BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka

advertisement
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka, peneliti akan memaparkan penelitian-penelitian
sebelumnya yang memberikan kontribusi terhadap tema “kepentingan suatu
negara dalam usaha pemberian bantuan”. Penelitian yang pertama adalah skripsi
yang ditulis oleh Adriana Reski Anwar pada tahun 2014 dalam kajian Hubungan
Internasional Universitas Hasanudin Makassar yang Berjudul “Analisis Bantuan
JICA pada Bidang Kesehatan di Sulawesi Selatan”. Penelitian ini mengkhususkan
bantuan JICA dalam lingkup kesehatan di Sulawesi Selatan, sebagai bentuk salah
satu kerjasama bilateral antara Indonesia dan Jepang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi Jepang, penting untuk
melakukan pemberian bantuan, yang bertujuan untuk membangun hubungan
diplomatik yang baik dengan Indonesia dan menstabilkan kebijakan pemerintahan
negara penerima bantuan sehingga menguntungkan bagi pemerintah Jepang
sendiri. Bagi provinsi Sulawesi Selatan sendiri, pemberian bantuan ini tentunya
sangat
membantu
pembangunan
infrastruktur
layanan
kesehatan
serta
pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam penelitian ini juga disebutkan
dampak yang diperoleh Provinsi Sulawesi Selatan berupa meningkatkan kapasitas
pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku aktif dalam kegiatan pelayanan
kesehatan dan mengoptimalkan kinerja pemangku kepentingan di wilayah
kabupaten target yakni Barru, Wajo dan Bulukumba.
Penelitian kedua diungkapkan dalam Jurnal karya Hanisa Nurliana Safitri
yang berjudul “Kepentingan Amerika Serikat di Indonesia dibalik Pemberian
Bantuan Lingkungan untuk Mengatasi Masalah Perubahan Iklim” Universitas
Brawijaya Malang, 2014. Dalam penelitian ini, Safitri menggambarkan
bagaimana bentuk bantuan USAID yakni Agensi pemerintah Amerika Serikat
dalam sektor lingkungan, khususnya di sektor kehutanan, dalam rangka mengatasi
masalah perubahan iklim yang menjadi agenda global. Pemberian bantuan ini
berlangsung dari tahun 2010 hingga 2013 dan memfokuskan pada pengurangan
emisi gas karbon dengan meningkatkan potensi hutan Indonesia.
Dalam hasil penelitian ini, Safitri melihat bahwa ada tujuan lain dibalik
bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat, hal itu merupakan kepentingan
ekonomi. Amerika Serikat ingin melindungi investasi miliknya yang berada di
tanah Indonesia melalui perhatian yang diberikan dari pemberian bantuan
tersebut. Kepentingan politik dari bantuan ini juga terlihat dari intervensi
kebijakan papua dengan undang undang otonomi khusus. Selain itu, Amerika
Serikat juga melalui
proyek USAID-Indonesia Forest Climate and Support
(IFACS) diharapkan dapat membantu citra Amerika Serikat sendiri setelah
menolak dalam penanda tanganan Protokol Kyoto.
Penelitian ketiga merupakan penelitian yang ditulis oleh Philippe Asanzi
Mbey Ata pada tahun 2009 yang berjudul China-Angola Relationship with
Reference to the Constraction Sector, University of Witwatersrand. Dalam
tulisannya, Ata menggambarkan bahwa Cina merupakan negara yang aktif
melakukan bantuan luar negeri atau Foreign Aid (FA) . Tercatat Cina melakukan
transaksi FA sejak tahun 1950an terutama memberikan bantuan kepada negaranegara di Asia. Namun seperti yang diketahui, Sejak tahun 1990-2000an, Cina
mengalami peningkatan perekonomian yang sangat pesat yang menyebabkan
permintaan atas raw materials dan energi juga mengalami peningkatan yang
sangat besar (Brautingham, 2008).
FA merupakan salah satu upaya Cina dalam memperoleh raw materials
secara lebih mudah. Export-Import Bank of China (Exim Bank) sebagai salah satu
institusi pemerintah untuk memberikan bantuan luar negeri, sampai tahun 2009
diperkirakan telah mengeluarkan bantuan sebesar 257 miliar yuan kepada sekitar
50 negara di seluruh penjuru dunia melalui tiga macam bentuk bantuan,
yaitu grants, zero-interest loan dan concessional loan (China Foreign Aid White
Paper, n.d). Cina banyak memberikan bantuan kepada negara-negara penghasil
raw materials, seperti negara-negara di Afrika. Dalam kasus bantuan berupa
pinjaman, Cina menerapkan beberapa syarat seperti pengembalian pinjaman
dengan menggunakan bahan mentah atau pelaksanaan proyek yang dibiayai oleh
bantuan Cina harus dikerjakan oleh tenaga Cina dan bahan bakunya juga diimpor
dari Cina. Dengan pemberian bantuan tersebut, terutama dalam bentuk pinjaman,
Cina berharap bisa mendapatkan kemudahan untuk melakukan bisnis dengan
negara-negara Afrika tersebut untuk menjamin ketersediaan bahan mentah melalui
syarat-syarat bantuan yang diberikan sebelumnya
Ketiga penelitian yang telah disebutkan oleh peneliti merupakan penelitian
yang telah memberikan kontribusi dalam tema “kepentingan suatu negara dibalik
pemberian bantuan”. Hal yang nantinya akan membedakan penelitian ini dan
menjadikan penelitian ini berbeda ialah bagaimana Jepang sebagai suatu negara
yang secara global bukan merupakan negara yang hegemonic, mampu
mengedepankan kepentingan nasionalnya. Lain halnya dengan Amerika, seperti
yang diungkapkan pada penelitian pertama, yang nyata-nyata merupakan negara
yang memiliki power di politik global serta Cina, seperti yang diungkapkan pada
penelitian ketiga, sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Penelitian yang diangkat mengedepankan aspek lokal, yang artinya
bantuan yang diberikan oleh Jepang secara khusus untuk Bali dalam bidang
infrastruktur sanitasi di Indonesia, sedangkan dalam penelitian sebelumnya yang
mengenai USAID dalam IFACS dan Cina di Afrika selatan merupakan penelitian
dengan skala nasional. Kemudian, pada kajian pustaka pertama memang JICA
memberikan bantuan dalam skala lokal, yakni kepada provinsi Sulawesi Selatan.
Namun perlu diingat bahwa Bali merupakan salah satu arus lintas kunjungan
orang Jepang terbesar di Indonesia. Bali juga merupakan kawasan pariwisata vital
dan strategis bagi Indonesia. Dalam data BPS Pariwisata, dari total 9 juta Wisman
yang datang ke indonesia pada tahun 2014, 3.766. 638 atau 30% dari total
wisatawan Indonesia merupakan jumlah wisman yang datang ke Bali dengan
wisman Jepang menduduki peringkat 7 besar di Bali (BPS Bali, 2014).
Bantuan yang diberikan Jepang untuk proyek pengolahan limbah di Bali
atau DSDP merupakan bantuan yang berupa pinjaman lunak. Pinjaman lunak ini
harus dilunasi dalam waktu 20 tahun yang masuk dalam kategori jangka panjang.
Dalam proses pelunasannya, dana yang digunakan berasal dari dua pihak yakni
pemerintah dan pembayaran dari pelanggan yang menggunakan DSDP.
sedangkan apa yang Jepang lakukan di Sulawesi Selatan dan USAID pada kasus
IFACS merupakan bantuan putus atau hibah, yakni bukan berupa pinjaman.
Hal yang turut membedakan penelitian ini dengan penelitian yang akan
ditulis ialah, lokasi pemberian bantuan, dan tambahan mengenai analisa
kepentingan yang lebih tajam dibalik pemberian bantuan yakni mengungkapkan
kepentingan tersembunyi, yakni dari segi ekonomi, dan bukan hanya memaparkan
kepentingan yang sudah tertulis secara normatif dalam tujuan yang Jepang
ungkapkan, dalam hal in dapat dikatakan dari aspek diplomatik dan kesehatan
dalam terwujudnya proyek DSDP.
Adapun kontribusi yang berikan oleh kajian pustaka yang dipakai ialah
acuan dalam penggunaan konsep kepentingan nasional dan bantuan luar negeri.
Kemudian dari aspek pendalaman mengenai isi, dimana penelitian-penelitian
tersebut mampu melihat kepentingan suatu negara dari beberapa aspek
diantaranya ekonomi, diplomatis, dan kesehatan, yang nantinya akan membantu
peneliti dalam menjawab rumusan masalah.
2.2 Kerangka Konseptual
Dalam menganalisis tulisan ini, penulis membutuhkan landasan atau
kacamata dalam melihat aspek aspek yang akan dibahas dalam tulisan ini. Peneliti
menggunakan pemikiran yang ditulis oleh Morghentau yakni A Political Theory
of Foreign Aid (1968). Dalam artikelnya, Morgenthau mengungkapkan bahwa
bantuan luar negeri tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang lain selain alat
kebijakan luar negeri untuk pemenuhan kepentingan nasional. Dalam artikel
tersebut, dijelaskan bahwa, negara melakukan suatu bantuan luar negeri didorong
oleh adanya kepentingan ataupun tujuan dan bisa dikatakan sangat minim
ditemukan adanya tujuan murni dalam suatu bantuan luar negeri (Morgenthau,
1968).
Dalam artikel tersebut terdapat enam tipe bantuan luar negeri menurut
Morgenthau, yaitu: bantuan luar negeri kemanusiaan, bantuan luar negeri
subsisten, bantuan luar negeri militer, bantuan luar negeri „penyuapan‟ (bribery),
bantuan luar negeri prestise, dan bantuan untuk pembangunan ekonomi. Dari jenis
yang berbeda, hanya bantuan kemanusiaan yang bersifat non politik. Dari keenam
jenis bantuan ini, Morgenthau melihat beberapa kesamaan, yakni: transfer uang,
barang dan jasa dari satu negara ke yang lain.
Dalam penelitian ini, peneliti dapat menggolongkan bantuan ini sebagai
bantuan untuk pembangunan ekonomi. Bantuan ini merupakan tipe bantuan yang
cukup umum, dimana suatu negara membantu pembangunan ekonomi di negara
berkembang, yang merupakan suatu usaha untuk meningkatkan aspek aspek
ekonomi di negara tersebut, termasuk didalamnya adalah peningkatan
infrastruktur, kelembagaan, dll. (Morgenthau, 1968). DSDP merupakan proyek
infrstruktur sanitasi, yang didalamnya juga terkandung tujuan peningkatan faktor
ekonomi dibidang pariwisata, dimana Bali yang merupakan pusat pariwisata di
Indonesia diharapkan mampu meningkatkan pengelolaan sanitasinya untuk
menunjang aktivitas wisatawan sehingga menciptakan lingkungan yang lebih
bersih, aman, dan sehat. Namun, kembali seperti yang diungkapkan oleh
Morgenthau, bahwa ada kepentingan yang ingin dicapai dari banyaknya usaha
yang dikeluarkan oleh Jepang untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia.
Untuk memahami penelitian ini lebih lanjut, peneliti kemudian melihat ada
3 konsep yang dapat membantu dalam memahami penelitian ini.
2.2.1 Foreign Aid Agency
JICA merupakan agensi pemerintah resmi Jepang dalam pemberian
bantuan yang diberikan ke Indonesia khususnya di Bali dalam proyek realisasi
DSDP. Konsep Foreign Aid Agency merupakan konsep yang penting untuk
menjelaskan posisi JICA dalam pemerintah Jepang. Dikutip dalam Jurnal Martens
(2004)
foreign aid agencies can be defined by opposition to domestic income
redistribution agencies...........While domestic aid agencies redistribute income
between donors and recipients who live in the same political constituency, foreign
aid agencies target recipients living outside the donor’ s constituency, usually in
developing countries
Dalam definisi diatas dapat dikatakan bahwa Foreign Aid Agencies
merupakan oposisi dari Domestic Aid Agency yang hanya melakukan pemberian
bantuan di bawah konstituen politik yang sama. Sedangkan Foreign Aid Agency
merupakan hasil dari redistribusi pendapatan suatu negara yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup, ekonomi, kesehatan, dan sektor-sektor strategis
lainnya di negara negara penerima donor. Penerima donor dari Foreign Aid
Agencies merupakan negara-negara berkembang yang dirasa perlu untuk
menerima bantuan. Bantuan yang diberikan oleh Foreign Aid Agencies ada 2 tipe
besar, yakni: humanitarian aid yang fungsinya untuk membantu dan
menanggulangi bencana alam, konflik, dan kondisi darurat yang terjadi di negara
penerima bantuan. Tipe kedua ialah development aid, yakni pemberian bantuan
pada
sektor-sektor
strategis
seperti,
ekonomi,
kesehatan,
pendidikan,
infrastrukstur, dan hal hal yang bersifat jangka panjang (Martens, 2004).
Hampir setiap negara maju memiliki Foreign Aid Agencies, contohnya
Jepang dengan JICA, Amerika Serikat dengan USAID, dan Australia dengan
AUSAID. Alokasi dana Foreign Aid Agencies dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dapat dikatakan bervariasi. Walaupun nilai yang
digelontorkan untuk dana bantuan dapat dikatakan berjumlah besar, namun
alokasi dana untuk Foreign Aid hanya bernilai kurang dari 5%, bahkan ada yang
kurang dari 1% dari APBN mereka (Rutsch, 2015).
Pada beberapa literatur, fungsi secara keseluruhan dari Foreign Aid
Agency dirasa belum mampu dalam membantu negara-negara berkembang secara
baik. Dalam tulisan Easterly (2003), Ia mengkritik bagaimana bantuan yang
diberikan oleh negara-negara maju melalui Foreign Aid Agency menjadi sangat
tidak efektif apabila tidak ada lingkungan pemerintahan yang dilengkapi dengan
kebijakan ekonomi terstruktur. Dalam konteks ini, negara berkembang cenderung
memilki nilai yang buruk dalam hal kapasitas implementasi kebijakan. Oleh
karenanya, tidak banyak negara berkembang yang mampu lepas dari label „negara
berkembang‟ meskipun bantuan yang masuk dianggap nilainya tidak sedikit.
Pernyataan yang kontras juga diungkapkan oleh Klees (2010) mengenai peran
Foreign Aid Agencies,
...essential role is not to achieve publicly stated objectives but rather to maintain
a global political economy of inequality
Klees menegaskan bahwa Foreign Aid Agency ada bukan untuk
menyelesaikan permasalahan negara dunia ketiga maupun mencapai tujuan-tujuan
normatif yang mereka sampaikan, namun Foreign Aid Agencies ada untuk
mempertahankan ketimpangan ekonomi politik global. Dalam kontra diatas juga
dapat diartikan bahwa, Foreign Aid yang dibawa oleh agensi pemerintah memiliki
motif lain diluar motif normatif yang sudah tertulis secara publik.
Diluar dari segala kontra yang ada, perkembangan yang terjadi di negara
dunia ketiga tidak mampu terlepas dari adanya andil Foreign Aid Agency. Foreign
Aid Agency merupakan lembaga resmi langsung dari pemerintah yang merupakan
instrumen bagi pemerintah suatu negara dalam urusan pemberian bantuan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, Foreign Aid Agency juga merupakan
representasi negara, karena bekerja secara langsung dan berasal dari anggaran
resmi negara, bukan swasta layaknya NGO (Non-Governmental Organization).
Oleh karenanya segala tindakan yang dilakukan oleh
Foreign Aid Agency
merupakan tindakan resmi atas dari agenda negara yang mencerminkan tujuan
tujuan negara.
2.2.2 Kepentingan Nasional
Tujuan sebuah negara juga dapat dilihat sebagai kepentingan nasional.
Kepentingan nasional merupakan konsep yang membantu dalam melihat
kepentingan suatu negara. Dikutip Menurut Plano dan Olton (1969) mengenai
definisi kepentingan nasional adalah :
The fundamental objective and ultimate determinant that guides the decision
makers of state in making foreign policy. The national interest of state is
typically a highly generalized conception of those element that constitute the
state smart vital needs.
Menurut penjelasan diatas, kepentingan nasional merupakan obyek yang
sangat penting bagi pembuat keputusan dalam mengambil langkah kebijakan luar
negeri. Definisi diatas cukup menegaskan betapa pentingnya konsep kepentingan
nasional ini dalam melihat motif dari pembuatan kebijakan luar negeri, yang
dalam konteks tulisan ini ialah pemberian bantuan luar negeri. Morgenthau
menyebutkan bahwa perilaku negara dalam hubungan internasional dituntut oleh
pengejaran kepentingan nasional, kepentingan nasional itu adalah memperoleh,
mempertahankan atau memperbesar kekuatan negara (Masoed, 1989). Dalam hal
ini, pasca perang dunia kedua dan perang dingin, ekonomi merupakan tolak ukur
power suatu negara. Pasca perang dingin, memang konteks keamanan tradisional
telah memudar dan digantikan dengan konsep yang lebih kontemporer, salah
satunya ekonomi. Hampir tiap kepentingan nasional suatu negara tidak jauh dari
kepentingan ekonomi, hal ini tentu dapat mempertahankan maupun memperbesar
kedudukan suatu negara ditengah area internasional.
Jepang dalam hal ini juga memiliki kepentingan nasional yang ingin
dicapai. Tercapainya kepentingan nasional Jepang sendiri tentunya didukung oleh
langkah dan tindakan strategis yang diwujudkan dalam berbagai bentuk. Pasca
perang dunia kedua, Jepang sudah dilarang memperkuat angkatan militernya,
yang menyebabkan, Jepang hanya mengalokasikan 1% dari APBNnya untuk
militer. Namun, Jepang melihat sisi lain untuk tetap mempertahankan posisi
negaranya sebagai salah satu leading country di Asia, yakni dari sisi ekonomi.
Jepang kemudian memperkuat perekonomian negaranya dengan menciptakan
inovasi teknologi dan memperkuat bargaining position dalam hubungan
perdagangan internasional. Sehingga, kepentingan Jepang yang pada mulanya
ingin menguasai dunia lewat kekuatan militer, telah bergeser menjadi menguasai
dunia lewat kekuatan ekonomi (Ariansyah,2013). Hal ini kemudian menjadi
alasan, mengapa Jepang lebih menekankan kerjasama ekonomi ketimbang bentuk
kerjasama lainnya, yakni karena arah kepentingan Jepang yang condong kepada
kepentingan ekonomi. Sehingga, pemberian bantuan yang termasuk dalam
development cooperation merupakan salah satu cara untuk mewujudkan
kepentingan nasional Jepang.
2.2.3 Motif Bantuan Internasional (Foreign Aid)
Bantuan internasional atau Foreign Aid (FA) merupakan salah satu
fenomena dalam kajian Hubungan Internasional kontemporer. Dikutip menurut
Mutaqien (2014) mengenai definisi bantuan
Money or other aid made available to third world states to help them
speed up economy development or meet humanitarian aids
Dari definisi diatas, dapat dijelaskan bahwa bantuan luar negeri ada karena
adanya keinginan untuk menciptakan iklim ekonomi yang lebih baik di negara
dunia ketiga oleh negara dunia pertama. Sehingga, realisasi dari bantuan luar
negeri ini dapat dikatakan untuk membantu kelangsungan stabilitas ekonomi
maupun kemanusiaan di negara dunia ketiga. Terdapat dua aktor dalam terjadinya
hubungan bantuan luar negeri, yakni
donor dan recipient. Donor merupakan
negara atau organisasi yang memberikan bantuan, sebaliknya recipient adalah
negara atau organisasi penerima.
Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa terjadinya bantuan internasional
didasari pada suatu kenyataan, yakni adanya motif dibalik pemberian bantuan.
Motif donor dalam memberikan bantuan dapat sangat bervariasi dan berubah
secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut bergantung pada
tujuan dan kepentingan pemberian bantuan.
Menurut Mutaqien (2014) secara sedehana motif donor dalam memberikan
bantuan dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu:
1. Motif Politik, yaitu pemberian bantuan digunakan untuk mendapatkan
keuntungan berupa pengaruh secara politik;
2. Motif kemanusiaan, yaitu pemberian bantuan murni didasarkan pada
adanya kepedulian dan rasa kemanusiaan dan
3. Motif Ekonomi, yaitu bantuan digunakan donor untuk mendapatkan
keuntungan secara ekonomi baik pada saat itu ataupun dimasa yang akan datang
(Future Economic Advantages)
Dalam 3 motif diatas, ada 3 asumsi lanjutan yang diungkapkan Mutaqien
untuk memperjelas hubungan donor dan penerima bantuan:
1.
Donor
berharap
negara
penerima
dapat
menunjukkan
rasa
terimakasihnya dengan cara mendukung kepentingan dari negara donor, terutama
dalam tata kelola dunia internasional.
2. Negara penerima dapat meningkatkan perdagangan dengan negara
donor, dan sekali lagi untuk mendukung kepentingan donor akan sebuah produk
3. Negara donor peduli dengan negara penerima dan berharap negara
tersebut dapat memberikan penghidupan yang layak kepada warganya.
Melalui asumsi di atas dapat dilihat bahwa motif sebuah negara donor
dalam memberikan bantuan kepada negara penerima, hampir pasti digunakan
untuk membantu negara donor tersebut mendapatkan kepentingannya, baik dalam
kepentingan politik, keamanan nasional maupun ekonomi. Negara donor
menggunakan berbagai syarat dan kondisi dalam paket bantuan yang diberikan
agar dapat memaksa negara penerima dapat mendukung pemenuhan kepentingan
dari negara donor tersebut.
Jepang sendiri disebutkan juga memiliki motif dalam pemberian bantuan,
adapun M. Mossadeq Bahri (2004) dalam jurnal disertasinya yang berjudul
“International Aid for Development? An Overview Japanese ODA to Indonesia.”
menyebutkan bahwa:
Setidaknya terdapat lima tujuan yang mempengaruhi kebijakan
pemerintah Jepang dalam pemberian bantuan melalui ODA yaitu antara lain
untuk memacu proses rekontruksi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
Jepang, untuk membangun hubungan diplomatik Jepang dengan negara tetangga
(negara penerima bantuan), untuk mempertahankan sistem politik, ekonomi dan
sosial serta menstabilkan kebijakan pemerintahan negara penerima bantuan
sehingga menguntungkan bagi pemerintah Jepang, untuk meningkatkan
pendapatan per-kapita di Jepang yang berasal dari proyek-proyek bantuan asing
dan untuk menegaskan pengaruh Jepang dan kepemimpinannya bagi masyarakat
dunia.
Dari penjelasan diatas, terdapat konteks proyek bantuan asing, dimana
Jepang ingin memperoleh keuntungan dari pemberian bantuan. Ada 5 yang
disebutkan Bahri sebagai tujuan dalam pemberian bantuan:
1. Memacu proses rekonstruksi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jepang
2. Membangun hubungan diplomatik
3. Mempertahankan sistem ekonomi, politik, dan sosial
4. Menstabilkan kebijakan pemerintah negara penerima bantuan untuk
menguntungkan pemerintah Jepang
5. Meningkatkan pendapatan perkapita di Jepang
Download