SKRIPSI JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN MILITER NATO TERHADAP LIBYA VERONIKA PUTERI KANGAGUNG NIM. 0803005123 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN MILITER NATO TERHADAP LIBYA Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. VERONIKA PUTERI KANGAGUNG NIM. 0803005123 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii iii SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 6 Agustus 2015 Panitia Penguji Skripsi Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 313/UN14.1.11.1/PP.05.02/2015 Tanggal 23 Juli 2015 Ketua : Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.,M.Hum ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) NIP.196112241988031001 Sekretaris : A.A. Sri Utari, SH.,MH NIP.197702172001122001 Anggota : 1. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH,.H.Hum NIP.195803211986021001 : 2. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH.,MH NIP.197305281998021001 : 3. I Gede Putra Ariana, SH.,M.Kn NIP.197807042008011009 iv v KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN MILITER NATO TERHADAP LIBYA”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penyusunan karya tulis ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, yaitu kepada: 1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana SH,.MH., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana. 3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana. 4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana. v vi 5. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana. 6. Bapak I Gede Putra Ariana, SH.,M.Kn., Sekretaris Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana. 7. Bapak Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.,M.Hum., selaku dosen pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini. 8. Ibu A.A. Sri Utari, SH.,Mh., selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tugas akhir ini. 9. Bapak I Made Budi Arsika SH.,L.LM., selaku dosen yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini. 10. Bapak I Ketut Sudjana, S.H.,M.H., Pembimbing Akademik, atas pengarahan pengambilan mata kuliah guna menyelesaikan studi kuliah penulis. 11. Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayan yang telah banyak memberikan ilmu serta wawasan yang lebih kepada penulis. 12. Orang tua penulis Kartika Winatha (alm.) dan Yulia Susanty, serta adik-adik saya yang selalu mendukung dengan perhatian, semangat, dan doa. vii 13. Sahabat penulis Sheryl, Suri, Odilia, Sanie, Haniffa, Nurhayati, terimakasih untuk semua bantuan, semangat dan doa selama penyusunan tugas akhir ini. 14. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sehingga akan menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membutuhkannya. Denpasar, Juni 2015 Penulis viii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Dengan ini penulis menyatakan bahwa, Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu pada naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku. Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga. Denpasar, Yang menyatakan, (Veronika Puteri Kangagung) 0803005123 ix DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ........................... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................... HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI .................. KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii iv v HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ..................................... viii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 7 1.3. Ruang Lingkup Masalah ............................................................ 8 1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................... 9 a. Tujuan Umum .......................................................................... 9 b. Tujuan Khusus ......................................................................... 9 1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9 a. Manfaat Teoritis ....................................................................... 9 b. Manfaat Praktis ........................................................................ 10 1.6. Landasan Teoritis ...................................................................... 10 1.7. Metode Penelitian ..................................................................... 18 a. Jenis Penelitian ......................................................................... 18 b. Jenis Pendekatan ...................................................................... 18 c. Sumber Bahan Hukum ............................................................. 20 d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ....................................... 21 e. Teknik Analisa Bahan Hukum ................................................. 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NATO .......................................... 23 2.1. Sejarah Lahirnya NATO ........................................................... 23 2.1.1. Pengaruh Perang Dingin ................................................. 23 2.1.2. Tujuan Pendirian NATO ................................................. 26 x 2.1.3. Ruang Lingkup dan Asas-Asas NATO ........................... 29 2.1.4. Perkembangan Terakhir NATO ...................................... 32 2.2. NATO sebagai Organisasi Internasional ................................... 35 2.2.1. Hubungan antara Kedudukan, Fungsi dan Kewenangan NATO .............................................................................. 35 2.2.2. Kekhasan NATO sebagai Organisasi Internasional ........ 40 2.2.3. Kedudukan, Fungsi dan Kekuasaan NATO .................... 43 2.2.4. Misi-Misi Perdamaian NATO ......................................... 47 BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SERANGAN NATO TERHDAP LIBYA ......................................................................................... 49 3.1. Tinjauan Umum terhadap Libya di bawah Pemerintahan Moammar Gaddafi ..................................................................................... 49 3.1.1. Sejarah Pemerintahan Moammar Gaddafi di Libya ........ 49 3.1.2. Perlawanan Kelompok Oposisis terhadap Pemerintahan Moammar Gaddafi .................................................................... 52 3.1.3. Kualifikasi Konflik Bersenjata di Libya Dalam Perspektif Hukum Internasional ................................................................. 59 3.2. Keabsahan Serangan NATO terhadap Libya ............................ 3.2.1. Perspektif Hukum Internasional Umum ......................... 3.2.2. Perspektif Hukum Humaniter ......................................... BAB IV BATAS ALASAN PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL SEBAGAI PEMBENARAN DALAM SERANGAN NATO TERHADAP LIBYA ....... 73 4.1. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Hukum Internasional ...... 73 4.1.1. Ketertiban Umum dalam Hukum Internasional dalam Kaitannya dengan Perlindungan Penduduk Sipil ..................... 73 4.1.2. Beberapa Pengaturan Khusus .......................................... 75 a. Hukum Hak Asasi Manusia ................................................... 75 b. Hukum Humaniter ................................................................. 76 4.2. Praktik Penegakan Ketentuan tentang Perlindungan Penduduk Sipil .......................................................................... 80 4.2.1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad ’Hoc ........................ 80 xi 4.2.2. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) ........................... 83 4.3. Analisis Penggunaan Alasan Perlindungan Penduduk Sipil dalam Serangan NATO terhadap Libya .............................................. 85 4.3.1. Konsep Perlindungan Penduduk Sipil ............................. 85 4.3.2. Doktrin Responsibility To Protect .................................. 90 4.3.3. Tinjauan Komperhensif ................................................... 94 BAB V PENUTUP........................................................................................... 97 5.1. Kesimpulan ................................................................................ 97 5.2. Saran........................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 99 LAMPIRAN ..................................................................................................... 104 ABSTRAK ...................................................................................................... xii xii JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN MILITER NATO TERHADAP LIBYA ABSTRAK Seiring perubahan jaman dunia selalu berkembang, demikian pula dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Salah satu isu internasional yang terjadi adalah ketika pada tahun 2011 terjadi pemberontakan di Libya. Timbulnya pemberontakan ini kemudian menimbulkan banyaknya korban sipil dan membuat prihatin dunia internasional. Organisasi-organisasi internasional kemudian turut berperan dengan konsep melindungi warga sipil Libya dan salah satu diantaranya ialah NATO. Serangan yang dilakukan oleh NATO terhadap Libya kemudian mengakibatkan jatuhnya korban sipil. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas serangan tersebut beserta batasan pemakaian alasan perlindungan penduduk sipil dapat dibenarkan.Tulisan skripsi ini memakai metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Dasar yang dipakai dalam penulisan skripsi ini ialah Hukum Internasional, Hukum Humaniter Internasional, serta instrumen-instrumen hukum internasional seperti Resolusi Dewan Keamanan PBB 1970 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 serta Kovensi Deen Haag, Kovensi Jenewa, Statuta Roma dan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian skripsi ini, NATO dapat dibenarkan dalam melakukan serangannya terhadap Libya. Dasar pembenaran ini ialah konsep ‘perlindungan penduduk sipil’ yang tertuang dalam Resolusi DK PBB 1970 dan 1973, khususnya dalam paragraf 4 (Res.DK PBB 1973). Kata Kunci : NATO, Hukum Internasional, Hukum Humaniter, Kovensi Deen Haag, Kovensi Jenewa, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1970, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973. xiii JUSTIFICATION OF CIVILIANS PROTECTION IN NATO MILITARY ATTACK ON LIBYA ABSTRACT As the world changes and evolving, so as the problems that occured. One international issue that happen is when a rebellion in 2011 occurred in Libya. This then led to an uprising by the number of civilian casualties and create international concern. International organizations then contribute to the concept of protecting Libyan civilians and NATO is one of them. Attacks carried out by NATO against Libya later resulted in civilian casualties. This then raises the question of the legality of such attacks and their usage limit civilian protection reasons can be used. This paper’ll used normative legal research methods to approach legislation and case approach. The basis used in this thesis is International Law, International Humanitarian Law, as well as legal instruments such as the UN Security Council Resolution 1970 and UN Security Council Resolution 1973 as well as Deen Haag Convention, the Geneva Conventions, the Rome Statute and other. Based on the results of this thesis, NATO can be justified in conducting attacks against Libya. The basic justification is that the concept of 'protection of civilians' as stated in UNSC Resolutions 1970 and 1973, particularly in paragraphs 4 (Res.DK UN 1973). Keywords: NATO, International Law, Humanitarian Law, Deen Haag Convention, the Geneva Conventions, the UN Security Council Resolution 1970, UN Security Council Resolution 1973. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Konflik di Libya merupakan akibat dari aksi protes masyarakat Libya yang menuntut pelaksanaan program bantuan pemerintah dan penanganan korupsi politik terhadap pemerintah Gaddafi. Aksi tersebut kemudian mendapat perlawanan dari pemerintahan Gaddafi yang merespon dengan tindakan kekerasan, seperti pemakaian ‘water canon’ dan senjata api kepada para demonstran. Tindakan tersebut ternyata berujung pada tewasnya ratusan orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah.1 Kejadian tersebut kemudian menjadi sorotan masyarakat internasional khususnya mengenai isu Hak Asasi Manusia (HAM). Sejumlah entitas internasional pun mendesak pemerintah Libya untuk menghentikan tindakantindakan yang pelanggaran berat HAM terhadap rakyatnya. Respon pemerintah Libya yang mengabaikan desakan tersebut memicu reaksi serius masyarakat internasional. Pada tanggal 30 Juli 2011, North Atlantic Treaty Organization (NATO) melakukan serangan udara terhadap kantor media pemerintah Libya yang kemudian menewaskan 3 orang pekerja media dan melukai 21 orang lainnya. Serangan tersebut merupakan salah satu contoh serangan-serangan yang telah 1 Disarikan dari Aljazeera.com, URL: http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/02/201122171649677912.html diakses terakhir pada tanggal 6 Mei 2015. 1 2 dilakukan NATO. Hingga tanggal 17 Agustus 2011, serangan militer NATO telah menewaskan 1.108 warga sipil dan melukai 4.537 orang lainnya.2 Menarik untuk dicermati bahwasanya serangan militer NATO ke Libya ternyata didasarkan atas alasan untuk perlindungan penduduk sipil, sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam pernyataan Sekretaris NATO.3 Adapun salah satu justifikasi yang digunakan oleh NATO ialah Resolusi Nomor 1973 yang diadopsi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 17 Maret 2011 yang berbunyi sebagai berikut: “Calls upon all Member States, acting nationally or through regional organizations or arrangements, to provide assistance, including any necessary over flight approvals, for the purposes of implementing paragraphs 4, 6, 7 and 8 above”4 Dapat diartikan, bahwa yang dimaksud dari paragraf 4 dalam resolusi tersebut ialah memberikan otorisasi kepada negara-negara yang telah diberi wewenang untuk bertindak secara unilateral atau melalui organisasi internasional untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi warga sipil dan penduduk sipil dari suatu ancaman serangan. Sementara paragraf 65 dan 76 merupakan ketentuan yang menjelaskan mengenai pelarangan terbang (konsep ‘No Fly Zone’) di daerah Jamahiriya Arab dengan pengecualian penerbangan- 2 CYBERSabili.com, URL: http://sabili.co.id/internasional/sudah-1-108-warga-libya-tewasdalam-serangan-nato, diakses terakhir tanggal 6 Mei 2015. 3 Secretary General’s video blog, URL: http://andersfogh.info/2011/06/22/nato-protectingcivilians-in-libya, diakses tanggal 22 Mei 2015. 4 Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1973 (2011), Par 9. 5 Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES1973 (2011), Par.6 6 Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES1973 (2011), Par.7 3 penerbangan yang dilakukan dengan alasan kemanusiaan. Kemudian, paragraf 87 berisi ketentuan yang menegaskan kepada seluruh anggota yang telah mengkonfirmasikan keanggotaanya kepada Sekretaris Jenderal PBB maupun Sekretaris Jenderal Liga Arab, untuk melakukan segala upaya tindakan yang diperlukan secara unilateral atau melalui organisasi internasional guna mendukung pelaksanaan ketentuan dalam paragraf 6 dan 7 di atas. Negara Libya pada tahun 1951 merupakan negara berbentuk kerajaan yang dipimpin oleh Raja Idris I. Pasca kudeta yang dipimpin oleh Muammar Gaddafi, Libya menjadi negara demokrasi yang menganut asas desentralisasi serta mempunyai dewan-dewan lokal yang akan menjalankan tugas-tugas pemerintahan sesuai dengan filosofi yang tertulis di dalam buku ciptaannya “The Green Book”.8 Namun pada kenyataannya, struktur pemerintahan tersebut hanyalah manipulasi politik yang dibuat oleh Gaddafi, dengan maksud untuk memastikan dominasi seluruh kekuasaan negara Libya tetap berada di tangannya. Seiring dengan kepemimpinannya, grafik keadaan ekonomi, politik dan bahkan kesehatan masyarakat mulai melemah cukup drastis. Diperkirakan sebanyak 20,74% warga Libya merupakan pengangguran, lebih dari 16% keluarga tidak memiliki penghasilan tetap, sementara 43% di antara mereka hanya memiliki satu anggota keluarga dengan penghasilan tetap. Selain itu, Tidak banyak pula pembangunan yang dilakukan oleh Gaddafi dalam 40 tahun terakhir, malah mengakibatkan banyaknya masalah-masalah sosial yang melanda warga Libya, termasuk di antaranya ialah masalah kesehatan, sehingga banyak dari 7 Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES1973 (2011), Par.8 Archive.org,URL:https://archive.org/details/TheGreenBook_848, diakses terakhir tanggal 6 Mei 2015. 8 4 masyarakat Libya terpaksa berobat ke negara-negara tetangga seperti Tunisia dan Mesir.9 Protes yang dilakukan warga Libya telah dimulai pada awal Januari 2011 hingga puncaknya terjadi pada bulan Maret 2011. Bentuk dari protes ini ialah berupa aksi demonstrasi warga yang merupakan oposisi pemerintah di berbagai kota di Libya, yaitu Tripoli, Tajoura, Zintan dan kota-kota lainnya. Mereka menuntut Gaddafi untuk turun dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama 42 tahun. Demonstrasi tersebut berujung pada konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dan pasukan oposisi yang memakan korban jiwa sebanyak 165 orang.10 Insiden tersebut kemudian menuai respon negatif dari masyarakat internasional yang menilai tindakan pemerintah Libya terhadap warganya merupakan tindakan yang menimbulkan ketidakpastian perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dari pemerintah Libya terhadap warganya. Konflik bersenjata antara pihak pemerintah dengan pihak oposisi di negara Libya kemudian menarik perhatian masyarakat internasional yang menilai konflik tersebut sebagai ancaman terhadap keselamatan penduduk sipil Libya. Guna merespon situasi tersebut, pada tanggal 26 Februari 2011, Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk mengadopsi Resolusi S/RES/1970 (2011)11 yang kemudian disusul dengan Resolusi S/RES/1973(2011) pada tanggal 17 Maret 2011. Salah satu isu penting termuat di dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 9 Bbc.co.uk, URL : http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-12532929, diakses terakhir 6 Mei 2015. 10 ANTARANEWS.com, URL: http://www.antaranews.com/berita/270884/pejabat-pbbsesalkan-serangan-nato-terhadap-tv-libya , diakses tanggal 18 Mei 2015. 11 Tentang embargo pasukan, larangan berpergian dan pembekuan asset yang berhubungan dengan situasi Arab Jamahiriya Libya. 5 S/RES/1973(2011)12 yang secara spesifik mencantumkan tentang no-fly zone di daerah sekitar Libya. Langkah ini diambil atas usulan pihak oposisi demi mencegah serangan udara yang dilakukan pasukan Gaddafi terhadap mereka.13 Keterlibatan NATO untuk menjalankan mandat Dewan Keamanan PBB, khususnya dalam konteks operasi militer, bukanlah sesuatu hal yang baru. Sejak terbentuk secara resmi pada tanggal 4 Maret 1949, organisasi ini ditujukan sebagai aliansi militer yang mengembangkan sistem pertahanan kolektif dan mutual terhadap serangan oleh pihak eksternal.14 Organisasi ini mendukung penyelesaian sengketa secara damai yang apabila tidak berhasil, dapat menggunakan kapasitas militer yang dibutuhkan untuk melaksanakan penyelesaian sengketa.15 Dalam pembukaan North Atlantic Treaty juga telah disebutkan NATO menegaskan kepercayaannya terhadap tujuan dan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam PBB.16 Sesuai dengan Pasal 1 North Atlantic Treaty bahwa NATO mempunyai wewenang dalam membantu menyelesaikan konflik internasional, baik dalam cara-cara damai dan juga penggunaan kekuatan sesuai dengan tujuan dari PBB sendiri.17 12 Tentang perlindungan warga sipil atas Hak Asasi Manusia. 13 Kompas.comURL : http://internasional.kompas.com/read/2011/03/18/11181543/Apa.Arti.Zona.Larangan.Terbang.Lib ya, diakses tanggal 10 Mei 2015. 14 Nato.int URL: http://www.nato.int/history/nato-history.html, diakses tanggal 6 mei 2015. 15 www.nato.int, URL : http://www.nato.int/cps/en/SID F90A25B4F402E863/natolive/what_is_nato.html, diakses tanggal 10 Mei 2015. 16 Opening statement of The North Atlantic Treaty (1949): … The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and all Governments… 17 North Atlantic Treaty (1949); Article 1 : ... The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle ... 6 Apabila kemampuan dan keterlibatan NATO dalam sejumlah operasi militer sebelumnya memang telah direncanakan dan diprediksi, maka dalam serangannya yang dilancarkan ke Libya kali ini tersirat suatu kejanggalan. NATO menjustifikasi bahwa serangan militer ke Libya yang dilakukannya adalah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil, akan tetapi faktanya justru NATO juga menargetkan serangannya kepada penduduk sipil dan obyek sipil. Sementara dalam kasus ini, NATO jelas-jelas telah melakukan serangan terhadap berbagai gedung ataupun kota yang tidak dipertahankan.18 Maka timbul sebuah pertanyaan, bukankah penyerangan tersebut telah melanggar ketentuan Konvensi IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, tepatnya seperti yang dinyatakan dalam Artikel 25 yaitu “The subject to attack or bombardment, by any means whatever, of undefended towns, villages, or buildings is forbidden.” Dapat diartikan bahwa penyerangan atau pemboman terhadap kota-kota, desa-desa, kampung-kampung atau gedung-gedung yang tidak dipertahankan adalah dilarang.19 Hal menarik yang muncul dalam kasus ini adalah timbulnya sebuah pertanyaan yaitu, dapatkah perlindungan terhadap penduduk sipil dijadikan justifikasi dari suatu serangan militer? Melihat permasalahan tersebut, penulis beranggapan bahwa perlu dilakukan kajian terhadap penggunaan kekuatan militer oleh NATO khususnya menyangkut legalitas dan justifikasi perlindungan penduduk sipil yang digunakan dalam melakukan serangan tersebut. Selain hal 18 PelitaOnline.com, URL : http://www.pelitaonline.com/read/politik/internasional/16/5536/serangan-nato-bunuh-85-wargasipil-di-libya/, diakses tanggal 19 Mei 2015. 19 J. Supoyo, 1996, Hukum Perang Udara dalam Humaniter, PT.Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 32. 7 tersebut penulis merasa permasalahan tersebut penting untuk ditulis, sebab sejauh ini hal mengenai peperangan belum diatur secara tegas dalam Piagam PBB.20 Perlindungan penduduk sipil sebagai alasan menggunakan kekuatan juga melanggar salah satu asas hukum internasional yaitu prinsip Non-Intervensi. Dapat pula dipertanyakan mengenai wewenang NATO dalam melaksanakan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB. Sepanjang pengetahuan penulis belum ada mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Udayana yang menulis ataupun mengangkat permasalahan tersebut sebagai tugas akhirnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus tersebut dalam bentuk karya tulis dengan judul “JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN MILITER NATO TERHADAP LIBYA”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat dua masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam karya tulis ini, yaitu : 1. Bagaimanakah legalitas serangan militer NATO terhadap Libya ditinjau dari perspektif penggunaan kekuatan (the use of force) dalam Hukum Internasional? 2. Dalam batas bagaimanakah alasan perlindungan penduduk sipil dapat digunakan sebagai pembenaran bagi NATO untuk melakukan serangan terhadap Libya? 4 20 Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 8 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dari dua masalah pokok yang menjadi fokusnya, pembahasan dalam skripsi akan dibatasi ruang lingkupnya sebagai berikut: 1. Secara umum akan diuraikan mengenai sejarah lahirnya NATO secara singkat dan kiprahnya sebagai organisasi internasional. 2. Secara umum membahas tentang pemerintahan Moammar Gaddafi, pihak oposisi dan kualifikasi konflik bersenjata yang terjadi di Libya dalam perspektif hukum internasional serta keabsahan serangan tersebut baik dari sudut pandang hukum internasional maupun hukum humaniter internasional. 3. Akan dibahas pula mengenai ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan penduduk sipil seperti dalam hukum hak asasi manusia internasional dan dalam hukum humaniter innternasional, serta penegakan ketentuan tersebut yang menyangkut bagaimana praktik penegakan tersebut dalam Mahkamah Internasional Ad’Hoc dan dalam Mahkamah Pidana Internasional. 4. Akan diuraikan pula mengenai analisis penggunaan alasan perlindungan penduduk sipil dalam serangan NATO terhadap Libya sesuai dengan ketentuan-ketentuan perlindungan penduduk sipil yang terdapat dalam Konvensi Jenewa 1949 ataupun dalam hukum humaniter internasional kebiasaan (Customary International Humanitarian Law), dan doktrin Responsibility to Protect sebagai tinjauan komprehensif. 9 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini ialah : a. Tujuan Umum, yaitu : 1. Untuk mengetahui ketentuan hukum internasional mengenai penggunaan kekuatan senjata sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah. 2. Untuk mengetahui penggunaan kekuatan senjata oleh organisasi internasional di luar PBB. b. Tujuan Khusus, yaitu : 1. Untuk menganalisis legalitas serangan militer NATO terhadap Libya ditinjau dari perspektif penggunaan kekuatan (the use of force) dalam Hukum Internasional. 2. Untuk menganalisis apakah perlindungan penduduk sipil dapat menjadi dasar justifikasi atas serangan militer NATO terhadap Libya. 1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman serta jawaban mengenai legalitas serta kewenangan serangan militer NATO terhadap Libya, khususnya mengenai pemakaian konsep ‘The Use of Force’ dan konsep ‘Responsibility to Protect’. Selain itu, penelitian ini akan turut memberikan kontribusi teoritik dalam hal hubungan antara 10 Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia dalam perkembangan hukum internasional. b. Manfaat Praktis Secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi institusi pendidikan militer, termasuk dalam hal ini lembaga pelatihan dan bagi staf dan komandan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia, tulisan ini dapat digunakan sebagai rujukan akademis guna memahami urgensi dan batasan dilakukannya suatu intervensi militer (military intervention) dalam kasus kemanusiaan. 2. Bagi Organisasi Internasional, tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu referensi ilmiah yang menjelaskan mengenai fungsi Organisasi Regional dalam penanganan isu perlindungan bagi penduduk sipil 1.6 Landasan Teoritis a. Common Consent dan Pacta Sunt Servanda Hukum Internasional merupakan kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan oleh masyarakat internasional. lebih lanjut, hukum 21 Dijelaskan internasional telah memenuhi unsur-unsur yang menetapkan pengertian hukum yakni kumpulan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat yang berlakunya dipertahankan oleh ‘external power’ masyarakat yang bersangkutan. 21 Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 4 11 Common Consent merupakan salah satu prinsip-prinsip umum hukum yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negaranegara. Prinsip ini menerangkan bahwa mengikatnya hukum internasional dikarenakan adanya kehendak bersama dari negara-negara. Sementara prinsip Pacta Sunt Servanda (agreement must be kept) mempunyai arti bahwa perjanjian harus ditaati. Prinsip ini kemudian menjadi salah satu asas hukum internasional seperti yang tercantum dalam pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969.22 Hal ini kemudian akan berkaitan dengan pelaksanaan daripada perjanjian-perjanjian internasional yang merupakan salah satu sumber hukum dari hukum internasional. b. Teori Ius Ad Bellum dan Teori Ius In Bello Ius ad bellum merupakan hukum tentang perang, yang berupa kumpulan ketentuan hukum mengenai hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. Terdapat banyak teori yang berhubungan dengan bagaimana atau kapan Negara dibenarkan untuk berperang, namun umumnya syarat-syarat itu ialah Just Cause, Right Authority, Righ Intent, Proportionality dan Last Resort.23 Sedangkan Ius in Bello mempunyai pengertian sebagai hukum yang berlaku dalam perang. Mochtar Kusumaatmadja membaginya menjadi dua, yaitu yang mengatur cara dilakukannya perang (Conduct of 22 Lihat Pasal 26 konvensi Wina 1969 : “ … every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith… “ 23 Ibid h. 2 12 War) dan yang mengatur tentang perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, yang biasa disebut sebagai Geneva Laws.24 Mochtar Kusumaatmadja dalam suatu ceramahnya pada tanggal 26 Maret 1981 menyebutkan bahwa hukum humaniter merupakan sebagian daripada hukum perang yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan perlindungan korban, dan hal itu berlainan dengan Hukum Perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan peperangan layaknya pengaturan mengenai senjata-senjata yang dilarang penggunaannya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa Konvensi Jenewa identik dengan Hukum Humaniter, sedangkan Konvensi Den Haag lebih menjurus ke arah Hukum Perang.25 Dalam Ius ad bellum terdapat beberapa pengaturan tentang hak negara untuk berperang yang secara formal dapat dilihat pada sejumlah perjanjian internasional, yaitu Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Paris (Kellog-Briand) Pact, dan Piagam PBB. Khusus dalam Piagam PBB, pengaturan ini dapat dilihat secara tegas dalam Pasal 2 (4), serta Chapter VII.26 Berkaitan dengan kasus penyerangan NATO ke negara Libya, Kedua teori ini akan digunakan sebagai salah satu acuan dalam analisis mengenai tindakan NATO terhadap Libya, terkait apakah hal tersebut 24 Syahmin A.K, 1985, Hukum Internasional Humaniter 1, Penerbit C.V Armico, Bandung, h. 7 25 Arlina Web’s Blog, URL: http://arlina100.wordpress.com/2008/11/11/definisi-hukumhumaniter/, diakses terakhir 18 Mei 2015. 26 Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 106. 13 diperbolehkan dan apakah terdapat batasan-batasan mengenai penggunaan perlindungan penduduk sipil sebagai alasan melakukan serangan oleh NATO. c. Prinsip Non Intervensi Prinsip non-intervensi ialah prinsip yang muncul dari asas Par Im Partem Non Habet Imperium yang menegaskan bahwa setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda yang berada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan (act of soverignity) di dalam wilayah negara lain, kecuali dengan persetujuan negara itu sendiri, yang apabila dilakukan akan dipandang sebagai tindakan intervensi atau campur tangan atas masalah-masalah dalam negeri negara lain yang jelas telah dilarang menurut hukum internasional.27 Norma ini diawali dengan prinsip kesetaraan kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara terlepas dari ukuran kekayaan, wilayah dan lainnya. Dalam pandangan tradisional Hukum Internasional, kedaulatan suatu negara mutlak berlaku di dalam batas teritorialnya. Hal tersebut berarti memberikan kewajiban bagi para negara untuk saling menghormati kedaulatan negara lain, sehingga setiap negara tidak boleh mencampuri urusan internal negara-negara lain atau dikenal dengan istilah nonintervensi. 27 I Wayan Parthiana, 1990, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h. 10. 14 Prinsip non-intervensi tertuang di dalam Pasal 2 (7) Piagam PBB.28 Bahkan Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations yang diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/25/2625 menegaskan prinsip non-intervensi sebagai prinsip dasar hukum internasional29 dan merupakan salah satu prinsip yang berkaitan dengan prinsip-prinsip larangan penggunaan kekuatan. Menurut Mahkamah Internasional, terdapat 2 (dua) jenis intervensi yang dilarang oleh hukum internasional. Pertama, intervensi yang berkaitan dengan pemutusan masalah yang semestinya diputuskan sendiri secara bebas oleh negara yang dicampuri. Kedua, campur tangan yang dilakukan dengan paksaan, terutama kekerasan.30 Hal ini termasuk dalam pemilihan sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya serta perumusan kebijakan luar negeri. Di samping itu, tindakan yang merupakan pelanggaran dari prinsip-prinsip umum dalam non-intervensi, baik secara langsung ataupun tidak langsung, akan melibatkan penggunaan kekuatan (The Use of Force) yang merupakan pelanggaran dari prinsip penggunaan kekuatan dalam hukum internasional dan hubungan internasional31 28 Pasal 2 ayat (7)Piagam PBB : Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll. 29 Lihat Resolusi Majelis Umum PBB, A/RES/25/2625.Annex.par3. 30 Sugeng Istanto, op.cit. h. 32. 31 Malcolm N. Shaw, 2008, International Law (Sixth Edition), Cambridge University Press, New York, h. 1147. 15 Teori ini digunakan sehubungan dengan serangan militer yang dilakukan oleh NATO terhadap Libya yang merupakan suatu campur tangan yang dilakukan dengan paksaan atau kekerasan. d. Konsep Military Intervention Military Intervention merupakan pendalaman lebih lanjut dari prinsip Non-Intervention yang melibatkan penggunaan kekuatan (The Use of Force) dalam penyelesaian masalah terutama dalam hubungannya dengan pelanggaran berat HAM. Konsep military intervention kemudian menimbulkan berbagai perdebatan sebab beberapa negara berpendapat bahwa konsep ini merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kedaulatan Negara lain32 namun demikian tidak sedikit pula yang berpendapat konsep ini diperlukan sebagai upaya terakhir dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang lebih berat sebagai akibat dari kedaulatan tersebut.33 Sehingga meskipun dapat digunakan, konsep ini tetap mempunyai batasan-batasan khusus yang telah ditentukan dan harus dipenuhi sebelum dilaksanakannya sebuah intervensi militer. Batasan-batasan daripada konsep military intervention inilah yang akan digunakan dalam membahas upaya NATO menyelesaikan permasalahan pelanggaran berat HAM di Libya dengan menggunakan kekuatan. 32 URL: http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan000923.pdf , diakses tanggal 20 Mei 2015. 33 Ibid. 16 e. Konsep Humanitarian Intervention Konsep humanitarian intervention juga merupakan salah satu prinsip yang berkaitan erat dengan prinsip non-intervensi. Sebab, konsep ini merupakan salah satu cara terakhir yang digunakan dalam penyelesaian suatu masalah, meskipun tujuan dari konsep ini mencegah terjadinya pelanggaran HAM ataupun kekacauan massal, terbalik dengan konsep intervensi militer, akan tetapi konsep ini dapat dilakukan secara sepihak34 sehingga tampak jelas telah melanggar prinsip non-intervensi. Konsep Humanitarian intervention merupakan konsep yang hingga kini masih menimbulkan berbagai perdebatan, di satu sisi terdapat sekelompok negara yang menyetujui konsep ini demi menghadapi pelanggaran-pelanggaran HAM berat dan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan apabila suatu negara tidak mampu menangani masalah tersebut dengan kemampuannya sendiri. Namun ada pula kelompok negara yang mempertanyakan perbedaan motif dalam melakukan intervensi humaniter, yaitu apakah intervensi tersebut bersifat imperative atau didorong oleh motivasi politik dan ekonomi, lalu apakah konsep humanitarian intervention tersebut hanya berlaku bagi negara-negara yang lemah ataukah dapat berlaku bagi semua negara tanpa pengecualian. Selain itu, terdapat pula negara-negara yang menganggap bahwa pengertian intervensi humaniter berpotensi merusak Piagam PBB, 34 Boer Mauna, 2010, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, edisi ke-2, 2010, P.T Alumni Bandung, Bandung, h. 647 17 melemahkan kedaulatan negara, mengancam ke-absahan pemerintahan dan stabilitas sistem internasional.35 Tetapi Bagaimanapun juga, pelaksanaan konsep Humanitarian Intervention telah berhasil dalam mencegah jatuhnya korban akibat pelanggaran HAM ataupun kekacauan massal yang lebih buruk. Seiring dengan perkembangan dunia, telah dilakukan upaya-upaya untuk mempertegas batasan penggunaan konsep tersebut, seperti munculnya konsep Responsibility to Protect sebagai pengganti konsep Humanitarian Intervention dengan harapan akan meminimalkan dugaan-dugaan buruk tentang intervensi yang akan ataupun telah dilakukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep baru ini akan lebih menguntungkan citra PBB di mata masyarakat dunia, sebab dalam konsep Responsibility to Protect sangat ditekankan pada kewajiban memberikan perlindungan terhadap kemanusiaan sehingga intervensi-intervensi yang dilakukan merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh PBB36. Berkaitan dengan kasus penyerangan NATO ke negara Libya, teori ini akan menjelaskan mengenai pembenaran alasan yang digunakan oleh NATO dalam serangannya tersebut, yaitu untuk melindungi penduduk sipil dan meminimalisir pelanggaran berat HAM. 35 Ibid. 36 Malcolm N. Shaw, op.cit, h. 1158. 18 1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berarti penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.37 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena meneliti asas-asas hukum yakni asas hukum internasional khususnya yang berkaitan dengan prinsip non-intervensi dalam piagam PBB, kewenangan Dewan Keamanan dalam penyelesaian suatu masalah, resolusi-resolusi yang dikeluarkan untuk Libya serta peraturan-peraturan dalam hukum humaniter internasional dalam kaitannya dengan kasus serangan NATO terhadap Libya. b. Jenis Pendekatan Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan kasus (the case approach) dan pendekatan peraturan perundangundangan (statute approach), yaitu : 1. Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (The Statute Approach) Pendekatan perundang-undangan adalah metode penelitian dengan memahami dari hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum normatif suatu tinjauan singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 12. 19 undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.38 Namun demikian, dikarenakan dalam sistem hukum internasional tidak dikenal adanya ‘perundang-undangan’ melainkan berbagai bentuk perjanjian internasional ataupun ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis maka dalam penulisan penelitian ini, penulis akan mencoba membandingkan antara instrumeninstrumen hukum internasional dan relevansinya dengan kasus sehingga akan ditemukan substansi dari permasalahan yang akan dibahas. 2. Pendekatan Kasus (The Case Approach) Penulisan dengan pendekatan kasus artinya dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap.39 Dalam penulisan skripsi ini, penulis memakai pendekatan kasus (case approach) di mana putusan pengadilan akan dijadikan rujukan dalam memperoleh preskripsi untuk menjawab isu hukum yang dihadapi.40 Namun dalam penelitian ini tidak akan menggunakan putusan pengadilan dikarenakan sepanjang penelusuran penulis belum ada putusan pengadilan dalam kasus serangan NATO. Dengan demikian, pendekatan kasus dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai analisis terhadap resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang oleh sejumlah pakar dianggap sebagai salah satu 38 Ibid, h. 97. 39 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 58. 40 Titon Slamet Kurnia, 2009, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung, h. 163. 20 sumber penyelesaian sengketa internasional. Dalam kaitannya dengan penyerangan terhadap Libya resolusi-resolusi tersebut akan melingkupi unsur ratio decidendi, yaitu alasan-alasan yang digunakan oleh NATO untuk sampai kepada putusannya dengan memperhatikan fakta materiil. Fakta materiil tersebut yakni berupa orang, tempat, dan waktu sehingga dapat dicari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.41 C. Sumber Bahan Hukum Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka akan memakai sumber data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum, yaitu : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, seperti misalnya perjanjian-perjanjian internasional. Menurut Peter Mahmud Marzuki42 bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Adapun sejumlah bahan hukum primer, yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain : - Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa - Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 - Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-Protokol Tambahannya - Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1970 dan 1973 41 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h.119. 42 Ibid, h. 144-154. 21 - Piagam North Atlantic Treaty Organization (NATO) 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar Koran), pamflet, brosur, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat media massa dan berita di internet.43 Terkait skripsi ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti bukubuku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu mengenai justifikasi perlindungan HAM dalam serangan militer NATO terhadap Libya. 3. Bahan Hukum Tersier, yang menurut Peter Mahmud Marzuki44 merupakan bahan non-hukum yang digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penulis mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi.45 Dalam hal ini penelitian yang dilakukan adalah dengan mempelajari dokumen-dokumen, jadi yang harus dilakukan adalah mencari instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan isu hukum pada kasus serangan NATO terhadap Libya yakni merujuk kepada Piagam PBB, Hague Coventions IV-1907, Geneva Conventions-1949 dan Protokol 43 Ibid, h. 93. 44 Ibid, h.144-154. 45 Ibid, h. 194. 22 Tambahan 1-1977. Kemudian melalui pendekatan kasus akan mengumpulkan putusan-putusan atau resolusi-resolusi yang berkaitan dengan kasus Libya khususnya resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan kasus yang dimaksud maupun instrumen-instrumen hukum internasional lainnya yang relevan untuk keperluan menganalisis kasus tersebut. 46 E. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah teknik deskripsi, evaluasi dan argumentasi. Teknik deskripsi merupakan uraian dari peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik selanjutnya adalah teknik evaluasi yakni penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, dan lain-lain yang ada dalam bahan primer maupun bahan sekunder. Teknik terakhir adalah teknik argumentasi yang secara tidak langsung tidak dapat dilepaskan dari teknik sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 46 Ibid, h. 195. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NATO 2.1 Sejarah Lahirnya NATO 2.1.1 Pengaruh Perang Dingin North Atlantic Treaty Organization (NATO) merupakan sebuah aliansi negara-negara Eropa Barat yang terbentuk pada tanggal 4 April 1949 di Wahington yang saat ini beranggotakan 28 negara.47 Kelahiran NATO dilatarbelakangi oleh kekhawatiran di pihak Amerika Serikat terhadap semakin meluasnya pengaruh Uni Soviet dengan ideologi Komunisnya. Sehingga ketika Perang Dunia II berakhir, terjadilah ”Perang Dingin“ (the Cold War) yang terjadi antara tahun 1947-1991 yang ditandai dengan adanya persaingan di antara kedua negara tersebut yang mencakup berbagai bidang seperti ideologi, psikologi, militer, industri dan pengembangan teknologi yang membawa pada perkembangan senjata nuklir.48 Istilah “Perang Dingin” pertama kali diperkenalkan oleh Bernand Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menyebut sebuah periode konflik, ketegangan, dan kompetisi antara dua negara adikuasa, yaitu Amerika Serikat (beserta sekutunya yang disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya yang disebut Blok Timur). 49 Meskipun tidak pernah benar-benar terjadi perang antara dua negara adikuasa tersebut, konflik di antara keduanya 47 What is NATO; an Introduction to The Transatlantic Alliance dalam Nato.int , URL: http : // www.nato.int/cps/en/SID-8C5FCDD9-E6E17F41/natolive/what_is_nato.htm, diakses terakhir pada tanggal 11 Mei 2015. 48 History.com, URL: http://www.history.com/topics/cold-war/cold-war-history, diakses terakhir pada tanggal 11 Mei 2015. 49 Ibid 23 24 melahirkan ketegangan luar biasa karena perang seakan-akan bisa pecah kapan saja. Perang Dingin juga telah mengakibatkan terjadinya berbagai perang lokal, seperti perang Korea, perang di Vietnam, invansi yang dilakukan oleh Uni Soviet terhadap Cekoslovakia dan Hungaria dan lainnya.50 Hal ini meresahkan negara-negara Barat, seperti yang dapat dilihat pada telegram yang dikirim oleh Perdana Menteri Inggris Winston Churchil kepada Presiden Amerika Serikat Harry S. Trumman saat itu sebagai bukti keprihatinan dari negara Eropa terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Uni Soviet, di mana Amerika Serikat yang menganut ideologi liberal-kapitalis menentang keras ideologi sosialis-komunis yang dianut Uni Soviet. Kemudian pada tanggal 4 April 1949, bertempat di Washington D.C, the North Atlantic Treaty Organization (NATO) resmi didirikan oleh sepuluh negara Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Negara-negara anggota NATO kemudian meningkatkan upaya mereka dalam mengembangkan kekuatan militer dan struktur dalam organisasi NATO untuk menjamin pelaksanaan fungsi NATO. Hal tersebut berhasil membuat Uni Soviet berpikir untuk melakukan agresi militer di daerah Eropa. Seiring berjalannya waktu, NATO berhasil mencapai suatu level yang tak terduga dalam mengembangkan stabilitas kerjasama perekonomian and integritas dari negaranegara Eropa, dalam pengertian bahwa NATO berhasil membawa dampak positif yang juga sedikitnya berpengaruh pada perekonomian dan integritas dunia.51 50 Ibid. What is NATO; an Introduction to The Transatlantic Alliance dalam Nato.int , URL: http : // www.nato.int/cps/en/SID-8C5FCDD9-E6E17F41/natolive/what_is_nato.htm, diakses terakhir pada tanggal 22 Mei 2015. 51 25 Ketika pemerintahan Uni Soviet runtuh (1991), maka berakhirlah Perang Dingin dengan demikian, sesungguhnya berakhir pula tujuan awal dibentuknya NATO, yaitu sebagai upaya ‘pertahanan’ terhadap komunisme. Sehingga banyak sarjana kemudian berpendapat bahwa tujuan daripada NATO telah terpenuhi dan aliansi mungkin akan dibubarkan.52 Banyak pula negara-negara anggota NATO yang mengurangi dana untuk pengeluaran dan pengembangan angkatan bersenjata, bahkan ada yang sampai mengurangi 25% dari pengeluaran untuk anggaran pertahanan angkatan bersenjata. 53 Pasca Perang Dingin kemudian muncul berbagai masalah yang justru datang dari goyahnya stabilitas pertahanan dan perekonomian di Eropa serta konflik-konflik dalam negeri yang melanda negara-negara bekas Uni Soviet, yang apabila dibiarkan dinilai dapat menyebar melebihi wilayah regional mereka dan mengganggu stabilitas keamanan dunia, khususnya Eropa. Oleh karenanya, NATO kemudian menciptakan mekanisme pertahanan baru, yaitu pengadaan kerjasama dalam pertahanan kolektif dengan negara-negara yang bukan anggota NATO.54 Reformasi kemudian terjadi dalam badan internal NATO sebagai usaha untuk beradaptasi dengan struktur militer dan tanggung jawab baru, yaitu pemenuhan tanggung jawab untuk setiap kerjasama yang dilakukan NATO dengan negara-negara lain dan organisasi internasional lainnya. NATO dengan cepat berhasil menyesuaikan diri dengan situasi pasca berakhirnya Perang Dingin 52 53 54 Ibid Ibid How Global can NATO Go dalam www.nato.int, URL:http://www.nato.int/docu/speech/2004/s040309a.htm terakhir diakses tanggal 10 Mei 2015. 26 dan hanya dalam beberapa tahun NATO untuk pertama kalinya melaksanakan fungsinya di luar daerah teritorialnya, yaitu dalam usahanya untuk mendukung upaya-upaya internasional dalam mengakhiri konflik internasional di bagian Barat Balkan, yaitu Bosnia dan Herzegovina pada bulan Desember 1995. Empat tahun kemudian, NATO kembali melaksanakan tugasnya dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM penduduk sipil di daerah Kosovo. Hingga saat ini, NATO masih secara efektif berupaya mewujudkan tujuan utamanya, yaitu untuk melindungi kebebasan dan keamanan berdaulat bagi negara-negara anggotanya dengan upaya politik dan kekuatan militer.55 2.1.2 Tujuan Pendirian NATO Setiap organisasi internasional pada umumnya pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dalam praktiknya, tujuan organisasi internasional dapat dibagi ke dalam dua bidang, yaitu organisasi yang mempunyai tujuan utama dalam bidang ekonomi (termasuk sosial-budaya) dan dalam bidang pertahanankeamanan wilayah tertentu.56 Jika praktik penggolongan tujuan organisasi internasional tersebut dihubungkan dengan uraian mengenai latar belakang pendirian NATO di atas maka tampak bahwa NATO merupakan organisasi internasional yang mempunyai 55 Nato.inc, URL: http://www.nato.int/nato-welcome/pdf/checklist_en.pdf, diakses terakhir pada tanggal 11 Mei 2015. 56 Syahmin A.K, Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, 1985, Palembang, Binacipta, h.89 27 tujuan khusus dalam bidang pertahanan-keamanan wilayah.57 Ketika pemerintahan Uni Soviet runtuh (1991), NATO secara aktif membantu menanggulangi masalah Barat-Timur di Eropa dengan mengusulkan diadakannya suatu kerjasama di bidang keamanan sebagai bentuk pendekatan yang sesuai dengan bunyi Pasal 1 North Atlantic Treaty: “The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle any international dispute in which they may be involved by peaceful means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered, and to refrain in their international relations from the threat or use of force in any manner inconsistent with the purposes of the United Nations.” Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 2, yaitu: “The Parties will contribute toward the further development of peaceful and friendly international relations by strengthening their free institutions, by bringing about a better understanding of the principles upon which these institutions are founded, and by promoting conditions of stability and well-being. They will seek to eliminate conflict in their international economic policies and will encourage economic collaboration between any or all of them” Pendekatan itu kemudian dituangkan dalam sebuah konsep strategi baru yaitu jangkauan pendekatan keamanan yang lebih luas, yang menyebabkan perubahan yang signifikan dalam dunia internasional terutama bagi NATO sendiri. North Atlantic Treaty sebagai suatu dokumen perjanjian yang 57 What Is NATO, an Introduction to The Transatlantic Alliance dalam Nato.int, page 11, dalam www.nato.int, URL: URL: http : // www.nato.int/cps/en/SID-8C5FCDD9E6E17F41/natolive/what_is_nato.htm. 28 mengekspresikan suatu resolusi dan ideologi dari negara-negara yang menandatanganinya, mempunyai tujuan yang sesuai dengan pembukaan pada Piagam PBB, yaitu untuk memelihara perdamaian dan keamanan daripada anggota-anggotanya serta memajukan stabilitas dan kesejahteraan di daerah Amerika Utara dan Eropa melalui cara-cara politik dan militer.58 Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dari uraian di atas bahwa tujuan pada awal pembentukannya, NATO dianggap sebagai alat untuk menahan komunisme dan serangan militer dari Uni Soviet yang meskipun tidak terdapat ketentuan yang menyinggung hal tersebut dalam North Atlantic Treaty namun tersirat dalam kondisi keamanan Eropa pada masa Perang Dunia II.59 Tujuan utama NATO dapat dilihat dalam pembukaan North Atlantic Treaty, 4 April 1949, Washington D.C.60 Ketentuan di atas juga dapat diartikan lebih jauh lagi sebagai upaya NATO dalam menolong dan melindungi penduduk sipil dari tindakantindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan suatu Negara, menyelesaikan sengketa secara damai, menghapuskan sengketa politik ekonomi 58 Lihat NATO Treaty Pasal 2 : “...The Parties will contribute toward the further development of peaceful and friendly international relations by strengthening their free institutions, by bringing about a better understanding of the principles upon which these institutions are founded, and by promoting conditions of stability and well-being. They will seek to eliminate conflict in their international economic policies and will encourage economic collaboration between any or all of them…” 59 Lihat NATO dan sistem keamanan Eropa pada era pasca perang dingin, oleh Anak Agung Banyu Perwita, 1996, h.502, PDF Document dalam www.isjd.pdii.lipi.go.id , URL: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=12623&idc=37 , terakhir diakses tanggal 12 Mei 2015. 60 Annex A, halaman 17, The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and all governments. They are determined to safeguard the freedom, common heritage and civilisation of their peoples, founded on the principles of democracy, individual liberty and the rule of law. They seek to promote stability and well-being in the North Atlantic area. They are resolved to unite their efforts for collective defence and for the preservation of peace and security.” 29 internasional, menghindarkan penggunaan kekerasan dan ancaman militer dalam sengketa internasional.61 2.1.3 Ruang Lingkup Aktivitas dan Asas-asas NATO NATO memiliki tiga ruang lingkup aktivitas utama. Pertama, pertahanan kolektif. Hal ini diatur dalam Pasal 5 North Atlantic Treaty dan bersifat mengikat bagi para anggota NATO, sehingga mereka akan saling mendukung dalam bidang pertahanan kolektif terhadap ancaman apapun baik ancaman yang ditujukan terhadap salah satu negara anggota maupun sebagai satu kesatuan organisasi. Ruang lingkup selanjutnya ialah pengendalian krisis dimana NATO sebagai organisasi internasional dengan tujuan pertahanan kolektif (militer) juga mempunyai unsur-unsur politik di dalamnya. Penggabungan pengaruh politik dan militer membantu NATO dalam menangani berbagai masalah ataupun krisis yang dapat mempengaruhi negara anggotanya dan keamanan wilayah Eropa-Atlantik dengan cara-cara yang lebih efektif, yaitu sebisa mungkin tanpa menggunakan kekerasan. Ketentuan tentang penyelesaian sengketa dengan cara damai dapat dilihat dalam Pasal 1 North Atlantic Treaty yang menyebutkan “...to settle any international dispute in which they may be involved by peaceful means in such a manner that international peace and security and justice are not endangered, and to refrain in their international relations from the threat or use of force...”. 61 Shvoong.com, URL: http://id.shvoong.com/humanities/history/2158077-nato-northatlantic-treaty-organization/, diakses terakhir pada13 Mei 2015. 30 Ketentuan tersebut juga turut menunjukan dukungan NATO terhadap tujuan PBB dalam pemeliharaan perdamaian dan stabilitas dunia.62 Ruang lingkup terakhir ialah kerjasama dalam usaha mempertahankan keamanan. NATO, sesuai dengan bentuk organisasinya, hanya membuka keanggotaan bagi negara-negara yang berada dalam wilayah Atlantik Utara saja namun demikian terdapat suatu program kerjasama dengan negara di seluruh wilayah dunia yang mencakup kerjasama dalam konsultasi permasalahan keamanan dan kerjasama dalam menentukan dan membuat suatu strategi keamanan yang sesuai. Program kerjasama dalam usaha mempertahankan keamanan ini telah berlangsung hingga saat ini dengan United Nations (PBB), European Union dan bahkan dengan Rusia.63 Dalam melaksanakan aktivitasnya yang mencakup ketiga ruang lingkup di atas, NATO melandaskan dirinya pada sejumlah asas, yaitu asas demokrasi, asas kebebasan individual (individual liberty) dan aturan-aturan hukum yang berlaku. Adapun maksud dari asas demokrasi merupakan pengakuan hak asasi manusia dalam bidang politk, sosial dan juga ekonomi, seperti hak berpendapat, hak kemerdekaan pers dan lainnya. 64 Asas demokrasi ini dapat dilihat dengan merujuk ketentuan Pasal 12 North Atlantic Treaty pada bagian “… thereafter, the Parties shall, if any of them so requests, consult together for the purpose of 62 Lihat Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB: “...To maintain international peace and security, and to that end..” dan Pasal 2(3): “All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered” 63 Lihat Strategic Concept for the Defence and Security of the Members of the North Atlantic Treaty Organization, adopted by Head of State and Goverment at the NATO Summit in Lisbon, 2010, h26, PDF Document dalam www.nato.int, URL:http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_82705.htm? Diakses terakhir tanggal 18 Mei 2015. 64 Hassim.M, Pendidikan kewarganegaraan 2, Quadra, 2011, Bogor, h. 34 31 reviewing the Treaty …” Dengan pengertian bahwa setelah perjanjian tersebut berjalan selama kurang lebih 10 tahun, apabila dikehendaki oleh salah satu anggota, perjanjian tersebut dapat dikaji ulang. Asas kebebasan individual dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap hak asasi manusia yaitu menikmati atau memperoleh status sosial, ekonomi, dan juga dalam kebebasan dalam berpendapat yang lebih sering diasumsikan dengan bidang politik. Sesuai dalam Pasal 2 menyinggung mengenai modifikasi yang dapat dilakukan dalam ratifikasi North Atlantic Treaty tepatnya dalam kalimat “... by strengthening their free institutions, by bringing about a better understanding of the principles upon which these institutions are founded, and by promoting conditions of stability and well-being. They will seek to eliminate conflict in their international economic policies …” dan dalam Pasal 11 mengenai proses dan cara ratifikasi North Atlantic Treaty sesuai dengan konstitusionalnya masing-masing yaitu “… This Treaty shall be ratified and its provisions carried out by the Parties in accordance with their respective constitutional processes ...” yang berarti Negara anggota NATO diberikan kebebasan (walaupun tidak mutlak) dalam bagaimana mereka akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan konstitusi masing-masing Negara. Sedangkan yang dimaksud asas aturan hukum yang berlaku (the rule of the law) ialah aturan-aturan hukum yang mengacu pada prinsip-prinsip pemerintahan dimana semua semua orang, lembaga dan entitas, publik dan swasta, termasuk negara itu sendiri bertanggung jawab untuk menghormati dan menegakkan hukum-hukum umum tersebut dan dengan demikian telah turut 32 mendukung standarisasi dan penegakkan norma-norma hak asasi manusia.65 Lebih lanjut lagi the rule of the law menurut AV.Dicey melingkupi beberapa karakteristik, yang pertama ialah supremasi hukum, dimana semua individual, entitas dan lembaga termasuk negara merupakan subyek hukum. Kedua ialah konsep keadilan yang menekankan pada hak dan kewajiban individu, hukum yang berdasarkan pada kesalahan atau kelalaian dan pentingnya prosedur. Selanjutnya ialah pembatasan kekuasaan, dalam artian pembagian kekuasaan yang seimbang antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga dapat menciptakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kemudian penggunaan metodologi hukum umum, lembaga pengadilan yang independen serta dasar moral sebagai pembentukan aturan hukum. 66 Asas aturan hukum tersebut dapat dilihat dalam Pasal 12 North Atlantic Treaty dalam kalimat “… Including the development of universal as well as regional arrangements under the Charter of the United Nations for the maintenance of international peace and security …” dan berarti bahwa NATO dalam mengkaji ulang pasal-pasalnya, akan menyesuaikan dengan perkembangan dunia internasional dan regional untuk tujuan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. 2.1.4 Perkembangan Terakhir NATO Sebagai organisasi yang didirikan pada masa perang dingin dan mempunyai tujuan sebagai alat untuk membendung komunisme, tahun 1991 65 http://www.un.org/ dalam United Nation and the Rule of The Law, URL: http://www.un.org/en/ruleoflaw/index.shtml, diakses terakhir tanggal 14 Mei 2015. 66 http://www.ourcivilisation.com/, The Rule of Law, URL: http://www.ourcivilisation.com/cooray/cooray.htm, diakses terakhir tanggal 15 Mei 2015. 33 merupakan tahun yang penting bagi NATO. Sebab pada tahun tersebutlah organisasi Pakta Warsawa dibubarkan yang sekaligus menandai runtuhnya pengaruh komunisme. Sebab apabila kita melihat dari tujuan terbentuknya NATO diatas, berkahirnya perang dingin juga berarti berakhirnya eksistensi NATO meskipun tidak terdapat referensi mengenai Uni Soviet dalam rumusan ketentuan Nort Atlantic Treaty.67 Pasal-pasal dalam North Atlantic Treaty dirancang untuk melindungi Negara-negara Eropa dari berbagai ancaman ataupun ketidakstabilan atau sebagai bantuan konsultasi mengenai pengembangan keamanan yang tidak dibatasi dan hingga kni ke 14 Pasal dalam The North Atlantic Treaty (1949) tersebut tida pernah diubah. Sehingga asas-asas yang melandasi NATO pun tetap berlaku. Sumirnya ketentuan dalam The North Atlantic Treat Tersebutlah yang kemudian memungkinkan NATO dalam mengembangkan perannya dalam isu-isu diseluruh dunia dan memperluas bidang kegiatannya.68 NATO mempublikasikan ‘The Stategic Concept’ atau dokumen pada tahun 1991 yang berisikan tujuan pembentukan NATO yaitu sebagai pakta pertahanan bagi anggotanya dengan penambahan konsentrasi pada usaha untuk terus memperbaharui dan mempertahankan keamanan wilayah Eropa degan cara kerjasama/rekanan bahkan dengan Negara-negara komunis. Dokumen ini terbuka untuk umum. Pada tahun 1999, dokumen ini direvisi yang tidak hanya mencakup 67 Nato.inc, URL: http://www.nato.inc/docu/speech/2003/s031106b.htm , diakses terakhir tanggal 12 Mei 2015. 68 NATO transformation after the Cold War from 1989 to the present dalam www.nato.int 34 pertahanan saja, namun juga menjaga stabilitas perdamaian dengan jangkauan wilayah yang lebih luas lagi.69 Contoh perluasan bidang kegiatan NATO tertuang dalam Pasal 5 dan 6 North Atlantic Treaty mengenai perluasan usaha dalam membela dan mempertahankan keamanan negara-negara anggotanya, dan dalam Pasal 7 North Atlantic Treaty untuk tetap siaga dalam usaha mencegah terjadinya krisis da aktif dalam merespon krisis internasional. Serta bantuan konsultasi mengenai pengembangan bidang keamanan, kerjasama pertahanan dan dialog-dialog yang tercantum dama Pasal 4. Diperluas empat tahun sesudah perang dingin berakhir, tepatnya dalam KTT NATO di Brussel. Program kerjasama dalam usaha mencapai perdamaian dunia diciptakan. Program tersebut bernama European Council dan yang belum mengadakan program Partnership for Peace dan telah dirancang sedemikianrupa sehingga memungkinkan NATO untuk bekerjasama dengan Negara yang bukan anggotanya dan tetap dapat melakukan hal-hal sesuai dengan kehendak politiknya, anggarannya dan sesuai dengan kebutuhan keamanannya.70 Masih dalam konteks Pasal 4, NATO dalam KTT nya juga kemudian memperluas sisi politiknya sehingga pencegahan dan penyelesaian berbagai masalah pun menjadi lebih efektif, seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya mengenai ruang lingkup NATO. Seiring perkembangannya, terutama setelah peristiwa 11 September 2001 yang tejadi di Amerika Serikat, NATO memfokuskan usaha untuk mencapai tujuannya pada aspek kerjasama antar Negara dan antar organisasi lainnya. 69 NATO Handbook,2006, Public Diplomacy Division NATO, Brussel 1110, Belgium.h.19 Nato.inc, URL: http://www.nato.inc/docu/speech/2004/s040309a.htm , diakses terakhir tanggal 12 Mei 2015. 70 35 Terutama dalam badan intelijen sebagai respon terhadap ancaman teroris. NATO juga memperkuat usahanya dalam mencegah Weapon of Mass Destruction (WMD) dengan cara memberikan bantuan pelatihan terhadap badan militer negara anggota ataupun Negara ‘Partnership’.71 Hingga saat ini, terorisme tersebut masih merupakan prioritas NATO selain isu-isu lainnya. 2.2 NATO Sebagai Organisasi Internasional 2.2.1 Hubungan antara kedudukan, fungsi dan kewenangan Organisasi Internasional Organisasi Internasional ialah suatu wadah yang dibuat oleh masyarakat internasional (baik antar-pemerintah dan antar non-pemerintah) secara sukarela berdasarkan suatu tujuan yang sama.72 Organisasi Internasional sendiri merupakan salah satu subyek hukum karena dalam pembentukannya terdapat aspek hukum yang harus dipenuhi. Tercakup di dalamnya adalah adanya suatu perjanjian (convenat, treaty, charter, statute) yang akan dijadikan dasar konstitusi organisasi internasional tersebut yang memuat prinsip dan tujuan-tujuan terbentuknya serta struktur dari sebuah Organisasi Internasional. Aspek hukum inilah yang dapat disebut sebagai ‘Legal Personality’. Selain hal tersebut terdapat pula beberapa syarat yaitu pertama, merupakan himpunan atau beranggotakan negara-negara. Kedua, antara organisasi dengan negara anggotanya harus memiliki perbedaan dalam kewenangan dan tujuan sebagai pembatas, sehingga ke depannya nanti tidak akan terjadi kerancuan antara 71 Op.Cit h.21 Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Oranisasi Internasional, penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2004, h 5 72 36 pelaksanaan fungsi dan pencapaian tujuan organisasi internasional tersebut. Selanjutnya ialah adanya kewenangan hukum yang dapat diterima dan diterapkan dalam melaksanakan kegiatannya.73 Dengan mempunyai kepribadian hukum tersebut organisasi internasional dapat menjalankan fungsinya dalam hubungan internasional seperti mengadakan perjanjian (Treaty-Making-Power), mempunyai kekebalan atau Immunity , menjalin hubungan baik dengan negara anggota, negara tuan rumah ataupun negara bukan anggota maupun organisasi internasional lainnya, serta hak-hak istimewa dan kemampuan untuk menuntut dan dituntut di depan pengadilan.74 Fungsi dari organisasi internasional secara umum dapat dibagi menjadi sembilan, yaitu75 : (1) sebagai alat negara untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam pengertian organisasi internasional dijadikan salah satu bentuk kontak dalam bentuk forum atau diskusi (2) sebagai aktor, forum, dan instrumen yang memberikan kontribusi bagi aktivitas normatif dari sistem politk internasional, seperti dalam penetapan nilai-nilai atau prinsip-prinspi non-diskriminasi (3) sebagai fungsi untuk menari atau merekrut partisipan dalam sistem politik internasional 73 Teuku May Rudi, 1993, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT. Eresco, Bandung, h.22-23 74 Tercantum dalam Advisory Opinion of the the reparation forinjuries suffered in the service of the United Nation by International Court of Justice : ” ….the organization is an international person (…) that is a subject of international law and capable of possessing international rights and duties, and that it has capacity to maintain us rights by bringing international claims.” 75 Bennet, 1995, Fungsi Organisasi Internasional dalam situs www.psychologymania.com (www.psychologymania.com/2012/12/fungsi-organisasi-internasional.html?m=1) diakses tanggal 19 Mei 2015. 37 (4) sebagai ajang sosialisasi yang berlangsung pada tingkat nasional yang secara langsung mempengaruhi individu-individu atau kelompok-kelompok di sejumlah negara ataupun di antara negara-negara atau wakil mereka dalam organisasi yans secara tidak langsung mempengaruhi penerimaan dan peningkatan kerjasama negara-negara tersebut (5) sebagai pembuat peraturan, dimana tidak ada suatu bentuk pemerintahan atau struktur ynag jelas dalam pengadaan hukum internasional sehingga biasanya didasarkan pada praktek masa lalu, perjanjian ‘ad hoc’ ataupun oleh organisasi internasional. (6) sebagai pelaksana peraturan yang pada prakteknya fungsi ini seringkali terbatas pada pengawasan pelaksanaannya karena aplikasi sesungguhnya terdapat di tangan negara anggota (7) sebagai pengesah peraturan. Yang hanya akan terlihat jelas ketika ada pihakpihak negara yang bertikai, karena fungsi judikasi ini tidak dibekali oleh sifat yang memaksa dan tidak mempunyai lembaga yang memadai (8) sebagai sarana informasi, organisasi internasional dapat melakukan pencarian, pengumpulan dan penyebaran informasi (9) sebagai sarana operasional, dalam pengertian dimana orgnasisasi internasional menjalankan sejumlah fungsi di banyak hal yang sama seperti di pemerintahan. Contohnya ialah pada saat UNHCR (United Nations high Commisioner for Refugees) yang membantu pengungsi, UNICEF (United Nations Children’s Fund) yang melakukan perlindungan kepada anak, dan sebagainya. 38 Sementara Teuku May Rudi menjelaskan terdapat tiga jenis fungsi dari organisasi internasional, yaitu organisasi dengan fungsi administrasi, selanjutnya ialah organisasi internasional dengan fungsi peradilan dan yang terakhir organisasi internasional dengan fungsi politikal.76 Organisasi dengan fungsi administratif sesuai namanya, hanya menjalankan kegiatan-kegiatan administratif saja, sebagai contoh OPEC (Orgnization of The Petroleum Exporting Countries) yang mengatur kuota serta harga minyak dunia, kemudian UPU (Universal Postal Union) yang hanya mengatur kegiatan lalu-lintas dan ketentuan pos saja. Lain halnya dengan organisasi ICJ (International Court of Justice), organisasi ini merupakan contoh organisasi internasional dengan fungsi peradilan. Fungsi terakhir dalam organisasi internasional mempunyai pengertian bahwa dalam kegiatannya mereka menitiberatkan kepada masalah-masalah politik dunia internasional.77 Organisasi internasional yang mempunyai fungsi tersebut dapat menitikberatkan pola kerjasamanya dalam bidang-bidang tertentu saja, namun demikian biasanya mereka tetap saja tidak dapat melepaskan sepenuhnya dalam kaitannya terhadap bidang politik, sebagai contoh UN (United Nations).78 Selanjutnya, kewenangan organsisasi internasional dapat dikatakan sebagai campuran antara hukum internasional dengan dasar konstitusinya. Umumnya wewenang organisasi internasional dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu79 : 76 Ibid. Ibid. 78 Teuku May Rudi, Op Cit, h. 8 79 Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, PT.Ghalia Indonesia, Jakarta, h.440-444 77 39 1. Wewenang Implisit Yaitu wewenang yang dimiliki untuk melakukan sesuatu walaupun tidak secara jelas disebut dalam piagam pembentukannya. Contohnya dengan mengijinkan organ-organ tertentu membentuk badan subsider yang dianggap perlu sebagai dalam pelaksanaan fungsinya. 2. Wewenang Normatif Wewenang yang dimiliki organisasi internasional untuk membentuk normanorma hukum atau anggaran keuangan. 3. Wewenang Operasional Kewenangan yang dimiliki diluar kewenangan normatif seperti memberikan bantuan keuangan,ekonomi, militer dan sebagainya. 4. Wewenang Pengawasan Kewenangan yang dimiliki organisasi untuk mengawasi anggota-anggota yang tidak melaksanakan kewaiban-kewajiban yang telah disepakati sebelumnya. 5. Wewenang Sanksi Kewenangan yang dimiliki organisasi internasional untuk memberikan sanksi atas tiap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan anggotanya. Maka sesuai dengan penjelasan diatas, suatu organisasi dapat dikatakan sebagai organisasi internasional apabila ia mempunyai kepribadian hukum, yang kemudian memungkinkan organisasi internasional tersebut menjalankan fungsinya di dunia internasional serta kewenangan yang dimiliki sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi tersebut. 40 2.2.2 Kekhasan NATO sebagai Organisasi Internasional Organisasi internasional dapat digolongkan menjadi beberapa bagian menurut fungsi, tujuan , bentuk, ruang lingkup organsasi dan lainnya.80 Bila dilihat dari wilayahnya, organisasi internasional dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu regional, organisasi tersebut beranggotakan terbatas pada kawasan atau Negara-negara tertentu, dan internasional, dimana semua negara dapat menjadi anggota dan ruang lingkupnya tidak terbatas pada wilayah tertentu (sebagai contoh PBB). Selanjutnya organisasi internasional dapat dibedakan menurut sifat keanggotaannya, tertutup dan terbuka. Tertutup dalam pengertian Organisasi Internasional tersebut hanya dapat dimasuki oleh negara-negara tertentu yang mempunyai nilai-nilai sama dan disetujui secara bulat oleh negara-negara anggota. Organisasi Internasional juga dapat dibedakan berdasarkan bidang kegiatan dan tujuan, yaitu antara organisasi politik dan organisasi teknik. Organisasi politik mempunyai vokasi dan tujuan yang lebih luas dibandingkan Organisasi teknik, yang hanya mempunyai wewenang dan tujuan tertentu saja. Contoh dari organisasi teknik ialah badan-badan khusus PBB (UNESCO, UNICEF dan lainnya) sementara Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) merupakan salah satu contoh dari Organisasi Internasional politik. Selain pembagian diatas, Organisasi Internasional dapat pula dibedakan antara organisasi yang berbentuk kerjasama dan organisasi dengan bentuk integrasi. Pada umumnya organisasi-organisasi internasional 80 Teuku May Rudi, Op Cit, h.72 merupakan organisasi dengan bentuk 41 kerjasama, dimana organisasi tersebut jarang mempunyai wewenang untuk mebuat norma-norma yang bersifat mengikat negara-negara anggota. Sebaliknya, organisasi internasional yang bersifat integrasi mempunyai wewenang dalam bidang-bidang tertentu, sesuai dengan akte konstitutif, dapat membuat ketentuanketentuan yang langsung berlaku di wilayah negara-negara anggotanya.81 Organisasi Internasional juga dapat dibedakan berdasarkan bidang kegiatan dan tujuan, yaitu antara organisasi politik dan organisasi teknik. Organisasi politik mempunyai vokasi dan tujuan yang lebih luas dibandingkan Organisasi teknik, yang hanya mempunyai wewenang dan tujuan tertentu saja. Contoh dari organisasi teknik ialah badan-badan khusus PBB (UNESCO, UNICEF dan lainnya) sementara Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) merupakan salah satu contoh dari Organisasi Internasional politik.82 Selain pembagian diatas, Organisasi Internasional dapat pula dibedakan antara organisasi yang berbentuk kerjasama dan organisasi dengan bentuk integrasi. Pada umumnya organisasi-organisasi internasional merupakan organisasi dengan bentuk kerjasama, dimana organisasi tersebut jarang mempunyai wewenang untuk mebuat norma-norma yang bersifat mengikat negara-negara anggota. Sebaliknya, organisasi internasional yang bersifat integrasi mempunyai wewenang dalam bidang-bidang tertentu, sesuai dengan akte konstitutif, dapat membuat ketentuan-ketentuan yang langsung berlaku di wilayah negara-negara anggotanya.83 81 Boer Mauna, Op.Cit h. 647 Ibid 83 Ibid 82 42 Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa NATO merupakan salah satu organisasi internasional yang mempunyai bentuk kerjasama pertahanan kolektif (Collective Security), merupakan organisasi dengan fungsi politik, dan berbentuk kerjasama (Co-operative Organization). NATO juga merupakan organisasi internasional yang menggalakkan pentingnya demokrasi serta penyelesaian masalah dengan cara-cara damai, namun bila cara-cara diplomatis gagal, NATO mempunyai kewenangan dalam penggunaan kekuatan militer yang diperlukan untuk melakukan penyelesaian masalah baik dalam bentuk kerjasama dengan negara atau organisasi internasional lainnya atau melakukan penyelesaian masalah tersebut sendiri, NATO juga mempunyai kewenangan menggunakan kekuatan militer dalam melakukan pertahanan kolektif. 84 Pertahanan kolektif ini tercantum dalam pasal 5, Piagam pembentukan NATO yaitu : “The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe or North America shall be considered an attack against them all and consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary, including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North Atlantic area. Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shall 84 nato.int, Loc.Cit diakses terakhir tanggal 10 Mei 2015 43 immediately be reported to the Security Council. Such measures shall be terminated when the Security Council has taken the measures necessary to restore and maintain international peace and security.” Ketentuan Pasal 5 di atas pertama kali diterapkan saat terjadi serangan teroris terhadap Amerika Serikat di kawasan New York dan Washington D.C pada tanggal 11 September 2001, yang selanjutnya dianggap sebagai bentuk penyerangan terhadap aliansi.85 Kekhasan NATO lainnya ialah sebagai Organisasi Internasional yang hanya berisikan 14 Pasal, NATO dapat menyesuaikan diri dan berkembang seiring dunia internasional. Hal ini terbukti dari berbagai program yang dikembangkan NATO, seperti Program Kerjasama dengan negara-negara (Partnership for Peace) dan program konsultasi politik untuk negara-negara yang menginginkannya.86 2.2.3 Kedudukan, Fungsi dan Kekuasaan NATO NATO sebagai organisasi internasional merupakan salah satu subjek hukum internasional dan sebelumnya harus mempunyai kepribadian hukum (Legal Personality) sebagai cara untuk memperoleh keabsahan hukum sebagai pelaku serta satuan tersendiri dalam hubungan internasional. Keanggotaan NATO yang merupakan negara-negara merupakan hal umum sebagaimana keanggotaan sebagian besar organisasi-organisasi internasional lainnya. Negara sebagai subjek hukum internasional tentu telah memiliki ‘Legal Personality’ yang jelas namun demikian organisasi internasional tidak dibenarkan 85 What is NATO; an Introduction to The Transatlantic Alliance dalam Nato.int, Loc.Cit diakses terakhir tanggal 11 Mei 2015 86 www.nato.int , URL:http://www.nato.int/docu/speech/2004/s040309a.htm, Loc.Cit 44 secara hukum untuk menggunakan ‘Legal Personality´ tersebut. Organisasi internasional tersebut perlu mempunyai suatu keabsahan sebagai suatu individu tersendiri dan bukan hanya mengatasnamakan negara-negara anggotanya. Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mempunyai atau memperoleh ‘Legal Personality’ yaitu pertama, merupakan himpunan (keanggotaan) negara-negara, yang bersifat tetap dan dilengkapi struktur organisasi yang lengkap.87 Keanggotaan ini telah jelas mengingat ke-28 negaranegara anggota sementara struktur organisasi yang tetap telah diatur dalam pasal 9 North Atlantic Treaty ‘... The Parties hereby establish a Council, on which each of them shall be represented, to consider matters concerning the implementation of this Treaty ...’ dan diperjelas dalam situs resmi nya ‘www.nato.inc’. Syarat kedua yaitu antara organisasi tersebut dengan negara anggotanya memiliki perbedaan dalam hal kewenangan hukum dan tujuan. Syarat ini mempunyai maksud sebagai pembatas ‘Legal Personality’ antara organisasi internasional tersebut dengan negara anggotanya sehingga kedepannya tidak terdapat kerancuan antara pelaksanaan fungsi dan pencapaian tujuan organisasi internasional tersebut.88 Syarat selanjutnya ialah adanya kewenangan hukum dalam organisasi yang dapat diterima dan diterapkan dalam melaksanakan kegiatan pada ruang lingkup-internasional dan bukan hanya dilakukan dalam ruang-lingkup nasional salah satu atau masing-masing negara anggotanya.89 NATO telah menyiratkan 87 Teuku May Rudi, Op.Cit. h.22 Ibid. 89 Ibid. 88 45 maksud tersebut dalam pasal 10 North Atlantic Treaty ‘... The Parties may, by unanimous agreement, invite any other European State in a position to further the principles of this Treaty and to contribute to the security ...’, mengenai keputusan bersama yang bulat dalam mengundang negara eropa lainnya untuk turut berkontribusi dalam masalah keamanan wilayah Atlantik Utara dan menerapkan sistem tersebut dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga keputusan apapun yang diambil oleh NATO mendapat dukungan penuh dari negara-negara anggotanya. Selain ketiga syarat di atas, terdapat beberapa syarat yang menyangkut hak-hak yang lebih khusus diantaranya kemampuan untuk mengadakan perjanjian (treaty making power); adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk memiliki aset-aset berupa barang, modal peralatan, bangunan dan status khusus bagi personalia yang diberikan kepercayaan atas nama organisasi; adanya perlindungan fungsional terhadap staff dan personalia; hak organisasi yang disertai pengakuan atau penerimaan Negara atau organisasi lain untuk mengirim perwakilan menghadiri berbagai konferensi internasional yang berkenaan. Sehubungan dengan penjelasan di atas, NATO telah memenuhi persyaratan dan telah mempunyai ‘Legal Personality´ yang jelas, sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal ‘The North Atlantic Treaty’. Dimana kedepannya, NATO akan menggunakan pasal-pasal tersebut sebagai dasar dari berbagai bentuk kerjasama dengan negara-negara dan Organisasi Internasional lainnya. 46 Teuku May Rudi menjelaskan terdapat tiga jenis fungsi organisasi internasional. Pertama Oganisasi Administratif, dimana organisasi tersebut berfungsi sepenunya hanya melaksanakan egiatan teknis secara adminstratif. Contohnya ialah organisasi OPEC (Orgnization of The Petroleum Exporting Countries) yang mengatur tentang kuota serta tingkat harga minyak, UPU (Universal Postal Union) yang mengatur tentang lalu-lintas dan ketentuan mengenai pos, ICRC (International Committee of the Red Cross) dan lainnya. Jenis yang kedua ialah organisasi internasional dengan fungsi peradilan, segala yang menyangkut penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek politik, ekonomi, hukum, sosial an budaya menurut prosedur hukum dan melalui proses peradilan (sesuai dengan ketentuan internasional dan perjanjian-perjanjian internasional). Contoh dari fungsi organisasi internasional ini adalah ICJ (International Court of Justice). Yang terakhir ialah organisasi dengan fungsi politikal, dengan pengertian bahwa orgnisasi internasional tersebut dalam kegiatannya menyangkut masalah-masalah politik dalam hubungan internasional. Organisasi internasional ini dapat saja menitik-beratkan pola kerjasamanya dalam bidang-bidang khusus, namun tetap saja tidak dapat melepaskan sepenuhnya dalam kaitannya terhadap bidang politik. Sebagai contoh dalam organisasi internasional yang menitik-beratkan fungsi nya dalam masalah perdamaian dan keamanan yaitu UN (United Nations), ASEAN, NATO dan lainnya.90 Sehubungan dengan kedudukan NATO sebagai organisasi internasional, fungsi NATO sebagai organisasi dapat dilihat pada dokumen resmi yang dapat 90 Teuku May Rudi, Op.Cit. h.8 47 diunduh dalam situs resmi nya ; “The Alliance is committed to protecting its members through political and military means. It promotes democratic values and is dedicated to the peaceful resolution of disputes. If diplomatic efforts fail, it has the military capability needed to undertake collective defence and crisismanagement operations alone or in cooperation with partner countries and international organizations”. NATO juga mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana umumnya suatu organisasi internasional. Dan dalam membantu menjalankan fungsinya, NATO mempunyai kewenangan sesuai dengan yang tercantum dalam piagam pebentukannya dan hukum internasional pada umumnya. Yaitu dalam Pasal 2 Piagam Pembentukan NATO mengenai wewenang mengadakan kerjasama ekonomi dan pertahanan, Pasal 9 piagam pembentukan NATO terdapat wewenang untuk membuat badan subsider, ataupun Pasal 10 mengenai kerjasama dengan negara-negara lain dalam bidang keamanan. 2.2.4 Misi-Misi Perdamaian NATO NATO merupakan salah satu dari bentuk organisasi internasional yang berbasis regional, meliputi daerah Amerika Utara dan Eropa, sehingga Kekuasaan NATO hanya dapat dijalankan di daerah-daerah tersebut. Tujuan daripada pembentukan NATO ialah untuk menjamin stabilitas keamanan khususnya di daerah Amerika Utara dan Eropa Barat, dan memiliki tujuan umum untuk turut membantu menjaga perdamaian, kemananan dan stabilitas ekonomi politik dunia. Sehingga sebagai pengaplikasian tujuan-tujuan tersebut, NATO membuka kesempatan pengadaan bantuan dalam bentuk kerjasama dengan Negara-negara 48 lain yang bukan anggota NATO, yang menyebabkan ruang lingkup NATO bertambah luas. Misi-misi perdamaian yang dijalani NATO hingga saat ini ialah the International Security Assistance Force (ISAF) di Afghanistan, dimana tujuan utama NATO ialah untuk medukung Afghanistan menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga rekonstruksi dan pengembangan dalam negeri dapat berjalan dengan lancer. Kemudian misi perdamaian di Kosovo sejak juni tahun 1999, patroli keamanan oleh kapal-kapal aliansi di Laut Tengah untuk memonitor dan menghambat aktivitas teroris. Membantu melawan bajak laut yang sering menjadi masalah di teluk Aden dan sepanjang laut Afrika. Pelatihan khusus untuk memperkuat efektifitas pasukan militer Iraq. Memimpin operasi militer di Libya berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB dimana NATO dan sekutusekutunya. Melaksanakan embargo senjata dan melakukan larangan kawasan terbang (no-fly zone) dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya melindungi penduduk sipil dan kawasan pemukiman penduduk sipil dari penyerangan-penyerangan militer. Selain misi-misi ini, NATO juga terlibat dalam aktivitas-aktivitas lain dalam pelaksanaan kerjasama dengan sekutu-sekutu NATO, melingkupi pembaharuan militer dan politik, pelatihan strategi militer, kerjasama dalam bidang ilmu pengetahuan, pemberian informasi-informasi dan penyelesaian masalah kemanusiaan.91 91 What is NATO; an Introduction to The Transatlantic Alliance , nato.int URL;http://www.nato.int/cps/en/SID-8C5FCDD9E6E17F41/natolive/what_is_nato.htm, 16 Mei 2015. BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SERANGAN NATO TERHADAP LIBYA 3.1 Tinjauan Umum terhadap Libya di bawah Pemerintahan Moammar Gadaffi Secara umum, Libya ialah sebuah negara di wilayah Afrika Utara yang berbatasan dengan Laut tengah di Utara, Mesir di sebelah Timur, Sudan di Tenggara, Chad dan Niger di sebelah Selatan dan Aljazair serta Tunisia di Barat.92 Negara ini pada mulanya merupakan negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan dengan Raja Idris I sebagai pemimpin pemerintahannya sebelum akhirnya Moammar Gaddafi berhasil melakukan kudetanya pada tahun 1951, dan kemudian menjadikan dirinya sebagai penguasa De Facto Libya. 93 3.1.1 Sejarah Pemerintahan Moammar Gaddafi di Libya Pada masa kepemimpinannya, Gadaffi menghapus Dewan Konstitusi Libya 1951 dan membuat suatu peraturan hukum baru yang didasarkan kepada ideologinya, dan hingga sekarang masih dikenal sebagai ‘The Green Book’. Seperti yang telah disebutkan pada latar belakang penulisan karya ilmiah ini, pemerintahan Gadaffi jauh dari pemerintahan yang ideal bagi masyarakatnya. Walaupun dalam doktrin ‘The Green Book’ nya Gadaffi menganut asas demokrasi namun dalam faktanya orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan merupakan mereka yang loyal kepada Gadaffi, yang berakibat kekuasaan Gadaffi terjamin mutlak telah berada di tangannya. Begitu pula dengan 92 Boardcreations.blogspot.com, URL: http://boardcreations.blogspot.com/2014/12/negaralibya.html, diakses terakhir pada tanggal 15 Mei 2015. 93 Ibid 49 50 keadaan militer Libya sengaja dibuat lemah sehingga kemungkinan untuk melakukan kudeta sangatlah kecil, mengingat unit-unit terkuat dalam militer di Libya dipegang oleh mereka yang loyal kepada Gadaffi. Libya merupakan negara penghasil minyak yang menempati urutan ke-17 tertinggi di dunia namun ironisnya rakyat di Libya justru jauh dari kesan makmur. Berdasarkan data, sekitar 20,74 % masyarakat Libya merupakan pengangguran dan sepertiga dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan yang ditentukan Negara.94 Namun demikian, terdapat beberapa hal positif yang berhasil dicapai dalam pemerintahan Gaddafi ini, yaitu karena hampir 58% pemasukan Libya berasal dari sektor industri minyak, maka pemerintah daerah memerlukan lebih sedikit pajak penghasilan dari industri-industri lain sehingga mereka mempunyai lebih sedikit beban untuk mengembangkan potensi dan ekonomi masyarakat kelas menengah, Libya GDP perkapita, Human Development Index serta kemampuan untuk membaca dan menulis jauh lebih baik daripada Negara-negara tetangganya (Mesir dan Tunisia) dan merupakan yang tertinggi di benua Afrika, bahkan mengalahkan Saudi Arabia.95 Negara ini juga mempunyai program sistem dalam pengembangan kesejahteraan masyarakatnya, yaitu akses dalam memperoleh pendidikan tanpa membayar, pelayanan kesehatan gratis, bantuan keuangan dalam pemberdayaan hidup masyarakat dan akses air bersih secara cuma-cuma lewat pembangunan Great Manmade River.96 94 www.viva.co.id , URL: http://sorot.news.viva.co.id/news/read/207837-harta-di-balikjubah-sang-kolonel-, diakses tanggal 18 Januari 2015. 95 www. http://stats.oecd.org/, dalam Wikipedia..co.id, URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_PDB_(KKB)_per_kapita 96 www.globalresearch.ca/, URL: http://www.globalresearch.ca/libyas-water-wars-andgaddafis-great-man-made-river-project/5334868 diakses tanggal 18 januari 2015. 51 Libya dalam masa pemerintahan Gaddafi merupakan salah satu negara yang bermasalah pada bidang pembangunan, dapat dilihat dari salah satu daerah yang memiliki perekonomian terburuk di bagian Timur, yang justru merupakan tempat dimana Gadaffi memproduksi minyak mentah, dan selain program akses air bersih dan pemberdayaan hidup masyarakat tidak ada infrastruktur / pembangunan lagi di Libya, bahkan program pelayanan kesehatan gratis yang dicetuskan Gaddafi dianggap sangat tidak layak oleh masyarakat Libya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat Libya yang mencari penanganan medis di negara-negara tetangga, seperti Tunisia dan Mesir.97 Layaknya negara-negara yang dikuasai oleh pemerintahan absolut, korupsi dengan tingkat parah terjadi, sebagian besar dari perekonomian di Libya dikuasai oleh Gaddafi, keluarganya beserta loyalis Gaddafi yang berhasil menguasai perekonomian melalui cara-cara politiknya98. Pada tahun 2009 sampai 2011, menurut laporan dari lembaga Freedom Press Index99, Libya merupakan Negara yang paling rendah dalam hak kebebasan pers di daerah Timur Tengah dan Afrika Utara, pembatasan hak untuk bersuara juga dilakukan, hal ini terbukti dalam Undang-undang 75 tahun 1973 dan dalam Undang-undang tahun 1974, Gaddafi menyatakan siapapun yang mendirikan partai politik akan dieksekusi, namun pada tahun 1977, ketika Gaddafi memperkenalkan sistem Jamahiriya, ia juga 97 archives.dailynews.lk/, URL: http://archives.dailynews.lk/2011/10/22/fea02.asp , diakses tanggal 18 januari 2015. 98 www.nytimes.com , URL: http://www.nytimes.com/2011/03/10/world/africa/10qaddafi.html?_r=0, diakses pada tanggal 18 Mei 2015. 99 freedomhouse.org, URL: https://freedomhouse.org/report-types/freedom-press#.VV63aI6qqko, diakses pada tanggal 18 Mei 2015. 52 membentuk komite revolusioner sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat, dimana sistem komite revolusioner ini merupakan partisipasi langsung dari para perwakilan partai-partai tradisional, seiring waktu, kedudukan serta kekuatan daripada komite revolusioner berkembang, dan sering menjadi sumber ketegangan dalam Jamahiriya, hingga Gaddafi sendiri mengkritisi efektifitas dan kekuasaan Komite Revolusioner akhirnya dibatasi pada akhir tahun 1980. Pada tahun 2009, Gaddafi berpidato tentang periode politik baru dan cukup membuat masyarakat tergerak, yang meliputi pemilihan umum posisi-posisi penting dalam pemerintahan (seperti perdana menteri, menteri-menteri, posisi penasehat keamanan Negara) dan berjanji akan mengikutsertakan pihak-pihak pengawas internasional demi menjamin pemilihan yang adil. 3.1.2 Perlawanan Kelompok Oposisi terhadap Pemerintahan Moammar Gaddafi Pada awalnya merupakan aksi protes terhadap pemerintahan Gaddafi, masyarakat menuntut pelaksanaan program bantuan pemerintah dan penanganan korupsi politik yang terjadi di Libya. Di daerah Bayda, Derna, Benghazi, Bani Walid dan kota-kota lainnya, aksi anarkis terjadi, para demonstrans menyerang dan berhasil menguasai kantor-kantor pemerintahan serta menyerang pekerjapekerja pemerintah, dan mulai memuncak pada tanggal 15 Februari 2011, di mana sekitar 500 hingga 600 demonstran berkumpul melakukan aksi protes atas 53 penahanan Fathi Terbil, pejuang hak asasi manusia100 dan aksi tersebut mendapat perlawanan dari pihak kepolisian setempat, dimana 38 orang terluka, 10 di antaranya ialah anggota kepolisian, di kota Bayda dan Zintan juga berkumpul para demonstran yang melakukan tindakan anarkis sebagai aksi ketidakpuasan terhadap pemerintahan Gaddafi dan kepolisian Libya merespon dengan tindakan kekerasan pula, seperti pemakaian ‘water canon’ dan senjata api kepada para demonstran (yang juga bersenjata) sampai pada tanggal 18 Februari 2011, pihak kepolisian terpaksa mundur akibat kewalahan menghadapi demonstran, dan banyak dari anggota kepolisian di daerah-daerah tersebut berbalik bergabung dengan para demonstran dan pemerintah Gaddafi membalasnya dengan menggunakan senjata kepada para demonstran, pada saat itu korban tewas diperkirakan mencapai 49 orang101, sedangkan penduduk di Benghazi memperkirakan korban telah mencapai 200 orang dan pada tanggal 20 Februari, protes mulai menyebar dan situasi memanas, dan pemerintah berupaya mengatasi keadaan tersebut dengan menyerukan bahwa mereka akan mempertahankan Libya dan mengatasi situasi tersebut dan tidak akan membiarkan Al Jazeera, Al Arabiya dan BBC menipu bangsa Libya (We will fight to the last man and woman and bullet. We will not lose Libya. We will not let Al Jazeera, Al Arabiya and BBC trick us) 102 dan tampak jelas bahwa pemerintah Libya menyalahkan situasi 100 http://id.muslimvillage.com/ URL: http://id.muslimvillage.com/2011/02/17/8955/libyansin-fiery-clash-with-government-officials/ , diakses tanggal 18 januari 2015. 101 http://www.theguardian.com/, URL: http://www.theguardian.com/world/2011/feb/18/libya-protests-massacres-reported, diakses terakhir pada tanggal 18 Januari 2015 102 http://www.xinhuanet.com/english/, URL: http://news.xinhuanet.com/english2010/world/2011-02/21/c_13741080.htm, diakses tanggal 18 januari 2015. 54 tersebut kepada pihak luar, khususnya pada Israel yang memang menyuarakan kepada para pemimpin negara Arab untuk tetap bersikap wajar terhadap situasisituasi tersebut, hari-hari berikutnya Gaddafi menyerukan propaganda kepada masyarakat agar tidak mempercayai berita-berita yang bersumber dari luar (selain berita resmi dari pemerintahan Gaddafi) dan pidato propaganda Gaddafi semakin tidak jelas arah dan tujuannya sebab dalam kurun waktu 24 jam, ia kembali melaksanakan propaganda dengan menyalahkan pihak asing dan menyatakan bahwa para demonstran sudah diperdayai oleh mereka, dan hal-hal tersebut hanyalah halusinasi semata dan Gaddafi menolak mengundurkan diri sebab ia tidak memiliki jabatan resmi di mana ia bisa mundur kemudian menyalahkan situasi pemberontakkan kepada “Islamis” dimana ia berpendapat bahwa keadaan tersebut telah diatur di Bayda dan Derna, ia juga menyerukan kepada para pendukungnya untuk mengambil kembali fasilitas-fasilitas yang telah diduduki oleh para demonstran, ia juga mengutarakan bahwa ia belum memerintahkan penggunaan kekerasan dan memperingatkan bahwa bila ia melakukannya maka mereka akan hancur, namun dalam faktanya, pemerintahan Gaddafi telah melaksanakan suatu penggunaan kekerasan dalam upaya mengatasi pemberontakkan, bahkan dalam laopran dari pengamat HAM, diperkirakan korban tewas hingga 22 Februari telah mencapai 232 orang103. Tanggal 23-24 Februari, terjadi perebutan daerah kekuasaan antara Gaddafi dengan para demonstran, dimana berjatuhan banyak korban, terutama para pelajar, Gaddafi meresponnya dengan ucapan turut berduka dan kembali menyalahkan tindakan 103 http://www.aljazeera.com/,URL: http://www.aljazeera.com/news/africa/2011/02/201122261251456133.html, diakses tanggal 18 januari 2015. 55 para pelajar kepada halusinasi yang ditanamkan oleh produk-produk asing dan pada tanggal 25 Februari, untuk pertamakalinya kota Tripoli dimasuki oleh para demonstran meskipun pasukan Gaddafi berhasil mempertahankan Tripoli dan pada tanggal 26 Februari, banyak diantara pasukan Gaddafi beralih mengikuti para pemberontak dan telah ada rencana untuk membentuk suatu organisasi, pada hari itu, Presiden Amerika Serikat (AS), Barrack Obama dan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton mendesak Gaddafi untuk mundur dari kekuasaan demi mencegah tindakan kekerasan lebih lanjut. ‘Dewan Transisi Nasional’ yaitu suatu organisasi yang merupakan bentuk aspirasi para demonstran dalam usahanya untuk mengubah Libya terbentuk pada tanggal 27 Februari 2011, di Benghazi, dengan tujuan utama dari pembentukan ‘Dewan Transisi Nasional’ bukanlah untuk menggantikan pemerintah tandingan dengan pemerintah Moammar Gaddafi melainkan untuk mengatur gerakangerakan pemberontakan di daerah-daerah lain dan untuk menunjukan keberadaan pihak oposisi kepada dunia Internasional. Dewan Transisi Nasional kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai satu-satunya wakil dari Negara Libya yang pada tanggal 10 Maret tahun 2011 diakui oleh Perancis dan Portugal dan Dewan Eropa (European Council) mendorong negara-negara di wilayah Eropa untuk mengakui Dewan Transisi Nasional sebagai satu-satunya perwakilan Negara Libya. Situasi makin memanas dan Perdana Menteri Inggris mengusulkan rencana zona larangan terbang untuk mencegah Gaddafi mengangkut dan menggunakan tentara bayaran serta mencegah penggunaan pesawat militer serta helicopter lapis baja kepada penduduk sipil, kembali Menteri Luar Negeri AS, 56 Hillary Clinton, mendesak Gaddafi untuk mundur demi mencegah jatuhnya korban lebih lanjut, Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smit menegaskan bahwa pemerintah Australia sedang mempertimbangkan penggunaan opsi milter terhadap Gaddafi, sebab kecil kemungkinan niat Gaddafi untuk mundur, pada tanggal 2 Maret 2011, pihak Oposisi secara resmi meminta kepada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk memberlakukan zona larangan terbang dan melakukan serangan udara terhadap pasukan Gaddafi, gagasan Zona Larangan terbang tersebut didukung pula oleh organisasi internasional Liga Arab juga didukung oleh kerjasama negara-negara Africa (African Union).104 Pihak Oposisi juga menolak dialog damai dengan Gaddafi yang disponsori oleh Presiden Venezuela, Hugo Chávez, dan melanjutkan upaya untuk menduduki daerahdaerah dibawah kekuasaan Gaddafi, seperti kota Sirte, yang merupakan daerah asal dan benteng Gaddafi sementara Prancis, Inggris, Amerika Serikat dan negaranegara Timur Tengah bekerjasama dalam mewujudkan resolusi larangan Zona terbang (No-Fly Zone) bagi Libya. Pada tanggal 17 Maret 2011, pasukan Gaddafi berhasil menduduki Gerbang Selatan kota Ajdabiya dan menyegel gerbang Timur serta memasuki kota pelabuhan kecil Zuwetina ke arah Barat Laut kota Ajdabiya, Gaddafi kembali menyatakan bahwa ia bersumpah akan menyerang kota Benghazi di malam yang sama dan menjanjikan amnesti kepada pemberontak yang menyerah secara damai dan pasukannya tidak akan menunjukan belas kasihan kepada mereka yang terus 104 Ibid 57 berjuang.105 Pemimpin pemberontak, Mustafa Abdul Jalil mengatakan bahwa pihak pemberontak tidak akan mundur dan tidak akan terintimidasi. Pada hari itu jugalah, Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1973 (2011) mengenai Zona Larangan Terbang diadopsi oleh PBB.106 Pada tanggal 19 Maret 2011, koalisi Intervensi militer pun dimulai. Para anggota NATO mulai melakukan intervensi militer atas dasar penegakan Resolusi 1973 (2011) mengenai Zona Larangan Terbang yang berisi tentang tuntutan gencatan senjata dan pengakhiran tindakan kekerasan terhadap penduduk sipil, pemberlakuan zona larangan terbang di daerah Libya, pengaturan sarana-sarana yang diperlukan untuk menjamin dan melindungi penduduk sipil, menegaskan embargo senjata terutama pada para tentara bayaran dengan inspeksi-inspeksi paksa terhadap kapal dan pesawat, pelarangan terbang untuk penerbanganpenerbangan Libya, pembekuan asset-aset yang dimiliki oleh otoritas Libya serta menegaskan penggunaan asset-aset tersebut harus digunakan untuk kepentingan masyarakat Libya, mempersempit pemberlakuan larangan perjalanan dan pembekuan aset-aset dalam Resolusi 1970 tersebut ke sejumlah individu dan entitas di Libya dan membentuk dewan khusus untuk memantau dan mendorong pemberlakuan sanksi. 107 105 Aljazeera.com, URL: http://www.aljazeera.com/news/africa/2011/03/2011317645549498.html, diakses tanggal 3 Januari 2015. 106 UN.org/news/, URL: http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=37808, diakses tanggal 3 Januari 2015. 107 http://www.un.org/, URL: http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=37808&Cr=libya&Cr1=#.VL8URdKUewY, diakses tanggal 18 januari 2015 58 Hal ini menguntungkan bagi pihak Oposisi, sebab setelah pengadopsian Resolusi 1973, pertempuran Ajdabiya dan pertempuran kedua di Benghazi, para anggota oposisi yang sebagian besar merupakan penduduk sipil yang bersenjata tidak mempunyai kepemimpinan dan komunikasi yang kurang baik sehingga mereka dengan cepat menjadi kacau dan terpaksa mundur. Dengan meningkatnya frekuensi dan kekuatan dalam setiap serangan NATO, dukungan dari Masyarakat Internasional dan pembelotan-pembelotan yang terjadi dalam pasukan-pasukan elit Gaddafi sendiri, pada akhir bulan Mei, pasukan Oposisi mampu memaksa pasukan Gaddafi keluar dari Misratadan memulai upaya untuk penguasaan wilayah. 108 Dari bulan Juni sampai dengan awal Agustus, pihak oposisi mulai maju dan fokus menduduki kota-kota di daerah Barat dan Dewan Transisi Nasional mendapat pengakuan Internasional dari Amerika Serikat dan negara-negara lain, membuka kedutaan dan kantor-kantor diplomatik di ibu kota negara-negara lain dan meskipun pembunuhan terhadap Komandan Militer, Jenderal Abdul Fatah Younis terjadi, pihak Oposisi yang berbasis di penggunungan Nafusa dengan berani bergerak menuju daerah sekitar Laut Mediterania dan bergerak maju dari Misrata menuju bagian Utara dan Timur dimana para loyalis berada. Sekitar pertengahan Agustus hingga tanggal 23 Oktober, perimeter pertahanan Gaddafi di Tripoli mulai hancur yang menyebabkan Gaddafi dan para loyalisnya pelan tapi pasti bergerak meninggalkan Tripoli, banyak dari loyalis Gaddafi ditangkap atau terbunuh dalam peperangan tersebut, termasuk putra bungsu Gaddafi, Khamis dan 108 http://www.theguardian.com/, URL: http://www.theguardian.com/world/2011/mar/23/libya-no-fly-zone-leadership-squabbles , diakses tanggal 18 januari 2015. 59 pos-pos pertahanan tersebut akhirnya runtuh di bawah serangan efektif yang dilakukan NATO dan Pasukan Oposisi. Pada akhir bulan Desember, Dewan Transisi Nasional telah diakui oleh PBB, Liga Arab dan Uni Afrika sebagai otoritas pemerintahan yang sah dari Negara Libya dan dengan demikian telah memperoleh pengakuan dari sebagian besar negara di dunia. Di saat-saat terakhir, pihak Oposisi dengan gencar menyerang pos-pos pertahanan Gaddafi di Sirthe, dan Gaddafi akhirnya tertangkap di Sirthe109 setelah mengalami luka-luka yang cukup parah, Gaddafi kemudian meninggal dalam penahanan.110 3.1.3 Kualifikasi Konflik Bersenjata di Libya Dalam Persepektif Hukum Internasional Menurut William S. Lind, pengkategorian tentang perang yang disebutnya sebagai Fourth Generation Warfare terbagi dalam empat generasi, yaitu111 : a) First generation warfare Masa ini ialah masa bermunculannya nation-state, yang menggantikan eksistensi klan-klan, aliansi kota dan sebagainya, dimana kepemilikkan senjata dimonopoli oleh negara dan peperangannya mengutamakan tactic of line and column, yaitu pasukan A dan pasukan B berbaris saling berbaris dan saling bertukar tembakan begitu seterusnya sampai salah satu pihak kehabisan pasukan atau mundur. a) Second Generation Warfare 109 http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-15385955, diakses tanggal 22 Mei 2015. http://www.reuters.com/article/2011/10/20/us-libya-idUSTRE79F1FK20111020, diakses tanggal 22 Mei 2015. 111 http://pusbangsdmgrupag.blogspot.com, Url : http://pusbangsdmgrupag.blogspot.com /2012/12/wajah-perang-telah-berubah-suryanto.html, diakses tanggal 24 Mei 2015. 110 60 Pada saat ini, militer mulai berkembang dan menitikberatkan serangan pada taktik yang lebih fleksibel dan penerapan prinsip-prinsip manuver, concealment dan artileri (indirect fire), mulai ada penambahan tentang garis pertahanan yang dilengkapi dengan bunker-bunker. b) Third Generation warfare Ditandai dengan adanya strategi militer yang bersifat non linear dan melakukan serangan langsung ke markas lawan yang pada intinya menitikberatkan pada serangan langsung tanpa mendekati daerah lawan dengan tujuan untuk menghancurkan pasukan militer lawan dan juga memperhatikan pertahanan militer, salah satu contoh dapat diambil dari serangan Jerman, Blitzkrieg, pada pembukaan Perang Dunia ke-2. c) Fourth Generation warfare Merupakan jenis peperangan yang terjadi tidak hanya antar suatu negara dengan negara lain, namun juga terjadi antara negara dengan aktor-aktor bukan negara (gerakan teroris, mafia, gerilyawan, dan lainnya termasuk rakyatnya). Perang ini dapat menjadi perang yang dapat dilakukan tanpa medan tempur yang terdefinisi dengan jelas, garis pemisah antara rakyat sipil dan militer juga menjadi semakin tidak jelas. Perang ini akan terjadi dalam seluruh segi kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer. 61 Dalam Hukum Humaniter sendiri, dikenal dua jenis peperangan berdasarkan sifatnya,112 yaitu konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional yang mana perbedaannya terletak pada pihak-pihak yang bersengketa. Konflik bersenjata internasional ialah perang antara dua negara atau lebih dan tercantum dalam Common Article 2 Konvensi Jenewa 1949113 berserta Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977. Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, konflik yang terjadi antara dua negara atau lebih terdiri dari tiga situasi yaitu Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang sah ; dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang (declaration of war); maupun peperangan yang tidak melakukan pernyataan perang (declared/undeclared war). Kemudian peperangan yang diikuti dengan adanya invasi atau pendudukan dari pihak musuh (occupation) baik yang di dalamnya menemui perlawanan maupun yang tidak dan dalam situasi yang menegaskan dimana pihak dalam peperangan atau yang bersengketa adalah para pihak atau bukan pihak pada Konvensi Jenewa 1949, yang mana hal tersebut tidak menyebabkan tidak berlakunya Konvensi itu sendiri. Sementara sengketa bersenjata non-internasional ialah perang yang melibatkan negara dengan pemberontak di dalam negara. Ketentuan mengenai 112 www.adh-geneva.ch/RULAC/,URL:http://www.adh geneva.ch/RULAC/qualification_of_armed_conflict.php, diakses terakhir pada tanggal 24 Februari 2015. 113 In addition to the provisions which shall be implemented in peace-time, the present Convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the High Contracting Parties, even if the state of war is not recognized by one of them. The Convention shall also apply to all cases of partial or total occupation of the territory of a High Contracting Party, even if the said occupation meets with no armed resistance 62 jenis konflik bersenjata tersebut tercantum dalam common article 3 Konvensi Jenewa 1949114 dan Protokol Tambahan II tahun 1977. Berdasarkan penjelasan mengenai kategori perang di atas, maka konflik yang terjadi di Libya merupakan jenis perang dalam kategori perang generasi keempat (Fourth Generation warfare) dimana konflik militer tersebut disebabkan ketidakpuasan rakyat Libya terhadap pemerintahan Moammar Gaddafi, yang meliputi segala aspek kehidupan dan dalam perkembangannya, garis pemisah antara rakyat sipil dengan militer menjadi semakin kabur. Terkait dengan sifat daripada konflik itu sendiri, perlu kiranya diketahui mengenai status kaum pemberontak di Libya itu sendiri dalam dunia internasional. Sebagaimana yang telah diketahui sejak dulu bahwa subyek hukum internasional ialah Negara, karena dalam Hukum Internasional, ketentuan-ketentuan yang diatur umumnya berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan negara-negara, namun seiring perkembangan dunia internasional115 dan praktek-praktek internasional yang terjadi telah memperluas jangkauan atas subyek-subyek internasional menjadi Lembaga-lembaga dan Organ-organ Internasional,116 bagian-bagian Negara (negara-negara bagian),117 Kaum Beligerensi (para pemberontak),118 individu-individu,119 tahta suci Vatikan,120 114 In the case of armed conflict not of an international character occurring in the territory of one of the High Contracting Parties, each Party to the conflict shall be bound to apply, as a minimum, the following provisions… 115 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 80 116 Ibid, h. 85. 117 Ibid. 118 Ibid 119 J.G Starke, loc.cit. 120 Ibid, h. 2. 63 Palang Merah Internasional, 121 Wilayah perwalian,122 dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.123 Untuk kaum beligerensi (dalam internationalized internal armed conflict), memang tidak terdapat syarat-syarat yang pasti untuk dapat mengatakan suatu entitas sebagai kaum beligerensi yang mempunyai personalitas internasional. Menurut Antonio Cassese agar pemberontak dapat menjadi suatu subyek internasional maka pemberontak tersebut harus membuktikan bahwa mereka mempunyai kontrol yang efektif dari sebagian teritori negaranya dan akibat serta partisipasi masyarakat harus mencapai tingkat intensitas dan waktu tertentu, serta negara (baik negara dimana pemberontak berada dan juga negara-negara lainnya) untuk memberikan atau tidak memberikan, walaupun hanya secara implisit, pengakuan terhadap kaum pemberontak, dengan atau tanpa syarat di atas terpenuhi.124 Personalitas internasional suatu kaum pemberontak juga mempunyai batasan-batasan, yaitu tergantung pada pandangan dan perlakuan subyek-subyek internasional lain terhadapnya sehingga secara teori, jika seluruh anggota suatu komunitas internasional menganggap bahwa kaum pemberontak tersebut tidak mempunyai ataupun tidak memenuhi keseluruhan unsur-unsur yang diperlukan, maka kaum pemberontak tersebut akan mengalami kesulitan dalam memperjuangkan hak-haknya dan menjalankan tugasnya dalam statusnya sebagai subyek internasional bagaimanapun kuatnya dan efektif kekuasaan kaum 121 Ibid, h. 3. I Wayan Parthiana, op.cit, h. 19. 123 Ibid. h. 19. 124 Antonio Cassese, International Law Second Edition, Oxford University Press, New York, 2005, h. 125. 122 64 pemberontak dalam suatu wilayah di negaranya, namun dalam prakteknya tidak selalu demikian, sebab dalam suatu komunitas internasional terdapat kepentingankepentingan politik serta ideologi-ideologi yang berbeda dan negara-negara lain pun dalam beberapa hal mendapat keuntungan bila kaum pemberontak diakui sebagai suyek independen, seperti perlindungan dalam teritorial dalam suatu negara yang mengalami pemberontakan dimana warga-warga asing berada, syarat selanjutnya ialah peperangan dan/atau konflik yang terjadi merupakan peperangan aktual antara pemerintah induk dan pihak pemberontak yang mencapai taraf atau dimensi tertentu sehingga negara-negara luar terpaksa menganggap perang saudara tersebut sebagai perang sesungguhnya antara dua kekuatan yang sesungguhnya dan bukan semata-mata perebutan kekuasaan. Terdapat pula syarat-syarat tertentu yang sebelum suatu keadaan berperang itu diakuiyaitu permusuhan tersebut harus memiliki karakter umum untuk membedakannya dengan konflik yang bersifat lokal. 125 Kemudian pihak pemberontak juga harus melaksanakan kontrol terhadap wilayah yang cukup besar untuk dapat mendukung kegiatannya dan yang terakhir kedua belah pihak harus bertindak sesuai dengan hukum perang dan khusus untuk pihak pemberontak, harus memiliki suatu angkatan bersenjata yang terorganisir di bawah suatu komando yang baik.126 Apabila kita melihat dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kaum pemberontak di Libya telah memenuhi persyaratan untuk dapat diakui sebagai subyek hukum internasional, sehingga sifat dari konflik militer yang terjadi di 125 126 J.G Starke, op.cit, h.198. Ibid 65 Libya merupakan konflik bersenjata yang diinternasionalisasi (internationalized armed conflict). 3.2 Keabsahan Serangan NATO terhadap Libya 3.1.2 Persepektif Hukum Internasional Umum Masyarakat internasional secara umum memandang negatif terhadap perang dan dengan demikian tidak menyukai peperangan, hal tersebut dapat dilihat dalam pembukaan Piagam Bangsa-Bangsa yang mengutarakan mengenai keengganan masyarakat internasional tentang perang mengingat kenyataan setelah terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II.127 Hal ini juga tercermin di dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) Piagam PBB mengenai penyelesaian konflik internasional secara damai dan pelarangan dalam penggunaan kekerasan bersenjata. Serangan NATO terhadap Libya sepintas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, namun demikian dalam Piagam PBB itu sendiri terdapat sejumlah pengecualian sebagaimana yang tercantum dalam Bab VII mengenai tindakan tindakan yang berkaitan dengan ancaman-ancaman kedamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi; terutama dalam Pasal 42 dan 51 Piagam PBB tentang pembelaan diri (self defence). Pasal 42 Piagam PBB menyatakan bahwa Dewan Keamanan dapat melakukan tindakan-tindakan kekerasan senjata baik di darat, udara maupun laut demi memelihara atau 127 Lihat pembukaan Piagam PBB : “…to save succeeding generations from the scourge of war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind, and…” 66 memulihkan perdamaian dan kemananan dunia apabila tindakan yang telah dicantumkan dalam Pasal 41128 tidak cukup atau dianggap tidak mencukupi.129 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya di bagian Latar Belakang tulisan ini, terdapat beberapa resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan berkaitan dengan konflik yang terjadi di Libya. Namun hanya dua resolusi yang pada intinya mempengaruhi situasi konflik bersenjata di Libya, yaitu Resolusi S/RES/1970 (2011) dan Resolusi S/RES/1973 (2011). Inti dari Resolusi 1970 ialah menekankan untuk segera terjadinya penghentian konflik bersenjata; mendesak pemerintah libya untuk beroperasi dengan mengingat hak-hak asasi masyarakatnya, pentingnya menghormati dan menerapkan hukum humaniter; memutuskan untuk melakukan embargo senjata; memastikan pembatasan gerak bagi orang-orang yang tercantum dalam Annex I Resolusi 1970 ini dan pembekuan aset-aset seperti yang tercantum dalam Annex II Resolusi 1970130. Resolusi 1970 juga merupakan peringatan terhadap pemerintah Moammar Gaddafi, sebagaimana dapat dilihat dalam paragraf (26) dimana Dewan Keamanan telah menyatakan kesiapannya dalam mempertimbangkan pengambilan langkah-langkah tambahan sebagaimana yang 128 Article 41, UN Charter: The Security Council may decide what measures not involving the use of armed force are to be employed to give effect to its decisions, and it may call upon the Members of the United Nations to apply such measures. These may include complete or partial interruption of economic relations and of rail, sea, air, postal, telegraphic, radio, and other means of communication, and the severance of diplomatic relations. 129 Article 42, UN Charter : Should the Security Council consider that measures provided for in Article 41 would be inadequate or have proved to be inadequate, it may take such action by air, sea, or land forces as may be necessary to maintain or restore international peace and security. Such action may include demonstrations, blockade, and other operations by air, sea, or land forces of Members of the United Nations. 130 Lihat Resolusi Dewan Keamanan 1970 tahun 2011. 67 diperlukan untuk memfasilitasi dan mendukung kembalinya aspek aspek kemanusian dan bantuan terkait dalam Libyan Arab Jamahiriya.131 Sementara Resolusi 1973 merupakan resolusi yang diambil oleh Dewan Keamanan sebagai akibat dari kegagalan Resolusi 1970 terhadap penanganan situasi konflik bersenjata di Libya. Resolusi ini mencantumkan tentang konsep No Fly Zone dan otorisasi bagi negara-negara anggota untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan melalui organisasi-organisasi regional demi melindungi warga sipil Libya132 sebagaimana tercantum dalam paragraf 4 Resolusi 1973 (2011), yaitu: … Authorizes Member States that have notified the Secretary-General, acting nationally or through regional organizations or arrangements, and acting in cooperation with the Secretary-General, to take all necessary measures, not withstanding paragraph 9 of resolution 1970 (2011), to protect civilians and civilian populated areas under threat of attack in the Libyan Arab Jamahiriya, including Benghazi, while excluding a foreign occupation force of any form on any part of Libyan territory, and requests the Member States concerned to inform the Secretary-General immediately of the measures they take pursuant to the authorization conferred by this paragraph which shall be immediately reported to the Security Council… 131 Lihat Resolusi 1970 (2011), paragraf 26. www.nato.int/ , URL : http://translate.googleusercontent.com/translate_c?anno=2&hl=id&rurl=translate.google.co.id& sl=en&tl=id&u=http://www.nato.int/cps/en/SID-49AA062ACA01A195/natolive/topics_71652.htm, diakses terakhir pada 4 Februari 2015. 132 68 Konsep No Fly Zone pada paragraf 6 S/RES/1973 (2011)133 juga melarang segala bentuk penerbangan dalam seluruh wilayah Libya untuk melindungi penduduk sipil dengan pengecualian pada paragraf 7 S/RES/1973 (2011) mengenai penerbangan-penerbangan yang mengangkut kebutuhan-kebutuhan primer seperti pangan, sandang, obat-obatan serta relawan-relawan kemanusiaan yaitu: … Decides further that the ban imposed by paragraph 6 shall not apply to flights whose sole purpose is humanitarian, such as delivering or facilitating the delivery of assistance, including medical supplies, food, humanitarian workers and related assistance, or evacuating foreign nationals from the Libyan Arab Jamahiriya, nor shall it apply to flights authorised by paragraphs 4 or 8, nor other flights which are deemed necessary by States acting under the authorisation conferred in paragraph 8 to be for the benefit of the Libyan people, and that these flights shall be coordinated with any mechanism established under paragraph 8 … Penerbangan-penerbangan yang tercantum dalam paragraf 8 S/Res/1973 (2011)134 yang dilakukan oleh negara-negara anggota yang sebelumnya telah melaporkan 133 Res/1973/2011/ Par. 6: Decides to establish a ban on all flights in the airspace of the Libyan Arab Jamahiriya in order to help protect civilians. 134 Res/1973/2011/Par. 8 :Authorizes Member States that have notified the Secretary-General and the Secretary-General of the League of Arab States, acting nationally or through regional organizations or arrangements, to take all necessary measures to enforce compliance with the ban on flights imposed by paragraph 6 above, as necessary, and requests the States concerned in cooperation with the League of Arab States to coordinate closely with the Secretary General on the measures they are taking to implement this ban, including by establishing an appropriate mechanism for implementing the provisions of paragraphs 6 and 7 above 69 aktivitas tersebut kepada Sekretaris Jenderal dan Sekretaris Jenderal Liga Arab untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan dalam usahanya menegakkan larangan penerbangan tersebut tidak dilarang, termasuk juga pembentukan mekanisme untuk melaksanakan paragraf 6 dan 7 di atas dan paragraf 9 Res/1973/2011 yang meminta kepada seluruh negara anggota untuk memberikan bantuan baik secara nasional maupun melalui organisasi regional untuk memberikan bantuan demi mendukung pelaksanaan paragraf 4, 6, 7 dan 8 Res/1973/2011 tersebut. Inilah dasar-dasar hukum yang digunakan oleh NATO dalam melakukan operasi militer di Libya.Berdasarkan uraian serta ketentuanketentuan dari resolusi-resolusi di atas, serangan NATO terhadap Libya sesungguhnya tidak dilarang dan merupakan tindakan yang sesuai dengan situasi konflik tersebut, sebab dasar dari serangan NATO ialah resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB. Dimana resolusi 1973 sendiri merupakan tindak lanjut dari Resolusi 1970 yang diadopsi sesuai dengan ketentuan Pasal 41 dan 42 dalam Bab VII Piagam Bangsa Bangsa. Sebagaimana yang telah tercantum dalam piagam tersebut mengenai pendapat maysarakat internasional mengenai peperangan, masih terdapat pengecualian-pengecualian mengenai penggunaan senjata yang dalam situasi konflik di Libya dirasa mengarah pada implementasi Pasal 42 Piagam PBB. 3.2.2 Persepektif Hukum Humaniter Dalam cabang-cabang Hukum Internasional terdapat salah satu bagian yang mengatur tentang perang, baik pembenaran dalam melakukan tindakan 70 kekerasan senjata oleh negara maupun hukum yang berlaku di dalam perang itu sendiri, terkodifikasinya hukum perang merupakan salah satu pengakuan dari umat manusia mengenai konsep berperang dan merupakan usaha untuk menghapuskan atau setidaknya memperkecil kemungkinan terjadinya perang yang kemudian dalam sejarahnya, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hukum perang sebelum akhirnya disebut sebagai hukum Humaniter.135 Prof. Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua bagian, yaitu Jus ad Bellum (hukum yang mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata) dan Jus in Bello (hukum yang berlaku dalam perang)136 dimana sebagian besar pengaturan perang tersebut dalam bentuk treaties (perjanjian-perjanjian) dan conventions (konvensi-konvensi) dan beberapa tidak tertulis. Dua di antaranya merupakan sumber utama dari hukum humaniter, yaitu konvensi Den Haag dan konvensi Jenewa serta beberapa peraturan tambahan dalam Protokol 1977. Konferensi Perdamaian I di Den Haag diadakan beberapa kali, yaitu pada tahun 1899 yang menghasilkan empat buah konvensi.137 Konferensi ini juga menghasilkan tiga deklarasi tentang serta pada tahun 1917 mengenai larangan penggunaan senjata dan bahan peledak dari udara (On the Launching of Projectiles and Explosives from Balloons), mengenai penggunaan gas-gas beracun (On the Use of Projectiles the Object of Which is the Diffusion of Asphyxiating or Deleterious Gases) dan deklarasi ketiga mengenai penggunaan 135 Haryomataram, op.cit. h. 27 Haryomataram, op.cit , h. 6. 137 irnarahmawati.wordpress.com,URL: https://irnarahmawati.wordpress.com/2012/12/25/hukum-den-haag-dan-hukum-jenewa/, diakses tanggal 14 Mei 2015 136 terakhir 71 senjata peluru meriam (On the Use of Bullets Which Expand or Flatten Easily in the Human Body) kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Perdamaian II yang menghasilkan 13 buah konvensi dan meratifikasikan 12 buah konvensi dan dua buah deklarasi tambahan mengenai penambahan dalam deklarasi II tahun 1899 mengenai tipe-tipe pesawat (extending Declaration II from the 1899 Conference to other types of aircraft) dan mengenai arbitrase yang diwajibkan (on the obligatory arbitration). Dalam Hague Convention II-1899 mengenai hukum dan kebiasaan berperang di darat, terdapat pengaturan mengenai pihak pemberontak (belligerents) yang selanjutnya dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1, instruksi angkatan bersenjata para pihak harus menghormati dan mematuhi peraturan yang terlampir dalam konvensi ini, hanya mengikat para pihak pihak yang berwenang dalam kasus perang terjadi antara lebih dari dua negara dan ketentuan tersebut seketika tidak berlaku ketika dalam peperangan dimasuki pihak ketiga yang bukan pihak awal dan bergabung dengan pemberontak yang merupakan salah satu pihak dari peperangan tersebut. Kemudian dalam konvensi selanjutnya pada tahun 1907, Pasal 2 Hague Convention III mengenai tata cara memulai peperangan (The Opening of Hostilities) mengikat dalam hal peperangan antara pemberontak yang merupakan anggota dari konvensi ini dan juga untuk pihak netral yang merupakan anggota konvensi. Sehingga dalam situasi Libya, ketentuan dalam konvensi Den Haag tidak lagi berlaku dengan masuknya NATO sebagai pihak yang membantu pihak 72 pemberontak Hal ini juga kembali ditegaskan dalam konvensi IV-1907138 mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam konvensi tidak mengikat kecuali pihak-pihak dan juga pemberontak merupakan anggota dari konvensi tersebut. Namun demikian, ketentuan-ketentuan dalam Hague Convention masih dan tetap diterapkan dalam keadaan perang yang kemudian dilengkapi oleh peraturan-peraturan dalam Geneva Convention dan dalam kaitannya tersebut, pihak-pihak konflik bersenjata di Libya terikat pada hukum kebiasaan humaniter internasional (Customary International Humanitarian Law) yang merupakan gabungan dari konvensi-konvensi dan deklarasi-deklarasi mengenai perang atau konflik bersenjata, hal ini kemudian kembali dipertegas kenyataan bahwa hukum internasional sendiri tidak melarang perang atau konflik bersenjata seperti yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya mengenai perpektif hukum internasional terhadap tindakan NATO. 138 Pasal 2 Hague Convention IV-1907 The provisions contained in the Regulations referred to in Article 1, as well as in the present Convention, do not apply except between Contracting Powers, and then only if all the belligerents are parties to the Convention. BAB IV BATAS ALASAN PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL SEBAGAI PEMBENARAN DALAM SERANGAN NATO TERHADAP LIBYA 4.1 Perlindungan Penduduk Sipil dalam Hukum Internasional Perlindungan terhadap penduduk sipil merupakan salah satu wujud diakuinya hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam hukum internasional, perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata telah menjadi kewajiban internasional negara-negara yang tertuang di dalam sejumlah konvensi internasional serta merupakan hukum kebiasaan internasional. 4.1.1 Ketertiban Umum dalam Hukum Internasional dalam kaitannya dengan Perlindungan Penduduk Sipil di Libya. Ketertiban umum merupakan salah satu asas yang ada dalam hukum internasional. Makna ketertiban umum dapat dibedakan berdasarkan sistem negara yang dianut. Pada negara-negara Common Law, ketertiban umum dikenal dengan istilah Public Order sedangkan untuik negara-negara Civil Law ketertiban umum dipadankan dengan konsep Law and Order. Penulis berpendapat bahwa konsep ketertiban hukum dalam hukum internasional khususnya berkaitan dengan perlindungan penduduk sipil dapat dirujuk pada Klausa Martens. Klausa ini lahir dari Doktrin Professor Von Martens yang menyatakan sebagai berikut: “Until a more complete code of laws of war is issued, the High Contracting Parties think it right to declare than in cases not included in the Regulations adopted by them, populations and belligerents remain under the protection and empire of the principles of international law, as they result 73 74 from the usages established between civilized nations, from the laws of humanity and the requirement of the public conscience.” Klausa ini terdapat dalam pembukaan Konvensi Den Haag II-1899 mengenai Hukum dan Kebiasaan Berperang di Darat, yang mempunyai pengertian bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan haruslah memenuhi atau mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional yang terbentuk dari kebiasaan antara negara-negara beradab; dari hukum kemanusiaan serta dari hati nurani masyarakat (dictated of public conscience). Nantinya klausa ini juga akan tercantumkan dalam berbagai perjanjian, seperti pembukaan konvensi Hague IV-1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Berperang di Darat, pembukaan Conventional Weapon Convention 1980, dalam konvensi-konvensi Geneva139 dan Protokol Tambahan I.140 Dalam pengertiannya sendiri, klausa ini mengacu pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang lebih dikenal sebagai ‘laws of humanity’ dan pada Protokol Tambahan I disebut sebagai ‘principle of humanity’. Sehingga ketika dikaitkan dengan uraian di atas, ketertiban umum merupakan suatu ‘exceptional cause’; dimana jika terdapat permasalahan yang mengganggu ketertiban umum, seperti permasalahan yang mempengaruhi dunia internasional 139 Lihat Article 63 (konvensi I); Article 62 (Konvensi II); Article 142 (Konvensi III); Article 158 (Konvensi IV) 140 Lihat article 1 (2) : In cases not covered by this Protocol or by other international agreements, civilians and combatants remain under the protection and authority of the principles of international law derived from established custom, from the principles of humanity and from dictates of public conscience. 75 dan juga seperti pelanggaran berat hak asasi manusia,141 negara-negara ataupun suatu organisasi internasional dapat melakukan tindakan-tindakan dalam rangka menjaga ketertiban umum. 4.1.2 Beberapa Pengaturan Khusus tentang Perlindungan Warga Sipil a. Hukum Hak Asasi Manusia Instrumen Hak Asasi Manusia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Franklin Delano Roosevelt mengumumkan pengakuan empat jenis kebebasan di tahun 1941, yaitu kebebasan berbicara (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (freedom from want) dan kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) yang kemudian menginspirasi negara-negara yang tergabung dalam PBB merumuskan Universal Declaration of Humans Rights pada tahun 1948.142 Perkembangan selanjutnya ditandai dengan lahirnya dua dokumen HAM internasional yaitu International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Tidak hanya itu, PBB kemudian mengeluarkan berbagai laporan dan rekomendasi melalui badan-badan khususnya.143 Pada perkembangannya, berbagai subjek hukuim internasional mempunyai andil dalam pemenuhan dan penegakan HAM sehingga pengaturan mengenai hak-hak asasi manusia terus berkembang dan terarah baik di tingkat nasional maupun internasional. 141 Lihat Article 7, Statuta Roma – 1988 Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, 2008, Penerbit Lamalera, h. 57. 143 lihat Human Rights Bodies dalam http://www.ohchr.org/ 142 76 Sejumlah perjanjian internasional dan dokumen internasional di bidang HAM menggariskan perlunya dilakukan perlindungan bagi penduduk sipil dalam situasi perang. Salah satunya adalah Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of Child) yang dalam Pasal 38 ayat (4) konvensi tersebut menyatakan bahwa negara-negara peserta konvensi harus mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka menjamin perlindungan bagi anak-anak yang terkena dampak konflik bersenjata sesuai dengan kewajiban mereka berdasarkan hukum humaniter internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam situasi perang. b. Hukum Humaniter Pengaturan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam situasi konflik bersenjata telah diatur dalam sejumlah instrumen Hukum Humaniter, seperti misalnya Hague Convention-1899 dan 1907 Geneva Convention-1949, dan Protokol-Protokol Tambahan 1977. Pada Hague Konvensi V-1907 mengenai Hak dan Kewajiban Pihak-pihak Netral dalam perang di darat (Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in Case of War on Land) yang intinya pihak netral tidak akan ikut campur dalam peperangan dan sebagai gantinya juga tidak akan mengalami efek langsung dari peperangan tersebut dan mereka tetap diharuskan memberikan bantuan apabila dalam wilayah mereka terdapat anggota atau pihak pemberontak yang terluka ataupun sedang dalam proses penyembuhan.144Seiring perkembangan dunia internasional, peraturan yang tercantum dalam Hague Convention dirasa masih kurang sehingga diadakan Konvensi Jenewa yang secara keseluruhan mengatur 144 Lihat Bab II, Belligerents Interned and Wounded Tended in Neutral Territory dalam Hague konvensi V-1907 mengenai ‘CONVENTION RESPECTING THE RIGHTS AND DUTIES OF NEUTRAL POWERS AND PERSONS IN CASE OF WAR ON LAND’ 77 tentang perlindungan bagi tentara, penduduk sipil, dan perlakuan bagi tawanan perang. Perlindungan Penduduk Sipil secara khusus diatur dalam KonvensiKonvensi Jenewa 1949. Dalam Common Articles 3, diatur bahwa para pihak terikat untuk tidak melakukan kekerasan yang dapat mengakibatkan kematian ataupun mutilasi, penyiksaan, perlakuan kejam, penghinaan, perlakuan yang dapat merendahkan martabat pribadi seseorang, dan pelaksanaan hukuman tanpa melalui proses hukum atau pengadilan yang terstruktur dan sah terhadap penduduk sipil.145 Ketentuan tersebut dipertegas lagi melalui Protokol Tambahan I tahun 1977 , terutama dalam Pasal 51 mengenai perlindungan penduduk sipil, yaitu: “1. The civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against dangers arising from military operations. To give effect to this protection, the following rules, which are additional to other applicable rules of international law, shall be observed in all circumstances. 2. The civilian population as such, as well as individual civilians, shall not be the object of attack. Acts or threats of violence the primary purpose of which is to spread terror among the civilian population are prohibited. 3. Civilians shall enjoy the protection afforded by this section, unless and for such time as they take a direct part in hostilities. 145 Lihat Article 3 (1), Geneva Convention IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam Peperangan. 78 4. Indiscriminate attacks are prohibited. Indiscriminate attacks are: (a) Those which are not directed at a specific military objective; (b) Those which employ a method or means of combat which cannot be directed at a specific military objective; or (c) Those which employ a method or means of combat the effects of which cannot be limited as required by this Protocol; and consequently, in each such case, are of a nature to strike military objectives and civilians or civilian objects without distinction. 5. Among others, the following types of attacks are to be considered as indiscriminate: (a) an attack by bombardment by any methods or means which treats as a single military objective a number of clearly separated and distinct military objectives located in a city, town, village or other area containing a similar concentration of civilians or civilian objects; and (b) an attack which may be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects, or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated. 6. Attacks against the civilian population or civilians by way of reprisals are prohibited. 7. The presence or movements of the civilian population or individual civilians shall not be used to render certain points or areas immune from 79 military operations, in particular in attempts to shield military objectives from attacks or to shield, favour or impede military operations. The Parties to the conflict shall not direct the movement of the civilian population or individual civilians in order to attempt to shield military objectives from attacks or to shield military operations. 8. Any violation of these prohibitions shall not release the Parties to the conflict from their legal obligations with respect to the civilian population and civilians, including the obligation to take the precautionary measures provided for in Article 57 “ Dapat disarikan bahwasanya pasal tersebut menyatakan bahwa penduduk sipil (individual maupun komunal) harus dilindungi dari operasi militer sehingga mereka tidak dapat dijadikan obyek serangan. Selanjutnya diatur pula larangan melakukan serangan membabi buta termasuk di dalamnya pemakaian senjata bom atau sejenisnya yang ditujukan pada sasaran militer tunggal ataupun sejumlah obyek militer yang penempatannya di kota, desa ataupun daerah lain yang banyak terdapat penduduk sipil, juga yang dapat menyebabkan kerugian material maupun immaterial dalam kehidupan penduduk sipil. Ada pula larangan melakukan serangan balasan yang ditujukan pada penduduk sipil, pun pihak yang sedang terlibat konflik juga dilarang dalam usahanya melindungi obyek-obyek penting militer atau sasaran serta operasi militernya dengan menggunakan penduduk sipil, 80 selain peraturan-peraturan tersebut, protokol tambahan I juga telah secara khusus mengatur perlindungan bagi wanita,146 anak-anak,147 dan jurnalis.148 4.2 Praktik Penegakan Ketentuan tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam peperangan, sangat dimungkinkan pemenuhan suatu hak asasi manusia tertentu dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Seperti yang tercantum dalam Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights bahwa Negara dapat melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara dan mengabaikan beberapa kewajiban Negara “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam bangsa” dan “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat sangat darurat”. Hal yang sama juga tercantum dalam Pasal 15 Konvensi Eropa – 1950 mengenai HAM. Namun demikian kebutuhan agar Hak Asasi Manusia tetap terjaga selama peperangan telah mendapat pengakuan penuh dengan disetujuinya Konvensi Jenewa-1949 terutama Konvensi IV dan juga melalui usaha-usaha PBB dalam menekankan jaminan penghormatan hak asasi manusia pada pertikaian bersenjata dan pembatasan penggunaan senjata-senjata tertentu, beserta sejumlah dukungan dari lembaga-lembaga pengadilan internasional yang akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya. 4.2.1 Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad ‘Hoc Pengadilan Ad ‘Hoc merupakan suatu badan peradilan yang dibentuk dan dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja.149 Adapun contoh dari pengadilan Ad 146 Lihat Article 76 Protokol Tambahan I-1977 Lihat Article 77 dan 78 Protokol Tambahan I-1977 148 Lihat Article 79 Protokol tambahan I-1977 147 81 ‘Hoc ialah Mahkamah Nuremberg, yang dibentuk berdasarkan Nuremberg Charter atau yang lebih dikenal dengan London Charter; yang memiliki yuridiksi untuk mengadili kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (crimes war) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).150 Selanjutnya ialah mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for the Far East) dengan pengaturan yuridiksi yang sama dengan mahkamah Nuremberg. Hanya saja Mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan proklamasi Jenderal Douglas Mac Arthur,151 bukannya berdasarkan perjanjian (treaty) layaknya Nuremberg. Contoh lainnya adalah ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) yang dibentuk pada tahun 1991 yang secara khusus menangani kejahatan kemanusiaan yang terjadi di daerah bekas Yugoslavia (termasuk Kroasia, Bosnia dan Herzegovina). ICTY ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan 827 (1993) kemudian Resolusi Dewan Keamanan 1966 (2010) dengan tujuan melanjutkan yuridiksi, hak, kewajiban dan fungsi penting ICTY152 ‘ 149 http://www.learnersdictionary.com, URL: http://www.learnersdictionary.com/qa/whatdoes-ad-hoc-mean 150 Lihat article 6 London Charter 151 http://sayfudin27071992.blogspot.com, URL: http://sayfudin27071992.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_4393.html, diakses 15 April 2012. 152 Article 4 Resolusi Dewan Keamanan 1966 – 2010 : Decides that, as of the commencement date of each branch referred to in paragraph 1, the Mechanism shall continue the jurisdiction, rights and obligations and essential functions of the ICTY and the ICTR, respectively, subject to the provisions of this resolution and the Statute of the Mechanism, and all contracts and international agreements concluded by the United Nations in relation to the ICTY and the ICTR, and still in force as of the relevant commencement date, shall continue in force mutatis mutandis in relation to the Mechanism; 82 Serupa dengan ICTW, pernah juga dibentuk ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 955-1994. ICTR dibentuk untuk menangani kejahatan genosida di Rwanda yang dilakukan antara tanggal 1 Januari 1994 hingga 31 Desember 1994.153 Berdasarkan putusan ICTY dalam Tadic Case, kejahatan perang yang dapat diadili haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut154: 1. Tindakan tersebut haruslah merupakan suatu pelanggaran dalam ketentuan-ketentuan hukum humaniter internasional; 2. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan suatu yang umum, apabila ketentuan tersebut berasal dari suatu perjanjian, syarat-syarat didalamnya harus terpenuhi; 3. Tindakan tersebut haruslah merupakan suatu tindakan ‘serius’, dalam pengertian bahwa tindakan pidana tersebut merupakan pelanggaran ataupun penyalahgunaan wewenang dan/atau kekuasaan terhadap pasalpasal yang mengatur kepentingan yang harus dilindungi, sebagai contoh apabila tentara ataupun kombatan menghancurkan ataupun mencuri sepotong roti di daerah yang telah dikuasainya, itu bukan berarti tentara/kombatan tersebut melakukan suatu pelanggaran serius dalam hukum humaniter internasional, mereka tidak akan diadili karenanya, meskipun pada dasarnya mereka melanggar Pasal 46 paragraf (1) Konvensi Den Haag, dimana dinyatakan properti atau barang-barang 153 www.unictr.org, URL: http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx, diakses 16 April 2012. 154 Robert Kolb and Richard Hyde, An Introduction to the International Law of Armed Conflict, 2008, Hart Publishing, h. 291. 83 pribadi harus dihormati oleh pihak militer yang berhasil menduduki wilayah musuhnya; 4. Pelanggaran tersebut haruslah beserta ketentuan yang dilanggar, baik yang merupakan hukum kebiasaan ataupun hukum konvensional, dan juga kewajiban kriminal individu yang melanggar ketentuan tersebut. 4.2.2 Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan salah satu upaya dari penegakan hukum bagi para pelaku kejahatan internasional dan merupakan suatu badan permanen independen. ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma – 1998 dan telah berlaku efektif sejak 1 Juli 2002 dengan diratifikasi oleh 60 negara. Pasal 5 Statuta Roma menentukan empat jenis kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan internasional, yaitu kejahatan genosida (The crime of genoside), kejahatan kemanusiaan (Crime against humanity), kejahatan perang (War crimes) dan kejahatan agresi (The crime of aggressions). Secara umum pasal-pasal dalam Statuta Roma telah mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil seperti dalam Pasal 7 yang menyebutkan “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti bahwa tindakan yang dilakukan menjadi salah satu bagian dari serangan sistemasis yang meluas terhadap penduduk sipil.155 Terdapat 155 Lihat Pasal 7 Statuta Roma : ‘... "crime against humanity" means any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population...’ 84 pula dalam Pasal 8 mengenai kesengajaan dalam melakukan serangan yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap warga sipil dan objek-objek sipil.156 Dalam Pasal 13 Statuta Roma dijelaskan mengenai yuridiksi ICC untuk mengadili dan meminta pertanggungjawaban individu (Individual criminal responsibility) yang melakukan, memfasilitasi, dan memberikan perintah sehingga menyebabkan terjadinya kejahatan-kejahatan yang berada dalam lingkup kejahatan internasional dalam situasi dimana jaksa prenuntut mengambil prakarsa melakukan suatu pengadilan berkaitan dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 Statuta Roma. Selain hal-hal tersebut dalam menyelesaikan suatu kasus, ICC akan bekerja dengan mengadili kasus-kasus kejahatan internasional hanya bila mahkamah nasional tidak ingin dan/atau tidak mampu mengadili pelaku-pelaku kejahatan yang dimaksud157 atau bila terjadi situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum oleh dewan keamanan yang bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB, sehingga dapat dikatakan ICC merupakan pengadilan pelengkap atau komplementer dari suatu pengadilan nasional oleh karenanya yuridiksi ICC hanya dapat dilaksanakan bila ternyata suatu negara tidak ingin atau tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi Mahkamah Pidana Internasional. 156 157 Lihat Pasal 8, Statuta Roma – 1988 Lihat Pasal 21, Statuta Roma – 1988 85 4.3 Analisis Penggunaan Alasan Perlindungan Penduduk Sipil dalam Serangan NATO terhadap Libya Dalam uraian berikut, penulis akan menyajikan analisis yang merupakan pokok bahasan utama dalam penulisan skripsi ini. Analisis akan difokuskan pada konsep perlindungan penduduk sipil serta doktrin Responsibility to Protect. 4.3.1 Konsep Perlindungan Penduduk Sipil Salah satu kewajiban negara adalah melindungi warga negaranya158 baik di dalam maupun di luar wilayah kedaulatannya dan dalam hukum internasional khususnya hukum perang internasional. Pertanyaan hukum yang kemudian muncul adalah apakah masyarakat internasional --yang dalam hal ini diwakili oleh organisasi internasional (termasuk NATO)-- memiliki kewajiban untuk melindungi penduduk sipil dari suatu negara berdaulat. Dalam konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, penduduk sipil sering kali mengungsi secara besar-besaran dan kerap tidak luput dari sasaran suatu serangan militer. Bahkan, sejumlah kasus yang dihadapi oleh penduduk sipil menunjukkan terjadinya pembantaian massal, penyanderaan, kekerasan seksual, pelecehan seksual, pengusiran, pemindahan secara paksa, penjarahan, dan penutupan akses ke air, makanan, dan perawatan kesehatan.159 Perluasan arti mengenai ‘perlindungan terhadap penduduk sipil’ kemudian terjadi dalam masyarakat Internasional yang ditandai dengan mulai disadarinya adanya perbedaan antara combatan dengan penduduk sipil, juga terhadap sasaran militer 158 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, 1994, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 42. 159 Ambarwati, dkk, 2009, Hukum Humaniter Internasional, Rajawali Pers, Jakarta. h.152. 86 dengan objek sipil160 yang dapat dilihat dalam Pasal 48 dan Pasal 51 Protokol Tambahan I-1977. Negara, khususnya militernya, dan organisasi internasional sebagai pelaku utama dalam konflik bersenjata kemudian mulai menerapkan konsep perlindungan warga sipil. Dalam doktrin militer negara-negara, konsep ini dituangkan sebagai pedoman bagi kombatan dalam membedakan pelaku kombatan, sasaran militer dengan penduduk sipil dan objek sipil semata.161 Sedangkan bagi organisasi internasional konsep ini diartikulasikan secara umum menjadi dua jenis, yaitu perlindungan bagi penduduk sipil sebagai tujuan utama ingin dicapai dan perlindungan bagi pendudk sipil yang lebih menjurus menjadi target yang dapat diselesaikan seiring dengan tercapainya misi mereka atau mejadi salah satu unsur yang mendukung penyelesaian misi utamanya.162 Ada sejumlah konsep perlindungan sipil yang justru dikembangkan oleh berbagai negara, khususnya berkaitan strategi militer. Sebagai contoh, Amerika Serikat mengeluarkan Doktrin FM 3-24 (Counterinsurgency Field Manual 3–24) sebagai pedoman lapangan dalam konflik Irak dan Afganistan pada tahun 2006. Doktrin ini merubah tindakan militer Amerika Serikat yang dalam menyelesaikan konflik bersenjata menggunakan konsep ‘Enemy-Centric Approach’ dan ‘Population-Centric Approach’, dimana hanya berfokus pada menangkap 160 Jean-Marie Henckaert and Louise Doswald-Beck, 2005, ICRC, Customary International Humanitarian Law, Vol. 1: Rules, Cambridge University Press, Cambridge. h. 11-17 161 Lihat Gordon, S, The Protection of Civilians: An Evolving Paradigm?. Stability: International Journal of Security & Development, 2013, PDF document, h. 4, http://dx.doi.org/10.5334/sta.cb. 162 Gordon, S, Op.cit . h.8 87 dan/atau membunuh musuh dan melindungi penduduk,163 menjadi konsep melindungi, membantu dan mengusahakan kesejahteraan penduduk sipil sebagai fokus utamanya.164 Amerika Serikat selanjutnya mengeluarkan strategi militer yang berjudul ‘Peace Operations’ (2007) mengenai unsur-unsur perlindungan penduduk sipil yang berfokus pada perlindungan terhadap komponen sipil dari misi internasional khususnya dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada negara lain. Maka dapat disimpulkan bahwa doktrin militer negara adi daya ini telah menyertakan konsep perlindungan penduduk sipil namun tidak sebagai tujuan akhir yang ingin dicapai. 165 Selain Amerika Serikat, Doktrin militer Inggris juga menyiratkan adanya konsep perlindungan terhadap penduduk sipil. Hal ini dapat dilihat dalam JDP 340 (UK Military 2009 Joint Doctrine Publication 3–40: Security and Stabilisation: The Military Contribution) yang memberikan perlindungan di daerah terjadinya konflik, pengamanan di situs-situs penting, patroli intensif, dan perlindungan ekstra (memberikan jam malam di daerah tertentu).166 Selain JDP 340, terdapat doktrin-doktrin lain yang dikeluarkan Inggris mengenai pentingnya perlindungan penduduk sipil sebagai fokus utamanya. JWP 3–50 (Joint Warfare Publication, The Military Contribution to Peace Support Operations (Second Edition) menyinggung tentang pentingnya hukum dan melindungi hak 163 Cigionline.org, URL : https://www.cigionline.org/blogs/2010/2/why-population-centricapproach-doesnt-go-far-enough, diakses terakhir tanggal 3 Juni 2015. 164 Gordon, S, The Protection of Civilians: An Evolving Paradigm?. Stability: International Journal of Security & Development, 2013, PDF document, h. 4, http://dx.doi.org/10.5334/sta.cb. 165 Ibid . 166 UK Military 2009 Joint Doctrine Publication 3–40: Security and Stabilisation: The Military Contribution) dalam https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/49948/jdp3_40a4.p df. 88 kemanusiaan tanpa ada penafsiran yang sistematis mengenai perlindungan penduduk sipil. Begitu pula dalam JMD 4-03 (Joint Medical Doctrine FM 4–03) dan laporan dari Unit Stabilisasi Inggris (The UK Stabilisation Unit’s 2008 publication ‘The UK Approach to Stabilisation: Stabilisation Unit Guidance Notes’). Pengaturan yang paling mendekati konsep perlindungan penduduk sipil ialah JDN 5/11 (UK MOD’s ‘Peacekeeping: An Evolving Role For Military Forces’ Joint Doctrine Note 5/11). Doktrin ini memuat bagaimana luasnya pengaruh perlindungan kepada penduduk sipil dalam pemeliharaan perdamaian dan keharmonisan dengan pemimpin suatu masyarakat.167 Doktrin-doktrin mengenai konsep perlindungan penduduk sipil juga dikembangkan oleh Organisasi Internasional, terutama organisasi yang mempunyai tujuan sebagai bentuk pertahanan kolektif dan/atau sebagai pengendalian krisis seperti misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa dan NATO. Konsep yang tertuang di dalam Doktrin FM 3-24 milik AS secara tidak langsung diadopsi oleh NATO sebab dalam operasi militer di Irak dan Afganistan, NATO juga turut berperan di dalamnya. JDN 5/11 juga berfungsi sebagai laporan terhadap doktrin NATO sendiri. Pada bulan Mei 2010, NATO mengeluarkan JOG 10/01 (Joint Operational Guidelines for Counterinsurgency) yang telah mengakui pentingnya usaha melindungi masyarakat dengan tujuan militernya pengamanan populasi dan mengalahkan pemberontak.168 Contoh Organisasi Internasional lain yang juga mengeluarkan doktrin tersebut ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsep perlindungan 167 Gordon, S, Op.Cit . h. 6 Nato.int, Lihat Bi-Sc Joint Operational Guidelines (JOG) 10/01 Counterinsurgency, 2010 (Nato Headquarters). 168 89 penduduk sipil dapat dilihat pada pembukaan Piagam PBB paragraf 2169 dimana juga menjadi dasar pembeda antara doktrin PBB dengan doktrin NATO. Doktrindoktrin NATO lebih menganggap perlindungan penduduk sipil merupakan salah satu komponen dalam strategi politik dan militernya, sementara PBB menjadikan perlindungan tersebut sebagai tujuan utama yang ingin dicapai.170 Dalam serangan NATO terhadap Libya, konsep perlindungan penduduk sipil diimplementasikan dengan baik sebagaimana dapat dilihat dalam Annual Report 2011 oleh Sekretaris Jendral NATO, Anders Fogh Rasmussen. Seperti yang telah diketahui, operasi NATO di Libya mempunyai tiga tujuan utama yaitu penegakan larangan ‘No-Fly zone’, embargo senjata dan penyerangan balik terhadap ancaman bagi penduduk sipil dan pemukiman sipil. NATO kemudian melakukan pemeriksaan 300 kapal muatan dan menolak 11 kapal tersebut untuk masuk ke pelabuhan, NATO juga melakukan sekitar 26ribu kali inspeksi udara dengan 42% diantaranya melakukan serangan balasan atau menghancurkan target militer. NATO juga mengkoordinasi jalur darat, udara dan perairan agar misi-misi kemanusiaan yang dilakukan PBB dan NGO lain dapat berlanjt tanpa hambatan.171 Syarat mutlak bagi operasi militer di Libya ialah meminimalkan kerusakan dan korban warga sipil sehingga serangan udara kemudian dilakukan. Penyerangan tersebut dilakukan dengan hati-hati dan sebisa mungkin tidak mengenai infrastruktur ynag penting bagi penduduk sipil. Hal ini kemudian 169 Lihat Preamble U.N Charter : ...to save succeeding generations from the scourge of war... Gordon, S, Op.Cit . h. 8 171 Nato.int, 2012, NATO Secretary General The Secretary General’s Annual Report 2011 , Anders Fogh Rasmussen, NATO Public Diplomacy Division 1110 , Brussels – Belgium.. h. 7 170 90 didukung oleh sekretaris Jendral PBB, pada saat itu, Ban Ki-moon yang menyatakan bahwa operasi militer yang dilakukan NATO telah sesuai dengan Resolusi DK PBB 1973.172 4.3.2 Doktrin Responsibility to Protect Doktrin Responsibility to Protect merupakan suatu konsep yang telah lama dipertimbangkan dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 2005 oleh PBB. Konsep ini merupakan pembaharuan dari konsep-konsep tentang intervensi; seperti intervensi militer ataupun intervensi kemanusiaan. Sebagaimana yang telah diketahui, negara mempunyai kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban untuk tidak melakukan perang, untuk melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik, dan kewajiban untuk tidak mencampuri urusan negara lain. Menurut Mahkamah Internasional, intervensi yang dilarang merupakan intervensi yang terjadi apabila masalah tersebut sebenarnya dapat diputuskan sendiri secara bebas oleh negara yang di-intervensi dan apabila intervensi tersebut dilakukan berdasarkan paksaan ataupun dengan kekerasan.173 Sehingga apabila suatu intervensi tidak memenuhi kedua syarat tersebut, intervensi itu tidaklah dilarang meskipun demikian masih terdapat perdebatan mengenai tindakan intervensi tersebut, terutama mengenai intervensi yang dilakukan berdasarkan situasi kemanusiaan. Isu mengenai intervensi kemanusiaan juga disinggung dalam laporan Sekretaris Jenderal PBB yang berjudul “We the peoples: the role of the United Nations in the twenty-first century” yang menyatakan bahwa : 172 Ibid. h.8 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, 1994, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 31. 173 91 ‘Humanitarian intervention is a sensitive issue, fraught with political difficulty and not susceptible to easy answers. But surely no legal principle — not even sovereignty — can ever shield crimes against humanity. Where such crimes occur and peaceful attempts to halt them have been exhausted, the Security Council has a moral duty to act on behalf of the international community. The fact that we cannot protect people everywhere is no reason for doing nothing when we can. Armed intervention must always remain the option of last resort, but in the face of mass murder it is an option that cannot be relinquished. ‘.174 Kontroversi ini kemudian mencapai puncaknya ketika pada tahun 1999 ketika NATO melakukan intervensi militer terhadap situasi di Kosovo (Serbia) dimana pada saat itu justifikasi terhadap aksi militer bukanlah hal yang baru bagi otoritas Dewan Keamanan. Meskipun moral atas kemanusiaan digunakan sebagai pembenaran untuk aksi militer, dugaan bahwa intervensi tersebut menghasilkan lebih banyak korban daripada yang seharusnya juga tidak dapat dihindari; dan terdapat banyak kritik terhadap cara/metode yang dipakai sekutu NATO dalam melaksanakan operasi tersebut. 175 Pada dasarnya, Responsibility to Protect meyakini bahwa tiap negara berdaulat mempunyai kewajiban, dan tanggung jawab utamanya ialah melindungi rakyat dan baru mempertimbangkan melakukan intervensi apabila terdapat suatu kondisi dimana populasi menderita ataupun mengalami kerugian serius sebagai 174 Lihat U.N General Assembly , A/54/2000, h. 35 ICISS, The Responsibility to Protect, Report of the International Comissions on Intervention and State Sovereignty, 2001, h.1 175 92 akibat dari perang internal, pemberontakan, penindasan dan apabila negara tersebut tidak ingin dan/atau tidak dapat mencegah keadaan tersebut.176 Konsep Responsibility to Protect dapat dibagi menjadi tiga bagian khusus, yaitu:177 a) The responsibility to prevent (tanggung jawab untuk mencegah) b) The responsibility to react (tanggung jawab untuk bereaksi) c) The responsibility to rebuild (tanggung jawab untuk membangun kembali) Pencegahan atau Responsibility to prevent merupakan prioritas dan intervensi, terutama intervensi militer merupakan cara terakhir yang akan digunakan apabila benar setiap pilihan non-militer atau resolusi damai telah dieksplorasi. Dalam penggunaan intervensi militer pun Responsibility to Protect mempunyai syarat yang harus dipenuhi, yaitu apabila terdapat hilangnya nyawa/kehidupan dalam jumlah besar, baik disengaja ataupun tidak, genosida, negara tidak ingin ataupun mampu mencegah dan/atau dalam keadaan negara gagal dan kondisi kedua; apabila terdapat pembersihan ethnis dalam skala besar, baik disengaja ataupun tidak, dilakukan dengan cara pembunuhan, pengusiran paksa, pemerkosaan, teror dan lainnya. 178 Dapat dikualifisir bahwa tindakan NATO lebih mengarah kepada ‘the Responsibility to React’ atau tanggung jawab untuk bereaksi. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa reaksi NATO amat mempertimbangkan dengan serius terjadinya 176 177 178 Ibid. h.7 Ibid. h.XI Ibid. h.19 93 sejumlah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Libya. Selain itu, tindakan NATO juga merupakan reaksi atas seruan Dewan Keamanan PBB yang tertuang di dalam Resolusi Nomor 1973. Dalam pelaksanaan intervensi militer, Responsibility to Protect mempunyai standar operasional179 yaitu: a) Tujuan militer yang jelas; mandat yang jelas serta tidak ambigu dan sumber daya yang cocok; b) Pendekatan militer yang umum diantara anggota; kesatuan komando militer serta komunikasi dan rantai komando yang jelas; c) Tujuan objektif ialah perlindungan penduduk dan bukannya mengalahkan musuh, pembatasan dalam penerapan kekuatan bersenjata; d) Peraturan-peraturan yang dipakai dalam intervensi sesuai dengan prinsip proposionalitas dan menggunakan serta menghormati hukum humaniter internasional; e) Perlindungan paksa bukanlah merupakan tujuan utama; dan f) Koordinasi semaksimal mungkin dengan organisasi-organisasi kemanusiaan. Dalam kasus NATO di Libya, penggunaan Responsibility to Protect dapat dilihat dalam implementasi dari Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1970 dan 1973 dimana telah jelas maksud dan tujuannya, yaitu menggunakan segala cara yang diperlukan untuk melindungi warga sipil Libya.180 Hal ini tercantum dalam Laporan tahunan Sekjen NATO tahun 2011 (The Secretary General’s 179 Ibid. h.XIII Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1970 (2011), Par Keamanan PBB S/RES/1973 (2011), Par 4. 180 9.dan Resolusi Dewan 94 Annual Report 2011, Anders Fogh Rasmussen ) bahwa dalam pelaksanaan misi nya di Libya, NATO mempunyai 3 komponen yaitu embargo senjata untuk mencegah adanya penggunanan senjata dan bahan berbahaya lainnya oleh tentara Libya, pelaksanaan zona larangan terbang dengan tujuan mencegah terjadi pemboman udara objek sipil dan serangan darat dan udara bagi mereka yang terlibat atau merupakan ancaman bagi penduduk sipil Libya dan area pemukimannya.181 4.3.3 Tinjauan Komprehensif Tindakan NATO dalam melakukan serangan terhadap Libya merupakan tindakan yang diambil dengan alasan ‘perlindungan penduduk sipil’ sebagaimana konsep perlindungan penduduk sipil yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya. Penggunaan alasan perlindungan penduduk sipil oleh NATO seseungguhnya juga merupakan implementasi dari konsep Responsibility to Protect, yaitu suatu konsep yang hanya mempertimbangkan ‘intervensi’ sebagai jalan terakhir atau hanya jika benar tidak ada pilihan lain lagi pilihan dalam menyelesaikan suatu masalah. Tindakan NATO lebih mengarah kepada ‘the Responsibility to React’ atau tanggung jawab untuk bereaksi. Dengan demikian, menurut penulis ada empat batasan mengapa alasan perlindungan penduduk sipil dapat digunakan sebagai pembenaran bagi NATO untuk melakukan serangan terhadap Libya. 181 Nato.int, 2012, NATO Secretary General The Secretary General’s Annual Report 2011 , Anders Fogh Rasmussen, NATO Public Diplomacy Division 1110 , Brussels – Belgium.. h. 7 95 Pertama, tujuan serangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan penduduk sipil dari kemungkinan terjadinya pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang lebih buruk. Sebagaimana yang akan terjadi apabila situasi di Libya tidak ditangani, karena seiring dengan terus berjalannya konflik situasi dalam negeri Libya akan semakin parah. Hal ini kemudian akan berakibat pada merosotnya kondisi ekonomi, sosial dan politik yang kemudian akan memaksa warga sipil melakukan berbagai cara demi bertahan hidup. Kedua, secara prosedural, serangan tersebut bukanlah operasi militer NATO yang bersifat unilateral karena justru mendapatkan legitimasi dari Dewan Keamanan PBB yang tertuang di dalam Resolusi Nomor 1970 dan 1973. Hal ini juga mendapat dukungan dari PBB melalui Sekretaris Jendral-nya pada saat itu, Mr. Ban Ki-moon.182 Ketiga, dalam konteks hukum Humaniter Internasional, serangan tersebut diarahkan kepada kombatan dan sasaran militer yang sah sehingga tidak justru mengakibatkan korban berjatuhan yang lebih banyak lagi di kalangan penduduk sipil. Hal ini kemudian dapat dilihat pada laporan tahun 2011 oleh sekretaris jendral NATO pada saat itu, Anders Fogh Rasmussen. Serangan tersebut juga telah memenuhi syarat yang terdapat dalam Hukum Humaniter mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil, obyek sipil, pemukiman penduduk dan orang yang tidak mau dan/atau mampu mengangkat senjata.183 182 NATO Secretary General The Secretary General’s Annual Report 2011, Ibid. h.8 Lihat Protokol Tambahan I 1997 article 1 (2) : In cases not covered by this Protocol or by other international agreements, civilians and combatants remain under the protection and authority of the principles of international law derived from established custom, from the principles of humanity and from dictates of public conscience. 183 96 Keempat, serangan NATO tersebut telah memenuhi unsur konsep perlindungan penduduk sipil sebagaimana dikenal di berbagai negara dan organisasi internasional pada umumnya serta merupakan implementasi dari doktrin Responsibility to Protect, khususnya mengenai tanggung jawab untuk bereaksi (responsibility to react) sebagaimana telah diatur dalam ICISS, The Responsibility to Protect, Report of the International Comissions on Intervention and State Sovereignty. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan dari penyusunan skripsi ini sebagai berikut: 1. Legalitas serangan militer NATO terhadap Libya tidaklah melanggar norma penggunaan kekuatan (the use of force) dalam hukum Internasional. Berdasarkan Pasal 42 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penggunaan kekuatan dapat dilakukan atas dasar bahwa tindakan tersebut berkaitan ancaman dan/atau pelanggaran perdamaian dunia serta tindakan agresi. NATO dalam menggunakan kekuatan militernya tersebut telah mendasarkan pada Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1970 dan 1973 yang merupakan implementasi dari Pasal 42 Piagam PBB. 2. Ada empat batasan mengapa alasan perlindungan penduduk sipil dapat digunakan sebagai pembenaran bagi NATO untuk melakukan serangan terhadap Libya. Pertama, tujuan serangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan penduduk sipil dari kemungkinan terjadinya pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang lebih buruk. Kedua, secara prosedural, serangan tersebut bukanlah operasi militer NATO yang bersifat unilateral karena justru mendapatkan legitimasi dari Dewan Keamanan PBB yang tertuang di dalam Resolusi Nomor 1970 dan 1973. Ketiga, dalam konteks hukum Humaniter Internasional, serangan tersebut diarahkan kepada kombatan dan sasaran militer yang sah sehingga tidak 97 98 justru mengakibatkan korban berjatuhan yang lebih banyak lagi di kalangan penduduk sipil. Keempat, serangan NATO tersebut telah memenuhi unsur konsep perlindungan penduduk sipil sebagaimana dikenal di berbagai negara dan organisasi internasional pada umumnya serta merupakan implementasi dari doktrin Responsibility to Protect, khususnya mengenai tanggung jawab untuk bereaksi (responsibility to react) 5.2 Saran-saran Adapun saran yang dapat diberikan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. NATO hendaknya menyusun suatu pedoman pelaksanaan misi Responsibility to Protect yang memuat panduan teknis perlindungan penduduk sipil serta berisi tata cara implementasi yang lengkap dan terperinci. 2. Perserikatan Bangsa-Bangsa hendaknya menginisiasi pembentukan instrumen hukum internasional yang mengikat sebagai penjabaran dari doktrin Responsibility to Protect sebagai perwujudan tujuan PBB untuk menjaga perdamaian dan ketertiban dunia. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ambarwati, dkk, 2009, Hukum Humaniter Internasional, rajawali pers Jakarta. Cassese, Antonio , 2005, International Law Second Edition, Oxford University Press, New York. D.W. Bowett.Q.C, 1991, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta. Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. _______, 1994, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta. Hassim.M, 2011, Pendidikan kewarganegaraan 2, Quadra, Bogor. Istanto, Sugeng, 1998, Hukum Internasional, Cetakan II, PenerbitanUniversitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. _______, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan universitas atma jaya, Yogyakarta. Kleden, Marianus , 2008, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, 2008, Penerbit Lamalera. Kolb, Robert and Richard Hyde, 2008, An Introduction to the International Law of Armed Conflict, Hart Publishing. Kurnia, Titon Slamet , 2009, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud , 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Mauna, Boer , 2010, Hukum Internasional Pengertian; Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global; edisi ke-2, P.T ALUMNI Bandung, Bandung. _______ , 2000, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, PT.Ghalia Indonesia, Jakarta, 99 100 NATO Handbook, 2006, Public Diplomacy Division NATO, Brussel 1110, Belgium. Parthiana, I Wayan , 1990, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung. _______ , 2002, Perjanjian Hukum Internasional Bagian 1, Mandar Maju, Bandung. Rudi, Teuku May , 1993, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT. Eresco, Bandung. Shaw, Malcolm N. , 2008, International Law (Sixth Edition), Cambrige University Press, New York. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum normatif suatu tinjauan singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta. Supoyo, J. , 1996, Hukum Perang Udara dalam Humaniter, PT.Toko Gunung Agung, Jakarta. Suwardi, Sri Setianingsih, 2004, Pengantar Hukum Oranisasi Internasional, penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Starke, J.G , 2004, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta. Syahmin A.K, 1985, Hukum Internasional Humaniter 1, Penerbit C.V Armico, Bandung _______ , 1985, Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, Palembang. B. Instrumen Hukum Internasional Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945 Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/25/2625 Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1970 (2011) Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1973 (2011) Piagam North Atlantic Treaty Organization (NATO) Binacipta, 101 Konvensi Den Haag Konvensi Jenewa dan Protokol 1997 Statuta Roma 1988 C. Skripsi / Hasil Penelitian Rukayah Tahir Ali, 2011, Perlindungan Warga Sipil yang menjadi Korban dalam Konflik Bersenjata Israel-Palestina ditinjau dari Segi Hukum Humaniter, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali. ICISS, 2010, The Responsibility to Protect, Report of the Internasional Commission on Intervention and State Soverignty. United Nation General Assembly, 2000, A/54/2000. Gordon, S, 2013, The Protection of Civilians: An Evolving Paradigm? Stability: International Journal of Security & Development http://dx.doi.org/10.5334/sta.cb D. Artikel / Jurnal Aljazeera.com, URL: http://www.aljazeera.com/ Archive.org,URL:https://archive.org/ Arlina Web’s Blog, URL: http://arlina100.wordpress.com/ ANTARANEWS.com, URL: http://www.antaranews.com/ Archives.dailynews.lk/, URL: http://archives.dailynews.lk/ Bbc.co.uk, URL : http://www.bbc.co.uk/ Boardcreations.blogspot, URL : http://boardcreations.blogspot.com/ CYBERSabili.com, URL: http://sabili.co.id/internasional/ 102 Freedomhouse.org, URL: https://freedomhouse.org/ History.com, URL: http://www.history.com/ Id.muslimvillage.com/ URL: http://id.muslimvillage.com/ Irnarahmawati.wordpress.com , URL: https://irnarahmawati.wordpress.com/ ISJD.PDIII.LIPI.go.id , URL: http://isjd.pdii.lipi.go.id/ Kompas.Com, URL: Kompas.com URL : http://kompas.com/ Learnersdictionary.com, URL: http://www.learnersdictionary.com/ NATO.int URL : www.nato.int/ Nytimes.com , URL: http://www.nytimes.com/ Ourcivilisation.com/URL: http://www.ourcivilisation.com/ Ohchr.org, URL : http://www.ohchr.org/ PelitaOnline.com, URL : http://www.pelitaonline.com/ Pusbangsdmgrupag.blogspot.com, URL : http://pusbangsdmgrupag.blogspot.com/2012/12/wajah-perang-telah-berubahsuryanto.html Reuters.com ,URL: http://www.reuters.com/ Secretary General’s video blog, URL: http://andersfogh.info/2011/06/22/natoprotecting-civilians-in-libya, Shvoong.com, URL: http://id.shvoong.com/ Sayfudin27071992.blogspot.com, URL: http://sayfudin27071992.blogspot.com/ Stat.oecd.org, URL : www. http://stats.oecd.org/ Theguardian.com/, URL: http://www.theguardian.com/ Un.org, URL: http://www.un.org/ 103 Unpan.org, URL: http://unpan1.un.org/ Unictr.org, URL: http://www.unictr.org/ Vva.co.id , URL: http://sorot.news.viva.co.id/ Xinhuanet.com/english/, URL: http://news.xinhuanet.com/ 104 LAMPIRAN-LAMPIRAN