PENAFSIRAN QS. AL-ḤIJR [15]: 9 TENTANG PEMAKNAAN LAFAL AL-ŻIKR SEBAGAI QURAN: SEBUAH STUDI KRITIS Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh: Gugun Gunawan NIM: 1110034000039 PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2014 M ABSTRAK Gugun Gunawan PENAFSIRAN QS. AL-ḤIJR [15]: 9 TENTANG PEMAKNAAN LAFAL ALŻIKR SEBAGAI QURAN: SEBUAH STUDI KRITIS Ada satu pertanyaan besar yang ingin disampaikan dalam skripsi ini, yaitu mengapa QS. al-Ḥijr [15]: 9—yang notabene selalu dijadikan argumen kemurnian Quran—menggunakan term al-żikr untuk menunjukkan makna Quran? Mengapa tidak menggunakan term yang lebih jelas bermakna Quran, seperti lafal al-qur’ān? Maka dari situ, ada maksud di balik pemilihan lafal al-żikr ketimbang lafal alqur’ān mengingat ketepatan Allah dalam pemilihan diksi Quran. Sehingga dapat memperjelas Quran yang seperti apa yang sebenarnya dijaga oleh ‘Kami’ seperti pada ayat dimaksud. Kenyataannya bahwa para mufasir, baik klasik maupun modern, tidak menindaklanjuti mengapa lafal al-żikr yang dipilih. Mereka hanya mencukupkan pada penjelasan bahwa lafal al-żikr pada ayat tersebut bermakna Quran saja tanpa menjelaskan Quran yang bagaimana yang dijaga dari pengubahan, penambahan, maupun pengurangan. Di sinilah studi kritis penulis dipaparkan. Dengan menggunakan metode semantik dapat diketahui bahwa arti gramatikal lafal żikr yang berkaitan dengan fiʻl penurunan wahyu adalah bermakna Quran—hasil ini penulis peroleh setelah meneliti ayat-ayat yang di dalamnya terdapat lafal żikr sehingga dapat membandingkan bagaimana lafal żikr dimaknai Quran dan bagaimana lafal żikr tidak dimaknai Quran—. Namun melihat arti leksikal dari lafal al-żikr yang berarti ingatan (sesuatu yang berada di pikiran), maka makna al-żikr (yang dimaknai Quran) bermaksud untuk menunjukkan arti Quran (firman Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw.) yang berupa ingatan atau hafalan. Dengan demikian, pemilihan diksi al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 bermaksud untuk menunjukkan bahwa Quran yang ‘Kami’ jaga bukanlah Quran yang berupa tulisan (al-kitāb) dalam kitab atau mushaf melainkan Quran yang berupa hafalan atau ingatan (al-żikr) yang ada dalam hati orang-orang Islam. Oleh sebab itu, term yang dipakai untuk menunjukkan makna Quran pada ayat ini tidak menggunakan lafal al-kitāb melainkan menggunakan lafal al-żikr. i KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis haturkan pada Allah swt. atas segala nikmat dan pertolongan yang telah dan akan selalu Ia berikan kepada penulis. Ialah yang memberikan petunjuk dan saat penulis kehilangan kata untuk diketik, data untuk diolah, dan ide untuk dikembangkan. Kepada-Nya penulis mengadu saat hati dan pikiran mulai lelah dan frustrasi untuk menyelesaikan penelitian ini. Dari-Nya penulis dapatkan inspirasi untuk menuliskan kata demi kata hingga menjadi sekumpulan bab-bab yang dibundel menjadi sebuah buku ini. Salawat dan salam seiring kerinduan akan senantiasa dicurah limpahkan pada baginda Nabi Muhammad saw. yang melaluinya Kalam Allah yang sempurna dapat disampaikan dengan begitu sempurna pula pada kaumnya hingga saat ini dan sampai akhir nanti. Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “PENAFSIRAN QS. AL-ḤIJR [15]: 9 TENTANG PEMAKNAAN LAFAL AL-ŻIKR SEBAGAI QURAN: SEBUAH STUDI KRITIS” ini tidak akan rampung dengan daya yang penulis miliki. Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang spesial yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dengan kerendahan hati, penulis mengungkapkan ucapan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua tercinta, Emi Nining Sumarni dan Apa Maman Sudirman, yang karena kenekatan mereka penulis tercatat sebagai mahasiswa UIN Jakarta dan sebab doa merekalah penulis dapat bertahan sampai saat ini. ii Dan untuk kakak terhebat penulis, Ceuceu Evi Silvia, serta adik tercantik penulis, Neng Elis Mar’atun Shalihah, yang selalu memotivasi dan dijadikan motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini agar segera pula menjadi orang yang sukses. 2. Bapak Dr. Ahzami Samiun Jazuli, M.A. selaku pembimbing yang telah memberikan kontribusi bermakna dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih pula pada Prof. Dr. Amin Suma, M.A. yang memberikan data awal yang sangat penting sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian mengenai karakteristik lafal al-żikr. Serta kepada bapak Eva Nugraha, M.A, dan bapak Kusmana M.A.. yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan mereka untuk sekedar mengoreksi skripsi ini. 3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku ketua jurusan Tafsir-Hadis bersama para pengurus Fakultas Ushuluddin yang telah banyak membantu kemudahan administrasi dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi. 4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan kebaikan dan kemurahan mereka, secara sadar, telah mendorong penulis untuk tidak surut sebelum menang dalam menggali kedalaman dan keindahan ayat-ayat suci serta keuswah-an Nabi Muhammad saw. 5. Teman-teman seatap dan sesabun mandi penulis—Wandi Ruswandi, Wahyu Ismatullah, dan Muhammad Rasyidi. Merekalah yang paling dominan mewarnai kehidupan penulis selama di kampus. Suka-duka iii menjadi anak kosan dilewati bersama saat makan hanya dengan lauk saus dan kerupuk seadanya. Teman-teman TH B 2010 yang super kocak dan konyol namun elegan. Terkhusus untuk Muhammad Indra, teman paling ganteng tapi super manja, terima kasih untuk semuanya dan selamat menjadi bapak, ya. 6. Sugawan-sugawati KMSGD Jabodetabek: Fahri, Vicky, Deden, Agung, Hadi, dan semuanya. Merekalah sebenarnya yang paling bersemangat ‘memotivasi’ penulis untuk segera menjadi wisudawan. Berkat ‘cengcengan’ merekalah penulis semakin bersemangat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih secara khusus kepada Sugawan Agung Khumaidi yang telah memberikan adaptor secara cuma-cuma pada penulis sehingga memperlancar dalam menyelesaikan skripsi ini. Tanpa adaptor darinya, skripsi ini mungkin akan selesai lebih lama dari ini. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan tambahan wawasan mengenai Quran dan bermanfaat bagi semuanya, terkhusus bagi penulis. Semoga karya ini dijadikan sebagai ladang amal baik bagi penulis. Ciputat, 11 Desember 2014 Hormat saya, Gugun Gunawan Penulis iv DAFTAR ISI ABSTRAK............................................................................................................ i KATA PENGANTAR......................................................................................... ii DAFTAR ISI........................................................................................................ v PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1 B. Permasalahan................................................................................. 4 C. Tinjauan Pustaka........................................................................... 7 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................... 11 E. Metode Penelitian.......................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan................................................................... 17 BAB II KETEPATAN DIKSI QURAN A. Ketepatan Allah dalam Pemilihan Diksi pada Ayat-Ayat Quran.................................................................. 19 B. Sinonim (Mutarādif)..................................................................... 24 1. Sinonim dalam Bahasa Indonesia............................................ 24 2. Sinonim dalam Quran.............................................................. 25 a. Pengertian Sinonim dan Faktor-Faktor Penyebab Kemunculannya dalam Bahasa Arab............................... 25 b. Pro-Kontra Sinonim dalam Quran................................... 33 C. Homonim (Musytarak) dalam Quran........................................... 38 BAB III KARAKTERISTIK DAN KONSISTENSI LAFAL ŻIKR DALAM QURAN A. Klasifikasi Lafal Żikr dalam Quran.............................................. 41 1. Lafal Żikr yang Dimaknai Quran............................................. 42 v 2. Lafal Żikr yang Tidak Dimaknai Quran................................... 45 B. Karakteristik Lafal Żikr dalam Quran........................................... 47 1. Karakteristik Lafal Żikr berdasarkan Penyandarannya terhadap Kalimat Lain............................................................. 48 2. Karakteristik Lafal Żikr berdasarkan Maknanya sebagai Quran.......................................................................... 50 BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN LAFAL AL-ŻIKR PADA QS. AL-ḤIJR [15]: 9 A. Pemaknaan Lafal al-Żikr dengan Quran pada QS. al-Ḥijr [15]: 9................................................................ 53 B. Argumentasi Penggunaan Lafal al-Żikr pada QS. Al-Ḥijr [15]: 9............................................................... 54 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................... 75 B. Saran.............................................................................................. 75 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 77 vi PEDOMAN TRANSLITERASI Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987 1. Konsonan No. Arab Latin No. Arab Latin 1 ا tidak dilambangkan 16 ط ṭ 2 ب b 17 ظ ẓ 3 ت t 18 ع ʻ 4 ث ṡ 19 غ g 5 ج j 20 ف f 6 ح ḥ 21 ق q 7 خ kh 22 ك k 8 د d 23 ل l 9 ذ ż 24 م m 10 ر r 25 ن n 11 ز z 26 و w 12 س s 27 ه h 13 ش sy 28 ء ’ 14 ص ṣ 29 ي y 15 ض ḍ 2. Vokal Pendek -◌َ -- = a -◌ِ -- = i َﻛﺘَﺐ ُﺳﺌِ َﻞ kataba su’ila vii -◌ُ -- = u َﺐ ُ ﻳَ ْﺬﻫyażhabu 3. Vokal Panjang a. Fatḥah + alif, ditulis ā (a garis di atas) ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ ditulis jāhiliyyah b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a garis di atas) ﻳﺴﻌﻰ ditulis yasʻā c. Kasrah + yā’ mati, ditulis ī (i dengan garis di atas) ﳎﻴﺪ ditulis majīd d. Ḍammah + wāu mati, ditulis ū (u dengan garis di atas) ﻓﺮوض ditulis furūd 4. Diftong = اَ ْيai ْﻒ َ = َﻛﻴkaifa = ا َْوau ْل َ = ﺣَﻮḥaula 5. Kata Sandang ()ال Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-’, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. 6. Tasydid (- ّ◌--) Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda viii syiddah tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf al-syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis ﻀﺮُْورَة اﻟ ﱠaḍ-ḍarūrah melainkan alḍarūrah. 7. Tā’ Marbūṭah a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi naʻt atau sifat, ditulis h Contoh: ﺟﺰﻳﺔ ditulis jizyah اﳉﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ditulis al-jāmiʻah al-islāmiyyah (ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafal aslinya) b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t Contoh: ﻧﻌﻤﺔ ﷲ ditulis niʻmat Allāh زﻛﺎة اﻟﻔﻄﺮ ditulis zakāt al-fiṭr 8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut penulisannya, contoh: ذوي اﻟﻔﺮوض ditulis żawī al-furūḍ اﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ditulis ahl al-sunnah ix 9. Singkatan swt. = subḥānah wa taʻālā saw. = ṣallā Allāh ‘alaih wa salam as. =‘alaih al-salām ra. = raḍiya Allāh ‘anh QS. = Quran Surat M = Masehi H = Hijriah w. = Wafat h. = Halaman x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skripsi ini terinspirasi saat menemani seorang dosen1 pergi menuju kampus dengan menaiki sebuah sepeda motor. Sore itu, di atas kendaraan yang melaju dengan santai, kami berdiskusi berbagai permasalahan akademik hingga akhirnya penulis menemukan satu pertanyaan yang menurut penulis sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Sambil mengendarai motornya, ia bercerita: “Kemarin, sewaktu berkumpul dengan para dosen di ruang dosen sambil berdiskusi yang dikemas dengan obrolan santai ‘ala intelek’, muncul satu pertanyaan yang tidak terjawab dan itu menarik untuk dibahas lebih lanjut. Pertanyaannya adalah mengapa pada ayat yang kerap kali dijadikan argumentasi kemurnian Quran, yaitu QS. al-Ḥijr [15]: 9, Allah menggunakan term al-żikr untuk menunjukkan Quran? Pasti ada maksud di balik pemilihan diksi al-żikr tersebut.” Tidak lama setelah itu, kami pun akhirnya sampai di kampus tercinta dan kemudian berpisah di pintu gerbang masuk dengan meninggalkan berbagai permasalahan intelektual di benak penulis. Keesokan harinya, sambil ditemani secangkir kopi dan beberapa gorengan, penulis mencoba mendiskusikan permasalahan tersebut dengan teman-teman2 satu kos penulis yang kebetulan satu kelas dan satu jurusan Tafsir Hadis. Penulis memulai dengan sebuah celetukan, “Eh bro! Saya mau nanya nih, ‘Mengapa pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 Allah menggunakan term al-żikr untuk menunjukkan Quran, Beliau adalah Eva Nugraha, MA, salah seorang tenaga pengajar di Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2 Mereka adalah Wandi Ruswandi, Wahyu Ismatullah, dan Muhammad Rasyidi. 1 1 2 tidak memakai term yang lebih jelas bermakna Quran, seperti lafal al-qur’ān misalnya, atau yang lainnya? Kenapa coba?’” Diskusi pun berjalan alot tanpa mendapatkan jawaban yang jelas. Sebagaimana diketahui bahwa ayat yang kerap kali dijadikan argumentasi akan keautentikkan Quran yaitu QS. al-Ḥijr [15]: 9. Di bawah ini adalah redaksi lengkap ayat tersebut, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Dalam “al-Qur’an dan Terjemahnya” yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama pada tahun 2012, ayat ini diberikan keterangan sebagai jaminan kesucian dan kemurnian Quran selama-lamanya.3 Merasa tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, penulis mencoba mencari penafsiran-penafsiran mengenai ayat tersebut berharap menemukan alasan pemilihan diksi al-żikr pada ayat itu. Dari berbagai penelusuran penafsiranpenafsiran Quran, mayoritas ulama memang memaknai lafal al-żikr pada QS. alḤijr [15]: 9 sebagai Quran, seperti pada kitab tafsir Jalālain,4 kitab Jāmi’ al-Bayān karya al-Ṭabarī,5 dan pendapat-pendapat mufasir lainnya dalam karyanya masingmasing.6 Namun, mereka hanya memaknai al-żikr sebagai Quran saja tanpa Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 355. 4 Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm (Surabaya: Nur al-Huda, tt.), h. 212. 5 Abu Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl Āyāt al-Qur’ān, terj. Misbah dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal. 719. 6 Beberapa ulama yang menafsirkan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr[15]: 9 dengan Quran di antaranya ialah Imam al-Ṭabarī, Imam al-Zamakhsyarī, Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Ibn ‘Āsyur, Sayyid Quṭb, dan lain sebagainya. Penjelasan lebih lanjut akan di bahas pada bab IV. 3 3 menjelaskan lebih lanjut mengapa lafal al-żikr yang dipakai bukan lafal yang jelasjelas menunjukkan Quran seperti lafal al-qur’ān secara gamblang, mengingat banyak orang awam yang masih belum mengetahui bahwa lafal al-żikr juga bisa bermakna Quran, bukan hanya peringatan. Pemaknaan al-żikr sebagai Quran saja (tanpa menjelaskan perbedaannya dengan term-term lain yang juga bermakna Quran, seperti term al-qur’ān, al-kitāb, dan sebagainya) seolah-olah mengesampingkan hikmah di balik ketepatan Allah, sebagai Penutur, dalam pemilihan diksi. Padahal di balik diksi yang Allah pilih untuk menyusun suatu ayat, pasti terdapat hikmah yang besar.7 Oleh sebab itu, harus ada perbedaan antara termterm tersebut apalagi jika diasumsikan bahwa tidak ada sinonimi dalam bahasa Arab, khususnya Quran. Selain itu, seperti yang telah dipaparkan di atas, QS. al-Ḥijr [15]: 9 selalu dijadikan sebagai dalil pembenaran bahwa Quran terjaga dari perubahan. Dengan demikian, pembedaan term al-żikr dengan term-term lain yang menunjukkan makna Quran (seperti al-qur’ān, al-kitāb, dan al-furqān) akan mengakibatkan pada penafsiran Quran yang seperti apa yang sebenarnya dijaga (laḥāfiẓūn) oleh ‘kami’ (naḥnu) menimbang sejarah penulisan dan penyempurnaan Quran dari yang tanpa titik hingga penuh dengan penambahan-penambahan tanda baca. Belum lagi banyaknya kesalahan-kesalahan dalam membaca Quran hingga tidak sedikit yang dapat mengubah arti dari ayat yang dibaca. Jika keempat term itu (al-qur’ān, alkitāb, al-żikr, dan al-furqān) disamaartikan sebagai Quran saja, maka dalil bahwa Quran terjaga dari pengubahan—baik yang disengaja maupun yang tidak Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an. Penerjemah Nasirudiin Abbas (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 77. 7 4 disengaja—seperti pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 terbantahkan dengan kedua alasan yang telah dikemukakan di atas. Maka dari itu, penulis tertarik untuk meneliti permasalahan pemilihan diksi al-żikr pada ayat tersebut—sehingga dapat diketahui Quran yang seperti apa yang sebenarnya terjaga itu—dalam skripsi yang berjudul: “PENAFSIRAN QS. AL-ḤIJR [15]: 9 TENTANG PEMAKNAAN LAFAL AL-ŻIKR SEBAGAI QURAN: SEBUAH STUDI KRITIS” B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dan untuk memperjelas alur penelitian ini, maka penulis perlu mengidentifikasi beberapa permasalahan, di antaranya mengenai kriteria arti pengubahan kitab suci sehingga dapat diketahui apakah penambahan tanda baca pada Quran termasuk dalam kategori pengubahan Quran atau tidak. Pun juga kesalahan dalam membaca Quran mengindikasikan adanya pengubahan Quran atau tidak. Selain itu, penafsiran-penafsiran mufasir, baik klasik maupun modern, mengenai keaslian Quran juga menjadi satu pemasalahan yang perlu dikaji mengingat pembahasan pada penelitian ini juga terkait dengan keaslian dan keterjagaan Quran. Namun, hal yang lebih penting adalah perbedaan antara termterm yang menjadi nama-nama dari Quran, seperti lafal al-qur’ān, al-kitāb, al-żikr, dan al-furqān. Pembedaan ini diperlukan untuk mengetahui apa arti al-żikr sehingga dapat diketahui Quran yang seperti apa yang terjaga. Dari situ perlu pembedaan terlebih dahulu antara al-żikr yang bermakna Quran dan yang tidak dimaknai Quran sebab seperti yang telah diketahui bahwa satu kata bisa mempunyai 5 banyak arti. Begitu halnya dengan lafal al-żikr. Ia bisa bermakna Quran, peringatan, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, perlu dibuatkan karakteristik lafal żikr berdasarkan pemaknaannya dalam Quran. Hal ini penulis rasa perlu untuk menegaskan bahwa lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 memang bermakna Quran berdasarkan karakteristik dari susunan redaksinya. Hal ini juga dapat membuktikan kekonsistenan lafal-lafal Quran. 2. Pembatasan Masalah Dari sekian banyak identifikasi masalah yang dipaparkan di atas, penulis hanya membatasi masalah pada karakteristik lafal żikr pada ayat-ayat Quran dan maknanya pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 serta perbedaannya dengan nama-nama lain dari Quran. Pembatasan pada poin-poin ini penulis pilih karena dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada klasifikasi dan karakteristik dari lafal żikr dalam Quran untuk kemudian diterapkan pada surah al-Ḥijr [15]: 9. Dalam pembuatan karakteristik lafal żikr, penulis tidak mengikutkan derivasi dari lafal żikr sehingga yang diteliti penulis adalah hanya membatasi pada lafal ‘żikr’ saja (żāl ‘kasrah’, kāf ‘sukūn’, dan rā’) baik yang berbentuk maʻrifah maupun nakirah. Sedangkan dalam menjelaskan penafsiran QS. al-Ḥijr [15]: 9, penulis merujuk pada lima tafsir pokok, yaitu tiga tafsir klasik dan dua tafsir modern. Tafsir klasik yang penulis jadikan referensi antara lain kitab tafsir Jāmi’ al-Bayān fi Ta’wīl 6 al-Qur’ān8 karya al-Ṭabarī (w. 310 H), kitab al-Kasysyāf9 karya Imam Maḥmūd Ibn ‘Umar al-Zamakhsyarī (w. 538 H) dan kitab Mafātīh al-Gaib10 karya Fakhr alDīn al-Rāzī (w. 606 H). Sedangkan kitab tafsir modern yang penulis jadikan referensi, yaitu kitab al-Taḥrīr wa al-Tanwīr11 karya Ibn ‘Āsyur (w. 1393 H) dan kitab tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’ān12 karya Sayyid Quṭb (w. 1386 H). Kelima tafsir tersebut dijadikan rujukan karena kitab-kitab tafsir ini merupakan kitab-kitab tafsir yang mempunyai bahasan yang luas serta tidak mengabaikan aspek kebahasaan sehingga akan mempermudah bagi penulis dalam mengidentifikasikan karakteristik lafal żikr, meskipun kitab-kitab tersebut mempunyai corak penafsiran yang berbeda-beda. Namun meskipun begitu, penulis Tafsir al-Ṭabarī adalah kitab tafsir tafsir yang menggunakan metode taḥlilī dan tergolong tafsir bi al-ma’ṡūr sebab dalam menafsirkan beliau merujuk pada pandangan dan pendapat para sahabat maupun tabiin riwayat-riwayat melalui hadis-hadis yang mereka riwayatkan. Selain itu, alṭabarī juga memberikan perhatian terhadap aspek kebahasaan Quran. Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Rasyīd, tt.), h. 364. 9 al-Kasysyāf merupakan kitab tafsir yang memakai metode penafsiran tahlili dan bercorak lughawi (kebahasaan). Lihat Muhammad Husein al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Dār al-Kutub, 1961), h. 305-307. 10 Dalam menafsirkan Quran, al-Rāzi memakai metode tahlili dan bercorak falsafi dan ilmi. Namun, ia pun juga menjelaskan Quran dengan masalah-masalah uṣuliyah, nahwiyah, dan balaghiya sebagaimana dalam masalah eksakta dan alam. Lihat Muhammad Husein Al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, h. 210. 11 Kitab tafsir karya Ibn ‘Āsyūr ini cenderung memakai metode tahlili dalam menafsirkan. Itu bisa dilihat dari cara beliau memaparkan makna ayat demi ayat dari segala aspek kebahasaan dan balagahnya dengan tujuan mendapatkan makna yang benar dari setiap ayat. Selain itu ia juga menafsirkan ayat demi ayat secara muṣhafi dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nas. Sedangkan corak yang dipakai cenderung pada corak adabi ijtimia’i, yaitu penafsiran yang menjelaskan ayatayat Quran berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan dengan bahasa yang lugas dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur an untuk kemudian diaplikasikan di kehidupan sosial, seperti pemecahan masalah yang berkembang di masyarakat. Lihat Muḥammad ‘Alī Ayāzī, al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhājuhum (Teheran: Muassasah al-Tabāʻah wa al-Naṣr Wuzārah al-Saqāfah wa al-Irsyād al-Islāmī, 1373 H), h. 246. Lihat pula Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Modern (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 122. 12 Pada awalnya, kitab tafsir Fī Ẓilāl al-Qur`ān merupakan ulasan penafsiran Quran oleh Sayyid Quṭb yang dimuat pertama kali dalam rubrik majalah al-Muslimūn edisi ke-3 yang terbit pada bulan Februari 1952. Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir dengan metode tahlili dan corak sastra yang kental dan mudah dipahami di samping konsep-konsep motivasi dan pergerakannya. Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani 2005), h. 25. 8 7 tidak mengabaikan kitab-kitab tafsir lainnya, penulis juga merujuk pada kitab-kitab tafsir yang lain, khususnya kitab-kitab tafsir yang bercorak lugawī (kebahasaan). 3. Perumusan Masalah Karena lafal al-żikr dalam Quran terkadang dimaknai berbeda-beda antar satu ayat dan ayat lainnya, dan penggunaan lafal al-żikr untuk menyebutkan Quran pada ayat 9 surah al-Ḥijr [15] yang sering kali dijadikan dalil untuk melegitimasi keautentikkan Quran menggugah penulis untuk meneliti maksud ayat ini lebih lanjut, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pemaknaan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 sehingga dijadikan dasar untuk menjelaskan keautentikkan Quran? C. Tinjauan Pustaka Ketertarikan penulis pada pembahasan ini karena mayoritas umat muslim menyamakan lafal al-żikr dengan Quran tanpa meninjau lebih jauh perbedaan antar keduanya. Padahal setiap pemilihan kata dalam Quran pasti memiliki tujuan dan hikmah. Menurut sepengetahuan penulis, pembahasan tentang keautentikan Quran yang berdasarkan ayat 9 pada QS. al-Ḥijr banyak dibahas dalam buku-buku Sejarah Quran dan kitab-kitab Ulumul Quran lainnya. Pembahasan mengenai autentisitas Quran telah dibahas dalam beberapa penelitian di bawah ini: 1. Sulaiman, Mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014, dalam skripsinya berjudul “Pemeliharaan Otentisitas al-Qur’an dan Relasinya dengan QS. al-Ḥijr: 9 Perspektif Mufasir Klasik dan Modern”, menjelaskan tentang pemeliharaan autentisitas Quran sejak masa Nabi sampai sekarang serta 8 media pemeliharaannya. Dalam skripsi ini juga dijelaskan tentang pendapat mufasir klasik dan modern atas penafsiran QS. al-Ḥijr [15]: 9. Skripsi ini lebih menitikberatkan permasalahan pada penafsiran lafal laḥāfiẓūn pada ayat tersebut. Hal itu terlihat dari pembahasannya tentang pemeliharaan Quran dan media dalam memelihara Quran dari masa Nabi sampai saat ini sehingga Quran terjaga dan terjamin keautentikkannya. 2. Dadan Rusmana, mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2000, dengan tesisnya yang berjudul “al-Qur'an dalam Pandangan Islamolog Kontemporer: Studi Kritis Terhadap Metodologi dan Tesis-Tesis John Wansbrough dalam Studi al-Qur’an.” Seperti diketahui, John Wansborg banyak membahas Quran termasuk tentang kodifikasi Quran hingga berimplikasi pada autentisitas Quran. Dalam tesisnya ini, penulis mengkritisi pendapat-pendapat John Wansborg dalam tesis-tesisnya. Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan pembahasan sinonimi dan homonimi telah di bahas dalam beberapa karya ilmiah sebagai berikut: 1. Zahrudin, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2002, dengan tesisnya yang berjudul “Sinonim di dalam al-Qur’an.” Dalam tesisnya ini, Zahrudin mencoba menjelaskan Sinonim di dalam Quran dilihat dari berbagai aspek. 2. Eka Syauqah, mahasiswa jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2004, dengan skripsinya yang berjudul “Sinonim Bahasa Arab dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia Kajian tentang Verba dalam 9 al-Qur’an.” Skripsi ini mengkaji tentang sinonim kata kerja yang ada dalam Quran untuk kemudian dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. 3. Fina Sulastri, mahasiswa jurusan Tarjamah fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2008, dengan skripsinya yang berjudul “Penerjemahan Sinonim Istilah Tauhid.” Skripsi ini menjelaskan tentang perbedaan sinonim istilah tauhid dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia serta menjelaskan ayatayat Quran yang terdapat istilah tauhid yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata yang sama merupakan sinonim dan bisa saling menggantikan atau tidak. 4. Yudiansyah, mahasiswa jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2010, dengan skripsinya yang berjudul “Sinonim Kata Berpikir dalam Kajian al-Qur'an.” Skripsi ini menjelaskan tentang cara menerjemahkan sinonim dari istilah berpikir dalam Quran. 5. Ahmad Fauzi, mahasiswa Tarjamah fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, dengan skripsinya yang berjudul “Analisis Homonimi Kata Nafs dalam al-Qur'an Terjemahan Hamka.” Skripsi ini menjelaskan tentang homonimi kata nafs dalam Quran terjemahan Hamka. 6. Kholilurrahman, mahasiswa Fak.Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2007, dengan skripsinya yang berjudul “Taraduf (Sinonim) dalam al-Qur’an : Telaah Pemikiran Muhammad Syahrur dalam al-Kitab wa al-Qur’ān Qirā’ah Muʻāṣirah”. Selain itu, penulis juga mencari penelitian-penelitian mengenai pembahasan lafal dan makna Quran seperti di bawah ini: 10 1. Mansur, mahasiswa fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2005, dengan skripsinya yang berjudul “Analisis Semiotik terhadap Penerjemahan Kata Jihad dalam Tafsir al-Azhar.” Skripsi ini menjelaskan tentang analisa penulis terhadap penerjemahan kata Jihad dalam Tafsir al-Azhar dilihat dari segi semiotika. 2. Darojat, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2007, dengan tesisnya yang berjudul “Kata Nafs dalam al-Qur'an : Studi Semantik.” Tesis ini menjelaskan tentang kajian semantik lafal nafs dalam Quran. 3. Zahrudin, mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana S3 UIN Syarif Hidayatullah dengan program studi Pengkajian Islam, 2010, dengan disertasinya yang berjudul “Relasi Makna dalam al-Qur'an : Analisis terhadap Kata-Kata yang Memiliki Relasi Makna dalam al-Qur'an yang Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.” Selain itu, Muḥammad Syahrūr dalam bukunya yang berjudul al-Kitāb wa alqur’ān: Qirā’ah al-Mu’āṣirah yang diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,13 berpendapat bahwa dalam bahasa Arab, khususnya Quran, tidak mempunyai tarāduf (sinonim) namun satu kata bisa saja mempunyai banyak arti (muṣtarak). Maka atas dasar inilah Syahrur membedakan term Quran dengan al-furqān, al-żikr, dan al-kitāb. Atas asumsi ini pula (ketiadaan sinonim atau tarāduf dalam bahasa Arab) dan didukung oleh asumsi bahwa Allah meletakkan lafal-lafal Quran dengan Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern. Penerjemah Sahiron Syamsuddin (Jogjakarta: elSAQ, 2004). 13 11 tepat dalam buku The Unity of al-Qur’an14 karya Amir Faisal Fath, penulis tertarik untuk mengangkat skripsi ini. Penelitian ini berbeda dengan literatur-literatur yang telah disebutkan di atas. Meskipun penelitian ini membahas tentang keautentikkan Quran namun penulis di sini lebih menekankan pada pemaknaan lafal al-żikr dalam Quran dan penerapannya pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 khususnya dan dalam Quran pada umumnya. Dengan demikian, judul dan tema yang penulis angkat ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menjelaskan karakteristik lafal żikr yang dimaknai Quran dan yang bukan; b. Menjelaskan perbedaan definisi dari nama-nama Quran (seperti al-furqān, alżikr, dan al-kitāb); c. Menjelaskan maksud pemilihan diksi al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9. d. Menjelaskan bahwa tidak semua lafal żikr dalam Quran bermakna peringatan namun ada juga yang bermakna Quran, Lauḥ Maḥfūẓ, wahyu, dan lain-lain. 2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain: a. Secara teoritis: penulis berharap akan semakin banyak penelitian mengenai pemaknaan lafal-lafal Quran dengan menggunakan pendekatan semantis. Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 75. 14 12 b. Secara praktis: hasil dari penelitian ini diharapkan mampu mempermudah pembaca dalam menerka lafal-lafal żikr mana saja bermakna Quran dan yang bukan dengan melihat susunan redaksinya sesuai dengan hasil penelitian dalam skripsi ini. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (library research). Penulis mengumpulkan data penafsiran QS. al-Ḥijr [15]: 9 menurut ulama-ulama tafsir kemudian meneliti makna lafal al-żikr pada ayat tersebut dan ayat-ayat yang lainnya. Penulis menggunakan sumber-sumber tertulis sebagai bahan acuan, baik itu sumber primer maupun sumber sekunder. Dengan demikian, jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi kepustakaan. 2. Data dan Sumber Data a. Data Data awal pada penelitian ini adalah data mengenai 99 lafal żikr dalam Quran dan data tentang jumlah lafal żikr yang bermakna Quran15. b. Sumber Data Penulisan skripsi ini diambil dari data-data yang bersifat kepustakaan (library research) dengan memilih Quran langsung sebagai sumber pokok. Sedangkan Lafal żikr yang menunjukkan makna Quran disebut sebanyak sembilan kali dalam delapan ayat di tujuh surah. Lihat Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013) h. 35. 15 13 untuk mempermudah membedakan lafal żikr yang bermakna Quran dan yang bukan, penulis menggunakan kitab Quran terjemah perkata “Alhidayah”16. Adapun sumber data sekunder yang penulis gunakan adalah kitab-kitab kamus Quran dan kitab-kitab tafsir klasik dan modern. Kitab kamus Quran yang menjadi rujukan penulis adalah kitab al-Muʻjam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān karya Muhammad Abd. Al-Bāqī17, kitab Konkordinasi Qur’an karya Ali Audah18, dan buku Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata karya Quraish Shihab19. Sedangkan di antara kitab tafsir yang penulis gunakan adalah kitab tafsir alṬabarī20, Al-Zamakhsyarī21, Fakhr al-Dīn al-Rāzī22, Ibn ‘Āsyur23, dan Sayyid Quṭb24. Penulis juga mengutip beberapa kitab tafsir yang lain khususnya kitab-kitab tafsir yang bercorak lugawī (kebahasaan) karena pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan bahasa. Pendekatan ini, penulis rasa tepat untuk mendapatkan perbedaan atau karakteristik antara lafal żikr yang bermakna Quran dan yang bukan. Namun, meskipun penelitian ini bersifat kepustakaan, penulis mengambil data dari nara sumber berdasarkan kebutuhan melalui wawancara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tim Penyusun, Alhidayah Quran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka (Tangerang: Kalim, 16 2010). 17 Muḥammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān (Beirut: Dār alHadīṡ, 2007). 18 Ali Audah, Konkordinasi Qur’an (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1991). 19 Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007). 20 Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān (Kairo: Markaz al-Buḥūṡ wa al-Dirāsah al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001). 21 Maḥmūd Ibn ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Tanzīl (Riyāḍ: Maktabah al-ʻAbikān, 1998). 22 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaīb (Beirut: Dār al-Fikr, 1981). 23 Muḥammad al-Ṭāhir Ibn ‘Āsyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (Tunisia: al-Dār alTūnisiyyah li al-Nasyar, 1984). 24 Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān (Tk.: Minbar al-Tauḥīd wa al-Jihād, t.t.). 14 3. Teknik Pencarian Data Penulis menggunakan dua cara dalam mendapatkan data, yaitu mengambil dari kitab-kitab atau buku-buku yang menjadi rujukan dan melalui wawancara terhadap nara sumber. Pertama-tama, penulis mencari data ayat-ayat yang di dalamnya terdapat lafal żikr bersama derivasinya dengan menggunakan kitab qamūs al-Qur’ān karya Abd al-Bāqī (al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur'ān)25 dan Ali Audah (Konkordinasi Qur’ān)26. Dengan menggunakan kedua kitab tersebut, penulis mendapatkan 267 lafal żikr bersama derivasinya dalam Quran. dari 267 lafal tersebut, penulis sortir hanya lafal żikr saja tanpa mengikutkan derivasinya sehingga hanya terdapat 99 lafal żikr dalam Quran. Selain mendapatkan data dari buku maupun kitab rujukan, penulis juga mendapatkan data dengan mewawancarai Prof. Dr. Amin Suma, MA. Data yang diperoleh dari beliau adalah data (tambahan) mengenai lafal-lafal żikr yang bermakna Quran. Data yang diperoleh melalui kedua cara ini merupakan data awal penulis untuk mendapatkan karakteristik lafal żikr yang bermakna Quran dan yang tidak bermakna Quran. Hal ini dibutuhkan untuk mempermudah penulis dalam menganalisa argumen pemilihan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9. 4. Metode Pembahasan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptifanalitik dengan pendekatan semantik. Metode deskriptif merupakan metode penulisan yang digunakan untuk membahas satu permasalahan dengan meneliti, 25 Muḥammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān (Beirut: Dār alHadīṡ, 2007), h. 335-337. 26 Ali Audah, Konkordinasi Qur’an (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1991), h. 188190. 15 mengolah data, menganalisis, dan menginterpretasikan hal yang ditulis dengan pembahasan yang teratur dan sistematis serta ditutup dengan kesimpulan dan pemberian saran sesuai kebutuhan.27 Dengan pendekatan ini, penulis mengumpulkan ayat-ayat yang mengandung lafal żikr baik yang bermakna Quran maupun yang bukan untuk kemudian diklasifikasikan mana yang bermakna Quran dan mana yang dimaknai lainnya agar mendapatkan karakteristik lafal żikr. Setelah mendapatkan hasil dari klasifikasi dan karakteristik dari lafal żikr, barulah penulis terapkan pada penafsiran lafal al-żikr dalam QS. al-Ḥijr [15]: 9. Dalam mengklasifikasikan lafal żikr, pertama-tama penulis mencari arti kata dari lafal żikr terlebih dahulu menggunakan kitab Quran terjemah perkata “Alhidayah”28. Hal ini bertujuan supaya sedikit mempermudah dalam memilah lafal-lafal żikr yang bermakna Quran dan yang tidak bermakna Quran. Dari penelusuran arti 99 lafal żikr melalui kitab Quran terjemah perkata dan hasil wawancara dengan nara sumber didapatkan hasil bahwa lafal żikr yang dimaknai Quran disebut sebanyak lima belas kali dalam empat belas ayat di sepuluh surah, yaitu QS. al-Ḥijr [15]: 6 dan 9, al-Naḥl [16]: 44, QS. Ṭāḥā [20]: 99, QS. Al-Furqān [25]: 29, al-Anbiyā’ [21]: 2 dan 50, al-Syuʻarā’ [26]: 5, Yāsīn [36]: 11 dan 69, QS. Ṣād [38]: 8 sebanyak dua kali dan pada ayat ke-49, QS. Fuṣṣilat [41]: 41, dan terakhir di QS. al-Ṭalāq [65]: 10. Inilah yang kemudian penulis sebut sebagai data setengah matang. Dikatakan data setengah matang sebab data yang dihasilkan tidak Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesi, 1999), cet. IV, h. 63. Tim Penyusun, Alhidayah Quran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka (Tangerang: Kalim, 27 28 2010). 16 sesuai dengan temuan awal bahwa lafal żikr yang dimaknai Quran sebanyak sembilan kali dalam delapan ayat di tujuh surah. Dan ini memerlukan penelitian lebih lanjut. Setelah mendapatkan data setengah matang, penulis kemudian mengecek pada kitab-kitab tafsir yang penulis jadikan rujukan dan dari data ini penulis mencari persamaan global pada ayat-ayat itu hingga cocok dengan temuan awal, yaitu sebanyak sembilan kali dalam delapan ayat di tujuh surah. Setelah mengetahui ayat-ayat mana saja yang dimaknai Quran barulah kemudian penulis membuat karakteristik dari lafal żikr yang dimaknai Quran dan yang tidak dimaknai Quran. Sementara itu, dalam menelusuri makna lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9, penulis menggunakan pendekatan semantik, yaitu suatu kajian linguistik yang mengkaji arti bahasa.29 Semantik adalah ilmu yang membahas tentang arti kata atau kalimat dan tentang bagaimana arti tersebut dibentuk oleh arti setiap komponen yang turut membentuknya. Tujuan akhir dari semantik adalah membangun teori yang bersifat umum tentang arti.30 Secara gamblangnya, semantik adalah satu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik.31 Dengan menggunakan pendekatan ini, penulis dapat mengetahui arti leksikal32 lafal al-żikr dan arti gramatikalnya33 pada QS. al-Ḥijr [15]: 9. Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa (Jakarta: Transpustaka, 2011), h. 4. 30 Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, h. 5. 31 J. D. Parera, Teori Semantik Edisi Kedua (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 42. 32 Arti leksikal adalah suatu ungkapan linguistik secara keseluruhan atau umum. Lebih jelasnya, arti leksikal adalah arti ungkapan seperti yang ada pada kamus (dictionary words). Oleh sebab itu, arti leksikal lebih kaya dan lebih kompleks dari pada arti gramatikal. Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, h. 46. 33 Arti gramatikal diartikan sebagai arti dari struktur gramatikal. Dengan demikian, arti gramatikal tidak hanya digunakan untuk satu macam fenomena arti saja namun juga menerangkan arti yang terdapat dalam kategori gramatikal yang merupakan satuan analisis dalam morfologi, 29 17 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi dalam buku “Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Program Strata 1 2010/2011” yang disusun oleh Tim Penyusun dan diterbitkan pada tahun 2010. Dalam penulisan skripsi ini, ada dua istilah yang perlu dibedakan pemahamannya, yaitu term ‘Quran’ (sesuai KBBI)34 dan term ‘al-qur’ān’ (alih aksara dari Bahasa Arab). Term ‘Quran’ pada skripsi ini berarti firman Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw. sedangkan term ‘al-qur’ān’ berarti Quran (firman Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw.) yang berupa ucapan. Kedua kata ini penulis bedakan untuk menghindari kerancuan pemahaman. F. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyajikannya dalam bentuk bab disertai subbab-subbab yang saling berkaitan. Hal itu penulis maksudkan agar lebih mudah dalam memahami bahasan yang dikaji atau diteliti. Bab pertama yakni pendahuluan. Dalam pendahuluan ini penulis membahas tentang latar belakang masalah dari kajian ini, kemudian identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah yang akan penulis kaji, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan dari penelitian ini. Bab pertama ini menjelaskan gambaran umum dari penelitian dalam skripsi ini. Bab kedua menjelaskan kerangka dan landasan dasar dari skripsi ini, yaitu mengenai ketepatan Allah sebagai penutur dari Quran dalam pemilihan diksi pada terutama nomina, verba, dan adjektiva. Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, h. 47. 34 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. III, h. 916. 18 suatu ayat, dan ketiadaan sinonim dalam bahasa Arab, khususnya Quran. Ini merupakan asumsi dasar penulis sehingga berakibat pada perbedaan makna mendasar dari term-term yang dibahas. Bab ketiga penulis menganalisa karakteristik lafal żikr dalam Quran sehingga dapat membuktikan konsistensi Quran dalam membentuk suatu ayat. Pada bagian ini, penulis mengklasifikasikan lafal żikr dalam Quran dengan membaginya menjadi dua bagian, yaitu yang dimaknai Quran dan yang tidak dimaknai Quran. Selanjutnya, penulis mencoba mencari karakteristik lafal żikr. Bagaimana pola kalimat lafal żikr sehingga bisa dimaknai Quran. Bab keempat berisi tentang penerapan dari hasil penelitian pada bab IV terhadap QS. al-Ḥijr [15]: 9. Bagian ini akan dipaparkan penafsiran secara umum lafal al-żikr sebagai Quran menurut ulama tafsir, di antaranya menurut Imam alṬabarī, Al-Zamakhsyarī, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Ibn ‘Āsyur, dan Sayyid Quṭb. Setelah itu, penulis akan menganalisa penggunaan lafal al-żikr pada ayat ini. Dengan menggunakan hasil riset pada bab ketiga penulis mencoba menganalisa mengapa pada ayat ini Allah swt. lebih memilih untuk memakai lafal al-żikr dari pada lafal-lafal lain yang bermakna Quran seperti lafal al-qur’ān, al-furqān, atau al-kitāb. Dengan demikian dapat diketahui Quran yang seperti apa yang terjaga itu. Bab kelima adalah penutup yang isinya berupa kesimpulan dari penelitian ini dan saran-saran bagi para pembaca dan himbauan serta saran untuk peneliti selanjutnya, agar diberikan kritik terhadap hasil penelitian ini jika terdapat kekurangan dan kekeliruan. BAB II KETEPATAN DIKSI QURAN A. Ketepatan Allah dalam Pemilihan Diksi pada Ayat-Ayat Quran Pemilihan kata (diksi) yang tepat merupakan hal mutlak yang harus dikuasai oleh penutur maupun penulis. Pada dasarnya, pemilihan kata atau diksi berkaitan erat dengan masalah ketepatan dan kesesuaian memilih kata-kata. Dikatakan tepat agar gagasan sang penulis atau penutur dapat diwakili oleh kata-kata yang tepat sehingga pengungkapan gagasan tersebut terlihat logis. Sedangkan dikatakan sesuai agar pilihan kata sang penulis atau penutur selaras dengan konteks, nilai-nilai sosial, atau sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. 1 Sebagai contoh kecilnya yaitu pencekalan musisi terkenal, Iwan Fals, pada masa orde baru di mana freedom of speech hanya merupakan istilah. Iwan Fals pernah dicekal gara-gara lagunya yang berjudul “Bento”. Lagu yang yang merupakan kepanjangan dari Benteng Soeharto ini dicekal dan dilarang beredar lirik lagunya yang dianggap menghina Soeharto.2 Lirik lagu “Bento” tersebut meskipun didukung rangkaian kata yang tepat namun tidak selalu dapat diterima pada masa orde baru karena tidak sesuai dengan ‘norma’ rezim orba. Begitu pun dengan Quran yang merupakan kitab sastra Arab terbesar (kitāb al-arabiyyah al-akbar) yang pernah ada.3 Pemilihan kata-kata atau lafal-lafalnya Wahyu Wibowo, Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 26. 2 Shanti & Ve Handojo, Shanti Bongkar Rahasia, Bagi Cerita (Jakarta: GagasMedia, 2011), h. 196. 3 Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsa Press, 2005), h. 11. 1 19 20 sangat tepat dan sesuai dengan konteks. Ketepatan dan kesesuaian kata maupun redaksi atau teks dengan konteks ini menjadikan asabāb al-nuzūl Quran sebagai aspek penting dalam hal pengambilan hukum yang berdasarkan ayat-ayat Quran.4 Itulah bukti kesatuan Quran, penggunaan huruf-huruf dan kata-kata yang Allah pilih berdasarkan tujuan serta diletakkan pada posisi yang tepat. 5 Dalam Quran, tidak ada huruf yang tidak punya tujuan bahkan meski hanya satu huruf saja. Seperti pada QS. al-Syūrā [42]: 11 ... “... Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” Imam al-‘Iṣfaḥānī dan ulama lainnya mengatakan huruf ‘kāf’ pada ayat di atas mempunyai peranan penting dan tujuan tertentu, bukan semata-mata tambahan yang terpisah dan tidak bermakna (secara huruf ‘kāf’ dan lafal ‘miṡl’ mempunyai arti yang sama). Penyatuan huruf ‘kāf’ dengan lafal ‘miṡl’ menegaskan makna “tidak adanya keserupaan”. Dengan demikian, huruf ‘kāf’, meski cuma satu huruf, memiliki fungsi tertentu dan merupakan kesatuan dengan keseluruhan struktur ayat.6 Contoh lainnya adalah penggunaan huruf ‘fā’’ dalam firmannya QS. alBaqarah [2]: 37 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 213. Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an. Penerjemah Nasirudiin Abbas (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010) h. 75. 6 Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 76-77. 4 5 21 “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Sebagaimana yang dikutip Amir Faishal Fath dari Abū Sa’ūd dalam bukunya yang berjudul Irsyād al-Aql al-Sālim ilā Mazāyā al-Qur’ān al-Karīm7, huruf ‘fā’’ pada kalimat ‘talaqqā’ menunjukkan bahwa tobat Nabi Ādam as. langsung diterima setelah ia diperintahkan untuk bertobat, sebelum perintah itu sendiri dilaksanakan. Sedangkan huruf ‘fā’’ pada kalimat ‘tāba’ menunjukkan rangkaian penerimaan Nabi Ādam as. terhadap perintah Allah swt. sekaligus menguatkan makna tobat yang berarti mengakui dosa disertai tekad untuk tidak mengulanginya. 8 Contoh lainnya yaitu penggunaan huruf ‘wāu’ pada QS. al-Zumar [39]: 73 “Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjagapenjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya” Kemudian bandingkan dengan ayat 71 pada surah yang sama: Abū Su’ūd, Irsyād al-Aql al-Sālim ilā Mazāyā al-Qur’ān al-Karīm (Beirut: Dār Ihyā’ alTurāṡ al-‘Arabī, 1990), cet. II, h. 92. 8 Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 77. 7 22 “Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir.” Jika diperhatikan, masing-masing ayat tersebut digambarkan dengan redaksi yang serupa kecuali penyebutan nama kelompok, tempat yang mereka huni, dan ucapan para malaikat penjaga surga dan neraka. Namun, ada perbedaan kecil pada dua redaksi ayat di atas yang sepintas bisa jadi tidak diperhatikan sama sekali bahkan dianggap tidak perlu, yaitu penambahan huruf ‘wāu’ pada kata ‘futiḥat’ untuk calon penghuni surga (lihat ayat 73) sedangkan huruf tersebut tidak terdapat pada uraian tentang penghuni neraka (lihat ayat 71). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, setiap kata bahkan setiap huruf yang Allah sebutkan dalam Quran merupakan satu kesatuan dan pasti memiliki tujuan tertentu. Begitu pula dengan kedua ayat ini (QS. al-Zumar [39]: 71 dan 73). Untuk lebih mudah memahami maksud penambahan huruf ‘wāu’ pada ayat 73, yang tidak terdapat pada ayat 71, penulis akan memaparkan analogi kedua ayat tersebut dengan ilustrasi di bawah ini: Jika Anda mengantarkan seorang penjahat ke penjara, Anda akan menemukan pintu penjara tersebut tertutup rapat. Pintu tersebut baru akan dibuka ketika apabila terpidana akan dimasukkan ke dalam penjara. Berbeda dengan seseorang yang Anda hormati dan dinantikan kedatangannya, jauh sebelum orang tersebut tiba, pintu gerbang telah terbuka lebar untuk menyambutnya. Berbeda dengan keadaan penjahat tadi. 23 Ilustrasi di atas menggambarkan maksud dari ayat ke-71 dan 73 pada QS. alZumar [39]. Untuk menggambarkan keadaan terbukanya pintu ini, ayat 73 tersebut menambahkan huruf ‘wāu’. Dengan demikian, penambahan huruf ini mempunyai maksud tertentu dan mempunyai peranan penting dalam ayat 73.9 Tidak hanya penggunaan huruf saja yang diletakkan pada posisi yang tepat dan memiliki peranan penting dalam ayat, melainkan Quran juga sangat teliti dalam pemilihan kosakatanya dan penempatannya.10 Quran senantiasa menggunakan serangkaian kosakata yang sudah akrab dan dalam komposisi yang fasih dan ekspresif. Bahkan dalam sejumlah kasus, Quran cenderung memilih komposisi kalimat yang lain dari pada menggunakan beberapa kosakata yang dalam bahasa aslinya (bahasa Arab) tergolong fasih namun menurutnya dianggap mempunyai bobot yang berat (kurang fasih).11 Sebagai contoh, untuk menunjukkan makna ‘batu bata’ yang dalam bahasa Arabnya adalah ‘qirmīd’, Allah lebih memilih menggunakan istilah tanah liat (ṭīn) yang dibakar ketimbang dengan ‘qirmīd’ yang berarti batu bata.12 Sebagaimana firman Allah pada QS. al-Qaṣāṣ [28]: 38 di bawah: Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013), h.136-138. 10 Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, h. 149. 11 Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 56. 12 Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 56. 9 24 “Dan berkata Fir´aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta" Ayat di atas menjelaskan tentang kisah kekafiran Fir‘aun la’nat Allāh dan kebohongannya, yaitu pengakuan dirinya sebagai tuhan satu-satunya. Ia memerintahkan Hāmān, penata rakyat dan penasihat kerajaannya, untuk membakar tanah liat, yaitu proses pembuatan batu bata yang bertujuan untuk membangun alṣarḥ (istana megah yang sangat tinggi) guna membuktikan kepada rakyatnya tentang kebohongan dakwah Musa as. yang mengatakan bahwa ada tuhan selain dia.13 Itulah beberapa contoh dari ketelitian Allah dalam memilih lafal-lafal Quran sehingga sesuai dengan maksud yang ingin dicapai atas diturunkannya Quran. Wa Allah aʻlam. B. Sinonim (Mutarādif) 1. Sinonim dalam Bahasa Indonesia Secara bahasa kata sinonim berasal dari dua kata, yaitu kata syn yang berarti sama dan kata onoma yang berarti nama.14 Sehingga sinonim dapat diartikan sebagai bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain.15 Secara gamblang, sinonim adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama.16 Isma‘īl Ibn ‘Umar Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Riyadh: Dār Ṭayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzīʻ, 1999), cet II, j. 6, h. 238. 14 J.W.M. Verhaar, Pengantar Linguistik (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983), h. 132. 15 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), cet. 4, h. 1072. 16 Yustinah dan Ahmad Iskak, Bahasa Indonesia Tataran Madia untuk SMK dan MAK XI (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 57. 13 25 Sebenarnya, dalam ilmu bahasa murni kata yang benar-benar sama maknanya tidak diakui keberadaannya. Setiap kata memiliki makna yang berlainan meski saling tumpang tindih dengan kata yang lain. Tumpang tindih ini yang membuat konsep sinonim muncul dan diterima di masyarakat luas.17 Adapun hal-hal yang menyebabkan terjadinya sinonim dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: Proses serapan dari bahasa asing, yaitu penerimaan kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Contoh: prestasi dan produksi yang sama-sama bermakna hasil, kitab dengan buku, sekolah dengan madrasah, dan lain sebagainya. Penyerapan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Jarak dan wilayah mempengaruhi pembentukan kosakata walaupun referennya sama. Seperti tali dan tambang, parang dan golok, dan sebagainya. Karena makna emotif (nilai rasa) dan evaluatif. Makna kognitif dari sebuah kata yang bersinonim tetap sama hanya nilai evaluatif dan nilai emotifnya berbeda. Contoh: ekonomis dengan irit atau hemat, perawan dengan gadis atau dara, dan sebagainya.18 2. Sinonim dalam Quran a. Pengertian Sinonim dan Faktor-Faktor Penyebab Kemunculannya dalam Bahasa Arab Berbicara tentang unsur-unsur kebahasaan Quran sama saja dengan membahas Yustinah dan Ahmad Iskak, Bahasa Indonesia Tataran Madia untuk SMK dan MAK XI, h. 17 57. 57-58. Yustinah dan Ahmad Iskak, Bahasa Indonesia Tataran Madia untuk SMK dan MAK XI, h. 18 26 kaidah-kaidah berbahasa Arab. Sehingga dalam kaitannya membahas sinonim dalam Quran akan dipaparkan penjelasan mengenai sinonim dalam Bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, sinonim diistilahkan dengan tarāduf atau mutarādif. Definisi tarāduf atau mutarādif dalam ruang lingkup bahasa Arab telah banyak dikemukakan oleh para ahli linguis baik klasik maupun kontemporer. al-Fakhr al-Rāzī berpendapat bahwa sinonim adalah lafal-lafal yang menunjukkan suatu gambaran yang sama.19 Sedangkan menurut Jalāl al-Dīn alSuyūṭī, sinonim adalah kata yang berbeda bentuknya namun sama maknanya.20 Dengan redaksi yang berbeda, Ḥākim Mālik al-Ziyādī pun memberikan pengertian sinonim, menurutnya sinonim merupakan kesatuan makna dan acuan yang berasal dari beberapa kata tunggal yang berbeda-beda.21 Sementara itu menurut Ramḍān ‘Abd al-Tawwāb, sinonim adalah kata-kata yang memiliki kesatuan makna serta saling berterima ketika digunakan dalam situasi apa pun.22 Dari beberapa definisi para ahli di atas, meski dengan ungkapan dan redaksi yang berbeda-beda namun maksud yang dituju adalah sama. Dapat diambil garis besar bahwa pengertian sinonim (tarāduf) baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab tidak memiliki perbedaan yang signifikan sehingga tarāduf dapat diartikan pula sebagai dua kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama.23 Dikatakan “kurang lebih” karena dua atau lebih kata yang bersinonim tidak persis Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah (Beirut: ‘Alām al-Kutub, 1998), cet. V, h. 215. Emīl Badī’ Ya’qūb, Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa Khaṣāisuha (Beirut: Dār al-ʻIlm li alMalāyīn, 1982), h. 173. 21 Ḥākim Malik al-Ziyādī, al-Tarāduf fi al-Lugah (Bagdād: Dār al-Ḥurriyyah li al-Ṭabāʻah, 1980), h. 32. 22 Ramḍān ‘Abd al-Tawwāb, Fuṣūl fī Fiqh al-Lugah (Mesir: Maktabah al-Khānajī, 1999), cet. VI, h. 309. 19 20 Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 73. 23 27 sama. Yang sama hanyalah informasinya saja namun maknanya tidak persis sama. Sedikit-banyak akan terdapat perbedaan antara kata-kata yang bersinonim baik sifat maupun penempatan katanya dalam kalimat. Dalam kajian sinonim pada bahasa Arab terdapat juga faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tarāduf (asbāb nusyūʻ al-tarāduf). Di antaranya24 adalah: 1. Akibat serapan dari bahasa asing;25 2. Perbedaan dialek (lahjah), baik yang disebabkan oleh perbedaan tempat (dialek regional)26, perbedaan waktu (temporal)27, maupun dialek sosial28; 3. Perbedaan ragam bahasa (al-nauʻiyyah) yang dibagi menjadi dua ragam bahasa, yaitu resmi dan tidak resmi;29 4. Laras Bahasa atau Gaya Bahasa (al-majāl).30 Lihat Ibrāhīm Anīs, Fī al-Lahjāt al-‘Arabiyyah (Mesir: Maktabah al-Anjlū, 2008), h. 157159. Lihat pula Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Muzhir fī ‘Ūlūm al-Lugah wa Anwāʻihā (Kairo: alMaktabah al-Azhariyyah, tt.), j. I, h. 241. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, h. 74-75. 25 Contoh kata al-kambyūtīr (redaksinya: )اﻟﻜﻤﺒﻴﻮﺗﲑyang berasal dari bahasa Inggris dianggap 24 sinonim dengan kata al-ḥāsūb, kata tayātru (redaksinya: )ﺗﻴﺎﺗﺮوyang berasal dari bahasa Italia dianggap sinonim dengan kata masraḥ yang berarti drama. Namun, dalam beberapa konteks katakata tersebut tidak bisa saling bertukar tempat antara satu dengan lainnya meskipun kata-kata tersebut dianggap sinonim. Misal kata ( ﻣﺴﺮح اﳉﺮﳝﺔdrama kejahatan) tidak bisa ditukar dengan ﺗﻴﺎﺗﺮو اﳉﺮﱘ. Sebab yang dimaksud ‘drama kejahatan’ di sini adalah kronologi terjadinya kejahatan, bukan teater atau penampilan kejahatan. 26 Contoh sinonimi yang disebabkan perbedaan dialek regional, yaitu lafal qasama (dialek Qaḥṭān) dan lafal khalafa (dialek Quraisy), kedua kata ini sama-sama berarti bersumpah. 27 Contoh sinonimi yang disebabkan perbedaan dialek temporal, yaitu untuk menjuluki seorang pemimpin, pada zaman para-Islam menggunakan panggilan Imām sedangkan pada masa permulaan Islam, seorang pemimpin dipanggil dengan sebutan Khalīfah. 28 Yaitu perbedaan dialek yang disebabkan status sosial masyarakat. Contoh, kata mujaddid (pembaharu) dianggap bersinonim dengan kata taqaddumī dan ṡaurī. Kata mujaddid memiliki makna positif, berkelas tinggi, dan dapat diterima di beberapa negara Arab. Namun kata mujaddid tidak bisa ditukar dengan kata taqaddumī atau ṡaurī walaupun ketiganya bersinonim. Sebab kata taqaddumī dan ṡaurī memiliki makna yang mencerminkan seseorang yang reaksioner, pemberontak, dan sebagainya. 29 Ragam bahasa resmi biasanya digunakan dalam forum-forum resmi sedangkan bahasa Arab ragam tidak resmi biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Contoh, lafal nuqūd (ragam resmi) dan fulūs (ragam tidak resmi) yang sama-sama berarti uang, lafal ‘aqīlah (resmi) dan lafal imra’ah (tidak resmi) yang sama-sama berarti istri, dan sebagainya. 30 Contoh sinonimi yang disebabkan oleh perbedaan laras bahasa di antaranya lafal ḥukm (laras hukum negara) dengan lafal syarīʻah (laras agama). 28 5. Banyaknya penyebutan untuk satu benda karena faktor agama, seperti kata kursiy, ‘arsy, dan maqʻad; 6. Adanya perkembangan bahasa; 7. Pengucapan dua kata yang mirip pada kata yang huruf dan jumlahnya sama hanya susunannya saja yang berbeda atau adanya dua kata atau lebih yang jumlah hurufnya sama hanya saja salah satu hurufnya berbeda; 8. Banyaknya kata yang digunakan sebagai kata sifat.31 Itulah beberapa faktor terjadinya sinonim dalam bahasa Arab. Namun, tidak serta-merta setiap kata yang maknanya sama bisa dikatakan sinonim, Ibrāhīm Ānis mengemukakan beberapa syarat kata tersebut bisa dikategorikan sinonim, antara lain: 1. Kata-kata yang dianggap sinonim harus muncul dalam satu masa; 2. Kata-kata yang dianggap sinonim harus ada persesuaian arti; 3. Kata-kata yang dianggap sinonim harus berada dalam lingkungan bahasa tertentu dan geografis tertentu. Dari adanya persyaratan mengenai sinonim di atas, tampaknya para ahli bahasa tidak begitu saja dalam menentukan apakah kata-kata bisa disebut sinonim atau tidak. Mereka mencoba memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat dengan tujuan mengetahui sejauh mana persamaan dan perbedaan makna beberapa kata yang dianggap sinonim tersebut agar dapat digunakan secara tepat dalam penggunaannya di sebuah kalimat. Zahrudin, “Relasi Makna dalam Quran: Analisis terhadap Kata-Kata yang Memiliki Relasi Makna dalam Quran Yong Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia”, (Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), h. 105. 31 29 Terlepas dari itu, berikut ini adalah beberapa contoh lafal-lafal dalam ayat Quran yang dianggap sinonim:32 1. Lafal al-khauf dan al-khasyyah Kedua kata ini dapat diartikan dalam makna yang sama, yaitu takut. Kendati demikian, dalam Quran penggunaan keduanya ternyata berbeda. Di antara perbedaan antara keduanya adalah bahwa khasyyah menunjukkan rasa takut yang sangat karena sesuatu yang ditakuti dianggap agung walaupun orang yang takut itu bermental kuat. Berdasarkan alasan ini, Mannāʻ al-Qaṭṭān mengatakan bahwa kata khasyyah pada umumnya disandarkan kepada kata Allah, seperti: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (QS. Fāṭir [35]: 28) Kata khasyyah pada ayat ini diartikan dengan takut yang sangat, yaitu takut kepada Allah yang Mahaagung. Sedangkan pemakaian kata khauf biasanya untuk menunjukkan perasaan takut terhadap sesuatu yang dinilai akan berakibat tidak baik untuk dirinya, seperti dalam QS. Hūd [11]: 103: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat....” Kata khauf pada ayat diungkapkan untuk menunjukkan takutnya seseorang pada azab yang akan diterima di akhirat. Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h. 155-168. 32 30 2. Lafal al-syuḥḥ dan al-bukhl Kedua term ini sama-sama memiliki arti kikir namun penggunaannya berbeda. Term bukhl memiliki arti kikir dalam hal harta, seperti keengganan untuk mengeluarkan zakat, tidak mau menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah, atau tidak mau bersedekah kepada orang miskin. Sedangkan term syuḥḥ menunjukkan arti kikir dalam segala hal, baik harta maupun kebaikan. Di bawah ini contoh penggunaan term bukhl dan syuḥḥ: “Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup” QS. alLail [92]: 8. Menurut al-Ṭabarī, makna bakhila pada ayat ini adalah enggan untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah.33 “Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu Lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik- balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. mereka itu tidak beriman, Maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” QS. al-Aḥzāb [33]: 19. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik yang telah menyakiti orang Muslim dengan lisannya, malas untuk berperang, dan tidak mau Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān ‘an Ta’wīl al-Qur’ān (Kairo: Markaz alBuḥūṡ wa al-Dirāsāt al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001), j. 24, h. 466. 33 31 berinfak pada orang fakir. 3. Lafal al-sabīl dan al-ṭarīq Kedua kata ini mempunyai arti yang sama, yaitu jalan. Namun, dalam penggunaannya, term sabīl pada umumnya digunakan untuk menunjukkan arti jalan kebaikan, seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” Sedangkan kata ṭarīq bersifat relatif tergantung pada kata apa ia disandarkan. Maka dari itu, kata ṭarīq bisa berarti jalan yang baik dan bisa juga jalan yang tidak baik, seperti pada ayat-ayat di bawah ini: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka. [168] Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. [169]” QS. al-Nisā’ [4]: 168-169. “Mereka berkata: "Hai kaum Kami, Sesungguhnya Kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan 32 kepada jalan yang lurus.” QS. al-Aḥqāf [46]: 30. 4. Lafal jā’a dan atā Kedua kata ini mempunyai arti yang sama, yaitu datang. Namun, dalam ayatayatnya, Quran sering kali membedakan pemakaiannya. Kata jā’a digunakan dalam hal yang berkenaan dengan materi, seperti pada QS. Yūsuf [12]: 72: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".” Subjek dari kata jā’a adalah ism mauṣul ‘man’ yang berupa materi, yaitu manusia. Sedangkan untuk menunjukkan datangnya waktu atau sesuatu yang bersifat abstrak, maka digunakan kata atā, seperti pada ayat di bawah ini: “Telah pasti datangnya ketetapan Allah. Maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” QS. al-Naḥl [16]: 1. 5. Lafal al-tamām dan al-kamāl Kedua kata ini memiliki arti yang sama, yaitu kesempurnaan. Namun, penggunaannya dalam Quran dibedakan. Kata tamām digunakan untuk menyempurnakan kekurangan yang ada pada substansi dari sesuatu. Sedangkan kata kamāl untuk penggunaan yang sebaliknya, yaitu untuk menyempurnakan kekurangan yang bukan pada substansi, setelah hal-hal yang bersifat substansi telah sempurna. Contohnya pada QS. al-Mā’idah [5]: 3: 33 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” Jika diperhatikan, kata akmaltu disandarkan pada agama sedangkan kata atmamtu disandarkan pada nikmat. Sesuai dengan kaidah di atas bahwa substansi dari agama sebenarnya telah sempurna sehingga yang disempurnakan oleh Tuhan dalam hal ini adalah kekurangan-kekurangan yang tidak berkaitan dengan substansi sebab ajaran agama Tuhan mesti sudah sempurna. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa kekurangan tersebut hanya berkaitan dengan substansi agama yang masih belum diwahyukan dan bukan pada kurang sempurnanya ajaran itu sendiri. Sedangkan kata atmamtu yang disandarkan kepada nikmat mengindikasikan bahwa yang disempurnakan oleh Tuhan adalah substansi dari nikmat itu sendiri. Nikmat yang dimaksud dalam ayat ini, menurut al-Syaukānī, adalah kesempurnaan agama Islam, yaitu dengan dikuasainya kota Makkah oleh orang Islam dan runtuhnya imperium kafir. b. Pro-Kontra Sinonim dalam Quran Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam menyikapi sinonim dalam bahasa Arab. Hal ini disebabkan tidak adanya kesepakatan antara mereka mengenai pengertian atau definisi dari makna sinonim yang sebenarnya. Pada bagian ini, penulis akan memaparkan pandangan pakar bahasa mengenai sinonim dalam bahasa Arab. Penulis mengelompokkan para ahli menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menolak adanya sinonim dan kelompok yang menerima adanya sinonim. 34 1. Penerima adanya Tarāduf Orang pertama yang mendukung adanya tarāduf pada bahasa Arab adalah Abū Zaid al-Anṣārī (w. 215 H) pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga.34 Bahkan alAnṣārī mengoleksi kata-kata yang bersinonim. Selain al-Anṣārī, tokoh lain yang mendukung adanya sinonim dalam bahasa Arab, yaitu Ibn al-‘Arabī (w. 232 H)35 dan al-Asmāʻī (w. 216 H). Pada abad keempat, muncul ulama lain yang mendukung adanya sinonim dalam bahasa Arab, ialah Ibn Khalawaih (w. 370 H) sedangkan pada abad kedelapan terdapat al-Fairuzzabadi (w. 911 H) dengan kamusnya yang terkenal, yaitu Al-Muhīṭ. Kelompok ini berargumen bahwa ketika seseorang mau menjelaskan kata lubb maka harus menemukan kata yang searti dengan kata tersebut. Makna yang searti dengan kata lubb misalnya adalah kata al-ʻaql. Sebagaimana yang dikemukakan Ibn Fāris dalam kitabnya al-Ṣāhibī bahwa setiap kata memiliki arti yang lain yang dapat menjelaskan kata yang semakna. Contoh lainnya adalah kata raib pada QS. alBaqarah [2]: 3. Kebanyakan ulama tafsir menjelaskan kata lā raib dengan kata lā syakk karena keduanya memiliki arti yang sama. Jika asumsi tarāduf tidak ada, maka niscaya kata lā syakk tidak bisa menggantikan tempat lā raib pada ayat tersebut. Dan jika kata lā syakk tidak sepadan dengan kata lā raib maka penafsiran lā raib oleh kata lā syakk tidak bisa dibenarkan.36 Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 99. Sebagian ahli ada juga yang memasukkan Ibn al-‘Arabī pada kelompok yang menolak adanya sinonim berdasarkan pernyataannya bahwa: ”Setiap dua huruf yang diucapkan oleh bangsa Arab pasti memiliki satu makna dan setiap masing-masing huruf dari keduanya pasti memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya.” Lihat Muṣṭafā Ṣādiq al-Rāfiʻī, rikuh Ādāb al-‘Arabī (Mesir: t.pn., 1940), j. I, h. 405. Lihat pula Muhammad Ḥusain ‘Ālī Yāsīn, al-Dirāsāt al-Lugawiyyah ‘inda al-‘Arab ḥattā Nihāyat al-Qarn al-Ṡāliṡ (Beirut: Dār Maktabah al-Ḥadīṡ, 1980), h. 415. 36 Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 216. 34 35 35 Untuk memperkuat argumen mereka, mereka juga membuktikan keberadaan sinonim dengan memaparkan hadis Nabi yang mengindikasikan keberadaan sinonim. ﻟﻘﻲ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻗﺪ وﻗﻌﺖ ﻣﻦ،َوس ﻋﺎم ﺧﻴﱪ ٍ أن أﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮة ﳌﺎ ﻗﺪم ﻣﻦ د ، اﳌﺪﻳﺔ ﺗﺮﻳﺪ؟ وأﺷﺎر إﻟﻴﻬﺎ: ﰒ ﻗﺎل، ﻓﻜﺮر ﻟﻪ اﻟﻠﻔﻆ ﺛﺎﻧﻴﺔ وﺛﺎﻟﺜﺔ وﻫﻮ ﻳﻔﻌﻞ ﻛﺬﻟﻚ،اﻟﻠﻔﻆ ! ﻧﻌﻢ:ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ Ketika Abū Hurairah bersama Rasulullah, jatuhlah sebilah pisau dari tangan beliau. Kemudian Rasulullah berkata: “Hai, Abū Hurairah, ambilkan ‘al-sikkīn’!” Namun Abū Hurairah menoleh ke kanan dan ke kiri karena tidak paham maksud Rasulullah. Setelah tiga kali Rasulullah mengulang kalimat tersebut, Abū Hurairah mencoba menjawab: “Apakah yang Engkau maksud adalah “al-mudyah”?” Rasulullah menjawab: “Iya.” Riwayat menunjukkan bahwa “al-sikkīn” dan “almudyah” adalah sinonim.37 Bahkan, salah satu pakar yang percaya adanya sinonim pada bahasa Arab, Ibn Khalawaih, dengan bangga mengemukakan bahwa ia menghafal lima puluh nama pedang. Hanya saja pendapat tentang lima puluh sinonim dari kata al-saif disanggah oleh penolak adanya sinonim dengan alasan Ibn Khalawaih tidak membedakan mana kata yang menunjukkan benda dan mana yang menunjukkan sifat. Di samping ada yang terlalu berlebihan dalam mendukung keberadaan sinonim, ada pula yang lebih moderat. Al-Fakhr al-Rāzī (w. 666 H) mengakui adanya sinonim namun bukan sinonim mutlak (al-tarādf al-kāmil/al-tām) yang Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 216-217. 37 36 menyaratkan makna-makna yang bersinonim harus sama dalam semua konteks dan fungsi kata yang satu bukan sebagai sifat atau penjelas bagi selainnya.38 2. Penolak adanya Tarāduf Abū al-ʻAbbās Ṡaʻlab (w. 291 H) ialah ahli bahasa pertama yang menolak adanya tarāduf dalam bahasa Arab. Ia berpendapat bahwa dua kata yang berbeda bila dikatakan memiliki makna yang sama adalah hal yang tidak berdasar sebab yang dimaksud mutarādif adalah mutabayyin. Seperti kata al-ṣarīm yang dianggap mutarādif dengan kata al-saif (pedang) oleh yang percaya adanya tarāduf. Menurut kelompok ini, al-ṣarīm bukan sebagai sinonim dari kata al-saif namun sebagai mutabayyin (penjelas) atau sebagai sifat saja. Pendapat tersebut senada dengan beberapa ahli bahasa yang menolak adanya tarāduf dalam bahasa Arab seperti Abū ʻAlī al-Fārisī (w. 377 H), Ibn Fāris (w. 390 H), Abū Ḥilāl al-‘Asykarī (w. 395), Ibn al-Sarraj (w. 401 H)39, dan lain sebagainya. Mereka berpendapat bahwa perbedaan pada redaksi kata menunjukkan perbedaan pula pada maksud dan makna. Mereka berkeyakinan bahwa mustahil terdapat dua kata atau lebih yang memiliki makna yang sama. Jika pun ada maka itu disebabkan faktor ketidaktahuan seseorang tentang perbedaan antara kata-kata tersebut. Untuk memperkuat argumen mereka, mereka memberikan beberapa contoh mengenai kata-kata yang dianggap sinonim. Di antaranya kata al-ṡanā’, al-madḥ, dan al-iṭrā’. Ketiga kata ini mempunyai arti yang sama yaitu pujian. Namun bila dikaji lebih mendalam ternyata masing-masing memiliki makna yang spesifik. Kata Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 215-216. Ibn al-Sarraj menceritakan bahwa Aḥmad Ibn Yaḥyā pernah berkata: “Tidak boleh ada dua kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama.” Lihat Ramḍān ‘Abd al-Tawwāb, Fuṣūl fī Fiqh al-Lugah, h. 312. 38 39 37 al-ṡanā’ bermakna pujian yang diulang-ulang dan kata al-madḥ bermakna pujian pada perbuatan sedangkan al-iṭrā’ bermakna pujian pada paras seseorang. Contoh lainnya adalah kata jalasa dan qaʻada yang sama-sama diartikan duduk. Namun jika ditelusuri kedua kata tersebut memiliki perbedaan. Kata jalasa berarti duduk namun menjelaskan keadaan seseorang yang sedang melakukan sesuatu kemudian duduk tanpa mengambil tempat duduk. Sedangkan kata qaʻada berarti duduk dalam arti diam dan menetap pada tempat duduk. Oleh karena itu ungkapan qawāʻid al-bait (fondasi-fondasi rumah) tidak menggunakan kata jalasa melainkan qawāʻid.40 Selain itu, kata qaʻada digunakan untuk menjelaskan proses duduk dari keadaan yang lebih tinggi (berdiri)41 karena orang yang tadinya berdiri kemudian duduk pasti akan mengambil tempat duduk (maqʻad). Berbeda halnya dengan kata jalasa yang digunakan untuk menjelaskan keadaan duduk dari keadaan awal yang lebih rendah.42 Itulah beberapa argumen pakar bahasa Arab kontemporer, baik yang mengakui adanya sinonim maupun tidak. Berbeda halnya dengan pakar bahasa Arab kontemporer, meski mayoritas mengakui adanya sinonim, namun perbedaan mereka lebih kepada perbedaan dalam membuat standar atau kategori sinonim.43 Issa J. Boullata, seorang profesor Yerussalem yang mengagumi keindahan bahasa Quran dan seorang ahli sastra Arab, melakukan penelitian induktif terhadap Ibrāhīm Anīs, Fī al-Lahjāt al-‘Arabiyyah (Mesir: Maktabah al-Anjlū, 2008), h. 152. Departemen Agama RI, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h. 165. 41 Sebagai contoh adalah kalimat berikut: ﻗﺎم زﻳﺪ ﻓﻘﻌﺪ 40 42 Muhammad Yusuf, “Relasi Tanda Bahasa dan Makna dalam Bahasa Arab: Kajian atas Pemikiran Ibn ria dalam al-Ṣāhibī”,h. 146. 43 Muhammad Yusuf, “Relasi Tanda Bahasa dan Makna dalam Bahasa Arab: Kajian atas Pemikiran Ibn ria dalam al-Ṣāhibī”, h. 141 38 lafal-lafal Quran dalam konteksnya menunjukkan bahwa sebuah kata digunakan untuk menunjuk makna tertentu dan tidak mungkin digantikan oleh lafal lain yang biasa dianggap semakna.44 Dari pemaparan tentang sinonim di atas, penulis berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada kontroversi antara ada atau tidak adanya sinonim dalam bahasa Arab. Hanya saja hal itu tergantung dari pemaknaan pengertian sinonim itu sendiri. Jika sinonim diartikan sebagai dua kata atau lebih yang mempunyai arti yang sama45, maka tidak ada sinonim dalam bahasa Arab. Namun, jika sinonim diartikan sebagai dua kata atau lebih yang mempunyai arti yang mirip46, maka sinonim dalam arti ini memang ada. C. Homonim (Musytarak) dalam Quran Dalam kajian bahasa Indonesia, homonim adalah kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan. Seperti kata hak pada ungkapan hak asasi berbeda arti dengan hak sepatu. Sedangkan dalam kajian bahasa Arab, homonim diistilahkan dengan lafal almusytarak al-lafẓ.47 Al-Suyūṭī memberikan pengertian bahwa al-musytarak al-lafẓ adalah setiap kata yang memiliki makna lebih dari satu.48 Dalam bahasa Arab ditemukan banyak homonim, seperti kata ḍaraba memiliki setidaknya sembilan arti, yaitu berdenyut, mengepung, memikat, Issa J. Boullata, al-Qur’an yang Menakjubkan. Penerjemah Bachrum B., dkk. (Tangerang: Lentera Hati, 2008), h. 317. 45 ‘Sama’ di sini berarti bisa menggantikan posisi satu sama lain. 46 Maksud dari ‘mirip’ di sini adalah tidak persis sama, ada perbedaan di antara kata-kata yang dianggap sinonim tersebut. 47 Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 147. 48 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Mużīr fī ‘Ūlūm al-Lugah wa Anwāʻihā, h. 369. 44 39 memukul, menembak, menyengat, cenderung, menentukan, dan mengetuk. Lafal al-żikr memiliki arti peringatan, pengajaran, ilmu, bahkan ada yang berarti Quran. Banyaknya homonim pada bahasa Arab disebabkan beberapa faktor, di antaranya: 1. Adanya perbedaan dialek bahasa; 2. Adanya perkembangan bunyi yang pada akhirnya mengubah bunyi kata yang asli; 3. Adanya pergeseran makna kata dari makna asli menjadi makna majazī.49 Dalam kajian ilmu balagah, homonim disebut dengan istilah jinas, yaitu kemiripan dua kata yang berbeda maknanya.50 Dengan kata lain, suatu kata yang digunakan pada tempat yang berbeda dan memiliki makna yang berbeda pula. Sebagai contoh QS. Al-Rūm [30]: 55: “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).” Pada ayat di atas terdapat kata ‘al-sāʻah’. Kata itu disebut dua kali pada tempat yang berbeda, yang pertama bermakna hari kiamat dan yang kedua bermakna waktu sesaat. Penyebutan suatu kata yang mempunyai dua makna berbeda karena disebut pada tempat yang berbeda dinamakan jinas dalam ilmu balagah dan homonim dalam ilmu linguistik. ‘Alī ʻAbd al-Wāḥid, Fiqh al-Lugah (Mesir: Dār al-Naḥḍah, tt.), h. 191-192. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, h. 68. 49 50 40 Meskipun terdapat pertentangan pendapat mengenai ada atau tidaknya homonim dalam bahasa Arab, penulis cenderung menyetujui adanya homonim pada bahasa Arab sebab pada kenyataannya setiap bahasa di dunia memiliki homonim51 dan redaksi suatu kalimat dapat mempengaruhi makna dari suatu kata yang sama. Contoh lainnya adalah lafal al-żikr yang mempunyai makna yang berbedabeda tergantung pada konteks dan redaksi kalimatnya. Lafal al-żikr mempunyai beberapa arti, di antaranya bermakna peringatan, pengajaran, Quran, wahyu, Lauḥ Maḥfūz, ilmu, dan lain sebagainya. Penjelasan lebih lanjut mengenai ke-homoniman al-żikr akan dibahas secara rinci pada bab selanjutnya. Zahrudin, Relasi Makna dalam al-Qur’an: Analisis terhadap Kata-Kata yang Memiliki Relasi Makna dalam Quran Yong Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dikutip dari Emīl Badī Yaʻqūb, Fiqh al-ʻArabiyyah wa Khaṣāiṣuha, h. 179. 51 BAB III KARAKTERISTIK DAN KONSISTENSI LAFAL ŻIKR DALAM QURAN A. Klasifikasi Lafal Żikr dalam Quran Di dalam Quran terdapat 267 kata yang merupakan bentuk derivasi dari żikr. Itu tidak termasuk 18 lafal żakara yang berarti laki-laki dan 7 lafal muddakkir (dengan memakai huruf dāl).1 Namun jika dikalkulasikan jumlah lafal żikr tanpa mengikutkan derivasinya hanya disebut sebanyak 99 kali, baik lafal żikr yang disandarkan dengan lafal lain (di-muḍāf-kan) maupun yang berdiri sendiri (tidak dimuḍāf-kan).2 Lafal żikr jika di-muḍāf-kan kepada ḍamīr terdapat 13 lafal3 sedangkan yang di-muḍāf-kan terhadap lafal Jalālah dan sifat-sifat-Nya disebut sebanyak 18 kali4 sehingga total lafal żikr yang di-muḍāf-kan sebanyak 31 kali.5 Selain menjadi muḍāf, dalam beberapa tempat lafal żikr juga berkedudukan sebagai muḍāf ilaih. Lafal żikr juga berkedudukan sebagai muḍāf ilaih disebut sebanyak M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), j. 1, h. 192. 2 Muhammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān (Beirut: Dār alHadīṡ, 2007), h. 335-337. Lihat pula Ali Audah, Konkordinasi Qur’an (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1991), h. 188-190. 3 Yaitu pada QS. al-Syarḥ [94]: 4, QS. al-Baqarah [2]: 200, QS. al-Anbiyā’ [21]: 10, QS. alKahf [18]: 28, QS. al-Najm [53]: 29, QS. al-Mu’minūn [23]: 71, QS. al-Mu’minūn [23]: 71, QS. alKahf [18]: 101, QS. Ṭāhā [20]: 14, QS. Ṭāhā [20]: 42, QS. Ṭāhā [20]: 124, QS. al-Mu’minūn [23]: 110, dan QS. Ṣād [38]: 8. Lihat Muhammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ alQur'ān, h. 336-337. Lihat juga Ali Audah, Konkordinasi Qur’an, h. 189-190. 4 Dengan rincian yang di-muḍāf-kan kepada lafal Jalālah sebanyak sebelas kali (QS. alMāidah [5]: 91, QS. al-Raʻd [13]: 28 sebanyak dua kali, QS. al-Nūr [24]: 37, QS. al-ʻAnkabūt [29]: 45, QS. al-Zumar [39]: 22 dan 23, QS. al-Ḥadīd [57]: 16, QS. al-Mujādalah [58]: 19, QS. al-Jumuʻah [62]: 9, dan QS. al-Munāfiqūn [63]: 9), yang di-muḍāf-kan kepada lafal ‘rabb’ sebanyak empat kali (QS. Yūsuf [12]: 42, QS. al-Anbiyā’ [21]: 42, QS. Ṣād [38]: 32, dan QS. al-Jinn [72]: 17), yang dimuḍāf-kan kepada lafal ‘al-raḥmān’ sebanyak dua kali (QS. al-Anbiyā’ [21]: 36 dan QS. al-Zukhruf [43]: 36), dan yang di-muḍāf-kan kepada lafal ‘raḥmati rabbik’ sebanyak satu kali, yaitu pada QS. Maryām [19]: 2. 5 Muhammad Fu`ād Abd Al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān, h. 335-337. 1 41 42 empat kali, yaitu pada QS. al-Naḥl [16]: 42, QS. al-Anbiyā’ [21]: 7 dan 105, serta QS. Ṣād [38]: 1.6 Ada pula lafal żikr yang disambung dengan alif layyinah di belakangnya.7 Lafal żikr semacam ini disebut sebanyak 23 kali dengan rincian lafal ‘żikrā’ yang berdiri sendiri (tidak di-muḍāf-kan) sebanyak 21 kali, yang di-muḍāfkan pada ḍamīr mufrad mu’annaṣ gāibah sebanyak satu kali, dan yang di-muḍāfkan pada ḍamīr jamʻ mużakkar gāib sebanyak satu kali.8 Dengan demikian, lafal żikr yang berdiri sendiri (tidak disandarkan pada kalimat lain dan harf al-layyinah) disebut sebanyak 41 kali dalam Quran. Dalam mengklasifikasikan lafal żikr dalam Quran pada penelitian ini, penulis membagi menjadi dua kelompok, yaitu lafal żikr yang dimaknai Quran dan lafal żikr yang tidak dimaknai Quran. Hal ini didasarkan pada fokus penelitian penulis yang bertujuan untuk menganalisis karakteristik lafal-lafal żikr yang bermakna Quran serta menganalisa penggunaan lafal żikr pada QS. al-Ḥijr ayat 9 yang selama ini dimaknai Quran dengan tanpa memedulikan perbedaan di antara keduanya. Di bawah ini pengklasifikasian lafal żikr yang dimaknai Quran dan bukan: 1. Lafal Żikr yang Dimaknai Quran Untuk menunjukkan Quran, Allah swt. tidak hanya memakai lafal al-qur’ān saja melainkan ada lafal-lafal lain yang dapat menunjukkan makna Quran. Salah satunya adalah lafal żikr. Lafal żikr yang digunakan untuk makna Quran disebut sebanyak sembilan kali dalam delapan ayat di tujuh surat.9 Lafal-lafal tersebut Lihat Muhammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān, h. 335- 6 336. Redaksi Arabnya adalah ذﻛﺮى Muhammad Fu`ād Abd al-Bāqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān, h. 337. 9 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 35. 7 8 43 berada pada QS. al-Ḥijr [15]: 6 dan 9, QS. al-Naḥl [16]: 44, QS. Ṭāḥā [20]: 99, QS. al-Furqān [25]: 29, QS. Ṣād [38]: 8 sebanyak dua kali, QS. Fuṣṣilat [41]: 41, dan QS. al-Ṭalāq [65]: 10.10 Di bawah ini merupakan ayat-ayat yang mengandung lafal żikr yang bermakna Quran: 1. QS. al-Ḥijr [5]: 6 “Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” 2. QS. al-Ḥijr [5]: 9 “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” 3. QS. al-Naḥl [16]: 44 “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” 4. QS. Ṭāhā [20]: 99 Rincian ini didapatkan setelah mewawancarai Prof. Dr. M. Amin Suma, MA (mantan dekan Fakultas Syariah dan Hukum) pada hari Senin pukul 10.43 WIB dan hari Rabu pukul 12.49 WIB. 10 44 “Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-Qur’an).” 5. QS. al-Furqān [25]: 29 “Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.” 6. QS. Ṣād [38]: 8 “Mengapa al-Qur’an itu diturunkan kepadanya di antara kita?" Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap al-Qur’an-Ku, dan sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku.” 7. QS. Ṣād [38]: 8 “Mengapa al-Qur’an itu diturunkan kepadanya di antara kita?" Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap al-Qur’an-Ku, dan sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku.” 8. QS. Fuṣṣilat [41]: 41 “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia” 9. QS. Al-Ṭalāq [65]: 10 45 “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur’an kepadamu.” 2. Lafal Żikr yang Tidak Dimaknai Quran Selain dimaknai Quran, lafal żikr juga memiliki arti yang lain, yaitu peringatan, pengajaran, ilmu, ingat atau mengingat, wahyu, keagungan atau kedudukan tinggi, bahkan ada yang bermakna Lauḥ Maḥfūẓ.11 a. Lafal żikr yang bermakna peringatan di antaranya terdapat pada QS. Yāsīn [36]: 11, “Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia” Selain ayat di atas, lafal żikr yang bermakna peringatan terdapat pula pada QS. al-Aʻrāf [ 7]: 69, QS. al-Anbiyā’ [21]: 24 dan 50, QS. al-Syuʻarā’[26]: 5, QS. Ṣād [38]: 87.12 b. Lafal żikr yang bermakna mengingat atau ingat di antaranya terdapat pada QS. al-Mā’idah [5]: 91, 11 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia Quran: Kajian Kosakata, j. I, h. 193. Lihat pula Abdurrahman Nuryaman, Kumpulan Dzikir & Doa Sepanjang Masa Berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah (Jakarta: Darul Haq, 2013), h. 5-7. 12 Abdurrahman Nuryaman, Kumpulan Dzikir & Doa Sepanjang Masa Berdasarkan alQur’an dan al-Sunnah, h. 6. 46 “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” Pengertian serupa juga terdapat pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 42, QS. al-Nūr [24]: 37, QS. Ṣād [38]: 32, QS. al-Zumar [39]: 23, dan QS. al-Mujādilah [58]: 19.13 c. Lafal żikr yang bermakna pengajaran di antaranya terdapat pada QS. Yūsuf [12]: 104, “Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.” d. Lafal żikr yang bermakna ilmu di antaranya terdapat pada QS. al-Naḥl [16]: 43, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Pengertian serupa terdapat pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 2, 7, 10, 50, dan 105, QS. Ṣād [38]: 1, dan lain-lain.14 e. Lafal żikr yang bermakna wahyu terdapat pada QS. al-Qamar [54]: 25, Abdurrahman Nuryaman, Kumpulan Dzikir & Doa Sepanjang Masa Berdasarkan alQur’an dan al-Sunnah, h. 7. 14 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. I, h. 192. 13 47 “Apakah wahyu15 itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang yang amat pendusta lagi sombong.” f. Lafal żikr yang bermakna keagungan atau kedudukan tinggi terdapat pada QS. Ṣād [38]: 1, “Shaad, demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan.” g. Lafal żikr yang bermakna Lauḥ Maḥfūẓ di antaranya terdapat pada QS. alAnbiyā’ [21]: 105, “Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauḥ Maḥfuẓ, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” B. Karakteristik Lafal Żikr dalam Quran Setelah memilah antara lafal żikr yang bermakna Quran dan lafal żikr yang tidak bermakna Quran, selanjutnya penulis akan membuat karakteristik atau ciriciri umum lafal żikr yang bermakna Quran guna mempermudah dalam membedakan mana yang bermakna Quran dan mana yang tidak bermakna Quran. Pemberian karakteristik ini juga bertujuan untuk membuktikan konsistensi lafallafal Quran, khususnya lafal żikr. Dalam memberikan karakteristik secara umum mengenai lafal żikr ini, penulis membaginya menjadi dua bagian, yaitu berdasarkan kedudukan lafal żikr 15 Yang dimaksud wahyu di sini bukan bermakna Quran (wahyu yang diturunkan Allah khusus pada Nabi Muhammad) melainkan ditujukan pada wahyu yang diturunkan pada Nabi lain selain Nabi Muhammad saw. (dalam ayat ini wahyu yang dimaksud adalah wahyu yang diberikan kepada nabinya kaum Ṡamud, yaitu Nabi Ṣāliḥ as.). Lihat Ismāʻīl Ibn ‘Umar Ibn Kaṡīr, Tafsīr alQur’ān al-ʻAẓīm (Riyadh: Dār Ṭayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzīʻ, 1999), cet II, j. 7, h. 479. 48 dan berdasarkan makna żikr sebagai Quran. Ulasan secara rinci akan dijelaskan di bawah ini. 1. Karakteristik Lafal Żikr berdasarkan Penyandarannya terhadap Kalimat Lain a. Sebagai Muḍāf 1. Muḍāf terhadap Lafal Jalālah dan Sifat-Sifat-Nya Karakteristik lafal żikr yang di-muḍāf-kan terhadap lafal Jalālah dan sifatsifat-Nya adalah sebagai berikut: Lafal żikr selalu bermakna ‘mengingat’ atau ‘peringatan’ jika disandarkan dengan lafal yang mempunyai makna ‘Allah’ (lafal ‘Allāh’, ‘al-Raḥmān, dan ‘Rabb’) kecuali pada QS. Yūsuf [12]: 42 yang dimaknai ‘menerangkan’ sebab pada ayat tersebut lafal ‘rabb’ bermakna tuan atau rajanya Nabi Yūsuf as. Jika disandarkan dengan lafal ‘raḥmat rabbik’ maka lafal żikr mempunyai arti ‘penjelasan’. 2. Muḍāf terhadap Ism Ḍamīr Lafal żikr yang di-muḍāf-kan pada ism ḍamīr selalu bermakna ‘ingat’ dan derivasinya (peringatan, mengingat, zikir, dan sebagainya) kecuali ism ḍamīr tersebut menunjukkan makna ‘Allah’ (dalam hal ini memakai ḍamīr mutakallim waḥdah) dan sebelumnya terdapat kalimat fiʻl yang menunjukkan makna penurunan wahyu (pada kasus ini lafal ‘unzila’) seperti pada QS. Ṣād [38]: 8. Maka jika dua ketentuan itu terpenuhi maka lafal żikr itu bermakna ‘Quran’. Namun jika ḍamīrnya kembali pada selain ‘Allah’ maka lafal żikr tersebut tidak dimaknai ‘Quran’ meskipun sebelumnya didahului oleh kalimat fiʻl yang menunjukkan penurunan 49 wahyu (anzala dan atā) seperti pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 10 dan QS. al-Mu’minūn [23]: 71 di bawah ini, “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 10) “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu” (QS. al-Mu’minūn [23]: 71) 3. Mendapat Tambahan Alif Layyinah Lafal żikr yang mendapat tambahan huruf alif layyinah mempunyai karakteristik di bawah ini: Secara umum selalu bermakna ‘pelajaran’ apabila ditujukan untuk orang- orang mukmin (biasanya menggunakan redaksi ‘li al-mu’minīn) dan orang-orang yang berakal (biasanya menggunakan redaksi ‘li uli al-albāb). Bermakna ‘peringatan’ apabila ditujukan untuk seluruh alam (li al-‘ālamīn), manusia secara umum (li al-basyar), dan orang-orang kafir atau zalim. b. Sebagai Muḍāf Ilaih Karakteristik lafal żikr yang berkedudukan sebagai muḍāf ilaih adalah sebagai berikut: Selalu bermakna ‘ilmu’ apabila menjadi muḍāf ilaih dari lafal ‘ahl’, seperti pada QS. al-Naḥl [16]: 43 dan QS. QS. al-Anbiyā’ [21]: 7. 50 Bermakna ‘keagungan’ atau ‘kedudukan tinggi’ apabila menjadi muḍāf ilaih dari lafal ‘żī’, seperti pada QS. Ṣād [38]: 1. Bermakna ‘lauḥ maḥfūż’ jika ditempatkan setelah lafal ‘min ba’di’, seperti pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 105. 2. Karakteristik Lafal Żikr berdasarkan Maknanya sebagai Quran Setiap penempatan kalimat dalam Quran pasti mempunyai pola yang konsisten dan karakteristik yang dapat memudahkan pembaca untuk membedakan maksud di satu kalimat pada suatu tempat dengan kalimat yang sama pada tempat yang lain. Begitu pula lafal żikr mempunyai pola dan karakteristik yang membedakan antara żikr yang bermakna Quran dan yang bukan bermakna Quran. Oleh sebab itu, di bawah ini penulis mencoba memberikan pola dan karakteristik lafal żikr yang bermakna Quran: Lafal żikr yang dimaknai Quran biasanya merupakan subjek (fāʻil) atau objek (mafʻūl) dari kata kerja (fiʻl) yang menunjukkan makna penurunan wahyu seperti lafal nazzala, anzala, atā, dan jā’a.16 Lafal żikr yang dimaknai Quran harus terjadi pada ayat-ayat yang menceritakan atau mempunyai konteks pada masa Nabi Muhammad saw. atau kaumnya. Berbeda halnya jika konteksnya menceritakan nabi atau rasul selain Nabi Lafal nazzala dan anzala merupakan dua kata yang mempunyai kata dasar yang sama, yaitu nazala yang berarti turun. Hanya saja lafal nazzala mendapatkan huruf tambahan sebanyak satu huruf pada ‘ain fiʻl-nya yang mempunyai faedah li al-takṡīr sehingga bermakna penurunan secara berulang-ulang, bertahap, atau berangsur-angsur. Sedangkan lafal anzala mendapatkan tambahan satu huruf, yaitu huruf hamzah di bagian depan kalimat yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu yang turun secara utuh dan bersamaan. Sementara itu, lafal jā’a dan atā pada dasarnya mempunyai arti yang sama, yaitu datang. Namun meski demikian, Quran sering kali membedakan pemakaiannya dalam ayat-ayatnya. Lafal jā’a digunakan dalam hal yang berkenaan dengan materi atau substansi sedangkan lafal atā digunakan untuk menunjukkan datangnya waktu atau sesuatu yang bersifat abstrak. Departemen Agama, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama, 2008), h. 161. 16 51 Muhammad saw. Jika konteksnya ditujukan untuk menceritakan nabi atau rasul selain Nabi Muhammad saw., maka lafal żikr tidak diartikan sebagai ‘Quran’ melainkan diartikan ‘wahyu’. Sebab, seperti yang telah diketahui bahwa nama Quran merupakan nama khusus untuk menyebut wahyu yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw. Sebagai contoh QS. al-A’rāf [7]: 63 yang dimaknai ‘wahyu’ karena menceritakan tentang kisah Nabi Nuh as. dan kaumnya. Contoh lainnya adalah QS. al-Qamar [54]: 25 yang dimaknai ‘wahyu’ juga karena berkisah tentang Nabi Ṣāliḥ as. dan kaum Ṡamud. Pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 2 dan QS. al-Syuʻarā’ [26]: 5, lafal żikr sebenarnya jatuh setelah kalimat fiʻl yang menunjukkan makna penurunan wahyu, yaitu ya’tī dan juga terjadi pada konteks Nabi Muhammad saw. dan kaumnya, seperti terlihat redaksi dua ayat17 di bawah ini: Namun lafal żikr pada dua ayat tersebut tidak dimaknai sebagai ‘Quran’ sebab didahului oleh huruf ‘min al-zā’idah’18 yang sebelumnya terdapat huruf ‘nafy’19. Selain itu, lafal żikr pada dua ayat tersebut disifati oleh lafal ‘muḥdaṡ’. Oleh karena itu, lafal żikr pada kedua ayat ini tidak dimaknai sebagai ‘Quran’ sebab jika żikr Dua ayat yang dimaksud adalah QS. al-Anbiyā’ [21]: 2 dan QS. al-Syuʻarā’ [26]: 5. Muḥammad Ḥasan ‘Uṡmān, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh (Mesir: Dār al-Risālah, 2011), j. VIII, h. 133. Lihat pula Muḥammad Ḥasan ‘Uṡmān, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh, j. IX, h. 198. Dan Muḥammad Makkī Ibn Abī Ṭālib al-Qaisī, Musykil Iʻrāb al-Qur’ān (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1988), j. I, h. 477. 19 Muḥyī al-Dīn al-Darwīsy, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayānuhū (Suriah: Dār al-Irsyād, 1980), j. VI, h. 280. 17 18 52 pada kedua ayat ini bermakna ‘Quran’ maka akan berdampak pada pemahaman teologis bahwa Quran merupakan makhluk (ḥudūṡ atau baru)20 sebagaimana keyakinan Muʻtazilah.21 Kedua ayat inilah yang dijadikan sandaran oleh mereka dalam meyakini ke-ḥudūṡ-an Quran.22 Menurut al-Bagawī (w. 464 H), lafal żikr pada kedua ayat di atas disifati dengan lafal muḥdaṡ (żikr al-muḥdaṡ) yang berarti sebagai perkataan atau penjelasan Nabi saw. berupa sunah atau hadis selain dari Quran. Perihal disandingkannya lafal żikr dengan lafal ‘rabb’ karena merupakan perintah dari Allah swt.23 Bahkan Muḥammad Ḥasan ‘Uṡmān dalam kitabnya, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh, memaknai lafal żikr pada ayat ini dengan ‘mauʻiẓah mujaddidah min Allāh’ bukan dengan ‘Quran’.24 Maka dari penjelasan ini, lafal żikr pada kedua ayat ini tidak dimaknai ‘Quran’. Muḥyī al-Dīn al-Darwīsy, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayānuhū, h. 280. Golongan Muʻtazilah berkeyakinan bahwa sifat-sifat Allah termasuk kalam Allah, yaitu Quran, merupakan makhluk atau ḥudūṡ. Lihat Mustofa Muhammad al-Syakhʻah, Islām bi Lā Mażāhib, terj. A. M. Basalamah, Islam Tidak Bermadzhab (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 315. Lihat pula Sahilun A. Nasar, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 180. 22 Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h. 172-173. 23 Abī Muḥammad al-Ḥusain Ibn Masʻūd al-Bagawī, Tafsīr al-Bagawī ‘Maʻālim al -Tanzīl’ (Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1411 H), j. V, h. 309. 24 Muḥammad Ḥasan ‘Uṡmān, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh (Mesir: Dār al-Risālah, 2011), j. VIII, h. 127. 20 21 BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN LAFAL AL-ŻIKR PADA QS. AL-ḤIJR [15]: 9 A. Pemaknaan Lafal al-Żikr dengan Quran pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 Dari kitab-kitab tafsir yang penulis baca, baik tafsir klasik maupun modern, mengenai penafsiran QS. al-Ḥijr [15]:9, semuanya menafsirkan bahwa lafal al-żikr pada ayat tersebut bermakna Quran. Sebut saja al-Ṭabarī (w. 310 H), alZamakhsyarī (w. 538 H), al-Rāzī (w. 606 H), Ibn ‘Āsyur (w. 1393 H), dan Sayyid Quṭb (w. 1386 H), semuanya mempunyai pendapat yang sama, yaitu lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 bermakna Quran.1 Pendapat itu diamini pula oleh beberapa mufasir seperti al-Bagawī (w. 464 H), Ibn Kaṡīr (w. 774 H), Imam Jalāl al-Dīn alSuyūṭī (w. 911 H), Waḥbah al-Zuhailī (w. 1984 M), dan al-Marāgī (w. 1361 H).2 Hanya saja, dari sekian banyak mufasir tersebut, mereka semua hanya memaknainya sebagai Quran saja tanpa memperinci Quran yang seperti apa yang dijaga dari perubahan itu dan tanpa memaparkan alasan di balik pemilihan lafal alżikr. Para mufasir cenderung menyamaartikan antara term al-żikr dengan term-term Lihat Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān (Kairo: Markaz al-Buḥūṡ wa al-Dirāsah al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001), j. 14, h. 18. Maḥmūd Ibn ‘Umar alZamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Tanzīl (Riyāḍ: Maktabah al-ʻAbikān, 1998 M), j. 3, h. 399-400. Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaīb (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), j. 19, h. 164. Muḥammad al-Ṭāhir Ibn ‘Āsyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa alTanwīr, j. 14, h. 16. Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān (Tk.: Minbar al-Tauḥīd wa al-Jihād, tt.), h. 15. 2 Lihat Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Āẓīm j. 4, h. 527. Abī Muḥammad al-Ḥusain Ibn Masʻūd al -Bagawī, Maʻālim al -Tanzīl (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1411 H), j. 4, h. 329. Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī (Mesir: Syirkat Maktabah wa Maṭbaʻah Muṣṭafā al-Bābā al-Ḥalabī, 1365 H/1946 M), j. 14, h. 9. Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Wajīz (Suriah: Dār al-Fikr, tt.), h. 263. Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Al-Durr al-Manṡūr fī al-Tafsīr bi al-Maʻṡūr (Kairo: Markaz Hijr li al-Buḥūṡ wa al-Dirāsāt al-ʻArabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2003), j. 8, h. 594. Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tafsīr alQur’ān al-ʻAẓīm li al-Imām al-Jalālain (Surabaya: Nūr al-Hudā, tt.), h. 212. 1 53 54 lain yang menunjukkan makna Quran, seperti term al-qur’ān, al-kitāb, dan lainnya sehingga cenderung mengesampingkan tujuan Allah menggunakan lafal al-żikr pada ayat yang sering kali dijadikan argumentasi kemurnian Quran.3 Oleh sebab itu, penulis mencoba untuk menganalisis penggunaan term al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 dengan sebuah studi kritis dalam penelitian ini. B. Argumentasi Penggunaan Lafal al-Żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 Untuk menganalisis penggunaan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 maka perlu diteliti komponen-komponen dan struktur kata pada ayat terkait dengan menggunakan metode kebahasaan. Oleh sebab itu, penulis akan memaparkan perbedaan term al-qur’ān, al-kitāb, al-żikr, dan al-furqān yang tak lain merupakan nama-nama dari Quran yang paling populer. Dan juga akan memaparkan perbedaan antara lafal nazzala dan lafal anzala sehingga dapat diketahui maksud dari penggunaan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15] ayat kesembilan. Wa Allah aʻlam. 1. Nama-Nama4 Quran dan Perbedaannya Menegaskan Kemurnian Quran Ada beberapa pendapat mengenai jumlah nama-nama Quran. Dalam kitab alItqān, al-Suyūṭī (w. 911 H) menyebutkan ada sekitar 55 buah nama-nama Quran. Abū Ḥasan Ḥaralī berpendapat nama-nama Quran ada lebih dari 90 nama. Hanya saja dari sekian banyak nama-nama Quran, Subḥi berpendapat bahwa sebagian ulama berlebih-lebihan dalam menghitung nama-nama lain dari Quran sebab Meskipun dalam beberapa pendapat, ḍamīr ‘hu’ pada kalimat ‘lahū laḥāfiẓūn’ kembali pada ‘Muhammad’ sehingga maksud ayat ini adalah “Sesungguhnya Kami benar-benar memelihara Muhammad dari musuh-musuhnya yang hendak berbuat jahat pada dirinya”. Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān, j. 14, h. 19. Lihat pula Maḥmūd Ibn ‘Umar alZamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Tanzīl, j. 3, h. 399-400. 4 Yang dimaksud ‘nama’ pada bab ini adalah mā yuʻrafu bihī syair (apa-apa yang dengannya sesuatu itu dapat diketahui). 3 55 menurutnya mereka cenderung tidak membedakan mana yang merupakan nama dan mana yang merupakan sifat.5 Namun dari sekian banyak nama tersebut, yang termasuk hanya empat nama saja, yaitu al-qur’ān, al-kitāb, al-furqān, dan al-żikr.6 Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, jika bertolak dari asumsi bahwa tidak ada sinonimi dalam Bahasa Arab, khususnya Quran, maka term alqur’ān, al-kitāb, al-żikr, dan al-furqān—yang notabene merupakan term-term untuk menunjukkan Quran—pun terdapat perbedaan antara satu dengan lainnya. Firman Allah dinamai al-qur’ān sebab Quran adalah firman Allah yang dibaca. Dinamai al-kitāb sebab Quran merupakan firman Allah yang ditulis. Dinamai alfurqān sebab Quran merupakan pemisah atau pembeda antara yang hak dan yang batil. Sedangkan dinamai al-żikr sebab Quran merupakan firman Allah yang berisi peringatan dari Allah swt.7 Pada QS. al-Ḥijr [15] ayat pertama,8 kita mendapati lafal qurʻān di-‘aṭaf-kan pada lafal al-kitāb.9 Dalam linguistik Arab, fungsi ʻaṭaf adalah untuk menunjukkan adanya perbedaan (pengertian antara kata yang berposisi sebagai ‘aṭaf dengan kata yang berposisi sebagai maʻṭūf).10 Oleh sebab itu, penulis akan menjelaskan lebih rinci mengenai term-term tersebut. Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Mesir: Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1951), h. 79. Lihat pula Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Quran (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), h. 21. 6 Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I) (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), cet. VII, h. 58. 7 Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I), cet VII, h. 59 sebagaimana yang ia kutip dari T.M. Hasbi al-Ṣiddīqī, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), cet. II, h. 59. 8 Redaksinya sebagai berikut: 5 Muḥammad Ṭāhir Ibn ‘Āsyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, j. 14, h. 9. Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern, h. 73. 9 10 56 a. al-Qur’ān Term al-qur’ān adalah nama yang paling banyak digunakan untuk menunjukkan kalam Allah. Lafal ini telah digunakan kurang lebih dalam tujuh puluh ayat. Term inilah yang paling masyhur menunjukkan makna kalam Allah dibandingkan dengan nama-nama lainnya di kalangan umat Islam. Ada beberapa pendapat mengenai asal-muasal lafal al-qur’ān. Imam alSyāfiʻī (w. 204 H) berpendapat bahwa lafal al-qur’ān bukan merupakan kalimat musytaq (ism jāmid), yaitu kata yang tidak mempunyai kata dasar.11 Artinya, lafal al-qur’ān ya begitu adanya dari awal, tidak dibentuk dari kata dasar apa pun. Menurutnya, lafal al-qur’ān merupakan ungkapan yang dikhususkan untuk menunjuk kepada firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.12 sebagaimana lafal Taurat dan Injil yang dikhususkan pada firman Allah yang ditujukan untuk menunjukkan firman Allah yang diturunkan pada Nabi Musa as. dan Nabi Isa as.13 Pendapat kedua mengatakan bahwa lafal al-qurān (dengan tanpa huruf hamzah di tengahnya) adalah pecahan dari lafal qarā’in (jamʻ dari lafal al-qarn) yang berarti kaitan, sebab ayat-ayat al-qurān satu sama lain saling berkaitan. Oleh sebab itu, huruf nūn pada lafal ini merupakan huruf asli bukan huruf tambahan. 11 Subḥi al-Ṣāliḥ, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), cet. II, h. 11. 12 Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥīṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Muʻassasah al-Risālah, 1994), h. 20. 13 Muḥammad Ṭāhir Ibn Āsyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, j. 14, h. 9. 57 Dengan demikian lafal kata ini dibaca dengan bunyi al-qurān, bukan al-qur’ān.14 Pendapat ini diamini oleh al-Asyʻarī (w. 324 H) dan pengikutnya.15 Pendapat lainnya mengatakan bahwa lafal al-qur’ān (dengan menggunakan huruf hamzah di tengahnya).16 Namun terdapat perbedaan mengenai asal kata dari lafal al-qur’ān. Pendapat pertama mengatakan bahwa lafal al-qur’ān adalah musytaq dari al-qar’u yang berarti al-jamʻu (kumpul atau himpun). Sebab Quran menghimpun dan mengumpulkan intisari kitab-kitab terdahulu. Pendapat kedua mengatakan bahwa lafal al-qur’ān merupakan ism maṣdar dari qara’a-yaqra’uqirā’atan-qur’ānan yang berarti bacaan.17 Dengan demikian, lafal ini dibaca dengan lafal al-qur’ān sebagaimana pola kata gufrān.18 Dari beberapa pendapat di atas, pada prinsipnya, lafal ini terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama beranggapan bahwa lafal ini tidak menggunakan huruf hamzah di tengahnya sehingga dibaca al-qurān. Pendapat kedua mengatakan bahwa lafal ini dengan menggunakan huruf hamzah di tengahnya sehingga dibaca al-qur’ān. Pendapat yang pertama (tanpa huruf hamzah di tengahnya) dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama bukan musytaq dari kata apa pun (ism jāmid), kedua merupakan musytaq dari kata al-qarn atau qarā’in yang berarti kaitan. Sedangkan pendapat yang kedua (dengan menggunakan huruf hamzah di tengahnya) terbagi menjadi dua pendapat juga, yaitu pertama merupakan bentukan Subḥi al-Ṣālih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 11. Lihat juga T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), cet. V, h. 17. 15 T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, h. 17. 16 Ibrāhīm al-Ibyārī, Pengenalan Sejarah al-Qur’an. Penerjemah Saad Abdul Wahid (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), cet. III, h. 68-69. 17 Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥīṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 20. Lihat pula Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama, 2008), h. 9. 18 Subḥi al-Ṣālih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 11. 14 58 kata dari lafal al-qar’u (yang semakna dengan lafal al-jamʻu) yang berarti mengumpulkan. Dengan demikian, lafal al-qur’ān mengikuti wazn fuʻlān sehingga dibaca qur’ān. Pendapat kedua dari bagian ini mengatakan bahwa lafal al-qur’ān merupakan bentukan kata dari lafal qara’a yang berarti bacaan.19 Namun dari berbagai pendapat di atas, pendapat yang mengatakan bahwa lafal al-qur’ān merupakan ism maṣdar dari kata dasar qara’a yang berarti bacaan merupakan pendapat yang paling masyhur dan dipakai sampai saat ini. Sebab, Quran merupakan kitab Allah yang sering dibaca oleh umat Islam. Terlepas dari pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud “bacaan” di sini adalah bacaan dari ingatan, bukan bacaan dari tulisan.20 b. al-Kitāb al-Kitāb adalah bentuk maṣdar dari kata kerja kataba yang berarti ‘mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu’.21 Namun, menurut Quraish Shihab, arti yang lebih umum dipakai adalah ‘mengumpulkan atau menggabungkan huruf-huruf menjadi tulisan’.22 Secara istilah, al-kitāb adalah nama bagi wahyu atau kalam Allah yang diturunkan kepada para rasul-Nya, baik itu kitab Zabur, Taurat, Injil, dan Quran. Selain mengandung arti yang telah dikemukakan di atas, lafal al-kitāb juga mempunyai arti ketetapan, hukum, dan kewajiban. Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2008), 19 h. 116. 20 Abd. Moqsith Ghazali, Metodologi Studi al-Qur’an (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 46. 21 Muḥammad Nawawī Ibn ‘Umar al-Jāwī, Tausyīḥ ‘alā Ibn Qāsim (Indonesia: Dār Ahyā’ alKutub al-‘Arabiyyah, tt.), h. 7. 22 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. II, h. 494. 59 Di dalam Quran, kata al-kitāb disebut sebanyak 230 kali. Term al-kitāb yang menunjukkan makna Quran terdapat pada QS. al-Baqarah [2]: 2, QS. al-Mā’idah [5]: 48, dan QS. al-Anʻām [6]: 38. Ada pula yang menunjukkan makna dari salah satu kitab selain Quran, seperti Taurat, yaitu pada QS. al-Baqarah [2]: 53, dan ada pula yang merujuk pada seluruh kitab selain Quran, yaitu QS. al-Nisā’ [4]: 136. Selain itu, ada pula yang menunjuk pada semua kitab Allah termasuk Quran seperti pada al-Baqarah [2]: 285.23 Nama al-kitāb pertama kali muncul dalam Quran pada ayat ke-29 di surah Ṣād, yaitu surah ke-38 jika dilihat dari segi turunnya Quran.24 Penamaan wahyu dengan sebutan ‘al-kitāb’ tidak sekedar mengindikasikan adanya ‘perbedaan’ dengan teks-teks lain. Sebab, teks ini kenyataannya merupakan teks pertama yang dibukukan dalam sejarah kebudayaan Islam.25 Dengan catatan apabila kita mengabaikan riwayat-riwayat mengenai kodifikasi muʻallaqāt26 yang digantungkan di dinding-dinding Kaʻbah. Selain itu, perbedaan antara ‘al-kitāb’ M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. II, h. 494-495. Naṣr Ḥāmid Abū Zaid, Tekstualitas al-Qur’an. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002), cet. II, h. 57 sebagaimana yang ia kutip dari Baduruddin Muḥammad Ibn Abd Allāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Maʻārif li alTibāʻah wa al-Nasyr, 1972), cet. III, h. 193. Redaksi ayatnya adalah sebagai berikut: 23 24 ۦ Naṣr Ḥāmid Abū Zaid, Tekstualitas al-Quran, h. 58. al-Muʻallaqāt adalah kasidah panjang yang indah yang diucapkan oleh para penyair jahiliah dalam berbagai kesempatan dan tema. Sebagian al-Muʻallaqāt ini diabadikan dan ditempelkan di dinding-dinding Ka’bah pada masa Jahiliah. Para pujangga al-Muʻallaqāt berjumlah tujuh orang, yaitu ‘Umar al-Qais, Amr' Ibn Kulṡum al-Tagḥlibī dan al-Ḥarīṡ Ibn Hiliziah al-Bakrī dikenal dengan puisinya yang bertemakan Al-Gazal atau ungkapan cinta bagi sang kekasih, Zuhair Ibn Abi Sulma dikenal dengan puisinya yang bertemakan Al-Ḥikām atau kata-kata hikmah/mutiara, Antarah Ibn Syaddād al-Absī dikenal dengan puisinya yang bertemakan Al-Hamāsah atau semangat yakni untuk membangkitkan semangat ketika ada suatu peristiwa semacam perang atau membangun sesuatu, Ṭarafah bin Abdul Bakri dan Lubaid Ibn Rabiʻah al-Amirī dikenal dengan puisinya yang bertema Al-Madh atau pujian. Dikutip dari Feti Faza, “Analisis Syair Mu’allaqat”, artikel diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 10.45 WIB dari http://fetifaza.blogspot.com/2010/02/analisis-syairmuallaqat.html. 25 26 60 dengan ‘al-qur’ān’ mengimplikasikan bahwa wahyu-wahyu sejak saat itu mulai ditulis sesaat setelah diterima Nabi Muhammad saw.27 Muḥammad Syaḥrūr mempunyai pengertian sendiri mengenai term al-kitāb yang dijadikan sebagai nama lain dari kalam Allah. al-kitāb berasal dari kata kataba yang berarti mengumpulkan beberapa hal dengan tujuan untuk memperoleh satu makna agar tercapainya satu pemahaman yang sempurna. Atas dasar itu, Syaḥrūr mendefinisikan al-kitāb sebagai kumpulan bermacam-macam tema yang diwahyukan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad, berupa teks beserta kandungan maknanya, yang secara tekstual terdiri dari keseluruhan ayat yang tersusun dalam mushaf sejak dari surah al-Fātiḥah hingga surah al-Nāṣ.28 Dari definisi yang dikemukakan oleh Syaḥrūr tersebut, dapat dipahami bahwa asumsi masyarakat pada umumnya tentang sebutan al-qur’ān (wahyu Allah yang dijadikan teks) lebih pas disebut al-kitāb bukan al-qur’ān karena dua term tersebut berbeda satu sama lain. Maka dari itu, Muḥammad Syaḥrūr kerap kali menyebut dengan istilah al-kitāb untuk menunjukkan makna Quran yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya (tidak dengan istilah ‘al-qur’ān’). Senada dengan pandangan Syaḥrūr, Abdullah al-Dirās memberikan argumen bahwa Quran dinamai pula dengan al-kitāb sebab ia merupakan wahyu Allah yang ditulis. Penamaan dengan al-kitāb tersebut menunjukkan bahwa Quran tertulis dalam mushaf. Richard Bell, Pengantar Studi Al-Qur’an. Penerjemah Taufik Adnan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), cet. II, h. 225. 28 Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern, h. 69. 27 61 c. al-Żikr Lafal al-żikr merupakan bentuk maṣdar dari fi’il żakara29 yang berarti menyebut atau mengingat.30 Dalam buku Quraish Shihab, definisi al-żikr adalah mengingat-ingat apa yang telah diketahui sebelumnya (al-ḥifẓ); memelihara apa yang telah diketahui; menghadirkan (istihḍār) gambaran sesuatu di dalam pikiran setelah hilang dari ingatan, baik melalui hati maupun melalui lisan.31 Ibn Manẓūr dalam kitabnya yang berjudul Lisān al-‘Arab menerangkan bahwa al-żikr merupakan kitab yang memuat rincian atau penjelasan agama serta syariat-syariat agama.32 Selain itu, lafal al-żikr mempunyai beberapa makna lain, di antaranya adalah reputasi (baik buruk maupun baik) (al-ṣīt), pujian (al-ṡana`), kemuliaan (al-syaraf), dan bisa juga dimaknai berdoa dan memuji kepada Allah swt.33 Lawan kata dari lafal al-żikr adalah al-gafl (lupa).34 Muḥammad Syaḥrūr memberikan pengertian berbeda mengenai term al-żikr. Dari hasil penelitiannya, ia berkesimpulan bahwa term al-żikr didefinisikan sebagai pengubahan kalam Allah (Quran) menjadi berbentuk bahasa manusiawi yang secara literal berupa bahasa Arab.35 Dengan kata lain, al-żikr merupakan bentuk linguistik dari Quran. Hal ini ia dasarkan pada QS. Al-Zukhruf [43]: 3: innā jaʻalnahu qur’ānan ‘arabiyyan. Żakara-yażkuru-żikran. Lihat Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus ArabIndonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), cet. XXV, h. 448. 30 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1990), cet. VIII, h. 134. 31 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. I, h. 191. Lihat Abu al-Qāsim al-Ḥusain Ibn Muḥammad Ibn al-Mufaḍḍal, Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur`an (Beirut: Dār al-Kitāb al-Ilmiyah, 2004), h. 200. 32 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (t.k.: Dār al-Ma’ārif, t.t.), h. 1508. 33 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, h. 1508. 34 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, h. 191. 35 Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern, h. 80. 29 62 Namun dalam hal ini, penulis tidak sepaham dengan pengertian al-żikr yang dikemukakan oleh Syaḥrūr sebab pengertian yang diberikan Syaḥrūr terlampau jauh dari arti dasar kata al-żikr. Hal ini pun mendapat banyak sanggahan dari para ulama. Mereka berpendapat bahwa penelitian ilmiah dengan menggunakan pendekatan semantik seperti yang diklaim Syaḥrūr ternyata jauh panggang dari pada api. Terbukti dengan paparan dan penjelasan Māhir al-Munajjad, mementahkan klaim Syaḥrūr. Kekacauannya dalam bahasa ditinjau dari beberapa aspek, baik gramatikal, kamus (leksikal), dan ṣarf dengan asumsi bahwa karakter bahasa Arab tidak terlepas dari ilmu-ilmu dan sistemnya.36 Dalam hal ini, penulis mempunyai pengertian sendiri mengenai makna term al-żikr untuk menunjuk makna Quran. Berdasarkan makna dasar dari kata al-żikr (ingatan), term al-żikr (yang bermakna Quran) berarti kalam Allah yang tersimpan dalam hati umat Islam (hafalan atau ingatan). Argumentasi dan penjelasan lebih rinci akan dibahas di bawah ini setelah selesai memaparkan subbab-subbab pada bab keempat ini. d. al-Furqān ‘al-Furqān’ berasal dari kata ‘faraqa’ yang berarti memisahkan, membedakan, dan membelah. Menurut Ibn Fāris, kata al-furqān mempunyai arti ‘waktu subuh’ karena pada saat itu terpisah antara gelapnya malam dengan terangnya siang. Namun, penggunaan kata al-furqān menurut al-Aṣfaḥanī lebih ditekankan kepada pembedaan antara yang hak dan yang batil, antara yang benar M. Imdadur Rohman, “Studi Kritis terhadap Interpretasi Muḥammad Syaḥrūr”, artikel diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 pukul 14:12 WIB dari http://imdadgresik.blogspot.com/2010/07/studi-kritis-terhadap-interpretasi.html. 36 63 dan yang salah. Sementara itu, kata al-furqān terulang sebanyak tujuh kali dalam Quran, enam kali di antaranya berbentuk maʻrifah (al-furqān).37 al-Furqān merupakan salah satu nama lain dari Quran yang diturunkan pada nabi Muhammad saw. Selain itu, term al-furqān juga merupakan nama bagi Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. dan Nabi Harun as., seperti pada QS. AlAnbiyā’ [21]: 48. Oleh sebab ini, Muḥammad Syaḥrūr memberikan pengertian bahwa Quran dinamai dengan al-furqān sebab di dalamnya terdapat sepuluh perintah yang diberikan kepada Nabi Musa dan tercantum di dalam Alqur’an. alFurqān merupakan titik temu antara ketiga agama samawi sebab al-furqān merupakan sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. dan ditetapkan pula kepada Nabi Isa as serta terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Maka dari itu, al-furqān hanyalah bagian dari Umm al-Kitāb.38 Hanya saja mayoritas pendapat mengatakan bahwa penamaan Quran dengan al-furqān berhubungan dengan fungsi Quran, yaitu sebagai pedoman untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Sehingga dari sini dapat diambil pengertian bahwa al-furqān (yang ditujukan untuk memaknai Quran) adalah firman Allah yang di dalamnya terdapat pedoman untuk membedakan antara yang hak dan yang batil.39 Dari uraian mengenai nama-nama Quran di atas, dapat disimpulkan bahwa Quran dinamai al-qur’ān sebab ia merupakan firman Allah yang (sering/berkalikali) dibaca oleh orang Islam; dinamai al-kitāb sebab ia merupakan firman Allah M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. I, h. 235. Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern, h. 85. 39 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 117. 37 38 64 yang ditulis dan dikumpulkan menjadi satu kitab atau mushaf; dinamai al-żikr sebab ia merupakan firman Allah yang dihafal (diingat dalam hati) oleh orang Islam; dan dinamai al-furqān sebab ia merupakan firman Allah yang di dalamnya terdapat pedoman untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Jika ditelusuri lebih dalam, nama-nama Quran di atas memiliki keterkaitan dalam mengukuhkan kemurnian Quran. Sebab Quran selain sering dibaca (quri’a) oleh para sahabat pada waktu itu, juga langsung ditulis (kutiba) oleh para sekretaris Nabi begitu ia mendapatkan wahyu dari Allah. Di samping sering dibaca dan ditulis oleh para sahabat, Quran juga banyak dihafal/diingat (żukira) oleh banyak orang Islam pada masa itu. Dari ini, kemurnian Quran semakin terjamin. 2. Perbedaan Makna Nazzala dan Anzala menunjukkan Perbedaan Cara Penurunan Ayat-Ayat Quran Pada dasarnya, lafal nazzala dan anzala memiliki kata dasar yang sama, yaitu nazala yang secara bahasa mempunyai arti bertempat sebagaimana perkataan: fulān nazala bi al-Madīnah; ḥalla bihā (Fulan bertempat di Madinah). Namun lafal nazala juga bisa bermakna bergerak dari atas ke bawah. Contoh, fulān nazala min al-jabal (Fulan turun dari gunung).40 Selain dapat menunjukkan tempat seperti pengertian di atas, kata nuzūl juga dapat menunjukkan derajat atau kualitas, dan kedudukan. Dengan demikian, lafal ini bisa bermakna ‘menurunkan’, baik fisik maupun nonfisik, dari tempat dan kedudukan serta derajat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah.41 Jika makna-makna ini ditujukan untuk menjelaskan Muhammad Ibn Mukarran Ibn Manḍūr, Lisān al-ʻArab (Kairo: Dār al-Miṣriyyah, t.t.), j. 14, h. 178. 41 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. II, h. 722. 40 65 makna nuzūl al-Qur’ān, maka ini ditolak oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Sebab, mereka meyakini bahwasanya Quran itu qadīm, karena itu ia tidak mempunyai tempat.42 Oleh sebab itu, al-Zarqanī memandang kata ‘nuzūl’ sebagai majas dalam arti “iʻlam” (pemberitahuan). Maka kata “nuzūl al-Qur’ān” berarti pemberitahuan Allah kepada manusia yang disampaikan melalui Quran.43 Dalam menurunkan wahyu, Allah swt. menggunakan redaksi “al-tanzīl” dan “al-inzāl”.44 Lafal “al-tanzīl” adalah maṣdar dari lafal “nazzala”—merupaka fiʻl ṡulāṡī mazīd rubāʻī 45 dengan menggandakan ‘ain fi’l-nya— yang mempunyai faedah li al-takṡīr46, li al-tadarruj, atau li al-tanjīm, yaitu penurunan secara berulang-ulang, bertahap, atau berangsur-angsur. Sedangkan lafal ‘anzala’— fiʻl ṡulāṡī mazīd rubāʻī dengan mendapat tambahan huruf hamzah di depannya— digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang turun secara utuh dan bersamaan. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa lafal “anzala” penggunaannya lebih umum, sedangkan lafal “nazzala” penekanannya pada turunnya sesuatu secara teratur, tersusun, bertahap, dan berulang-ulang atau berangsur-angsur.47 Perbedaan penggunaan redaksi dalam “menurunkan” Quran ini berdampak pada perbedaan cara Allah menyampaikan wahyu pada Nabi Muhammad saw. dalam hal ini, ada beberapa pendapat mengenai bagaimana Allah menurunkan Kadar M. Yusuf, Studi Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 15. Muḥammad Abd ‘Aẓīm al-Zarqanī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār alFikr, 1998), j. I, h. 34. 44 Selain dua kata tersebut, untuk menurunkan wahyu, Allah juga terkadang menggunakan redaksi “jā’a” dan derivasinya serta lafal “atā” dan derivasinya. 45 Kalimat fiʻl (kata kerja) yang mendapat huruf tambahan sebanyak satu huruf. 46 Muḥammad Bāsil ‘Uyūn al-Sūd, al-Muʻjam al-Mufaṣṣal fī Taṣrīf al-Afʻāl al-‘Arabiyyah (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2011), cet. II, h. 258. 47 Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Riyadh: Dār al-Rasyīd, tt.), h. 05. Lihat pula M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. II, h. 723. 42 43 66 wahyu-Nya pada Nabi Muhammad saw. Perbedaan pendapat itu pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,48 yaitu: 1. Pendapat pertama mengatakan bahwa Quran diturunkan pertama kali pada malam Qadar (lailah al-qadar) dan kemudian diturunkan secara bertahap atau berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw. Pendapat ini sekaligus menafikan turunnya Quran sekaligus. Ini adalah pandangan al-Syaʻbī. 2. Pendapat kedua mengatakan bahwa Quran diturunkan ke langit dunia setiap lailah al-qadar sekedar kebutuhan selama satu tahun sampai datang lailah al-qadar selanjutnya. Artinya, setiap lailah al-qadar, Allah menurunkan sebagian firmanNya—dengan kadar kebutuhan selama satu tahun ke depan sampai datang lailah al-qadar—ke langit dunia untuk kemudian ‘disimpan’ di sana. Begitu seterusnya sampai Rasulullah wafat. 3. Pendapat yang ketiga beranggapan bahwa Al-quran diturunkan Allah sekaligus dari Lauḥ al-Maḥfūẓ ke Bait al-ʻIzzah di langit dunia untuk kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw. dalam berbagai kesempatan sepanjang masa-masa kenabian. Demikianlah perbedaan makna al-tanzīl dan al-inzāl sehingga menyebabkan perbedaan cara menurunkan Quran. Dari pemaparan tentang penjelasan perbedaan term al-qur’ān, al-kitāb, alżikr, dan al-furqān, serta perbedaan mengenai proses turunnya Quran, penulis menyimpulkan bahwa lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 bermakna Quran yang Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2008), h. 94-95. Lihat pula Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 101-104. 48 67 berada pada hati orang Islam berupa hafalan49 atau ingatan50 bukan Quran yang yang berbentuk kitāb (tulisan) maupun qur’ān (bacaan). Dikatakan berada pada ‘hati’ sebab al-żikr (ingatan) merupakan sesuatu yang berada dalam hati seseorang. Oleh sebab itulah, para penghafal Quran dikatakan hāfiz sebab mereka menjaga Quran dengan hafalan di hati mereka. Penulis berpendapat bahwa yang dijaga oleh naḥnu51 (ḍamīr yang ada pada lafal innā) menunjukkan adanya keterlibatan selain Allah, yaitu ḥuffāẓ al-qur’ān. Dengan demikian, yang dijaga oleh ‘naḥnu’ pada ayat ini, QS. al-Ḥijr [15]: 9, adalah Quran yang dihafal oleh para ḥuffāẓ al-qur’ān. Pendapat ini didasarkan pada alasan-alasan di bawah ini: 1. Pemaknaan al-żikr dengan ingatan/hafalan di sini didasarkan pada penafsiran ulama tafsir atas QS. al-Qamar [54] ayat 17, 22, 32, dan 40 yang mempunyai redaksi yang sama, yaitu: Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H) menafsirkan lafal li al-żikr dengan li al-ḥifẓ, sehingga maksud ayat ini adalah Allah memudahkan Quran untuk dihafal karena tidak ada satu pun dari kitab-kitab Allah yang dihafal di dalam hatinya selain Quran.52 Hafal bermakna telah masuk dalam ingatan. Hafalan merupakan derivasi dari kata ‘hafal’ yang bermakna (sesuatu) yang dihafal. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. I, h. 291. 50 Ingat bermakna berada di pikiran; tidak lupa. Ingatan merupakan derivasi dari kata ‘ingat’ yang bermakna apa yang diingat. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. I, h. 331. 51 Ḍamīr naḥnu adalah ḍamīr yang mempunyai makna mutakallim maʻa al-gair (kata ganti orang pertama banyak). Dengan demikian, lafal naḥnu pada ayat ini melibatkan (sesuatu) yang lain selain mutakallim (Allah) (dalam hal ini adalah para ḥāfiz al-qur’ān). 52 Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātīh al-Gaīb, j. 29, h. 43. 49 68 2. Pada QS. al-Ḥijr [15]: 9, Allah menggunakan redaksi ‘‘nazzala’’ untuk menunjukkan proses turunnya al-żikr, yaitu penurunan wahyu secara berjenjang atau berangsur-angsur. Dan salah satu hikmah diturunkannya Quran secara berangsur-angsur adalah agar mudah dihafal/diingat.53 3. Melihat konteks pada waktu itu, wahyu (kalam Allah) lebih banyak dihafal dari pada ditulis meskipun proses pencatatan telah dilakukan secara sempurna pada masa Nabi Muhammad saw.54 Hal ini terlihat ketika orang musyrik memperolok Nabi Muhammad dengan sebutan orang gila dan menuntut Nabi menghadirkan Malaikat sebagai bukti kebenarannya. Seperti pada QS. al-Ḥijr [15]: 6-7: “Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila (6) Mengapa kamu tidak mendatangkan malaikat kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar? (7)” Pada ayat di atas, orang-orang musyrik menggunakan lafal al-żikr untuk menyebutkan Quran sebab pada waktu itu Quran masih lebih sering dihafal dan belum berbentuk sebuah kitab. 4. Melihat sejarah pengumpulan hingga penyempurnaan Quran, kitab Quran mengalami berbagai ‘perubahan’ dari segi penulisan huruf-hurufnya hingga Kadar M. Yusuf, Studi Islam, h. 19. Lihat pula Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. I, h. 46. Muhammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī Ṭayyib Ṭīzīnī, al-Islām wa al-‘Asr: Tahḥaddiyat wa Afaq, terj. Ahmad Mulyadi, Finding Islam Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 125. 54 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2008), h. 129. Lihat pula Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama, 2008), h. 13. 53 69 menjadi sempurna seperti mushaf yang ada pada saat ini. Hal ini dilakukan demi membuat keseragaman dan standarisasi teks dan bacaan Quran. Seperti telah diketahui, semasa Nabi Muhammad saw. masih hidup, firman Allah langsung ditulis oleh para Sahabat55 seketika itu juga di pelepah-pelepah kurma, batu, dan media penulisan yang ada pada saat itu.56 Firman Allah yang ditulis pada masa Nabi hingga kodifikasi mushaf ‘Uṡmanī sampai masa awal pemerintahan Dinasti Umayyah masih berupa tulisan Arab gundul, tanpa harakat dan tanpa titik57. Hal ini menimbulkan problem baru di kemudian hari seiring semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam hingga pada orang-orang non-Arab (‘ajam). Oleh sebab itu, pada masa Dinasti Umayyah, Abū al-Aswad al-Duʻalī (w. 688 H) berinisiatif untuk membuatkan tanda-tanda baca agar dapat memudahkan orang-orang ‘ajam dalam membaca Quran dan untuk menghindari kesalahan-kesalahan ketika membacanya bagi yang tidak hafal Quran.58 Abū al-Aswad al-Duʻālī (w. 688 H) menunjuk seseorang dari suku ʻAbd al-Qais atau dari suku Quraisy yang bertindak menuliskan tanda baca pada mushaf sementara ia mendiktekan. Lalu dilakukanlah pemberian tanda baca dengan memberi titik pada huruf-huruf akhir di setiap kalimat. Titik di atas huruf berarti fatḥah, titik di depan huruf berarti ḍammah, dan titik di bawah huruf berarti kasrah. Jika titiknya ada dua berarti tanwin. Di antara sekretaris-sekretaris Nabi adalah Zaid Ibn Ṡābit, ‘Ali Ibn Abī Ṭālib, Muʻawiyah Ibn Abī Sufyān dan Ubay Ibn Kaʻb, dan lain sebagainya. 56 Lihat Eva Nugraha, “Konsep Nabi Ummy”, artikel diakses pada 5 Januari 2015 dari https://www.academia.edu/5253075/Konsep_al-Nabiy_al-Ummi_, h. 17, sebagaimana yang ia kutip dari Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān, h. 378. ; lihat pulaMuhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu alQur’an (1), h. 53. 57 Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya, h. 16. Lihat pula Abd. Moqsith, Metodologi Studi al-Qur’an, h. 16. 58 Abd. Moqsith, Metodologi Studi al-Qur’an, h. 16. 55 70 Pada periode selanjutnya, yaitu masa khalifah Abdul Malik Ibn Marwan, diberikan tanda titik pada huruf-huruf yang mirip, seperti antara bā’, tā’, dan ṡā’ serta antara jīm, ḥā’, dan khā’ dan seterusnya. Kemudian Imam Khalīl Ibn Aḥmad al-Faraḥidī (w. 177 H), gurunya Imam Sibawaihi (seorang ahli naḥwu), yang menyempurnakan titik yang pernah ditulis oleh Abū al-Aswad al-Duʻalī menjadi harakat yang ada sekarang ini, yaitu harakat fatḥah dengan alif miring, harakat ḍammah dengan wau kecil, harakat kasrah dengan yā’ yang dipangkas kepalanya, tasydīd dengan kepala huruf sīn, sukūn dengan kepala huruf khāʻ kecil, dan seterusnya.59 Hal ini cukup membuktikan bahwa Quran dalam bentuk tulisan (alkitāb) mengalami perubahan. 5. Banyak fenomena kerusakan Quran (dalam bentuk tulisan/al-kitāb) baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dalam banyak kasus, khususnya kasus kebakaran dan tsunami, banyak kitab Quran yang rusak terbakar60 dan terendam (meski dalam sedikit kasus ada yang masih utuh demi menunjukkan kekuasaan Allah swt.).61 Ini menunjukkan bahwa Quran dalam bentuk kitab ini tidak terjaga. Oleh karena itu, QS. al-Ḥijr [15]: 9 kurang pas jika diaplikasikan pada kasus seperti ini jika menganggap kesamaan antara term-term yang dimaksud. Jika Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya, h. 16-17. “Al Quran Terbakar juga Ditemukan di Northwest Side AS”, Arrahmahmah, 15 September 2010. Berita diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 14.53 WIB dari http://www.arrahmah.com/read/2010/09/15/9139-al-quran-terbakar-juga-ditemukan-di-northwestside-as.html. 61 “Al-Quran Tetap Utuh di Saat Kebakaran (Subhanallah)”, diakses pada tanggal 25 Oktober 2014 dari http://note-why.blogspot.com/2011/04/al-quran-tetap-utuh-di-saat-kebakaran.html.; http://mirajnews.com/id/internasional/asia/al-qur-an-tetap-utuh-usai-sebuah-mobil-terbakar-diarab-saudi/; Salman Mardira, “Kisah Ajaib di Masjid Baiturrahim saat Tsunami Aceh”, Okezone, 30 Juli 2012, diakses pada 24 Oktober 2014 pukul 14.48 WIB dari http://m.okezone.com/read/2012/07/30/427/670342/kisah-ajaib-di-masjid-baiturrahim-saattsunami-aceh. 59 60 71 makna al-żikr pada ayat ini dimaksudkan untuk menunjukkan firman Allah yang berbentuk kitab/tulisan (al-kitāb) maka akan memunculkan asumsi bahwa ayat ini sudah tidak relevan lagi sedangkan seperti yang telah diketahui bahwa Quran berlaku di setiap zaman. 6. Kenyataan lainnya bahwa masih banyak umat Islam yang masih salah dalam membaca Quran, baik dalam hal makhraj maupun sifat huruf, baik disebabkan oleh dialek maupun oleh faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, lafal al-żikr tidak pas jika dimaksudkan untuk menunjukkan firman Allah yang berupa bacaan (al-qur’ān) melihat kenyataan yang ada. 7. Quran yang ada di dunia saat ini ‘sama’ dengan Quran yang ada di lauḥ al- maḥfūż,62 yaitu bi lā ḥarfin wa lā ṣautin (tanpa huruf dan tanpa suara) atau dalam bahasa sains berbentuk metafisik.63 Maka dari itu, asumsi bahwa Quran yang ada di dunia sama dengan Quran yang ada di lauḥ al-maḥfūż tidak pas jika pada ayat ini al-żikr diartikan sebagai firman Allah yang berbentuk tulisan (al-kitāb) dan firman Allah yang berupa bacaan (al-qur’ān). Namun lebih pas jika diartikan sebagai firman Allah yang berada di hati orang Islam yang berupa hafalan sebab hafalan yang ada pada hati seseorang tidak berhuruf dan tidak pula bersuara. 62 Dalil Quran berada di Lauḥ Maḥfūẓ di antaranya terdapat pada QS. al-Zukhrūf [43]: 4, QS. al-Burūj [85]: 21-22, dsb. 63 Menurut Asyʻariyah dan Matūridiyah, kalam Allah terbagi menjadi dua kategori, yaitu kalām al-nafs dan kalām al-majāzī. Kalām al-nafs merupakan firman Allah yang terpelihara di Lauḥ Maḥfuẓ yang ‘bentuknya’ tanpa huruf dan tanpa suara (bilā harf wa lā ṣaut), tidak terurai dan tidak terbagi, dan bersifat qadīm. Sedangkan kalām al-majāzī (seperti kitab Taurat, Injil, dan Quran) merupakan manifestasi dari kalām al-nafs. Dan kalām al-majazī ini bersifat ḥudūṡ (makhlūq). Lihat Muḥammad Ibn Abd. Rahmām al-Khumais, Iʻtiqād Ahl al-Sunnah Aṣhāb al-Ḥadīṡ, terj. Abdurrahman Nuryaman, Pokok-Pokok Akidah Salaf yang Diikrarkan Imam al-Asyʻari (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. xv, 69-70. Lihat pula Yaḥyā Hāsyim Ḥasan Fargal, al-Asus al-Manhajiyyah Lubnā’ al-‘Aqīdah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabiyyah, tt.), h. 111. Sahilun A. Nasar, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, h. 180. 72 8. Dengan pemaknaan al-żikr sebagai firman Allah swt. yang berupa hafalan dalam hati orang Islam, dapat mempertegas argumentasi kemurnian Quran berdasarkan keterkaitan nama-nama populer Quran. Pada masa Quran masih diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ayat-ayat yang turun pada waktu itu langsung ditulis (al-kitāb) oleh para sahabat. Selain itu, Quran juga sering dibaca (al-qur’ān), khususnya bagi yang mempunyai ṣuḥuf, dan tidak sedikit para sahabat yang menghafalkan (al-żikr) ayat-ayat suci Quran bahkan sampai pada masa kini. Dari itu, tidak ada celah yang dapat mengakibatkan perubahan Quran sebab ketika ada ayat yang berbeda, akan ada sahabat yang membetulkannya baik berlandaskan mushaf yang ia punya, atau berdasarkan kebiasaan membaca ayat Quran, atau bahkan berdasarkan hafalan mereka mengenai ayat tersebut untuk kemudian diseragamkan. Dari sini dapat diketahui rahasia penamaan Quran dengan namanama tersebut di atas. Itulah argumentasi pemaknaan lafal al-żikr sebagai Quran yang berada dalam hati manusia berupa hafalan. Pemaknaan seperti ini dan pembedaan antara term alżikr, al-kitāb, dan al-qur’ān penulis lakukan sebab penulis meyakini bahwa Allah pasti memiliki maksud tersendiri dalam pemilihan diksi untuk menyusun suatu ayat. Ketepatan Allah dalam memilih diksi juga dapat dilihat dari beberapa ayat Quran, di antaranya pada QS. Yūsuf [12]: 17, ... ... “... lalu dia (Yusuf) dimakan serigala...” 73 Pada ayat di atas, Allah menggunakan lafal akala (memakan), tidak menggunakan lafal iftarasa yang biasa digunakan pada hewan buas. Menurut Imam al-Khattabī, penempatan lafal akala sudah tepat. Alasannya, lafal akala bermakna menghabiskan sesuatu seluruhnya tanpa tersisa sedikit pun baik tulang atau pun anggota-anggota tubuh yang lainnya. Dalam konteks cerita Nabi Yusuf, lafal tersebut digunakan oleh saudara-saudaranya karena khawatir bapak mereka (Nabi Ya’qub) akan meminta bekas-bekas Yusuf sebagai bukti dari apa yang mereka ceritakan. Oleh sebab itu, mereka menggunakan lafal akala agar tidak dimintai bukti. Berbeda dengan lafal iftarasa yang maknanya pembunuhan oleh hewan buas namun masih menyisakan sisa dan bekas. Oleh karena itu, kata yang paling tepat pada konteks cerita di atas adalah ‘akala’.64 Contoh lainnya mengenai ketepatan Allah dalam pemilihan diksi pada Quran terlihat dalam pemilihan lafal na‘am dan balā (yang sama-sama bermakna ‘ya’) untuk menjawab pertanyaan dengan tingkat kekhususan tertentu seperti pada ayat ke-172 QS. al-A‘rāf berikut: “"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” Amir Faishal Fath, The Unity of al-Quran. Penerjemah Nasirudiin Abbas (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 78 sebagaimana yang ia kutip dari Abdul Qahir al-Jurjani, Tsalatsah Rasail fi I’jaz al-Quran, ed. Muhammad Khalafullah (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt.), h. 41. 64 74 Ayat di atas mengandung kalimat pertanyaan (istifhām) yang bermakna negasi, yaitu ‘bukankah’ (alastu). Kata balā digunakan pada konteks pertanyaan yang memakai hamzah istifhamiyah yang bermuatan negasi namun hasilnya justru afirmasi65 sehingga pada ayat tersebut akan bermakna penegasan bahwa ‘Ya (Engkau adalah Tuhan kami)’. Berbeda halnya jika jawaban tersebut menggunakan lafal naʻam, bukan balā. Jika yang digunakan adalah lafal naʻam maka ayat tersebut akan bermakna penegasan terhadap ke-negasi-an pertanyaan sehingga maknanya akan menjadi ‘Ya (Engkau bukan Tuhan kami)’.66 Sama arti namun berbeda makna. Begitulah halnya dengan pemilihan lafal al-żikr dari pada lafal al-kitāb atau alqur’ān sekalipun. Meski bisa bermakna sama namun memiliki perbedaan yang signifikan sebab setiap pemilihan diksi dalam Quran pasti memiliki maksud tertentu. Penetapan yang positif; penegasan; peneguhan. Habibullah Ahmadi, Ahsan al-Hadīts: Analisis Tekstual Ulumul Quran, h. 57. 65 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam bab-bab sebelumnya, telah dipaparkan hasil penelitian mengenai karakteristik dan konsistensi lafal żikr dalam Quran dan penggunaannya pada QS. Al-Ḥijr [15]: 9. Maka dari hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa jika berasumsi tidak ada sinonimi dalam Quran dan ketepatan Allah dalam memilih diksi pada ayat Quran maka lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 bermaksud untuk menunjukkan makna Quran yang berada dalam hati orang Islam berupa hafalan. Dengan demikian, Quran yang dijaga oleh ‘Kami’ sebagaimana dijelaskan pada ayat tersebut bukan Quran yang berupa tulisan dalam mushaf atau kitab (alkitāb), bukan pula Quran yang berupa bacaan (al-qur’ān), melainkan Quran yang berupa ingatan atau hafalan dalam hati ḥuffāẓ al-qur’ān (al-żikr). B. Saran Sebelum mengakhiri tulisan skripsi ini, penulis ingin mencoba memunculkan persoalan yang selama penelitian mengganggu pikiran penulis. Persoalan-persoalan tersebut di antaranya mengenai pemberian karakteristik yang masih terlalu umum. Contoh, dalam hal pemberian karakteristik pemaknaan lafal żikr ini penulis cenderung lebih memfokuskan perbedaan antara lafal żikr yang dimaknai Quran dan yang tidak dimaknai Quran secara umum. Hal ini membuat penulis mengesampingkan makna-makna lain dari lafal żikr. Padahal, seperti yang telah dipaparkan, makna dari lafal żikr ‘yang tidak dimaknai Quran’ itu banyak sekali, seperti peringatan, pelajaran, ilmu, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, sedikit 75 76 saran penulis untuk para pembaca dan peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih rinci lagi karakteristik dari tiap-tiap makna lafal żikr secara khusus. Selain itu, pemaknaan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 dengan firman Allah (Quran) yang dihafal oleh para ḥuffāẓ al-qur’ān merupakan pendapat baru dan berbeda dari pendapat-pendapat ulama pada umumnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa pendapat ini bisa saja salah melihat kapasitas keilmuan penulis yang sangat minim. Oleh sebab itu, untuk ke depannya, penulis membuka saran dan kritik seluas-luasnya atas pemikiran kepo penulis. Akhir kata, mengutip perkataan dari Muḥammad Syaḥrūr, penakwilan Quran secara sempurna hanya dapat dilakukan oleh Allah swt. Adapun makhluk-Nya menakwilkan Quran sesuai dengan pengetahuan di setiap zamannya dan masingmasing memahami sesuai dengan kapasitas ilmunya. 1 Dan hanya sebatas inilah kemampuan penulis dalam memahami makna al-żikr yang menunjukkan makna Quran, khususnya pada QS. Al-Ḥijr [15] ayat 9. Penelitian ini pastinya memiliki banyak sekali kekurangan, sebanding dengan sedikitnya wawasan dan ketidaktahuan penulis akan pengetahuannya. Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern. Penerjemah Sahiron Syamsuddin (Jogjakarta: elSAQ, 2007), h. 77. 1 77 DAFTAR PUSTAKA Abqary, Ridwan. 101 Info tentang al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010. Ahmadi, Habibullah. Zibôtarin Sukhan. Terj. Imam Ghozali. Ahsan al-Hadīts: Analisis Tekstual Ulumul Quran. Jakarta: Sadra Press, 2011. Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010. Audah, Ali. Konkordinasi Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1991. Ayāzī, Muḥammad ‘Alī. al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa Manhājuhum. Teheran: Muassasah al-Taba'ah Wa Al-Nasr Wuzarah As-Saqofah Wa Al-Irsyad Al-Islamy, 1373 H. al-Bagāwī, Abī Muḥammad al-Ḥusain Ibn Masʻūd. Tafsīr al-Bagawī ‘Maʻālim alTanzīl’. Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1411 H. al-Baghdadi, Abdurrahman. “al-Qur’an Mukjizat yang Abadi”. Dalam al-Insan I, no. 1 (Januari 2005): h. 104 Bakalla, M. H. Arabic Culture Through Its Language And Literature. London: Kegan International, 1984. Al-Bāqī, Muḥammad Fu’ād Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Hadīṡ, 2007. Bell, Richard. Introduction to The Qur’an. Terj. Taufik Adnan. Pengantar Studi AlQur’an. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995. Cet. II. Boullata, Issa J. I’jāz al-Qur’ān al-Karīm ʻAbra al-Tārikh. Terj. Bachrum B., dkk.. Al-Qur’an yang Menakjubkan. Tangerang: Lentera Hati, 2008. Chirzin, Muhammad. al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003. Cet. II. al-Darwīsy, Muḥyī al-Dīn. Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayānuhū. Suriah: Dār al-Irsyād, 1980. Departemen Agama RI. Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 2008. Fargal, Yaḥyā Hāsyim Ḥasan. al-Asas al-Manhajiyyah Lubnā’ al-‘Aqīdah alIslāmiyyah. Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabiyyah, t.t. Fath, Amir Faishal. The Unity of al-Qur’an. Penerjemah Nasirudiin Abbas. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010. 78 Ghazali, Abd. Moqsith. Metodologi Studi al-Qur’an. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. Haikal, Muhammad Husain. al-Ṣiddīq Ābū Bakr. Terj. Ali Audah. Abū Bakr alṢiddīq. Jakarta: Litera AntarNusa, 2003. Cet. III. Ḥākim Malik. al-Ziyādī, al-Tarāduf fi al-Lugah. Bagdād: Dār al-Ḥurriyyah li alṬabāʻah, 1980. Hidayat, Nuim. Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani, 2005. Husaini, Adian. “Studi Awal atas Keragaman Teks Bibel”. Dalam al-Insan I, no. 1 (Januari 2005): h. 116. al-Husni, Muhammad bin Alwi al-Maliki. Mutiara-Mutiara Ilmu al-Qur’an. Terj. Rosihan Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 1999. Ibn ‘Āsyur, Muḥammad al-Ṭāhir. Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr. Tunisia: al-Dār al-Tūnisiyyah li al-Nasyar, 1984. Ibn Isḥāq, ‘Abdullāh Ibn Muḥammad Ibn ‘Abd al-Raḥmān. Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kaṡir. Terj. M. Abdul Ghoffar E. M, dkk. Tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Pustaka Imam saf-Syafi’i, 2005. Cet. IV. Ibn Manẓūr. Lisān al-‘Arab. t.k.: Dār al-Ma’ārif, t.t. Ibn al-Mufaḍḍal, Abu al-Qāsim al-Ḥusain Ibn Muḥammad. Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kitāb al-Ilmiyah, 2004. Ibn Kaṡīr, Ismāʻīl Ibn ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-ʻAẓīm. Riyadh: Dār Ṭayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzīʻ. 1999. cet II al-Ibyārī, Ibrāhīm. Tārikh al-Qur’ān. Terj. Saad Abdul Wahid. Pengenalan Sejarah al-Qur’an. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995. Cet. III. al-Jurjanī, Abd al-Qāhir. Ṡalāṡah Rasāil fī Iʻjāz al-Qur’ān. Ed. Muhammad Khalafullah. Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t. al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Madāraij al-Sālikīn bain Oil Iyyāka Na’budu wa Iyyāka Nastaʻīn. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. Cet. I. Karman, M., dan Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Islamika, 2002. Kementrian Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. t.k.: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. 79 al-Khulī, Muhammad Ali. A Dictionary of Theoretical Linguistics ‘English-Arabic with on Arabic-English Glossary. Beirut: Librairie du Luban, 1982. al-Khumais, Muḥammad Ibn Abd. Rahmām. Iʻtiqād Ahl al-Sunnah Aṣhāb alḤadīṡ. Terj. Abdurrahman Nuryaman. Pokok-Pokok Akidah Salaf yang Diikrarkan Imam al-Asyʻari. Jakarta: Darul Haq, 2006. al-Marāgī, Ahmad Muṣṭafā. Tafsīr al-Marāgī. Kairo: Muṣṭāfā al-Bābī Al-Ḥalabī, 1946. Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Quran. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992. Moeliono, Anton M. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ‘Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa Seri ILDEP’. Jakarta: Djambatan, 1985. Muhyidin, Muhammad. Hidup di Pusaran al-Fatihah: Mengungkap Keajaiban Konstruksi Ummul Kitab. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008. Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 2002. Cet. XXV. Nasar, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010. Nata, Abuddin. al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Cet. VII. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesi, 1999. Cet. IV. Nuryaman, Abdurrahman. Kumpulan Dzikir & Doa Sepanjang Masa Berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Jakarta: Darul Haq, 2013. Parera, J. D. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 2004. al-Qaisī, Muḥammad Makkī Ibn Abī Ṭālib. Musykil Iʻrāb al -Qur’ān. Beirut: Muassasah al-Risālah, 1988. al-Qaṭṭān, Mannāʻ. Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Rasyīd, t.t. Quṭb, Sayyid. Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān. Tk.: Minbar al-Tauḥīd wa al-Jihād, t.t. al-Rafi’i, Musthafa Shadiq. I’jaz Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, t.t. al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. Mafātiḥ al-Gaīb. Beirut: Dār al-Fikr, 1981. Rumadi. Renungan Santri: Dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama. t.k.: Penerbit Erlangga, 2009. Cet. IV. 80 Sakho, Muhammad Akhsin, dkk.. Kawkaban. Jakarta: Tamyiz Publishing, 2012. Cet. III. Al-Ṣālih, Subḥi. Mabahits fi Ulum al-Qur-an. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Cet. II. Setiawan, Nur Kholis. Al-Quran Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsa Press, 2005. Shanti, & Ve Handojo. Shanti Bongkar Rahasia, Bagi Cerita. Jakarta: GagasMedia, 2011. Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Cet. II. __________. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1972. Cet. V. Shihab, Quraish. Mukjizat Al-Quran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013. __________, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati. 2007. Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka. 2011. al-Sūd, Muhammad Bāsil ‘Uyūn. al-Muʻjam al-Mufaṣṣal fī Taṣrīf al-Afʻāl al ‘Arabiyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2011. Cet. II. Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013. _________. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Cet. I. Su’ūd, Abū. Irsyād al-Aql al-Sālim ilā Mazāyā al-Qurān al-Karīm. Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāṡ al-‘Arabī, 1990. Cet. II. al-Suyūṭi, Jalaluddin, dkk. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Surabaya: Nur al-Huda, t.t. al-Suyūṭī, Jalāluddīn. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Muassasah al-Risālah Nāsyirūn, 2008. _________. al-Muzhir fī ‘Ūlūm al-Lugah wa Anwāʻihā. Kairo: al-Maktabah alAzhariyyah, t.t. al-Syāfiʻī, Muḥammad Ibn Qāsim. Tausyīḥ ‘alā Ibn Qāsim. Indonesia: Dār Ahyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t. 81 Syaḥrūr, Muḥammad. al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah. Terjemahan Sahiron Syamsuddin. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam modern. Jogjakarta: elSAQ, 2007. al-Syakhʻah, Mustofa Muhammad. Islām bi Lā Mażāhib. Terj. A. M. Basalamah. Islam Tidak Bermadzhab. Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra-Press, 2009. Cet. I. Syibromalisi, Faizah Ali, dan Jauhar Azizi. Membahas Kitab Tafsir Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Al-Ṭabarī, Ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān. Kairo: Markaz alBuḥūṡ wa al-Dirāsah al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001. _________. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayat Al-Qur’an. Terj. Misbah dkk.. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Taufiqurrochman. Leksikologi bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press, 2008. al-Tawwāb, Ramḍān ‘Abd. Fuṣūl fī fiqh al-Lugah. Mesir: Maktabah al-Khānajī, 1999. Cet. VI. Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Cet. 1. _________. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Cet. 4. Tim Penyusun. Alhidayah Quran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka. Tangerang: Kalim. 2010. Ṭīzīnī, Muhammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī Ṭayyib. al-Islām wa al-‘Asr: Tahḥaddiyat wa Afaq. Terj. Ahmad Mulyadi. Finding Islam Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam. Jakarta: Erlangga, 2002. ‘Umar, Ahmad Mukhtar. ‘Ilm al-Dalālah. Beirut: ‘Alām al-Kutub, 1998. Cet. V. ‘Uṡmān, Muḥammad Ḥasan. Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh. Mesir: Dār alRisālah, 2011. Verhaar, J.W.M. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983. al-Wāḥid, ‘Alī ʻAbd. Fiqh al-Lugah. Mesir: Dār al-Naḥḍah, t.t. Wibowo, Wahyu. Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. 82 Yāsīn, Muhammad Ḥusain ‘Ālī. al-Dirāsāt al-Lugawiyyah ‘inda al-‘Arab ḥattā Nihāyat al-Qarn al-Ṡāliṡ. Beirut: Dār Maktabah al-Ḥadīṡ, 1980. Ya’qūb, Emīl Badī’. Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa Khaṣāisuha. Beirut: Dār alʻIlm li al-Malāyīn, 1982. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1990. Cet. VIII. Yustinah, dan Ahmad Iskak. Bahasa Indonesia Tataran Madia untuk SMK dan MAK XI. Jakarta: Erlangga, 2008. Yusuf, Kadar M. Studi Islam. Jakarta: Amzah, 2009. Yusuf, Muhammad. “Relasi Tanda Bahasa dan Makna dalam Bahasa Arab: Kajian atas Pemikiran Ibn ria dalam al-Ṣāhibī”. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008. Al-Żahabi, Muhammad Husein. Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn. Kairo: Dar al-Kutub, 1961. Zahrudin, “Relasi Makna dalam Al-Qur’an: Analisis terhadap Kata-Kata yang Memiliki Relasi Makna dalam Al-Qur’an Yang Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia”. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010. Zaid, Nasr Hamid Abu. Mafhum al-Nāṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Terj. Khoiron Nahdliyyin. Tekstualitas al-Quran. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002. Cet. II. al-Zamakhsyarī, Maḥmūd Ibn ‘Umar. al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Tanzīl. Riyāḍ: Maktabah al-ʻAbikān , 1998. al-Zarkasyī, Baduruddin Muhammad Ibn Abdillah. al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Maʻārif li al-Tibāʻah wa al-Nasyr, 1972. Cet. III. Al-Zarqanī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1998. “Bahasa Arab Klasik”. Artikel diakses pada tanggal 20 Oktober 2014, pukul 15:27 WIB dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Arab_Klasik. Faza, Feti. “Analisis Syair Mu’allaqat”. Artikel diakses pada 14 Oktober 2014 pukul 10.45 WIB dari http://fetifaza.blogspot.com/2010/02/analisissyair-muallaqat.html. Rohman, M. Imdadur. “Studi Kritis terhadap Interpretasi Muhammad Syahrur”. Artikel diakses pada tanggal 15 Oktober 2014, 14:12 WIB dari 83 http://imdad-gresik.blogspot.com/2010/07/studi-kritis-terhadapinterpretasi.html. “Al Quran Terbakar juga Ditemukan di Northwest Side AS”. Arrahmahmah, 15 September 2010. Berita diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 14.53 WIB dari http://www.arrahmah.com/read/2010/09/15/9139-alquran-terbakar-juga-ditemukan-di-northwest-side-as.html. “Al-Quran Tetap Utuh di Saat Kebakaran (Subhanallah)”. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2014 dari http://note-why.blogspot.com/2011/04/al-qurantetap-utuh-di-saat-kebakaran.html. http://mirajnews.com/id/internasional/asia/al-qur-an-tetap-utuh-usai-sebuahmobil-terbakar-di-arab-saudi/; Mardira, Salman. “Kisah Ajaib di Masjid Baiturrahim saat Tsunami Aceh”. Okezone, 30 Juli 2012. Diakses pada 24 Oktober 2014 pukul 14.48 WIB dari http://m.okezone.com/read/2012/07/30/427/670342/kisahajaib-di-masjid-baiturrahim-saat-tsunami-aceh. Nugraha, Eva. “Konsep Nabi Ummy.” Artikel diakses pada 5 Januari 2015 dari https://www.academia.edu/5253075/Konsep_al-Nabiy_al-Ummi_.