BAB II TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF DAN PERILAKU MEROKOK REMAJA A. Karakteristik Remaja Harold Alberty (Abin Syamsudin Makmun, 2004: 130) menyatakan periode masa remaja didefinisikan secara umum sebagai bahan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seorang individu yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanaknya sampai datangnya awal masa dewasa. Konopka (Syamsu Yusuf, 2006: 3) mengemukakan masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu dan merupakan masa transisi (dari masa anak ke masa dewasa) yang diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. Masa remaja dapat dijalani dengan mulus dan baik, jika remaja melewati tugas perkembangannya dengan baik pula. Tugas perkembangan masa remaja (Willis, 2005: 460): Tugas perkembangan adalah tugas yang timbul pada periode tertentu dalam kehidupan individu yang jika tugas perkembangan berhasil dipenuhi menimbulkan kebahagiaan, tetapi sebaliknya jika gagal menimbulkan kesulitan bagi individu di masa yang akan datang. Tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh individu dalam periode perkembangan remaja diantaranya: 1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. mencapai peran sosial sebagai pria dan wanita; 3. mencapai dan memperluas hubungan antarpribadi yang lebih matang; 16 17 4. menerima keadaan tubuh dan menggunakannya secara efektif; 5. memperoleh kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya; 6. mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri secara ekonomi; 7. memperoleh dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan; 8. mempersiapkan diri untuk perkawinan dan hidup berkeluarga; 9. mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga Negara; 10. mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial; 11. memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai petunjuk atau pembimbing dalam bertingkah laku. Ciri-ciri yang membedakan masa remaja dengan periode sebelum dan sesudahnya (Hurlock, 1980: 207), sebagai berikut: 1. Masa remaja sebagai periode yang penting Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingan setiap periode perkembangan tentu saja berbeda-beda. Pada periode remaja, periode yang terpenting adalah perkembangan fisik. Secara fisik, masa remaja awal ditandai dengan matangnya organ-organ seksual. Remaja pria mengalami pertumbuhan pada organ testis, penis, pembuluh mani dan kelenjar prostat, dan remaja wanita ditandai dengan menstruasi. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan pada masa remaja 18 menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlu membentuk sikap, nilai, dan minat baru. 2. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih dari sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Perlu disadari yang telah terjadi akan meninggalkan bekas dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru. Osterrieth (Hurlock, 1980: 207) mengemukakan struktur psikis remaja berasal dari masa kanak-kanak dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak. 3. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat, apabila perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku juga akan menurun. Terdapat empat perubahan yang sama dan bersifat universal, yaitu: 1) meningginya emosi, intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi, meningginya emosi lebih menonjol pada masa awal periode akhir masa remaja; 2) perubahan tubuh dan minat. Bagi remaja awal, masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap 19 merasa ditimbun masalah, sampai remaja sendiri menyelesaikan menurut kepuasannya; 3) dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah, artinya apa yang pada masa kanak-kanak dianggap penting, sedangkan ketika masa remaja sudah tidak penting lagi; 4) setiap remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi remaja sering takut untuk bertanggung jawab akan akibat dan meragukan kemampuan yang dimiliki untuk dapat mengatasi tanggungjawabnya. 4. Masa remaja sebagai usia bermasalah Masalah pada masa remaja seringkali menjadi masalah yang sulit untuk diselesaikan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan dalam menyelesaikan masalah. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa dirinya mandiri, sehingga remaja ingin mengatasi masalahnya sendiri, remaja cenderung menolak bantuan dari orang tua dan guru. Anna Freud (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan banyak kegagalan yang seringkali disertai akibat yang tragis, bukan karena ketidakmampuan individu tetapi karena kenyataan akan tuntutan yang diajukan kepada remaja justru pada saat semua tenaga yang dimiliki remaja telah dihabiskan untuk mencoba mengatasi masalah pokok yang disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal. 5. Masa remaja sebagai usia mencari identitas Erikson (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan identitas diri yang dicari oleh remaja berupa usaha untuk menjelaskan “Siapa dirinya, apa peranannya 20 dalam masyarakat. Apakah seorang anak atau seorang dewasa? Apakah nantinya dapat menjadi seorang suami atau ayah? Apakah mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras, agama atau nasionalnya membuat beberapa orang yang merendahkannya? Secara keseluruhan, apakah akan berhasil atau gagal?” Selanjutnya, Erikson (Hurlock, 1980: 208) menjelaskan bagaimana pencarian identitas mempengaruhi perilaku remaja. Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang baru, para temaja harus memperjuangkan kembali perjuangan tahun-tahun lalu meskipun untuk melakukannya remaja harus menunjuk secara arifisial orangorang yang baik hati sebagai musuh; dan remaja selalu siap untuk menempatkan idola remaja sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Identifikasi yang terjadi dalam bentuk identitas ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan identifikasi masa kanak-kanak. 6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Majeres (Hurlock, 1980: 208) mengemukakan banyak anggapan populer tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotipe budaya yang menyatakan remaja adalah anak-anak tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Adanya keyakinan orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa menjadi sulit. Menurut Anthony (Hurlock, 1980: 208) stereotipe budaya berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat, yang menggambarkan citra diri remaja dan membentuk perilaku remaja. 21 7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan, bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik tidak hanya bagi diri remaja sendiri tetapi bagi keluarga dan teman-teman, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Bertambahnya pengalaman pribadi, pengalaman sosial, dan dengan meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, maka remaja tidak terlampau mengalami kekecewaan dan memandang kehidupan lebih realistik. 8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan kesan para remaja sudah hampir dewasa. Remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, misalnya merokok, menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam free sex. Remaja menganggap hal yang dilakukannya akan memberikan kepuasan yang diinginkan. Banyak perubahan pada diri remaja sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri remaja. Beberapa dimensi yang berubah pada saat remaja berkembang sebagai berikut (Hurlock, 1980: 232): 22 1. Dimensi Biologis Pada saat seorang remaja memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis akan mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang remaja tiba-tiba memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follocle Stimulating Hormone (FSH); dan 2) Kuteinizing Hormone (LH). Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut mengubah sistem biologis seorang anak. Remaja perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda sistem reproduksi sudah aktif. Terjadi perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang. Remaja lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosteron. Bentuk fisik remaja akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa pada dunia remaja. 2. Dimensi Kognitif Perkembangan kognitif remaja menurut pandangan Jean Piaget, merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode perkembangan kognitif, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir pada remaja berkembang sedemikian rupa sehingga remaja dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat 23 atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak remaja berkembang sehingga mampu berpikir multidimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi akan memproses informasi serta mengadaptasikannya dengan pemikiran sendiri. Remaja juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Kemampuan operasional formal menyebabkan para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar. 3. Dimensi Moral Masa remaja adalah periode ketika seseorang mulai bertanya-tanya tentang berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan diri remaja. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada remaja tanpa bantahan. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang telah diajarkan dan ditanamkan kepada diri remaja. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena remaja mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang dipercayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitar. Remaja lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima 24 bulat-bulat. Kemungkinan remaja tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilainilai tersebut. 4. Dimensi Psikologis Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, sehingga mood (suasana hati) remaja bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (Hurlock, 1994: 237) menemukan remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood yang drastis pada para remaja seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Kondisi mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Karakteristik perkembangan masa remaja ( Syamsu Yusuf, 2000: 193) sebagai berikut: 1. Perkembangan fisik Masa remaja merupakan salah satu di antara dua masa rentangan kehidupan individu. Remaja mengalami pertumbuhan fisik yang sangat pesat. Dalam perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri, yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Uraian lebih lanjut sebagai berikut: 25 a. Ciri-ciri seks primer Pada masa remaja pria ditandai dengan pertumbuhan testis, yaitu pada tahun pertama dan kedua, kemudian tumbuh secara lebih lambat, dan mencapai ukuran matangnya pada usia 20 atau 21 tahun. Sebenarnya testis telah ada sejak kelahiran, namun baru 10% dari ukuran matangnya. Setelah testis mulai tumbuh, penis mulai bertambah panjang, pembuluh mani dan kelenjar prostat semakin membesar. Matangnya organ-organ seks memungkinkan remaja pria (sekitar usia 11-15 tahun), untuk pertama kalinya remaja wanita mengalami “menarche” (menstruasi pertama). Peristiwa “menarche” diikuti oleh menstruasi yang terjadi dalam interval yang tidak beraturan. Untuk jangka waktu enam bulan sampai satu tahun atau lebih, ovulasi tidak selalu terjadi. Menstruasi awal sering disertai dengan sakit kepala, sakit punggung, kadang-kadang kejang, serta merasa lelah, depresi dan mudah tersinggung. b. Ciri-ciri seks sekunder Ciri-ciri atau karakteristik seks sekunder masa remaja, baik pria maupun wanita adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Karakteristik Seks Sekunder Masa Remaja Wanita Pria 1. Tumbuh rambut pubik atau 1. Tumbuh rambut pubik atau bulu kapok di sekitar bulu kapok di sekitar kemaluan dan ketiak. kemaluan dan ketiak. 2. Bertambah besar buah dada. 2. Terjadi perubahan suara. 3. Bertambah besar pinggul. 3. Tumbuh kumis. 4. Tumbuh gondok laki (jakun). 26 2. Perkembangan kognitif (intelektual) Ditinjau dari perkembangan kognitif menurut Piaget, masa remaja sudah mencapai tahap operasi formal (operasi = kegiatan-kegiatan mental tentang berbagai gagasan). Remaja, secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan abstrak. Berpikir operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak, secara sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir konkret. Keating (Syamsu Yusuf, 2006: 210) merumuskan lima hal pokok yang berkaitan dengan perkembangan berpikir operasional formal, yaitu sebagai berikut: a. Berlainan dengan cara berpikir anak-anak, tekanan kepada kesadaran sendiri di sini dan sekarang (here and now), cara berpikir remaja berkaitan erat dengan dunia kemungkinan (word of possibilities). Remaja sudah mampu menggunakan abstraksi-abstraksi dan dapat membedakan antara yang nyata dan konkret dengan yang abstrak dan mungkin. b. Melalui kemampuan remaja untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan nalar secara ilmiah. c. Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya. d. Remaja menyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat proses kognitif efisien atau tidak efisien, menghabiskan waktu untuk mempertimbangkan pengaturan kognitif internal tentang bagaimana dan apa yang 27 harus dipikirkan. Introspeksi (pengujian diri) menjadi bagian kehidupan seharihari. e. Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik baru, dan ekspansi (perluasan) berpikir. Horizon berpikirnya semakin meluas, bisa meliputi aspek agama, keadilan, moralitas, dan identitas. Pada periode operasional formal, idealnya remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir remaja berkembang sedemikian rupa sehingga dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak berkembang sehingga remaja mampu berpikir multidimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi akan memproses informasi tersebut serta mengadaptasikannya dengan pemikiran diri sendiri. Remaja mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Melalui kemampuan operasional formal, remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar. Pada kenyataan, remaja masih belum mampu mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal. Dimensi kognitif remaja masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit. Pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Akibatnya remaja bertindak atau merespon sebuah masalah secara instan dan tidak tepat. Remaja cenderung menyelesaikan masalah dengan 28 cara yang salah, bahkan tidak jarang terjerumus pada perilaku menyimpang (merokok). Dimensi kognitif remaja yang belum berada pada tahap operasional abstrak mengindikasikan remaja belum terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. Restrukturisasi kognitif menjadi sebuah intervensi bimbingan yang akan digunakan dalam penelitian untuk mengubah kognitif seseorang sebagai sentral dari proses perubahan perilaku seseorang. 3. Perkembangan emosi Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungan, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Apabila lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya kondusif, dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai, dan penuh tanggung jawab, remaja cenderung dapat mencapai kematangan emosionalnya. Sebaliknya, apabila kurang dipersiapkan untuk memahami perannya dan kurang mendapat perhatian dari orang tua atau pengakuan dari teman sebaya, remaja cenderung akan mengalami kecemasan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional. Tidak sedikit remaja yang bereaksi secara depensif ketika menghadapi ketidaknyamanan emosional. Reaksi remaja tampil dalam tingkah laku malasuai (maladjustment), seperti 1) agresif: melawan keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang mengganggu; dan 2) melarikan diri dari kenyataan: melamun, 29 pendiam, senang menyendiri, perilaku merokok dan meminum minuman keras atau obat-obatan terlarang. Remaja yang berada dalam iklim yang kondusif, cenderung akan memperoleh perkembangan emosi secara matang (terutama pada masa remaja akhir). Kematangan emosi ditandai oleh: (1) adekuasi emosi: cinta kasih, simpati, altruis (senang menolong orang lain), respek (sikap hormat atau menghargai orang lain), dan ramah; (2) mengendalikan emosi: tidak mudah tersinggung, tidak agresif, bersikap optimis dan tidak pesimis (putus asa), dan dapat menghadapi situasi frustrasi secara wajar. 4. Perkembangan sosial Masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya sehingga remaja mampu menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebaya, baik melalui persahabatan maupun percintaan (pacaran). Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai “kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi, dan relasi”. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Terkait dengan masalah hubungan sosial, terdapat beberapa perilaku menyimpang (maladjustment). Salah satu masalah yang terjadi adalah perilaku merokok yang disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan hubungan sosial, yang muncul dalam bentuk hubungan yang tidak tepat. 30 5. Perkembangan moral Melalui pengalaman atau interaksi sosial dengan orangtua, guru, teman sebaya, atau orang dewasa, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Remaja sudah mengenal nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan. Pada perkembangan moral muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisik, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya). 6. Perkembangan kepribadian Kepribadian merupakan sistem yang dinamis dari sifat, sikap dan kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respons individu yang beragam (Pikunas, 1976: 21). Sifat-sifat kepribadian mencerminkan perkembangan fisik, seksual, emosional, sosial, kognitif, dan nilai-nilai. Fase remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan integrasi kepribadian. Faktor-faktor dan pengalaman baru yang tampak terjadinya perubahan kepribadian pada masa remaja, meliputi (1) perolehan pertumbuhan fisik yang menyerupai masa remaja, meliputi (2) kematangan seksual yang disertai dengan dorongan-dorongan dan emosi baru; (3) kesadaran terhadap diri sendiri, keinginan untuk mengarahkan diri dan mengevaluasi kembali tentang standar (norma), tujuan, dan cita-cita; (4) kebutuhan akan persahabatan yang bersifat heteroseksual, berteman dengan pria atau wanita; dan 31 (5) munculnya konflik sebagai dampak dari masa transisi antara masa anak dan masa dewasa. 7. Perkembangan kesadaran beragama Kepercayaan kepada Tuhan pada diri remaja kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadah yang terkadang rajin dan terkadang malas. Penghayatan rohani cenderung skeptik (was-was) sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual (seperti ibadah shalat) yang selama ini dilakukan dengan penuh kepatuhan. Goncangan dalam keagamaan muncul disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan matangnya organ seks yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seks; tetapi di sisi lain mengetahui perbuatannya dilarang agama. Faktor internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak ingin terikat oleh normanorma keluarga (orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami dan mendekati secara baik, bahkan dengan bersikap keras, maka sikapnya akan muncul dalam bentuk tingkah laku negatif (negativisme), seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh. B. Konsep Perilaku Merokok 1. Pengertian Perilaku Merokok Perilaku merokok terbagi dalam dua kata yaitu perilaku dan merokok. Adapun pengertian dari perilaku menurut Sarwono (1993: 23) adalah sesuatu yang 32 dilakukan oleh individu satu dengan individu lain dan sesuatu bersifat nyata. Menurut Morgan (Nasution, 2007: 46) perilaku sebagai sesuatu yang konkrit yang dapat diobservasi, direkam maupun dipelajari. Chaplin (1997: 11) memberikan pengertian perilaku dalam dua arti. Pertama perilaku dalam arti luas didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dialami seseorang. Pengertian yang kedua, perilaku didefinisikan dalam arti sempit yaitu segala sesuatu yang mencakup reaksi yang dapat diamati. Skinner (Arifin, 2008: 43), mengemukakan perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon). Respon dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Respon tanpa sadar/reflek atau reflexive response, adalah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Rangsangan disebut electing stimuli karena respon-respon yang relatif tetap, misalnya makanan lezat menimbulkan keluarnya air liur, sinar matahari membuat mata tertutup. Rangsangan mendahului respon yang ditimbulkan. b. Operan respon atau instrumental response, adalah respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh perangsangan tertentu. Perangsangan disebut reinforcing stimuli atau reinforce karena perangsangan tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan. Oleh karena itu perangsangan mengikuti atau memperkuat suatu perilaku tertentu yang telah dilakukan. Apabila seorang anak rajin belajar atau setelah melakukan sesuatu perbuatan memperoleh hadiah, maka akan menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik lagi 33 melakukan perbuatan tersebut, dengan kata lain responnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi. Menurut Notoatmodjo (Arifin, 2008:72), yang dimaksud dengan perilaku adalah suatu respon organisme terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut, respon organisme dapat berbentuk dua macam, yakni: (1) bentuk pasif adalah respon internal, yaitu terjadi di dalam diri individu dan tidak dapat langsung dilihat oleh orang lain, seperti berpikir, tanggapan atau sikap batin, dan pengetahuan. Perilaku remaja masih terselubung yang disebut covert behavior, (2) bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Perilaku sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata yang disebut over behavior. Soekidjo (Arifin, 2008: 42) memaparkan perilaku terbentuk dari tiga faktor, yaitu: a. Faktor predisposisi, merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang menjadi dasar motivasi bagi perilaku. Jenis-jenis faktor predisposisi adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai. b. Faktor pemungkin, adalah faktor anteseden terhadap perilaku memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Faktor pemungkin terwujud dalam lingkungan fisik, terseda atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan, misalnya: puskesmas. c. Faktor penguat, merupakan faktor penyerta yang datang sesudah perilaku, memberikan ganjaran intensif atau hukuman atas perilaku dan berperan sebagai menetap atau lenyapnya perilaku tersebut, termasuk dalam faktor 34 penguat adalah manfaat sosial, jasmani, ganjaran nyata ataupun tidak nyata yang diterima oleh pihak lain (vicarious rewards). Etiologi tumbuh-kembangnya perilaku pada manusia mengandung tiga unsur, yang masing-masing unsur berada pada tahap berurutan: (1) motivating state yaitu perilaku itu terjadi karena terangsang stimulasi atau sekresi hormonal dalam diri manusia, (2) motivating behavior yaitu perilaku terjadi semata untuk memenuhi kepuasan kebutuhan dan bersifat instrumental (sadar atau tidak sadar), (3) satisfied condition yaitu agar terpenuhi homeostatis (Makmun, 2003: 15). Jadi, perilaku merokok adalah aktivitas atau sesuatu yang dilakukan oleh seorang individu berupa membakar, menghisap atau menghirup dan menghembuskan kembali asap tembakau keluar dengan menggunakan pipa atau rokok. 2. Tipe-Tipe Perokok Menurut Silvan Tomkins (Bambang, 2006: 6) terdapat empat tipe perokok berdasarkan management of affect theory, keempat tipe tersebut adalah: a. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Seorang perokok dapat merasakan penambahan rasa yang positif. Green (Psychological Factor in Smoking, 1978: 76) menambahkan ada tiga subtipe: 1. Pleasure relaxation , perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan. 35 2. Stimulation to pick them up. Perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan. 3. Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk menghisapnya hanya dibutuhkan waktu hanya beberapa menit. Atau perokok lebih senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya lama sebelum menyalakan dengan api. b. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat. Seseorang menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak enak. c. Perilaku merokok yang adiktif, oleh Green disebut sebagai psychological addiction. Seseorang yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Perokok umumnya akan pergi keluar rumah membeli rokok, walau tengah malam sekalipun, karena khawatir kalau rokok tidak tersedia setiap saat menginginkannya. d. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Perokok menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaannya rutin. Pada orang-orang tipe merokok yang sudah menjadi kebiasaan, merokok merupakan suatu perilaku 36 yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari. Perokok menghidupkan api rokoknya bila rokok yang terdahulu telah benarbenar habis. Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku merokok. Berdasarkan tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, Mu’tadin (2002: 46) menggolongkan tipe perilaku merokok menjadi: a. Merokok di tempat-tempat umum, terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu: kelompok homogen (sama-sama perokok), secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih menghargai orang lain, perokok menempatkan diri di smoking area dan kelompok yang heterogen (merokok di tengah orang-orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo dan orang sakit). b. Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi seperti kantor atau di kamar tidur pribadi. Perokok memilih tempat-tempat pribadi yang sebagai tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh rasa gelisah dan mencekam. Toilet pun tak jarang dijadikan sebagai tempat untuk merokok. Perokok dapat digolongkan sebagai orang yang suka berfantasi. 3. Tahapan dalam Merokok Leventhal & Clearly (Komalasari & Helmi, 2000: 56) menyebutkan empat tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu: 37 a. Tahap preparatory, seseorang mendapat gambaran yang menyenangkan tentang merokok dengan cara mendengar, melihat atau dari hasil bacaan untuk menimbulkan minat merokok. b. Tahap initiation, tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan atau tidak terhadap perilaku merokok. c. Tahap becoming a smoker, apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak empat batang perhari maka mempunyai kecenderungan menjadi perokok. d. Tahap maintenance of smoking, merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan. 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Laventhal & Dhuyvettere (Smet, 1994: 24)Perilaku merokok merupakan perilaku yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi masih banyak orang yang melakukannya. Orang mulai merokok ketika masih remaja. Sejumlah studi menegaskan sebanyak 85%-95% perokok mulai merokok sebelum usia 18 tahun. Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab mengapa seseorang merokok. Menurut Levy (1984:56) setiap individu mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan tujuan seseorang merokok. Pendapat tersebut didukung oleh Smet (1994: 87) yang 38 menyatakan seseorang merokok karena faktor-faktor socio cultural seperti kebiasaan budaya, kelas sosial, gengsi, dan tingkat pendidikan. Faktor dari dalam diri remaja dapat dilihat dari kajian perkembangan remaja. Remaja mulai merokok dikatakan oleh Erikson (Komalasari & Helmi, 2000: 17) berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati dirinya. Masa remaja dilukiskan sebagai masa badai dan topan karena ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial. Tidak semua dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat ketika remaja melakukan upaya-upaya untuk menemukan jati diri. Merokok menjadi suatu cara agar remaja tampak bebas dan dewasa saat remaja menyesuaikan diri dengan teman sebayanya. Istirahat, santai dan kesenangan, penampilan diri, rasa ingin tahu, rasa bosan, sikap menentang dan stres mengkontribusi remaja untuk mulai merokok. Rasa rendah diri, hubungan interpersonal yang kurang baik, putus sekolah, sosial ekonomi yang rendah dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah serta tahun-tahun pertama transisi antara sekolah dasar dan sekolah menengah juga menjadi faktor resiko yang mendorong remaja mulai merokok. Mu’tadin (2002: 14) mengemukakan alasan mengapa remaja merokok, antara lain: a. Pengaruh Orang Tua Remaja yang berasal dari keluarga konservatif akan lebih sulit untuk terlibat dengan rokok maupun obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang permisif, dan yang paling kuat pengaruhnya adalah bila orang tua sendiri menjadi figur 39 contoh yaitu perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin sekali untuk mencontohnya. Perilaku merokok lebih banyak didapati pada seseorang yang tinggal dengan satu orang tua (single parent). Remaja berperilaku merokok apabila ibu para remaja merokok daripada ayah yang merokok. b. Pengaruh Teman Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, pertama remaja terpengaruh oleh teman-teman atau sebaliknya. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula dengan remaja non perokok. c. Faktor Kepribadian Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Satu sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas sosial. Ariyadin (2009: 54) menyatakan orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai tes konformitas sosial lebih menjadi perokok dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor yang rendah. d. Pengaruh Iklan Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut. 40 Laventhal & Clearly (Nasution, 2007: 17) menyatakan faktor seseorang merokok terbagi menjadi dua faktor utama, yaitu: a. Faktor Psikologis 1) Kebiasaan Perilaku merokok menjadi sebuah perilaku yang harus tetap dilakukan tanpa adanya motif yang bersifat negatif ataupun positif. Seseorang merokok hanya untuk meneruskan perilakunya tanpa tujuan tertentu. 2) Reaksi emosi yang positif Merokok digunakan untuk menghasilkan emosi yang positif, misalnya rasa senang, relaksasi, dan kenikmatan rasa. Merokok juga dapat menunjukkan kejantanan (kebanggan diri) dan menunjukkan kedewasaan. 3) Reaksi untuk penurunan emosi Merokok ditujukan untuk mengurangi rasa tegang, kecemasan, ataupun kecemasan yang timbul karena adanya interaksi dengan orang lain. 4) Alasan sosial Merokok dutujukan untuk mengikuti kebiasaan kelompok (umumnya pada remaja dan anak-anak), identifikasi dengan perokok lain, dan untuk menentukan image diri seseorang. Merokok pada anak-anak juga dapat disebabkan adanya paksaan dari teman-temannya. 5) Kecanduan atau ketagihan Seseorang merokok karena mengaku telah mengalami kecanduan. Kecanduan terjadi karena adanya nikotin yang terkandung di dalam rokok. 41 Semula hanya mencoba-coba rokok, tetapi akhirnya tidak dapat menghentikan perilaku tersebut karena kebutuhan tubuh akan nikotin. b. Faktor Biologis Faktor biologis menekankan kandungan nikotin yang ada di dalam rokok yang dapat mempengaruhi ketergantungan seseorang pada rokok secara biologis. Faktor-faktor yang mempengaruhi remaja merokok menurut Silvan Tomkins (Bambang, 2006: 8), yaitu: a. Faktor psikososial Aspek perkembangan sosial remaja antara lain: menetapkan kebebasan dan otonomi, membentuk identitas diri dan penyesuaian perubahan psikososial berhubungan dengan maturasi fisik. Merokok mejadi sebuah cara agar remaja tampak bebas dan dewasa saat mereka menyesuaikan diri dengan teman sebaya. Istirahat, santai dan kesenangan, penampilan diri, rasa ingin tahu, rasa bosan, sikap menentang dan stres mengkontribusi remaja untuk mulai merokok. Rasa rendah diri, hubungan interpersonal yang kurang baik, putus sekolah, sosial ekonomi yang rendah dan tingkat pendidikan orangtua yang rendah serta tahuntahun pertama transisi sekolah dasar dan sekolah menengah juga menjadi faktor resiko yang mendorong remaja mulai merokok. b. Faktor psikiatrik Studi epidemiologi pada dewasa mendapatkan asosiasi antara merokok dengan gangguan psikiatrik seperti skizofrenia, depresi, cemas dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Pada remaja, didapatkan asosiasi antara merokok dengan depresi dan cemas. Gejala depresi lebih sering pada remaja perokok 42 daripada bukan perokok. Merokok berhubungan dengan meningkatnya kejadian depresi mayor dan penyalahgunaan zat-zat tertentu. Remaja dengan gangguan cemas menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang sedang dialami. c. Faktor kognitif Kesulitan untuk menghentikan perilaku merokok akibat dari kecanduan nikotin disebabkan karena perokok merasakan efek bermanfaat dari nikotin. Beberapa perokok dewasa mengungkapkan merokok dapat memperbaiki konsentrasi. Studi yang dilakukan pada dewasa perokok dan bukan perokok, memperlihatkan nikotin dapat meningkatkan finger tapping rate, respon motorik dalam tes fokus perhatian, dan pengenalan memori. d. Faktor lingkungan Faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orangtua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok. Selain itu juga karena paparan iklan rokok di media. Orangtua memegang peranan penting dalam pembentukan perilaku merokok remaja. Sebuah studi terhadap siswa SMA didapatkan prediktor bermakna dalam peralihan dari kadang-kadang merokok menjadi merokok secara teratur adalah orangtua perokok dan konflik keluarga. Gejala yang mungkin timbul pada saat pertama kali remaja mengkonsumsi rokok adalah batuk-batuk, lidah terasa getir dan perut terasa mual. Sebagian besar remaja mengabaikan perasaan yang dirasakan kemudian berlanjut menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan dipersepsikan 43 sebagai kenikmatan yang akan memberikan kepuasan psikologis. Gejala ketergantungan sering disebut tobacco dependency, artinya perilaku merokok merupakan perilaku yang menyenangkan dan bergeser menjadi aktivitas yang obsesif. Secara manusiawi, manusia cenderung menghindari ketidakseimbangan dan lebih senang mempertahankan sesuatu yang selama ini dirasakan sebagai kenikmatan sehingga dapat dipahami jika para perokok sulit untuk berhenti merokok. Perokok berpandangan dengan merokok dapat mengurangi ketegangan, memudahkan berkonsentrasi, pengalaman yang menyenangkan dan relaksasi. 5. Dampak Perilaku Merokok a. Dampak Positif Merokok menimbulkan dampak positif yang sangat sedikit. Graham (Ogden, 2000: 65) menyatakan perokok menyebutkan dengan merokok dapat menghasilkan “mood positif” dan dapat membantu individu menghadapi keadaankeadaan yang sulit. Smet (1994: 47) menyebutkan keuntungan merokok (terutama bagi perokok) yaitu mengurangi ketegangan, membantu berkonsentrasi, dukungan sosial dan menyenangkan. b. Dampak Negatif Sheridan & Rachmacher (Astuti, 2007: 43) mengemukakan merokok merupakan masalah kesehatan masyarakat karena dapat menimbulkan berbagai penyakit. Rokok dan berbagai produk tembakau lainnya bersifat adkitif. Sifat adiktif dikarenakan adanya nikotin yang hanya terkandung dalam tembakau. 44 Nikotin adalah zat psikoaktif yang bersifat adiktif yang dapat menimbulkan adiksi dengan cara yang sama dengan substansi lain seperti kokain dan heroin. Merokok memberikan konsekuensi yang signifikan baik terhadap kesehatan fisik, psikologis serta ekonomis. Dampak merokok terhadap kesehatan telah diketahui secara luas. Merokok berakibat terhadap 25% kematian akibat penyakit jantung koroner, 80% kasus penyakit saluran pernafasan kronis, 90% kematian akibat kanker paru, serta memiliki kontribusi terhadap berkembangnya kanker laring, mulut, dan pankreas, serta kanker paru pada perokok pasif. Perokok pasif yang tinggal bersama perokok memiliki resiko tinggi terkena penyakit kronis (Astuti, 2007: 89). Tomkins (Nasution, 2007: 35) secara psikologis merokok sering dianggap sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan emosi positif, menimbulkan efek relaksasi, menghilangkan kecemasan, menumbuhkan ketergantungan psikologis untuk mengatur keadaan emosinya. Terdapat keuntungan psikologis yang dirasakan, tetapi cara-cara ini bukanlah cara yang adaptif untuk pengatasan masalah. Keuntungan psikologis yang diperoleh tidak sebanding dengan resiko kesehatan fisik yang akan dialami karena biaya kesehatan yang harus dikeluarkan untuk membeli rokok itu sendiri. Merokok juga terkait dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan yang tidak menguntungkan bagi kesehatan, seperti konsumsi obat-obat terlarang, minuman beralkohol, serta berkurangnya aktivitas fisik sebagai pengisi waktu luang (Astuti, 2007: 64). Inisiasi merokok pada usia-usia awal lebih berbahaya daripada penggunaan awal pada usia-usia yang lebih tua karena pada umumnya akan menjadi prediktor 45 bagi sejumlah masalah pada remaja seperti putus sekolah, perilaku seks tidak sehat, dan delinkuensi. Steinberg (Astuti, 2007: 52) merokok merupakan pintu gerbang pertama untuk penyalahgunaan obat-obatan. Sejumlah studi menunjukkan merokok berhubungan dengan penggunaan alkohol dan obat-obatan (Sequera dkk, 2004: 32). Peneliti dari Neuropsychiatric Institute at the University of California, Amerika Serikat, menemukan baik jumlah dan tingkat kepadatan sel yang digunakan untuk berpikir jauh lebih rendah pada orang yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Jumlah dan kepadatan sel mempengaruhi daya ingat. Begitu juga dengan kepadatan sel. Semakin padat, semakin kuat daya ingat. Hasil penelitian yang menunjukkan tingkat kepadatan sel berkurang, mempunyai impilkasi daya ingat perokok tersebut menjadi berkurang, merupakan efek kronis akibat merokok (Trim, 2006: 14). 6. Perilaku Merokok yang Dipelajari (Learned Behavior) Konseling kognitif perilaku didasari oleh teori pembelajaran sosial. Banyak ahli yang meyakini seorang individu mulai merokok karena memang individu mempelajari perilaku merokok dari lingkungan (orangtua, teman sebaya, dan iklan rokok). Dedi H. Hafidz (2010: 144-145) menyatakan beberapa cara individu mempelajari perilaku merokok adalah dengan melakukan peniruan terhadap orang lain (modeling), pengkondisian operan (operant conditioning), dan pengkondisian klasik (classical conditioning). 46 a. Modelling. Orang mempelajari keterampilan yang baru dengan memperlihatkan atau melihat orang lain kemudian mencobanya sendiri. Contohnya anak-anak yang mempelajari bahasa dari orangtuanya dengan cara mendengarkan dan mengikuti apa yang diucapkan oleh orangtuanya. Cara yang sama juga berlaku kepada kasus perilaku merokok. Remaja melihat orangtua atau teman sebayanya merokok, maka individu akan mencoba menghadapi permasalahan hidupnya dengan cara merokok. b. Pengkondisian Operan (Operant Conditioning). Binatang yang biasa digunakan untuk percobaan di laboratorium akan berusaha untuk mendapatkan zat yang biasa disalahgunakan atau dikonsumsi oleh manusia (rokok) karena individu pernah merasakan kandungan zat yang ada di dalam sebatang rokok dapat membuat individu merasa senang, itulah yang dinamakan dengan pemberian motivasi atau dorongan kepada diri sendiri (reinforcing). Konsumsi rokok juga dapat dipandang sebagai perilaku yang pelaksanaannya didorong oleh dampak dari rokok sendiri. Dampak positif yang ditimbulkan rokok seperti efek relaksasi, dapat menimbulkan kenikmatan, dan dapat menimbulkan ketergantungan psikologis untuk mengatur keadaan emosi remaja. Pandangan tentang dampak positif dan negatif dari konsumsi rokok sangat berbeda dari orang yang satu ke orang lain. Penting bagi konselor untuk memahami remaja mengkonsumsi rokok untuk alasan penting dan khusus. 47 c. Pengkondisian Klasik (Classical Conditioning). Pavlov membuktikan seringkali beberapa pasang stumulus (contohnya berderingnya bel) dengan yang lainnya (contohnya munculnya makanan) dapat memunculkan sebuah respon yang dapat dipercaya (contohnya seekor anjing kemudian mengeluarkan air liur). Perilaku merokok dipasangkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan jumlah rokok yang dikonsumsi, waktu merokok (aktivitas dan waktu yang dihabiskan untuk merokok), tempat (tempat umum homogen, tempat umum heterogen, dan tempat pribadi), jenis rokok (berdasarkan rasa, bahan baku, dan filter), dan pengaruh psikologis yang melatarbelakangi perilaku merokok. Timothy (Costa e Silva, 2004: 24) mengemukakan perilaku merokok dapat dikatagorikan ke dalam tiga kategori berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari. Berikut kategori perilaku merokok berdasar jumlah rokok: 1. Kategori tinggi : apabila perokok mengkonsumsi 2-8 batang rokok setiap hari. 2. Kategori sedang : apabila perokok mengkonsumsi 9-15 batang rokok setiap hari. 3. Kategori rendah : apabila perokok mengkonsumsi lebih dari 15 batang setiap hari. Pengklasifikasian perilaku merokok juga dapat dilihat dari tempat orang merokok menurut Bambang Trim (2006: 15): 48 1. Merokok di tempat umum atau ruang publik a) Kelompok homogen, (sama-sama perokok), secara bersama-sama menikmati rokok. Umumnya perokok yang menempatkan diri di smoking area dapat dikatakan masih menghargai orang lain. b) Kelompok heterogen (merokok di tengah orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dll). Perokok tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, kurang etis, dan tidak memiliki tata karma. Bertindak kurang terpuji dan kurang sopan. 2. Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi a) Di kantor atau di kamar tidur pribadi. Perokok digolongkan sebagai individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gelisah yang mencekam. b) Di toilet, perokok dapat digolongkan sebagai orang yang suka berfantasi. Tingkat perilaku merokok pada seseorang dapat dilihat pada waktuwaktu merokok seseorang. Waktu merokok adalah saat-saat dimana seseorang biasa melaksanakan kegiatan merokok dalam aktivitas keseharian seseorang (Costa e Silva, 2004: 45). Waktu merokok dapat dibagi menjadi: pagi hari, sore hari, bangun tidur, saat senggang atau sedang tidak ada pekerjaan, sedang mengamen, buang air besat/kecil, setelah makan. Semakin sering dan intens seseorang merokok pada waktu-waktu tersebut maka semakin menunjukkan seseorang adalah perokok berat, pasalnya semakin sering rokok hadir pada seitap 49 kegiatan keseharian seseorang membuktikan kegiatan merokok sudah menjadi rutinitas bagi individu. C. Layanan Bimbingan untuk Mereduksi Perilaku Merokok pada Remaja Melalui Penggunaan Teknik Restrukturisasi Kognitif 1. Konsep Bimbingan dan Konseling a. Pengertian Bimbingan Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang mengandung beberapa makna. Sertzer & Stone (Syamsu Yusuf, 2009: 38) menemukan guidance berasal dari kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel (Syamsu Yusuf, 2009: 38) mengemukakan guidance mempunyai hubungan dengan guiding: “showing a way” (menunjukkan jalan), leading (memimpin), conducting (menuntun), giving instructions (memberikan petunjuk), regulating (mengatur), governing (mengarahkan), dan giving advice (memberikan nasehat). Penggunaan istilah bimbingan seperti yang telah dikemukakan tampaknya proses bimbingan lebih menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Proses bimbingan yang menekankan kepada pihak pembimbing tentu saja tidak sesuai dengan arah perkembangan dewasa, konseli yang dianggap lebih memiliki peranan penting dan aktif dalam proses pengambilan keputusan serta bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keputusan yang diambil. 50 Pengertian bimbingan yang dikemukakan pendapat dari beberapa ahli, sebagai berikut: 1) Peters dan Shertzeer (Sofyan S. Willis, 2005: 16) mendefinisikan bimbingan sebagai the process of helping the individual to understand himself and his world so that he can utilize his potentialities. Artinya bimbingan merupakan suatu proses bantuan kepada individu untuk memahami dirinya sendiri dan dunia sehingga individu dapat menggunakan kemampuan diri. 2) United States Office of Education (Sofyan S. Willis, 2005: 16) memberikan rumusan bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk memberikan bantuan secara sistematis kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian diri terhadap berbagai bentuk problema yang dihadapi, misalnya problema kependidikan, jabatan, kesehatan, sosial dan pribadi. Pada pelaksanaannya bimbingan harus mengarahkan kegiatan agar peserta didik mengetahui tentang diri pribadi sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. 3) Jones et.al (Sofyan S. Willis, 2005: 21) mengemukakan: “guidance is the help given by one person to another in making choice and adjustment and in solving problem”. Artinya bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dalam membuat pilihan dan peraturan dan dalam memecahkan masalah. 4) Djumhur dan Moh. Surya, (Sofyan S. Willis, 2005: 21) berpendapat bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi, supaya 51 tercapai kemampuan untuk dapat memahami diri (self understanding), kemampuan untuk menerima diri (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan diri (self direction), dan kemampuan untuk merealisasikan diri (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. 5) Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”. 6) Prayitno, dkk. (2003: 14) mengemukakan bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok supaya mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku. Beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli masih terlihat beragam, namun dapat ditarik kesimpulan bimbingan merupakan suatu upaya dalam pemberian bantuan kepada individu atau peserta didik. Bantuan yang dimaksud adalah bantuan yang bersifat psikologis dengan tujuan supaya tercapainya penyesuaian diri, perkembangan optimal dan kemandirian individu yang mendapatkan bimbingan. 52 b. Tujuan Bimbingan Tujuan pelayanan bimbingan (Kartadinata dkk, 2008: 198-200) adalah supaya konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki secara optimal; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerja; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja. Konseli harus mendapat kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangan, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungan, (3) pencapaian tujuan, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri, (5) menggunakan kemampuan untuk kepentingan diri, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungan, dan (7) mengembangkan potensi dan kekuatan yang dimiliki secara optimal. Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli supaya dapat mencapai tugas-tugas perkembangan yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir. 1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah sebagai berikut: a. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam 53 kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah/madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat. b. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing. c. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugerah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta mampu merespon secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut. d. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis. e. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain. f. Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat. g. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga diri. h. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas dan kewajibannya. i. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang dibentuk dalam hubungan persahabatan, persaudaraan, dan silaturahim dengan sesama manusia. j. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain. k. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif. 54 2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) konseli adalah sebagai berikut: a. Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialami. b. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan. c. Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat. d. Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas. e. Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian. 3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir konseli adalah sebagai berikut: a. Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan. b. Memiliki pengetahuan tentang dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir. c. Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. 55 d. Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karir. e. Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja. f. Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merencanakan kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi. g. Dapat membentuk pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. h. Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. i. Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir. c. Fungsi Bimbingan dan Konseling Fungsi bimbingan (Kartadinata, 2008: 200-202) adalah sebagai berikut: 1) Fungsi pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang membantu konseli supaya memiliki pemahaman terhadap dirinya dan lingkungan. 2) Fungsi fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang pada seluruh aspek yang ada pada diri konseli. 56 3) Fungsi penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli supaya dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungan secara dinamis dan konstruktif. 4) Fungsi penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakulikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan sesuai minat, bakat, dan ciri-ciri kepribadian lainnya. 5) Fungsi adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. 6) Fungsi pencegahan (preventif), yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. 7) Fungsi perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berpikir, berperasaan, dan bertindak. 8) Fungsi penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, teknik yang dapat digunakan adalah konseling remedial teaching. 9) Fungsi pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. 57 10) Fungsi pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli (Juntika Nurihsan: 2004: 32). 2. Layanan Bimbingan Pribadi untuk Mereduksi Perilaku Merokok Pada Remaja Syamsu Yusuf (2004: 209) menjelaskan, remaja sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Guna mencapai kematangan, remaja memerlukan bimbingan karena remaja masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang diri dan lingkungan sekitar. Proses perkembangan remaja tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Artinya, proses perkembangan tidak selalu berjalan dalam alur yang lurus atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut. Perkembangan remaja tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) seorang remaja. Apabila perubahan yang terjadi sulit diprediksi maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku remaja, seperti terjadinya stagnasi perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Layanan bimbingan pribadi pada dasarnya bertujuan untuk membantu remaja menghadapi dan memecahkan masalah-masalah pribadi yang dihadapi, 58 misalnya penyelesaian konflik, penerimaan diri, pengembangan diri, dan sebagainya. Bimbingan pribadi dapat memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan remaja dalam menangani masalah pribadi. Bimbingan pribadi mengarah pada pencapaian pribadi yang mantap dengan memperhatikan keunikan dan bidang-bidang permasalahan yang akan dialami oleh remaja. Penggunaan bimbingan pribadi sangat diperlukan untuk membantu remaja yang memiliki perilaku merokok untuk mengurangi intensitas perilaku merokok. Apabila perilaku merokok pada remaja dibiarkan, akan berdampak buruk pada kesehatan dan prestasi belajar. Remaja yang memiliki perilaku merokok memerlukan upaya bantuan bimbingan pribadi yang bersifat responsif. Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan. Tujuan pemberian layanan responsif bagi remaja yang memiliki perilaku merokok adalah membantu remaja dapat mereduksi dan menghilangkan ketergantungan yang berlebih terhadap rokok. Remaja jika dibiarkan terus merokok dan tidak diberikan upaya bantuan yang bersifat segera, akan mengarah pada penggunaan narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya yang menyebabkan remaja melakukan tindakan di luar kesadaran. Pelaksanaan bimbingan pribadi bagi remaja untuk mereduksi perilaku merokok diidentifikasikan (Yusuf, Syamsu, 2004: 36) sebagai berikut: 59 a. Konseling di dalam layanan bimbingan pribadi berdasarkan tingkat perilaku merokok yang dialami siswa dan siswa mampu mereduksi perilaku merokok. b. Langkah kegiatan bimbingan pribadi untuk mereduksi perilaku merokok pada remaja terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut: 1) Perencanaan: analisis kebutuhan siswa, penentuan tujuan kegiatan, penetapan metode dan teknik yang akan digunakan dalam kegiatan, persiapan media dan biaya pelaksanaan kegiatan bimbingan. 2) Pelaksanaan: pemberian layanan bimbingan, pemberian layanan konseling, kerja sama dengan pihak lain seperti guru atau wali kelas dan pihak lain yang mendukung kegiatan. 3) Evaluasi: rencana satuan layanan kegiatan, penggunaan metode dan teknik, sarana, media dan ketepatan waktu. Langkah pada saat pemberian bantuan disesuaikan dengan teknik yang dipilih. 3. Konseling Kognitif-Perilaku Konseling kognitif-perilaku merupakan salah satu pendekatan konseling (counseling approach). Pendekatan konseling sangat penting karena akan memudahkan dalam menentukan arah proses bimbingan dan konseling. Pendekatan konseling kognitif-perilaku merupakan dasar bagi suatu praktik bimbingan dan konseling. Konseling kognitif-perilaku merupakan sebuah pendekatan yang mengkombinasikan konseling kognitif dan konseling behavioral. Secara 60 konseptual konseling kognitif-perilaku (behavioral cognitive counseling) menunjuk pada penggunaan secara kombinatif perspektif kognitif dan perspektif perilaku sebagai pendekatan dalam praktik konseling. Secara teknis, pendekatan kognitif-perilaku menunjuk pada program konseling yang menerapkan teknikteknik konseling yang diambil dari pendekatan perilaku dan pendekatan kognitif untuk menghasilkan perubahan perilaku yang positif pada diri konseli (Yulianti: 2004: 90). Dengan kata lain metode kognitif perilaku mengacu pada metode ilmiah dan logis yang memberikan kesempatan kepada individu untuk mengubah pola pikir, perasaan dan perilaku negatif menjadi positif. Foreyt & Goodrick (1989: 22) mendefinisikan metode kognitif-perilaku sebagai berikut. “Cognitive behavior therapy refers to a set of principles and procedures that share the assumption that cognitive procces affect behavior and these procces can be changed through cognitive and behavior techniques”. Ramli (2005: 435) mendefinisikan metode kogntif-perilaku adalah suatu bentuk terapi yang memadukan prinsip dan prosedur terapi kognitif dan perilaku dalam upaya membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang diharapkan. Berdasarkan beberapa pengertian tentang konseling kognitif-perilaku yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan konseling kognitif-perilaku adalah suatu metode yang sistematis, terstruktur dan singkat untuk mengubah kognisi dan perilaku yang tidak efektif menjadi efektif. Konseling kognitif-perilaku terdiri atas berbagai jenis konseling yang memiliki asumsi, teknik, dan strategi riset yang relatif berbeda seperti rational emotive behavioral therapy, cognitive therapy, dan dialectic behavioral therapy. 61 Masing-masing jenis konseling memiliki karakteristik yang sama. Karakteristik konseling kognitif-perilaku (Corey, 2007: 53) dijelaskan sebagai berikut: a. Konseling kognitif-perilaku berdasarkan model kognitif dalam menjelaskan perilaku emosional. Konseling kognitif-perilaku didasarkan kepada fakta ilmiah bahwa pikiran individu adalah penyebab perasaan dan tingkah laku, bukan hal-hal di luar diri individu seperti manusia, situasi, dan peristiwa. Dengan kata lain individu dapat berpikir, merasa, dan berperilaku dengan lebih baik walaupun situasi tidak berubah asalkan cara berpikir individu berubah menjadi lebih baik. b. Konseling kognitif perilaku memiliki sesi konseling yang lebih singkat dan dilakukan dalam waktu yang terbatas. Sesi konseling kognitif perilaku relatif singkat. Berbeda dengan bentuk konseling lain seperti psikoanalisa yang bisa mencapai waktu satu tahun untuk melakukan konseling. Dengan demikian, konseling kognitif-perilaku memungkinkan masalah individu selesai dalam waktu singkat. c. Suatu hubungan yang baik antara konselor dan konseli diperlukan supaya konseling berjalan dengan efektif. Beberapa bentuk konseling berasumsi alasan utama individu menjadi lebih baik dalam konseling adalah karena adanya hubungan yang positif antara konselor dan konseli. Konseling kognitif-perilaku juga meyakini pentingnya hubungan yang baik antara konselor dan konseli, namun hubungan baik saja tidak cukup bila tidak diiringi dengan keyakinan individu dapat belajar merubah cara pandang atau berpikir sehingga individu dapat mengkonseling dirinya sendiri. 62 d. Konseling kognitif-perilaku merupakan konseling kolaboratif antara konselor dan konseli. Konselor berupaya mempelajari, memahami maksud dan tujuan yang diharapkan serta kemudian membantu konseli mencapai tujuan yang diharapkan kemudian membantu konseli mencapai tujuan yang diharapkan. Pada konseling kognitif-perilaku peran konselor adalah mendengarkan, mengajarkan, dan mendorong konseli berbicara, belajar, dan melaksanakan apa yang dipelajari. e. Konseling kognitif perilaku didasarkan kepada sifat filsafat stoics. Konseling kognitif-perilaku tidak mengajarkan konseli bagaimana seharusnya merasakan sesuatu tetapi mengajarkan manfaat merasakan, misalnya, tenang saat berhadapan dengan situasi yang tidak diinginkan. Konseling kognitif-perilaku juga menekankan fakta individu memiliki situasi yang tidak diinginkan apakah merasa bingung tentang situasi tersebut ataukah tidak. Apabila individu bingung tentang masalahnya, maka individu memiliki dua hal yang harus dihadapi, yaitu masalah dan kebingungan tentang masalah tersebut. f. Konseling kognitif-perilaku menggunakan Metode Sokreates. Konselor kognitif-perilaku ingin memperoleh suatu pemahaman permasalahan konseli dengan baik. Karena itu, konselor sering mengajukan pertanyaan seperti, “Bagaimana saya tahu bahwa mereka sedang benar-benar menertawakan saya?” “mungkinkah mereka sedang menertawakan hal lain?”. g. Konseling kognitif perilaku memiliki program terstruktur dan terarah. Konselor konseling kognitif-perilaku memusatkan pemberian bantuan kepada konseli untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Konselor konseling 63 kognitif-perilaku tidak mengajarkan apa yang harus konseli lakukan, melainkan mengajarkan konseli bagaimana mengerjakannya. h. Konseling kognitif-perilaku berdasarkan kepada model pendidikan. Konseling kognitif-perilaku didasarkan kepada asumsi yang didukung secara ilmiah kebanyakan reaksi emosi dan perilaku dipelajari. Konseling kognitifperilaku membantu konseli belajar menghindari reaksi-reaksi yang tidak diinginkan dan belajar cara baru dalam mereaksi sesuatu. Tekanan pendidikan konseling kognitif-perilaku memiliki manfaat tambahan yang mengarah pada hasil jangka panjang. Jika individu memahami bagaimana dan mengapa berbuat baik, maka individu akan terus melakukan apa yang membuat dirinya baik. i. Teori dan teknik konseling kognitif-perilaku berdasarkan kepada metode induktif. Aspek pokok pemikiran rasional adalah pemikiran berdasarkan fakta, bukan hanya berdasarkan asumsi yang dibuat. Metode induktif mendorong individu untuk melihat pikiran-pikirannya sebagaimana dihipotesiskan yang dapat dipertanyakan dan diuji. Metode induktif membuat individu jika diketahui hipotesisnya tidak benar, maka individu dapat mengubah pikirannya sesuai dengan situasi yang sebenarnya. j. Tugas rumah merupakan ciri utama konseling kognitif-perilaku. Konseling kogntif-perilaku menetapkan tugas-tugas berupa bacaan dan mendorong konseli berlatih teknik-teknik yang dipelajari agar tujuan yang diinginkan tercapai. 64 Sasaran konseling kognitif-perilaku adalah aspek kognitif dan perilaku individu, maka teknik-teknik yang diperlukan dalam mengubah perilaku merokok (Baker, 2004: 16) sebagai berikut: 1. Analisa Fungsi Kognitif (Functional Analysis) Analisa fungsi kognitif adalah salah satu teknik dalam konseling kognitifperilaku yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi kognitif konseli setelah menjadi adiksi terhadap perilaku merokok. Analisa fungsi kognitif yang merupakan kelompok teknik intervensi yang dilakukan untuk membongkar akarakar keyakinan irrasional yang dimiliki konseli. Pola kognitif adiksi sangat khas, pikiran remaja berputar hanya sekitar bagaimana menghilangkan masalah dengan cara merokok, bagaimana mendapatkan rokok dan menghisap rokok. Pola kognisi yang harus diubah dengan analisa fungsi kognitif adalah pikiran remaja tidak akan hidup bahagia tanpa mengkonsumsi rokok, yaitu dengan cara konselor membantu remaja untuk mengidentifikasi pikiran, perasaan dan keadaan sekitar sebelum dan sesudah mengkonsumsi rokok, sehingga remaja dapat menilai hal-hal yang menentukan penggunaan rokok dan resiko-resiko tinggi terhadap penggunaan rokok dan memberikan pengertian mengapa remaja menggunakan rokok. 2. Latihan Keterampilan (Skill Training) Latihan keterampilan adalah suatu program latihan yang membantu remaja kecanduan rokok belajar meninggalkan adiksi yang terbentuk oleh penggunaan rokok, kemudian belajar kembali keterampilan dan kebiasaan bersih dari penggunaan rokok. Latihan keterampilan merupakan penerapan teknik perilaku, 65 yaitu teknik-teknik intervensi yang digunakan dengan tujuan membiasakan remaja mengalami dan bertindak dengan perilaku baru yang disepakati dalam proses terapi (Ramli, 2005: 442). Latihan keterampilan digunakan berdasarkan asumsi sebagai berikut: a. Individu mungkin tidak pernah belajar strategi efektif untuk mengatasi masalah dan tantangan hidup, sementara penggunaan rokok dimulai pada masa remaja, maka diperlukan latihan keterampilan hidup yang belum pernah dipelajarinya (building skill). b. Walaupun individu telah mendapatkan strategi efektif dalam mengatasi masalah, namun keterampilan tersebut dapat hancur karena penggunaan rokok, individu lupa dengan keterampilan yang telah dimiliki tergantikan oleh keterampilan menggunakan rokok, maka perlu dilakukan latihan keterampilan kembali dalam hidup yang pernah dimilikinya (rebuild skill). Kemampuan individu untuk menggunakan strategi mengatasi masalah yang efektif dapat melemah oleh masalah lain (penggunaan rokok), maka diperlukan penguatan keterampilan dengan latihan keterampilan. 4. Penggunaan Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Mereduksi Perilaku Merokok pada Remaja Restrukturisasi kognitif merupakan alternatif teknik dari konseling kognitif behavioral yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli kognitif behavioral yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli kognitif behavioral, seperti Dobson & Dobson. Restrukturisasi kognitif dikarakterisasikan ke dalam 66 asumsi mendasar, pertama seseorang dianggap sebagai active knower, yang secara sengaja melibatkan diri dalam memahami dirinya. Kedua, bahasa berfungsi sebagai wadah utama tempat seseorang merekonstruksi pemahamannya tentang dunia. Para terapis secara khusus tertarik kepada produk bahasa seperti cerita dan metafora yang bisa dilihat sebagai cara untuk menstrukturkan pengalaman. Ketiga, adanya dimensi perkembangan dalam kapasitas manusia untuk mengkontruksi dunia dirinya sendiri (Neenan & Dryder, 2004: 9). Perilaku merokok muncul pada kondisi psikologis tertentu. Kondisi remaja yang sedang stres memiliki kecenderungan yang lebih sulit untuk berhenti merokok. Orang yang depresi memiliki kecenderungan dua kali lebih banyak untuk menjadi seorang perokok daripada orang yang tidak depresi. Restrukturisasi kognitif merupakan salah satu teknik yang menitikberatkan pada perubahan tingkah laku melalui interaksi dengan diri sendiri dan perubahan struktur kognitif (Baker et al, 2004: 12). Remaja yang memiliki perilaku merokok disebabkan karena kondisi psikologis yang membuat remaja tertarik dan terus merokok hingga menghabiskan puluhan batang. Kondisi psikologis yang membuat remaja terus merokok adalah stres, frustasi, perasaan sedang down, bosan, dan gugup. Kondisi psikologis yang buruk semakin membuka jalan bagi remaja untuk terus merokok. Apabila remaja dibiarkan dapat mengarah pada perilaku merokok (Komalasari & Helmi, 2000: 2). Salah satu teknik yang digunakan untuk mereduksi perilaku remaja terhadap rokok melalui pendekatan kognitif-perilaku adalah teknik restrukturisasi 67 kognitif. Restrukturisasi kognitif pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyusunan kembali kognitif, memfokuskan pada pengubahan verbalisasi diri remaja dan restrukturisasi berperan sentral (Baker et al, 2004: 32). Restrukturisasi kognitif adalah salah satu teknik yang digunakan dalam teori kognitif perilaku yang menitikberatkan pada kognitif yang menyimpang. Konseling akan diarahkan pada modifikasi fungsi berpikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Pada akhirnya restrukturisasi kognitif diharapkan dapat membantu siswa dalam mereduksi perilaku merokok dengan mengubah perilaku dari yang negatif menjadi positif (Neenan & Dryder, 2004: 45). Secara tradisional masa remaja merupakan periode “badai dan tekanan”, suatu masa di mana kondisi psikologis tidak stabil sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pertumbuhan pada tahun-tahun awal masa puber terus berlangsung tetapi berjalan agak lambat. Pertumbuhan yang terjadi terutama bersifat melengkapi pola yang sudah terbentuk pada masa puber (Komalasari & Helmi, 2000: 3). Remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Ketidakstabilan remaja merupakan suatu masalah yang tidak dapat dielakkan. Untuk mengatasi masalah, remaja harus memiliki kesiapan diri untuk menghadapi keadaan apapun, termasuk masalah ketidakstabilan remaja. 68 Remaja yang tidak memiliki kesiapan diri dalam mengadapi masalah akan mempengaruhi keadaan psikologis yang negatif (Komalasari & Helmi, 2000: 5). Remaja yang sedang stres, depresi, frustasi, perasaan sedang down, bosan, dan gugup memiliki dua kali kecenderungan lebih kuat untuk menjadi seorang perokok daripada remaja lain. Remaja kenyamanan merasakan didapat kenyamanan ketika dari kandungan nikotin sedang merokok. Efek yang menyebabkan otak mengeluarkan bahan-bahan kimia yang dinamakan neurotransmitter. Beberapa dari bahan-bahan kimia, seperti beta-endorphin dan norepinephrine dapat menyebabkan orang merasa lebih baik (feel better), tetapi hanya untuk waktu singkat. Remaja dapat meningkatkan mood untuk beberapa saat dan kepuasaan secara cepat dari efek nikotin sebagai sebuah stimulan yang dapat menimbulkan kenikmatan setelah merokok (Komalasari & Helmi, 2000: 7). Selain kandungan bahan-bahan kimia dari rokok, remaja sering menikmati seni menyalakan dan menghisap rokok sebagai cara untuk beristirahat sejenak dari stres yang sedang dialami. Seperti aktivitas-aktivitas lain, merokok dapat mengalihkan remaja dari permasalahan-permasalahan hidup. Sebagian remaja meyakini perilaku merokok merupakan salah satu dukungan sosial. Perilaku merokok dapat memberikan kenyamanan di saat stres. Terakhir, remaja pecandu rokok akan merasakan kondisi yang lebih baik setelah merokok. Mereduksi perilaku merokok pada remaja memerlukan bantuan kepada remaja dengan cara membantu remaja dalam memahami bagaimana aspek pemikiran, perasaan, tindakan, perasaan fisik, dan situasi dari pengalaman seseorang saling 69 berinteraksi sehingga dapat memahami lebih baik masalah yang sedang dihadapi. Salah satu cara untuk membantu mereduksi perilaku merokok pada remaja yaitu dengan teknik restrukturisasi kognitif (Choerunnisa, 2008: 25). Teknik restrukturisasi kognitif mengidentifikasi gangguan emosional (emotional disorder) dengan mencari emosi negatif, pikiran otomatis dan keyakinan utama. Konselor diharapkan mampu (Neenan & Dryden, 2004: 32): a. memberikan bukti bagaimana sistem keyakinan dan pikiran otomatis sangat erat hubungannya dengan emosi dan tingkah laku, dengan cara menolak pikiran negatif secara halus dan menawarkan pikiran positif sebagai alternatif untuk dibuktikan bersama; dan b. memperoleh komitmen konseli untuk melakukan modifikasi secara menyeluruh, mulai dari pikiran, perasaan sampai perbuatan, dari negatif menjadi positif. Berikut adalah tahapan implementasi restrukturisasi kognitif dalam mereduksi perilaku merokok remaja. a. Tahapan pertama: Asesmen dan Diagnosa Asesmen dan diagnosa di tahap awal bertujuan untuk memperoleh data tentang kondisi konseli yang akan ditangani serta mengantisipasi kemungkinan kesalahan penanganan pada proses konseling. Di tahap pertama dilakukan kegiatan sebagai berikut. 1) Penyebaran alat ukur perilaku merokok remaja untuk mengumpulkan informasi mengenai tingkat perilaku merokok remaja. 70 2) Melakukan kontrak konseling dengan konseli supaya konseli mampu berkomitmen untuk mengikuti proses konseling dari tahap awal sampai tahap akhir. b. Tahapan kedua: Mengidentifikasi Pikiran-Pikiran Negatif Remaja. Sebelum konseli diberikan bantuan untuk mengubah pikiran-pikiran yang mengalami disfungsi, terlebih dahulu konselor perlu membantu konseli untuk menyadari disfungsi pikiran-pikiran yang konseli miliki dan memberitahukan secara langsung kepada konselor. Pada level umum, konseli didorong untuk kembali pada pengalaman dan melakukan introspeksi atau merefleksikan pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui. c. Tahapan ketiga: Memonitor Pikiran-Pikiran Remaja melalui Thought Record. Pada tahap ketiga, konseli dapat diminta untuk membawa buku catatan kecil yang berguna untuk menuliskan tugas pekerjaan rumah, hal-hal yang berhubungan dengan perlakuan dalam konseling, dan mencatat pikiran-pikiran negatif. Berikut adalah format yang diajukan untuk mencatat pikiran-pikiran negatif konseli. Tabel 2.2 Rekaman Pikiran Situasi Pikiran yang Muncul Emosi (diberi tingkat intensitas 0-100) Tindakan yang dilakukan 71 Format yang tertetera pada Tabel 2.2 dapat dibuat oleh konseli atau disiapkan oleh konselor sebagai format yang sudah dicetak dalam kertas. Format dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, karena yang terpenting bukan terletak pada format rekaman pikiran akan tetapi pada isi informasi yang terdapat pada format. Melalui format rekaman pikiran yang disepakati, konseli harus menjadi partisipan yang aktif dalam memutuskan cara-cara merekam informasi, sehingga dapat berguna dan dapat meningkatkan efektivitas pengerjaan pekerjaan rumah. d. Tahapan keempat: Intervensi Pikiran-Pikiran Negatif Remaja menjadi Pikiran-Pikiran yang Positif . Pada tahap kelima, pikiran-pikiran negatif konseli yang telah terkumpul dalam thought record dimodifikasi. Beberapa hal mengenai pikiran-pikiran negatif meliputi hal-hal sebagai berikut (Dobson & Dobson, 2009: 127). 1) Menemukan pikiran-pikiran negatif yang berhubungan dengan reaksi emosi yang kuat. 2) Menemukan pikiran-pikiran yang berkaitan dengan pola respon perilaku yang kuat. 3) Menemukan pikiran-pikiran yang memiliki tingkatan keyakinan yang tinggi. 4) Menemukan pikiran-pikiran yang berulang, karena pikiran-pikiran yang dikemukakan berulang-ulang menunjukkan pola berpikir konseli. 72 Pada awal mengintervensi pikiran-pikiran negatif konseli, secara umum terdapat tiga pertanyaan umum yang dapat digunakan, yaitu: 1) Apa bukti dari pikiran-pikiran negatif anda? 2) Apa saja alternatif-alternatif pikiran untuk memikirkan situasi-situasi yang anda temui? 3) Apa saja pengaruh dari cara berpikir seperti itu? Hal penting yang harus diperhatikan oleh konselor dalam menangani perilaku merokok pada remaja adalah kompetensi konselor. Seorang konselor yang profesional adalah konselor yang memahami konsep bimbingan dan konseling yang baik. Bimbingan pribadi dan teknik restrukturisasi kognitif untuk membantu remaja yang memiliki perilaku merokok, konselor juga harus mempunyai pengetahuan tentang perilaku merokok remaja, cara penanggulangan, dan tugas perkembangan remaja, agar dalam penanganan perilaku merokok yang dialami siswa SMA dapat berkurang. Teknik yang dirancang dengan pengelolaan yang terstruktur dengan baik diharapkan mampu mengurangi perilaku merokok yang terjadi di kalangan siswa SMA. 5. Evaluasi Implementasi Layanan Evaluasi kegiatan layanan intervensi adalah segala upaya, tindakan atau proses untuk menentukan derajat kualitas kemajuan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan layanan konseling melalui teknik restrukturisasi kognitif terhadap remaja yang memiliki perilaku merokok. 73 Tujuan kegiatan evaluasi kegiatan layanan intervensi adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi keberhasilan pelaksanaan kegiatan layanan intervensi teknik restrukturisasi bagi remaja yang memiliki perilaku merokok. Teknik restrukturisasi kognitif diharapkan dapat mereduksi perilaku merokok pada remaja yang dilakukan dengan cara memeriksa dan mengubah aspek pemikiran dan keyakinan negatif yang sedang dialami remaja. Tujuan akhir intervensi dari teknik restrukturisasi kognitif adalah penurunan atau reduksi perilaku merokok pada diri remaja. Aspek-aspek yang dievaluasi yaitu hasil. Penilaian hasil dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi perilaku merokok pada remaja ditinjau dari hasil yang diperoleh. Hal-hal yang dilakukan dalam rangka mengevaluasi implementasi layanan adalah: a. Mengembangkan instrumen pengumpul data, yaitu alat ukur tingkat perilaku merokok yang diberikan dalam post-test (angket). b. Mengumpulkan dan menganalisis data yang telah diperoleh melalui instrumen pengumpul data.