Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 REALISASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KESANTUNAN BERBAHASA GURU DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS Mulyani Guru SMA Negeri 1 Ponorogo [email protected] ABSTRAK Guru yang berkompeten harus memiliki kompetensi pedagogik, professional, kepribadian, dan sosial. Guru sebagai sosok yang memiliki kompetensi yang baik tentu memiliki kemampuan bertutur yang baik, santun, halus dan lembut terhadap siswanya. Kemampuan bertutur ini terkait dengan kompetensi komunikasi yang harus dimiliki oleh seorang guru professional. Tugas utama guru tidak hanya memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) saja, tetapi juga memindahkan nilai (transfer of value) kepada siswa. Proses pemindahan pengetahuan dan nilai yang dilakukan oleh guru akan berhasil apabila dilakukan dengan prinsip yang baik, benar, dan tepat. Salah satu prinsip itu adalah prinsip kesantunan berbahasa. Tujuan artikel ini adalah mendeskripsikan tentang realisasi pendidikan karakter melalui kesantunan berbahasa guru dalam pembelajaran di kelas. Berbahasa yang baik, benar, dan tepat khususnya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas akan berdampak pada keberhasilan guru dalam pembelajaran, baik pada aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa. Dengan demikian, guru diharapkan dapat menguasai keterampilan komunikasi dan memahami prinsip kesantunan dalam berbahasa secara baik dan benar. Pembelajaran di kelas akan bermakna dan menjadi media menanamkan nilai pendidikan karakter jika guru hadir di kelas membawa perubahan dan menginspirasi siswa siswinya. A. PENDAHULUAN Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, ahlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Sedangkan Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik, baik yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olahraga seseorang atau sekelompok orang. Dalam memantabkan keberadaan generasi muda abad 21, ada tiga keterampilan utuh yang dibutuhkan oleh generasi muda abad 21 yakni, kualitas karakter, kemampuan literasi, dan kompetensi (Anis Baswedan, 2016). Kualitas karakterter ada dua bagian, yakni karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral mencakup nilai nilai Pancasila, keimanan, ketaqwaan, integritas, kejujuran, keadilan, empati, rasa welas asih, dan sopan santun. Sementara itu, karakter kinerja mencakup kerja keras, ulet, tangguh, rasa ingin tahu, inisiatif, gigih, kemampuan beradaptasi, dan kepemimpinan. Untuk mengembangkan karakter moral dan kinerja di lembaga pendidikan merupakan suatu keniscayaan dan perlu keteladanan. Bentuk yang paling ideal interaksi guru-murid dalam pembelajaran di kelas memungkinkan lahirnya sebuah model integrasi pendidikan karakter. Dalam interaksi guru-murid selama proses pembelajaran di kelas, guru lebih mendominasi dalam pemanfaatan bahasa sebagai sarana komunikasi. Oleh karenanya, kesantunan bahasa yang digunakan guru dalam Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 memerintah, memohon, dan menyarankan siswa dalam mengelola pembelajaran di kelas merupakan sesuatu yang unik dan memiliki dimensi pendidikan karakter secara langsung. B. PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan karakter di lembaga pendidikan memerlukan peran dari kepala sekolah, guru/ tenaga pendidik, dan karyawan/ tenaga kependidikan. Usaha untuk memberikan contoh dan teladan terhadap nilai-nilai kebaikan, seperti sopan santun dalam berkomunikasi adalah bagian yang sederhana dalam merealisasikan pendidikan karakter. Guru memiliki kebiasaan menyapa murid muridnya baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pola sapaan yang digunakan seorang guru tentu akan bernilai dan bermakna bagi muridnya karena bahasa adalah cerminan kepribadian dan pola pikir penuturnya. Faktor lingkungan dalam konteks pendidikan karakter memiliki peran yang sangat penting karena perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter sangat ditentukan oleh faktor lingkungan ini. Dengan kata lain pembentukan dan rekayasa lingkungan yang mencakup diantaranya lingkungan fisik dan budaya sekolah, manajemen sekolah, kurikulum, pendidik, dan metode mengajar. Pembentukan karakter melalui rekayasa faktor lingkungan dapat dilakukan melalui strategi: (1) Keteladanan, (2) Intervensi, (3) Pembiasaan yang dilakukan secara Konsisten, dan (4) Penguatan. Dengan kata lain perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, pembiasaan terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur. Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap orang dapat menyetujui nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religius, atau bias budaya. Beberapa hal di bawah ini yang dapat dijelaskan untuk membantu siswa memahami Enam Pilar Pendidikan Berkarakter, yaitu sebagai berikut: 1. Trustworthiness (Kepercayaan) Jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah handal, melakukan apa yang anda katakan anda akan melakukannya, minta keberanian untuk melakukan hal yang benar, bangun reputasi yang baik, patuh, berdiri dengan keluarga, teman dan negara. 2. Recpect (Respek) Bersikap toleran terhadap perbedaan, gunakan sopan santun, bukan bahasa yang buruk, pertimbangkan perasaan orang lain, jangan mengancam, memukul atau menyakiti orang lain, damailah dengan kemarahan, hinaan dan perselisihan. 3. Responsibility (Tanggungjawab) Selalu lakukan yang terbaik, gunakan kontrol diri, disiplin, berpikirlah sebelum bertindak, mempertimbangkan konsekuensi, bertanggung jawab atas pilihan anda. 4. Fairness (Keadilan) Bermain sesuai aturan, ambil seperlunya dan berbagi, berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain, jangan mengambil keuntungan dari orang lain, jangan menyalahkan orang lain sembarangan. 5. Caring (Peduli) Bersikaplah penuh kasih sayang dan menunjukkan anda peduli, ungkapkan rasa syukur, maafkan orang lain, membantu orang yang membutuhkan. 6. Citizenship (Kewarganegaraan) Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 Menjadikan sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik, bekerja sama, melibatkan diri dalam urusan masyarakat, menjadi tetangga yang baik, mentaati hukum dan aturan, menghormati otoritas, melindungi lingkungan hidup. Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Jujur, (2) Toleransi, (3) Disiplin, (4) Kerja keras, (5) Kreatif, (6) Mandiri, (7) Demokratis, (8) Rasa Ingin Tahu, (9) Semangat Kebangsaan, (10) Cinta Tanah Air, (11) Menghargai Prestasi, (12) Bersahabat/Komunikatif, (13) Cinta Damai, (14) Gemar Membaca, (15) Peduli Lingkungan, (16) Peduli Sosial, (17) Tanggung Jawab, (18) religious. (Puskur. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10). Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun C. KESANTUNAN BERBAHASA Kesantunan berbahasa adalah bentuk kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan bahasa pada saat seseorang berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Bahasa yang digunakan memperhatikan tentang adab, tertib, sopan santun dan mengadung nilai-nilai rasa hormat yang tinggi. Brown dan Levinson mengartikan kesantunan sebagai sesuatu melakukan tindakan yang mempertimbangkan perasaan orang lain yang didalamnya memperhatikan positif face (muka positif) yaitu keinginan untuk diakui dan negatif face (muka negatif) yaitu keinginan untuk tidak diganggu dan terbebas dari beban. Kebutuhan muka dianggap berlaku dalam seluruh tataran budaya dimana muka dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat hilang, perlu dijaga, atau perlu didukung. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa muka secara terus-menerus berada dalam kondisi beresiko karena segala bentuk tindakan berbahasa yang disebut Face Threatening Act/ FTA (tindakan mengancam muka) yang mempunyai fungsi menghubungkan penutur dengan lawan tutur dipandang sebagai ancaman bagi lawan berbahasa. Oleh karenanya, segala tindakan mengancam muka tersebut harus dinetralkan dengan menggunakan dosis kesantunan yang tepat. Tepatnya, kesantunan dipahami sebagai dasar dalam menghasilkan suatu tatanan sosial dan merupakan alat untuk memperlancar interaksi. Brown dan Levinson (1987:60) mengidentifikasi empat strategi kesantunan atau pola perilaku umum yang dapat diaplikasikan penutur yaitu: 1. Bald-on Record Strategy (tanpa strategi, bertutur apa adanya, tanpa basa basi) Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 Dengan strategi ini penutur tidak melakukan usaha apapun untuk meminimalisir ancaman bagi muka lawan tutur atau untuk mengurangi akibat dari tindakan yang mengancam muka. Strategi seperti ini akan mengakibatkan lawan tutur merasa terkejut, malu dan tidak nyaman. Beberapa contoh data hasil pengamatan di kelas: Mohon, kamu sudah kelas XII. Gunakan waktumu dengan baik. Jangan hanya habis untuk bermain saja. Mohon, buku buku tentang UN juga dipelajari. Jangan kecewakan sekolah, orang tua mu. Mohon, kamu mulai berfikir dewasa [1]. Berdasarkan data [1] dapat diuraikan dan dimaknai sebagai berikut: Pemarkah tuturan: (1) Pemarkah Verb Phrasa eksplisit (mohon, gunakan, pelajari, berfikir. (2) Tuturan informal, dan (3) Tuturan langsung. Penanda konteks: (1) KBM bidang studi Fisika kelas XII IPA 3, (2) dituturkan oleh guru perempuan (wali kelas, (3) tuturan guru pada saat mengontrol jumlah percakapan di keas, (4) ditujukan kepada semua siswa, (5) Memohon mitra tutur (siswa) agar belajar lebih giat, tekun dan bersungguh-sungguh menghadapi berbagai bentuk ujian di kelas XII. Implikatur daya pragmatik: Memohon Mitra tutur (siswa) agar belajar lebih giat, tekun dan bersungguh-sungguh menghadapi berbagai bentuk ujian di kelas XII 2. Positive Politeness Strategy (strategi kesantunan positif/keakraban) Strategi ini digunakan untuk menunjukkan keakraban kepada lawan tutur yang bukan orang dekat penutur. Untuk memudahkan interaksinya, penutur mencoba memberi kesan senasib dan seolah-olah mempunyai keinginan yang sama dengan lawan tutur dan dianggap sebagai keinginan bersama yang memang benar-benar diinginkan bersama pula. Strategi ini ditujukan langsung kepada muka positif lawan tutur supaya keinginan penutur dianggap sebagai keinginan bersama antara penutur dengan lawan tutur. Kalau bisa, besuk sudah dikumpulkan di meja saya. Bisa kan? Sebelum jam istirahat ya? Nanti saya bisa ngecek [2]. Berdasarkan data [2] dapat diuraikan dan dimaknai sebagai berikut: Pemarkah tuturan: (1) Pemarkah Verb Phrase eksplisit, dikumpulkan, (2) tuturan informal, (3) tuturan langsung. Penanda Konteks : (1) KBM bidang studi Kimia kelas XII IPA 1, (2) dituturkan oleh guru perempuan, (3) tuturan guru pada saat mengontrol jumlah percakapan di kelas, (4) ditujukan kepada semua siswa, (5) meminta mitra tutur (siswa) agar mengumpulkan tugas Kimia di meja Penutur (guru) sebelum waktu istirahat. Implikatur daya pragmatik: Meminta Mitra Tutur agar mengumpulkan tugas Kimia di meja Penutur (guru) sebelum waktu istirahat. 3. Negative Politeness Strategy (strategi kesantunan negatif/formalitas) Strategi kesantunan negatif adalah tindakan yang dilakukan untuk menebus muka negatif lawan tutur dan keinginan penutur untuk terbebas dari beban dengan maksud agar tindakan dan maksudnya tidak terganggu dan tidak terkendala. Tindakan ini tidak lain adalah dasar dari perilaku menghargai, yang terdapat pula pada strategi kesantunan positif. Bedanya strategi ini lebih spesifik dan lebih terfokus karena penutur menampilkan fungsi-fungsi penunjang untuk meminimalisir beban tertentu sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindarkan oleh lawan tutur. Fokus utama pemakaian strategi ini adalah dengan mengasumsikan Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 bahwa penutur kemungkinan besar memberikan beban atau gangguan kepada lawan tutur karena telah memasuki daerah lawan tutur. Hal ini diasumsikan bahwa ada jarak sosial tertentu atau hambatan tertentu dalam situasi tersebut. Kalian kalau sudah masuk di lab. Fisika harus manut aturan. Jangan sekali-kali corat-coret di meja lab. Apalagi pakai tipex [3]. Berdasarkan data [3] dapat diuraikan dan dimaknai sebagai berikut: Pemarkah Tuturan: (1) Pemarkah Verb phrase eksplisit, jangan sekali-kali corat-coret di meja lab. (2) Tuturan informal, (3) tuturan langsung. Penanda Konteks: (1) KBM bidang studi Fisika kelas XI IPA 2. (2) Dituturkan oleh guru laki-laki, (3) Tuturan guru pada saat mengontrol jumlah percakapan di kelas, (4) ditujukan kepada semua siswa, (5) menghimbau Mitra tutur (siswa) untuk mematuhi tata tertib pemakaian laboratorium Fisika dengan cara tidak mencorat coret meja. Implikatur daya pragmatik: Menghimbau Mitra tutur untuk mematuhi tata tertib pemakaian laboratorium Fisika dengan cara tidak mencorat-coret meja. 4. off-record Politeness Strategy (strategi tidak langsung atau tersamar) Strategi ini direalisasikan dengan cara tersamar dan tidak menggambarkan maksud komunikatif yang jelas. Dengan strategi ini penutur membawa dirinya keluar dari tindakan dengan membiarkan lawan tutur menginterpretasikan sendiri suatu tindakan. Strategi ini digunakan jika penutur ingin melakukan tindakan mengancam muka namun tidak ingin bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Kelas ini kipas anginnya tidak ada ya… sumuk banget … masak nggak dibetulkan kalo rusak. Coba, dinyalakan kipas anginnya. Soalnya panas sekali ini [4]. Berdasarkan data [4] dapat diuraikan dan dimaknai sebagai berikut: Pemarkah tuturan: (1) Pemarkah Verb phrase eksplisit, coba, dinyalakan, (2) tuturan informal, (3) tuturan tidak langsung. Penanda konteks : (1) KBM bidang studi Fisika kelas XI IPA 1, (2) dituturkan oleh guru laki-laki, (3) tuturan guru pada saat menarik atau menunjukkkan perhatian pada topic pembelajaran, (4) ditujukan kepada semua murid, (5) Menyuruh mitra tutur untuk menyalakan kipas angin di kelas karena cuaca terasa sangat panas dan mengganggu suasana pembelajaran. Implikatur daya pragmatik: menyuruh Mitra tutur (siswa) untuk menyalakan kipas angin di kelas karena cuaca terasa sangat panas dan mengganggu suasana pembelajaran. D. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang diperkuat melalui Permendiknas Nomor 12, 13, dan 16 tahun 2007 tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan salah satu ihwal guru adalah tentang kompetensi pendidik (guru) ada empat, yakni (1) kompetensi pedagogic, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi professional. Keempat kompetensi itu harus melekat pada diri guru sebagai perwujudan jiwa pendidik yang akan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik (murid). Guru harus mampu berinteraksi dengan muridnya secara baik dan harmonis agar tercipta proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 Untuk menciptakan proses pembelajaran dan bimbingan yang kreatif dan menyenangkan tersebut guru harus memiliki keterampilan mengajar di kelas. Keterampilan mengajar merupakan kompetensi professional yang cukup kompleks, sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh. Turney (1973, dalam E. Mulyasa, 2005:69) mengungkapkan delapan keterampilan mengajar yang sangat menentukan kualitas pembelajaran, yakni (1) keterampilan bertanya, (2) memberikan penguatan, (3) mengadakan variasi, (4) menjelaskan, (5) membukan dan menutup pelajaran, (6) membimbing diskusi kelompok kecil, (7) mengelola kelas, dan (8) mengajar kelompok kecil dan perorangan. Keberadaan guru menjadi sangat menentukan bagi keberhasilan kegiatan belajar mengajar di kelas. Keberhasilan itu ditandai dengan keberhasilan guru dalam menjalin komunikasi yang efektif dan efisien dengan murid. Dalam sebuah kelas guru berperan aktif dan bertanggung jawab penuh dalam pembelajaran. Guru dan siswa secara ideal harus bekerja sama dalam suatu kemitraan. Strategi yang paling penting yang akan mewujudkan kemitraan adalah negosiasi. Negosiasi belajar antara guru dan siswa cenderung menghasilkan pengalaman belajar yang akan mengakomodasi kebutuhan, minat dan kemampuan tertentu siswa. Guru dan siswa bekerja sama dalam suatu arah dan rasa percaya yang timbul dari pemahaman terhadap aktivitas belajar. Berdasarkan hasil observasi bahwa model atau pola komunikasi yang digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas memiliki pola struktur sebagai berikut; (1) kegiatan awal, mencakup salam, tegur sapa, mengecek kehadiran siswa, (2) kegiatan inti, mencakup kegiatan 5 M, yakni Mengamati, Menanya, Mengeksplorasi, Mengasosiasi, dan Mengomunikasikan, (3) Penutup, mencakup kegiaan refleksi dan penguatan. Dengan demikian, guru selama proses pembelajaran di kelas memiliki waktu yang cukup memadai untuk bertutur dalam mengelola kelas, mulai dari memerintah siswa, memohon kepada siswa, dan memberi saran. Dalam bertutur, guru tentu berusaha kehadirannya di kelas membuat siswa dalam belajar merasa aman, nyaman, dan menyenangkan. Oleh karenanya, untuk menciptakan kondisi yang harmonis antara guru – murid dalam berkomunikasi harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesantunan berbahasa seperti disebutkan di atas. E. PENUTUP Simpulan Beberapa simpulan dari kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan karakter adalah sesuatu yang utama dalam membentuk tradisi, sikap, pola pikir, pola tindak dari seseorang yang memerlukan sebuah contoh dan keteladanan. 2. Lembaga pendidikan/ sekolah adalah wahana yang tepat untuk mengembangkan pendidikan karakter, khususnya melalui keteladanan seorang guru dalam bertutur/ berkomunikasi degan murid-muridnya dalam pembelajaran di kelas. 3. Integrasi pendidikan karakater yang bisa dilakukan guru sebagai cerminan kesantunan berbahasa adalah melalui tindak tutur memerintah, memohon, menyarankan siswa selama proses pembelajaran di kelas. 4. Nilai utama karakter yang perlu dikembangkan dan direalisasikan dalam pembelajaran di kelas adalah bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun 5. Empat prinsip kesantunan berbahasa Brown dan Levinson dapat dijadikan indikator seorang guru telah memahami dan merealisasikan pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di kelas. Saran Beberapa saran dari kajian ini adalah sebagai berikut: Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2016 1. Dalam pembelajaran di kelas, guru hendaknya selalu menciptakan suasana yang kondusif, aman, nyaman, dan menyenangkan agar dapat menumbuhkan pembiasaan karakter yang kuat bagi peserta didik. 2. Kesantunan berbahasa perlu dikuasai dan dipraktikkan dalam lingkungan sekolah, baik oleh guru, siswa, dan karyawan. 3. Lingkungan sekolah yang bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun perlu terus didorong oleh pemerintah agar tercipta pendidikan karakter yang menyeluruh di lembaga pendidikan. F. DAFTAR PUSTAKA Baswedan, Anis, (2016). Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pada Hari Pendidikan 02 Mei 2016. Brown, Penelope and Stephen C Levinson, (1987). Universal in Language Usage: Politeness phenomena, dalam Esther N. Goody (Ed) Questions and Politeness. Cambridge University Press. E. Mulyasa, (2005). Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Cetakan kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang diperkuat melalui Permendiknas Nomor 12, 13, dan 16 tahun 2007 tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan. https://pndkarakter.wordpress.com/category/pilar-pilar-pendidikan-karakter/ diakses 5 Mei 2016.