BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup bermasyarakat mempunyai kebutuhan hidup yang beraneka ragam. Kebutuhan hidup tersebut hanya dapat dipenuhi secara wajar bila diadakan hubungan antara satu sama lain. Dalam hubungan tersebut timbul hak dan kewajiban timbal balik yang wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak. Karena terjadi antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain, maka hubungan itu disebut hubungan hukum perdata.1 Setiap orang wajib mentaati atau mematuhi peraturan hukum yang telah ditetapkan. Akan tetapi, dalam hubungan hukum yang terjadi, mungkin timbul suatu keadaan bahwa pihak yang satu tidak memenuhi kewajibannya terhadap pihak yang lain, sehingga pihak yang lain itu dirugikan haknya. Untuk mempertahankan hak dan memenuhi kewajiban seperti yang telah diatur dalam Hukum Perdata, orang tidak boleh bertindak semaunya saja (menghakimi sendiri), melainkan harus berdasarkan peraturan hukum yang telah ditetapkan atau diatur dalam undang-undang. Apalagi bila pihak yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri tuntutannya secara damai dan minta bantuan penyelesaian kepada hakim. Cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan (hakim) diatur dalam Hukum Acara Perdata. 1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 14 1 2 Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. Dalam peraturan Hukum Acara Perdata diatur bagaimana cara pihak yang dirugikan mengajukan perkaranya ke pengadilan, bagaimana cara pihak yang diserang mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara sehingga dapat diselesaikan secara adil, serta bagaimana cara melaksanakan putusan hakim. Dengan demikian, hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Hukum Perdata diperoleh dan dipenuhi sebagaimana mestinya. 2 Syari’at Islam memandang masalah peradilan itu merupakan tugas pokok dalam menegakkan keadilan dan mempunyai kedudukan tinggi dalam penegakan hukum. Keadilan itu sendiri diformulasikan oleh Allah swt. dengan kata adl dan qisth yang mempunyai arti tidak berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. 3 Di Indonesia, meskipun lembaga Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sama dengan lingkungan peradilan lain, tetapi wewenangnya terbatas pada hal yang menyangkut perkawinan, kewarisan, perwakafan, dan shadaqah bagi umat Islam. 4 Adapun ketentuan yang berkenaaan dengan perkawinan itu sendiri, telah diatur dalam peraturan perundangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang 2 Ibid., h. 15 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 1 4 Ibid., h. 3 3 3 dimaksud yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk PP No. 9 tahun 1975. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang menjadi pedoman bagi Hakim di Lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI).5 Baik UUP ataupun KHI telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terwujudnya tujuan perkawinan tersebut sudah barang tentu sangat tergantung pada peran dan tanggung jawab masing-masing pihak yaitu suami dan istri. Oleh sebab itu, perkawinan tidak saja dipandang sebagai media merealisasikan syari’at Allah agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat, tetapi juga merupakan sebuah kontrak perdata yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. 6 Akad perkawinan dalam Islam di samping merupakan perkara perdata, juga termasuk ikatan suci (mitsaqan ghalidzan) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian, ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu, perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (sakinah, mawaddah warrahmah) dapat terwujud. Namun, sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di tengah perjalanan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga 5 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan), (Jakarta: Permata Media, 2007), h. 1 6 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 180 4 dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak. Konsekuensinya ia dapat lepas yang kemudian dapat disebut dengan talak. Makna dasar dari talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian. 7 Dalam kenyataan kehidupan di dunia ini, manusia karena tabiatnya dan karena faktor-faktor lainnya, keadaan kehidupan rumah tangga mereka tidak selalu seperti yang diharapkan, sering suatu rumah tangga terancam kelestariannya. Sebab memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup dalam rumah tangga bukanlah merupakan suatu perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, dan perbedaan pandangan hidup dapat menimbulkan ketidakharmonisan serta dapat mengancam sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Hal inilah yang pada akhirnya mengakibatkan kegagalan dalam melanjutkan kehidupan rumah tangga dan terjadilah sebuah perceraian. Oleh karena itu, maka Allah mensyari’atkan talak sebagai jalan terakhir pemecahan masalah sesudah beberapa jalan lainnya ditempuh dan ternyata tidak menghasilkan suatu pemecahan yang diinginkan, maka pada saat itulah seorang laki-laki diperbolehkan menempuh jalan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah yaitu talak. 8 Dalam sebuah kehidupan rumah tangga tidak selamanya harmonis dan tanpa konflik. Suatu ketika bisa saja suami istri berselisih faham dari persoalan yang kecil sampai pada masalah yang menimbulkan perceraian. Dalam kondisi seperti ini, jika kesalahannya datang dari pihak suami, maka 7 Ibid., h. 206 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Ashabuni, Alih Bahasa: Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2008), h. 1049 8 5 istri berhak untuk meminta cerai dari suaminya. Perceraian atas inisiatif istri disebut Cerai Gugat. Begitu juga sebaliknya, jika kesalahannya datang dari pihak istri, maka suami berhak mengajukan permohonan cerai ke Pengadilan Agama. Perceraian atas inisiatif suami disebut Cerai Talak. 9 Dalam penelitian ini, penulis mengangkat sebuah kasus perceraian yang diajukan oleh pihak suami, atau biasa disebut dengan istilah Cerai Talak. Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan (2) UUP, Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 dan Pasal 115 KHI, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan harus disertai dengan alasannya. Adapun alasan yang diajukan oleh pihak suami/pemohon, yaitu sesuai dengan Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI, adalah terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang dipicu masalah ekonomi karena istri tidak qana’ah (menerima) terhadap nafkah pemberian suami dan puncak dari pertengkaran tersebut, akhirnya istri meninggalkan rumah tempat tinggal bersama tanpa izin dari suami. Namun, alasan tersebut tidak sejalan dengan keterangan yang diberikan oleh saksi dari pihak suami/pemohon dalam persidangan, dan oleh Majelis Hakim dinyatakan tidak terbukti. Berdasarkan bantahan dari istri/termohon sebagaimana dalam jawabannya yang juga sejalan dengan keterangan saksi dari pihak istri/termohon, kejadian yang sebenarnya yaitu istri tidak merasa keberatan terhadap nafkah pemberian suami. Istri qana’ah (menerima) berapapun nafkah 9 A. Agus Salim Ridwan, Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Kedudukan Khulu’ Sebagai Talak, http://222.124.207.202/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-aagussalim4639&q=Imam, (Diakses: Jumat, 2 Maret 2012) 6 pemberian suaminya dan istri pulang ke rumah orang tuanya dengan diantar langsung oleh suaminya dalam rangka untuk melahirkan. Oleh sebab itu, atas dasar kejadian tersebut, maka istri/termohon yang merasa terdholimi bersamaan dengan jawabannya, sekaligus juga mengajukan rekonvensi (Pasal 132 (a) dan (b) HIR 10 jo. Pasal 157 dan 158 RBg).11 Hal ini tidak lain bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan hak-haknya yang telah dilanggar oleh suami/pemohon. Berkaitan dengan rekonvensi tersebut, selanjutnya pihak suami disebut sebagai Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi, dan pihak istri disebut sebagai Termohon Konvensi/Penggugat Rekonvensi. Baik konvensi maupun rekonvensi pada umumnya diselesaikan secara sekaligus dalam satu putusan, dan pertimbangan hukumnya memuat dua hal, yaitu pertimbangan hukum dalam konvensi dan pertimbangan hukum dalam rekonvensi. Adapun dalam putusan konvensi, Majelis Hakim selain mengabulkan permohonan pemohon dan memberi izin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i kepada termohon di depan sidang Pengadilan Agama Pekalongan, juga menghukum pemohon untuk membayar kepada termohon berupa nafkah selama iddah dan mut’ah. Sedangkan dalam putusan rekonvensi, Majelis Hakim hanya mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian dan menyatakan selainnya tidak dapat diterima. 10 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda, yang pada saat itu hanya berlaku untuk orang Indonesia (pribumi) di Jawa dan Madura tetapi sekarang sering diterapkan di tempat lain. 11 RBG (Reglement Buitengewesten), pada zaman kolonial merupakan hukum acara perdata untuk pribumi di luar Jawa dan Madura, sekarang jugaditerapkan di tempat lain. 7 Padahal, alasan yang diajukan oleh pemohon dalam permohonannya tidak terbukti dalam persidangan, namun Majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon. Selain itu, Majelis Hakim juga menentukan tentang nafkah selama iddah dan mut’ah yang tidak terdapat dalam permohonan pemohon. Sebaliknya, dalam gugatan Penggugat Rekonvensi yang mengemukakan alasan penyebab ketidakharmonisan dalam rumah tangga pemohon dan termohon, dan tuntutan mengenai ganti kerugian secara materiil atas perlakuan buruk yang dialami oleh termohon selama berada di rumah orang tua termohon, oleh majelis Hakim dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti sebuah kasus tentang “REKONVENSI DALAM PERKARA PERMOHONAN CERAI TALAK (Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Pekalongan Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA.Pkl). B. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah di atas, maka masalah yang diteliti adalah: 1. Bagaimana latar belakang terjadinya rekonvensi dalam perkara permohonan cerai talak Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA.Pkl? 2. Bagaimana dasar hukum pertimbangan Hakim dalam putusan perkara Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA. Pkl tentang cerai talak? 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui latar belakang terjadinya rekonvensi dalam perkara permohonan cerai talak Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA.Pkl. 2. Mengetahui dasar hukum pertimbangan Hakim dalam putusan perkara Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA. Pkl tentang cerai talak. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum Islam. 2. Menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang hukum Islam khususnya tentang perkara cerai talak di Pengadilan Agama Pekalongan. D. Telaah Pustaka Penelitian tentang kasus perceraian sudah banyak dilakukan, baik itu kasus Cerai Talak ataupun Cerai Gugat. Berikut ini beberapa skripsi dari makasiswa STAIN Pekalongan yang berkaitan dengan kasus tersebut diantaranya yaitu skripsi Saudari Jumailah (NIM: 23103010) yang berjudul Putusan Nafkah Madhiyah dan Kontribusinya Bagi Kelangsungan Hidup Istri (Kasus Cerai Talak No.: 322/Pdt.G/2004/PA.TG di Pengadilan Agama Tegal) tahun 200712 memaparkan bahwa agama mewajibkan suami membelanjai istrinya, oleh karena dengan adanya ikatan perkawinan yang sah itu seorang istri menjadi terikat semata-mata kepada suaminya, dan tertahan sebagai 12 Jumailah, Putusan Nafkah Madhiyah dan Kontribusinya Bagi Kelangsungan Hidup Istri (Kasus Cerai Talak No.: 322/Pdt.G/2004/PA.TG di Pengadilan Agama Tegal), Skripsi STAIN Pekalongan,2007 9 miliknya, karena ia berhak menikmatinya secara terus-menerus. Istri wajib taat kepada suami, tinggal di rumahnya, mengatur rumah tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya bagi suami, berkewajiban memenuhi kebutuhannya, dan memberi belanja kepadanya, selama ikatan suami istri masih berjalan, dan istri tidak durhaka atau karena ada hal-hal lain yang menghalangi penerimaan belanja. Skripsi tersebut mengangkat tentang Putusan Nafkah Madhiyah dan Kontribusinya Bagi Kelangsungan Hidup Istri (Kasus Cerai Talak No.: 322/Pdt.G/2004/PA.TG), dan bertujuan untuk mengetahui putusan terhadap perkara tuntutan nafkah madhiyah dan untuk mengetahui kontribusi nafkah madhiyah terhadap kelangsungan hidup istri. Dari hasil pembahasan skripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat dikabulkannya tuntutan nafkah madhiyah adalah bahwa suami terbukti melalaikan kewajibannya dan istri dalam keadaan tidak nusyuz. Sedangkan kontribusi nafkah madhiyah bagi kelangsungan hidup istri, jika dilihat dari sisi nominal, tidaklah seberapa, karena tanpa adanya nafkah madhiyah pun kelangsungan hidup istri masih tetap berjalan. Tetapi dalam hal ini bertujuan untuk mengobati luka istri. Skripsi Saudari Susinta (NIM: 23106023) yang berjudul Penerapan Hak Ex Officio Hakim tentang Biaya Penghidupan atas Bekas Suami kepada Bekas Istri di Pengadilan Agama Kajen (StudiPutusan PA No.: 1177/Pdt.G/2009/PA.Kjn) tahun 201013 memaparkan bahwa perceraian merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan. 13 Susinta, Penerapan Hak Ex Officio Hakim tentang Biaya Penghidupan atas Bekas Suami kepada Bekas Istri di Pengadilan Agama Kajen (Studi Putusan PA No.: 1177/Pdt.G/2009/PA.Kjn), Skripsi STAIN Pekalongan, 2010 10 Dalam masalah perceraian tidak bisa selesai begitu saja tetapi masih ada akibat hukum yang harus ditanggung oleh suami diantaranya adalah mengenai nafkah. Karena tanggung jawab nafkah suami tidak hanya sewaktu dia menjadi sahnya tetapi suami pun tetap wajib memberikan nafkah pada saat perceraian selama dalam masa iddah. Berdasarkan latar belakang masalah yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah bagaimana penerapan hak ex officio hakim tentang pembebanan biaya penghidupan atas bekas suami kepada bekas istri dan bagaimana dasar hukum hakim dalam menerapkan hak ex officio mengenai pembebanan biaya penghidupan. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui penerapan hak ex officio hakim mengenai pembebanan biaya penghidupan atas bekas suami kepada bekas istri dan untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam menerapkan hak ex officio mengenai pebebanan biaya penghidupan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa PA Kajen dalam menerapkan ex officio mengenai pembebanan biaya penghidupan yang dibebankan oleh suami, maka hakim harus melihat permohonan pemohon dan bukti-bukti dan setelah semuanya jelas maka hakim bisa menerapkan ex officio. Dan dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam menerapkan ex officio adalah perundangundangan dan hukum syara’ baik dari al-qur’an maupun hadits serta pembuktian yang dilakukan oleh pihak yang berperkara. Skripsi Saudari Inayah (NIM: 23106013) yang berjudul Perceraian Dengan Alasan Ketidakcocokan Dalam Rumah Tangga Antara Istri dan Suami di Pengadilan Agama Pekalongan (Studi Kasus Putusan Perkara No. 11 88/Pdt.G/2003/PA.Pkl dan No. 0228/Pdt.G/2009/PA.Pkl) tahun 201114 memaparkan bahwa proses perceraian di Pengadilan Agama Pekalongan telah sesuai dengan hukum acara perdata peradilan yang berlaku. Adapun dasar pertimbangan hakim dalam putusan perkara No. 88/Pdt.G/2003/PA.Pkl yaitu majelis hakim menetapkan jatuh talak satu khulu’ dengan sebab tergugat meminta tebusan uang kepada penggugat jika tetap meminta bercerai. Sedangkan dalam putusan No. 0228/Pdt.G/2009/PA.Pkl majelis hakim menolak gugatan penggugat dengan alasan tidak ada bukti yang mendukung serta saksi-saksi yang diajukan keterangannya tidak mendukung gugatan penggugat. Ini menunjukkan bahwa apabila penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, maka harus disertai bukti yang kuat untuk mendukung dalil gugatannya, sehingga majelis hakim dapat memutuskan sesuai dengan petitum penggugat dan putusan yang seadil-adilnya. Berdasarkan beberapa penelitian yang penulis sebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa belum ada penelitian yang secara spesifik yang membahas tentang kasus cerai talak yang diajukan oleh suami dengan alasan yang tidak terbukti dalam persidangan, dan akhirnya istri yang merasa haknya telah dilanggar oleh suaminya mengajukan rekonvensi. Adapun dalam putusan konvensi, Majelis Hakim mengabulkan semua permohonan pemohon dan menghukum pemohon membayar kepada termohon berupa nafkah selama iddah dan mut’ah. Akan tetapi, dalam putusan rekonvensi Majelis Hakim hanya mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian dan menyatakan 14 Inayah, Perceraian Dengan Alasan Ketidakcocokan Dalam Rumah Tangga Antara Istri dan Suami di Pengadilan Agama Pekalongan (Studi Kasus Putusan Perkara No. 88/Pdt.G/2003/PA.Pkl dan No. 0228/Pdt.G/2009/PA.Pkl), Skripsi STAIN Pekalongan, 2011 12 selainnya tidak dapat diterima. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menelitinya dan yang membedakan penelitian penulis dengan penelitianpenelitian lain yang sudah ada sebelumnya. E. Kerangka Teori Tugas hakim pada dasarnya adalah memberi keputusan dalam setiap perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti: hubungan hukum, nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya. 15 Tugas pokok seorang hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena hakim dianggap tahu hukum, maka ia tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Ia wajib memeriksa dan mengadili perkara, memberi keadilan kepada setiap pencari keadilan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang memerintahkan hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam penjelasan pasal tersebut juga ditentukan bahwa putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. 16 Sebagaimana firman Allah swt.: 15 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 99 Sulaikan Lubis, et al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 186 16 13 ِإ ِإ ﴾٤٢﴿ ني ُّ َو ِإ ْن َو َو ْن َو َو ْن ُك َوَبْنَبَوَب ُك ِإ ْنا ِإ ْن ِإ ۚ ِإ َّ االَّهَو ُكِإُي... ب ااْن ُك ْن ط َو “ ... Dan jika kamu memutuskan perkara, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”. (QS. Al-Maidah: 42) Islam memperkenankan talak guna menolak bahaya yang lebih besar dan demi mendapatkan kemaslahatan yang lebih banyak. Jadi memisahkan antara dua orang yang sedang berselisih itu akan lebih baik, karena sudah terjadi percekcokan yang mendalam. Oleh karena itu, apabila semua jalan untuk menghimpun kembali kehidupan rumah tangga yang harmonis itu sudah tidak bisa, maka satu-satunya jalan adalah bercerai.17 Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyah yang berbunyi: اذا تع رض ضرر ا ضل اخف “Apabila ada dua hal yang sama-sama mengandung madlarat, maka harus dipilih satu diantaranya yang lebih kecil madlaratnya”. Talak adalah suatu tindakan yang menentukan nasib sebuah rumah tangga. Mulai dari suami istri itu sendiri, anak-anak mereka, sampai pada hubungan antara kedua keluarga dari suami istri tersebut yang sudah terjalin erat berkat adanya perkawinan. Hal ini tentulah tidak dapat diputuskan dengan begitu saja. Tetapi harus diperhitungkan masak-masak segala kemungkinan yang akan terjadi, dan baik buruknya dari berbagai segi, sehingga yakin dalam hatinya bahwa talak itu adalah jalan terbaik yang akan mereka tempuh. 18 17 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Op. Cit., h. 245 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan AhlusSunnah dan Negara-negara Islam), (Jakarta: PT. BulanBintang, 2005), h. 264 18 14 Adapun akibat hukum dari cerai talak yang menjadi hak bagi istri/termohon dari suami/pemohon yang menceraikannya yang dijamin menurut Pasal 41 huruf (c) UUP jo. Pasal 80 ayat (4) serta Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI yang wajib dilindungi sebagai Putusan ExOfficio oleh Hakim Peradilan Agama, yaitu: hak mendapatkan nafkah iddah selama masa iddah, hak mendapatkan mut'ah (kenang-kenangan), hak mendapatkan maskan (jaminan tempat tinggal), serta hak mendapatkan kiswah (jaminan pakaian). Termasuk perlindungan untuk mengasuh anaknya yang masih di bawah umur (hak hadlonah) berdasarkan Pasal 105 huruf (a) KHI.19Akan tetapi, hak-hak tersebut dapat gugur apabila istri terbukti nusyuz dalam persidangan.20 Walaupun terdapat ketentuan dalam Pasal 178 HIRjo. Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg., yang menyatakan bahwa: Hakim wajib mengadili segala bagian gugatan, maksudnya yaitu hakim harus mengadili semua petitum, tidak boleh satu pun yang dilupakan, satu persatu harus dipertimbangkan dengan seksama; dan Hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari apa yang dituntut, maksudnya yaitu hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada apa yang diminta. 21 Selain itu, terdapat beberapa asas-asas hukum acara peradilan agama yang mendukung hal tersebut, antara lain: (a) Hakim bersifat menunggu (pasal 19 Agenda/Acara Persidangan Perkara Cerai, http://perkaracerai.blogspot.com/2011-0301/archive.html, (Diakses: Minggu, 29 Januari 2012) 20 Nusyuz adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang istri terhadap kewajibannya yang telah ditetapkan oleh Allah swt. untuk taat kepada suaminya. 21 Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), h. 111-112 15 2 ayat (1) UU No. 14/1970). Inisiatif untuk mengajukan perkara ada pada pihak yang berkepentingan (inde ne proeedat ex officio). Maksudnya, hakim hanya menunggu datangnya perkara, kalau sudah ada tuntutan, maka yang menyelenggarakan proses itu adalah Negara; (b) Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR jo. pasal 142 ayat (1) Rbg). Maksudnya, ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berkepentingan, bukan oleh hakim. 22 Demikian pula dalam teorinya disebutkan bahwa hakim bersifat pasif dalam menangani setiap perkara yang datang padanya. Pertanyaannya, jika hakim menggunakan hak ex officio bukankah dia berbalik menjadi bersifat aktif karena membebankan sesuatu yang tidak diminta dalam petitum tuntutan? Namun, inilah pengecualian yang di dapat hakim dari hak ex officio, karena hakim harus mengeluarkan keputusan yang seadil-adilnya bagi kedua belah pihak yang berperkara. Hakim tidak boleh mengadili lebih dari yang diminta, kecuali undang-undang menentukan lain. Adapun putusan Hakim dilihat dari segi isinya, yaitu: (a) Putusan tidak menerima gugatan penggugat / permohonan pemohon (N.O.); (b) Putusan menolak gugatan penggugat / permohonan pemohon seluruhnya; (c) Putusan mengabulkan gugatan penggugat / permohonan pemohon untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya; (d) Putusan mengabulkan gugatan penggugat / permohonan pemohon seluruhnya.23 22 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 9 23 Sulaikan Lubis, et al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Op. Cit., h. 153-154 16 Dalam hukum acara perdata umum tidak semua putusan perlu dilaksanakan, kecuali putusan yang bersifat condemnatoir, yakni yang bersifat perintah atau penghukuman kepada seseorang atau pihak untuk membayar sejumlah uang atau melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi, dalam praktik hukum acara perdata khusus yakni yang berhubungan dengan masalah penyelesaian persengketaan perkawinan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak hanya putusan yang bersifat condemnatoir saja yang perlu dilaksanakan, tetapi yang bersifat institutif atau declaratoir pun perlu dilaksanakan. Hanya pengertian dari pelaksanaan ini adalah bukan eksekusi, tetapi menindaklanjuti isi putusan tersebut dalam rangka penyelesaian proses perkara di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pelaksanaan putusan Pengadilan merupakan rangkaian terakhir dari proses peradilan. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila telah berkekuatan hukum tetap, artinya asas putusan tersebut sudah tertutup dan sudah tidak ada lagi jalan untuk upaya hukum bagi pihak atau pihak-pihak yang berperkara.24 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu suatu penelitian yang penulis lakukan dengan cara menghimpun data-data 24 Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2003), h. 237 17 dari buku atau dokumen dan perangkat media lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti. 2. Sumber Data a. Sumber Data Primer Sumber data yang berkaitan langsung dengan pembahasan yaitu yang diperoleh dari Salinan Putusan Pengadilan Agama Pekalongan Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA.Pkl. b. Sumber Data Sekunder Sumber data yang mendukung dan berkaitan dengan penelitian ini yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, Al-Qur’an dan Hadits, serta buku-buku dan sumber-sumber lain yang terkait. 3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metodeke pustakaan yaitu dengan cara membaca, memahami, dan menganalisa data-data yang berhubungan dengan penelitian ini. 4. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis yaitu metode penyajian data secara sistematis dengan cara mengumpulkan datadata yang berkaitan dengan penelitian, kemudian data-data tersebut disusun, diolah, dianalisa dan diuraikan untuk memberikan gambaran mengenai permasalahan yang ada. 18 G. Sistematika Pembahasan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab Pertama, Pendahuluan, terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Bab Kedua, Perceraian dan Kewajiban Suami Pasca Perceraian, meliputi: Cerai Talak, Rekonvensi, dan Hak-hak Mantan Istri. Bab Ketiga, Gambaran Umum Pengadilan Agama, meliputi: Sejarah Pengadilan Agama Pekalongan; Fungsi, Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama; Hak dan Kewajiban Hakim Pengadilan Agama. Bab Keempat, Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Pekalongan Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA.Pkl tentang Rekonvensi dalam Perkara Permohonan Cerai Talak, terdiri dari: Latar Belakang Terjadinya Kasus Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA.Pkl tentang Cerai Talak, Putusan Hakim dalam Kasus Cerai Talak Nomor: 0399/Pdt.G/2011/PA.Pkl, dan Analisis Penulis. Bab Kelima, Penutup, terdiri dari: Simpulan dan Saran-saran.