UNfVERSI'l'AS KATOL I K PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM PERINGATAN DIES NATALIS KE 34 ORATIO DIES " TANTANGAN ILMU HUKUM ADMINISTRASI MENGHADAPI PERKE1l!BANGAN KONSEP NEGARA HUKUM DI INDONESIA " OLEH : KOERNIATMANTO SOETOPRAWIRO BANDUNG, SEPTEMBER 1992 1 ORAS! DIES Koerniatmanto Soetoprawiro Tantangan Ilmu Hukum Administrasi Menghadapi Perkembangan Konsep Negara Hukum di Indonesia Materi Orasi Dies : Yang Ter h o r mat para Sipil dan Militer, Pejabat Pe me rintah Yang Terhormat Ketua dan para Anggota Pen­ gurus Yayasan Universitas Katolik Parahyan­ gan, Yang T e r h o rmat Rektor dan p a r a Anggota Pimpinan Universitas Katolik Parahyangan, Yang Terhormat Dekan dan para anggota Pim­ pinan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Rekan-Rekan Alumni dan para Anggota Sivitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Kato­ lik Parahyangan, Para Undangan Yang Terhormat, Pagi hari ini saya memperoleh kepercayaan serta kehormatan yang amat besar dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahy­ angan, sehubungan dengan penunjukan atas d iri saya untuk mengucapkan orasi dies natalis yang ke-XXX IV Fakultas Hukum Uni­ versitas Katolik Parahyangan ini. Dengan penuh ungkapan rasa terima kasih, keper­ cayaan dan kehormatan ini akan saya laksa­ nakan dengan sebaik-baiknya. 2 Namun demikian sebelum saya memulai dengan orasi ini, perlu kiranya saya men jelaskan bahwa sifat orasi ini lebih merupakan a ja­ kan untuk merenung daripada uraian yang serba terperinci dan lugas . Saya ingin mengajak para hadirin sekalian untuk meli­ hat kembali serta mencari alternatif-alter­ nati f yang mungkin dalam kaitannya dengan p erkembangan dan kelangsungan Republik Indonesia sebagai negara hukum dikaitkan dengan perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya serta Fakultas Hukum Indonesia pada khusus­ nya. Hadirin yang saya hormati, Di samping keadilan yang serba relatif, hukum pertama-tama bertu juan untuk menye­ lenggarakan atau menciptakan ketertiban. Ketertiban ini pada gilirannya merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Untuk mencapai keter­ tiban itu, diselenggarakanlah kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat ini manusia akan menemui kesuli­ tan dalam mengembangkan kemampuannya dengan sebaik-baiknya dalam masyarakat lingkungan­ nya. Dalam rangka menciptakan iklim terse­ but di atas itu, hukum dapat memaksakan penaatan terhadap ketentuan-ketentuannya dengan cara-cara yang teratur pula. Erat kaitannya dengan hal tersebut di atas, hukum mempunyai hubungan yang erat dengan kekuasaan. Hukum memerlukan kekuasaan untuk melaksanakannya. S e baliknya, kekuasaan (power) mempunyai batas-batasnya yang di­ tentukan oleh hukum. Dengan kata lain, kekuasaan merupakan suatu faktor yang mut­ lak dalam suatu masyarakat hukum. Masyara­ kat yang teratur memerlukan fungsi kekua­ saan itu. Adapun kekuasaan itu sendiri mempunyai pengertian sebagai suatu kemampuan untuk memaksakan kehendaknya atas fihak lain. Ada pelbagai sumber kekuasaan itu. Kekuasaan dapat bersumber dari suatu wewenang formal di samping kekuatan fisik ataupun militer. 3 Akan tetapi dapat pula kekuasaan itu ber­ sumber d a r i pengaruh poli ti k, pengaruh keagamaan, ataupun kekayaan dan kekuatan ekonomis. Bahkan terkadang juga bersumber dari moralitas serta pengetahuan. Dalam pada itu satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, bahwa kekua saan itu cenderung untuk dipertahankan, dilestarikan serta diperbe­ sar, bahkan terkadang untuk disalah-guna­ kan. Akan tetapi kekuasaan itu sendiri sebenar­ nya merupakan sesuatu yang bebas nilai. Kekuasaan itu malahan merupakan sesuatu yang harus ada dalam suatu masyarakat yang tertib dan teratur. Wa jarlah jika Mochtar Kusumaatma d j a ( T . T . ) berpendapat bahwa karena sifat dan .hakekatnya itu kekuasaan perlu diberi ruang lingkup, arah dan batas­ batasnya, agar dapat bermafaat. Untuk itu­ lah kita memerlukan hukum. Dengan demikian, kekuasaan itu tunduk pada hu�um. Artinya, sekali ditetapkan, pengaturan kekuasaan harus dipegang teguh. Di sinilah Hukum Administrasi mengambil peran y a n g utama. Secara jelas hal ini dikemukakan oleh van Vollenhoven sewaktu ia berusaha untuk menerangkan hubungan antara Hukum Tatanegara (Staatsrecht) dengan Hukum Administrasi (Administratief Recht). Menu­ rutnya, Hukum Tatanegara itu mengatur susu­ nan dan mendistribusikan kewenangan kekua­ saan negara. Sementara Hukum Administrasi membatasi perangkat penyelenggara Negara dalam penyelenggaraan kekuasaan negara tersebut di atas. Pembatasan kekuasaan ini dilakukan demi terciptanya jaminan hukum kepada rakyat y a n g dipe rintah itu, bahwa tidak boleh t e r j a d i kesewen a n g - wenangan dari pihak Penyelenggara Negara. Namun demikian, di samping mengatur pemba­ tasan kekuasaan perangkat penyelenggara negara, Hukum Administrasi ini juga menga­ tur pelbagai kewa jiban yang harus ditaati oleh rakyat (yang diperintah) itu. Hal ini kiranya sesuai dengan hakekat negara kese- ' 4 jahteraan (Welfare State) , yang memberikan perlua aan kewenangan bertindak kepada pihak Penyelenggara Negara dalam rangka penye­ lenggarakan kese jahteraan rakyat itu sendiri. · Hadirin yang terhormat, Sehubungan dengan uraian di atas, Sudargo Gautama ( 1973) mengatakan bahwa dalam hukum administrasi inilah terletak sendi-sendi utama s u a t u negara hukum. Apakah suat u negara mewu judkan cita-cita negara hukum atau tidak, pertama-tama dapat dilihat dari penyelenggaraan hukum administrasinya. Dalam pada itu suatu negara dapat disebut sebagai negara hukum, apabila negara terse­ but memenuhi se jumlah persyaratan. P ertama -tama, da lam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terha­ dap warganya. Negara tidak dapat berbuat sewenang-wenang terhadap warganya itu, karena dibatasi oleh hukum. Pelanggaran atas hak warganegara itu hanya dapat dilak­ u kan apabila dii jinkan dan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum. Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Dengan demikian dalam suatu negara hukum, hak-hak asasi warganegara di jun jung tinggi. Meskipun demikian, pembatasan kekuasaan neg ara ini tidak dapat sedemikian rupa sehingga justru mengganggu usaha Penyeleng­ gara Negara itu u n t u k menyelenggarakan tu juan negara itu sendiri. Guna melindungi hak asasi warganegara ini lah kekuasaan negara itu dibagi. Dalam rangka pembagian kekuasaan ini, kekuasaan peradilan harus bebas dari pengaruh luar demi terciptanya peradilan yang adil dan tidak memihak. Akhirnya, suatu negara hukum akan sulit terselenggara apabila tidak terdapat kesa­ daran hukum di dalam masyarakat. Masyarakat negara hukum p e r lu senantiasa tahu d a n sadar manakala hukum telah dilanggar oleh negara. Tanpa kesadaran hukum ini, kekua­ saan untuk menuntut negara di depan pengad­ ilan men jadi tidak ada artinya. 5 Secara hietorie koneep negara hukum itu telah dimulai ee jak abad ke- 19, ee jalan dengan berkembangnya era induetrialieasi serta faham liberalisme-kapitalisme khusus­ nya di Eropa. Pada mulanya, negara hukum diberi arti eebagai negara yang seluruh perilakunya didasarkan dan diatur oleh undang-undang, yang telah ditetapkan se jak semula oleh badan perwakilan rakyat. Se­ hingga tugas negara itu hanyalah bersifat pasif. Negara baru bertindak jika hak asasi warganya atau ketertiban dan keamanan umum terancam. Tugas negara itu pada akhirnya hanya sebagai pen jaga keamanan sa ja. Negara .hukum model Immanuel Kant dan Fichte ini dirumuskan semata-mata untuk memperta­ hankan dan melindungi tertib sosial-ekonomi yang berdasarkan asas laissez faire laissez aller. Dalam hal ini asas kebebasan yang dimiliki oleh anggota masyarakat men jadi dom�nan, khususnya asas kebebasan berkon­ trak. Pada akhirnya peri kehidupan bernega­ ra diwarnai oleh Pemisahan Penyelenggara Negara dan Masyarakat. Masing-masing pihak mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Para anggota masyarakat dapat menyelenggarakan fungsi dan kepentingan masing-masing mereka sendiri, berdasarkan asas kebebasan berkon­ traknya itu. Di lain pihak, Penyelenggara Negara ber­ fungsi sebagai 'satpam' dan tidak diperke­ nankan mencampuri urusan anggota masyarakat atau rakyatnya itu. Namun demikian se jak munculnya aliran so­ sialisme (dan komunisme) kondisi semacam ini telah mengundang pelbagai kritik. Kapi­ t al i s m e dan liberalisme terbukti bukan resep yang mu jarab untuk menciptakan masya­ rakat yang adil dan se jahtera. Konsep kebe­ basan yang seluas-luasnya itu pada akhirnya telah menimbulkan ketimpangan sosial dan ketidak-adilan. Terutama se jak berakhirnya Perang Dunia I I, konsep negara hukum klasik dengan demikian dianggap tidak memuaskan lagi. Ada aepek lain yang lebih luas dari­ pada sekedar keamanan dan ketertiban masya- .. 6 rakat sa ja, yang harus diselenggarakan oleh negara. Kiranya telah terjadi ketimpangan sosial dalam masyarakat industri yang se­ dang berkembang itu. Para pemilik modal menjadi semakin kaya, sedangkan mereka yang hanya mengandalkan tenaga ternyata semakin terperosok harkat-martabat kemanusiaannya. Kese jahteraan masyarakat secara keseluruhan inilah yang kiranya me+upakan sesuatu yang perlu mendapat perhatian dari pihak negara. Keadaan inilah yang mengharuskan negara untuk bertindak. Konsep dikotomis pemisahan peran antara Penyelenggara Negara dan Ma­ syarakat mulai ditinggalkan. Asas kebebasan bukan lagi merupakan fenomena yang utama. Muncullah suatu konsep negara hukum yang baru, yang biasa disebut pula sebagai Nega­ ra Kesejahteraan. Tugas negara di sini pada akhirnya adalah sebagai penyelenggara kese­ j ahteraan umum atau (menurut istilah Le­ maire) bestuurszorg atau public service. Pihak Penyelenggara Negara atau Administra­ si ini pada akhirnya juga bertanggung jawab khususnya dalam hal kese jahteraan sosial­ ekonomis rakyatnya. Administrasi berkewa ji­ ban untuk memenuhi kebutuhan standar mini­ mum kehid upan rakyatnya. Sehingga o leh karenanya, banyak kepentingan yang dahulu diselenggarakan oleh pihak swasta (anggota masyarakat), se jak saat itu diselenggarakan oleh pihak Penyelenggara Negara, karena kepentingan-kepentingan itu telah men jadi kepentingan umum . . Bahkan asas kebebasan berkontrak bukan lagi monopoli para pihak yang melakukan per jan jian. Artinya, pihak Penyelenggara Negara berwenang untuk turut campur tangan dalam per jan jian tersebut, apabila terdapat bukti yang cukup yang menun jukkan bahwa perjan jian itu ternyata berat sebelah dan tidak adil. Untuk itu Penyelenggara Negara atau Administrasi memerlukan kebebasan bertindak. Tentu dalam batas-batas yang secara garis-besar telah ditetapkan oleh undang-undang. 7 Hadirin yang terhormat, Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menegaskan bahwa Negara Indone­ s i a berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Hal ini menunjukkan bahwa Republik Indonesia itu memang dimaksudkan untuk menjadi suatu negara hukum. Lebih lanjut, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara l a i n m erumuskan Tujuan Nasional Republik Indonesia, yakni: untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kese­ j ahteraan u m u m , mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdam­ a i a n a b a d i d a n k eadilan s o s i a l. Tujuan Nasional ini merupakan suatu bukti bahwa Republik I n d o n e s i a itu merupakan suatu negara hukum yang modern. Hal ini mengingat bahwa dari rumusan ini tampak bahwa tugas Negara tidak·hanya sekedar sebagai penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat semata, melainkan secara aktif menyelenggarakan suatu social welfare bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukti dalam Pembukaan ini kemudian diperin­ ci lebih lanjut dalam Batang Tubuh Undang­ Undang Dasar 1945. Pasal 27 sampai dengan pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menentu­ kan sejumlah k e waji ban negara terhadap warganya dalam rangka penyelenggaraan kese­ jahteraan warganya itu. Hadirin yang terhormat, Apabila kita mengingat bahwa konsep Negara Hukum Modern atau Welfare State ini tumbuh selama dan setelah Perang Dunia I I ( Rob s o n , 1 977; H a rb o ld, 198 3) , maka jelaslah bahwa konsep yang menjadi acuan perumusan Undang�Undang Dasar 1945 merupakan perumu­ s an yang amat maju pada waktu itu. Akan tetapi waktu tetap berjalan. Milenium keti­ ga sejarah manusia telah dekat di depan mata. Segala sesuatu berubah dan berkembang bersama dengan perjalanan Sang Kala. Konsep 8 negara hukumpun tidak luput dari santapan Sang Kala itu. Artinya, suka atau tidak s u k a k o n s e p negara hukum ini mengalami perkembangan pula. Tidak luput pula makna Republik Indonesia sebagai negara hukum. Ada banyak perubahan serta perkembangan di segala bidang kehidupan manusia, baik yang bersifat mondial maupun y a n g internal. Tantangan-tantangan baru bermunculan. Dt­ mensi peri-kehidupan berbangsa dan bernega­ ra kiranya tidak lagi hanya terbatas pada aspek sosial-politik dan sosial-ekonomi semata. Aspek sosial-geografis dalam bentuk keperdulian akan lingkungan hidup meminta perhatian pula. Masalah hak asasi tidak lagi sekedar berdimensi individual seperti jaman Van Vollenhoven dahulu, melainkan juga berdimensi sosial. Urusan social wal­ f are bukan lagi merupakan tanggung jawab pihak Penyelenggara Negara saja, melainkan telah menuntut tanggung jawab segenap lapi­ san warga masyarakat. Tambahan lagi urusan bernegara dan berbangsa tidak lagi sekedar urusan internal dalam negeri saja. Dimensi internasionalnya kini semakin meminta tang­ gung jawab pihak Penyelenggara Negara pula. Akibatnya, konsep negara hukumpun mengalami pembaharuan. Dalam kaitannya dengan ini, ada dua hal yang m e n y ebabkan Indonesia tidak dapat mengucilkan diri atau terkucil dari gejala­ gej ala mondial ini. Pertama, kemajuan tek­ nologi serta derasnya arus informasi yang ada di dunia modern ini kiranya telah sema­ k i n memperkec il besarnya globe. Kedua, letak geografis Indonesia di posisi silang d u n i a , yang merupakan salah satu lalu­ lintas paling ramai di dunia. Globalisasi dan posisi silang inilah yang kiranya meny­ eret Negara Hukum Republik Indonesia serta pengaturan hukum, khususnya hukum adminis­ trasinya ke arah perkembangan yang mendasar pada milenium ketiga itu. 9 Hadirin yang terhormat, Sumitro Djojohadikusumo (1991) menunjukkan ada empat dinamika yang mempengaruhi pola dan arah perkembangan jangka panjang. Mas­ ing-masing adalah: 2. Pertambahan Penduduk Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan 3. Peranan Sumber Daya Alam 1. Teknologi 4. Rentetan Kejadian Perang dan Revo­ lusi Di bidang kependudukan, kecenderungan pada pertambahan penduduk di negara maju akan sangat berbeda dengan perkembangan di nega­ r a b e r k e m b a n g. Pertambahan penduduk di neg�ra maju condong melambat sampai mandeg. Sedangkan jumlah penduduk dan tingkat per­ tambahannya a k a n tetap menjadi masalah besar di negara-negara berkembang. Bahkan sejak b e r a k hirnya Perang Dunia I I , 70% jumlah penduduk yang bermukim di negara b e r k e m b a n g ter pusat di delapan negara, yaitu: Republik Rakyat Cina, India, Indone­ sia, Brasil, Bangladesh, Pakistan, Nigeria, dan Meksiko. Untuk Indonesia sendiri, masalah pokok di bidang kependudukan ini terletak pada fakta bahwa penduduk Indonesia tersebar secara tidak.merata. Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 68% ( 150 juta dari 220 juta) pendu­ duk Indonesia bermukim di pulau Jawa. Aki­ batnya, pulau Jawa akan menjadi 'pulau­ kota'. Celakanya, pemusatan pemukiman ini tidak sesuai dengan letak geografis sumber kekayaan alam. Tantangan di atas memacu jenis pengaturan hukum yang dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia serta pengaturan tentang ta­ taruang (lebensraum) yang memadai. Masalah pemerintahan di daerah dan pemerintahan desapun memerlukan pengaturan ulang yang 10 kiranya harus memperhatikan spesifikasi masing-masing daerah. Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah terjadi quantum-leaps di berbagai bidang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakari meloncat mencapai tingkat yang sangat canggih dan membuka perspektif yang sama sekali baru dalam kehidupan manu­ s ia, yang sebelumnya tidak dapat dibayang­ kan. Lengkap dengan segala resiko dan ba­ hayanya. Elektronika (khususnya mikroelek­ tronika) , komputer dan chips, teknologi transportasi-komunikasi-informatika, tek­ nologi kedirgantaraan, bioteknologi, robot, nuklir, polimer, serta laser sering dise­ but-sebut sebagai bidang-bidang yang akan secara dominan mewarnai peri-kehidupan umat manusia di masa depan. Bidang-bidang ini tentu saja memerlukan antisipasi yuridis yang memadai, termasuk di Indonesia. Khususnya dalam pola dan cara penggunaan sumber daya produksi di samping sumber dananya. Hal ini mengingat bahwa sedikit banyak perkembangan ini akan meny­ entuh s e l uruh ekosistem dan l i ngkungan hidup umat manusia. Sementara itu, Indonesia merupakan negara yang amat kaya akan sumber daya alam. Baik di daratan maupun perut bumi. Bahkan eko­ sistem laut dan aquatik Asia Tenggara ter­ masuk Indonesia diakui sebagai yang paling kaya di dunia. Kekayaan i n i tentu saja merupakan aset yang luar biasa bagi Indone­ sia. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa di sinilah letak salah satu kekuatan terbesar Indonesia di masa-masa mendatang. Dengan modal ini, Indonesia akan mampu bargaining di segala bidang. Baik di bidang politik, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berarti bahwa perlu pengaturan di b i dang pemanfaatan, pelestarian, serta pengamanan sumber daya alam ini. Bagaimana agar resource policies dan resource manage­ ment-nya senantiasa seimbang antara permin- 11 taan y a n g m e n i ngkat dengan k elestarian sumber daya alam secara kuantitatif dan kualitatif. Di sini masalah peri jinan dan konsesi serta tataguna agraria menjadi amat menon jol. Akhirnya d i bidang perang d a n revolusi telah kita saksikan bersama ambruknya Blok Timur yang mempunyai dampak mondial yang amat luas dan mendasar. Tata hubungan in­ ternasional berubah total. Pertentangan Blok Timur-Barat relatif telah berakhir. Akibatnya, d ikotomi Selatan-Utara, yang sebenarnya telah se jak lama mengge jala, men jadi semakin mengemuka. Di masa yang akan datang d unia secara umum tampaknya akan d i w a r n a i oleh pertentangan antara golongaan riegara maju yang relatif mengua­ sai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan golongan negara yang memiliki sumber daya alam. Selain itu kawasan Asia-Pasifik mulai disebut-sebut sebagai kawasan masa depan. Adapun Indonesia merupakan negara yang kay� akan s u m b e r daya alam yang t e r l etak d i Asia-Pasifik. Artinya, Indonesia akan meru­ pakan negara yang amat strategis dan pant­ ing artinya dalam hubungan internasional di masa-masa mendatang. Lebih spesifik lagi, konflik masalah kepulauan Spartley di laut Cina Selatan mulai menggejala. Selain itu, di Indonesia terletak empat dari sepuluh selat yang dinilai amat strategis di dunia, yaitu: selat Malaka, selat Sunda, selat Lombok, dan selat Ombai. Ini semua jelas menuntut Indo nesia untuk berperan lebih aktif dalam percaturan internasional. Dalam pada itu Alvin Toffler (1970) antara lain menulis, bahwa dewasa ini sedang ter­ jadi revolusi besar-besaran di bidang sis­ tem organisasi. orang mulai meninggalkan sistem hirark i dan birokrasi, mengingat bahwa k e d u a n y a ternyata tidak b e rh a s i l mengimbangi percepatan perubahan dan infor­ mas i yang berlangsung dewasa ini. Dengan demikian organisasi masa depan akan diwar­ na i o l e h suatu model yang o l e h T o f f l e r 12 dinamai ad-hocracy. Suatu model yang meni­ tik-beratkan pada satuan tugas kerja yang serba ad hoc sifatnya. Senada dengan itu, John Naisbittpun rupanya mempunyai pendapat yang sama. Menurutnya, sistem h i rarki akan ditinggalkan orang. Untuk kemudian posisinya akan diganti den­ gan sistem network atau jaringan kerja. Dalam jaringan kerja ini orang akan lebih banyak berbincang serta berbagi ide, infor­ masi dan bahan kerja. Bagian yang terpent­ ing di aini bukanlah produk akhirnya, me­ lainkan proses yang berlangsung. Hadirin yang terhormat, Paparan di atas itu menunjukkan perlunya perumusan kembali pengertian negara hukum serta peranan hukum pada umumnya dan hukum administrasi pada khususnya. Kapitalisme dan konsep negara hukum klasik terbukti tidak memuaskan. Marx dan para pengikutnya mencoba memberi alternatif yang lain. Akan tetapi komunisme dan konsep negara sosialis model Lenin-Stalinpun terbukti tidak dapat diterima oleh masyarakat internasional pada umumnya. Sementara itu Inggris mencoba mengintroduk­ sikan konsep baru yang sering disebut seba­ g a i T h a t c h e r i sme. Tentang hal ini John Naisbitt (1990) menulis bahwa di Inggris telah terjadi gejala 'Penswastaan Negara Kesejahteraan' sejak terpilihnya Margaret Thatcher sebagai Perdana Menteri negeri itu. Anti-sosialismenya telah mendorongnya untuk mengubah Inggris menjadi negara yang warganegaranya memiliki rumah mereka sen­ dir i dan memegang saham dalam perusahaan mereka sendiri. Untuk itu, dalam masa pem­ erintahannya, Pemerintah Inggris menjual pelbagai industri serta perusahaan negara kembali ke rakyat. Maksudnya, dengan tinda­ kan itu Pemerintah Inggris di bawah kepe­ mimpinannya ingin memberikan lebih banyak kekuasaan kepada rakyat untuk menjalankan kehidupan mereka sendiri. 13 Akan tetapi kiranya masalahnya tidak hanya s e k e d a r t e rletak pada siapa yang tidak mempunyai rumah dan siapa yang harus memi­ liki saham. Terutama di Indonesia, masalah kese jahteraan sosial ini kiranya jauh lebih luas daripada di Inggris. Tantangan seperti yang terurai di atas kiranya memerlukan perhatian yang besar dari pihak Penyeleng­ gara Negara dan segenap lapisan masyarakat Indonesia. Masalah pertambahan penduduk, antisipasi ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaturari sumber daya alam dan situasi keamanan internasional seperti terurai di atas menuntut tanggung jawab tidak hanya dari pihak Penyelenggara Negara saja, me­ lainkan juga dari pihak anggota masyarakat. Untuk itu diperlukan pembenahan-pembenahan, t erutama d i bidang hukum. Pertama-tama, diperlukan pengaturan mengenai kekuasaan yang ada di masyarakat, baik yang bersumber pada pengaruh, pengetahuan, kekayaan maupun kekuatan. Perlu ditegaskan siapa yang meme­ gang kekuasaan yang ada itu, dan bagaimana penggunaannya. Hal ini perlu agar dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. Artinya, masalah yang dihadapi oleh negara hukum dewasa ini tidak lagi sekedar masalah kesen jangan kaya-miskin, untuk kemudian pihak Penyelenggara Negara mencoba untuk menyelenggarakan keadilan sosial dengan freies Ermessen-nya. Pihak anggota masyara­ katpun khususnya para pengusaha dituntut untuk lebih perduli pada lingkungan sosial dan alamnya. Bukanlah jamannya lagi untuk meletakkan tanggung jawab pengaturan masalah sosial s e p e r t i t e r s e but di atas kepada pihak Penyelenggara Negara semata-mata. Sementara para pengusaha itu justru mempergunakan pengaruh ekonomisnya untuk merekayasa poli­ cy Penyelenggara Negara untuk kepentingan pribadinya dengan alasan demi kepentingan umum, yang celakanya tidak pernah jelas. Mereka memperoleh fasilitas dari rakyat. Oleh karena itu tidaklah pantaa jika mereka menyalah-gunakan kekuasaan atas fasilitas 14 itu untuk kepentingan mereka sendiri. Pre­ sis seperti halnya pihak pejabat publik juga tidak pantas jika menyalah-gunakan kekuasaan yang melekat dalam jabatannya untuk kepentingan mereka sendiri. Bukankah kita tidak ingin kembali ke kondisi kehidu­ pan sosial seperti jaman voe atau jaman Cultuurstelsel? Seperti kata Clive Day ( 1972 ), pada jaman voe p i h a k pengusaha berperilaku sebagai penguasa. Sedangkan pada jaman Culturstelsel pihak penguasa bertindak sebagai pengusaha. Perilaku a­ sosial mereka akan berdampak negatif pada aset-aaet naaional di masa mendatang. Sis­ tem tataruang akan kacau, proses alih-tek­ nologi akan terhambat, sumber daya alam akan terkuras, dan pada gilirannya daya juang untuk bertindak secara aktif dalam hubungan internasional kita menjad � berku­ rang. Masalah utama kita dewasa ini adalah bagai­ manakah caranya agar tidak terjadi kesen­ j angan antara norma-norma yang terdapat dalam tatahukum positif dengan kenyataan sehari-hari, terutama dalam peri-kehidupan administratif. Efektivitas dan efisiensi yang dikejar oleh pihak Ilmu Administrasi memang diperlukan. Akan tetapi bagaimana caranya agar aspek ketertiban dan kepastian hukum serta rasa keadilan yang merupakan pokok perhatian Ilmu Hukum ( Administrasi) juga terpenuhi. Tugas hukum bukanlah hanya untuk memberi legitimasi formal bagi peri­ laku politik ataupun administrasi, melain­ kan terlebih-lebih untuk menyelenggarakan ketertiban serta kepastian hukum itu. Hal ini berguna untuk menghindari masalah pe­ nyalah-gunaan wewenang ataupun willekeur yang secara potensial dapat dilakukan oleh b a i k Penyelenggara Negara maupun warga masyarakat pada umumnya. Perlu ditekankan bahwa kemerdekaan adminis­ tras i berarti bahwa Penyelenggara Negara dapat mencari kaidah-kai d a h baru dalam lingkungan undang-undang atau sesuai dengan jiw a undang-undang, dan bukannya justru sebagai legitimasi untuk bertindak secara • 15 yang bertentangan dengan undang-undang itu Sebaliknya, fasili t a sendiri. s-fasilitas (publik) yang diperoleh warga masyarakat itu mengandung tanggung jawab eosial bagi si penerimanya. Hal ini mengin­ gat bahw a fasilitas tersebut ia peroleh dari masyarakat umum, yang diwakili oleh pejabat yang terkait. Sehingga dengan demi­ kian nilai lebih yang dihasilkan harus pula kembali ke masyarakat umum itu. Tugas so­ sial warga masyarakat dengan demikian tidak hanya sekedar membayar pa jak, melainkan juga ikut berpartisipasi aktif dalam menye­ lenggarakan Tu juan Nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Untuk selan jutnya, perlu pula diusahakan agar jangan sampai pihak yang seharusnya dikontrol, justru mengontrol pihak yang seharusnya mengontrolnya. Apabila hal ini ter jadi, kepastian hukum serta tertib ad­ ministrasi itu sendiri akan men jadi kehi­ langan makna. Dalam rangka itu, pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang hubungan Penyelenggara Negara dengan Warganegara (yaitu pasal 27 sampai dengan pasal 34 U U D 1945) perlu diberi perhatian lebih serta makna yang baru. Tanggung jawab penyeleng­ garaan isi pasal-pasal tersebut kini tidak lagi sekedar tugas Penyelenggara Negara, melainkan juga kewa jiban segenap lapisan warga masyarakat. Pada gilirannya, pola pembagian hukum pri­ vat-hukum publik dengan demikian men jadi tampak semakin tidak relevan lagi. Sebenar­ nya, se jak awal dirumuskannya Undang-Undang Dasar 19 4 5 pola ini telah tidak relevan lagi. Undang-Undang Dasar kita itu bertumpu pada sistem negara hukum modern, yang tidak lagi mengenal pemisahan Penyelenggara Nega­ ra dan Masyarakat seperti yang terurai di atas. Fungsi publik dalam masyarakat tidak sama sekali terpisah dari fungsi privatnya. 16 Selanjutnya pihak Penyelenggara Negara di samping harus menyelenggarakan peri-keadi­ lan sosial di dalam negeri dewasa ini juga dituntut untuk berperan membela kepentingan warganegaranya di fqrum internasional tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi dan perdagangan internasion­ al. Hal ini erat kaitannya dengan globalis­ asi ekonomi serta mencuatnya pertentangan kepentingan Utara-Selatan yang mulai domi­ nan. Secara intern organisatoris, masalah birok­ rasi dan network kiranya juga telah perlu untuk dikaji secara lebih mendalam. Tidak semua aspek organisasi harus di-debirokra­ t is as i, memang. Akan tetapi penanganan p r o yek -proy�k pem ban gunan rupanya juga telah mulai menerapkan pola network ini. Hadirin yang terhormat, Mengingat uraian di atas, maka wajarlah apabila Ilmu Hukum tidak lagi dapat diko­ tak-kotakkan seperti yang selama ini dipah­ ami oleh masyarakat luas. Hal ini mengingat bahwa garis-garis pemisah antar bidang Ilmu Huku,m itu sendiri kini menjadi amat kabur. Erat kaitannya dengan perkembangan sosial yang amat cepat itu, hukum seringkali dini­ lai terlalu lamban dan senantiasa ketingga­ lan kereta. Untuk itu, apakah tidak sebaik­ nya kalau secara metodologia, kita mulai menaruh perhatian pada metoda-rnetoda yang dikembangkan oleh para Futurolog? Pada prinsipnya, para futurolog itu bukan­ lah para ahli yang rnencoba untuk menggarn­ b arkan bagaimana kira-kira keadaan rnasa depan. Tugas mereka sebenarnya lebih rneru­ pakan usaha mengidentifikasi alternatif­ alternatif yang kiranya mungkin terjadi di maaa mendatang serta masuk akal tentang pelbagai hal. Untuk kemudian disodorkan k e pada pembuat keputusan untuk dipilih alternatif yang dianggap terbaik guna di­ lakaanakan. 17 Dalam rangka itu Theodore J. Gordon dalam tuliaannya yang ber judul The Current Meth­ ods of Futures Resear c h (Toffler, 1972) menguraikan se jumlah metoda yang selama ini dipergunakan dalam penelitian tentang maaa depan. Terdapat paling tidak lima metoda, yaitu: a. Ramalan Jitu (Genius Forecasting) : metoda ini terutama mengandalkan pada faktor keberuntungan dan ilham ditambah dengan peramal. Metoda pengalaman sang ini lebih banyak kegagalannya daripada keberhaailan­ nya. b. Prakiraan Kecenderungan (T rend Extrapolation) : metoda ini menda­ sarkan diri pada suatu aaumsi bahwa ae jarah masa kini akan tetap ber­ langsung di masa yang akan datang. c. Metoda Konsensua (Consensus Meth­ ods) : metoda ini mengandalkan pada sinteaa pelbagai pandangan dari para ahli tentang masa _depan. Ada­ pun yang dimakaud dengan 'ahli' (expert) di sini adalah seseorang yang biasanya secara tepat (cor­ rect) menentukan tentang bagaimana kira-kira alhasil dari auatu peria­ tiwa yang serba kurang pasti. d. Metoda Simulasi (Simulation Meth­ ods) : metoda ini mempunyai beberapa variaai. Variasi yang biasa diper­ gunakan adalah Analogi Matematika (Mathematical Analogs) dan Analogi Permainan (Game Analogs) . Dalam Analogi Matematika, d iubah men jadi situasi soaial s e jumlah fungsi 18 persamaan untuk kemudian disusun prediksi-prediksi berdasarkan hu­ bungan matematis. e. Metoda Matriks (Cross-I m p a c t Dampak Matrix Silang Methods): Metoda ini yang dewasa ini banyak berkembang. Metoda ini merupakan suatu pendekatan eksperimental yang mencoba menentukan kemungkinan dari masing-masing unsur yang ada dalam seperangkat ramalan set) (a forecasted dalam hubungannya dengan in­ teraksi potensial dari masing-mas­ ing �nsur yang ada dalam ramalan itu pada masa yang akan datang. Dengan demikian fokus utama metoda ini adal•h bahwa suatu peristiwa atau p erkembangan t ertentu i t u seringkali mempunyai hubungan atau­ pun berkaitan erat dengan peristiwa atau perkembangan yang lain. Sementara itu John Naisbitt (1982) menggu­ nakan suatu metoda yang ia sebut Content A n a l y s i s. Metoda ini kurang lebih sama seperti metoda Trend Extrapolation tersebut di atas. Akan tetapi ia lebih mengandalkan diri pada usaha memonitor isi mass-media, khususnya harian. Selanjutnya, dalam edisi keduanya (1990) rupanya ia juga menggunakan metoda Konsensus, dengan mengundang sejum­ l a h rekannya di rumahnya di Telluride, Colorado, Amerika Serikat. Akhirnya sebagai penutup ada sedikit keri­ sauan dalam diri saya, setiap kali menden­ gar atau membaca '...sarjana siap pakai... ' Apakah misi suatu Universitas, khususnya Fakultas itu adalah untuk menyiapkan bari­ san jongos dan tukang serta kuli bagi mere­ ka yang telah mapan? Apakah tidak sebaiknya kita menyiapkan para mahasiswa itu menjadi 'sarjana yang siap untuk berkarya' dengan 19 kepribadian yan g mandiri? Hal ini tentu lebih sesuai dengan makna Kemerdekaan Bang­ s a Indonesia yang lepas dari perbudakan kolonial. Bandung, 15 September 1992 20 Daftar Pustaka (ed. ), The F u t u r i sts, Alvin Toffler 1972 House Alvin Toffler, 1970 Future Shock, N e w York: London: 1981 The Third W ave, Ltd. , second edition Random Pan Books Ltd. London: Pan Books 1990 Powershift: Knowledge, Wealth and Violence at the Edge of the 21th century , London: Pan Books Ltd. Amrah Muslimin, 1980 Beberapa Azas-Azas dan Pengertian­ Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung: Alumni Clive Day, The Policy and Administrative of the 1972 Dutch in Java, Kuala Lumpur: Oxford Univer­ sity Press Franz Magnis-suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral 1987 Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Grame­ dia Indonesia, Lembaga Administrasi Negara, 1992 Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, jilid I, Jakarta: CV Haji Masa­ gung, cet. keempat 1991 Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, jilid I I, Jakarta: CV Haji Masa­ gung, cet. ketiga Jean Blonde!, 1982 The Organization of Governments: A Comparative Analysis of Governmental Struc­ ture, London: Sage Publications 21 Joa Holland Pater Hanriot, � 1986 Analisis Sosial & Refleksi Teologis: Kaitan Iman dan Keadilan, Ypgyakarta: Kani­ sius John Naisbitt, 1982 Hegatrends: Ten Directions Trans­ forming Our Lives, New York: Warner Books, Inc. John Naisbitt & Patricia Aburdene, 1990 Aksara Hegatrend 2000, Jakarta: Binarupa Koentjoro Poerbopranoto, 1981 Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerin­ tahan dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, cet. 4 Koerniatmanto Soetoprawiro, 1989 Perbandingan Sistem Ketatanegaraan a ntara Rep ublik Indonesia dengan Hindia Belanda, tesis pada Fakultas Pascasarjana Universitas Pad jad jaran, Bandung Michael P. Barber, 1975 Public Administration, English Language Book Society London: The Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pemban­ 1975 gunan Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Uni­ versitas Pad jad jaran T. T. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam P e m b a n g u n a n N a s i o n a l , Bandung: L embaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjad jaran Muhammad Yamin, 1971 Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, d jilid pertama, T. T. : T. P, cet. kedua Philipus M. Hadjon (et.al.), 1989 Pengantar Hukum Administrasi Indone­ sia, Utrecht: T. P. 2 Prajudi Atmosudirdjo, 198 1 Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet. keempat Jakarta: Sarwono Kusumaatmadja, 1987 Perjalanan, Tantangan dan Kemungki­ nan, Rangkuman Sarasehan Menyongsong Lima Windu Kemerdekaan Indonesia, Jakarta Sudargo Gautama, 197 3 Pe m i k i ran tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, cet. kedua Swnitro Djojobadikuswno, 1991 Perkembangan . Pemikiran Ekonomi, Buku I: Dasar Teori dalam Ekonomi Umum,. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sunaryati Hartono, 1988 Perubahan Kurikulum Fakultas Hukum d alam M a s y a r a k a t y a ng Me m bangun s e c a r a Berencana, Bandung: Pusat Studi Hukum Uni­ versitas Katolik Parahyangan, cet. ke-4 199 1 Pembinaan Hukum Nasional dalam Sua­ sana Globalisasi Masyarakat Dunia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum, Bandung: Universitas Padjadja­ ran Utrecht, E. , 19 60 Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung: T.P., cet. keempat William Ebenstein, 1980 'Welfare State ', Encyclopedia Americana, vol. 28, hal. 606- 607 William H. Harbold, 198 3 'Welfare State', Grolier Academic Encyclopedia, vol. 20, hal. 97-98 William A. Robson, 197 6 Welfare State and Welfare Society : Illusion and Reality, London: George Allen & Unwin ****************