, salah satunya program acara ‘Jika Aku Menjadi’ di Trans TV. Empati remaja (kognitif dan afektif) diduga dipengaruhi oleh terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ 41 yang disinyalir banyak menampilkan informasi ditujukan untuk memberi pemahaman dan empati pada masyarakat atas. Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dapat diukur dari frekuensi menonton dan durasi menonton. Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ diduga dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal remaja. Faktor internal remaja yang diteliti terdiri dari jenis kelamin, motivasi peringkat di kelas, sedangkan faktor eksternal remaja terdiri dari domisili, uang saku, kegiatan ekstrakurukuler, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. Hubungan antar variabel-variabel penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Faktor Internal • Jenis kelamin • Motivasi menonton • Peringkat di kelas Terpaan Tayangan ‘Jika Faktor Eksternal • Domisili • Uang saku • Kegiatan ekstrakurikuler • Pekerjaan orang tua • Pendapatan orang tua Keterangan: → = berhubungan Aku Menjadi’ Empati • Frekuensi menonton • Durasi menonton • Kognitif • Afektif 42 Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengaruh Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ terhadap Empati Remaja 2.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah suatu asumsi yang berperan sebagai penyelesaian sementara. Hipotesis juga bisa dianggap sebagai suatu pernyataan yang sifatnya harus dijawab lewat suatu eksperimen atau seri-seri observasi (Soehartona, 1995). Supardi yang dikutip oleh Soehartona (1995) mengatakan bahwa hipotesis adalah suatu pendapat yang masih bersifat sementara. Berdasarkan kerangka pemikiran pada Gambar 1, maka hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan nyata antara faktor internal remaja dan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 2. Terdapat hubungan nyata antara faktor ekternal remaja dan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 3. Terdapat hubungan nyata antara terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dan empati remaja. 2.4 Definisi Operasional 1. Jenis kelamin adalah pembedaan individu secara biologis, yang diukur dengan skala nominal dan dikategorikan sebagai berikut: 1. Laki-laki 2. Perempuan 2. Motivasi menonton adalah hal-hal atau faktor-faktor yang timbul dari dalam diri responden untuk menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, diukur dengan skala nominal dan dikategorikan sebagai berikut: 1. Informasi: misalnya, mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan tayangan’Jika Aku Menjadi’, lingkungan terdekat, dan masyarakat serta memuaskan rasa ingin tahu. 2. Hiburan: misalnya, melepaskan diri dari permasalahan yang ada, bersantai, dan mengisi waktu luang. 43 3. Interaksi sosial: misalnya, menemukan bahan percakapan dengan orang lain. 4. Identitas sosial: misalnya, menemukan penunjang nilai-nilai pribadi dan meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri. 3. Peringkat di kelas, yaitu tingkat prestasi karena kepandaian yang dimiliki responden di kelasnya berdasarkan penilaian guru dari akumulasi nilai akademis yang dinyatakan dalam nilai rapor. Data diukur dalam skala ordinal. Kategori peringkat di kelas meliputi: 1. Tinggi (jika peringkatnya 1 sampai 5); maka diberi skor 3. 2. Sedang (jika peringkatnya 6 sampai 10); maka diberi skor 2. 3. Rendah (jika peringkatnnya > 10); maka diberi skor 1. Pengkategorian tersebut berdasarkan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Suharto (2006). 4. Domisili adalah: lokasi tempat tinggal responden, yang diukur dengan skala nominal dan dikategorikan sebagai berikut: 1. Desa: dikatakan berdomisili di desa jika responden bertempat tinggal di wilayah Kecamatan Dramaga. 2. Kota: dikatakan berdomisili di kota jika responden bertempat tinggal di Kota Bogor. 5. Uang saku adalah sejumlah uang yang diberikan orang tua per hari untuk jajan dan ongkos ke sekolah (dalam hitungan rupiah). Data diukur secara ordinal, meliputi: 1. Tinggi (jika uang saku per hari > Rp10.000,00); maka diberi skor 3. 2. Sedang (jika uang saku per hari Rp5.000,00 sampai Rp10.000,00); maka diberi skor 2. 3. Rendah (jika uang saku per hari < Rp5.000,00); maka diberi skor 1. Pengkategorian tersebut berdasarkan jawaban responden hasil dari full enumeration survey yang dapat dilihat lihat pada Lampiran 1. Jawaban responden kemudian dikelompokkan berdasarkan uang saku responden terendah dan tertinggi kemudian dirata-rata. 44 6. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar akademis sekolah yang diikuti responden dan sebagai wadah berkreasi siswa di sekolah. Data diukur dalam skala ordinal. Kategori kegiatan ekstrakurikuler meliputi: 1. Banyak (jika kegiatan ekstrakurikuler > 1); maka diberi skor 3. 2. Sedikit (jika kegiatan ekstrakurikuler 1); maka diberi skor 2. 3. Tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler; maka diberi skor 1. Pengkategorian tersebut berdasarkan jawaban responden hasil dari full enumeration survey yang dapat dilihat lihat pada Lampiran 1. Jawaban responden kemudian dikelompokkan berdasarkan responden yang tidak ikut dan yang ikut kegiatan ekstrakurikuler. Dikatakan banyak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler jika responden mengikuti lebih dari satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya. 8. Pekerjaan orang tua adalah macam usaha yang dilakukan atau dijalankan ayah/ibu/wali yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga, yang menggunakan skala nominal dan dikategorikan sebagai berikut: 8. 1. Ibu Rumah Tangga. 4. PNS. 7. Nelayan. 2. Buruh. 5. Swasta. 8. Lainnya,….. 3. Wiraswasta. 6. Petani. Pendapatan orang tua (per bulan) adalah sejumlah uang yang dihasilkan ayah/ibu/wali dari pekerjaannya. Pengukuran menggunakan skala ordinal yang dikategorikan sebagai berikut: 1. Tinggi (jika pendapatan orang tua > Rp4.000.000,00 per bulan); maka diberi skor 3. 2. Sedang (jika pendapatan orang tua Rp2.000.000,00 sampai Rp4.000.000,00 per bulan); maka diberi skor 2. 3. Rendah (jika pendapatan orang tua < Rp2.000.000,00 per bulan); maka diberi skor 1. Pengkategorian tersebut berdasarkan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Valentine (2009). Pendapatan orang tua responden diketahui berdasarkan jawaban responden yang ada pada kuesioner. 9. Frekuensi menonton adalah berapa kali responden menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dalam waktu satu bulan, karena program ini tayang setiap Sabtu dan Minggu 45 (satu bulan = 4 minggu, jadi total tayangan sekitar 7 atau 8 kali penayangan dalam satu bulan). Data diukur menggunakan skala ordinal dan dikategorikan sebagai berikut: 1. Tinggi (jika menonton ‘Jika Aku Menjadi’ > 5 kali dalam sebulan); maka diberi skor 3. 2. Sedang (jika menonton ‘Jika Aku Menjadi’ 3 sampai 5 kali dalam sebulan); maka diberi skor 2. 3. Rendah (jika menonton ‘Jika Aku Menjadi’ < 3 kali dalam sebulan); maka diberi skor 1. 10. Durasi menonton adalah total waktu rata-rata yang digunakan responden untuk menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dalam sekali penayangan, diukur dengan skala ordinal dikategorikan sebagai berikut: 1. Tinggi (jika menonton ‘Jika Aku Menjadi’ > 40 menit); maka diberi skor 3. 2. Sedang (jika menonton ‘Jika Aku Menjadi’ 20 sampai 40 menit); maka diberi skor 2. 3. Rendah (jika menonton ‘Jika Aku Menjadi’ < 20 menit); maka diberi skor 1. 11 a. Kognitif adalah melibatkan pemahaman terhadap perasaan orang lain, baik melalui tanda-tanda atau proses atau hubungan yang sederhana yang diukur dengan skala ordinal, yang dikatekorikan sebagai berikut: 1. Empati tinggi (jika responden memenuhi skor 61 sampai 80). 2. Empati sedang (jika responden memenuhi skor 41 sampai 60). 3. Empati rendah (jika responden memenuhi skor 20 sampai 40). b. Kognitif episode “Pembuat Gelang Simpay” adalah melibatkan pemahaman terhadap perasaan orang lain, baik melalui tanda-tanda atau proses atau hubungan yang yang sederhana pada satu episode khusus yaitu episode “Pembuat Gelang Simpay” yang diukur dengan skala ordinal dan dikategorikan sebagai berikut: 1. Empati tinggi (jika responden memenuhi skor 31 sampai 40). 2. Empati sedang (jika responden memenuhi skor 21 sampai 30). 3. Empati rendah (jika responden memenuhi skor 10 sampai 20). 46 12 a. Afektif, yaitu respon emosional yang sesuai yang diukur dengan skala ordinal dan dikategorikan sebagai berikut: 1. Empati tinggi (jika responden memenuhi skor 61 sampai 80). 2. Empati sedang (jika responden memenuhi skor 41 sampai 60). 3. Empati rendah (jika responden memenuhi skor 20 sampai 40). b. Afektif episode “Pembuat Gelang Simpay”, yaitu respon emosional yang sesuai pada satu episode khusus yaitu episode “Pembuat Gelang Simpay” yang diukur dengan skala ordinal dan dikategorikan sebagai berikut: 1. Empati tinggi (jika responden memenuhi skor 31 sampai 40). 2. Empati sedang (jika responden memenuhi skor 21 sampai 30). 3. Empati rendah (jika responden memenuhi skor 10 sampai 20). 47 BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah survei yang bersifat explanatory (penjelasan), yakni untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesis. Nazir (1983) mengatakan metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang istitusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Metode survei membedah dan menguliti serta mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan wawancara terstruktur mengguanakan kuesioner sebagai instrumen utama untuk mendapatkan data kuantitatif. Selanjutnya kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok nantinya akan diolah dan diolah dan dianalisa melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi, 1989). Data kualitatif diperoleh dari wawancara kelompok dengan responden terpilih yang dipandu oleh panduan pertanyaan. Data kualitatif digunakan untuk memperkuat metode kuantitatif, sehingga didapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMAN 1 Dramaga (Jalan Babakan Dramaga No. 122, Bogor). Lokasi ini penulis pilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kemudahan akses karena lokasi ini dekat dengan kampus. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2010. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Menurut Soehartona (1995), populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian. Berdasarkan pengertian tersebut, maka populasi dalam penelitian ini adalah siswa 48 kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga, dengan jumlah siswa sebanyak 228 orang. Peneliti tidak mengikutsertakan siswa kelas XII dengan pertimbangan siswa kelas XII sedang menjalani Ujian Nasional. Pengertian sampel menurut Rakhmat (2005) adalah sebagian dari kumpulan objek penelitian (populasi) yang dipelajari dan diamati. Pengambilan sampel disesuaikan dengan jumlah populasinya. Unit analisis penelitian ini adalah individu siswa SMA dan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga yang sudah pernah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Penelitian ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Full enumeration survey, yaitu seluruh populasi di SMAN 1 Dramaga diberikan angket sederhana yang berisi tentang kebiasaan menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi dan kesediaan mereka untuk menjadi responden penelitian. Hal ini dilakukan kerena peneliti belum mengetahui profil populasi. Angket dibagi menjadi dua bagian, yaitu identitas responden dan kebiasaan menonton televisi. Berdasarkan hasil full enumeration survey (228 siswa), ada 113 siswa yang pernah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dan bersedia untuk dijadikan responden. 2. Uji kuesioner kepada 10 orang siswa SMA Kornita yang dilakukan untuk mengetahui ketepatan dan kelayakan kuesioner untuk digunakan sebagai alat ukur penelitian. 3. Setelah mengetahui profil responden dan mengetahui responden yang memenuhi kriteria untuk penelitian ini, peneliti menggunakan rumus Slovin dengan ketelitian 10 persen untuk menentukan jumlah responden penelitian, sehingga dari perhitungan sampel diperoleh 70 responden. Sebanyak 113 responden yang telah mengisi angket dan dinyatakan memenuhi kriteria dipilih 70 responden secara simple random sampling yang menjadi responden penelitian. 4. Pengisian kuesioner dilakukan dengan pendampingan secara langsung oleh peneliti sehingga memudahkan peneliti untuk lebih memperdalam data dan informasi yang dibutuhkan. Kuesioner ini dibagi menjadi enam bagian, yaitu: 1) identitas responden; 2) faktor internal remaja; 3) faktor eksternal remaja; 4) terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’; 5) empati remaja; dan 6) tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ episode “Pembuat Gelang Simpay”. 49 5. Wawancara kelompok, wawancara ini dilakukan untuk mengetahui lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Wawancara ini dilakukan secara sengaja berdasarkan penggolongan jenis kelamin, motivasi menonton, peringkat di kelas, domisili, uang saku, kegiatan ekstrakurikuler, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. Panduan pertanyaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh dari penelitian langsung di lapangan menggunakan kuesioner dan wawancara kelompok. 3.4 Teknik Analisis Data Pada dasarnya, analisa data adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu hipotesa (Subagyo, 1991). Analisa data adalah suatu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis yang dilakukan adalah data yang berupa jawaban dari para responden dikumpulkan dan dianalisa secara kuntitatif, yaitu data tersebut dikelompokkan dan dijumlahkan sehingga menghasilkan angka-angka, jadi data dari penelitian ini bersifat kuantitatif. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows untuk mempermudah melakukan pengolahan data. Data dari pengisian kuesioner disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan tabulasi silang. Data yang diperoleh bersifat nominal dan ordinal, sehingga untuk menganalisis hubungan antara data tersebut digunakan uji Rank Spearman dan Chi Square. Chi Square digunakan untuk menguji hubungan antara faktor internal remaja (jenis kelamin dan motivasi) dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ (frekuensi dan durasi menonton), hubungan faktor eksternal remaja (domisili dan pekerjaan orang tua) dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ (frekuensi dan durasi menonton). Rank Spearman digunakan untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antar variabel yang menggunakan skala pengukuran ordinal, yaitu hubungan faktor internal remaja (prestasi di kelas) dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, hubungan faktor ekternal remaja (uang saku, kegiatan ekstrakurikuler, dan pendapatan orang tua) dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ (frekuensi dan durasi menonton), hubungan terpaan tayangan 50 ‘Jika Aku Menjadi’ (frekuensi dan durasi menonton) dengan empati remaja (kognitif dan afektif). Formula koefisien Rank Spearman adalah: Keterangan: = korelasi Spearman n = banyaknya pengamatan d = disparitas atau selisih variabel X1 dan X2 Uji Chi Square digunakan untuk menguji hubungan antarvariabel skala nominal. Chi Square digunakan untuk menguji perbedaan antara frekuensi pengamatan dan frekuensi yang diharapkan. Prosedur tes Chi Square mentabulasi variabel ke dalam kategori-kategori dan melakukan hipotesis bahwa frekuensi yang diamati tidak berbeda dengan nilai yang diharapkan. Hasil uji Chi Square kemudian dilanjutkan dengan melihat keeratan hubungan antara dua variabel dengan rumus koefisien kontingensi (C). Makin besar C berarti hubungan antar dua variabel makin erat. Nilai C berkisar 0-1 (Singarimbun dan Effendi, 1989). Keterangan: = Chi Kuadrat = Frekuensi yang diamati, kategori ke-i = Frekuensi yang diharapkan dari kategori ke-i k = Jumlah kategori Keterangan: C = koefisien kontingensi = nilai Chi kuadrat n = banyaknya sampel 51 Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi menurut Sugiyono (1999) adalah sebagai berikut: 0,00 - 0,19 hubungan rendah sekali. 0,20 - 0,39 hubungan rendah. 0,40 - 0,59 hubungan cukup. 0,60 - 0,79 hubungan kuat. 0,80 - 1,00 sangat kuat. 52 BAB IV DESKRIPSI UMUM PROGRAM DAN SMA NEGERI 1 DRAMAGA 4.1 Profil Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ‘Jika Aku Menjadi’ adalah salah satu program Trans TV yang menayangkan informasi tentang lika-liku kehidupan orang dengan pekerjaan atau profesi tertentu dari kalangan masyarakat kelas bawah, namun segmentasi pemirsa adalah tetap kelas A dan B (kelas atas dan kelas menengah ke atas). Program ini diharapkan bisa membangkitkan semangat toleransi dan solidaritas sosial dari masyarakat kelas atas terhadap mereka yang di kalangan bawah. Melalui tayangan ini, penonton yang dari kelas segmen A dan B diharapkan akan lebih memahami bagaimana kehidupan masyarakat bawah, dan dengan demikian bisa lebih berempati dan solider, karena selama ini kalangan bawah itu hanya mereka lihat dari permukaan. Nama program : Jika Aku Menjadi. Tayang perdana : 27 November 2007. Durasi : 30 menit termasuk iklan. Hari tayang : Sabtu dan Minggu, pukul 17.30 sampai 18.00 WIB. Target audiens : A dan B (kelas kelas atas dan menengah ke atas), perempuan dan laki-laki. Konsep tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah program majalah berita, yang menyuguhkan informasi seputar kehidupan kalangan kelas bawah (pemulung, nelayan, buruh panggul pasar, kuli panggul pelabuhan, petani penggarap, penangkap kalong, buruh pemetik jamur, tukang kayu, tukang ojek sepeda, dan lain-lain). Informasi dalam ‘Jika Aku Menjadi’ ditujukan untuk memberi pemahaman, empati pada masyarakat kelas atas. Tidak dengan cara membagi-bagi uang atau barang atau renovasi rumah (seperti program di stasiun-stasiun TV lain), tetapi dengan menampilkan keseharian mereka di rumah, di lingkungan sekitar, di tempat kerja, dan sebagainya. Penonton dalam paket program ini diwakili oleh talent, yang berasal dari kelas A dan B (kelas atas dan menengah ke atas). Tayangan ini mengeksploitasi “kekikukan dan benturan budaya” ketika talent harus belajar memahami, dan menyesuaikan diri dengan kondisi 53 narasumber kelas bawah yang ditampilkan. Misalnya, bagaimana talent (dengan tampilan urban), yang biasa menggunakan toilet duduk ala budaya Barat, harus belajar buang air besar di WC kali atau di sawah, bagaimana talent yang biasa makan di restoran, harus makan cuma dengan nasi dan ikan asin murahan, bahkan nasi aking (nasi basi yang dijemur lalu dimasak kembali) bersama tuan rumah, karena ia menginap di rumah petani miskin. Si talent dalam tayangan ini harus tinggal setidaknya empat sampai lima hari dan menjalani hidup seperti orang dari kalangan bawah yang menjadi narasumbernya. Ia harus mengikuti aktivitas orang itu, mulai dari pagi, siang, sore, malam (si talent menumpang atau menginap di rumah si narasumber), sampai pagi lagi. Apabila si narasumber biasa mandi di kali, si talent juga harus ikut mandi di kali, kalau si narasumber tidur di kolong jembatan atau rumah gubuk di pinggir rel kereta api, si talent juga harus bergabung di sana, kalau si narasumber adalah kenek bus, si talent juga harus membantu menarik uang tarif bus dari para penumpang. Letak daya tarik tayangan ini adalah mengeksploitasi kelucuan, kekikukan, kegerahan, ketidaknyamanan, dan “penderitaan” dari talent, dalam menjalani kehidupan sebagai orang kalangan bawah. Pada akhir episode tayangan, talent menyatakan “kesan-kesannya” dan hikmah yang ia peroleh, setelah empat sampai lima hari menjalani kehidupan sebagai orang kalangan bawah, si narasumber juga mengomentari, bagaimana “ketahanan mental” si talent ketika harus hidup bersama mereka sebagai orang kalangan bawah. Wilayah tema tayangan ini adalah kehidupan kumuh atau sederhana atau unik atau susah dari masyarakat kelas bawah di perkotaan (pemulung, tukang bangunan, tukang ojek sepeda, dan sebagainya). Objek atau narasumber yang dipilih adalah figur yang memberi inspirasi (biar miskin, tetapi mau bekerja keras, bukan pemalas). Jadi, figur seperti pengemis, yang hanya mau minta-minta tapi tak bekerja, tidak akan dipilih. Acara ini dibawakan oleh seorang talent, yang tampil dengan gaya veritee (penceritaan dari sudut pandang orang pertama) di setiap episode. Satu episode berisi satu objek atau narasumber utama yang dieksploitasi seluruh sisi kehidupannya, melalui kacamata atau pengalaman langsung talent, sehingga diharapkan dalam satu episode, pemirsa memperoleh informasi secara utuh dan menyeluruh tentang kehidupan si narasumber (petani, nelayan, pemulung, guru di tempat terpencil, dan sebagainya). Pemirsa seolah-olah diwakili keterlibatannya di dalam tayangan, melalui kesan atau komentar atau pengalaman suka-duka si talent, dalam usahanya memahami, menghayati, dan ikut menjalani kehidupan si narasumber. Hali ini bisa menjadi pengalaman eksistensial yang mengejutkan dan 54 mengesankan buat si talent sendiri, maupun para pemirsa (segmen A dan B), yang dalam kehidupan sehari-hari mungkin tidak pernah tahu detail kehidupan kalangan kelas bawah. 4.2 Profil SMA Negeri 1 Dramaga Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Dramaga terletak di Jalan Babakan Dramaga No. 122 Bogor. SMAN 1 Dramaga dekat dengan instansi pendidikan lainnya yaitu SMPN 1 Dramaga dan kampus Institut Pertanian Bogor. SMAN 1 Dramaga berdiri pada tanggal 16 Juli 2006 dengan visi “Terwujudnya peserta didik yang berprestasi berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” dan misi: 1) menumbuhkan budaya membaca bagi warga sekolah; 2) melakukan proses pembelajaran yang efektif; 3) menumbuhkan semangat berprestasi warga sekolah dalam berkarya; 4) meningkatkan prestasi non akademis bagi siswa yang berbakat; 5) meningkatkan sarana atau prasarana ibadah; dan 6) mengembangkan partisipasi warga sekolah dan komite sesuai dengan tugas dan fungsi. Kelaskelas yang ada di SMAN 1 Dramaga adalah kelas X1, X2, X3, XI IPA 1, XI IPA 2, XI IPS, XII IPA 1, XII IPA 2, dan XII IPS, dengan jumlah murid sebanyak 325 orang. Guru SMAN 1 Dramaga berjumlah 20 orang yang 100 persen bergelar sarjana dan pegawai tata usaha berjumlah lima orang. SMAN 1 Dramaga memiliki beberapa sarana fisik seperti: ruang belajar, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang tata usaha, laboratorium komputer, lapangan upacara, lapangan olahraga, mushola, kamar kecil atau WC, kantin, dan pos satpam. 4.3 Profil Siswa Kelas X dan XI SMA Negeri 1 Dramaga Pada awal penelitian, dilakukan full enumeration survey kepada seluruh siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga dan hasilnya tersaji pada Tabel 2. Pada Tabel tersebut diketahui bahwa dari 228 (100 persen) siswa, ternyata 113 (49,5 persen) siswa yang menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Siswa yang menonton tayangan tersebut adalah responden dalam penelitian ini. Profil siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga meliputi faktor internal (jenis kelamin, motivasi menonton, dan peringkat di kelas) dan faktor eksternal (domisili, uang saku, kegiatan ekstrakurikuler, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua) remaja merupakan faktor yang diduga berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 55 Tabel 2. Jumlah dan Persentase Siswa Kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga yang Menonton dan Tidak Menonton ‘Jika Aku Menjadi’ Berdasarkan Jenis Kelamin, Domisili, Uang Saku, dan Kegiatan Ekstrakurikuler Menonton JAM Jumlah (orang) Persen (%) Tidak menonton JAM Jumlah Persen (orang) (%) 26 87 29,2 62,5 63 52 70,8 37,5 89 139 100,0 100,0 106 7 48,2 87,5 114 1 51,8 12,5 220 8 100,0 100,0 16 74 50,0 51,0 16 71 50,0 49,0 32 145 100,0 100,0 23 45,0 28 55,0 51 100,0 56 33 24 113 37,8 58,9 100,0 49,6 92 23 0 115 62,2 41,1 0,0 50,4 148 56 24 228 100,0 100,0 100,0 100,0 Profil siswa Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan Domisili: Desa Kota Uang Saku (per hari): Rendah (< Rp5.000,00) Sedang (Rp5.000,00 sampai Rp10.000,00) Tinggi (> Rp10.000) Kegiatan Ekstrakurikuler: Tidak ikut Sedikit (ikut satu kegiatan) Banyak (ikut > 1 kegiatan) Total Total Jumlah (orang) Persen (%) 4.3.1 Jenis Kelamin Siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga dibedakan menurut jenis kelamin berdasarkan pembedaan secara biologis yang dikategorikan atas laki-laki dan perempuan. Tabel 2 menunjukkan siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga yang berjenis kelamin lakilaki yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 26 (29,2 persen) siswa dan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 63 (70,8 persen) siswa, sedangkan siswa yang berjenis kelamin perempuan yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 87 (62,5 persen) siswa dan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 52 (37,5 persen) siswa. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa mayoritas siswa perempuan menonton ‘Jika Aku Menjadi’. Berdasarkan jawaban beberapa siswa laki-laki maupun perempuan tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ dengan alasan mereka tidak tertarik ketika melihat iklan promo tayangan tersebut di TV, sebagian lagi bahkan mengatakan mereka tidak tahu kalau ada tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ di TV. 4.3.2 Domisili 56 Siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga dibedakan menurut domisili berdasarkan tempat tinggal siswa yang dikategorikan atas desa dan kota. Data pada Tabel 2 menunjukkan siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga yang berdomisili di desa yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 106 (48,2 persen) siswa dan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 114 (51,8 persen) siswa, sedangkan siswa yang berdomisili di kota yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 7 (87,5 persen) siswa dan yang tidak menonton hanya satu (12,5 persen) siswa. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa persentase siswa yang berdomisili di kota lebih banyak yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ daripada yang berdomisili di desa. 4.3.3 Uang Saku Uang saku siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan jumlah uang yang diberikan orang tua setiap harinya meliputi uang jajan dan biaya transportasi ke sekolah. Data pada Tabel 2 menunjukkan siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga memiliki uang saku rendah yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 16 (50,0 persen) siswa dan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 16 (50,0 persen) siswa. Siswa yang memiliki uang saku sedang yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 74 (51,0 persen) siswa dan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 71 (49,0 persen) siswa, sedangkan siswa yang memiliki uang saku tinggi yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 23 (45,0 persen) siswa dan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 28 (55,0 persen) siswa. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa persentase siswa yang memiliki uang saku sedang lebih banyak yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ daripada siswa yang memiliki uang saku rendah dan tinggi. 4.3.4 Kegiatan Ekstrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga meliputi Pramuka, Paskibra, PMR, Seni Musik, dan Olahraga (Basket, Bulu Tangkis, Sepak Bola). Data yang tersaji pada Tabel 2 menunjukkan siswa kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga yang tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 56 (37,8 persen) siswa dan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 92 (62,2 persen) siswa. Siswa yang sedikit mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 33 (58,9 persen) siswa dan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 23 (41,1 persen) 57 siswa, sedangkan siswa yang banyak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seluruhnya menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak 24 (100,0 persen). Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa seluruh siswa yang mengikuti banyak kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya menonton ‘Jika Aku Menjadi’. 4.4 Profil Responden Siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah siswa yang pernah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dan telah dipilih secara simple random sampling. Profil responden terdiri dari faktor internal (jenis kelamin, motivasi menonton, dan peringkat di kelas) dan faktor eksternal (domisili, uang saku, kegiatan ekstrakurikuler, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua). Faktor-faktor ini diduga berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Sebaran data responden diuraikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Motivasi Menonton, Peringkat di Kelas, Domisili, Uang Saku, Kegiatan Ekstrakurikuler, Pekerjaan Orang Tua, dan Pendapatan Orang Tua Profil responden Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan Motivasi Menonton: Informasi Hiburan Interaksi Sosial Identitas Pribadi Peringkat di Kelas: Tidak diketahui Rendah (peringkat > 10) Sedang (peringkat enam sampai 10) Tinggi (peringkat satu sampai lima) Domisili: Desa Kota Uang Saku (per hari): Rendah (< Rp5.000,00) Sedang (Rp5.000,00 sampai Rp10.000,00) Tinggi (> Rp10.000) Kegiatan Ekstrakurikuler: Tidak ikut Sedikit (ikut satu kegiatan) Banyak (ikut lebih dari satu kegiatan) Pekerjaan Orang Tua Ayah: Buruh Wiraswasta Pegawai Swasta PNS Petani Jumlah (orang) 24 46 6 7 52 5 34,3 65,7 8,6 10,0 74,3 7,1 Persen (%) 9 38 9 14 65 5 12,9 54,2 12,9 20,0 92,9 7,1 7 50 13 10,0 71,4 18,6 25 28 17 35,7 40,0 24,3 10 27 21 9 3 14,3 38,6 30,0 12,8 4,3 58 Ibu: Ibu rumahtangga Buruh Wiraswasta Pegawai Swasta Pendapatan Orang Tua (per bulan): Rendah (< Rp2.000.000,00) Sedang (Rp2.000.000,00 sampai Rp4.000.000,00) Tinggi (> Rp4.000.000,00) 52 1 5 12 74,4 1,4 7,1 17,1 30 30 10 42,9 42,9 14,2 Total 70 100,0 4.4.1 Jenis Kelamin Data yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan responden mayoritas berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 46 (65,7 persen) responden. Hal ini dapat dipahami karena jumlah siswa lebih banyak berjenis kelamin perempuan, sehingga ketika dipilih secara acak jumlah responden tetap didominasi oleh perempuan. 4.4.2 Motivasi Menonton Motivasi menonton meliputi motivasi pengetahuan, hiburan, interaksi sosial, dan identitas sosial. Data yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan responden mayoritas memiliki motivasi interaksi sosial dalam menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, yaitu sebanyak 52 (74,3 persen) responden. Berdasarkan jawaban responden pada kuesioner, menunjukkan bahwa responden termotivasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ karena melalui tontonan tersebut, responden menemukan bahan percakapan untuk berinteraksi dengan orang lain, misalnya teman kelasnya. Responden yang memiliki motivasi informasi menyatakan mereka menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dikarenakan ingin mencari berita tentang peristiwa yang terjadi di masyarakat, memuaskan rasa ingin tahu mereka tentang kondisi lingkungan terdekat. Responden yang memiliki motivasi hiburan menyatakan mereka menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ untuk menghabiskan waktu luang, sedangkan responden yang memiliki motivasi identitas pribadi menyatakan mereka menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dikarenakan ingin meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri. 4.4.3 Peringkat di Kelas Peringkat di kelas responden dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan penilaian guru yang dinyatakan pada akumulasi nilai akademik total setiap 59 semester dalam buku rapor. Peringkat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peringkat di kelas yang diraih pada semester awal kelas X dan XI. Data yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan responden mayoritas memiliki peringkat di kelas yang rendah, yaitu sebanyak 38 (54,2 persen) responden. Ada Sembilan (12,9 persen) responden yang tidak diketahui peringkat di kelasnya. Hal ini dikarenakan pemberian ranking di rapor tidak lagi dilakukan oleh wali kelas untuk kelas X3 dan XI IPA 2, tetapi wali kelas X1, X2, XI IPA 1, dan XI IPS masih memberikan ranking pada rapor untuk dengan alasan memacu anak-anak didik untuk berprestasi. Perbedaan ini terjadi karena Kepala SMAN 1 Dramaga memberikan wewenang kepada tiap wali kelas untuk mengatur sendiri teknis penulisan ranking di rapor pada masingmasing kelas. 4.4.4 Domisili Domisili responden adalah situasi yang menggambarkan lokasi tempat tinggal responden. Domisili responden digolongkan menjadi desa dan kota. Responden dikategorikan berdomisili di desa jika tempat tinggal mereka berada di wilayah Kecamatan Dramaga, sedangkan kategori kota jika responden bertempat tinggal di kota Bogor. Data yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan hampir seluruh responden berdomisili di desa, hanya 5 (7,1 persen) dari total responden yang berdomisili di kota. Berdasarkan jawaban responden yang terdapat pada kuesioner, mereka yang berdomisili di desa bertempat tinggal dekat dengan sekolah mereka, yaitu berlokasi di Desa Babakan Lebak, Desa Babakan Lio, Desa Ciampea dan di Desa Cibanteng. Hasil wawancara kelompok antara peneliti dengan responden yang berdomisili di kota, mereka memilih bersekolah di SMAN 1 Dramaga dengan alasan tidak diterima di sekolah negeri yang berada di sekitar Kota Bogor karena nilai mereka tidak memenuhi kriteria untuk masuk di sekolah tersebut. 4.4.5 Uang Saku Uang saku responden dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan jumlah uang yang diberikan orang tua setiap harinya meliputi uang jajan dan biaya transportasi ke sekolah. Data yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan mayoritas responden memiliki uang saku sedang (sekitar Rp5.000,00 sampai Rp10.000 per hari), yaitu sebanyak 50 (71,4 persen) responden. Berdasarkan jawaban responden yang terdapat pada kuesioner, 60 sebagian besar dari mereka setiap harinya mendapat uang saku sebesar Rp10.000,00. Hasil wawancara kelompok antara peneliti dengan responden yang memiliki uang saku tergolong sedang menyatakan uang saku mereka hanya digunakan untuk jajan di sekolah, karena sebagian besar dari mereka bertempat tinggal dekat dengan sekolahan sehingga tidak memerlukan uang tambahan untuk ongkos, berbeda dengan responden yang tinggal di Kota Bogor. 4.4.6 Kegiatan Ekstrakurikuler Berdasarkan jawaban yang terdapat dalam kuesioner, kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti responden meliputi Pramuka, Paskibra, PMR, Seni Musik, dan Olahraga (Basket, Bulu Tangkis, Sepak Bola). Responden pada penelitian ini dikategorikan berdasarkan yang tidak ikut, sedikit, dan banyak kegiatan ekstrakurikuler. Data yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan responden yang tidak mengikuti dan yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler kategori sedikit (hanya mengikuti satu kegiatan ekstrakurikuler saja) mempunyai angka yang tidak berbeda jauh, yaitu sebanyak 25 (35,7 persen) dan 28 (40,0 persen) responden. Menurut keterangan sebagian responden yang tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya melalui hasil wawancara kelompok menyatakan kesibukan mereka di luar sekolah, misalnya ikut bimbingan belajar, kursus Bahasa Inggris, dan membantu orang tua. Mereka juga menambahkan adanya jadwal masuk sekolah siang hari, yaitu pukul 13.00 WIB membuat mereka mengalami keterbatasan waktu untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. 4.4.7 Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua merupakan macam usaha yang dilakukan bapak atau ibu atau wali yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga, yang dikategorikan menjadi ibu rumahtangga, buruh, wiraswasta, PNS, swasta, nelayan, dan lainnya. Data yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan pekerjaan orang tua responden beragam. Proporsi terbesar pekerjaan ayah responden adalah wiraswasta, yaitu sebanyak 27 (38,6 persen) responden, sedangkan proporsi terkecil pekerjaan ayah responden adalah petani, yaitu sebanyak 3 (4,3 persen) responden. Berdasarkan jawaban responden melalui wawancara kelompok, wiraswasta mencakup memiliki usaha sendiri, seperti padagang keliling, pengelola warung atau toko, dan penjual usaha jasa. Proporsi terbanyak pekerjaan ibu adalah ibu rumahtangga, yaitu sebanyak 61 52 (74,4 persen) siswa, sedangkan proporsi terkecil pekerjaan ibu responden adalah buruh, yaitu hanya 1 (1,4 persen) responden saja. 4.4.8 Pendapatan Orang Tua Pendapatan orang tua adalah sejumlah uang yang dihasilkan ayah dan ibu atau wali dari pekerjaannya dalam satu bulan, yang dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. Data hasil survei melalui kuesioner yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan proporsi pendapatan orang tua responden yang tergolong rendah (berkisar dibawah Rp2.000.000 per bulan) dan sedang (berkisar Rp2.000.000 sampai Rp4.000.000 per bulan) adalah sama, yaitu sebanyak 30 (42,9 persen) responden, sedangkan proporsi terkecil pendapatan orang tua responden tergolong tinggi (berkisar di atas Rp4.000.000 perbulan) hanya sebanyak 10 (14,3 persen) responden saja. Berdasarkan jawaban responden yang terdapat dalam kuesioner, untuk pendapatan orang tua responden yang tergolong tinggi dimiliki oleh mereka yang kedua orang tuanya (ayah dan ibu) bekerja dan mempunyai pendapatan. Berdasarkan data yang ada, sebagian besar ibu responden adalah ibu rumahtangga sehingga pendapatan yang diperoleh dalam rumahtangga hanya bersumber dari ayah saja, oleh karena itu pendapatan dalam rumahtangga hanya tergolong kecil dan sedang. 62 BAB V TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI’ DAN FAKTORFAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 5.1 Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Berdasarkan hasil full enumeration survey, diketahui sebanyak 113 (49,6 persen) siswa dari 228 (100,0 persen) siswa pernah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Setelah menggunakan rumus Slovin dengan ketelitian 10 persen kemudian dipilih secara simple random sampling, diperoleh 70 responden penelitian. Terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ berkaitan dengan frekuensi dan durasi menonton terhadap tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ yang disajikan oleh Trans TV. Frekuensi menonton diukur dengan pertanyaan-pertanyaan untuk responden tentang berapa kali responden menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dalam satu bulan. Pertanyaan frekuensi menonton diukur dari jawaban responden yang kemudian dikelompokkan menjadi frekuensi menonton rendah, sedang, dan tinggi. Frekuensi menonton dikatakan tinggi menunjukkan bahwa responden tersebut mempunyai kesempatan lebih banyak dalam menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Pada Tabel 4 disajikan jumlah dan persentase responden berdasarkan frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Menonton dan Durasi Menonton Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Terpaan Tayangan Frekuensi Menonton (dalam sebulan) Rendah (kurang dari tiga kali) Sedang (tiga sampai lima) Tinggi (lebih dari lima kali) Durasi Menonton (dalam menit) Rendah(kurang dari 20) Sedang (20 sampai 40) Tinggi (lebih dari 40) Total Jumlah (orang) Persen (%) 13 37 20 18,6 52,9 28,6 14 16 40 70 20,0 22,9 57,1 100,0 Data yang tersaji pada Tabel 4 diketahui bahwa mayoritas responden memiliki frekuensi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ kategori sedang (menonton JAM sekitar tiga sampai lima kali dalam satu bulan), yaitu sebanyak 37 (52,9 persen) responden. Berdasarkan jawaban responden yang diperoleh melalui wawancara kelompok, mereka yang memiliki frekuensi menonton kategori sedang mengaku tidak rutin mengikuti tayangan setiap 63 episodenya dalam satu bulan dikarenakan adanya kegiatan lain yang bersifat pribadi pada hari Sabtu atau Minggu. Durasi menonton diukur dengan pertanyaan-pertanyaan untuk responden tentang berapa lama waktu responden menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dalam satu kali penayangan. Pertanyaan durasi menonton diukur dari jawaban responden yang kemudian dikelompokkan menjadi durasi menonton rendah, sedang, dan tinggi. Data yang tersaji pada Tabel 4 diketahui mayoritas responden memiliki durasi menonton kategori tinggi, yaitu sebanyak 40 (57,1 persen) responden. Berdasarkan jawaban responden yang diperoleh melalui wawancara kelompok, mereka yang memiliki durasi menonton kategori sedang (menonton JAM sekitar 20 sampai 40 menit) mengaku tidak menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dari awal hingga akhir tayangan setiap episodenya dikarenakan ketika ada iklan, mereka mengganti dengan tayangan lain. Pada saat mereka ingin kembali lagi menonton ‘Jika Aku Menjadi’, ada bagian yang terlewat yang tidak ditonton oleh responden karena mereka terlambat beberapa menit mengganti kembali ke tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Sebagian responden juga mengatakan ketika menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ada bagian yang tidak menarik, mereka menggantinya dengan menonton tayangan lain. 5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Dua faktor yang berpotensi mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah faktor internal (jenis kelamin, motivasi, dan peringkat di kelas) dan faktor eksternal (domisili, uang saku, kegiatan ekstrakurikuler, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua). Kedua faktor tersebut diduga mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dan dijelaskan pada uraian berikut. 5.2.1 Pengaruh Faktor Internal terhadap Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Faktor internal remaja yang berpotensi mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah jenis kelamin, motivasi menonton, dan peringkat di kelas. Hasil pengujian hubungan antara faktor internal remaja dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ disajikan secara ringkas pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Uji Chi Square dan Rank Spearman Hubungan antara Faktor Internal Remaja dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ 64 Faktor Internal Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Frekuensi Menonoton Durasi Menonton χ² Asymp Sig χ² Asymp Sig atau atau atau atau Sig Sig Jenis Kelamin 4,757 Motivasi Menonton 3,245 Peringkat di Kelas 0,337* Keterangan : *: berhubungan nyata pada α= 5 persen 0,093 0,778 0,001* 4,969 7,594 0,434* 0,083 0,269 0,000* Data hasil survei melalui kuesioner yang telah diuji dengan Chi Square dan Rank Spearman yang tersaji pada Tabel 5 diketahui hanya peringkat di kelas yang menunjukkan hubungan nyata (Sig < 0,05) terhadap frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ 5.2.1.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Berdasarkan data yang telah diuji dengan Chi Square membuktikan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, baik frekuensi menonton maupun durasi menonton. Hubungan jenis kelamin dengan frekuensi menonton dijelaskan dengan hasil uji Chi Square, didapat bahwa χ² hitung (4,757) < χ² tabel (5,991), atau Asymp Sig (0,093) > α (0,05), maka Ho diterima, sedangkan untuk durasi menonton didapat bahwa χ² hitung (4,969) < χ² tabel (5,991), atau Asymp Sig (0,083) > α (0,05), maka Ho diterima. Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Artinya, tidak ada perbedaan antara responden lakilaki dan perempuan dalam hal frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Berdasarkan jawaban responden, ternyata responden laki-laki menyukai tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, walaupun pada kenyataannya kebanyakan penonton reality show adalah perempuan. Mereka menilai tayangan ini berbeda dengan reality show lainnya, sehingga kaum laki-laki pun tertarik untuk menontonnya. Responden laki-laki mengaku tidak menyukai tayangan reality show karena terkesan ‘berlebihan’, berbeda dengan ‘Jika Aku Menjadi’. Menurut mereka tayangan tersebut pantas ditonton laki-laki juga. Oleh karena itu, jenis kelamin tidak mempengaruhi frekuensi menonton dan durasi menonton. 5.2.1.2 Hubungan Motivasi Menonton dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ 65 Motivasi menonton merupakan bagian faktor internal responden. Motivasi menonton merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri remaja untuk menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ sesuai kebutuhannya yang berpotensi mengarahkan perilaku remaja tersebut dalam menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, yang meliputi motivasi pengetahuan, hiburan, interaksi sosial, dan identitas sosial. Data yang tersaji pada Tabel 5 diketahui bahwa motivasi menonton tidak berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, baik frekuensi menonton maupun durasi menonton. Hubungan motivasi menonton dengan frekuensi menonton dijelaskan dengan hasil uji Chi Square, didapat bahwa χ² hitung (3,245) < χ² tabel (12,592), atau Asymp Sig (0,778) > α (0,05), maka Ho diterima, sedangkan untuk durasi menonton didapat bahwa χ² hitung (7,594) < χ² tabel (12,592), atau Asymp Sig (0,269) > α (0,05), maka Ho diterima. Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi menonton dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Artinya, tidak adanya perbedaan diantara responden yang memiliki motivasi pengetahuan, hiburan, interaksi sosial, atau identitas sosial dalam hal sering atau tidaknya menonton dan lamanya waktu menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Jadi, apapun motivasi mereka dalam menonton, tidak berhubungan dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. 5.2.1.3 Hubungan Peringkat di Kelas dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Peringkat di kelas berhubungan nyata dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, baik frekuensi menonton maupun durasi menonton. Hubungan peringkat di kelas dengan frekuensi menonton dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,001) < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada hubungan nyata antara peringkat di kelas dengan frekuensi menonton. Semakin tinggi peringkat di kelas, maka semakin tinggi pula frekuensi menontonnya. Sama halnya dengan frekuensi menonton, hubungan peringkat di kelas dengan durasi menonton dijelaskan dengan uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,000) < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada hubungan nyata antara peringkat di kelas dengan durasi menonton. Semakin tinggi peringkat di kelas maka semakin tinggi pula durasi menonton. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang peringkat di kelasnya tergolong tinggi lebih sering dan memiliki waktu yang lebih lengkap menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ dibandingkan dengan mereka yang peringkat di kelasnya tergolong rendah. Hal ini dikarenakan mereka yang peringkat di kelasnya tergolong tinggi lebih memilih menonton 66 tayangan ’Jika Aku Menjadi’ dibandingkan tayangan reality show lainnya dengan alasan tayangan ini banyak memberikan informasi yang positif untuk mereka, bermuatan sosial, dan memberikan rasa empati setelah menontonnya. 5.2.2 Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Selain faktor internal, faktor eksternal remaja yang terdiri dari domisili, uang saku, kegiatan ekstrakurikuler, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua, juga berpotensi mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Hasil pengujian hubungan antara faktor eksternal remaja dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ disajikan secara ringkas pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Uji Chi Square dan Rank Spearman Hubungan antara Faktor Eksternal Remaja dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Faktor Eksternal Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Frekuensi Menonoton Durasi Menonton χ² Asymp Sig χ² Asymp Sig atau atau atau atau Sig Sig Domisili 1,889 Uang Saku 0,131 Kegiatan Ekstrakurikuler 0,395* Pekerjaan Orang Tua -Ayah: 11,199 -Ibu: 6,861 Pendapatan Orang Tua 0,099 Keterangan : *: berhubungan nyata pada α=5 persen 0,389 0,280 0,000* 4,604 0,008 0,537* 0,100 0,947 0,000* 0,342 0,334 0,413 7,920 3,109 0,076 0,637 0,795 0,530 Hasil uji Chi Square dan Rank Spearman yang terdapat pada Tabel 6 menunjukkan faktor eksternal seperti domisili, uang saku, pekerjaan orang tua; ayah dan ibu, dan pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, baik frekuensi menonton maupun durasi menonton. Hanya kegiatan ekstrakurikuler yang menunjukkan hubungan dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Kegiatan ekstrakurikuler berhubungan nyata (Sig < 0,05) dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya kegiatan ekstrakurikuler yang 67 diikuti responden menentukan tinggi rendahnya frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 5.2.2.1 Hubungan Domisili dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Domisili tidak berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, baik frekuensi menonton maupun durasi menonton. Domisili responden dalam penelitian ini yakni tempat tinggal responden yang berada di desa atau di kota. Hubungan jenis kelamin dengan frekuensi menonton dijelaskan dengan hasil uji Chi Square, didapat bahwa χ² hitung (1,889) < χ² tabel (12,592), atau Asymp Sig (0,389) > α (0,05), maka Ho diterima, sedangkan untuk durasi menonton didapat bahwa χ² hitung (4,604) < χ² tabel (12,592), atau Asymp Sig (0,100) > α (0,05), maka Ho diterima. Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara domisili dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Artinya, tidak ada perbedaan antara responden yang berdomisili di desa dan di kota dalam hal frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Menurut jawaban responden, mereka yang berdomisili di desa maupun di kota menyukai tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 5.2.2.2 Hubungan Uang Saku dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Uang Saku tidak berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, baik frekuensi menonton maupun durasi menonton. Hubungan uang saku dengan frekuensi menonton dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,280) > α (0,05), maka Ho diterima, sedangkan untuk durasi menonton didapat bahwa Sig (0,947) > α (0,05), maka Ho diterima. Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara uang saku dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Artinya, tidak ada perbedaan antara responden yang memiliki uang saku tinggi, sedang, dan yang memiliki uang saku rendah dalam hal frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Bajjari yang dikutip oleh Testiandini (2006) yang menyatakan bahwa jika dilihat dari sisi uang saku semakin tinggi uang saku ternyata semakin seseorang menyisihkan televisi karena kesenangan non media yang lebih luas. Menurut jawaban responden, mereka yang memiliki uang saku yang tergolong tinggi tidak menyisihkan uang mereka untuk kesenangan non media. Mereka mendapat uang saku lebih tinggi dari responden lainnya dikarenakan uang mereka digunakan untuk ongkos berangkat dan pulang dari sekolah. 68 5.2.2.3 Hubungan Kegiatan Ekstrakurikuler dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Hubungan kegiatan ekstrakurikuler dengan frekuensi menonton dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,000) < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ada hubungan nyata antara kegiatan ekstrakurikuler dengan frekuensi menonton. Semakin banyak kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti responden, maka semakin tinggi pula frekuensi menontonnya. Sama halnya dengan frekuensi menonton, hubungan nyata antara kegiatan ekstrakurikuler dengan durasi menonton dijelaskan dengan uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,000) < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi, dapat dinyatakan bahwa semakin banyak kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti, maka semakin tinggi pula durasi menonton. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang mengikuti banyak kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih sering dan memiliki waktu yang lebih lengkap dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ dibandingkan dengan mereka yang sedikit bahkan tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Banyaknya pengalaman organisai yang diperoleh selama mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah membuat responden bertambah kepedulian dan rasa tanggung jawabnya. Semakin banyak responden berinteraksi dengan orang lain, mereka menjadi lebih peka terhadap orang lain. Adanya rasa ingin tahu tentang keadaan orang lain, membuat responden memilih menonton ’Jika Aku Menjadi’. 5.2.2.4 Hubungan Pekerjaan Orang Tua dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Hubungan pekerjaan ayah dengan frekuensi menonton dijelaskan dengan hasil uji Chi Square, didapat bahwa χ² hitung (11,199) < χ² tabel (18,31), atau Asymp Sig (0,342) > α (0,05), maka Ho diterima, sedangkan untuk durasi menonton didapat bahwa χ² hitung (7,920) < χ² tabel (18,31), atau Asymp Sig (0,637) > α (0,05), maka Ho diterima. Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan ayah dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Artinya, tidak ada perbedaan antara responden yang pekerjaan ayahnya buruh, wiraswasta, swasta, PNS, atau petani dalam hal frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 69 Hubungan pekerjaan ibu dengan durasi menonton dijelaskan dengan hasil uji Chi Square, didapat bahwa χ² hitung (6,861) < χ² tabel (18,31), atau Asymp Sig (0,334) > α (0,05), maka Ho diterima, sedangkan untuk durasi menonton didapat bahwa χ² hitung (3,109) < χ² tabel (18,31), atau Asymp Sig (0,795) > α (0,05), maka Ho diterima. Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Artinya , tidak ada perbedaan antara responden yang pekerjaan ibunya ibu rumahtangga, buruh, wiraswasta, atau swasta dalam hal frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Berdasarkan jawaban responden, pekerjaan orang tua, baik pekerjaan ayah atau ibu tidak mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku menjadi’ dalam hal frekuensi menonton dan durasi menonton dikarenakan dalam aktivitas menonton televisi, mereka tidak didampingi oleh orang tua mereka. Responden diberi kebebasan dalam memilih tayangan oleh orang tua mereka. Oleh karena itu, pekerjaan orang tua tidak berpengaruh terhadap terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 5.2.2.5 Hubungan Pendapatan Orang Tua dengan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, baik frekuensi menonton maupun durasi menonton. Pendapatan orang tua dalam penelitian ini adalah seluruh pendapatan orang tua baik ayah atau ibu yang bekerja yang dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. Hubungan pendapatan orang tua dengan frekuensi menonton dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,413) > α (0,05), maka Ho diterima, sedangkan untuk durasi menonton didapat bahwa Sig (0,530) > α (0,05), maka Ho diterima. Jadi, dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan orang tua dengan frekuensi menonton dan durasi menonton. Artinya, tidak ada perbedaan antara responden yang orang tuanya berpendapatan rendah, sedang atau tinggi dalam hal frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Berdasarkan jawaban responden hasil dari wawancara kelompok menyatakan mereka yang orang tuanya berpendapatan tinggi, sedang, maupun rendah menyukai tayangan ‘Jika Aku Menjadi. Orang tua memberi kebebasan responden dalam hal memilih tayangan dan kegiatan menonton TV, orang tua hanya mengingatkan mereka ketika ujian untuk mengurangi jam menonton dikurangi agar lebih konsentrasi belajar. 70 5.3 Resume Berdasarkan pembahasan di atas diketahui bahwa: 1. Secara keseluruhan responden memiliki frekuensi menonton yang tergolong sedang (tiga sampai lima kali dalam sebulan) dan durasi menonton tergolong tinggi (lebih dari 40 menit) terhadap tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 2. Faktor yang mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah peringkat di kelas dan kegiatan ekstrakurikuler. 3. Faktor yang tidak mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah jenis kelamin, motivasi, domisili, uang saku, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua. 71 BAB VI EMPATI REMAJA TERHADAP KEMISKINAN SEBAGAI AKIBAT TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI” 6.1 Empati Remaja terhadap Kemiskinan Sebagai Akibat Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Data sebaran responden hasil pengaruh terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ terhadap empati remaja (kognitif dan afektif) terhadap kemiskinan tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Empati Remaja (Kognitif dan Afektif) terhadap Kemiskinan Empati Remaja Jumlah (orang) Persen (%) Kognitif: Rendah (skor 20 sampai 40) Sedang (skor 41 sampai 60) Tinggi (skor 61 sampai 80) 0 11 59 0 15,7 84,3 Rendah (skor 20 sampai 40) Sedang (skor 41 sampai 60) Tinggi (skor 61 sampai 80) 17 0 53 70 24,3 0 75,7 100,0 Afektif: Total Data yang tersaji pada Tabel 7 diketahui bahwa tidak ada responden yang memiliki empati pada kognitif yang rendah terhadap kemiskinan, ternyata mayoritas responden memiliki empati pada kognitif yang tinggi terhadap kemiskinan, yaitu sebanyak 59 (84,3 persen) responden. Diketahui pula tidak ada responden yang memiliki empati pada afektif yang sedang dan mayoritas responden memiliki empati pada afektif yang tinggi terhadap kemiskinan, yaitu sebanyak 53 (75,7 persen) responden. Tidak adanya responden yang memiliki empati pada kognitif yang rendah dikarenakan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah tayangan yang mudah dimengerti oleh responden, sehingga mereka banyak mendapat pengetahuan dari tayangan tersebut. Berbeda dengan afektif, responden memiliki rasa ‘kepekaan’ yang berbeda untuk merasakan apa yang orang lain alami. Oleh karena itu, hasil penelitian menunjukkan masih ada responden yang memiliki empati pada afektif yang rendah, yaitu sebanyak 17 (24,3 persen) responden. Secara keseluruhan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ menimbulkan pengaruh empati di kalangan remaja pada tingkatan yang tinggi berdasarkan persentase yang didapat. Empati meliputi kognitif dan afektif responden terhadap kemiskinan. Secara kognitif, orang yang 72 berempati memahami apa yang orang lain rasakan baik melalui tanda-tanda atau proses atau hubungan yang sederhana. Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan. Empati yang muncul, baik kognitif maupun afektif responden terhadap kemiskinan hampir seimbang. Responden memiliki empati pada tingkat kognitif dan afektif yang tinggi terhadap kemiskinan. Menurut mereka, adanya alur cerita, kemasan, dan gambar di dalam tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, mampu membuat responden memahami apa yang orang lain rasakan, yaitu kesusahan dan penderitaan yang dialami si narasumber dalam tayangan tersebut dan orang-orang miskin di sekitar mereka, sehingga mampu memberikan pemaknaan tentang berempati terhadap orang lain. Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ternyata membuat responden paham tentang bagaimana cara berempati terhadap orang lain. Hal ini terbukti dari hasil survei, tidak ada satupun responden (0 persen) yang tidak memiliki kognitif yang rendah terhadap kemiskinan. Selain kognitif, responden memiliki tingkat empati pada afektif yang tinggi terhadap kemiskinan. Responden menganggap bahwa tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ secara nyata menimbulkan rasa empati pada responden terhadap kemiskinan. Menurut jawaban responden, sebagian dari mereka merasa sedih, merasa terharu, merasa lebih bersyukur ketika menyaksikan tayangan tersebut. Tapi sebagian dari mereka ternyata tidak merasa tersentuh dengan tayangan tersebut. Hal ini terbukti dengan hasil survei yang menunjukkan sebanyak 17 (24,3 persen) responden memiliki afektif yang rendah terhadap kemiskinan. Menurut mereka, realita ‘Jika Aku Menjadi’ tidak semuanya mewakili kehidupan orang miskin. Artinya, tidak seluruhnya benar bahwa realita yang ditayangkan dalam ‘Jika Aku Menjadi’ akan menimbulkan empati bagi remaja yang menontonnya. Hal ini dapat dipahami karena responden tidak terlalu mempercayai tayangan tersebut. Berdasarkan wawancara kelompok dengan beberapa responden, mereka mengatakan bahwa dengan menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ membantu menjaga nilai-nilai yang berlaku di masyarakat seperti kejujuran, kesabaran, tekun, gigih berjuang, dan tidak pernah putus asa dalam menghadapi kemiskinan yang didasarkan pada fakta yang terjadi di masyarakat yang kini sudah mulai jarang ditemukan pada beberapa program televisi. Televisi lebih banyak memberitakan pelaku-pelaku kriminalitas. Mereka juga ingin mengetahui peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan sekitar, khususnya mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin di pelosok-pelosok desa yang tidak diketahui sebelumnya 73 yang memiliki sisi-sisi kehidupan yang dramatis, unik, atau jarang diketahui khalayak. Salah satu responden bernama Lia dalam diskusi tersebut mencoba berbagi cerita dari apa yang ia tahu dan apa yang ia rasakan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Lia bercerita tentang salah satu episode “Jika Aku Menjadi Nelayan Miskin Indramayu” yang pernah ditonton dan diingatnya. Tayangan tersebut menceritakan kisah yang dialami seorang nelayan miskin di Indramayu yang mempunyai istri dan tiga orang anak, karena kemiskinannya seringkali nelayan ini makan nasi ‘aking’, yaitu nasi yang sudah basi kemudian dijemur dan dimasak lagi. Menurutnya, ia sangat terharu dengan tayangan episode tersebut dan rasa empati terhadap kemiskinan bertambah setelah menonton tayangan tersebut. Ternyata, apa yang disampaikan Lia pada wawancara kelompok tersebut mewakili responden lainnya tentang pendapat mereka setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Pada awalnya mereka “tersentuh” melihat tayangan tersebut, lalu timbul rasa kasihan dan sedih melihat narasumber pada tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, tetapi sebagian juga mengatakan bahwa mereka kagum melihat kegigihan, kejujuran, ketekunan, dan kerja keras orang miskin dalam bertahan hidup mencari nafkah. Responden mengakui pengetahuan mereka bertambah tentang empati terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Selain pengetahuan, rasa emosional merekapun lebih positif. Mereka menjadi lebih peka terhadap kemiskinan yang terjadi di sekitar mereka. Adanya kepekaan ini, membuat mereka menjadi lebih bersemangat ingin membantu orang miskin di sekitar mereka. Hal ini dikarenakan adanya transfer nilai positif yang mereka rasakan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Berdasarkan penjelasan beberapa responden dalam wawancara, mereka yang empati pada kognitif dan afektifnya tinggi terhadap kemiskinan mengatakan mereka lebih memahami apa yang dialami orang miskin di sekitar mereka, bersyukur dalam menjalani hidup, lebih menghargai orang lain, semakin bersemangat ingin membantu orang miskin, dan tidak ingin putus asa dalam menjalani hidup. 6.2 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Empati Remaja (Kognitf dan Afektif) Terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ meliputi frekuensi menonton dan durasi menonton. Hasil survei melalui kuesioner yang telah diuji menunjukkan adanya hubungan antara terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan empati remaja (kognitif dan afektif) terhadap kemiskinan yang secara ringkas tersaji pada Tabel 8. 74 Tabel 8. Nilai Uji Rank Spearman Hubungan antara Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Empati Remaja (Kognitif dan Afektif) terhadap Kemiskinan Empati Remaja Kognitif Sig (2-tailed) Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ Frekuensi Menonton Durasi Menonton 0,289* 0,419* 0,015* 0,000* 0,271* 0,479* Afektif Sig (2-tailed) 0,023* 0,000* Keterangan : *: berhubungan nyata pada α= 5 persen Hasil penelitian membuktikan bahwa terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ berhubungan nyata dengan empati remaja, baik kognitif maupun afektif remaja terhadap kemiskinan. Frekuensi menonton berhubungan nyata dengan kognitif dan afektif remaja terhadap kemiskinan (Sig < 0,05). Durasi menonton berhubungan nyata dengan kognitif dan afektif remaja terhadap kemiskinan (Sig < 0,05). 6.2.1 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Kognitif Hubungan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan meliputi hubungan frekuensi menonton dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan dan hubungan durasi menonton dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan. 6.2.1.1 Hubungan Frekuensi Menonton dengan Kognitif Frekuensi menonton berhubungan nyata dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan yang dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,015) < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ada hubungan nyata antara frekuensi menonton dengan kognitif responden terhadap kemiskinan. Semakin tinggi frekuensi menonton maka semakin tinggi kognitif responden terhadap kemiskinan. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang frekuensi menontonnya tinggi dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ lebih paham dan mengerti tentang empati. Mereka yang memiliki empati pada kognitif yang tinggi terhadap kemiskinan merasa lebih mengerti tentang keadaan orang-orang di sekitar mereka, terutama orang-orang miskin. Semakin sering mereka menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’, maka pengetahuan mereka akan bertambah tentang bagaimana berempati terhadap orang lain. Hal ini juga didukung dengan jawaban responden yang mengatakan bahwa isi 75 tayangan ’Jika Aku Menjadi’ bermuatan sosial yang menggambarkan suatu realita kehidupan orang miskin, sehingga membuat mereka yang sering menontonnya semakin mengerti tentang kesusahan yang dialami orang miskin di sekitar mereka. Mereka semakin menyadari bahwa ternyata masih banyak orang-orang yang kurang beruntung dari mereka, mengalami kesusahan, sangat kekurangan namun tetap berjuang mencari nafkah untuk bertahan hidup. Menurut pengakuan sebagian dari responden mengatakan tayangan tersebut semakin membuka pikiran mereka untuk semakin mengerti kesusahan yang dialami orang-orang di sekitar mereka dan tayangan ini sangat dinilai positif untuk ditonton remaja karena dapat meningkatkan empati terhadap orang lain. Hal ini dipahami karena frekuensi menonton tiap episodenya disertai dengan kekonsistenan menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ dengan waktu yang lebih teratur yang dilakukan oleh responden akan memberikan akumulasi yang berarti pada ranah kognitif responden tentang empati. Semakin banyak responden menerima hal yang positif dari apa yang ditontonnya, maka hal ini memberikan pengaruh yang positif pula terhadap responden tersebut. Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ banyak memberikan pengetahuan yang positif, sehingga akan memberikan pengaruh yang positif pula bagi penontonnya, khususnya kemampuan untuk lebih berempati. 6.2.1.2 Hubungan Durasi Menonton dengan Kognitif Durasi menonton berhubungan nyata dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan yang dijelaskan dengan hasil Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,000) < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada hubungan nyata antara durasi menonton dengan kognitif responden terhadap kemiskinan. Lama atau tidaknya, lengkap atau tidaknya waktu responden dalam menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ menentukan tinggi atau rendahnya kognitif responden terhadap kemiskinan. Semakin lama atau lengkap durasi menonton, maka semakin tinggi pula kognitif remaja terhadap kemiskinan. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang durasi menontonnya lengkap atau lebih lama dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ lebih paham dan mengerti tentang empati. Mereka yang memiliki empati pada kognitif yang tinggi merasa lebih mengerti tentang keadaan orang-orang di sekitar mereka, terutama orang-orang miskin. Semakin lengkap mereka menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ pada tiap tayangan, maka pengetahuan mereka akan bertambah tentang bagaimana berempati terhadap orang lain. Mereka semakin menyadari bahwa ternyata masih banyak orang-orang yang kurang 76 beruntung dari mereka, mengalami kesusahan, sangat kekurangan namun tetap berjuang mencari nafkah untuk bertahan hidup. Menurut pengakuan sebagian dari responden mengatakan tayangan tersebut semakin membuka pikiran mereka untuk semakin mengerti kesusahan yang dialami orang-orang di sekitar mereka dan tayangan ini sangat dinilai positif untuk ditonton remaja karena dapat meningkatkan empati terhadap orang lain. Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lengkap durasi menonton responden dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ ternyata mampu memberikan pengaruh empati pada kognitif responden. Hal ini dapat terjadi karena tingginya preferensi responden akan tayangan ’Jika Aku Menjadi’ yang banyak menayangkan realita sosial sebagai tayangan yang disukai responden. 6.2.2 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ di Trans TV dengan Afektif Hubungan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan afektif remaja terhadap kemiskinan meliputi hubungan frekuensi menonton dengan afektif remaja terhadap kemiskinan dan hubungan durasi menonton dengan afektif remaja terhadap kemiskinan. 6.2.2.1 Hubungan Frekuensi Menonton dengan Afektif Frekuensi menonton berhubungan nyata dengan afektif remaja terhadap kemiskinan yang dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,023) < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ada hubungan nyata antara frekuensi menonton dengan afektif responden terhadap kemiskinan. Semakin tinggi frekuensi menonton atau semakin sering responden menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’, maka semakin tinggi afektif remaja tentang empati. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang frekuensi menontonnya tinggi atau lebih sering dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ memiliki rasa empati yang lebih tinggi. Mereka yang memiliki afektif yang tinggi tentang empati memiliki respon yang lebih positif terhadap orang lain, mereka juga lebih peka terhadap apa yang dialami orang lain. Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ membuat responden yang sering menontonnya lebih merespon dengan positif terhadap kesusahan yang dialami orang lain di sekitar mereka, terutama orang miskin. Hal ini juga didukung dengan jawaban responden yang mengatakan bahwa isi tayangan ’Jika Aku Menjadi’ bermuatan sosial yang menggambarkan suatu realita kehidupan orang miskin, sehingga membuat mereka yang sering menontonnya semakin mengerti bagaimana merespon dan merasakan kesusahan yang dialami orang lain. Menurut pengakuan sebagian dari responden mengatakan tayangan tersebut 77 semakin membuat mereka berempati. Hal ini dipahami karena frekuensi menonton tiap episodenya disertai dengan kekonsistenan menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ dengan waktu yang lebih teratur yang dilakukan oleh responden akan memberikan akumulasi yang berarti pada ranah afektif responden terhadap kemiskinan. 6.2.2.2 Hubungan Durasi Menonton dengan Afektif Durasi menonton berhubungan nyata dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan yang dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,000) < α (0,05), maka Ho ditolak. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ada hubungan nyata antara durasi menonton dengan kognitif responden terhadap kemiskinan. Lama atau tidaknya, lengkap atau tidaknya waktu responden dalam menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ menentukan tinggi atau rendahnya afektif responden terhadap kemiskinan. Semakin lama atau lengkap durasi menonton maka semakin tinggi pula empati pada afektif responden terhadap kemiskinan. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang durasi menontonnya lengkap atau lebih lama dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ lebih tinggi afektifnya terhadap kemiskinan. Mereka yang memiliki empati pada afektif yang tinggi terhadap kemiskinan memiliki respon yang lebih positif terhadap orang lain, mereka juga lebih peka terhadap apa yang dialami orang lain. Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ membuat responden yang lebih lengkap atau lama menontonnya lebih merespon dengan positif terhadap kesusahan yang dialami orang lain di sekitar mereka, terutama orang miskin. Hal ini juga didukung dengan jawaban responden yang mengatakan bahwa isi tayangan ’Jika Aku Menjadi’ bermuatan sosial yang menggambarkan suatu realita kehidupan orang miskin, sehingga membuat mereka yang lebih lengkap atau lebih lama waktu menonton setiap episodenya, semakin mengerti bagaimana merespon dan merasakan kesusahan yang dialami orang lain. Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lengkap durasi menonton responden dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ ternyata mampu memberikan pengaruh empati pada afektif responden terhadap kemiskinan. Hal ini dapat terjadi karena tingginya preferensi responden akan tayangan ’Jika Aku Menjadi’ yang banyak menayangkan realita sosial sebagai tayangan yang disukai responden. 6.2.3 Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ Episode ”Pembuat Gelang Simpay” (Sabtu, 1 Mei 2010 Pukul 17.30 WIB) 78 Pada penelitian ini, tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ tidak hanya secara keseluruhan, namun diambil juga satu episode khusus untuk membandingan bagaimana empati yang terbentuk pada responden jika melihat secara keseluruhan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ yang pernah ditonton dengan tayangan satu episode khusus saja. Tiga hari sebelum tayangan episode “Pembuat Gelang Simpay” tayang, peneliti meminta responden untuk menonton tayangan tersebut yang akan tayang pada hari Sabtu, 1 Mei 2010 pukul 17.30 WIB di Trans TV. Empati remaja terhadap kemiskinan (kognitif dan afektif) pada episode “Pembuat Gelang Simpay” secara ringkas tersaji pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Empati Remaja (Kognitif dan Afektif) terhadap Kemiskinan Episode “Pembuat Gelang Simpay” Empati Remaja Jumlah (orang) Persen (%) Kognitif: Rendah (skor 10 sampai 20) Sedang (skor 21 sampai 30) Tinggi (skor 31 sampai 40) 0 29 41 0 41,4 58,6 Rendah (skor 10 sampai 20) Sedang (skor 21 sampai 30) Tinggi (skor 31 sampai 40) 9 0 61 70 12,9 0,0 87,1 100,0 Afektif: Total Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa tidak ada responden yang memiliki empati pada kognitif yang rendah terhadap tayangan episode “Pembuat Gelang Simpay”, karena responden memiliki empati pada kognitif tinggi episode “Pembuat Gelang Simpay”, ternyata mayoritas responden memiliki empati pada kognitif yang tinggi, yaitu sebanyak 41 (58,6 persen) responden. Diketahui pula pada tidak ada responden yang memiliki empati pada afektif yang sedang dan mayoritas responden memiliki empati pada afektif yang tinggi terhadap tayangan episode “Pembuat Gelang Simpay”, yaitu sebanyak 61 (87,1 persen) responden. Tidak adanya responden yang memiliki empati pada kognitif yang rendah dikarenakan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ episode “Pembuat Gelang Simpay” adalah tayangan yang mudah dimengerti oleh responden, sehingga mereka banyak mendapat pengetahuan dari tayangan tersebut. Berbeda dengan afektif, responden memiliki rasa ‘kepekaan’ yang berbeda untuk merasakan apa yang narasumber alami pada tayangan tersebut. Oleh karena itu, hasil penelitian menunjukkan masih ada responden yang memiliki empati pada afektif yang rendah, yaitu sebanyak 9 (12,9 persen) responden. 79 6.3 Resume Berdasarkan pembahasan di atas diketahui bahwa: 1. Secara keseluruhan responden memiliki tingkat empati pada kognitif dan afektif yang tinggi terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 2. Secara keseluruhan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ berhubungan nyata dengan empati remaja terhadap kemiskinan, baik kognitif maupun afektif. 3. Responden memiliki tingkat empati pada kognitif dan afektif yang tinggi terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ episode “Pembuat Gelang Simpay”. 80 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: 1. Remaja yang berjenis kelamin perempuan, berdomisili di kota, memiliki uang saku sedang, dan mengikuti banyak kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya memiliki persentase lebih besar menonton ‘Jika Aku Menjadi’ dibandingkan yang tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’. Secara keseluruhan, remaja memiliki frekuensi menonton yang tergolong sedang (tiga sampai lima kali dalam sebulan) dan durasi menonton tergolong tinggi (lebih dari 40 menit) terhadap tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Faktor internal remaja yang mempengaruhi terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah peringkat di kelas. Semakin tinggi peringkat remaja di kelas, semakin tinggi juga frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Faktor eksternal remaja yang berhubungan dengan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah kegiatan ekstrakurikuler. Semakin banyak kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti remaja di sekolahnya, semakin tinggi juga frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. 2. Secara keseluruhan remaja memiliki empati pada kognitif dan afektif yang tinggi terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, baik frekuensi menonton maupun durasi menonton berhubungan nyata dengan empati remaja terhadap kemiskinan, baik kognitif maupun afektif. Semakin tinggi frekuensi menonton dan durasi menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, maka semakin tinggi pula empati remaja terhadap kemiskinan, baik kognitif maupun afektifnya. Remaja yang empati kognitif dan afektifnya tinggi terhadap kemiskinan mengatakan mereka lebih memahami apa yang dialami orang miskin di sekitar mereka, semakin bersyukur dalam menjalani hidup, lebih menghargai orang lain, semakin bersemangat ingin membantu orang miskin, dan tidak mudah putus asa dalam menjalani hidup. Pada episode “Pembuat Gelang Simpay”, remaja memiliki tingkat empati pada kognitif dan afektif yang tinggi terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan episode tersebut. 81 7.2 Saran Dari penelitian yang telah dilakukan, maka beberapa saran yang dapat diajukan peneliti, yaitu: 1. Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ berhasil menumbuhkan empati pada remaja, oleh karena itu tayangan seperti ini harus dikembangkan. 2. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk kalangan atas, agar mengetahui apakah efek menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ sesuai dengan tujuan program acara tersebut. 82 DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2005. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Angdiami, Katherina F. 2006. Pengaruh Terpaan Tayangan Sinetron Religius Rahasia Ilahi di TPI terhadap Kepercayaan Religius Audiens Remaja. [Skirpsi]. Surabaya: Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra. (http://dewey.petra.ac.id/dgt_res_detail.php?knokat=8157. Diakses tanggal 11 Desember 2009, pukul 20.18 WIB). Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Baron, Robert dan Byrne Donn. 2003. Psikologi Sosial jilid 1. Jakarta: Erlangga. Daisiwan, Naida Leilani. 2007. Hubungan Antara Tayangan Sinetron Remaja dengan Sikap Konsumtif Remaja: Kasus SMUN 5 Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. [Skirpsi]. Bogor: Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Effendy, Onong Uchjana. 1999. Televisi Siaran Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya. ______________________. 2003. Ilmu Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Farida, Aulia. 2005. Motivasi Remaja Menonton Program Acara Ajang Cari Bakat di Televisi: Kasus Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor Tahun Akademik 2004-2005. [Skirpsi]. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fidiyaningrum, Anis. 2006. Upaya Mengembangkan Empati Mahasiswa Dengan Memanfaatkan Media Bimbingan. [Skripsi]. Semarang: Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Gilang, Omar Abidin. 2005. Pengaruh Tayangan Kekerasan di Televisi terhadap Tawuran Pelajar SLTA di Jakarta: Analisis Determinan Tawuran Pelajar. Jakarta: Jurnal ISIP Yayasan Kampus Tercinta ISSN 1693-9506 Goleman, Daniel. 2002. Kecerdasan Emosional. Penerjemah: T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 83 Kurniasih, Eko. 2006. Hubungan Antara Perilaku Menonton Tayangan Sinetron Religius dengan Sikap Remaja Terhadap Agama Islam: Kasus Siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 22, Kelurahan Utan Kayu Selatan, Kecamatan Matraman, Kotamadya Jakarta Timur, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kurniawan, Dwi. 2009. Pengaruh Terpaan Tayangan Program Acara ‘John Pantau’ di Trans TV terhadap Perilaku Disiplin Remaja. [Skirpsi]. Jakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Kuswandi, Wawan. 1998. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: Rineka Cipta. Morrisan, M. A. 2005. Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan Televisi. Jakarta: Ramdina Prakarsa. Nazir, Moh. 1983. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nurdin, 2007. Pengantar Komunikasi Massa. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sari, Ari Tris Ochtia, Neila Ramdhani, dan Mira Eliza. 2008. Empati dan Perilaku Merokok di Tempat Umum. http://neila.staff.ugm.ac.id/wordpress/wpcontent/uploads/2008/02/empatijurnal1.pdf. Diakses tanggal 10 Maret 2010, pukul 22.10. Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi [Ed]. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Soehartona, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT. Remaja. Subagyo, P. Joko. 1991. Metode Penelitian dalam Teori & Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sugiyono, 1999. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Suharto, Ari. 2006. Hubungan Pola Menonton Berita Kriminal di Televisi dengan Perilaku Remaja: Kasus SLTPN 175 Jakarta dan SMPN 1 Dramaga Bogor. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 84 Testiandini, Astri. 2006. Pola Menonton Sinetron dan Perilaku Etis Remaja: Kasus Sinetron Bertemakan Remaja di Televisi. [Skirpsi]. Bogor: Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Valentine, Virgin. 2009. Efek Berita Kriminal Terhadap Perilaku Khalayak Remaja (Kasus SMP Tamansiswa, Jakarta Pusat). [Skripsi]. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Wahyudi , J. B. 1996. Media Komunikasi Massa Televisi. Jakarta: Alumni. Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo. Zulkarnain, Alex Leo. 1997. Bercinta dengan Televisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 85 LAMPIRAN 86 Lampiran 1. Panduan Pertanyaan A. Siswa Kelas X dan XI SMAN 1 Dramaga 1. Mengapa anda tidak pernah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’? 2. Di mana tempat tinggal anda saat ini? B. Responden 1. Mengapa anda tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah? 2. Bagi anda yang berdomisili di kota, mengapa anda memilih bersekolah di SMAN 1 Dramaga? 3. Bagi anda yang pekerjaan orang tuanya wiraswasta, usaha seperti apa yang dilakukan orang tua anda? 4. Mengapa anda menyukai tayangan ‘Jika Aku Menjadi’? 5. Mengapa anda menonton ‘Jika Aku Menjadi’ sebanyak tiga sampai lima kali dalam sebulan? 6. Mengapa anda tidak menonton ‘Jika Aku Menjadi’ dari awal hingga akhir tayangan? 7. Apa alasan anda menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’? 8. Mengapa anda memiliki motivasi interaksi sosial dalam menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’? 9. Bagi anda yang memiliki peringkat di kelas tinggi, mengapa anda sering menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’? 10. Bagi anda yang memiliki peringkat di kelas rendah, mengapa anda jarang menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’? 11. Bagi yang memiliki uang saku tergolong tinggi, sedang, dan rendah, apa alasan anda menonton ‘Jika Aku Menjadi’? 12. Apakah orang tua anda mendampingi anda ketika menonton TV? 13. Kogntitif atau pengetahuan seperti apa yang anda rasakan setelah menonton ‘Jika Aku Menjadi’? 14. Afektif atau perasaan seperti apa yang anda rasakan setelah menonton ‘Jika Aku Menjadi’? 87 Lampiran 2. Hasil Olahan Data A. Jenis Kelamin Valid Frequency 24 46 70 Laki-Laki Perempuan Total Percent 34.3 65.7 100.0 Valid Percent 34.3 65.7 100.0 Cumulative Percent 34.3 100.0 . B. Motivasi Menonton Valid pengetahuan hiburan interaksi sosial identitas sosial Total Frequency 6 7 52 5 70 Percent Valid Percent 8.6 8.6 10.0 10.0 74.3 74.3 7.1 7.1 100.0 100.0 Cumulative Percent 8.6 18.6 92.9 100.0 C. Peringkat di Kelas Valid rendah sedang tinggi Total Frequency 38 9 14 70 Percent 62.3 14.8 22.9 100.0 Valid Percent 62.3 14.8 22.9 100.0 Cumulative Percent 62.3 77.1 100.0 D. Domisili Valid Desa Kota Total Frequency 65 5 70 Percent 92.9 7.1 100.0 Valid Percent 92.9 7.1 100.0 Cumulative Percent 92.9 100.0 E. Uang Saku Valid rendah sedang tinggi Total Frequency 7 50 13 70 Percent 10.0 71.4 18.6 100.0 Valid Percent 10.0 71.4 18.6 100.0 Cumulative Percent 10.0 81.4 100.0 88 F. Kegiatan Ekstrakurikuler Valid tidak ikut sedikit banyak Total Frequency 25 28 17 70 Percent 35.7 40.0 24.3 100.0 Valid Percent 35.7 40.0 24.3 100.0 Cumulative Percent 35.7 75.7 100.0 . G. Pekerjaan Ayah Valid Buruh Wiraswasta Pegawai Swasta PNS TNI/POLRi Petani Total Frequency 10 27 21 5 4 3 70 Percent Valid Percent 14.3 14.3 38.6 38.6 30.0 30.0 7.1 7.1 5.7 5.7 4.3 4.3 100.0 100.0 Frequency 52 1 5 12 70 Percent Valid Percent 74.3 74.3 1.4 1.4 7.1 7.1 17.1 17.1 100.0 100.0 Cumulative Percent 14.3 52.9 82.9 90.0 95.7 100.0 H. Pekerjaan Ibu Valid Ibu rumah tangga Buruh Wiraswasta Pegawai Swasta Total Cumulative Percent 74.3 75.7 82.9 100.0 I. Pendapatan Orang Tua Valid rendah sedang tinggi Total Frequency 30 30 10 70 Percent 42.9 42.9 14.3 100.0 Valid Percent 42.9 42.9 14.3 100.0 Cumulative Percent 42.9 85.7 100.0 89 J. Frekuensi Menonton Valid rendah sedang tinggi Total Frequency 13 37 20 70 Percent 18.6 52.9 28.6 100.0 Valid Percent 18.6 52.9 28.6 100.0 Cumulative Percent 18.6 71.4 100.0 K. Durasi Menonton Valid rendah sedang tinggi Total Frequency 14 16 40 70 Percent 20.0 22.9 57.1 100.0 Valid Percent 20.0 22.9 57.1 100.0 Cumulative Percent 20.0 42.9 100.0 L. Kognitif Valid sedang tinggi Total Frequency 11 59 70 Percent 15.7 84.3 100.0 Valid Percent 15.7 84.3 100.0 Cumulative Percent 15.7 100.0 M. Afektif Valid Empati rendah Empati tinggi Total Frequency 17 53 70 Percent Valid Percent 24.3 24.3 75.7 75.7 100.0 100.0 Cumulative Percent 24.3 100.0 . N. Kognitif Episode "Pembuat Gelang Simpay" Valid sedang tinggi Total Frequency 29 41 70 Percent 41.4 58.6 100.0 Valid Percent 41.4 58.6 100.0 Cumulative Percent 41.4 100.0 90 O. Afektif Episode "Pembuat Gelang Simpay" Valid Empati rendah Empati tinggi Total Frequency 9 61 70 Percent Valid Percent 12.9 12.9 87.1 87.1 100.0 100.0 Cumulative Percent 12.9 100.0 91 Crosstab dan uji hubungan. 1. Jenis Kelamin dengan Frekuensi Menonton Jenis Kelamin * Frekuensi Menonton Crosstabulation Count Jenis kelamin Total Laki-Laki Perempuan Total rendah Frekuensi_menonton rendah sedang tinggi 6 15 3 7 22 17 13 37 20 24 46 70 Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 4.757(a) 5.194 2 2 Asymp. Sig. (2sided) .093 .074 1 .047 df 3.950 70 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Contingency Coefficient Value .252 70 Approx. Sig. .093 2. Jenis kelamin dengan Durasi Menonton Jenis Kelamin * Durasi Menonton Crosstabulation Count Jenis kelamin Total Laki-Laki Perempuan Durasi menonton rendah sedang 5 9 9 7 14 16 Total rendah tinggi 10 30 40 24 46 70 92 Chi-Square Tests Value 4.969(a) 4.842 Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 2 2 Asymp. Sig. (2sided) .083 .089 1 .219 df 1.512 70 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Value .257 70 Contingency Coefficient Approx. Sig. .083 3. Motivasi Menonton dengan Durasi Menonton Motivasi Menonton * Durasi Menonton Crosstabulation Count Motivasi menonton Total pengetahuan hiburan interaksi sosial identitas sosial Durasi menonton rendah sedang tinggi 3 0 3 2 1 4 8 15 29 1 0 4 14 16 40 Total rendah 6 7 52 5 70 Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 7.594(a) 9.247 1.802 70 6 6 Asymp. Sig. (2sided) .269 .160 1 .180 df 93 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Value .313 70 Contingency Coefficient Approx. Sig. .269 4. Motivasi Menonton dengan Frekuensi Menonton Motivasi Menonton * Frekuensi Menonton Crosstabulation Count Motivasi menonton pengetahuan hiburan interaksi sosial identitas sosial Total Frekuensi menonton rendah sedang tinggi 1 3 2 1 4 2 10 29 13 1 1 3 13 37 20 Total rendah 6 7 52 5 70 Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 3.245(a) 3.158 6 6 Asymp. Sig. (2sided) .778 .789 1 .919 df .010 70 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Contingency Coefficient Value .210 70 Approx. Sig. .778 94 5. Peringkat di Kelas dengan Frekuensi Menonton Correlations Peringkat di kelas Spearman's rho Peringkat di kelas Frekuensi menonton Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Frekuensi menonton 1.000 .337(**) . 70 .001 70 .337(**) 1.000 .001 70 . 70 6. Peringkat di Kelas dengan Durasi Menonton Correlations Peringkat di kelas Spearman's rho Peringkat di kelas Durasi menonton Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Durasi menonton 1.000 .434(**) . 70 .000 70 .434(**) 1.000 .000 70 . 70 7. Domisili dengan Frekuensi Menonton Domisili * Frekuensi Menonton Crosstabulation Count Domisili Total Desa Kota Frekuensi menonton rendah sedang tinggi 13 33 19 0 4 1 13 37 20 Total rendah 65 5 70 95 Chi-Square Tests Value 1.889(a) 2.736 Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 2 2 Asymp. Sig. (2sided) .389 .255 1 .734 df .115 70 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Value .162 70 Contingency Coefficient Approx. Sig. .389 8. Domisili dengan Durasi Menonton Domisili * Durasi Menonton Crosstabulation Count rendah Domisili Desa Kota Total Durasi menonton sedang 14 13 0 3 14 16 Total rendah tinggi 38 2 40 65 5 70 Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 4.604(a) 4.701 .007 70 2 2 Asymp. Sig. (2sided) .100 .095 1 .934 df 96 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Contingency Coefficient Value .248 70 Approx. Sig. .100 Uang saku Frekuensi menonton 9. Uang Saku dengan Frekuensi Menonton Correlations Spearman's rho Uang saku Frekuensi menonton Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N 1.000 .131 . 70 .280 70 .131 1.000 .280 70 . 70 10. Uang Saku dengan Durasi Menonton Correlations Uang saku Spearman's rho Uang saku Durasi menonton Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Durasi menonton 1.000 .008 . 70 .947 70 .008 1.000 .947 70 . 70 97 11. Kegiatan Ekstrakurikuler dengan Frekuensi Menonton Correlations Spearman's rho Kegiatan ekstrakurikuler Frekuensi menonton Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Kegiatan ekstrakuriku ler 1.000 Frekuensi menonton .395** . 70 .395** .000 70 1.000 .000 70 . 70 12. Kegiatan Ekstrakurikuler dengan Durasi Menonton Correlations Kegiatan ekstrakuriku ler Spearman's rho Kegiatan ekstrakurikuler Durasi menonton Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Durasi menonton 1.000 .537(**) . 70 .000 70 .537(**) 1.000 .000 70 . 70 13. Pekerjaan Ayah dengan Frekuensi Menonton Pekerjaan Ayah * Frekuensi Menonton Crosstabulation Count Pekerjaan ayah Total Buruh Wiraswasta Pegawai Swasta PNS TNI/POLRi Petani Frekuensi_menonton rendah sedang tinggi 2 4 4 6 14 7 2 11 8 1 3 1 0 4 0 2 1 0 13 37 20 Total rendah 10 27 21 5 4 3 70 98 Chi-Square Tests Value 11.199(a) 12.233 Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 10 10 Asymp. Sig. (2sided) .342 .270 1 .228 df 1.455 70 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Value .371 70 Contingency Coefficient Approx. Sig. .342 14. Pekerjaan Ayah dengan Durasi Menonton Pekerjaan Ayah * Durasi Menonton Crosstabulation Count Pekerjaan ayah Buruh Wiraswasta Pegawai Swasta PNS TNI/POLRi Petani Total Durasi menonton rendah sedang tinggi 2 1 7 6 6 15 3 6 12 1 1 3 0 1 3 2 1 0 14 16 40 Total rendah 10 27 21 5 4 3 70 Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 7.920(a) 9.335 .873 70 10 10 Asymp. Sig. (2sided) .637 .501 1 .350 df 99 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Value .319 70 Contingency Coefficient Approx. Sig. .637 15. Pekerjaan Ibu dengan Frekuensi Menonton Pekerjaan Ibu * Frekuensi Menonton Crosstabulation Count Pekerjaan ibu Ibu rumah tangga Buruh Wiraswasta Pegawai Swasta Total Frekuensi menonton rendah sedang tinggi 11 25 16 0 1 0 2 3 0 0 8 4 13 37 20 Total rendah 52 1 5 12 70 Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 6.861(a) 10.548 6 6 Asymp. Sig. (2sided) .334 .103 1 .625 df .239 70 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Contingency Coefficient Value .299 70 Approx. Sig. .334 100 16. Pekerjaan Ibu dengan Durasi Menonton Pekerjaan Ibu * Durasi Menonton Crosstabulation Count Pekerjaan ibu Ibu rumah tangga Buruh Wiraswasta Pegawai Swasta Total Durasi_menonton rendah sedang tinggi 11 12 29 0 0 1 2 1 2 1 3 8 14 16 40 Total rendah 52 1 5 12 70 Chi-Square Tests Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Value 3.109(a) 3.504 6 6 Asymp. Sig. (2sided) .795 .743 1 .566 df .330 70 Symmetric Measures Nominal by Nominal N of Valid Cases Contingency Coefficient Value .206 70 Approx. Sig. .795 17. Pendapatan Orang Tua dengan Frekuensi Menonton Correlations Pendapatan orang tua Spearman's rho Pendapatan orang Correlation tua Coefficient Sig. (2-tailed) N Frekuensi Correlation menonton Coefficient Sig. (2-tailed) N Frekuensi menonton 1.000 .099 . 70 .413 70 .099 1.000 .413 70 . 70 101 18. Pendapatan Orang Tua dengan Durasi Menonton Correlations Pendapatan orang tua Spearman's rho Pendapatan orang Correlation tua Coefficient Sig. (2-tailed) N Durasi menonton Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Durasi mmenonton 1.000 .076 . 70 .530 70 .076 1.000 .530 70 . 70 19. Frekuensi Menonton dengan Kognitif Correlations Frekuensi menonton Spearman's rho Frekuensi menonton Kognitif Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Kognitif 1.000 .289(*) . 70 .015 70 .289(*) 1.000 .015 70 . 70 20. Durasi Menonton dengan Kognitif Correlations Durasi menonton Spearman's rho Durasi menonton Kognitif Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Kognitif 1.000 .419(**) . 70 .000 70 .419(**) 1.000 .000 70 . 70 102 21. Frekuensi Menonton dengan Afektif Correlations Frekuensi menonton Spearman's rho Frekuensi menonton Afektif Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Afektif 1.000 .271(*) . 70 .023 70 .271(*) 1.000 .023 70 . 70 22. Durasi Menonton dengan Afektif Correlations Durasi menonton Spearman's rho Durasi menonton Afektif Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Afektif 1.000 .479(**) . 70 .000 70 .479(**) 1.000 .000 70 . 70