BioSMART Volume 7, Nomor 1 Halaman: 66-71 ISSN: 1411-321X April 2005 Kualitas Air Tanah di Sekitar Aliran Sungai Pepe Surakarta The quality of ground water alongside the riverbank of Pepe River Surakarta AMBAR ARRY PURWANTI, SUNARTO♥, RATNA SETYANINGSIH Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 Diterima: 4 Nopember 2004. Disetujui: 1 Maret 2005. ABSTRACT The aims of the research were to know ground water quality from commoner’s wells alongside the riverbank of Pepe River, Surakarta, to know water quality of Pepe River and to understand the correlation between ground water quality and the distance of commoners well (ground water) from the river. Water samples were collected from Pepe River and ground water in villages located along side Pepe River, namely: Kelurahan Gilingan, Kestalan, Kampung Baru, and Sangkrah. Parameters have been measured were physical (temperature, color and smell), chemical (BOD, COD, DO, pH, Cu and Cd contents), and biological (coliform bacteria count). The results showed that ground water quality was good based on physical and chemical parameters. Those parameters were under minimum level allowed according to the regulation of Central Java Governor No. 660.1/26/1990 and Minister of Health No. 907/MENKES/SK/VII/2002. Based on those parameters Pepe River was polluted and the quality was not good, although concentration of Cu and Cd could not been detected. The biological parameter in Pepe River and ground water alongside its showed that there were polluted by coliform bacteria. According to the correlation analyze there were no correlation between ground water quality and distance ground water to Pepe River. Key words: Cu, Cd, coliform, ground water, Pepe River. PENDAHULUAN Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi segala bentuk kehidupan. Bumi menyimpan cadangan air sebesar 1,4 milyar km3. Sekitar 97% merupakan air laut, 1,5% lainnya merupakan air berbentuk gletser dan 1,5% berikutnya merupakan air tanah dan air permukaan yang sampai saat ini merupakan sumber air utama untuk kehidupan (Silalahi, 1996). Air memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar tubuh manusia terdiri atas air. Proses metabolisme dalam tubuh manusia berlangsung dalam air. Air membawa segala zat ke seluruh tubuh dan mengambil segala buangan untuk dikeluarkan. Selain itu manusia memerlukan air dalam melakukan aktivitas seharihari (Slamet, 1996). Sebagian besar penduduk Indonesia, baik yang berada di kota maupun di desa menggunakan sumber air yang berasal dari sumur. Sumur yang digunakan dapat berupa sumur timba atau diusahakan melalui pompa. Ada juga penduduk yang sudah menggunakan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) masih juga membuat sumur sebagai sumber air cadangan atau untuk kombinasi pemakaian. Sungai yang dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah industri dan limbah rumah tangga dapat menurun kualitasnya. Apabila jumlah limbah yang dibuang ♥ Alamat Alamat korespondensi: korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-271-663375. +62-368-21273. e-mail: [email protected], [email protected] [email protected] melampaui daya adaptasi lingkungan maka akan terjadi penumpukan bahan buangan yang dapat merusak ekosistem. Walaupun sungai dapat menerima sejumlah limbah zat organik dan masih mampu menetralkan diri, tetapi bila jumlah zat pencemar masih terus meningkat, maka pada suatu titik tertentu sungai tersebut terpatahkan daya dukungnya, sehingga kemampuannya menetralkan diri tidak ada lagi (Soemarwoto, 1994). Pembuangan limbah secara langsung ke sungai menimbulkan permasalahan tercemarnya air sumur penduduk yang lokasi tempat tinggalnya berada di sekitar aliran sungai. Pencemaran terjadi karena air sungai yang tercemar dapat meresap ke dalam air sumur penduduk yang jaraknya terlalu dekat dengan sungai (Asdak, 1995). Masuknya limbah cair yang di dalamnya terkandung berbagai macam zat kimia organik dan anorganik, logam berat serta berbagai jenis mikroorganisme patogen yang dibawa berbagai vektor penyebab penyakit ke dalam air sumur, tentunya akan menurunkan kualitas air sumur tersebut. Jika air tersebut dikonsumsi dapat menyebabkan berbagai penyakit, antara lain disentri, kolera, tifus, dan diare darah. Keracunan logam berat dapat mengakibatkan kematian (Wardhana, 1995). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup PEMKOT (Pemerintah Kota) Surakarta pada tahun 1999 dan 2002, diketahui Sungai Pepe telah menurun kualitasnya. Penelitian yang dilakukan pada bagian hulu dan hilir Sungai Pepe menunjukkan hasil yang buruk, terutama untuk parameter BOD, COD, Ammonia, Cu dan Zn, jumlah konsentrasinya melebihi ambang batas 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta PURWANTI dkk. – Kualitas air tanah di sekitar Sungai Pepe Surakarta yang ditetapkan dalam baku mutu untuk badan air penerima (Anonim, 2003). Sungai Pepe merupakan salah satu sungai yang melintasi kota Surakarta. Mata airnya berasal dari lereng Gunung Merapi dan melintasi beberapa kabupaten sebelum melintasi kota Surakarta. Aliran Sungai Pepe yang melintasi kota Surakarta dimulai pada aliran setelah Bendung Tirtonadi. Setelah bendungan aliran sungai terbagi menjadi dua. Aliran yang ke arah timur disebut Sungai Anyar dan yang ke arah selatan disebut Sungai Pepe yang bermuara di Bengawan Solo. Sungai Pepe melalui beberapa kecamatan di Surakarta seperti Banjarsari dan Pasar Kliwon. Penurunan kualitas air Sungai Pepe kemungkinan mencemari air sumur penduduk, maka perlu diteliti pengaruh kontaminan yang ada di dalamnya terhadap kualitas air sumur penduduk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas air tanah pada sumur-sumur penduduk di sekitar aliran Sungai Pepe, mengetahui kualitas air Sungai Pepe dan mengetahui hubungan antara jarak sumur terhadap Sungai Pepe dengan kualitas air sumur penduduk. BAHAN DAN METODE Bahan penelitian: Sampel air Sungai Pepe. Pengukuran BOD (Biological Oxygen Demand): FeCl3. 6 H2O dalam 1 liter akuades, CaCl2 11,0 g dalam 1 liter akuades, MgSO4 10,0 g . 7 H2O dalam 1 liter akuades. Pengukuran COD (Chemical Oxygen Demand): 3,16 g KMnO4 pro analisis, 1 L akuades, 50 mL akuades, larutan NaOH, 5%, 50 g NaOH pro analisis, 16,6 g KI pro analisis, akuades, larutan Na2S2O3, indikator amylum. Bahan untuk pemeriksaan bakteri koliform dalam air: 3 g ekstrak daging, 5 g pepton, 5 g laktosa, NaCl ,10 g pepton, 3,5 g K2HPO4. Pengambilan sampel: Dalam penelitian ini, sampel diambil dari 16 buah sumur. Lokasi sampling dibagi menjadi 4 stasiun, yaitu stasiun I, II, III dan IV. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, di Kelurahan Gilingan, Kestalan, Kampung Baru dan Sangkrah. Setiap stasiun dibagi menjadi 4 titik pengambilan sampel. Dua titik sampel berada di sisi kiri aliran sungai dan 2 titik sampel lainnya berada di sisi kanan aliran sungai. Titik pengambilan sampel terdekat berjarak 4,2 m; 3,9 m; 3,6 m; 3,4 m; 4,6 m; 4,8 m; 2,4 m dari sungai sedangkan titik pengambilan sampel terjauh berjarak 25,6 m; 25,2 m; 26,7 m; 25,9 m; 25,8 m; 25,2 m; 26,6 m; 26,8 m dari sungai. Sedangkan untuk sampel air sungai diambil di setiap stasiun dengan frekuensi pengambilan sampel sebanyak 2 kali, masing-masing pagi dan sore hari. Pengukuran suhu dilakukan dengan memasukkan termometer ke dalam sampel air. Uji warna dan bau dilakukan dengan melihat warna dan membaui sampel air secara langsung. Pengukuran BOD dilakukan dengan menggunakan larutan blanko dengan pengenceran. Duplikat dibuat 2 buah, 1 untuk pengukuran DO awal dan 1 untuk inkubasi selama 5 hari pada suhu 200C (Alaerts dan Santika, 1982). Pengukuran COD dilakukan dengan menggunakan larutan blangko dan ferroammoniumsulfat (Alaerts dan Santika, 1982). 67 Pengukuran DO dilakukan dengan menggunakan DO meter, caranya DO meter dimasukkan ke dalam sampel air sampai dengan batas alat, lalu dibaca angka yang tertera hasilnya pada skala. Pengukuran pH dilakukan dengan mencelupkan pH meter elektrik ke dalam air sampai sampai batas alat, lalu dibaca pada skala. Pengujian kadar tembaga (Cu) dan kadmium (Cd) dilakukan dengan alat AAS. Panjang gelombang untuk Cu 324,8 nm dan Cd 228,8 nm. Sampel air yang akan diuji dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan disuntikkan satu persatu ke dalam tungku karbon pada alat AAS. Tungku karbon kemudian dipanaskan, dan serapan masuk panjang gelombang sampel air tersebut dicatat. Pemeriksaan bakteri koliform. Penghitungan jumlah bakteri koliform dilakukan dengan MPN (Most Probable Number). Sebelum pemeriksaan, terlebih dahulu dilakukan pembuatan media fermentasi laktosa cair dan media BGLBB (Brilliant Green Lactose Bile Broth). Uji pendugaan. Sampel air diinokulasi secara aseptis, dengan pengenceran masing-masing 10 mL, 1 mL dan 0,1 mL ke dalam media fermentasi laktosa cair. Masingmasing pengenceran diinokulasikan ke dalam 5 tabung reaksi yang berisi tabung Durham. Kemudian tabungtabung tersebut diinkubasikan pada suhu 350C selama 48 jam. Uji pendugaan menunjukkan hasil positif apabila pada tabung Durham terjadi fermentasi yang ditandai dengan terbentuknya gas dan perubahan warna dari bening menjadi putih kusam. Jumlah yang positif pada setiap pengenceran disesuaikan dangan tabel Hopkins (Salle, 1962; Anonim 2002). Uji pendugaan bagi sampel air sungai dilakukan dengan mengencerkan sampel air terlebih dahulu. Pengenceran dilakukan dengan menambahkan NaCl pada sampel air, kemudian baru dimasukkan ke dalam media fermentasi laktosa cair, pengenceran dihentikan apabila pada tabung reaksi ditemukan hasil pemeriksaan yang negatif. Uji penetapan. Sampel air yang menunjukkan hasil positif pada uji pendugaan diinokulasikan secara aseptis ke dalam media BGLBB dengan menggunakan jarum ose, kemudian diinkubasi pada suhu 35oC selama 48 jam. Setelah itu diamati perubahan warna dan fermentasi yang terjadi. Hasil yang positif dicocokkan dengan tabel (Salle, 1962; Anonim, 2002). HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu Suhu air sungai di daerah penelitian sebesar 28-29oC (Tabel 1.), masih di bawah ambang batas baku mutu kualitas badan air penerima menurut SK Gubernur Jateng No. 660.1/26/1990 yaitu 30oC. Pada suhu 28-29oC, ikan dan hewan air lainnya dapat hidup dengan baik. Kenaikan suhu air sungai dapat disebabkan oleh adanya industri yang membuang air panas ke dalam perairan sungai. Air panas berasal dari proses pendinginan air yang dilakukan untuk menghilangkan panas yang ditimbulkan oleh mesin-mesin industri. Air pendingin akan mengambil panas yang terjadi, sehingga air pendingin menjadi panas. Jika langsung B i o S M A R T Vol. 7, No. 1, April 2005, hal. 66-71 68 Tabel 1. Suhu air sungai pada 4 titik pengambilan sampel. Waktu Suhu BOD Warna Bau pengambilan (oC) (mg/L) 10 **) *) 29,4 Pagi (06.00) Gilingan A 9,2 **) *) 29,3 Sore (18.00) 11,6 **) *) 28,2 Pagi (06.00) Kestalan B 10 **) *) 28,1 Sore (18.00) 13,3 **) *) 28,1 Kp. Baru Pagi (06.00) C 10,8 **) *) 28,1 Sore (18.00) 10 **) *) 29,6 Sangkrah Pagi (06.00) D 8,3 **) *) 29,5 Sore (18.00) Keterangan: *) kuning kecoklatan, **) amis, ***) tidak terdeteksi. Titik Lokasi COD (mg/L) 46 40 52 45 60 48 49 40 DO (mg/L) 4,50 4,00 5,35 5,50 5,50 5,60 4,80 4,75 pH 5,55 5,40 6,40 6,50 6,24 6,44 5,80 5,70 Cu (mg/L) < 0.008 < 0,008 < 0,008 < 0,008 < 0,008 < 0,008 < 0,008 < 0,008 Cd (mg/L) ***) ***) ***) ***) ***) ***) ***) ***) Koliform 1,8x105 9,2x1011 1,6x106 2,4x1017 2,4x105 9,4x107 2,4x106 2,4x1017 Tabel 2. Suhu air sumur pada 4 titik pengambilan sampel. Jarak dari Suhu BOD Warna Bau Sungai (m) (oC) (mg/L) 1,6 **) *) 27,6 Kiri Gilingan 4,2 A 1,8 **) *) 27,4 25,6 1,6 **) *) Kanan 27,6 3,9 1,4 **) *) 27,5 25,2 1,6 **) *) 27,2 Kiri Kestalan 3,6 B 1,2 **) *) 27,2 26,7 1,6 **) *) Kanan 27,4 3,4 1,7 **) *) 27,2 25,9 1,6 **) *) 27,3 Kiri Kp. Baru 4,6 C 1,2 **) *) 27,4 25,8 2,0 **) *) Kanan 27,2 4,8 1,2 **) *) 27,3 25,2 1,2 **) *) 27,1 Kiri Sangkrah 2,4 D 1,8 **) *) 27,3 26,6 1,2 **) *) Kanan 27,1 2,8 1,8 **) *) 27,2 26,8 Keterangan: *) tidak berwarna, **) tidak berbau, ***) tidak terdeteksi. Titik Lokasi dibuang ke dalam sungai akan menyebabkan air sungai menjadi panas dan suhunya naik. Kenaikan suhu sungai akan mengganggu kehidupan hewan air dan organisme air lainnya, karena kadar oksigen terlaut akan turun seiring dengan kenaikan suhu. Berkurangnya oksigen dalam air dapat menyebabkan terganggunya organisme air. Tabel 2 menunjukkan bahwa suhu air sumur di daerah penelitian berkisar pada suhu 27oC. Hal ini berarti parameter suhu pada air sumur yang diteliti masih berada dalam ambang batas baku mutu air minum yang ditetapkan menurut SK Menkes RI No. 907/MENKES/VII/2002 adalah 27oC. Untuk mengetahui adanya pengaruh suhu air sungai terhadap suhu air sumur dilakukan uji regresi antara suhu air sungai dengan suhu air sumur terdekat pada titiktitik sampel. Nilai R hitung atau nilai korelasi sebesar 0,187 yang artinya ada hubungan antara suhu air sungai dengan suhu air sumur, tetapi hubungan tersebut sangat lemah. Nilai R square sebesar 0,35 yang berarti hanya 35% pengaruh kualitas air sungai terhadap perubahan suhu air sumur. Sedangkan F hitung bernilai 0,128 dengan signifikansi 0,657, karena angka signifikansi lebih besar dari 0,05, maka suhu air sungai tidak berpengaruh terhadap suhu air sumur. COD (mg/L) 12 10 12 8 10 12 10 8 10 8 15 8 5 10 5 10 DO (mg/L) 8,35 9,00 10,08 9,45 8,25 10,00 8,15 8,20 10,00 11,48 9,00 9,15 11,81 10,22 9,75 9,15 pH 6,85 6,90 8,23 8,35 7,25 7,50 7,25 7,16 8,15 8,20 7,55 7,60 7,46 7,40 7,83 8,20 Cu Cd (mg/L) (mg/L) ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 ***) < 0,008 Koliform 2,8x102 2,4x103 2,4x103 2,4x103 2,4x103 2,4x103 2,4x103 2,4x103 4,9x101 1,3x102 2,0x101 0 3,3x101 1,3x101 2,8x102 0,2x101 Warna dan bau Warna air sungai di lokasi pengambilan sampel adalah kuning kecoklatan (Tabel 1.). Hal ini dapat disebabkan adanya limbah industri yang bersifat anorganik atau tidak dapat larut dengan sempurna yang dibuang ke dalamnya, sehingga akan menjadi endapan di dasar sungai yang menimbulkan warna. Menurut Fardiaz (1992) adanya kandungan lumpur dalam air sungai juga dapat menyebabkan air sungai berwarna kuning kecokelatan. Zat warna banyak digunakan dalam proses industri. Pemakaian zat warna kimia antara lain dapat dijumpai pada industri tekstil, elektronik, farmasi dan bahan makanan. Hampir semua zat warna yang digunakan dalam proses industri bersifat racun dan berbahaya bagi manusia dan juga bagi organisme yang ada di perairan. Sampel air sungai menunjukkan adanya bau amis. Mason (2002) mengatakan, bau amis tersebut dapat berasal dari degradasi limbah industri yang bersifat organik oleh mikroorganisme yang hidup di dalam air. Bau dapat menjadi lebih menyengat apabila terjadi pendegradasian limbah oleh mikroorganisme secara anaerob. Mikroorganisme akan mengubah limbah organik, terutama gugus protein, menjadi bahan yang mudah menguap dan PURWANTI dkk. – Kualitas air tanah di sekitar Sungai Pepe Surakarta berbau. Pendegradasian pada kondisi anaerob yang dilakukan oleh mikroorganisme anaerob menghasilkan komponen yang berbau tidak enak. Pemeriksaan untuk parameter warna dan bau menunjukkan bahwa semua sampel air sumur yang diambil pada 4 titik sampel tidak berwarna dan tidak berbau (Tabel 2.). Hasil tersebut menunjukkan bahwa air sumur di daerah penelitian masih memenuhi syarat yang ditetapkan dalam baku mutu air minum menurut SK Menkes RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002. BOD (Biological Oxygen Demand) BOD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme di dalam air untuk mendegradasi bahanbahan pencemar dalam air yang bersifat organik. Konsentrasi BOD yang terlalu tinggi menunjukkan tingginya oksigen yang dikonsumsi oleh mikroorganisme dekomposer dalam perairan sungai untuk dapat mendegradasi limbah organik yang ada. Jenis limbah organik tersebut antara lain kotoran manusia, limbah pengolahan bahan makanan dan minuman yang di dalamnya terkandung protein, gula dan karbohidrat yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme dekomposer. BOD air sungai menunjukkan nilai sekitar 8,3-13,3 mg/L (Tabel 1.). Nilai BOD yang cukup tinggi menandakan bahwa air sungai sudah tercemar limbah organik yang langsung dibuang ke dalam sungai. Pendegradasian limbah tersebut dilakukan oleh mikroorganisme secara aerob, karena banyaknya jumlah limbah organik yang dibuang ke sungai menyebabkan berkurangnya kadar oksigen terlarut air sungai. Nilai BOD yang tinggi telah melampaui ambang batas yang ditentukan dalam baku mutu badan air penerima menurut SK Gubernur Jateng No. 660.1/26/1990 yaitu 6 mg/L. Hal tersebut dapat membahayakan organisme lain yang juga ada di dalam perairan sungai dan berakibat kematian organisme air. Hasil pengamatan terhadap sampel air sumur menunjukkan nilai BOD sekitar 1,2-1,8 mg/L (Tabel 2.), berarti nilai BOD air sumur tersebut masih di bawah nilai ambang batas untuk BOD. Angka BOD memang tidak tercantum dalam baku mutu air bersih yang ditetapkan dalam SK Menkes, tetapi dalam Fardiaz (1992) dikatakan bahwa kadar BOD yang baik untuk air bersih adalah 1-3 mg/L. Untuk mengetahui adanya pengaruh BOD air sungai terhadap BOD air sumur dilakukan uji regresi antara BOD air sungai dengan BOD air sumur terdekat pada beberapa titik sampel. COD (Chemical Oxygen Demand) COD atau kebutuhan oksigen kimia merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam air secara kimia. Sebagai zat pengoksidasi dalam pengujian COD digunakan kalium bikromat sebagai sumber oksigen. COD air sungai menunjukkan nilai 40-60 mg/L (Tabel 1.). Nilai ini melampaui ambang batas yang ditentukan dalam baku mutu kualitas badan air penerima menurut SK Gubernur Jateng No. 660.1/26/1990 yaitu 10 mg/L. Nilai COD yang tinggi menunjukkan tingginya jumlah limbah organik yang 69 harus didegradasi oleh mikroorganisme air. Jika kondisi COD yang tinggi dibiarkan, akan menyebabkan semakin tingginya limbah organik yang harus didegradasi dan akan menghabiskan oksigen terlarut perairan. Pada akhirnya tumbuhan air tidak dapat berfotosintesis, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen perairan. Hasil penelitian terhadap sampel air sumur menunjukkan nilai COD adalah 5-15 mg/L (Tabel 2), belum melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan dalam Fardiaz (1992). Untuk mengetahui adanya pengaruh COD air sungai terhadap COD air sumur dilakukan uji regresi antara COD air sungai dengan COD air sumur terdekat pada beberapa titik sampel. Angka R hitung 0,406 berarti korelasi atau hubungan antara COD air sungai dengan COD air sumur lemah. R square bernilai 0,165, artinya hanya 16,5% pengaruh kualitas air sungai terhadap perubahan COD air sumur. F hitung bernilai 1,184 dengan tingkat signifikansi 0,318, karena jauh lebih besar dari 0,05, maka COD air sungai tidak berpengaruh terhadap COD air sumur. DO (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut atau DO merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan dalam air. Kehidupan makhluk air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan organisme yang ada di dalamnya (Wardhana, 1995). Walaupun kadar oksigen terlarut tidak ditetapkan dalam baku mutu air bersih menurut SK Menkes maupun baku mutu air badan penerima menurut Gubernur Jateng, tetapi dalam Fardiaz (1992) dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut untuk perairan tidak boleh kurang dari 6 mg/L. Kandungan oksigen terlarut sampel air sungai menunjukkan nilai 4-5 mg/L (Tabel 1). Menurut Fardiaz, (1992) penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut dalam air adalah adanya limbah buangan rumah tangga dan limbah buangan industri yang bersifat organik. Limbah tersebut mengkonsumsi oksigen dan merupakan bahan yang mudah dibusukkan oleh bakteri dengan adanya oksigen. Oksigen yang tersedia di dalam air dikonsumsi oleh mikroorganisme aerob yang aktif mendegradasi limbah organik tersebut. Keadaan tersebut menyebabkan matinya tumbuhan air yang tidak dapat lagi melakukan fotosintesis karena tidak ada oksigen. Ikan juga dapat mengalami kematian karena tidak dapat bernapas. Hasil pengamatan terhadap air sumur menunjukkan kandungan oksigen terlarut air sumur sekitar 8-11 mg/L (Tabel 2.), yang berarti masih di atas ambang batas yang ditetapkan dalam Fardiaz (1992). Untuk mengetahui adanya pengaruh DO air sungai terhadap DO air sumur dilakukan uji regresi antara DO air sungai dengan DO air sumur terdekat pada beberapa titik sampel. R hitung adalah 0,335 menunjukkan korelasi atau hubungan antara DO air sungai dengan DO air sumur lemah. R square adalah 0,112 yang artinya hanya 11,2% pengaruh kualitas air sungai terhadap perubahan DO air sumur. Sedangkan F hitung adalah 0,760 dengan tingkat signifikansi 0,417, angka tersebut jauh lebih besar dari 0,05, sehingga DO air sungai tidak berpengaruh terhadap DO air sumur. 70 B i o S M A R T Vol. 7, No. 1, April 2005, hal. 66-71 Derajat keasaman (pH) Asam atau basa suatu larutan dapat dinyatakan oleh nilai pH. Perairan yang baik adalah dapat memenuhi syarat untuk kehidupan dan harus mempunyai pH netral yaitu antara 6,5-7,5. Nilai pH yang netral dapat menyokong kehidupan akuatik yang beraneka ragam dengan baik (Mason, 2002). Hasil pengukuran pH air sungai menunjukkan nilai 5-6 (Tabel 1.), berarti pH air sungai sudah tidak netral dan telah melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan dalam baku mutu badan air penerima menurut SK Gubernur Jateng No. 660.1/26/1990. Penurunan nilai pH perairan menjadi cenderung asam disebabkan oleh pembuangan limbah industri pengolahan makanan yang didalamnya terkandung asam-asam organik ke dalam air sungai. Perubahan pH air sungai dari netral menjadi asam dapat mengganggu kehidupan mikroorganisme dan organisme air lainnya. Hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan yang tercantum pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pH air sumur bernilai sekitar 6-8, hal ini berarti tidak melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan dalam baku mutu air minum menurut SK Menkes No.907/MENKES/SK/VII/2002. Untuk mengetahui adanya pengaruh pH air sungai terhadap pH air sumur dilakukan uji regresi antara pH air sungai dengan pH air sumur terdekat pada 4 titik sampel. Angka R hitung adalah 0,196 yang berarti korelasi atau hubungan antara pH air sungai dengan pH air sumur adalah lemah. R square bernilai 0,38, menunjukkan kualitas air sungai berpengaruh sebesar 38% terhadap pH air sumur. F hitung adalah 0,239 dengan tingkat signifikansi 0,642, angka tersebut jauh lebih besar dari 0,05, sehingga pH air sungai tidak berpengaruh terhadap pH air sumur. Tembaga (Cu) Kegiatan manusia, seperti industri logam dan pertambangan Cu menyebabkan adanya limbah Cu yang apabila dibuang ke sungai mempercepat terjadinya kelarutan Cu dalam badan perairan (Palar, 1994). Untuk badan air penerima kadar tembaga tidak boleh melebihi 0,2 mg/L. Dalam baku mutu air minum ditetapkan bahwa kadar tembaga dalam air sumur tidak boleh melebihi 0,05 mg/L. Jika kadarnya melebihi ambang batas yang ditentukan akan berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya, dan juga berbahaya bagi kehidupan organisme akuatik di dalam badan perairan. Hasil pengukuran kandungan Cu menunjukkan bahwa Cu dalam air sungai maupun air sumur pada 4 titik sampel yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 adalah kurang dari 0,008 mg/L. Hal ini berarti di dalam air sungai dan air sumur terdapat kadar tembaga yang sangat kecil nilainya, dan masih jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan dalam baku mutu air minum menurut SK Menkes No. 907/MENKES/SK/VII/2002 maupun dalam baku mutu badan air penerima menurut SK Gubernur Jateng No. 660.1/26/1990. Air sumur dan air sungai di daerah penelitian masih cukup baik kualitasnya karena kandungan logam berat Cu yang ada di dalamnya masih di bawah nilai ambang batas. Kadar Cu air Sungai Pepe yang nilainya kurang dari 0,008 mg/L memang tidak berbahaya bagi kelangsungan hidup organisme disekitarnya. Jumlah kandungan Cu dalam air Sungai Pepe yang masih sangat rendah harus selalu diwaspadai karena mungkin saja beberapa tahun ke depan di perairan Sungai Pepe dapat terjadi biological magnification, yaitu akumulasi Cu oleh organisme yang tingkatannya lebih tinggi. Nilai R hitung, R Square, F Hitung dan signifikansinya serta koefisien regresi bernilai nol terjadi karena angka (data) pada parameter Cu untuk air sungai maupun air sumur adalah sama, sehingga tidak didapatkan nilai. Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) merupakan logam toksik yang banyak digunakan saat ini. Di alam, Cd biasanya tercampur dengan Pb. Ekstraksi dan pengolahan kedua logam tersebut dapat menyebabkan pencemaran lingkungan oleh Cd. Pencemaran air oleh Cd akan bertambah karena hanya kurang dari 5% Cd yang mengalami daur ulang atau pengolahan terlebih dahulu limbahnya sebelum dibuang ke air (Ganiswarna, 1995). Selain terdapat dalam air buangan industri, Cd dapat ditemukan di daerah-daerah penimbunan sampah dan aliran air hujan. Jumlah Cd yang berlebih dalam air tanah akan membahayakan kesehatan yang mengkonsumsinya. Jika ditemukan berlebih di dalam air akan dapat membunuh biota perairan yang ada didalamnya (Palar, 1994). Dalam baku mutu air minum menurut SK Menkes No.907/MENKES/SK/VII/2002 dikatakan bahwa kandungan Cd tidak boleh melebihi 0,003 mg/L, sedangkan untuk air sungai tidak boleh melebihi 0,01 mg/L. Hasil pengukuran kandungan Cd di laboratorium menunjukkan bahwa kadmium dalam air sungai maupun dalam air sumur pada 4 titik sampel yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2 adalah tidak terdeteksi, artinya tidak ada kandungan Cd di dalamnya, atau jika ada sangat kecil nilainya sehingga peralatan yang ada tidak mampu mengukurnya. Alat yang digunakan dalam analisis Cd mempunyai ketelitian hanya sampai 0,005 ppm, artinya alat tersebut tidak dapat mendeteksi Cd dalam jumlah yang lebih kecil daripada 0,005 ppm. Bakteri koliform Air merupakan media yang baik untuk kehidupan bakteri. Penghitungan bakteri koliform dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya bakteri patogen dalam air sungai maupun air sumur. Pencemaran air tanah oleh bakteri patogen biasanya tercermin dari kandungan bakteri koliform sebagai mikroorganisme indikator. Bakteri koliform hidup secara komensalisme dengan bakteri patogen pada limbah yang berasal dari kotoran hewan maupun kotoran manusia. Kandungan bakteri koliform untuk sampel air sungai sangat tinggi (Tabel 1.). Nilainya melebihi nilai ambang batas yang ditentukan dalam baku mutu badan air penerima menurut SK gubernur Jateng No. 660.1/26/1990. Tingginya jumlah bakteri koliform air sungai dapat disebabkan adanya limbah organik yaitu limbah yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Contohnya limbah yang berasal dari kotoran manusia, bangkai hewan maupun limbah yang dikeluarkan oleh industri pengolahan makanan. PURWANTI dkk. – Kualitas air tanah di sekitar Sungai Pepe Surakarta Baku mutu bakteriologis dalam air bersih ditentukan dengan perkiraan terdekat jumlah bakteri koliform untuk setiap 100 mL air adalah 0. Air sumur di daerah penelitian sudah tercemar oleh bakteri koliform. Dari hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium yang dapat dilihat pada Tabel 2, hanya ada 2 sumur yang jumlah bakteri koliformnya masih di bawah nilai ambang batas yang ditetapkan dalam baku mutu air minum menurut SK Menkes No.907/MENKES/SK/VII/2002, sedangkan sumur-sumur yang lain jumlah bakteri koliformnya sudah melebihi nilai ambang batas. Tingginya jumlah bakteri koliform dalam air sumur dapat disebabkan oleh terlalu dekatnya jarak antara sumur gali yang dipakai sebagai sumber air minum dengan sumur resapan septic tank. Jumlah bakteri koliform yang sudah melampaui ambang batas pada 14 sumur yang ada mengindikasikan air sumur sudah tercemar oleh bakteri patogen. Untuk mengetahui adanya pengaruh bakteri koliform air sungai terhadap bakteri koliform air sumur dilakukan uji regresi antara bakteri koliform air sungai dengan bakteri koliform air sumur terdekat pada beberapa titik sampel. Nilai R hitung menunjukkan 0,268 menunjukkan korelasi atau hubungan antara bakteri koliform air sungai dengan bakteri koliform air sumur lemah. R square bernilai 0,72, artinya 72% perubahan jumlah bakteri koliform air sumur dapat disebabkan oleh kualitas air sungai. Nilai F hitung adalah 0,465 dengan tingkat signifikansi 0,521, nilai tersebut jauh lebih besar dari 0,05, sehingga bakteri koliform air sungai tidak berpengaruh terhadap bakteri koliform air sungai. KESIMPULAN Kualitas air tanah di sumur-sumur penduduk di daerah penelitian dilihat dari parameter suhu, warna, bau, BOD, COD, DO, pH, Cu dan Cd cukup baik, berada di bawah ambang batas yang ditentukan dalam baku mutu air 71 minum, sedangkan berdasarkan kandungan bakteri koliform kualitas air sumur sudah berada di bawah ambang batas baku mutu air minum tahun 2002, hanya ada 2 sumur dari 16 sumur yang kualitasnya cukup baik. Kualitas air Sungai Pepe dilihat dari parameter suhu, warna, bau, BOD, COD, DO, pH, dan jumlah bakteri koliform sudah melebihi ambang batas yang ditentukan dalam baku mutu badan air penerima tahun 1990 kecuali untuk kandungan Cu dan Cd. Berdasarkan analisis regresi yang sudah dilakukan, kualitas air Sungai Pepe tidak mempengaruhi kualitas air sumur penduduk yang ada di sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Alaerts, G dan S. Santika, 1982. Metode Penelitian Air. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Anonim. 2002 Ground Water Quality Contaminant Sources. http://www.epa.gov/seahome/groundwater/src/title.htm. Anonim. 2003. Air Sungai di Solo Tercemar. Semarang: Suara Merdeka. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Bogor: Penerbit IPB. Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press. Mason, C. 2002. Biology of Freshwater Pollution. London: British Education Limited. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Salle, A.J. 1962. Fundamental Principle of Bacteriology. Singapore: McGraw-Hill Book Company. Silalahi, M.D. 1996. Pengetahuan Hukum Sumber Daya Air dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni. Slamet, J.S. 1996. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soemarwoto, O. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan.. Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/26/1990 tentang Baku Mutu Lingkungan. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002. tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Penerbit Rhineka Cipta.