BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kecenderungan Bunuh Diri 1. Pengertian Kecenderungan Bunuh Diri Kecenderungan dalam kamus besar bahasa Indonesia (kamus.sabda.org) adalah suatu keinginan yang berasal dari hati untuk melakukan hal yang dinginkan. Menurut Chaplin (2011), kecenderungan atau tendency adalah satu atau suatu disposisi untuk bertingkah laku dengan satu cara tertentu. Bunuh diri adalah kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan disengaja (Kaplan dkk, 2010). Menurut Edwin Scheneidman (dalam Kaplan dkk, 2010) bunuh diri didefenisikan sebagai tindakan pembinasaan yang disadari dan ditimbulkan diri sendiri, yang dipandang sebagai malaise multidimensional pada individu yang menyebabkan suatu masalah dimana tindakan dirasakan sebagai pemecahan yang terbaik. Videbeck (2008) mendefiniskan bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh diri sendiri. Shneidman (dalam Videbeck, 2008) mendefenisikan dua ketegori bunuh diri: a. Bunuh diri langsung Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk mengakhiri hidup, seperti pengorbanan diri (membakar diri), menggantung diri, menembak diri sendiri, meracuni diri, melompat dari tempat yang tinggi, dan menenggelamkan diri. 1 2 b. Bunuh diri tidak langsung Bunuh diri tidak langsung adalah keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai dengan perilaku kronis berisiko, seperti penyalahgunaan zat, makan berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program medis, atau olahraga atau pekerjaan yang membahayakan. Kartono (2000) mendefinisikan bunuh diri adalah perbuatan manusia yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan kehidupan sendiri. Menurut Keliat (1995) bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Keliat (1995) juga berpendapat bahwa bunuh diri adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri kehidupan. Keadaan ini didahului oleh respon maladaptif seperti tidak berdaya, putus asa, apatis atau acuh tak acuh terhadap lingkungan sendiri, gagal dan kehilangan, ragu-ragu, sedih, depresi, dan kemudian bunuh diri. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarakan uraian pengertian dari beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan adalah suatu dorongan dari dalam diri untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan keinginan dengan menggunakan satu cara tertentu. Dan bunuh diri adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh individu untuk mengakhiri hidup sebagai bentuk reaksi dari tekanan yang tidak dapat diatasi seperti tidak berdaya, putus asa, apatis atau acuh tak acuh terhadap lingkungan sendiri, gagal dan kehilangan, ragu- 3 ragu, sedih, depresi sehingga memilih tindakan tersebut sebagai pemecahan masalah. Dengan demikian kecenderungan bunuh diri adalah suatu dorongan yang mengarahkan individu untuk mengakhiri hidupnya karena individu merasa tidak berdaya, putus asa, serta kehilangan harapan sebagai akibat dari tekanan yang tidak dapat diatasi dengan menggunakan suatu cara tertentu. 2. Karakteristik Kecenderungan Bunuh Diri Menurut Yayasan Harapan Permata Hati Kita (2003), karakteristik pemikiran dari orang berkecenderungan untuk bunuh diri adalah : a. Ambivalensi Kebanyakan orang yang ingin bunuh diri memiliki perasaan yang campur aduk tentang bunuh diri itu sendiri. Keinginan untuk hidup dan mati beradu dalam orang tersebut, ada keinginan untuk lari dari rasa sakit dan ada juga hasrat untuk hidup. Kebanyakan dari mereka tidak ingin mati, mereka hanya tidak senang dengan hidup mereka. b. Impulsivitas Bunuh diri adalah merupakan tindakan impulsif, dan sama seperti tindakan impulsif lainnya, dorongan ini bisa bertahan lama atau hanya beberapa menit atau beberapa jam saja. Biasanya dipicu oleh kejadiankejadian negatif. Menolak krisis-krisis tersebut dengan lebih banyak bermain dengan waktu, keinginan untuk bunuh diri dapat di kurangi atau dicegah. 4 c. Rigiditas Apabila orang ingin bunuh diri, pemikiran, perasaan dan tindakan mereka terbatasi. Mereka berpikir untuk bunuh diri secara konstan dan tidak mampu menerima jalan keluar dari masalah. Cara berpikir mereka sangat ekstrim. Menurut Kartono (2000) beberapa karakteristik dari individu yang cenderung melakukan perbuatan bunuh diri antar lain adalah : a. Ada ambivalensi yang sadar atau tidak sadar antar keinginan untuk mati dan untuk hidup. b. Ada perasaan tanpa harapan, tidak berdaya, sia-sia sampai pada jalan buntu, merasa tidak mampu mengatasi segala kesulitan dalam hidupnya. c. Dia merasa pada batas ujung kekuatan, merasa sudah capai total, secara fisik dan secara mental. d. Selalu dihantui atau dikejar-kejar oleh rasa cemas, takut, tegang, depresi, marah, dendam, dosa atau bersalah. e. Adanya kekacauan dalam kepribadiannya, mengalami kondisi disorganisai dan disintegrasi personal, tanpa mampu keluar dari jalan buntu dan tanpa kemampuan untuk memperbaikinya. f. Terayun-ayun dalam macam-macam suasana hati yang kontroversal, agitasi lawan apati, ingin lari lawan berdiam diri, memiliki potensialitas kontra kelemahan dan ketidakberanian. 5 g. Terdapat pengerutan kognitif, ada ketidakmampuan melihat dengan wawasan bening, tidak mampu melihat alternatif lain bahkan meyakini limitasi dan kelemahan dari potensialitas diri. h. Hilangnya kegairahan hidup, hilang minat terhadap aktivitas-aktivitas sehari-hari, pupus kegairahan seksnya, tanpa minat terhadap masyarakat sekitar. i. Banyak penderitaan jasmaniah, mengalami insomnia, mengalami anoreksi atau tidak suka makan, menderita psikastenia dan simptom-simptom psikotis lainnya. j. Penderita pernah sekali atau beberapa kali mencoba melakukan upaya bunuh diri. Sinambela (dalam Cristiani, 2011) menyebutkan ciri-ciri individu yang memiliki kecenderungan bunuh diri : a. Mengasingkan diri atau menarik diri dari relasi dengan rekan sebaya dan anggota keluarganya. b. Tanda-tanda depresi, meskipun pengertian tanda-tanda disini tidak selalu berarti tanda-tanda secara klinis, misalnya: 1) Berkurangnya minat untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan. 2) Menampilkan sikap yang muram, sedih, putus asa dan terkesan kehilangan harapan. 6 3) Terjadi perubahan pada selera makan, berat tubuh, respon perilakunya ketika diajak berbincang-bincang atau pola tidurnya sehari-hari. 4) Kehilangan energi. 5) Membuat (mengungkapkan) pernyataan-pernyataan yang negatif tentang pribadinya. 6) Mengungkapkan keinginan atau khayalan tentang bunuh diri c. Berbicara atau mengungkapkan ide tentang bunuh diri dalam tulisan. d. Upaya awal menuju perilaku bunuh diri. e. Kondisi emosi putus asa (terkesan kehilangan harapan) dan tidak berdaya f. Mulai mengabaikan aspek-aspek kepemilikan pribadinya. Misalnya: mulau membagi-bagikan dan menelantarkan benda kesukaannya. Menurut Gardner (2004), seseorang yang berkecenderungan melakukan bunuh diri memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Mengucapkan komentar semacam “Aku ingin mati saja” atau “Saya ingin lenyap untuk selamanya”. b. Minat atau ketertarikan yang tiba-tiba dan menggebu-gebu terhadap senjata api, pisau, pil tidur, dan sarana-sarana pembunuh lainnya, maupun suatu obsesi mengenai orang yang telah mati akibat bunuh diri. c. Menyerahkan kepada orang lain benda-benda istimewa miliknya tanpa sebab yang jelas, dan mengatakan bahwa hidupnya akan berakhir segera. d. Kesedihannya amat mendalam dan tangisannya penuh duka dan kepedihan. 7 e. Selalu mengucilkan diri sendiri, padahal sebelumnya dia lebih suka bersama-sama dengan orang-orang di sekitarnya. f. Minat dan perhatiannya selalu terfokus pada musik dan lagu-lagu depresif (yang liriknya memuja kematian atau bunuh diri), juga buku-buku serta ilustrasi yang menonjolkan cerita kematian atau bunuh diri. g. Sekurang-kurangnya dalam dua minggu terakhir telah memperlihatkan lima atau lebih gejala-gejala berikut : 1) Perasaannya tertekan. 2) Tidak menaruh minat terhadap apapun. 3) Berat badannya turun drastis. 4) Tidur terus-menerus atau tidak tidur terus-menerus. 5) Gerak-geriknya amat lamban atau sebaliknya serba cepat dan tergesa-gesa. 6) Selalu keletihan. 7) Bersikap menyerah atau merasa sangat bersalah. 8) Dan tidak mampu mengkonsentrasikan pikirannya. 3. Faktor-faktor Risiko Edward Shneidman (dalam Durand & Barlow, 2006) mengidentifikasikan faktor-faktor risiko munculnya tindakan bunuh diri. Faktor-faktor risiko tersebut adalah sebagai berikut : 8 a. Riwayat Keluarga Bila seorang anggota keluarga bunuh diri, risiko bahwa orang lain di keluarga itu akan melakukan tindakan yang sama akan meningkat. Faktanya Brent, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) mencatat risiko percobaan bunuh diri yang meningkat enam kali lipat pada anak dari anggota keluarga yang pernah berusaha bunuh diri dibanding anak dari orang yang belum pernah mencoba bunuh diri. Bila salah seorang saudara kandung juga pelaku percobaan bunuh diri, risiko itu akan meningkat lebih tinggi lagi. Kemungkinan adanya sesuatu yang sifatnya diturunkan ini didukung oleh beberapa studi terhadap anak-anak yang diadopsi. Salah satunya menemukan peningkatan angka bunuh diri pada keluarga biologis orang-orang yang diadopsi, yang telah melakukan tindakan bunuh diri, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol orangorang yang diadopsi tidak melakukan tindakan bunuh diri. Dalam sebuah studi kecil mengenai orang-orang yang kembarannya telah melakukan bunuh diri, 10 dari 26 kembaran monozigotik yang masih hidup, dan tidak satupun di antara 9 kembaran dizigotik yang msaih hidup yang pernah mencoba bunuh diri. Ini menunjukkan adanya kontribusi biologis (genetik) tertentu untuk bunuh diri, meskipun mungkin relatif kecil. b. Neurobiologi Berbagai bukti menunjukkan bahwa level serotonim yang rendah mungkin berhubungan dengan bunuh diri dan percobaan bunuh diri dengan menggunakan cara-cara yang keras. Level serotonim yang 9 ekstrem rendah berhubungan dengan impulsivitas, instabilitas, dan kecenderungan untuk memberikan reaksi yang berlebihan terhadap berbagai situasi. Sehingga, dengan level serotonim yang rendah dapat memberikan kontribusi terhadap terciptanya kerentanan untuk bertindak secara impulsif. Ini mungkin meliputi tindakan bunuh diri, yang kadangkadang merupakan sebuah tindakan impulsif. Studi Brent, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) menunjukkan bahwa transmisi kerentanan untuk gangguan kecemasan, termasuk ciri impulsivitas, dapat memperantarai transmisi percobaan bunuh diri dalam keluarga. c. Gangguang Psikologis yang Sudah Ada Lebih dari 90% orang yang melakukan bunuh diri menderita gangguan psikologis tertentu. Bunuh diri sering kali berhubungan dengan gangguan suasana perasaan, dan ada alasan yang kuat untuk itu. Sebanyak 60% dari seluruh bunuh diri (75% di antara bunuh diri yang dilakukan remaja) berhubungan dengan gangguan suasana perasaan yang sudah ada. Lewinhnson, Rohde, dan Seeley (dalam Durand & Barlow, 2006) menyimpulkan bahwa di kalangan remaja perilaku bunuh diri kebanyakan merupakan pengekspresian depresi berat. Tetapi banyak orang yang mengalami gangguan suasana perasaan tidak mencoba bunuh diri dan sebaliknya banyak orang yang mencoba bunuh diri tidak memiliki gangguan suasana perasaan. Jadi, depresi dan bunuh diri meskipun sangat erat terkait, bersifat independen satu sama lain. Dengan melihat lebih dekat hubungan antara gangguan suasana perasaan dan 10 bunuh diri, beberapa peneliti mengambil keputusan yang merupakan salah satu komponen khas depresi sebagai prediktor bunuh diri yang kuat. Penggunaan dan penyalahgunaan alkohol berhubungan dengan kirakiran 25%-50% bunuh diri dan sangat menonjol di dalam kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja. Brent, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) menemukan bahwa sekitar sepertiga remaja yang melakukan tindakan bunuh diri berada dalam keadaan terintoksikasi saat mereka meninggal dan bahwa lebih banyak lagi yang mungkin berada di bawah pengaruh obat-obatan. Kombinasi berbagai gangguan, seperti penyalahgunaan substansi dan gangguan suasana perasaan atau gangguan perilaku (conduct disorder) pada anak-anak dan remaja, tampaknya menciptakan kerentanan yang lebih kuat dibanding gangguan tunggal mana pun. Sebagai contoh, Hawton, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) menyatakan bahwa prevalensi percobaan dan percobaan berulang bunuh diri akan dua kali lebih tinggi bila ada kombinasi gangguan. Bagi remaja menurut Woods, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) menemukan bahwa penyalahgunaan substansi ditambah risk takingbehavior (perilaku ambil risiko) lainnya, misalnya terlibat dalam perkelahian, membawa senjata api, atau merokok, memprediksi bunuh diri pada remaja usia belasan, yang mungki merefleksikan impulsivitas pada remaja yang penuh masalah. Esposito dan Clum (dalam Durand & Barlow, 2006) juga mengemukakan bahwa kemunculan gangguan 11 kecemasan dan gangguan suasana perasaan (yang di internalisasikan) memprediksi percobaan bunuh diri pada remaja. Percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan sebelumnya merupakan faktor kuat lain yang harus dianggap serius. Gangguan lain yang ditandai oleh impulsivitas daripada oleh depresi adalah boderline personality disorder (gangguan kepribadian ambang). Frances dan Blumenthal (dalam Durand & Barlow, 2006) menyatakan bahwa individu-individu ini, yang diketahui menunjukkan gerak-gerik bunuh diri yang manipulatif dan impulsif tetapi sebenarnya belum tentu ingin merusak dirinya sendiri, kadang-kadang secara tidak sengaja membuat diriya sendiri terbunuh (10% dari kasus). Kombinasi antara gangguan kepribadian ambang dan depresi sangat mematikan. Keterkaitan antara bunuh diri dengan gangguan-gangguan psikologis berat, terutama depresi, melatarbelakangi mitos bahwa bunuh diri adalah respons terhadap kekecewaan yang tidak akan dilakukan oleh yang sehat. d. Kejadian-kejadian Hidup yang Stressful Faktor risiko yang terpenting untuk bunuh diri adalah kejadian stressful berat yang memalukan atau membuat orang merasa terhina, misalnya kegagalan (riil maupun tidak riil) di sekolah atau di tempat kerja, penahanan yang terjadi di luar dugaan, atau perasaa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Penganiayaan fisik dan seksual juga merupakan sumber stres yang terpenting, bukti-bukti mutakhir membenarkan bahwa stres dan distrupsi akibat bencana alam meningkatkan kemungkinan 12 bunuh diri. Berdasarkan data dari 337 negara yang mengalami bencana alam selama tahun 1980an, para peniliti menyimpulkan bahwa angka bunuh diri naik sebesar 13,8% dalam waktu 4 tahun setelah terjadinya banjir, 31% dalam waktu 2 tahun setelah angin topan, dan 62,9% di tahun pertama setelah gempa bumi. Karena kerentanan yang sudah ada sebelumnya termasuk adanya gangguan psikologis, ciri sifat impulsif dan kurangnya dukungan sosial sebuah kejadian yang steressful sering kali dapat membuat orang merasa tidak mampu mengatasi. Menurut Kartono (2000), faktor - faktor lain yang memberikan kontribusi munculnya kecenderungan bunuh diri antara lain ialah: a. Faktor sosiologis Berupa disintegrasi dan disorganisasi sosial yang mengakibatkan disintegrasi-disorganisasi pribadi atau personal, masa-masa krisis, peristiwa-peristiwa erosi dari norma-norma, nilai-nilai dan lain-lain. b. Faktor ekonomi Berupa status ekonomi, depresi ekonomi, jatuh miskin secara mendadak, dan lain-lain. c. Faktor politik Berupa perubahan-perubahan iklim politik dengan macam-macam tekanannya, degradasi secara politis, perubahan peranan dalam dunia politik dan lain-lain. d. Faktor pendidikan 13 Misalnya kegagalan studi di sekolah atau universitas. Sehingga orang yang bersangkutan lebih suka memilih kedamaian abadi di balik kematian dirinya, guna menyingkiri macam-macam kesulitan serta aib yang rasarasanya tidak dikuasai oleh dirinya. 4. Faktor Penyebab Bunuh Diri Ada berbagai macam penyebab yang membuat seseorang mengambil jalan pintas untuk melakukan aksi bunuh diri. Pertama, kesulitan ekonomi menjadi alasan utama. Kedua, kurang harmonisnya hubungan keluarga sehingga mempermudah terjadinya perselisihan. Ketiga, dampak negatif pemberitaan media (Syakib, 2008). Secara psikologis motivasi bunuh diri antara lain rasa kecewa karena gagal atau hilangnya suatu harapan, rasa putus asa karena tekanan kehidupan dan rasa putus asa karena penyakit yang berkepanjangan (Hawari, 2010). Hadriami (dalam Cristiani, 2011) menuturkan bahwa faktor psikologis yang menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan bunuh diri antara lain: a. Depresi Depresi sebagai introyeksi kemarahan karena kehilangan objek cinta. Jadi kemungkinan kecenderungan bunuh diri merupakan kemarahan yang ditujukan ke diri sendiri setelah kehilangan dan keinginan balas dendam yang ditujukan ke diri sendiri. 14 b. Putus Asa Dalam teori “cognitive behavioral” dijelaskan bahwa keputusasaan memiliki peran penting diambilnya keputusan bunuh diri. Orang yang mempunyai pandangan selalu pesimis terhadap masa depan, pesimis dalam menyelesaikan masalah, akan cenderung membesarkan masalah, pola berpikirnya kaku, dan melihat bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar. c. Dukungan Sosial Faktor lain yang juga bisa mendorong orang memiliki kecenderungan bunuh diri yaitu tidak adanya dukungan sosial dan peran bermakna di lingkungannya. Apabila seseorang memiliki masalah berat dan dia merasa sendirian, tidak ada yang menghiraukan dan dia takut meraih perhatian orang lain karena dia merasa kecil dan tak berharga, maka jalan ke arah bunuh diri akan dekat. Adanya relasi dalam keluarga atau perkawinan yang berkualitas baik akan sangat membantu menghindarkan tindakan bunuh diri. Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang cenderung melakukan tindakan bunuh diri (Suryani, 2008) : a. Faktor yang datang dari dalam dirinya sendiri Faktor dari dalam dirinya sendiri antara lain karena kepribadian yang belum matang yang menyebabkan ia tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapinya. Bisa juga karena trauma yang dialaminya waktu berada di dalam kandungan ibunya, waktu proses kelahiran, waktu dibesarkan, dan waktu dewasa yang dapat mempengaruhi cara berpikir, 15 emosi, perilaku, dan cara bereaksi terhadap masalah yang dihadapinya. Bisa juga karena stress yang menyebabkan terjadi konflik, frustasi, cemas, depresi, marah, dan reaksi lainnya sehingga karena tidak mampu mengatasinya ia berada dalam kebingungan dan akhirnya mengambil jalan pintas bunuh diri. b. Faktor yang datang dari luar dirinya Yakni masalah yang datang dari keluarga, teman dekat, teman sekolah, atau kantor, atau masalah ekonomi, pergaulan, politik, kemacetan lalu lintas, kesulitan mendapartkan rumah yang sehat, pengaruh media cetak dan elektronika, dan sebagainya. Dorongan dan keinginan melakukan tindakan bunuh diri sangat dipicu oleh tayangan TV dan berita di media cetak yang melukiskan dengan gamblang dan mendetail. Tayangan dan bacaan ini tersimpan di dalam memorinya dengan baik. Pada saat ia mengalami masalah besar dan kemampuan memberikan pertimbangan baik tidak berfungsi karena kebingungan dan keputusasaan, timbul dorongan dan pertimbangan untuk melakukan tindakan bunuh diri yang tersimpan di dalam memorinya. B. Spiritualitas 1. Pengertian spiritualitas Menurut perspektif bahasa ‘spiritualitas’ berasal dari kata ‘spirit’ yang berarti ‘jiwa’. Dan istilah “sipiritual” dapat didefinisikan sebagai pengalaman 16 manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas. Menurut kamus webster (1963) kata spirit berasal dari kata bahasa latin “spiritus” yang berarti hembusan atau nafas. Kata kerjanya ‘spirane” yang artinya bernafas. Dengan kata lain spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Spiritualitas juga dapat berarti keadaan atau kualitas yang berkaitan dengan agama atau kualitas menjadi spiritual. Parks (dalam Love, 2002) menggambarkan spiritualitas sebagai sebuah pencarian personal untuk menjadi berarti, transenden, menyadari keseluruhan jiwa, mencari tujuan, dan memahami spirit sebagai yang menghidupkan esensi pada hidup. Dewit-Weaver (dalam McEwen, 2004) mendefinisikan spiritual sebagai bagaian dari dalam diri individu (core of individuals) yang tidak terlihat (unseen, invisible) yang berkontribusi terhadap keunikan serta dapat menyatu dengan nilai-nilai transendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/high power dengan Tuhan/God) yang memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan. Spiritualitas juga didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk membuat dan mencari makna melalui rasa keterhubungan pada dimensi yang melebihi diri sendiri (Reed, dalam McEwen, 2004). Defenisi lain menyatakan bahwa spiritualitas adalah prinsip hidup seseorang untuk menemukan makna dan tujuan hidup serta hubungan dan 17 rasa keterikatan dengan sesuatu yang misteri, maha tinggi, Tuhan, atau sesuatu yang universal (Burkhardt, dalam McEwen 2004). Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip dengan suatu cara yang berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih. Larson (2003) menyatakan bahwa spiritualitas mengacu kepada orientasi seseorang terhadap pengalaman-pengalaman transedensi atau karakteristik hakiki dari kehidupan, seperti makna, arah dan tujuan hidup, serta keterkaitannya. Kadang-kadang spiritualitas mengacu pada pencarian hal-hal suci dalam kehidupan. Spiritualitas merupakan sebuah bentuk multidimensi dan dinamis. Emmons (2003) mengatakan bahwa sangatlah terlalu sederhana untuk menganggap spiritualitas sebagai tingkah laku yang pasif dan statis yang dimiliki seseorang, atau perilaku yang terikat di dalamnya, seperti ritualritual. Hal ini diperkuat dengan penjelasan Friedman et al (dalam Haskell, 2003) yang mendefenisikan spritualitas sebagai proses aktif dan positif yang melibatkan pencarian aktivitas-aktivitas yang mengembalikan seseorang kepada rasa keterpaduan (coherence), menuju kualitas keutuhan dan kedamaian dalam diri. Beberapa ahli menyamakan konsep spiritualitas dengan agama atau praktik-praktik keagamaan (Emblen & Halstead, 1993; dalam Smith, 1994). Menurut mereka, spiritualitas tidak bertentangan dengan agama, tetapi 18 spiritualitas merupakan fenomena yang lebih inklusif. Bagi beberapa individu, spiritualitas bisa dihubungkan serta diungkapkan melalui agama formal, sedangkan bagi sebagian individu yang lain, spiritualitas dianggap tidak berkaitan dengan keyakinan-keyakinan keagamaan ataupun afiliasi keagamaan yang lainnya (Elkins, et al. 1998, dalam Smith 1994). Secara eksplisit, Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Lebih jauh, Piedmont (2001) mendefinisikan spiritualitas sebagai usaha individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan pemaknaan pribadi dalam konteks kehidupan setelah mati (eschatological). Elkins, dkk (dalam Smith, 1994) mendeskripsikan spiritualitas dari perspektif humanis dan eksistensial dengan menciptakan definisi dari tulisantulisan Maslow, Dewey, dan Frankl tentang potensi-potensi positif manusia. Elkins, dkk. kemudian memandang spiritualitas sebagai suatu fenomena yang secara potensial berada di dalam diri setiap manusia. Menurut mereka, spiritualitas dapat diartikan sebagai jalan untuk menjadi serta mengalami kesadaran spiritual yang diperoleh melalui kesadaran dimensi transendental yang ditandai oleh nilai-nilai yang mampu diidentifikasi baik yang datang dari diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan maupun nilai-nilai yang mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan puncak (Ultimate). Dari definisi dan penjelasan mengenai spiritualitas yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah bagian 19 terdalam dan esensial dari diri individu yang menyatukedalam rasa keterpaduan, keterhubungan, dan rasa keterikatan terhadap nilai-nilai transendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/high power dengan Tuhan/God) dengan menyadari keseluruhan jiwa untuk menjadi berarti, transenden, dan memahami serta mencapai makna dan tujuan hidup sehingga tercapai kedamaian yang hakiki. 2. Karakteristik& Dimensi Spiritualitas a. Karakteristik Spiritualitas Beberapa karakteristik spiritualitas yang dikemukakan olehHamid (2000) adalah sebagai berikut : 1. Hubungan dengan diri sendiri a) Pengetahuan mengenai diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya). b) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri sendiri) 2. Hubungan dengan alam a) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim. b) Berkomuikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki) mengabadikan dan melindungi alam. 3. Hubungan dengan orang lain a) Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik. 20 b) Mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit. c) Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dll). 4. Hubungan dengan orang lain yang tidak harmonis : a) Konflik dengan orang lain b) Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi. 5. Hubungan dengan Ketuhanan a) Sembahyang/berdoa/meditasi. b) Perlengkapan keagaamaan c) Bersatu dengan alam Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya apabila mampu : a. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan. b. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan. c. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya, dan cinta. d. Membina integritas personal dan merasa diri berharga. e. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan. f. Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif. 21 b. Dimensi Spiritualitas Elkins, dkk (dalam Smith, 1994) menjelaskan adanya sembilan dimensi dalam spiritualitas yang berdasarkan studi literatur yang telah dilakukannya adalah sebagai berikut : 1. Dimensi transenden: Orang eksperensial spiritual bahwa memiliki ada kepercayaan/belief dimensi transenden berdasarkan dalam hidup. Kepercayaan/belief disini dapat berupa perspektif tradisional/agama mengenai Tuhan sampai perspektif psikologis bahwa dimensi transenden adalah eksistensi alamiah dari kesadaran diri dari wilayah ketidaksadaran atau greater self. Orang spiritual memiliki pengalaman transenden atau dalam istilah Maslow “peak experience”. Individu melihat apa yang dilihat tidak hanya apa yang terlihat secara kasat mata, tetapi juga dunia yang tidak dapat terlihat. 2. Dimensi Makna dan Tujuan hidup. Orang spiritual akan memiliki makna hidup dan tujuan hidup yang timbul dari keyakinan bahwa hidup itu penuh makna dan orang akan memiliki eksistensi jika memiliki tujuan hidup. Secara aktual, makna dan tujuan hidup setiap orang berbeda‐beda atau bervariasi, tetapi secara umum mereka mampu mengisi “exixtential vacuum” dengan authentic sense bahwa hidup itu penuh makna dan tujuan. 22 3. Dimensi Misi Hidup. Orang spiritual merasa bahwa dirinya harus bertanggung jawab terhadap hidup. Orang spiritual termotivasi oleh metamotivasi, yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut. 4. Dimensi Kesucian Hidup. Orang spiritual percaya bahwa hidup diinfus oleh kesucian dan sering mengalami perasaan khidmad, takzim, dan kagum meskipun dalam setting nonreligius. Dia tidak melakukan dikotomi dalam hidup (suci dan sekuler; akhirat dan duniawi), tetapi percaya bahwa seluruh kehidupannya adalah akhirat dan bahwa kesucian adalah sebuah keharusan. Orang spiritual dapat sacralize atau religionize dalam seluruh kehidupannya. 5. Dimensi nilai-nilai material/material values. Orang spiritual dapat mengapresiasi material good seperti uang dan kedudukan, tetapi tidak melihat kepuasan tertinggi terletak pada uang atau jabatan dan tidak mengunakan uang dan jabatan untuk menggantikan kebutuhan spiritual. Orang spiritual tidak akan menemukan kepuasan dalam materi tetapi kepuasan diperoleh dari spiritual. 6. Dimensi Altruisme. Orang spiritual memahami bahwa semua orang bersaudara dan tersentuh oleh penderitaan orang lain. Dia memiliki perasaan/sense 23 kuat mengenai keadilan sosial dan komitmen terhadap cinta dan perilaku altrusitik. 7. Dimensi Idealisme. Orang spiritual adalah orang yang visioner, memiliki komitmen untuk membuat dunia menjadi lebih baik lagi. Mereka berkomitmen pada idealisme yang tinggi dan mengaktualisasikan potensinya untuk seluruh aspek kehidupan. 8. Dimensi Kesadaran Akan Adanya Penderitaan. Orang spiritual benar‐benar menyadari adanya penderitaan dan kematian. Kesadaran ini membuat dirinya serius terhadap kehidupan karena penderitaan dianggap sebagai ujian. Meskipun demikian, kesadaran ini meningkatkan kegembiraan, apresiasi dan penilaian individu terhadap hidup. 9. Hasil dari spiritualitas Spiritualitas yang dimiliki oleh seseorang akan mewarnai kehidupannya. Spiritualitas yang benar akan berdampak pada hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, alam, kehidupan dan apapun yang menurut individu akan membawa pada Ultimate. Kemudian Smith (1994) merangkum sembilan aspek spiritualitas yang diungkapkan oleh Elkins, dkk. tersebut menjadi empat aspek sebagaimana berikut: 24 a. Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa memiliki misi dalam hidup. b. Memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran bahwa nilai-nilai spiritual menawarkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan nilai-nilai material, serta spiritualitas memiliki hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri, dan semua orang. c. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran akan musibah dalam kehidupan dan tersentuh oleh penderitaan orang lain. d. Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam hidup adalah suci. Sementara itu, Piedmont (2001) mengembangkan sebuah konsep spiritualitas yang disebutnya sebagai Spiritual Transcendence, yaitu kemampuan individu untuk berada di luar pemahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat kehidupan dari perspektif yang lebih luas dan objektif. Perpektif transendensi tersebut merupakan suatu perspektif di mana seseorang melihat satu kesatuan fundamental yang mendasari beragam kesimpulan akan alam semesta. Konsep ini terdiri atas tiga aspek, yaitu: 25 a. Prayer Fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah perasaan gembira dan bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas transenden. b. Universality (universalitas), yaitu sebuah keyakinan akan kesatuan kehidupan alam semesta (nature of life) dengan dirinya. c. Connectedness (keterkaitan), yaitu sebuah keyakinan bahwa seseorang merupakan bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang melampaui generasi dan kelompok tertentu. 3. Perkembangan Spiritual Perkembangan spiritual yang dikemukakan oleh Hamid (2000) adalah sebagai berikut : a. Bayi &Toddler (0-2 tahun) Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya kepada yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman, dan dalam hubungan interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal dunia melalui hubungannya dengan lingkungan, khususnya orang tua. Bayi dan toddler belum memiliki rasa salah dan benar, serta keyakinan spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan tersebut, serta ikut ke tempat ibadah yang mempengaruhi citra diri mereka. b. Prasekolah Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajarkan kepada anak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Anak prasekolah meniru 26 apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Permasalahan akan timbul apabila tidak ada kesesuaian atau bertolak belakang antara apa yang dilihat dan yang dikatakan kepada mereka. Anak prasekolah sering bertanya tentang moralitas dan agama seperti perkataan atau tindakan tertentu dianggap salah dan juga bertanya “apa itu surga?” mereka menyakini bahwa orang tua mereka seperti Tuhan. Menurut Kozier, Erb, Blais & Wilkinson (dalam Hamid, 2000), pada usia ini metode pendidikan spiritual yang paling efektif adalah memberikan indoktrinasi dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih caranya. Agama merupakan bagian dari kehidupan seharihari. Mereka percaya bahwa Tuhan yang membuat hujan dan angin, hujan dianggap sebagai air mata Tuhan. c. Usia Sekolah Anak dengan usia sekolah mengharapkan Tuhan akan menjawab doanya, yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada masa prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka mulai menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima keyakinan begitu saja. Pada usia ini, anak mulai mengambil keputusan akan melepaskan atau meneruskan agama yang dianutnya karena ketergantungannya kapada orang tua. Pada masa remaja, mereka membandingkan standar orang tua mereka dengan orang tua yang lain dan menetapkan standar apa yang akan 27 diintegrasikan dalam perilakunya. Remaja juga membandingkan pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba untuk menyatukannya. Pada remaja yang mempunyai orang tua berbeda agama, pada masa inilah mereka akan memutuskan pilihan agama yang akan dianutnya atau tidak memilih satupun dari kedua agama orang tuanya. d. Dewasa Kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa daripada waktu remaja dan masukan dari orangtua tersebut dipakai untuk mendidik anaknya. e. Usia Pertengahan Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan. 28 4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Spiritualitas Menurut Taylor, Lillis & Le Mone (dalam Hamid, 2000) dan Craven & Hirnle (dalam Hamid, 2000), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah sebagai berikut : a. Pertimbangan Tahap perkembangan Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang dan berbeda menurut usia, seks, agama, dan kepribadian anak. Tema utama yang diuraikan oleh semua anak tentang Tuhan mencakup : 1) Gambarann tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia dan saling keterkaitan dengan kehidupan. 2) Mempercayai bahwa Tuhan terlibat dalam perubahan dan pertumbuhan diri serta transformasi yang membuat dunia tetap segar, penuh kehidupan dan berarti. 3) Meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa takut menghadapi kekuasaan Tuhan. 4) Gambaran cahaya/sinar. a. Keluarga Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritualitas anak. Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. Oleh 29 karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, maka pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orangtua dan saudaranya. b. Latar belakang etnik dan budaya Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalanka agama. Termasuk nilai oral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan. Perlu diperhatikan apapun tradisi agama atau sistem kepercayaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual unik bagi tiap individu. c. Pengalaman hidup sebelumnya Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Sebagai contoh, jika dua orang wanita yang percaya bahwa Tuhan mencintai umatnya, kehilangan anak mereka karena kecelakaan, salah satu dari mereka akan bereaksi dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan tidak mau sembahyang lagi. Sedangkan wanita yang lain bahkan sebaliknya terus berdoa dan meminta Tuhan membantunya untuk mengerti dan menerima kehilangan anaknya. 30 Begitu pula pengalaman hidup yang menyenangkan sekalipun, seperti pernikahan, pelantikan kelulusan, kenaikan pangkat atau jabatan dapat menimbulkan perasan yang bersyukur kepada Tuhan, namun ada juga yang merasa tidak perlu mensyukurinya. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap seagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menguji kekuatan imannya. Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang memerlukan kedalaman spiritual dan kemampuan coping untuk memenuhinya. d. Krisis dan perubahan Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang (Troth, Craven, dan Hirnle, dalam Hamid 2000). Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khusunya pada klien dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisikal dan emosional. Krisis bisa tritmen/terapi berhubungan pengobatan yang dengan perubahan diperlukan, atau patofisiologis, situasi yang mempengaruhi seseorang. Diagnosis penyakit atau penyakit terminal pada umumnya akan menimbulkan pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang/berdoa dibandingkan pada pasien yang berpenyakit tidak terminal. lebih tinggi 31 e. Terpisah dari ikatan spiritual Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial (social support system). Klien yang dirawat merasa terisolasi dalam ruangan yang asing baginya dan merasa tidak aman. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang biasa memberikan dukungan setiap saat diinginkan. Terpisahnya seseorang dari ikatan spiritual berisiko terjadinya perubahan fungsi spiritualnya. 5. Perbedaan Religiusitas dan Spiritualitas a. Pengertian Religiusitas dan Spiritualitas Religiusitas merupakan perasaan dan pengalaman beragama. Menurut james (dalam Rakhmat, 2003) agama memberikan energi spiritual dimana agama dapat menggairahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbarui gaya hidup, dan memberikan makna dan kemualiaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akan mencapai perasaan tenteram dan damai. James (dalam Rakhmat, 2003) mengatakan bahwa agama adalah sumber kebahagiaan. Religiusitas menurut Nashori (2002) berarti seberapa jauh pengetahuan., kokohnya keyakinan, pelaksanaan ibadah, dan kaidah, serta penghayatan atas agama yang dianutnya, religiusitas dapat mempengaruhi 32 manusia dalam bertindak dan bertingkah laku, semakin kuat religiusiras seseorang semakin kuat pula seseorag itu mengontrol setiap tindakan dan tingkah lakunya. Sementara itu spiritualitas menurut Elkins, dkk (dalam Smith, 1994) adalah sebagai suatu fenomena yang secara potensial berada di dalam diri setiap manusia. Menurut mereka, spiritualitas dapat diartikan sebagai jalan untuk menjadi serta mengalami kesadaran spiritual yang diperoleh melalui kesadaran dimensi transendental yang ditandai oleh nilai-nilai yang mampu diidentifikasi baik yang datang dari diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan maupun nilai-nilai yang mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan puncak (Ultimate). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan perbedaan orang yang religius dan orang spiritual : 1. Orang religius menganggap Tuhan itu ada. Orang spiritual menganggap tuhan itu hadir. Orang yang melakukan perbuatan tidak baik karena menganggap tuhan itu hanya ada, tetapi tidak hadir. Sedangkan orang spiritual berpikir bahwa tuhan itu ada dimanapun dia berada (hadir). 2. Orang religius adalah orang yang merasa paling suci dan paling benar dibandingkan orang lain. Orang spiritual menganggap semua orang setara, mengakui kelebihan dan kekurangan orang lain. 3. Orang religius mudah melihat perbedaan. Orang spiritual mudah melihat persamaan. Karena orang religius mudah melihat perbedaan, 33 maka orang religius membedakan dunia jadi kami dan mereka. Sedangkan orang spiritual merasa kita ini sama. Kita semua saudara. Kita sesama hamba allah. Mudah melihat kesamaan. 4. Orang religius hanya mementingkan simbol-simbol, pakaian, ritual, dll. Orang spiritual mementingkan esensi, hakikat, dan makna bukan hanya simbol-simbol dan lain-lain. Orang spiritual sadar bahwa tuhan mengutus kita kebumi untuk sebuah maksud yaitu berbuat baik. Religius adalah “caranya”, Spiritual adalah “kenapa”. Orang religius merasa lega setelah beribadah karena merasa sudah melaksanakan kewajibannya. Tetapi yang tidak spiritual, tidak mencegah dia untuk berbuat jelek (korupsi dll). 5. Orang spiritual itu “memperhatikan”, orang religius hanya “melihat”. Orang spiritual itu “mendengarkan”, orang religius hanya “mendengar”. 6. Orang religius baik dalam urusan ibadah saja. Orang spiritual baik dalam semua urusan, karena bagi orang spiritual semua urusan adalah ibadah. Bekerja, meng-coach bawahan dan lain-lain adalah ibadah. Simbol itu penting untuk menunjukkan siapa kita, tetapi yang lebih penting lagi adalah hakikatnya. Tanpa spiritual, ibadah yang dilakukan hanya menjadi ritual semata. Ritual agama diperlukan, tapi harus dilakukan dengan kesadaran dan cinta kepada Tuhan. Religius adalah cara untuk meraih spiritual. Kita juga bisa 34 menjadi spiritual tanpa melakukan hal-hal yang religius, tapi hal itu tidaklah lengkap, karena beragama tanpa ibadah tidaklah lengkap. C. Dewasa Awal 1. Pengertian Dewasa Awal Istilah adult berasal dari kata kerja latin seperti juga istilah adolescene yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Akan tetapi, kata adult berasal dari bentuk lampau partisepel dari kata kerja adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lain (Hurlock, 2003). Menurut Wijingaarden dkk (dalam Monks dan Knoers, 2006) pengertian kedewasaaan sebagai suatu fase dalam perkembangan dapat dipandang dari beberapa segi. Dewasa dalam bahasa Belanda adalah volwassen, Vol artinya penuh dan Wassen artinya tumbuh, sehingga volwassen adalah sudah tumbuh dengan penuh atau selesai tumbuh. Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun. Usia ini adalah saat dimana terjadinya perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 2003). Masa dewasa awal menurut Santrock (2002) dimulai pada akhir usia belasan atau permulaan usia 20an dan berlangsung sampai usia 30an. Masa 35 ini merupakan waktu untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi. Levinson (dalam Monks dan Knoers, 2006) menjelaskan masa dewasa awal dimulai pada usia 17 tahun hingga 45 tahun. Setiap kebudayaan membuat pembedaan usia kapan seseorang mencapai status dewasa secara resmi. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan apabila organ kelamin anak telah berkembang dan mampu bereproduksi. Belum lama ini, dalam kebudayaan Amerika seorang anak belum resmi dianggap dewasa kalau ia belum mencapai umur 21 tahun. Sekarang umur 18 tahun merupakan umur dimana seseorang dianggap dewasa syah. Dengan meningkatnya lamanya hidup atau panjangnya usia rata-rata orang maka masa dewasa sekarang mencakup waktu yang paling lama dalam rentang hidup (Hurlock, 2003). 2. Perkembangan Masa Dewasa Awal : Perkembangan Fisik, Kognitif, dan Emosional a. Perkembangan Fisik Kondisi fisik tidak hanya mencapai puncaknya pada awal masa dewasa, tetapi juga mulai menurun selama masa dewasa ini. Perhatian kesehatan meningkat diantara orang dewasa awal, dengan perhatian khusus terhadap diet, berat badan, olahraga dan ketergantungan. Bagi sebagian besar, puncak dari kemampuan fisik dicapai pada usia dibawah 30 tahun, seringkali antara usia 19 dan 26. Puncak dari 36 kemampuan fisik ini terjadi bukan hanya pada rata-rata orang dewasa muda, tetapi juga pada atlet terkenal. Meskipun kemampuan atlet semakin lebih baik, lari lebih cepat, melompat lebih tinggi dan mengangkat lebih berat, umur di mana mereka mencapai kemampuan puncak pada dasarnya tetap. Ketika seorang individu berpindah dari masa remaja menuju masa dewasa awal, mereka seringkali meningkatkan penggunaan obat-obat. Data lain membuktikan bahwa periode dari masa remaja sampai akhir usia 20an adalah penggunaan obat-obatan tertinggi. Pada masa dewasa awal, beberapa individu berhenti berfikir tentang bagaimana gaya hidup pribadi akan mempengaruhi kesehatan mereka selanjutnya pada kehidupan dewasa.Sebagai seorang dewasa yang masih muda, banyak dari kita membangun sebuah pola seperti tidak sarapan, tidak makan secara teratur, dan menggantungkan diri pada makanan kecil sebagai sumber makanan utama dalam sehari-hari, makan secara berlebihan melampaui berat normal usia kita, merokok dalam taraf sedang atau berlebih, minum minuman keras dalam taraf sedang dan berlebihan, tidak berolahraga. Terdapat beberapa bahaya tersembunyi dalam masa puncak kemampuan dan kesehatan pada masa awal dewasa. Pada saat kaum dewasa awal dapat menggunakan sumber daya fisik untuk banyak kesenangan, ditambah kenyataan bahwa seringkali mereka pulih dengan mudah dari stres fisik dan cidera, menjadikan mereka memaksa tubuh 37 terlalu jauh. Akibat negatif dari penyalahgunaan tubuh seseorang mungkin tidak terlihat pada permulaan masa dewasa awal,tetapi nantinya mungkin muncul pada masa dewasa awal lebih lanjut atau pada pertengahan masa dewasa. Kekuatan dan kesehatan otot mulai menunjukan tanda penurunan sekitar umur 30an. Dagu yang mengendur dan perut yang gendut mungkin juga mulai muncul untuk pertama kalinya. Penurunan kemampuan fisik adalah suatu keluhan yang umum di antara mereka yang memasuki usia 30an. Sistem indera menunjukan sedikit perubahan pada masa dewasa awal, tetapi lensa mata kehilangan elastisitasnya dan menjadi kurang mampu mengubah bentuk dan fokus pada benda-benda yang berjarak dekat. Puncak kemampuan pendengaran pada masa dewasa awal, dan kemudian mengalami penurunan pada masa dewasa akhir. Dan pada pertengahan sampai menjelang akhir 20an , jaringan lemak tubuh bertambah. b. Perkembangan Kognitif Piaget percaya bahwa seorang remaja dan seorang dewasa berpikir dengan cara yang sama. Namun, beberapa ahli perkembangan percaya bahwa baru pada saat masa dewasalah individu mengatur pemikiran operasional formal mereka. Sehingga mereka mungkin merencanakan dan membuat hipotesis tentang masalah-masalah seperti remaja, tetapi mereka menjadi lebih sistematis ketika mendekati masalah sebagai seorang dewasa. Sementara beberapa orang dewasa lebih mampu menyusun hipotetis daripada remaja dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari 38 suatu permasalahan, banyak orang dewasa yang tidak berpikir dengan cara operasional formal sama sekali (Keating, dalam Santrock, 2002). Kemampuan kognitif kita sangat baik ketika masa dewasa awal, dan juga menunjukkan adaptasi dengan aspek pragmatis dari kehidupan kita. Tidak jelas apakah ketrampilan logis kita benar-benar menurun. Kompetensi sebagai seorang dewasa muda mungkin memerlukan banyak ketrampilan berpikir logis dan adaptasi yang pragmatis terhadap kenyataan. Sebagai contoh, ketika seorang arsitek mendesain suatu bangunan, mereka menganalisa secara logis, dan merencanakan strukturnya tetapi tetap memahami keterbatasan biaya, perhatian atas lingkungan, dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas tersebut secara efektif. William Perry (dalam Santrock, 2002) juga mencatat perubahanperubahan penting tentang cara berpikir orang dewasa muda yang berbeda dengan remaja. Ia percaya bahwa remaja sering memandang dunia dalam dualisme pola polaritas mendasar, seperti benar atau salah, kita atau mereka, baik atau buruk. Pada waktu kaum muda mulai matang dan memasuki tahun-tahun masa dewasa, mereka mulai menyadari perbedaan pendapat dan berbagai perspektif yang dipegang orang lain, yang mengguncang pandangan dualistik mereka. Pemikiran dualistik mereka digantikan oleh pemikiran beragam, saat itu individu mulai memahami bahwa orang dewasa tidak selalu memiliki semua jawaban. Mereka mulai memperluas pemikiran individualistik dan mulai percaya bahwa setiap 39 orang memiliki pandangan pribadi masing-masing serta setiap pendapat yang ada sebaik pendapat yang lainnya. Pada waktu pendapat pribadi ditentang oleh orang lain, pemikiran yang beragam menghasilkan pemikiran yang relatif tunduk, di mana pendekatan yang analitis dan evaluatif terhadap ilmu pengetahuan secara sadar dan aktif dilakukan. Hanya pergeseran ke arah relativisme total yang menjadikan orang dewasa memahami bahwa kebenaran adalah relatif, bahwa arti dari sebuah peristiwa dihubungkan dengan konteks di mana peristiwa itu terjadi dan dibatasi oleh kerangka berpikir individu yang digunakan untuk memahami peristiwa tersebut. Dalam relativisme total, orang dewasa mengakui bahwa ralativisme menyentuh semua aspek kehidupan, tidak saja dunia akademis, dan orang dewasa juga memahami bahwa pengetahuan dibentuk tidak dengan sendirinya, bersifat kontekstual dan tidak absolut. Sudut pandang lain tentang perubahan kognitif pada orang dewasa disampaikan oleh K. Warner Schaie (dalam Santrock, 2002). Ia percaya bahwa tahap-tahap kognitif Piaget menggambarkan peningkatan efisiensi dalam pemerolehan informasi yang baru. Adalah meragukan bahwa orang dewasa melampaui pemikiran ilmiah yang kuat yang merupakan ciri dari pikiran operasional formal, dalam usaha mereka mencari pengetahuan. Namun demikian, seperti yang dinyatakan Schaie, orang dewasa lebih maju dari remaja dalam hal penggunaan intelektualitas mereka. Sebagai contoh, pada masa dewasa awal, kita biasanya berubah dari mencari 40 pengetahuan menuju menerapkan pengetahuan, menerapkan apa yang kita ketahui untuk mengejar karir dan membentuk keluarga. 1) Fase mencapai prestasi (achieving stage)adalah fase di manadewasa awal, yang menurut Schaie, melibatkan penerapan intelektualitas pada situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka panjang, seperti pencapaiam karir dan pengetahuan. Solusi ini harus diintegrasikan dalam rencana hidup yang mencakup masa depan.Schaie percaya bahwa orang dewasa awal yang menguasai kemampuan kognitif perlu memonitor perilaku mereka sendiri, sehingga memperoleh kebebasan yang cukup, berpindah ke fase selanjutnya yang melibatkan tanggung jawab sosial. 2) Fase tanggung jawab (the responsibility stage)adalah fase yang terjadi ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluankeperluan pasangan dan keturunan. Perluasan kemampuan kognitif yang sama diperlukan pada saat karir individu meningkat dan tanggung jawab kepada orang lain muncul dalam pekerjaan dan komunitas. Fase tanggung jawab sering dimulai pada masa dewasa awal dan terus berlanjut ke dewasa tengah. 3) Fase eksekutif (the executive stage)adalah fase yang dinyatakan oleh Schaie terjadi di masa dewasa awal, di mana seseorang bertanggung jawab kepada sistem, kemasyarakatan dan organisasi sosial (pemerintahan atau perubahan, misalnya). Dalam fase eksekutif 41 individu membangun pemahaman tentang bagaimana organisasi sosial bekerja dan berbagai hubungan kompleks yang terlibat di dalamnya. 4) Fase reintegratif (the reintegrative stage)yang terjadi pada bagian akhir masa dewasa, adalah fase terakhir yangdisebutkan oleh Schaie, di mana orang dewasa yang lebihtua memilih untuk memfokuskan tenaga mereka pada tugas dan kegiatan yang bermakna bagi mereka.Dalam pandangan Scahie, fase kognitif itu adalah reintegratif, yang erat hubungannya dengan fase terakhir dari siklus yang dinyatakan Erikson, integritas versus putus asa. c. Perkembangan Sosio-Emosional Masa dewasa awal merupakan masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting. Menurut Hurlock (2003), dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya. Masa ini disebut juga sebagai masa penyesuaian terhadap pola-pola hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya. Erikson (dalam Papalia dkk, 2009) mengatakan bahwa dalam individu dewasa mudaberada dalam tahap intimacy versus isolation. Apabila individu dewasa muda tidak mampu menjalin komitmen pribadi dengan orang lain, maka akan mengalami yang disebut isolasi atau merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain. Senada dengan hal tersebut, Myers (dalam Papalia dkk, 42 2009) mengungkapkan orang-orang yang menikah akan lebih bahagia daripada orang-orang yang tidak menikah, meskipun meskipun mereka yang berada pada pernikahan yang tidak menyenangkan akan merasa kurang bahagia dibandingkan mereka yang tidak menikah ataupun bercerai. 3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal Santrock (2002) mengungkapkan bahwa tugas perkembangan individu dewasa muda adalah memilih pasangan dan belajar untuk hidup bersama orang lain dalam hubungan intim, membangun keluarga, dan membesarkan anak. Di sisi lain, individu dewasa muda diharapkan mampu memiliki kemandirian dalam karir dan dalam setiap pengambilan keputusan. Tugas perkembangan tersebut dijabarkan secara rinci sebagai berikut : a. Seksualitas Masa Dewasa Awal Santrock, (2002) menjelaskan sikap dan perilaku seks masa dewasa awal sebagian besar direspons oleh orang memiliki sikap seks yang liberal yang terlibat dalam perilaku seks yang liberal. Ada perbedaan sikap orang dewasa muda yang signifikan terhadap berbagai aspek yang menyangkut seksualitas. Jika dilihat perbandingannya antara tahun 1940-an dan sekarang, terutama bagi mahasiswa perempuan. Ulasan terhadap perilaku dan sikap seksual pelajar dari tahun 1900 sampai 1980 menunjukkan dua kecenderungan penting (Darling, Kallon, & Van Duesen, dalam Santrock, 2002): 43 1) Pertama, persentase dari kaum muda yang melakukan hubungan seksual meningkat tajam. 2) Kedua, proporsi perempuan yang melaporkan berhubungan seksual meningkat lebih cepat dari kasus laki-laki, meskpun laki-laki lebih sering berhubungan seksual. Sebagian besar individu berpikir bahwa homoseksual dan heteroseksual merupakan dua pola perilaku berbeda yang mudah didefinisikan. Kenyataannya, kecenderungan memilih pasangan seksual dari jenis kelamin yang sama atau berlawanan tidak selalu merupakan keputusan yang tetap, yang dibuat sekali seumur hidup, dan dipegang selamanya. Sebagai contoh, merupakan hal yang lazim bagi individu, khususnya laki-laki, untuk memiliki pengalaman homoseksual pada masa remaja tetapi tidak pada saat dewasa. Beberapa orang terlibat dalam perilaku heteroseksual selama masa remaja, kemudian berubah ke perilaku homoseksual pada saat dewasa. Perilaku homoseksual umum dilakukan di antara para narapidana dan orang lain yang tidak punya alternative pasangan seksual. Peneliti masalah seksual melaporkan bahwa kaum lesbian lebih sering terlibat pada hubungan intim yang bertahan lama, memiliki sedikit pasangan seksual, dan dengan sedikit “kenalan dalam semalam” daripada laki-laki homoseksual (Bell & Weinberg, dalam Santrock, 2002). Orientasi seksual individu-heteroseksual maupun homoseksualtampaknya lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetic, 44 hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders, 1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman, Diamond & Martin, 1993 dalam Santrock, 2002). Para ilmuwan memiliki gambaran yang lebih jelas tentang apa yang tidak menyebabkan homoseksualitas. Anak yang dibesarkan oleh orantua atau pasangan gay tidak lebih besar kemungkinannya menjadi homoseksual dibandingkan anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang heteroseksual. Tidak ada bukti bahwa homoseksualitas laki-laki disebabkan oleh seorang ibu yang dominan atau ayah yang lemah, atau bahwa homoseksualitas perempuan disebabkan oleh gadis yang memilih model peran laki-laki. Salah satu faktor biologis yang dipercaya berpengaruh dalam homoseksualitas adalah keadaan hormon prenatal (Ellis & Ames, 1987 dalam Santrock, 2002). Hipotetis periode prenatal kritis menyebutkan bahwa pada bulan kedua sampai kelima setelah terjadinya konsepsi, penampakan fetus kepada tingkat hormon yang berkarakter perempuan mungkin menyebabkan individu (laki-laki atau perempuan) tertarik kepada laki-laki. Masalah penyesuaian diri kaum homoseksual, Laura Brown (dalam Santrock, 2002) mengemukakan bahwa untuk mendefinisikan diri mereka (kaum homoseksual), perempuan lesbian dan laki-laki gay membangun identitas bikultural. Menyeimbangkan tuntutan dari dua kebudayaan yang berbeda- minoritas kebudayaan gay/lesbian dan kebudayaan heteroseksualitas yang mayoritas- seringkali dapat mengarahkan pada 45 strategi penyelesaian masalah yang lebih efektif bagi kaum homoseksual. Selain itu, perhatian khusus pada kehidupan kaum homoseksual adalah bias dan diskriminasi yang mereka hadapi. b. Daya Tarik, Cinta, Dan Hubungan Dekat Keadaan fisik tidak menjamin bahwa orang dewasa akan membangun hubungan positif dengan seorang menumbuhkan kebencian, tetapi individu. keakraban Keakraban adalah kondisi dapat yang diperlukan untuk terbangunnya suatu hubungan dekat. Salah satu pelajaran penting dari penelitian tentang hubungan dekat adalah bahwa orang dewasa suka berkumpul dengan orang yang memiliki kesamaan dengan kita, teman kita, begitu juga kekasih kita, lebih banyak memiliki kesamaan dengan kita daripada perbedaan. Kita memiliki kesamaan sikap, perilaku, dan karakteristik. Pada beberapa kasus terbatas dan pada beberapa karakteristik tertentu, perbedaan mungkin menarik. Seorang yang introvert mungkin akan berharap untuk dekat dengan orang yang ekstrovert. Validasi konsensual (consensual validation) memberikan sebuah penjelasan mengapa seorang individu tertarik kepada orang yang memiliki kesamaan dengannya. Sikap dan perilaku kita didukung ketika sikap dan perilaku orang lain sama dengan kita; sikap dan perilaku mereka menguatkan sikap dan perilaku kita. Juga, karena orang lain yang tidak mirip tidak sama dengan kita, dengan demikian lebih tidak dikenali. Kita mungkin lebih dapat mengontrol orang lain yang sama dengan kita, yang sikap dan perilakunya dapat kita prediksi. Dan implikasi dari persamaan 46 adalah kita akan menikmati interaksi dengan orang lain dalam kegiatan yang saling menguntungkan, di mana sebagian besar memerlukan pasangan dengan perilaku dan sikap yang sama. c. Pernikahan dan Keluarga Tahun-tahun awal masa dewasa adalah saat ketika individu biasanya membangun hubungan yang intim dengan individu yang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen individu satu sama lain dengan membangun sebuah keluarga. Menurut Santrock (2002), siklus kehidupan keluarga mencakup meninggalkan rumah dan menjadi orang dewasa yang hidup sendiri, bergabungnya keluarga melalui pernikahan (pasangan baru), menjadi orang tua dan sebuah keluarga dengan anak, keluarga dengan anak remaja, keluarga pada kehidupan usia tengah baya, dan keluarga pada kehidupan usia lanjut. Perkembangan dalam masa dewasa awal sering melibatkan keseimbangan yang membingungkan antara keintiman dan komitmen pada satu sisi, dan kemandirian dan kebebasan di sisi yang lain. Ketika individu mencoba memantapkan suatu identitas, mereka menghadapi kesulitan mengatasi peningkatan kemandirian dari orang tua, membangun hubungan intim dengan individu lain, dan meningkatkan komitmen persahabatan mereka, dan di sisi lain mereka harus dapat berpikir untuk dirinya sendiri dan melakukan sesuatu tanpa selalu harus mengikuti apa yang dikatakan atau dilakukan oleh orang lain. 47 Havighurst (dalam Dariyo, 2003) juga mengemukakan beberapa tugas perkembangan dewasa muda, antara lain : 1) Mencari dan Menemukan Calon Pasangan Hidup Golongan dewasa muda semakin memiliki kematangan fisiologis (seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi. Dorongan biologis tersebut akan ditahan terlebih dahulu untuk sementara waktu. Mereka akan berupaya mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan ataupun untuk membentuk kehidupan rumah tangga nantinya. 2) Membina Kehidupan Rumah Tangga Individu dewasa awal juga harus dapat membentuk, membina, dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup. Mereka dapat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan pasangan hidup masing-masing. Mereka juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina anak-anak dalam keluarga. 3) Meniti Karir dalam rangka Memantapkan Kehidupan Ekonomi Rumah Tangga Masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai puncak prestasi. Mereka bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja. Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik, mereka akan mampu memberi kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi keluarganya. 48 4) Menjadi Warga Negara yang Bertanggung Jawab Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh pada tata aturan perundangan-undangan yang berlaku. Hal ini diwujudkan dengan cara-cara, seperti mengurus dan memiliki suratsurat kewarganegaraan, membayar pajak, menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengendalikan diri agar tidak tercela di mata masyarakat, serta mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial di masyarakat. 5) Karir dan Pekerjaan Salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah kemandirian dalam karir dan pekerjaan. Masa ini dikaitkan khususnya ketika seleksi dan masuk kerja serta penyesuain diri terhadap pekerjaan tersebut. Memasuki sebuah pekerjaan menandakan dimulainya peran dan tanggung jawab baru bagi individu. Tuntutan peran karir terhadap kompetensi sangat tinggi dan permintaan adalah nyata bagi orang dewasa. Ketika individu memasuki sebuah pekerjaan untuk pertama kalinya, mereka mungkin dihadapkan pada masalah dann kondisi yang tidak mereka antisipasi sebelumnua. Transisi diperlukan ketika individu mencoba untuk menyesuaikan diri dengan peran yang baru. Memenuhi tuntutan kariri dan menyesuaikan diri dengan peran yang baru adalah penting bagi individu pada fase dewasa awal. 49 Menurut Levinson (dalam Santrock, 2002), sekali individu memasuki satu pekerjaan, ia harus membangun identitas pekerjaan yang berbeda dan menempatkan dirinya dalam dunia kerja. Sejalan dengan hal tersebut, ia mungkin gagal, keluar, atau memulai jalan baru. Individu dewasa muda mungkin tetap bertahan pada satu jalur atau mencoba beberapa arah baru sebelum menetap secara mantap pada satu jalur. Proses penyesuaian ini bisa berlangsung beberapa tahun untuk mengeksplorasi dunia kerja, menjadi akrab dengan industri dan serikat buruh, maupun melampaui status magang menjadi peran kerja yang tetap. 4. Permasalahan pada Masa Dewasa Awal Diantara sekian banyak tugas perkembangan orang dewasa awal yakni tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan hidup keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting, dan sangat sulit diatasi. Bahkan sekalipun orang dewasa awal telah mempunyai pengalaman kerja, telah kawin, dan telah menjadi orang tua (bapak dan ibu), mereka masih tetap harus melakukan penyesuaian diri dengan peran-peran tersebut. Tugas perkembangan lainnya dari masa dewasa awal, menemukan kelompok sosial yang cocok, menyesuaikan diri dengan perubahan dalam rekreasi yang diperlukan pola hidup orang dewasa awal dan mengambil tanggung jawab sipil. 50 Penyesuaian peranan seks merupakan dasar bagi penyesuaian pekerjaan, yang sama dengan penyesuaian perkawinan. Contohnya, seorang laki-laki tidak dapat puas dengan pekerjaan yang bersifat “maskulin” yang dipilihnya karena tekanan orang tua atau sosial bila ia sebenarnya berminat pada pekerjaan yang bersifat “feminim”. Ketidakpuasan kerja tidak terbatas pada jenis bidang pekerjaan itu, ketidakpuasan itu talah umum dan mewarnai setiap bidang kehidupan seseorang. Wanita yang terbiasa selama hari sekolah dan kuliah memainkan peran yang sama berlakunya (baik untuk pria maupun wanita) dengan temantemannya, mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perlakuan yang mereka terima dalam industri, bisnis, dan profesi. Memainkan peran yang direndahkan sebagai orang dewasa awal, setelah memainkan peran berdasarkan kesamaan(egalitarian) dengan teman sebayanya, menjadikan mereka lebih sulit dalam menyesuaikan dirinya terhadap pekerjaannya daripada memainkan peran yang dipandang rendah sebelumnya. Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers dan Haditono, 2006) masalah yang paling penting adalah kenyataan bahwa keberhasilan atau kegagalan melakukan penyesuaian diri akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan yang erat hubungannya dengan prestise dilihat dari sudut pandang orang lain, konsep diri sebagai individu, kebahagiaan, dan juga pengaruh pada setiap anggota keluarganya. Karena alasan tersebut aspek-aspek tersebut dengan tepat dianggap sebagai proses penting dalam penyesuaian diri terhadap masa dewasa.Havighurst (dalam Monks, Knoers dan Haditono, 51 2006) menjelaskan beberapa permasalahan yang sering dialami oleh orang dewasa awal yaitu : a. Permasalahan dalam penyesuaian pekerjaan Dari berbagai bidang dalam menyesuaikan bakat dan minat bagi orang dewasa awal semestinya selaras dengan berbagai kriteria di bawah ini, yang dianggap sebagai faktor yang sangat penting dan umum dalam penyesuaian pekerjaan. 1) Pilihan Pekerjaan Penyesuaian pertama yang dianggap pokok adalah memilih bidang yang cocok dengan bakat, minat dan faktor psikologis lainnya yang secara hakiki sulit untuk dipungkiri agar kesehatan mental dan fisiknya sebagai orang dewasa dapat terjaga. Karena banyaknya kasus dalam memilih bidang kerja yang tidak cocok dengan bakat dan minat (suara hati kecil) tetapi dipilih karena besarnya pengaruh sosial yang ada, justru menimbulkan ketidakpuasan terhadap hasil karyanya, tidak merasa mencintai tugasnya dan akhirnya prestasi kerja sangat menurun. Sehubungan dengan itu maka beberapa orang dewasa awal telah menentukan pilihannya jauh-jauh hari sebelum mereka bekerja, sehingga jauh-jauh hari pula mereka melatih diri sesuai dengan prasyarat yang diperlukan untuk jenis tugas yang mereka anggap cocok dengan minat dan bakatnya.Faktor-faktor yang menyulitkan pilihan pekerjaan : 52 a) Jumlah dan jenis pekerjaan yang berbeda yang akan dipilihnya terus bertambah. b) Tuntutan perubahan kebutuhan yang begitu cepat akan keterampilan dan pengetahuan. c) Tingkat fleksibilitas waktu kerja yang rendah. d) Adanya pandangan mengenai pekerjaan tertentu misalkan perawat hanya untuk wanita atau tugas kedirgantaraan hanya untuk pria. e) Adanya pekerjaan yang tidak menyenangkan. f) Adanya pekerjaan yang banyak disukai. g) Pekerjaan yang kurang jaminan keamanannya. h) Pendidikan dan pelatihan tidak memenuhi syarat. 2) Stabilitas Pilihan Pekerjaan Penyesuaian kedua yang dianggap penting bagi orang dewasa awal adalah pilihan jurusan harus dilakukan dengan mantap. Cara ini tidak selalu diklakukan dengan baik oleh pria ataupun wanita untuk dapat berpindah pekerjaan, berharap bekerja pada usia duapuluhan bahkan kadang sampai usia tigapuluhan. Bagaimanapun juga kalau perubahan jenis pekerjaan sebagai karier dilakukan pada saat seseorang menjelang akhir usia tigapuluhan, maka tindakan ini dianggap terlambat. Anggapan ini diperkuat oleh pendapat Gould. Ini merupakan bukti bahwa karier khusus tertentu memerlukan pelatihan khusus. Oleh karena itu seseorang perlu secara khusus mengikuti pelatihan dengan cara meningkatkan tugasnya untuk sementara. Seberapa jauh tingkat 53 kemantapan pemilihan jurusan bagi seseorang bergantung pada tiga faktor, yaitu : a) Pengalaman kerja b) Daya tarik pribadi terhadap pekerjaan c) Nilai yang terkandung pada pekerjaan yang dipilih. d) Usia seseorang juga bisa mempengaruhi stabilitas dalam memilih pekerjaan, semakin bertambah usianya maka semakin stabil ia untuk memilih pekerjaan. 3) Penyesuain diri dengan pekerjaan Faktor yang paling mempengaruhi proses penyesuaian diri seseorang dengan pekerjaannya adalah sikap pekerja itu sendiri. Havighurst (dalam Monks, Knoers dan Haditono, 2006)dalam studinya tentang sikap pekerja terhadap pekerjaannya menyimpulakan bahwa ia dapat dikelompokan menjadi dua kategori umum, yaitu : a) Sikap kerja yang menopang masyarakat (society maintaining work attitude) Pekerja yang bersikap menopang masyarakat dalam pada dirinya kurang atau tidak berminat akan kerjanya dan hanya memperoleh sedikit kepuasan kerja. Tipe pekerja semacam ini adalah orang yang mementingkan besarnya gaji yang diterima. Orang seperti ini seringkali memandang pekerjaannya sebagai beban yang berat dan tidak menyenangkan dan memandang hari depan hanya agar dapat menjalani masa pensiun. 54 b) Sikap kerja yang melibatkan ego (ego involving work attitude) Para pekerja yang dalam bekerja melibatkan ego, biasanya memperoleh kepuasan pribadi yang lebih besar. Bagi beberapa orang, bekerja merupakan dasar harga diri dan kebanggaan. Bagi sejumlah orang lainnya bekerja dianggap sebagai prestise yang diperoleh, tempat untuk melakukan partisipasi sosial, atau sebagai sumber kesenangan instrinsik atau merupakan ekspresi dari pribadi yang kreatif dan juga merupakan cara memanfaatkan waktu dengan cara rutin yang menyenangkan. 4) Penilaian terhadap penyesuaian pekerjaan Sampai sejauh mana keberhasilan seseorang menyesuaikan diri terhadap pekerjaan yang dipilihnya dapat dinilai dengan 3 kriteria yaitu: a) Kriteria pertama adalah prestasi kerja, dimana keinginan untuk maju dan berhasil bagi kaum remaja sangat besar yang biasanya terus dibawa sampai masa dewasanya. Pada waktu usia madya perjalanan mencapai sukses sering dialihkan untuk memperoleh perasaan aman, lebih berarti dibandingkan meniti karier ke jenjang yang lebih tinggi. b) Kriteria kedua adalah Perubahan Pekerjaan dengan sukarela atau jumlah perubahan perubahan yang dilakukan seseorang terhadap bidang kejuruannya atau pekerjaannya. Jumlah ini dapat digunakan sebagai kriteria atau indikator kegagalan atau keberhasilan 55 seseorang dalam menyesuaikan dirinya dengan jurusan dan bidang yang ditekuni selama ini. c) Kriteria ketiga dalam penyesuaian bidang kerja adalah tingkat kepuasan yang diperoleh dari pekerjaan. Pada awal usia duapuluhan, sebagian besar orang sudah merasa senang kalau memperoleh pekerjaan, walapun pekerjaan tersebut tidak seluruhnya menyenangkan dan disukainya, sebab pekerjaan ini telah memberinya kebebasan yang diinginkan sehingga memungkinkannya untuk menikah. Rasa tidak puas biasanya mulai terjadi selama pertengahan usia duapuluhan sampai menjelang usia tigapuluhan, terutama ketika orang muda tidak dapat menanjak secepat yang mereka harapkan. Periode ini biasanya berakhir sampai usia awal sampai pertengahan tigapuluhan, setelah masa ini biasanya rasa puas mereka meningkat sebagai hasil dari prestasi besar yang dicapai dan imbalan keuangan yang semakin besar. b. Permasalahan dalam kehidupan keluarga 1) Kondisi yang memengaruhi terhadap kesulitan dalam penyesuaian pernikahan. a) Pernikahan dini Pernikahan dan kedudukan sebagai orangtua sebelum orang muda menyelesaikan pendidikan mereka dan secara ekonomis independen membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk 56 mempunyai pengalaman yang dimiliki oleh teman-teman yang tidak menikah atau orang-orang yang mandiri sebelum menikah. b) Konsep yang tidak realistis tentang pernikahan Orang dewasa awal yang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi, dengan sedikit/tanpa pengalaman kerja, cenderung mempunyai konsep yang tidak realistis tentang makna pernikahan berkenaan dengan pekerjaan, pembelajaan uang, atau perubahan dalam pola hidup. Pendekatan yang tidak realistis ini menuju ke arah kesulitan penyesuaian yang serius yang sering diakhiri dengan perceraian. c) Pernikahan campur Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua dan dengan para saudara dari pihak istri dan sebaliknya,jauh lebih sulit dalam pernikahan antar agama daripada bila kedanya berasal dari latar belakang budaya yang sama. d) Konsep pernikahan yang romantis Banyak orang dewasa awal yang mempunyai konsep pernikahan yang romantis yang berkembang pada masa remaja. Harapan yang berlebihan tentang tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan terhadap tugas dan tanggung jawab pernikahan. 57 e) Kurangnya identitas Apabila seseorang merasa bahwa keluarga, teman, dan rekannya memperlakukannya sebagai “suami” atau apabila wanita merasa bahwa kelompok sosial menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah tangga”, walaupun dia seorang wanita karier yang berhasil, ia bisa saja kehilangan identitas diri sebagai individu yang sangat dijunjung dan dinilai tinggi sebelum pernikahan. f) Penyesuaian dengan pasangan Masalah penyesuaian yang paling pokok yang pertama kali dihadapi oleh keluarga baru adalah penyesuaian terhadap pasangannya (istri atau suaminya). Hubungan interpersonal memainkan peran yang penting dalam pernikahan yang pentingnya sama dengan hubungan persahabatan dan hubungan bisnis. Bagaimana juga dalam kasus pernikahan hubungan interpersonal jauh lebih sulit untuk disesuaikan daripada dalam kehidupan bisnis sebab dalam perkawinan terdapat keruwetan oleh berbagai faktor yang tidak biasa timbul dalam bidang kehidupan individual. 2) Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan a) Stereotipe tradisional Stereotipe yang secara luas diterima mengenai “ibu mertua yang representati” dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak menyenangkan bahkan sebelum pernikahan. Stereotipe yang tidak 58 menyenangkan mengenai orang usia lanjut – mereka itu adalah bossy dan campur tangan dapat menambah masalah bagi keluarga pasangan. b) Keinginan untuk mandiri Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan ptunjuk dari orangtua mereka, walaupun menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka menolak campur tangan dari keluarga pasangan. c) Keluargaisme Penyesuaian dalam pernikahan akan lebih pelik apabila salah satu pasangan tersebut menggunakan lebih banyak waktunya terhadap keluarganya daripada mereka sendiri ingin berikan. Bila pasangan terpengaruh oleh keluarga; apabila seorang anggota keluarga berkunjung dalam waktu yang lama atau hidup dengan mereka untuk seterusnya. d) Mobilitas sosial Orang dewasa awal yang status sosialnya meningkat di atas anggota keluarga atau di atas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak orangtua dan anggota-anggota keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda. 59 e) Anggota keluarga yang berusia lanjut Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang sangat pelik dalam penyesuaian penikahan sekarang karena sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua dan keyakinan bahwa orang muda harus bebas dari urusan keluarga khususnya bila dia juga mempunyai anak. f) Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan Bila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggungjawab bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering membawa hubungan keluarga yang tidak beres. Hal ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, marah dan tersingung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut. 3) Penyesuaian diri terhadap masa keorangtuaan Masa orangtua (parenthood) merupakan kriteria terpenting dalam pengalihan dari tanggungjawab individual ke tanggungjawab kedewasaan. Status sebagai orangtua tidak dapat diragukan lagi tentu dilakukan dengan banyak mengorbankan kebahagiaan dan kepuasan sehingga diartikan sebagai “masa krisis” karena memerlukan banyak perubahan perilaku, nilai dan peranan. Dengan lahirnya seorang anak, keluarga terkadang bingung dan semua anggota keluarga juga mengalami stress dalam variasi tingkat yang berbeda. Walaupun kehadiran setiap anak dalam keluarga 60 merupakan situasi krisis, tetapi yang paling mengecewakan adalah saat lahirnya anak pertama, karena dalam beberapa hal kedua orangtua anak merasa belum mampu berperan sebagai orangtua. Dalam beberapa hal mereka masih dipengaruhi oleh konsep orangtua yang romantis. a) Sukarela untuk tidak punya anak Walaupun ada kepercayaan tradisional bahwa setiap wanita pasti menjadi ibu, sekarang ini banyak pasangan wanita secara sukarela untuk tidak mempunyai anak. Kenyataan ini memang benar pada semua tingkat sosial-ekonomi, terutama mereka yang mempunyai pendidikan lebih tinggi dan lebih baik. Orang dewasa awal memang mempunyai banyak alasan untuk tidak mempunyai anak, salah satu alasan penting adalah pengembangan karier yang mereka duga akan terganggu oleh anakanak, ketidaksediaan untuk membangun hidup bahagia yang mereka bangun untuk mereka, pernikahan antar suku atau antar agama yang diyakini akan terhalang oleh anak-anak atau ketakutan pendapatan merka tidak akan pernah cukup untuk berbagi kesenangan dengan anak-anak mereka. b) Masa orang tua dengan satu pasangan Sementara selalu ada keluarga dengan satu pasangan ketika salah satu pasangan meninggal dan pasangan lainnya tinggal sendiri untuk memelihara anak-anaknya atau yang kita kenal 61 dengan istilah “Single Parent”, jumlah keluarga dengan satu orangtua semakin meningkat akhir-akhir ini. Penyebabnya yaitu lebih banyak keluarga dengan satu orangtua disebabkan oleh perceraian daripada karena kematian, kedua, meningkatnya jumlah anak yang tidak syah secara hukum yang dipelihara oleh orangtua pengadopsi. 4) Kriteria penyesuaian pernikahan Keberhasilan pernikahan tercermin besar kecilnya hubungan interpersonal dan pola perilaku. Sampai sejauh tertentu kriteria ini bervariasi bagi orang yang berbeda dan bagi pernikahan pada usia yang berbeda, unsur-unsur ini dapat digunakan untuk menilai tingkat penyesuaian pernikahan seseorang. Kriteria keberhasilan penyesuaian pernikahan : a) Kebahagiaan suami istri Suami dan istri yang bahagia yang memperoleh kebahagian bersama akan membuahkan kepuasan yang di peroleh dari peran yang meraka mainkan bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan mantap satu dengan yang lainnya, dapat melakukan penyesuaian seksual dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orang tua. b) Hubungan yang baik antara anak dan orang tua. c) Penyesuaian yang baik dari anak-anak. 62 d) Kemampuan untuk mendapatkan kepuasan dari perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak bisa dielakan biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian, atau masing-masinga anggota keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan dan pendapat orang lain. e) Kebersamaan. f) Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya pendapatan keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang istri yang selalu mengeluh karena pendapatan suaminya tidak memadai. g) Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan. Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinanya untuk terjadi mempercekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka. 5) Penyesuaian diri terhadap kesendirian 63 Masa dewasa awal merupakan masa kesepian saat dimana penyesuaian radikal harus dilakuakan dalam setiap bidang kehidupan, banyak orang dewasa awal merasa bahwa perkawinan akan menolongnya untuk melakukan penyesuaian tersebut. Kenyataan yang pasti bahwa dalam suatu budaya yang didalamnya terdapat perkawinan merupakan pola yang normal bagi kehidupan orang dewasa awal. Selama usia dua puluhan, tujuan dari sebagian besar wanita yang belum menikah adalah perkawinan. Apabila dia belum juga menikah pada waktu dia telah mencapai usia tiga puluh atau persis pada hari ulang tahunnya yang ke tiga puluh, mereka cenderung untuk menukar tujuan dan nilai hidupnya ke arah nilai dan tujuan serta gaya hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan, kesuksesan dalam karier, dan kesenangan pribadi. 6) Alasan untuk membujang Kebanyakan orang yang tidak menikah, mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk tetap membujang. Beberapa dari alasan tersebut adalah faktor lingkungan, dan beberapa lagi karena faktor pribadi. Alasan-alasan orang dewasa muda tidak mau menikah: a) Penampilan seks yang tidak tepat dan tidak menarik. b) Cacat fisik atau penyakit lama. c) Sering gagal dalam mencari pasangan. d) Tidak mau memikul tanggungjawab pernikahan dan orang tua. e) Keinginan untuk meniti karir yang menunutut kerja lama dan jam 64 kerja tanpa batas dan banyak berpergian. f) Tidak seimbangnya jumlah anggota masyarakat pria dan wanita di masyarakat dimana ia tinggal. g) Jarang memiliki kesempatan untuk berjumpa dan berkumpul dengan lawan jenis yang dianggap cocok dan sepadan. h) Karena mempunyai tanggungjawab keuangan dan waktu untuk orang tua dan saudara-saudaranya. i) Kekecewaan yang pernal dialami karena kehidupan keluaraga yang tidak bahagia pada masa lalu dan pengalaman pernikahan yang tidak membahagiakan yang dialami oleh temannya. j) Mudahnya fasilitas untuk melakukan hubungan seksual tanpa menikah. k) Besarnya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karier. l) Mempunyai kepercayaan bahwa mobilitas social akan lebih mudah diperoleh apabila dalam keadaan lajang daripada setelah menikah. m) Persahabatan dengan anggota kelompok seks yang sejenis yang begitu kuat dan memuaskan. n) Homoseksual. Ada lagi alasan untuk tetap membujang yang disebabkan oleh pengaruh pengalaman yang sangat kuat, atau kejadian yang dialami selama masa remaja, tetapi pengaruh ini hanya efektif sama seseorang berusia dua puluhan setelah itu pengaruh tersebut secara berangsur- 65 angsur mulai berkurang berubah atau disesuaikan dengan keadaan hidup seseorang. 7) Efek hidup tanpa menikah Tidak semua wanita yang tidak menikah semula bermaksud untuk terus menjadi “single”. Juga tidak semua wanita bermaksud membiasakan dirinya single karena kurangnya persahabatan dengan teman yang berlainan jenis kelamin. Mereka mungkin mencari kegiatan di berbagai kelompok pelayanan masyarakat dan organisasi social lainnya yang memungkinkan mereka untuk melakukan komunikasi dengan pria dan wanita. Untuk menemukan kompensasi yang memuaskan bagi dorongan seks yang amat kuat selama masa dewasa awal merupakan masalah yang amat sulit yang dihadapi orang yang tidak menikah. Pria yang belum menikah biasanya mencari kepuasan seks dengan melibatkan diri (terikat) baik dengan praktek outoerotik (autoerotic) maupun dengan cara melakukan hubungan suami istri dengan wanita panggilan atau dengan pelacur. 8) Bahaya perceraian Perceraian merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk, dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Tetapi banyak juga pernikahan yang di akhiri dengan perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun dengan diam- 66 diam dan ada juga yang salah satu (suami/isteri) meninggalkan keluarga. Puncak perpisahan keluarga pada tahun pertama dalam pernikahan, dan puncak terjadinya perceraian dalam keluarga adalah pada tahun ke tiga. Bukti lainnya adalah bahwa penyebab perceraian berbeda-beda dari suatu periode dalam pernikahan ke periode lainnya. Contohnya, masalah peminum (pemabuk) hanya menyebabkan 9% kemungkinan terjadinya perceraian selama tahun pertama pernikahan dan 43% setelah 25 tahun usia pernikahan. Bagi orang-orang tertentu yang tidak pandai dalam menyesuaikan diri nampaknya lebih mudah terjadi perceraian. 9) Kondisi yang memengaruhi stabilitas perkawinan a) Jumlah anak Lebih banyak perceraian terjadi karena pasangan tidak mempunyai anak atau hanya mempunyai beberapa anak daripada karena pasangan mempunyai banyak anak. b) Kelas sosial Kasus meninggalkan keluarga lebih banyak terjadi pada kelompok masyarakat kelas rendah, sedangkan perceraian banyak terjadi pada kelompok masyarakat menengah ke atas. c) Kemiripan latar belakang 67 Perceraian lebih banyak terjadi antara pasangan yang mempunyai latar belakang kebudayaan, suku, bangsa, agama dan sosial ekonomi yang berbeda. d) Saat menikah Tingkat perceraian yang sangat tinggi khusunya terjadi pada orang yang menikah terlalu dini atau sebelum mempunyai pekerjaan yang menetap dan ekonominya belum kuat. e) Alasan untuk menikah Orang yang terpaksa menikah karena pasangan wanitanya telah mengandung kemungkinan untuk bercerai jauh lebih besar daripada pernikahan biasa. f) Status ekonomi Semakin rendah status ekonomi keluarga, maka semakin besar kemungkinan terjadinya perceraian atau salah satunya meninggalkan keluarga. g) Mempertahankan identitas h) Orang dewasa yang dapat merawat identitasnya setelah menikah dan yang mempunyai kesempatan untuk memperbaharui diri, lebih kecil kemungkinannya untuk bercerai daripada mereka yang kehidupan dirinya sangat dipengaruhi oleh keluarga. Menurut Hawari (2010) beberapa permasalahan yang muncul dalam proses perkembangan masa dewa awal yang dapat mengarah ke kecenderungan bunuh diri adalah sebagai beeikut : 68 a. Tekanan kehidupan Kehilangan pekerjaan (PHK) yang dialami individu pada masa dewasa awalnya akan berakibat pada pengangguran dan ini akan berdampak pada gangguan kesehatan bahkan bisa sampai pada rasa frustasi dan keinginan untuk mengakhiri hidup. b. Masalah sosial Masalah sosial misalnya kegagalan dalam prestasi dapat menjadi sumber stres atau tekanan psikologis pada masa dewasa awal disebabkan karena rasa malu yang sudah terbuka ke publik. c. Masalah ekonomi Kehilangan sesuatu yang berharga berupa uang yang cukup banyak atau kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dapat membuat seseorang kehilangan akal sehat dan menempuh jalan pintas dengan jalan bunuh diri. d. Kasih tak sampai (broken heart) Masalah percintaan yang tidak sampai dapat membuat seseorang patah hati. Rasa kecewa ini dapat berbuntut pada rasa putus asa, dan jalan pintas yang diambil adalah dengan melakukan bunuh diri. e. Perselingkuhan (Love Affair) Kasus perselingkuhan sekalipun ditutup rapat-rapat akhirnya akan terungkap juga. Hal ini dapat diatasi tergantung pada kepribadian seseorang. Seseorang yang merespon negatif akan cenderung menempuh jalan yang reaktif dan impulsif misalnya dengan jalan bunuh diri. 69 f. Kesepian Kesepian dikaitkan dengan gender individu yaitu harga diri, dan keterampilan sosial. Kurangnya interaksi secara sosial baik bagi laki-laki maupun perempuan, dihubungkan dengan rasa kesepian. Individu yang merasa kesepian seringkali memiliki sejarah hubungan yang jelek dengan pasangan mereka.Strategi penyelesaian masalah yang kerap dilakukan oleh individu yang kesepian adalah melarikan diri dari perasaan yang menyakitkan dengan minum minuman keras untuk membuang kesedihan mereka, menggunakan obat-obatan terlarang (NAZA), menjadi pecandu kerja (workaholic), bahkan jika mereka tidak dapat menghilangkan rasa kesepian mereka, mereka akan memilih untuk mengakhiri hidup dengan jalan pintas bunuh diri. D. Hubungan antara Spiritualitas dengan Kecenderungan Bunuh Diri pada Orang Dewasa Awal di Kabupaten Gunung Kidul Masalah-masalah dalam kehidupan yang selalu hadir dalam setiap waktu membuat individu ada yang mampu bertahan dan menghadapi masalah tersebut dan ada juga yang menunjukkan ketidakberdayaan dalam menghadapi masalah tersebut. Individu yang mampu bertahan dan mampu mengatasai masalah dalam hidupnya dengan baik berarti individu tersebut menunjukkan respon yang positif, sementara individu yang tidak mampu bertahan serta menunjukkan perilaku tidak berdaya memberikan respon yang negatif. 70 Respon yang negatif serta munculnya perilaku yang tidak berdaya dalam menghadapi masalah kehidupan akan memberikan tekanan bagi individu yang mengalaminya. Tekanan ini akan menimbulkan berbagai bentuk perasaan yang akan sulit diungkapkan oleh individu tersebut, seperti : perasaan bersalah, kegagalan dalam menjalani hidup, hingga perasaan putus asa, yang pada akhirnya akan mendorong individu tersebut untuk mencari jalan pintas untuk menghentikan tekanan yang dialaminya dengan melakukan bunuh diri. Hawari (2010) berpendapat bahwa kecenderungan seseorang melakukan tindakan bunuh diri relatif lebih mudah diketahui bilamana yang bersangkutan menunjukkan tanda-tanda seperti perasaan murung dan sedih, merasa tidak berguna, perasaan bersalah dan berdosa, kekecewaan yang mendalam, rasa putus asa, pikiran kematian, hingga muncul keinginan bunuh diri. Kasus kecenderungan bunuh diri ini juga sering menampilkan diri di usia dewasa awal. Usia dewasa awal sebagai masa peralihan dari remaja mengharuskan orang dewasa dapat bersikap lebih bertanggung jawab. Tidak dapat berperilaku sebebas diwaktu masih remaja. Tuntutan akan kedewasaan diri dan adanya tanggung jawab yang lebih besar mengharuskan orang-orang dewasa awal ini dapat menjalankan tugastugasnya dengan baik. Banyaknya tuntutan dari lingkungan sosial pada usia dewasa awal ini memberikan tekanan bagi berlangsungnya tugastugas perkembangan ini. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (2003) 71 bahwa masa dewasa merupakan periode penyesuaian diri terhadap polapola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial. Orang dewasa diharapkan memainkan peran baru seperti, peran suami/istri, orang tua, pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginankeinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Hal tersebut menjadikan periode ini sebagai suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Ketika seseorang telah memasuki usia dewasa, ia akan berhadapan dengan penyesuaian secara sosial yang lebih kompleks dibanding penyusuaian di usia-usia sebelumnya. Orang dewasa akan belajar untuk mandiri dan tidak bergantung. Dengan label dewasa yang dimilikinya, orang dewasa akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya sendiri. Orang dewasa yang dapat menyelesaikan permasalahan sendiri berarti dia telah matang dan siap menerima status barunya sebagai orang dewasa. Dan semakin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh orang dewasa hal tersebut akan semakin mendewasakan orang tersebut dalam menghadapi situasi yang sulit. Orang dewasa yang telah berhasil menyelesaikan permasalah yang dihadapinya tidak akan kesulitan lagi jika dihadapkan dengan permasalahan yang akan datang, ia telah memiliki kesiapan untuk menghadapinya. Namun berbeda dengan orang dewasa yang tidak memiliki kesiapan dalam menerima status barunya. Permasalahan yang dihadapinya akan 72 menyebabkan stress berkepanjangan dan tidak terkontrolnya emosi didalam dirinya, yang pada akhirnya orang dewasa tersebut merasa kecewa dan putus asa dengan dirinya. Sehingga membuat orang dewasa tersebut mengalami tekanan dan akhirnya memilih untuk mengakhiri hidup. Menghadapi tekanan dalam hidup bukanlah suatu kemudahan bagi individu. Beban jiwa yang semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaaan akan lebih sering terasa dan akan mengurangi kebahagiaan dalam diri individu. Menurut Sila, Anwar, Rahman, Anwar, & Habibah(2007), berkurangnya kebahagiaan dalam hidup meskipun telah terpenuhi secara material menunjukkan adanya suatu kebutuhan yang masih diperlukan, karena kecukupan materi ternyata tidak menjamin kesejahteraan hidup dalam arti yang sebenar-benarnya. Situasi ini memberikan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa keyakinan dan kebutuhan orang yang dimaksud adalah kebutuhan akan spiritualitas. Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Lebih jauh, Piedmont (2001) juga mendefinisikan spiritualitas sebagai usaha individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan pemaknaan pribadi dalam konteks kehidupan. 73 Seseorang yang telah memiliki spiritualitas yang baik berarti Ia telah menemukan tujuan dalam hidup dengan merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa sebagai zat Yang Maha Tinggi, begitu juga sebaliknya seseorang yang memiliki spiritualitas rendah belum menemukan tujuan dalam hidup sehingga masih terombang-ambing dalam kebingungan meskipun Ia telah menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, seperti yang dikemukakan oleh Sila, Anwar, Rahman, Anwar, & Habibah (2007) bahwa orang yang mengalami kehausan spiritual merasa kehidupannya kosong dan kehilangan makna hidup yang sebenarnya, meskipun mereka telah menjalankan sholat, berpuasa dan amalan sunat lainnya (dalam agama islam) namun mereka juga belum terpuaskan dan tidak merasakan manfaat sedikitpun. Pendidikan agama yang selama ini dilakukan secara konvensional, seperti pendidikan agama islam di sekolah, madrasah, tabligh akbar atau yang disuarakan resmi oleh organisasi agama tidak mampu memberikan jawaban atas persoalan spiritualitas para pemeluknya. Mereka merasa kehidupannya kosong dan kehilangan makna hidup yang sebenarnya, walaupun mereka telah berusaha mencari jawaban ataupun solusi di tengah kehidupan duniawi namun semua itu tidak mendapatkan hasil (Sila, Anwar, Rahman, Anwar, & Habibah, 2007). Dikarenakan rasa putus asa tersebut tidak jarang mereka memikirkan untuk mengakhiri hidup saja. 74 Dalam hasil penelitian yang dilakukan Karomah (2014) dengan judul “Perbedaan Kecenderungan Perilaku Bunuh Diri Ditinjau dari Tipe Kepribadian” menunjukkan adanya perbedaan kecenderungan perilaku bunuh diri antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Berdasarkan rata-rata kecenderungan perilaku bunuh diri, untuk tipe kepribadian ekstrovert sebesar 45,3000 dan tipe kepribadian introvert sebesar 67,4286, maka dapat disimpulkan bahwa tipe kepribadian introvert lebih rentan untuk memiliki kecenderungan perilaku bunuh diri dibandingkan tipe kepribadian ekstrovert. Hasil penelitian lain kecenderungan bunuh diri dilakukan oleh Delima & Suryani (2011) dengan judul penelitian “Kecenderungan Bunuh Diri dan Kepuasan Atas Dukungan Sosial pada Remaja” menunjukkan bahwa remaja dalam penelitian ini cenderung mendukung kehidupan daripada kematian, para remaja menunjukkan bahwa mereka merasa puas dengan dukungan yang mereka miliki selama ini. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa hubungan yang terjadi signifikan hanya pada kepuasan dukungan sosial dan tidak ada perbedaan tingkat kepuasan antara kelompok normatif dan non-normatif. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial berkontribusi kecil terhadap tingkat kecenderungan bunuh diri pada remaja. Spiritual sebagai motivasi dan kekuatan emosional untuk mendorong, mengarahkan, serta memilih beragam tingkah laku yang akan dilakukan kearah yang lebih positif akan mnegarahkan individu 75 menuju arah dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga individu tersebut tidak lagi merasakan ketidakberdayaan atau rasa putus asa yang akhirnya mengarahkan mereka ke tindakan mengakhiri hidup. Dengan adanyaspiritualitas individu akan selalu menyadari makna kehidupan dari setiap perjalanan yang ia lewati. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara Kecenderungan Bunuh Diri pada Orang Dewasa dengan Spiritualitas. E. Kerangka Pemikiran Masa Dewasa awal (usia 18-40 tahun) Menghadapi berbagai tugas perkembangan yang sangat kompleks berkaitan dengan permasalahan dalam penyesuaian pekerjaan dan permasalahan dalam kehidupan berkeluarga. Peran dan tanggung jawab yang sulit dan berat sebagai individu dewasa awal membuat individu dewasa awal menjadi tidak realistik dan bahkan mengalami kegagalan dalam melaksanakan perannya. Hal tersebut berdampak pada munculnya frustrasi, keputusasaan, ketidakberdayaan, kegagagalan, dan kehilangan harapan. Spiritualitas Ket : -------- = Diteliti = Tidak Diteliti Kecenderungan Bunuh diri 76 F. Hipotesis Terdapat hubungan negatif antara spiritualitas dengan kecenderungan bunuh diri pada orang dewasa awal di kabupaten GunungKidul.