PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOBA SECARA INTEGRAL DALAM KONTEKS SISTEM PERADILAN PIDANA Erna Dewi Universitas Negeri Lampung (UNILA) E-mail : [email protected] Abstrak Upaya penanggulangan tindak pidana narkoba yang dijalankan selama ini belum mampu mewujudkan tujuan dari sistem peradilan pidana baik jangka pendek yaitu resosialisasi pelaku tindak pidana, jangka menengah berupa pencegahan kejahatan dan jangka panjang yakni mewujudkan kesejahteraan sosial. Tidak terwujudnya tujuan sistem peradilan pidana tersebut antara lain disebabkan dari kinerja aparat penegak hukum yang masing-masing berpikir dan berjalan dengan konsepnya sendiri-sendiri (department oriented), tidak satu visi dan misi atau dengan kata lain tidak dilakukan secara integral. Oleh karenanya kedepan perlu adanya upaya penanggulangan tindak pidana narkoba yang dilakukan secara integral, yaitu adanya kesatuan konsep dan tujuan baik antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan petugas lapas maupun antara sub sistem tersebut dengan lembaga yang terkait antara lain BNN, BNP, Diknas, Depag, Depsos, Depkes sebagai sub sistem sosial, serta peran serta masyarakat yaitu (P4GN) dalam rangka penanggulangan narkoba baik upaya preventif maupun refresip untuk mencapai tujuan sistem peradilan pidana yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial, Untuk membangun penanggulangan yang integral tersebut diperlukan menyatukan visi dan misi (konsepsi) antar penegak hukum, adanya koordinasi (menjalin hubungan interaksi dan interdevensi serta interkoneksi) antar lembaga penegak hukum, mewujudkan kesejahteraan sosial, menjalin hubungan kerjasama dengan instansi di luar sistem peradilan pidana, baik dalam upaya preventif maupun rehabilitasi, meningkatkan peran serta masyarakat melalui pelaksanaan program P4GN (Upaya Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba). Kata kunci : Pidana Narkoba, Integral, Peradilan Pidana Abstract Efforts to combat crime, drug running as long as it hasn't been able to realize the goals of the criminal justice system both short-term resocialization perpetrators of crime, crime prevention in the form of medium-term and long-term that embody the social welfare.Not accomplishing the purposes of the criminal justice system, among others resulting from the performance of law enforcement officers who each thought and runs with its own concept (department oriented), no one's vision and mission, or in other words not done in the integral. Hence fore need for efforts for tackling drug crime perpetrated by an integral, namely the unity of concept and good cause between sub system in the criminal justice system which is composed of police, prosecutors, judges and officers of sub system and prison with related agencies, among others, BNN, the BNP, from Education Beureu, Sport Ministry, the Department of health, as sub social systems, as well as the role of the 1 community as well as the (P4GN) in order to combat drug preventive efforts and good refresip to achieve the purpose of the criminal justice system realization of social welfare, to build the integral relief needed unifying vision and mission (conception) between law enforcement, lack of coordination (interdevensi interactions and relationship as well as interconnections) between law enforcement agencies, social welfare, manifesting in a relationship of cooperation with agencies outside of the criminal justice system, both in the preventive and rehabilitation efforts, increase community participation through the implementation of the program P4GN (prevention, Eradication Efforts, Abuse and Illicit Drugs). Keywords : Drug Criminal, criminal justice, Integral Pendahuluan Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu negara hukum (Rechtsstaat/The Rule of Law). Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan, bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.1 Namun ide negara hukum itu, selama ini belum pernah dirumuskan secara komprehensif, karena yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral, oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Dalam hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional); (2) elemen kaidah aturan (elemen instrumental); dan (3) elemen perilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making); (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating); (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya kegiatan terakhir ini lazim juga disebut sebagai kegiatan-kegiatan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang dalam bidang hukum pidana melibatkan peran para penegak hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, advokat, kehakiman atau dibidang perdata melibatkan peran advokat dan kehakiman. Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti yang seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law information management) sebagai kegiatan penunjang.2 Elemen sistem hukum di atas apabila dihubungkan dengan kinerja dari aparat penegak hukum pidana dalam hubungannya dengan upaya 1 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta : PT.Bhuana Ilmu Populer, 2009), h. 17. 2 Ibid., h. 4. 2 penanggulangan tindak pidana narkoba sampai saat ini belum berhasil. Sebagai contoh di Bandar Lampung dalam kurun waktu 2 tahun terakhir jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Tanjung Karang menunjukkan peningkatan mencapai 53,21%. Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Tahun 2008 f(jumlah perkara) 28 Tahun 2009 f(jumlah perkara) 46 23 20 34 57 45 54 52 68 38 46 39 468 64 78 61 60 66 34 50 56 50 36 16 717 Tabel 1: Perkara Tindak Pidana Narkoba TA. 2008/2009.3 Tabel di atas menjelaskan bahwa kasus yang terdaftar di Pengadilan Negeri kelas IA Tanjung Karang pada tahun 2008 berjumlah 468 kasus baik narkotika maupun psikotropika, sedangkan pada tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 717 kasus. Peningkatan jumlah kasus di atas menunjukkan ketidak berhasilan upaya penanggulangan tindak pidana narkoba baik upaya yang bersifat represif melalui proses pada sistem peradilan pidana, misalnya dengan dijatuhkan sanksi yang terlalu ringan sehingga tidak membuat pelakunya insap, sehingga mengulangi lagi, maupun upaya preventif di luar proses peradilan pidana kegiatan penyuluhan atau sosialisasi undang-undang yang belum mengenai sasaran, serta kurangnya partisipasi masyarakat terhadap upaya penanggulangan tindak pidana narkoba. Pada tingkat nasional berdasarkan data yang ada pada Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa, masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah merambah sebagian besar masyarakat, dimana tidak satu Kabupaten di Indonesia terbebas dari masalah narkoba dan bahkan telah sampai 3 Daftar Register Perkara pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Periode Tahun 2008 – 2009. 3 ke tingkat Kelurahan/Pedesaan. Bahkan pada tahun 2008 tercatat 1,99 persen (3,3 juta) penduduk Indonesia telah menjadi korban penyalahgunaan narkoba.4 Meningkatnya tindak pidana narkoba disebabkan berbagai faktor antara lain disebabkan lemahnya sumberdaya manusia penegak hukum bahkan ada oknum penegak hukum juga ikut sebagai pemakai atau pengedar narkoba,sebagai contoh berita di koran harian radar Lampung tanggal 30 Oktober 2010 “tertangkapnya 2 anggota Polri yang terdiri dari 1 perwira (AA) dan 1 bintara W sedang pesta sabu di rumah warga di Kelurahan Kaliawi Bandar Lampung,5 kurangnya koordinasi antar penegak hukum, antar satu instansi penegak hukum dengan lainnya belum satu visi dan misi dalam rangka mewujudkan tujuan dari sistem peradilan pidana, baik tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana, tujuan jangka menengah penanggulangan/pencegahan kejahatan dan tujuan akhir ingin mewujudkan kesejahteraan sosial, tidak terjalin hubungan kerjasama yang baik antara penegak hukum dengan dinas instansi terkait di luar sistem peradilan pidana, serta kurangnya peran serta masyarakat dalam mendukung tegaknya hukum. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat-obat adiktif lainnya yang dikategorikan sebagai tindak pidana, karena akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya, tidak saja bagi pemakai tetapi juga bagi keluarga dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh adanya penyalahgunaan narkoba yang cukup fatal terutama terhadap masa depan bangsa dan negara, maka Indonesia secara sadar telah menentukan sikap untuk memeranginya, karena bahaya narkoba dapat menghancurkan peradaban manusia. Tindak pidana narkoba akan berpengaruh negatif, baik pada fisik dan psikhis pengguna, juga pada kehidupan sosial ekonomi, individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Misalnya gagal dalam studi, gagal dalam karier, kematian, kriminalitas, seks bebas yang berujung pada penyakit HIV/AIDS, yang merupakan bagian dari akibat yang muncul dari penyalahgunaan narkoba. Akibat yang lebih besar dari semua itu adalah hancurnya generasi muda yang berfungsi sebagai penerus perjuangan bangsa, karena penyalah gunaan narkoba saat ini kebanyakan dilakukan oleh mereka yang berusia muda.6 Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan utama dari peredaran gelap narkoba yang datang dari berbagai negara, antara lain dari Cina, Australia, Swedia, Malaysia, Singapur dan Thailan. Yang dikenal dengan istilah segitiga emas (Cina, Thailan danSingapur).peredaran gelap narkoba ini sangat berpengaruh terhadap banyaknya penyalahgunaan dan peredaran gelap Jurnal BNN edisi 8 tahun 2009. Harian Radar Lampung, 30 Oktober 2010. 6 BNN, Narkotika dan Dampak Penyalahgunaannya (Jakarta : Liplet, 2007), h. 11. 4 5 4 yang terjadi saat ini sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan dan mengancam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Penggunaan narkoba mempunyai dua dampak, yaitu dampak positif dan negatif, dampak positif apabila bahan atau obat tersebut digunakan bagi kehidupan manusia, terutama di bidang pengobatan (medis), ilmu pengetahuan dan teknologi serta di bidang industri. Sedangkan dampak negatif apabila disalahgunakan (berupa tindak pidana). Penyalahgunaan narkoba sudah merupakan wabah yang bersifat epidemi. Oleh karenanya perlu berbagai upaya untuk pencegahan maupun penanggulangannya baik terhadap pengguna, pengedar dan produsen illegal, begitu juga terhadap korbannya. Sudah saatnya diperlukan sarana yang tepat dalam rangka perang melawan narkoba. Sarana yang dimaksud adalah hukum, terutama hukum pidana. Keberadaan hukum saat ini sangat dirasakan penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum tidak hanya berperan untuk keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin kepastian hukum, kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat. Hukum dalam mencapai tujuannya lebih diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiaptiap individu dalam masyarakat dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana yang dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni hukum yang dapat menciptakan kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Suatu asumsi dasar yang harus dipahami dalam penataan hukum atau suatu kebijakan, bahwa fungsi hukum bukan semata-mata dilihat dari segi yuridis formal dan sanksinya belaka, akan tetapi suatu norma hukum akan berfungsi secara efektif apabila dijunjung dan dipatuhi oleh setiap orang dalam setiap bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan kondisi-kondisi yang relevan lainnya. Seperti halnya tindak pidana narkoba yang saat ini semakin marak dimana hampir setiap hari diberitakan baik melalui media cetak maupun elektronik, bahwa saat ini lebih dari 3.500 orang sebagai korban pengguna narkoba di Indonesia yang perlu untuk direhabilitasi. Hal ini merupakan akibat dari krisis ekonomi global, sehingga banyak orang melakukan apa saja demi kebutuhan hidup. Kehadiran aparat penegak hukum sangat diharapkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat guna menekan lajunya tindak pidana terlebih tindak pidana narkoba. Mengingat pentingnya stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat demi kelancaran pembangunan, lebih-lebih dalam menghadapi globalisasi, maka diperlukan alat pengontrol yaitu hukum pidana, karena hukum pidana merupakan salah satu alat yang sangat ampuh untuk menanggulangi kejahatan terlebih tindak pidana narkoba. Oleh karenanya upaya penanggulangan narkoba di Indonesia telah dimulai sejak berlakunya ordonansi obat bius (Verdoovende 5 Middelen Ordonnantie, Stbl. 1927 nomor 278 Jo Nomor 536). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika.7 Akan tetapi sejak tahun 1990-an terjadi perkembangan dari perbuatan pelaku tindak pidana dalam masyarakat yang sangat membahayakan terutama generasi muda, misalnya dengan tertangkapnya zarima dalam kasus ekstasi, yang pada masa itu undang-undang yang ada tidak dapat mengakomodir perbuatan yang berkaitan dengan ekstasi tersebut, sehingga pada tahun 1997 dibuatlah undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika yang menggantikan Undang-Undang No. 9 tahun 1976. Lahirnya kedua undang-undang itu didahului dengan keluarnya UndangUndang No. 8 tahun 1996 tentang pengesahan konvensi psikotropika 1971 dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997 tentang pengesahan konvensi pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika 1988. Perangkat perundang-undangan untuk memberantas narkoba itu juga dilengkapi dengan berbagai Permenkes, antara lain tentang Peredaran psikotropika (Permenkes Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997) dan tentang ekspor dan infor sikotropika (Permenkes Nomor 785/Menkes/Per/VII/1997).8 Kemudian tanggal 12 oktober 2009 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Fungsi ideal lembaga penegak hukum yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan, serta menjamin perlindungan hak asasi manusia, pada saat ini mengalami keterpurukan, yaitu dengan terungkapnya berbagai proses hukum dan putusan peradilan yang penuh rekayasa, diskriminatif dan ketidak adilan sebagai hasil korupsi pengadilan (judicial corruption), yang dikenal dengan istilah mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan bentuk kegagalan peradilan yang merupakan sarana atau tempat mencari keadilan, telah menjadi ikon tindakan menyimpang dalam proses peradilan.9 Praktek mafia peradilan merupakan perbuatan melawan hukum yang merusak sendi-sendi independensi dan imparsialitas pengadilan sebagai lembaga penegak hukum, karena rekayasa hukum yang dilakukan sindikat mafia peradilan (makelar kasus) melanggar prinsif due process of law. Adapun akibat langsung dari praktek mafia peradilan, makelar kasus (markus) menimbulkan diskriminasi perlakuan terhadap pencari keadilan berdasarkan pertimbangan rasional– pramagtisme, bertumpu pada kekuatan “uang dan kekuasaan”, mengabaikan prinsip-prinsip penegakan hukum yang adil. Dalam Barda NA, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), h. 193. 8 Ibid, h. 194. 9 Asfinawati. Judicial Corruption,Kajian Kritis dan Cara Efektif Pemberantasan Korupsi, (Jakarta : Komisi Yudisial, 2008), h. 312. 7 6 kenyataan proses peradilan dijalankan berdasarkan pertimbangan “transaksional” antara pihak-pihak melalui markus yang mempunyai kekuatan ekonomi yang mengahasilkan penegakan hukum yang tidak adil dan diskriminatif. Uraian di atas dapat diketahui, bahwa Indonesia sejak sebelum merdeka tahun 1927 sudah berlaku ordonansi tentang obat bius, kemudian setelah merdeka sampai dengan sekarang sudah 3 (tiga) kali mengubah peraturan perundang-undangan tentang narkotika kemudian ditambah dengan undangundang psikotropika serta beberapa permenkes yang kesemuanya diperlukan dalam rangka upaya penanggulangan tindak pidana narkoba, tetapi nyatanya sampai saat ini jenis tindak pidana ini bukannya berkurang bahkan semakin meningkat, lebih-lebih dengan adanya budaya hukum masyarakat dan budaya hukum penegakan hukum yang tidak mendukung tegaknya hukum, yaitu dengan adanya markus, mafia peradilan, bahkan carut marutnya penegakan hukum sehingga tidak menutup kemungkinan hal demikian juga terjadi pada penegakan hukum terhadap tindak pidana narkoba, hal ini tampak dengan ringannya putusan-putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana narkoba, adanya disparitas pidana dari putusan-putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana narkoba, banyaknya recidivis dari pelaku tindak pidana narkoba, belum lagi adanya beberapa tahanan (napi) yang meninggal karena over dosis di dalam Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan, serta banyak lagi masalah-masalah hukum yang tidak mendukung tercapainya supremasi hukum yang dicitacitakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu dengan adanya penegakan hukum yang integral yang mampu mewujudkan kesejahteraan saosial. Fokus dari tulisan ini adalah membahas tentang penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral dalam konteks sistem peradilan pidana sebagai suatu kajian terhadap carut marutnya penegakan hukum di Indonesia. Kerangka Teoretis Paradigma adalah persoalan dasar yang perlu ditetapkan sebagai cara pandang, karena pilihan paradigma akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan langkah dalam suatu tulisan ilmiah. Untuk tulisan ini yang dimaksud dengan paradigma adalah seperangkat keyakinan dasar (a set of basic beliefs) sebagai sistem filosofis utama. Induk atau payung yang merupakan konstruksi manusia (bukan konstruksi utama), yang memandu peneliti dalam penelitian ilmiah untuk sampai pada kebenaran dalam disiplin ilmu tertentu.10 Diantara paradigma yang dikenal, terdapat paradigma positivisme, postpositivisme, kritikal teori dan konstruktivisme. Dalam tulisan ini, penulis 10 Agus Salim (penyunting), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba dan Penerapannya), (Yogyakarta, PT. Tiara wacana, 2001), h. 33-34. 7 memilih paradigma konstruktiv”, karena paradigma ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa dilihat dari fokus yang akan diteliti yaitu “penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral dalam konteks sistem peradilan pidana”, maka upaya penanggulangan melalui penegakan hukum baik secara penal (menggunakan sistem peradilan pidana) maupun non-penal (upaya di luar system peradilan pidana) secara realita (ontologi) dipahami akan terbentuk oleh faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis dan gender dengan waktu yang terkristalisasi dan dianggap nyata pada kenyataannya saat ini dan tidak hanya karena faktor hukum dan bekerjanya hukum semata, tetapi juga harus memperhatikan faktor ektra yuridis. Paradigma konstruktiv ini memungkinkan penulis untuk mengerti dan memahami (epistemologi) penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral dalam konteks sistem peradilan pidana. Selanjutnya dari tulisan ini penulis berupaya membangun atau merekonstruksi (aksiologi) berdasarkan teori sistem dengan harapan penanggulangan terhadap tindak pidana narkoba dapat dilakukan secara integral, baik jalur penegakan hukum melalui proses pada sistem peradilan pidana maupun di luar sistem peradilan pidana (upaya preventif lainnya) yang dapat mewujudkan tujuan hukum yang sekaligus merupakan tujuan negara yaitu ingin mewujudkan kesejahteraan sosial sesuai dengan nilai-nilai dasar atau jiwa Bangsa Indonesia yaitu Pancasila, Karena menurut Satjipto Rahardjo11, bahwa hukum itu dibuat oleh manusia dan untuk kepentingan hidup manusia, yang pada akhirnya manusia ingin mencapai kehidupan yang sejahtera (social welfare) sehingga supremasi hukum dapat terwujud. Tulisan ini dikaji dengan pendekatan sistem dalam hukum. Istilah sistem berasal dari perkataan systema dalam Bahasa Yunani. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sistem sebagai (1) seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas, (2) susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya, dan (3) metode.12 Visser’t T Hooft mengartikan sistem sebagai suatu yang terdiri dari sejumlah unsur dan komponen yang saling berkaitan dan mempengaruhi serta terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.13 Mochtar Kusumaatmadja, menyebut sistem sebagai kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur yang satu sama lain berhubungan dan saling mempengaruhi sehingga merupakan keseluruhan yang utuh dan berarti.14 Menurut Ludwig Von Bertalanfy, sistem adalah complexes of elements Satjipto Rahardjo, 1983. Masalah Penegakan Hukum, (Bandung : Sinar Baru, 1983), h. 26. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 849. 13 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung, 1991, 11 12 h. 58. 14 Mochtar Kusumaatmadja Masyarakat, 2009, h. 51. dalam Yusriadi, Tebaran Pemikiran Kritis Hukum & 8 standing interaction; a system is a set of elements standing interrelation among themselves andwith the environment.15 Secara lebih umum Shorde and Voich mendifinisikan system sebagai a set of interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common objectives of the whole, within a complex environment.16 Dari berbagai pendapat di atas, dapat dirumuskan bahwa pengertian sistem didalamnya terkandung hal-hal berikut, yakni (1) terdiri atas bagian, unsur, elemen, komponen, (2) satu sama lain berinteraksi dan interdependensi yang tersusun secara sistematis sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh, (3) terdapat tujuan yang ingin dicapai sebagai hasil akhir, dan (4) berada dalam suatu lingkungan yang kompleks.17 Oleh Fritjof Capra, kompleksitas yang demikian di sebut sebagai pohon sistem. Lebih lanjut dijelaskan bahwa terdapat interaksi dan interdependensi antara semua tingkat sistem. Masing-masing tingkat berinteraksi dan komunikasi dengan lingkungan. Ranting-ranting pohon sistem menunjukkan bahwa organisme individual terkait dengan sistem sosial dan ekologis yang lebih besar, yang pada gilirannya juga mempunyai struktur pohon yang sama.18 Hukum merupakan subsistem dalam masyarakat, oleh karenanya pekerjaan hukum dan hasil-hasilnya bukan semata-mata urusan hukum melainkan bagian dari proses masyarakat.19 Di samping teori di atas penulis juga akan mengkaji penegakan hukum ini dilihat dari teori sistem hukum (legal system) L.M. Friedman yang juga merupakan grand theory, menurut Friedman bahwa unsur-unsur sistem hukum dapat dilihat dari 3 (tiga) hal, yaitu: Structure, substance dan legal culture. Hal ini berarti, bahwa system hukum selalu mengandung komponen Legal Structure (institusi atau penegak hukum sebut saja misalnya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan), Iegal substance (aturan-aturan dan normanorma yang dapat disebut dengan hukum positif), kemudian Legal Culture (budaya hukum) yang meliputi ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan, harapan, dan pandangan tentang hukum. Pengkajian terhadap penanggulangan tindak pidana secara integral baik melalui sarana penal (sistem peradilan pidana) maupun non penal (diluar sistem peradilan pidana) digunakan teori tentang politik kriminal (criminal policy) dari G.P. Hoefnagels,20 berdasarkan teori ini upaya penanggulangan tindak pidana, meliputi: Penerapan hukum pidana (criminal law application) yang menitik beratkan pada sifat represif (penindakan pemberantasan, penumpasan) sesudah terjadinya tindak pidana yang termasuk dalam sarana penal, Pencegahan tanpa Ludwig Von Bertalanfy dalam Esmi Warassih, 2005, h. 41. Ibid. 17 Ibid., h. 15 18 Ibid., Fritjof Capra, h. 16. 19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1991), h. 43. 20 Barda NA., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang : Ananta, 1996), h. 46. 15 16 9 pidana (prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment) yang menitik beratkan sifat preventif (pencegahan, penangkalan, dan pengendalian) sebelum tindak pidana terjadi. Membangun penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral dengan pendekatan yang menyeluruh dan sistemik, diharapkan dapat menjangkau akar permasalahan yang sesungguhnya dari fenomena tindak pidana narkoba yang berkembang, yaitu melalui penerapan kebijakan yang integral. Penanggulangan tindak pidana narkoba dengan pendekatan yang integral mengandung arti, bahwa segala kebijakan yang ditempuh harus selalu mempertimbangkan segala aspek kehidupan secara seimbang, baik aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, bahkan juga aspek hubungan internasional. Pendapat Habib-Ur-Rahman21 Khan, menyatakan: “I suggest that, just as in the 19th century attention was diverted from the crime to its author the criminal, wre should go a step further and focus our attention, not on the criminal, but on to its author society. We will have to change our socio-political and economic system that breeds criminals”. Pendapat di atas tampaknya sejalan dengan pendekatan integral/sistemik dalam upaya pencegahan kejahatan yang dikemukakan dalam kongres PBB ke-7 di Milan Italy antara lain dikemukakan, bahwa: Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana janganlah diperlakukan/dilihat sebagai problem yang terisolir dan ditangani dengan metode yang “simplistic” dan “fragmentair”, tetapi seyogianya dilihat sebagai masalah yang lebih kompleks dan ditangani dengan kebijakan tindakan yang luas dan menyeluruh; pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Di dalam Guiding Principles yang dihasilkan Kongres PBB ke-7 ditegaskan antara lain, bahwa: Policies for crime prevention and criminal justice should take into account the structural causes, including socio-economic causes of in justice, of which criminality is often but a symptom. (Kebijakankebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab structural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom.22 21 Habîb ar-Rahmân Khan dalam Sunarto, Kebijakan Penanggulangan Penyerobotan Tanah oleh Masyarakat di Provinsi Lampung, (Jakarta : FH.UI, 2003), h. 19. 22 Ibid., h. 14. 10 Berdasarkan uraian di atas, dalam penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral dilakukan oleh lembaga penegak hukum bersama-sama dengan dinas instansi terkait serta partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kepastian hukuim, kemanfaatan, dan keadilan yang pada akhirnya dapat mencapai kesejahteraan sosial. Selanjutnya menurut J. Goldstein,23 upaya penanggulangan melalui penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Total Area Law Enforcement, Yaitu penegakan hukum pidana secara total, hal ini tidak mungkin dilakukan, karena para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan mulai dari penangkapan, penahanan, penggledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu pada hukum pidana substantivenya juga member batasan apabila terdapat delik aduan terhadap delik aduan ini termasuk dalam lingkup yang dibatasi yang dikenal dengan istilah Area of No Enforcement (wilayah dimana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat Total tersebut dikurangi dengan Area of No Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum yang kedua yaitu Full Area Law Enforcement. 2. Full Area Law Enforcement, yang berarti bahwa penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan ini dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan discretions. 3. Actual Law Enforcement, Merupakan wilayah yang dapat ditegakkan oleh penegak hukum dalam arti sempit (polisi, jaksa, hakim dan petugas lapas), yang pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat. Berdasarkan teori-teori di atas, penulis mencoba untuk membahas carutmarutnya penanggulangan tindak pidana narkoba dan penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral dalam konteks sistem peradilan pidana pada pembahasan berikut. Pembahasan A. Pelaksanaan Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Carut marutnya penanggulangan tindak pidana narkoba dapat dikaji dari sudut pandang Friedman tentang sistem hukum yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: 23 Muladi, Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: PB. Undip, tt.), h. 16. 11 1. Structure Pada elemen pertama Friedman mendeskripsikan sebagai berikut: “we now have a prelminary, rough idea of what we mean when we talk about our legal system. There are other ways to analyze this complicated and important set of institutions. To begin with, the legal system has structure. The system is constantly changing: but parts of it change at different speeds, and not every part changes as fast as certain other parts. Thera are persistent, long-term patterns – aspects of the system that were here yesterday (or even in the last century) and will be around for a long time to come. This is the structure of the legal system – its skeleton or framework, the durable part, which gives a kind of shape and definition to the whole”24 Persoalan struktur dan penegakan hukum di Indonesia, masih belum ada kesatuan pandang (misi dan persepsi yang sama) menghadapi persoalan kejahatan dan penegakan hukum, masing-masing berpikir dan berjalan dengan konsepnya sendiri-sendiri (departement oriented)25 demikian juga halnya dengan struktur atau penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana narkoba dilakukan oleh penegak hukum sebagaimana penegak hukum dalam arti sempit, yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan, hanya saja penanganannya pada tingkat penyidikan dilaksanakan oleh unit tersendiri yang menangani narkoba. Karena sulitnya pengungkapan jaringan ini, sehingga oleh pemerintah dibentuk suatu badan nasional yang dikenal dengan Badan Narkoba Nasional (BNN) maupun daerah yang dikenal dengan Badan Narkoba Provinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/ Kota yang berfungsi membantu penegak hukum dalam rangka mengungkap kasus narkoba maupun upaya-upaya preventif lainnya seperti sosialisasi undang-undang narkotika dan psikotropika baik pada tingkat pelajar maupun masyarakat pada umumnya. Demikian juga halnya dengan lembaga pemasyarakatan khusus untuk nara pidana narkoba dibedakan dengan pembinaan terhadap pelaku tindak pidana lainnya, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Narkoba. Undang-undang narkotika juga mengatur tentang perluasan tehnik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.26 Upaya – upaya Friedman, American Law, h. 5. Sunarto DM, Rekonstruksi Hukum Pidana Era Transformasi dan Globalisasi dalam Penegakan Hukum Secara Integratif, (Pidato Pengukuhan Guru Besar, 2009), h. 29. 26 Penjelasan UU No. 35 tahun 2009, karena tingkat bahaya dari tindak pidana ini sangat mengancam masa depan negara, maka upaya pengungkapan dan penangkapan pelaku tindak pidana ini dilakukan secara khusus seperti di tingkat kepolisian ada unit khusus yang menangani 24 25 12 demikian belum membuahkan hasil yang maksimal terbukti dengan masih banyaknya kasus narkoba yang terjadi, sebagai contoh; kasus yang terdaftar pada buku registrasi di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang 2008 yang berjumlah 468 kasus dan tahun 2009 berjumlah 717 kasus (lihat table 1), begitu juga pada tingkat nasional yang pada bulan Desember 2008 berjumlah 3,3 juta (1.9%) penduduk Indonesia sebagai korban tindak pidana narkoba. Carut marutnya penanggulangan tindak pidana narkoba dapat dilihat pada setiap tahapan dalam proses peradilan pidana. Pada tahap pemeriksaan di kepoliisian (penyidikan) dibedakan pada tahap penyelidikan, modus operandi meliputi; 1). Permintaan uang jasa, laporan ditindak lanjuti setelah (pelapor) menyerahkan laporan uang jasa, 2). Penggelapan perkara, penanganan perkara dihentikan setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang jasa kepada polisi (penyelidik), keadaan demikian perkara dapat di masukkan dalam Blackbox (kotak hitam) atau dikenal juga dengan istilah diskresi dalam arti negatif. Pada tahap penyidikan modus operandinya berupa; 1). negosiasi perkara, tawar menawar pasal yang akan dikenakan terhadap tersangka dengan jumlah uang yang berbeda-beda, menunda surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SDPD) kepada kejaksaan. 2). Pemerasan oleh polisi, dengan jalan tersangka dianiaya terlebih dahulu bahkan sampai ada yang meninggal dengan maksud agar tersangka mau koorporatif dan menyerahkan uang, mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai. Pengaturan ruang tahanan, penempatan di ruang tahanan termasuk juga jaminan penangguhan penahanan dijadikan alat untuk tawar menawar terhadap kegiatan penyidikan tersebut. Carut marut pada tahap di kejaksaan (penuntutan); 1). pemerasan, penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai, surat panggilan sengaja tanpa status “saksi” atau “tersangka”, pada ujungnya saat pemeriksaan akan dimintai uang agar statusnya bukan “tersangka”. 2). Negosiasi status, perubahan status tahanan tersangka juga jadi alat tawar menawar termasuk juga upaya penangguhan penahanan. 3). Pelepasan tersangka, melalui surat penghentian penyidikan (SP3) dengan sengaja membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa divonis bebas, 4). Penggelapan perkara, berkas perkara dihentikan jika member sejumlah uang, saat dilimpahkan ke kejaksaan, polisi berdalih sudah ada yang mengurus, sehingga perkara masuk kotak hitam (hilang dijalan) tidak masuk dalam registrasi, 5).Negosiasi perkara, proses penyidikan di ulurmasalah narkoba yang juga dibantu oleh densus 88, demikian juga di pelabuhan-pelabuhan baik darat, laut dan udara (bandara). 13 ulur merupakan isyarat agar keluarga tersangka menemui jaksa, bias melibatkan markus (maklar kasus) atau calo perkara yang berasal dari kejaksaan, anak pejabat, pengacara rekanan jaksa, dalam hal ini berat ringannya dakwaan dijadikan alat tawar menawar. 6). Pengurangan tuntutan, dapat juga dilakukan bila terdakwa memberikan sejumlah uang, demikian juga Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibocorkan saat penyidikan, karena pasal yang disngkakan dapat diperdagangkan, contoh yang terjadi di Lampung, bahwa di laporkan 2 orang oknum jaksa (Suk dan sel) menerima suap senilai 11 juta rupiah dengan maksud untuk meringankan tuntutannya, ternyata pada waktu siding di Pengadilan pasal dan sanksi yang di ancamkan tidak berubah, akhirnya si korban melapor dan kasus tersebut lagi di proses.27 Modus operandi pada praktek mafia peradilan semakin rapi dan melibatkan banyak pihak dengan peran yang berbeda-beda, sehingga sudah sistematis seperti sindikat.28 Secara umum praktik mafia peradilan di persidangan pengadilan, meliputi; 1). Permintaan uang jasa, dalam hal ini pengacara harus menyiapkanuang ekstra pada bagian registrasi perkara atau dapat juga melalui jasa panitera. 2) penentuan majelis hakim, dilakukan sendiri atau meminta jasa panitera pengadilan atau panitera pengganti. 3). Negosiasi putusan pengadilan, sudah ada koordinasi sebelumnya tentang tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang berujung pada Vonis Hakim, terjadi negosiasi tawar menawar antara Hakim, jaksa dan Pengacara tentang berat ringannya putusan dan besarnya uang yang harus dibayar. Keadaan carut marutnya upaya penanggulangan kejahatan, mafia peradilan di atas berlaku pada setiap jenis tindak pidana dan tidak terkecuali juga terhadap tindak pidana narkoba, hal ini nampak dengan adanya disparitas pidana putusan pengadilan terhadap pelaku narkoba, penulis membandingkan terhadap 3 kasus pada bulan Mei 2009 dengan No. perkara 471/B/09/PNTK atas nama ND di putus 4 tahun 6 bln denda 150 juta atau 3 bulan penjara, Perkara No. 369/Pid/B/09/PNTK di putus hanya 1 tahun 2 bln denda 1 juta dan satu perkara yang pelakunya anak” pejabat” (Ket. DPRD) di putus bebas, terhadap anak “pejabat” ini juga terkena kasus lain selain narkoba yaitu penganiayaan, dengan demikian jelas bahwa kekuasaan lebih berperan di banding hukum itu sendiri. 2. Substance Harian Radar Lampung, 29 Oktober 2010. Muquddas, Mafia Peradilan Berjalan http:/beritasore.com/2009/07/16/mafia peradilan, diakses 28 Oktober 2012. 27 28Busyro 14 Sistemik, dalam Pada elemen kedua ini Friedman menggambarkan sebagai berikut: “Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system. This is, first of all, “the law” in the populer sense of the term – the fact that the speed limit is fifty-five milesn an hour, that burglars can be sent to prison, that “by law” a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar”.29 Dari sisi substantive kebijakan penanggulangan bahaya dan penyalahgunaan Narkotika di Indonesia telah dimulai sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen ordonnantie, Stbl. 1927 nomor 278 Jo Nomor 536). Ordonansi ini kemudian diganti dengan UndangUndang No. 9 tahun 1976 tentang tindak pidana narkotika.30 Akan tetapi sejak tahun 1990-an terjadi perkembangan perbuatan masyarakat terutama generasi muda yang sangat membahayakan, misalnya dengan tertangkapnya zarima, pada masa itu undang-undang yang ada tidak dapat mengakomodir perbuatan yang berkaitan dengan ekstasi tersebut, sehingga pada tahun 1997 dibuatlah undang-undang yang baru, yaitu UndangUndang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika yang menggantikan Undang-Undang No. 9 tahun 1976. Lahirnya kedua undang-undang itu didahului dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1996 tentang pengesahan Konvensi psikotropika 1971 dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997 tentang pengesahan konvensi pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika 1988. Perangkat perundang-undangan untuk memberantas narkoba itu juga dilengkapi dengan berbagai Permenkes, antara lain tentang Peredaran psikotropika (Permenkes Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997) dan tentang ekspor dan infor sikotropika (Permenkes Nomor785/Menkes/Per/VII/1997).31kemudian tanggal 12 oktober 2009 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.32 Adapun subyek atau pelaku tindak pidana menurut kedua undangundang narkoba di atas dapat berupa orang perorangan maupun korporasi. Namun ada pula subyek yang bersifat khusus, yaitu pimpinan rumah sakit/puskesmas/balai pengobatan, apotek, dokter, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan pabrik obat, dan pimpinan pedagang besar farmasi (Pasal 99 Undang-Undang Narkotika; Pasal 14 Jo. Pasal 60 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Psikotropika). Sedangkan sanksi pidana dan pemidanaannya antara lain: a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam waktu tertentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana Friedman, American Law, h. 6-7. Ibid., h. 193. 31 Ibid., h.194. 32 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. 29 30 15 tambahan (pencabutan izin usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga negara asing); b. Jumlah/lamanya pidana bervariasi: untuk denda berkisar antara 60 juta rupiah sampai 10 miliar rupiah untuk tindak pidana psikotropika, dan antara 1 juta rupiah sampai 7 miliar rupiah untuk tindak pidana narkotika; untuk pidana kurungan berkisar antara 6 bulan dan pidana penjara 1 tahun sampai 20 tahun dan atau seumur hidup; c. Sanksi pidana pada umumnya diancamkan secara kumulatif (terutama pidana penjara dan denda); d. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimum khusus (penjara maupun denda); e. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir, dilakukan oleh korporasi, dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan; f. Menurut Undang-Undang psikotropika (Pasal 69), percobaan atau pembantuan melakukan tindak pidana sama dengan melakukan tindak pidana; dan menurut Undang-Undang Narkotika (Pasal 83), percobaan atau permufakatan jahat dipidana sama dengan melakukan tindak pidana.33 Pada kenyataannya upaya pemberantasan tindak pidana narkotika maupun psikotropika dengan ancaman sanksi yang sudah cukup berat dan tegas ini pun masih banyak menemui kendala, dalam arti bahwa dengan sanksi yang berat juga belum mampu menekan lajunya kasus yang terjadi di masyarakat, karena walaupun ada beberapa kasus yang di proses maupun di putus oleh hakim, namun itu baru dapat diibaratkan puncak gunung es, karena akar-akar atau jaringan yang belum terungkap sesungguhnya lebih besar dari apa yang telah diselesaikan, kenyataan ini sejalan dengan teori dari J. Goulstein,bahwa dalam mewujudkan actual law enforcement (penegakan hukum yang senyatanya dilakukan) merupakan bagian dari full area law enforcement (wilayah hukum yang sepenuhnya/seharusnya) yang dikurangi hasil diskresi (discretion), sebagaimana pendapat Sudarto, bahwa penegakan hukum dalam kenyataannya merupakan proses diskresi (discretion process), yaitu proses penyesuaian antara harapan dan kenyataan. 3. Legal Culture Pada elemen ketiga Friedman mendeskripsikannya sebagai berikut: “By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system – their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the general culture which concern the legal system. ......The legal culture, in other words, is the climate of social thougt and social force which determines how law is used, avoided, or abused. Without 33 Ibid., h. 197. 16 legal culture, the legal system is inert – a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea”.34 Kondisi keterpurukan hukum di Indonesia, tidaklah semata-mata dapat dianggap sebagai kesalahan dari para pembentuk undang-undang semata, seolah-olah krisis hukum yang terjadi selama ini, karena buruknya kualitas perundang-undangan yang dihasilkan atau karena masih banyaknya perundang-undangan peninggalan kolonial yang masih berlaku, untuk itu perlu pengamatan yang holistik atau menyeluruh, yaitu terhadap semua kondisi yang mempengaruhi bekerjanya hukum di masyarakat atau meminjam istilah Sahetafy yaitu dilihat dari “sobural” (sosial, budaya dan kultural). Hal demikian terjadi disebabkan karena posisi hukum sebagai devendent variable, dimana factor-faktor non-hukum sangat berpengaruh. Pada negara yang sedang berkembang budaya hukum masyarakat sangat memegang peranan penting, begitu juga pembuat hukum, penegakan hukum dan pelaksanaannya. Tanpa budaya hukum yang baik, sebaik-baiknya lembaga hukum dan substansi hukum niscaya penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan efektif. Seperti contoh adanya mafia peradilan, mafia kasus dan budaya-budaya lain. Karena budaya hukum sifatnya melekat pada siapa saja, baik pada penyelenggara negara, penegak hukum, penerap hukum dan masyarakat luas. Dari kenyataan di atas, mengingat konpleksnya masalah hukum terutama terhadap pelaku tindak pidana narkoba, maka penaggulangannya dapat dilakukan dengan pendekatan integral. B. Membangun Model Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Secara Integral dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Sistem peradilan pidana (SPP) adalah sistem yang terbuka (open system), oleh sebab itu, kualitas kinerja SPP akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang berpengaruh di dalam sistem sosial (lingkungan bekerjanya SPP) yang lebih besar, diantaranya perkembangan politik, ekonomi, social, iptek, pendidikan, budaya hukum dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan tindak pidana narkoba melalui sistem peradilan pidana sangat tergantung pada dua dimensi, yaitu dimensi eksternal dan dimensi internal. Dengan kata lain, berhasil tidaknya upaya penanggulangan tindak pidana melalui sistem peradilan pidana (terpadu), sangat tergantung pada keterpaduan dari dua dimensi tersebut.35 34 Dalam pandangan SatyaArinanta, bahwa ketiga unsure system hukum yang dikemukakan oleh Friedman ini sangat mempengaruhi pendapat para sarjana hukum Indonesia dalam merumuskan berbagai pandangan mengenai hukum dan sistemhukum. Lihat Satya Arinanta. Pidato pengukuhan Guru Besar FH UI. Jakarta, 2006, h. 18. 35 Sunarto, Fenomena Penyerobotan Tanah yang dilakukan Masyarakat dan Persfektif Penanggulangannya, (Bandar Lampung Unila), 2005, h. 28. 17 Sedangkan yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana terpadu berarti terdapat suatu keterpaduan pendapat, sikap dan langkah terhadap pencegahan serta pemberantasan kejahatan dalam masyarakat. Masingmasing komponen dalam proses peradilan pidana tidak mungkin akan dapat menanggulangi pencegahan dan pemberantasan kejahatan menurut kepentingan lembaga itu sendiri. Masing-masing komponen merupakan sub sistem lainnya dalam keseluruhan sub sistem dalam sistem peradilan pidana.36dan sistem peradilan pidana juga merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih besar. Membangun sistem peradilan pidana (terpadu/integral) dari dimensi internal, berarti fokus perhatian diarahkan pada usaha untuk membangun keterpaduan antar sub sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan petugas pemasyarakatan.Sedangkan membangun sistem peradilan pidana (terpadu/integral) dari dimensi eksternal, maka fokus perhatian dalam melakukan pembaharuan di arahkan kepada semua bagian-bagian di luar sistem peradilan pidana yang ikut mempengaruhi kinerja sistem peradilan pidana, diantaranya kinerja instansi terkait (Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi (BNP), Diknas, Depag, Depsos), teoritisi dan Lembaga Swadaya masyarakat dan partrisispasi masyarakat melalui program upaya pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). Uraian di atas, bermaksud menegaskan, bahwa upaya memfungsikan sistem peradilan pidana hanyalah bagian dari kebijakan criminal dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral. Oleh sebab itu, keberhasilan sistem peradilan pidana (SPP) dalam menanggulangi tindak pidana narkoba sebagaimana dianjurkan dalam Undang-Undang 35 tahun 2009 tentang Narkotika sangat tergantung pada kualitas kerjasamanya dengan bagian-bagian lain di luar SPP, namun saling pengaruh mempengaruhi. Oleh sebab itu, penerapan upaya penanggulangan yang integral terhadap tindak pidana narkoba harus menggunakan pendekatan yang menyeluruh (holistik) dan dijauhkan dari sifat pragmentaris. Penanggulangan tindak pidana narkoba yang integral membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, yaitu dengan melihat pada akar permasalahan yang sesungguhnya, jika tidak, maka ada kehawatiran bahwa hukum pidana akan digunakan secara tidak tepat, seolah-olah hukum pidana dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial secara tuntas. Sedangkan bagian-bagain (sub-sub sistem sosial) lain yang secara rasional harus dilibatkan dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkoba belum difungsikan secara maksimal. Padahal akar permasalahannya sangat kompleks, karena menyangkut banyak faktor misalnya, kemiskinan, kebodohan, kegagalan dalam menanggulangi KKN, prilaku politik yang menyimpang, dan sebagainya.oleh karenanya upaya penanggulangan tindak pidana narkoba yang ditempuh harus selalu mempertimbangkan segala aspek kehidupan secara seimbang, baik aspek ekonomi, politik, socialbudaya, bahkan juga aspek hubungan internasional. 36 Loebby Loqman, Pidana dan Pemidanaan. (Jakarta : Datacom, 2001), h. 21. 18 Berdasarkan pemikiran di atas, maka terdapat beberapa konsep dan rumusan kebijakan penanggulangan kejahatan yang diterima oleh masyarakat internasional dan akan digunakan sebagai bahan analisis dalam menjelaskan fenomena tindak pidana narkoba, serta upaya penanggulangannya.Pendapat Habib-Ur-Rahman37 Khan, menyatakan: “I suggest that, just as in the 19th century attention was diverted from the crime to its author the criminal, wre should go a step further and focus our attention, not on the criminal, but on to its author society. We will have to change our socio-political and economic system that breeds criminals”. Pendapat di atas tampaknya sejalan dengan pendekatan integral/sistemik dalam upaya pencegahan kejahatan yang dikemukakan dalam kongres PBB ke-7 di Milan Italy antara lain dikemukakan, bahwa: Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana janganlah diperlakukan/dilihat sebagai problem yang terisolir dan ditangani dengan metode yang “simplistic” dan “fragmentair”, tetapi seyogianya dilihat sebagai masalah yang lebih kompleks dan ditangani dengan kebijakan tindakan yang luas dan menyeluruh; pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Di dalam Guiding Principles yang dihasilkan Kongres PBB ke-7 ditegaskan antara lain, bahwa: Policies for crime prevention and criminal justice should take into account the structural causes, including socio-economic causes of in justice, of which criminality is often but a symptom. (Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab structural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom.38 Berdasarkan uraian di atas, dalam penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral dilakukan oleh lembaga penegak hukum bersama-sama dengan dinas instansi terkait serta partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kepastian hukuim, kemanfaatan dan keadilan yang pada akhirnya dapat mencapai kesejahteraan sosial. Menurut Gustav Radbruch, pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep abstrak, yaitu ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial termasuk dalam kelompok yang abstrak. Bertolak dari hakekat (nilai dasar) hukum tersebut, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide yang bersifat abstarak menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide inilah yang merupakan hakekat penegakan 37 Habîb-ar-Rahmân Khan dalam Sunarto 2003. Kebijakan Penanggulangan Penyerobotan Tanah oleh Masyarakat di Provinsi Lampung. FH.UI. Jakarta. 38 Ibid., h. 14. 19 hukum.39Agar ide-ide tersebut dapat diwujudkan, tentu saja dibutuhkan suatu organisasi, dalam hal ini peranan negaralah yang diperlukan untuk membentuk lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Walaupun lembaga-lembaga tersebut mempunyai fungsi yang berbeda namun tujuannya sama yaitu menegakkan hukum dalam masyarakat. Karena tanpa lembaga-lembaga tersebut hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dijalankan sebagai mana mestinya. Adapun yang dimaksud dengan “alat penegak hukum” hanyalah kepolisian dan kejaksaan, akan tetapi kalau penegak hukum itu diartikan secara luas, maka penegakan hukum itu juga menjadi tugas dari pembentuk undangundang, Hakim dan instansi Pemerintah40, bahkan masyarakat, Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.41 Inti dan arti penegakan hukum dari sisi lain terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terkandung di dalam kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap dan tindakan sebagai rangkaian penyatuan nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan memantapkan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.42 Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu proses pelaksanaan hukum oleh aparatur penegak hukum, yang mencakup usahausaha pencegahan hingga tindakan penjatuhan sanksi. Penegakan hukum pidana erat sekali hubungannya dengan hukum acara pidana, dimana pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam bagian sistem peradilan pidana yang merupakan jaringan kerja yang melibatkan hukum pidana materil (substantive), hukum acara pidana (hukum pidana formal) dan hukum pelaksanaan pidana dalam rangka mencapai suatu tujuan, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang yaitu ingin mewujudkan kesejahteraan sosial. Penegakan hukum (law enforcement) telah mempunyai kekuatan (force) yang diperlukan dalam menegakan hukum. Bila perlu dapat digunakan kekerasan untuk memaksa seseorang agar mematuhi hukum sehingga tercipta suatu keserasian hidup antara ketertiban dan ketentraman, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Indonesia sejak sebelum merdeka tahun 1927 sudah memberlakukan ordonansi tentang obat bius, kemudian setelah merdeka sampai dengan sekarang sudah 3 (tiga) kali merubah peraturan perundang-undangan tentang narkotika kemudian ditambah dengan undang-undang psikotropika serta Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, (Bandung : Sinar Baru), 1983, h. 16. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung, h. 16. menurut beliau penegakan hukum tidak lain adalah proses sdiskresi (discretion process) yaitu proses penyesuaian antara harapan dan kenyataan. 41 Ibid., h. 24. 42 Soerjona Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Bandung : Rajawali, 1983), h. 2. 39 40 20 beberapa permenkes yang kesemuanya diperlukan dalam rangka upaya penanggulangan tindak pidana narkoba, tetapi nyatanya sampai saat ini jenis tindak pidana ini bukannya berkurang bahkan semakin meningkat, lebih-lebih dengan adanya budaya mayarakat dan budaya penegakan hukum yang tidak mendukung tegaknya hukum, yaitu dengan adanya markus, mafia peradilan, bahkan carut marutnya penegakan hukum dan hal demikian juga terjadi pada penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkoba, hal ini Nampak dengan ringannya putusan-putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana narkoba, adanya disparitas pidana dari putusan-putusan pengadilan terhadap pelaku tindak pidana narkoba bahkan terkadang bagi pelaku “orang bermodal/pejabat publik”dibuat alas an atau pertimbangan sehingga pelaku diputus bebas, atau sekalipun dijatuhi hukuman dengan pidana percobaan. Banyaknya recidivis dari pelaku narkoba hal demikian terjadi selain memang merupakan desakan kebutuhan dari pelaku baik sebagai pengedar atau produser karena dibelakang mereka ada oknum petugas penegak hukum yang menjamin (contoh zarima, ternyata dibelakangnya ada oknum seorang Jendral yang menjamin sehinggaa dia berani melakukan tindak pidana tersebut), adanya beberapa tahanan (napi) yang meninggal karena over dosis di dalam Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan, serta banyak lagi masalah – masalah hukum yang tidak mendukung tercapainya supremasi hukum yang dicita-citakan oleh masyarakat Indonesia. penegakan hukum, selain menggunakan aparat penegak hukum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdiri dari polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum,hakim sebagai pihak yang mengadili dan lembaga pemasyarakatan sebagai pihak pembina nara pidana, ada lembaga pemerintah non-kementerian yang berkedudukan dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota.Lembaga ini sebagai instansi vertikal selain mempunyai tugas dan fungsi koordinasi, BNN diberi kewenangan juga untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.43 Ketentuan mengenai BNN ini juga di atur dalam Bab XI Pasal 64 - 72 dari Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika disamping BNN dalam undang-undang ini juga di atur mengenai peran serta masyarakat (P4GN) dalam mengantisipasi serta upaya penanggulangannya termasuk dalam hal ini partisipasi dari LSM seperti Granat (Gerakaan anti narkoba). Untuk membangun upaya penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral di samping penyempurnaan dari aspek substantif atau peraturan perundangundangannya, perlu ditentukan langkah-langkah membangun dari aspek sumberdaya manusianya atau penegak hukum dengan cara: 43 Penjelasan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam penjelasan tersebut telah dipertegas mengenai kedudukan, tugas dan fungsi serta kewenangan dari Badan Narkotika Nasional (BNN). 21 1. Menyatukan visi dan misi (konsepsi) antar penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan), melalui; a. Sistem rekrutmen terpadu (satu atap) di bawah koordinasi Mahkamah Agung; b. Sistem pelatihan/pendidikan terpadu dalam kurun waktu minimal 1 tahun sebelum mereka ditugaskan; 2. Adanya koordinasi, yaitu menjalin hubungan interaksi, interdevendensi dan interkoneksi antar lembaga penegak hukum; 3. Khusus petugas penegak hukum terhadap tindak pidana narkoba diutamakan yang sudah berpengalaman menangani perkara lainnya minimal 2 tahun; 4. Terdapat satu tujuan besar yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial; 5. Menjalin hubungan kerjasama dengan sistem di luar sistem peradilan pidana (SPP) baik dalam upaya preventif maupun rehabilitasi; 6. Meningkatkan peran serta mayarakat melalui program Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Simpulan Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Pelaksanaan penanggulangan tindak pidana narkoba saat ini tidak maksimal antara lain disebabkan kinerja dari petugas penegak hukum yang tidak maksimal karena struktur dan penegakan hukum di Indonesia, masih belum ada kesatuan pandang (misi dan persepsi yang sama) dalam menghadapi persoalan tindak pidana dan penegakan hukum, masingmasing berpikir dan berjalan dengan konsepnya sendiri-sendiri (department oriented) atau belum satu tujuan, di samping itu juga cara berpikir para penegak hukum masih sangat dipengaruhi oleh cara pandang tentang hukum yang legalistik formalistik (paradigma positivistic) dimana penegak hukum hanya menjalankan apa yang ada dalam undang-undang . Carut marut penegakan hukum ini juga terjadi karena posisi hukum sebagai devendent variable dimana faktor-faktor non hukum (Politik, ekonomi, sosial dan budaya) sangat berpengaruh baik dari perencanaan, penegakan hukum sampai pada tahap menjalankan atau melaksanakan hukum, sehingga supremasi hukum belum dapat terwujud. 2. Model penanggulangan tindak pidana narkoba secara integral dalam konteks sistem peradilan pidana berdasarkan teori sistem yaitu dengan dipadukannya dua dimensi dalam sistem peradilan pidana yang terdiri dari dimensi internal (petugas penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan dan dimensi ekternal yaitu sub sistem sosial di luar sistem peradilan pidana (BNN, BNP, Diknas, Depag, Depsos, LSM dan partisipasi masyarakat melalui uapaya P4GN).keterlibatan atau kerjasama internal sistem peradilan pidana (SPP) dengan eksternal SPP dilakukan mulai dari tahap upaya preventif sampai dengan tindakan represif dalam rangka mewujudkan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana berupa kesejahteraan sosial. Adapun langkah membangun 22 penanggulangan tindak pidana yang integral yaitu menyatukan visi dan misi penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan petugas Lembaga Pemasyarakatan), adanya koordinasi (interaksi, interdevendensi dan interkoneksi) antar penegak hukum, Khusus penegak hukum terhadap tindak pidana narkoba diutamakan yang sudah berpengalaman menangani perkara lainnya minimal 2 tahun, terdapatnya satu tujuan yang besar yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial, menjalin hubungan kerjasama dengan dinas/instansi terkait di luar sistem peradilan pidana serta meningkatkan peran serta masyarakat melalui program P4GN. Daftar Pustaka Abdussalam R., 2009. Hukum Kepolisian sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum Yang Telah Direvisi, Restu Agung. Jakarta. Arinanta, Satya, 2006. Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi (Pidato Pengukuhan Guru Besar FH.UI).Jakarta. Arief, Barda N dan Muladi, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni.Bandung. Arief, Barda N, 2005. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bhakti. Bandung. ---------------------, 2001. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung. ---------------------, 2010. Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius Dalam Rangka Optimalisasi Penegakan HUkum (Pidana) Indonesia. Badan Penerbit Undip. Asfinawati, 2008. Judicial Corruption Kajian Kritis dan Cara Efektif Pemberantasan Korupsi. Komisi Yudisial. Jakarta. Hal; 312. Asshiddiqie, jimly, 2009.Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. DM., Sunarto, 2009. Rekonstruksi Hukum Pidana Era Transformasi dan Globalisasi Dalam Penegakan Hukum Secara Integratif (Pidato Pengukuhan Guru Besar FH Unila). B. Lampung. ------------------. 2005. Fenomena Penyerobotan tanah yang Dilakukan Masyarakat Dan Perspektif penanggulangannya. Unila Bandar Lampung. 23 --------------------,2003. Kebijakan Penanggulangan Penyerobotan tanah oleh Masyarakat Di Provinsi lampung, FH UI. Jakarta. Friedman, L.M., 1984. American Law: An Introduction. W.W. Norton & Company, New York – London. Hartono, Sunaryati., 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni. Bandung. Loqman, Loebby, 2001. Pidana dan Pemidanaan. Datacom, Jakarta. Muladi., 2002. Demokrasi, Hak Asasi manusia, dan reformasi Hukum di Indonesia. The Habibie Center. Jakarta. Muquddas, Busryo., Mafia Peradilan Bejalan Sistemik. http://beritasore.com/2009/07/16/mafia-peradilan. Dalam Polri, 1997. Team Lembaga Dissokkes Polri. Jakarta Rahadjo, Satjipto, 1983. Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung. -------------------------, 1991 . Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung. ------------------------, 2009. Sisi Lain Hukum di Indonseia.PT.Kompas Media Nusantara. Jakarta. -------------------------, 1980. Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Alumni. Bandung Salim, Agus (penyunting), 2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran Norman K. Denzin & Egon Guba dan penerapannya). PT. Tiara Wacana. Yogyakarta. Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung. Soekanto, Soerjono , 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali. Jakarta. Sunarso, Siswanto, 2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Viano, Emilio C., 1976. Vivtims And Society. Visage Press, Washington D.C. Warassih P.,Esmi. 2005. Suryandaru Utama. Pranata 24 HukumSebuah Telaah Semarang. Sosiologis, Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002.Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.Huma. Jakarta. ----------------------------, 2007. Disertaasi: Sebuah Pedoman Ringkas tentang tata cara Penulisannya, Universitas Airlangga. Surabaya. ----------------------------, 2008. Hukum dalam Masyarakat Perkembangan dan Masalah Sebuah Pengantar Kearah Kajian Sosiologi Hukum. Bayumedia Publishing. Malang. Yusriadi, 2009. Tebaran Pemikiran Kritis Hukum & Masyarakat.Surya Pena Gumilang Malang. Depdikbud, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.Jakarta. BNN., 2007. Narkotika dan Dampak Penyalahgunaannya (liplet). Mabes Polri,Jakarta ------------------, 2009. Jurnal BNN edisi 8. Registrasi Perkara Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Periode Tahun 2008/2009. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika Harian Radar Lampung, tanggal 28 dan 30 Oktober 2010 25