majelis raja-raja dalam perlembagaan

advertisement
MAJELIS RAJA-RAJA DALAM PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN
MALAYSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN DOKTRIN
KETATANEGARAAN ISLAM
Skripsi
Skripsi Ini Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
NURHANISAH BINTI HAJI BAHTIYAR
NIM: 107045203897
KONSENTRASI
SIYASAH
S Y A R’ I Y A H
PROGRAM STUDY JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta:
10 Maret 2009 M
13 Rabiul Awal 1430 H
Nurhanisah Binti Haji Bahtiyar
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan
semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Salawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta
motivasi kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan
skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan
Siyasah Syariyyah (Ketatanegaraan Islam) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis amat berbangga akan hasil penulisan skripsi ini karena di buat dengan
semangat dan perjuangan yang tak kenal lelah. Penulis sangat mengharapkan sekali
masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama dapat membangun dan terus
memotivasi penulis agar memperbaiki sehingga penyajian yang lebih sempurna.
Pada kesempatan yang sangat berharga ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat kepada :
1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu.
2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin tinggal untuk
mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.
3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum, juga merangkap dosen pembimbing saya dengan arahan beliau
penulis dapat memahami dengan mudah apa yang akan dikerjakan.
5. Asmawi, M.Ag. Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syariyyah.
6. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum.
7. Ayahanda H. Bahtiyar Bin H. Baharin dan Ibunda Hj. Zainah Binti H. Mohd
Salleh yang telah mencurahkan kasih dan sayang mereka serta borkarban apa
saja untuk anak tercinta. Sepenuh perhatian dan dorongan yang tak terhingga
diberikan amat penulis hargai.
8. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato’ Tuan
Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Pengarah IPA Ust.
Mohd Zain, Ust Muhaiyyat, Hj. Wan Ahmadul Badawi, Ust. Fadzli Hashimi
Hashim dan Ustzh Hasanah Halin dan juga pelajar Kudqi yang tidak dapat
penulis sebutkan disini.
9. Kepada adik-adik tersayang Helmi, Ammar, Nurul Izzah, Farhatin Najwa,
Hafizuddin dan Insyirah. Dan juga sanak saudara yang lain, keluarga
En.Zahid, En. Jahar, En. Azmi yang banyak membantu dalam pelbagai ruang
sepanjang saya berada di Jakarta ini.
10. Buat buah hati tersayang Mohd Sofyan Zakaria, terima kasih di atas segala
jasa beliau yang selama ini banyak memberi tunjuk ajar dalam pelbagai
perkara serta perhatian dan sokongan yang tak terhingga sepanjang saya
belajar di sini.
11. Kepada Ust Abdul Hadi Ripin yang banyak membantu dari awal penulisan
skripsi hingga selesai. Juga teman-teman satu perjuangan baik itu temanteman dari Malaysia. Ataupun teman-teman Indonesia yang telah membantu
untuk
memahami
dan
berkongsi
pendapat
lebih
dalam
mengenai
ketatanegaraan Islam.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang
lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis
khususnya dan kepada semua pihak pada umumnya. Penulis menyampaikan harapan
yang besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan
pembaca sekalian. Semoga Allah SWT menjadikan penulisan skripsi ini sebagai satu
amal yang baik disisi-Nya.
Jakarta:
10 Maret 2009 M
13 Rabiul Awal 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................8
D. Tinjauan Pustaka .............................................................................9
E. Kerangka Teori dan Konsepsional ................................................11
F. Metode Penelitian .........................................................................13
G. Sistematika Penulisan ...................................................................15
BAB II
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM KETATANEGARAAN
NEGARA ISLAM
A. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara) ......17
B. Gelar dan Istilah Negara dalam Ketatanegaraan Islam .................21
C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan (Raja) ..............28
BAB III
MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT PERLEMBAGAAN
PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Sejarah Majelis Raja-Raja ............................................................34
B. Kedudukan Majelis Raja-Raja ..................................................... 43
1. Kedudukan Raja-Raja dalam konteks Agama Islam dan
Perlembagaan ..........................................................................44
2. Keanggotaan dan mesyuarat Majelis Raja-Raja .....................47
3. Majelis Raja-Raja dan Kerajaan .............................................49
C. Fungsi Majelis Raja-Raja .............................................................51
D. Majelis Raja-Raja dan hubungan eksekutif dalam pelaksanaan
Pemerintahan di Malaysia .............................................................54
BAB IV
TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP
MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT PERLEMBAGAAN
PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Islam dan Negara Kerajaan dalam Kajian Ketatanegaraan
Islam..............................................................................................59
B. Persamaan konsep Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan
Malaysia ........................................................................................61
C. Perbedaan Konsep Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan
Malaysia ........................................................................................65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................67
B. Saran .............................................................................................69
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 71
LAMPIRAN
1. Struktur Lembaga Majelis Raja-Raja.
2. Raja-Raja Melayu di Negeri-Negeri Bagian.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara membutuhkan seorang pemimpin untuk membawa kemana arah
dan tujuan Negara. Beberapa abad lamanya orang Melayu diperintah berdasarkan
pemerintahan kerajaan oleh Sultan dengan kepercayaan sepenuhnya. Ketika
zaman penjajahan Inggris, Sultan-sultan diterima sebagai pemerintahan berdaulat
dan memiliki wewenang penuh dalam Negara bagian masing-masing, walaupun
mereka memiliki beberapa perjanjian dengan persekutuan Inggris, untuk
menerima nasehat dari pegawai-pegawai kerajaan Inggris yang dilantik sebagai
presiden atau penasehat kerajaan Inggris.1 Keadaan demikian berlanjut sampai
menjelang hari kemerdekaan pada tahun 1996 kerajaan Inggris memperkenalkan
sebuah Perlembagaan.2
Unitari untuk semenanjung Malaysia yang dipanggil
Malayan Union.3
Di bawah perlembagaan ini, sultan-sultan dapat kehilangan kekuasaan
mereka, karena pihak Inggris memerintah secara langsung negara ini. Namun
pada
tahun
1948
perlembagaan
Malayan
Union
digabungkan
dengan
1
Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Permerintahan di Malaysia, cet. III,
(Ampang/ Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawamah Sdn. Bhd, t.th.), h. 38.
2
Perlembagaan dalam Hukum Ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama UndangUndang Dasar.
3
M.U Gazeete G.N. 2/1946
perlembagaan penjajah, dan dikenal dengan nama perjanjian persekutuan Tanah
Melayu. Perlembagaan ini sedikit banyak telah mengembalikan raja-raja Melayu
kepada kedudukan asal mereka.
Majelis Raja-Raja tidak terbentuk secara sengaja atau direncanakan. Oleh
sebab itu tidak salah apabila dikatakan bahwa kemunculan majelis adalah sebuah
kebetulan sejarah. Tetapi walau apapun sifat kemunculannya, majelis mempunyai
efek yang positif terhadap hubungan antara sembilan kesultanan Melayu yang
ada. Ini memperkuat hubungan sesama mereka yang sebagian besar mempunyai
pertalian keluarga antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan itu kemudian
diperkuat lagi melalui proses perkawinan dan sejenisnya. Meskipun kemunculan
Majelis Raja-Raja dapat dikatakan sebagai sebuah kebetulan sejarah, namun
secara formal dapat dijelaskan bahwa Majelis Raja-Raja ada sebagai akibat tidak
langsung dari hasil dasar dan perancangan kerajaan Inggris. Tetapi walau
bagaimanapun kemunculannya, tidak berakhir sebagai sebuah institusi yang
mewakili kepentingan kekuasaan asing.
Meskipun Majelis Raja-Raja yang ada sekarang merupakan struktur yang
formal dan diatur oleh undang-undang, namun majelis ini dipisahkan dari
kesultanan Melayu yang merupakan tonggak sistem atau institusi beraja di
Malaysia.4 Oeh sebab itu, sejarah awal Majelis Raja-Raja dimulai dengan
menapaki secara sepintas kemudian kemunculan kesultanan Melayu yang ada
sekarang. Kedudukan kesultanan Melayu sangat erat kaitannya dengan kesultanan
4
Abdul Aziz Bari, Majlis Raja-raja (Kedudukan dan peranan dalam perlembagaan
Malaysia), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006. Cet.II, h. 16
Melayu Melaka. Meskipun kesultanan ini bukan kesultanan yang tertua (seperti
halnya kesultanan Kedah yang didirikan sekitar abad ke-13), kesultanan Melayu
Melaka mempunyai pranan yang besar dalam membina tradisi dan adat istiadat
istana yang kemudian diwarisi oleh kesultanan-kesultanan yang muncul kemudian
hari.5 Selain itu, kesultanan Melayu Melaka juga mempunyai peranan dalam
membantu mendirikan dan memelihara kesultanan yang ada sekarang. Dari
sembilan kesultanan yang ada, hanya kesultanan Melayu Perak yang mempunyai
hubungan langsung dengan kesultanan Melayu Melaka, karena kesultanan
Melayu Perak didasarkan oleh kesultanan tersebut, sebelum kesultanan Melayu
Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Kesultanan Kedah yang pernah
dilindungi kerajaan Melaka memiliki peralatan kerajaan, termasuk penghargaan
yang dianugerahkan kepada kesultanan ini oleh kerajaan Melaka. Sedangkan
Kesultanan Selangor, meskipun diperintah oleh orang Bugis pada abad ke-18,
namun kesultanan ini diakui oleh kesultanan Perak yang mempunyai pertalian
lansung dengan raja-rajanya yang berasal dari Sumatera.
Kedudukan Majelis Raja-Raja dalam perlembagaan sekarang ini adalah
terkait dengan hal-hal yang berkenaan dengan majelis tersebut dalam
Perlembagaan
Persekutuan
dan
Perlembagaan
Negeri. 6
Perlembagaan
Persekutuan menginginkan sebuah bagian khusus untuk Majelis Raja-Raja.
5
Untuk gambar yang lebih terperinci lihat dalam Abdul Aziz Bari, “Ketua Negara,
Ketua-Ketua Negeri dan Majlis Raja-Raja”, dalam Ahmad Ibrahim et.al., Perkembangan UndangUndang Perlembagaan Persekutuan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 40-99
6
Abdul Aziz Bari, Perlembagaan Malaysia (Asas-asas dan Masalah), (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 2
Bagaimanapun juga ada ketentuan lain dalam Perlembagaan yang menyebutkan
kedudukan Majelis Raja-Raja. Kedudukan majelis dalam perlembagaan yang
didalamnya terdapat hal-hal dalam jadwal dan berbagai peraturan yang berfungsi
menjelaskan lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan Perlembagaan. Setelah
itu, maka diakui dasar institusi tradisi seperti ini ke dalam demokrasi. Adapun
perkembangan majelis ini merupakan evolusi peranan Majelis Raja-Raja,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Majelis Raja-Raja adalah sebuah
perkumpulan eksklusif untuk raja-raja Melayu saja. Pada tahun 1957
Perlembagaan Persekutuan telah menyertakan ketua-ketua negara bagian yang
bukan raja, seperti Yang Dipertuan Negeri yang saat
itu disebut dengan
Gabernor (Gubernur) di dua negara bagian Melaka dan Pulau Pinang.
Setelah penulis menjelaskan secara umum mengenai Majelis Raja-Raja di
Malaysia, maka kita akan melihat konsep pemerintahan Islam yang berkaitan
dengan fungsi raja atau dalam Islam lebih tepat sebagai khalifah/imam.
Masuknya Islam ke wilayah kepulauan Melayu merupakan peristiwa
penting dalam sejarah Melayu yang kemudian identik dengan Islam. Sebab, Islam
merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu
telah berhasil menggerakkan kearah terbentuknya kesadaran berbangsa.
Abu Hasan Al-Mawardi mengatakan, keimaman diletakkan untuk
mengganti-kan posisi kenabian dalam memelihara agama dan politik keduniaan.
Dapat dilihat bahwa Al-Mawardi yang menjabat kepala Qadhi di Baghdad dan
salah seorang ulama’ besar fiqih Syafi’i, di antara yang masuk spesifikasi
kenabian adalah politik keduniaan. Meskipun yang menjadi khalifah atau
pengganti Rasul yang dalam istilah-nya “menjaga dan memelihara agama”
menunjukkan bahwa tugas seorang imam adalah menjaga, memelihara dan
membela agama, bukan menjelaskan atau mengadakan pergantian dalam agama.
Di antaranya adalah sang imam harus mampu menunjukkan, dengan tingkah laku
dan perbuatannya, bahwa dia adalah pemelihara agama dan memerhatikan
perintah-perintah agama.
Allah SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang
menjadi pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga terselenggaranya
ajaran agama. Memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi
syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah
(kepimimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaranajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehingga
kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera.7
Mengenai arti pentingnya seorang pemimpin diutarakan juga oleh Ibnu
Khaldun di dalam Muqaddimah-nya, bahwa “Kedudukan pemimpin timbul dari
keharusan hidup bergaul bagi manusia, didasarkan kepada penaklukan dan
paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan sifat-sifat kebinatangan”. 8
Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan
7
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet V, h. 14.
8
Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penterjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus:
2008), cet. VII, h. 232.
dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring
dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu
sendiri. Ada suatu masa dimana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan
menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami
ketegangan dengan negara. Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi
ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam perlaksanaanya diwujudkan dalam diri
raja. Kedaulatan Tuhan (Theocracy) dan kedaulatan raja menyatu satu sama lain
sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia
pada abad pertengahan.9
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan
dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain,
namun tidak mudah dipisahkan. Penyatuan antara Kedaulatan Tuhan dan
Kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintah absolut dan menyebabkan
terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep
yang merupakan penyatuan antara Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Raja terjadi
pada saat; Pertama, konsep Khalifah Al-Rasul yang rasional dan demokratis
dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi
kerajaan yang bersifat turun-temurun. Kedua, ketika perkataaan “Khalifah AlRasul” sebagai konsep filosofis.10
9
Hari Wibowo, Islam dan Pembangunan Hukum Nasional, http://bhariwibowo.blogspot.
com/2006/12/Islam-dan-pembangunan-hukum-nasional.html-ftn3. Artikel diakses pada tanggal 12
Desember 2008.
10
Ibid.
Dalam memahami pemikiran dalam politik Islam maka seharusnya pula
memahami terminologi dari istilah gelar kepala Negara dalam sistem
pemerintahan Islam. Di antara gelar Negara tersebut ialah Khalifah, Amirul
Mukminin, Imam, Sultan, Perdana Menteri dan Presiden. Dalam penelitian ini
penulis akan mengurai-kan istilah, karakter dan latar belakang historis dari gelar
kepala Negara tersebut. Empat istilah pertama biasanya digunakan dalam masa
pemerintahan Islam klasik mulai dari masa khalifah hingga masa Abbasiyah,
walaupun pada masa kontemporer ini salah satu istilah tersebut masih digunakan
seperti gelar Sultan, Imam atau Imamah. Namun, dua gelar terakhir lebih banyak
dipakai pada masa kontemporer ini daripada masa klasik, baik itu di Negara
muslim maupun non muslim.
Setelah kita melihat apa itu Majelis Raja-Raja menurut Perlembagaan
Persekutuan Malaysia, kemudian seperti apakah Islam mengkaji mengenai
masalah, istilah, wewenang dan gelar kepala negara. Untuk penulis terdorong
untuk mengangkat sebuah tema skripsi dengan judul “Majelis Raja-Raja dalam
Perlembagaan Persekutuan Malaysia dan Relevansinya dengan Doktrin
Ketatanegaraan Islam”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan dalam penelitian skripsi ini, diperlukan adanya
sebuah pembatasan masalah yang akan lebih memfokuskan kajian penelitian.
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah hanya
mengenai Majelis Raja-Raja, baik itu berupa kewenangan sebagai kepala
negara, kedudukan dan fungsi Majelis Raja-Raja dalam negara Malaysia.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum Ketatanegaraan Islam melihat fungsi dari raja-raja di
dalam pemerintahan?
2. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Majelis Raja-Raja di Malaysia
menurut Perlembagaan Negara?
3. Apakah konsep Kerajaan Malaysia selaras dan sejalan dengan konsep
khalifah dalam Ketatanegaraan Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan diantaranya:
1. Untuk mengkaji sejauh mana hukum ketatanegaraan Islam melihat fungsi
raja-raja di dalam pemerintahan .
2. Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan Majelis Raja-Raja berdasarkan
Perlembagaan Negara Persekutuan.
3. Menggali relevansi antara Ketatanegaraan Malaysia dengan Ketatanegaraan
Islam.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan dibidang Fiqh
Siyasah dalam konteks Ketatanegaraan Malaysia.
2. Menjadi rujukan bagi pengkaji ilmu Ketatanegaraan dalam konteks
pemerintahan Islam.
3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang Ketatanegaraan
Islam mengenai Majelis Raja-Raja, khususnya bagi warga Negara Malaysia.
D. Review Studi Terdahulu
Review studi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah untuk melihat kajian
yang telah membahas mengenai tema yang hampir sama, namun substansi yang
berbeda. Adapun yang penulis masukkan dalam perbandingan ini adalah berbagai
literatur, mulai dari skripsi, buku, jurnal, dan lainnya. Berikut ini merupakan
paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.
Skripsi Pitri Anita, “Siyasah Dauliah Pada Masa Khulafaur Rasyidun”
tahun 2004. Skripsi ini mengkaji tentang praktek siyasah dauliyah pada masa
Khulafaur Rasyidun, dimulai dari Khalifah Abu Bakar As-Sidiq, Usman bin
Affan, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Selain itu di dalamnya memuat
penerapan nilai-nilai Ketatanegaraan Islam yang mereka praktekkan seperti nilai
keadilan, musyawarah, persamaan dan lain sebagainya.
Skripsi Muhayah, “Konsep Negara Moral Menurut Al-Gahazali”,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, tahun 2006.
Skripsi ini membahasa tentang
konsep Negara moral menurut Imam al-Ghazali, serta beberapa uraian mengenai
konsep kepala Negara atau khalifah, syarat-syarat Negara menurut Al-Ghazali.
Diantara syarat-syarat tersebut adalah seorang laki-laki bukan wanita, dewasa,
mempunyai akal yang sehat, tidak gila, tidak memiliki cacat fisik, tidak buta dan
tuli, keturunan suku Quraisy, merdeka, memiliki kemampuan, memahami ilmu
pengetahuan, tidak melakukan hal-hal tercela.
Dari beberapa skripsi yang membahas tentang praktek siayasah dauliah
pada masa khulafa rasyidin maupun tentang konsep negara moral yang penulis
temukan semuanya tentang ketatanegaraan di Indonesia, sedangkan kajian tentang
Majelis Raja-Raja di Malaysia belum ada yang membahasnya. Kemudian ada
beberapa referensi yang sangat relevan untuk penulisan skripsi ini di antaranya:
Pertama,
Majelis
Raja-Raja
(Kedudukan
dan
Peranan
dalam
Perlembagaan Malaysia), karya Abdul Aziz Bari, 2006. Buku ini secara spesifik
mengkaji mengenai sejarah, kedudukan, fungsi serta peranan Majelis Raja-Raja
Malaysia. Bahkan lebih detail disebutkan, bahwa peranan majelis adalah untuk
menghubungkan demokrasi antara Lembaga Negara dengan Majelis Raja-Raja.
Hubungan ini harus ditunjukkan karena pada dasarnya perlembagaan adalah
pelakasana ideal demokrasi.
Buku kedua, karya Tun Mohd Salleh Abas tentang “Pemerintahan Beraja”
ditulis dalam buku yang berjudul “Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di
Malaysia”. Pada buku ini dipaparkan mengenai sejarah kenapa Negara Malaysia
dibentuk sebuah Majelis Raja-Raja. Kemudian pada awal kemerdekaan Negara
Malaysia disebutkan bahwa fungsi dan peranan raja-raja tidak lepas dari
intervensi kerajaan Inggris sehingga mereka tidak dapat menjalankan fungsinya
sebagai Raja.
Buku ketiga, “Teori Kontrak Sosial” karya dari Dhiauddin Rais, yang
menjelaskan tentang “Hakikat Imamah antara Keimamahan, Kekhalifahan dan
Kerajaan”. Di dalam buku ini mencoba membahas pentingnya gelar seorang
kepala Negara serta hubungan antara imamah dan khilafah.
E. Kerangka Teori dan Konsepsional
Majelis Raja-Raja adalah sebuah majelis yang menaungi raja-raja dan
gubernur-gubernur bagi negeri yang tidak memiliki raja. Lembaga ini bertujuan
untuk menjaga hubungan antar negera-negara persekutuan agar lebih erat lagi
dengan negeri-negeri yang bukan anggota Persekutuan. Artinya Majelis Raja-Raja
adalah sebuah perkumpulan ekslusif untuk Raja-Raja Melayu yang terdiri dari
beberapa negara bagian. Sehingga Majelis ini kemudian berwenang dalam
Perlembagaan Persekutuan Malaysia.
Ada beberapa macam teori-teori tentang Majelis Raja-Raja, diantaranya:
1. Majelis Raja-Raja ialah memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan
(Wakil) Yang di-Pertuan Agong.
2. Memberi persetujuan atau penolakan tentang adat istiadat, agama Islam bagi
seluruh Persekutuan, tidak termasuk Sabah dan Sarawak.
3. Memberi persetujuan atau menolak undang-undang atau memberi nasehat
tentang perlantikan jabatan yang memerlukan persetujuan Majelis Raja-Raja.
4. Mengangkat dan memberikan wewenang kepolisian negara.
Majelis Raja-Raja adalah suatu majelis yang tidak ada disebutkan dalam
hukumnya dalam al-Qur’an maupun al-Hadis. Akan tetapi banyak sekali ayat-ayat
al-Qur’an yang menyebutkan tentang perlunya musyawarah dalam melantik
sesuatu pemangkatan imam atau membuat suatu putusan persetujuan bersama.
Ketika Qur’an memerintahkan kepada Rasulullah untuk bermusyawarah dengan
kaum Mukminin, tidak menyangkut persoalan wahyu. Oleh sebab di satu sisi,
wahyu itu merupakan persoalan khusus bagi Rasulullah dalam hubungannya
dengan Allah. Ini sama seperti yang dilakukan dalam Majelis Raja-Raja tersebut,
hanya saja majelis ini dihadiri oleh golongan raja-raja yang berwenang
memberikan tugas dan wewenang yang dijalankan oleh Yang di-Pertuan Agong
dengan mengikuti nasehat jemaah menteri, dan tugas dan kuasa dijalankan oleh
raja-raja lain dan gubernur-gubernur dengan mengikut nasehat majelis rapat
kerajaannya masing-masing.
Demikian juga banyak hadis yang menyebut tentang musyawarah.
Menurut at-Thabari, musyawarah adalah sebagai salah satu dari ‘adha’im alahkam, yaitu prinsip fundamental syariat yang esensial bagi subtansi dan identitas
pemerintahan Islam. Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi, Rasulullah,
dan kepala negara yang selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalanpersoalan perang, sehingga Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari
dalam kitab shahihnya, berkata; “Aku tidak pernah melihat orang yang paling
banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya berbanding Rasulullah SAW”.
Dengan demikian para pakar hukum Islam termasuk seorang imam atau penguasa
mempunyai kebebasan untuk melakukan ijtihad (penggalian dan penemuan
hukum) mereka itulah yang kemudian disebut Mujtahid.
Kemudian hasil ijtihad tentang Majelis Raja-Raja tersebut dapat disebut
dengan hukum fikih. Fikih dimasudkan sebagai hasil pemikiran para mujtahid
atau ahli hukum Islam yang menderivasi hukum dari sumbernya, al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Hasil dari ijtihad bisa saja berbeda antara seorang ulama
dengan ulama yang lainnya. Sehingga hal ini mengakibatkan adanya perbedaanperbedaan pendapat yang pada akhirnya hukum fikih tersebut terbagi kepada
mazhab-mazhab fikih.
Pada tahap selanjutnya, pelaksanaan yang terdapat dalam Majelis RajaRaja itu harus memiliki undang-undang tentang Majelis Raja-Raja. Dalam
membuat undang-undang tersebut pemerintah dapat mengadopsi hukum fikih
yang telah dihasilkan oleh para ulama. Biasanya hukum fikih yang telah diadopsi
oleh negara dinamakan Qanun.
F. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan
pendekatan hukum normatif. Penelitan hukum normatif disebut juga
penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis sebagai peraturan perundang-undangan
(law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.11
2. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah wewenang dan kedudukan serta
fungsi Majelis Raja-Raja Malaysia menurut Perlembagaan Persekutuannya.
3. Sumber Data
Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer didapat dari sumber-sumber pokok seperti buku
Perlembagaan Malaysia, seperti mana yang disebut di dalam Pasal 38 (1)
tentang kedudukan dan peranannya dalam perlembagaan. Sedangkan sumber
sekunder didapat dari tulisan-tulisan yang dibuat oleh para ahli ketatanegaraan
baik dalam dunia Islam maupun dari ketatanegaraan Malaysia. Yang termasuk
ke dalam sumber data primer adalah buku Majelis Raja-Raja (Kedudukan dan
Peranan dalam Perlembagaan Malaysia). Sedangkan sumber data sekunder
seperti buku-buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan objek
penelitian. Kemudian data tertier berupa kamus, jurnal dan artikel.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumenteri bahan tertulis.
Yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi
11
Amiruddin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada; 2004, Cet. I, h. 118
dengan penelitian. Sehingga data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi
data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yang
peneliti gunakan adalah Dokumentasi, Riset pustaka dilakukan dengan cara
menghimpun data-data kepustakaan yang ada relevansinya dengan tema ini.
5. Analisa Data
Dalam melakukan analisa data-data yang sudah terhimpun, digunakan
teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan komparatif. Yaitu analisis
perbandingan antara Majelis Raja-Raja dalam Perlembagaan Persekutuan
Malaysia dengan doktrin Ketatanegaraan Islam.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan buku ini dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab
terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I
Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penelitian.
Bab II
Pengertian dan Sejarah Majelis Raja-Raja menurut Perlembagaan
Persekutuan Malaysia. Kedudukan dan fungsi Majelis Raja-Raja dan
hubungan eksekutif (Pemerintahan Pelaksana Negara Malaysia)
Bab III
Pengaturan Ketatanegaraan Islam dalam Konsep Kepemimpinan,
Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara), Gelar
dan Istilah Kepala Negara dalam Ketatanegaraan Islam, Pandangan
Islam tentang Institusi Pemerintahan.
Bab IV
Merupakan Analisis Ketatanegaraan Islam Terhadap Majelis RajaRaja Menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia, Islam dan Negara
Kerajaan dalam kajian Ketatanegaraan Islam, Persamaan Konsep
Pemerintahan Islam dengan Kerajaan Malaysia, Perbedaan Konsep
Pemerintahan Islam dengan Negara Kerajaan Malaysia.
Bab V
Merupakan bab penutup, yang didalamnya terdapat kesimpulan dan
saran.
BAB II
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM
KETATANEGARAAN NEGARA ISLAM
A. Pandangan Islam Terhadap Kepemimpinan (Kepala Negara)
Pelaksanaan negara menurut tuntutan Islam serupa dengan pelaksanaan
shalat jama’ah di mana ada pemimpin negara sebagai imam, rakyat sebagai
makmum, warga masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi dan peraturan
perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan negara sebagai
terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan
lain-lain.12 Shalat jama’ah juga mengenal koreksi terhadap imam dan penggantian
imam yang mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan negara dalam
sistem moderen. Sebagai agama yang menyeluruh, Islam tidak hanya mengatur
dimensi hubungan antara manusia dan khaliknya, tetapi juga antara sesama
manusia. Selama 23 tahun dakwah kenabian Muhammad SAW, kedua dimensi ini
berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama, Nabi
Muhammad SAW menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan
penekanan pada aspek akidah dan ibadah.
12
cet. I, h. 56
Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005),
Mengenai kepemimpinan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya
pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh Khulafaur Rasyidun, hal ini
dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak diangkat melalui suksesi melainkan
melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam al-Qur’an itupun sebagai realisasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi, kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW sebagai kepala Negara di Madinah yang menyatu dengan tugas-tugas
kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenuhnya kepada
Allah SWT.13 Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW
wafat (632 M / 10 H) adalah keberhasilannya. Semasa hidupnya, Nabi
Muhammad SAW memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk tentang cara
pengangkatan
penggantinya (khalifah). Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan
permasalahan di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat
sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum muhajirin dan kaum anshar.
Bahkan jenazah beliau sendiri ‘terlantar’ oleh seputar pembicaraan khalifah.14
Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang
muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah,
yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala Negara.15 Ibnu
13
Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 44
14
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press,
1993), edisi kelima, h. 32
15
Ridwan HR, Fikih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), (Yogyakarta: FH UII
Press, 2007), cet. I, h. 243.
jama’ah dalam menerangkan hak-hak pemimpin telah berkata: seseorang itu
hendaklah mengetahui bahwa hak pemimpin adalah besar. Oleh sebab itu,
berinteraksilah dengannnya dengan menghormati dan memuliakannya. Para
ulama daripada kalangan pemimpin Islam menjunjung tinggi kehormatan mereka
dan mendengar suruhan mereka walaupun mereka bersifat zuhud dan warak dan
tidak mengimpikan kedudukan dan pangkat dunia ini.
Sesungguhnya Allah menjadikan pemimpin itu sebagai benteng kepada
yang lemah daripada yang kuat dan kepada yang dizalimi daripada yang
menzalimi. Sekiranya tiada pemerhatian daripada Allah yang diwakilkan kepada
pemimpin ini nescaya tidak berlaku keamanan dan hilanglah hak asasi manusia,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sultan itu ialah bayangan
Allah di dunia. Siapa yang memuliakan mereka, maka Allah akan memuliakannya
dan siapa yang menghina mereka maka Allah akan menghinakannya.”
Penyandaran ini bertujuan memberi kemuliaan. Maksudnya: Allah
mempertahankan manusia daripada kezaliman dan penganiayaan menerusi
perantaraan pemimpin. Seperti yang disebut dalam al-Quran mengenai firman
Allah SWT:
"##$
!
-!./⌧12
*+'(,)
%&'()
::;& '9 2
678 +345
(251 :2/‫@ )اة‬AB☺=D!'
<=(?
Artinya: “Dan kalaulah Allah tidak menolak sebagian manusia (yang ingkar dan
derhaka) dengan sebagian yang lain (yang beriman dan setia) niscaya
rusak binasalah bumi ini; akan tetapi Allah sentiasa melimpah kurniaNya kepada sekalian alam” (QS: al-Baqarah/2: 215)
Ayat ini menerangkan tentang kelebihan pemimpin atau raja. Karena
tanpa adanya pemimpin, niscaya keadaan serta urusan duniawi akan kacau balau
dan hancur dengan perbagai unsur kejahatan atau kerusakan yang boleh
menghancurkan dunia. Oleh sebab itu Allah mengangkat derajat diantara kaum,
maka segala urusan akan berjalan dengan teratur.
Adapun hadis yang menerangkan keistimewaan pemimpin yang adil dan
ganjaran pahala di sisi Allah ialah:
1. Hadis daripada Abdullah bin ‘Amru, telah berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya orang yang adil berada di atas mimbar daripada di
sebelah kanan Allah dan kedua-dua tangan-Nya adalah kanan16 yang mereka
berlaku adil dalam pemerintahan dan tidak menyeleweng.”
2. Hadis riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Sesungguh-nya imam itu
perisai yang orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.
Sekiranya dia menyuruh supaya bertaqwa kepada Allah dan berlaku adil,
maka baginya pahala suruhan tersebut dan sekiranya dia menyuruh dengan
yang lainnya, maka dia juga akan memperoleh balasannya itu”17
3. Hadis riwayat daripada ‘Iyad bin Himar, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Penghuni syurga ada tiga golongan: Sultan yang adil dan benar, lelaki yang
16
Syarah al-Sunnah: Jilid VI, h. 64
17
Diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits no. 1827.
berkasih sayang dan baik hati tehadap kerabatnya, dan seorang Muslim yang
berhati-hati menjaga anak dan isterinya daripada perkara haram.”18
Kesimpulannya dalam sesuatu ummah, mestilah terdapat seseorang
pemerintah yang tugasnya menegakkan agama, membantu menyebarkan alSunnah, berlaku adil terhadap mereka yang dizalimi, menyempurnakan segala hak
serta adil dalam segala perkara demi keamanan masyarakat yang dipimpinnya.
B. Gelar Istilah Negara dalam Ketatanegaraaan Islam
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik masyarakat yang
mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat itu.
Dengan adanya negara yang merupakan organisasi dalam suatu wilayah dapat
memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan
lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Kehidupan
bernegara merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang
bermasyarakat guna mewujudkan peraturan dan agar mampu mewujudkan
kepentingan bersama dalam bermasyarakat. Karena dengan adanya negara dengan
perangkatnya mereka dapat memaksakan suatu keinginan bersama demi kebaikan
dan kemaslahatan bersama.
18
Diriwayatkan oleh Muslim hadits no. 2865.
Ibn Khaldun menjelaskan bahwa negara itu terbentuk karena lanjutan dari
keinginan manusia bergaul (solidaritas) antara seseorang dengan yang lainnya
dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya, baik itu dalam
rangka mempertahankan diri maupun menolak musuh. Semakin luas pergaulan
manusia dan semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya
kepada suatu organisasi negara yang melindungi dan memelihara keselamatan
hidupnya. Biasanya ketika masyarakat itu teratur karena cita-cita yang sama atau
karena satu keyakinan dan kepercayaan, sehingga menimbulkan perasaan senasib
seperuntungan dan seperjuangan, mereka akan membentuk suatu umat tersendiri.
Masyarakat Islam tampil di pentas dunia ini sekitar tahun 624 Masehi,
ketika konsepsi negara bangsa atau nasional itu belum muncul. Dengan demikian,
negara yang dimaksud dalam Islam atau yang dijalani Nabi Muhammad dan
khulafa rasyidun serta kaum Muslimin awal bukanlah suatu negara dalam
konsepsi nagara nasional, tetapi negara dalam arti luas yaitu suatu masyarakat
manusia yang tinggal dalam satu wilayah tertentu yang diatur berdasarkan syari’at
Islam dan dilaksanakan oleh pemerintah Islam.
Meskipun demikian, negara pada masa Nabi dan khulafa rasyidun telah
memenuhi unsur-unsur sebagaimana negara dalam pengertian sempit, yakni; (a)
warga negara, yang terdiri dari warga negara Muslim dan kaum dzimmi (warga
negara non Muslim yang tinggal menetap di wilayah Islam dan mendapat
perlindungan, dengan kewajiban membayar jizyah) serta musta’min (warga
negara asing non Muslim yang tinggal sementara dalam wilayah Islam dan
mendapatkan perlindungan, tanpa kewajiban membayar jizyah); (b) wilayah yang
terdiri dari daratan, udara, dan lautan, yang semula hanya wilayah Madinah dan
sekitarnya, kemudian pasca fathu Makkah meliputi semenanjung Arabia dan
sekitarnya; (c) pemerintah, yang dilekati kewenangan melaksanakan dan
menegakkan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, yaitu Nabi Muhammad dan
dilanjutkan oleh khulafa rasyidin.
Jika dilihat akan realitas sejarah, Islam menunjukkan bahwa negara itu
dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah. Misalnya, ketika nabi masih di
Mekkah (611-622) tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena
kekuatan politik didominasi oleh kaum Quraisy yang memusuhi Nabi. Tetapi
setelah berhijrah ke Madinah, di mana Nabi telah mempunyai komunitas sendiri
yang berjanji setia untuk hidup bersama dengan satu kesepakatan menggunakan
aturan yang disepakati bersama yang berupa Piagam Madinah. Kehidupan Nabi
bersama umatnya pada periode Madinah ini (622-632), oleh banyak pakar
dianggap sebagai kehidupan yang bernegara.19 Penilaian ini tentu didasarkan pada
kenyataan yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud
sebuah negara, baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa.
Namun selanjutnya
yang
menjadi persoalan adalah Nabi tidak
meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara
itu, siapa yang berhak menetapkan undang-undang, kepada siapa kepala negara
19
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press,
1986), hal. 92.
bertanggungjawab dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban tersebut. Karena
ketidakjelasan inilah kita lihat praktek kenegaraan dalam sejarah Islam
selanjutnya selalu berubah-ubah. Dalam masa empat Khalifa al-Rasyidin saja
terlihat kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi, terutama sekali
dalam masalah suksesi. Misalnya, Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama
melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlansung pada hari kedua setelah
Nabi wafat.
Umar Ibn Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak
melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui
penunjukan dan wasiat pendahulunya, Kendatipun demikian Abu Bakar pernah
mendiskusikan dengan sahabatnya secara tertutup. Usman Ibn Affan menjadi
khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah
ditetapkan oleh Umar sebelum ia wafat. Sementara Ali Ibn Thalib diangkat
menjadi khalifah yang keempat malalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh
dari sempurna.20
Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah telah lebih jauh lagi dari
ajaran sebenarnya dibandingkan dengan praktek masa Nabi Muhammad. Pada
masa ini hampir tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan, terutama dalam
rangka suksesi. Tradisi suksesi telah berubah dari praktek sebelumnya para
Khulafa al-Rasyidin yang selalu menggunakan musyawarah, menjadi sistem
penunjukan terhadap anaknya atau keturunannya yang lain. Demikian juga
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 28-29.
praktek sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiah tidak banyak perbedaannya
dengan masa Umayyah.
Dalam perkembangannya, “Negara Islam Madinah” yang telah dipraktekkan Nabi dan Khulafa Rasyidin tersebut mengalami reduksi dalam implementasi.
“Negara Islam adalah negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan
Muslim, di dalamnya tegak dan terlaksana hukum syi’ar-syi’ar Islam. Sifat negara
ini tidak berubah karena sebab tidak terlaksana atau tertundanya sebagian hukumhukum Islam selagi syi’ar-syi’ar Islam terlaksana seperti adzan, jum’ah, dan
(shalat) jama’ah. Sebenarnya dalam negara itu bekerja untuk dua tujuan yang
utama. Pertama, menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia dan
menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang-wenangan.
Allah SWT berfirman:
I$=DGJ3
F D!G3H
!
;.E
F(NOH
KFLM(,)
/D(R7S
P%!'(Q
(VWEX
@T
U☺
Z
7YE)
J##$
!.[.\(]
F(NOH
##FD 1I$(Q ^.[.⌧2 ^# _()
c=eYF([ (Q b
a-=D'X
#hE g DX() c?H
GJ3
(25 :57/‫⌦ )ا‬N[mN(? iNjk 2
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al-Kitab dan mizan (neraca) supaya manusia dapat
menjalankan keadilan, dan Kami menciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia
(supaya manusia mempergunakan besi itu) dan Allah mengetahui siapa
yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasulNya, padahal Allah Maha
Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS: al-Hadid/57: 25).
Dari ayat al-Qur’an di atas dapat dikutip bahwa Maududi ingin
menggunakan negara itu sebagai mekanisme untuk mencapai keselamatan
manusia di dunia dan akhirat. Dengan mengikuti perintah-perintah Allah
sebagaimana telah diwahyukan untuk petunjuk kehidupan manusia yang akan
mendapatkan kebaikan.
Karena sebagaimana dinyatakan oleh Allah sendiri bahwa Islam ini
diturunkan untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Maka negara menjadi satu
kepentingan dalam menjalani setiap pergerakan manusia untuk menjadi khalifah
di muka bumi sebagai menjalankan perintah agama yang diturunkan oleh Allah.
Muhammad Asad menjelaskan bahwa negara bagi Islam merupakan alat
untuk mencapai tujuan, dengan mendasarkan tujuan negara pada ayat al-Qur’an
surat Ali ‘Imran ayat 103-104:
j:,\(op
Z
☺7n(R;?
g
Z
'k⌧1
$'X☺!q
/K!☺'O
Z
?rs9
☯r
!.;?H urvFrs 9E -rSX=D(t
-rS)'D'k
(xB()
!
2_
1z4{'F)
urv(,;_
⌧1⌧2 g<=(? urvFrs FOaE
-rs⌧XEO_ 3#F
aLQ iI(1?
xLB(8?[
!,⌧X⌧s
S
\}~LQ
)rSbD!' zR([
r -rS b
\#QH -rS$LQ rS(4 .(h.(R}
e[]
<=*E
(h??;.([
7?'\O ‚)
(h??Q _([
g
mS$☺
(?
(h!%F([
?-'…
!,ƒ„_H
(104- 103 :3/‫@ )ال ان‬TD1☺
Artinya: ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah (agama), dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah orangorang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka,
lalu Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk. Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
(Q.S: al-Imran/2: 103-104)
Berdasarkan ayat itu dapat dijelaskan bahwa tujuan negara Islam adalah
demi pengembangan masyarakat manusia yang mempraktekkan persamaan hak
dan keadilan menuju yang benar (haq) dan menentang yang salah, untuk
menjalankan pembelaan keadaan sosial, yang dapat menyelamatkan kehidupan
manusia lahir ataupun batin menurut undang-undang alam dari Tuhan yaitu
Islam.21
Yang senantiasa perlu diingat adalah bahwa tujuan suatu negara di dalam
ajaran Islam sudah terlalu jelas. Berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul
SAW. Maududi ada menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya negara.
Pertama, untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antara manusia, antara
kelompok atau antara kelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara
kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga negara dan
melindungi seluruh warga negara dari infasi asing. Ketiga, untuk menegakkan
system keadilan sosial yang seimbang sebagaimana yang dikehendaki oleh al21
Muhammad Asad, Islamic Constituation Making, terjemahan Omar Amin Husein dan
Amiruddin Djamil, Masalah Kenegaraan Islam (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Bersama, t.th.),
h. 18.
Qur’an. Keempat, untuk membanteras setiap kejahatan (munkarat) dan
mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan pula oleh alQur’an. Kelima, menjadikan negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan
mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa
diskriminasi.
Oleh karena itu, negara dalam ajaran Islam hanyalah merupakan
instrumen pembaharuan yang terus-menerus. Negara, konstitusi dan semua
perangkat kenegaraan lainnya dibuat untuk kepentingan rakyat, bukan rakyat
yang harus mengabdi tanpa reserve kepada negara, sehingga negara itu menjadi
fasistis dan totalier. Semua perangkat negara, apalagi pejabat-pejabat negara,
dapat diubah setiap waktu bila kepentingan rakyat banyak, asal tidak bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama,menghendakinya. Sebagai instrumen of reform,
negara dengan konstitusinya, lembaga-lembaga perwakilan, lembaga kehakimannya dan lain-lain harus mengabdi kepada rakyat, bukan sebaliknya.
C. Pandangan Islam tentang Institusi Pemerintahan (Raja)
Adapun pemerintahan mengikut hukum Allah SWT, para pengkajipengkaji meneliti bahwa apa yang dimaksudkan dengan ‘kepemimpinan’ ialah
pemilik kuasa tertinggi dalam sesuatu komuniti dan negara. Dalam konteks
pemerintahan Islam, kepimpinan ditafsirkan dengan corak pemerintahan
mengikut hukum Allah atau dengan kata lain Kuasa tertinggi dan mutlak adalah
milik Allah SWT. Sesungguhnya pemerintahan sesebuah negara dengan hukum
yang disyariatkan oleh Allah SWT dan menjadikannya sebagai sumber rujukan
hukum perundangan negara ialah satu tuntutan yang diwajibkan oleh Allah dan
Rasul-Nya. Ia merupakan bukti sifat ‘ubudiyyah’ dan tanda keyakinan kepada
risalah kenabian Nabi Muhammad SAW.
Sebagai sebuah ideologi negara, masyarakat serta kehidupan, Islam telah
menjadikan negara beserta kekuasaanya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari eksistensinya. Dimana Islam telah memerintahkan kaum
muslimin agar mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah
berdasarkan hukum-hukum Islam. Dalam al-Qur’an hanya disebutkan prinsipprinsip umum mengenai masalah negara dan pemerintahan. Untuk selanjutnya
umat Islam menjabarkannya sesuai dengan realitas dan kondisi riil yang
dihadapinya.
Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali
dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari aspek asas yang
menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta hukum-hukum
yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek
undang-undang dasar serta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari
aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara. Maupun hal-hal yang
menjadikannya berbeda sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di
dunia seperti; 1) Sistem pemerintahan republik,2) Sistem pemerintahan
kekaisaran, 3) Sistem pemerintahan Federasi 4) Sistem pemerintahan monarki.
Adapun di dalam pembahasan ini lebih menekankan kepada sistem
Pemerintahan Raja atau dikenali dengan sistem Pemerintahan Monarki. Sistem
pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki, maupun yang sejenis dengan sistem
monarki. Pemerintahan Monarki menerapkan sistem waris (putera mahkota),
dimana singgahsana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putera mahkota, dari
orang tuanya, seperti mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem Pemerintahan
Islam tidak mengenal akan sistem warisan.
Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa
khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh orang lain. Sistem ini
juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara peribadi
memiliki kekebalan hukum. Raja, kadang kala hanya merupakan simbol bagi
umat dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, seperti raja-raja di Eropa. Atau
kadang kala menjadi raja yang berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum.
Mengenai hal ini, al-‘Allahamah Siddiq Hasan Khan berkata” Seseorang
pemerintah tidak patut dipersalahkan, walaupun dia melantik bapak ataupun
anaknya sebagai pengganti, karena dia telah diberi jaminan semasa hidupnya
untuk memperhatikan perbuatan mereka. Sebagus-bagusnya dia tidak dianggap
sebagai ingin meninggalkan pengaruh setelah kematiannya, berbeda dengan
pendapat yang menuduh mereka yang melantik anak atau bapaknya sebagai
pengganti maupun mereka yang menganggap perlantikan anak saja sebagai satu
kesalahan, bukan bapak. Semua ini jauh sama sekali daripada sangkaan yang
baik, terutama jika terdapat faktor yang boleh membawa kepada perkara tersebut
seperti mengutamakan kepentingan umum ataupun menjangkakan akan berlaku
sesuatu kemusnahan, pada ketika itu tertolaklah segala sangkaan sebagaimana
yang berlaku pada peristiwa pelantikan Yazid oleh bapaknya Mua’wiyah tersebut
yang dipersetujui oleh orang ramai merupakan dalil yang nyata dalam hal ini.
Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan
Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik
umat, bukan milik khalifah.22 Kalau khalifah hanya merupakan wakil umat untuk
memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana
mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena
itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. kepada Umar r.a. bukan merupakan
waliyatul ahdi (pewarisan kepada putra mahkota), karena ia melakukan pemilihan
berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar r.a. di bai’at
setelah beliau wafat.
Disamping itu, Abu Bakar r.a. sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk
menyelesaikan
urusan tersebut
sebagaimana
dalam khutbahnya.
Beliau
menggantungkan pelaksanaan urusan tersebut berdasarkan ridla kaum Muslimin,
ketika beliau berkhutbah di hadapan mereka, setelah menetapkan pendapatnya
untuk menunjuk pengganti beliau sambil berkata; “Apakah kalian menerima
orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku (dalam memimpin) kalian?
Demi Allah, aku telah menyerahkan segenap kemampuan, dan aku tidak akan
22
h. 110.
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, (Doktrin Sejarah Empirik),
menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin.”23 Atas dasar ini pula Umar bin
Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam orang calon khalifah,
dimana keenam-enamnya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih,
sehingga tidak ada yang menyerupai wilayatul ahdi (putera mahkota). Berbeda
dengan sistem putera mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena
dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan Islam.
Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas
mungkar tersebut adalah:
a) Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah
sistem kerajaan, bukan sistem khalifah.
b) Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya
(memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah
memberikan hak pemilihan Khalifah kepada umat, dan hal itu pun telah
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau telah memberikan kebebasan
kepada kaum Muslimin memilih orang lebih layak untuk memimpin urusan
mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami Islam
dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua
negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua negara tersebut
pemerintahannya mempergunakan sistem keturunan. Karena itu Mu’awiyah
menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan
mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidup Mu’awiyah.
23
An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), h. 110.
c) Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas
manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti masalah
yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada, maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum
agar sesuai dengan permasalahan yang ada. Padahal semestinya, dia harus
mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan cara menjadikan asasnya adalah
kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan kemanfaatan materi. Dan
semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai penyelesaian yang pada
zamannya tesebut untuk menyelesaikan hukum Islam, sehingga akan terjadi
perubahan penggantian bahkan memutar balikkan terhadap hukum-hukum
Islam.
Berdasarkan perhitungan al-Mas’udi, masa khalifah selama tiga puluh
tahun itu dimulai sejak pemerintahan Abu Bakar hingga masa pemerintahan
Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang berkuasa selama delapan bulan sepuluh hari. 24
Dalam perkembangan selanjutnya, penyelengaraan kenegaraan dan pemerintahan
berjalan menjauh dari kondisi ideal yang dipraktekkan Nabi dan para khalifah
terbimbing, terutama ketika pemerintahan Islam dijalankan dengan model
kerajaan. Model ini dimulai ketika Mua’wiyah bin Abi Sufyan tampil
menempatkan diri sebagai kepala negara, dan ketika itu ia secara tegas
mengatakan; “Aku adalah raja pertama”, lalu di akhir masa pemerintahannya,
24
Al-Mas’udi, Juz I, h. 347 dan Hafid bin Ahmad al-Hakimi, A’lam al-Sunnah alMasyurah Lii’tiqad al-Thaifah al-Najiyah al-Mansyurah, Wizarat al-Syu’un al-Islamiyah wa alAuqah wa al-Da’wah wa al-Irsyad, Arab Saudi, 1422 H, h. 290 dan seterusnya.
Mua’wiyah mengangkat Yazid bin Mua’wiyah sebagai putera mahkota. Satu cara
yang tidak pernah dilakukan pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Ibnu
Rusyd mengatakan, “Mua’wiyah telah meruntuhkan bangunan yang indah dan
mulia, yang telah dibangun oleh para khalifah Nabi”. 25
Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera
mahkota banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha’ telah
menetapkan bahwa dibolehkannya sistem keimamahan dengan cara menentukan
putera mahkota dari kesepakatan ijma ulama dapat diterima. Namun Islam tidak
memandang sistem raja itu adalah suatu sistem yang salah. Karena, sistem itu
tidak melanggar batas syara’ hukum selagi dalam suatu sistem pemerintahan itu
masih menjalankan hukum-hukum Islam.
25
Dikutip dari M. Quraish Shihab, Sunnah, h. 217.
BAB III
MAJELIS RAJA-RAJA MENURUT
PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Sejarah Majelis Raja-Raja Menurut Perlembagaan Persekutuan Malaysia
Majelis Raja-Raja adalah sebuah majelis yang menaungi raja-raja dan
gubernur-gubernur untuk negara bagian yang tidak memiliki raja. Selain itu,
majelis ini juga berperan penting untuk mempersatukan Persekutuan ini menjadi
lebih erat dengan negeri-negeri yang menjadi anggota Persekutuan. Hal yang
menarik dalam struktur perlembagaan ini ialah betapa peran Majelis Raja-Raja
tidak banyak berbeda dengan peran majelis pada tahap awal terbentuknya.
Di sisi lain, perkembangan itu menunjukkan fleksibilitas yang ada dalam
institusi tersebut. Meskipun tidak demokratik, majelis dapat berperan menjadi
lembaga yang seolah-olah demokratis. Hal ini yang menunjukkan betapa institusi
ini memainkan peran tanpa tergantung pada kewenangan formal yang ada dalam
perlembagaan. Dapat dianalisa dengan jelas, bahwa saat pertama kali
terbentuknya lembaga, Majelis Raja-Raja dalam negara Malaysia bertujuan untuk
membangun persatuan dan kesatuan antara negara-negara dan menumbuhkan
semangat nasionalisme dan patriotisme. Selain itu juga memiliki wewenang
dalam struktur kelembagaan negara, berupa parlemen yang dibentuk undang-
undang yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintahan kerajaan negara
bagian.
Meskipun Majelis Raja-Raja yang ada sekarang merupakan struktur
formal perlembagaan, nama majelis ini tidak dapat dipisahkan dari kesultanan
Melayu yang merupakan tonggak sistem atau institusi kerajaan di Malaysia.
Sebab itu sejarah awal Majelis Raja-Raja dimulai dengan menelusuri secara
sepintas sampai kemunculan dan perkembangannya hingga saat ini. 26 Ini penting
untuk menunjukkan ikatan di kalangan keluarga-keluarga kerajaan yang ada di
Malaysia sekarang, satu hal yang juga penting dalam kelahiran lembaga ini.
Berbicara tentang sejarah dan kedudukan kesultanan Melayu tidak dapat
dipisahkan dari kesultanan Melayu Melaka. Meskipun kesultanan ini bukan
kesultanan yang tertua, bahkan Kesultanan Kedah sendiri baru berdiri sekitar abad
ke-13. Kesultanan Melayu Melaka mempunyai pranan yang besar dalam
membina tradisi dan adat istiadat istana yang kemudian diwarisi oleh kesultanankesultanan yang muncul pada masa berikutnya. Antaranya: 1) Pengangkatan
Putera Mahkota: yakni dari dulu yang hanya menggantikan sultan adalah anak
laki-laki terakhir yang di angkat menjadi Putera Mahkota, walaupun bapaknya
mempunyai anak banyak. 2) Perkahwinan: yaitu hanya raja yang berketurunan
Melayu saja yang boleh menikah dengan Raja Melayu.
26
Abdul Aziz Bari,. “Ketua Negara, Ketua-ketua Negeri dan Majlis Raja-Raja”, dlm.
Ahmad Ibrahim et al., Perkembangan Undang-undang Perlembagaan Persekutuan, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 40-99.
Selain itu, Kesultanan Melayu Melaka juga mempunyai peran penting
dalam membantu mendirikan dan memperkuat mayoritas kesultanan yang ada
sekarang. Dari sembilan kesultanan yang ada, hanya kesultanan Melayu Perak
yang mempunyai hubungan lansung dengan Kesultanan Melayu Melaka. Karena
kesultanan tersebut didirikan oleh kesultanan Melayu Melaka sebelum jatuh ke
tangan Portugis pada tahun 1511. Begitu juga dengan, Kesultanan Kedah juga
pernah dilindungi oleh Melaka yang telah memiliki beberapa senjata kerajaan
termasuk meriam yang dianugerahkan kepada kesultanan ini oleh kerajaan
Melaka.
Kesultanan Selangor, yang pada dasarnya didirikan oleh orang Bugis pada
abad ke-18, namun akhirnya disahkan oleh Kesultanan Perak yang mempunyai
hubungan langsung dengan raja-raja Melaka. Kesultanan-kesultanan lain seperti
Johor, Pahang, Kelantan dan Terengganu muncul setelah keturunan Kesultanan
Melayu Melaka berakhir. Dengan kata lain, kesultanan-kesultanan ini jelas
meneruskan warisan yang telah ditinggalkan oleh Kesultanan Melayu Melaka
setelah jatuh ke tangan Portugis. Begitu juga dengan Negeri Sembilan, meskipun
raja-rajanya berasal dari Sumatera.
Dalam perkembangan berikutnya, Inggris pun mulai banyak melakukan
intervensi di negeri-negeri Melayu, setelah adanya Perjanjian Pangkor pada tahun
1874 dan berakhir dengan perjanjian antara kerajaan Inggris dengan
Johor pada
tahun 1914.27 Kedudukan raja-raja Melayu sebagai raja yang
berdaulat tidak
berubah. Walaupun kenyataannya mungkin tidak berdaulat penuh. Prinsip ini
telah diresmikan oleh beberapa keputusan mahkamah pada saat itu.28 Sesuatu
yang berbeda kedudukannya dengan kedudukan raja-raja Melayu dalam skema
Malayan Union.
Meski pun demikian, dalam realitanya raja-raja terpaksa tunduk pada
kehendak dan tekanan pihak Inggris. Tekanan itu memang tidak dipersoalkan dari
segi undang-undang, namun tetap saja pihak Inggris mempunyai kekuatan untuk
memaksa raja-raja Melayu untuk mendengar perintah mereka. Dalam beberapa
kesempatan misalnya, pihak Inggris memang menggunakan kekerasan terutama
terhadap pembesar kerajaan dan mayoritas lainnya. Bahkan Inggris juga
menggunakan segala kekuatan dan kekayaan mereka untuk mewujudkan
pemerintahan tidak langsung di negeri-negeri Melayu. Jadi, meskipun kedaulatan
raja-raja dari sisi undang-undang tidak berubah, tetapi dalam realitanya
mengalami perubahan drastis, karena kewenangannya menjadi terbatas atau
bahkan menjadikan mereka sebagai simbol kekuasaan Inggris.
Dengan berbagai intervensi Inggris di negeri-negeri Melayu, berdirilah
saat itu sebuah organisasi besar yang mampu menyamai kebesaran lembaga rajaraja, pada tahun 1895. Organisasi ini kemudian yang dikenal sebagai kumpulan
27
Dokumen perjanjian-perjanjian ini boleh dilihat dalam Maxwell dan Gibson,. Treaties
and Engangements Affecting Malay State, dan Allen, Stockwell dan Wright (eds), 1981. A
Collection of Treaties Affecting the States of Malaysia 1761-1963,1924, Jilid. 1
28
Roberts – Wray , Constitutional Laws of the Commonwealt and Colonial Law, hlm .
44-45, dan Jennings, 1957. Constitutional Laws of the Commonwealth, Jil. 1, The Monarchies,
1966, h. 14-16.
Negeri-negeri Melayu Bersekutu yang terdiri dari negeri Perak, Selangor, Negeri
Sembilan dan Pahang. Empat orang raja Melayu memiliki kedudukan dalam
Majelis Persekutuan yang fungsinya antara lain untuk mengeluarkan kebijakan
yang kemudian dilaksanakan melalui mekanisme perundangan di tingkat negeri
melalui Majelis-Majelis Negeri. Dalam persatuan tersebut, kekuasaan raja-raja
Melayu dalam perundang-undangan masih utuh, yakni berdaulat penuh.
Sayangnya semua itu hanyalah dari segi teori perlembagaan. Kenyataannya saat
itu Inggris yang memberlakukan kebijakan pembentukan raja-raja di NegeriNegeri Melayu Bersekutu.
Hal tersebut itulah yang menyebabkan para raja ini tidak senang dengan
kebijakan yang diterapkan oleh Inggris. Karena bagaimanapun kehadiran Inggris
telah mengakibatkan mereka seperti lembaga yang kosong. Bahkan merasa tidak
dapat memerintah secara berdaulat atau malah tidak memiliki wilayah. Raja-raja
tahu apa yang mereka terima bukanlah sesuatu yang mereka inginkan ketika
menandatangani perjanjian dengan pihak Inggris. Ini dibuktikan dengan
penentangan awal sesudah Perjanjian Pangkor yang berakhir dengan pembuangan
negeri Sultan Abdullah.
Rasa tidak senang itulah yang kemudian melahirkan Durbar yang pertama
kali diadakan di Kuala Kangsar pada tahun 1897, yaitu perkumpulan awal empat
raja bagi negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang. Perlu dijelaskan
juga bahwa ketidakmampuan raja-raja untuk mengikuti kebijakan Inggris untuk
membentuk negeri-negeri Melayu menyebabkan mereka terpaksa menerima
usulan Inggris yang membimbing mereka dalam sebuah forum. Walaupun Durbar
berjalan, raja-raja berhasil merubah proses perjalanannya dan menjadikannya
sebuah forum untuk memperbaiki nasib dan kehidupan orang Melayu.
Selain itu apa yang menjadi keputusan dalam persidangan Durbar yang
pertama di Kuala Kangsar itu turut menjadi sebuah ikatan yang menghubungkan
sesama raja-raja dan rakyat tanpa disengaja. Sambutan dan protokol ini memang
menjadi tradisi majelis sehingga hari ini. Persidangan Durbar yang pertama itu
penting karena dapat membuat keputusan tentang beberapa hal yang semuanya
diserahkan kepada majelis-majelis negeri yang kemudian menjadi undang-undang
(dari sudut perlembagaan, kewenangan membuat undang-undang pada masa itu
masih berada di tangan sultan, walaupun pada praktisnya undang-undang itu telah
diubah dan dirinci oleh persekutuan dan majelis). Dengan demikian, persidangan
Durbar telah mengambil kewenangan dengan salah satu fungsi yang sebelumnya
dijalankan oleh majelis persekutuan.
Persidangan persekutuan di Kuala Kangsar itu kemudian diikuti oleh
persidangan-persidangan Durbar di Kuala Lumpur pada tahun 1903. Kemudian di
Kuala Kangsar lagi pada tahun 1927, di Pekan, Pahang, pada tahun 1932, di
Kuala Kangsar pada tahun 1933 dan di Seri Menanti pada tahun 1933.
Persidangan-persidangan itu, dari segi undang-undang dan kerangka Perlembagaan pada waktu itu, tidak merubah status quo yang ada. Persidanganpersidangan itu menjadi tempat untuk kedua pihak raja-raja dan pembesar mereka
di satu pihak dan Inggris di pihak yang lain. Bertemu dan membolehkan raja-raja
menyuarakan aspirasi mereka terhadap kerajaan Inggris.29
Terdapat beberapa hal penting tentang persidangan Durbar itu. Pertama
ialah perkataan ‘Durbar’ itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa ungkapan itu
seperti pengaruh atau signifikansi Syarikat Hindia Timur Inggris. Durbar juga
dapat dikatakan dikatakan mempunyai keterkaitan dengan persidangan residenresiden Inggris yaitu pegawai-pegawai tinggi Inggris yang menjadi penasehat
sultan dan badan penasihat kepada Residen Jeneral, pegawai tinggi yang
mengendalikan
sekretariat
Negeri-Negeri
Melayu
Bersekutu.
Dari
segi
pengendalian, persidangan-persidangan Durbar itu dijabat oleh utusan tertinggi
Inggris. Anggota-anggotanya terdiri dari raja-raja dan pembesar mereka, Residen
Inggris di 4 negeri-negeri Melayu di atas dan para sekutu di Negeri-Negeri
Melayu. Proses dalam persidangan ini dijalankan dalam bahasa Melayu. Perlu
ditegaskan bahwa setelah tahun 1909, raja-raja tidak lagi mengambil bagian
dalam hasil sidang dari Majelis Permusyawaratan Persekutuan.
Ada sarjana yang menulis bahwa mereka tidak mampu mengikuti proses
dan keputusan dalam majelis tersebut. Bagaimanapun, ini tidaklah terlalu
mengejutkan karena mengingat kedudukan protokol mereka sebagai pihak ynang
memiliki kekuasaan tertinggi di negeri masing-masing, proses dan hasil sidang
yang terperinci itu bukanlah tugasan mereka. Dalam proses ini, mayoritas para
29
Abdul Aziz Bari,. Majlis Raja-Raja: Kedudukan dan Peranan dalam Perlembagaan,
(Selangor: Percetakan Dawama, 2002), h. 20
pegawai Inggris juga turut hadir dalam Majelis Permusyawaratan Persekutuan.
Persidangan-persidangan Durbar yang membicarakan persoalan-persoalan dasar
yang lebih umum dan besar jelas lebih sesuai untuk raja-raja. Di samping itu,
mereka dapat terus menyalurkan masalah kepada pihak-pihak tertinggi dalam
pembentukan kerajaan Inggris.
Walau apa pun manfaat dan pengaruh yang timbul dari persidanganpersidangan Durbar itu, perlu ditekankan untuk menunjukkan kemunculan yang
relevan bagi peran raja dalam dunia moderen, sesuatu yang tidak memungkinkan
pada tahun-tahun sebelumnya. Yang paling menonjol setelah persidangan Durbar
ialah peran raja-raja sebagai pelindung atau penjaga dan ini penting karena pada
waktu itu, orang Melayu tidak mempunyai suara dalam pembentukan kerajaan
Inggris. Pada waktu itu, orang Melayu tidak mempunyai partai politik seperti
sekarang. Selain itu politik tidak terpengaruh terhadap kedudukan Majelis RajaRaja, karena sistem raja adalah sistem keturunan dan sistem politik adalah sistem
yang dibentuk oleh rakyat. Ini disebabkan bahwa raja merupakan sebagai
penasehat yang mutlak. Usulan dan kritikan raja-raja yang terkait dengan
pembentukan dengan kerajaan mengesahkan kedudukan dan peran Yang diPertuan Agong dan raja-raja dalam soal keistimewaan orang Melayu dalam
perlembagaan sekarang.
Dalam persidangan Durbar itu juga lahir ide dan usulan untuk
memperbaiki nasib dan kedudukan orang Melayu. Menarik untuk disebutkan,
bahwa dalam persidangan pada tahun 1897, raja-raja menginginkan persoalan
keterkaitan antara negara dengan agama Islam tetap ada sampai pada majelis
negeri. Permasalahan ini tidak harus dibawa ke tingkat Majelis Permusyawaratan
Persekutuan. Ini penting karena ia menunjukkan sikap raja-raja yang berhubungan
dengan masalah agama, terutama dalam konteks hubungan pihak Inggris yang
berpusat di Kuala Lumpur dengan pihak Negeri-Negeri Melayu Bersekutu. Dalam
persidangan pada tahun 1903, Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan juga
menunjukkan ketidak senangannya tentang kedudukan bahasa Melayu dalam
pembentukan.
Dalam persidangan di Kuala Lumpur itu juga, Sultan Perak telah
menunjukkan kekesalannya karena Inggris tidak berbuat apapun untuk
mengangkat orang Melayu yang dapat berperan dalam pembentukan negara.
Bahkan sang Sultan juga menentang terhadap aliran dan sentralisasi kekuasaan
yang semakin jelas dalam pembentukan Inggris. Protes itu dikatakan membawa
pada usaha mereformasikan struktur otoritas dan pemerintahan yang disetujui
oleh pihak Inggris di Kuala Lumpur.
Permusyawaratan Majelis Raja-Raja
yang pertama setelah Merdeka
diadakan pada 30 dan 31 Oktober 1957 dan dilanjutkan oleh Duli Yang Maha
Mulia Tuanku Syed Putra ibni Al-marhum Syed Hassan Jamalullail, Raja Perlis.
Sesuai dengan aturan, hanya Duli Yang Maha Mulia Raja-raja saja yang layak
meneruskan kerajaan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Majelis. Yang
Amat Berhormat Menteri Besar hadir juga sebagai penasihat Duli Yang Maha
Mulia Raja-raja dan Ketua Menteri bagi Timbalan Yang Terhormat Yang di-
Pertuan Negeri. Yang di-Pertuan Agong hanya berangkat hadir pada musyawarah
hari kedua dengan diiringi oleh Yang Amat Berhormat Perdana Menteri sebagai
penasihat.
Keunikan Majelis Raja-Raja berdasarkan kedudukannya adalah sebagai
satu-satunya institusi yang sedemikian rupa ada di dunia pada masa kini. Selain
itu juga berperan sebagai penjaga institusi kerajaan di negara ini. Pembentukan
Majelis Raja-Raja telah diundangkan berdasarkan Pasal 38 Perlembagaan
Persekutuan. Fungsi dan tugas-tugasnya mengikuti Jadwal Kelima Perlembagaan,
antaranya berwenang memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan Yang diPertuan Agong. Inilah kewenangan yang dikehendaki oleh Raja-Raja dalam
Memorendum yang mereka serahkan kepada Suruhanjaya Reid pada tahun 1957.
Institusi Yang di-Pertuan Agong menjadi sebagian dari Parlimen dan Raja yang
menyandang jabatan Yang di-Pertuan Agong menjadi lambang kedaulatan negara
dan perpaduan kaum.30
B. Kedudukan Majelis Raja-Raja
Maksud kedudukan Majelis Raja-Raja dalam perlembagaan sekarang ini
ialah posisi dan kewenangan majelis tersebut dalam Perlembagaan Persekutuan
dan Perlembagaan Negeri.31 Perlembagaan Persekutuan merupakan sebuah bagian
30
Menjunjung Kasih: Seri Paduka Baginda Yang Di-pertuan Agong XII DYMM Tuanku
Syed Sirajuddin ibni Al-marhum Tuanku Syed Putra Jamalullail, Jabatan Warisan Negara, (Kuala
Lumpur: Kementerian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia:KEKWA, 2006), h. 28.
khusus untuk Majelis Raja-Raja.32 Dalam perlembagaan tersebut juga disebutkan
kedudukan majelis dalam berbagai kapasitas. Kedudukan majelis dalam
perlembagaan juga menentukan mengenai jadwal-jadwal33 dan peraturanperaturan34 yang berfungsi menjelaskan secara lebih lanjut hal-hal yang terkait
dengan perlembagaan.
Di bawah Perlembagaan Malaysia, kedudukan raja-raja Melayu adalah
terjamin. Pasal 38 ayat (4) menyatakan bahwa Perlembagaan tidak boleh diubah,
jika perubahan itu menyentuh pada kewenangan raja-raja Melayu, melainkan
harus mendapatkan persetujuan dari Majelis Raja-Raja terlebih dahulu. Majelis
Raja-Raja juga adalah satu badan yang memelihara hak istimewa orang Melayu,
karena apapun perubahan kebijakan tentang kedudukan orang Melayu hendaklah
dibicarakan terlebih dahulu dalam majelis ini.
1. Kedudukan Raja-Raja dalam Konteks Agama Islam dan Perlembagaan
Perlembagaan Persekutuan menjelaskan bahwa raja merupakan ketua
agama Islam dalam negeri baginda sebagaimana yang ditetapkan oleh
31
Abdul Aziz Bari, 2001. Perlembagaan Malaysia: Asas-Asas dan Masalah. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
32
33
Lihat Perlembagaan Persekutuan, Bagian 4, Bab 2, Perkara 38.
Lihat Perlembagaan Persekutuan, Jadwal Ketiga, Jadwal Keempat dan Jadawal
Kelima.
34
Terdiri daripada Peraturan Majlis Raja-Raja 1988 (Peraturan Penasehat Kepada Duli
Yang Maha Mulia/Tuan Yang Terutama di Mesyuarat Majlis Raja-Raja dan Peraturan Pemilihan
Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan Yang di-Pertuan Agong) yang diluluskan oleh Majlis RajaRaja dalam mesyuarat yang ke-143 pada Mac 1988
Perlembagaan
Negeri
terkait.35
Sedangkan
Yang
di-Pertuan
Agong
merupakan ketua agama Islam dalam negeri-negeri yang tidak memiliki raja
seperti Perlembagaan Negeri pada negeri-negeri tersebut36 dan dalam Wilayah
Persekutuan. Yang di-Pertuan Agong masih menjalankan tugas sebagai ketua
agama Islam dalam negeri baginda.37
Ketentuan dalam Perlembagaan ini menunjukkan betapa agama Islam
mempunyai kedudukan yang penting di sisi raja-raja. Dilihat dari segi sejarah,
dalam persidangan Durbar pada tahun 1897, raja-raja membahas tentang
agama Islam di tingkat Majelis Negeri dan tidak dibawa ke peringkat Majelis
Rapat Persekutuan. Begitu juga sewaktu perundingan kemerdekaan, raja-raja
menyetujui memberi pernyataan supaya menetapkan agama Islam sebagai
agama persekutuan dimasukkan ke dalam Perlembagaan Persekutuan hanya
sesudah raja-raja diberi jaminan bahwa penetapan tersebut tidak akan
mengurangi kedudukan raja-raja sebagai ketua agama Islam di negeri masingmasing.
Perlembagaan Persekutuan menentukan raja-raja dapat bertindak
sesuai dengan kewenangan dirinya dalam menjalankan tugas sebagai ketua
agama Islam. Ini menunjukkan bahwa raja-raja tidak seharusnya bertindak
sesuai pihak eksekutif dalam masalah agama Islam. Ini juga berarti bahwa
35
Perlembagaan Persekutuan, Perkara 3(2.).
36
Perlembagaan Persekutuan 3(3).
Perlembagaan Persekutuan , Pasal 34 ayat (1).
37
struktur Perlembagaan Persekutuan mengizinkan kelanjutan kekuasaan rajaraja dalam urusan agama Islam. Perlembagaan Negeri semua negeri yang
memiliki raja ini menunjukkan bahwa raja-raja hendaklah bangsa Melayu dan
beragama Islam. Perlembagaan Persekutuan pula mengharuskan orang
Melayu sebagai orang yang beragama Islam. Pengertian ini jelas menunjukkan bahwa Melayu dan Islam merupakan dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan.
Pasal 153 Perlembagaan Persekutuan juga menegaskan bahwa Yang
di-Pertuan Agong mempunyai tanggungjawab sebagai pelindung kedudukan
istimewa orang Melayu. 38 Berdasarkan ketentuan tersebut orang Melayu
dalam Perlembagaan Persekutuan, Yang di-Pertuan Agong mempunyai
tanggungjawab untuk melindungi agama Islam sebagai agama yang dianut
oleh orang-orang Melayu. Majelis Raja-Raja39 bertindak sebagai sebuah
badan undang-undang dalam beberapa perkara tertentu.40 Majelis Raja-Raja
juga yang memilih, melantik dan memberhentikan Yang di-Pertuan Agong.
Terkait dengan agama Islam, Majelis Raja-Raja mempunyai fungsi untuk
menentukan perbuatan, adat dan agama Islam yang mencakup seluruh
38
Perlembagaan Persekutuan, Perkara 153(1) Cf. Abdul Aziz Hussin, Isntitusi Raja, h..
64-65.
39
Penubuhan Majlis Raja-Raja diperuntukan oleh Perkara 38 Perlembagaan Persekutuan
dan mengikut peruntukan Jadual Kelima Perlembagaan Persekutuan.
40
Perlembagaan Persekutuan, Pasal 38 ayat (2)
negara41 dan memilih tanggal permulaan puasa dan tanggal perayaan orangorang Islam.42
Oleh sebab itu dalam Perlembagaan Persekutuan tidak ada seorang
ketua agama Islam bagi seluruh persekutuan, penulis buku “Pentadbiran
Undang-Undang Islam di Malaysia” karya Mahamad Arifin mengatakan
beliau setuju dengan pandangan Abdul Aziz Bari bahwa Majelis Raja-Raja,
meskipun tidak disebut secara jelas dalam Perlembagaan Persekutuan, ia juga
merupakan penguasa tertinggi dalam berbagai bidang yang terkait dengan
agama Islam di tingkat persekutuan.43
2. Keanggotaan Majelis Permusyawaratan Raja-Raja
Keanggotaan Majelis Raja-Raja terlihat jelas perbedaanya ketika
sebelum merdeka. Pada masa itu, Majelis Raja-Raja adalah sebuah
perkumpulan yang eksklusif buat raja-raja Melayu saja. Mulai tahun1957,
Perlembagaan Persekutuan telah mengikut sertakan ketua-ketua negeri yang
bukan raja yakni Yang DiPertuan Negeri (pada masa itu masih gubernur)44
bagi Melaka dan Pulau Pinang. Apabila Malaysia dibentuk pada tahun 1963,
41
Perlembagaan Persekutuan, Pasal 3 ayat (2). Lihat pula Abdul Aziz Bari, Institusi
Ketua Negara, h. 69-70.
42
Abdul Aziz Bari, Institusi Ketua Negara, h. 70, Mohamed Suffian, Role of the
Monarchy, h. 38.
43
Abdul Aziz Bari, Majlis Raja-Raja, h. 86-88; Abdul Aziz Bari, Islam dalam
Perlembagaan Persekutuan, Pasal 3 ayat (2).
44
Gelar ‘gabenor’ ditukar kepada Yang Dipertua Negeri pada tahun 1976.
persekutuan ini mencakup ketua-ketua negeri Sabah dan Sarawak.
Anggotanya terdiri dari ketua-ketua negeri (dari kalangan bukan Islam dan
bukan Melayu) tidak boleh turut serta dalam penetapan majelis yang khusus
membicarakan kedudukan atau persoalan yang melibatkan institusi beraja
serta pemilihan Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan (Wakil) Yang diPertuan Agong. Sesuai dengan kedudukan raja-raja sebagai ketua agama
negeri masing-masing, semua Yang Dipertua Negeri juga tidak boleh
menyertai rapat majelis sekiranya majelis membahas hal-hal yang berhubung
dengan agama Islam sebagaimana yang dibolehkan oleh perlembagaan.
Perlu dicatat bahwa ketua agama Islam bagi negeri-negeri yang
tidak mempunyai raja yakni negeri-negeri
yang diketuai oleh Yang
Dipertua Negeri ialah Yang di-Pertuan Agong, di antara negeri-negeri
tersebut adalah Sabah, Sarawak, Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan
Putrajaya. Manakala negeri-negeri yang mempunyai raja seperti Pulau Pinang,
Kedah, Kelantan, Perak, Terengganu, Pahang, Melaka, Negeri Sembilan dan
Johor.
Secara teknis Yang di-Pertuan Agong bukanlah anggota Majelis RajaRaja. Ini karena pada masa dahulu berdasarkan Perlembagaan ialah anggotaanggota majelis yang terdiri dari pada raja-raja dan Yang Dipertua Negeri atau
siapa saja yang mengambil tempat, sesuai dengan Perlembagaan negeri
tersebut, atau ketua-ketua negeri itu.45 Yang di-Pertuan Agong, seperti yang
dikehendaki oleh perlembagaan, harus melepaskan semua tugas negeri apabila
baginda mengambil tugas jabatan itu.46 Tugas yang dibenarkan untuk
dijalankan hanyalah sebagai ketua agama Islam. Apabila raja-raja membahas
permasalahan yang berhubungan dengan institusi beraja seperti pemilihan
atau pemecatan Yang di-Pertuan Agong atau Timbalan Yang di-Pertuan
Agong, pembantu raja negeri baginda mungkin menjadi anggota. Ini karena
Perlembagaan hanya mencegah Yang Dipertua Negeri saja dalam mengikuti
musyawarah tersebut.47
Dengan demikian, dalam keadaan itu pembantu Raja bagi negeri Yang
di-Pertuan Agong mungkin akan terus mewakili negeri yang tidak bersltan.
Inilah sebabnya disebutkan bahwa keanggotaan Majelis Raja-Raja berubahubah mengikuti fungsi perlembagaannya. Mungkin dapat dikatakan bahwa
hanya raja-raja dan pembantu raja bagi negeri Yang di-Pertuan Agong yang
menjadi anggota tetap Majelis Raja-Raja. Walaupun Yang di-Pertuan Agong
dikatakan bukan anggota Majelis Raja-Raja tetapi baginda dapat ditunjuk
bahwa baginda adalah anggota majelis apabila majelis membicarakan
kedudukan raja-raja dan Yang di-Pertuan Agong. Seperti yang dinyatakan
dalam Perlembagaan, anggota-anggota majelis harus mematuhi nasehat
kerajaan dikala Majelis Raja-Raja membahas hal-hal yang berhubungan
45
Lihat Perlembagaan Persekutuan, Jadwal Kelima, seksyen 1 dan 2.
46
Lihat Perlembagaan Persekutuan, Perkara 34 (1)
Perlembagaan Persekutuan, Jadwal Kelima, Pasal 7.
47
dengan dasar-dasar dan Pemerintahan Negara, dan ada pula yang mengatur
rapat Majelis Raja-Raja yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama ialah
rapat yang dihadiri oleh anggota-anggota majelis, Yang di-Pertuan Agong
tidak turut serta. Sedangkan bagian kedua ialah rapat yang dihadiri oleh Yang
di-Pertuan Agong bersama dengan Perdana Menteri.
3. Majelis Raja-Raja dan Kerajaan
Bagaimanapun Perlembagaan tidak menyebutkan secara jelas bahwa
Perlembagaan memberikan kesempatan bagi Majelis Raja-Raja untuk bertemu
dengan pihak kerajaan pusat secara formal dan resmi, di samping
menyediakan platform untuk semua negeri bertemu dengan pusat. Inilah
implikasi rapat, khususnya dalam hubungan fungsi dan hak majelis. Tidak
secara langsung, pembahsan berbagai hal akan dapat diadakan. Perlembagaan
menetapkan bahwa dalam membicarakan hal-hal dasar negara, anggota
Majelis
Raja-Raja
harus
menerima nasehat
kerajaan.
Mungkin
ini
dimaksudkan untuk pengambilan keputusan secara benar banwa anggotaanggota
majelis
perlu
mendengar
nasehat
sebelum
mengemukakan
persoalannya atau pendapatnya.
Bagaimanapun, perlembagaan menghendaki anggota Majelis RajaRaja diiringi penasehat yang terdiri dari ketua kerajaan atau mereka yang
menganggotai kerajaannya. Ini sama dengan konsep Raja Berperlembagaan
dan kerajaan yang memerintah sebagai pemegang kekuasaan yang
bertanggungjawab kepada para pemilih. Sebagian dari keputusan majelis,
mungkin terpaksa dilaksanakan oleh kerajaan. Peraturan Majelis Raja-Raja
menetapkan bahwa para Menteri Besar dan Ketua Menteri adalah penasehat
tetap bagi raja-raja dan Yang Dipertua Negeri. Sekiranya majelis membahas
hal-hal yang berhubungan dengan institusi beraja termasuk pemilihan Yang
di-Pertuan Agong, penasehat ini tidak perlu hadir. Peraturan Majelis RajaRaja menyatakan bahwa sekiranya penasehat itu tidak dapat hadir, anggotaanggota tersebut akan melantik seorang anggota kerajaan yakni Anggota
Majelis Musyawarah Kerajaan atau Kabinet Negeri di Sabah dan Sarawak.
Penasehat pengganti ini harus diumumkan kepada Penyimpan Mohor Besar
Raja-Raja. Meskipun pelantikan seorang yang tidak beranggota kerajaan tidak
disebut oleh Perlembagaan, ini jelas bertentangan dengan tujuan awal
mengapa anggota Majelis Raja-Raja perlu disertai oleh penasehat. Sejajar
dengan kedudukan ketua-ketua negeri di sisi perlembagaan adalah tidak benar
jika mereka memilih sendiri siapa yang berhak mengiringi mereka ke
musyawarah majelis.
C. Fungsi Majelis Raja-Raja
Hak, kuasa dan fungsi Majelis Raja-Raja terkandung dalam ketentuan
utama pada perlembagaan. Yang dimaksud dengan ketentuan utama di sini ialah
penetapan perlembagaan yang mengarah khusus kepada Majelis Raja-Raja, baik
dalam bentuk perkara Perlembagaan maupun jadwal yang disertakan untuk
merincikan hal-hal yang bersangkutan. Ini termasuk peraturan yang dibuat untuk
melaksanakan sebagian dari kewenangan yang ditetapkan oleh perlembagaan itu.
Ketentuan utama berkaitan dengan peranan Majlis Raja-Raja yang
terkandung dalam Pasal 38 ayat (2) Perlembagaan Persekutuan:
1. Memilih Yang di-Pertuan Agong dan Timbalan Yang di-Pertuan Agong
bagi Persekutuan mengikut peruntukan-peruntukan Jadual Ketiga;
2. Mempersetujui atau tidak mempersetujui supaya apa-apa perbuatan, amalan
atau upacara agama meliputi seluruh Persekutuan;
3. Mempersetujui atau tidak mempersetujui apa-apa undang-undang dan
membuat atau memberi nasihat mengenai apa-apa perlantikan yang,
menurut Perlembagaan ini, memerlukan persetujuan Majlis Raja-Raja atau
yang dikehendaki dibuat oleh atau selepas berunding dengan Majlis RajaRaja;
4. Melantik anggota-anggota Mahkamah Khas di bawah Fasal (1) Perkara 182;
5. Memberi ampun, reprief dan respit, atau meremitkan, menggantung atau
meringankan hukuman di bawah Fasal (12) Perkara 42.
Apabila Majelis Raja-Raja membahas hal-hal tentang polisi negara, Yang
di-Pertuan Agong akan diiringi oleh Perdana Menteri, raja-raja lain diiringi oleh
Menteri Besar negeri masing-masing dan gubernur-gubernur diiringi oleh ketua
menterinya masing-masing. Dalam pembahasan persoalan polisi negara, Majelis
Raja-Raja berhak membicarakan tugas dan kewenangan yang dijalankan oleh
Yang di-Pertuan Agong dengan mengikuti nasehat jemaah menteri, tugas serta
kuasa yang dijalankan oleh raja-raja lain dan gubernur-gubernur dengan
mengikuti nasehat majelis kerajaannya masing-masing.
Selain yang disebutkan oleh perlembagaan sebagai tugas-tugas itu,
Majelis Raja-Raja juga dibolehkan mengambil bagian dalam pelaksanaan hak-hak
istimewa orang Melayu dan bumiputera di Sabah dan Sarawak.48 Permasalahan
yang menarik dan signifikan dalam soal kuasa dan Majelis Raja-Raja ialah hak
untuk tidak memberi perkenaan atau persetujuan kepada undang-undang yang
secara langsung menyentuh keistimewaan, kedudukan, kehormatan dan kebesaran
raja-raja.49 Majelis juga mempunyai kekuasaan yang sama sehubungan dengan
perubahan yang berkaitan dengan perlembagaan didalam kedudukan agama Islam
serta hak-hak istimewa orang Melayu dan kaum bumiputera Sabah dan Sarawak.
Majelis juga mempunyai kekuasaan yang sama dalam masalah perubahan
terhadap penetapan-penetapan yang berkaitan dengan kewarganegaraan dan
perlindungan terhadap hal-hal yang di atas, daripada menjadi subjek kebebasan
bersuara. Dengan kata lain, apapun keputusan atau ketetapan kedua Majelis
Parlemen itu, yakni Dewan Negara dan Dewan Rakyat menjadikan undangundang yang berkaitan dengan hal-hal tersebut tidak boleh dikeluarkan tanpa
persetujuan Majelis Raja-Raja. 50
Biografi Yang di-Pertuan Agong Sultan Mizan
Baginda Yang di-Pertuan Agong Sultan Mizan dilahirkan pada 22 Januari
1962 di Istana Al-Muktafi, Kuala Terengganu, ibu Negeri Terengganu. Baginda
mendapatkan pendidikan awal di Sekolah Rendah Sultan Sulaiman (Sekolah
Dasar) dan kemudiannya Sekolah Menengah Kebangsaan Sultan Sulaiman,
48
49
50
Perlembagaan Persekutuan, Pasal 38 ayat (5).
Perlembagaan Persekutuan, Pasal 38 ayat (4).
Perlembagaan Persekutuan, Pasal 159 ayat (5)
baginda kemudiannya keluar negeri untuk melanjutkan perajaannya di sekolah
berpresti yaitu Geelong Grammar School di Geelong, Australia. Pada tahun 1988,
baginda melanjutkan studinya di U.S. Internasional University-Europe di London
dan memperoleh Ijazah Sarjana Muda Sastera di Internasional Relationships pada
9 Jun 1988.
Baginda mengikuti kursus ketenteraan PRE SMC (E) 33 di Army School
of Languages dari 2 November 1982 hingga 31 Mei 1983, kemudian mengikuti
kursus ketentaraan SMC 33 di Akademik Tentara DiRaja Sandhurst di England
daripada 3 Mei 1983, menghabiskan kursus Pegawai Kadet pada 9 Desember
1983. Baginda telah dianugerahkan pangkat Leftenen pada 1 Maret 1984 dan
telah mengabdi pada Askar Berkuda DiRaja. Baginda telah mendapat Putera
Mahkota negeri Terengganu Darul Iman pada 6 November 1979, dan
kemudiannya, pemangku Sultan Terengganu daripada 20 Oktober hingga 8
November 1990. Baginda menyukai kegiatan berkuda, ia juga merupakan Yang
di-Pertuan Agong yang pertama yang diputerakan setelah kemerdekaan kedua
termuda ketika nobatkan yaitu setelah Yang di-Pertuan Agong.
D. Majelis Raja-Raja dan Hububungan Eksekutif
Sistem
pemerintahan
di
Malaysia
telah
ditentukan
berdasarkan
Perlembagaan Persekutuan dengan memisahkan tiga lembaga Pemerintahan
Negara, yang terdiri dari badan perundangan (legislatif), badan pemerintahan
(eksekutif) dan badan kehakiman (judiciary). Pemisahan ketiga badan dalam
Pemerintahan Negara disebut sebagai doktrin pengasingan kuasa. Doktrin ini
dikemukakan oleh Montesquieu, seorang filosof terkemuka Perancis pada abad
ke-18. Ketiga-tiga struktur pemerintahan di Malaysia tersebut mengandung
kekuuasaan tertinggi, dan ketiga-tiga badan tersebut terletak pada Yang diPertuan Agong sebagai Ketua Negara. Ini bermakna Yang di-Pertuan Agong
adalah sekaligus merupakan ketua kepada ketiga-tiga cabang kerajaan.
Berdasarkan Perlembagaan, baginda bukan saja memegang kekuasaan
eksekutif melainkan juga kekuasaan legislatif. Menurut Pasal 39 Perlembagaan
Persekutuan ialah kekuasaan memerintah Persekutuan, sedangkan menurut Pasal
40 Yang di-Pertuan Agong hendaklah bertindak mengikuti nasehat. Menurut
Pasal 39 mengenai perlembagaan dalam memberi kekuasaan eksekutif kepada
Yang di-Pertuan Agong, namun menurut undang-undang Persekutuan dan Jadual
Kedua Perlembagaan Persekutuan, Parlemen boleh memberikan fungsi eksekutif
itu kepada orang lain.
Meskipun terdapat beberapa pengecualian dalam Perlembagaan tentang
kekuasaan dan kedudukan Yang di-Pertuan Agong namun pada intinya baginda
menerima nasehat dari Kabinet, atau dari Perdana Menteri. Walau bagaimanapun,
Yang di-Pertuan Agong berhak dan atas kemahuannya meminta segala masukan
mengenai Kerajaan Persekutuan yang diberikan kepada Kabinet. Walaupun Yang
di-Pertuan Agong bertindak atas nasehat Kabinet atau Menteri atau pun sesudah
malalui perundingan atau atas usulan seseorang pada sesuatu organisasi (yang lain
dari Kabinet) tetapi dalam pelaksanaannya tiga fungsi Perlembagaan itu, Yang diPertuan Agong dapat bertindak menurut pendapat baginda. 51
Adapun ketiga fungsi itu ialah:
1. Melantik Perdana Menteri;
2. Menyetujui atau tidak menyetujui permintaan membubarkan Parlemen;
3. Meminta supaya diadakan rapat Majelis Raja-Raja yang membahas mengenai
keistimewaan, kedudukan, kemuliaan dan kebesaran Duli-duli Yang Maha
Mulia Raja-Raja dan mengambil keputusan dalam rapat tersebut.
Perlantikan Perdana Menteri adalah berdasarkan kemampuan calon
tersebut mendapat suara terbanyak dalam Parlemen. Pemilihan anggota Kabinet
dan Juru Bicara Menteri adalah atas nasehat Perdana Menteri. Perlembagaan
Persekutuan Pasal 39 dan 40 menyatakani:
Pasal 39
Kuasa pemerintah bagi Persekutuan (konstitusi) adalah terletak pada Yang diPertuan Agong dan, tertakluk kepada peruntukan mana-mana undang-undang
persekutuan dan peruntukan Jadual Kedua, kuasa itu boleh dijalankan olehnya
atau oleh Jemaah Menteri atau oleh mana-mana Menteri yang diberikuasa
oleh Jemaah Menteri, tetapi Parlimen boleh dengan undang-undang memberi
tugas-tugas pemerintah kepada orang-orang lain.
Pasal 40
(1) Pada menjalankan tugas-tugasnya di bawah Perlembagaan ini atau di
bawah undang-undang persekutuan, Yang di-Pertuan Agong hendaklah
bertindak mengikut nasihat Jemaah Menteri atau nasihat seseorang
Menteri yang bertindak di bawah kuasa am Jemaah Menteri, kecuali
sebagaimana diperuntukkan selainnya oleh Perlembagan ini, tetapi Yang
51
www.malaysianmonarchy.org.my/portal_fungsi, diakses pada tanggal 25 Januari
2009 pukul 19.30 WIB
di-Pertuan Agong adalah berhak, atas permintaannya, mendapat apa-apa
maklumat mengenai pemerintahan Persekutuan yang boleh didapati oleh
Jemaah Menteri.
(1a) Pada menjalankan fungsi-fungsinya di bawah Perlembagaan ini atau
undang-undang persekutuan, jika Yang di-Pertuan Agong
dikehendaki bertindak mengikut nasihat, atas nasihat, atau selepas
menimbangkan nasihat, Yang di-Pertuan Agong hendaklah
menerima dan bertindak mengikut nasihat itu.
(2) Yang di-Pertuan Agong boleh bertindak menurut budi bicaranya pada
melaksanakan tugas-tugas yang berikut iaitu:
a) melantik seorang Perdana Menteri;
b) tidak mempersetujui permintaan membubar Parlimen;
c) meminta supaya di adakan suatu mesyuarat Majlis Raja-Raja yang
semata-mata mengenai keistimewaan, kedudukan, kemuliaan dan
kebesaran Duli-Duli Yang Maha Mulia Raja-Raja dan mengambil apaapa tindakan dalam mesyuarat itu, dan dalam apa-apa hal lain yang
tersebut dalam Perlembagaan ini.
(3) Undang-undang Persekutuan boleh membuat peruntukan bagi
mengkehendaki Yang di-Pertuan Agong bertindak pada menjalankan
tugas-tugas yang lain daripada yang berikut, selepas berunding dengan
atau atas syor mana-mana orang atau kumpulan orang yang lain daripada
Jemaah Menteri:
a) tugas-tugas yang boleh dijalankan menurut budi bicaranya;
b) tugas-tugas lain jika untuk menjalankannya peruntukan ada dibuat
dalam mana-mana Perkara lain.
Badan eksekutif adalah satu dari tiga badan kerajaan. Kepentingan
lembaga terletak kepada pemegangnya. Di dalam sistem demokrasi berparlemen
dan Raja Berperlembagaan, Yang di-Pertuan Agong adalah lambang perpaduan
dan kedaulatan negara. Sesungguhnya Perlembagaan Persekutuan (konstitusi)
meletakkan baginda di atas Pemerintahan Negara, manakala kuasa kerajaan
terletak pada tangan seorang Perdana Menteri merupakan Ketua Kerajaan.
Seorang Perdana Menteri memainkan berbagai peranan, Baik di dalam
maupun di luar kerajaan. Di dalam perlembagaan telah dijelaskan bahwa
kewenangan eksekutif, ialah kewenangan untuk memerintah, berdasarkan Pasal
39 Perlembagaan Malaysia kepada Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agung,
tetapi dijalankan oleh Jemaah Menteri yang diketuai oleh Perdana Menteri. Tugas
Jemaah Menteri adalah bertanggungjawab kepada Seri Paduka Baginda Yang diPertuan Agong. Setiap tindakan Eksekutif Kerajaan Persekutuan adalah
disampaikan daripada kuasa Diraja, Baik secara langsung atau tidak langsung.
Oleh itu Perdana Menteri mempunyai Kuasa Eksekutif kerana kuasa itu telah
diserahkan oleh Yang di-Pertuan Agong kepada Perdana Menteri tetapi
kewenangnan asalnya adalah dari Yang di-Pertuan Agong itu sendiri. Yang diPertuan Agong sebagai Ketua Utama negara mengetuai tiga embaga kerajaan.
Pemerintahan kuasa kerajaan kepada tiga lembaga utama dilakukan supaya kuasa
itu tidak berlaku kepada mana-mana pihak. Inilah yang dimaksudkan "Doktrin
Pemisahan Kuasa". Ide ini dicetuskan oleh Motesquieu, ahli filsafat politik dan
undang-undang Perancis pada abad 18. Doktrin Pemisahan Kekuasaan ini
bertujuan supaya kekuasaan negara tidak dimiliki secara mutlak oleh suatu pihak
dan mudah pula di salah gunakan.
BAB 1V
TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP MAJELIS
RAJA-RAJA MENURUT PERLEMBAGAAN PERSEKUTUAN MALAYSIA
A. Islam dan Negara Kerajaan dalam Kajian Ketatanegaraan Islam
Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang
hubungan antara Islam dan Ketatanegaraan. Ada yang mengatakan bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dengan pengertian Barat, yakni hanya menyangkut
hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang
sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan
manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya
berpendirian bahwa:
1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula
antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam
bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan
Islam. Dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan
Barat.
2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat al-Khulafa alRasyidin.
Terdapat juga sebagian umat Islam daripada kalangan orang yang
terpengaruh dengan pemikiran Barat menolak bahwa dalam Islam ada kenegaraan
atau ia datang hanya untuk memerintah satu umat saja dan hanya mengatur
hubungan antara semua manusia, dan menyangka bahwa agama hanyalah sekadar
hubungan antara manusia dengan Tuhan dan agama tidak harus mencampuri
urusan sosial, politik dan kehakiman.
Sebenarnya agama Islam sangat berhubungan dengan negara, mengatur
umat dan urusan-urusan ekonomi, sosial dan sebagainya. Islam yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yaitu satu agama yang
mempunyai kesempurnaan dan mencakup seluruh urusan kehidupan. 52 Firman
Allah SWT:
-rS
WK D!☺sH
(VX
-rSX=D(t
WK;☺I1†H
-rSI$[
?-rS
WK7‡3
^u!☺'O
(3 :5/‫ )اة‬g $$[ a-=DGK"
Artinya: “Pada hari ini aku telah sempurnakan bagimu agama kamu dan Aku
telah lengkapkan ke atas kamu nikmat-Ku dan Aku telah reda Islam itu
bagi kamu sebagai agam”. (QS: al-Maidah/5: 3)
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik masyarakat yang
mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat itu.
Dengan adanya negara yang merupakan organisasi dalam sesuatu wilayah dapat
memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan
lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Oleh sebab
itu, orang Islam mengambil berat mengenai negara Islam menyebabkan mereka
memberi bai’ah kepada khalifah baru sebelum Rasulullah SAW. dikebumikan,
52
Khalid Ali Muhammad Al-Anbariy, Sistem Politik Islam, (Digipress sdn., 2008), h.10.
dan seterusnya di mana proses pemerintahan Islam tetap dijalankan seperti yang
dilakukan sewaktu pemerintahan Rasulullah SAW, meskipun terdapat sedikit
perubahan setelah melalui pemerintahan Muawiyah yang dinamakan sistem
putera mahkota.53
B. Persamaan Konsep Pemerintahan Islam dan Negara Malaysia
Pemerintahan Islam yaitu pemerintahan yang dilaksanakan menurut
prinsip ajaran Islam. Ini tidak bermakna bahwa pemerintahan Islam itu bersifat
teokratik mutlak sebagaimana yang didakwakan oleh sebagian pihak atau seperti
yang pernah muncul dalam agama-agama lain. Oleh karena itu ajaran agama lain
itu lebih tertumpu kepada aspek-aspek tertentu seperti ajaran moral, maka
keadaan demikian memberi ruang kepada pemerintah dan pemimpin kalangan
tersebut menguatkan kekuasaan pemerintahan menurut keinginan mereka sendiri.
Oleh karena itu ajaran agama mereka tidak bersifat menyeluruh, membolehkan
pemimpin mereka mengklaim bahwa apa yang mereka perintahkan adalah
perintah agama yang mesti dipatuhi. Dari sudut lain kita lihat bahwa pelaksanaan
Pemerintahan Islam adalah lebih luas karena ia dilaksanakan oleh semua manusia,
bukan kepada beberapa individu atau kumpulan ahli-ahli agama saja.
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi seperti yang diungkapkan
oleh Quran dalam surah al-Baqarah, ayat 30 yang berbunyi:
53
Ibid.
@‰Š)3
(ˆk
9E
:?k! <I‹E \Sƒ„=D!☺ D
(30 :2/‫ … )اة‬F\⌧1XD!a Œ345
<x
Artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi…” (QS: alBaqarah/2: 30)
Ini bermakna bahwa Allah ingin supaya semua hukum dan perintahnya di
alam ini dilaksanakan oleh manusia. Maka pelaksanaan ibadat dan pemerintahan
Allah (yang menjadi inti pati ajaran Islam) memerlukan peranan dan sumbangan
manusia secara keseluruhan bagi melaksanakannya karena mereka adalah
khalifah Allah yang memang diutus untuk tujuan tersebut.
Dari sudut pandang dalam konsep pemerintahan, konsep Kerajaan
Malaysia
adalah
selaras
dan
sejalan
dengan
konsep
khalifah
dalam
Ketatanegaraan Islam. Ia juga memiliki persamaan jelas menunjukkan bahwa di
Malaysia ada mengamalkan sistem pemerintahan berlandaskan syariat Islam,
diantaranya:
1) Musyawarah
Pemerintahan
di
Malaysia
berasaskan
sistem
musyawarah,
pemuafakatan dan konsultasi. Dasar dan polisi negara diputuskan dalam
musyawarah berbagai peringkat, sama ada di peringkat Kabinet ataupun di
peringkat Parlemen atau di peringkat Dewan Undangan Negeri. Anggota yang
dipilih menjadi wakil setiap tingkat itu dipilih oleh rakyat secara bebas
melalui sistem pemilihan umum. Mereka terdiri dari beberapa golongan
seperti ulama, ahli ekonomi, ahli sains, ahli sains sosial dan ahli dari bidang
professional lain seperti kesehatan dan lain-lain. Dalam Mejelis Raja-Raja
juga mereka bermusyawarah, berdiskusi dan membuat keputusan secara
bersama bagi menentukan dasar dan polisi yang terbaik bagi Malaysia untuk
kebajikan serta kebaikan semua rakyat yang terdiri dari berbagai kaum,
kepercayaan agama dan budaya. Kejayaan meletakkan Islam sebagai agama
Persekutuan (konstitusi) dalam Perlembagaan Malaysia adalah hasil daripada
musyawarah dan pemuafakatan semua kaum pada peringkat awal kemerdekaan negara dahulu. Oleh karena itu, pendekatan dan nilai yang dibawa oleh
Islam dalam bentuk yang ada dapat diterima oleh semua dan tentunya kerana
nilai dan pendekatan tersebut bersifat menyeluruh.
2) Keadilan
Berkeadilan dalam semua perkara dan urusan adalah tuntutan dalam
Islam. Ciri keadilan inilah yang membedakan antara agama Islam dengan
agama lain yang mengutamakan kesejahteraan di dalam agama. Dalam
ketatanegaraan Islam juga ada disebutkan tentang keadilan, di mana keadilan
itu seperti keadilan untuk berpolitik dan hak asasi manusia. Seperti yang
disebutkan secara jelas oleh Al-Quran yang berbunyi:
Z
?$(Q
r (xk2
\}@._„([
7YE) (xBQk Z
Ors
<=(?

r
!.\}WŽ
jx!.
H -rS7W1OH
rS([
hE
g
(xB)(k45
b
FeE
H
‘X$⌧’
Z
?',Ž4 ⌧ Z !☺}“ g<=*H
g
Z
r.'
hH
NI” i
Z
W‡m'' H Z
1cJ D hE
!☺)
(hk⌧s
2
#h•
(135 :4/‫
)ا ء‬Fe8!a (h'D!☺'
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi
orang-orang yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi
(yang menerangkan kebenaran) kerana Allah, sekalipun terhadap
diri kamu sendiri, atau ibu bapa dan kaum kerabat kamu”. (QS: alNisa’/4: 135).
Al-Quran menjelaskan bahwa seharusnya menjadi kewajiban kepada
siapa yang diberikan kekuasaan oleh Allah memerintah hamba-hamba-Nya
dan mengurus sebagian dari bumi-Nya, untuk menjadikan keadilan sebagai
asas pegangannya karena ia membawa pada kemakmuran Negara. Dalam
proses pemerintahan Malaysia ciri keadilan dapat dilihat dalam semua aspek,
bukan hanya terbatas pada aspek perundangan tetapi mencakupi keadilan lain
seperti pendidikan, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan.
Penerapan nilai keadilan yang diterapkan di Malaysia memiliki persamaan
dalam ketatanegaraan Islam seperti keadilan berpolitik, di mana tujuan politik
adalah untuk merealisasikan keadilan dengan seluas-luasnya. Oleh sebab itu,
raja sebagai kepala Negara bertanggungjawab untuk memberi keadilan untuk
rakyatnya terutama orang Melayu karena pada waktu yang lalu orang Melayu
pernah ditindas oleh penjajah. Maka Raja Melayu pada saat itu sebagai wakil
dari orang Melayu bersuara untuk mengambil hak mereka supaya bebas dari
jajahan. Berbagai usaha dilakukan oleh Raja Melayu pada waktu itu untuk
menegakkan keadilan orang Melayu supaya memastikan keadilan itu
terlaksana.
3) Persamaan
Islam meletakkan asas yang kokoh tentang prinsip persamaan seperti
persamaan dalam hukum dan persamaan dari segi hak-hak yang lain.
Persamaan yang diajarkan oleh Islam menggantikan perbuatan masyarakat
terdahulu sebelum Islam yang menjadikan warna kulit atau keturunan sebagai
keutamaan dan kelebihan. Di Malaysia segala urusan berjalan menurut dasar
persamaan yang sejajar dengan ajaran Islam. Keturunan dan warna kulit
bukan menjadi asas utama dalam melaksanakan pemerintahan negara.
Semuanya berasaskan kepada kelayakan akademik, kemahiran, kemampuan,
kepemimpinan, bakat, keterampilan dan penerimaan masyarakat terhadap
seseorang. Walaupun di Malaysia mempunyai keturunan yang lebih berdaulat
(raja) akan tetapi keistimewaan pada raja ini sebenarnya terletak pada
tugasnya sebagai ketua Negara. Al-Quran mengajarkan umat manusia untuk
mematuhi kepala Negara selagi mana kepala Negara itu tidak melanggar batas
syariat Islam. Orang-orang Islam semuanya adalah sama dan yang hanya yang
membedakan antara mereka ialah perkara-perkara yang berkaitan dengan
agama seperti taat kepada Allah dan RasulNya. Oleh sebab itu, sejak dulu lagi
raja tidak mempunyai persamaan dengan rakyat biasa karena perbedaan
keturunan raja itu lebih tinggi berbanding rakya biasa.
C. Perbedaan Konsep Pemerintahan Islam dan Negara Malaysia
Pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT sebenarnya akan membawa
kebaikan kepada masyarakat manusia di Malaysia, ini yang terdiri atas berbagaibagai bangsa dan kaum agama. Karena hukum-hukum itu mengandung jaminan
keadilan, kebenaran dan pemeliharaan hak masing-masing. Yang dapat
menimbulkan keadaan juga membawa kepada sesuatu hasil yang negatif dari
pelaksanaan hukum-hukum Allah ialah kecurigaan dan kesanksian orang-orang
bukan Islam terhadap Islam itu. Mereka mungkin mengambil langkah-langkah
yang tidak benar jika hukum-hukum Islam dilaksanakan.
Pemerintahan
di
Malaysia
memiliki
persamaan
dengan
sistem
pemerintahan Islam. Ini telah sebutkan oleh penulis bahwa ciri persamaan
tersebut
diantaranya
musyawarah,
keadilan,
persamaan
dan
juga
cara
pengangkatan kepala negara. Adapun terdapat perbedaan di mana di Malaysia
tidak menjalankan pelaksanaan hudud. Tetapi, tindakan kriminal tersebut
mengacu pada hukum ta’zir yaitu hukuman yang berdasarkan keputusan
pemerintah dan hukum tersebut di bawah undang-undang Mahkamah Syariah
manakala kaum bukan Islam sanksi di hukum berdasarkan undang-undang di
bawah Mahkamah Sivil yaitu undang-undang yang telah ditetapkan oleh penjajah
dahulu. Tidak seperti yang dilaksanakan oleh negara Islam yang lain seperti
negara Arab karena menegakkan konsep pemerintahan Islam yaitu hudud. Walau
bagai manapun, apa yang diterapkan di Malaysia sudahlah mencakupi konsep
pemerintahan yang Islam ajarkan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan dan menjelaskan mengenai nilai-nilai ketatanegaraan
Islam dalam Majelis Raja-Raja di Malaysia, maka pada akhir uraian penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan tema tersebut:
1. Secara
umum
dalam
ketatanegaraan
Malaysia
terdapat
nilai-nilai
ketatanegaraan Islam, hal ini dapat dilihat dalam perlantikan ke jabatan
kepemimpinan dalam warisan tamadun Islam kepada Yang di-Pertuan Agong
sebagai ketua Negara dalam Sistem Raja Berpelembagaan dan perlantikan
Perdana Menteri sebagai ketua kerajaan. Dimana perlantikan ke jawatan
pemimpin mengikut kaedah demokrasi seperti yang di amalkan di negara ini,
lebih dekat kepada sistem musyawarah seperti yang dikehendaki dalam Islam.
Ia adalah lebih kepada musyawarah daripada kaedah istikhlaf dan istila’.
Walaupun kaedah perlantikan oleh para sahabat Nabi SAW tetapi tidak
bertentangan dengan prinsip Islam.
2. Malaysia
adalah
sebuah
negara
yang
mengamalkan
sistem
Raja
Berpelembagaan. Konsep Raja Berpelembagaan ini telah banyak dibahas
tetapi jarang di bicarakan. Kefahaman rakyat terhadap Raja Berpelembagaan
adalah samar sekali. Ada yang menanggapi bahwa Raja-Raja Melayu sebagai
kuasa yang tertinggi sehingga membahas kedudukan Raja-Raja di khuatiri
akan menyalahi undang-undang. Ada juga yang berfikir bahwa peranan RajaRaja hanyalah sebagai satu simbol untuk keraian semata-mata. Sesungguhnya
Kedudukan Raja-Raja Melayu di Malaysia ini berbeda dengan raja di England
dan berbeda pula dengan kedudukan raja di Saudi Arabia atau Brunei. Raja di
England (Queen) adalah seratus peratus berbentuk ceremonial, tidak
berperanan langsung dari segi eksekutif dan hanya bertindak di atas nasehat
Perdana Menteri. Raja di Arab Saudi pula memiliki seratus peratus kuasa
eksekutif, kuasa mutlak dan tidak boleh dipersoalkan langsung. Tetapi di
Malaysia, Raja Melayu berkedudukan simbolik didalam perkara-perkara
tertentu dan mempunyai kuasa tertentu yang ditetapkan oleh Perlembagaan.
Raja Berpelembagaan di Malaysia adalah satu institusi yang menjalankan
tugas serta mengambil tindakan di atas nasehat Perdana Menteri (Menteri
Besar untuk Menteri). Raja juga mempunyai kuasa tersendiri mengikut
peruntukan Perlembagaan.
3. Dalam hal pengangkatan pemimpin kepala Negara di Malaysia yang
menjalankan sistem kenegaraannya menganut monarki konstitusional, raja
sebagai kepala Kegara adalah payung kepada rakyat, dan kemudian untuk
menjalankan pemerintahan dilaksanakan oleh Perdana Menteri sebagai kepala
pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini dapat dilihat
dalam Ketatanegaraan Islam terutama yang dilaksanakan oleh khulafaur
rasyidun, di mana mereka di angkat menjadi khalifah atau kepala negara
dengan menggunakan jalan pemilihan mulai dari khalifah Abu Bakar AsSiddiq r.a, Umar bin Khattab r.a, Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi
Thalib r.a.
B. Saran-saran
Sedikit
banyaknya terdapat
kekurangan dalam sistem raja dan
perlembagaan menurut penulis. Di bawah ini merupakan suara hati yang ikhlas
dari penulis sebagai salah satu warga negara untuk negara Malaysia lebih
berdaulat. Disini terdapat sedikit banyaknya saran-saran yang ikhlas dari penulis
diantaranya adalah.
1) Raja-raja dan sultan-sultan hendaklah menjaga wibawa serta kekuasaanya.
Supaya yang pernah terjadi di zaman penjajahan British, di mana kala itu rajaraja dan sultan-sultan hampir kehilangan kuasanya tidak terulang kembali.
2) Raja haruslah lebih dekat kepada rakyat dan memperhatikan rakyat secara
saksama. Ini karena raja hanya mengetahui rakyatnya melalui perlembagan
saja. Dan mengakibatkan rakyatnya tidak memahami tentang fungsi raja
tersebut.
3) Raja dan perlembagaannya termasuklah bidang eksekutif, dewan negara serta
dewan rakyat dalam membuat keputusan dan undang-undang hendaklah adil.
Karena terdapat tiga kaum mayoritas yang berbeda yaitu Melayu, Cina dan
India. Setiap kaum tersebut mempunyai pendapat dan keinginan tersendiri.
Jadi, raja dan perlembagaanya haruslah adil dan tidak melihat kaum manapun.
Ini menghindari dari perpecahan antara kaum.
4) Untuk kaum Melayu yang mendapat hak keistimewaan semasa kemerdekaan
sehingga
sekarang
hendaklah
jangan
berlebihan.
Ini
karena
dapat
menimbulkan kecemburuan dari kaum lain yang akan mengarah kepada
perpecahan kaum. Jadi kaum Melayu hendaklah bersikap tolenransi kepada
kaum mayoritas lain.
5) Raja dan perlembagaan serta rakyat Malaysia haruslah bersatu padu dan
bermusyawarah. supaya keharmonisan dan kesejahteranan serta kedaulatan
Negara Malaysia tetap terjaga.
Walaupun terdapat sedikit banyaknya kekurangan dalam sistem raja dan
perlembagaan di Malaysia, Penulis menghargai dan berterima kasih seikhlasihlasnya
kepada
raja
dan
perlembagaanya.
Karena
keharmonisan
dan
kemakmuran yang di rasakan oleh penulis sendiri, selama menjadi bagian dari
masyarakat Malaysia sangat terkesan. Penulis juga menghormati komitmen
individu-individu yang berada di dalam perlembagaan negara dan telah berusaha
keras untuk mensejahterakan rakyat di Malaysia.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Mohd Salleh, Tun. Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia,
Ampang/ Hulu Kelang Selangor: Darul Ehsan; Dawama Sdn. Bhd; 2006.
Abdul Khaliq, Farid. Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005.
Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Dr. Fiqh Siyasah (Menurut Imam Syahid Hasan
Al-Banna), Kuala Lumpur; Pustaka Syuhada, Cet. I, 2000.
Abdurrahman, A, Said ‘Aqil Humam. Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen),
Bogor: Al-Azhar Press, Cet. Pertama, 1997.
Al-Aqqad, Mahmud Abbas. Kejeniusan Utsman Bin Affan, Jakarta: Pustaka Azzam,
2002.
Al-Maududi, Abu A’la. Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam, Bandung:
Mizan, 1990.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibnu Muhammad. Al-Ahkam As-Sultaniyah, Beirut: Dar
Al Fikir, 1960.
Al-Mubarok, M; Harianto, Firman (pent). Sistem Pemerintahan dalam Persfektif
Islam, Solo: Pustaka Mantiq, 1995.
An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik),
Bangil Jatim: Al-Izzah, Cet. Pertama, 1997.
Awang, Abdul Hadi. Sistem Pemerintahan Negara Islam, Pulau Pinang: Dewan
Muslimat Sdn. Bhd. 1995.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an Karim dan Terjemahnya,
Bandung; PT. Syamil Cipta Media, 2006.
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara, Jakarta: Paramadina, 1998.
HR, Ridwan. Fiqih Politik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta, FH UII
Press, Cet. Pertama, 2007.
Ismail, Yahya. Hubungan Penguasa dan Rakyat (Dalam Persfektif Sunnah), Jakarta:
Gema Insani Press, Cet. Pertama, 1995.
Ka’bah, Rifyal. Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Khairul Bayan, 2005.
Khaldun, Ibn; Thoha, Ahmadie (pent). Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus; Cet.
VII, 2008.
Laws Of Malaysia. Akta Pilihan Raya 1958 (Akta 19), Kuala Lumpur: Percetakan
Nasional Malaysia Berhad, 2004.
Laws Of Malaysia. Peraturan-peraturan Pilihan Raya (Penjalanan Pilihan Raya)
1981 P.U (a) 386/ 1981. Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia
Berhad, 2004.
Pulungan, Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah (Ditinjau
dari Pandangan Al-Qur’an), Jakarta: Raja Grafindo, Cet. Pertama, 1994.
Qardhawi, Yusuf, Dr. Fatwa-fatwa Kontemporer (Penterjemah Drs. As’ad Yasin)
(jilid II), Jakarta: Gema Insani Press), 1998.
Rais, M.Dhiauddin, Dr. Teori Politik Islam, Terjemahan dari buku An-Nizhariyatu
As-Siyasatu Islamah (Abdul Hayyie Al-Katani), Jakarta: Gema Insani Press,
2001.
Salim, Abdul Muin. Fikih Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Shiddieqy Ash, Muhammad Hasbi. Ilmu Kenegaraan dalam Fikih Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1971.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1996.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), Jakarta:
UI Press, 1993.
Suruhanjaya Pilihan Raya. Buku Panduan (Ejen Tempat Mengundi dan Ejen
Mengira), 2003.
Website
www.islam.gov.my/e-rujukan/nislam 07/01/2009
www.malaysianmonarchy.org.my/portal_fungsi 02/10/2008
http://bhariwibowo.blogspot.com/2006/12/islam-dan-pembangunan-hukumnasional.html - ftn3 14/10/2008
http://bhariwibowo.blogspot.com/2006/12/islam-dan-pembangunan-hukumnasional.html - ftn3 27/12/2008
LAMPIRAN I
Raja-Raja Melayu di Negeri-Negeri Bagian.
Berikut ini penulis sebutkan raja-raja yang mewakili Negeri-Negeri Bagian
yaitu di antaranya:
1. Sultan Abdul Halim Muazzam Shah Ibni Almarhum Sultan Badli Shah (Kedah).
2. Sultan Haji Ahmad Shah Al-Musta’in Billah Ibni Almarhum Sultan Abu Bakar
Riayatuddin Al-Mua’zzam Shah (Pahang ).
3. Sultan Sharafuddin Idris Shah Ibni Al-Marhum Sultan Salahuddin Abdul Aziz
Shah (Selangor).
4. Sultan Azlan Muhibbudin Shah (Perak).
5. Al-Sultan Ismail Petra Ibni Al-Marhum (Kelantan).
6. Raja Syed Sirajuddin Billah ibni Al-Marhum Jamalulllail (Perlis).
7. Sultan Al-Wathiqu Tuaanku Mizan Zainal Abidin Ibni Al-Marhum Sultan
Mahmud Al-Muktafi Billah Shah (Terengganu).
8. Sultan Iskandar Ibni Al-Marhum Sultan Ismail Petra (Johor).
9. Tuan Yang Terhormat Abdurrahman Abbas (Pulau Pinang).
10. Tuan Yang Terhormat Dato’ Asnan Rafiq (Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur).
11. Tuan Yang Terhormat Khalil Ya’kob (Melaka).
12. Yang Besar Tengku Besar Seri Menanti Tengku Mukhriz (Negeri Sembilan).
13. Tuan Yang Terhormat Abang Ahmad Sallehuddin Abang Dareng (Sarawak).
14. Tuan Yang Terhormat Dato’ Musa Aman (Sabah).
LAMPIRAN II
STRUKTUR PERLEMBAGAAN MAJELIS RAJA-RAJA
YANG DI-PERTUAN
AGONG
SULTAN-SULTAN
TUAN YANG
TERHORMAT
(GUBERNUR)
MENTERI BESAR/
KETUA MENTERI
(PENASEHAT
PERDANA MENTERI
(PENASEHAT)
Download