BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kecenderungan Bunuh Diri 1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kecenderungan Bunuh Diri
1.
Pengertian Kecenderungan Bunuh Diri
Kecenderungan dalam kamus besar bahasa Indonesia (kamus.sabda.org)
adalah suatu keinginan yang berasal dari hati untuk melakukan hal yang
dinginkan. Menurut Chaplin (2011), kecenderungan atau tendency adalah satu
atau suatu disposisi untuk bertingkah laku dengan satu cara tertentu.
Bunuh diri adalah kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan
disengaja (Kaplan dkk, 2010). Menurut Edwin Scheneidman (dalam Kaplan
dkk, 2010) bunuh diri didefenisikan sebagai tindakan pembinasaan yang
disadari dan ditimbulkan diri sendiri, yang dipandang sebagai malaise
multidimensional pada individu yang menyebabkan suatu masalah dimana
tindakan dirasakan sebagai pemecahan yang terbaik. Videbeck (2008)
mendefiniskan bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja
untuk membunuh diri sendiri. Shneidman (dalam Videbeck, 2008)
mendefenisikan dua ketegori bunuh diri:
a. Bunuh diri langsung
Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja
untuk mengakhiri hidup, seperti pengorbanan diri (membakar diri),
menggantung diri, menembak diri sendiri, meracuni diri, melompat dari
tempat yang tinggi, dan menenggelamkan diri.
1
2
b. Bunuh diri tidak langsung
Bunuh diri tidak langsung adalah keinginan tersembunyi yang tidak
disadari untuk mati, yang ditandai dengan perilaku kronis berisiko,
seperti penyalahgunaan zat, makan berlebihan, aktivitas seks bebas,
ketidakpatuhan terhadap program medis, atau olahraga atau pekerjaan
yang membahayakan.
Kartono (2000) mendefinisikan bunuh diri adalah perbuatan manusia
yang disadari dan bertujuan untuk menyakiti diri sendiri dan menghentikan
kehidupan sendiri. Menurut Keliat (1995) bunuh diri adalah tindakan agresif
yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Keliat (1995)
juga berpendapat bahwa bunuh diri adalah tindakan agresif yang langsung
terhadap diri sendiri untuk mengakhiri kehidupan. Keadaan ini didahului oleh
respon maladaptif seperti tidak berdaya, putus asa, apatis atau acuh tak acuh
terhadap lingkungan sendiri, gagal dan kehilangan, ragu-ragu, sedih, depresi,
dan kemudian bunuh diri. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir
dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Berdasarakan uraian pengertian dari beberapa ahli diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa kecenderungan adalah suatu dorongan dari dalam diri
untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan keinginan dengan menggunakan
satu cara tertentu. Dan bunuh diri adalah suatu tindakan yang dilakukan
secara sengaja oleh individu untuk mengakhiri hidup sebagai bentuk reaksi
dari tekanan yang tidak dapat diatasi seperti tidak berdaya, putus asa, apatis
atau acuh tak acuh terhadap lingkungan sendiri, gagal dan kehilangan, ragu-
3
ragu, sedih, depresi sehingga memilih tindakan tersebut sebagai pemecahan
masalah.
Dengan demikian kecenderungan bunuh diri adalah suatu dorongan yang
mengarahkan individu untuk mengakhiri hidupnya karena individu merasa
tidak berdaya, putus asa, serta kehilangan harapan sebagai akibat dari tekanan
yang tidak dapat diatasi dengan menggunakan suatu cara tertentu.
2.
Karakteristik Kecenderungan Bunuh Diri
Menurut Yayasan Harapan Permata Hati Kita (2003), karakteristik
pemikiran dari orang berkecenderungan untuk bunuh diri adalah :
a. Ambivalensi
Kebanyakan orang yang ingin bunuh diri memiliki perasaan yang
campur aduk tentang bunuh diri itu sendiri. Keinginan untuk hidup dan
mati beradu dalam orang tersebut, ada keinginan untuk lari dari rasa sakit
dan ada juga hasrat untuk hidup. Kebanyakan dari mereka tidak ingin
mati, mereka hanya tidak senang dengan hidup mereka.
b. Impulsivitas
Bunuh diri adalah merupakan tindakan impulsif, dan sama seperti
tindakan impulsif lainnya, dorongan ini bisa bertahan lama atau hanya
beberapa menit atau beberapa jam saja. Biasanya dipicu oleh kejadiankejadian negatif. Menolak krisis-krisis tersebut dengan lebih banyak
bermain dengan waktu, keinginan untuk bunuh diri dapat di kurangi atau
dicegah.
4
c. Rigiditas
Apabila orang ingin bunuh diri, pemikiran, perasaan dan tindakan
mereka terbatasi. Mereka berpikir untuk bunuh diri secara konstan dan
tidak mampu menerima jalan keluar dari masalah. Cara berpikir mereka
sangat ekstrim.
Menurut Kartono (2000) beberapa karakteristik dari individu yang
cenderung melakukan perbuatan bunuh diri antar lain adalah :
a. Ada ambivalensi yang sadar atau tidak sadar antar keinginan untuk mati
dan untuk hidup.
b. Ada perasaan tanpa harapan, tidak berdaya, sia-sia sampai pada jalan
buntu, merasa tidak mampu mengatasi segala kesulitan dalam hidupnya.
c. Dia merasa pada batas ujung kekuatan, merasa sudah capai total, secara
fisik dan secara mental.
d. Selalu dihantui atau dikejar-kejar oleh rasa cemas, takut, tegang, depresi,
marah, dendam, dosa atau bersalah.
e. Adanya kekacauan dalam kepribadiannya, mengalami kondisi disorganisai
dan disintegrasi personal, tanpa mampu keluar dari jalan buntu dan tanpa
kemampuan untuk memperbaikinya.
f. Terayun-ayun dalam macam-macam suasana hati yang kontroversal,
agitasi lawan apati, ingin lari lawan berdiam diri, memiliki potensialitas
kontra kelemahan dan ketidakberanian.
5
g. Terdapat pengerutan kognitif, ada ketidakmampuan melihat dengan
wawasan bening, tidak mampu melihat alternatif lain bahkan meyakini
limitasi dan kelemahan dari potensialitas diri.
h. Hilangnya kegairahan hidup, hilang minat terhadap aktivitas-aktivitas
sehari-hari, pupus kegairahan seksnya, tanpa minat terhadap masyarakat
sekitar.
i. Banyak penderitaan jasmaniah, mengalami insomnia, mengalami anoreksi
atau tidak suka makan, menderita psikastenia dan simptom-simptom
psikotis lainnya.
j. Penderita pernah sekali atau beberapa kali mencoba melakukan upaya
bunuh diri.
Sinambela (dalam Cristiani, 2011) menyebutkan ciri-ciri individu yang
memiliki kecenderungan bunuh diri :
a. Mengasingkan diri atau menarik diri dari relasi dengan rekan sebaya dan
anggota keluarganya.
b. Tanda-tanda depresi, meskipun pengertian tanda-tanda disini tidak selalu
berarti tanda-tanda secara klinis, misalnya:
1) Berkurangnya minat untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang
biasa dilakukan.
2) Menampilkan sikap yang muram, sedih, putus asa dan terkesan
kehilangan harapan.
6
3) Terjadi perubahan pada selera makan, berat tubuh, respon
perilakunya ketika diajak berbincang-bincang atau pola tidurnya
sehari-hari.
4) Kehilangan energi.
5) Membuat (mengungkapkan) pernyataan-pernyataan yang negatif
tentang pribadinya.
6) Mengungkapkan keinginan atau khayalan tentang bunuh diri
c. Berbicara atau mengungkapkan ide tentang bunuh diri dalam tulisan.
d. Upaya awal menuju perilaku bunuh diri.
e. Kondisi emosi putus asa (terkesan kehilangan harapan) dan tidak berdaya
f. Mulai mengabaikan aspek-aspek kepemilikan pribadinya. Misalnya:
mulau membagi-bagikan dan menelantarkan benda kesukaannya.
Menurut Gardner (2004), seseorang yang berkecenderungan melakukan
bunuh diri memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Mengucapkan komentar semacam “Aku ingin mati saja” atau “Saya ingin
lenyap untuk selamanya”.
b. Minat atau ketertarikan yang tiba-tiba dan menggebu-gebu terhadap
senjata api, pisau, pil tidur, dan sarana-sarana pembunuh lainnya, maupun
suatu obsesi mengenai orang yang telah mati akibat bunuh diri.
c. Menyerahkan kepada orang lain benda-benda istimewa miliknya tanpa
sebab yang jelas, dan mengatakan bahwa hidupnya akan berakhir segera.
d. Kesedihannya amat mendalam dan tangisannya penuh duka dan
kepedihan.
7
e. Selalu mengucilkan diri sendiri, padahal sebelumnya dia lebih suka
bersama-sama dengan orang-orang di sekitarnya.
f. Minat dan perhatiannya selalu terfokus pada musik dan lagu-lagu depresif
(yang liriknya memuja kematian atau bunuh diri), juga buku-buku serta
ilustrasi yang menonjolkan cerita kematian atau bunuh diri.
g. Sekurang-kurangnya dalam dua minggu terakhir telah memperlihatkan
lima atau lebih gejala-gejala berikut :
1) Perasaannya tertekan.
2) Tidak menaruh minat terhadap apapun.
3) Berat badannya turun drastis.
4) Tidur terus-menerus atau tidak tidur terus-menerus.
5) Gerak-geriknya amat lamban atau sebaliknya serba cepat dan
tergesa-gesa.
6) Selalu keletihan.
7) Bersikap menyerah atau merasa sangat bersalah.
8) Dan tidak mampu mengkonsentrasikan pikirannya.
3.
Faktor-faktor Risiko
Edward
Shneidman
(dalam
Durand
&
Barlow,
2006)
mengidentifikasikan faktor-faktor risiko munculnya tindakan bunuh diri.
Faktor-faktor risiko tersebut adalah sebagai berikut :
8
a. Riwayat Keluarga
Bila seorang anggota keluarga bunuh diri, risiko bahwa orang lain di
keluarga itu akan melakukan tindakan yang sama akan meningkat.
Faktanya Brent, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006) mencatat risiko
percobaan bunuh diri yang meningkat enam kali lipat pada anak dari
anggota keluarga yang pernah berusaha bunuh diri dibanding anak dari
orang yang belum pernah mencoba bunuh diri. Bila salah seorang
saudara kandung juga pelaku percobaan bunuh diri, risiko itu akan
meningkat lebih tinggi lagi. Kemungkinan adanya sesuatu yang sifatnya
diturunkan ini didukung oleh beberapa studi terhadap anak-anak yang
diadopsi. Salah satunya menemukan peningkatan angka bunuh diri pada
keluarga biologis orang-orang yang diadopsi, yang telah melakukan
tindakan bunuh diri, jika dibandingkan dengan kelompok kontrol orangorang yang diadopsi tidak melakukan tindakan bunuh diri. Dalam sebuah
studi kecil mengenai orang-orang yang kembarannya telah melakukan
bunuh diri, 10 dari 26 kembaran monozigotik yang masih hidup, dan
tidak satupun di antara 9 kembaran dizigotik yang msaih hidup yang
pernah mencoba bunuh diri. Ini menunjukkan adanya kontribusi biologis
(genetik) tertentu untuk bunuh diri, meskipun mungkin relatif kecil.
b. Neurobiologi
Berbagai bukti menunjukkan bahwa level serotonim yang rendah
mungkin berhubungan dengan bunuh diri dan percobaan bunuh diri
dengan menggunakan cara-cara yang keras. Level serotonim yang
9
ekstrem rendah berhubungan dengan impulsivitas, instabilitas, dan
kecenderungan untuk memberikan reaksi yang berlebihan terhadap
berbagai situasi. Sehingga, dengan level serotonim yang rendah dapat
memberikan kontribusi terhadap terciptanya kerentanan untuk bertindak
secara impulsif. Ini mungkin meliputi tindakan bunuh diri, yang kadangkadang merupakan sebuah tindakan impulsif. Studi Brent, dkk (dalam
Durand & Barlow, 2006) menunjukkan bahwa transmisi kerentanan
untuk
gangguan
kecemasan,
termasuk
ciri
impulsivitas,
dapat
memperantarai transmisi percobaan bunuh diri dalam keluarga.
c. Gangguang Psikologis yang Sudah Ada
Lebih dari 90% orang yang melakukan bunuh diri menderita
gangguan psikologis tertentu. Bunuh diri sering kali berhubungan dengan
gangguan suasana perasaan, dan ada alasan yang kuat untuk itu.
Sebanyak 60% dari seluruh bunuh diri (75% di antara bunuh diri yang
dilakukan remaja) berhubungan dengan gangguan suasana perasaan yang
sudah ada. Lewinhnson, Rohde, dan Seeley (dalam Durand & Barlow,
2006) menyimpulkan bahwa di kalangan remaja perilaku bunuh diri
kebanyakan merupakan pengekspresian depresi berat. Tetapi banyak
orang yang mengalami gangguan suasana perasaan tidak mencoba bunuh
diri dan sebaliknya banyak orang yang mencoba bunuh diri tidak
memiliki gangguan suasana perasaan. Jadi, depresi dan bunuh diri
meskipun sangat erat terkait, bersifat independen satu sama lain. Dengan
melihat lebih dekat hubungan antara gangguan suasana perasaan dan
10
bunuh diri, beberapa peneliti mengambil keputusan yang merupakan
salah satu komponen khas depresi sebagai prediktor bunuh diri yang
kuat.
Penggunaan dan penyalahgunaan alkohol berhubungan dengan kirakiran 25%-50% bunuh diri dan sangat menonjol di dalam kasus-kasus
bunuh diri yang dilakukan oleh remaja. Brent, dkk (dalam Durand &
Barlow, 2006) menemukan bahwa sekitar sepertiga remaja yang
melakukan tindakan bunuh diri berada dalam keadaan terintoksikasi saat
mereka meninggal dan bahwa lebih banyak lagi yang mungkin berada di
bawah pengaruh obat-obatan. Kombinasi berbagai gangguan, seperti
penyalahgunaan substansi dan gangguan suasana perasaan atau gangguan
perilaku (conduct disorder) pada anak-anak dan remaja, tampaknya
menciptakan kerentanan yang lebih kuat dibanding gangguan tunggal
mana pun. Sebagai contoh, Hawton, dkk (dalam Durand & Barlow,
2006) menyatakan bahwa prevalensi percobaan dan percobaan berulang
bunuh diri akan dua kali lebih tinggi bila ada kombinasi gangguan. Bagi
remaja menurut Woods, dkk (dalam Durand & Barlow, 2006)
menemukan
bahwa
penyalahgunaan
substansi
ditambah
risk
takingbehavior (perilaku ambil risiko) lainnya, misalnya terlibat dalam
perkelahian, membawa senjata api, atau merokok, memprediksi bunuh
diri pada remaja usia belasan, yang mungki merefleksikan impulsivitas
pada remaja yang penuh masalah. Esposito dan Clum (dalam Durand &
Barlow, 2006) juga mengemukakan bahwa kemunculan gangguan
11
kecemasan dan gangguan suasana perasaan (yang di internalisasikan)
memprediksi percobaan bunuh diri pada remaja. Percobaan bunuh diri
yang pernah dilakukan sebelumnya merupakan faktor kuat lain yang
harus dianggap serius.
Gangguan lain yang ditandai oleh impulsivitas daripada oleh depresi
adalah boderline personality disorder (gangguan kepribadian ambang).
Frances dan Blumenthal (dalam Durand & Barlow, 2006) menyatakan
bahwa individu-individu ini, yang diketahui menunjukkan gerak-gerik
bunuh diri yang manipulatif dan impulsif tetapi sebenarnya belum tentu
ingin merusak dirinya sendiri, kadang-kadang secara tidak sengaja
membuat diriya sendiri terbunuh (10% dari kasus). Kombinasi antara
gangguan
kepribadian
ambang
dan
depresi
sangat
mematikan.
Keterkaitan antara bunuh diri dengan gangguan-gangguan psikologis
berat, terutama depresi, melatarbelakangi mitos bahwa bunuh diri adalah
respons terhadap kekecewaan yang tidak akan dilakukan oleh yang sehat.
d. Kejadian-kejadian Hidup yang Stressful
Faktor risiko yang terpenting untuk bunuh diri adalah kejadian
stressful berat yang memalukan atau membuat orang merasa terhina,
misalnya kegagalan (riil maupun tidak riil) di sekolah atau di tempat
kerja, penahanan yang terjadi di luar dugaan, atau perasaa cinta yang
bertepuk sebelah tangan. Penganiayaan fisik dan seksual juga merupakan
sumber stres yang terpenting, bukti-bukti mutakhir membenarkan bahwa
stres dan distrupsi akibat bencana alam meningkatkan kemungkinan
12
bunuh diri. Berdasarkan data dari 337 negara yang mengalami bencana
alam selama tahun 1980an, para peniliti menyimpulkan bahwa angka
bunuh diri naik sebesar 13,8% dalam waktu 4 tahun setelah terjadinya
banjir, 31% dalam waktu 2 tahun setelah angin topan, dan 62,9% di
tahun pertama setelah gempa bumi. Karena kerentanan yang sudah ada
sebelumnya termasuk adanya gangguan psikologis, ciri sifat impulsif dan
kurangnya dukungan sosial sebuah kejadian yang steressful sering kali
dapat membuat orang merasa tidak mampu mengatasi.
Menurut Kartono (2000), faktor - faktor lain yang memberikan kontribusi
munculnya kecenderungan bunuh diri antara lain ialah:
a. Faktor sosiologis
Berupa disintegrasi dan disorganisasi sosial yang mengakibatkan
disintegrasi-disorganisasi pribadi atau personal, masa-masa krisis,
peristiwa-peristiwa erosi dari norma-norma, nilai-nilai dan lain-lain.
b. Faktor ekonomi
Berupa status ekonomi, depresi ekonomi, jatuh miskin secara mendadak,
dan lain-lain.
c. Faktor politik
Berupa perubahan-perubahan iklim politik dengan macam-macam
tekanannya, degradasi secara politis, perubahan peranan dalam dunia
politik dan lain-lain.
d. Faktor pendidikan
13
Misalnya kegagalan studi di sekolah atau universitas. Sehingga orang yang
bersangkutan lebih suka memilih kedamaian abadi di balik kematian
dirinya, guna menyingkiri macam-macam kesulitan serta aib yang rasarasanya tidak dikuasai oleh dirinya.
4.
Faktor Penyebab Bunuh Diri
Ada berbagai macam penyebab yang membuat seseorang mengambil
jalan pintas untuk melakukan aksi bunuh diri. Pertama, kesulitan ekonomi
menjadi alasan utama. Kedua, kurang harmonisnya hubungan keluarga
sehingga mempermudah terjadinya perselisihan. Ketiga, dampak negatif
pemberitaan media (Syakib, 2008).
Secara psikologis motivasi bunuh diri antara lain rasa kecewa karena
gagal atau hilangnya suatu harapan, rasa putus asa karena tekanan kehidupan
dan rasa putus asa karena penyakit yang berkepanjangan (Hawari, 2010).
Hadriami (dalam Cristiani, 2011) menuturkan bahwa faktor psikologis
yang menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan bunuh diri antara lain:
a. Depresi
Depresi sebagai introyeksi kemarahan karena kehilangan objek cinta.
Jadi kemungkinan kecenderungan bunuh diri merupakan kemarahan yang
ditujukan ke diri sendiri setelah kehilangan dan keinginan balas dendam
yang ditujukan ke diri sendiri.
14
b. Putus Asa
Dalam teori “cognitive behavioral” dijelaskan bahwa keputusasaan
memiliki peran penting diambilnya keputusan bunuh diri. Orang yang
mempunyai pandangan selalu pesimis terhadap masa depan, pesimis dalam
menyelesaikan masalah, akan cenderung membesarkan masalah, pola
berpikirnya kaku, dan melihat bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar.
c. Dukungan Sosial
Faktor lain yang juga bisa mendorong orang memiliki kecenderungan
bunuh diri yaitu tidak adanya dukungan sosial dan peran bermakna di
lingkungannya. Apabila seseorang memiliki masalah berat dan dia merasa
sendirian, tidak ada yang menghiraukan dan dia takut meraih perhatian
orang lain karena dia merasa kecil dan tak berharga, maka jalan ke arah
bunuh diri akan dekat. Adanya relasi dalam keluarga atau perkawinan
yang berkualitas baik akan sangat membantu menghindarkan tindakan
bunuh diri.
Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang cenderung melakukan
tindakan bunuh diri (Suryani, 2008) :
a. Faktor yang datang dari dalam dirinya sendiri
Faktor dari dalam dirinya sendiri antara lain karena kepribadian yang
belum matang yang menyebabkan ia tidak mampu mengatasi masalah
yang dihadapinya. Bisa juga karena trauma yang dialaminya waktu
berada di dalam kandungan ibunya, waktu proses kelahiran, waktu
dibesarkan, dan waktu dewasa yang dapat mempengaruhi cara berpikir,
15
emosi, perilaku, dan cara bereaksi terhadap masalah yang dihadapinya.
Bisa juga karena stress yang menyebabkan terjadi konflik, frustasi,
cemas, depresi, marah, dan reaksi lainnya sehingga karena tidak mampu
mengatasinya ia berada dalam kebingungan dan akhirnya mengambil
jalan pintas bunuh diri.
b. Faktor yang datang dari luar dirinya
Yakni masalah yang datang dari keluarga, teman dekat, teman
sekolah, atau kantor, atau masalah ekonomi, pergaulan, politik,
kemacetan lalu lintas, kesulitan mendapartkan rumah yang sehat,
pengaruh media cetak dan elektronika, dan sebagainya. Dorongan dan
keinginan melakukan tindakan bunuh diri sangat dipicu oleh tayangan
TV dan berita di media cetak yang melukiskan dengan gamblang dan
mendetail. Tayangan dan bacaan ini tersimpan di dalam memorinya
dengan baik. Pada saat ia mengalami masalah besar dan kemampuan
memberikan pertimbangan baik tidak berfungsi karena kebingungan dan
keputusasaan, timbul dorongan dan pertimbangan untuk melakukan
tindakan bunuh diri yang tersimpan di dalam memorinya.
B. Spiritualitas
1.
Pengertian spiritualitas
Menurut perspektif bahasa ‘spiritualitas’ berasal dari kata ‘spirit’ yang
berarti ‘jiwa’. Dan istilah “sipiritual” dapat didefinisikan sebagai pengalaman
16
manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan
moralitas.
Menurut kamus webster (1963) kata spirit berasal dari kata bahasa latin
“spiritus” yang berarti hembusan atau nafas. Kata kerjanya ‘spirane” yang
artinya bernafas. Dengan kata lain spiritual merupakan kebangkitan atau
pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual
merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan
manusia. Spiritualitas juga dapat berarti keadaan atau kualitas yang berkaitan
dengan agama atau kualitas menjadi spiritual.
Parks (dalam Love, 2002) menggambarkan spiritualitas sebagai sebuah
pencarian personal untuk menjadi berarti, transenden, menyadari keseluruhan
jiwa, mencari tujuan, dan memahami spirit sebagai yang menghidupkan
esensi pada hidup.
Dewit-Weaver (dalam McEwen, 2004) mendefinisikan spiritual sebagai
bagaian dari dalam diri individu (core of individuals) yang tidak terlihat
(unseen, invisible) yang berkontribusi terhadap keunikan serta dapat menyatu
dengan nilai-nilai transendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/high power
dengan Tuhan/God) yang memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan.
Spiritualitas juga didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk membuat
dan mencari makna melalui rasa keterhubungan pada dimensi yang melebihi
diri sendiri (Reed, dalam McEwen, 2004).
Defenisi lain menyatakan bahwa spiritualitas adalah prinsip hidup
seseorang untuk menemukan makna dan tujuan hidup serta hubungan dan
17
rasa keterikatan dengan sesuatu yang misteri, maha tinggi, Tuhan, atau
sesuatu yang universal (Burkhardt, dalam McEwen 2004).
Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip dengan suatu cara
yang berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang
individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang
terbuka, memberi, dan penuh kasih.
Larson (2003) menyatakan bahwa spiritualitas mengacu kepada orientasi
seseorang terhadap pengalaman-pengalaman transedensi atau karakteristik
hakiki dari kehidupan, seperti makna, arah dan tujuan hidup, serta
keterkaitannya. Kadang-kadang spiritualitas mengacu pada pencarian hal-hal
suci dalam kehidupan.
Spiritualitas merupakan sebuah bentuk multidimensi dan dinamis.
Emmons (2003) mengatakan bahwa sangatlah terlalu sederhana untuk
menganggap spiritualitas sebagai tingkah laku yang pasif dan statis yang
dimiliki seseorang, atau perilaku yang terikat di dalamnya, seperti ritualritual. Hal ini diperkuat dengan penjelasan Friedman et al (dalam Haskell,
2003) yang mendefenisikan spritualitas sebagai proses aktif dan positif yang
melibatkan pencarian aktivitas-aktivitas yang mengembalikan seseorang
kepada rasa keterpaduan (coherence), menuju kualitas keutuhan dan
kedamaian dalam diri.
Beberapa ahli menyamakan konsep spiritualitas dengan agama atau
praktik-praktik keagamaan (Emblen & Halstead, 1993; dalam Smith, 1994).
Menurut mereka, spiritualitas tidak bertentangan dengan agama, tetapi
18
spiritualitas merupakan fenomena yang lebih inklusif. Bagi beberapa
individu, spiritualitas bisa dihubungkan serta diungkapkan melalui agama
formal, sedangkan bagi sebagian individu yang lain, spiritualitas dianggap
tidak berkaitan dengan keyakinan-keyakinan keagamaan ataupun afiliasi
keagamaan yang lainnya (Elkins, et al. 1998, dalam Smith 1994).
Secara eksplisit, Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai
rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional
umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku
individu. Lebih jauh, Piedmont (2001) mendefinisikan spiritualitas sebagai
usaha individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan pemaknaan
pribadi dalam konteks kehidupan setelah mati (eschatological).
Elkins, dkk (dalam Smith, 1994) mendeskripsikan spiritualitas dari
perspektif humanis dan eksistensial dengan menciptakan definisi dari tulisantulisan Maslow, Dewey, dan Frankl tentang potensi-potensi positif manusia.
Elkins, dkk. kemudian memandang spiritualitas sebagai suatu fenomena yang
secara potensial berada di dalam diri setiap manusia. Menurut mereka,
spiritualitas dapat diartikan sebagai jalan untuk menjadi serta mengalami
kesadaran spiritual yang diperoleh melalui kesadaran dimensi transendental
yang ditandai oleh nilai-nilai yang mampu diidentifikasi baik yang datang
dari diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan maupun nilai-nilai yang
mengarahkan seseorang untuk mencapai tujuan puncak (Ultimate).
Dari definisi dan penjelasan mengenai spiritualitas yang dikemukakan
oleh beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah bagian
19
terdalam dan esensial dari diri individu yang menyatukedalam rasa
keterpaduan, keterhubungan, dan rasa keterikatan terhadap nilai-nilai
transendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/high power dengan
Tuhan/God) dengan menyadari keseluruhan jiwa untuk menjadi berarti,
transenden, dan memahami serta mencapai makna dan tujuan hidup sehingga
tercapai kedamaian yang hakiki.
2.
Karakteristik& Dimensi Spiritualitas
a. Karakteristik Spiritualitas
Beberapa karakteristik spiritualitas yang dikemukakan olehHamid (2000)
adalah sebagai berikut :
1.
Hubungan dengan diri sendiri
a) Pengetahuan mengenai diri (siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukannya).
b) Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa
depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri
sendiri)
2. Hubungan dengan alam
a) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim.
b) Berkomuikasi
dengan
alam
(bertanam,
berjalan
kaki)
mengabadikan dan melindungi alam.
3. Hubungan dengan orang lain
a) Berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik.
20
b) Mengasuh anak, orang tua, dan orang sakit.
c) Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dll).
4.
Hubungan dengan orang lain yang tidak harmonis :
a) Konflik dengan orang lain
b) Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.
5.
Hubungan dengan Ketuhanan
a) Sembahyang/berdoa/meditasi.
b) Perlengkapan keagaamaan
c) Bersatu dengan alam
Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi
kebutuhan spiritualnya apabila mampu :
a.
Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di
dunia/kehidupan.
b.
Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu
kejadian atau penderitaan.
c.
Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa
percaya, dan cinta.
d.
Membina integritas personal dan merasa diri berharga.
e.
Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan.
f.
Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif.
21
b. Dimensi Spiritualitas
Elkins, dkk (dalam Smith, 1994) menjelaskan adanya sembilan
dimensi dalam spiritualitas yang berdasarkan studi literatur yang telah
dilakukannya adalah sebagai berikut :
1. Dimensi transenden:
Orang
eksperensial
spiritual
bahwa
memiliki
ada
kepercayaan/belief
dimensi
transenden
berdasarkan
dalam
hidup.
Kepercayaan/belief disini dapat berupa perspektif tradisional/agama
mengenai Tuhan sampai perspektif psikologis bahwa dimensi
transenden adalah eksistensi alamiah dari kesadaran diri dari wilayah
ketidaksadaran atau greater self. Orang spiritual memiliki pengalaman
transenden atau dalam istilah Maslow “peak experience”. Individu
melihat apa yang dilihat tidak hanya apa yang terlihat secara kasat
mata, tetapi juga dunia yang tidak dapat terlihat.
2. Dimensi Makna dan Tujuan hidup.
Orang spiritual akan memiliki makna hidup dan tujuan hidup
yang timbul dari keyakinan bahwa hidup itu penuh makna dan orang
akan memiliki eksistensi jika memiliki tujuan hidup. Secara aktual,
makna dan tujuan hidup setiap orang berbeda‐beda atau bervariasi,
tetapi secara umum mereka mampu mengisi “exixtential vacuum”
dengan authentic sense bahwa hidup itu penuh makna dan tujuan.
22
3. Dimensi Misi Hidup.
Orang spiritual merasa bahwa dirinya harus bertanggung jawab
terhadap hidup. Orang spiritual termotivasi oleh metamotivasi, yang
berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target
konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.
4. Dimensi Kesucian Hidup.
Orang spiritual percaya bahwa hidup diinfus oleh kesucian dan
sering mengalami perasaan khidmad, takzim, dan kagum meskipun
dalam setting nonreligius. Dia tidak melakukan dikotomi dalam hidup
(suci dan sekuler; akhirat dan duniawi), tetapi percaya bahwa seluruh
kehidupannya adalah akhirat dan bahwa kesucian adalah sebuah
keharusan. Orang spiritual dapat sacralize atau religionize dalam
seluruh kehidupannya.
5. Dimensi nilai-nilai material/material values.
Orang spiritual dapat mengapresiasi material good seperti uang
dan kedudukan, tetapi tidak melihat kepuasan tertinggi terletak pada
uang atau jabatan dan tidak mengunakan uang dan jabatan untuk
menggantikan kebutuhan spiritual. Orang spiritual tidak akan
menemukan kepuasan dalam materi tetapi kepuasan diperoleh dari
spiritual.
6.
Dimensi Altruisme.
Orang spiritual memahami bahwa semua orang bersaudara dan
tersentuh oleh penderitaan orang lain. Dia memiliki perasaan/sense
23
kuat mengenai keadilan sosial dan komitmen terhadap cinta dan
perilaku altrusitik.
7. Dimensi Idealisme.
Orang spiritual adalah orang yang visioner, memiliki komitmen
untuk membuat dunia menjadi lebih baik lagi. Mereka berkomitmen
pada idealisme yang tinggi dan mengaktualisasikan potensinya untuk
seluruh aspek kehidupan.
8. Dimensi Kesadaran Akan Adanya Penderitaan.
Orang spiritual benar‐benar menyadari adanya penderitaan dan
kematian. Kesadaran ini membuat dirinya serius terhadap kehidupan
karena penderitaan dianggap sebagai ujian. Meskipun demikian,
kesadaran ini meningkatkan kegembiraan, apresiasi dan penilaian
individu terhadap hidup.
9.
Hasil dari spiritualitas
Spiritualitas yang dimiliki oleh seseorang akan mewarnai
kehidupannya. Spiritualitas yang benar akan berdampak pada
hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang lain, alam,
kehidupan dan apapun yang menurut individu akan membawa pada
Ultimate.
Kemudian Smith (1994) merangkum sembilan aspek spiritualitas yang
diungkapkan oleh Elkins, dkk. tersebut menjadi empat aspek sebagaimana
berikut:
24
a.
Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa
memiliki misi dalam hidup.
b.
Memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi
positif dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran
bahwa nilai-nilai spiritual menawarkan kepuasan yang lebih besar
dibandingkan
nilai-nilai
material,
serta
spiritualitas
memiliki
hubungan integral dengan seseorang, diri sendiri, dan semua orang.
c.
Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan. Hal ini mencakup
kesadaran akan musibah dalam kehidupan dan tersentuh oleh
penderitaan orang lain.
d.
Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah
menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam
hidup adalah suci.
Sementara itu, Piedmont (2001) mengembangkan sebuah konsep
spiritualitas yang disebutnya sebagai Spiritual Transcendence, yaitu
kemampuan individu untuk berada di luar pemahaman dirinya akan waktu
dan tempat, serta untuk melihat kehidupan dari perspektif yang lebih luas
dan objektif. Perpektif transendensi tersebut merupakan suatu perspektif di
mana seseorang melihat satu kesatuan fundamental yang mendasari
beragam kesimpulan akan alam semesta. Konsep ini terdiri atas tiga aspek,
yaitu:
25
a. Prayer Fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah perasaan
gembira dan bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan
realitas transenden.
b. Universality (universalitas), yaitu sebuah keyakinan akan kesatuan
kehidupan alam semesta (nature of life) dengan dirinya.
c. Connectedness (keterkaitan), yaitu sebuah keyakinan bahwa seseorang
merupakan bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang
melampaui generasi dan kelompok tertentu.
3.
Perkembangan Spiritual
Perkembangan spiritual yang dikemukakan oleh Hamid (2000) adalah
sebagai berikut :
a. Bayi &Toddler (0-2 tahun)
Tahap awal perkembangan spiritual adalah rasa percaya kepada yang
mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman, dan dalam
hubungan interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal
dunia melalui hubungannya dengan lingkungan, khususnya orang tua.
Bayi dan toddler belum memiliki rasa salah dan benar, serta keyakinan
spiritual. Mereka mulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan
tersebut, serta ikut ke tempat ibadah yang mempengaruhi citra diri mereka.
b. Prasekolah
Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajarkan kepada
anak tentang apa yang dianggap baik dan buruk. Anak prasekolah meniru
26
apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Permasalahan
akan timbul apabila tidak ada kesesuaian atau bertolak belakang antara apa
yang dilihat dan yang dikatakan kepada mereka. Anak prasekolah sering
bertanya tentang moralitas dan agama seperti perkataan atau tindakan
tertentu dianggap salah dan juga bertanya “apa itu surga?” mereka
menyakini bahwa orang tua mereka seperti Tuhan.
Menurut Kozier, Erb, Blais & Wilkinson (dalam Hamid, 2000), pada
usia ini metode pendidikan spiritual yang paling efektif adalah
memberikan indoktrinasi dan memberikan kesempatan kepada mereka
untuk memilih caranya. Agama merupakan bagian dari kehidupan seharihari. Mereka percaya bahwa Tuhan yang membuat hujan dan angin, hujan
dianggap sebagai air mata Tuhan.
c. Usia Sekolah
Anak dengan usia sekolah mengharapkan Tuhan akan menjawab
doanya, yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada
masa prapubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka
mulai menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab menggunakan cara
mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima keyakinan begitu
saja.
Pada usia ini, anak mulai mengambil keputusan akan melepaskan atau
meneruskan agama yang dianutnya karena ketergantungannya kapada
orang tua. Pada masa remaja, mereka membandingkan standar orang tua
mereka dengan orang tua yang lain dan menetapkan standar apa yang akan
27
diintegrasikan
dalam
perilakunya.
Remaja
juga
membandingkan
pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba untuk
menyatukannya. Pada remaja yang mempunyai orang tua berbeda agama,
pada masa inilah mereka akan memutuskan pilihan agama yang akan
dianutnya atau tidak memilih satupun dari kedua agama orang tuanya.
d. Dewasa
Kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan
bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah
diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dulu, lebih dapat diterima
pada masa dewasa daripada waktu remaja dan masukan dari orangtua
tersebut dipakai untuk mendidik anaknya.
e. Usia Pertengahan
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu
untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang
diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan
tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat)
menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan filosofis
agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk
menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa
berharga serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak
dapat ditolak atau dihindarkan.
28
4.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Spiritualitas
Menurut Taylor, Lillis & Le Mone (dalam Hamid, 2000) dan Craven &
Hirnle (dalam Hamid, 2000), faktor penting yang dapat mempengaruhi
spiritualitas seseorang adalah sebagai berikut :
a. Pertimbangan Tahap perkembangan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama
yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang
Tuhan dan bentuk sembahyang dan berbeda menurut usia, seks, agama,
dan kepribadian anak. Tema utama yang diuraikan oleh semua anak
tentang Tuhan mencakup :
1) Gambarann tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan
manusia dan saling keterkaitan dengan kehidupan.
2) Mempercayai
bahwa
Tuhan
terlibat
dalam
perubahan
dan
pertumbuhan diri serta transformasi yang membuat dunia tetap segar,
penuh kehidupan dan berarti.
3) Meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa takut
menghadapi kekuasaan Tuhan.
4) Gambaran cahaya/sinar.
a. Keluarga
Peran
orang
tua
sangat
menentukan
dalam
perkembangan
spiritualitas anak. Yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua
kepada anaknya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai
Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. Oleh
29
karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama
anak dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, maka pandangan anak
pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan
dengan orangtua dan saudaranya.
b. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan
sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan
spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalanka agama. Termasuk
nilai oral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan. Perlu diperhatikan apapun tradisi agama atau sistem
kepercayaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual unik
bagi tiap individu.
c. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun pengalaman negatif
dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dipengaruhi
oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau
pengalaman tersebut. Sebagai contoh, jika dua orang wanita yang percaya
bahwa Tuhan mencintai umatnya, kehilangan anak mereka karena
kecelakaan, salah satu dari mereka akan bereaksi dengan mempertanyakan
keberadaan Tuhan dan tidak mau sembahyang lagi. Sedangkan wanita
yang lain bahkan sebaliknya terus berdoa dan meminta Tuhan
membantunya untuk mengerti dan menerima kehilangan anaknya.
30
Begitu pula pengalaman hidup yang menyenangkan sekalipun,
seperti pernikahan, pelantikan kelulusan, kenaikan pangkat atau jabatan
dapat menimbulkan perasan yang bersyukur kepada Tuhan, namun ada
juga yang merasa tidak perlu mensyukurinya. Peristiwa dalam kehidupan
sering dianggap seagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada
manusia untuk menguji kekuatan imannya. Pada saat ini, kebutuhan
spiritual akan meningkat yang memerlukan kedalaman spiritual dan
kemampuan coping untuk memenuhinya.
d. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual
seseorang (Troth, Craven, dan Hirnle, dalam Hamid 2000). Krisis sering
dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses
penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khusunya pada klien dengan
penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam
kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman
spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisikal dan emosional.
Krisis
bisa
tritmen/terapi
berhubungan
pengobatan
yang
dengan
perubahan
diperlukan,
atau
patofisiologis,
situasi
yang
mempengaruhi seseorang. Diagnosis penyakit atau penyakit terminal pada
umumnya akan menimbulkan pertanyaan tentang sistem kepercayaan
seseorang. Apabila klien dihadapkan pada kematian, maka keyakinan
spiritual
dan
keinginan
untuk
sembahyang/berdoa
dibandingkan pada pasien yang berpenyakit tidak terminal.
lebih
tinggi
31
e. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat
individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem
dukungan sosial (social support system). Klien yang dirawat merasa
terisolasi dalam ruangan yang asing baginya dan merasa tidak aman.
Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat
menghadiri acara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat
berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang biasa memberikan
dukungan setiap saat diinginkan. Terpisahnya seseorang dari ikatan
spiritual berisiko terjadinya perubahan fungsi spiritualnya.
5.
Perbedaan Religiusitas dan Spiritualitas
a. Pengertian Religiusitas dan Spiritualitas
Religiusitas merupakan perasaan dan pengalaman beragama. Menurut
james (dalam Rakhmat, 2003) agama memberikan energi spiritual dimana
agama dapat menggairahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian,
memperbarui gaya hidup, dan memberikan makna dan kemualiaan baru
pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akan
mencapai perasaan tenteram dan damai. James (dalam Rakhmat, 2003)
mengatakan bahwa agama adalah sumber kebahagiaan.
Religiusitas
menurut
Nashori
(2002)
berarti
seberapa
jauh
pengetahuan., kokohnya keyakinan, pelaksanaan ibadah, dan kaidah, serta
penghayatan atas agama yang dianutnya, religiusitas dapat mempengaruhi
32
manusia dalam bertindak dan bertingkah laku, semakin kuat religiusiras
seseorang semakin kuat pula seseorag itu mengontrol setiap tindakan dan
tingkah lakunya.
Sementara itu spiritualitas menurut Elkins, dkk (dalam Smith, 1994)
adalah sebagai suatu fenomena yang secara potensial berada di dalam diri
setiap manusia. Menurut mereka, spiritualitas dapat diartikan sebagai jalan
untuk menjadi serta mengalami kesadaran spiritual yang diperoleh melalui
kesadaran dimensi transendental yang ditandai oleh nilai-nilai yang
mampu diidentifikasi baik yang datang dari diri sendiri, orang lain, alam,
kehidupan maupun nilai-nilai yang mengarahkan seseorang untuk
mencapai tujuan puncak (Ultimate).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan perbedaan orang yang
religius dan orang spiritual :
1. Orang religius menganggap Tuhan itu ada. Orang spiritual
menganggap tuhan itu hadir. Orang yang melakukan perbuatan tidak
baik karena menganggap tuhan itu hanya ada, tetapi tidak hadir.
Sedangkan orang spiritual berpikir bahwa tuhan itu ada dimanapun dia
berada (hadir).
2. Orang religius adalah orang yang merasa paling suci dan paling benar
dibandingkan orang lain. Orang spiritual menganggap semua orang
setara, mengakui kelebihan dan kekurangan orang lain.
3. Orang religius mudah melihat perbedaan. Orang spiritual mudah
melihat persamaan. Karena orang religius mudah melihat perbedaan,
33
maka orang religius membedakan dunia jadi kami dan mereka.
Sedangkan orang spiritual merasa kita ini sama. Kita semua saudara.
Kita sesama hamba allah. Mudah melihat kesamaan.
4. Orang religius hanya mementingkan simbol-simbol, pakaian, ritual,
dll. Orang spiritual mementingkan esensi, hakikat, dan makna bukan
hanya simbol-simbol dan lain-lain. Orang spiritual sadar bahwa tuhan
mengutus kita kebumi untuk sebuah maksud yaitu berbuat baik.
Religius adalah “caranya”, Spiritual adalah “kenapa”. Orang religius
merasa lega setelah beribadah karena merasa sudah melaksanakan
kewajibannya. Tetapi yang tidak spiritual, tidak mencegah dia untuk
berbuat jelek (korupsi dll).
5. Orang spiritual itu “memperhatikan”, orang religius hanya “melihat”.
Orang
spiritual
itu
“mendengarkan”,
orang
religius
hanya
“mendengar”.
6. Orang religius baik dalam urusan ibadah saja. Orang spiritual baik
dalam semua urusan, karena bagi orang spiritual semua urusan adalah
ibadah. Bekerja, meng-coach bawahan dan lain-lain adalah ibadah.
Simbol itu penting untuk menunjukkan siapa kita, tetapi yang lebih
penting lagi adalah hakikatnya.
Tanpa spiritual, ibadah yang dilakukan hanya menjadi ritual semata.
Ritual agama diperlukan, tapi harus dilakukan dengan kesadaran dan cinta
kepada Tuhan. Religius adalah cara untuk meraih spiritual. Kita juga bisa
34
menjadi spiritual tanpa melakukan hal-hal yang religius, tapi hal itu
tidaklah lengkap, karena beragama tanpa ibadah tidaklah lengkap.
C. Dewasa Awal
1.
Pengertian Dewasa Awal
Istilah adult berasal dari kata kerja latin seperti juga istilah adolescene
yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Akan tetapi, kata adult berasal dari
bentuk lampau partisepel dari kata kerja adultus yang berarti telah tumbuh
menjadi kekuatan dan ukuran sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh
karena itu, orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama
dengan orang dewasa lain (Hurlock, 2003).
Menurut Wijingaarden dkk (dalam Monks dan Knoers, 2006) pengertian
kedewasaaan sebagai suatu fase dalam perkembangan dapat dipandang dari
beberapa segi. Dewasa dalam bahasa Belanda adalah volwassen, Vol artinya
penuh dan Wassen artinya tumbuh, sehingga volwassen adalah sudah tumbuh
dengan penuh atau selesai tumbuh.
Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun.
Usia ini adalah saat dimana terjadinya perubahan-perubahan fisik dan
psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock,
2003).
Masa dewasa awal menurut Santrock (2002) dimulai pada akhir usia
belasan atau permulaan usia 20an dan berlangsung sampai usia 30an. Masa
35
ini merupakan waktu untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi.
Levinson (dalam Monks dan Knoers, 2006) menjelaskan masa dewasa awal
dimulai pada usia 17 tahun hingga 45 tahun.
Setiap kebudayaan membuat pembedaan usia kapan seseorang mencapai
status dewasa secara resmi. Pada sebagian besar kebudayaan kuno, status ini
tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan
apabila organ kelamin anak telah berkembang dan mampu bereproduksi.
Belum lama ini, dalam kebudayaan Amerika seorang anak belum resmi
dianggap dewasa kalau ia belum mencapai umur 21 tahun. Sekarang umur 18
tahun merupakan umur dimana seseorang dianggap dewasa syah. Dengan
meningkatnya lamanya hidup atau panjangnya usia rata-rata orang maka
masa dewasa sekarang mencakup waktu yang paling lama dalam rentang
hidup (Hurlock, 2003).
2.
Perkembangan Masa Dewasa Awal : Perkembangan Fisik, Kognitif, dan
Emosional
a. Perkembangan Fisik
Kondisi fisik tidak hanya mencapai puncaknya pada awal masa
dewasa, tetapi juga mulai menurun selama masa dewasa ini. Perhatian
kesehatan meningkat diantara orang dewasa awal, dengan perhatian
khusus terhadap diet, berat badan, olahraga dan ketergantungan.
Bagi sebagian besar, puncak dari kemampuan fisik dicapai pada usia
dibawah 30 tahun, seringkali antara usia 19 dan 26. Puncak dari
36
kemampuan fisik ini terjadi bukan hanya pada rata-rata orang dewasa
muda, tetapi juga pada atlet terkenal. Meskipun kemampuan atlet semakin
lebih baik, lari lebih cepat, melompat lebih tinggi dan mengangkat lebih
berat, umur di mana mereka mencapai kemampuan puncak pada dasarnya
tetap.
Ketika seorang individu berpindah dari masa remaja menuju masa
dewasa awal, mereka seringkali meningkatkan penggunaan obat-obat.
Data lain membuktikan bahwa periode dari masa remaja sampai akhir usia
20an adalah penggunaan obat-obatan tertinggi.
Pada masa dewasa awal, beberapa individu berhenti berfikir tentang
bagaimana gaya hidup pribadi akan mempengaruhi kesehatan mereka
selanjutnya pada kehidupan dewasa.Sebagai seorang dewasa yang masih
muda, banyak dari kita membangun sebuah pola seperti tidak sarapan,
tidak makan secara teratur, dan menggantungkan diri pada makanan kecil
sebagai sumber makanan utama dalam sehari-hari, makan secara
berlebihan melampaui berat normal usia kita, merokok dalam taraf sedang
atau berlebih, minum minuman keras dalam taraf sedang dan berlebihan,
tidak berolahraga.
Terdapat
beberapa bahaya
tersembunyi
dalam masa puncak
kemampuan dan kesehatan pada masa awal dewasa.
Pada saat kaum
dewasa awal dapat menggunakan sumber daya fisik untuk banyak
kesenangan, ditambah kenyataan bahwa seringkali mereka pulih dengan
mudah dari stres fisik dan cidera, menjadikan mereka memaksa tubuh
37
terlalu jauh.
Akibat negatif dari penyalahgunaan tubuh seseorang
mungkin tidak terlihat pada permulaan masa dewasa awal,tetapi nantinya
mungkin muncul pada masa dewasa awal lebih lanjut atau pada
pertengahan masa dewasa. Kekuatan dan kesehatan otot mulai
menunjukan tanda penurunan sekitar umur 30an. Dagu yang mengendur
dan perut yang gendut mungkin juga mulai muncul untuk pertama kalinya.
Penurunan kemampuan fisik adalah suatu keluhan yang umum di antara
mereka yang memasuki usia 30an. Sistem indera menunjukan sedikit
perubahan pada masa dewasa awal, tetapi lensa mata kehilangan
elastisitasnya dan menjadi kurang mampu mengubah bentuk dan fokus
pada benda-benda yang berjarak dekat. Puncak kemampuan pendengaran
pada masa dewasa awal, dan kemudian mengalami penurunan pada masa
dewasa akhir.
Dan pada pertengahan sampai menjelang akhir 20an ,
jaringan lemak tubuh bertambah.
b. Perkembangan Kognitif
Piaget percaya bahwa seorang remaja dan seorang dewasa berpikir
dengan cara yang sama. Namun, beberapa ahli perkembangan percaya
bahwa baru pada saat masa dewasalah individu mengatur pemikiran
operasional formal mereka. Sehingga mereka mungkin merencanakan dan
membuat hipotesis tentang masalah-masalah seperti remaja, tetapi mereka
menjadi lebih sistematis ketika mendekati masalah sebagai seorang
dewasa. Sementara beberapa orang dewasa lebih mampu menyusun
hipotetis daripada remaja dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari
38
suatu permasalahan, banyak orang dewasa yang tidak berpikir dengan cara
operasional formal sama sekali (Keating, dalam Santrock, 2002).
Kemampuan kognitif kita sangat baik ketika masa dewasa awal, dan
juga menunjukkan adaptasi dengan aspek pragmatis dari kehidupan kita.
Tidak jelas apakah ketrampilan logis kita benar-benar menurun.
Kompetensi sebagai seorang dewasa muda mungkin memerlukan banyak
ketrampilan berpikir logis dan adaptasi yang pragmatis terhadap
kenyataan. Sebagai contoh, ketika seorang arsitek mendesain suatu
bangunan,
mereka
menganalisa
secara
logis,
dan
merencanakan
strukturnya tetapi tetap memahami keterbatasan biaya, perhatian atas
lingkungan, dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas
tersebut secara efektif.
William Perry (dalam Santrock, 2002) juga mencatat perubahanperubahan penting tentang cara berpikir orang dewasa muda yang berbeda
dengan remaja. Ia percaya bahwa remaja sering memandang dunia dalam
dualisme pola polaritas mendasar, seperti benar atau salah, kita atau
mereka, baik atau buruk. Pada waktu kaum muda mulai matang dan
memasuki tahun-tahun masa dewasa, mereka mulai menyadari perbedaan
pendapat dan berbagai perspektif yang dipegang orang lain, yang
mengguncang pandangan dualistik mereka. Pemikiran dualistik mereka
digantikan oleh pemikiran beragam, saat itu individu mulai memahami
bahwa orang dewasa tidak selalu memiliki semua jawaban. Mereka mulai
memperluas pemikiran individualistik dan mulai percaya bahwa setiap
39
orang memiliki pandangan pribadi masing-masing serta setiap pendapat
yang ada sebaik pendapat yang lainnya. Pada waktu pendapat pribadi
ditentang oleh orang lain, pemikiran yang beragam menghasilkan
pemikiran yang relatif tunduk, di mana pendekatan yang analitis dan
evaluatif terhadap ilmu pengetahuan secara sadar dan aktif dilakukan.
Hanya pergeseran ke arah relativisme total yang menjadikan orang dewasa
memahami bahwa kebenaran adalah relatif, bahwa arti dari sebuah
peristiwa dihubungkan dengan konteks di mana peristiwa itu terjadi dan
dibatasi oleh kerangka berpikir individu yang digunakan untuk memahami
peristiwa tersebut. Dalam relativisme total, orang dewasa mengakui bahwa
ralativisme menyentuh semua aspek kehidupan, tidak saja dunia akademis,
dan orang dewasa juga memahami bahwa pengetahuan dibentuk tidak
dengan sendirinya, bersifat kontekstual dan tidak absolut.
Sudut pandang lain tentang perubahan kognitif pada orang dewasa
disampaikan oleh K. Warner Schaie (dalam Santrock, 2002). Ia percaya
bahwa tahap-tahap kognitif Piaget menggambarkan peningkatan efisiensi
dalam pemerolehan informasi yang baru. Adalah meragukan bahwa orang
dewasa melampaui pemikiran ilmiah yang kuat yang merupakan ciri dari
pikiran operasional formal, dalam usaha mereka mencari pengetahuan.
Namun demikian, seperti yang dinyatakan Schaie, orang dewasa lebih
maju dari remaja dalam hal penggunaan intelektualitas mereka. Sebagai
contoh, pada masa dewasa awal, kita biasanya berubah dari mencari
40
pengetahuan menuju menerapkan pengetahuan, menerapkan apa yang kita
ketahui untuk mengejar karir dan membentuk keluarga.
1) Fase mencapai prestasi (achieving stage)adalah fase di manadewasa
awal, yang menurut Schaie, melibatkan penerapan intelektualitas pada
situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan jangka
panjang, seperti pencapaiam karir dan pengetahuan. Solusi ini harus
diintegrasikan dalam rencana hidup yang mencakup masa depan.Schaie
percaya bahwa orang dewasa awal yang menguasai kemampuan
kognitif
perlu
memonitor
perilaku
mereka
sendiri,
sehingga
memperoleh kebebasan yang cukup, berpindah ke fase selanjutnya yang
melibatkan tanggung jawab sosial.
2) Fase tanggung jawab (the responsibility stage)adalah fase yang terjadi
ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan pada keperluankeperluan pasangan dan keturunan. Perluasan kemampuan kognitif
yang sama diperlukan pada saat karir individu meningkat dan tanggung
jawab kepada orang lain muncul dalam pekerjaan dan komunitas. Fase
tanggung jawab sering dimulai pada masa dewasa awal dan terus
berlanjut ke dewasa tengah.
3) Fase eksekutif (the executive stage)adalah fase yang dinyatakan oleh
Schaie terjadi di masa dewasa awal, di mana seseorang bertanggung
jawab
kepada
sistem,
kemasyarakatan
dan
organisasi
sosial
(pemerintahan atau perubahan, misalnya). Dalam fase eksekutif
41
individu membangun pemahaman tentang bagaimana organisasi sosial
bekerja dan berbagai hubungan kompleks yang terlibat di dalamnya.
4) Fase reintegratif (the reintegrative stage)yang terjadi pada bagian akhir
masa dewasa, adalah fase terakhir yangdisebutkan oleh Schaie, di mana
orang dewasa yang lebihtua memilih untuk memfokuskan tenaga
mereka pada tugas dan kegiatan yang bermakna bagi mereka.Dalam
pandangan Scahie, fase kognitif itu adalah reintegratif, yang erat
hubungannya dengan fase terakhir dari siklus yang dinyatakan Erikson,
integritas versus putus asa.
c. Perkembangan Sosio-Emosional
Masa dewasa awal merupakan masa beralihnya padangan egosentris
menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat
memegang peranan penting. Menurut Hurlock (2003), dewasa awal
merupakan masa permulaan dimana seseorang menjalin hubungan secara
intim dengan lawan jenisnya. Masa ini disebut juga sebagai masa
penyesuaian terhadap pola-pola hidup baru dan memanfaatkan kebebasan
yang diperolehnya.
Erikson (dalam Papalia dkk, 2009) mengatakan bahwa dalam individu
dewasa mudaberada dalam tahap intimacy versus isolation. Apabila
individu dewasa muda tidak mampu menjalin komitmen pribadi dengan
orang lain, maka akan mengalami yang disebut isolasi atau merasa
tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda
dengan orang lain. Senada dengan hal tersebut, Myers (dalam Papalia dkk,
42
2009) mengungkapkan orang-orang yang menikah akan lebih bahagia
daripada orang-orang yang tidak menikah, meskipun meskipun mereka
yang berada pada pernikahan yang tidak menyenangkan akan merasa
kurang bahagia dibandingkan mereka yang tidak menikah ataupun
bercerai.
3.
Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal
Santrock (2002) mengungkapkan bahwa tugas perkembangan individu
dewasa muda adalah memilih pasangan dan belajar untuk hidup bersama
orang lain dalam hubungan intim, membangun keluarga, dan membesarkan
anak. Di sisi lain, individu dewasa muda diharapkan mampu memiliki
kemandirian dalam karir dan dalam setiap pengambilan keputusan. Tugas
perkembangan tersebut dijabarkan secara rinci sebagai berikut :
a. Seksualitas Masa Dewasa Awal
Santrock, (2002) menjelaskan sikap dan perilaku seks masa dewasa
awal sebagian besar direspons oleh orang memiliki sikap seks yang liberal
yang terlibat dalam perilaku seks yang liberal.
Ada perbedaan sikap orang dewasa muda yang signifikan terhadap
berbagai aspek yang menyangkut seksualitas. Jika dilihat perbandingannya
antara tahun 1940-an dan sekarang, terutama bagi mahasiswa perempuan.
Ulasan terhadap perilaku dan sikap seksual pelajar dari tahun 1900
sampai 1980 menunjukkan dua kecenderungan penting (Darling, Kallon,
& Van Duesen, dalam Santrock, 2002):
43
1) Pertama, persentase dari kaum muda yang melakukan hubungan
seksual meningkat tajam.
2) Kedua, proporsi perempuan yang melaporkan berhubungan seksual
meningkat lebih cepat dari kasus laki-laki, meskpun laki-laki lebih
sering berhubungan seksual.
Sebagian
besar
individu
berpikir
bahwa
homoseksual
dan
heteroseksual merupakan dua pola perilaku berbeda yang mudah
didefinisikan. Kenyataannya, kecenderungan memilih pasangan seksual
dari jenis kelamin yang sama atau berlawanan tidak selalu merupakan
keputusan yang tetap, yang dibuat sekali seumur hidup, dan dipegang
selamanya. Sebagai contoh, merupakan hal yang lazim bagi individu,
khususnya laki-laki, untuk memiliki pengalaman homoseksual pada masa
remaja tetapi tidak pada saat dewasa. Beberapa orang terlibat dalam
perilaku heteroseksual selama masa remaja, kemudian
berubah ke
perilaku homoseksual pada saat dewasa. Perilaku homoseksual umum
dilakukan di antara para narapidana dan orang lain yang tidak punya
alternative pasangan seksual. Peneliti masalah seksual melaporkan bahwa
kaum lesbian lebih sering terlibat pada hubungan intim yang bertahan
lama, memiliki sedikit pasangan seksual, dan dengan sedikit “kenalan
dalam semalam” daripada laki-laki homoseksual (Bell & Weinberg, dalam
Santrock, 2002).
Orientasi seksual individu-heteroseksual maupun homoseksualtampaknya lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara faktor genetic,
44
hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch & Sanders,
1989; Money, 1987; Savin – Williams & Rodriguez, 1993; Whitman,
Diamond & Martin, 1993 dalam Santrock, 2002). Para ilmuwan memiliki
gambaran yang lebih jelas tentang apa yang tidak menyebabkan
homoseksualitas. Anak yang dibesarkan oleh orantua atau pasangan gay
tidak lebih besar kemungkinannya menjadi homoseksual dibandingkan
anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang heteroseksual. Tidak ada
bukti bahwa homoseksualitas laki-laki disebabkan oleh seorang ibu yang
dominan atau ayah yang lemah, atau bahwa homoseksualitas perempuan
disebabkan oleh gadis yang memilih model peran laki-laki.
Salah satu faktor biologis yang dipercaya berpengaruh dalam
homoseksualitas adalah keadaan hormon prenatal (Ellis & Ames, 1987
dalam Santrock, 2002). Hipotetis periode prenatal kritis menyebutkan
bahwa pada bulan kedua sampai kelima setelah terjadinya konsepsi,
penampakan fetus kepada tingkat hormon yang berkarakter perempuan
mungkin menyebabkan individu (laki-laki atau perempuan) tertarik kepada
laki-laki.
Masalah penyesuaian diri kaum homoseksual, Laura Brown (dalam
Santrock, 2002) mengemukakan bahwa untuk mendefinisikan diri mereka
(kaum homoseksual), perempuan lesbian dan laki-laki gay membangun
identitas bikultural. Menyeimbangkan tuntutan dari dua kebudayaan yang
berbeda-
minoritas
kebudayaan
gay/lesbian
dan
kebudayaan
heteroseksualitas yang mayoritas- seringkali dapat mengarahkan pada
45
strategi penyelesaian masalah yang lebih efektif bagi kaum homoseksual.
Selain itu, perhatian khusus pada kehidupan kaum homoseksual adalah
bias dan diskriminasi yang mereka hadapi.
b. Daya Tarik, Cinta, Dan Hubungan Dekat
Keadaan fisik tidak menjamin bahwa orang dewasa akan membangun
hubungan
positif
dengan
seorang
menumbuhkan kebencian, tetapi
individu.
keakraban
Keakraban
adalah
kondisi
dapat
yang
diperlukan untuk terbangunnya suatu hubungan dekat. Salah satu pelajaran
penting dari penelitian tentang hubungan dekat adalah bahwa orang
dewasa suka berkumpul dengan orang yang memiliki kesamaan dengan
kita, teman kita, begitu juga kekasih kita, lebih banyak memiliki kesamaan
dengan kita daripada perbedaan. Kita memiliki kesamaan sikap, perilaku,
dan karakteristik. Pada beberapa kasus terbatas dan pada beberapa
karakteristik tertentu, perbedaan mungkin menarik. Seorang yang introvert
mungkin akan berharap untuk dekat dengan orang yang ekstrovert.
Validasi konsensual (consensual validation) memberikan sebuah
penjelasan mengapa seorang individu tertarik kepada orang yang memiliki
kesamaan dengannya. Sikap dan perilaku kita didukung ketika sikap dan
perilaku orang lain sama dengan kita; sikap dan perilaku mereka
menguatkan sikap dan perilaku kita. Juga, karena orang lain yang tidak
mirip tidak sama dengan kita, dengan demikian lebih tidak dikenali. Kita
mungkin lebih dapat mengontrol orang lain yang sama dengan kita, yang
sikap dan perilakunya dapat kita prediksi. Dan implikasi dari persamaan
46
adalah kita akan menikmati interaksi dengan orang lain dalam kegiatan
yang saling menguntungkan, di mana sebagian besar memerlukan
pasangan dengan perilaku dan sikap yang sama.
c. Pernikahan dan Keluarga
Tahun-tahun awal masa dewasa adalah saat ketika individu biasanya
membangun hubungan yang intim dengan individu yang lain. Aspek yang
penting dari hubungan ini adalah komitmen individu satu sama lain
dengan membangun sebuah keluarga. Menurut Santrock (2002), siklus
kehidupan keluarga mencakup meninggalkan rumah dan menjadi orang
dewasa yang hidup sendiri, bergabungnya keluarga melalui pernikahan
(pasangan baru), menjadi orang tua dan sebuah keluarga dengan anak,
keluarga dengan anak remaja, keluarga pada kehidupan usia tengah baya,
dan keluarga pada kehidupan usia lanjut.
Perkembangan
dalam
masa
dewasa
awal
sering
melibatkan
keseimbangan yang membingungkan antara keintiman dan komitmen pada
satu sisi, dan kemandirian dan kebebasan di sisi yang lain. Ketika individu
mencoba memantapkan suatu identitas, mereka menghadapi kesulitan
mengatasi peningkatan kemandirian dari orang tua, membangun hubungan
intim dengan individu lain, dan meningkatkan komitmen persahabatan
mereka, dan di sisi lain mereka harus dapat berpikir untuk dirinya sendiri
dan melakukan sesuatu tanpa selalu harus mengikuti apa yang dikatakan
atau dilakukan oleh orang lain.
47
Havighurst (dalam Dariyo, 2003) juga mengemukakan beberapa tugas
perkembangan dewasa muda, antara lain :
1) Mencari dan Menemukan Calon Pasangan Hidup
Golongan dewasa muda semakin memiliki kematangan fisiologis
(seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi.
Dorongan biologis tersebut akan ditahan terlebih dahulu untuk
sementara waktu. Mereka akan berupaya mencari calon teman hidup
yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam perkawinan ataupun
untuk membentuk kehidupan rumah tangga nantinya.
2) Membina Kehidupan Rumah Tangga
Individu dewasa awal juga harus dapat membentuk, membina,
dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya
agar dapat mencapai kebahagiaan hidup. Mereka dapat menyesuaikan
diri dan bekerja sama dengan pasangan hidup masing-masing. Mereka
juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina
anak-anak dalam keluarga.
3) Meniti Karir dalam rangka Memantapkan Kehidupan Ekonomi
Rumah Tangga
Masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai puncak prestasi.
Mereka bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau
kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja. Dengan
mencapai prestasi kerja yang terbaik, mereka akan mampu memberi
kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi keluarganya.
48
4) Menjadi Warga Negara yang Bertanggung Jawab
Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh
pada tata aturan perundangan-undangan yang berlaku. Hal ini
diwujudkan dengan cara-cara, seperti mengurus dan memiliki suratsurat kewarganegaraan, membayar pajak, menjaga ketertiban dan
keamanan masyarakat dengan mengendalikan diri agar tidak tercela di
mata masyarakat, serta mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan
sosial di masyarakat.
5) Karir dan Pekerjaan
Salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah kemandirian
dalam karir dan pekerjaan. Masa ini dikaitkan khususnya ketika
seleksi dan masuk kerja serta penyesuain diri terhadap pekerjaan
tersebut. Memasuki sebuah pekerjaan menandakan dimulainya peran
dan tanggung jawab baru bagi individu. Tuntutan peran karir terhadap
kompetensi sangat tinggi dan permintaan adalah nyata bagi orang
dewasa. Ketika individu memasuki sebuah pekerjaan untuk pertama
kalinya, mereka mungkin dihadapkan pada masalah dann kondisi yang
tidak mereka antisipasi sebelumnua. Transisi diperlukan ketika
individu mencoba untuk menyesuaikan diri dengan peran yang baru.
Memenuhi tuntutan kariri dan menyesuaikan diri dengan peran yang
baru adalah penting bagi individu pada fase dewasa awal.
49
Menurut Levinson (dalam Santrock, 2002), sekali individu
memasuki satu pekerjaan, ia harus membangun identitas pekerjaan
yang berbeda dan menempatkan dirinya dalam dunia kerja. Sejalan
dengan hal tersebut, ia mungkin gagal, keluar, atau memulai jalan
baru. Individu dewasa muda mungkin tetap bertahan pada satu jalur
atau mencoba beberapa arah baru sebelum menetap secara mantap
pada satu jalur. Proses penyesuaian ini bisa berlangsung beberapa
tahun untuk mengeksplorasi dunia kerja, menjadi akrab dengan
industri dan serikat buruh, maupun melampaui status magang menjadi
peran kerja yang tetap.
4.
Permasalahan pada Masa Dewasa Awal
Diantara sekian banyak tugas perkembangan orang dewasa awal yakni
tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan hidup keluarga merupakan
tugas yang sangat banyak, sangat penting, dan sangat sulit diatasi. Bahkan
sekalipun orang dewasa awal telah mempunyai pengalaman kerja, telah
kawin, dan telah menjadi orang tua (bapak dan ibu), mereka masih tetap harus
melakukan penyesuaian diri dengan peran-peran tersebut.
Tugas perkembangan lainnya dari masa dewasa awal, menemukan
kelompok sosial yang cocok, menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
rekreasi yang diperlukan pola hidup orang dewasa awal dan mengambil
tanggung jawab sipil.
50
Penyesuaian peranan seks merupakan dasar bagi penyesuaian pekerjaan,
yang sama dengan penyesuaian perkawinan. Contohnya, seorang laki-laki
tidak dapat puas dengan pekerjaan yang bersifat “maskulin” yang dipilihnya
karena tekanan orang tua atau sosial bila ia sebenarnya berminat pada
pekerjaan yang bersifat “feminim”. Ketidakpuasan kerja tidak terbatas pada
jenis bidang pekerjaan itu, ketidakpuasan itu talah umum dan mewarnai
setiap bidang kehidupan seseorang.
Wanita yang terbiasa selama hari sekolah dan kuliah memainkan peran
yang sama berlakunya (baik untuk pria maupun wanita) dengan temantemannya, mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perlakuan
yang mereka terima dalam industri, bisnis, dan profesi. Memainkan peran
yang direndahkan sebagai orang dewasa awal, setelah memainkan peran
berdasarkan kesamaan(egalitarian) dengan teman sebayanya, menjadikan
mereka lebih sulit dalam menyesuaikan dirinya terhadap pekerjaannya
daripada memainkan peran yang dipandang rendah sebelumnya.
Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers dan Haditono, 2006)
masalah yang paling penting adalah kenyataan bahwa keberhasilan atau
kegagalan melakukan penyesuaian diri akan mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan yang erat hubungannya dengan prestise dilihat dari sudut pandang
orang lain, konsep diri sebagai individu, kebahagiaan, dan juga pengaruh
pada setiap anggota keluarganya. Karena alasan tersebut aspek-aspek tersebut
dengan tepat dianggap sebagai proses penting dalam penyesuaian diri
terhadap masa dewasa.Havighurst (dalam Monks, Knoers dan Haditono,
51
2006) menjelaskan beberapa permasalahan yang sering dialami oleh orang
dewasa awal yaitu :
a. Permasalahan dalam penyesuaian pekerjaan
Dari berbagai bidang dalam menyesuaikan bakat dan minat bagi orang
dewasa awal semestinya selaras dengan berbagai kriteria di bawah ini,
yang dianggap sebagai faktor yang sangat penting dan umum dalam
penyesuaian pekerjaan.
1) Pilihan Pekerjaan
Penyesuaian pertama yang dianggap pokok adalah memilih bidang
yang cocok dengan bakat, minat dan faktor psikologis lainnya yang
secara hakiki sulit untuk dipungkiri agar kesehatan mental dan fisiknya
sebagai orang dewasa dapat terjaga. Karena banyaknya kasus dalam
memilih bidang kerja yang tidak cocok dengan bakat dan minat (suara
hati kecil) tetapi dipilih karena besarnya pengaruh sosial yang ada,
justru menimbulkan ketidakpuasan terhadap hasil karyanya, tidak
merasa mencintai tugasnya dan akhirnya prestasi kerja sangat menurun.
Sehubungan dengan itu maka beberapa orang dewasa awal telah
menentukan pilihannya jauh-jauh hari sebelum mereka bekerja,
sehingga jauh-jauh hari pula mereka melatih diri sesuai dengan
prasyarat yang diperlukan untuk jenis tugas yang mereka anggap cocok
dengan minat dan bakatnya.Faktor-faktor yang menyulitkan pilihan
pekerjaan :
52
a) Jumlah dan jenis pekerjaan yang berbeda yang akan dipilihnya terus
bertambah.
b) Tuntutan perubahan kebutuhan yang begitu cepat akan keterampilan
dan pengetahuan.
c) Tingkat fleksibilitas waktu kerja yang rendah.
d) Adanya pandangan mengenai pekerjaan tertentu misalkan perawat
hanya untuk wanita atau tugas kedirgantaraan hanya untuk pria.
e) Adanya pekerjaan yang tidak menyenangkan.
f) Adanya pekerjaan yang banyak disukai.
g) Pekerjaan yang kurang jaminan keamanannya.
h) Pendidikan dan pelatihan tidak memenuhi syarat.
2) Stabilitas Pilihan Pekerjaan
Penyesuaian kedua yang dianggap penting bagi orang dewasa awal
adalah pilihan jurusan harus dilakukan dengan mantap. Cara ini tidak
selalu diklakukan dengan baik oleh pria ataupun wanita untuk dapat
berpindah pekerjaan, berharap bekerja pada usia duapuluhan bahkan
kadang sampai usia tigapuluhan. Bagaimanapun juga kalau perubahan
jenis pekerjaan sebagai karier dilakukan pada saat seseorang menjelang
akhir usia tigapuluhan, maka tindakan ini dianggap terlambat.
Anggapan ini diperkuat oleh pendapat Gould. Ini merupakan bukti
bahwa karier khusus tertentu memerlukan pelatihan khusus. Oleh
karena itu seseorang perlu secara khusus mengikuti pelatihan dengan
cara meningkatkan tugasnya untuk sementara. Seberapa jauh tingkat
53
kemantapan pemilihan jurusan bagi seseorang bergantung pada tiga
faktor, yaitu :
a) Pengalaman kerja
b) Daya tarik pribadi terhadap pekerjaan
c) Nilai yang terkandung pada pekerjaan yang dipilih.
d) Usia seseorang juga bisa mempengaruhi stabilitas dalam memilih
pekerjaan, semakin bertambah usianya maka semakin stabil ia
untuk memilih pekerjaan.
3) Penyesuain diri dengan pekerjaan
Faktor yang paling mempengaruhi proses penyesuaian diri
seseorang dengan pekerjaannya adalah sikap pekerja itu sendiri.
Havighurst (dalam Monks, Knoers dan Haditono, 2006)dalam studinya
tentang sikap pekerja terhadap pekerjaannya menyimpulakan bahwa ia
dapat dikelompokan menjadi dua kategori umum, yaitu :
a) Sikap kerja yang menopang masyarakat (society maintaining work
attitude)
Pekerja yang bersikap menopang masyarakat dalam pada dirinya
kurang atau tidak berminat akan kerjanya dan hanya memperoleh
sedikit kepuasan kerja. Tipe pekerja semacam ini adalah orang yang
mementingkan besarnya gaji yang diterima. Orang seperti ini
seringkali memandang pekerjaannya sebagai beban yang berat dan
tidak menyenangkan dan memandang hari depan hanya agar dapat
menjalani masa pensiun.
54
b) Sikap kerja yang melibatkan ego (ego involving work attitude)
Para pekerja yang dalam bekerja melibatkan ego, biasanya
memperoleh kepuasan pribadi yang lebih besar. Bagi beberapa
orang, bekerja merupakan dasar harga diri dan kebanggaan. Bagi
sejumlah orang lainnya bekerja dianggap sebagai prestise yang
diperoleh, tempat untuk melakukan partisipasi sosial, atau sebagai
sumber kesenangan instrinsik atau merupakan ekspresi dari pribadi
yang kreatif dan juga merupakan cara memanfaatkan waktu dengan
cara rutin yang menyenangkan.
4) Penilaian terhadap penyesuaian pekerjaan
Sampai sejauh mana keberhasilan seseorang menyesuaikan diri
terhadap pekerjaan yang dipilihnya dapat dinilai dengan 3 kriteria yaitu:
a) Kriteria pertama adalah prestasi kerja, dimana keinginan untuk maju
dan berhasil bagi kaum remaja sangat besar yang biasanya terus
dibawa sampai masa dewasanya. Pada waktu usia madya perjalanan
mencapai sukses sering dialihkan untuk memperoleh perasaan
aman, lebih berarti dibandingkan meniti karier ke jenjang yang
lebih tinggi.
b) Kriteria kedua adalah Perubahan Pekerjaan dengan sukarela atau
jumlah perubahan perubahan yang dilakukan seseorang terhadap
bidang kejuruannya atau pekerjaannya. Jumlah ini dapat digunakan
sebagai kriteria atau indikator kegagalan atau keberhasilan
55
seseorang dalam menyesuaikan dirinya dengan jurusan dan bidang
yang ditekuni selama ini.
c) Kriteria ketiga dalam penyesuaian bidang kerja adalah tingkat
kepuasan yang diperoleh dari pekerjaan. Pada awal usia
duapuluhan, sebagian besar orang sudah merasa senang kalau
memperoleh
pekerjaan,
walapun
pekerjaan
tersebut
tidak
seluruhnya menyenangkan dan disukainya, sebab pekerjaan ini telah
memberinya
kebebasan
yang
diinginkan
sehingga
memungkinkannya untuk menikah. Rasa tidak puas biasanya mulai
terjadi selama pertengahan usia duapuluhan sampai menjelang usia
tigapuluhan, terutama ketika orang muda tidak dapat menanjak
secepat yang mereka harapkan. Periode ini biasanya berakhir
sampai usia awal sampai pertengahan tigapuluhan, setelah masa ini
biasanya rasa puas mereka meningkat sebagai hasil dari prestasi
besar yang dicapai dan imbalan keuangan yang semakin besar.
b. Permasalahan dalam kehidupan keluarga
1) Kondisi yang memengaruhi terhadap kesulitan dalam penyesuaian
pernikahan.
a) Pernikahan dini
Pernikahan dan kedudukan sebagai orangtua sebelum orang
muda menyelesaikan pendidikan mereka dan secara ekonomis
independen membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk
56
mempunyai pengalaman yang dimiliki oleh teman-teman yang
tidak menikah atau orang-orang yang mandiri sebelum menikah.
b) Konsep yang tidak realistis tentang pernikahan
Orang dewasa awal yang bekerja di sekolah dan perguruan
tinggi,
dengan
sedikit/tanpa
pengalaman
kerja,
cenderung
mempunyai konsep yang tidak realistis tentang makna pernikahan
berkenaan dengan pekerjaan, pembelajaan uang, atau perubahan
dalam pola hidup. Pendekatan yang tidak realistis ini menuju ke
arah kesulitan penyesuaian yang serius yang sering diakhiri dengan
perceraian.
c) Pernikahan campur
Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua dan
dengan para saudara dari pihak istri dan sebaliknya,jauh lebih sulit
dalam pernikahan antar agama daripada bila kedanya berasal dari
latar belakang budaya yang sama.
d) Konsep pernikahan yang romantis
Banyak orang dewasa awal yang mempunyai konsep
pernikahan yang romantis yang berkembang pada masa remaja.
Harapan yang berlebihan tentang tujuan dan hasil pernikahan
sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan terhadap
tugas dan tanggung jawab pernikahan.
57
e) Kurangnya identitas
Apabila seseorang merasa bahwa keluarga, teman, dan
rekannya memperlakukannya sebagai “suami” atau apabila wanita
merasa bahwa kelompok sosial menganggap dirinya hanya sebagai
“ibu rumah tangga”, walaupun dia seorang wanita karier yang
berhasil, ia bisa saja kehilangan identitas diri sebagai individu yang
sangat dijunjung dan dinilai tinggi sebelum pernikahan.
f) Penyesuaian dengan pasangan
Masalah penyesuaian yang paling pokok yang pertama kali
dihadapi oleh keluarga baru adalah penyesuaian terhadap
pasangannya (istri atau suaminya). Hubungan interpersonal
memainkan peran yang penting dalam pernikahan yang pentingnya
sama dengan hubungan persahabatan dan hubungan bisnis.
Bagaimana juga dalam kasus pernikahan hubungan interpersonal
jauh lebih sulit untuk disesuaikan daripada dalam kehidupan bisnis
sebab dalam perkawinan terdapat keruwetan oleh berbagai faktor
yang tidak biasa timbul dalam bidang kehidupan individual.
2) Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri dengan pihak
keluarga pasangan
a) Stereotipe tradisional
Stereotipe yang secara luas diterima mengenai “ibu mertua
yang representati” dapat menimbulkan perangkat mental yang tidak
menyenangkan bahkan sebelum pernikahan. Stereotipe yang tidak
58
menyenangkan mengenai orang usia lanjut – mereka itu adalah
bossy dan campur tangan dapat menambah masalah bagi keluarga
pasangan.
b) Keinginan untuk mandiri
Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran
dan ptunjuk dari orangtua mereka, walaupun menerima bantuan
keuangan, dan khususnya mereka menolak campur tangan dari
keluarga pasangan.
c) Keluargaisme
Penyesuaian dalam pernikahan akan lebih pelik apabila salah
satu pasangan tersebut menggunakan lebih banyak waktunya
terhadap keluarganya daripada mereka sendiri ingin berikan. Bila
pasangan terpengaruh oleh keluarga; apabila seorang anggota
keluarga berkunjung dalam waktu yang lama atau hidup dengan
mereka untuk seterusnya.
d) Mobilitas sosial
Orang dewasa awal yang status sosialnya meningkat di atas
anggota keluarga atau di atas status keluarga pasangannya mungkin
saja tetap membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak
orangtua dan anggota-anggota keluarga sering bermusuhan dengan
pasangan muda.
59
e) Anggota keluarga yang berusia lanjut
Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor
yang sangat pelik dalam penyesuaian penikahan sekarang karena
sikap yang tidak menyenangkan terhadap orangtua dan keyakinan
bahwa orang muda harus bebas dari urusan keluarga khususnya
bila dia juga mempunyai anak.
f) Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan
Bila
pasangan
muda
harus
membantu
atau
memikul
tanggungjawab bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan,
hal itu sering membawa hubungan keluarga yang tidak beres. Hal
ini dikarenakan anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya,
marah dan tersingung dengan tujuan agar diperoleh bantuan
tersebut.
3) Penyesuaian diri terhadap masa keorangtuaan
Masa orangtua (parenthood) merupakan kriteria terpenting dalam
pengalihan
dari
tanggungjawab
individual
ke
tanggungjawab
kedewasaan. Status sebagai orangtua tidak dapat diragukan lagi tentu
dilakukan dengan banyak mengorbankan kebahagiaan dan kepuasan
sehingga diartikan sebagai “masa krisis” karena memerlukan banyak
perubahan perilaku, nilai dan peranan.
Dengan lahirnya seorang anak, keluarga terkadang bingung dan
semua anggota keluarga juga mengalami stress dalam variasi tingkat
yang berbeda. Walaupun kehadiran setiap anak dalam keluarga
60
merupakan situasi krisis, tetapi yang paling mengecewakan adalah saat
lahirnya anak pertama, karena dalam beberapa hal kedua orangtua
anak merasa belum mampu berperan sebagai orangtua. Dalam
beberapa hal mereka masih dipengaruhi oleh konsep orangtua yang
romantis.
a) Sukarela untuk tidak punya anak
Walaupun ada kepercayaan tradisional bahwa setiap wanita
pasti menjadi ibu, sekarang ini banyak pasangan wanita secara
sukarela untuk tidak mempunyai anak. Kenyataan ini memang
benar pada semua tingkat sosial-ekonomi, terutama mereka yang
mempunyai pendidikan lebih tinggi dan lebih baik.
Orang dewasa awal memang mempunyai banyak alasan untuk
tidak mempunyai anak, salah satu alasan penting adalah
pengembangan karier yang mereka duga akan terganggu oleh anakanak, ketidaksediaan untuk membangun hidup bahagia yang
mereka bangun untuk mereka, pernikahan antar suku atau antar
agama yang diyakini akan terhalang oleh anak-anak atau ketakutan
pendapatan merka tidak akan pernah cukup untuk berbagi
kesenangan dengan anak-anak mereka.
b) Masa orang tua dengan satu pasangan
Sementara selalu ada keluarga dengan satu pasangan ketika
salah satu pasangan meninggal dan pasangan lainnya tinggal
sendiri untuk memelihara anak-anaknya atau yang kita kenal
61
dengan istilah “Single Parent”, jumlah keluarga dengan satu
orangtua semakin meningkat akhir-akhir ini. Penyebabnya yaitu
lebih banyak keluarga dengan satu orangtua disebabkan oleh
perceraian daripada karena kematian, kedua, meningkatnya jumlah
anak yang tidak syah secara hukum yang dipelihara oleh orangtua
pengadopsi.
4) Kriteria penyesuaian pernikahan
Keberhasilan pernikahan tercermin besar kecilnya hubungan
interpersonal dan pola perilaku. Sampai sejauh tertentu kriteria ini
bervariasi bagi orang yang berbeda dan bagi pernikahan pada usia
yang berbeda, unsur-unsur ini dapat digunakan untuk menilai tingkat
penyesuaian pernikahan seseorang. Kriteria keberhasilan penyesuaian
pernikahan :
a) Kebahagiaan suami istri
Suami dan istri yang bahagia yang memperoleh kebahagian
bersama akan membuahkan kepuasan yang di peroleh dari peran
yang meraka mainkan bersama. Mereka juga mempunyai cinta
yang matang dan mantap satu dengan yang lainnya, dapat
melakukan penyesuaian seksual dengan baik serta dapat menerima
peran sebagai orang tua.
b) Hubungan yang baik antara anak dan orang tua.
c) Penyesuaian yang baik dari anak-anak.
62
d) Kemampuan untuk mendapatkan kepuasan dari perbedaan
pendapat. Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang
tidak bisa dielakan biasanya berakhir dengan salah satu dari
tiga kemungkinan, yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan,
salah satu mengalah demi perdamaian, atau masing-masinga
anggota keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan
dan pendapat orang lain.
e) Kebersamaan.
f) Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan.
Bagaimanapun
besarnya
pendapatan
keluarga
perlu
mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga
mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar
disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas usahanya
dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang
istri yang selalu mengeluh karena pendapatan suaminya tidak
memadai.
g) Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.
Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan
pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan
ipar
perempuan,
kecil
kemungkinanya
untuk
terjadi
mempercekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.
5) Penyesuaian diri terhadap kesendirian
63
Masa dewasa awal merupakan masa kesepian saat dimana
penyesuaian radikal harus dilakuakan dalam setiap bidang kehidupan,
banyak orang dewasa awal merasa bahwa perkawinan akan
menolongnya untuk melakukan penyesuaian tersebut. Kenyataan yang
pasti bahwa dalam suatu budaya yang didalamnya terdapat perkawinan
merupakan pola yang normal bagi kehidupan orang dewasa awal.
Selama usia dua puluhan, tujuan dari sebagian besar wanita yang
belum menikah adalah perkawinan. Apabila dia belum juga menikah
pada waktu dia telah mencapai usia tiga puluh atau persis pada hari
ulang tahunnya yang ke tiga puluh, mereka cenderung untuk menukar
tujuan dan nilai hidupnya ke arah nilai dan tujuan serta gaya hidup
baru yang berorientasi pada pekerjaan, kesuksesan dalam karier, dan
kesenangan pribadi.
6) Alasan untuk membujang
Kebanyakan orang yang tidak menikah, mempunyai alasan-alasan
yang kuat untuk tetap membujang. Beberapa dari alasan tersebut
adalah faktor lingkungan, dan beberapa lagi karena faktor pribadi.
Alasan-alasan orang dewasa muda tidak mau menikah:
a)
Penampilan seks yang tidak tepat dan tidak menarik.
b)
Cacat fisik atau penyakit lama.
c)
Sering gagal dalam mencari pasangan.
d)
Tidak mau memikul tanggungjawab pernikahan dan orang tua.
e)
Keinginan untuk meniti karir yang menunutut kerja lama dan jam
64
kerja tanpa batas dan banyak berpergian.
f)
Tidak seimbangnya jumlah anggota masyarakat pria dan wanita di
masyarakat dimana ia tinggal.
g) Jarang memiliki kesempatan untuk berjumpa dan berkumpul
dengan lawan jenis yang dianggap cocok dan sepadan.
h) Karena mempunyai tanggungjawab keuangan dan waktu untuk
orang tua dan saudara-saudaranya.
i)
Kekecewaan yang pernal dialami
karena kehidupan keluaraga
yang tidak bahagia pada masa lalu dan pengalaman pernikahan
yang tidak membahagiakan yang dialami oleh temannya.
j)
Mudahnya fasilitas untuk melakukan hubungan seksual tanpa
menikah.
k) Besarnya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karier.
l)
Mempunyai kepercayaan bahwa mobilitas social akan lebih mudah
diperoleh apabila dalam keadaan lajang daripada setelah menikah.
m) Persahabatan dengan anggota kelompok seks yang sejenis yang
begitu kuat dan memuaskan.
n) Homoseksual.
Ada lagi alasan untuk tetap membujang yang disebabkan oleh
pengaruh pengalaman yang sangat kuat, atau kejadian yang dialami
selama masa remaja, tetapi pengaruh ini hanya efektif sama seseorang
berusia dua puluhan setelah itu pengaruh tersebut secara berangsur-
65
angsur mulai berkurang berubah atau disesuaikan dengan keadaan
hidup seseorang.
7) Efek hidup tanpa menikah
Tidak semua wanita yang tidak menikah semula bermaksud untuk
terus menjadi “single”. Juga tidak semua wanita bermaksud
membiasakan dirinya single karena kurangnya persahabatan dengan
teman yang berlainan jenis kelamin. Mereka mungkin mencari
kegiatan di berbagai kelompok pelayanan masyarakat dan organisasi
social lainnya yang memungkinkan mereka untuk melakukan
komunikasi dengan pria dan wanita.
Untuk menemukan kompensasi yang memuaskan bagi dorongan
seks yang amat kuat selama masa dewasa awal merupakan masalah
yang amat sulit yang dihadapi orang yang tidak menikah. Pria yang
belum menikah biasanya mencari kepuasan seks dengan melibatkan
diri (terikat) baik dengan praktek outoerotik (autoerotic) maupun
dengan cara melakukan hubungan suami istri dengan wanita panggilan
atau dengan pelacur.
8) Bahaya perceraian
Perceraian merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan
yang buruk, dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu
lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua
belah pihak. Tetapi banyak juga pernikahan yang di akhiri dengan
perpisahan dan pembatalan baik secara hukum maupun dengan diam-
66
diam dan ada juga yang salah satu (suami/isteri) meninggalkan
keluarga. Puncak perpisahan keluarga pada tahun pertama dalam
pernikahan, dan puncak terjadinya perceraian dalam keluarga adalah
pada tahun ke tiga.
Bukti lainnya adalah bahwa penyebab perceraian berbeda-beda
dari suatu periode dalam pernikahan ke periode lainnya. Contohnya,
masalah peminum (pemabuk) hanya menyebabkan 9% kemungkinan
terjadinya perceraian selama tahun pertama pernikahan dan 43%
setelah 25 tahun usia pernikahan. Bagi orang-orang tertentu yang tidak
pandai dalam menyesuaikan diri nampaknya lebih mudah terjadi
perceraian.
9) Kondisi yang memengaruhi stabilitas perkawinan
a) Jumlah anak
Lebih banyak perceraian terjadi karena pasangan tidak mempunyai
anak atau hanya mempunyai beberapa anak daripada karena
pasangan mempunyai banyak anak.
b) Kelas sosial
Kasus meninggalkan keluarga lebih banyak terjadi pada kelompok
masyarakat kelas rendah, sedangkan perceraian banyak terjadi pada
kelompok masyarakat menengah ke atas.
c) Kemiripan latar belakang
67
Perceraian lebih banyak terjadi antara pasangan yang mempunyai
latar belakang kebudayaan, suku, bangsa, agama dan sosial
ekonomi yang berbeda.
d) Saat menikah
Tingkat perceraian yang sangat tinggi khusunya terjadi pada orang
yang menikah terlalu dini atau sebelum mempunyai pekerjaan yang
menetap dan ekonominya belum kuat.
e) Alasan untuk menikah
Orang yang terpaksa menikah karena pasangan wanitanya telah
mengandung kemungkinan untuk bercerai jauh lebih besar
daripada pernikahan biasa.
f) Status ekonomi
Semakin rendah status ekonomi keluarga, maka semakin besar
kemungkinan
terjadinya
perceraian
atau
salah
satunya
meninggalkan keluarga.
g) Mempertahankan identitas
h) Orang dewasa yang dapat merawat identitasnya setelah menikah
dan yang mempunyai kesempatan untuk memperbaharui diri, lebih
kecil kemungkinannya untuk bercerai daripada mereka yang
kehidupan dirinya sangat dipengaruhi oleh keluarga.
Menurut Hawari (2010) beberapa permasalahan yang muncul dalam
proses perkembangan masa dewa awal yang dapat mengarah ke
kecenderungan bunuh diri adalah sebagai beeikut :
68
a. Tekanan kehidupan
Kehilangan pekerjaan (PHK) yang dialami individu pada masa dewasa
awalnya akan berakibat pada pengangguran dan ini akan berdampak pada
gangguan kesehatan bahkan bisa sampai pada rasa frustasi dan keinginan
untuk mengakhiri hidup.
b. Masalah sosial
Masalah sosial misalnya kegagalan dalam prestasi dapat menjadi sumber
stres atau tekanan psikologis pada masa dewasa awal disebabkan karena
rasa malu yang sudah terbuka ke publik.
c. Masalah ekonomi
Kehilangan sesuatu yang berharga berupa uang yang cukup banyak atau
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dapat membuat seseorang
kehilangan akal sehat dan menempuh jalan pintas dengan jalan bunuh
diri.
d. Kasih tak sampai (broken heart)
Masalah percintaan yang tidak sampai dapat membuat seseorang patah
hati. Rasa kecewa ini dapat berbuntut pada rasa putus asa, dan jalan pintas
yang diambil adalah dengan melakukan bunuh diri.
e. Perselingkuhan (Love Affair)
Kasus perselingkuhan sekalipun ditutup rapat-rapat akhirnya akan
terungkap juga. Hal ini dapat diatasi tergantung pada kepribadian
seseorang. Seseorang yang merespon negatif akan cenderung menempuh
jalan yang reaktif dan impulsif misalnya dengan jalan bunuh diri.
69
f. Kesepian
Kesepian dikaitkan dengan gender individu yaitu harga diri, dan
keterampilan sosial. Kurangnya interaksi secara sosial baik bagi laki-laki
maupun perempuan, dihubungkan dengan rasa kesepian. Individu yang
merasa kesepian seringkali memiliki sejarah hubungan yang jelek dengan
pasangan mereka.Strategi penyelesaian masalah yang kerap dilakukan
oleh individu yang kesepian adalah melarikan diri dari perasaan yang
menyakitkan dengan minum minuman keras untuk membuang kesedihan
mereka, menggunakan obat-obatan terlarang (NAZA), menjadi pecandu
kerja (workaholic), bahkan jika mereka tidak dapat menghilangkan rasa
kesepian mereka, mereka akan memilih untuk mengakhiri hidup dengan
jalan pintas bunuh diri.
D. Hubungan antara Spiritualitas dengan Kecenderungan Bunuh Diri
pada Orang Dewasa Awal di Kabupaten Gunung Kidul
Masalah-masalah dalam kehidupan yang selalu hadir dalam setiap
waktu membuat individu ada yang mampu bertahan dan menghadapi
masalah tersebut dan ada juga yang menunjukkan ketidakberdayaan
dalam menghadapi masalah tersebut. Individu yang mampu bertahan dan
mampu mengatasai masalah dalam hidupnya dengan baik berarti individu
tersebut menunjukkan respon yang positif, sementara individu yang tidak
mampu bertahan serta menunjukkan perilaku tidak berdaya memberikan
respon yang negatif.
70
Respon yang negatif serta munculnya perilaku yang tidak berdaya
dalam menghadapi masalah kehidupan akan memberikan tekanan bagi
individu yang mengalaminya. Tekanan ini akan menimbulkan berbagai
bentuk perasaan yang akan sulit diungkapkan oleh individu tersebut,
seperti : perasaan bersalah, kegagalan dalam menjalani hidup, hingga
perasaan putus asa, yang pada akhirnya akan mendorong individu
tersebut untuk mencari jalan pintas untuk menghentikan tekanan yang
dialaminya dengan melakukan bunuh diri.
Hawari (2010) berpendapat bahwa kecenderungan seseorang
melakukan tindakan bunuh diri relatif lebih mudah diketahui bilamana
yang bersangkutan menunjukkan tanda-tanda seperti perasaan murung
dan sedih, merasa tidak berguna, perasaan bersalah dan berdosa,
kekecewaan yang mendalam, rasa putus asa, pikiran kematian, hingga
muncul keinginan bunuh diri.
Kasus kecenderungan bunuh diri ini juga sering menampilkan diri di
usia dewasa awal. Usia dewasa awal sebagai masa peralihan dari remaja
mengharuskan orang dewasa dapat bersikap lebih bertanggung jawab.
Tidak dapat berperilaku sebebas diwaktu masih remaja. Tuntutan akan
kedewasaan diri dan adanya tanggung jawab yang lebih besar
mengharuskan orang-orang dewasa awal ini dapat menjalankan tugastugasnya dengan baik. Banyaknya tuntutan dari lingkungan sosial pada
usia dewasa awal ini memberikan tekanan bagi berlangsungnya tugastugas perkembangan ini. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (2003)
71
bahwa masa dewasa merupakan periode penyesuaian diri terhadap polapola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial. Orang dewasa
diharapkan memainkan peran baru seperti, peran suami/istri, orang tua,
pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginankeinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Hal
tersebut menjadikan periode ini sebagai suatu periode khusus dan sulit
dari rentang hidup seseorang.
Ketika seseorang telah memasuki usia dewasa, ia akan berhadapan
dengan penyesuaian secara sosial yang lebih kompleks dibanding
penyusuaian di usia-usia sebelumnya. Orang dewasa akan belajar untuk
mandiri dan tidak bergantung. Dengan label dewasa yang dimilikinya,
orang dewasa akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya
sendiri.
Orang
dewasa
yang
dapat
menyelesaikan
permasalahan sendiri berarti dia telah matang dan siap menerima status
barunya sebagai orang dewasa. Dan semakin banyaknya permasalahan
yang dihadapi oleh orang dewasa hal tersebut akan semakin
mendewasakan orang tersebut dalam menghadapi situasi yang sulit.
Orang dewasa yang telah berhasil menyelesaikan permasalah yang
dihadapinya tidak akan kesulitan lagi jika dihadapkan dengan
permasalahan yang akan datang, ia telah memiliki kesiapan untuk
menghadapinya.
Namun berbeda dengan orang dewasa yang tidak memiliki kesiapan
dalam menerima status barunya. Permasalahan yang dihadapinya akan
72
menyebabkan stress berkepanjangan dan tidak terkontrolnya emosi
didalam dirinya, yang pada akhirnya orang dewasa tersebut merasa
kecewa dan putus asa dengan dirinya. Sehingga membuat orang dewasa
tersebut mengalami tekanan dan akhirnya memilih untuk mengakhiri
hidup.
Menghadapi tekanan dalam hidup bukanlah suatu kemudahan bagi
individu. Beban jiwa yang semakin berat, kegelisahan dan ketegangan
serta tekanan perasaaan akan lebih sering terasa dan akan mengurangi
kebahagiaan dalam diri individu.
Menurut Sila, Anwar, Rahman, Anwar, & Habibah(2007),
berkurangnya kebahagiaan dalam hidup meskipun telah terpenuhi secara
material menunjukkan adanya suatu kebutuhan yang masih diperlukan,
karena kecukupan materi ternyata tidak menjamin kesejahteraan hidup
dalam arti yang sebenar-benarnya. Situasi ini memberikan tanda-tanda
yang cukup kuat bahwa keyakinan dan kebutuhan orang yang dimaksud
adalah kebutuhan akan spiritualitas.
Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian
karakteristik motivasional (motivational trait), kekuatan emosional
umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah
laku individu. Lebih jauh, Piedmont (2001) juga mendefinisikan
spiritualitas sebagai usaha individu untuk memahami sebuah makna yang
luas akan pemaknaan pribadi dalam konteks kehidupan.
73
Seseorang yang telah memiliki spiritualitas yang baik berarti Ia telah
menemukan tujuan dalam hidup dengan merasakan kehadiran Tuhan
Yang Maha Esa sebagai zat Yang Maha Tinggi, begitu juga sebaliknya
seseorang yang memiliki spiritualitas rendah belum menemukan tujuan
dalam hidup sehingga masih terombang-ambing dalam kebingungan
meskipun Ia telah menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, seperti yang
dikemukakan oleh Sila, Anwar, Rahman, Anwar, & Habibah (2007)
bahwa orang yang mengalami kehausan spiritual merasa kehidupannya
kosong dan kehilangan makna hidup yang sebenarnya, meskipun mereka
telah menjalankan sholat, berpuasa dan amalan sunat lainnya (dalam
agama islam) namun mereka juga belum terpuaskan dan tidak merasakan
manfaat sedikitpun.
Pendidikan agama yang selama ini dilakukan secara konvensional,
seperti pendidikan agama islam di sekolah, madrasah, tabligh akbar atau
yang disuarakan resmi oleh organisasi agama tidak mampu memberikan
jawaban atas persoalan spiritualitas para pemeluknya. Mereka merasa
kehidupannya kosong dan kehilangan makna hidup yang sebenarnya,
walaupun mereka telah berusaha mencari jawaban ataupun solusi di
tengah kehidupan duniawi namun semua itu tidak mendapatkan hasil
(Sila, Anwar, Rahman, Anwar, & Habibah, 2007). Dikarenakan rasa
putus asa tersebut tidak jarang mereka memikirkan untuk mengakhiri
hidup saja.
74
Dalam hasil penelitian yang dilakukan Karomah (2014) dengan judul
“Perbedaan Kecenderungan Perilaku Bunuh Diri Ditinjau dari Tipe
Kepribadian” menunjukkan adanya perbedaan kecenderungan perilaku
bunuh diri antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert. Berdasarkan
rata-rata kecenderungan perilaku bunuh diri, untuk tipe kepribadian
ekstrovert sebesar 45,3000 dan tipe kepribadian introvert sebesar
67,4286, maka dapat disimpulkan bahwa tipe kepribadian introvert lebih
rentan untuk memiliki kecenderungan perilaku bunuh diri dibandingkan
tipe kepribadian ekstrovert.
Hasil penelitian lain kecenderungan bunuh diri dilakukan oleh
Delima & Suryani (2011) dengan judul penelitian “Kecenderungan
Bunuh Diri dan Kepuasan Atas Dukungan Sosial pada Remaja”
menunjukkan bahwa remaja dalam penelitian ini cenderung mendukung
kehidupan daripada kematian, para remaja menunjukkan bahwa mereka
merasa puas dengan dukungan yang mereka miliki selama ini. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa hubungan yang terjadi signifikan hanya
pada kepuasan dukungan sosial dan tidak ada perbedaan tingkat
kepuasan antara kelompok normatif dan non-normatif. Hal ini
menunjukkan bahwa dukungan sosial berkontribusi kecil terhadap
tingkat kecenderungan bunuh diri pada remaja.
Spiritual
sebagai
motivasi
dan
kekuatan
emosional
untuk
mendorong, mengarahkan, serta memilih beragam tingkah laku yang
akan dilakukan kearah yang lebih positif akan mnegarahkan individu
75
menuju arah dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga individu
tersebut tidak lagi merasakan ketidakberdayaan atau rasa putus asa yang
akhirnya mengarahkan mereka ke tindakan mengakhiri hidup. Dengan
adanyaspiritualitas individu akan selalu menyadari makna kehidupan dari
setiap perjalanan yang ia lewati. Dari penjelasan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara Kecenderungan Bunuh Diri
pada Orang Dewasa dengan Spiritualitas.
E. Kerangka Pemikiran
Masa Dewasa awal (usia 18-40 tahun)

Menghadapi berbagai tugas perkembangan yang sangat kompleks
berkaitan dengan permasalahan dalam penyesuaian pekerjaan dan
permasalahan dalam kehidupan berkeluarga. Peran dan tanggung jawab
yang sulit dan berat sebagai individu dewasa awal membuat individu
dewasa awal menjadi tidak realistik dan bahkan mengalami kegagalan
dalam melaksanakan perannya. Hal tersebut berdampak pada
munculnya frustrasi, keputusasaan, ketidakberdayaan, kegagagalan, dan
kehilangan harapan.
Spiritualitas
Ket :
-------- = Diteliti
= Tidak Diteliti
Kecenderungan Bunuh diri
76
F. Hipotesis
Terdapat hubungan negatif antara spiritualitas dengan kecenderungan
bunuh diri pada orang dewasa awal di kabupaten GunungKidul.
Download