REALISASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KESANTUNAN

advertisement
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
REALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
MELALUI KESANTUNAN BERBAHASA GURU
DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS
Mulyani
Guru SMA Negeri 1 Ponorogo
[email protected]
ABSTRAK
Guru yang berkompeten harus memiliki kompetensi pedagogik, professional,
kepribadian, dan sosial. Guru sebagai sosok yang memiliki kompetensi yang baik tentu
memiliki kemampuan bertutur yang baik, santun, halus dan lembut terhadap siswanya.
Kemampuan bertutur ini terkait dengan kompetensi komunikasi yang harus dimiliki oleh
seorang guru professional. Tugas utama guru tidak hanya memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) saja, tetapi juga memindahkan nilai (transfer of value) kepada
siswa. Proses pemindahan pengetahuan dan nilai yang dilakukan oleh guru akan berhasil
apabila dilakukan dengan prinsip yang baik, benar, dan tepat. Salah satu prinsip itu adalah
prinsip kesantunan berbahasa.
Tujuan artikel ini adalah mendeskripsikan tentang realisasi pendidikan karakter
melalui kesantunan berbahasa guru dalam pembelajaran di kelas. Berbahasa yang baik,
benar, dan tepat khususnya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas akan berdampak
pada keberhasilan guru dalam pembelajaran, baik pada aspek pengetahuan, sikap dan
keterampilan siswa.
Dengan demikian, guru diharapkan dapat menguasai keterampilan komunikasi dan
memahami prinsip kesantunan dalam berbahasa secara baik dan benar. Pembelajaran di
kelas akan bermakna dan menjadi media menanamkan nilai pendidikan karakter jika guru
hadir di kelas membawa perubahan dan menginspirasi siswa siswinya.
A. PENDAHULUAN
Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, ahlak,
dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan
netral. Sedangkan Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008)
merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik,
baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara
koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga
seseorang atau sekelompok orang.
Dalam memantabkan keberadaan generasi muda abad 21, ada tiga
keterampilan utuh yang dibutuhkan oleh generasi muda abad 21 yakni, kualitas
karakter, kemampuan literasi, dan kompetensi (Anis Baswedan, 2016). Kualitas
karakterter ada dua bagian, yakni karakter moral dan karakter kinerja. Karakter
moral mencakup nilai nilai Pancasila, keimanan, ketaqwaan, integritas, kejujuran,
keadilan, empati, rasa welas asih, dan sopan santun. Sementara itu, karakter kinerja
mencakup kerja keras, ulet, tangguh, rasa ingin tahu, inisiatif, gigih, kemampuan
beradaptasi, dan kepemimpinan.
Untuk mengembangkan karakter moral dan kinerja di lembaga pendidikan
merupakan suatu keniscayaan dan perlu keteladanan. Bentuk yang paling ideal
interaksi guru-murid dalam pembelajaran di kelas memungkinkan lahirnya sebuah
model integrasi pendidikan karakter. Dalam interaksi guru-murid selama proses
pembelajaran di kelas, guru lebih mendominasi dalam pemanfaatan bahasa sebagai
sarana komunikasi. Oleh karenanya, kesantunan bahasa yang digunakan guru dalam
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
memerintah, memohon, dan menyarankan siswa dalam mengelola pembelajaran di
kelas merupakan sesuatu yang unik dan memiliki dimensi pendidikan karakter secara
langsung.
B.
PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter di lembaga pendidikan memerlukan peran dari kepala
sekolah, guru/ tenaga pendidik, dan karyawan/ tenaga kependidikan. Usaha untuk
memberikan contoh dan teladan terhadap nilai-nilai kebaikan, seperti sopan santun
dalam berkomunikasi adalah bagian yang sederhana dalam merealisasikan
pendidikan karakter. Guru memiliki kebiasaan menyapa murid muridnya baik di
dalam kelas maupun di luar kelas. Pola sapaan yang digunakan seorang guru tentu
akan bernilai dan bermakna bagi muridnya karena bahasa adalah cerminan
kepribadian dan pola pikir penuturnya.
Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan karakter memiliki peran yang
sangat penting karena perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses
pendidikan karakter sangat ditentukan oleh faktor lingkungan ini. Dengan kata lain
pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup diantaranya lingkungan fisik
dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode
mengajar. Pembentukan karakter melalui rekayasa faktor lingkungan dapat
dilakukan melalui strategi: (1) Keteladanan, (2) Intervensi, (3) Pembiasaan yang
dilakukan secara Konsisten, dan (4) Penguatan.
Dengan kata lain perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan
pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran,
pelatihan, pembiasaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara
konsisten dan penguatan serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur.
Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap
orang dapat menyetujui nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religius, atau bias
budaya. Beberapa hal di bawah ini yang dapat dijelaskan untuk membantu siswa
memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter, yaitu sebagai berikut:
1. Trustworthiness (Kepercayaan)
Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal, melakukan apa
yang anda katakan anda akan melakukannya, minta keberanian untuk
melakukan hal yang benar, bangun reputasi yang baik, patuh, berdiri dengan
keluarga, teman dan negara.
2. Recpect (Respek)
Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun, bukan bahasa yang
buruk, pertimbangkan perasaan orang lain, jangan mengancam, memukul atau
menyakiti orang lain, damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan.
3. Responsibility (Tanggungjawab)
Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri, disiplin, berpikirlah sebelum
bertindak, mempertimbangkan konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan
anda.
4. Fairness (Keadilan)
Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan berbagi, berpikiran terbuka;
mendengarkan orang lain, jangan mengambil keuntungan dari orang lain,
jangan menyalahkan orang lain sembarangan.
5. Caring (Peduli)
Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda peduli, ungkapkan rasa
syukur, maafkan orang lain, membantu orang yang membutuhkan.
6. Citizenship (Kewarganegaraan)
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Menjadikan sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik, bekerja sama,
melibatkan diri dalam urusan masyarakat, menjadi tetangga yang baik, mentaati
hukum dan aturan, menghormati otoritas, melindungi lingkungan hidup.
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan
melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan
pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada
satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai
hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang
dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu: (1) Jujur, (2) Toleransi, (3) Disiplin, (4) Kerja keras, (5)
Kreatif, (6) Mandiri, (7) Demokratis, (8) Rasa Ingin Tahu, (9) Semangat
Kebangsaan, (10) Cinta Tanah Air, (11) Menghargai Prestasi, (12)
Bersahabat/Komunikatif, (13) Cinta Damai, (14) Gemar Membaca, (15) Peduli
Lingkungan, (16) Peduli Sosial, (17) Tanggung Jawab, (18) religious. (Puskur.
Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah.
2009:9-10).
Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan
pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan
nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18
nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu
akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal
itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di
antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari
nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi
masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan
santun
C. KESANTUNAN BERBAHASA
Kesantunan berbahasa adalah bentuk kesopanan dan kehalusan dalam
menggunakan bahasa pada saat seseorang berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.
Bahasa yang digunakan memperhatikan tentang adab, tertib, sopan santun dan
mengadung nilai-nilai rasa hormat yang tinggi.
Brown dan Levinson mengartikan kesantunan sebagai sesuatu melakukan
tindakan yang mempertimbangkan perasaan orang lain yang didalamnya
memperhatikan positif face (muka positif) yaitu keinginan untuk diakui dan negatif
face (muka negatif) yaitu keinginan untuk tidak diganggu dan terbebas dari beban.
Kebutuhan muka dianggap berlaku dalam seluruh tataran budaya dimana muka
dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat hilang, perlu dijaga, atau perlu didukung.
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa muka secara terus-menerus berada
dalam kondisi beresiko karena segala bentuk tindakan berbahasa yang disebut Face
Threatening Act/ FTA (tindakan mengancam muka) yang mempunyai fungsi
menghubungkan penutur dengan lawan tutur dipandang sebagai ancaman bagi lawan
berbahasa. Oleh karenanya, segala tindakan mengancam muka tersebut harus
dinetralkan dengan menggunakan dosis kesantunan yang tepat. Tepatnya, kesantunan
dipahami sebagai dasar dalam menghasilkan suatu tatanan sosial dan merupakan alat
untuk memperlancar interaksi.
Brown dan Levinson (1987:60) mengidentifikasi empat strategi kesantunan atau
pola perilaku umum yang dapat diaplikasikan penutur yaitu:
1. Bald-on Record Strategy (tanpa strategi, bertutur apa adanya, tanpa basa basi)
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Dengan strategi ini penutur tidak melakukan usaha apapun untuk meminimalisir
ancaman bagi muka lawan tutur atau untuk mengurangi akibat dari tindakan yang
mengancam muka. Strategi seperti ini akan mengakibatkan lawan tutur merasa
terkejut, malu dan tidak nyaman. Beberapa contoh data hasil pengamatan di
kelas:
Mohon, kamu sudah kelas XII. Gunakan waktumu dengan baik. Jangan hanya
habis untuk bermain saja. Mohon, buku buku tentang UN juga dipelajari. Jangan
kecewakan sekolah, orang tua mu. Mohon, kamu mulai berfikir dewasa [1].
Berdasarkan data [1] dapat diuraikan dan dimaknai sebagai berikut:
Pemarkah tuturan: (1) Pemarkah Verb Phrasa eksplisit (mohon, gunakan,
pelajari, berfikir. (2) Tuturan informal, dan (3) Tuturan langsung.
Penanda konteks: (1) KBM bidang studi Fisika kelas XII IPA 3, (2) dituturkan
oleh guru perempuan (wali kelas, (3) tuturan guru pada saat mengontrol jumlah
percakapan di keas, (4) ditujukan kepada semua siswa, (5) Memohon mitra tutur
(siswa) agar belajar lebih giat, tekun dan bersungguh-sungguh menghadapi
berbagai bentuk ujian di kelas XII.
Implikatur daya pragmatik: Memohon Mitra tutur (siswa) agar belajar lebih
giat, tekun dan bersungguh-sungguh menghadapi berbagai bentuk ujian di kelas
XII
2. Positive Politeness Strategy (strategi kesantunan positif/keakraban)
Strategi ini digunakan untuk menunjukkan keakraban kepada lawan tutur yang
bukan orang dekat penutur. Untuk memudahkan interaksinya, penutur mencoba
memberi kesan senasib dan seolah-olah mempunyai keinginan yang sama dengan
lawan tutur dan dianggap sebagai keinginan bersama yang memang benar-benar
diinginkan bersama pula. Strategi ini ditujukan langsung kepada muka positif
lawan tutur supaya keinginan penutur dianggap sebagai keinginan bersama antara
penutur dengan lawan tutur.
Kalau bisa, besuk sudah dikumpulkan di meja saya. Bisa kan? Sebelum jam
istirahat ya? Nanti saya bisa ngecek [2].
Berdasarkan data [2] dapat diuraikan dan dimaknai sebagai berikut:
Pemarkah tuturan: (1) Pemarkah Verb Phrase eksplisit, dikumpulkan, (2)
tuturan informal, (3) tuturan langsung.
Penanda Konteks : (1) KBM bidang studi Kimia kelas XII IPA 1, (2) dituturkan
oleh guru perempuan, (3) tuturan guru pada saat mengontrol jumlah percakapan
di kelas, (4) ditujukan kepada semua siswa, (5) meminta mitra tutur (siswa) agar
mengumpulkan tugas Kimia di meja Penutur (guru) sebelum waktu istirahat.
Implikatur daya pragmatik: Meminta Mitra Tutur agar mengumpulkan tugas
Kimia di meja Penutur (guru) sebelum waktu istirahat.
3. Negative Politeness Strategy (strategi kesantunan negatif/formalitas)
Strategi kesantunan negatif adalah tindakan yang dilakukan untuk menebus muka
negatif lawan tutur dan keinginan penutur untuk terbebas dari beban dengan
maksud agar tindakan dan maksudnya tidak terganggu dan tidak terkendala.
Tindakan ini tidak lain adalah dasar dari perilaku menghargai, yang terdapat pula
pada strategi kesantunan positif. Bedanya strategi ini lebih spesifik dan lebih
terfokus karena penutur menampilkan fungsi-fungsi penunjang untuk
meminimalisir beban tertentu sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindarkan oleh
lawan tutur. Fokus utama pemakaian strategi ini adalah dengan mengasumsikan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
bahwa penutur kemungkinan besar memberikan beban atau gangguan kepada
lawan tutur karena telah memasuki daerah lawan tutur. Hal ini diasumsikan
bahwa ada jarak sosial tertentu atau hambatan tertentu dalam situasi tersebut.
Kalian kalau sudah masuk di lab. Fisika harus manut aturan. Jangan sekali-kali
corat-coret di meja lab. Apalagi pakai tipex [3].
Berdasarkan data [3] dapat diuraikan dan dimaknai sebagai berikut:
Pemarkah Tuturan: (1) Pemarkah Verb phrase eksplisit, jangan sekali-kali
corat-coret di meja lab. (2) Tuturan informal, (3) tuturan langsung.
Penanda Konteks: (1) KBM bidang studi Fisika kelas XI IPA 2. (2) Dituturkan
oleh guru laki-laki, (3) Tuturan guru pada saat mengontrol jumlah percakapan di
kelas, (4) ditujukan kepada semua siswa, (5) menghimbau Mitra tutur (siswa)
untuk mematuhi tata tertib pemakaian laboratorium Fisika dengan cara tidak
mencorat coret meja.
Implikatur daya pragmatik: Menghimbau Mitra tutur untuk mematuhi tata
tertib pemakaian laboratorium Fisika dengan cara tidak mencorat-coret meja.
4. off-record Politeness Strategy (strategi tidak langsung atau tersamar)
Strategi ini direalisasikan dengan cara tersamar dan tidak menggambarkan
maksud komunikatif yang jelas. Dengan strategi ini penutur membawa dirinya
keluar dari tindakan dengan membiarkan lawan tutur menginterpretasikan sendiri
suatu tindakan. Strategi ini digunakan jika penutur ingin melakukan tindakan
mengancam muka namun tidak ingin bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kelas ini kipas anginnya tidak ada ya… sumuk banget … masak nggak
dibetulkan kalo rusak. Coba, dinyalakan kipas anginnya. Soalnya panas sekali
ini [4].
Berdasarkan data [4] dapat diuraikan dan dimaknai sebagai berikut:
Pemarkah tuturan: (1) Pemarkah Verb phrase eksplisit, coba, dinyalakan, (2)
tuturan informal, (3) tuturan tidak langsung.
Penanda konteks : (1) KBM bidang studi Fisika kelas XI IPA 1, (2) dituturkan
oleh guru laki-laki, (3) tuturan guru pada saat menarik atau menunjukkkan
perhatian pada topic pembelajaran, (4) ditujukan kepada semua murid, (5)
Menyuruh mitra tutur untuk menyalakan kipas angin di kelas karena cuaca terasa
sangat panas dan mengganggu suasana pembelajaran.
Implikatur daya pragmatik: menyuruh Mitra tutur (siswa) untuk menyalakan
kipas angin di kelas karena cuaca terasa sangat panas dan mengganggu suasana
pembelajaran.
D. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, yang diperkuat melalui Permendiknas Nomor 12, 13, dan 16
tahun 2007 tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan salah satu ihwal guru
adalah tentang kompetensi pendidik (guru) ada empat, yakni (1) kompetensi
pedagogic, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi
professional. Keempat kompetensi itu harus melekat pada diri guru sebagai
perwujudan jiwa pendidik yang akan memberikan pengetahuan dan keterampilan
kepada peserta didik (murid). Guru harus mampu berinteraksi dengan muridnya secara
baik dan harmonis agar tercipta proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan
menyenangkan.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Untuk menciptakan proses pembelajaran dan bimbingan yang kreatif dan
menyenangkan tersebut guru harus memiliki keterampilan mengajar di kelas.
Keterampilan mengajar merupakan kompetensi professional yang cukup kompleks,
sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh. Turney
(1973, dalam E. Mulyasa, 2005:69) mengungkapkan delapan keterampilan mengajar
yang sangat menentukan kualitas pembelajaran, yakni (1) keterampilan bertanya, (2)
memberikan penguatan, (3) mengadakan variasi, (4) menjelaskan, (5) membukan dan
menutup pelajaran, (6) membimbing diskusi kelompok kecil, (7) mengelola kelas, dan
(8) mengajar kelompok kecil dan perorangan.
Keberadaan guru menjadi sangat menentukan bagi keberhasilan kegiatan
belajar mengajar di kelas. Keberhasilan itu ditandai dengan keberhasilan guru dalam
menjalin komunikasi yang efektif dan efisien dengan murid. Dalam sebuah kelas guru
berperan aktif dan bertanggung jawab penuh dalam pembelajaran. Guru dan siswa
secara ideal harus bekerja sama dalam suatu kemitraan. Strategi yang paling penting
yang akan mewujudkan kemitraan adalah negosiasi. Negosiasi belajar antara guru dan
siswa cenderung menghasilkan pengalaman belajar yang akan mengakomodasi
kebutuhan, minat dan kemampuan tertentu siswa. Guru dan siswa bekerja sama dalam
suatu arah dan rasa percaya yang timbul dari pemahaman terhadap aktivitas belajar.
Berdasarkan hasil observasi bahwa model atau pola komunikasi yang
digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas memiliki pola struktur sebagai
berikut; (1) kegiatan awal, mencakup salam, tegur sapa, mengecek kehadiran siswa,
(2) kegiatan inti, mencakup kegiatan 5 M, yakni Mengamati, Menanya,
Mengeksplorasi, Mengasosiasi, dan Mengomunikasikan, (3) Penutup, mencakup
kegiaan refleksi dan penguatan. Dengan demikian, guru selama proses pembelajaran
di kelas memiliki waktu yang cukup memadai untuk bertutur dalam mengelola kelas,
mulai dari memerintah siswa, memohon kepada siswa, dan memberi saran. Dalam
bertutur, guru tentu berusaha kehadirannya di kelas membuat siswa dalam belajar
merasa aman, nyaman, dan menyenangkan. Oleh karenanya, untuk menciptakan
kondisi yang harmonis antara guru – murid dalam berkomunikasi harus menjunjung
tinggi prinsip-prinsip kesantunan berbahasa seperti disebutkan di atas.
E. PENUTUP
Simpulan
Beberapa simpulan dari kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan karakter adalah sesuatu yang utama dalam membentuk tradisi, sikap,
pola pikir, pola tindak dari seseorang yang memerlukan sebuah contoh dan
keteladanan.
2. Lembaga pendidikan/ sekolah adalah wahana yang tepat untuk mengembangkan
pendidikan karakter, khususnya melalui keteladanan seorang guru dalam bertutur/
berkomunikasi degan murid-muridnya dalam pembelajaran di kelas.
3. Integrasi pendidikan karakater yang bisa dilakukan guru sebagai cerminan
kesantunan berbahasa adalah melalui tindak tutur memerintah, memohon,
menyarankan siswa selama proses pembelajaran di kelas.
4. Nilai utama karakter yang perlu dikembangkan dan direalisasikan dalam
pembelajaran di kelas adalah bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun
5. Empat prinsip kesantunan berbahasa Brown dan Levinson dapat dijadikan
indikator seorang guru telah memahami dan merealisasikan pendidikan karakter di
dalam proses pembelajaran di kelas.
Saran
Beberapa saran dari kajian ini adalah sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2
“Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif
di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
1. Dalam pembelajaran di kelas, guru hendaknya selalu menciptakan suasana yang
kondusif, aman, nyaman, dan menyenangkan agar dapat menumbuhkan
pembiasaan karakter yang kuat bagi peserta didik.
2. Kesantunan berbahasa perlu dikuasai dan dipraktikkan dalam lingkungan sekolah,
baik oleh guru, siswa, dan karyawan.
3. Lingkungan sekolah yang bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun perlu
terus didorong oleh pemerintah agar tercipta pendidikan karakter yang
menyeluruh di lembaga pendidikan.
F. DAFTAR PUSTAKA
Baswedan, Anis, (2016). Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pada Hari
Pendidikan 02 Mei 2016.
Brown, Penelope and Stephen C Levinson, (1987). Universal in Language Usage:
Politeness phenomena, dalam Esther N. Goody (Ed) Questions and Politeness.
Cambridge University Press.
E. Mulyasa, (2005). Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Cetakan kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang
diperkuat melalui Permendiknas Nomor 12, 13, dan 16 tahun 2007 tentang
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
https://pndkarakter.wordpress.com/category/pilar-pilar-pendidikan-karakter/ diakses 5
Mei 2016.
Download