16 BAB II TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF DAN PERILAKU

advertisement
BAB II
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF DAN PERILAKU
MEROKOK REMAJA
A. Karakteristik Remaja
Harold Alberty (Abin Syamsudin Makmun, 2004: 130) menyatakan periode
masa remaja didefinisikan secara umum sebagai bahan suatu periode dalam
perkembangan yang dijalani seorang individu yang terbentang sejak berakhirnya
masa kanak-kanaknya sampai datangnya awal masa dewasa. Konopka (Syamsu
Yusuf, 2006: 3) mengemukakan masa remaja merupakan segmen kehidupan yang
penting dalam siklus perkembangan individu dan merupakan masa transisi (dari
masa anak ke masa dewasa) yang diarahkan kepada perkembangan masa dewasa
yang sehat.
Masa remaja dapat dijalani dengan mulus dan baik, jika remaja melewati
tugas perkembangannya dengan baik pula. Tugas perkembangan masa remaja
(Willis, 2005: 460):
Tugas perkembangan adalah tugas yang timbul pada periode tertentu dalam
kehidupan individu yang jika tugas perkembangan berhasil dipenuhi
menimbulkan kebahagiaan, tetapi sebaliknya jika gagal menimbulkan kesulitan
bagi individu di masa yang akan datang.
Tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu dalam
periode perkembangan remaja diantaranya:
1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. mencapai peran sosial sebagai pria dan wanita;
3. mencapai dan memperluas hubungan antarpribadi yang lebih matang;
16
17
4. menerima keadaan tubuh dan menggunakannya secara efektif;
5. memperoleh kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya;
6. mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
secara ekonomi;
7. memperoleh dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan;
8. mempersiapkan diri untuk perkawinan dan hidup berkeluarga;
9. mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang
diperlukan bagi warga Negara;
10. mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial;
11. memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai petunjuk atau
pembimbing dalam bertingkah laku.
Ciri-ciri yang membedakan masa remaja dengan periode sebelum dan
sesudahnya (Hurlock, 1980: 207), sebagai berikut:
1. Masa remaja sebagai periode yang penting
Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar
kepentingan setiap periode perkembangan tentu saja berbeda-beda. Pada periode
remaja, periode yang terpenting adalah perkembangan fisik. Secara fisik, masa
remaja awal ditandai dengan matangnya organ-organ seksual. Remaja pria
mengalami pertumbuhan pada organ testis, penis, pembuluh mani dan kelenjar
prostat, dan remaja wanita ditandai dengan menstruasi. Perkembangan fisik yang
cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat,
terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan pada masa remaja
18
menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlu membentuk sikap, nilai, dan
minat baru.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah
terjadi sebelumnya, melainkan lebih dari sebuah peralihan dari satu tahap
perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya
akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan
datang. Perlu disadari yang telah terjadi akan meninggalkan bekas dan akan
mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru. Osterrieth (Hurlock, 1980: 207)
mengemukakan struktur psikis remaja berasal dari masa kanak-kanak dan banyak
ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir
masa kanak-kanak.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika
perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga
berlangsung pesat, apabila perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan
perilaku juga akan menurun. Terdapat empat perubahan yang sama dan bersifat
universal, yaitu: 1) meningginya emosi, intensitasnya bergantung pada tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi, meningginya emosi lebih menonjol
pada masa awal periode akhir masa remaja; 2) perubahan tubuh dan minat. Bagi
remaja awal, masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit
diselesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap
19
merasa ditimbun masalah, sampai remaja sendiri menyelesaikan menurut
kepuasannya; 3) dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga
berubah, artinya apa yang pada masa kanak-kanak dianggap penting, sedangkan
ketika masa remaja sudah tidak penting lagi; 4) setiap remaja bersikap ambivalen
terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi
remaja sering takut untuk bertanggung jawab akan akibat dan meragukan
kemampuan yang dimiliki untuk dapat mengatasi tanggungjawabnya.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masalah pada masa remaja seringkali menjadi masalah yang sulit untuk
diselesaikan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan dalam menyelesaikan masalah.
Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan
oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam
mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa dirinya mandiri, sehingga
remaja ingin mengatasi masalahnya sendiri, remaja cenderung menolak bantuan
dari orang tua dan guru. Anna Freud (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan banyak
kegagalan
yang
seringkali
disertai
akibat
yang
tragis,
bukan
karena
ketidakmampuan individu tetapi karena kenyataan akan tuntutan yang diajukan
kepada remaja justru pada saat semua tenaga yang dimiliki remaja telah
dihabiskan untuk mencoba mengatasi masalah pokok yang disebabkan oleh
pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal.
5. Masa remaja sebagai usia mencari identitas
Erikson (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan identitas diri yang dicari
oleh remaja berupa usaha untuk menjelaskan “Siapa dirinya, apa peranannya
20
dalam masyarakat. Apakah seorang anak atau seorang dewasa? Apakah nantinya
dapat menjadi seorang suami atau ayah? Apakah mampu percaya diri sekalipun
latar belakang ras, agama atau nasionalnya membuat beberapa orang yang
merendahkannya? Secara keseluruhan, apakah akan berhasil atau gagal?”
Selanjutnya, Erikson (Hurlock, 1980: 208) menjelaskan bagaimana
pencarian identitas mempengaruhi perilaku remaja.
Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang baru,
para temaja harus memperjuangkan kembali perjuangan tahun-tahun lalu
meskipun untuk melakukannya remaja harus menunjuk secara arifisial orangorang yang baik hati sebagai musuh; dan remaja selalu siap untuk
menempatkan idola remaja sebagai pembimbing dalam mencapai identitas
akhir. Identifikasi yang terjadi dalam bentuk identitas ego adalah lebih dari
sekedar penjumlahan identifikasi masa kanak-kanak.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Majeres (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan banyak anggapan populer
tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak
diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotipe budaya yang menyatakan
remaja adalah anak-anak tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, cenderung
merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus
membimbing dan mengawasi kehidupan remaja bersikap tidak simpatik terhadap
perilaku remaja yang normal. Adanya keyakinan orang dewasa mempunyai
pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa menjadi sulit.
Menurut Anthony (Hurlock, 1980: 208) stereotipe budaya berfungsi sebagai
cermin yang ditegakkan masyarakat, yang menggambarkan citra diri remaja dan
membentuk perilaku remaja.
21
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang
diinginkan, bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita
yang tidak realistik tidak hanya bagi diri remaja sendiri tetapi bagi keluarga dan
teman-teman, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal
masa remaja. Bertambahnya pengalaman pribadi, pengalaman sosial, dan dengan
meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, maka remaja tidak terlampau
mengalami kekecewaan dan memandang kehidupan lebih realistik.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, remaja menjadi
gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan
kesan para remaja sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada
perilaku
yang dihubungkan dengan status dewasa, misalnya merokok,
menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam free sex. Remaja
menganggap hal yang dilakukannya akan memberikan kepuasan yang diinginkan.
Banyak perubahan pada diri remaja sebagai tanda keremajaan, namun
seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan
sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Satu hal yang pasti, konflik yang
dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai
dimensi kehidupan dalam diri remaja.
Beberapa dimensi yang berubah pada saat remaja berkembang sebagai
berikut (Hurlock, 1980: 232):
22
1. Dimensi Biologis
Pada saat seorang remaja memasuki masa pubertas yang ditandai dengan
menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja
putra, secara biologis akan mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas
menjadikan seorang remaja tiba-tiba memiliki kemampuan untuk bereproduksi.
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua
jenis hormon yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follocle
Stimulating Hormone (FSH); dan 2) Kuteinizing Hormone (LH). Pertumbuhan
secara cepat dari hormon-hormon tersebut mengubah sistem biologis seorang
anak. Remaja perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda sistem
reproduksi sudah aktif. Terjadi perubahan fisik seperti payudara mulai
berkembang. Remaja lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot,
dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosteron.
Bentuk fisik remaja akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan
membawa pada dunia remaja.
2. Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja menurut pandangan Jean Piaget,
merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam
tahap pertumbuhan operasi
formal (period of formal operations). Pada periode perkembangan kognitif,
idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan
masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir pada remaja
berkembang
sedemikian
rupa
sehingga
remaja
dengan
mudah
dapat
membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat
23
atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak remaja berkembang
sehingga mampu berpikir multidimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi
menerima informasi apa adanya, tetapi akan memproses informasi serta
mengadaptasikannya
dengan
pemikiran
sendiri.
Remaja
juga
mampu
mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan
menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Kemampuan
operasional formal menyebabkan para remaja mampu mengadaptasikan diri
dengan lingkungan sekitar.
3. Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode ketika seseorang mulai bertanya-tanya
tentang berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar
bagi pembentukan diri remaja. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang
kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada remaja tanpa bantahan. Secara
kritis,
remaja
akan
lebih
banyak
melakukan
pengamatan
keluar
dan
membandingkannya dengan hal-hal yang telah diajarkan dan ditanamkan kepada
diri remaja. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan lain di
luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada
remaja berkembang karena remaja mulai melihat adanya kejanggalan dan
ketidakseimbangan antara yang dipercayai dahulu dengan kenyataan yang ada di
sekitar. Remaja lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir
dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap
“pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima
24
bulat-bulat. Kemungkinan remaja tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang
ditanamkan oleh orang tua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan
yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilainilai tersebut.
4. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, sehingga mood
(suasana hati) remaja bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di
Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (Hurlock, 1994: 237)
menemukan remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari
mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa
memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood yang drastis
pada para remaja seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan
sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Kondisi mood remaja yang mudah
berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau
masalah psikologis.
Karakteristik perkembangan masa remaja ( Syamsu Yusuf, 2000: 193)
sebagai berikut:
1. Perkembangan fisik
Masa remaja merupakan salah satu di antara dua masa rentangan
kehidupan individu. Remaja mengalami pertumbuhan fisik yang sangat pesat.
Dalam perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri, yaitu ciri-ciri
seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Uraian lebih lanjut sebagai berikut:
25
a. Ciri-ciri seks primer
Pada masa remaja pria ditandai dengan pertumbuhan testis, yaitu pada
tahun pertama dan kedua, kemudian tumbuh secara lebih lambat, dan mencapai
ukuran matangnya pada usia 20 atau 21 tahun. Sebenarnya testis telah ada sejak
kelahiran, namun baru 10% dari ukuran matangnya. Setelah testis mulai tumbuh,
penis mulai bertambah panjang, pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin
membesar. Matangnya organ-organ seks memungkinkan remaja pria (sekitar usia
11-15 tahun), untuk pertama kalinya remaja wanita mengalami “menarche”
(menstruasi pertama). Peristiwa “menarche” diikuti oleh menstruasi yang terjadi
dalam interval yang tidak beraturan. Untuk jangka waktu enam bulan sampai satu
tahun atau lebih, ovulasi tidak selalu terjadi. Menstruasi awal sering disertai
dengan sakit kepala, sakit punggung, kadang-kadang kejang, serta merasa lelah,
depresi dan mudah tersinggung.
b. Ciri-ciri seks sekunder
Ciri-ciri atau karakteristik seks sekunder masa remaja, baik pria
maupun wanita adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Karakteristik Seks Sekunder Masa Remaja
Wanita
Pria
1. Tumbuh rambut pubik atau
1. Tumbuh rambut pubik atau
bulu kapok di sekitar
bulu kapok di sekitar
kemaluan dan ketiak.
kemaluan dan ketiak.
2. Bertambah besar buah dada.
2. Terjadi perubahan suara.
3. Bertambah besar pinggul.
3. Tumbuh kumis.
4. Tumbuh gondok laki (jakun).
26
2. Perkembangan kognitif (intelektual)
Ditinjau dari perkembangan kognitif menurut Piaget, masa remaja
sudah mencapai tahap operasi formal (operasi = kegiatan-kegiatan mental tentang
berbagai gagasan). Remaja, secara mental telah dapat berpikir logis tentang
berbagai gagasan abstrak. Berpikir operasi formal lebih bersifat hipotesis dan
abstrak, secara sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada
berpikir konkret.
Keating (Syamsu Yusuf, 2006: 210) merumuskan lima hal pokok yang
berkaitan dengan perkembangan berpikir operasional formal, yaitu sebagai
berikut:
a.
Berlainan dengan cara berpikir anak-anak, tekanan kepada
kesadaran sendiri di sini dan sekarang (here and now), cara berpikir remaja
berkaitan erat dengan dunia kemungkinan (word of possibilities). Remaja sudah
mampu menggunakan abstraksi-abstraksi dan dapat membedakan antara yang
nyata dan konkret dengan yang abstrak dan mungkin.
b.
Melalui kemampuan remaja untuk menguji hipotesis, muncul
kemampuan nalar secara ilmiah.
c.
Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat
perencanaan dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya.
d.
Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang
membuat proses kognitif efisien atau tidak efisien, menghabiskan waktu untuk
mempertimbangkan pengaturan kognitif internal tentang bagaimana dan apa yang
27
harus dipikirkan. Introspeksi (pengujian diri) menjadi bagian kehidupan seharihari.
e.
Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik
baru, dan ekspansi (perluasan) berpikir. Horizon berpikirnya semakin meluas, bisa
meliputi aspek agama, keadilan, moralitas, dan identitas.
Pada periode operasional formal, idealnya remaja sudah memiliki pola
pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan
abstrak. Kemampuan berpikir remaja berkembang sedemikian rupa sehingga
dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah
beserta kemungkinan akibat. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak
berkembang
sehingga
remaja
mampu
berpikir
multidimensi
seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi
akan memproses informasi tersebut serta mengadaptasikannya dengan pemikiran
diri sendiri. Remaja mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan
sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk
masa
depan.
Melalui
kemampuan
operasional
formal,
remaja
mampu
mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar.
Pada kenyataan, remaja masih belum mampu mencapai tahap
perkembangan kognitif operasional formal. Dimensi kognitif remaja masih
tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit. Pola
pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah
dari berbagai dimensi. Akibatnya remaja bertindak atau merespon sebuah masalah
secara instan dan tidak tepat. Remaja cenderung menyelesaikan masalah dengan
28
cara yang salah, bahkan tidak jarang terjerumus pada perilaku menyimpang
(merokok). Dimensi kognitif remaja yang belum berada pada tahap operasional
abstrak mengindikasikan remaja belum terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk
menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. Restrukturisasi kognitif menjadi
sebuah intervensi bimbingan yang akan digunakan dalam penelitian untuk
mengubah kognitif seseorang sebagai sentral dari proses perubahan perilaku
seseorang.
3. Perkembangan emosi
Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang
sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosio-emosional lingkungan, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman
sebaya. Apabila lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya kondusif,
dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling
mempercayai, saling menghargai, dan penuh tanggung jawab, remaja cenderung
dapat
mencapai
kematangan
emosionalnya.
Sebaliknya,
apabila
kurang
dipersiapkan untuk memahami perannya dan kurang mendapat perhatian dari
orang tua atau pengakuan dari teman sebaya, remaja cenderung akan mengalami
kecemasan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional.
Tidak sedikit remaja yang bereaksi secara depensif ketika menghadapi
ketidaknyamanan emosional. Reaksi remaja tampil dalam tingkah laku malasuai
(maladjustment), seperti 1) agresif: melawan keras kepala, bertengkar, berkelahi
dan senang mengganggu; dan 2) melarikan diri dari kenyataan: melamun,
29
pendiam, senang menyendiri, perilaku merokok dan meminum minuman keras
atau obat-obatan terlarang.
Remaja yang berada dalam iklim yang kondusif, cenderung akan
memperoleh perkembangan emosi secara matang (terutama pada masa remaja
akhir). Kematangan emosi ditandai oleh: (1) adekuasi emosi: cinta kasih, simpati,
altruis (senang menolong orang lain), respek (sikap hormat atau menghargai orang
lain), dan ramah; (2) mengendalikan emosi: tidak mudah tersinggung, tidak
agresif, bersikap optimis dan tidak pesimis (putus asa), dan dapat menghadapi
situasi frustrasi secara wajar.
4. Perkembangan sosial
Masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk
memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu unik, baik
menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya sehingga
remaja mampu menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebaya,
baik melalui persahabatan maupun percintaan (pacaran).
Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai “kemampuan untuk
mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi”. Remaja
dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial, baik dalam lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Terkait dengan masalah hubungan sosial, terdapat beberapa perilaku
menyimpang (maladjustment). Salah satu masalah yang terjadi adalah perilaku
merokok yang disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan hubungan sosial,
yang muncul dalam bentuk hubungan yang tidak tepat.
30
5. Perkembangan moral
Melalui pengalaman atau interaksi sosial dengan orangtua, guru, teman
sebaya, atau orang dewasa, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika
dibandingkan dengan usia anak. Remaja sudah mengenal nilai-nilai moral atau
konsep-konsep
moralitas,
seperti
kejujuran,
keadilan,
kesopanan,
dan
kedisiplinan.
Pada perkembangan moral muncul dorongan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku
bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisik, tetapi psikologis (rasa puas dengan
adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).
6. Perkembangan kepribadian
Kepribadian merupakan sistem yang dinamis dari sifat, sikap dan
kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respons individu yang beragam
(Pikunas, 1976: 21). Sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan fisik,
seksual, emosional, sosial, kognitif, dan nilai-nilai.
Fase remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan
dan integrasi kepribadian. Faktor-faktor dan pengalaman baru yang tampak
terjadinya perubahan kepribadian pada masa remaja, meliputi (1) perolehan
pertumbuhan fisik yang menyerupai masa remaja, meliputi (2) kematangan
seksual yang disertai dengan dorongan-dorongan dan emosi baru; (3) kesadaran
terhadap diri sendiri, keinginan untuk mengarahkan diri dan mengevaluasi
kembali tentang standar (norma), tujuan, dan cita-cita; (4) kebutuhan akan
persahabatan yang bersifat heteroseksual, berteman dengan pria atau wanita; dan
31
(5) munculnya konflik sebagai dampak dari masa transisi antara masa anak dan
masa dewasa.
7. Perkembangan kesadaran beragama
Kepercayaan kepada Tuhan pada diri remaja kadang-kadang sangat
kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadah
yang terkadang rajin dan terkadang malas. Penghayatan rohani cenderung skeptik
(was-was) sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan
berbagai kegiatan ritual (seperti ibadah shalat) yang selama ini dilakukan dengan
penuh kepatuhan.
Goncangan dalam keagamaan muncul disebabkan oleh faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan matangnya organ seks yang
mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seks; tetapi di sisi lain mengetahui
perbuatannya dilarang agama. Faktor internal lainnya adalah bersifat psikologis,
yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak ingin terikat oleh normanorma keluarga (orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami
dan mendekati secara baik, bahkan dengan bersikap keras, maka sikapnya akan
muncul dalam bentuk tingkah laku negatif (negativisme), seperti membandel,
oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.
B. Konsep Perilaku Merokok
1.
Pengertian Perilaku Merokok
Perilaku merokok terbagi dalam dua kata yaitu perilaku dan merokok.
Adapun pengertian dari perilaku menurut Sarwono (1993: 23) adalah sesuatu yang
32
dilakukan oleh individu satu dengan individu lain dan sesuatu bersifat nyata.
Menurut Morgan (Nasution, 2007: 46) perilaku sebagai sesuatu yang konkrit yang
dapat diobservasi, direkam maupun dipelajari.
Chaplin (1997: 11) memberikan pengertian perilaku dalam dua arti. Pertama
perilaku dalam arti luas didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dialami
seseorang. Pengertian yang kedua, perilaku didefinisikan dalam arti sempit yaitu
segala sesuatu yang mencakup reaksi yang dapat diamati.
Skinner (Arifin, 2008: 43), mengemukakan perilaku merupakan hasil
hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon). Respon
dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.
Respon tanpa sadar/reflek atau reflexive response, adalah respon yang
ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Rangsangan disebut
electing stimuli karena respon-respon yang relatif tetap, misalnya makanan
lezat menimbulkan keluarnya air liur, sinar matahari membuat mata tertutup.
Rangsangan mendahului respon yang ditimbulkan.
b.
Operan respon atau instrumental response, adalah respon yang timbul dan
berkembang diikuti oleh perangsangan tertentu. Perangsangan disebut
reinforcing stimuli atau reinforce karena perangsangan tersebut memperkuat
respon yang telah dilakukan. Oleh karena itu perangsangan mengikuti atau
memperkuat suatu perilaku tertentu yang telah dilakukan. Apabila seorang
anak rajin belajar atau setelah melakukan sesuatu perbuatan memperoleh
hadiah, maka akan
menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik lagi
33
melakukan perbuatan tersebut, dengan kata lain responnya akan lebih intensif
atau lebih kuat lagi.
Menurut Notoatmodjo (Arifin, 2008:72), yang dimaksud dengan perilaku
adalah suatu respon organisme terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut,
respon organisme dapat berbentuk dua macam, yakni: (1) bentuk pasif adalah
respon internal, yaitu terjadi di dalam diri individu dan tidak dapat langsung
dilihat oleh orang lain, seperti berpikir, tanggapan atau sikap batin, dan
pengetahuan. Perilaku remaja masih terselubung yang disebut covert behavior, (2)
bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung.
Perilaku sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata yang disebut over behavior.
Soekidjo (Arifin, 2008: 42) memaparkan perilaku terbentuk dari tiga faktor,
yaitu:
a.
Faktor predisposisi, merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang
menjadi dasar motivasi bagi perilaku. Jenis-jenis faktor predisposisi adalah
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai.
b.
Faktor pemungkin, adalah faktor anteseden terhadap perilaku memungkinkan
suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Faktor pemungkin terwujud dalam
lingkungan fisik, terseda atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana
kesehatan, misalnya: puskesmas.
c.
Faktor penguat, merupakan faktor penyerta yang datang sesudah perilaku,
memberikan ganjaran intensif atau hukuman atas perilaku dan berperan
sebagai menetap atau lenyapnya perilaku tersebut, termasuk dalam faktor
34
penguat adalah manfaat sosial, jasmani, ganjaran nyata ataupun tidak nyata
yang diterima oleh pihak lain (vicarious rewards).
Etiologi tumbuh-kembangnya perilaku pada manusia mengandung tiga
unsur, yang masing-masing unsur berada pada tahap berurutan: (1) motivating
state yaitu perilaku itu terjadi karena terangsang stimulasi atau sekresi hormonal
dalam diri manusia, (2) motivating behavior yaitu perilaku terjadi semata untuk
memenuhi kepuasan kebutuhan dan bersifat instrumental (sadar atau tidak sadar),
(3) satisfied condition yaitu agar terpenuhi homeostatis (Makmun, 2003: 15).
Jadi, perilaku merokok adalah aktivitas atau sesuatu yang dilakukan oleh
seorang
individu
berupa
membakar,
menghisap
atau
menghirup
dan
menghembuskan kembali asap tembakau keluar dengan menggunakan pipa atau
rokok.
2.
Tipe-Tipe Perokok
Menurut Silvan Tomkins (Bambang, 2006: 6) terdapat empat tipe perokok
berdasarkan management of affect theory, keempat tipe tersebut adalah:
a.
Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Seorang perokok dapat
merasakan penambahan rasa yang positif. Green (Psychological Factor in
Smoking, 1978: 76) menambahkan ada tiga subtipe:
1. Pleasure relaxation , perilaku merokok hanya untuk menambah atau
meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah
minum kopi atau makan.
35
2. Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan
sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
3. Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan
memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan
menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan
untuk menghisapnya hanya dibutuhkan waktu hanya beberapa menit. Atau
perokok lebih senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan
jari-jarinya lama sebelum menyalakan dengan api.
b.
Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang
yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila
marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat. Seseorang
menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari
perasaan yang lebih tidak enak.
c.
Perilaku merokok yang adiktif, oleh Green disebut sebagai psychological
addiction. Seseorang yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang
digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.
Perokok umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau tengah
malam sekalipun, karena khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap saat
menginginkannya.
d.
Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Perokok menggunakan
rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan, tetapi karena
benar-benar sudah menjadi kebiasaannya rutin. Pada orang-orang tipe
merokok yang sudah menjadi kebiasaan, merokok merupakan suatu perilaku
36
yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari.
Perokok menghidupkan api rokoknya bila rokok yang terdahulu telah benarbenar habis.
Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku merokok. Berdasarkan
tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, Mu’tadin (2002: 46)
menggolongkan tipe perilaku merokok menjadi:
a.
Merokok di tempat-tempat umum, terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
kelompok homogen (sama-sama perokok), secara bergerombol mereka
menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih menghargai orang lain,
perokok menempatkan diri di smoking area dan kelompok yang heterogen
(merokok di tengah orang-orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang
jompo dan orang sakit).
b.
Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi seperti kantor atau di kamar
tidur pribadi. Perokok memilih tempat-tempat pribadi yang sebagai tempat
merokok digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri,
penuh rasa gelisah dan mencekam. Toilet pun tak jarang dijadikan sebagai
tempat untuk merokok. Perokok dapat digolongkan sebagai orang yang suka
berfantasi.
3.
Tahapan dalam Merokok
Leventhal & Clearly (Komalasari & Helmi, 2000: 56) menyebutkan empat
tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu:
37
a.
Tahap preparatory, seseorang mendapat gambaran yang menyenangkan
tentang merokok dengan cara mendengar, melihat atau dari hasil bacaan
untuk menimbulkan minat merokok.
b.
Tahap initiation, tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan
meneruskan atau tidak terhadap perilaku merokok.
c.
Tahap becoming a smoker, apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok
sebanyak empat batang perhari maka mempunyai kecenderungan menjadi
perokok.
d.
Tahap maintenance of smoking, merokok sudah menjadi salah satu bagian
dari cara pengaturan diri (self regulating). Merokok dilakukan untuk
memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
4.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok
Laventhal & Dhuyvettere (Smet, 1994: 24)Perilaku merokok merupakan
perilaku yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi masih banyak orang yang
melakukannya. Orang mulai merokok ketika masih remaja. Sejumlah studi
menegaskan sebanyak 85%-95% perokok mulai merokok sebelum usia 18 tahun.
Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab
mengapa seseorang merokok. Menurut Levy (1984:56) setiap individu
mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan
tujuan seseorang merokok. Pendapat tersebut didukung oleh Smet (1994: 87) yang
38
menyatakan seseorang merokok karena faktor-faktor socio cultural seperti
kebiasaan budaya, kelas sosial, gengsi, dan tingkat pendidikan.
Faktor dari dalam diri remaja dapat dilihat dari kajian perkembangan
remaja. Remaja mulai merokok dikatakan oleh Erikson (Komalasari & Helmi,
2000: 17) berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada
masa perkembangannya yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati dirinya.
Masa remaja dilukiskan sebagai masa badai dan topan karena ketidaksesuaian
antara perkembangan psikis dan sosial. Tidak semua dapat berjalan sesuai dengan
harapan masyarakat ketika remaja melakukan upaya-upaya untuk menemukan jati
diri. Merokok menjadi suatu cara agar remaja tampak bebas dan dewasa saat
remaja menyesuaikan diri dengan teman sebayanya. Istirahat, santai dan
kesenangan, penampilan diri, rasa ingin tahu, rasa bosan, sikap menentang dan
stres mengkontribusi remaja untuk mulai merokok. Rasa rendah diri, hubungan
interpersonal yang kurang baik, putus sekolah, sosial ekonomi yang rendah dan
tingkat pendidikan orang tua yang rendah serta tahun-tahun pertama transisi
antara sekolah dasar dan sekolah menengah juga menjadi faktor resiko yang
mendorong remaja mulai merokok.
Mu’tadin (2002: 14) mengemukakan alasan mengapa remaja merokok,
antara lain:
a.
Pengaruh Orang Tua
Remaja yang berasal dari keluarga konservatif akan lebih sulit untuk terlibat
dengan rokok maupun obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang permisif,
dan yang paling kuat pengaruhnya adalah bila orang tua sendiri menjadi figur
39
contoh yaitu perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin sekali untuk
mencontohnya. Perilaku merokok lebih banyak didapati pada seseorang yang
tinggal dengan satu orang tua (single parent). Remaja berperilaku merokok
apabila ibu para remaja merokok daripada ayah yang merokok.
b.
Pengaruh Teman
Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak remaja merokok maka
semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian
sebaliknya. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, pertama
remaja
terpengaruh oleh teman-teman atau sebaliknya. Diantara remaja perokok terdapat
87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu
pula dengan remaja non perokok.
c.
Faktor Kepribadian
Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin
melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan.
Satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan
(termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Ariyadin (2009: 54) menyatakan orang
yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih menjadi
perokok dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah.
d.
Pengaruh Iklan
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran
perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali
terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.
40
Laventhal & Clearly (Nasution, 2007: 17) menyatakan faktor seseorang
merokok terbagi menjadi dua faktor utama, yaitu:
a.
Faktor Psikologis
1) Kebiasaan
Perilaku merokok menjadi sebuah perilaku yang harus tetap dilakukan
tanpa adanya motif yang bersifat negatif ataupun positif. Seseorang merokok
hanya untuk meneruskan perilakunya tanpa tujuan tertentu.
2) Reaksi emosi yang positif
Merokok digunakan untuk menghasilkan emosi yang positif, misalnya
rasa senang, relaksasi, dan kenikmatan rasa. Merokok juga dapat menunjukkan
kejantanan (kebanggan diri) dan menunjukkan kedewasaan.
3) Reaksi untuk penurunan emosi
Merokok ditujukan untuk mengurangi rasa tegang, kecemasan, ataupun
kecemasan yang timbul karena adanya interaksi dengan orang lain.
4) Alasan sosial
Merokok dutujukan untuk mengikuti kebiasaan kelompok (umumnya
pada remaja dan anak-anak), identifikasi dengan perokok lain, dan untuk
menentukan image diri seseorang. Merokok pada anak-anak juga dapat
disebabkan adanya paksaan dari teman-temannya.
5) Kecanduan atau ketagihan
Seseorang merokok karena mengaku telah mengalami kecanduan.
Kecanduan terjadi karena adanya nikotin yang terkandung di dalam rokok.
41
Semula hanya mencoba-coba rokok, tetapi akhirnya tidak dapat menghentikan
perilaku tersebut karena kebutuhan tubuh akan nikotin.
b.
Faktor Biologis
Faktor biologis menekankan kandungan nikotin yang ada di dalam rokok
yang dapat mempengaruhi ketergantungan seseorang pada rokok secara biologis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi remaja merokok menurut Silvan
Tomkins (Bambang, 2006: 8), yaitu:
a.
Faktor psikososial
Aspek perkembangan sosial remaja antara lain: menetapkan kebebasan
dan otonomi, membentuk identitas diri dan penyesuaian perubahan psikososial
berhubungan dengan maturasi fisik. Merokok mejadi sebuah cara agar remaja
tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
Istirahat, santai dan kesenangan, penampilan diri, rasa ingin tahu, rasa bosan,
sikap menentang dan stres mengkontribusi remaja untuk mulai merokok. Rasa
rendah diri, hubungan
interpersonal yang kurang baik, putus sekolah, sosial
ekonomi yang rendah dan tingkat pendidikan orangtua yang rendah serta tahuntahun pertama transisi sekolah dasar dan sekolah menengah juga menjadi faktor
resiko yang mendorong remaja mulai merokok.
b.
Faktor psikiatrik
Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok
dengan
gangguan
psikiatrik
seperti
skizofrenia,
depresi,
cemas
dan
penyalahgunaan zat-zat tertentu. Pada remaja, didapatkan asosiasi antara merokok
dengan depresi dan cemas. Gejala depresi lebih sering pada remaja perokok
42
daripada bukan perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian
depresi mayor dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja dengan gangguan
cemas menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang sedang
dialami.
c.
Faktor kognitif
Kesulitan untuk menghentikan perilaku merokok akibat dari kecanduan
nikotin disebabkan karena perokok merasakan efek bermanfaat dari nikotin.
Beberapa perokok dewasa mengungkapkan merokok dapat memperbaiki
konsentrasi. Studi yang dilakukan pada dewasa perokok dan bukan perokok,
memperlihatkan nikotin dapat meningkatkan finger tapping rate, respon motorik
dalam tes fokus perhatian, dan pengenalan memori.
d.
Faktor lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau
antara lain orangtua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok.
Selain itu juga karena paparan iklan rokok di media. Orangtua memegang peranan
penting dalam pembentukan perilaku merokok remaja. Sebuah studi terhadap
siswa SMA didapatkan prediktor bermakna dalam peralihan dari kadang-kadang
merokok menjadi merokok secara teratur adalah orangtua perokok dan konflik
keluarga.
Gejala yang mungkin timbul pada saat pertama kali remaja mengkonsumsi
rokok adalah batuk-batuk, lidah terasa getir dan perut terasa mual. Sebagian besar
remaja mengabaikan perasaan yang dirasakan kemudian berlanjut menjadi
kebiasaan dan akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan dipersepsikan
43
sebagai kenikmatan yang akan memberikan kepuasan psikologis. Gejala
ketergantungan sering disebut tobacco dependency, artinya perilaku merokok
merupakan perilaku yang menyenangkan dan bergeser menjadi aktivitas yang
obsesif. Secara manusiawi, manusia cenderung menghindari ketidakseimbangan
dan lebih senang mempertahankan sesuatu yang selama ini dirasakan sebagai
kenikmatan sehingga dapat dipahami jika para perokok sulit untuk berhenti
merokok. Perokok berpandangan dengan merokok dapat mengurangi ketegangan,
memudahkan berkonsentrasi, pengalaman yang menyenangkan dan relaksasi.
5.
Dampak Perilaku Merokok
a.
Dampak Positif
Merokok menimbulkan dampak positif yang sangat sedikit. Graham
(Ogden, 2000: 65) menyatakan perokok menyebutkan dengan merokok dapat
menghasilkan “mood positif” dan dapat membantu individu menghadapi keadaankeadaan yang sulit.
Smet (1994: 47) menyebutkan keuntungan merokok (terutama bagi
perokok) yaitu mengurangi ketegangan, membantu berkonsentrasi, dukungan
sosial dan menyenangkan.
b.
Dampak Negatif
Sheridan & Rachmacher (Astuti, 2007: 43) mengemukakan merokok
merupakan masalah kesehatan masyarakat karena dapat menimbulkan berbagai
penyakit. Rokok dan berbagai produk tembakau lainnya bersifat adkitif. Sifat
adiktif dikarenakan adanya nikotin yang hanya terkandung dalam tembakau.
44
Nikotin adalah zat psikoaktif yang bersifat adiktif yang dapat menimbulkan adiksi
dengan cara yang sama dengan substansi lain seperti kokain dan heroin.
Merokok memberikan konsekuensi yang signifikan baik terhadap kesehatan
fisik, psikologis serta ekonomis. Dampak merokok terhadap kesehatan telah
diketahui secara luas. Merokok berakibat terhadap 25% kematian akibat penyakit
jantung koroner, 80% kasus penyakit saluran pernafasan kronis, 90% kematian
akibat kanker paru, serta memiliki kontribusi terhadap berkembangnya kanker
laring, mulut, dan pankreas, serta kanker paru pada perokok pasif. Perokok pasif
yang tinggal bersama perokok memiliki resiko tinggi terkena penyakit kronis
(Astuti, 2007: 89).
Tomkins (Nasution, 2007: 35) secara psikologis merokok sering dianggap
sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan emosi positif, menimbulkan efek
relaksasi, menghilangkan kecemasan, menumbuhkan ketergantungan psikologis
untuk mengatur keadaan emosinya. Terdapat keuntungan psikologis yang
dirasakan, tetapi cara-cara ini bukanlah cara yang adaptif untuk pengatasan
masalah. Keuntungan psikologis yang diperoleh tidak sebanding dengan resiko
kesehatan fisik yang akan dialami karena biaya kesehatan yang harus dikeluarkan
untuk membeli rokok itu sendiri. Merokok juga terkait dengan munculnya
kebiasaan-kebiasaan yang tidak menguntungkan bagi kesehatan, seperti konsumsi
obat-obat terlarang, minuman beralkohol, serta berkurangnya aktivitas fisik
sebagai pengisi waktu luang (Astuti, 2007: 64).
Inisiasi merokok pada usia-usia awal lebih berbahaya daripada penggunaan
awal pada usia-usia yang lebih tua karena pada umumnya akan menjadi prediktor
45
bagi sejumlah masalah pada remaja seperti putus sekolah, perilaku seks tidak
sehat, dan delinkuensi. Steinberg (Astuti, 2007: 52) merokok merupakan pintu
gerbang
pertama
untuk
penyalahgunaan
obat-obatan.
Sejumlah
studi
menunjukkan merokok berhubungan dengan penggunaan alkohol dan obat-obatan
(Sequera dkk, 2004: 32).
Peneliti dari Neuropsychiatric Institute at the University of California,
Amerika Serikat, menemukan baik jumlah dan tingkat kepadatan sel yang
digunakan untuk berpikir jauh lebih rendah pada orang yang merokok
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Jumlah dan kepadatan sel
mempengaruhi daya ingat. Begitu juga dengan kepadatan sel. Semakin padat,
semakin kuat daya ingat. Hasil penelitian yang menunjukkan tingkat kepadatan sel
berkurang, mempunyai impilkasi daya ingat perokok tersebut menjadi berkurang,
merupakan efek kronis akibat merokok (Trim, 2006: 14).
6.
Perilaku Merokok yang Dipelajari (Learned Behavior)
Konseling kognitif perilaku didasari oleh teori pembelajaran sosial. Banyak
ahli yang meyakini seorang individu mulai merokok karena memang individu
mempelajari perilaku merokok dari lingkungan (orangtua, teman sebaya, dan iklan
rokok). Dedi H. Hafidz (2010: 144-145) menyatakan beberapa cara individu
mempelajari perilaku merokok adalah dengan melakukan peniruan terhadap orang
lain (modeling), pengkondisian operan (operant conditioning), dan pengkondisian
klasik (classical conditioning).
46
a. Modelling. Orang mempelajari keterampilan yang baru dengan
memperlihatkan atau melihat orang lain kemudian mencobanya sendiri.
Contohnya anak-anak yang mempelajari bahasa dari orangtuanya
dengan cara mendengarkan dan mengikuti apa yang diucapkan oleh
orangtuanya. Cara yang sama juga berlaku kepada kasus perilaku
merokok. Remaja melihat orangtua atau teman sebayanya merokok,
maka individu akan mencoba menghadapi permasalahan hidupnya
dengan cara merokok.
b. Pengkondisian Operan (Operant Conditioning). Binatang yang biasa
digunakan untuk percobaan di laboratorium akan berusaha untuk
mendapatkan zat yang biasa disalahgunakan atau dikonsumsi oleh
manusia (rokok) karena individu pernah merasakan kandungan zat yang
ada di dalam sebatang rokok dapat membuat individu merasa senang,
itulah yang dinamakan dengan pemberian motivasi atau dorongan
kepada diri sendiri (reinforcing). Konsumsi rokok juga dapat dipandang
sebagai
perilaku yang pelaksanaannya didorong oleh dampak dari
rokok sendiri. Dampak positif yang ditimbulkan rokok seperti efek
relaksasi, dapat menimbulkan kenikmatan, dan dapat menimbulkan
ketergantungan psikologis untuk mengatur keadaan emosi remaja.
Pandangan tentang dampak positif dan negatif dari konsumsi rokok
sangat berbeda dari orang yang satu ke orang lain. Penting bagi konselor
untuk memahami remaja mengkonsumsi rokok untuk alasan penting dan
khusus.
47
c. Pengkondisian Klasik (Classical Conditioning). Pavlov membuktikan
seringkali beberapa pasang stumulus (contohnya berderingnya bel)
dengan
yang
lainnya
(contohnya
munculnya
makanan)
dapat
memunculkan sebuah respon yang dapat dipercaya (contohnya seekor
anjing kemudian mengeluarkan air liur). Perilaku merokok dipasangkan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan jumlah rokok yang dikonsumsi,
waktu merokok (aktivitas dan waktu yang dihabiskan untuk merokok),
tempat (tempat umum homogen, tempat umum heterogen, dan tempat
pribadi), jenis rokok (berdasarkan rasa, bahan baku, dan filter), dan
pengaruh psikologis yang melatarbelakangi perilaku merokok.
Timothy (Costa e Silva, 2004: 24) mengemukakan perilaku merokok dapat
dikatagorikan ke dalam tiga kategori berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi
setiap hari. Berikut kategori perilaku merokok berdasar jumlah rokok:
1. Kategori tinggi
: apabila perokok mengkonsumsi 2-8 batang rokok
setiap hari.
2. Kategori sedang : apabila perokok mengkonsumsi 9-15 batang rokok
setiap hari.
3. Kategori rendah : apabila perokok mengkonsumsi lebih dari 15
batang setiap hari.
Pengklasifikasian perilaku merokok juga dapat dilihat dari tempat orang
merokok menurut Bambang Trim (2006: 15):
48
1. Merokok di tempat umum atau ruang publik
a) Kelompok homogen, (sama-sama perokok), secara bersama-sama
menikmati rokok. Umumnya perokok yang menempatkan diri di
smoking area dapat dikatakan masih menghargai orang lain.
b) Kelompok heterogen (merokok di tengah orang lain yang tidak
merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dll). Perokok
tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis, dan
tidak memiliki tata karma. Bertindak kurang terpuji dan kurang
sopan.
2. Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi
a) Di kantor atau di kamar tidur pribadi. Perokok digolongkan sebagai
individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa
gelisah yang mencekam.
b) Di toilet, perokok dapat digolongkan sebagai orang yang suka
berfantasi.
Tingkat perilaku merokok pada seseorang dapat dilihat pada waktuwaktu merokok seseorang. Waktu merokok adalah saat-saat dimana seseorang
biasa melaksanakan kegiatan merokok dalam aktivitas keseharian seseorang
(Costa e Silva, 2004: 45). Waktu merokok dapat dibagi menjadi: pagi hari, sore
hari, bangun tidur, saat senggang atau sedang tidak ada pekerjaan, sedang
mengamen, buang air besat/kecil, setelah makan. Semakin sering dan intens
seseorang merokok pada waktu-waktu tersebut maka semakin menunjukkan
seseorang adalah perokok berat, pasalnya semakin sering rokok hadir pada seitap
49
kegiatan keseharian seseorang membuktikan kegiatan merokok sudah menjadi
rutinitas bagi individu.
C. Layanan Bimbingan untuk Mereduksi Perilaku Merokok pada Remaja
Melalui Penggunaan Teknik Restrukturisasi Kognitif
1. Konsep Bimbingan dan Konseling
a. Pengertian Bimbingan
Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang mengandung
beberapa makna. Sertzer & Stone (Syamsu Yusuf, 2009: 38) menemukan
guidance berasal dari kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or
steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Sedangkan
menurut W.S. Winkel (Syamsu Yusuf, 2009: 38) mengemukakan guidance
mempunyai hubungan dengan guiding: “showing a way” (menunjukkan jalan),
leading (memimpin), conducting (menuntun), giving instructions (memberikan
petunjuk), regulating (mengatur), governing (mengarahkan), dan giving advice
(memberikan nasehat).
Penggunaan istilah bimbingan seperti yang telah dikemukakan tampaknya
proses bimbingan lebih menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Proses
bimbingan yang menekankan kepada pihak pembimbing tentu saja tidak sesuai
dengan arah perkembangan dewasa, konseli yang dianggap lebih memiliki
peranan penting dan aktif dalam proses pengambilan keputusan serta bertanggung
jawab sepenuhnya terhadap keputusan yang diambil.
50
Pengertian bimbingan yang dikemukakan pendapat dari beberapa ahli,
sebagai berikut:
1) Peters dan Shertzeer (Sofyan S. Willis, 2005: 16) mendefinisikan
bimbingan sebagai the process of helping the individual to understand himself and
his world so that he can utilize his potentialities. Artinya bimbingan merupakan
suatu proses bantuan kepada individu untuk memahami dirinya sendiri dan dunia
sehingga individu dapat menggunakan kemampuan diri.
2) United States Office of Education (Sofyan S. Willis, 2005: 16)
memberikan rumusan bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk
memberikan bantuan secara sistematis kepada peserta didik dalam membuat
penyesuaian diri terhadap berbagai bentuk problema yang dihadapi, misalnya
problema
kependidikan,
jabatan,
kesehatan,
sosial
dan
pribadi.
Pada
pelaksanaannya bimbingan harus mengarahkan kegiatan agar peserta didik
mengetahui tentang diri pribadi sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
3) Jones et.al (Sofyan S. Willis, 2005: 21) mengemukakan: “guidance is
the help given by one person to another in making choice and adjustment and in
solving problem”. Artinya bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain dalam membuat pilihan dan peraturan dan dalam
memecahkan masalah.
4) Djumhur dan Moh. Surya, (Sofyan S. Willis, 2005: 21) berpendapat
bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan
sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi, supaya
51
tercapai kemampuan untuk dapat memahami diri (self understanding),
kemampuan untuk menerima diri (self acceptance), kemampuan untuk
mengarahkan diri (self direction), dan kemampuan untuk merealisasikan diri (self
realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai
penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
5) Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah dikemukakan “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada
peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan
merencanakan masa depan”.
6) Prayitno, dkk. (2003: 14) mengemukakan bimbingan dan konseling
adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun
kelompok supaya mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan
pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir, melalui
berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang
berlaku.
Beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli masih terlihat
beragam, namun dapat ditarik kesimpulan bimbingan merupakan suatu upaya
dalam pemberian bantuan kepada individu atau peserta didik. Bantuan yang
dimaksud adalah bantuan yang bersifat psikologis dengan tujuan supaya
tercapainya penyesuaian diri, perkembangan optimal dan kemandirian individu
yang mendapatkan bimbingan.
52
b. Tujuan Bimbingan
Tujuan pelayanan bimbingan (Kartadinata dkk, 2008: 198-200) adalah
supaya
konseli
dapat:
(1)
merencanakan
kegiatan
penyelesaian
studi,
perkembangan karir serta kehidupan di masa yang akan datang; (2)
mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki secara optimal; (3)
menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta
lingkungan kerja; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam
studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun
lingkungan kerja.
Konseli harus mendapat kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami
potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangan, (2) mengenal dan memahami
potensi atau peluang yang ada di lingkungan, (3) pencapaian tujuan, (4)
memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri, (5) menggunakan
kemampuan untuk kepentingan diri, kepentingan lembaga tempat bekerja dan
masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungan,
dan (7) mengembangkan potensi dan kekuatan yang dimiliki secara optimal.
Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu
konseli supaya dapat mencapai tugas-tugas perkembangan yang meliputi aspek
pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir.
1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial
konseli adalah sebagai berikut:
a. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam
53
kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya,
sekolah/madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat.
b. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing.
c. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif
antara yang menyenangkan (anugerah) dan yang tidak menyenangkan
(musibah), serta mampu merespon secara positif sesuai dengan ajaran
agama yang dianut.
d. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan
konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan;
baik fisik maupun psikis.
e. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
f. Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat.
g. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai
orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga diri.
h. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk
komitmen terhadap tugas dan kewajibannya.
i. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang
dibentuk dalam hubungan persahabatan, persaudaraan, dan silaturahim
dengan sesama manusia.
j. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik
bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
k. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
54
2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik
(belajar) konseli adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar dan
memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses
belajar yang dialami.
b. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan
membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap
semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang
diprogramkan.
c. Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
d. Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan
pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas,
memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan
berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka
mengembangkan wawasan yang lebih luas.
e. Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.
3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir konseli
adalah sebagai berikut:
a. Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang
terkait dengan pekerjaan.
b. Memiliki pengetahuan tentang dunia kerja dan informasi karir yang
menunjang kematangan kompetensi karir.
c. Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja.
55
d. Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai
pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang
pekerjaan yang menjadi cita-cita karir.
e. Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara
mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut,
lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan
kerja.
f. Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merencanakan
kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai
dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
g. Dapat membentuk pola karir, yaitu kecenderungan arah karir.
h. Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat.
i. Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan
karir.
c. Fungsi Bimbingan dan Konseling
Fungsi bimbingan (Kartadinata, 2008: 200-202) adalah sebagai berikut:
1) Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang
membantu konseli supaya memiliki pemahaman terhadap dirinya dan lingkungan.
2) Fungsi fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang pada
seluruh aspek yang ada pada diri konseli.
56
3) Fungsi penyesuaian,
yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam
membantu konseli supaya dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungan
secara dinamis dan konstruktif.
4) Fungsi penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam
membantu konseli memilih kegiatan ekstrakulikuler, jurusan atau program studi,
dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan sesuai minat, bakat, dan ciri-ciri
kepribadian lainnya.
5) Fungsi adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan untuk
menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat,
kemampuan, dan kebutuhan konseli.
6) Fungsi pencegahan (preventif), yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya
konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi
dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli.
7) Fungsi perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu
konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berpikir, berperasaan, dan
bertindak.
8) Fungsi penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang
berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah
mengalami masalah, teknik yang dapat digunakan adalah konseling remedial
teaching.
9) Fungsi pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk
membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi
kondusif yang telah tercipta dalam dirinya.
57
10) Fungsi pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang
sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya
untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi
perkembangan konseli (Juntika Nurihsan: 2004: 32).
2. Layanan Bimbingan Pribadi untuk Mereduksi Perilaku Merokok
Pada Remaja
Syamsu Yusuf (2004: 209) menjelaskan, remaja sebagai seorang individu
yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu
berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Guna mencapai kematangan,
remaja memerlukan bimbingan karena remaja masih kurang memiliki
pemahaman atau wawasan tentang diri dan lingkungan sekitar. Proses
perkembangan remaja tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari
masalah. Artinya, proses perkembangan tidak selalu berjalan dalam alur yang
lurus atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan remaja tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik,
psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan.
Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life
style) seorang remaja. Apabila perubahan yang terjadi sulit diprediksi maka akan
melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku remaja, seperti terjadinya
stagnasi perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku.
Layanan bimbingan pribadi pada dasarnya bertujuan untuk membantu
remaja menghadapi dan memecahkan masalah-masalah pribadi yang dihadapi,
58
misalnya penyelesaian konflik, penerimaan diri, pengembangan diri, dan
sebagainya.
Bimbingan
pribadi
dapat
memantapkan
kepribadian
dan
mengembangkan kemampuan remaja dalam menangani masalah pribadi.
Bimbingan pribadi mengarah pada pencapaian pribadi yang mantap dengan
memperhatikan keunikan dan bidang-bidang permasalahan yang akan dialami
oleh remaja. Penggunaan bimbingan pribadi sangat diperlukan untuk membantu
remaja yang memiliki perilaku merokok untuk mengurangi intensitas perilaku
merokok. Apabila perilaku merokok pada remaja dibiarkan, akan berdampak
buruk pada kesehatan dan prestasi belajar.
Remaja yang memiliki perilaku merokok memerlukan upaya bantuan
bimbingan pribadi yang bersifat responsif. Pelayanan responsif merupakan
pemberian bantuan kepada konseli yang menghadapi kebutuhan dan masalah
yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu
dapat
menimbulkan
gangguan
dalam
proses
pencapaian
tugas-tugas
perkembangan.
Tujuan pemberian layanan responsif bagi remaja yang memiliki perilaku
merokok adalah membantu remaja dapat mereduksi dan menghilangkan
ketergantungan yang berlebih terhadap rokok. Remaja jika dibiarkan terus
merokok dan tidak diberikan upaya bantuan yang bersifat segera, akan mengarah
pada penggunaan narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya yang menyebabkan
remaja melakukan tindakan di luar kesadaran.
Pelaksanaan bimbingan pribadi bagi remaja untuk mereduksi perilaku
merokok diidentifikasikan (Yusuf, Syamsu, 2004: 36) sebagai berikut:
59
a. Konseling di dalam layanan bimbingan pribadi berdasarkan tingkat
perilaku merokok yang dialami siswa dan siswa mampu mereduksi
perilaku merokok.
b. Langkah kegiatan bimbingan pribadi untuk mereduksi perilaku merokok
pada remaja terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
1) Perencanaan: analisis kebutuhan siswa, penentuan tujuan kegiatan,
penetapan metode dan teknik yang akan digunakan dalam kegiatan,
persiapan media dan biaya pelaksanaan kegiatan bimbingan.
2) Pelaksanaan: pemberian layanan bimbingan, pemberian layanan
konseling, kerja sama dengan pihak lain seperti guru atau wali kelas
dan pihak lain yang mendukung kegiatan.
3) Evaluasi: rencana satuan layanan kegiatan, penggunaan metode dan
teknik, sarana, media dan ketepatan waktu.
Langkah pada saat pemberian bantuan disesuaikan dengan teknik yang
dipilih.
3. Konseling Kognitif-Perilaku
Konseling kognitif-perilaku merupakan salah satu pendekatan konseling
(counseling approach). Pendekatan konseling sangat penting karena akan
memudahkan dalam menentukan arah proses bimbingan dan konseling.
Pendekatan konseling kognitif-perilaku merupakan dasar bagi suatu praktik
bimbingan dan konseling.
Konseling
kognitif-perilaku
merupakan
sebuah
pendekatan
yang
mengkombinasikan konseling kognitif dan konseling behavioral. Secara
60
konseptual
konseling
kognitif-perilaku
(behavioral
cognitive
counseling)
menunjuk pada penggunaan secara kombinatif perspektif kognitif dan perspektif
perilaku sebagai pendekatan dalam praktik konseling. Secara teknis, pendekatan
kognitif-perilaku menunjuk pada program konseling yang menerapkan teknikteknik konseling yang diambil dari pendekatan perilaku dan pendekatan kognitif
untuk menghasilkan perubahan perilaku yang positif pada diri konseli (Yulianti:
2004: 90). Dengan kata lain metode kognitif perilaku mengacu pada metode
ilmiah dan logis yang memberikan kesempatan kepada individu untuk mengubah
pola pikir, perasaan dan perilaku negatif menjadi positif.
Foreyt & Goodrick (1989: 22) mendefinisikan metode kognitif-perilaku
sebagai berikut. “Cognitive behavior therapy refers to a set of principles and
procedures that share the assumption that cognitive procces affect behavior and
these procces can be changed through cognitive and behavior techniques”. Ramli
(2005: 435) mendefinisikan metode kogntif-perilaku adalah suatu bentuk terapi
yang memadukan prinsip dan prosedur terapi kognitif dan perilaku dalam upaya
membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang diharapkan.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang konseling kognitif-perilaku yang
telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan konseling kognitif-perilaku
adalah suatu metode yang sistematis, terstruktur dan singkat untuk mengubah
kognisi dan perilaku yang tidak efektif menjadi efektif.
Konseling kognitif-perilaku terdiri atas berbagai jenis konseling yang
memiliki asumsi, teknik, dan strategi riset yang relatif berbeda seperti rational
emotive behavioral therapy, cognitive therapy, dan dialectic behavioral therapy.
61
Masing-masing jenis konseling memiliki karakteristik yang sama. Karakteristik
konseling kognitif-perilaku (Corey, 2007: 53) dijelaskan sebagai berikut:
a. Konseling kognitif-perilaku berdasarkan model kognitif dalam
menjelaskan perilaku emosional. Konseling kognitif-perilaku didasarkan kepada
fakta ilmiah bahwa pikiran individu adalah penyebab perasaan dan tingkah laku,
bukan hal-hal di luar diri individu seperti manusia, situasi, dan peristiwa. Dengan
kata lain individu dapat berpikir, merasa, dan berperilaku dengan lebih baik
walaupun situasi tidak berubah asalkan cara berpikir individu berubah menjadi
lebih baik.
b. Konseling kognitif perilaku memiliki sesi konseling yang lebih
singkat dan dilakukan dalam waktu yang terbatas. Sesi konseling kognitif perilaku
relatif singkat. Berbeda dengan bentuk konseling lain seperti psikoanalisa yang
bisa mencapai waktu satu tahun untuk melakukan konseling. Dengan demikian,
konseling kognitif-perilaku memungkinkan masalah individu selesai dalam waktu
singkat.
c. Suatu hubungan yang baik antara konselor dan konseli diperlukan
supaya konseling berjalan dengan efektif. Beberapa bentuk konseling berasumsi
alasan utama individu menjadi lebih baik dalam konseling adalah karena adanya
hubungan yang positif antara konselor dan konseli. Konseling kognitif-perilaku
juga meyakini pentingnya hubungan yang baik antara konselor dan konseli,
namun hubungan baik saja tidak cukup bila tidak diiringi dengan keyakinan
individu dapat belajar merubah cara pandang atau berpikir sehingga individu
dapat mengkonseling dirinya sendiri.
62
d. Konseling kognitif-perilaku merupakan konseling kolaboratif antara
konselor dan konseli. Konselor berupaya mempelajari, memahami maksud dan
tujuan yang diharapkan serta kemudian membantu konseli mencapai tujuan yang
diharapkan kemudian membantu konseli mencapai tujuan yang diharapkan. Pada
konseling kognitif-perilaku peran konselor adalah mendengarkan, mengajarkan,
dan mendorong konseli berbicara, belajar, dan melaksanakan apa yang dipelajari.
e. Konseling kognitif perilaku didasarkan kepada sifat filsafat stoics.
Konseling kognitif-perilaku tidak mengajarkan konseli bagaimana seharusnya
merasakan sesuatu tetapi mengajarkan manfaat merasakan, misalnya, tenang saat
berhadapan dengan situasi yang tidak diinginkan. Konseling kognitif-perilaku
juga menekankan fakta individu memiliki situasi yang tidak diinginkan apakah
merasa bingung tentang situasi tersebut ataukah tidak. Apabila individu bingung
tentang masalahnya, maka individu memiliki dua hal yang harus dihadapi, yaitu
masalah dan kebingungan tentang masalah tersebut.
f. Konseling
kognitif-perilaku
menggunakan
Metode
Sokreates.
Konselor kognitif-perilaku ingin memperoleh suatu pemahaman permasalahan
konseli dengan baik. Karena itu, konselor sering mengajukan pertanyaan seperti,
“Bagaimana saya tahu bahwa mereka sedang benar-benar menertawakan saya?”
“mungkinkah mereka sedang menertawakan hal lain?”.
g. Konseling kognitif perilaku memiliki program terstruktur dan terarah.
Konselor konseling kognitif-perilaku memusatkan pemberian bantuan kepada
konseli untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Konselor konseling
63
kognitif-perilaku tidak mengajarkan apa yang harus konseli lakukan, melainkan
mengajarkan konseli bagaimana mengerjakannya.
h. Konseling kognitif-perilaku berdasarkan kepada model pendidikan.
Konseling kognitif-perilaku didasarkan kepada asumsi yang didukung secara
ilmiah kebanyakan reaksi emosi dan perilaku dipelajari. Konseling kognitifperilaku membantu konseli belajar menghindari reaksi-reaksi yang tidak
diinginkan dan belajar cara baru dalam mereaksi sesuatu. Tekanan pendidikan
konseling kognitif-perilaku memiliki manfaat tambahan yang mengarah pada hasil
jangka panjang. Jika individu memahami bagaimana dan mengapa berbuat baik,
maka individu akan terus melakukan apa yang membuat dirinya baik.
i. Teori dan teknik konseling kognitif-perilaku berdasarkan kepada
metode induktif. Aspek pokok pemikiran rasional adalah pemikiran berdasarkan
fakta, bukan hanya berdasarkan asumsi yang dibuat. Metode induktif mendorong
individu untuk melihat pikiran-pikirannya sebagaimana dihipotesiskan yang dapat
dipertanyakan dan diuji. Metode induktif membuat individu jika diketahui
hipotesisnya tidak benar, maka individu dapat mengubah pikirannya sesuai
dengan situasi yang sebenarnya.
j. Tugas rumah merupakan ciri utama konseling kognitif-perilaku.
Konseling
kogntif-perilaku
menetapkan
tugas-tugas
berupa
bacaan
dan
mendorong konseli berlatih teknik-teknik yang dipelajari agar tujuan yang
diinginkan tercapai.
64
Sasaran konseling kognitif-perilaku adalah aspek kognitif dan perilaku
individu, maka teknik-teknik yang diperlukan dalam mengubah perilaku merokok
(Baker, 2004: 16) sebagai berikut:
1. Analisa Fungsi Kognitif (Functional Analysis)
Analisa fungsi kognitif adalah salah satu teknik dalam konseling kognitifperilaku yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi kognitif konseli setelah
menjadi adiksi terhadap perilaku merokok. Analisa fungsi kognitif yang
merupakan kelompok teknik intervensi yang dilakukan untuk membongkar akarakar keyakinan irrasional yang dimiliki konseli.
Pola kognitif adiksi sangat khas, pikiran remaja berputar hanya sekitar
bagaimana
menghilangkan
masalah
dengan
cara
merokok,
bagaimana
mendapatkan rokok dan menghisap rokok. Pola kognisi yang harus diubah dengan
analisa fungsi kognitif adalah pikiran remaja tidak akan hidup bahagia tanpa
mengkonsumsi rokok, yaitu dengan cara konselor membantu remaja untuk
mengidentifikasi pikiran, perasaan dan keadaan sekitar sebelum dan sesudah
mengkonsumsi rokok, sehingga remaja dapat menilai hal-hal yang menentukan
penggunaan rokok dan resiko-resiko tinggi terhadap penggunaan rokok dan
memberikan pengertian mengapa remaja menggunakan rokok.
2. Latihan Keterampilan (Skill Training)
Latihan keterampilan adalah suatu program latihan yang membantu remaja
kecanduan rokok belajar meninggalkan adiksi yang terbentuk oleh penggunaan
rokok, kemudian belajar kembali keterampilan dan kebiasaan bersih dari
penggunaan rokok. Latihan keterampilan merupakan penerapan teknik perilaku,
65
yaitu teknik-teknik intervensi yang digunakan dengan tujuan membiasakan remaja
mengalami dan bertindak dengan perilaku baru yang disepakati dalam proses
terapi (Ramli, 2005: 442). Latihan keterampilan digunakan berdasarkan asumsi
sebagai berikut:
a.
Individu mungkin tidak pernah belajar strategi efektif untuk mengatasi
masalah dan tantangan hidup, sementara penggunaan rokok dimulai pada masa
remaja, maka diperlukan latihan keterampilan hidup yang belum pernah
dipelajarinya (building skill).
b.
Walaupun individu telah mendapatkan strategi efektif dalam
mengatasi masalah,
namun keterampilan tersebut dapat hancur karena
penggunaan rokok, individu lupa dengan keterampilan yang telah dimiliki
tergantikan oleh keterampilan menggunakan rokok, maka perlu dilakukan latihan
keterampilan kembali dalam hidup yang pernah dimilikinya (rebuild skill).
Kemampuan individu untuk menggunakan strategi mengatasi masalah
yang efektif dapat melemah oleh masalah lain (penggunaan rokok), maka
diperlukan penguatan keterampilan dengan latihan keterampilan.
4. Penggunaan Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi
Perilaku Merokok pada Remaja
Restrukturisasi kognitif merupakan alternatif teknik dari konseling
kognitif behavioral yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli kognitif
behavioral yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli kognitif behavioral,
seperti Dobson & Dobson. Restrukturisasi kognitif dikarakterisasikan ke dalam
66
asumsi mendasar, pertama seseorang dianggap sebagai active knower, yang
secara sengaja melibatkan diri dalam memahami dirinya. Kedua, bahasa berfungsi
sebagai wadah utama tempat seseorang merekonstruksi pemahamannya tentang
dunia. Para terapis secara khusus tertarik kepada produk bahasa seperti cerita dan
metafora yang bisa dilihat sebagai cara untuk menstrukturkan pengalaman.
Ketiga, adanya dimensi perkembangan dalam kapasitas manusia untuk
mengkontruksi dunia dirinya sendiri (Neenan & Dryder, 2004: 9).
Perilaku merokok muncul pada kondisi psikologis tertentu. Kondisi
remaja yang sedang stres memiliki kecenderungan yang lebih sulit untuk berhenti
merokok. Orang yang depresi memiliki kecenderungan dua kali lebih banyak
untuk menjadi seorang perokok daripada orang yang tidak depresi. Restrukturisasi
kognitif merupakan salah satu teknik yang menitikberatkan pada perubahan
tingkah laku melalui interaksi dengan diri sendiri dan perubahan struktur kognitif
(Baker et al, 2004: 12).
Remaja yang memiliki perilaku merokok disebabkan karena kondisi
psikologis
yang membuat remaja tertarik
dan terus merokok
hingga
menghabiskan puluhan batang. Kondisi psikologis yang membuat remaja terus
merokok adalah stres, frustasi, perasaan sedang down, bosan, dan gugup. Kondisi
psikologis yang buruk semakin membuka jalan bagi remaja untuk terus merokok.
Apabila remaja dibiarkan dapat mengarah pada perilaku merokok (Komalasari &
Helmi, 2000: 2).
Salah satu teknik yang digunakan untuk mereduksi perilaku remaja
terhadap rokok melalui pendekatan kognitif-perilaku adalah teknik restrukturisasi
67
kognitif. Restrukturisasi kognitif pada dasarnya merupakan suatu bentuk
penyusunan kembali kognitif, memfokuskan pada pengubahan verbalisasi diri
remaja dan restrukturisasi berperan sentral (Baker et al, 2004: 32).
Restrukturisasi kognitif adalah salah satu teknik yang digunakan dalam
teori kognitif perilaku yang menitikberatkan pada kognitif yang menyimpang.
Konseling akan diarahkan pada modifikasi fungsi berpikir, merasa, dan bertindak
dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan, bertanya,
bertindak, dan memutuskan kembali. Pada akhirnya restrukturisasi kognitif
diharapkan dapat membantu siswa dalam mereduksi perilaku merokok dengan
mengubah perilaku dari yang negatif menjadi positif (Neenan & Dryder, 2004:
45).
Secara tradisional masa remaja merupakan periode “badai dan tekanan”,
suatu masa di mana kondisi psikologis tidak stabil sebagai akibat dari perubahan
fisik dan kelenjar. Pertumbuhan pada tahun-tahun awal masa puber terus
berlangsung tetapi berjalan agak lambat. Pertumbuhan yang terjadi terutama
bersifat melengkapi pola yang sudah terbentuk pada masa puber (Komalasari &
Helmi, 2000: 3).
Remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai
konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan
sosial yang baru. Ketidakstabilan remaja merupakan suatu masalah yang tidak
dapat dielakkan. Untuk mengatasi masalah, remaja harus memiliki kesiapan diri
untuk menghadapi keadaan apapun, termasuk masalah ketidakstabilan remaja.
68
Remaja yang tidak memiliki kesiapan diri dalam mengadapi masalah akan
mempengaruhi keadaan psikologis yang negatif (Komalasari & Helmi, 2000: 5).
Remaja yang sedang stres, depresi, frustasi, perasaan sedang down, bosan, dan
gugup memiliki dua kali kecenderungan lebih kuat untuk menjadi seorang
perokok daripada remaja lain.
Remaja
kenyamanan
merasakan
didapat
kenyamanan
ketika
dari kandungan nikotin
sedang
merokok.
Efek
yang menyebabkan otak
mengeluarkan bahan-bahan kimia yang dinamakan neurotransmitter. Beberapa
dari bahan-bahan kimia, seperti beta-endorphin dan norepinephrine dapat
menyebabkan orang merasa lebih baik (feel better), tetapi hanya untuk waktu
singkat. Remaja dapat meningkatkan mood untuk beberapa saat dan kepuasaan
secara cepat dari efek nikotin sebagai sebuah stimulan yang dapat menimbulkan
kenikmatan setelah merokok (Komalasari & Helmi, 2000: 7).
Selain kandungan bahan-bahan kimia dari rokok, remaja sering
menikmati seni menyalakan dan menghisap rokok sebagai cara untuk beristirahat
sejenak dari stres yang sedang dialami. Seperti aktivitas-aktivitas lain, merokok
dapat mengalihkan remaja dari permasalahan-permasalahan hidup. Sebagian
remaja meyakini perilaku merokok merupakan salah satu dukungan sosial.
Perilaku merokok dapat memberikan kenyamanan di saat stres. Terakhir, remaja
pecandu rokok akan merasakan kondisi yang lebih baik setelah merokok.
Mereduksi perilaku merokok pada remaja memerlukan bantuan kepada remaja
dengan cara membantu remaja dalam memahami bagaimana aspek pemikiran,
perasaan, tindakan, perasaan fisik, dan situasi dari pengalaman seseorang saling
69
berinteraksi sehingga dapat memahami lebih baik masalah yang sedang dihadapi.
Salah satu cara untuk membantu mereduksi perilaku merokok pada remaja yaitu
dengan teknik restrukturisasi kognitif (Choerunnisa, 2008: 25).
Teknik restrukturisasi kognitif mengidentifikasi gangguan emosional
(emotional disorder) dengan mencari emosi negatif, pikiran otomatis dan
keyakinan utama. Konselor diharapkan mampu (Neenan & Dryden, 2004: 32):
a. memberikan bukti bagaimana sistem keyakinan dan pikiran otomatis
sangat erat hubungannya dengan emosi dan tingkah laku, dengan cara menolak
pikiran negatif secara halus dan menawarkan pikiran positif sebagai alternatif
untuk dibuktikan bersama; dan
b. memperoleh komitmen konseli untuk melakukan modifikasi secara
menyeluruh, mulai dari pikiran, perasaan sampai perbuatan, dari negatif menjadi
positif.
Berikut adalah tahapan implementasi restrukturisasi kognitif dalam
mereduksi perilaku merokok remaja.
a. Tahapan pertama: Asesmen dan Diagnosa
Asesmen dan diagnosa di tahap awal bertujuan untuk memperoleh data
tentang kondisi konseli yang akan ditangani serta mengantisipasi kemungkinan
kesalahan penanganan pada proses konseling. Di tahap pertama dilakukan
kegiatan sebagai berikut.
1) Penyebaran
alat
ukur
perilaku
merokok
remaja
untuk
mengumpulkan informasi mengenai tingkat perilaku merokok
remaja.
70
2) Melakukan kontrak konseling dengan konseli supaya konseli
mampu berkomitmen untuk mengikuti proses konseling dari tahap
awal sampai tahap akhir.
b.
Tahapan kedua: Mengidentifikasi Pikiran-Pikiran Negatif Remaja.
Sebelum konseli diberikan bantuan untuk mengubah pikiran-pikiran yang
mengalami disfungsi, terlebih dahulu konselor perlu membantu konseli untuk
menyadari disfungsi pikiran-pikiran yang konseli miliki dan memberitahukan
secara langsung kepada konselor. Pada level umum, konseli didorong untuk
kembali pada pengalaman dan melakukan introspeksi atau merefleksikan
pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui.
c.
Tahapan ketiga: Memonitor Pikiran-Pikiran Remaja melalui
Thought Record.
Pada tahap ketiga, konseli dapat diminta untuk membawa buku catatan
kecil yang berguna untuk menuliskan tugas pekerjaan rumah, hal-hal yang
berhubungan dengan perlakuan dalam konseling, dan mencatat pikiran-pikiran
negatif. Berikut adalah format yang diajukan untuk mencatat pikiran-pikiran
negatif konseli.
Tabel 2.2
Rekaman Pikiran
Situasi
Pikiran yang
Muncul
Emosi
(diberi tingkat
intensitas 0-100)
Tindakan
yang
dilakukan
71
Format yang tertetera pada Tabel 2.2 dapat dibuat oleh konseli atau
disiapkan oleh konselor sebagai format yang sudah dicetak dalam kertas. Format
dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, karena yang terpenting bukan
terletak pada format rekaman pikiran akan tetapi pada isi informasi yang terdapat
pada format. Melalui format rekaman pikiran yang disepakati, konseli harus
menjadi partisipan yang aktif dalam memutuskan cara-cara merekam informasi,
sehingga dapat berguna dan dapat meningkatkan efektivitas pengerjaan pekerjaan
rumah.
d.
Tahapan keempat: Intervensi Pikiran-Pikiran Negatif Remaja
menjadi Pikiran-Pikiran yang Positif .
Pada tahap kelima, pikiran-pikiran negatif konseli yang telah terkumpul
dalam thought record
dimodifikasi. Beberapa hal mengenai pikiran-pikiran
negatif meliputi hal-hal sebagai berikut (Dobson & Dobson, 2009: 127).
1) Menemukan pikiran-pikiran negatif yang berhubungan dengan reaksi
emosi yang kuat.
2) Menemukan pikiran-pikiran yang berkaitan dengan pola respon
perilaku yang kuat.
3) Menemukan pikiran-pikiran yang memiliki tingkatan keyakinan yang
tinggi.
4) Menemukan pikiran-pikiran yang berulang, karena pikiran-pikiran
yang dikemukakan berulang-ulang menunjukkan pola berpikir
konseli.
72
Pada awal mengintervensi pikiran-pikiran negatif konseli, secara umum
terdapat tiga pertanyaan umum yang dapat digunakan, yaitu:
1) Apa bukti dari pikiran-pikiran negatif anda?
2) Apa saja alternatif-alternatif pikiran untuk memikirkan situasi-situasi
yang anda temui?
3) Apa saja pengaruh dari cara berpikir seperti itu?
Hal penting yang harus diperhatikan oleh konselor dalam menangani
perilaku merokok pada remaja adalah kompetensi konselor. Seorang konselor
yang profesional adalah konselor yang memahami konsep bimbingan dan
konseling yang baik. Bimbingan pribadi dan teknik restrukturisasi kognitif untuk
membantu remaja yang memiliki perilaku merokok, konselor juga harus
mempunyai pengetahuan tentang perilaku merokok remaja, cara penanggulangan,
dan tugas perkembangan remaja, agar dalam penanganan perilaku merokok yang
dialami siswa SMA dapat berkurang. Teknik yang dirancang dengan pengelolaan
yang terstruktur dengan baik diharapkan mampu mengurangi perilaku merokok
yang terjadi di kalangan siswa SMA.
5. Evaluasi Implementasi Layanan
Evaluasi kegiatan layanan intervensi adalah segala upaya, tindakan atau
proses untuk menentukan derajat kualitas kemajuan kegiatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan layanan konseling melalui teknik restrukturisasi kognitif
terhadap remaja yang memiliki perilaku merokok.
73
Tujuan kegiatan evaluasi kegiatan layanan intervensi adalah untuk
mengetahui dan mengidentifikasi keberhasilan pelaksanaan kegiatan layanan
intervensi teknik restrukturisasi bagi remaja yang memiliki perilaku merokok.
Teknik restrukturisasi kognitif diharapkan dapat mereduksi perilaku merokok
pada remaja yang dilakukan dengan cara memeriksa dan mengubah aspek
pemikiran dan keyakinan negatif yang sedang dialami remaja. Tujuan akhir
intervensi dari teknik restrukturisasi kognitif adalah penurunan atau reduksi
perilaku merokok pada diri remaja.
Aspek-aspek yang dievaluasi yaitu hasil. Penilaian hasil dimaksudkan
untuk mengetahui efektivitas teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi
perilaku merokok pada remaja ditinjau dari hasil yang diperoleh.
Hal-hal yang dilakukan dalam rangka mengevaluasi implementasi layanan
adalah:
a. Mengembangkan instrumen pengumpul data, yaitu alat ukur tingkat
perilaku merokok yang diberikan dalam post-test (angket).
b. Mengumpulkan dan menganalisis data yang telah diperoleh melalui
instrumen pengumpul data.
Download