9 tentang pemaknaan lafal al-żikr sebagai quran

advertisement
PENAFSIRAN QS. AL-ḤIJR [15]: 9 TENTANG PEMAKNAAN
LAFAL AL-ŻIKR SEBAGAI QURAN: SEBUAH STUDI KRITIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Gugun Gunawan
NIM: 1110034000039
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2014 M
ABSTRAK
Gugun Gunawan
PENAFSIRAN QS. AL-ḤIJR [15]: 9 TENTANG PEMAKNAAN LAFAL ALŻIKR SEBAGAI QURAN: SEBUAH STUDI KRITIS
Ada satu pertanyaan besar yang ingin disampaikan dalam skripsi ini, yaitu
mengapa QS. al-Ḥijr [15]: 9—yang notabene selalu dijadikan argumen kemurnian
Quran—menggunakan term al-żikr untuk menunjukkan makna Quran? Mengapa
tidak menggunakan term yang lebih jelas bermakna Quran, seperti lafal al-qur’ān?
Maka dari situ, ada maksud di balik pemilihan lafal al-żikr ketimbang lafal alqur’ān mengingat ketepatan Allah dalam pemilihan diksi Quran. Sehingga dapat
memperjelas Quran yang seperti apa yang sebenarnya dijaga oleh ‘Kami’ seperti
pada ayat dimaksud.
Kenyataannya bahwa para mufasir, baik klasik maupun modern, tidak
menindaklanjuti mengapa lafal al-żikr yang dipilih. Mereka hanya mencukupkan
pada penjelasan bahwa lafal al-żikr pada ayat tersebut bermakna Quran saja tanpa
menjelaskan Quran yang bagaimana yang dijaga dari pengubahan, penambahan,
maupun pengurangan. Di sinilah studi kritis penulis dipaparkan.
Dengan menggunakan metode semantik dapat diketahui bahwa arti
gramatikal lafal żikr yang berkaitan dengan fiʻl penurunan wahyu adalah bermakna
Quran—hasil ini penulis peroleh setelah meneliti ayat-ayat yang di dalamnya
terdapat lafal żikr sehingga dapat membandingkan bagaimana lafal żikr dimaknai
Quran dan bagaimana lafal żikr tidak dimaknai Quran—. Namun melihat arti
leksikal dari lafal al-żikr yang berarti ingatan (sesuatu yang berada di pikiran), maka
makna al-żikr (yang dimaknai Quran) bermaksud untuk menunjukkan arti Quran
(firman Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw.) yang berupa ingatan
atau hafalan.
Dengan demikian, pemilihan diksi al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 bermaksud
untuk menunjukkan bahwa Quran yang ‘Kami’ jaga bukanlah Quran yang berupa
tulisan (al-kitāb) dalam kitab atau mushaf melainkan Quran yang berupa hafalan
atau ingatan (al-żikr) yang ada dalam hati orang-orang Islam. Oleh sebab itu, term
yang dipakai untuk menunjukkan makna Quran pada ayat ini tidak menggunakan
lafal al-kitāb melainkan menggunakan lafal al-żikr.
i
KATA PENGANTAR
   
Segala puji dan syukur penulis haturkan pada Allah swt. atas segala nikmat
dan pertolongan yang telah dan akan selalu Ia berikan kepada penulis. Ialah yang
memberikan petunjuk dan saat penulis kehilangan kata untuk diketik, data untuk
diolah, dan ide untuk dikembangkan. Kepada-Nya penulis mengadu saat hati dan
pikiran mulai lelah dan frustrasi untuk menyelesaikan penelitian ini. Dari-Nya
penulis dapatkan inspirasi untuk menuliskan kata demi kata hingga menjadi
sekumpulan bab-bab yang dibundel menjadi sebuah buku ini.
Salawat dan salam seiring kerinduan akan senantiasa dicurah limpahkan pada
baginda Nabi Muhammad saw. yang melaluinya Kalam Allah yang sempurna dapat
disampaikan dengan begitu sempurna pula pada kaumnya hingga saat ini dan
sampai akhir nanti.
Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “PENAFSIRAN QS.
AL-ḤIJR [15]: 9 TENTANG PEMAKNAAN LAFAL AL-ŻIKR SEBAGAI
QURAN: SEBUAH STUDI KRITIS” ini tidak akan rampung dengan daya yang
penulis miliki. Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang spesial yang secara
langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dengan
kerendahan hati, penulis mengungkapkan ucapan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Emi Nining Sumarni dan Apa Maman Sudirman,
yang karena kenekatan mereka penulis tercatat sebagai mahasiswa UIN
Jakarta dan sebab doa merekalah penulis dapat bertahan sampai saat ini.
ii
Dan untuk kakak terhebat penulis, Ceuceu Evi Silvia, serta adik tercantik
penulis, Neng Elis Mar’atun Shalihah, yang selalu memotivasi dan
dijadikan motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini
agar segera pula menjadi orang yang sukses.
2. Bapak Dr. Ahzami Samiun Jazuli, M.A. selaku pembimbing yang telah
memberikan kontribusi bermakna dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih pula pada Prof. Dr. Amin
Suma, M.A. yang memberikan data awal yang sangat penting sehingga
penulis bisa menyelesaikan penelitian mengenai karakteristik lafal al-żikr.
Serta kepada bapak Eva Nugraha, M.A, dan bapak Kusmana M.A.. yang
telah meluangkan waktu di tengah kesibukan mereka untuk sekedar
mengoreksi skripsi ini.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku ketua jurusan Tafsir-Hadis bersama
para pengurus Fakultas Ushuluddin yang telah banyak membantu
kemudahan administrasi dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian
skripsi.
4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan kebaikan dan kemurahan
mereka, secara sadar, telah mendorong penulis untuk tidak surut sebelum
menang dalam menggali kedalaman dan keindahan ayat-ayat suci serta keuswah-an Nabi Muhammad saw.
5. Teman-teman seatap dan sesabun mandi penulis—Wandi Ruswandi,
Wahyu Ismatullah, dan Muhammad Rasyidi. Merekalah yang paling
dominan mewarnai kehidupan penulis selama di kampus. Suka-duka
iii
menjadi anak kosan dilewati bersama saat makan hanya dengan lauk saus
dan kerupuk seadanya. Teman-teman TH B 2010 yang super kocak dan
konyol namun elegan. Terkhusus untuk Muhammad Indra, teman paling
ganteng tapi super manja, terima kasih untuk semuanya dan selamat
menjadi bapak, ya.
6. Sugawan-sugawati KMSGD Jabodetabek: Fahri, Vicky, Deden, Agung,
Hadi, dan semuanya. Merekalah sebenarnya yang paling bersemangat
‘memotivasi’ penulis untuk segera menjadi wisudawan. Berkat ‘cengcengan’ merekalah penulis semakin bersemangat menyelesaikan skripsi
ini. Terima kasih secara khusus kepada Sugawan Agung Khumaidi yang
telah memberikan adaptor secara cuma-cuma pada penulis sehingga
memperlancar dalam menyelesaikan skripsi ini. Tanpa adaptor darinya,
skripsi ini mungkin akan selesai lebih lama dari ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan tambahan
wawasan mengenai Quran dan bermanfaat bagi semuanya, terkhusus bagi penulis.
Semoga karya ini dijadikan sebagai ladang amal baik bagi penulis.
Ciputat, 11 Desember 2014
Hormat saya,
Gugun Gunawan
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................... vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Permasalahan................................................................................. 4
C. Tinjauan Pustaka........................................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................... 11
E. Metode Penelitian.......................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan................................................................... 17
BAB II
KETEPATAN DIKSI QURAN
A. Ketepatan Allah dalam Pemilihan Diksi
pada Ayat-Ayat Quran.................................................................. 19
B. Sinonim (Mutarādif)..................................................................... 24
1. Sinonim dalam Bahasa Indonesia............................................ 24
2. Sinonim dalam Quran.............................................................. 25
a. Pengertian Sinonim dan Faktor-Faktor Penyebab
Kemunculannya dalam Bahasa Arab............................... 25
b. Pro-Kontra Sinonim dalam Quran................................... 33
C. Homonim (Musytarak) dalam Quran........................................... 38
BAB III
KARAKTERISTIK DAN KONSISTENSI
LAFAL ŻIKR DALAM QURAN
A. Klasifikasi Lafal Żikr dalam Quran.............................................. 41
1. Lafal Żikr yang Dimaknai Quran............................................. 42
v
2. Lafal Żikr yang Tidak Dimaknai Quran................................... 45
B. Karakteristik Lafal Żikr dalam Quran........................................... 47
1. Karakteristik Lafal Żikr berdasarkan Penyandarannya
terhadap Kalimat Lain............................................................. 48
2. Karakteristik Lafal Żikr berdasarkan Maknanya
sebagai Quran.......................................................................... 50
BAB IV
ANALISIS PENGGUNAAN LAFAL AL-ŻIKR PADA
QS. AL-ḤIJR [15]: 9
A. Pemaknaan Lafal al-Żikr dengan Quran
pada QS. al-Ḥijr [15]: 9................................................................ 53
B. Argumentasi Penggunaan Lafal al-Żikr
pada QS. Al-Ḥijr [15]: 9............................................................... 54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 75
B. Saran.............................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 77
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No.
Arab
Latin
No.
Arab
Latin
1
‫ا‬
tidak dilambangkan
16
‫ط‬
ṭ
2
‫ب‬
b
17
‫ظ‬
ẓ
3
‫ت‬
t
18
‫ع‬
ʻ
4
‫ث‬
ṡ
19
‫غ‬
g
5
‫ج‬
j
20
‫ف‬
f
6
‫ح‬
ḥ
21
‫ق‬
q
7
‫خ‬
kh
22
‫ك‬
k
8
‫د‬
d
23
‫ل‬
l
9
‫ذ‬
ż
24
‫م‬
m
10
‫ر‬
r
25
‫ن‬
n
11
‫ز‬
z
26
‫و‬
w
12
‫س‬
s
27
‫ه‬
h
13
‫ش‬
sy
28
‫ء‬
’
14
‫ص‬
ṣ
29
‫ي‬
y
15
‫ض‬
ḍ
2. Vokal Pendek
-◌َ -- = a
-◌ِ -- = i
‫َﻛﺘَﺐ‬
‫ُﺳﺌِ َﻞ‬
kataba
su’ila
vii
-◌ُ -- = u
‫َﺐ‬
ُ ‫ ﻳَ ْﺬﻫ‬yażhabu
3. Vokal Panjang
a. Fatḥah + alif, ditulis ā (a garis di atas)
‫ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ‬
ditulis jāhiliyyah
b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a garis di atas)
‫ﻳﺴﻌﻰ‬
ditulis yasʻā
c. Kasrah + yā’ mati, ditulis ī (i dengan garis di atas)
‫ﳎﻴﺪ‬
ditulis majīd
d. Ḍammah + wāu mati, ditulis ū (u dengan garis di atas)
‫ﻓﺮوض‬
ditulis furūd
4. Diftong
‫ = اَ ْي‬ai
‫ْﻒ‬
َ ‫ = َﻛﻴ‬kaifa
‫ = ا َْو‬au
‫ْل‬
َ ‫ = ﺣَﻮ‬ḥaula
5. Kata Sandang (‫)ال‬
Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-’, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah.
6. Tasydid (- ّ◌--)
Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi
syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
viii
syiddah tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
al-syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis ‫ﻀﺮُْورَة‬
‫ اﻟ ﱠ‬aḍ-ḍarūrah melainkan alḍarūrah.
7. Tā’ Marbūṭah
a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi naʻt
atau sifat, ditulis h
Contoh:
‫ﺟﺰﻳﺔ‬
ditulis jizyah
‫اﳉﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ‬
ditulis al-jāmiʻah al-islāmiyyah
(ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa Indonesia
dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali
dikehendaki lafal aslinya)
b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t
Contoh:
‫ﻧﻌﻤﺔ ﷲ‬
ditulis niʻmat Allāh
‫زﻛﺎة اﻟﻔﻄﺮ‬
ditulis zakāt al-fiṭr
8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut
penulisannya, contoh:
‫ذوي اﻟﻔﺮوض‬
ditulis żawī al-furūḍ
‫اﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ‬
ditulis ahl al-sunnah
ix
9. Singkatan
swt.
= subḥānah wa taʻālā
saw.
= ṣallā Allāh ‘alaih wa salam
as.
=‘alaih al-salām
ra.
= raḍiya Allāh ‘anh
QS.
= Quran Surat
M
= Masehi
H
= Hijriah
w.
= Wafat
h.
= Halaman
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Skripsi ini terinspirasi saat menemani seorang dosen1 pergi menuju kampus
dengan menaiki sebuah sepeda motor. Sore itu, di atas kendaraan yang melaju
dengan santai, kami berdiskusi berbagai permasalahan akademik hingga akhirnya
penulis menemukan satu pertanyaan yang menurut penulis sangat menarik untuk
diteliti lebih lanjut. Sambil mengendarai motornya, ia bercerita: “Kemarin, sewaktu
berkumpul dengan para dosen di ruang dosen sambil berdiskusi yang dikemas
dengan obrolan santai ‘ala intelek’, muncul satu pertanyaan yang tidak terjawab dan
itu menarik untuk dibahas lebih lanjut. Pertanyaannya adalah mengapa pada ayat
yang kerap kali dijadikan argumentasi kemurnian Quran, yaitu QS. al-Ḥijr [15]: 9,
Allah menggunakan term al-żikr untuk menunjukkan Quran? Pasti ada maksud di
balik pemilihan diksi al-żikr tersebut.” Tidak lama setelah itu, kami pun akhirnya
sampai di kampus tercinta dan kemudian berpisah di pintu gerbang masuk dengan
meninggalkan berbagai permasalahan intelektual di benak penulis.
Keesokan harinya, sambil ditemani secangkir kopi dan beberapa gorengan,
penulis mencoba mendiskusikan permasalahan tersebut dengan teman-teman2 satu
kos penulis yang kebetulan satu kelas dan satu jurusan Tafsir Hadis. Penulis
memulai dengan sebuah celetukan, “Eh bro! Saya mau nanya nih, ‘Mengapa pada
QS. al-Ḥijr [15]: 9 Allah menggunakan term al-żikr untuk menunjukkan Quran,
Beliau adalah Eva Nugraha, MA, salah seorang tenaga pengajar di Fakultas UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2
Mereka adalah Wandi Ruswandi, Wahyu Ismatullah, dan Muhammad Rasyidi.
1
1
2
tidak memakai term yang lebih jelas bermakna Quran, seperti lafal al-qur’ān
misalnya, atau yang lainnya? Kenapa coba?’” Diskusi pun berjalan alot tanpa
mendapatkan jawaban yang jelas.
Sebagaimana diketahui bahwa ayat yang kerap kali dijadikan argumentasi
akan keautentikkan Quran yaitu QS. al-Ḥijr [15]: 9. Di bawah ini adalah redaksi
lengkap ayat tersebut,
       
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya.”
Dalam “al-Qur’an dan Terjemahnya” yang dikeluarkan oleh Kementrian
Agama pada tahun 2012, ayat ini diberikan keterangan sebagai jaminan kesucian
dan kemurnian Quran selama-lamanya.3
Merasa tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, penulis mencoba
mencari penafsiran-penafsiran mengenai ayat tersebut berharap menemukan alasan
pemilihan diksi al-żikr pada ayat itu. Dari berbagai penelusuran penafsiranpenafsiran Quran, mayoritas ulama memang memaknai lafal al-żikr pada QS. alḤijr [15]: 9 sebagai Quran, seperti pada kitab tafsir Jalālain,4 kitab Jāmi’ al-Bayān
karya al-Ṭabarī,5 dan pendapat-pendapat mufasir lainnya dalam karyanya masingmasing.6 Namun, mereka hanya memaknai al-żikr sebagai Quran saja tanpa
Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355.
4
Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm (Surabaya: Nur
al-Huda, tt.), h. 212.
5
Abu Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl Āyāt al-Qur’ān, terj. Misbah dkk. (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), hal. 719.
6
Beberapa ulama yang menafsirkan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr[15]: 9 dengan Quran di
antaranya ialah Imam al-Ṭabarī, Imam al-Zamakhsyarī, Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Ibn ‘Āsyur,
Sayyid Quṭb, dan lain sebagainya. Penjelasan lebih lanjut akan di bahas pada bab IV.
3
3
menjelaskan lebih lanjut mengapa lafal al-żikr yang dipakai bukan lafal yang jelasjelas menunjukkan Quran seperti lafal al-qur’ān secara gamblang, mengingat
banyak orang awam yang masih belum mengetahui bahwa lafal al-żikr juga bisa
bermakna Quran, bukan hanya peringatan. Pemaknaan al-żikr sebagai Quran saja
(tanpa menjelaskan perbedaannya dengan term-term lain yang juga bermakna
Quran,
seperti
term
al-qur’ān,
al-kitāb,
dan
sebagainya)
seolah-olah
mengesampingkan hikmah di balik ketepatan Allah, sebagai Penutur, dalam
pemilihan diksi. Padahal di balik diksi yang Allah pilih untuk menyusun suatu ayat,
pasti terdapat hikmah yang besar.7 Oleh sebab itu, harus ada perbedaan antara termterm tersebut apalagi jika diasumsikan bahwa tidak ada sinonimi dalam bahasa
Arab, khususnya Quran.
Selain itu, seperti yang telah dipaparkan di atas, QS. al-Ḥijr [15]: 9 selalu
dijadikan sebagai dalil pembenaran bahwa Quran terjaga dari perubahan. Dengan
demikian, pembedaan term al-żikr dengan term-term lain yang menunjukkan
makna Quran (seperti al-qur’ān, al-kitāb, dan al-furqān) akan mengakibatkan pada
penafsiran Quran yang seperti apa yang sebenarnya dijaga (laḥāfiẓūn) oleh ‘kami’
(naḥnu) menimbang sejarah penulisan dan penyempurnaan Quran dari yang tanpa
titik hingga penuh dengan penambahan-penambahan tanda baca. Belum lagi
banyaknya kesalahan-kesalahan dalam membaca Quran hingga tidak sedikit yang
dapat mengubah arti dari ayat yang dibaca. Jika keempat term itu (al-qur’ān, alkitāb, al-żikr, dan al-furqān) disamaartikan sebagai Quran saja, maka dalil bahwa
Quran terjaga dari pengubahan—baik yang disengaja maupun yang tidak
Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an. Penerjemah Nasirudiin Abbas (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2010), h. 77.
7
4
disengaja—seperti pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 terbantahkan dengan kedua alasan yang
telah dikemukakan di atas. Maka dari itu, penulis tertarik untuk meneliti
permasalahan pemilihan diksi al-żikr pada ayat tersebut—sehingga dapat diketahui
Quran yang seperti apa yang sebenarnya terjaga itu—dalam skripsi yang berjudul:
“PENAFSIRAN QS. AL-ḤIJR [15]: 9 TENTANG PEMAKNAAN LAFAL
AL-ŻIKR SEBAGAI QURAN: SEBUAH STUDI KRITIS”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dan untuk memperjelas alur
penelitian ini, maka penulis perlu mengidentifikasi beberapa permasalahan, di
antaranya mengenai kriteria arti pengubahan kitab suci sehingga dapat diketahui
apakah penambahan tanda baca pada Quran termasuk dalam kategori pengubahan
Quran atau tidak. Pun juga kesalahan dalam membaca Quran mengindikasikan
adanya pengubahan Quran atau tidak.
Selain itu, penafsiran-penafsiran mufasir, baik klasik maupun modern,
mengenai keaslian Quran juga menjadi satu pemasalahan yang perlu dikaji
mengingat pembahasan pada penelitian ini juga terkait dengan keaslian dan
keterjagaan Quran. Namun, hal yang lebih penting adalah perbedaan antara termterm yang menjadi nama-nama dari Quran, seperti lafal al-qur’ān, al-kitāb, al-żikr,
dan al-furqān. Pembedaan ini diperlukan untuk mengetahui apa arti al-żikr
sehingga dapat diketahui Quran yang seperti apa yang terjaga. Dari situ perlu
pembedaan terlebih dahulu antara al-żikr yang bermakna Quran dan yang tidak
dimaknai Quran sebab seperti yang telah diketahui bahwa satu kata bisa mempunyai
5
banyak arti. Begitu halnya dengan lafal al-żikr. Ia bisa bermakna Quran, peringatan,
dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, perlu dibuatkan karakteristik lafal żikr
berdasarkan pemaknaannya dalam Quran. Hal ini penulis rasa perlu untuk
menegaskan bahwa lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 memang bermakna Quran
berdasarkan karakteristik dari susunan redaksinya. Hal ini juga dapat membuktikan
kekonsistenan lafal-lafal Quran.
2. Pembatasan Masalah
Dari sekian banyak identifikasi masalah yang dipaparkan di atas, penulis
hanya membatasi masalah pada karakteristik lafal żikr pada ayat-ayat Quran dan
maknanya pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 serta perbedaannya dengan nama-nama lain dari
Quran. Pembatasan pada poin-poin ini penulis pilih karena dalam penelitian ini
penulis memfokuskan pada klasifikasi dan karakteristik dari lafal żikr dalam Quran
untuk kemudian diterapkan pada surah al-Ḥijr [15]: 9.
Dalam pembuatan karakteristik lafal żikr, penulis tidak mengikutkan derivasi
dari lafal żikr sehingga yang diteliti penulis adalah hanya membatasi pada lafal
‘żikr’ saja (żāl ‘kasrah’, kāf ‘sukūn’, dan rā’) baik yang berbentuk maʻrifah maupun
nakirah. Sedangkan dalam menjelaskan penafsiran QS. al-Ḥijr [15]: 9, penulis
merujuk pada lima tafsir pokok, yaitu tiga tafsir klasik dan dua tafsir modern. Tafsir
klasik yang penulis jadikan referensi antara lain kitab tafsir Jāmi’ al-Bayān fi Ta’wīl
6
al-Qur’ān8 karya al-Ṭabarī (w. 310 H), kitab al-Kasysyāf9 karya Imam Maḥmūd
Ibn ‘Umar al-Zamakhsyarī (w. 538 H) dan kitab Mafātīh al-Gaib10 karya Fakhr alDīn al-Rāzī (w. 606 H). Sedangkan kitab tafsir modern yang penulis jadikan
referensi, yaitu kitab al-Taḥrīr wa al-Tanwīr11 karya Ibn ‘Āsyur (w. 1393 H) dan
kitab tafsir Fi Ẓilāl al-Qur’ān12 karya Sayyid Quṭb (w. 1386 H).
Kelima tafsir tersebut dijadikan rujukan karena kitab-kitab tafsir ini
merupakan kitab-kitab tafsir yang mempunyai bahasan yang luas serta tidak
mengabaikan aspek kebahasaan sehingga akan mempermudah bagi penulis dalam
mengidentifikasikan karakteristik lafal żikr, meskipun kitab-kitab tersebut
mempunyai corak penafsiran yang berbeda-beda. Namun meskipun begitu, penulis
Tafsir al-Ṭabarī adalah kitab tafsir tafsir yang menggunakan metode taḥlilī dan tergolong
tafsir bi al-ma’ṡūr sebab dalam menafsirkan beliau merujuk pada pandangan dan pendapat para
sahabat maupun tabiin riwayat-riwayat melalui hadis-hadis yang mereka riwayatkan. Selain itu, alṭabarī juga memberikan perhatian terhadap aspek kebahasaan Quran. Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī
‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Rasyīd, tt.), h. 364.
9
al-Kasysyāf merupakan kitab tafsir yang memakai metode penafsiran tahlili dan bercorak
lughawi (kebahasaan). Lihat Muhammad Husein al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Dār
al-Kutub, 1961), h. 305-307.
10
Dalam menafsirkan Quran, al-Rāzi memakai metode tahlili dan bercorak falsafi dan ilmi.
Namun, ia pun juga menjelaskan Quran dengan masalah-masalah uṣuliyah, nahwiyah, dan balaghiya
sebagaimana dalam masalah eksakta dan alam. Lihat Muhammad Husein Al-Żahabī, al-Tafsīr wa
al-Mufassirūn, h. 210.
11
Kitab tafsir karya Ibn ‘Āsyūr ini cenderung memakai metode tahlili dalam menafsirkan. Itu
bisa dilihat dari cara beliau memaparkan makna ayat demi ayat dari segala aspek kebahasaan dan
balagahnya dengan tujuan mendapatkan makna yang benar dari setiap ayat. Selain itu ia juga
menafsirkan ayat demi ayat secara muṣhafi dari surah al-Fatihah sampai surah al-Nas. Sedangkan
corak yang dipakai cenderung pada corak adabi ijtimia’i, yaitu penafsiran yang menjelaskan ayatayat Quran berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan dengan bahasa yang lugas dengan
menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur an untuk kemudian diaplikasikan di kehidupan
sosial, seperti pemecahan masalah yang berkembang di masyarakat. Lihat Muḥammad ‘Alī Ayāzī,
al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhājuhum (Teheran: Muassasah al-Tabāʻah wa al-Naṣr Wuzārah
al-Saqāfah wa al-Irsyād al-Islāmī, 1373 H), h. 246. Lihat pula Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar
Azizi, Membahas Kitab Tafsir Modern (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), h. 122.
12
Pada awalnya, kitab tafsir Fī Ẓilāl al-Qur`ān merupakan ulasan penafsiran Quran oleh
Sayyid Quṭb yang dimuat pertama kali dalam rubrik majalah al-Muslimūn edisi ke-3 yang terbit
pada bulan Februari 1952. Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir dengan metode tahlili dan corak
sastra yang kental dan mudah dipahami di samping konsep-konsep motivasi dan pergerakannya.
Lihat Nuim Hidayat, Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani
2005), h. 25.
8
7
tidak mengabaikan kitab-kitab tafsir lainnya, penulis juga merujuk pada kitab-kitab
tafsir yang lain, khususnya kitab-kitab tafsir yang bercorak lugawī (kebahasaan).
3. Perumusan Masalah
Karena lafal al-żikr dalam Quran terkadang dimaknai berbeda-beda antar
satu ayat dan ayat lainnya, dan penggunaan lafal al-żikr untuk menyebutkan Quran
pada ayat 9 surah al-Ḥijr [15] yang sering kali dijadikan dalil untuk melegitimasi
keautentikkan Quran menggugah penulis untuk meneliti maksud ayat ini lebih
lanjut, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana pemaknaan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 sehingga
dijadikan dasar untuk menjelaskan keautentikkan Quran?
C. Tinjauan Pustaka
Ketertarikan penulis pada pembahasan ini karena mayoritas umat muslim
menyamakan lafal al-żikr dengan Quran tanpa meninjau lebih jauh perbedaan antar
keduanya. Padahal setiap pemilihan kata dalam Quran pasti memiliki tujuan dan
hikmah. Menurut sepengetahuan penulis, pembahasan tentang keautentikan Quran
yang berdasarkan ayat 9 pada QS. al-Ḥijr banyak dibahas dalam buku-buku Sejarah
Quran dan kitab-kitab Ulumul Quran lainnya.
Pembahasan mengenai autentisitas Quran telah dibahas dalam beberapa
penelitian di bawah ini:
1. Sulaiman, Mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014,
dalam skripsinya berjudul “Pemeliharaan Otentisitas al-Qur’an dan Relasinya
dengan QS. al-Ḥijr: 9 Perspektif Mufasir Klasik dan Modern”, menjelaskan
tentang pemeliharaan autentisitas Quran sejak masa Nabi sampai sekarang serta
8
media pemeliharaannya. Dalam skripsi ini juga dijelaskan tentang pendapat
mufasir klasik dan modern atas penafsiran QS. al-Ḥijr [15]: 9. Skripsi ini lebih
menitikberatkan permasalahan pada penafsiran lafal laḥāfiẓūn pada ayat
tersebut. Hal itu terlihat dari pembahasannya tentang pemeliharaan Quran dan
media dalam memelihara Quran dari masa Nabi sampai saat ini sehingga Quran
terjaga dan terjamin keautentikkannya.
2. Dadan Rusmana, mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2000,
dengan tesisnya yang berjudul “al-Qur'an dalam Pandangan Islamolog
Kontemporer: Studi Kritis Terhadap Metodologi dan Tesis-Tesis John
Wansbrough dalam Studi al-Qur’an.” Seperti diketahui, John Wansborg
banyak membahas Quran termasuk tentang kodifikasi Quran hingga
berimplikasi pada autentisitas Quran. Dalam tesisnya ini, penulis mengkritisi
pendapat-pendapat John Wansborg dalam tesis-tesisnya.
Sedangkan penelitian yang berkenaan dengan pembahasan sinonimi dan
homonimi telah di bahas dalam beberapa karya ilmiah sebagai berikut:
1. Zahrudin, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2002, dengan
tesisnya yang berjudul “Sinonim di dalam al-Qur’an.” Dalam tesisnya ini,
Zahrudin mencoba menjelaskan Sinonim di dalam Quran dilihat dari berbagai
aspek.
2. Eka Syauqah, mahasiswa jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah, 2004, dengan skripsinya yang berjudul “Sinonim Bahasa
Arab dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia Kajian tentang Verba dalam
9
al-Qur’an.” Skripsi ini mengkaji tentang sinonim kata kerja yang ada dalam
Quran untuk kemudian dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia.
3. Fina Sulastri, mahasiswa jurusan Tarjamah fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah, 2008, dengan skripsinya yang berjudul “Penerjemahan
Sinonim Istilah Tauhid.” Skripsi ini menjelaskan tentang perbedaan sinonim
istilah tauhid dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia serta menjelaskan ayatayat Quran yang terdapat istilah tauhid yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan kata yang sama merupakan sinonim dan bisa saling
menggantikan atau tidak.
4. Yudiansyah, mahasiswa jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah, 2010, dengan skripsinya yang berjudul “Sinonim Kata
Berpikir dalam Kajian al-Qur'an.” Skripsi ini menjelaskan tentang cara
menerjemahkan sinonim dari istilah berpikir dalam Quran.
5. Ahmad Fauzi, mahasiswa Tarjamah fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011, dengan skripsinya yang berjudul “Analisis
Homonimi Kata Nafs dalam al-Qur'an Terjemahan Hamka.” Skripsi ini
menjelaskan tentang homonimi kata nafs dalam Quran terjemahan Hamka.
6. Kholilurrahman, mahasiswa Fak.Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah, 2007, dengan skripsinya yang berjudul “Taraduf (Sinonim)
dalam al-Qur’an : Telaah Pemikiran Muhammad Syahrur dalam al-Kitab wa
al-Qur’ān Qirā’ah Muʻāṣirah”.
Selain itu, penulis juga mencari penelitian-penelitian mengenai pembahasan
lafal dan makna Quran seperti di bawah ini:
10
1. Mansur, mahasiswa fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah,
2005, dengan skripsinya yang berjudul “Analisis Semiotik terhadap
Penerjemahan Kata Jihad dalam Tafsir al-Azhar.” Skripsi ini menjelaskan
tentang analisa penulis terhadap penerjemahan kata Jihad dalam Tafsir al-Azhar
dilihat dari segi semiotika.
2. Darojat, mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2007, dengan
tesisnya yang berjudul “Kata Nafs dalam al-Qur'an : Studi Semantik.” Tesis ini
menjelaskan tentang kajian semantik lafal nafs dalam Quran.
3. Zahrudin, mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana S3 UIN Syarif Hidayatullah dengan
program studi Pengkajian Islam, 2010, dengan disertasinya yang berjudul
“Relasi Makna dalam al-Qur'an : Analisis terhadap Kata-Kata yang Memiliki
Relasi Makna dalam al-Qur'an yang Diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia.”
Selain itu, Muḥammad Syahrūr dalam bukunya yang berjudul al-Kitāb wa alqur’ān: Qirā’ah al-Mu’āṣirah yang diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin
dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer,13
berpendapat bahwa dalam bahasa Arab, khususnya Quran, tidak mempunyai
tarāduf (sinonim) namun satu kata bisa saja mempunyai banyak arti (muṣtarak).
Maka atas dasar inilah Syahrur membedakan term Quran dengan al-furqān, al-żikr,
dan al-kitāb. Atas asumsi ini pula (ketiadaan sinonim atau tarāduf dalam bahasa
Arab) dan didukung oleh asumsi bahwa Allah meletakkan lafal-lafal Quran dengan
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern. Penerjemah
Sahiron Syamsuddin (Jogjakarta: elSAQ, 2004).
13
11
tepat dalam buku The Unity of al-Qur’an14 karya Amir Faisal Fath, penulis tertarik
untuk mengangkat skripsi ini.
Penelitian ini berbeda dengan literatur-literatur yang telah disebutkan di atas.
Meskipun penelitian ini membahas tentang keautentikkan Quran namun penulis di
sini lebih menekankan pada pemaknaan lafal al-żikr dalam Quran dan
penerapannya pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 khususnya dan dalam Quran pada umumnya.
Dengan demikian, judul dan tema yang penulis angkat ini berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Menjelaskan karakteristik lafal żikr yang dimaknai Quran dan yang bukan;
b. Menjelaskan perbedaan definisi dari nama-nama Quran (seperti al-furqān, alżikr, dan al-kitāb);
c. Menjelaskan maksud pemilihan diksi al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9.
d. Menjelaskan bahwa tidak semua lafal żikr dalam Quran bermakna peringatan
namun ada juga yang bermakna Quran, Lauḥ Maḥfūẓ, wahyu, dan lain-lain.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
a. Secara teoritis: penulis berharap akan semakin banyak penelitian mengenai
pemaknaan lafal-lafal Quran dengan menggunakan pendekatan semantis.
Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 75.
14
12
b. Secara praktis: hasil dari penelitian ini diharapkan mampu mempermudah
pembaca dalam menerka lafal-lafal żikr mana saja bermakna Quran dan yang
bukan dengan melihat susunan redaksinya sesuai dengan hasil penelitian dalam
skripsi ini.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian pustaka (library research). Penulis
mengumpulkan data penafsiran QS. al-Ḥijr [15]: 9 menurut ulama-ulama tafsir
kemudian meneliti makna lafal al-żikr pada ayat tersebut dan ayat-ayat yang
lainnya. Penulis menggunakan sumber-sumber tertulis sebagai bahan acuan, baik
itu sumber primer maupun sumber sekunder. Dengan demikian, jenis penelitian ini
adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi kepustakaan.
2. Data dan Sumber Data
a. Data
Data awal pada penelitian ini adalah data mengenai 99 lafal żikr dalam Quran
dan data tentang jumlah lafal żikr yang bermakna Quran15.
b. Sumber Data
Penulisan skripsi ini diambil dari data-data yang bersifat kepustakaan (library
research) dengan memilih Quran langsung sebagai sumber pokok. Sedangkan
Lafal żikr yang menunjukkan makna Quran disebut sebanyak sembilan kali dalam delapan
ayat di tujuh surah. Lihat Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013) h. 35.
15
13
untuk mempermudah membedakan lafal żikr yang bermakna Quran dan yang
bukan, penulis menggunakan kitab Quran terjemah perkata “Alhidayah”16.
Adapun sumber data sekunder yang penulis gunakan adalah kitab-kitab
kamus Quran dan kitab-kitab tafsir klasik dan modern. Kitab kamus Quran yang
menjadi rujukan penulis adalah kitab al-Muʻjam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān
karya Muhammad Abd. Al-Bāqī17, kitab Konkordinasi Qur’an karya Ali Audah18,
dan buku Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata karya Quraish Shihab19.
Sedangkan di antara kitab tafsir yang penulis gunakan adalah kitab tafsir alṬabarī20, Al-Zamakhsyarī21, Fakhr al-Dīn al-Rāzī22, Ibn ‘Āsyur23, dan Sayyid
Quṭb24.
Penulis juga mengutip beberapa kitab tafsir yang lain khususnya kitab-kitab
tafsir yang bercorak lugawī (kebahasaan) karena pendekatan yang penulis gunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan bahasa. Pendekatan ini, penulis rasa tepat
untuk mendapatkan perbedaan atau karakteristik antara lafal żikr yang bermakna
Quran dan yang bukan. Namun, meskipun penelitian ini bersifat kepustakaan,
penulis mengambil data dari nara sumber berdasarkan kebutuhan melalui
wawancara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tim Penyusun, Alhidayah Quran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka (Tangerang: Kalim,
16
2010).
17
Muḥammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān (Beirut: Dār alHadīṡ, 2007).
18
Ali Audah, Konkordinasi Qur’an (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1991).
19
Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007).
20
Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān (Kairo: Markaz al-Buḥūṡ wa
al-Dirāsah al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001).
21
Maḥmūd Ibn ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn
al-Aqāwīl fī Wujūh al-Tanzīl (Riyāḍ: Maktabah al-ʻAbikān, 1998).
22
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaīb (Beirut: Dār al-Fikr, 1981).
23
Muḥammad al-Ṭāhir Ibn ‘Āsyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (Tunisia: al-Dār alTūnisiyyah li al-Nasyar, 1984).
24
Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān (Tk.: Minbar al-Tauḥīd wa al-Jihād, t.t.).
14
3. Teknik Pencarian Data
Penulis menggunakan dua cara dalam mendapatkan data, yaitu mengambil
dari kitab-kitab atau buku-buku yang menjadi rujukan dan melalui wawancara
terhadap nara sumber. Pertama-tama, penulis mencari data ayat-ayat yang di
dalamnya terdapat lafal żikr bersama derivasinya dengan menggunakan kitab
qamūs al-Qur’ān karya Abd al-Bāqī (al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur'ān)25
dan Ali Audah (Konkordinasi Qur’ān)26. Dengan menggunakan kedua kitab
tersebut, penulis mendapatkan 267 lafal żikr bersama derivasinya dalam Quran. dari
267 lafal tersebut, penulis sortir hanya lafal żikr saja tanpa mengikutkan derivasinya
sehingga hanya terdapat 99 lafal żikr dalam Quran.
Selain mendapatkan data dari buku maupun kitab rujukan, penulis juga
mendapatkan data dengan mewawancarai Prof. Dr. Amin Suma, MA. Data yang
diperoleh dari beliau adalah data (tambahan) mengenai lafal-lafal żikr yang
bermakna Quran. Data yang diperoleh melalui kedua cara ini merupakan data awal
penulis untuk mendapatkan karakteristik lafal żikr yang bermakna Quran dan yang
tidak bermakna Quran. Hal ini dibutuhkan untuk mempermudah penulis dalam
menganalisa argumen pemilihan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9.
4. Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptifanalitik dengan pendekatan semantik. Metode deskriptif merupakan metode
penulisan yang digunakan untuk membahas satu permasalahan dengan meneliti,
25
Muḥammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān (Beirut: Dār alHadīṡ, 2007), h. 335-337.
26
Ali Audah, Konkordinasi Qur’an (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1991), h. 188190.
15
mengolah data, menganalisis, dan menginterpretasikan hal yang ditulis dengan
pembahasan yang teratur dan sistematis serta ditutup dengan kesimpulan dan
pemberian saran sesuai kebutuhan.27
Dengan pendekatan ini, penulis mengumpulkan ayat-ayat yang mengandung
lafal żikr baik yang bermakna Quran maupun yang bukan untuk kemudian
diklasifikasikan mana yang bermakna Quran dan mana yang dimaknai lainnya agar
mendapatkan karakteristik lafal żikr. Setelah mendapatkan hasil dari klasifikasi dan
karakteristik dari lafal żikr, barulah penulis terapkan pada penafsiran lafal al-żikr
dalam QS. al-Ḥijr [15]: 9.
Dalam mengklasifikasikan lafal żikr, pertama-tama penulis mencari arti kata
dari lafal żikr terlebih dahulu menggunakan kitab Quran terjemah perkata
“Alhidayah”28. Hal ini bertujuan supaya sedikit mempermudah dalam memilah
lafal-lafal żikr yang bermakna Quran dan yang tidak bermakna Quran. Dari
penelusuran arti 99 lafal żikr melalui kitab Quran terjemah perkata dan hasil
wawancara dengan nara sumber didapatkan hasil bahwa lafal żikr yang dimaknai
Quran disebut sebanyak lima belas kali dalam empat belas ayat di sepuluh surah,
yaitu QS. al-Ḥijr [15]: 6 dan 9, al-Naḥl [16]: 44, QS. Ṭāḥā [20]: 99, QS. Al-Furqān
[25]: 29, al-Anbiyā’ [21]: 2 dan 50, al-Syuʻarā’ [26]: 5, Yāsīn [36]: 11 dan 69, QS.
Ṣād [38]: 8 sebanyak dua kali dan pada ayat ke-49, QS. Fuṣṣilat [41]: 41, dan
terakhir di QS. al-Ṭalāq [65]: 10. Inilah yang kemudian penulis sebut sebagai data
setengah matang. Dikatakan data setengah matang sebab data yang dihasilkan tidak
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesi, 1999), cet. IV, h. 63.
Tim Penyusun, Alhidayah Quran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka (Tangerang: Kalim,
27
28
2010).
16
sesuai dengan temuan awal bahwa lafal żikr yang dimaknai Quran sebanyak
sembilan kali dalam delapan ayat di tujuh surah. Dan ini memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Setelah mendapatkan data setengah matang, penulis kemudian mengecek
pada kitab-kitab tafsir yang penulis jadikan rujukan dan dari data ini penulis
mencari persamaan global pada ayat-ayat itu hingga cocok dengan temuan awal,
yaitu sebanyak sembilan kali dalam delapan ayat di tujuh surah. Setelah mengetahui
ayat-ayat mana saja yang dimaknai Quran barulah kemudian penulis membuat
karakteristik dari lafal żikr yang dimaknai Quran dan yang tidak dimaknai Quran.
Sementara itu, dalam menelusuri makna lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9,
penulis menggunakan pendekatan semantik, yaitu suatu kajian linguistik yang
mengkaji arti bahasa.29 Semantik adalah ilmu yang membahas tentang arti kata atau
kalimat dan tentang bagaimana arti tersebut dibentuk oleh arti setiap komponen
yang turut membentuknya. Tujuan akhir dari semantik adalah membangun teori
yang bersifat umum tentang arti.30 Secara gamblangnya, semantik adalah satu studi
dan analisis tentang makna-makna linguistik.31 Dengan menggunakan pendekatan
ini, penulis dapat mengetahui arti leksikal32 lafal al-żikr dan arti gramatikalnya33
pada QS. al-Ḥijr [15]: 9.
Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa (Jakarta: Transpustaka,
2011), h. 4.
30
Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, h. 5.
31
J. D. Parera, Teori Semantik Edisi Kedua (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 42.
32
Arti leksikal adalah suatu ungkapan linguistik secara keseluruhan atau umum. Lebih
jelasnya, arti leksikal adalah arti ungkapan seperti yang ada pada kamus (dictionary words). Oleh
sebab itu, arti leksikal lebih kaya dan lebih kompleks dari pada arti gramatikal. Makyun Subuki,
Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa, h. 46.
33
Arti gramatikal diartikan sebagai arti dari struktur gramatikal. Dengan demikian, arti
gramatikal tidak hanya digunakan untuk satu macam fenomena arti saja namun juga menerangkan
arti yang terdapat dalam kategori gramatikal yang merupakan satuan analisis dalam morfologi,
29
17
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi
dalam buku “Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Program Strata 1
2010/2011” yang disusun oleh Tim Penyusun dan diterbitkan pada tahun 2010.
Dalam penulisan skripsi ini, ada dua istilah yang perlu dibedakan
pemahamannya, yaitu term ‘Quran’ (sesuai KBBI)34 dan term ‘al-qur’ān’ (alih
aksara dari Bahasa Arab). Term ‘Quran’ pada skripsi ini berarti firman Allah yang
diturunkan pada Nabi Muhammad saw. sedangkan term ‘al-qur’ān’ berarti Quran
(firman Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw.) yang berupa ucapan.
Kedua kata ini penulis bedakan untuk menghindari kerancuan pemahaman.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyajikannya dalam bentuk bab
disertai subbab-subbab yang saling berkaitan. Hal itu penulis maksudkan agar
lebih mudah dalam memahami bahasan yang dikaji atau diteliti.
Bab pertama yakni pendahuluan. Dalam pendahuluan ini penulis membahas
tentang latar belakang masalah dari kajian ini, kemudian identifikasi, pembatasan,
dan perumusan masalah yang akan penulis kaji, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian pustaka, metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan dari penelitian
ini. Bab pertama ini menjelaskan gambaran umum dari penelitian dalam skripsi ini.
Bab kedua menjelaskan kerangka dan landasan dasar dari skripsi ini, yaitu
mengenai ketepatan Allah sebagai penutur dari Quran dalam pemilihan diksi pada
terutama nomina, verba, dan adjektiva. Makyun Subuki, Semantik: Pengantar Memahami Makna
Bahasa, h. 47.
34
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet.
III, h. 916.
18
suatu ayat, dan ketiadaan sinonim dalam bahasa Arab, khususnya Quran. Ini
merupakan asumsi dasar penulis sehingga berakibat pada perbedaan makna
mendasar dari term-term yang dibahas.
Bab ketiga penulis menganalisa karakteristik lafal żikr dalam Quran
sehingga dapat membuktikan konsistensi Quran dalam membentuk suatu ayat.
Pada bagian ini, penulis mengklasifikasikan lafal żikr dalam Quran dengan
membaginya menjadi dua bagian, yaitu yang dimaknai Quran dan yang tidak
dimaknai Quran. Selanjutnya, penulis mencoba mencari karakteristik lafal żikr.
Bagaimana pola kalimat lafal żikr sehingga bisa dimaknai Quran.
Bab keempat berisi tentang penerapan dari hasil penelitian pada bab IV
terhadap QS. al-Ḥijr [15]: 9. Bagian ini akan dipaparkan penafsiran secara umum
lafal al-żikr sebagai Quran menurut ulama tafsir, di antaranya menurut Imam alṬabarī, Al-Zamakhsyarī, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Ibn ‘Āsyur, dan Sayyid Quṭb.
Setelah itu, penulis akan menganalisa penggunaan lafal al-żikr pada ayat ini.
Dengan menggunakan hasil riset pada bab ketiga penulis mencoba menganalisa
mengapa pada ayat ini Allah swt. lebih memilih untuk memakai lafal al-żikr dari
pada lafal-lafal lain yang bermakna Quran seperti lafal al-qur’ān, al-furqān, atau
al-kitāb. Dengan demikian dapat diketahui Quran yang seperti apa yang terjaga
itu.
Bab kelima adalah penutup yang isinya berupa kesimpulan dari penelitian
ini dan saran-saran bagi para pembaca dan himbauan serta saran untuk peneliti
selanjutnya, agar diberikan kritik terhadap hasil penelitian ini jika terdapat
kekurangan dan kekeliruan.
BAB II
KETEPATAN DIKSI QURAN
A. Ketepatan Allah dalam Pemilihan Diksi pada Ayat-Ayat Quran
Pemilihan kata (diksi) yang tepat merupakan hal mutlak yang harus dikuasai
oleh penutur maupun penulis. Pada dasarnya, pemilihan kata atau diksi berkaitan
erat dengan masalah ketepatan dan kesesuaian memilih kata-kata. Dikatakan tepat
agar gagasan sang penulis atau penutur dapat diwakili oleh kata-kata yang tepat
sehingga pengungkapan gagasan tersebut terlihat logis. Sedangkan dikatakan sesuai
agar pilihan kata sang penulis atau penutur selaras dengan konteks, nilai-nilai sosial,
atau sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. 1 Sebagai contoh kecilnya yaitu
pencekalan musisi terkenal, Iwan Fals, pada masa orde baru di mana freedom of
speech hanya merupakan istilah. Iwan Fals pernah dicekal gara-gara lagunya yang
berjudul “Bento”. Lagu yang yang merupakan kepanjangan dari Benteng Soeharto
ini dicekal dan dilarang beredar lirik lagunya yang dianggap menghina Soeharto.2
Lirik lagu “Bento” tersebut meskipun didukung rangkaian kata yang tepat namun
tidak selalu dapat diterima pada masa orde baru karena tidak sesuai dengan ‘norma’
rezim orba.
Begitu pun dengan Quran yang merupakan kitab sastra Arab terbesar (kitāb
al-arabiyyah al-akbar) yang pernah ada.3 Pemilihan kata-kata atau lafal-lafalnya
Wahyu Wibowo, Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam
Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2001), h. 26.
2
Shanti & Ve Handojo, Shanti Bongkar Rahasia, Bagi Cerita (Jakarta: GagasMedia, 2011),
h. 196.
3
Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsa Press, 2005), h.
11.
1
19
20
sangat tepat dan sesuai dengan konteks. Ketepatan dan kesesuaian kata maupun
redaksi atau teks dengan konteks ini menjadikan asabāb al-nuzūl Quran sebagai
aspek penting dalam hal pengambilan hukum yang berdasarkan ayat-ayat Quran.4
Itulah bukti kesatuan Quran, penggunaan huruf-huruf dan kata-kata yang Allah
pilih berdasarkan tujuan serta diletakkan pada posisi yang tepat. 5 Dalam Quran,
tidak ada huruf yang tidak punya tujuan bahkan meski hanya satu huruf saja. Seperti
pada QS. al-Syūrā [42]: 11
        ...
“... Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha
Mendengar dan Melihat.”
Imam al-‘Iṣfaḥānī dan ulama lainnya mengatakan huruf ‘kāf’ pada ayat di atas
mempunyai peranan penting dan tujuan tertentu, bukan semata-mata tambahan
yang terpisah dan tidak bermakna (secara huruf ‘kāf’ dan lafal ‘miṡl’ mempunyai
arti yang sama). Penyatuan huruf ‘kāf’ dengan lafal ‘miṡl’ menegaskan makna
“tidak adanya keserupaan”. Dengan demikian, huruf ‘kāf’, meski cuma satu huruf,
memiliki fungsi tertentu dan merupakan kesatuan dengan keseluruhan struktur
ayat.6
Contoh lainnya adalah penggunaan huruf ‘fā’’ dalam firmannya QS. alBaqarah [2]: 37
            
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 213.
Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an. Penerjemah Nasirudiin Abbas (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2010) h. 75.
6
Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 76-77.
4
5
21
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”
Sebagaimana yang dikutip Amir Faishal Fath dari Abū Sa’ūd dalam bukunya
yang berjudul Irsyād al-Aql al-Sālim ilā Mazāyā al-Qur’ān al-Karīm7, huruf ‘fā’’
pada kalimat ‘talaqqā’ menunjukkan bahwa tobat Nabi Ādam as. langsung diterima
setelah ia diperintahkan untuk bertobat, sebelum perintah itu sendiri dilaksanakan.
Sedangkan huruf ‘fā’’ pada kalimat ‘tāba’ menunjukkan rangkaian penerimaan
Nabi Ādam as. terhadap perintah Allah swt. sekaligus menguatkan makna tobat
yang berarti mengakui dosa disertai tekad untuk tidak mengulanginya. 8
Contoh lainnya yaitu penggunaan huruf ‘wāu’ pada QS. al-Zumar [39]: 73
             
       
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga
berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu
sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjagapenjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka
masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”
Kemudian bandingkan dengan ayat 71 pada surah yang sama:
             
           
          
Abū Su’ūd, Irsyād al-Aql al-Sālim ilā Mazāyā al-Qur’ān al-Karīm (Beirut: Dār Ihyā’ alTurāṡ al-‘Arabī, 1990), cet. II, h. 92.
8
Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 77.
7
22
“Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombongan.
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan
berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang
kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat
Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?"
Mereka menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan
azab terhadap orang-orang yang kafir.”
Jika diperhatikan, masing-masing ayat tersebut digambarkan dengan redaksi
yang serupa kecuali penyebutan nama kelompok, tempat yang mereka huni, dan
ucapan para malaikat penjaga surga dan neraka. Namun, ada perbedaan kecil pada
dua redaksi ayat di atas yang sepintas bisa jadi tidak diperhatikan sama sekali
bahkan dianggap tidak perlu, yaitu penambahan huruf ‘wāu’ pada kata ‘futiḥat’
untuk calon penghuni surga (lihat ayat 73) sedangkan huruf tersebut tidak terdapat
pada uraian tentang penghuni neraka (lihat ayat 71).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, setiap kata bahkan setiap huruf yang
Allah sebutkan dalam Quran merupakan satu kesatuan dan pasti memiliki tujuan
tertentu. Begitu pula dengan kedua ayat ini (QS. al-Zumar [39]: 71 dan 73). Untuk
lebih mudah memahami maksud penambahan huruf ‘wāu’ pada ayat 73, yang tidak
terdapat pada ayat 71, penulis akan memaparkan analogi kedua ayat tersebut
dengan ilustrasi di bawah ini:
Jika Anda mengantarkan seorang penjahat ke penjara, Anda akan
menemukan pintu penjara tersebut tertutup rapat. Pintu tersebut baru akan
dibuka ketika apabila terpidana akan dimasukkan ke dalam penjara. Berbeda
dengan seseorang yang Anda hormati dan dinantikan kedatangannya, jauh
sebelum orang tersebut tiba, pintu gerbang telah terbuka lebar untuk
menyambutnya. Berbeda dengan keadaan penjahat tadi.
23
Ilustrasi di atas menggambarkan maksud dari ayat ke-71 dan 73 pada QS. alZumar [39]. Untuk menggambarkan keadaan terbukanya pintu ini, ayat 73 tersebut
menambahkan huruf ‘wāu’. Dengan demikian, penambahan huruf ini mempunyai
maksud tertentu dan mempunyai peranan penting dalam ayat 73.9
Tidak hanya penggunaan huruf saja yang diletakkan pada posisi yang tepat
dan memiliki peranan penting dalam ayat, melainkan Quran juga sangat teliti dalam
pemilihan kosakatanya dan penempatannya.10 Quran senantiasa menggunakan
serangkaian kosakata yang sudah akrab dan dalam komposisi yang fasih dan
ekspresif. Bahkan dalam sejumlah kasus, Quran cenderung memilih komposisi
kalimat yang lain dari pada menggunakan beberapa kosakata yang dalam bahasa
aslinya (bahasa Arab) tergolong fasih namun menurutnya dianggap mempunyai
bobot yang berat (kurang fasih).11
Sebagai contoh, untuk menunjukkan makna ‘batu bata’ yang dalam bahasa
Arabnya adalah ‘qirmīd’, Allah lebih memilih menggunakan istilah tanah liat (ṭīn)
yang dibakar ketimbang dengan ‘qirmīd’ yang berarti batu bata.12 Sebagaimana
firman Allah pada QS. al-Qaṣāṣ [28]: 38 di bawah:
            
            
 
Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Pemberitaan Gaib (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013), h.136-138.
10
Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Pemberitaan Gaib, h. 149.
11
Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 56.
12
Amir Faishal Fath, The Unity of al-Qur’an, h. 56.
9
24
“Dan berkata Fir´aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian
buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan
Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang
pendusta"
Ayat di atas menjelaskan tentang kisah kekafiran Fir‘aun la’nat Allāh dan
kebohongannya, yaitu pengakuan dirinya sebagai tuhan satu-satunya. Ia
memerintahkan Hāmān, penata rakyat dan penasihat kerajaannya, untuk membakar
tanah liat, yaitu proses pembuatan batu bata yang bertujuan untuk membangun alṣarḥ (istana megah yang sangat tinggi) guna membuktikan kepada rakyatnya
tentang kebohongan dakwah Musa as. yang mengatakan bahwa ada tuhan selain
dia.13
Itulah beberapa contoh dari ketelitian Allah dalam memilih lafal-lafal Quran
sehingga sesuai dengan maksud yang ingin dicapai atas diturunkannya Quran. Wa
Allah aʻlam.
B. Sinonim (Mutarādif)
1. Sinonim dalam Bahasa Indonesia
Secara bahasa kata sinonim berasal dari dua kata, yaitu kata syn yang berarti
sama dan kata onoma yang berarti nama.14 Sehingga sinonim dapat diartikan sebagai
bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa lain.15 Secara
gamblang, sinonim adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama.16
Isma‘īl Ibn ‘Umar Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Riyadh: Dār Ṭayyibah li al-Nasyr
wa al-Tauzīʻ, 1999), cet II, j. 6, h. 238.
14
J.W.M. Verhaar, Pengantar Linguistik (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983),
h. 132.
15
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), cet.
4, h. 1072.
16
Yustinah dan Ahmad Iskak, Bahasa Indonesia Tataran Madia untuk SMK dan MAK XI
(Jakarta: Erlangga, 2008), h. 57.
13
25
Sebenarnya, dalam ilmu bahasa murni kata yang benar-benar sama maknanya
tidak diakui keberadaannya. Setiap kata memiliki makna yang berlainan meski
saling tumpang tindih dengan kata yang lain. Tumpang tindih ini yang membuat
konsep sinonim muncul dan diterima di masyarakat luas.17
Adapun hal-hal yang menyebabkan terjadinya sinonim dalam bahasa
Indonesia adalah sebagai berikut:
Proses serapan dari bahasa asing, yaitu penerimaan kata-kata baru yang

sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Contoh: prestasi
dan produksi yang sama-sama bermakna hasil, kitab dengan buku, sekolah
dengan madrasah, dan lain sebagainya.
Penyerapan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Jarak dan wilayah

mempengaruhi pembentukan kosakata walaupun referennya sama. Seperti tali
dan tambang, parang dan golok, dan sebagainya.
Karena makna emotif (nilai rasa) dan evaluatif. Makna kognitif dari sebuah kata

yang bersinonim tetap sama hanya nilai evaluatif dan nilai emotifnya berbeda.
Contoh: ekonomis dengan irit atau hemat, perawan dengan gadis atau dara, dan
sebagainya.18
2. Sinonim dalam Quran
a. Pengertian Sinonim dan Faktor-Faktor Penyebab Kemunculannya
dalam Bahasa Arab
Berbicara tentang unsur-unsur kebahasaan Quran sama saja dengan membahas
Yustinah dan Ahmad Iskak, Bahasa Indonesia Tataran Madia untuk SMK dan MAK XI, h.
17
57.
57-58.
Yustinah dan Ahmad Iskak, Bahasa Indonesia Tataran Madia untuk SMK dan MAK XI, h.
18
26
kaidah-kaidah berbahasa Arab. Sehingga dalam kaitannya membahas sinonim
dalam Quran akan dipaparkan penjelasan mengenai sinonim dalam Bahasa Arab.
Dalam bahasa Arab, sinonim diistilahkan dengan tarāduf atau mutarādif. Definisi
tarāduf atau mutarādif dalam ruang lingkup bahasa Arab telah banyak
dikemukakan oleh para ahli linguis baik klasik maupun kontemporer.
al-Fakhr al-Rāzī berpendapat bahwa sinonim adalah lafal-lafal yang
menunjukkan suatu gambaran yang sama.19 Sedangkan menurut Jalāl al-Dīn alSuyūṭī, sinonim adalah kata yang berbeda bentuknya namun sama maknanya.20
Dengan redaksi yang berbeda, Ḥākim Mālik al-Ziyādī pun memberikan pengertian
sinonim, menurutnya sinonim merupakan kesatuan makna dan acuan yang berasal
dari beberapa kata tunggal yang berbeda-beda.21 Sementara itu menurut Ramḍān
‘Abd al-Tawwāb, sinonim adalah kata-kata yang memiliki kesatuan makna serta
saling berterima ketika digunakan dalam situasi apa pun.22
Dari beberapa definisi para ahli di atas, meski dengan ungkapan dan redaksi
yang berbeda-beda namun maksud yang dituju adalah sama. Dapat diambil garis
besar bahwa pengertian sinonim (tarāduf) baik dalam bahasa Indonesia maupun
bahasa Arab tidak memiliki perbedaan yang signifikan sehingga tarāduf dapat
diartikan pula sebagai dua kata atau lebih yang maknanya kurang lebih sama.23
Dikatakan “kurang lebih” karena dua atau lebih kata yang bersinonim tidak persis
Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah (Beirut: ‘Alām al-Kutub, 1998), cet. V, h. 215.
Emīl Badī’ Ya’qūb, Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa Khaṣāisuha (Beirut: Dār al-ʻIlm li alMalāyīn, 1982), h. 173.
21
Ḥākim Malik al-Ziyādī, al-Tarāduf fi al-Lugah (Bagdād: Dār al-Ḥurriyyah li al-Ṭabāʻah,
1980), h. 32.
22
Ramḍān ‘Abd al-Tawwāb, Fuṣūl fī Fiqh al-Lugah (Mesir: Maktabah al-Khānajī, 1999), cet.
VI, h. 309.
19
20
Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 73.
23
27
sama. Yang sama hanyalah informasinya saja namun maknanya tidak persis sama.
Sedikit-banyak akan terdapat perbedaan antara kata-kata yang bersinonim baik sifat
maupun penempatan katanya dalam kalimat.
Dalam kajian sinonim pada bahasa Arab terdapat juga faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya tarāduf (asbāb nusyūʻ al-tarāduf). Di antaranya24 adalah:
1. Akibat serapan dari bahasa asing;25
2. Perbedaan dialek (lahjah), baik yang disebabkan oleh perbedaan tempat
(dialek regional)26, perbedaan waktu (temporal)27, maupun dialek sosial28;
3. Perbedaan ragam bahasa (al-nauʻiyyah) yang dibagi menjadi dua ragam
bahasa, yaitu resmi dan tidak resmi;29
4. Laras Bahasa atau Gaya Bahasa (al-majāl).30
Lihat Ibrāhīm Anīs, Fī al-Lahjāt al-‘Arabiyyah (Mesir: Maktabah al-Anjlū, 2008), h. 157159. Lihat pula Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Muzhir fī ‘Ūlūm al-Lugah wa Anwāʻihā (Kairo: alMaktabah al-Azhariyyah, tt.), j. I, h. 241. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, h. 74-75.
25
Contoh kata al-kambyūtīr (redaksinya: ‫ )اﻟﻜﻤﺒﻴﻮﺗﲑ‬yang berasal dari bahasa Inggris dianggap
24
sinonim dengan kata al-ḥāsūb, kata tayātru (redaksinya:
‫ )ﺗﻴﺎﺗﺮو‬yang berasal dari bahasa Italia
dianggap sinonim dengan kata masraḥ yang berarti drama. Namun, dalam beberapa konteks katakata tersebut tidak bisa saling bertukar tempat antara satu dengan lainnya meskipun kata-kata
tersebut dianggap sinonim. Misal kata ‫( ﻣﺴﺮح اﳉﺮﳝﺔ‬drama kejahatan) tidak bisa ditukar dengan ‫ﺗﻴﺎﺗﺮو‬
‫اﳉﺮﱘ‬. Sebab yang dimaksud ‘drama kejahatan’ di sini adalah kronologi terjadinya kejahatan, bukan
teater atau penampilan kejahatan.
26
Contoh sinonimi yang disebabkan perbedaan dialek regional, yaitu lafal qasama (dialek
Qaḥṭān) dan lafal khalafa (dialek Quraisy), kedua kata ini sama-sama berarti bersumpah.
27
Contoh sinonimi yang disebabkan perbedaan dialek temporal, yaitu untuk menjuluki
seorang pemimpin, pada zaman para-Islam menggunakan panggilan Imām sedangkan pada masa
permulaan Islam, seorang pemimpin dipanggil dengan sebutan Khalīfah.
28
Yaitu perbedaan dialek yang disebabkan status sosial masyarakat. Contoh, kata mujaddid
(pembaharu) dianggap bersinonim dengan kata taqaddumī dan ṡaurī. Kata mujaddid memiliki makna
positif, berkelas tinggi, dan dapat diterima di beberapa negara Arab. Namun kata mujaddid tidak bisa
ditukar dengan kata taqaddumī atau ṡaurī walaupun ketiganya bersinonim. Sebab kata taqaddumī dan
ṡaurī memiliki makna yang mencerminkan seseorang yang reaksioner, pemberontak, dan sebagainya.
29
Ragam bahasa resmi biasanya digunakan dalam forum-forum resmi sedangkan bahasa Arab
ragam tidak resmi biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari. Contoh, lafal nuqūd (ragam
resmi) dan fulūs (ragam tidak resmi) yang sama-sama berarti uang, lafal ‘aqīlah (resmi) dan lafal
imra’ah (tidak resmi) yang sama-sama berarti istri, dan sebagainya.
30
Contoh sinonimi yang disebabkan oleh perbedaan laras bahasa di antaranya lafal ḥukm
(laras hukum negara) dengan lafal syarīʻah (laras agama).
28
5. Banyaknya penyebutan untuk satu benda karena faktor agama, seperti kata
kursiy, ‘arsy, dan maqʻad;
6. Adanya perkembangan bahasa;
7. Pengucapan dua kata yang mirip pada kata yang huruf dan jumlahnya sama
hanya susunannya saja yang berbeda atau adanya dua kata atau lebih yang
jumlah hurufnya sama hanya saja salah satu hurufnya berbeda;
8. Banyaknya kata yang digunakan sebagai kata sifat.31
Itulah beberapa faktor terjadinya sinonim dalam bahasa Arab. Namun, tidak
serta-merta setiap kata yang maknanya sama bisa dikatakan sinonim, Ibrāhīm Ānis
mengemukakan beberapa syarat kata tersebut bisa dikategorikan sinonim, antara
lain:
1. Kata-kata yang dianggap sinonim harus muncul dalam satu masa;
2. Kata-kata yang dianggap sinonim harus ada persesuaian arti;
3. Kata-kata yang dianggap sinonim harus berada dalam lingkungan bahasa
tertentu dan geografis tertentu.
Dari adanya persyaratan mengenai sinonim di atas, tampaknya para ahli
bahasa tidak begitu saja dalam menentukan apakah kata-kata bisa disebut sinonim
atau tidak. Mereka mencoba memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat
dengan tujuan mengetahui sejauh mana persamaan dan perbedaan makna beberapa
kata yang dianggap sinonim tersebut agar dapat digunakan secara tepat dalam
penggunaannya di sebuah kalimat.
Zahrudin, “Relasi Makna dalam Quran: Analisis terhadap Kata-Kata yang Memiliki Relasi
Makna dalam Quran Yong Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia”, (Disertasi Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010), h. 105.
31
29
Terlepas dari itu, berikut ini adalah beberapa contoh lafal-lafal dalam ayat
Quran yang dianggap sinonim:32
1. Lafal al-khauf dan al-khasyyah
Kedua kata ini dapat diartikan dalam makna yang sama, yaitu takut. Kendati
demikian, dalam Quran penggunaan keduanya ternyata berbeda. Di antara
perbedaan antara keduanya adalah bahwa khasyyah menunjukkan rasa takut yang
sangat karena sesuatu yang ditakuti dianggap agung walaupun orang yang takut itu
bermental kuat. Berdasarkan alasan ini, Mannāʻ al-Qaṭṭān mengatakan bahwa kata
khasyyah pada umumnya disandarkan kepada kata Allah, seperti:
     
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama” (QS. Fāṭir [35]: 28)
Kata khasyyah pada ayat ini diartikan dengan takut yang sangat, yaitu takut
kepada Allah yang Mahaagung. Sedangkan pemakaian kata khauf biasanya untuk
menunjukkan perasaan takut terhadap sesuatu yang dinilai akan berakibat tidak baik
untuk dirinya, seperti dalam QS. Hūd [11]: 103:
       
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang takut kepada azab akhirat....”
Kata khauf pada ayat diungkapkan untuk menunjukkan takutnya seseorang
pada azab yang akan diterima di akhirat.
Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama
RI, 2008), h. 155-168.
32
30
2. Lafal al-syuḥḥ dan al-bukhl
Kedua term ini sama-sama memiliki arti kikir namun penggunaannya
berbeda. Term bukhl memiliki arti kikir dalam hal harta, seperti keengganan untuk
mengeluarkan zakat, tidak mau menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah,
atau tidak mau bersedekah kepada orang miskin. Sedangkan term syuḥḥ
menunjukkan arti kikir dalam segala hal, baik harta maupun kebaikan. Di bawah
ini contoh penggunaan term bukhl dan syuḥḥ:
    
“Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup” QS. alLail [92]: 8.
Menurut al-Ṭabarī, makna bakhila pada ayat ini adalah enggan untuk
menginfakkan hartanya di jalan Allah.33
           
            
              
“Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu Lihat
mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik- balik seperti orang
yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka
mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat
kebaikan. mereka itu tidak beriman, Maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya.
dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” QS. al-Aḥzāb [33]: 19.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik yang telah
menyakiti orang Muslim dengan lisannya, malas untuk berperang, dan tidak mau
Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān ‘an Ta’wīl al-Qur’ān (Kairo: Markaz alBuḥūṡ wa al-Dirāsāt al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001), j. 24, h. 466.
33
31
berinfak pada orang fakir.
3. Lafal al-sabīl dan al-ṭarīq
Kedua kata ini mempunyai arti yang sama, yaitu jalan. Namun, dalam
penggunaannya, term sabīl pada umumnya digunakan untuk menunjukkan arti jalan
kebaikan, seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 195:
              
 
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Sedangkan kata ṭarīq bersifat relatif tergantung pada kata apa ia disandarkan.
Maka dari itu, kata ṭarīq bisa berarti jalan yang baik dan bisa juga jalan yang tidak
baik, seperti pada ayat-ayat di bawah ini:
             
           
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah
sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan
menunjukkan jalan kepada mereka. [168] Kecuali jalan ke neraka Jahannam;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. dan yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah. [169]” QS. al-Nisā’ [4]: 168-169.
            
      
“Mereka berkata: "Hai kaum Kami, Sesungguhnya Kami telah
mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang
membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan
32
kepada jalan yang lurus.” QS. al-Aḥqāf [46]: 30.
4. Lafal jā’a dan atā
Kedua kata ini mempunyai arti yang sama, yaitu datang. Namun, dalam ayatayatnya, Quran sering kali membedakan pemakaiannya. Kata jā’a digunakan dalam
hal yang berkenaan dengan materi, seperti pada QS. Yūsuf [12]: 72:
            
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya".”
Subjek dari kata jā’a adalah ism mauṣul ‘man’ yang berupa materi, yaitu
manusia. Sedangkan untuk menunjukkan datangnya waktu atau sesuatu yang
bersifat abstrak, maka digunakan kata atā, seperti pada ayat di bawah ini:
          
“Telah pasti datangnya ketetapan Allah. Maka janganlah kamu meminta
agar disegerakan (datang) nya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang
mereka persekutukan.” QS. al-Naḥl [16]: 1.
5. Lafal al-tamām dan al-kamāl
Kedua kata ini memiliki arti yang sama, yaitu kesempurnaan. Namun,
penggunaannya dalam Quran dibedakan. Kata tamām digunakan untuk
menyempurnakan kekurangan yang ada pada substansi dari sesuatu. Sedangkan
kata kamāl untuk penggunaan yang sebaliknya, yaitu untuk menyempurnakan
kekurangan yang bukan pada substansi, setelah hal-hal yang bersifat substansi telah
sempurna. Contohnya pada QS. al-Mā’idah [5]: 3:
33
          
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.”
Jika diperhatikan, kata akmaltu disandarkan pada agama sedangkan kata
atmamtu disandarkan pada nikmat. Sesuai dengan kaidah di atas bahwa substansi
dari agama sebenarnya telah sempurna sehingga yang disempurnakan oleh Tuhan
dalam hal ini adalah kekurangan-kekurangan yang tidak berkaitan dengan substansi
sebab ajaran agama Tuhan mesti sudah sempurna. Dengan kata lain, dapat
dikemukakan bahwa kekurangan tersebut hanya berkaitan dengan substansi agama
yang masih belum diwahyukan dan bukan pada kurang sempurnanya ajaran itu
sendiri. Sedangkan kata atmamtu yang disandarkan kepada nikmat mengindikasikan
bahwa yang disempurnakan oleh Tuhan adalah substansi dari nikmat itu sendiri.
Nikmat yang dimaksud dalam ayat ini, menurut al-Syaukānī, adalah kesempurnaan
agama Islam, yaitu dengan dikuasainya kota Makkah oleh orang Islam dan
runtuhnya imperium kafir.
b. Pro-Kontra Sinonim dalam Quran
Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam menyikapi sinonim dalam bahasa
Arab. Hal ini disebabkan tidak adanya kesepakatan antara mereka mengenai
pengertian atau definisi dari makna sinonim yang sebenarnya.
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan pandangan pakar bahasa mengenai
sinonim dalam bahasa Arab. Penulis mengelompokkan para ahli menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok yang menolak adanya sinonim dan kelompok yang
menerima adanya sinonim.
34
1. Penerima adanya Tarāduf
Orang pertama yang mendukung adanya tarāduf pada bahasa Arab adalah Abū
Zaid al-Anṣārī (w. 215 H) pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga.34 Bahkan alAnṣārī mengoleksi kata-kata yang bersinonim. Selain al-Anṣārī, tokoh lain yang
mendukung adanya sinonim dalam bahasa Arab, yaitu Ibn al-‘Arabī (w. 232 H)35
dan al-Asmāʻī (w. 216 H). Pada abad keempat, muncul ulama lain yang mendukung
adanya sinonim dalam bahasa Arab, ialah Ibn Khalawaih (w. 370 H) sedangkan pada
abad kedelapan terdapat al-Fairuzzabadi (w. 911 H) dengan kamusnya yang
terkenal, yaitu Al-Muhīṭ.
Kelompok ini berargumen bahwa ketika seseorang mau menjelaskan kata lubb
maka harus menemukan kata yang searti dengan kata tersebut. Makna yang searti
dengan kata lubb misalnya adalah kata al-ʻaql. Sebagaimana yang dikemukakan Ibn
Fāris dalam kitabnya al-Ṣāhibī bahwa setiap kata memiliki arti yang lain yang dapat
menjelaskan kata yang semakna. Contoh lainnya adalah kata raib pada QS. alBaqarah [2]: 3. Kebanyakan ulama tafsir menjelaskan kata lā raib dengan kata lā
syakk karena keduanya memiliki arti yang sama. Jika asumsi tarāduf tidak ada, maka
niscaya kata lā syakk tidak bisa menggantikan tempat lā raib pada ayat tersebut. Dan
jika kata lā syakk tidak sepadan dengan kata lā raib maka penafsiran lā raib oleh
kata lā syakk tidak bisa dibenarkan.36
Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 99.
Sebagian ahli ada juga yang memasukkan Ibn al-‘Arabī pada kelompok yang menolak
adanya sinonim berdasarkan pernyataannya bahwa: ”Setiap dua huruf yang diucapkan oleh bangsa
Arab pasti memiliki satu makna dan setiap masing-masing huruf dari keduanya pasti memiliki
perbedaan antara satu dengan lainnya.” Lihat Muṣṭafā Ṣādiq al-Rāfiʻī, rikuh Ādāb al-‘Arabī (Mesir:
t.pn., 1940), j. I, h. 405. Lihat pula Muhammad Ḥusain ‘Ālī Yāsīn, al-Dirāsāt al-Lugawiyyah ‘inda
al-‘Arab ḥattā Nihāyat al-Qarn al-Ṡāliṡ (Beirut: Dār Maktabah al-Ḥadīṡ, 1980), h. 415.
36
Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 216.
34
35
35
Untuk memperkuat argumen mereka, mereka juga membuktikan keberadaan
sinonim dengan memaparkan hadis Nabi yang mengindikasikan keberadaan
sinonim.
‫ ﻟﻘﻲ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻗﺪ وﻗﻌﺖ ﻣﻦ‬،‫َوس ﻋﺎم ﺧﻴﱪ‬
ٍ ‫أن أﺑﺎ ﻫﺮﻳﺮة ﳌﺎ ﻗﺪم ﻣﻦ د‬
،‫ اﳌﺪﻳﺔ ﺗﺮﻳﺪ؟ وأﺷﺎر إﻟﻴﻬﺎ‬:‫ ﰒ ﻗﺎل‬،‫ ﻓﻜﺮر ﻟﻪ اﻟﻠﻔﻆ ﺛﺎﻧﻴﺔ وﺛﺎﻟﺜﺔ وﻫﻮ ﻳﻔﻌﻞ ﻛﺬﻟﻚ‬،‫اﻟﻠﻔﻆ‬
!‫ ﻧﻌﻢ‬:‫ﻓﻘﻴﻞ ﻟﻪ‬
Ketika Abū Hurairah bersama Rasulullah, jatuhlah sebilah pisau dari tangan
beliau. Kemudian Rasulullah berkata: “Hai, Abū Hurairah, ambilkan ‘al-sikkīn’!”
Namun Abū Hurairah menoleh ke kanan dan ke kiri karena tidak paham maksud
Rasulullah. Setelah tiga kali Rasulullah mengulang kalimat tersebut, Abū Hurairah
mencoba menjawab: “Apakah yang Engkau maksud adalah “al-mudyah”?”
Rasulullah menjawab: “Iya.” Riwayat menunjukkan bahwa “al-sikkīn” dan “almudyah” adalah sinonim.37
Bahkan, salah satu pakar yang percaya adanya sinonim pada bahasa Arab, Ibn
Khalawaih, dengan bangga mengemukakan bahwa ia menghafal lima puluh nama
pedang. Hanya saja pendapat tentang lima puluh sinonim dari kata al-saif disanggah
oleh penolak adanya sinonim dengan alasan Ibn Khalawaih tidak membedakan mana
kata yang menunjukkan benda dan mana yang menunjukkan sifat.
Di samping ada yang terlalu berlebihan dalam mendukung keberadaan
sinonim, ada pula yang lebih moderat. Al-Fakhr al-Rāzī (w. 666 H) mengakui
adanya sinonim namun bukan sinonim mutlak (al-tarādf al-kāmil/al-tām) yang
Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 216-217.
37
36
menyaratkan makna-makna yang bersinonim harus sama dalam semua konteks dan
fungsi kata yang satu bukan sebagai sifat atau penjelas bagi selainnya.38
2. Penolak adanya Tarāduf
Abū al-ʻAbbās Ṡaʻlab (w. 291 H) ialah ahli bahasa pertama yang menolak
adanya tarāduf dalam bahasa Arab. Ia berpendapat bahwa dua kata yang berbeda
bila dikatakan memiliki makna yang sama adalah hal yang tidak berdasar sebab yang
dimaksud mutarādif adalah mutabayyin. Seperti kata al-ṣarīm yang dianggap
mutarādif dengan kata al-saif (pedang) oleh yang percaya adanya tarāduf. Menurut
kelompok ini, al-ṣarīm bukan sebagai sinonim dari kata al-saif namun sebagai
mutabayyin (penjelas) atau sebagai sifat saja.
Pendapat tersebut senada dengan beberapa ahli bahasa yang menolak adanya
tarāduf dalam bahasa Arab seperti Abū ʻAlī al-Fārisī (w. 377 H), Ibn Fāris (w. 390
H), Abū Ḥilāl al-‘Asykarī (w. 395), Ibn al-Sarraj (w. 401 H)39, dan lain sebagainya.
Mereka berpendapat bahwa perbedaan pada redaksi kata menunjukkan perbedaan
pula pada maksud dan makna. Mereka berkeyakinan bahwa mustahil terdapat dua
kata atau lebih yang memiliki makna yang sama. Jika pun ada maka itu disebabkan
faktor ketidaktahuan seseorang tentang perbedaan antara kata-kata tersebut.
Untuk memperkuat argumen mereka, mereka memberikan beberapa contoh
mengenai kata-kata yang dianggap sinonim. Di antaranya kata al-ṡanā’, al-madḥ,
dan al-iṭrā’. Ketiga kata ini mempunyai arti yang sama yaitu pujian. Namun bila
dikaji lebih mendalam ternyata masing-masing memiliki makna yang spesifik. Kata
Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 215-216.
Ibn al-Sarraj menceritakan bahwa Aḥmad Ibn Yaḥyā pernah berkata: “Tidak boleh ada dua
kata yang berbeda namun memiliki makna yang sama.” Lihat Ramḍān ‘Abd al-Tawwāb, Fuṣūl fī
Fiqh al-Lugah, h. 312.
38
39
37
al-ṡanā’ bermakna pujian yang diulang-ulang dan kata al-madḥ bermakna pujian
pada perbuatan sedangkan al-iṭrā’ bermakna pujian pada paras seseorang. Contoh
lainnya adalah kata jalasa dan qaʻada yang sama-sama diartikan duduk. Namun jika
ditelusuri kedua kata tersebut memiliki perbedaan. Kata jalasa berarti duduk namun
menjelaskan keadaan seseorang yang sedang melakukan sesuatu kemudian duduk
tanpa mengambil tempat duduk. Sedangkan kata qaʻada berarti duduk dalam arti
diam dan menetap pada tempat duduk. Oleh karena itu ungkapan qawāʻid al-bait
(fondasi-fondasi rumah) tidak menggunakan kata jalasa melainkan qawāʻid.40
Selain itu, kata qaʻada digunakan untuk menjelaskan proses duduk dari
keadaan yang lebih tinggi (berdiri)41 karena orang yang tadinya berdiri kemudian
duduk pasti akan mengambil tempat duduk (maqʻad). Berbeda halnya dengan kata
jalasa yang digunakan untuk menjelaskan keadaan duduk dari keadaan awal yang
lebih rendah.42
Itulah beberapa argumen pakar bahasa Arab kontemporer, baik yang mengakui
adanya sinonim maupun tidak. Berbeda halnya dengan pakar bahasa Arab
kontemporer, meski mayoritas mengakui adanya sinonim, namun perbedaan mereka
lebih kepada perbedaan dalam membuat standar atau kategori sinonim.43
Issa J. Boullata, seorang profesor Yerussalem yang mengagumi keindahan
bahasa Quran dan seorang ahli sastra Arab, melakukan penelitian induktif terhadap
Ibrāhīm Anīs, Fī al-Lahjāt al-‘Arabiyyah (Mesir: Maktabah al-Anjlū, 2008), h. 152.
Departemen Agama RI, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI,
2008), h. 165.
41
Sebagai contoh adalah kalimat berikut: ‫ﻗﺎم زﻳﺪ ﻓﻘﻌﺪ‬
40
42
Muhammad Yusuf, “Relasi Tanda Bahasa dan Makna dalam Bahasa Arab: Kajian atas
Pemikiran Ibn ria dalam al-Ṣāhibī”,h. 146.
43
Muhammad Yusuf, “Relasi Tanda Bahasa dan Makna dalam Bahasa Arab: Kajian atas
Pemikiran Ibn ria dalam al-Ṣāhibī”, h. 141
38
lafal-lafal Quran dalam konteksnya menunjukkan bahwa sebuah kata digunakan
untuk menunjuk makna tertentu dan tidak mungkin digantikan oleh lafal lain yang
biasa dianggap semakna.44
Dari pemaparan tentang sinonim di atas, penulis berpendapat bahwa
sebenarnya tidak ada kontroversi antara ada atau tidak adanya sinonim dalam bahasa
Arab. Hanya saja hal itu tergantung dari pemaknaan pengertian sinonim itu sendiri.
Jika sinonim diartikan sebagai dua kata atau lebih yang mempunyai arti yang sama45,
maka tidak ada sinonim dalam bahasa Arab. Namun, jika sinonim diartikan sebagai
dua kata atau lebih yang mempunyai arti yang mirip46, maka sinonim dalam arti ini
memang ada.
C. Homonim (Musytarak) dalam Quran
Dalam kajian bahasa Indonesia, homonim adalah kata yang sama lafal dan
ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan.
Seperti kata hak pada ungkapan hak asasi berbeda arti dengan hak sepatu.
Sedangkan dalam kajian bahasa Arab, homonim diistilahkan dengan lafal almusytarak al-lafẓ.47 Al-Suyūṭī memberikan pengertian bahwa al-musytarak al-lafẓ
adalah setiap kata yang memiliki makna lebih dari satu.48
Dalam bahasa Arab ditemukan banyak homonim, seperti kata ḍaraba
memiliki setidaknya sembilan arti, yaitu berdenyut, mengepung, memikat,
Issa J. Boullata, al-Qur’an yang Menakjubkan. Penerjemah Bachrum B., dkk. (Tangerang:
Lentera Hati, 2008), h. 317.
45
‘Sama’ di sini berarti bisa menggantikan posisi satu sama lain.
46
Maksud dari ‘mirip’ di sini adalah tidak persis sama, ada perbedaan di antara kata-kata yang
dianggap sinonim tersebut.
47
Ahmad Mukhtar ‘Umar, ‘Ilm al-Dalālah, h. 147.
48
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Mużīr fī ‘Ūlūm al-Lugah wa Anwāʻihā, h. 369.
44
39
memukul, menembak, menyengat, cenderung, menentukan, dan mengetuk. Lafal
al-żikr memiliki arti peringatan, pengajaran, ilmu, bahkan ada yang berarti Quran.
Banyaknya homonim pada bahasa Arab disebabkan beberapa faktor, di
antaranya:
1. Adanya perbedaan dialek bahasa;
2. Adanya perkembangan bunyi yang pada akhirnya mengubah bunyi kata yang
asli;
3. Adanya pergeseran makna kata dari makna asli menjadi makna majazī.49
Dalam kajian ilmu balagah, homonim disebut dengan istilah jinas, yaitu
kemiripan dua kata yang berbeda maknanya.50 Dengan kata lain, suatu kata yang
digunakan pada tempat yang berbeda dan memiliki makna yang berbeda pula.
Sebagai contoh QS. Al-Rūm [30]: 55:
           
 
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang
berdosa; "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". Seperti
demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).”
Pada ayat di atas terdapat kata ‘al-sāʻah’. Kata itu disebut dua kali pada tempat
yang berbeda, yang pertama bermakna hari kiamat dan yang kedua bermakna waktu
sesaat. Penyebutan suatu kata yang mempunyai dua makna berbeda karena disebut
pada tempat yang berbeda dinamakan jinas dalam ilmu balagah dan homonim
dalam ilmu linguistik.
‘Alī ʻAbd al-Wāḥid, Fiqh al-Lugah (Mesir: Dār al-Naḥḍah, tt.), h. 191-192.
Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, h. 68.
49
50
40
Meskipun terdapat pertentangan pendapat mengenai ada atau tidaknya
homonim dalam bahasa Arab, penulis cenderung menyetujui adanya homonim pada
bahasa Arab sebab pada kenyataannya setiap bahasa di dunia memiliki homonim51
dan redaksi suatu kalimat dapat mempengaruhi makna dari suatu kata yang sama.
Contoh lainnya adalah lafal al-żikr yang mempunyai makna yang berbedabeda tergantung pada konteks dan redaksi kalimatnya. Lafal al-żikr mempunyai
beberapa arti, di antaranya bermakna peringatan, pengajaran, Quran, wahyu, Lauḥ
Maḥfūz, ilmu, dan lain sebagainya. Penjelasan lebih lanjut mengenai ke-homoniman
al-żikr akan dibahas secara rinci pada bab selanjutnya.
Zahrudin, Relasi Makna dalam al-Qur’an: Analisis terhadap Kata-Kata yang Memiliki
Relasi Makna dalam Quran Yong Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dikutip dari Emīl
Badī Yaʻqūb, Fiqh al-ʻArabiyyah wa Khaṣāiṣuha, h. 179.
51
BAB III
KARAKTERISTIK DAN KONSISTENSI LAFAL ŻIKR
DALAM QURAN
A. Klasifikasi Lafal Żikr dalam Quran
Di dalam Quran terdapat 267 kata yang merupakan bentuk derivasi dari żikr.
Itu tidak termasuk 18 lafal żakara yang berarti laki-laki dan 7 lafal muddakkir
(dengan memakai huruf dāl).1 Namun jika dikalkulasikan jumlah lafal żikr tanpa
mengikutkan derivasinya hanya disebut sebanyak 99 kali, baik lafal żikr yang
disandarkan dengan lafal lain (di-muḍāf-kan) maupun yang berdiri sendiri (tidak dimuḍāf-kan).2 Lafal żikr jika di-muḍāf-kan kepada ḍamīr terdapat 13 lafal3
sedangkan yang di-muḍāf-kan terhadap lafal Jalālah dan sifat-sifat-Nya disebut
sebanyak 18 kali4 sehingga total lafal żikr yang di-muḍāf-kan sebanyak 31 kali.5
Selain menjadi muḍāf, dalam beberapa tempat lafal żikr juga berkedudukan sebagai
muḍāf ilaih. Lafal żikr juga berkedudukan sebagai muḍāf ilaih disebut sebanyak
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati,
2007), j. 1, h. 192.
2
Muhammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān (Beirut: Dār alHadīṡ, 2007), h. 335-337. Lihat pula Ali Audah, Konkordinasi Qur’an (Jakarta: PT. Pustaka Litera
AntarNusa, 1991), h. 188-190.
3
Yaitu pada QS. al-Syarḥ [94]: 4, QS. al-Baqarah [2]: 200, QS. al-Anbiyā’ [21]: 10, QS. alKahf [18]: 28, QS. al-Najm [53]: 29, QS. al-Mu’minūn [23]: 71, QS. al-Mu’minūn [23]: 71, QS. alKahf [18]: 101, QS. Ṭāhā [20]: 14, QS. Ṭāhā [20]: 42, QS. Ṭāhā [20]: 124, QS. al-Mu’minūn [23]:
110, dan QS. Ṣād [38]: 8. Lihat Muhammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ alQur'ān, h. 336-337. Lihat juga Ali Audah, Konkordinasi Qur’an, h. 189-190.
4
Dengan rincian yang di-muḍāf-kan kepada lafal Jalālah sebanyak sebelas kali (QS. alMāidah [5]: 91, QS. al-Raʻd [13]: 28 sebanyak dua kali, QS. al-Nūr [24]: 37, QS. al-ʻAnkabūt [29]:
45, QS. al-Zumar [39]: 22 dan 23, QS. al-Ḥadīd [57]: 16, QS. al-Mujādalah [58]: 19, QS. al-Jumuʻah
[62]: 9, dan QS. al-Munāfiqūn [63]: 9), yang di-muḍāf-kan kepada lafal ‘rabb’ sebanyak empat kali
(QS. Yūsuf [12]: 42, QS. al-Anbiyā’ [21]: 42, QS. Ṣād [38]: 32, dan QS. al-Jinn [72]: 17), yang dimuḍāf-kan kepada lafal ‘al-raḥmān’ sebanyak dua kali (QS. al-Anbiyā’ [21]: 36 dan QS. al-Zukhruf
[43]: 36), dan yang di-muḍāf-kan kepada lafal ‘raḥmati rabbik’ sebanyak satu kali, yaitu pada QS.
Maryām [19]: 2.
5
Muhammad Fu`ād Abd Al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān, h. 335-337.
1
41
42
empat kali, yaitu pada QS. al-Naḥl [16]: 42, QS. al-Anbiyā’ [21]: 7 dan 105, serta
QS. Ṣād [38]: 1.6 Ada pula lafal żikr yang disambung dengan alif layyinah di
belakangnya.7 Lafal żikr semacam ini disebut sebanyak 23 kali dengan rincian lafal
‘żikrā’ yang berdiri sendiri (tidak di-muḍāf-kan) sebanyak 21 kali, yang di-muḍāfkan pada ḍamīr mufrad mu’annaṣ gāibah sebanyak satu kali, dan yang di-muḍāfkan pada ḍamīr jamʻ mużakkar gāib sebanyak satu kali.8 Dengan demikian, lafal
żikr yang berdiri sendiri (tidak disandarkan pada kalimat lain dan harf al-layyinah)
disebut sebanyak 41 kali dalam Quran.
Dalam mengklasifikasikan lafal żikr dalam Quran pada penelitian ini, penulis
membagi menjadi dua kelompok, yaitu lafal żikr yang dimaknai Quran dan lafal
żikr yang tidak dimaknai Quran. Hal ini didasarkan pada fokus penelitian penulis
yang bertujuan untuk menganalisis karakteristik lafal-lafal żikr yang bermakna
Quran serta menganalisa penggunaan lafal żikr pada QS. al-Ḥijr ayat 9 yang selama
ini dimaknai Quran dengan tanpa memedulikan perbedaan di antara keduanya.
Di bawah ini pengklasifikasian lafal żikr yang dimaknai Quran dan bukan:
1. Lafal Żikr yang Dimaknai Quran
Untuk menunjukkan Quran, Allah swt. tidak hanya memakai lafal al-qur’ān
saja melainkan ada lafal-lafal lain yang dapat menunjukkan makna Quran. Salah
satunya adalah lafal żikr. Lafal żikr yang digunakan untuk makna Quran disebut
sebanyak sembilan kali dalam delapan ayat di tujuh surat.9 Lafal-lafal tersebut
Lihat Muhammad Fu`ād Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān, h. 335-
6
336.
Redaksi Arabnya adalah ‫ذﻛﺮى‬
Muhammad Fu`ād Abd al-Bāqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur'ān, h. 337.
9
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, h. 35.
7
8
43
berada pada QS. al-Ḥijr [15]: 6 dan 9, QS. al-Naḥl [16]: 44, QS. Ṭāḥā [20]: 99, QS.
al-Furqān [25]: 29, QS. Ṣād [38]: 8 sebanyak dua kali, QS. Fuṣṣilat [41]: 41, dan
QS. al-Ṭalāq [65]: 10.10
Di bawah ini merupakan ayat-ayat yang mengandung lafal żikr yang
bermakna Quran:
1. QS. al-Ḥijr [5]: 6
        
“Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya,
sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.”
2. QS. al-Ḥijr [5]: 9
       
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya.”
3. QS. al-Naḥl [16]: 44
           
 
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
4. QS. Ṭāhā [20]: 99
              
Rincian ini didapatkan setelah mewawancarai Prof. Dr. M. Amin Suma, MA (mantan dekan
Fakultas Syariah dan Hukum) pada hari Senin pukul 10.43 WIB dan hari Rabu pukul 12.49 WIB.
10
44
“Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat
yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami
suatu peringatan (al-Qur’an).”
5. QS. al-Furqān [25]: 29
            
“Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an ketika al-Qur’an
itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.”
6. QS. Ṣād [38]: 8
                 
“Mengapa al-Qur’an itu diturunkan kepadanya di antara kita?" Sebenarnya
mereka ragu-ragu terhadap al-Qur’an-Ku, dan sebenarnya mereka belum
merasakan azab-Ku.”
7. QS. Ṣād [38]: 8
                 
“Mengapa al-Qur’an itu diturunkan kepadanya di antara kita?" Sebenarnya
mereka ragu-ragu terhadap al-Qur’an-Ku, dan sebenarnya mereka belum
merasakan azab-Ku.”
8. QS. Fuṣṣilat [41]: 41
          
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al-Qur’an ketika al-Qur’an
itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al
Quran itu adalah kitab yang mulia”
9. QS. Al-Ṭalāq [65]: 10
               
  
45
“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah
kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang
beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur’an kepadamu.”
2. Lafal Żikr yang Tidak Dimaknai Quran
Selain dimaknai Quran, lafal żikr juga memiliki arti yang lain, yaitu
peringatan, pengajaran, ilmu, ingat atau mengingat, wahyu, keagungan atau
kedudukan tinggi, bahkan ada yang bermakna Lauḥ Maḥfūẓ.11
a. Lafal żikr yang bermakna peringatan di antaranya terdapat pada QS. Yāsīn
[36]: 11,
             
“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang
mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah
walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan
ampunan dan pahala yang mulia”
Selain ayat di atas, lafal żikr yang bermakna peringatan terdapat pula pada
QS. al-Aʻrāf [ 7]: 69, QS. al-Anbiyā’ [21]: 24 dan 50, QS. al-Syuʻarā’[26]: 5, QS.
Ṣād [38]: 87.12
b. Lafal żikr yang bermakna mengingat atau ingat di antaranya terdapat pada
QS. al-Mā’idah [5]: 91,
           
         
11
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia Quran: Kajian Kosakata, j. I, h. 193. Lihat pula
Abdurrahman Nuryaman, Kumpulan Dzikir & Doa Sepanjang Masa Berdasarkan al-Qur’an dan
al-Sunnah (Jakarta: Darul Haq, 2013), h. 5-7.
12
Abdurrahman Nuryaman, Kumpulan Dzikir & Doa Sepanjang Masa Berdasarkan alQur’an dan al-Sunnah, h. 6.
46
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu).”
Pengertian serupa juga terdapat pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 42, QS. al-Nūr
[24]: 37, QS. Ṣād [38]: 32, QS. al-Zumar [39]: 23, dan QS. al-Mujādilah [58]: 19.13
c. Lafal żikr yang bermakna pengajaran di antaranya terdapat pada QS. Yūsuf
[12]: 104,
           
“Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap
seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.”
d. Lafal żikr yang bermakna ilmu di antaranya terdapat pada QS. al-Naḥl
[16]: 43,
              
 
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang
Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Pengertian serupa terdapat pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 2, 7, 10, 50, dan 105,
QS. Ṣād [38]: 1, dan lain-lain.14
e. Lafal żikr yang bermakna wahyu terdapat pada QS. al-Qamar [54]: 25,
         
Abdurrahman Nuryaman, Kumpulan Dzikir & Doa Sepanjang Masa Berdasarkan alQur’an dan al-Sunnah, h. 7.
14
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. I, h. 192.
13
47
“Apakah wahyu15 itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia
adalah seorang yang amat pendusta lagi sombong.”
f. Lafal żikr yang bermakna keagungan atau kedudukan tinggi terdapat pada
QS. Ṣād [38]: 1,
     
“Shaad, demi al-Qur’an yang mempunyai keagungan.”
g. Lafal żikr yang bermakna Lauḥ Maḥfūẓ di antaranya terdapat pada QS. alAnbiyā’ [21]: 105,
            
“Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam)
Lauḥ Maḥfuẓ, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.”
B. Karakteristik Lafal Żikr dalam Quran
Setelah memilah antara lafal żikr yang bermakna Quran dan lafal żikr yang
tidak bermakna Quran, selanjutnya penulis akan membuat karakteristik atau ciriciri umum lafal żikr yang bermakna Quran guna mempermudah dalam
membedakan mana yang bermakna Quran dan mana yang tidak bermakna Quran.
Pemberian karakteristik ini juga bertujuan untuk membuktikan konsistensi lafallafal Quran, khususnya lafal żikr.
Dalam memberikan karakteristik secara umum mengenai lafal żikr ini,
penulis membaginya menjadi dua bagian, yaitu berdasarkan kedudukan lafal żikr
15
Yang dimaksud wahyu di sini bukan bermakna Quran (wahyu yang diturunkan Allah
khusus pada Nabi Muhammad) melainkan ditujukan pada wahyu yang diturunkan pada Nabi lain
selain Nabi Muhammad saw. (dalam ayat ini wahyu yang dimaksud adalah wahyu yang diberikan
kepada nabinya kaum Ṡamud, yaitu Nabi Ṣāliḥ as.). Lihat Ismāʻīl Ibn ‘Umar Ibn Kaṡīr, Tafsīr alQur’ān al-ʻAẓīm (Riyadh: Dār Ṭayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzīʻ, 1999), cet II, j. 7, h. 479.
48
dan berdasarkan makna żikr sebagai Quran. Ulasan secara rinci akan dijelaskan di
bawah ini.
1. Karakteristik Lafal Żikr berdasarkan Penyandarannya terhadap
Kalimat Lain
a. Sebagai Muḍāf
1. Muḍāf terhadap Lafal Jalālah dan Sifat-Sifat-Nya
Karakteristik lafal żikr yang di-muḍāf-kan terhadap lafal Jalālah dan sifatsifat-Nya adalah sebagai berikut:

Lafal żikr selalu bermakna ‘mengingat’ atau ‘peringatan’ jika disandarkan
dengan lafal yang mempunyai makna ‘Allah’ (lafal ‘Allāh’, ‘al-Raḥmān, dan
‘Rabb’) kecuali pada QS. Yūsuf [12]: 42 yang dimaknai ‘menerangkan’ sebab pada
ayat tersebut lafal ‘rabb’ bermakna tuan atau rajanya Nabi Yūsuf as.

Jika disandarkan dengan lafal ‘raḥmat rabbik’ maka lafal żikr mempunyai
arti ‘penjelasan’.
2. Muḍāf terhadap Ism Ḍamīr
Lafal żikr yang di-muḍāf-kan pada ism ḍamīr selalu bermakna ‘ingat’ dan
derivasinya (peringatan, mengingat, zikir, dan sebagainya) kecuali ism ḍamīr
tersebut menunjukkan makna ‘Allah’ (dalam hal ini memakai ḍamīr mutakallim
waḥdah) dan sebelumnya terdapat kalimat fiʻl yang menunjukkan makna penurunan
wahyu (pada kasus ini lafal ‘unzila’) seperti pada QS. Ṣād [38]: 8. Maka jika dua
ketentuan itu terpenuhi maka lafal żikr itu bermakna ‘Quran’. Namun jika ḍamīrnya kembali pada selain ‘Allah’ maka lafal żikr tersebut tidak dimaknai ‘Quran’
meskipun sebelumnya didahului oleh kalimat fiʻl yang menunjukkan penurunan
49
wahyu (anzala dan atā) seperti pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 10 dan QS. al-Mu’minūn
[23]: 71 di bawah ini,
         
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di
dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada
memahaminya.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 10)
           
     
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu” (QS. al-Mu’minūn [23]: 71)
3. Mendapat Tambahan Alif Layyinah
Lafal żikr yang mendapat tambahan huruf alif layyinah mempunyai
karakteristik di bawah ini:

Secara umum selalu bermakna ‘pelajaran’ apabila ditujukan untuk orang-
orang mukmin (biasanya menggunakan redaksi ‘li al-mu’minīn) dan orang-orang
yang berakal (biasanya menggunakan redaksi ‘li uli al-albāb).

Bermakna ‘peringatan’ apabila ditujukan untuk seluruh alam (li al-‘ālamīn),
manusia secara umum (li al-basyar), dan orang-orang kafir atau zalim.
b. Sebagai Muḍāf Ilaih
Karakteristik lafal żikr yang berkedudukan sebagai muḍāf ilaih adalah
sebagai berikut:

Selalu bermakna ‘ilmu’ apabila menjadi muḍāf ilaih dari lafal ‘ahl’, seperti
pada QS. al-Naḥl [16]: 43 dan QS. QS. al-Anbiyā’ [21]: 7.
50
Bermakna ‘keagungan’ atau ‘kedudukan tinggi’ apabila menjadi muḍāf

ilaih dari lafal ‘żī’, seperti pada QS. Ṣād [38]: 1.
Bermakna ‘lauḥ maḥfūż’ jika ditempatkan setelah lafal ‘min ba’di’, seperti

pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 105.
2. Karakteristik Lafal Żikr berdasarkan Maknanya sebagai Quran
Setiap penempatan kalimat dalam Quran pasti mempunyai pola yang
konsisten dan karakteristik yang dapat memudahkan pembaca untuk membedakan
maksud di satu kalimat pada suatu tempat dengan kalimat yang sama pada tempat
yang lain. Begitu pula lafal żikr mempunyai pola dan karakteristik yang
membedakan antara żikr yang bermakna Quran dan yang bukan bermakna Quran.
Oleh sebab itu, di bawah ini penulis mencoba memberikan pola dan karakteristik
lafal żikr yang bermakna Quran:
Lafal żikr yang dimaknai Quran biasanya merupakan subjek (fāʻil) atau

objek (mafʻūl) dari kata kerja (fiʻl) yang menunjukkan makna penurunan wahyu
seperti lafal nazzala, anzala, atā, dan jā’a.16
Lafal żikr yang dimaknai Quran harus terjadi pada ayat-ayat yang

menceritakan atau mempunyai konteks pada masa Nabi Muhammad saw. atau
kaumnya. Berbeda halnya jika konteksnya menceritakan nabi atau rasul selain Nabi
Lafal nazzala dan anzala merupakan dua kata yang mempunyai kata dasar yang sama, yaitu
nazala yang berarti turun. Hanya saja lafal nazzala mendapatkan huruf tambahan sebanyak satu
huruf pada ‘ain fiʻl-nya yang mempunyai faedah li al-takṡīr sehingga bermakna penurunan secara
berulang-ulang, bertahap, atau berangsur-angsur. Sedangkan lafal anzala mendapatkan tambahan
satu huruf, yaitu huruf hamzah di bagian depan kalimat yang berfungsi untuk menjelaskan sesuatu
yang turun secara utuh dan bersamaan. Sementara itu, lafal jā’a dan atā pada dasarnya mempunyai
arti yang sama, yaitu datang. Namun meski demikian, Quran sering kali membedakan pemakaiannya
dalam ayat-ayatnya. Lafal jā’a digunakan dalam hal yang berkenaan dengan materi atau substansi
sedangkan lafal atā digunakan untuk menunjukkan datangnya waktu atau sesuatu yang bersifat
abstrak. Departemen Agama, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama,
2008), h. 161.
16
51
Muhammad saw. Jika konteksnya ditujukan untuk menceritakan nabi atau rasul
selain Nabi Muhammad saw., maka lafal żikr tidak diartikan sebagai ‘Quran’
melainkan diartikan ‘wahyu’. Sebab, seperti yang telah diketahui bahwa nama
Quran merupakan nama khusus untuk menyebut wahyu yang diturunkan pada Nabi
Muhammad saw. Sebagai contoh QS. al-A’rāf [7]: 63 yang dimaknai ‘wahyu’
karena menceritakan tentang kisah Nabi Nuh as. dan kaumnya. Contoh lainnya
adalah QS. al-Qamar [54]: 25 yang dimaknai ‘wahyu’ juga karena berkisah tentang
Nabi Ṣāliḥ as. dan kaum Ṡamud.
Pada QS. al-Anbiyā’ [21]: 2 dan QS. al-Syuʻarā’ [26]: 5, lafal żikr sebenarnya
jatuh setelah kalimat fiʻl yang menunjukkan makna penurunan wahyu, yaitu ya’tī
dan juga terjadi pada konteks Nabi Muhammad saw. dan kaumnya, seperti terlihat
redaksi dua ayat17 di bawah ini:
           
           
Namun lafal żikr pada dua ayat tersebut tidak dimaknai sebagai ‘Quran’ sebab
didahului oleh huruf ‘min al-zā’idah’18 yang sebelumnya terdapat huruf ‘nafy’19.
Selain itu, lafal żikr pada dua ayat tersebut disifati oleh lafal ‘muḥdaṡ’. Oleh karena
itu, lafal żikr pada kedua ayat ini tidak dimaknai sebagai ‘Quran’ sebab jika żikr
Dua ayat yang dimaksud adalah QS. al-Anbiyā’ [21]: 2 dan QS. al-Syuʻarā’ [26]: 5.
Muḥammad Ḥasan ‘Uṡmān, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh (Mesir: Dār al-Risālah,
2011), j. VIII, h. 133. Lihat pula Muḥammad Ḥasan ‘Uṡmān, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh,
j. IX, h. 198. Dan Muḥammad Makkī Ibn Abī Ṭālib al-Qaisī, Musykil Iʻrāb al-Qur’ān (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 1988), j. I, h. 477.
19
Muḥyī al-Dīn al-Darwīsy, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayānuhū (Suriah: Dār al-Irsyād, 1980), j.
VI, h. 280.
17
18
52
pada kedua ayat ini bermakna ‘Quran’ maka akan berdampak pada pemahaman
teologis bahwa Quran merupakan makhluk (ḥudūṡ atau baru)20 sebagaimana
keyakinan Muʻtazilah.21 Kedua ayat inilah yang dijadikan sandaran oleh mereka
dalam meyakini ke-ḥudūṡ-an Quran.22
Menurut al-Bagawī (w. 464 H), lafal żikr pada kedua ayat di atas disifati
dengan lafal muḥdaṡ (żikr al-muḥdaṡ)
yang berarti sebagai perkataan atau
penjelasan Nabi saw. berupa sunah atau hadis selain dari Quran. Perihal
disandingkannya lafal żikr dengan lafal ‘rabb’ karena merupakan perintah dari
Allah swt.23 Bahkan Muḥammad Ḥasan ‘Uṡmān dalam kitabnya, Iʻrāb al-Qur’ān
wa Bayān Maʻānīh, memaknai lafal żikr pada ayat ini dengan ‘mauʻiẓah
mujaddidah min Allāh’ bukan dengan ‘Quran’.24 Maka dari penjelasan ini, lafal żikr
pada kedua ayat ini tidak dimaknai ‘Quran’.
Muḥyī al-Dīn al-Darwīsy, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayānuhū, h. 280.
Golongan Muʻtazilah berkeyakinan bahwa sifat-sifat Allah termasuk kalam Allah, yaitu
Quran, merupakan makhluk atau ḥudūṡ. Lihat Mustofa Muhammad al-Syakhʻah, Islām bi Lā
Mażāhib, terj. A. M. Basalamah, Islam Tidak Bermadzhab (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.
315. Lihat pula Sahilun A. Nasar, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), h. 180.
22
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), h.
172-173.
23
Abī Muḥammad al-Ḥusain Ibn Masʻūd al-Bagawī, Tafsīr al-Bagawī ‘Maʻālim al -Tanzīl’
(Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1411 H), j. V, h. 309.
24
Muḥammad Ḥasan ‘Uṡmān, Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh (Mesir: Dār al-Risālah,
2011), j. VIII, h. 127.
20
21
BAB IV
ANALISIS PENGGUNAAN LAFAL AL-ŻIKR PADA QS. AL-ḤIJR
[15]: 9
A. Pemaknaan Lafal al-Żikr dengan Quran pada QS. al-Ḥijr [15]: 9
Dari kitab-kitab tafsir yang penulis baca, baik tafsir klasik maupun modern,
mengenai penafsiran QS. al-Ḥijr [15]:9, semuanya menafsirkan bahwa lafal al-żikr
pada ayat tersebut bermakna Quran. Sebut saja al-Ṭabarī (w. 310 H), alZamakhsyarī (w. 538 H), al-Rāzī (w. 606 H), Ibn ‘Āsyur (w. 1393 H), dan Sayyid
Quṭb (w. 1386 H), semuanya mempunyai pendapat yang sama, yaitu lafal al-żikr
pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 bermakna Quran.1 Pendapat itu diamini pula oleh beberapa
mufasir seperti al-Bagawī (w. 464 H), Ibn Kaṡīr (w. 774 H), Imam Jalāl al-Dīn alSuyūṭī (w. 911 H), Waḥbah al-Zuhailī (w. 1984 M), dan al-Marāgī (w. 1361 H).2
Hanya saja, dari sekian banyak mufasir tersebut, mereka semua hanya
memaknainya sebagai Quran saja tanpa memperinci Quran yang seperti apa yang
dijaga dari perubahan itu dan tanpa memaparkan alasan di balik pemilihan lafal alżikr. Para mufasir cenderung menyamaartikan antara term al-żikr dengan term-term
Lihat Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān (Kairo: Markaz al-Buḥūṡ
wa al-Dirāsah al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001), j. 14, h. 18. Maḥmūd Ibn ‘Umar alZamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Tanzīl
(Riyāḍ: Maktabah al-ʻAbikān, 1998 M), j. 3, h. 399-400. Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīḥ al-Gaīb
(Beirut: Dār al-Fikr, 1981), j. 19, h. 164. Muḥammad al-Ṭāhir Ibn ‘Āsyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa alTanwīr, j. 14, h. 16. Sayyid Quṭb, Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān (Tk.: Minbar al-Tauḥīd wa al-Jihād, tt.),
h. 15.
2
Lihat Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Āẓīm j. 4, h. 527. Abī Muḥammad al-Ḥusain Ibn
Masʻūd al -Bagawī, Maʻālim al -Tanzīl (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1411 H), j. 4, h. 329. Aḥmad Muṣṭafā
al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī (Mesir: Syirkat Maktabah wa Maṭbaʻah Muṣṭafā al-Bābā al-Ḥalabī,
1365 H/1946 M), j. 14, h. 9. Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Wajīz (Suriah: Dār al-Fikr, tt.), h. 263.
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Al-Durr al-Manṡūr fī al-Tafsīr bi al-Maʻṡūr (Kairo: Markaz Hijr li al-Buḥūṡ
wa al-Dirāsāt al-ʻArabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2003), j. 8, h. 594. Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Tafsīr alQur’ān al-ʻAẓīm li al-Imām al-Jalālain (Surabaya: Nūr al-Hudā, tt.), h. 212.
1
53
54
lain yang menunjukkan makna Quran, seperti term al-qur’ān, al-kitāb, dan lainnya
sehingga cenderung mengesampingkan tujuan Allah menggunakan lafal al-żikr
pada ayat yang sering kali dijadikan argumentasi kemurnian Quran.3 Oleh sebab
itu, penulis mencoba untuk menganalisis penggunaan term al-żikr pada QS. al-Ḥijr
[15]: 9 dengan sebuah studi kritis dalam penelitian ini.
B. Argumentasi Penggunaan Lafal al-Żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9
Untuk menganalisis penggunaan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 maka
perlu diteliti komponen-komponen dan struktur kata pada ayat terkait dengan
menggunakan metode kebahasaan. Oleh sebab itu, penulis akan memaparkan
perbedaan term al-qur’ān, al-kitāb, al-żikr, dan al-furqān yang tak lain merupakan
nama-nama dari Quran yang paling populer. Dan juga akan memaparkan perbedaan
antara lafal nazzala dan lafal anzala sehingga dapat diketahui maksud dari
penggunaan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15] ayat kesembilan. Wa Allah aʻlam.
1. Nama-Nama4 Quran dan Perbedaannya Menegaskan Kemurnian Quran
Ada beberapa pendapat mengenai jumlah nama-nama Quran. Dalam kitab alItqān, al-Suyūṭī (w. 911 H) menyebutkan ada sekitar 55 buah nama-nama Quran.
Abū Ḥasan Ḥaralī berpendapat nama-nama Quran ada lebih dari 90 nama. Hanya
saja dari sekian banyak nama-nama Quran, Subḥi berpendapat bahwa sebagian
ulama berlebih-lebihan dalam menghitung nama-nama lain dari Quran sebab
Meskipun dalam beberapa pendapat, ḍamīr ‘hu’ pada kalimat ‘lahū laḥāfiẓūn’ kembali pada
‘Muhammad’ sehingga maksud ayat ini adalah “Sesungguhnya Kami benar-benar memelihara
Muhammad dari musuh-musuhnya yang hendak berbuat jahat pada dirinya”. Ibn Jarīr al-Ṭabarī,
Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān, j. 14, h. 19. Lihat pula Maḥmūd Ibn ‘Umar alZamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Tanzīl,
j. 3, h. 399-400.
4
Yang dimaksud ‘nama’ pada bab ini adalah mā yuʻrafu bihī syair (apa-apa yang dengannya
sesuatu itu dapat diketahui).
3
55
menurutnya mereka cenderung tidak membedakan mana yang merupakan nama dan
mana yang merupakan sifat.5 Namun dari sekian banyak nama tersebut, yang
termasuk hanya empat nama saja, yaitu al-qur’ān, al-kitāb, al-furqān, dan al-żikr.6
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, jika bertolak dari asumsi
bahwa tidak ada sinonimi dalam Bahasa Arab, khususnya Quran, maka term alqur’ān, al-kitāb, al-żikr, dan al-furqān—yang notabene merupakan term-term
untuk menunjukkan Quran—pun terdapat perbedaan antara satu dengan lainnya.
Firman Allah dinamai al-qur’ān sebab Quran adalah firman Allah yang dibaca.
Dinamai al-kitāb sebab Quran merupakan firman Allah yang ditulis. Dinamai alfurqān sebab Quran merupakan pemisah atau pembeda antara yang hak dan yang
batil. Sedangkan dinamai al-żikr sebab Quran merupakan firman Allah yang berisi
peringatan dari Allah swt.7 Pada QS. al-Ḥijr [15] ayat pertama,8 kita mendapati lafal
qurʻān di-‘aṭaf-kan pada lafal al-kitāb.9 Dalam linguistik Arab, fungsi ʻaṭaf adalah
untuk menunjukkan adanya perbedaan (pengertian antara kata yang berposisi
sebagai ‘aṭaf dengan kata yang berposisi sebagai maʻṭūf).10 Oleh sebab itu, penulis
akan menjelaskan lebih rinci mengenai term-term tersebut.
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Mesir: Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1951),
h. 79. Lihat pula Kahar Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Quran (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), h.
21.
6
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I) (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2000), cet. VII, h. 58.
7
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I), cet VII, h. 59 sebagaimana
yang ia kutip dari T.M. Hasbi al-Ṣiddīqī, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972), cet. II, h. 59.
8
Redaksinya sebagai berikut:
5
Muḥammad Ṭāhir Ibn ‘Āsyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, j. 14, h. 9.
Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern, h. 73.
9
10
56
a. al-Qur’ān
Term al-qur’ān adalah nama yang paling banyak digunakan untuk
menunjukkan kalam Allah. Lafal ini telah digunakan kurang lebih dalam tujuh
puluh ayat. Term inilah yang paling masyhur menunjukkan makna kalam Allah
dibandingkan dengan nama-nama lainnya di kalangan umat Islam.
Ada beberapa pendapat mengenai asal-muasal lafal al-qur’ān. Imam alSyāfiʻī (w. 204 H) berpendapat bahwa lafal al-qur’ān bukan merupakan kalimat
musytaq (ism jāmid), yaitu kata yang tidak mempunyai kata dasar.11 Artinya, lafal
al-qur’ān ya begitu adanya dari awal, tidak dibentuk dari kata dasar apa pun.
Menurutnya, lafal al-qur’ān merupakan ungkapan yang dikhususkan untuk
menunjuk kepada firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.12
sebagaimana lafal Taurat dan Injil yang dikhususkan pada firman Allah yang
ditujukan untuk menunjukkan firman Allah yang diturunkan pada Nabi Musa as.
dan Nabi Isa as.13
Pendapat kedua mengatakan bahwa lafal al-qurān (dengan tanpa huruf
hamzah di tengahnya) adalah pecahan dari lafal qarā’in (jamʻ dari lafal al-qarn)
yang berarti kaitan, sebab ayat-ayat al-qurān satu sama lain saling berkaitan. Oleh
sebab itu, huruf nūn pada lafal ini merupakan huruf asli bukan huruf tambahan.
11
Subḥi al-Ṣāliḥ, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Penerjemah Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), cet. II, h. 11.
12
Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥīṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Muʻassasah al-Risālah, 1994), h.
20.
13
Muḥammad Ṭāhir Ibn Āsyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, j. 14, h. 9.
57
Dengan demikian lafal kata ini dibaca dengan bunyi al-qurān, bukan al-qur’ān.14
Pendapat ini diamini oleh al-Asyʻarī (w. 324 H) dan pengikutnya.15
Pendapat lainnya mengatakan bahwa lafal al-qur’ān (dengan menggunakan
huruf hamzah di tengahnya).16 Namun terdapat perbedaan mengenai asal kata dari
lafal al-qur’ān. Pendapat pertama mengatakan bahwa lafal al-qur’ān adalah
musytaq dari al-qar’u yang berarti al-jamʻu (kumpul atau himpun). Sebab Quran
menghimpun dan mengumpulkan intisari kitab-kitab terdahulu. Pendapat kedua
mengatakan bahwa lafal al-qur’ān merupakan ism maṣdar dari qara’a-yaqra’uqirā’atan-qur’ānan yang berarti bacaan.17 Dengan demikian, lafal ini dibaca
dengan lafal al-qur’ān sebagaimana pola kata gufrān.18
Dari beberapa pendapat di atas, pada prinsipnya, lafal ini terbagi menjadi dua
pendapat. Pendapat pertama beranggapan bahwa lafal ini tidak menggunakan huruf
hamzah di tengahnya sehingga dibaca al-qurān. Pendapat kedua mengatakan
bahwa lafal ini dengan menggunakan huruf hamzah di tengahnya sehingga dibaca
al-qur’ān. Pendapat yang pertama (tanpa huruf hamzah di tengahnya) dibagi
menjadi dua bagian, yaitu pertama bukan musytaq dari kata apa pun (ism jāmid),
kedua merupakan musytaq dari kata al-qarn atau qarā’in yang berarti kaitan.
Sedangkan pendapat yang kedua (dengan menggunakan huruf hamzah di
tengahnya) terbagi menjadi dua pendapat juga, yaitu pertama merupakan bentukan
Subḥi al-Ṣālih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 11. Lihat juga T.M. Hasbi Al-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), cet. V, h. 17.
15
T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, h. 17.
16
Ibrāhīm al-Ibyārī, Pengenalan Sejarah al-Qur’an. Penerjemah Saad Abdul Wahid (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1995), cet. III, h. 68-69.
17
Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥīṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 20. Lihat pula Departemen Agama,
Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama, 2008), h. 9.
18
Subḥi al-Ṣālih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 11.
14
58
kata dari lafal al-qar’u (yang semakna dengan lafal al-jamʻu) yang berarti
mengumpulkan. Dengan demikian, lafal al-qur’ān mengikuti wazn fuʻlān sehingga
dibaca qur’ān. Pendapat kedua dari bagian ini mengatakan bahwa lafal al-qur’ān
merupakan bentukan kata dari lafal qara’a yang berarti bacaan.19
Namun dari berbagai pendapat di atas, pendapat yang mengatakan bahwa
lafal al-qur’ān merupakan ism maṣdar dari kata dasar qara’a yang berarti bacaan
merupakan pendapat yang paling masyhur dan dipakai sampai saat ini. Sebab,
Quran merupakan kitab Allah yang sering dibaca oleh umat Islam. Terlepas dari
pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud “bacaan” di sini adalah bacaan
dari ingatan, bukan bacaan dari tulisan.20
b. al-Kitāb
al-Kitāb adalah bentuk maṣdar dari kata kerja kataba yang berarti
‘mengumpulkan sesuatu dengan sesuatu’.21 Namun, menurut Quraish Shihab, arti
yang lebih umum dipakai adalah ‘mengumpulkan atau menggabungkan huruf-huruf
menjadi tulisan’.22 Secara istilah, al-kitāb adalah nama bagi wahyu atau kalam
Allah yang diturunkan kepada para rasul-Nya, baik itu kitab Zabur, Taurat, Injil,
dan Quran. Selain mengandung arti yang telah dikemukakan di atas, lafal al-kitāb
juga mempunyai arti ketetapan, hukum, dan kewajiban.
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2008),
19
h. 116.
20
Abd. Moqsith Ghazali, Metodologi Studi al-Qur’an (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2009), h. 46.
21
Muḥammad Nawawī Ibn ‘Umar al-Jāwī, Tausyīḥ ‘alā Ibn Qāsim (Indonesia: Dār Ahyā’ alKutub al-‘Arabiyyah, tt.), h. 7.
22
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. II, h. 494.
59
Di dalam Quran, kata al-kitāb disebut sebanyak 230 kali. Term al-kitāb yang
menunjukkan makna Quran terdapat pada QS. al-Baqarah [2]: 2, QS. al-Mā’idah
[5]: 48, dan QS. al-Anʻām [6]: 38. Ada pula yang menunjukkan makna dari salah
satu kitab selain Quran, seperti Taurat, yaitu pada QS. al-Baqarah [2]: 53, dan ada
pula yang merujuk pada seluruh kitab selain Quran, yaitu QS. al-Nisā’ [4]: 136.
Selain itu, ada pula yang menunjuk pada semua kitab Allah termasuk Quran seperti
pada al-Baqarah [2]: 285.23
Nama al-kitāb pertama kali muncul dalam Quran pada ayat ke-29 di surah
Ṣād, yaitu surah ke-38 jika dilihat dari segi turunnya Quran.24 Penamaan wahyu
dengan sebutan ‘al-kitāb’ tidak sekedar mengindikasikan adanya ‘perbedaan’
dengan teks-teks lain. Sebab, teks ini kenyataannya merupakan teks pertama yang
dibukukan dalam sejarah kebudayaan Islam.25 Dengan catatan apabila kita
mengabaikan
riwayat-riwayat
mengenai
kodifikasi
muʻallaqāt26
yang
digantungkan di dinding-dinding Kaʻbah. Selain itu, perbedaan antara ‘al-kitāb’
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. II, h. 494-495.
Naṣr Ḥāmid Abū Zaid, Tekstualitas al-Qur’an. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2002), cet. II, h. 57 sebagaimana yang ia kutip dari Baduruddin
Muḥammad Ibn Abd Allāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Maʻārif li alTibāʻah wa al-Nasyr, 1972), cet. III, h. 193.
Redaksi ayatnya adalah sebagai berikut:
23
24
‫ۦ‬
Naṣr Ḥāmid Abū Zaid, Tekstualitas al-Quran, h. 58.
al-Muʻallaqāt adalah kasidah panjang yang indah yang diucapkan oleh para penyair jahiliah
dalam berbagai kesempatan dan tema. Sebagian al-Muʻallaqāt ini diabadikan dan ditempelkan di
dinding-dinding Ka’bah pada masa Jahiliah. Para pujangga al-Muʻallaqāt berjumlah tujuh orang,
yaitu ‘Umar al-Qais, Amr' Ibn Kulṡum al-Tagḥlibī dan al-Ḥarīṡ Ibn Hiliziah al-Bakrī dikenal dengan
puisinya yang bertemakan Al-Gazal atau ungkapan cinta bagi sang kekasih, Zuhair Ibn Abi Sulma
dikenal dengan puisinya yang bertemakan Al-Ḥikām atau kata-kata hikmah/mutiara, Antarah Ibn
Syaddād al-Absī dikenal dengan puisinya yang bertemakan Al-Hamāsah atau semangat yakni untuk
membangkitkan semangat ketika ada suatu peristiwa semacam perang atau membangun sesuatu,
Ṭarafah bin Abdul Bakri dan Lubaid Ibn Rabiʻah al-Amirī dikenal dengan puisinya yang bertema
Al-Madh atau pujian. Dikutip dari Feti Faza, “Analisis Syair Mu’allaqat”, artikel diakses pada 14
Oktober 2014 pukul 10.45 WIB dari http://fetifaza.blogspot.com/2010/02/analisis-syairmuallaqat.html.
25
26
60
dengan ‘al-qur’ān’ mengimplikasikan bahwa wahyu-wahyu sejak saat itu mulai
ditulis sesaat setelah diterima Nabi Muhammad saw.27
Muḥammad Syaḥrūr mempunyai pengertian sendiri mengenai term al-kitāb
yang dijadikan sebagai nama lain dari kalam Allah. al-kitāb berasal dari kata kataba
yang berarti mengumpulkan beberapa hal dengan tujuan untuk memperoleh satu
makna agar tercapainya satu pemahaman yang sempurna. Atas dasar itu, Syaḥrūr
mendefinisikan al-kitāb sebagai kumpulan bermacam-macam tema yang
diwahyukan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad, berupa teks beserta
kandungan maknanya, yang secara tekstual terdiri dari keseluruhan ayat yang
tersusun dalam mushaf sejak dari surah al-Fātiḥah hingga surah al-Nāṣ.28 Dari
definisi yang dikemukakan oleh Syaḥrūr tersebut, dapat dipahami bahwa asumsi
masyarakat pada umumnya tentang sebutan al-qur’ān (wahyu Allah yang dijadikan
teks) lebih pas disebut al-kitāb bukan al-qur’ān karena dua term tersebut berbeda
satu sama lain. Maka dari itu, Muḥammad Syaḥrūr kerap kali menyebut dengan
istilah al-kitāb untuk menunjukkan makna Quran yang dipahami oleh masyarakat
pada umumnya (tidak dengan istilah ‘al-qur’ān’).
Senada dengan pandangan Syaḥrūr, Abdullah al-Dirās memberikan argumen
bahwa Quran dinamai pula dengan al-kitāb sebab ia merupakan wahyu Allah yang
ditulis. Penamaan dengan al-kitāb tersebut menunjukkan bahwa Quran tertulis
dalam mushaf.
Richard Bell, Pengantar Studi Al-Qur’an. Penerjemah Taufik Adnan (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1995), cet. II, h. 225.
28
Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern, h. 69.
27
61
c. al-Żikr
Lafal al-żikr merupakan bentuk maṣdar dari fi’il żakara29 yang berarti
menyebut atau mengingat.30 Dalam buku Quraish Shihab, definisi al-żikr adalah
mengingat-ingat apa yang telah diketahui sebelumnya (al-ḥifẓ); memelihara apa
yang telah diketahui; menghadirkan (istihḍār) gambaran sesuatu di dalam pikiran
setelah hilang dari ingatan, baik melalui hati maupun melalui lisan.31
Ibn Manẓūr dalam kitabnya yang berjudul Lisān al-‘Arab menerangkan
bahwa al-żikr merupakan kitab yang memuat rincian atau penjelasan agama serta
syariat-syariat agama.32 Selain itu, lafal al-żikr mempunyai beberapa makna lain, di
antaranya adalah reputasi (baik buruk maupun baik) (al-ṣīt), pujian (al-ṡana`),
kemuliaan (al-syaraf), dan bisa juga dimaknai berdoa dan memuji kepada Allah
swt.33 Lawan kata dari lafal al-żikr adalah al-gafl (lupa).34
Muḥammad Syaḥrūr memberikan pengertian berbeda mengenai term al-żikr.
Dari hasil penelitiannya, ia berkesimpulan bahwa term al-żikr didefinisikan sebagai
pengubahan kalam Allah (Quran) menjadi berbentuk bahasa manusiawi yang secara
literal berupa bahasa Arab.35 Dengan kata lain, al-żikr merupakan bentuk linguistik
dari Quran. Hal ini ia dasarkan pada QS. Al-Zukhruf [43]: 3: innā jaʻalnahu
qur’ānan ‘arabiyyan.
Żakara-yażkuru-żikran. Lihat Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus ArabIndonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), cet. XXV, h. 448.
30
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1990),
cet. VIII, h. 134.
31
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. I, h. 191. Lihat Abu
al-Qāsim al-Ḥusain Ibn Muḥammad Ibn al-Mufaḍḍal, Mu’jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur`an (Beirut:
Dār al-Kitāb al-Ilmiyah, 2004), h. 200.
32
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (t.k.: Dār al-Ma’ārif, t.t.), h. 1508.
33
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, h. 1508.
34
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, h. 191.
35
Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern, h. 80.
29
62
Namun dalam hal ini, penulis tidak sepaham dengan pengertian al-żikr yang
dikemukakan oleh Syaḥrūr sebab pengertian yang diberikan Syaḥrūr terlampau jauh
dari arti dasar kata al-żikr. Hal ini pun mendapat banyak sanggahan dari para ulama.
Mereka berpendapat bahwa penelitian ilmiah dengan menggunakan pendekatan
semantik seperti yang diklaim Syaḥrūr ternyata jauh panggang dari pada api.
Terbukti dengan paparan dan penjelasan Māhir al-Munajjad, mementahkan klaim
Syaḥrūr. Kekacauannya dalam bahasa ditinjau dari beberapa aspek, baik
gramatikal, kamus (leksikal), dan ṣarf dengan asumsi bahwa karakter bahasa Arab
tidak terlepas dari ilmu-ilmu dan sistemnya.36
Dalam hal ini, penulis mempunyai pengertian sendiri mengenai makna term
al-żikr untuk menunjuk makna Quran. Berdasarkan makna dasar dari kata al-żikr
(ingatan), term al-żikr (yang bermakna Quran) berarti kalam Allah yang tersimpan
dalam hati umat Islam (hafalan atau ingatan). Argumentasi dan penjelasan lebih
rinci akan dibahas di bawah ini setelah selesai memaparkan subbab-subbab pada
bab keempat ini.
d. al-Furqān
‘al-Furqān’ berasal dari kata ‘faraqa’ yang berarti memisahkan,
membedakan, dan membelah. Menurut Ibn Fāris, kata al-furqān mempunyai arti
‘waktu subuh’ karena pada saat itu terpisah antara gelapnya malam dengan
terangnya siang. Namun, penggunaan kata al-furqān menurut al-Aṣfaḥanī lebih
ditekankan kepada pembedaan antara yang hak dan yang batil, antara yang benar
M. Imdadur Rohman, “Studi Kritis terhadap Interpretasi Muḥammad Syaḥrūr”, artikel
diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 pukul 14:12 WIB dari http://imdadgresik.blogspot.com/2010/07/studi-kritis-terhadap-interpretasi.html.
36
63
dan yang salah. Sementara itu, kata al-furqān terulang sebanyak tujuh kali dalam
Quran, enam kali di antaranya berbentuk maʻrifah (al-furqān).37
al-Furqān merupakan salah satu nama lain dari Quran yang diturunkan pada
nabi Muhammad saw. Selain itu, term al-furqān juga merupakan nama bagi Taurat
yang diturunkan kepada Nabi Musa as. dan Nabi Harun as., seperti pada QS. AlAnbiyā’ [21]: 48. Oleh sebab ini, Muḥammad Syaḥrūr memberikan pengertian
bahwa Quran dinamai dengan al-furqān sebab di dalamnya terdapat sepuluh
perintah yang diberikan kepada Nabi Musa dan tercantum di dalam Alqur’an. alFurqān merupakan titik temu antara ketiga agama samawi sebab al-furqān
merupakan sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. dan ditetapkan
pula kepada Nabi Isa as serta terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Maka dari itu, al-furqān hanyalah bagian dari Umm al-Kitāb.38
Hanya saja mayoritas pendapat mengatakan bahwa penamaan Quran dengan
al-furqān berhubungan dengan fungsi Quran, yaitu sebagai pedoman untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk. Sehingga dari sini dapat diambil
pengertian bahwa al-furqān (yang ditujukan untuk memaknai Quran) adalah firman
Allah yang di dalamnya terdapat pedoman untuk membedakan antara yang hak dan
yang batil.39
Dari uraian mengenai nama-nama Quran di atas, dapat disimpulkan bahwa
Quran dinamai al-qur’ān sebab ia merupakan firman Allah yang (sering/berkalikali) dibaca oleh orang Islam; dinamai al-kitāb sebab ia merupakan firman Allah
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. I, h. 235.
Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern, h. 85.
39
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 117.
37
38
64
yang ditulis dan dikumpulkan menjadi satu kitab atau mushaf; dinamai al-żikr sebab
ia merupakan firman Allah yang dihafal (diingat dalam hati) oleh orang Islam; dan
dinamai al-furqān sebab ia merupakan firman Allah yang di dalamnya terdapat
pedoman untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil.
Jika ditelusuri lebih dalam, nama-nama Quran di atas memiliki keterkaitan
dalam mengukuhkan kemurnian Quran. Sebab Quran selain sering dibaca (quri’a)
oleh para sahabat pada waktu itu, juga langsung ditulis (kutiba) oleh para sekretaris
Nabi begitu ia mendapatkan wahyu dari Allah. Di samping sering dibaca dan ditulis
oleh para sahabat, Quran juga banyak dihafal/diingat (żukira) oleh banyak orang
Islam pada masa itu. Dari ini, kemurnian Quran semakin terjamin.
2. Perbedaan Makna Nazzala dan Anzala menunjukkan Perbedaan Cara
Penurunan Ayat-Ayat Quran
Pada dasarnya, lafal nazzala dan anzala memiliki kata dasar yang sama, yaitu
nazala yang secara bahasa mempunyai arti bertempat sebagaimana perkataan: fulān
nazala bi al-Madīnah; ḥalla bihā (Fulan bertempat di Madinah). Namun lafal
nazala juga bisa bermakna bergerak dari atas ke bawah. Contoh, fulān nazala min
al-jabal (Fulan turun dari gunung).40 Selain dapat menunjukkan tempat seperti
pengertian di atas, kata nuzūl juga dapat menunjukkan derajat atau kualitas, dan
kedudukan. Dengan demikian, lafal ini bisa bermakna ‘menurunkan’, baik fisik
maupun nonfisik, dari tempat dan kedudukan serta derajat yang lebih tinggi ke
tempat yang lebih rendah.41 Jika makna-makna ini ditujukan untuk menjelaskan
Muhammad Ibn Mukarran Ibn Manḍūr, Lisān al-ʻArab (Kairo: Dār al-Miṣriyyah, t.t.), j.
14, h. 178.
41
M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. II, h. 722.
40
65
makna nuzūl al-Qur’ān, maka ini ditolak oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
Sebab, mereka meyakini bahwasanya Quran itu qadīm, karena itu ia tidak
mempunyai tempat.42 Oleh sebab itu, al-Zarqanī memandang kata ‘nuzūl’ sebagai
majas dalam arti “iʻlam” (pemberitahuan). Maka kata “nuzūl al-Qur’ān” berarti
pemberitahuan Allah kepada manusia yang disampaikan melalui Quran.43
Dalam menurunkan wahyu, Allah swt. menggunakan redaksi “al-tanzīl” dan
“al-inzāl”.44 Lafal “al-tanzīl” adalah maṣdar dari lafal “nazzala”—merupaka fiʻl
ṡulāṡī mazīd rubāʻī 45 dengan menggandakan ‘ain fi’l-nya— yang mempunyai
faedah li al-takṡīr46, li al-tadarruj, atau li al-tanjīm, yaitu penurunan secara
berulang-ulang, bertahap, atau berangsur-angsur. Sedangkan lafal ‘anzala’— fiʻl
ṡulāṡī mazīd rubāʻī dengan mendapat tambahan huruf hamzah di depannya—
digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang turun secara utuh dan bersamaan. Dari
penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa lafal “anzala” penggunaannya lebih
umum, sedangkan lafal “nazzala” penekanannya pada turunnya sesuatu secara
teratur, tersusun, bertahap, dan berulang-ulang atau berangsur-angsur.47
Perbedaan penggunaan redaksi dalam “menurunkan” Quran ini berdampak
pada perbedaan cara Allah menyampaikan wahyu pada Nabi Muhammad saw.
dalam hal ini, ada beberapa pendapat mengenai bagaimana Allah menurunkan
Kadar M. Yusuf, Studi Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 15.
Muḥammad Abd ‘Aẓīm al-Zarqanī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dār alFikr, 1998), j. I, h. 34.
44
Selain dua kata tersebut, untuk menurunkan wahyu, Allah juga terkadang menggunakan
redaksi “jā’a” dan derivasinya serta lafal “atā” dan derivasinya.
45
Kalimat fiʻl (kata kerja) yang mendapat huruf tambahan sebanyak satu huruf.
46
Muḥammad Bāsil ‘Uyūn al-Sūd, al-Muʻjam al-Mufaṣṣal fī Taṣrīf al-Afʻāl al-‘Arabiyyah
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2011), cet. II, h. 258.
47
Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Riyadh: Dār al-Rasyīd, tt.), h. 05. Lihat
pula M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, j. II, h. 723.
42
43
66
wahyu-Nya pada Nabi Muhammad saw. Perbedaan pendapat itu pada dasarnya
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,48 yaitu:
1.
Pendapat pertama mengatakan bahwa Quran diturunkan pertama kali pada
malam Qadar (lailah al-qadar) dan kemudian diturunkan secara bertahap atau
berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw. Pendapat ini sekaligus menafikan
turunnya Quran sekaligus. Ini adalah pandangan al-Syaʻbī.
2.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Quran diturunkan ke langit dunia setiap
lailah al-qadar sekedar kebutuhan selama satu tahun sampai datang lailah al-qadar
selanjutnya. Artinya, setiap lailah al-qadar, Allah menurunkan sebagian firmanNya—dengan kadar kebutuhan selama satu tahun ke depan sampai datang lailah
al-qadar—ke langit dunia untuk kemudian ‘disimpan’ di sana. Begitu seterusnya
sampai Rasulullah wafat.
3.
Pendapat yang ketiga beranggapan bahwa Al-quran diturunkan Allah
sekaligus dari Lauḥ al-Maḥfūẓ ke Bait al-ʻIzzah di langit dunia untuk kemudian
diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw. dalam berbagai
kesempatan sepanjang masa-masa kenabian.
Demikianlah perbedaan makna al-tanzīl dan al-inzāl sehingga menyebabkan
perbedaan cara menurunkan Quran.
Dari pemaparan tentang penjelasan perbedaan term al-qur’ān, al-kitāb, alżikr, dan al-furqān, serta perbedaan mengenai proses turunnya Quran, penulis
menyimpulkan bahwa lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 bermakna Quran yang
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2008),
h. 94-95. Lihat pula Mannāʻ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 101-104.
48
67
berada pada hati orang Islam berupa hafalan49 atau ingatan50 bukan Quran yang
yang berbentuk kitāb (tulisan) maupun qur’ān (bacaan). Dikatakan berada pada
‘hati’ sebab al-żikr (ingatan) merupakan sesuatu yang berada dalam hati seseorang.
Oleh sebab itulah, para penghafal Quran dikatakan hāfiz sebab mereka menjaga
Quran dengan hafalan di hati mereka. Penulis berpendapat bahwa yang dijaga oleh
naḥnu51 (ḍamīr yang ada pada lafal innā) menunjukkan adanya keterlibatan selain
Allah, yaitu ḥuffāẓ al-qur’ān. Dengan demikian, yang dijaga oleh ‘naḥnu’ pada ayat
ini, QS. al-Ḥijr [15]: 9, adalah Quran yang dihafal oleh para ḥuffāẓ al-qur’ān.
Pendapat ini didasarkan pada alasan-alasan di bawah ini:
1.
Pemaknaan al-żikr dengan ingatan/hafalan di sini didasarkan pada
penafsiran ulama tafsir atas QS. al-Qamar [54] ayat 17, 22, 32, dan 40 yang
mempunyai redaksi yang sama, yaitu:
      
Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H) menafsirkan lafal li al-żikr dengan li al-ḥifẓ,
sehingga maksud ayat ini adalah Allah memudahkan Quran untuk dihafal karena
tidak ada satu pun dari kitab-kitab Allah yang dihafal di dalam hatinya selain
Quran.52
Hafal bermakna telah masuk dalam ingatan. Hafalan merupakan derivasi dari kata ‘hafal’
yang bermakna (sesuatu) yang dihafal. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), cet. I, h. 291.
50
Ingat bermakna berada di pikiran; tidak lupa. Ingatan merupakan derivasi dari kata ‘ingat’
yang bermakna apa yang diingat. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), cet. I, h. 331.
51
Ḍamīr naḥnu adalah ḍamīr yang mempunyai makna mutakallim maʻa al-gair (kata ganti
orang pertama banyak). Dengan demikian, lafal naḥnu pada ayat ini melibatkan (sesuatu) yang lain
selain mutakallim (Allah) (dalam hal ini adalah para ḥāfiz al-qur’ān).
52
Fakhruddīn al-Rāzī, Mafātīh al-Gaīb, j. 29, h. 43.
49
68
2.
Pada QS. al-Ḥijr [15]: 9, Allah menggunakan redaksi ‘‘nazzala’’ untuk
menunjukkan proses turunnya al-żikr, yaitu penurunan wahyu secara berjenjang
atau berangsur-angsur. Dan salah satu hikmah diturunkannya Quran secara
berangsur-angsur adalah agar mudah dihafal/diingat.53
3.
Melihat konteks pada waktu itu, wahyu (kalam Allah) lebih banyak dihafal
dari pada ditulis meskipun proses pencatatan telah dilakukan secara sempurna pada
masa Nabi Muhammad saw.54 Hal ini terlihat ketika orang musyrik memperolok
Nabi Muhammad dengan sebutan orang gila dan menuntut Nabi menghadirkan
Malaikat sebagai bukti kebenarannya. Seperti pada QS. al-Ḥijr [15]: 6-7:
             
   
“Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya,
sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila (6) Mengapa kamu tidak
mendatangkan malaikat kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang
benar? (7)”
Pada ayat di atas, orang-orang musyrik menggunakan lafal al-żikr untuk
menyebutkan Quran sebab pada waktu itu Quran masih lebih sering dihafal dan
belum berbentuk sebuah kitab.
4.
Melihat sejarah pengumpulan hingga penyempurnaan Quran, kitab Quran
mengalami berbagai ‘perubahan’ dari segi penulisan huruf-hurufnya hingga
Kadar M. Yusuf, Studi Islam, h. 19. Lihat pula Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an (1) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. I, h. 46. Muhammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī
Ṭayyib Ṭīzīnī, al-Islām wa al-‘Asr: Tahḥaddiyat wa Afaq, terj. Ahmad Mulyadi, Finding Islam
Dialog Tradisionalisme-Liberalisme Islam (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 125.
54
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2008),
h. 129. Lihat pula Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen
Agama, 2008), h. 13.
53
69
menjadi sempurna seperti mushaf yang ada pada saat ini. Hal ini dilakukan demi
membuat keseragaman dan standarisasi teks dan bacaan Quran. Seperti telah
diketahui, semasa Nabi Muhammad saw. masih hidup, firman Allah langsung
ditulis oleh para Sahabat55 seketika itu juga di pelepah-pelepah kurma, batu, dan
media penulisan yang ada pada saat itu.56 Firman Allah yang ditulis pada masa Nabi
hingga kodifikasi mushaf ‘Uṡmanī sampai masa awal pemerintahan Dinasti
Umayyah masih berupa tulisan Arab gundul, tanpa harakat dan tanpa titik57. Hal ini
menimbulkan problem baru di kemudian hari seiring semakin meluasnya wilayah
kekuasaan Islam hingga pada orang-orang non-Arab (‘ajam). Oleh sebab itu, pada
masa Dinasti Umayyah, Abū al-Aswad al-Duʻalī (w. 688 H) berinisiatif untuk
membuatkan tanda-tanda baca agar dapat memudahkan orang-orang ‘ajam dalam
membaca Quran dan untuk menghindari kesalahan-kesalahan ketika membacanya
bagi yang tidak hafal Quran.58 Abū al-Aswad al-Duʻālī (w. 688 H) menunjuk
seseorang dari suku ʻAbd al-Qais atau dari suku Quraisy yang bertindak menuliskan
tanda baca pada mushaf sementara ia mendiktekan. Lalu dilakukanlah pemberian
tanda baca dengan memberi titik pada huruf-huruf akhir di setiap kalimat. Titik di
atas huruf berarti fatḥah, titik di depan huruf berarti ḍammah, dan titik di bawah
huruf berarti kasrah. Jika titiknya ada dua berarti tanwin.
Di antara sekretaris-sekretaris Nabi adalah Zaid Ibn Ṡābit, ‘Ali Ibn Abī Ṭālib, Muʻawiyah
Ibn Abī Sufyān dan Ubay Ibn Kaʻb, dan lain sebagainya.
56
Lihat Eva Nugraha, “Konsep Nabi Ummy”, artikel diakses pada 5 Januari 2015 dari
https://www.academia.edu/5253075/Konsep_al-Nabiy_al-Ummi_, h. 17, sebagaimana yang ia kutip
dari Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān, h. 378. ; lihat pulaMuhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu alQur’an (1), h. 53.
57
Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya, h. 16. Lihat pula Abd. Moqsith,
Metodologi Studi al-Qur’an, h. 16.
58
Abd. Moqsith, Metodologi Studi al-Qur’an, h. 16.
55
70
Pada periode selanjutnya, yaitu masa khalifah Abdul Malik Ibn Marwan,
diberikan tanda titik pada huruf-huruf yang mirip, seperti antara bā’, tā’, dan ṡā’
serta antara jīm, ḥā’, dan khā’ dan seterusnya. Kemudian Imam Khalīl Ibn Aḥmad
al-Faraḥidī (w. 177 H), gurunya Imam Sibawaihi (seorang ahli naḥwu), yang
menyempurnakan titik yang pernah ditulis oleh Abū al-Aswad al-Duʻalī menjadi
harakat yang ada sekarang ini, yaitu harakat fatḥah dengan alif miring, harakat
ḍammah dengan wau kecil, harakat kasrah dengan yā’ yang dipangkas kepalanya,
tasydīd dengan kepala huruf sīn, sukūn dengan kepala huruf khāʻ kecil, dan
seterusnya.59 Hal ini cukup membuktikan bahwa Quran dalam bentuk tulisan (alkitāb) mengalami perubahan.
5.
Banyak fenomena kerusakan Quran (dalam bentuk tulisan/al-kitāb) baik
yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dalam banyak kasus, khususnya
kasus kebakaran dan tsunami, banyak kitab Quran yang rusak terbakar60 dan
terendam (meski dalam sedikit kasus ada yang masih utuh demi menunjukkan
kekuasaan Allah swt.).61 Ini menunjukkan bahwa Quran dalam bentuk kitab ini
tidak terjaga. Oleh karena itu, QS. al-Ḥijr [15]: 9 kurang pas jika diaplikasikan pada
kasus seperti ini jika menganggap kesamaan antara term-term yang dimaksud. Jika
Departemen Agama, Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya, h. 16-17.
“Al Quran Terbakar juga Ditemukan di Northwest Side AS”, Arrahmahmah, 15 September
2010. Berita diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul 14.53 WIB dari
http://www.arrahmah.com/read/2010/09/15/9139-al-quran-terbakar-juga-ditemukan-di-northwestside-as.html.
61
“Al-Quran Tetap Utuh di Saat Kebakaran (Subhanallah)”, diakses pada tanggal 25 Oktober
2014 dari http://note-why.blogspot.com/2011/04/al-quran-tetap-utuh-di-saat-kebakaran.html.;
http://mirajnews.com/id/internasional/asia/al-qur-an-tetap-utuh-usai-sebuah-mobil-terbakar-diarab-saudi/; Salman Mardira, “Kisah Ajaib di Masjid Baiturrahim saat Tsunami Aceh”, Okezone,
30 Juli 2012, diakses pada 24 Oktober 2014 pukul 14.48 WIB dari
http://m.okezone.com/read/2012/07/30/427/670342/kisah-ajaib-di-masjid-baiturrahim-saattsunami-aceh.
59
60
71
makna al-żikr pada ayat ini dimaksudkan untuk menunjukkan firman Allah yang
berbentuk kitab/tulisan (al-kitāb) maka akan memunculkan asumsi bahwa ayat ini
sudah tidak relevan lagi sedangkan seperti yang telah diketahui bahwa Quran
berlaku di setiap zaman.
6.
Kenyataan lainnya bahwa masih banyak umat Islam yang masih salah dalam
membaca Quran, baik dalam hal makhraj maupun sifat huruf, baik disebabkan oleh
dialek maupun oleh faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, lafal al-żikr tidak pas
jika dimaksudkan untuk menunjukkan firman Allah yang berupa bacaan (al-qur’ān)
melihat kenyataan yang ada.
7.
Quran yang ada di dunia saat ini ‘sama’ dengan Quran yang ada di lauḥ al-
maḥfūż,62 yaitu bi lā ḥarfin wa lā ṣautin (tanpa huruf dan tanpa suara) atau dalam
bahasa sains berbentuk metafisik.63 Maka dari itu, asumsi bahwa Quran yang ada
di dunia sama dengan Quran yang ada di lauḥ al-maḥfūż tidak pas jika pada ayat ini
al-żikr diartikan sebagai firman Allah yang berbentuk tulisan (al-kitāb) dan firman
Allah yang berupa bacaan (al-qur’ān). Namun lebih pas jika diartikan sebagai
firman Allah yang berada di hati orang Islam yang berupa hafalan sebab hafalan
yang ada pada hati seseorang tidak berhuruf dan tidak pula bersuara.
62
Dalil Quran berada di Lauḥ Maḥfūẓ di antaranya terdapat pada QS. al-Zukhrūf [43]: 4, QS.
al-Burūj [85]: 21-22, dsb.
63
Menurut Asyʻariyah dan Matūridiyah, kalam Allah terbagi menjadi dua kategori, yaitu
kalām al-nafs dan kalām al-majāzī. Kalām al-nafs merupakan firman Allah yang terpelihara di Lauḥ
Maḥfuẓ yang ‘bentuknya’ tanpa huruf dan tanpa suara (bilā harf wa lā ṣaut), tidak terurai dan tidak
terbagi, dan bersifat qadīm. Sedangkan kalām al-majāzī (seperti kitab Taurat, Injil, dan Quran)
merupakan manifestasi dari kalām al-nafs. Dan kalām al-majazī ini bersifat ḥudūṡ (makhlūq). Lihat
Muḥammad Ibn Abd. Rahmām al-Khumais, Iʻtiqād Ahl al-Sunnah Aṣhāb al-Ḥadīṡ, terj.
Abdurrahman Nuryaman, Pokok-Pokok Akidah Salaf yang Diikrarkan Imam al-Asyʻari (Jakarta:
Darul Haq, 2006), h. xv, 69-70. Lihat pula Yaḥyā Hāsyim Ḥasan Fargal, al-Asus al-Manhajiyyah
Lubnā’ al-‘Aqīdah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabiyyah, tt.), h. 111. Sahilun A. Nasar,
Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, h. 180.
72
8.
Dengan pemaknaan al-żikr sebagai firman Allah swt. yang berupa hafalan
dalam hati orang Islam, dapat mempertegas argumentasi kemurnian Quran
berdasarkan keterkaitan nama-nama populer Quran. Pada masa Quran masih
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., ayat-ayat yang turun pada waktu itu
langsung ditulis (al-kitāb) oleh para sahabat. Selain itu, Quran juga sering dibaca
(al-qur’ān), khususnya bagi yang mempunyai ṣuḥuf, dan tidak sedikit para sahabat
yang menghafalkan (al-żikr) ayat-ayat suci Quran bahkan sampai pada masa kini.
Dari itu, tidak ada celah yang dapat mengakibatkan perubahan Quran sebab ketika
ada ayat yang berbeda, akan ada sahabat yang membetulkannya baik berlandaskan
mushaf yang ia punya, atau berdasarkan kebiasaan membaca ayat Quran, atau
bahkan berdasarkan hafalan mereka mengenai ayat tersebut untuk kemudian
diseragamkan. Dari sini dapat diketahui rahasia penamaan Quran dengan namanama tersebut di atas.
Itulah argumentasi pemaknaan lafal al-żikr sebagai Quran yang berada dalam
hati manusia berupa hafalan. Pemaknaan seperti ini dan pembedaan antara term alżikr, al-kitāb, dan al-qur’ān penulis lakukan sebab penulis meyakini bahwa Allah
pasti memiliki maksud tersendiri dalam pemilihan diksi untuk menyusun suatu ayat.
Ketepatan Allah dalam memilih diksi juga dapat dilihat dari beberapa ayat Quran,
di antaranya pada QS. Yūsuf [12]: 17,
 ...  
  
    
   ...
“... lalu dia (Yusuf) dimakan serigala...”
73
Pada ayat di atas, Allah menggunakan lafal akala (memakan), tidak
menggunakan lafal iftarasa yang biasa digunakan pada hewan buas. Menurut Imam
al-Khattabī, penempatan lafal akala sudah tepat. Alasannya, lafal akala bermakna
menghabiskan sesuatu seluruhnya tanpa tersisa sedikit pun baik tulang atau pun
anggota-anggota tubuh yang lainnya. Dalam konteks cerita Nabi Yusuf, lafal
tersebut digunakan oleh saudara-saudaranya karena khawatir bapak mereka (Nabi
Ya’qub) akan meminta bekas-bekas Yusuf sebagai bukti dari apa yang mereka
ceritakan. Oleh sebab itu, mereka menggunakan lafal akala agar tidak dimintai
bukti. Berbeda dengan lafal iftarasa yang maknanya pembunuhan oleh hewan buas
namun masih menyisakan sisa dan bekas. Oleh karena itu, kata yang paling tepat
pada konteks cerita di atas adalah ‘akala’.64
Contoh lainnya mengenai ketepatan Allah dalam pemilihan diksi pada Quran
terlihat dalam pemilihan lafal na‘am dan balā (yang sama-sama bermakna ‘ya’)
untuk menjawab pertanyaan dengan tingkat kekhususan tertentu seperti pada ayat
ke-172 QS. al-A‘rāf berikut:
               
 
“"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
Amir Faishal Fath, The Unity of al-Quran. Penerjemah Nasirudiin Abbas (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2010), h. 78 sebagaimana yang ia kutip dari Abdul Qahir al-Jurjani, Tsalatsah Rasail fi
I’jaz al-Quran, ed. Muhammad Khalafullah (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt.), h. 41.
64
74
Ayat di atas mengandung kalimat pertanyaan (istifhām) yang bermakna
negasi, yaitu ‘bukankah’ (alastu). Kata balā digunakan pada konteks pertanyaan
yang memakai hamzah istifhamiyah yang bermuatan negasi namun hasilnya justru
afirmasi65 sehingga pada ayat tersebut akan bermakna penegasan bahwa ‘Ya
(Engkau adalah Tuhan kami)’. Berbeda halnya jika jawaban tersebut menggunakan
lafal naʻam, bukan balā. Jika yang digunakan adalah lafal naʻam maka ayat tersebut
akan bermakna penegasan terhadap ke-negasi-an pertanyaan sehingga maknanya
akan menjadi ‘Ya (Engkau bukan Tuhan kami)’.66 Sama arti namun berbeda makna.
Begitulah halnya dengan pemilihan lafal al-żikr dari pada lafal al-kitāb atau alqur’ān sekalipun. Meski bisa bermakna sama namun memiliki perbedaan yang
signifikan sebab setiap pemilihan diksi dalam Quran pasti memiliki maksud
tertentu.
Penetapan yang positif; penegasan; peneguhan.
Habibullah Ahmadi, Ahsan al-Hadīts: Analisis Tekstual Ulumul Quran, h. 57.
65
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bab-bab sebelumnya, telah dipaparkan hasil penelitian mengenai
karakteristik dan konsistensi lafal żikr dalam Quran dan penggunaannya pada QS.
Al-Ḥijr [15]: 9. Maka dari hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa
jika berasumsi tidak ada sinonimi dalam Quran dan ketepatan Allah dalam memilih
diksi pada ayat Quran maka lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 bermaksud untuk
menunjukkan makna Quran yang berada dalam hati orang Islam berupa hafalan.
Dengan demikian, Quran yang dijaga oleh ‘Kami’ sebagaimana dijelaskan
pada ayat tersebut bukan Quran yang berupa tulisan dalam mushaf atau kitab (alkitāb), bukan pula Quran yang berupa bacaan (al-qur’ān), melainkan Quran yang
berupa ingatan atau hafalan dalam hati ḥuffāẓ al-qur’ān (al-żikr).
B. Saran
Sebelum mengakhiri tulisan skripsi ini, penulis ingin mencoba memunculkan
persoalan yang selama penelitian mengganggu pikiran penulis. Persoalan-persoalan
tersebut di antaranya mengenai pemberian karakteristik yang masih terlalu umum.
Contoh, dalam hal pemberian karakteristik pemaknaan lafal żikr ini penulis
cenderung lebih memfokuskan perbedaan antara lafal żikr yang dimaknai Quran
dan yang tidak dimaknai Quran secara umum. Hal ini membuat penulis
mengesampingkan makna-makna lain dari lafal żikr. Padahal, seperti yang telah
dipaparkan, makna dari lafal żikr ‘yang tidak dimaknai Quran’ itu banyak sekali,
seperti peringatan, pelajaran, ilmu, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, sedikit
75
76
saran penulis untuk para pembaca dan peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih rinci
lagi karakteristik dari tiap-tiap makna lafal żikr secara khusus.
Selain itu, pemaknaan lafal al-żikr pada QS. al-Ḥijr [15]: 9 dengan firman
Allah (Quran) yang dihafal oleh para ḥuffāẓ al-qur’ān merupakan pendapat baru
dan berbeda dari pendapat-pendapat ulama pada umumnya. Tidak menutup
kemungkinan bahwa pendapat ini bisa saja salah melihat kapasitas keilmuan
penulis yang sangat minim. Oleh sebab itu, untuk ke depannya, penulis membuka
saran dan kritik seluas-luasnya atas pemikiran kepo penulis.
Akhir kata, mengutip perkataan dari Muḥammad Syaḥrūr, penakwilan Quran
secara sempurna hanya dapat dilakukan oleh Allah swt. Adapun makhluk-Nya
menakwilkan Quran sesuai dengan pengetahuan di setiap zamannya dan masingmasing memahami sesuai dengan kapasitas ilmunya. 1 Dan hanya sebatas inilah
kemampuan penulis dalam memahami makna al-żikr yang menunjukkan makna
Quran, khususnya pada QS. Al-Ḥijr [15] ayat 9. Penelitian ini pastinya memiliki
banyak sekali kekurangan, sebanding dengan sedikitnya wawasan dan
ketidaktahuan penulis akan pengetahuannya.
Muḥammad Syaḥrūr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Modern. Penerjemah
Sahiron Syamsuddin (Jogjakarta: elSAQ, 2007), h. 77.
1
77
DAFTAR PUSTAKA
Abqary, Ridwan. 101 Info tentang al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010.
Ahmadi, Habibullah. Zibôtarin Sukhan. Terj. Imam Ghozali. Ahsan al-Hadīts:
Analisis Tekstual Ulumul Quran. Jakarta: Sadra Press, 2011.
Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia,
2010.
Audah, Ali. Konkordinasi Qur’an. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 1991.
Ayāzī, Muḥammad ‘Alī. al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa Manhājuhum. Teheran:
Muassasah al-Taba'ah Wa Al-Nasr Wuzarah As-Saqofah Wa Al-Irsyad
Al-Islamy, 1373 H.
al-Bagāwī, Abī Muḥammad al-Ḥusain Ibn Masʻūd. Tafsīr al-Bagawī ‘Maʻālim alTanzīl’. Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1411 H.
al-Baghdadi, Abdurrahman. “al-Qur’an Mukjizat yang Abadi”. Dalam al-Insan I,
no. 1 (Januari 2005): h. 104
Bakalla, M. H. Arabic Culture Through Its Language And Literature. London:
Kegan International, 1984.
Al-Bāqī, Muḥammad Fu’ād Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān.
Beirut: Dār al-Hadīṡ, 2007.
Bell, Richard. Introduction to The Qur’an. Terj. Taufik Adnan. Pengantar Studi AlQur’an. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995. Cet. II.
Boullata, Issa J. I’jāz al-Qur’ān al-Karīm ʻAbra al-Tārikh. Terj. Bachrum B., dkk..
Al-Qur’an yang Menakjubkan. Tangerang: Lentera Hati, 2008.
Chirzin, Muhammad. al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta : PT. Dana
Bhakti Prima Yasa, 2003. Cet. II.
al-Darwīsy, Muḥyī al-Dīn. Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayānuhū. Suriah: Dār al-Irsyād,
1980.
Departemen Agama RI. Mukadimah al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen
Agama RI, 2008.
Fargal, Yaḥyā Hāsyim Ḥasan. al-Asas al-Manhajiyyah Lubnā’ al-‘Aqīdah alIslāmiyyah. Beirut: Dār al-Fikr al-‘Arabiyyah, t.t.
Fath, Amir Faishal. The Unity of al-Qur’an. Penerjemah Nasirudiin Abbas. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010.
78
Ghazali, Abd. Moqsith. Metodologi Studi al-Qur’an. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2009.
Haikal, Muhammad Husain. al-Ṣiddīq Ābū Bakr. Terj. Ali Audah. Abū Bakr alṢiddīq. Jakarta: Litera AntarNusa, 2003. Cet. III.
Ḥākim Malik. al-Ziyādī, al-Tarāduf fi al-Lugah. Bagdād: Dār al-Ḥurriyyah li alṬabāʻah, 1980.
Hidayat, Nuim. Sayyid Quthb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya. Jakarta:
Gema Insani, 2005.
Husaini, Adian. “Studi Awal atas Keragaman Teks Bibel”. Dalam al-Insan I, no. 1
(Januari 2005): h. 116.
al-Husni, Muhammad bin Alwi al-Maliki. Mutiara-Mutiara Ilmu al-Qur’an. Terj.
Rosihan Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Ibn ‘Āsyur, Muḥammad al-Ṭāhir. Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr. Tunisia: al-Dār
al-Tūnisiyyah li al-Nasyar, 1984.
Ibn Isḥāq, ‘Abdullāh Ibn Muḥammad Ibn ‘Abd al-Raḥmān. Lubāb al-Tafsīr min
Ibn Kaṡir. Terj. M. Abdul Ghoffar E. M, dkk. Tafsir Ibn Katsir. Jakarta:
Pustaka Imam saf-Syafi’i, 2005. Cet. IV.
Ibn Manẓūr. Lisān al-‘Arab. t.k.: Dār al-Ma’ārif, t.t.
Ibn al-Mufaḍḍal, Abu al-Qāsim al-Ḥusain Ibn Muḥammad. Mu’jam Mufradāt Alfāẓ
al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kitāb al-Ilmiyah, 2004.
Ibn Kaṡīr, Ismāʻīl Ibn ‘Umar. Tafsīr al-Qur’ān al-ʻAẓīm. Riyadh: Dār Ṭayyibah li
al-Nasyr wa al-Tauzīʻ. 1999. cet II
al-Ibyārī, Ibrāhīm. Tārikh al-Qur’ān. Terj. Saad Abdul Wahid. Pengenalan Sejarah
al-Qur’an. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995. Cet. III.
al-Jurjanī, Abd al-Qāhir. Ṡalāṡah Rasāil fī Iʻjāz al-Qur’ān. Ed. Muhammad
Khalafullah. Mesir: Dar al-Ma’arif, t.t.
al-Jauziyah, Ibn Qayyim. Madāraij al-Sālikīn bain Oil Iyyāka Na’budu wa Iyyāka
Nastaʻīn. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. Cet. I.
Karman, M., dan Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Islamika, 2002.
Kementrian Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. t.k.: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012.
79
al-Khulī, Muhammad Ali. A Dictionary of Theoretical Linguistics ‘English-Arabic
with on Arabic-English Glossary. Beirut: Librairie du Luban, 1982.
al-Khumais, Muḥammad Ibn Abd. Rahmām. Iʻtiqād Ahl al-Sunnah Aṣhāb alḤadīṡ. Terj. Abdurrahman Nuryaman. Pokok-Pokok Akidah Salaf yang
Diikrarkan Imam al-Asyʻari. Jakarta: Darul Haq, 2006.
al-Marāgī, Ahmad Muṣṭafā. Tafsīr al-Marāgī. Kairo: Muṣṭāfā al-Bābī Al-Ḥalabī,
1946.
Masyhur, Kahar. Pokok-Pokok Ulumul Quran. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.
Moeliono, Anton M. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ‘Ancangan Alternatif
di dalam Perencanaan Bahasa Seri ILDEP’. Jakarta: Djambatan, 1985.
Muhyidin, Muhammad. Hidup di Pusaran al-Fatihah: Mengungkap Keajaiban
Konstruksi Ummul Kitab. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progressif, 2002. Cet. XXV.
Nasar, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Nata, Abuddin. al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah I). Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000. Cet. VII.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesi, 1999. Cet. IV.
Nuryaman, Abdurrahman. Kumpulan Dzikir & Doa Sepanjang Masa Berdasarkan
al-Qur’an dan al-Sunnah. Jakarta: Darul Haq, 2013.
Parera, J. D. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 2004.
al-Qaisī, Muḥammad Makkī Ibn Abī Ṭālib. Musykil Iʻrāb al -Qur’ān. Beirut:
Muassasah al-Risālah, 1988.
al-Qaṭṭān, Mannāʻ. Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Rasyīd, t.t.
Quṭb, Sayyid. Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur’ān. Tk.: Minbar al-Tauḥīd wa al-Jihād, t.t.
al-Rafi’i, Musthafa Shadiq. I’jaz Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, t.t.
al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. Mafātiḥ al-Gaīb. Beirut: Dār al-Fikr, 1981.
Rumadi. Renungan Santri: Dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama. t.k.: Penerbit
Erlangga, 2009. Cet. IV.
80
Sakho, Muhammad Akhsin, dkk.. Kawkaban. Jakarta: Tamyiz Publishing, 2012.
Cet. III.
Al-Ṣālih, Subḥi. Mabahits fi Ulum al-Qur-an. Terj. Tim Pustaka Firdaus.
Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Cet. II.
Setiawan, Nur Kholis. Al-Quran Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsa Press,
2005.
Shanti, & Ve Handojo. Shanti Bongkar Rahasia, Bagi Cerita. Jakarta: GagasMedia,
2011.
Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang, 1972. Cet. II.
__________. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang,
1972. Cet. V.
Shihab, Quraish. Mukjizat Al-Quran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013.
__________, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati.
2007.
Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta:
Transpustaka. 2011.
al-Sūd, Muhammad Bāsil ‘Uyūn. al-Muʻjam al-Mufaṣṣal fī Taṣrīf al-Afʻāl al ‘Arabiyyah. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2011. Cet. II.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013.
_________. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Cet. I.
Su’ūd, Abū. Irsyād al-Aql al-Sālim ilā Mazāyā al-Qurān al-Karīm. Beirut: Dār
Ihyā’ al-Turāṡ al-‘Arabī, 1990. Cet. II.
al-Suyūṭi, Jalaluddin, dkk. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Surabaya: Nur al-Huda, t.t.
al-Suyūṭī, Jalāluddīn. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Muassasah al-Risālah
Nāsyirūn, 2008.
_________. al-Muzhir fī ‘Ūlūm al-Lugah wa Anwāʻihā. Kairo: al-Maktabah alAzhariyyah, t.t.
al-Syāfiʻī, Muḥammad Ibn Qāsim. Tausyīḥ ‘alā Ibn Qāsim. Indonesia: Dār Ahyā’
al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
81
Syaḥrūr, Muḥammad. al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah. Terjemahan
Sahiron Syamsuddin. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam
modern. Jogjakarta: elSAQ, 2007.
al-Syakhʻah, Mustofa Muhammad. Islām bi Lā Mażāhib. Terj. A. M. Basalamah.
Islam Tidak Bermadzhab. Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Syamsuri, Hasani Ahmad. Studi Ulumul Qur’an. Jakarta: Zikra-Press, 2009. Cet. I.
Syibromalisi, Faizah Ali, dan Jauhar Azizi. Membahas Kitab Tafsir Modern.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Al-Ṭabarī, Ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ayy al-Qur’ān. Kairo: Markaz alBuḥūṡ wa al-Dirāsah al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah, 2001.
_________. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayat Al-Qur’an. Terj. Misbah dkk.. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
Taufiqurrochman. Leksikologi bahasa Arab. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
al-Tawwāb, Ramḍān ‘Abd. Fuṣūl fī fiqh al-Lugah. Mesir: Maktabah al-Khānajī,
1999. Cet. VI.
Tim Penyusun Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1988. Cet. 1.
_________. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Cet. 4.
Tim Penyusun. Alhidayah Quran Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka. Tangerang:
Kalim. 2010.
Ṭīzīnī, Muhammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī Ṭayyib. al-Islām wa al-‘Asr:
Tahḥaddiyat wa Afaq. Terj. Ahmad Mulyadi. Finding Islam Dialog
Tradisionalisme-Liberalisme Islam. Jakarta: Erlangga, 2002.
‘Umar, Ahmad Mukhtar. ‘Ilm al-Dalālah. Beirut: ‘Alām al-Kutub, 1998. Cet. V.
‘Uṡmān, Muḥammad Ḥasan. Iʻrāb al-Qur’ān wa Bayān Maʻānīh. Mesir: Dār alRisālah, 2011.
Verhaar, J.W.M. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1983.
al-Wāḥid, ‘Alī ʻAbd. Fiqh al-Lugah. Mesir: Dār al-Naḥḍah, t.t.
Wibowo, Wahyu. Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik
dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
82
Yāsīn, Muhammad Ḥusain ‘Ālī. al-Dirāsāt al-Lugawiyyah ‘inda al-‘Arab ḥattā
Nihāyat al-Qarn al-Ṡāliṡ. Beirut: Dār Maktabah al-Ḥadīṡ, 1980.
Ya’qūb, Emīl Badī’. Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa Khaṣāisuha. Beirut: Dār alʻIlm li al-Malāyīn, 1982.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus
Wadzuryah, 1990. Cet. VIII.
Yustinah, dan Ahmad Iskak. Bahasa Indonesia Tataran Madia untuk SMK dan
MAK XI. Jakarta: Erlangga, 2008.
Yusuf, Kadar M. Studi Islam. Jakarta: Amzah, 2009.
Yusuf, Muhammad. “Relasi Tanda Bahasa dan Makna dalam Bahasa Arab: Kajian
atas Pemikiran Ibn ria dalam al-Ṣāhibī”. Disertasi Sekolah Pasca
Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.
Al-Żahabi, Muhammad Husein. Al-Tafsīr wa Al-Mufassirūn. Kairo: Dar al-Kutub,
1961.
Zahrudin, “Relasi Makna dalam Al-Qur’an: Analisis terhadap Kata-Kata yang
Memiliki Relasi Makna dalam Al-Qur’an Yang Diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia”. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2010.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Mafhum al-Nāṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Terj. Khoiron
Nahdliyyin. Tekstualitas al-Quran. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta,
2002. Cet. II.
al-Zamakhsyarī, Maḥmūd Ibn ‘Umar. al-Kasysyāf ‘an Ḥaqāiq Gawāmiḍ al-Tanzīl
wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Tanzīl. Riyāḍ: Maktabah al-ʻAbikān ,
1998.
al-Zarkasyī, Baduruddin Muhammad Ibn Abdillah. al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān.
Beirut: Dār al-Maʻārif li al-Tibāʻah wa al-Nasyr, 1972. Cet. III.
Al-Zarqanī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1998.
“Bahasa Arab Klasik”. Artikel diakses pada tanggal 20 Oktober 2014, pukul 15:27
WIB dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Arab_Klasik.
Faza, Feti. “Analisis Syair Mu’allaqat”. Artikel diakses pada 14 Oktober 2014
pukul 10.45 WIB dari http://fetifaza.blogspot.com/2010/02/analisissyair-muallaqat.html.
Rohman, M. Imdadur. “Studi Kritis terhadap Interpretasi Muhammad Syahrur”.
Artikel diakses pada tanggal 15 Oktober 2014, 14:12 WIB dari
83
http://imdad-gresik.blogspot.com/2010/07/studi-kritis-terhadapinterpretasi.html.
“Al Quran Terbakar juga Ditemukan di Northwest Side AS”. Arrahmahmah, 15
September 2010. Berita diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 pukul
14.53 WIB dari http://www.arrahmah.com/read/2010/09/15/9139-alquran-terbakar-juga-ditemukan-di-northwest-side-as.html.
“Al-Quran Tetap Utuh di Saat Kebakaran (Subhanallah)”. Diakses pada tanggal 25
Oktober 2014 dari http://note-why.blogspot.com/2011/04/al-qurantetap-utuh-di-saat-kebakaran.html.
http://mirajnews.com/id/internasional/asia/al-qur-an-tetap-utuh-usai-sebuahmobil-terbakar-di-arab-saudi/;
Mardira, Salman. “Kisah Ajaib di Masjid Baiturrahim saat Tsunami Aceh”.
Okezone, 30 Juli 2012. Diakses pada 24 Oktober 2014 pukul 14.48
WIB dari http://m.okezone.com/read/2012/07/30/427/670342/kisahajaib-di-masjid-baiturrahim-saat-tsunami-aceh.
Nugraha, Eva. “Konsep Nabi Ummy.” Artikel diakses pada 5 Januari 2015 dari
https://www.academia.edu/5253075/Konsep_al-Nabiy_al-Ummi_.
Download