BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi atau keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) penderita (Rachimhadhi et.al, 1992). Gejala klinik umumnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 1 bulan, diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terusmenerus, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan (Depkes, 1997). Penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus yang menyebabkan penurunan daya kekebalan tubuh. Virus ini adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentevirus. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam dan Kurniawati, 2008). Kasus AIDS dilaporkan pada tahun 1981, di Amerika Serikat. Sejak itu, kasus AIDS di dunia makin lama makin banyak dilaporkan dan merupakan persoalan kesehatan masyarakat di beberapa negara. Bahkan masalah AIDS mempunyai implikasi yang bersifat internasional dengan angka mortalitas 80% pada penderita. Chermann dan Barre Sinoussi (1985) melaporkan bahwa penderita AIDS di seluruh dunia mencapai lebih dari 12.000 orang diantaranya 1 2 10.000 kasus di Amerika Serikat, 400 kasus di Perancis dan sisanya di negara Eropa lainnya, Amerika Latin dan Afrika. Satu tahun kemudian dilaporkan bahwa jumlah kasus AIDS di Amerika meningkat menjadi 15.000 orang dan Perancis menjadi 445 orang (Anonim, 1992). Di Indonesia pertama kali mengetahui adanya kasus AIDS pada bulan April tahun 1987, pada seorang warganegara Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah Bali akibat infeksi sekunder pada paru-paru, sampai pada tahun 1990 penyakit ini masih belum mengkhawatirkan, namun sejak awal tahun 1991 telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (doubling time) kurang dari setahun, bahkan mengalami peningkatan kasus secara ekponensial (Rasmaliah, 2001). Kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Di Indonesia sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada sub populasi tertentu di beberapa provinsi yang memang mempunyai prevalensi HIV cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi pada kelompok orang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu para pekerja seks komersial dan pengguna NAPZA suntikan di 6 provinsi: DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Bila masalah ini tidak ditanggulangi segera, kemungkinan besar epidemi akan bergerak menjadi epidemi yang menyeluruh dan parah (generalized epidemic) (Depkesa, 2006). 3 Kumulatif kasus AIDS diperkirakan sampai pada jumlah 30.000-93.968 pada tahun 2002. Pada tahun 2010, diperkirakan ada 1 juta-5 juta kasus infeksi HIV di Indonesia. Dari jumlah tersebut diperkirakan sebanyak 10.000 ODHA yang membutuhkan ART (Terapi Antiretroviral) segera (Depkesa, 2006). Masalah yang dihadapi dalam penanganan kasus HIV/AIDS adalah kesulitan dalam mendapatkan obat, mahalnya harga obat antiretroviral (ARV) dan kurangnya informasi dan pemahaman tentang HIV/AIDS. ARV generik buatan Indonesia sudah tersedia namun belum didukung oleh kesiapan tenaga medis dan apoteker dalam mendukung keberhasilan terapi (Depkesa, 2006). Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta karena rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pendidikan dan terdapat 64 kasus HIV/AIDS pada tahun 2009. Dan HIV/AIDS termasuk kasus yang jarang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta tahun 2009. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui bagaimanakah gambaran penggunaan antiretroviral dan apakah penggunaan antiretroviral untuk HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta tahun 2009 sudah sesuai dengan standar yang ada. B. PERUMUSAN MASALAH Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 4 1. Bagaimana pola pengobatan antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode tahun 2009? 2. Bagaimana kesesuaian pola pengobatan antiretroviral pada pasien HIV/AIDS tersebut dengan Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pola pengobatan dengan antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode tahun 2009. 2. Mengetahui kesesuaian pola pengobatan antiretroviral pada pasien HIV/AIDS tersebut dengan standar Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007. D. TINJAUAN PUSTAKA 1. HIV/AIDS a. Definisi HIV/AIDS HIV/AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya/ menurunnya sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit (Rasmaliah, 2001).Virus ini ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan ASI (Air Susu Ibu). Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan 5 turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi (Depkes, 2007). Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC) definisi AIDS adalah semua yang dinyatakan mengidap infeksi HIV dengan jumlah CD4 limfosit T kurang dari 200 sel/L. Penyakit-penyakit yang merupakan petunjuk adanya AIDS adalah tuberculosis paru, pneumonia bakterial berulang dan kanker serviks yang invasif (Adler, 2001). AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV. Penderita dinyatakan sebagai AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksiinfeksi yang mengancam jiwa penderita (Anonim, 2001). b. Penyebab HIV/AIDS Penyebab HIV/AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus yang menyebabkan penurunan daya kekebalan tubuh. Virus ini adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentevirus. HIV mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam dan Kurniawati, 2008) 6 Virus ini mempunyai kemampuan yang unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut dengan reverse transcriptase, cara ini merupakan kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke RNA) dan translasi (dari RNA ke protein) (Muma et. al, 1997). c. Penularan HIV/AIDS HIV terdapat dalam cairan tubuh seseorang seperti darah, cairan kelamin (air mani atau cairan vagina yang telah terinfeksi) dan air susu ibu yang telah terinfeksi. Sedangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu sindrom menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Orang yang mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita telah menurun (Depkesa, 2006). Virus HIV menular melalui enam cara penularan (Nursalam dan Kurniawati, 2008) yaitu : 1) Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. 7 2) Ibu pada bayinya Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi peularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%, penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses melahirkan, semakin besar risiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesari. Transmisi lain terjadi selama periode post parturm melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%. 3) Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh. 4) Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alatalat lain yang dapat menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV. 5) Alat-alat untuk menoreh kulit 8 Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu. 6) Menggunakan jarum suntik secara bergantian Jarum suntik yang digunakan di fasilitasi kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (injecting Drug User-UDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai UDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV. d. Diagnosa HIV Diagnosis infeksi HIV biasanya dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi tersebut tidak mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan secara langsung juga dapat dilakukan, yaitu antara lain dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus (Depkes, 2004). Metode umum untuk menetapkan HIV adalah Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), yang mendeteksi antibodi terhadap HIV-1 dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi pada perempuan yang telah melahirkan beberapa kali, pada yang baru mendapatkan vaksin hepatitis B, HIV, influenza, dan rabies, penerima transfusi darah berulang, dan penderita gagal ginjal atau hati, atau sedang menjalani hemodialisa kronik. Negatif palsu dapat terjadi bila pasien baru 9 terinfeksi, dan tes dilakukan sebelum pembentukan antibodi yang akurat. Waktu minimum untuk terbentuknya antibodi 3-4 minggu dari awal terpapar (Anonimb, 2008). Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti tes negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan berarti Western Blot positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi lagi setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulangi lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif (Nursalam dan Kurniawati, 2008). Beberapa tes cepat untuk deteksi HIV dikembangkan dengan menggunakan teknologi serupa ELISA, dan hasilnya seakurat tes ELISA. Keuntungan tes ini adalah hasilnya bisa didapat hanya dalam beberapa menit. PCR (Polymerase Chain Rection) untuk DNA dan RNA virus sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV (Nursalam dan Kurniawati, 2008). e. Perjalanan HIV/AIDS Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. 10 Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun (Nursalam dan Kurniawati, 2008). Perkembangan infeksi HIV dapat ditandai dengan : 1) Jumlah CD4+ CD4+ adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. CD4+ pada orang dengan sistem kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4+ dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4+ berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4+ semakin lama akan semakin menurun (Depkes, 2007). Jumlah CD4+ adalah untuk menentukan pengobatan khususnya antiretroviral (ARV). CD4+ juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Kecepatan penurunan CD4+ (baik jumlah absolut maupun persentase CD4+) telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4+ menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun. Jumlah 11 CD4+ lebih menggambarkan progresifitas AIDS dibandingkan dengan tingkat viral load, meskipun nilai prediktif dari viral load akan meningkat seiring dengan lama infeksi. Pemeriksaan CD4+ yang dianjurkan adalah setiap 6 bulan (Depkesa, 2006). 2) Viral load plasma Kecepatan peningkatan Viral load (bukan jumlah absolut virus) dapat dipakai untuk memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load meningkat secara bertahap dari waktu ke waktu. Pada 3 tahun pertama setelah terjadi serokonversi, viral load berubah seolah hanya pada pasien yang berkembang ke arah AIDS pada masa tersebut. Setelah masa tersebut, perubahan viral load dapat dideteksi, baik akselerasinya maupun jumlah absolutnya, baru keduanya dapat dipakai sebagai petanda progresivitas penyakit (Depkesa, 2006). f. Stadium Klinis HIV/AIDS Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia. Dalam hal ini pasien bisa didiagnosa berdasarkan gejala klinis, yaitu tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor di tambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik. 1) Gejala mayor : penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 1 bulan, diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-menerus, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan dan tuberkulosis. 2) Gejala minor : kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari satu bulan, kelemahan tubuh, berkeringat malam, hilang nafsu makan, 12 infeksi kulit generalisata, limfadenopati generalisata, herpes zoster, infeksi herpes simplex kronis, pneumonia, sarkoma kaposi (Nursalam dan Kurniawati, 2008). Dalam perkembangannya, WHO telah menetapkan stadium klinis HIV/AIDS untuk dewasa pada tabel 1. Tabel 1. Stadium Klinis HIV (Dekes, 2004) Stadium 1 Asimptomatik Tidak ada penurunan berat badan Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten Stadium 2 Sakit ringan Penurunan BB 5-10% ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE) Dermatitis seboroik Infeksi jamur kuku Stadium 3 Sakit sedang Penurunan berat badan > 10% Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginal Oral hairy leukoplakia TB Paru dalam 1 tahun terakhir Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll) TB limfadenopati Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml) Stadium 4 Sakit berat (AIDS) Sindroma wasting HIV Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan. Kandidosis esophageal TB Extraparu* Sarkoma kaposi Retinitis CMV* Abses otak Toksoplasmosis* Encefalopati HIV Meningitis Kriptokokus* Infeksi mikobakteria non-TB meluas Lekoensefalopati mutlifokal progresif (PML) 13 Lanjutan tabel 1 Peniciliosis, kriptosporidiosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis meluas (histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis) Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin* (Gangguan fungsi neurologis dan tidak sebab lain sering kali membaik dengan terapi ARV) Kanker serviks invasive* Leismaniasis atipik meluas Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV Kondisi dengan tanda* perlu diagnosis dokter yang dapat diambil dari rekam medis RS sebelumnya 2. PENGOBATAN HIV/AIDS a. Antiretroviral terapi Terapi antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan obatobatan. Obat tersebut (yang disebut ARV) tidak membunuh virus, terapi dapat memperlambat pertumbuhan virus. Karena HIV adalah retrovirus, obat-obatan ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral (ART) (Depkes, 2007). b. Tujuan pengobatan antiretroviral (ARV) adalah sebagai berikut (Depkes, 2004) : 1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat 2) Menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan HIV 3) Memperbaiki kualitas hidup ODHA 4) Memulihkan atau memelihara fungsi kekebalan tubuh 5) Menekan replikasi virus secara maksimal dan terus menerus 6) Mencegah atau mengobati infeksi oportunistik 14 c. Manfaat ART Antiretroviral merupakan suatu revolusi dalam perawatan ODHA. Terapi dengan antiretroviral atau disingkat ARV telah menyebabkan penurunan angka kematian dan kesakitan bagi ODHA. Manfaat terapi antiretroviral adalah sebagai berikut : 1) Menurunkan morbiditas dan mortalitas 2) Pasien dengan ARV tetap produktif 3) Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksi 4) Oportunistik berkurang atau tidak perlu lagi 5) Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi, namun ODHA dengan viral load tidak terdeteksi, namun harus dipandang tetap menular 6) Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu 7) Mendorong ODHA untuk meminta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-nya secara sukarela d. Penggolongan ARV Ada tiga golongan utama ARV yaitu 1) Penghambat masuknya virus. Mekanisme kerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid (Depkes, 2004). 15 Obat enfuvirtid diindikasikan untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati untuk pasien dengan kronik hepatitis B atau C, gangguan hati, gangguan ginjal, kehamilan. Obat ini kontraindikasi terhadap ibu menyusui. Untuk efek sampingnya meliputi reaksi pada tempat suntikan, diare, mual, muntah, sakit kepala, reaksi hipersensitifitas, neuropati perifer. Untuk dosis subkutan 90 mg dua kali sehari (Depkesa, 2006). 2) Penghambat reverse transcriptase enzyme a) Analog nukleosida (NRTI) Mekanisme : NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA. (1) Zidovudin (ZDV/AZT) Zidovudin diindikasikan untuk pengobatan infeksi HIV lanjut (AIDS), HIV awal dan HIV asimtomatik dengan tanda-tanda risiko progresif, infeksi HIV asimtomatik dan simtomatik pada anak dengan tanda-tanda imuno defisiensi yang nyata. Hati-hati untuk pasien dengan toksisitas hematologis, defisiensi vitamin B12, gangguan fungsi ginjal, fungsi hati. Konsentrasi dari zidovudin akan meningkat jika diberikan bersama flukonazol, interferon-B, metadon, valproat, simetidin, 16 imipramin, dan trimetoprim. Sedangkan zidovudin jika diberikan bersama gansiklovir dapat menyebabkan neutropenia. Zidovudin kontraindikasi terhadap pasien dengan neutropenia dan atau anemia berat, neonatus dengan hiperbilirubinemia. Sedangkan efek sampingnya anemia, neutropenia dan leukopenia, mual, muntah, anoreksia, sakit perut, dispepsia, sakit kepala, ruam, demam, mialgia, insomnia, lesu. Dosis yang diberikan dalam sediaan bentuk tablet 300 mg, kapsul 100 mg, sirup 10 mg/ml, dan IV 10 mg/ml (Depkesa, 2006). (2) Stavudin (d4T) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati untuk pasien dengan kronik hepatitis B atau C, gangguan hati, gangguan ginjal, kehamilan. Jika obat ini diberikan bersama didanosin maka akan meningkatkan risiko efek samping obat ini. Dan obat ini juga meningkatkan risiko toksisitas jika diberikan bersama hidroksicarbamide. Obat ini kontraindikasi terhadap ibu menyusui. Efek sampingnya adalah neuropati perifer, peningkatan enzim transaminase, laktat asidosis, gejala saluran cerna, dan lipoatropy. Dosis yang diberikan pada pasien dengan berat badan lebih dari 60kg adalah 40 mg per oral tiap 12 jam dengan atau tanpa makanan. Sedangkan dosis untuk pasien dengan berat badan kurang dari 60kg adalah 30 mg per oral 12 tiap jam (Depkesa, 2006). 17 (3) Lamivudin (3TC) Lamivudin indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati untuk pasien dengan kelainan fungsi ginjal, penyakit hati yang disebabkan infeksi hepatitis B kronis (risiko kembalinya hepatitis saat penghentian obat), kehamilan. Jika lamivudin diberikan bersama trimetoprim akan meningkatkan konsentrasi dari lamivudin. Obat ini kontraindikasi untuk ibu menyusui. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, batuk, sakit kepala, insomnia, malaise, ruam. Dosisnya 150 mg peroral tiap 12 jam atau 300 mg peroral sekali sehari. untuk pasien dengan berat badan kurang dari 50kg, dosisnya adalah 2 mg/kg peroral tiap 12 jam dengan atau tanpa makanan (Depkesa, 2006). (4) Zalcitabin (ddC) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV lanjut yang tidak tahan terhadap zidovudin. Hati-hati pada pasien dengan risiko neuropati perifer, pankreatitis monitor amilase serum, alkoholisme, nutrisi parenteral, kardiomiopati, riwayat gagal jantung kongesif, hepatotoksitas, gangguan fungsi hati, dan kehamilan. Obat ini dihentikan dengan segera bila timbul gejala-gejala neuropati rasa kesemutan, baal, panas, rasa ditusuk-tusuk. Obat ini kontraindikasi untuk neuropati perifer dan menyusui. Efek sampingnya adalah neuropati perifer, ulkus mulut, mual, muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala, pusing, mialgia, 18 ruam, penurunan berat badan, lesu, demam, nyeri dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati, pankreatitis. Dosisnya 750 mcg tiga kali sehari (Depkesa, 2006). (5) Didanosine (ddI) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan neuropati perifer, riwayat pankreatitis, hiperurisemia, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, dan kehamilan. Konsentrasi dari didanosine akan meningkat jika diberikan bersama allopurinol, tenovavir, dan ganciclovir. Sedangkan konsentrasi dari didanosine akan menurun jika diberikan bersama tipranavir. Jika didanosine diberikan bersama hidroksicarbamide akan meningkatkan toksisitas dari didanosine. Dan jika didanosine diberikan bersama ribavirin dan stavudine maka akan meningkatkan risiko efek samping. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya neuropati perifer, pankreatitis, diabetes melitus, hipoglikemia. Dosis yang diberikan pada pasien dengan berat badan lebih dari 60 kg adalah 400 mg per oral sekali sehari. Sedangkan dosis untuk pasien dengan berat badan kurang dari 60kg adalah 250 mg per oral sekali sehari (Depkesa, 2006). (6) Abacavir (ABC) Obat ini indikasinya untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan tanda-tanda alergi seperti demam, mual, lelah, dengan atau tanpa ruam. 19 Konsentrasi abacavir akan menurun jika diberilan bersama rifampicin, phenobarbital, dan fenitoin. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya mual, muntah, diare, nyeri perut, dan reaksi hipersensitifitas. Dosisnya 300 mg tiap 12 jam dengan atau tanpa makanan, atau 600 mg sekali sehari (Depkesa, 2006). b) Analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi. Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Perlu dilakukan tes fungsi hati dan serum fosfat sebelum terapi setiap 4 minggu selama 1 tahun selanjutnya tiap 3 bulan dan monitor pasien dengan hepatitis B. Jika obat ini diberikan bersama didanosine maka maka akan meningkatkan konsentrasi didanosine dan resiko toksisitas. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya mual, muntah, diare, nyeri perut, gangguan fungsi ginjal. Dosisnya 245 mg peroral sekali sehari dengan atau tanpa makanan (Depkesa, 2006). c) Nonnukleosida (NNRTI) yaitu Mekanisme kerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. 20 (1) Nevirapin (NVP) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pemberian 200 mg dosis tunggal untuk 2 minggu pertama mengurangi kemungkinan alergi, periksa fungsi hati tiap 2 minggu untuk 2 bulan pertama, selanjutnya tiap bulan 3 bulan berikutnya. Jika nevirapin diberikan bersama dengan amprenavir, aripiprazole, atazanavir, lopinavir, dan metadine maka akan menurunkan konsentrasi dari obat tersebut. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui dan gangguan fungsi hati. Efek sampingnya ruam yang berat, demam, gangguan saluran cerana. Dosisnya 200 mg peroral sekali sehari 14 hari, selanjutnya 200 mg 2 kali sehari (Depkesa, 2006). (2) Efavirenz (EFV) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan kronik hepatitis B atau C, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, kehamilan, dan usia lanjut. Jika obat ini diberikan bersama amprenavir, aripiprazole, atazanavir, atorvastatin, diltiazem, dan darunavir maka akan mengurangi konsentrasi dari obat tersebut. Obat ini kontraindikasi pada menyusui dan gangguan fungsi hati. Efek sampingnya hepatitis, pankreatitis, hiperlipidemia, diabetes, lipodistropi. Dosisnya 600 mg per oral sekali sehari dengan atau tanpa makanan (Depkesa, 2006). 21 d) Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV) Mekanisme Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial (Depkesa, 2006). (1) Saquinavir (SQV) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan hiperglikemia, haemopilia, gangguan fungsi hati. bawang putih dapat menurunkan konsentrasi dari saquinavir. Konsentrasi saquinavir akan meningkat jika diberikan bersama dengan imidazole dan triazole. Sedangkan konsentrasi saquinavir akan menurun jika diberikan bersama efavirenz. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya neuropati perifer, mual, muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala, pusing, mialgia, ruam, penurunan berat badan, lesu, demam, nyeri dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati,, pankreatitis, perubahan seksual, dan alopeksia. Dosisnya 1000 mg tiap 12 jam (Depkesa, 2006). (2) Nelfinavir (NFV) Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan hiperglikemia, 22 haemopilia, dan gangguan fungsi hati. Konsentrasi nelfinavir akan menurun jika diberikan bersama dengan barbiturat dan carbamazepin. Kombinasi nelfinavir dan saqunavir meningkatkan konsentrasi kedua obat tersebut. Obat ini kontraindikasi pada ibu menyusui. Efek sampingnya neuropati perifer, mual, muntah, disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala, pusing, mialgia, ruam, penurunan berat badan, lesu, demam, nyeri dada, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati, pankreatitis, dan demam. Dosisnya 1250 mg tiap 12 jam atau 750 mg tga kali sehari (Depkesa, 2006). Dosis Antiretroviral untuk orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dewasa dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa (Depkes, 2004). Golongan/ Nama Obat Dosis Nucleoside RTI Abacavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam 400 mg sekali sehari Didanosine (ddI) 250 mg sekali sehari, jika berat badan < 60kg. 250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari Stavudin (d4T) 40 mg setiap 12 jam 30 mg setiap 12 jam bila berat badan < 60kg Zidovudine (ZDV/AZT) Nucleotide RTI Tenofovir (TDF) 300 mg setiap 12 jam 300 mg sekali sehari, (catatan : interaksi obat dengan ddI perlu mengurangi dosis ddI) 23 Lanjutan Tabel 2 Non-nucleoside RTIs Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP) Protease inhibitors Indinavir/ritonavir (IDR/r) 600 mg sekali sehari 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam 800 mg/100 mg setiap 12 jam Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EFV atau NVP) Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam Saquinavir/ ritonavir (SQV/r) 1000 mg/100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200 mg sekali sehari Capsule 100 mg, larutan oral 400 mg/5ml Ritonavir (RTV, r) Pada pedoman WHO direkomendasikan bahwa rejimen lini-pertama terdiri atas dua NRTI ditambah salah satu NNRTI. Rekomendasi regimen lini petama terapi dan perubahan terapi ke lini kedua infeksi HIV pada orang dewasa dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Rekomendasi regimen lini petama terapi dan perubahan terapi ke lini kedua infeksi HIV pada orang dewasa (Anonimb, 2008) Regimen lini pertama Regimen lini kedua Standar AZT atau d4t + 3TC +NVP atau EFV TDF + 3TC + NVP atau EFV ABC + 3TC + NVP atau EFV alternatif AZT atau d4T + 3TC + TDF atau ABC ddl + ABC atau TDF + ABC atau TDF + 3TC(± AZT) ddl + ABC atau ddl + 3TC (± AZT) ddl + 3TC (± AZT) atau TDF + 3TC (±AZT) EFV atau NVP ± ddI PI/r Dengan terbatasnya pilihan kombinasi ARV, maka penggantian obat hanya bila sangat diperlukan, tidak dianjurkan mengganti obat yang terlalu 24 dini. Tabel 4 memuat daftar toksisitas dan pilihan pengganti dari keempat rejimen lini-pertama. Untuk keadaan yang mengancam jiwa, atau situasi klinis yang kompleks, dianjurkan untuk dirujuk ke rumah sakit rujukan. Tabel 4. Toksisitas utama pada regimen ARV lini-pertama dan anjuran obat penggantinya (Depkes, 2004). Regimen Toksisitas Obat pengganti Intoleransi GI yang persisten AZT diganti dengan oleh karena AZT atau d4T toksisitas hematologis yang berat Hepatotoksis berat oleh NVP NVP diganti dengan EFV ( jika pasien hamil diganti dengan NFV, AZT/3TC/NVP LPV/r atau ABC Ruam kulit berat karena NVP NVP diganti dengan (tetapi tidak mengancam jiwa EFV yaitu tanpa pustula dan tidak mengenai mukosa) AZT/3TC/EFV Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (stevensjohnson syndrome) oleh karena NVP Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat Toksisitas susunan saraf pusat menetap oleh karena EFV Neuropati oleh karena d4T atau pankreatitis Lipoatropi oleh karena d4T Hepatotoksik karena NVP d4T/3TC/NVP berat oleh Ruam kulit berat karena NVP (tetapi tidak mengancam jiwa) Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (stevensjohnson syndrome) oleh karena NVP NVP diganti dengan PI AZT diganti dengan d4T EFV diganti dengan NVP d4T diganti dengan AZT d4T diganti dengan TDF atau ABC NVP diganti dengan EFV (jika pasien hamil diganti dengan NFV, LPV/r atau ABC) NVP diganti dengan EFV NVP diganti dengan PI 25 e. Indikasi Terapi ARV ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakkan secara laboratoris disertai salah satu kondisi berikut : 1) Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV 2) Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4+ 3) Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4+<350/mm3 4) Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4+<200 mm3 (anonima, 2006). Artinya bahwa ART untuk penyakit Stadium IV (kriteria WHO disebut AIDS klinis) tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4+. Untuk Stadium III, bila tersedia sarana pemeriksaan CD4+ akan membantu untuk menentukan saat pemberian terapi yang lebih tepat (Depkesb, 2006). Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa dan remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai ARV. Indikasi untuk memulai terapi ARV pada ODHA dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Indikasi untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa (Depkes, 2007) Stadium Bila tersedia pemeriksaan Bila tidak tersedia Klinis CD4+ pemeriksaan CD4+ 1 2 Terapi antiretroviral dimulai bila CD4+ <200 Terapi ARV tidak diberikan Bila jumlah total limfosit <1200 26 Lanjutan Tabel 5 3 4 Jumlah CD4+200–350/mm3, pertimbangkan terapi sebelum CD4+ <200/mm3 Pada kehamilan atau TB: Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan CD4+ 350 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4+ <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4+ Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit total Keterangan: a. CD4+ dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4+ berapapun dan kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan). b. Nilai yang tepat dari CD4+ di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat ditentukan. c. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4+ tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4+, ODHA asimtomatik (Stadium I ) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumberdaya terbatas.