BAB II Landasan Teori 2.1 Pragmatik Definisi pragmatik sudah banyak dikenalkan oleh para ahli bahasa. Yule menjelaskan bahwa pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk linguistik dan pemakaian bentuk-bentuk tersebut. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik adalah seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan, asumsi-asumsi mereka, tujuan atau maksud dari tuturan mereka, dan berbagai jenis tindakan yang mereka perlihatkan kepada orang lain ketika mereka sedang berbicara. Menurut purwo (1990:2) pragmatik merupakan bagian dari kajian linguistik yang mengkaji makna tuturan yang berhubungan dengan konteks tuturan, pengetahuan, komunikasi, serta situasi pemakaian bahasa dalam sebuah tuturan yang dilakukan oleh penutur dan mitra tutur. Pragmatik pada dasarnya menyelidiki makna dibalik sebuah tuturan yang terikat pada suatu konteks di luar bahasa sehingga dasar dari pemahaman pragmatik adalah adanya hubungan antara konteks dan bahasa. Yule (200:3-4) menjelaskan tentang empat ruang lingkup yang ada di dalam pragmatik, yaitu : (1) pragmatik adalah studi tentang maksud/tujuan dari penutur, (2) pragmatik juga merupakan studi tentang konstektual, (3) pragmatik juga studi tentang cara untuk menyampaikan sesuatu lebih banyak daripada menuturkan sesuatu, (4) pragmatik merupakan studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Dalam studi pragmatik, ada beberapa hal yang akan dibahas, yakni tindak tutur, konsep wajah dan kesantunan, strategi dalam bertindak tutur, serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesopanan dalam berbahasa Jepang. Koizumi (2007:83) membagi tindak tutur menjadi tiga macam, yaitu tindak tutur lokusi(発話行為), ilokusi(発話 内行為), dan perlokusi(発話媒介行為). 2.1.1 Teori Tindak Tutur Austin (dalam Koizumi 2007:81) merupakan orang pertama yang mengungkapkan bahwa bahasa juga dapat digunakan untuk melalukan suatu tindakan melalui perbedaan antara tuturan konstantif (constantive) dan ujaran performatif (performative). Tuturan konstantif adalah tuturan yang isinya adalah untuk menuturkan sesuatu, misalnya peristiwa atau kejadian di dunia. Kemudian yang dimaksudkan dengan tuturan performatif adalah tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu. Koizumi (2007:83) menggolongkan tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak tutur lokusi merupakan tindak dasar tuturan yang menghasilkan ungkapan lingustik yang bermakna. Yule (1996:84) menjelaskan bahwa tindak tutur ilokusi dinyatakan dengan penekanan komunikatif suatu tuturan. Ilokusi yang dimaksudkan ialah seperti melarang, memerintah, memberitahu, mengingatkan, melaksanakan, dan lain sebagainya. Adapun tindak perlokusi ialah tindak tutur yang bermaksud untuk mempengaruhi mitra tuturnya yang berupa meyakinkan, membujuk, atau menghalangi (Koizumi 2007:86) Koizumi (2007:92) membagi makro fungsi dari tindak tutur ilokusi menjadi lima bagian, yaitu 宣言型) 1. Declarative ( Yang dimaksudkan dengan tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dapat mengubah dunia dengan kata-kata yang diujarkan. Misalnya, seperti ‘saya yakin’, ‘saya mengundurkan diri’. 断言型) 2. Representative ( Tindak tutur representatif merupakan tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang diyakini oleh penutur seperti mendeskripsikan, menuntut, memprediksikan. 行為拘束型) 3. Commisive ( Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang bersifat mengikat penutur di masa depan seperti berjanji, menawarkan, mengancam, meolak, memperlihatkan, dan bekerja suka rela. 感情表現型) 4. Expressive ( Tindak tutur ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan perasaan yang dirasakan oleh penutur seperti perasaan bersalah, mengagumi, memberikan selamat, menyayangkan, dan menyesali. 行為指示型) 5. Directive ( Dalam bentuk tindak tutur menyuruh ini Yule (1996:93) menjelaskan bahwa tindak tutur menyuruh digunakan penutur untuk menyuruh orang lain atau mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa dalam kesantunan memiliki hubungan yang erat dengan tindak tutur. Yule (1996:104) menekankan bahwa dalam kehidupan bersosialisasi, kesantunan merupakan salah satu wujud yang penting dalam berinteraksi yang digunakan sebagai alat kesadaran tentang wajah seseorang. Wajah merupakan wujud pribadi dalam masyarakat. Muka mengacu pada makna sosial dan emosional itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan agar orang lain juga mengetahui hal tersebut. 2.2 Konsep Wajah dan Kesantunan Cutting (2008:43) menghubungkan antara kesantunan dengan konsep muka (face). Berikut konsep wajah yang dikemukakan oleh Cutting. “ In order to enter into social relationships, we have to acknowledge and show an awareness of the face, the public self-image, the sense of self, of the people we address. It is an universal characteristic across cultures tht speakers should respect each others’ expectations regarding self-image, take account of their feelings and avoid Face Threatening Acts (FTAs)” Terjemahan: Ketika kita ingin memasuki hubungan sosial, kita harus mengetahui dan menunjukkan kepedulian kita terhadap wajah, citra diri seseorang, perasaan seseorang yang kita ingin dekati. Itu adalah sebuah karakteristik yang bersifat universal dalam budaya bahwa penutur harus saling menghormati dan menghargai diri gambaran diri seseorang, dan mengerti perasaan mereka, serta menghindari tindak pengancaman wajah. Koizumi (2007:134) membagi konsep wajah menjadi dua, yaitu wajah negatif dan wajah positif. Berikut penjelasan wajah negatif dan wajah positif menurut Koizumi. “面目とは人はみな社会と関わりを持つ公的な自己のイメージです 。 面目には 2 つの側面があります。それは消極的な面目(Negative Face) と積極的な面目(Positive Face)です。積極的な面目とは自由を阻害され たくないという願望で、後者は他者によく思われたい、友好に思われた いという願望です。そして、消極的な面目とは独立(Independence)の願 望です”。 Terjemahan : Yang dimaksudkan dengan wajah ialah gambaran diri seseorang yang dimiliki oleh orang-orang dan berhubungan dengan masyarakat. Wajah yang dimaksudkan ialah wajah negatif (negative face) dan wajah positif (positive face). Wajah positif ialah keinginan seseorang untuk tidak dihalangi, ingin dihargai orang lain, dan ingin diperlakukan sebagai teman baik. Kemudian yang dimaksudkan dengan wajah negatif adalah keinginan seseorang untuk bebas. Untuk mengurangi ancaman wajah pada mitra tutur, Kozumi (2007:135) menjelaskan terdapat lima strategi saat bertutur. Adapun kelima strategi itu adalah (1) bertutur dengan tegas tanpa basa basi (bald on record), (2) bertutur menggunakan basa basi dengan kesantunan positif (positive politeness), (3) bertutur menggunakan basa basidengan kesantunan negatif (negative politeness), (4) off record dan (5) yang terakhir yaitu strategi bertutur dalam hati (don’t do the FTA). Berikut adalah bagan strategi yang diuraikan oleh Koizumi (2007:135) Without redressive action, baldly ( あらかさまに矯正策なしで) On record ( Do the FTA (FTA そのまま解釈 される言い方で) を使用する) 積極的な丁寧さ) Positive politeness ( With redressive action ( 矯正策つきで) Off record (オフレコ) Negative politeness (消極的な丁寧さ) Don’t do the FTA FTA をしない 2.2.1 Strategi Dalam Tindak tutur Cutting (2008:44) menjabarkan strategi dalam bertindak tutur sebagai berikut 1. Bald on Record Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics (1996:109) juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan strategi bald on record adalah suatu tuturan dalam bentuk menyuruh atau memohon yang ditujukan secara langsung kepada orang lain. Contoh : Give me a pen 2. Positive Politeness Cutting (2008:44) menjelaskan bahwa strategi basa-basi dengan kesantunan positif ditujukan untuk menyelamatkan wajah positif dengan mendemonstrasikan kedekatan dan solidaritas, ketertarikan pada hubungan pertemanan, membuat orang lain merasa nyaman, dan menekankan bahwa kedua pembicara, baik penutur maupun mitra tutur memiliki tujuan yang sama. Watts (2003:89-90) menjabarkan ada 15 sub strategi yang terdapat pada strategi basa-basi dengan kesantunan positif. Sub strategi tersebut ialah memusatkan perhatian kepada lawan tutur, memberi perhatian lebih, memberikan pengakuan atau simpati kepada lawan tutur, mengintensifkan perhatian kepada lawan tutur, menggunakan penanda keakraban kelompok, menemukan kesepakatan, menghindarkan konflik, menyamakan anggapan menjadi pendapat umum, berkelakar, menambahkan atau menyetujui pendapat lawan tutur, menawarkan bantuan atau janji, bersikap optimis, melibatkan penutur dan lawan tutur dalam kegiatan, memberikan atau menanyakan alasan tertentu, mengasumsikan atau menampilkan kesamaan tindakan, memberikan hadiah. 3. Negative politeness Basa-basi dengan kesantunan negatif digunakan untuk wajah negatif dengan mendemonstrasikan jarak antara mitra tutur dan menghindari gangguan pada teritorial mitra tutur. Penutur menggunakan strategi ini untuk menghindari pemaksaan dan memberikan pilihan kepada pendengar atau mitra tutur. Watts (2003:90-91) menguraikan sepuluh sub stategi yang terdapat pada strategi basa basi dengan kesantunan negatif. Adapun sub strategi tersebut ialah menyatakan secara tidak langsung, mengajukan pertanyaan atau mengelak, bersikap pesimis, mengecilkan beban permintaan, merendahkan diri, meminta maaf, personalisasi penutur dan mitra tutur, menempatkan tindakan pengancaman muka sebagai peraturan yang berlaku umum, nominalisasi, dan menjelaskan bahwa mitra tutur sangat berharga bagi penutur. 4. Off record Penutur dapat mengutarakannya dengan pilihan, melakukan tindakan mengancam wajah dengan on record atau off record. Jika penutur melakukannya dengan off record, maka penutur dapat meminta bantuan dengan bentuk tidak langsung. Baresova (2008:56-61) menjelaskan terdapat 15 sub strategi dalam strategi off record. Adapun sub strategi itu ialah memberi petunjuk dengan mengemukakan alasan, mengasosiasikan petunjuk, mempresuposisikan maksud penutur, mengimplikasikan sesuatu yang buruk, membesar-besarkan keadaan, mengunlang-ulang sebuah tuturan, menggunakan kontradiksi atau pertentangan, menggunakan sindiran, menggunakan konotasi untuk menyembunikan makna sebenarnya, menggunakan pertanyaan retorik, menggunakan tuturan bermakna ganda, menggunakan tuturan yang samar-samar, mengeneralisasikan sesuatu secara berlebihan, menggantikan posisi lawan tutur, menggungkapkan tuturan secara tidak lengkap, dan menggunakan elipsis. (Baresova 2008:56-61). 5. Don’t do the FTA Mizutani (1991:3-14) mengemukakan bahwa dalam Bahasa Jepang, terdapat faktorfaktor yang menentukan tingkatan kesantunan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah faktor ditemukan dalam budaya Jepang yang memengaruhi kesantunan dalam berbicara. 2.2.3 Faktor Penentu Tingkat Kesantunan Dalam Bahasa Jepang Mizutani (1991:3-14) menyatakan bahwa ketika bertutur dalam Bahasa Jepang, ada 7 faktor penentu tingkat kesantunan. Ketujuh faktor tersebut adalah sebagai berikut 1. Familiarity Faktor pertama dalam menentukan tingkatan dalam bertutur ini sama seperti dalam Bahasa Inggris yaitu tingkat keintiman dan perkenalan. Ketika seseorang berbicara kepada orang asing atau orang yang baru pertama kali ia temui, biasanya menggunakan bentuk yang sopan. Hal itu muncul ketika memperkenalkan diri, saat menelepon, atau saat berbicara di depan umum, misalnya dalam acara televise atau siaran radio biasanya selalu menggunakan bentuk yang sopan, seperti Contoh こんばんは、七時のニュースです。 Selamat Malam. Saatnya berita untuk pukul 7 malam. 2. Age Faktor kedua penentu tingkat kesantunan adalah umur. Seperti yang sudah ditentukan, orang yang lebih tua akan berbicara dengan cara yang lebih familiar kepada yang lebih muda sebaliknya, yang lebih muda akan berbicara dengan sopan kepada yang lebih tua. Dalam kondisi masih anak-anak yang dibawah umur, mereka belum dilatih untuk berbicara dengan sopan kepada orang lain. Namun, ada beberapa orang tua yang sudah mengajarkan anaknya untuk berbicara sopan pada umur dini. Biasanya anak-anak mulai diajari untuk menggunakan bahasa yang sopan ketika sudah mulai memasuki sekolah dasar. Pada umumnya, anak sekolah dasar akan mempelajari bagaimana cara berbicara dengan sopan selama enam tahun ada di sekolah dasar dan ketika mereka sudah menyelesaikan sekolah dasar, mereka mulai mempraktekkan berbicara dengan bahasa yang sopan terhadap orang yang lebih tua. Kemudian hubungan antara senpai dan kohai juga berpengaruh pada kesantunan bertutur. Hubungan senpai dan kohai ini dapat ditemukan dalam sekolah. Sebutan senpai dalam lingkungan sekolah ditujukan untuk anak yang satu tahun lebih tinggi. Kemudian hubungan senpa dan kohai ini juga dapat ditemukan diantara murid yang ada dalam satu grup atau aktifitas lainnya. Biasanya, senpai akan berbicara dengan bentuk yang biasa, sedangkan kohai menggunakan bahasa yang sopan terhadap senpai. Selain itu, dalam hubungan kerja, hubungan ini juga sering ditemukan. Mereka yang baru masuk dalam perusahaan itu disebut dengan kohai. Namun jika pada kenyataannya kohai merupakan orang yang lebih tua, itu akan menyulitkan senpai untuk menentukan cara berbicara. Pada kasus ini kedua faktor, baik faktor usia maupun hubungan sosial harus diperhitungkan. 3. Social relation Faktor ketiga ialah hubungan sosial. Hubungan sosial yang dimaksudkan ialah hubungan antara atasan dan bawahan, pembeli dan penjual, guru dan murid. Ini juga dapat disebut dengan hubungan profesional. Pada beberapa kasus, ada juga atasan dan bawahan yang menggunakan bahasa formal. Namun untuk perusahan-perusahaan besar, biasanya bawahan menggunakan bahasa sopan terhadap atasannya. Dalam kasus pembeli dan penjual, biasanya penjual menggunakan bahasa sopan terhadap pembeli. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan penjual menggunakan bahasa formal, seperti ketika membicarakan harga. Jika yang dijual adalah mobil, perhiasan, dan baju mahal, maka yang digunakan adalah bahasa sopan. Namun jika penjual ikan, sayur, dan lain-lain, biasanya penjual menggunakan bahasa yang cukup kasar. Selain itu, keakraban juga mempengaruhi penggunaan bahasa sopan. Misalnya beberapa pembeli yang sudah biasa beli di sebuah toko. 4. Social Status Status sosial sangat mempengaruhi cara berbicara seseorang. Khususnya sebelum perang, masih banyak kaum bangsawan, pangeran, kaisar beserta keluarganya yang menggunakan cara bebicara sopan yang berbeda. Pada bidang-bidang khusus seperti seorang dokter, petinggi dalam pemerintahan, profesor sebuah universitas, atau direktur perusahaan biasanya menggunakan cara bicara yang sopan. 5. Gender Jenis kelamin menjadi salah satu faktor yang menentukan tingkat kesantunan dalam bertutur. Tuturan cenderung menjadi lebih familiar ketika tuturan dituturkan antara orang yang memiliki kesamaan jenis kelamin dibandingkan tuturan yang dituturkan oleh orang yang berbeda jenis kelamin. 6. Group membership Konsep keanggotaan ini dibagi menjadi dua, yaitu in-group and out-group distinction. Orang jepang terbiasa menggunakan ekspresi yang berbeda dan cara menghormati seseorang tergantung pada siapa ia berbicara. Dalam masyarakat Jepang, ada sedikit bentuk perbedaan yang agak menyulitkan. Yang pertama adalah in-group family terms. Misalnya penggunaan untuk yang lebih tua seperti otoosan(polite), otoosama(more polite), otoochan (familiar). Untuk anggota keluarga yang lebih muda ditambahkan “san” atau “chan”. Kemudian yang kedua adalah out-group family terms. Bentuk yang disebutkan sebelumnya tidak selalu digunakan untuk menunjukkan anggota keluarga dalam percakapan dengan anggota non keluarga. In-group dan out-group sering juga disebut dengan uchi soto. Menurut Shibata et all (2000:53), dalam budaya Jepang, orang Jepang tidak pernah berbicara menggunakan sonkeigo atau kenjogo ketika berbicara kepada anggota keluarga sendiri. Konsep uchi bukan hanya merujuk pada anggota keluarga yang memiliki hubungan darah saja, namun juga merujuk pada orang-orang yang berasal dari lingkungan perusahaan yang sama, atau lingkungan sekolah yang sama, atau sebuah organisasi yang sama. 7. Situation Faktor penentu terakhir ialah situasi. Situasi dibagi menjadi dua macam, yaitu situasi yang formal dan informal. Formal atau tidaknya sebuah situasi dapat dilihat dari tempat berlangsungnya sebuat tuturan dan lawan bicara pada situasi tersebut. Situasi ini berpengaruh cukup besar saat bertutur. Meskipun berbicara dengan orang yang sama, cara bertutur dapat berubah, misalnya ketika sedang marah, mereka sering mengganti cara berbicara mereka, dari cara bicara yang sopan ke bentuk familiar, misalnya kaerimasu menjadi kaeru wa, atau juga sebaliknya. 2.3 Teori Mereikei (命令形 命令形) 命令形 Yokota (2007:194) menjelaskan meirei (命令) dalam Bahasa Jepang sebagai berikut “命令とは「話し手がある行為や状態を聞き手に求めようとする」 そのような意味特徴を持つ文 が命令である。命令の条件として は聞き手に選択権はなく、強制するものである“ Terjemahan Yang dimaksudkan dengan menyuruh adalah penutur menginginkan mitra tutur untuk melakukan tindakan sesuai dengan keinginan penutur. Bentuk kalimat Meirei mengandung unsur paksaan kepada mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan. Pengertian meirei menurut Masuoka (1993:118) ialah sebagai berikut. に動作を強制する場合のムードである。命令が成立するためには、 「強制される動作の内容」(命令内容)の指示と、その動作を強 制しているという聞き手の意思の表明が必要である。命令表現は、 したがって、成立すべき動作と意思の表明を何らかの形で表した ものと考えることができる“。 Menyuruh adalah modus untuk memaksa lawan bicara untuk melakukan sesuatu. Pembentukkan kalimat menyuruh memerlukan sebuah tindak tutur yang berdasarkan pada niat dari penutur dalam menguatkan isi dari kalimat suruhan yang membuat mitra tutur melakukan suruhan tersebut. Ungkapan kalimat menyuruh merupakan sebuah bentuk tindak tutur yang menerangkan niat dari aktifitas tersebut. Yokota (2007:196) membagi jenis-jenis meirei ke dalam tiga bagian yaitu, doushi(動詞), keiyoushi(形容詞), dan meishi (名詞). 1. Doushi(動詞) (動詞) a) 「て形」での命令 Bentuk kata kerja ~te (~te kudasai) berfungsi untuk menyuruh. Contoh 1 dan 2 menekankan adanya unsur memaksa yang diberikan oleh guru dan orangtua ketika menyuruh murid dan anaknya dengan menggunakan bentuk ~て/ ~てください. Contoh (教師が学生に)はい、きちんと座って。 (Guru kepada murid) baiklah anak-anak, duduk yang rapi. (お母さんが子供に)ちゃんとやってください。 (Ibu kepada anak) lakukan yang benar. b) 「た形」での命令 Bentuk ~ た biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang lampau seperti 昨日、友達とごはんを食べました, yang artinya kemarin saya makan dengan teman saya. Namun bentuk ~た juga dapat menunjukkan bentuk menyuruh, contoh (人ごみを分けるようにして)ほら、どいた、どいた。 (seseorang yang sedang memisahkan sampah) hei minggir, minggir (万引きした子供に)ちょっと待った。 (Ketika melihat seorang anak yang sedang mengutil) hei tunggu ! Meskipun bentuk 「どいた」dan「待った」terlihat seperti bentuk lampau, namun sebenarnya kedua kata itu memiliki makna yang sama dengan 「どいて」dan 「待て」yang merupakan bentuk menyuruh. Menurut Morita (dalam Yokota 2007:197) penggunaan bentuk seperti ini tidak selalu dapat digunakan. Bentuk menyuruh seperti ini dapat digunakan jika ada dalam kondisi yang mendesak. Jika kondisi tidak mendesak, maka akan terlihat tidak alami. c) 「る形」での命令 Bentuk ~る sering disebut dengan bentuk kamus. Bentuk kamus atau bentuk ~ る memiliki fungsi untuk memerintah. Contoh (先生が学生に)はい、席に着く (Guru kepada murid) baiklah, segera duduk di kursi ! d) 「ない形」での命令 Bentuk ~ な い juga berfungsi sebagai kalimat menyuruh. Jika dalam kondisi seorang atasan memberikan menyuruh ataupun teguran secara langsung, maka akan menjadi menyuruh. Contoh 1.(会議中は)お菓子を食べないでください! (Ketika sedang rapat) jangan memakan cemilan ! 2. Keiyoushi 形容詞 Bentuk kata sifat イ dan ナ juga dapat berfungsi sebagai bentuk menyuruh. Contoh (よそ見をして車が来たことに気付かない人に)危ない! (Seseorang yang tidak menyadari sebuah mobil sedang melaju) Awas! (授業中騒いでいる学生に)うるさい! (Murid-murid yang sedang berisik ketika jam pelajaran) Diam! Dalam bentuk kalimat ini menunjukkan adanya bentuk menyuruh. Dalam tuturan 「危ない」memiliki makna tersirat yaitu, 「逃げろ」yang artinya menjadi “Awas! Menyingkirlah!”. Kemudian dalam tuturan 「うるさい」ada makna tersirat yaitu 「静 かにしろ!」yang artinya menjadi “Berisik! Diamlah!”. Kemudian untuk bentuk 「早 く!」muncul makna 「早くしろ!」dikarenakan mitra tutur atau lawan bicara tidak segera melakukan sesuatu yang disuruh dengan segera, maka muncullah bentuk menyuruh seperti itu. Selain itu, ada juga kata sifat な yang berfungsi untuk menyuruh. Contohnya seperti 「静かに!」yang memiliki arti yang sama dengan 「静かにしろ」yang berarti menyuruh seseorang untuk diam. 3. Meishi (名詞 名詞) 名詞 Kata benda kan tanda seru juga dapat menunjukkan adanya bentuk menyuruh. Contoh (動詞が)横田! (Atasan) Yokota (授業中寝ている学生に先生が)こら! (Seorang guru kepada siswa yang tertidur saat jam pelajaran) Hei ! Hidemitsu (2004:187) menjelaskan bahwa kata kerja dengan akhiran e/ro juga berfungsi sebagai kalimat menyuruh. Perubahan kata kerja golongan I seperti yomu akan berubah menjadi yome yang artinya membaca. Kemudian kata kerja golongan II dengan akhiran eru/iru seperti taberu berubah menjadi tabero¸ yang artinya makan. Kata kerja golongan III seperti suru akan berubah menjadi shiro, dan kuru berubah menjadi koi. Menurut Murakami (dalam Hidemitsu 2004:189) bentuk kata kerja dengan akhiran e/ro biasanya digunakan oleh pria. Selain itu, bentuk kata kerja dengan akhiran e/ro ini juga digunakan oleh penutur yang memiliki usia lebih tua, atau penutur yang memiliki jabatan yang lebih tinggi dari mitra tuturnya. Bentuk meirei dengan akhiran e/ro juga dapat digunakan penutur apabilan ia memiliki hubungan yang dekat dengan mitra tutur.