justifikasi perlindungan penduduk sipil dalam serangan militer nato

advertisement
SKRIPSI
JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL
DALAM SERANGAN MILITER NATO TERHADAP
LIBYA
VERONIKA PUTERI KANGAGUNG
NIM. 0803005123
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL
DALAM SERANGAN MILITER NATO TERHADAP
LIBYA
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
VERONIKA PUTERI KANGAGUNG
NIM. 0803005123
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii iii SKRIPSI INI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL : 6 Agustus 2015
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas
Udayana
Nomor : 313/UN14.1.11.1/PP.05.02/2015 Tanggal 23 Juli 2015
Ketua
: Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.,M.Hum
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
NIP.196112241988031001
Sekretaris
: A.A. Sri Utari, SH.,MH
NIP.197702172001122001
Anggota
: 1. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH,.H.Hum
NIP.195803211986021001
: 2. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH.,MH
NIP.197305281998021001
: 3. I Gede Putra Ariana, SH.,M.Kn
NIP.197807042008011009
iv v KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“JUSTIFIKASI
PERLINDUNGAN
PENDUDUK
SIPIL
DALAM
SERANGAN MILITER NATO TERHADAP LIBYA”. Skripsi ini diajukan
sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
Penyusunan karya tulis ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, yaitu
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana SH,.MH., selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH., selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
v vi 5. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum
Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Bapak I Gede Putra Ariana, SH.,M.Kn., Sekretaris Bagian Hukum
Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7. Bapak Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.,M.Hum., selaku dosen
pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
8. Ibu A.A. Sri Utari, SH.,Mh., selaku dosen pembimbing II yang telah
membimbing penulis dalam penyusunan tugas akhir ini.
9. Bapak I Made Budi Arsika SH.,L.LM., selaku dosen yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini.
10. Bapak I Ketut Sudjana, S.H.,M.H., Pembimbing Akademik, atas
pengarahan pengambilan mata kuliah guna menyelesaikan studi kuliah
penulis.
11. Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayan yang
telah banyak memberikan ilmu serta wawasan yang lebih kepada
penulis.
12. Orang tua penulis Kartika Winatha (alm.) dan Yulia Susanty, serta
adik-adik saya yang selalu mendukung dengan perhatian, semangat,
dan doa.
vii 13. Sahabat
penulis Sheryl, Suri, Odilia, Sanie, Haniffa, Nurhayati,
terimakasih untuk semua bantuan, semangat dan doa selama
penyusunan tugas akhir ini.
14. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun sehingga akan menjadi lebih baik di masa yang akan
datang. Harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua
pihak yang membutuhkannya.
Denpasar, Juni 2015
Penulis
viii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan
ini
penulis
menyatakan
bahwa,
Karya
Ilmiah/Penulisan
Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun,
dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu
pada naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban
ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar,
Yang menyatakan,
(Veronika Puteri Kangagung)
0803005123
ix DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ........................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...........................
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ..................
KATA PENGANTAR ......................................................................................
iii
iv
v
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ..................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................
7
1.3. Ruang Lingkup Masalah ............................................................
8
1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................
9
a. Tujuan Umum ..........................................................................
9
b. Tujuan Khusus .........................................................................
9
1.5. Manfaat Penelitian .....................................................................
9
a. Manfaat Teoritis .......................................................................
9
b. Manfaat Praktis ........................................................................ 10
1.6. Landasan Teoritis ...................................................................... 10
1.7. Metode Penelitian ..................................................................... 18
a. Jenis Penelitian ......................................................................... 18
b. Jenis Pendekatan ...................................................................... 18
c. Sumber Bahan Hukum ............................................................. 20
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ....................................... 21
e. Teknik Analisa Bahan Hukum ................................................. 22
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NATO .......................................... 23
2.1. Sejarah Lahirnya NATO ........................................................... 23
2.1.1. Pengaruh Perang Dingin ................................................. 23
2.1.2. Tujuan Pendirian NATO ................................................. 26
x 2.1.3. Ruang Lingkup dan Asas-Asas NATO ........................... 29
2.1.4. Perkembangan Terakhir NATO ...................................... 32
2.2. NATO sebagai Organisasi Internasional ................................... 35
2.2.1. Hubungan antara Kedudukan, Fungsi dan Kewenangan
NATO .............................................................................. 35
2.2.2. Kekhasan NATO sebagai Organisasi Internasional ........ 40
2.2.3. Kedudukan, Fungsi dan Kekuasaan NATO .................... 43
2.2.4. Misi-Misi Perdamaian NATO ......................................... 47
BAB III PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SERANGAN NATO
TERHDAP LIBYA ......................................................................................... 49
3.1. Tinjauan Umum terhadap Libya di bawah Pemerintahan Moammar
Gaddafi ..................................................................................... 49
3.1.1. Sejarah Pemerintahan Moammar Gaddafi di Libya ........ 49
3.1.2. Perlawanan Kelompok Oposisis terhadap Pemerintahan
Moammar Gaddafi .................................................................... 52
3.1.3. Kualifikasi Konflik Bersenjata di Libya Dalam Perspektif
Hukum Internasional ................................................................. 59
3.2. Keabsahan Serangan NATO terhadap Libya ............................
3.2.1. Perspektif Hukum Internasional Umum .........................
3.2.2. Perspektif Hukum Humaniter .........................................
BAB IV BATAS ALASAN PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL SEBAGAI
PEMBENARAN DALAM SERANGAN NATO TERHADAP LIBYA ....... 73
4.1. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Hukum Internasional ...... 73
4.1.1. Ketertiban Umum dalam Hukum Internasional dalam
Kaitannya dengan Perlindungan Penduduk Sipil ..................... 73
4.1.2. Beberapa Pengaturan Khusus .......................................... 75
a. Hukum Hak Asasi Manusia ................................................... 75
b. Hukum Humaniter ................................................................. 76
4.2. Praktik Penegakan Ketentuan tentang Perlindungan
Penduduk Sipil .......................................................................... 80
4.2.1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad ’Hoc ........................ 80
xi 4.2.2. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) ........................... 83
4.3. Analisis Penggunaan Alasan Perlindungan Penduduk Sipil dalam
Serangan NATO terhadap Libya .............................................. 85
4.3.1. Konsep Perlindungan Penduduk Sipil ............................. 85
4.3.2. Doktrin Responsibility To Protect .................................. 90
4.3.3. Tinjauan Komperhensif ................................................... 94
BAB V PENUTUP........................................................................................... 97
5.1. Kesimpulan ................................................................................ 97
5.2. Saran........................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 99
LAMPIRAN ..................................................................................................... 104
ABSTRAK ...................................................................................................... xii
xii JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN
MILITER NATO TERHADAP LIBYA
ABSTRAK
Seiring perubahan jaman dunia selalu berkembang, demikian pula dengan
permasalahan-permasalahan yang terjadi. Salah satu isu internasional yang terjadi
adalah ketika pada tahun 2011 terjadi pemberontakan di Libya. Timbulnya
pemberontakan ini kemudian menimbulkan banyaknya korban sipil dan membuat
prihatin dunia internasional. Organisasi-organisasi internasional kemudian turut
berperan dengan konsep melindungi warga sipil Libya dan salah satu diantaranya
ialah NATO.
Serangan yang dilakukan oleh NATO terhadap Libya kemudian
mengakibatkan jatuhnya korban sipil. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan
mengenai legalitas serangan tersebut beserta batasan pemakaian alasan
perlindungan penduduk sipil dapat dibenarkan.Tulisan skripsi ini memakai
metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan kasus. Dasar yang dipakai dalam penulisan skripsi ini ialah Hukum
Internasional, Hukum Humaniter Internasional, serta instrumen-instrumen hukum
internasional seperti Resolusi Dewan Keamanan PBB 1970 dan Resolusi Dewan
Keamanan PBB 1973 serta Kovensi Deen Haag, Kovensi Jenewa, Statuta Roma
dan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian skripsi ini, NATO dapat dibenarkan dalam
melakukan serangannya terhadap Libya. Dasar pembenaran ini ialah konsep
‘perlindungan penduduk sipil’ yang tertuang dalam Resolusi DK PBB 1970 dan
1973, khususnya dalam paragraf 4 (Res.DK PBB 1973).
Kata Kunci : NATO, Hukum Internasional, Hukum Humaniter, Kovensi Deen
Haag, Kovensi Jenewa, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1970, Resolusi Dewan
Keamanan PBB 1973.
xiii JUSTIFICATION OF CIVILIANS PROTECTION IN NATO MILITARY ATTACK
ON LIBYA
ABSTRACT
As the world changes and evolving, so as the problems that occured. One
international issue that happen is when a rebellion in 2011 occurred in Libya.
This then led to an uprising by the number of civilian casualties and create
international concern. International organizations then contribute to the concept
of protecting Libyan civilians and NATO is one of them.
Attacks carried out by NATO against Libya later resulted in civilian
casualties. This then raises the question of the legality of such attacks and their
usage limit civilian protection reasons can be used. This paper’ll used normative
legal research methods to approach legislation and case approach. The basis
used in this thesis is International Law, International Humanitarian Law, as well
as legal instruments such as the UN Security Council Resolution 1970 and UN
Security Council Resolution 1973 as well as Deen Haag Convention, the Geneva
Conventions, the Rome Statute and other.
Based on the results of this thesis, NATO can be justified in conducting
attacks against Libya. The basic justification is that the concept of 'protection of
civilians' as stated in UNSC Resolutions 1970 and 1973, particularly in
paragraphs 4 (Res.DK UN 1973).
Keywords: NATO, International Law, Humanitarian Law, Deen Haag
Convention, the Geneva Conventions, the UN Security Council Resolution 1970,
UN Security Council Resolution 1973.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan
Konflik di Libya merupakan akibat dari aksi protes masyarakat Libya yang
menuntut pelaksanaan program bantuan pemerintah dan penanganan korupsi
politik terhadap pemerintah Gaddafi. Aksi tersebut kemudian mendapat
perlawanan dari pemerintahan Gaddafi yang merespon dengan tindakan
kekerasan, seperti pemakaian ‘water canon’ dan senjata api kepada para
demonstran. Tindakan tersebut ternyata berujung pada tewasnya ratusan orang
yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah.1
Kejadian tersebut kemudian menjadi sorotan masyarakat internasional
khususnya mengenai isu Hak Asasi Manusia (HAM). Sejumlah entitas
internasional pun mendesak pemerintah Libya untuk menghentikan tindakantindakan yang pelanggaran berat HAM terhadap rakyatnya. Respon pemerintah
Libya yang mengabaikan desakan tersebut memicu reaksi serius masyarakat
internasional.
Pada tanggal 30 Juli 2011, North Atlantic Treaty Organization (NATO)
melakukan serangan udara terhadap kantor media pemerintah Libya yang
kemudian menewaskan 3 orang pekerja media dan melukai 21 orang lainnya.
Serangan tersebut merupakan salah satu contoh serangan-serangan yang telah
1
Disarikan dari Aljazeera.com, URL:
http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2011/02/201122171649677912.html diakses terakhir
pada tanggal 6 Mei 2015.
1 2 dilakukan NATO. Hingga tanggal 17 Agustus 2011, serangan militer NATO telah
menewaskan 1.108 warga sipil dan melukai 4.537 orang lainnya.2
Menarik untuk dicermati bahwasanya serangan militer NATO ke Libya
ternyata didasarkan atas alasan untuk perlindungan penduduk sipil, sebagaimana
dinyatakan secara tegas dalam pernyataan Sekretaris NATO.3 Adapun salah satu
justifikasi yang digunakan oleh NATO ialah Resolusi Nomor 1973 yang diadopsi
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 17 Maret
2011 yang berbunyi sebagai berikut:
“Calls upon all Member States, acting nationally or through regional
organizations or arrangements, to provide assistance, including any necessary
over flight approvals, for the purposes of implementing paragraphs 4, 6, 7 and 8
above”4
Dapat diartikan, bahwa yang dimaksud dari paragraf 4 dalam resolusi
tersebut ialah memberikan otorisasi kepada negara-negara yang telah diberi
wewenang untuk bertindak secara unilateral atau melalui organisasi internasional
untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi warga sipil
dan penduduk sipil dari suatu ancaman serangan. Sementara paragraf 65 dan 76
merupakan ketentuan yang menjelaskan mengenai pelarangan terbang (konsep
‘No Fly Zone’) di daerah Jamahiriya Arab dengan pengecualian penerbangan-
2
CYBERSabili.com, URL: http://sabili.co.id/internasional/sudah-1-108-warga-libya-tewasdalam-serangan-nato, diakses terakhir tanggal 6 Mei 2015.
3
Secretary General’s video blog, URL: http://andersfogh.info/2011/06/22/nato-protectingcivilians-in-libya, diakses tanggal 22 Mei 2015.
4
Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1973 (2011), Par 9.
5
Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES1973 (2011), Par.6
6
Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES1973 (2011), Par.7
3 penerbangan yang dilakukan dengan alasan kemanusiaan. Kemudian, paragraf 87
berisi ketentuan yang menegaskan kepada seluruh anggota yang telah
mengkonfirmasikan keanggotaanya kepada Sekretaris Jenderal PBB maupun
Sekretaris Jenderal Liga Arab, untuk melakukan segala upaya tindakan yang
diperlukan secara unilateral atau melalui organisasi internasional guna
mendukung pelaksanaan ketentuan dalam paragraf 6 dan 7 di atas.
Negara Libya pada tahun 1951 merupakan negara berbentuk kerajaan
yang dipimpin oleh Raja Idris I. Pasca kudeta yang dipimpin oleh Muammar
Gaddafi, Libya menjadi negara demokrasi yang menganut asas desentralisasi serta
mempunyai dewan-dewan lokal yang akan menjalankan tugas-tugas pemerintahan
sesuai dengan filosofi yang tertulis di dalam buku ciptaannya “The Green Book”.8
Namun pada kenyataannya, struktur pemerintahan tersebut hanyalah manipulasi
politik yang dibuat oleh Gaddafi, dengan maksud untuk memastikan dominasi
seluruh kekuasaan negara Libya tetap berada di tangannya.
Seiring dengan kepemimpinannya, grafik keadaan ekonomi, politik dan
bahkan kesehatan masyarakat mulai melemah cukup drastis. Diperkirakan
sebanyak 20,74% warga Libya merupakan pengangguran, lebih dari 16% keluarga
tidak memiliki penghasilan tetap, sementara 43% di antara mereka hanya
memiliki satu anggota keluarga dengan penghasilan tetap. Selain itu, Tidak
banyak pula pembangunan yang dilakukan oleh Gaddafi dalam 40 tahun terakhir,
malah mengakibatkan banyaknya masalah-masalah sosial yang melanda warga
Libya, termasuk di antaranya ialah masalah kesehatan, sehingga banyak dari
7
Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES1973 (2011), Par.8 Archive.org,URL:https://archive.org/details/TheGreenBook_848, diakses terakhir tanggal
6 Mei 2015.
8
4 masyarakat Libya terpaksa berobat ke negara-negara tetangga seperti Tunisia dan
Mesir.9
Protes yang dilakukan warga Libya telah dimulai pada awal Januari 2011
hingga puncaknya terjadi pada bulan Maret 2011. Bentuk dari protes ini ialah
berupa aksi demonstrasi warga yang merupakan oposisi pemerintah di berbagai
kota di Libya, yaitu Tripoli, Tajoura, Zintan dan kota-kota lainnya. Mereka
menuntut Gaddafi untuk turun dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya
selama 42 tahun. Demonstrasi tersebut berujung pada konflik bersenjata antara
pasukan pemerintah dan pasukan oposisi yang memakan korban jiwa sebanyak
165 orang.10 Insiden tersebut kemudian menuai respon negatif dari masyarakat
internasional yang menilai tindakan pemerintah Libya terhadap warganya
merupakan tindakan yang menimbulkan ketidakpastian perlindungan Hak Asasi
Manusia (HAM) dari pemerintah Libya terhadap warganya.
Konflik bersenjata antara pihak pemerintah dengan pihak oposisi di negara
Libya kemudian menarik perhatian masyarakat internasional yang menilai konflik
tersebut sebagai ancaman terhadap keselamatan penduduk sipil Libya. Guna
merespon situasi tersebut, pada tanggal 26 Februari 2011, Dewan Keamanan PBB
memutuskan untuk mengadopsi Resolusi S/RES/1970 (2011)11 yang kemudian
disusul dengan Resolusi S/RES/1973(2011) pada tanggal 17 Maret 2011. Salah
satu isu penting termuat di dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB
9
Bbc.co.uk, URL : http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-12532929, diakses terakhir 6
Mei 2015.
10
ANTARANEWS.com, URL: http://www.antaranews.com/berita/270884/pejabat-pbbsesalkan-serangan-nato-terhadap-tv-libya , diakses tanggal 18 Mei 2015.
11
Tentang embargo pasukan, larangan berpergian dan pembekuan asset yang berhubungan
dengan situasi Arab Jamahiriya Libya.
5 S/RES/1973(2011)12 yang secara spesifik mencantumkan tentang no-fly zone di
daerah sekitar Libya. Langkah ini diambil atas usulan pihak oposisi demi
mencegah serangan udara yang dilakukan pasukan Gaddafi terhadap mereka.13
Keterlibatan NATO untuk menjalankan mandat Dewan Keamanan PBB,
khususnya dalam konteks operasi militer, bukanlah sesuatu hal yang baru. Sejak
terbentuk secara resmi pada tanggal 4 Maret 1949, organisasi ini ditujukan
sebagai aliansi militer yang mengembangkan sistem pertahanan kolektif dan
mutual terhadap serangan oleh pihak eksternal.14 Organisasi ini mendukung
penyelesaian sengketa secara damai yang apabila tidak berhasil, dapat
menggunakan
kapasitas
militer
yang
dibutuhkan
untuk
melaksanakan
penyelesaian sengketa.15
Dalam pembukaan North Atlantic Treaty juga telah disebutkan NATO
menegaskan kepercayaannya terhadap tujuan dan prinsip-prinsip yang tercantum
dalam Piagam PBB.16 Sesuai dengan Pasal 1 North Atlantic Treaty bahwa NATO
mempunyai wewenang dalam membantu menyelesaikan konflik internasional,
baik dalam cara-cara damai dan juga penggunaan kekuatan sesuai dengan tujuan
dari PBB sendiri.17
12
Tentang perlindungan warga sipil atas Hak Asasi Manusia.
13 Kompas.comURL :
http://internasional.kompas.com/read/2011/03/18/11181543/Apa.Arti.Zona.Larangan.Terbang.Lib
ya, diakses tanggal 10 Mei 2015.
14 Nato.int URL: http://www.nato.int/history/nato-history.html, diakses tanggal 6 mei 2015.
15 www.nato.int, URL :
http://www.nato.int/cps/en/SID F90A25B4F402E863/natolive/what_is_nato.html, diakses tanggal
10 Mei 2015.
16
Opening statement of The North Atlantic Treaty (1949):
… The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the Charter of
the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and all Governments…
17
North Atlantic Treaty (1949); Article 1 :
... The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle ...
6 Apabila kemampuan dan keterlibatan NATO dalam sejumlah operasi
militer sebelumnya memang telah direncanakan dan diprediksi, maka dalam
serangannya yang dilancarkan ke Libya kali ini tersirat suatu kejanggalan. NATO
menjustifikasi bahwa serangan militer ke Libya yang dilakukannya adalah dalam
rangka memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil, akan tetapi faktanya
justru NATO juga menargetkan serangannya kepada penduduk sipil dan obyek
sipil. Sementara dalam kasus ini, NATO jelas-jelas telah melakukan serangan
terhadap berbagai gedung ataupun kota yang tidak dipertahankan.18
Maka timbul sebuah pertanyaan, bukankah penyerangan tersebut telah
melanggar ketentuan Konvensi IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan
Kebiasaan Perang di Darat, tepatnya seperti yang dinyatakan dalam Artikel 25
yaitu “The subject to attack or bombardment, by any means whatever, of
undefended towns, villages, or buildings is forbidden.” Dapat diartikan bahwa
penyerangan atau pemboman terhadap kota-kota, desa-desa, kampung-kampung
atau gedung-gedung yang tidak dipertahankan adalah dilarang.19
Hal menarik yang muncul dalam kasus ini adalah timbulnya sebuah
pertanyaan yaitu, dapatkah perlindungan terhadap penduduk sipil dijadikan
justifikasi dari suatu serangan militer? Melihat permasalahan tersebut, penulis
beranggapan bahwa perlu dilakukan kajian terhadap penggunaan kekuatan militer
oleh NATO khususnya menyangkut legalitas dan justifikasi perlindungan
penduduk sipil yang digunakan dalam melakukan serangan tersebut. Selain hal
18
PelitaOnline.com, URL :
http://www.pelitaonline.com/read/politik/internasional/16/5536/serangan-nato-bunuh-85-wargasipil-di-libya/, diakses tanggal 19 Mei 2015.
19
J. Supoyo, 1996, Hukum Perang Udara dalam Humaniter, PT.Toko Gunung Agung,
Jakarta, h. 32.
7 tersebut penulis merasa permasalahan tersebut penting untuk ditulis, sebab sejauh
ini hal mengenai peperangan belum diatur secara tegas dalam Piagam PBB.20
Perlindungan penduduk sipil sebagai alasan menggunakan kekuatan juga
melanggar salah satu asas hukum internasional yaitu prinsip Non-Intervensi.
Dapat pula dipertanyakan mengenai wewenang NATO dalam melaksanakan
resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB. Sepanjang pengetahuan penulis belum
ada mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Udayana yang menulis ataupun
mengangkat permasalahan tersebut sebagai tugas akhirnya. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk mengangkat kasus tersebut dalam bentuk karya tulis dengan
judul “JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM
SERANGAN MILITER NATO TERHADAP LIBYA”.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat
dua masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam karya tulis ini, yaitu :
1. Bagaimanakah legalitas serangan militer NATO terhadap Libya
ditinjau dari perspektif penggunaan kekuatan (the use of force) dalam
Hukum Internasional?
2. Dalam batas bagaimanakah alasan perlindungan penduduk sipil dapat
digunakan sebagai pembenaran bagi NATO untuk melakukan serangan
terhadap Libya?
4
20
Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.
8 1.3
Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dari dua masalah
pokok yang menjadi fokusnya, pembahasan dalam skripsi akan dibatasi ruang
lingkupnya sebagai berikut:
1. Secara umum akan diuraikan mengenai sejarah lahirnya NATO secara
singkat dan kiprahnya sebagai organisasi internasional.
2. Secara umum membahas tentang pemerintahan Moammar Gaddafi, pihak
oposisi dan kualifikasi konflik bersenjata yang terjadi di Libya dalam
perspektif hukum internasional serta keabsahan serangan tersebut baik dari
sudut
pandang
hukum
internasional
maupun
hukum
humaniter
internasional.
3. Akan dibahas pula mengenai ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan perlindungan penduduk sipil seperti dalam hukum hak asasi
manusia internasional dan dalam hukum humaniter innternasional, serta
penegakan ketentuan tersebut yang menyangkut bagaimana praktik
penegakan tersebut dalam Mahkamah Internasional Ad’Hoc dan dalam
Mahkamah Pidana Internasional.
4. Akan diuraikan pula mengenai analisis penggunaan alasan perlindungan
penduduk sipil dalam serangan NATO terhadap Libya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan perlindungan penduduk sipil yang terdapat dalam
Konvensi Jenewa 1949 ataupun dalam hukum humaniter internasional
kebiasaan (Customary International Humanitarian Law), dan doktrin
Responsibility to Protect sebagai tinjauan komprehensif.
9 1.4
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini
ialah :
a. Tujuan Umum, yaitu :
1. Untuk
mengetahui
ketentuan
hukum
internasional
mengenai
penggunaan kekuatan senjata sebagai sarana untuk menyelesaikan
masalah.
2. Untuk mengetahui penggunaan kekuatan senjata oleh organisasi
internasional di luar PBB.
b. Tujuan Khusus, yaitu :
1. Untuk menganalisis legalitas serangan militer NATO terhadap Libya
ditinjau dari perspektif penggunaan kekuatan (the use of force) dalam
Hukum Internasional.
2. Untuk menganalisis apakah perlindungan penduduk sipil dapat
menjadi dasar justifikasi atas serangan militer NATO terhadap Libya.
1.5
Manfaat Penelitian
a.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman serta
jawaban mengenai legalitas serta kewenangan serangan militer NATO
terhadap Libya, khususnya mengenai pemakaian konsep ‘The Use of
Force’ dan konsep ‘Responsibility to Protect’. Selain itu, penelitian ini
akan turut memberikan kontribusi teoritik dalam hal hubungan antara
10 Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia dalam perkembangan hukum
internasional.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Bagi institusi pendidikan militer, termasuk dalam hal ini
lembaga pelatihan dan bagi staf dan komandan di lingkungan Tentara
Nasional Indonesia, tulisan ini dapat digunakan sebagai rujukan akademis
guna memahami urgensi dan batasan dilakukannya suatu intervensi militer
(military intervention) dalam kasus kemanusiaan.
2. Bagi Organisasi Internasional, tulisan ini dapat dijadikan
sebagai salah satu referensi ilmiah yang menjelaskan mengenai fungsi
Organisasi Regional dalam penanganan isu perlindungan bagi penduduk
sipil
1.6
Landasan Teoritis
a.
Common Consent dan Pacta Sunt Servanda
Hukum Internasional merupakan kumpulan ketentuan hukum yang
berlakunya dipertahankan oleh masyarakat internasional.
lebih lanjut, hukum
21
Dijelaskan
internasional telah memenuhi unsur-unsur yang
menetapkan pengertian hukum yakni kumpulan ketentuan yang mengatur
tingkah laku orang dalam masyarakat yang berlakunya dipertahankan oleh
‘external power’ masyarakat yang bersangkutan.
21
Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta, h. 4 11 Common Consent merupakan salah satu prinsip-prinsip umum hukum
yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negaranegara. Prinsip ini menerangkan bahwa mengikatnya hukum internasional
dikarenakan adanya kehendak bersama dari negara-negara. Sementara
prinsip Pacta Sunt Servanda (agreement must be kept) mempunyai arti
bahwa perjanjian harus ditaati. Prinsip ini kemudian menjadi salah satu
asas hukum internasional seperti yang tercantum dalam pasal 26 Konvensi
Wina tahun 1969.22
Hal ini kemudian akan berkaitan dengan pelaksanaan daripada
perjanjian-perjanjian internasional yang merupakan salah satu sumber
hukum dari hukum internasional.
b. Teori Ius Ad Bellum dan Teori Ius In Bello
Ius ad bellum merupakan hukum tentang perang, yang berupa
kumpulan ketentuan hukum mengenai hal bagaimana negara dibenarkan
menggunakan kekerasan bersenjata. Terdapat banyak teori yang
berhubungan dengan bagaimana atau kapan Negara dibenarkan untuk
berperang, namun umumnya syarat-syarat itu ialah Just Cause, Right
Authority, Righ Intent, Proportionality dan Last Resort.23
Sedangkan Ius in Bello mempunyai pengertian sebagai hukum
yang berlaku dalam perang. Mochtar Kusumaatmadja membaginya
menjadi dua, yaitu yang mengatur cara dilakukannya perang (Conduct of
22
Lihat Pasal 26 konvensi Wina 1969 : “ … every treaty in force is binding upon the parties to
it and must be performed by them in good faith… “
23 Ibid h. 2
12 War) dan yang mengatur tentang perlindungan orang-orang yang menjadi
korban perang, yang biasa disebut sebagai Geneva Laws.24
Mochtar Kusumaatmadja dalam suatu ceramahnya pada tanggal 26
Maret 1981 menyebutkan bahwa hukum humaniter merupakan sebagian
daripada hukum perang yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan
perlindungan korban, dan hal itu berlainan dengan Hukum Perang yang
mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara
melakukan peperangan layaknya pengaturan mengenai senjata-senjata
yang dilarang penggunaannya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa
Konvensi Jenewa identik dengan Hukum Humaniter, sedangkan Konvensi
Den Haag lebih menjurus ke arah Hukum Perang.25
Dalam Ius ad bellum terdapat beberapa pengaturan tentang hak
negara untuk berperang yang secara formal dapat dilihat pada sejumlah
perjanjian internasional, yaitu Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Paris
(Kellog-Briand) Pact, dan Piagam PBB. Khusus dalam Piagam PBB,
pengaturan ini dapat dilihat secara tegas dalam Pasal 2 (4), serta Chapter
VII.26
Berkaitan dengan kasus penyerangan NATO ke negara Libya,
Kedua teori ini akan digunakan sebagai salah satu acuan dalam analisis
mengenai tindakan NATO terhadap Libya, terkait apakah hal tersebut
24 Syahmin A.K, 1985, Hukum Internasional Humaniter 1, Penerbit C.V Armico, Bandung, h.
7
25 Arlina Web’s Blog, URL: http://arlina100.wordpress.com/2008/11/11/definisi-hukumhumaniter/, diakses terakhir 18 Mei 2015.
26
Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta, h. 106. 13 diperbolehkan dan apakah terdapat batasan-batasan mengenai penggunaan
perlindungan penduduk sipil sebagai alasan melakukan serangan oleh
NATO.
c.
Prinsip Non Intervensi
Prinsip non-intervensi ialah prinsip yang muncul dari asas Par Im
Partem Non Habet Imperium yang menegaskan bahwa setiap negara
memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda yang
berada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu suatu negara tidak boleh
melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan (act of soverignity) di dalam
wilayah negara lain, kecuali dengan persetujuan negara itu sendiri, yang
apabila dilakukan akan dipandang sebagai tindakan intervensi atau campur
tangan atas masalah-masalah dalam negeri negara lain yang jelas telah
dilarang menurut hukum internasional.27
Norma ini diawali dengan prinsip kesetaraan kedaulatan yang
dimiliki oleh negara-negara terlepas dari ukuran kekayaan, wilayah dan
lainnya. Dalam pandangan tradisional Hukum Internasional, kedaulatan
suatu negara mutlak berlaku di dalam batas teritorialnya. Hal tersebut
berarti memberikan kewajiban bagi para negara untuk saling menghormati
kedaulatan negara lain, sehingga setiap negara tidak boleh mencampuri
urusan internal negara-negara lain atau dikenal dengan istilah nonintervensi.
27
I Wayan Parthiana, 1990, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h. 10.
14 Prinsip non-intervensi tertuang di dalam Pasal 2 (7) Piagam PBB.28
Bahkan Declaration on Principles of International Law concerning
Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the
Charter of the United Nations yang diadopsi melalui Resolusi Majelis
Umum PBB A/RES/25/2625 menegaskan prinsip non-intervensi sebagai
prinsip dasar hukum internasional29 dan merupakan salah satu prinsip yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip larangan penggunaan kekuatan.
Menurut Mahkamah Internasional, terdapat 2 (dua) jenis intervensi
yang dilarang oleh hukum internasional. Pertama, intervensi yang
berkaitan dengan pemutusan masalah yang semestinya diputuskan sendiri
secara bebas oleh negara yang dicampuri. Kedua, campur tangan yang
dilakukan dengan paksaan, terutama kekerasan.30 Hal ini termasuk dalam
pemilihan sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya serta perumusan
kebijakan luar negeri. Di samping itu, tindakan yang merupakan
pelanggaran dari prinsip-prinsip umum dalam non-intervensi, baik secara
langsung ataupun tidak langsung, akan melibatkan penggunaan kekuatan
(The Use of Force) yang merupakan pelanggaran dari prinsip penggunaan
kekuatan dalam hukum internasional dan hubungan internasional31
28
Pasal 2 ayat (7)Piagam PBB : Nothing contained in the present Charter shall authorize the
United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any
state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter;
but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll.
29
Lihat Resolusi Majelis Umum PBB, A/RES/25/2625.Annex.par3.
30
Sugeng Istanto, op.cit. h. 32.
31
Malcolm N. Shaw, 2008, International Law (Sixth Edition), Cambridge University Press,
New York, h. 1147.
15 Teori ini digunakan sehubungan dengan serangan militer yang
dilakukan oleh NATO terhadap Libya yang merupakan suatu campur
tangan yang dilakukan dengan paksaan atau kekerasan.
d.
Konsep Military Intervention
Military Intervention merupakan pendalaman lebih lanjut dari
prinsip Non-Intervention yang melibatkan penggunaan kekuatan (The Use
of Force) dalam penyelesaian masalah terutama dalam hubungannya
dengan pelanggaran berat HAM. Konsep military intervention kemudian
menimbulkan berbagai perdebatan sebab beberapa negara berpendapat
bahwa konsep ini merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap
kedaulatan Negara lain32 namun demikian tidak sedikit pula yang
berpendapat konsep ini diperlukan sebagai upaya terakhir dalam mencegah
terjadinya pelanggaran HAM yang lebih berat sebagai akibat dari
kedaulatan tersebut.33 Sehingga meskipun dapat digunakan, konsep ini
tetap mempunyai batasan-batasan khusus yang telah ditentukan dan harus
dipenuhi sebelum dilaksanakannya sebuah intervensi militer.
Batasan-batasan daripada konsep military intervention inilah yang
akan
digunakan
dalam
membahas
upaya
NATO
menyelesaikan
permasalahan pelanggaran berat HAM di Libya dengan menggunakan
kekuatan.
32
URL: http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan000923.pdf
, diakses tanggal 20 Mei 2015.
33 Ibid.
16 e.
Konsep Humanitarian Intervention
Konsep humanitarian intervention juga merupakan salah satu
prinsip yang berkaitan erat dengan prinsip non-intervensi. Sebab, konsep
ini merupakan salah satu cara terakhir yang digunakan dalam penyelesaian
suatu masalah, meskipun tujuan dari konsep ini mencegah terjadinya
pelanggaran HAM ataupun kekacauan massal, terbalik dengan konsep
intervensi militer, akan tetapi konsep ini dapat dilakukan secara sepihak34
sehingga tampak jelas telah melanggar prinsip non-intervensi.
Konsep Humanitarian intervention merupakan konsep yang hingga
kini masih menimbulkan berbagai perdebatan, di satu sisi terdapat
sekelompok negara yang menyetujui konsep ini demi menghadapi
pelanggaran-pelanggaran HAM berat dan kejahatan-kejahatan terhadap
kemanusiaan apabila suatu negara tidak mampu menangani masalah
tersebut dengan kemampuannya sendiri. Namun ada pula kelompok negara
yang mempertanyakan perbedaan motif dalam melakukan intervensi
humaniter, yaitu apakah intervensi tersebut bersifat imperative atau
didorong oleh motivasi politik dan ekonomi, lalu apakah konsep
humanitarian intervention tersebut hanya berlaku bagi negara-negara yang
lemah ataukah dapat berlaku bagi semua negara tanpa pengecualian.
Selain itu, terdapat pula negara-negara yang menganggap bahwa
pengertian intervensi humaniter berpotensi merusak Piagam PBB,
34 Boer Mauna, 2010, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, edisi ke-2, 2010, P.T Alumni Bandung, Bandung, h. 647
17 melemahkan kedaulatan negara, mengancam ke-absahan pemerintahan dan
stabilitas sistem internasional.35
Tetapi Bagaimanapun juga, pelaksanaan konsep Humanitarian
Intervention telah berhasil dalam mencegah jatuhnya korban akibat
pelanggaran HAM ataupun kekacauan massal yang lebih buruk. Seiring
dengan perkembangan dunia, telah dilakukan upaya-upaya untuk
mempertegas batasan penggunaan konsep tersebut, seperti munculnya
konsep Responsibility to Protect sebagai pengganti konsep Humanitarian
Intervention dengan harapan akan meminimalkan dugaan-dugaan buruk
tentang intervensi yang akan ataupun telah dilakukan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa konsep baru ini akan lebih menguntungkan citra PBB di
mata masyarakat dunia, sebab dalam konsep Responsibility to Protect
sangat ditekankan pada kewajiban memberikan perlindungan terhadap
kemanusiaan sehingga intervensi-intervensi yang dilakukan merupakan
suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh PBB36.
Berkaitan dengan kasus penyerangan NATO ke negara Libya, teori
ini akan menjelaskan mengenai pembenaran alasan yang digunakan oleh
NATO dalam serangannya tersebut, yaitu untuk melindungi penduduk
sipil dan meminimalisir pelanggaran berat HAM.
35 Ibid.
36 Malcolm N. Shaw, op.cit, h. 1158.
18 1.7
Metode Penelitian
a.
Jenis Penelitian
Jenis Penelitian dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berarti penelitian
hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.
Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut
sebagai penelitian hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap
asas-asas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah hukum.37
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena meneliti
asas-asas hukum yakni asas hukum internasional khususnya yang berkaitan
dengan prinsip non-intervensi dalam piagam PBB, kewenangan Dewan
Keamanan dalam penyelesaian suatu masalah, resolusi-resolusi yang
dikeluarkan untuk Libya serta peraturan-peraturan dalam hukum humaniter
internasional dalam kaitannya dengan kasus serangan NATO terhadap Libya.
b. Jenis Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
pendekatan kasus (the case approach) dan pendekatan peraturan perundangundangan (statute approach), yaitu :
1. Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (The Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan adalah metode penelitian dengan
memahami dari hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum normatif suatu tinjauan
singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 12.
19 undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-undangan berupa
legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum.38 Namun demikian,
dikarenakan dalam sistem hukum internasional tidak dikenal adanya
‘perundang-undangan’ melainkan berbagai bentuk perjanjian internasional
ataupun ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis maka dalam penulisan
penelitian ini, penulis akan mencoba membandingkan antara instrumeninstrumen hukum internasional dan relevansinya dengan kasus sehingga
akan ditemukan substansi dari permasalahan yang akan dibahas.
2. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
Penulisan dengan pendekatan kasus artinya dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus berkaitan dengan isu yang
dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai
hukum tetap.39 Dalam penulisan skripsi ini, penulis memakai pendekatan
kasus (case approach) di mana putusan pengadilan akan dijadikan rujukan
dalam memperoleh preskripsi untuk menjawab isu hukum yang dihadapi.40
Namun dalam penelitian ini tidak akan menggunakan putusan pengadilan
dikarenakan sepanjang penelusuran penulis belum ada putusan pengadilan
dalam kasus serangan NATO. Dengan demikian, pendekatan kasus dalam
tulisan ini dimaksudkan sebagai analisis terhadap resolusi-resolusi Dewan
Keamanan PBB yang oleh sejumlah pakar dianggap sebagai salah satu
38 Ibid, h. 97. 39
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h. 58.
40 Titon Slamet Kurnia, 2009, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung, h.
163. 20 sumber penyelesaian sengketa internasional. Dalam kaitannya dengan
penyerangan terhadap Libya resolusi-resolusi tersebut akan melingkupi
unsur ratio decidendi, yaitu alasan-alasan yang digunakan oleh NATO
untuk sampai kepada putusannya dengan memperhatikan fakta materiil.
Fakta materiil tersebut yakni berupa orang, tempat, dan waktu sehingga
dapat dicari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta
tersebut.41
C. Sumber Bahan Hukum
Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka akan memakai
sumber data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum, yaitu :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat umum, seperti misalnya perjanjian-perjanjian internasional.
Menurut Peter Mahmud Marzuki42 bahan hukum primer ini bersifat
otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Adapun
sejumlah bahan hukum primer, yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
antara lain :
-
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
-
Konvensi Den Haag 1899 dan 1907
-
Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-Protokol Tambahannya
-
Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1970 dan 1973
41 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h.119. 42 Ibid, h. 144-154.
21 -
Piagam North Atlantic Treaty Organization (NATO)
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan
peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal
ilmiah, surat kabar Koran), pamflet, brosur, karya tulis hukum atau
pandangan ahli hukum yang termuat media massa dan berita di internet.43
Terkait skripsi ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti bukubuku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam
media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah
yang dibahas, yaitu mengenai justifikasi perlindungan HAM dalam
serangan militer NATO terhadap Libya.
3. Bahan Hukum Tersier, yang menurut Peter Mahmud Marzuki44 merupakan
bahan non-hukum yang digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penulis mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu
yang dihadapi.45 Dalam hal ini penelitian yang dilakukan adalah dengan
mempelajari dokumen-dokumen, jadi yang harus dilakukan adalah
mencari instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan isu hukum
pada kasus serangan NATO terhadap Libya yakni merujuk kepada Piagam
PBB, Hague Coventions IV-1907, Geneva Conventions-1949 dan Protokol
43 Ibid, h. 93.
44
Ibid, h.144-154.
45
Ibid, h. 194.
22 Tambahan
1-1977.
Kemudian
melalui
pendekatan
kasus
akan
mengumpulkan putusan-putusan atau resolusi-resolusi yang berkaitan
dengan kasus Libya khususnya resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB
yang berkaitan dengan kasus yang dimaksud maupun instrumen-instrumen
hukum internasional lainnya yang relevan untuk keperluan menganalisis
kasus tersebut. 46
E. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam skripsi ini
adalah teknik deskripsi, evaluasi dan argumentasi. Teknik deskripsi
merupakan uraian dari peristiwa yang sesungguhnya terjadi dengan
memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik
selanjutnya adalah teknik evaluasi yakni penilaian berupa tepat atau tidak
tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh
peneliti terhadap suatu pandangan, dan lain-lain yang ada dalam bahan
primer maupun bahan sekunder. Teknik terakhir adalah teknik argumentasi
yang secara tidak langsung tidak dapat dilepaskan dari teknik sebelumnya.
Hal tersebut dikarenakan penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan
yang bersifat penalaran hukum.
46
Ibid, h. 195.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NATO
2.1 Sejarah Lahirnya NATO
2.1.1
Pengaruh Perang Dingin
North Atlantic Treaty Organization (NATO) merupakan sebuah aliansi
negara-negara Eropa Barat yang terbentuk pada tanggal 4 April 1949 di
Wahington yang saat ini beranggotakan 28 negara.47 Kelahiran NATO
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran di pihak Amerika Serikat terhadap semakin
meluasnya pengaruh Uni Soviet dengan ideologi Komunisnya. Sehingga ketika
Perang Dunia II berakhir, terjadilah ”Perang Dingin“ (the Cold War) yang terjadi
antara tahun 1947-1991 yang ditandai dengan adanya persaingan di antara kedua
negara tersebut yang mencakup berbagai bidang seperti ideologi, psikologi,
militer, industri dan pengembangan teknologi yang membawa pada perkembangan
senjata nuklir.48
Istilah “Perang Dingin” pertama kali diperkenalkan oleh Bernand Baruch
dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menyebut sebuah periode
konflik, ketegangan, dan kompetisi antara dua negara adikuasa, yaitu Amerika
Serikat (beserta sekutunya yang disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta
sekutunya yang disebut Blok Timur). 49 Meskipun tidak pernah benar-benar terjadi
perang antara dua negara adikuasa tersebut, konflik di antara keduanya
47
What is NATO; an Introduction to The Transatlantic Alliance dalam Nato.int , URL: http :
// www.nato.int/cps/en/SID-8C5FCDD9-E6E17F41/natolive/what_is_nato.htm, diakses terakhir
pada tanggal 11 Mei 2015.
48
History.com, URL: http://www.history.com/topics/cold-war/cold-war-history, diakses
terakhir pada tanggal 11 Mei 2015.
49
Ibid
23 24 melahirkan ketegangan luar biasa karena perang seakan-akan bisa pecah kapan
saja. Perang Dingin juga telah mengakibatkan terjadinya berbagai perang lokal,
seperti perang Korea, perang di Vietnam, invansi yang dilakukan oleh Uni Soviet
terhadap Cekoslovakia dan Hungaria dan lainnya.50
Hal ini meresahkan negara-negara Barat, seperti yang dapat dilihat pada
telegram yang dikirim oleh Perdana Menteri Inggris Winston Churchil kepada
Presiden Amerika Serikat Harry S. Trumman saat itu sebagai bukti keprihatinan
dari negara Eropa terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Uni Soviet, di
mana Amerika Serikat yang menganut ideologi liberal-kapitalis menentang keras
ideologi sosialis-komunis yang dianut Uni Soviet. Kemudian pada tanggal 4 April
1949, bertempat di Washington D.C, the North Atlantic Treaty Organization
(NATO) resmi didirikan oleh sepuluh negara Eropa, Amerika Serikat dan Kanada.
Negara-negara anggota NATO kemudian meningkatkan upaya mereka
dalam mengembangkan kekuatan militer dan struktur dalam organisasi NATO
untuk menjamin pelaksanaan fungsi NATO. Hal tersebut berhasil membuat Uni
Soviet berpikir untuk melakukan agresi militer di daerah Eropa. Seiring
berjalannya waktu, NATO berhasil mencapai suatu level yang tak terduga dalam
mengembangkan stabilitas kerjasama perekonomian and integritas dari negaranegara Eropa, dalam pengertian bahwa NATO berhasil membawa dampak positif
yang juga sedikitnya berpengaruh pada perekonomian dan integritas dunia.51
50
Ibid.
What is NATO; an Introduction to The Transatlantic Alliance dalam Nato.int , URL: http :
// www.nato.int/cps/en/SID-8C5FCDD9-E6E17F41/natolive/what_is_nato.htm, diakses terakhir
pada tanggal 22 Mei 2015.
51
25 Ketika pemerintahan Uni Soviet runtuh (1991), maka berakhirlah Perang
Dingin dengan demikian, sesungguhnya berakhir pula tujuan awal dibentuknya
NATO, yaitu sebagai upaya ‘pertahanan’ terhadap komunisme. Sehingga banyak
sarjana kemudian berpendapat bahwa tujuan daripada NATO telah terpenuhi dan
aliansi mungkin akan dibubarkan.52 Banyak pula negara-negara anggota NATO
yang mengurangi dana untuk pengeluaran dan pengembangan angkatan
bersenjata, bahkan ada yang sampai mengurangi 25% dari pengeluaran untuk
anggaran pertahanan angkatan bersenjata. 53
Pasca Perang Dingin kemudian muncul berbagai masalah yang justru
datang dari goyahnya stabilitas pertahanan dan perekonomian di Eropa serta
konflik-konflik dalam negeri yang melanda negara-negara bekas Uni Soviet, yang
apabila dibiarkan dinilai dapat menyebar melebihi wilayah regional mereka dan
mengganggu stabilitas keamanan dunia, khususnya Eropa. Oleh karenanya,
NATO kemudian menciptakan mekanisme pertahanan baru, yaitu pengadaan
kerjasama dalam pertahanan kolektif dengan negara-negara yang bukan anggota
NATO.54
Reformasi kemudian terjadi dalam badan internal NATO sebagai usaha
untuk beradaptasi dengan struktur militer dan tanggung jawab baru, yaitu
pemenuhan tanggung jawab untuk setiap kerjasama yang dilakukan NATO
dengan negara-negara lain dan organisasi internasional lainnya. NATO dengan
cepat berhasil menyesuaikan diri dengan situasi pasca berakhirnya Perang Dingin
52
53
54
Ibid
Ibid
How
Global
can
NATO
Go
dalam
www.nato.int,
URL:http://www.nato.int/docu/speech/2004/s040309a.htm terakhir diakses tanggal 10 Mei 2015.
26 dan hanya dalam beberapa tahun NATO untuk pertama kalinya melaksanakan
fungsinya di luar daerah teritorialnya, yaitu dalam usahanya untuk mendukung
upaya-upaya internasional dalam mengakhiri konflik internasional di bagian Barat
Balkan, yaitu Bosnia dan Herzegovina pada bulan Desember 1995. Empat tahun
kemudian, NATO kembali melaksanakan tugasnya dalam mencegah terjadinya
pelanggaran HAM penduduk sipil di daerah Kosovo. Hingga saat ini, NATO
masih secara efektif berupaya mewujudkan tujuan utamanya, yaitu untuk
melindungi kebebasan dan keamanan berdaulat bagi negara-negara anggotanya
dengan upaya politik dan kekuatan militer.55
2.1.2
Tujuan Pendirian NATO
Setiap organisasi internasional pada umumnya pasti mempunyai tujuan
tertentu yang ingin dicapai. Dalam praktiknya, tujuan organisasi internasional
dapat dibagi ke dalam dua bidang, yaitu organisasi yang mempunyai tujuan utama
dalam bidang ekonomi (termasuk sosial-budaya) dan dalam bidang pertahanankeamanan wilayah tertentu.56
Jika praktik penggolongan tujuan organisasi internasional tersebut
dihubungkan dengan uraian mengenai latar belakang pendirian NATO di atas
maka tampak bahwa NATO merupakan organisasi internasional yang mempunyai
55
Nato.inc, URL: http://www.nato.int/nato-welcome/pdf/checklist_en.pdf, diakses terakhir
pada tanggal 11 Mei 2015.
56
Syahmin A.K, Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, 1985, Palembang, Binacipta,
h.89
27 tujuan
khusus
dalam
bidang
pertahanan-keamanan
wilayah.57
Ketika
pemerintahan Uni Soviet runtuh (1991), NATO secara aktif membantu
menanggulangi masalah Barat-Timur di Eropa dengan mengusulkan diadakannya
suatu kerjasama di bidang keamanan sebagai bentuk pendekatan yang sesuai
dengan bunyi Pasal 1 North Atlantic Treaty:
“The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle
any international dispute in which they may be involved by peaceful means in
such a manner that international peace and security and justice are not
endangered, and to refrain in their international relations from the threat or use
of force in any manner inconsistent with the purposes of the United Nations.”
Hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 2, yaitu:
“The Parties will contribute toward the further development of peaceful and
friendly international relations by strengthening their free institutions, by
bringing about a better understanding of the principles upon which these
institutions are founded, and by promoting conditions of stability and well-being.
They will seek to eliminate conflict in their international economic policies and
will encourage economic collaboration between any or all of them”
Pendekatan itu kemudian dituangkan dalam sebuah konsep strategi baru
yaitu jangkauan pendekatan keamanan yang lebih luas, yang menyebabkan
perubahan yang signifikan dalam dunia internasional terutama bagi NATO
sendiri. North Atlantic Treaty sebagai suatu dokumen perjanjian yang
57
What Is NATO, an Introduction to The Transatlantic Alliance dalam Nato.int, page 11,
dalam www.nato.int, URL: URL:
http : // www.nato.int/cps/en/SID-8C5FCDD9E6E17F41/natolive/what_is_nato.htm.
28 mengekspresikan
suatu
resolusi
dan
ideologi
dari
negara-negara
yang
menandatanganinya, mempunyai tujuan yang sesuai dengan pembukaan pada
Piagam PBB, yaitu
untuk memelihara perdamaian dan keamanan daripada
anggota-anggotanya serta memajukan stabilitas dan kesejahteraan di daerah
Amerika Utara dan Eropa melalui cara-cara politik dan militer.58
Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dari uraian di atas bahwa tujuan
pada awal pembentukannya, NATO dianggap sebagai alat untuk menahan
komunisme dan serangan militer dari Uni Soviet yang meskipun tidak terdapat
ketentuan yang menyinggung hal tersebut dalam North Atlantic Treaty namun
tersirat dalam kondisi keamanan Eropa pada masa Perang Dunia II.59 Tujuan
utama NATO dapat dilihat dalam pembukaan North Atlantic Treaty, 4 April 1949,
Washington D.C.60 Ketentuan di atas juga dapat diartikan lebih jauh lagi sebagai
upaya NATO dalam menolong dan melindungi penduduk sipil dari tindakantindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan suatu Negara,
menyelesaikan sengketa secara damai, menghapuskan sengketa politik ekonomi
58
Lihat NATO Treaty Pasal 2 : “...The Parties will contribute toward the further development
of peaceful and friendly international relations by strengthening their free institutions, by bringing
about a better understanding of the principles upon which these institutions are founded, and by
promoting conditions of stability and well-being. They will seek to eliminate conflict in their
international economic policies and will encourage economic collaboration between any or all of
them…”
59
Lihat NATO dan sistem keamanan Eropa pada era pasca perang dingin, oleh Anak Agung
Banyu Perwita, 1996, h.502, PDF Document dalam www.isjd.pdii.lipi.go.id , URL:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=12623&idc=37 , terakhir diakses
tanggal 12 Mei 2015.
60
Annex A, halaman 17, The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and
principles of the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples
and all governments.
They are determined to safeguard the freedom, common heritage and civilisation of their peoples,
founded on the principles of democracy, individual liberty and the rule of law.
They seek to promote stability and well-being in the North Atlantic area.
They are resolved to unite their efforts for collective defence and for the preservation of peace and
security.”
29 internasional, menghindarkan penggunaan kekerasan dan ancaman militer dalam
sengketa internasional.61
2.1.3
Ruang Lingkup Aktivitas dan Asas-asas NATO
NATO memiliki tiga ruang lingkup aktivitas utama. Pertama, pertahanan
kolektif. Hal ini diatur dalam Pasal 5 North Atlantic Treaty dan bersifat mengikat
bagi para anggota NATO, sehingga mereka akan saling mendukung dalam bidang
pertahanan kolektif terhadap ancaman apapun baik ancaman yang ditujukan
terhadap salah satu negara anggota maupun sebagai satu kesatuan organisasi.
Ruang lingkup selanjutnya ialah pengendalian krisis dimana NATO
sebagai organisasi internasional dengan tujuan pertahanan kolektif (militer) juga
mempunyai unsur-unsur politik di dalamnya. Penggabungan pengaruh politik dan
militer membantu NATO dalam menangani berbagai masalah ataupun krisis yang
dapat mempengaruhi negara anggotanya dan keamanan wilayah Eropa-Atlantik
dengan cara-cara yang lebih efektif, yaitu sebisa mungkin tanpa menggunakan
kekerasan. Ketentuan tentang penyelesaian sengketa dengan cara damai dapat
dilihat dalam Pasal 1 North Atlantic Treaty yang menyebutkan “...to settle any
international dispute in which they may be involved by peaceful means in such a
manner that international peace and security and justice are not endangered, and
to refrain in their international relations from the threat or use of force...”.
61
Shvoong.com, URL: http://id.shvoong.com/humanities/history/2158077-nato-northatlantic-treaty-organization/, diakses terakhir pada13 Mei 2015.
30 Ketentuan tersebut juga turut menunjukan dukungan NATO terhadap tujuan PBB
dalam pemeliharaan perdamaian dan stabilitas dunia.62
Ruang lingkup terakhir ialah kerjasama dalam usaha mempertahankan
keamanan. NATO, sesuai dengan bentuk organisasinya, hanya membuka
keanggotaan bagi negara-negara yang berada dalam wilayah Atlantik Utara saja
namun demikian terdapat suatu program kerjasama dengan negara di seluruh
wilayah dunia yang mencakup kerjasama dalam konsultasi permasalahan
keamanan dan kerjasama dalam menentukan dan membuat suatu strategi
keamanan yang sesuai. Program kerjasama dalam usaha mempertahankan
keamanan ini telah berlangsung hingga saat ini dengan United Nations (PBB),
European Union dan bahkan dengan Rusia.63
Dalam melaksanakan aktivitasnya yang mencakup ketiga ruang lingkup
di atas, NATO melandaskan dirinya pada sejumlah asas, yaitu asas demokrasi,
asas kebebasan individual (individual liberty) dan aturan-aturan hukum yang
berlaku. Adapun maksud dari asas demokrasi merupakan pengakuan hak asasi
manusia dalam bidang politk, sosial dan juga ekonomi, seperti hak berpendapat,
hak kemerdekaan pers dan lainnya.
64
Asas demokrasi ini dapat dilihat dengan
merujuk ketentuan Pasal 12 North Atlantic Treaty pada bagian “… thereafter, the
Parties shall, if any of them so requests, consult together for the purpose of
62
Lihat Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB: “...To maintain international peace and security, and to
that end..” dan Pasal 2(3): “All Members shall settle their international disputes by peaceful means
in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered”
63
Lihat Strategic Concept for the Defence and Security of the Members of the North Atlantic
Treaty Organization, adopted by Head of State and Goverment at the NATO Summit in Lisbon,
2010,
h26,
PDF
Document
dalam
www.nato.int,
URL:http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_82705.htm? Diakses terakhir tanggal 18 Mei
2015.
64
Hassim.M, Pendidikan kewarganegaraan 2, Quadra, 2011, Bogor, h. 34
31 reviewing the Treaty …” Dengan pengertian bahwa setelah perjanjian tersebut
berjalan selama kurang lebih 10 tahun, apabila dikehendaki oleh
salah satu
anggota, perjanjian tersebut dapat dikaji ulang. Asas kebebasan individual dapat
diartikan sebagai pengakuan terhadap hak asasi manusia yaitu menikmati atau
memperoleh status sosial, ekonomi, dan juga dalam kebebasan dalam berpendapat
yang lebih sering diasumsikan dengan bidang politik. Sesuai dalam Pasal 2
menyinggung mengenai modifikasi yang dapat dilakukan dalam ratifikasi North
Atlantic Treaty tepatnya dalam kalimat “... by strengthening their free institutions,
by bringing about a better understanding of the principles upon which these
institutions are founded, and by promoting conditions of stability and well-being.
They will seek to eliminate conflict in their international economic policies …”
dan dalam Pasal 11 mengenai proses dan cara ratifikasi North Atlantic Treaty
sesuai dengan konstitusionalnya masing-masing yaitu “… This Treaty shall be
ratified and its provisions carried out by the Parties in accordance with their
respective constitutional processes ...” yang berarti Negara anggota NATO
diberikan kebebasan (walaupun tidak mutlak) dalam bagaimana mereka akan
menjalankan kewajibannya sesuai dengan konstitusi masing-masing Negara.
Sedangkan yang dimaksud asas aturan hukum yang berlaku (the rule of
the law) ialah aturan-aturan hukum yang mengacu pada prinsip-prinsip
pemerintahan dimana semua semua orang, lembaga dan entitas, publik dan
swasta, termasuk negara itu sendiri bertanggung jawab untuk menghormati dan
menegakkan hukum-hukum umum tersebut dan dengan demikian telah turut
32 mendukung standarisasi dan penegakkan norma-norma hak asasi manusia.65 Lebih
lanjut lagi the rule of the law menurut AV.Dicey melingkupi beberapa
karakteristik, yang pertama ialah supremasi hukum, dimana semua individual,
entitas dan lembaga termasuk negara merupakan subyek hukum. Kedua ialah
konsep keadilan yang menekankan pada hak dan kewajiban individu, hukum yang
berdasarkan pada kesalahan atau kelalaian dan pentingnya prosedur. Selanjutnya
ialah pembatasan kekuasaan, dalam artian pembagian kekuasaan yang seimbang
antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga dapat menciptakan
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kemudian penggunaan metodologi
hukum umum, lembaga pengadilan yang independen serta dasar moral sebagai
pembentukan aturan hukum.
66
Asas aturan hukum tersebut dapat dilihat dalam
Pasal 12 North Atlantic Treaty dalam kalimat “… Including the development of
universal as well as regional arrangements under the Charter of the United
Nations for the maintenance of international peace and security …” dan berarti
bahwa NATO dalam mengkaji ulang pasal-pasalnya, akan menyesuaikan dengan
perkembangan dunia internasional dan regional untuk tujuan pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional.
2.1.4
Perkembangan Terakhir NATO
Sebagai organisasi yang didirikan pada masa perang dingin dan
mempunyai tujuan sebagai alat untuk membendung komunisme, tahun 1991
65
http://www.un.org/ dalam United Nation and the Rule of The Law, URL:
http://www.un.org/en/ruleoflaw/index.shtml, diakses terakhir tanggal 14 Mei 2015.
66
http://www.ourcivilisation.com/,
The
Rule
of
Law,
URL:
http://www.ourcivilisation.com/cooray/cooray.htm, diakses terakhir tanggal 15 Mei 2015.
33 merupakan tahun yang penting bagi NATO. Sebab pada tahun tersebutlah
organisasi Pakta Warsawa dibubarkan yang sekaligus menandai runtuhnya
pengaruh komunisme. Sebab apabila kita melihat dari tujuan terbentuknya NATO
diatas, berkahirnya perang dingin juga berarti berakhirnya eksistensi NATO
meskipun tidak terdapat referensi mengenai Uni Soviet dalam rumusan ketentuan
Nort Atlantic Treaty.67
Pasal-pasal dalam North Atlantic Treaty dirancang untuk melindungi
Negara-negara Eropa dari berbagai ancaman ataupun ketidakstabilan atau sebagai
bantuan konsultasi mengenai pengembangan keamanan yang tidak dibatasi dan
hingga kni ke 14 Pasal dalam The North Atlantic Treaty (1949) tersebut tida
pernah diubah. Sehingga asas-asas yang melandasi NATO pun tetap berlaku.
Sumirnya ketentuan dalam The North Atlantic Treat Tersebutlah yang kemudian
memungkinkan NATO dalam mengembangkan perannya dalam isu-isu diseluruh
dunia dan memperluas bidang kegiatannya.68
NATO mempublikasikan ‘The Stategic Concept’ atau dokumen pada
tahun 1991 yang berisikan tujuan pembentukan NATO yaitu sebagai pakta
pertahanan bagi anggotanya dengan penambahan konsentrasi pada usaha untuk
terus memperbaharui dan mempertahankan keamanan wilayah Eropa degan cara
kerjasama/rekanan bahkan dengan Negara-negara komunis. Dokumen ini terbuka
untuk umum. Pada tahun 1999, dokumen ini direvisi yang tidak hanya mencakup
67
Nato.inc, URL: http://www.nato.inc/docu/speech/2003/s031106b.htm , diakses terakhir
tanggal 12 Mei 2015.
68
NATO transformation after the Cold War from 1989 to the present dalam www.nato.int
34 pertahanan saja, namun juga menjaga stabilitas perdamaian dengan jangkauan
wilayah yang lebih luas lagi.69
Contoh perluasan bidang kegiatan NATO tertuang dalam Pasal 5 dan 6
North Atlantic Treaty mengenai perluasan usaha dalam membela dan
mempertahankan keamanan negara-negara anggotanya, dan dalam Pasal 7 North
Atlantic Treaty untuk tetap siaga dalam usaha mencegah terjadinya krisis da aktif
dalam merespon krisis internasional. Serta bantuan konsultasi mengenai
pengembangan bidang keamanan, kerjasama pertahanan dan dialog-dialog yang
tercantum dama Pasal 4. Diperluas empat tahun sesudah perang dingin berakhir,
tepatnya dalam KTT NATO di Brussel. Program kerjasama dalam usaha
mencapai perdamaian dunia diciptakan. Program tersebut bernama European
Council dan yang belum mengadakan program Partnership for Peace dan telah
dirancang sedemikianrupa sehingga memungkinkan NATO untuk bekerjasama
dengan Negara yang bukan anggotanya dan tetap dapat melakukan hal-hal sesuai
dengan kehendak politiknya, anggarannya dan sesuai dengan kebutuhan
keamanannya.70 Masih dalam konteks Pasal 4, NATO dalam KTT nya juga
kemudian memperluas sisi politiknya sehingga pencegahan dan penyelesaian
berbagai masalah pun menjadi lebih efektif, seperti yang telah dijelaskan dalam
bab sebelumnya mengenai ruang lingkup NATO.
Seiring perkembangannya, terutama setelah peristiwa 11 September 2001
yang tejadi di Amerika Serikat, NATO memfokuskan usaha untuk mencapai
tujuannya pada aspek kerjasama antar Negara dan antar organisasi lainnya.
69
NATO Handbook,2006, Public Diplomacy Division NATO, Brussel 1110, Belgium.h.19
Nato.inc, URL: http://www.nato.inc/docu/speech/2004/s040309a.htm , diakses terakhir
tanggal 12 Mei 2015.
70
35 Terutama dalam badan intelijen sebagai respon terhadap ancaman teroris. NATO
juga memperkuat usahanya dalam mencegah Weapon of Mass Destruction
(WMD) dengan cara memberikan bantuan pelatihan terhadap badan militer negara
anggota ataupun Negara ‘Partnership’.71 Hingga saat ini, terorisme tersebut masih
merupakan prioritas NATO selain isu-isu lainnya.
2.2
NATO Sebagai Organisasi Internasional
2.2.1
Hubungan antara kedudukan, fungsi dan kewenangan
Organisasi Internasional
Organisasi Internasional ialah suatu wadah yang dibuat oleh masyarakat
internasional (baik antar-pemerintah dan antar non-pemerintah) secara sukarela
berdasarkan suatu tujuan yang sama.72 Organisasi Internasional sendiri merupakan
salah satu subyek hukum karena dalam pembentukannya terdapat aspek hukum
yang harus dipenuhi. Tercakup di dalamnya adalah adanya suatu perjanjian
(convenat, treaty, charter, statute) yang akan dijadikan dasar konstitusi organisasi
internasional tersebut yang memuat prinsip dan tujuan-tujuan terbentuknya serta
struktur dari sebuah Organisasi Internasional. Aspek hukum inilah yang dapat
disebut sebagai ‘Legal Personality’.
Selain hal tersebut terdapat pula beberapa syarat yaitu pertama, merupakan
himpunan atau beranggotakan negara-negara. Kedua, antara organisasi dengan
negara anggotanya harus memiliki perbedaan dalam kewenangan dan tujuan
sebagai pembatas, sehingga ke depannya nanti tidak akan terjadi kerancuan antara
71
Op.Cit h.21
Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Oranisasi Internasional, penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2004, h 5
72
36 pelaksanaan fungsi dan pencapaian tujuan organisasi internasional tersebut.
Selanjutnya ialah adanya kewenangan hukum yang dapat diterima dan diterapkan
dalam melaksanakan kegiatannya.73 Dengan mempunyai kepribadian hukum
tersebut organisasi internasional dapat menjalankan fungsinya dalam hubungan
internasional seperti mengadakan perjanjian (Treaty-Making-Power), mempunyai
kekebalan atau Immunity , menjalin hubungan baik dengan negara anggota, negara
tuan rumah ataupun negara bukan anggota maupun organisasi internasional
lainnya, serta hak-hak istimewa dan kemampuan untuk menuntut dan dituntut di
depan pengadilan.74
Fungsi dari organisasi internasional secara umum dapat dibagi menjadi
sembilan, yaitu75 :
(1) sebagai alat negara untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam pengertian
organisasi internasional dijadikan salah satu bentuk kontak dalam bentuk
forum atau diskusi
(2) sebagai aktor, forum, dan instrumen yang memberikan kontribusi bagi
aktivitas normatif dari sistem politk internasional, seperti dalam penetapan
nilai-nilai atau prinsip-prinspi non-diskriminasi
(3) sebagai fungsi untuk menari atau merekrut partisipan dalam sistem politik
internasional
73
Teuku May Rudi, 1993, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT. Eresco, Bandung,
h.22-23
74
Tercantum dalam Advisory Opinion of the the reparation forinjuries suffered in the service
of the United Nation by International Court of Justice : ” ….the organization is an international
person (…) that is a subject of international law and capable of possessing international rights
and duties, and that it has capacity to maintain us rights by bringing international claims.”
75
Bennet, 1995, Fungsi Organisasi Internasional dalam situs www.psychologymania.com
(www.psychologymania.com/2012/12/fungsi-organisasi-internasional.html?m=1) diakses tanggal
19 Mei 2015.
37 (4) sebagai ajang sosialisasi yang berlangsung pada tingkat nasional yang secara
langsung mempengaruhi individu-individu atau kelompok-kelompok di
sejumlah negara ataupun di antara negara-negara atau wakil mereka dalam
organisasi yans secara tidak langsung mempengaruhi penerimaan dan
peningkatan kerjasama negara-negara tersebut
(5) sebagai pembuat peraturan, dimana tidak ada suatu bentuk pemerintahan atau
struktur ynag jelas dalam pengadaan hukum internasional sehingga biasanya
didasarkan pada praktek masa lalu, perjanjian ‘ad hoc’
ataupun oleh
organisasi internasional.
(6) sebagai pelaksana peraturan yang pada prakteknya fungsi ini seringkali
terbatas pada pengawasan pelaksanaannya karena aplikasi sesungguhnya
terdapat di tangan negara anggota
(7) sebagai pengesah peraturan. Yang hanya akan terlihat jelas ketika ada pihakpihak negara yang bertikai, karena fungsi judikasi ini tidak dibekali oleh sifat
yang memaksa dan tidak mempunyai lembaga yang memadai
(8) sebagai sarana informasi, organisasi internasional dapat melakukan pencarian,
pengumpulan dan penyebaran informasi
(9) sebagai sarana operasional, dalam pengertian dimana orgnasisasi internasional
menjalankan sejumlah fungsi di banyak hal yang sama seperti di
pemerintahan. Contohnya ialah pada saat UNHCR (United Nations high
Commisioner for Refugees) yang membantu pengungsi, UNICEF (United
Nations Children’s Fund) yang melakukan perlindungan kepada anak, dan
sebagainya.
38 Sementara Teuku May Rudi menjelaskan terdapat tiga jenis fungsi dari organisasi
internasional, yaitu organisasi dengan fungsi administrasi, selanjutnya ialah
organisasi internasional dengan fungsi peradilan dan yang terakhir organisasi
internasional dengan fungsi politikal.76 Organisasi dengan fungsi administratif
sesuai namanya, hanya menjalankan kegiatan-kegiatan administratif saja, sebagai
contoh OPEC (Orgnization of The Petroleum Exporting Countries) yang
mengatur kuota serta harga minyak dunia, kemudian UPU (Universal Postal
Union) yang hanya mengatur kegiatan lalu-lintas dan ketentuan pos saja. Lain
halnya dengan organisasi ICJ (International Court of Justice), organisasi ini
merupakan contoh organisasi internasional dengan fungsi peradilan. Fungsi
terakhir dalam organisasi internasional mempunyai pengertian bahwa dalam
kegiatannya mereka menitiberatkan kepada masalah-masalah politik dunia
internasional.77 Organisasi internasional yang mempunyai fungsi tersebut dapat
menitikberatkan pola kerjasamanya dalam bidang-bidang tertentu saja, namun
demikian biasanya mereka tetap saja tidak dapat melepaskan sepenuhnya dalam
kaitannya terhadap bidang politik, sebagai contoh UN (United Nations).78
Selanjutnya, kewenangan organsisasi internasional dapat dikatakan sebagai
campuran antara hukum internasional dengan dasar konstitusinya. Umumnya
wewenang organisasi internasional dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu79 :
76
Ibid.
Ibid.
78
Teuku May Rudi, Op Cit, h. 8
79
Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Integrasi Ekonomi
Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, PT.Ghalia Indonesia, Jakarta, h.440-444
77
39 1. Wewenang Implisit
Yaitu wewenang yang dimiliki untuk melakukan sesuatu walaupun tidak secara
jelas disebut dalam piagam pembentukannya. Contohnya dengan mengijinkan
organ-organ tertentu membentuk badan subsider yang dianggap perlu sebagai
dalam pelaksanaan fungsinya.
2. Wewenang Normatif
Wewenang yang dimiliki organisasi internasional untuk membentuk normanorma hukum atau anggaran keuangan.
3. Wewenang Operasional
Kewenangan yang dimiliki diluar kewenangan normatif seperti memberikan
bantuan keuangan,ekonomi, militer dan sebagainya.
4. Wewenang Pengawasan
Kewenangan yang dimiliki organisasi untuk mengawasi anggota-anggota yang
tidak melaksanakan kewaiban-kewajiban yang telah disepakati sebelumnya.
5. Wewenang Sanksi
Kewenangan yang dimiliki organisasi internasional untuk memberikan sanksi
atas tiap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan anggotanya.
Maka sesuai dengan penjelasan diatas, suatu organisasi dapat dikatakan sebagai
organisasi internasional apabila ia mempunyai kepribadian hukum, yang
kemudian
memungkinkan
organisasi
internasional
tersebut
menjalankan
fungsinya di dunia internasional serta kewenangan yang dimiliki sebagai akibat
dari pelaksanaan fungsi tersebut.
40 2.2.2
Kekhasan NATO sebagai Organisasi Internasional
Organisasi internasional dapat digolongkan menjadi beberapa bagian
menurut fungsi, tujuan , bentuk, ruang lingkup organsasi dan lainnya.80 Bila
dilihat dari wilayahnya, organisasi internasional dapat digolongkan menjadi dua
jenis yaitu regional, organisasi tersebut beranggotakan terbatas pada kawasan atau
Negara-negara tertentu, dan internasional, dimana semua negara dapat menjadi
anggota dan ruang lingkupnya tidak terbatas pada wilayah tertentu (sebagai
contoh PBB). Selanjutnya organisasi internasional dapat dibedakan menurut sifat
keanggotaannya, tertutup dan terbuka. Tertutup dalam pengertian Organisasi
Internasional tersebut hanya dapat dimasuki oleh negara-negara tertentu yang
mempunyai nilai-nilai sama dan disetujui secara bulat oleh negara-negara
anggota.
Organisasi Internasional juga dapat dibedakan berdasarkan bidang
kegiatan dan tujuan, yaitu antara organisasi politik dan organisasi teknik.
Organisasi politik mempunyai vokasi dan tujuan yang lebih luas dibandingkan
Organisasi teknik, yang hanya mempunyai wewenang dan tujuan tertentu saja.
Contoh dari organisasi teknik ialah badan-badan khusus PBB (UNESCO,
UNICEF dan lainnya) sementara Organisasi Negara-negara Amerika (OAS)
merupakan salah satu contoh dari Organisasi Internasional politik. Selain
pembagian diatas, Organisasi Internasional dapat pula dibedakan antara organisasi
yang berbentuk kerjasama dan organisasi dengan bentuk integrasi. Pada umumnya
organisasi-organisasi
internasional
80
Teuku May Rudi, Op Cit, h.72
merupakan
organisasi
dengan
bentuk
41 kerjasama, dimana organisasi tersebut jarang mempunyai wewenang untuk
mebuat norma-norma yang bersifat mengikat negara-negara anggota. Sebaliknya,
organisasi internasional yang bersifat integrasi mempunyai wewenang dalam
bidang-bidang tertentu, sesuai dengan akte konstitutif, dapat membuat ketentuanketentuan yang langsung berlaku di wilayah negara-negara anggotanya.81
Organisasi Internasional juga dapat dibedakan berdasarkan bidang
kegiatan dan tujuan, yaitu antara organisasi politik dan organisasi teknik.
Organisasi politik mempunyai vokasi dan tujuan yang lebih luas dibandingkan
Organisasi teknik, yang hanya mempunyai wewenang dan tujuan tertentu saja.
Contoh dari organisasi teknik ialah badan-badan khusus PBB (UNESCO,
UNICEF dan lainnya) sementara Organisasi Negara-negara Amerika (OAS)
merupakan salah satu contoh dari Organisasi Internasional politik.82
Selain pembagian diatas, Organisasi Internasional dapat pula dibedakan
antara organisasi yang berbentuk kerjasama dan organisasi dengan bentuk
integrasi.
Pada
umumnya
organisasi-organisasi
internasional
merupakan
organisasi dengan bentuk kerjasama, dimana organisasi tersebut jarang
mempunyai wewenang untuk mebuat norma-norma yang bersifat mengikat
negara-negara anggota. Sebaliknya, organisasi internasional yang bersifat
integrasi mempunyai wewenang dalam bidang-bidang tertentu, sesuai dengan akte
konstitutif, dapat membuat ketentuan-ketentuan yang langsung berlaku di wilayah
negara-negara anggotanya.83
81
Boer Mauna, Op.Cit h. 647
Ibid
83
Ibid
82
42 Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa NATO merupakan salah satu
organisasi internasional yang mempunyai bentuk kerjasama pertahanan kolektif
(Collective Security), merupakan organisasi dengan fungsi politik, dan berbentuk
kerjasama (Co-operative Organization). NATO juga merupakan organisasi
internasional yang menggalakkan pentingnya demokrasi serta penyelesaian
masalah dengan cara-cara damai, namun bila cara-cara diplomatis gagal, NATO
mempunyai kewenangan dalam penggunaan kekuatan militer yang diperlukan
untuk melakukan penyelesaian masalah baik dalam bentuk kerjasama dengan
negara atau organisasi internasional lainnya atau melakukan penyelesaian masalah
tersebut sendiri, NATO juga mempunyai kewenangan menggunakan kekuatan
militer dalam melakukan pertahanan kolektif. 84
Pertahanan kolektif ini tercantum dalam pasal 5, Piagam pembentukan
NATO yaitu :
“The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe
or North America shall be considered an attack against them all and consequently
they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the
right of individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the
Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by
taking forthwith, individually and in concert with the other Parties, such action as
it deems necessary, including the use of armed force, to restore and maintain the
security
of
the
North
Atlantic
area.
Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shall
84
nato.int, Loc.Cit diakses terakhir tanggal 10 Mei 2015
43 immediately be reported to the Security Council. Such measures shall be
terminated when the Security Council has taken the measures necessary to restore
and maintain international peace and security.”
Ketentuan Pasal 5 di atas pertama kali diterapkan saat terjadi serangan
teroris terhadap Amerika Serikat di kawasan New York dan Washington D.C pada
tanggal 11 September 2001, yang selanjutnya dianggap sebagai bentuk
penyerangan terhadap aliansi.85 Kekhasan NATO lainnya ialah sebagai Organisasi
Internasional yang hanya berisikan 14 Pasal, NATO dapat menyesuaikan diri dan
berkembang seiring dunia internasional. Hal ini terbukti dari berbagai program
yang dikembangkan NATO, seperti Program Kerjasama dengan negara-negara
(Partnership for Peace) dan program konsultasi politik untuk negara-negara yang
menginginkannya.86
2.2.3
Kedudukan, Fungsi dan Kekuasaan NATO
NATO sebagai organisasi internasional merupakan salah satu subjek
hukum internasional dan sebelumnya harus mempunyai kepribadian hukum
(Legal Personality) sebagai cara untuk memperoleh keabsahan hukum sebagai
pelaku serta satuan tersendiri dalam hubungan internasional.
Keanggotaan NATO yang merupakan negara-negara merupakan hal umum
sebagaimana keanggotaan sebagian besar organisasi-organisasi internasional
lainnya. Negara sebagai subjek hukum internasional tentu telah memiliki ‘Legal
Personality’ yang jelas namun demikian organisasi internasional tidak dibenarkan
85
What is NATO; an Introduction to The Transatlantic Alliance dalam Nato.int, Loc.Cit
diakses terakhir tanggal 11 Mei 2015
86
www.nato.int , URL:http://www.nato.int/docu/speech/2004/s040309a.htm, Loc.Cit
44 secara hukum untuk menggunakan ‘Legal Personality´ tersebut. Organisasi
internasional tersebut perlu mempunyai suatu keabsahan sebagai suatu individu
tersendiri dan bukan hanya mengatasnamakan negara-negara anggotanya.
Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mempunyai atau
memperoleh
‘Legal
Personality’
yaitu
pertama,
merupakan
himpunan
(keanggotaan) negara-negara, yang bersifat tetap dan dilengkapi struktur
organisasi yang lengkap.87 Keanggotaan ini telah jelas mengingat ke-28 negaranegara anggota sementara struktur organisasi yang tetap telah diatur dalam pasal 9
North Atlantic Treaty ‘... The Parties hereby establish a Council, on which each
of them shall be represented, to consider matters concerning the implementation
of this Treaty ...’ dan diperjelas dalam situs resmi nya ‘www.nato.inc’.
Syarat kedua yaitu antara organisasi tersebut dengan negara anggotanya
memiliki perbedaan dalam hal kewenangan hukum dan tujuan. Syarat ini
mempunyai maksud sebagai pembatas ‘Legal Personality’ antara organisasi
internasional tersebut dengan negara anggotanya sehingga kedepannya tidak
terdapat kerancuan antara pelaksanaan fungsi dan pencapaian tujuan organisasi
internasional tersebut.88
Syarat selanjutnya ialah adanya kewenangan hukum dalam organisasi
yang dapat diterima dan diterapkan dalam melaksanakan kegiatan pada ruang
lingkup-internasional dan bukan hanya dilakukan dalam ruang-lingkup nasional
salah satu atau masing-masing negara anggotanya.89 NATO telah menyiratkan
87
Teuku May Rudi, Op.Cit. h.22
Ibid.
89
Ibid.
88
45 maksud tersebut dalam pasal 10 North Atlantic Treaty ‘... The Parties may, by
unanimous agreement, invite any other European State in a position to further the
principles of this Treaty and to contribute to the security ...’, mengenai keputusan
bersama yang bulat dalam mengundang negara eropa lainnya untuk turut
berkontribusi dalam masalah keamanan wilayah Atlantik Utara dan menerapkan
sistem tersebut dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga keputusan apapun
yang diambil oleh NATO mendapat dukungan penuh dari negara-negara
anggotanya.
Selain ketiga syarat di atas, terdapat beberapa syarat yang menyangkut
hak-hak yang lebih khusus diantaranya kemampuan untuk mengadakan perjanjian
(treaty making power); adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk
memiliki aset-aset berupa barang, modal peralatan, bangunan dan status khusus
bagi personalia yang diberikan kepercayaan atas nama organisasi; adanya
perlindungan fungsional terhadap staff dan personalia; hak organisasi yang
disertai pengakuan atau penerimaan Negara atau organisasi lain untuk mengirim
perwakilan menghadiri berbagai konferensi internasional yang berkenaan.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, NATO telah memenuhi
persyaratan dan telah mempunyai ‘Legal Personality´ yang jelas, sebagaimana
tercantum dalam pasal-pasal ‘The North Atlantic Treaty’. Dimana kedepannya,
NATO akan menggunakan pasal-pasal tersebut sebagai dasar dari berbagai bentuk
kerjasama dengan negara-negara dan Organisasi Internasional lainnya.
46 Teuku May Rudi menjelaskan terdapat tiga jenis fungsi organisasi
internasional. Pertama Oganisasi Administratif, dimana organisasi tersebut
berfungsi sepenunya hanya melaksanakan egiatan teknis secara adminstratif.
Contohnya ialah organisasi OPEC (Orgnization of The Petroleum Exporting
Countries) yang mengatur tentang kuota serta tingkat harga minyak, UPU
(Universal Postal Union) yang mengatur tentang lalu-lintas dan ketentuan
mengenai pos, ICRC (International Committee of the Red Cross) dan lainnya.
Jenis yang kedua ialah organisasi internasional dengan fungsi peradilan, segala
yang menyangkut penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek politik,
ekonomi, hukum, sosial an budaya menurut prosedur hukum dan melalui proses
peradilan (sesuai dengan ketentuan internasional dan perjanjian-perjanjian
internasional). Contoh dari fungsi organisasi internasional ini adalah ICJ
(International Court of Justice). Yang terakhir ialah organisasi dengan fungsi
politikal, dengan pengertian bahwa orgnisasi internasional tersebut dalam
kegiatannya menyangkut masalah-masalah politik dalam hubungan internasional.
Organisasi internasional ini dapat saja menitik-beratkan pola kerjasamanya dalam
bidang-bidang khusus, namun tetap saja tidak dapat melepaskan sepenuhnya
dalam kaitannya terhadap bidang politik. Sebagai contoh dalam organisasi
internasional yang menitik-beratkan fungsi nya dalam masalah perdamaian dan
keamanan yaitu UN (United Nations), ASEAN, NATO dan lainnya.90
Sehubungan dengan kedudukan NATO sebagai organisasi internasional,
fungsi NATO sebagai organisasi dapat dilihat pada dokumen resmi yang dapat
90
Teuku May Rudi, Op.Cit. h.8
47 diunduh dalam situs resmi nya ; “The Alliance is committed to protecting its
members through political and military means. It promotes democratic values and
is dedicated to the peaceful resolution of disputes. If diplomatic efforts fail, it has
the military capability needed to undertake collective defence and crisismanagement operations alone or in cooperation with partner countries and
international organizations”. NATO juga mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana
umumnya suatu organisasi internasional. Dan dalam membantu menjalankan
fungsinya, NATO mempunyai kewenangan sesuai dengan yang tercantum dalam
piagam pebentukannya dan hukum internasional pada umumnya. Yaitu dalam
Pasal 2 Piagam Pembentukan NATO mengenai wewenang mengadakan
kerjasama ekonomi dan pertahanan, Pasal 9 piagam pembentukan NATO terdapat
wewenang untuk membuat badan subsider, ataupun Pasal 10 mengenai kerjasama
dengan negara-negara lain dalam bidang keamanan.
2.2.4
Misi-Misi Perdamaian NATO
NATO merupakan salah satu dari bentuk organisasi internasional yang
berbasis regional, meliputi daerah Amerika Utara dan Eropa, sehingga Kekuasaan
NATO hanya dapat dijalankan di daerah-daerah tersebut. Tujuan daripada
pembentukan NATO ialah untuk menjamin stabilitas keamanan khususnya di
daerah Amerika Utara dan Eropa Barat, dan memiliki tujuan umum untuk turut
membantu menjaga perdamaian, kemananan dan stabilitas ekonomi politik dunia.
Sehingga sebagai pengaplikasian tujuan-tujuan tersebut, NATO membuka
kesempatan pengadaan bantuan dalam bentuk kerjasama dengan Negara-negara
48 lain yang bukan anggota NATO, yang menyebabkan ruang lingkup NATO
bertambah luas.
Misi-misi perdamaian yang dijalani NATO hingga saat ini ialah the
International Security Assistance Force (ISAF) di Afghanistan, dimana tujuan
utama NATO ialah untuk medukung Afghanistan menciptakan pemerintahan yang
stabil sehingga rekonstruksi dan pengembangan dalam negeri dapat berjalan
dengan lancer. Kemudian misi perdamaian di Kosovo sejak juni tahun 1999,
patroli keamanan oleh kapal-kapal aliansi di Laut Tengah untuk memonitor dan
menghambat aktivitas teroris. Membantu melawan bajak laut yang sering menjadi
masalah di teluk Aden dan sepanjang laut Afrika. Pelatihan khusus untuk
memperkuat efektifitas pasukan militer Iraq. Memimpin operasi militer di Libya
berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB dimana NATO dan sekutusekutunya. Melaksanakan embargo senjata dan melakukan larangan kawasan
terbang (no-fly zone) dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam
upaya melindungi penduduk sipil dan kawasan pemukiman penduduk sipil dari
penyerangan-penyerangan militer. Selain misi-misi ini, NATO juga terlibat dalam
aktivitas-aktivitas lain dalam pelaksanaan kerjasama dengan sekutu-sekutu
NATO, melingkupi pembaharuan militer dan politik, pelatihan strategi militer,
kerjasama dalam bidang ilmu pengetahuan, pemberian informasi-informasi dan
penyelesaian masalah kemanusiaan.91
91
What is NATO; an Introduction to The Transatlantic Alliance , nato.int
URL;http://www.nato.int/cps/en/SID-8C5FCDD9E6E17F41/natolive/what_is_nato.htm, 16 Mei
2015.
BAB III
PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL SERANGAN NATO
TERHADAP LIBYA
3.1 Tinjauan Umum terhadap Libya di bawah Pemerintahan Moammar
Gadaffi
Secara umum, Libya ialah sebuah negara di wilayah Afrika Utara yang
berbatasan dengan Laut tengah di Utara, Mesir di sebelah Timur, Sudan di
Tenggara, Chad dan Niger di sebelah Selatan dan Aljazair serta Tunisia di Barat.92
Negara ini pada mulanya merupakan negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan
dengan Raja Idris I sebagai pemimpin pemerintahannya sebelum akhirnya
Moammar Gaddafi berhasil melakukan kudetanya pada tahun 1951, dan kemudian
menjadikan dirinya sebagai penguasa De Facto Libya. 93
3.1.1 Sejarah Pemerintahan Moammar Gaddafi di Libya
Pada masa kepemimpinannya, Gadaffi menghapus Dewan Konstitusi
Libya 1951 dan membuat suatu peraturan hukum baru yang didasarkan kepada
ideologinya, dan hingga sekarang masih dikenal sebagai ‘The Green Book’.
Seperti yang telah disebutkan pada latar belakang penulisan karya ilmiah ini,
pemerintahan Gadaffi jauh dari pemerintahan yang ideal bagi masyarakatnya.
Walaupun dalam doktrin ‘The Green Book’ nya Gadaffi menganut asas demokrasi
namun dalam faktanya orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan penting di
pemerintahan merupakan mereka yang loyal kepada Gadaffi, yang berakibat
kekuasaan Gadaffi terjamin mutlak telah berada di tangannya. Begitu pula dengan
92
Boardcreations.blogspot.com, URL: http://boardcreations.blogspot.com/2014/12/negaralibya.html, diakses terakhir pada tanggal 15 Mei 2015.
93
Ibid
49 50 keadaan militer Libya sengaja dibuat lemah sehingga kemungkinan untuk
melakukan kudeta sangatlah kecil, mengingat unit-unit terkuat dalam militer di
Libya dipegang oleh mereka yang loyal kepada Gadaffi.
Libya merupakan negara penghasil minyak yang menempati urutan ke-17
tertinggi di dunia namun ironisnya rakyat di Libya justru jauh dari kesan makmur.
Berdasarkan data, sekitar 20,74 % masyarakat Libya merupakan pengangguran
dan sepertiga dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan yang ditentukan
Negara.94 Namun demikian, terdapat beberapa hal positif yang berhasil dicapai
dalam pemerintahan Gaddafi ini, yaitu karena hampir 58% pemasukan Libya
berasal dari sektor industri minyak, maka pemerintah daerah memerlukan lebih
sedikit pajak penghasilan dari industri-industri lain sehingga mereka mempunyai
lebih sedikit beban untuk mengembangkan potensi dan ekonomi masyarakat kelas
menengah, Libya GDP perkapita, Human Development Index serta kemampuan
untuk membaca dan menulis jauh lebih baik daripada Negara-negara tetangganya
(Mesir dan Tunisia) dan merupakan yang tertinggi di benua Afrika, bahkan
mengalahkan Saudi Arabia.95 Negara ini juga mempunyai program sistem dalam
pengembangan kesejahteraan masyarakatnya, yaitu akses dalam memperoleh
pendidikan tanpa membayar, pelayanan kesehatan gratis, bantuan keuangan dalam
pemberdayaan hidup masyarakat dan akses air bersih secara cuma-cuma lewat
pembangunan Great Manmade River.96
94
www.viva.co.id , URL: http://sorot.news.viva.co.id/news/read/207837-harta-di-balikjubah-sang-kolonel-, diakses tanggal 18 Januari 2015.
95
www.
http://stats.oecd.org/,
dalam
Wikipedia..co.id,
URL:
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_PDB_(KKB)_per_kapita
96
www.globalresearch.ca/, URL: http://www.globalresearch.ca/libyas-water-wars-andgaddafis-great-man-made-river-project/5334868 diakses tanggal 18 januari 2015.
51 Libya dalam masa pemerintahan Gaddafi merupakan salah satu negara
yang bermasalah pada bidang pembangunan, dapat dilihat dari salah satu daerah
yang memiliki perekonomian terburuk di bagian Timur, yang justru merupakan
tempat dimana Gadaffi memproduksi minyak mentah, dan selain program akses
air bersih dan pemberdayaan hidup masyarakat
tidak ada infrastruktur /
pembangunan lagi di Libya, bahkan program pelayanan kesehatan gratis yang
dicetuskan Gaddafi dianggap sangat tidak layak oleh masyarakat Libya, hal ini
dibuktikan dengan banyaknya masyarakat Libya yang mencari penanganan medis
di negara-negara tetangga, seperti Tunisia dan Mesir.97
Layaknya negara-negara yang dikuasai oleh pemerintahan absolut, korupsi
dengan tingkat parah terjadi, sebagian besar dari perekonomian di Libya dikuasai
oleh Gaddafi, keluarganya beserta loyalis Gaddafi yang berhasil menguasai
perekonomian melalui cara-cara politiknya98. Pada tahun 2009 sampai 2011,
menurut laporan dari lembaga Freedom Press Index99, Libya merupakan Negara
yang paling rendah dalam hak kebebasan pers di daerah Timur Tengah dan Afrika
Utara, pembatasan hak untuk bersuara juga dilakukan, hal ini terbukti dalam
Undang-undang 75 tahun 1973 dan dalam Undang-undang tahun 1974, Gaddafi
menyatakan siapapun yang mendirikan partai politik akan dieksekusi, namun pada
tahun 1977, ketika Gaddafi memperkenalkan sistem Jamahiriya, ia juga
97
archives.dailynews.lk/, URL: http://archives.dailynews.lk/2011/10/22/fea02.asp , diakses
tanggal 18 januari 2015.
98
www.nytimes.com
,
URL:
http://www.nytimes.com/2011/03/10/world/africa/10qaddafi.html?_r=0, diakses pada tanggal 18
Mei 2015.
99
freedomhouse.org, URL:
https://freedomhouse.org/report-types/freedom-press#.VV63aI6qqko, diakses pada tanggal 18 Mei
2015.
52 membentuk komite revolusioner sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran
politik masyarakat, dimana sistem komite revolusioner ini merupakan partisipasi
langsung dari para perwakilan partai-partai tradisional, seiring waktu, kedudukan
serta kekuatan daripada komite revolusioner berkembang, dan sering menjadi
sumber ketegangan dalam
Jamahiriya, hingga Gaddafi sendiri mengkritisi
efektifitas dan kekuasaan Komite Revolusioner akhirnya dibatasi pada akhir tahun
1980. Pada tahun 2009, Gaddafi berpidato tentang periode politik baru dan cukup
membuat masyarakat tergerak, yang meliputi pemilihan umum posisi-posisi
penting dalam pemerintahan (seperti perdana menteri, menteri-menteri, posisi
penasehat keamanan Negara) dan berjanji akan mengikutsertakan pihak-pihak
pengawas internasional demi menjamin pemilihan yang adil.
3.1.2 Perlawanan Kelompok Oposisi terhadap Pemerintahan Moammar
Gaddafi
Pada awalnya merupakan aksi protes terhadap pemerintahan Gaddafi,
masyarakat menuntut pelaksanaan program bantuan pemerintah dan penanganan
korupsi politik yang terjadi di Libya. Di daerah Bayda, Derna, Benghazi, Bani
Walid dan kota-kota lainnya, aksi anarkis terjadi, para demonstrans menyerang
dan berhasil menguasai kantor-kantor pemerintahan serta menyerang pekerjapekerja pemerintah, dan mulai memuncak pada tanggal 15 Februari 2011, di mana
sekitar 500 hingga 600 demonstran berkumpul melakukan aksi protes atas
53 penahanan Fathi Terbil, pejuang hak asasi manusia100 dan aksi tersebut mendapat
perlawanan dari pihak kepolisian setempat, dimana 38 orang terluka, 10 di
antaranya ialah anggota kepolisian, di kota Bayda dan Zintan juga berkumpul para
demonstran yang melakukan tindakan anarkis sebagai aksi ketidakpuasan
terhadap pemerintahan Gaddafi dan kepolisian Libya merespon dengan tindakan
kekerasan pula, seperti pemakaian ‘water canon’ dan senjata api kepada para
demonstran (yang juga bersenjata) sampai pada tanggal 18 Februari 2011, pihak
kepolisian terpaksa mundur akibat kewalahan menghadapi demonstran, dan
banyak dari anggota kepolisian di daerah-daerah tersebut berbalik bergabung
dengan para demonstran dan pemerintah Gaddafi membalasnya dengan
menggunakan senjata kepada para demonstran, pada saat itu korban tewas
diperkirakan
mencapai
49
orang101, sedangkan penduduk di Benghazi
memperkirakan korban telah mencapai 200 orang dan pada tanggal 20 Februari,
protes mulai menyebar dan situasi memanas, dan pemerintah berupaya mengatasi
keadaan tersebut dengan menyerukan bahwa mereka akan mempertahankan Libya
dan mengatasi situasi tersebut dan tidak akan membiarkan Al Jazeera, Al Arabiya
dan BBC menipu bangsa Libya (We will fight to the last man and woman and
bullet. We will not lose Libya. We will not let Al Jazeera, Al Arabiya and BBC
trick us)
102
dan tampak jelas bahwa pemerintah Libya menyalahkan situasi
100
http://id.muslimvillage.com/ URL: http://id.muslimvillage.com/2011/02/17/8955/libyansin-fiery-clash-with-government-officials/ , diakses tanggal 18 januari 2015.
101
http://www.theguardian.com/, URL:
http://www.theguardian.com/world/2011/feb/18/libya-protests-massacres-reported,
diakses
terakhir pada tanggal 18 Januari 2015
102
http://www.xinhuanet.com/english/,
URL:
http://news.xinhuanet.com/english2010/world/2011-02/21/c_13741080.htm, diakses tanggal 18
januari 2015.
54 tersebut kepada pihak luar, khususnya pada Israel yang memang menyuarakan
kepada para pemimpin negara Arab untuk tetap bersikap wajar terhadap situasisituasi tersebut, hari-hari berikutnya Gaddafi menyerukan propaganda kepada
masyarakat agar tidak mempercayai berita-berita yang bersumber dari luar (selain
berita resmi dari pemerintahan Gaddafi) dan pidato propaganda Gaddafi semakin
tidak jelas arah dan tujuannya sebab dalam kurun waktu 24 jam, ia kembali
melaksanakan propaganda dengan menyalahkan pihak asing dan menyatakan
bahwa para demonstran sudah diperdayai oleh mereka, dan hal-hal tersebut
hanyalah halusinasi semata dan Gaddafi menolak mengundurkan diri sebab ia
tidak memiliki jabatan resmi di mana ia bisa mundur kemudian menyalahkan
situasi pemberontakkan kepada “Islamis” dimana ia berpendapat bahwa keadaan
tersebut telah diatur di Bayda dan Derna, ia juga menyerukan kepada para
pendukungnya untuk mengambil kembali fasilitas-fasilitas yang telah diduduki
oleh para demonstran, ia juga mengutarakan bahwa ia belum memerintahkan
penggunaan kekerasan dan memperingatkan bahwa bila ia melakukannya maka
mereka akan hancur, namun dalam faktanya, pemerintahan Gaddafi telah
melaksanakan
suatu
penggunaan
kekerasan
dalam
upaya
mengatasi
pemberontakkan, bahkan dalam laopran dari pengamat HAM, diperkirakan
korban tewas hingga 22 Februari telah mencapai 232 orang103. Tanggal 23-24
Februari, terjadi perebutan daerah kekuasaan antara Gaddafi dengan para
demonstran, dimana berjatuhan banyak korban, terutama para pelajar, Gaddafi
meresponnya dengan ucapan turut berduka dan kembali menyalahkan tindakan
103
http://www.aljazeera.com/,URL:
http://www.aljazeera.com/news/africa/2011/02/201122261251456133.html, diakses tanggal 18
januari 2015.
55 para pelajar kepada halusinasi yang ditanamkan oleh produk-produk asing dan
pada tanggal 25 Februari, untuk pertamakalinya kota Tripoli dimasuki oleh para
demonstran meskipun pasukan Gaddafi berhasil mempertahankan Tripoli dan
pada tanggal 26 Februari, banyak diantara pasukan Gaddafi beralih mengikuti
para pemberontak dan telah ada rencana untuk membentuk suatu organisasi, pada
hari itu, Presiden Amerika Serikat (AS), Barrack Obama dan Menteri Luar Negeri
AS, Hillary Clinton mendesak Gaddafi untuk mundur dari kekuasaan demi
mencegah tindakan kekerasan lebih lanjut.
‘Dewan Transisi Nasional’ yaitu suatu organisasi yang merupakan bentuk
aspirasi para demonstran dalam usahanya untuk mengubah Libya terbentuk pada
tanggal 27 Februari 2011, di Benghazi, dengan tujuan utama dari pembentukan
‘Dewan Transisi Nasional’ bukanlah untuk menggantikan pemerintah tandingan
dengan pemerintah Moammar Gaddafi melainkan untuk mengatur gerakangerakan pemberontakan di daerah-daerah lain dan untuk menunjukan keberadaan
pihak oposisi kepada dunia Internasional. Dewan Transisi Nasional kemudian
mendeklarasikan dirinya sebagai satu-satunya wakil dari Negara Libya yang pada
tanggal 10 Maret tahun 2011 diakui oleh Perancis dan Portugal dan Dewan Eropa
(European Council) mendorong negara-negara di wilayah Eropa untuk mengakui
Dewan Transisi Nasional sebagai satu-satunya perwakilan Negara Libya.
Situasi makin memanas dan Perdana Menteri Inggris mengusulkan
rencana zona larangan terbang untuk mencegah Gaddafi mengangkut dan
menggunakan tentara bayaran serta mencegah penggunaan pesawat militer serta
helicopter lapis baja kepada penduduk sipil, kembali Menteri Luar Negeri AS,
56 Hillary Clinton, mendesak Gaddafi untuk mundur demi mencegah jatuhnya
korban lebih lanjut, Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smit menegaskan
bahwa pemerintah Australia sedang mempertimbangkan penggunaan opsi milter
terhadap Gaddafi, sebab kecil kemungkinan niat Gaddafi untuk mundur, pada
tanggal 2 Maret 2011, pihak Oposisi secara resmi meminta kepada PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk memberlakukan zona larangan terbang dan
melakukan serangan udara terhadap pasukan Gaddafi, gagasan Zona Larangan
terbang tersebut didukung pula oleh organisasi internasional Liga Arab juga
didukung oleh kerjasama negara-negara Africa (African Union).104 Pihak Oposisi
juga menolak dialog damai dengan Gaddafi yang disponsori oleh Presiden
Venezuela, Hugo Chávez, dan melanjutkan upaya untuk menduduki daerahdaerah dibawah kekuasaan Gaddafi, seperti kota Sirte, yang merupakan daerah
asal dan benteng Gaddafi sementara Prancis, Inggris, Amerika Serikat dan negaranegara Timur Tengah bekerjasama dalam mewujudkan resolusi larangan Zona
terbang (No-Fly Zone) bagi Libya.
Pada tanggal 17 Maret 2011, pasukan Gaddafi berhasil menduduki
Gerbang Selatan kota Ajdabiya dan menyegel gerbang Timur serta memasuki kota
pelabuhan kecil Zuwetina ke arah Barat Laut kota Ajdabiya, Gaddafi kembali
menyatakan bahwa ia bersumpah akan menyerang kota Benghazi di malam yang
sama dan menjanjikan amnesti kepada pemberontak yang menyerah secara damai
dan pasukannya tidak akan menunjukan belas kasihan kepada mereka yang terus
104
Ibid
57 berjuang.105 Pemimpin pemberontak, Mustafa Abdul Jalil mengatakan bahwa
pihak pemberontak tidak akan mundur dan tidak akan terintimidasi. Pada hari itu
jugalah, Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1973 (2011) mengenai Zona
Larangan Terbang diadopsi oleh PBB.106
Pada tanggal 19 Maret 2011, koalisi Intervensi militer pun dimulai. Para
anggota NATO mulai melakukan intervensi militer atas dasar penegakan Resolusi
1973 (2011) mengenai Zona Larangan Terbang yang berisi tentang tuntutan
gencatan senjata dan pengakhiran tindakan kekerasan terhadap penduduk sipil,
pemberlakuan zona larangan terbang di daerah Libya, pengaturan sarana-sarana
yang diperlukan untuk menjamin dan melindungi penduduk sipil, menegaskan
embargo senjata terutama pada para tentara bayaran dengan inspeksi-inspeksi
paksa terhadap kapal dan pesawat, pelarangan terbang untuk penerbanganpenerbangan Libya, pembekuan asset-aset yang dimiliki oleh otoritas Libya serta
menegaskan penggunaan asset-aset tersebut harus digunakan untuk kepentingan
masyarakat Libya, mempersempit pemberlakuan larangan perjalanan dan
pembekuan aset-aset dalam Resolusi 1970 tersebut ke sejumlah individu dan
entitas di Libya dan membentuk dewan khusus untuk memantau dan mendorong
pemberlakuan sanksi. 107
105
Aljazeera.com, URL:
http://www.aljazeera.com/news/africa/2011/03/2011317645549498.html, diakses tanggal 3
Januari 2015.
106
UN.org/news/, URL: http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=37808, diakses
tanggal 3 Januari 2015.
107
http://www.un.org/, URL:
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=37808&Cr=libya&Cr1=#.VL8URdKUewY,
diakses tanggal 18 januari 2015
58 Hal ini menguntungkan bagi pihak Oposisi, sebab setelah pengadopsian
Resolusi 1973, pertempuran Ajdabiya dan pertempuran kedua di Benghazi, para
anggota oposisi yang sebagian besar merupakan penduduk sipil yang bersenjata
tidak mempunyai kepemimpinan dan komunikasi yang kurang baik sehingga
mereka dengan cepat menjadi kacau dan terpaksa mundur. Dengan meningkatnya
frekuensi dan kekuatan dalam setiap serangan NATO, dukungan dari Masyarakat
Internasional dan pembelotan-pembelotan yang terjadi dalam pasukan-pasukan
elit Gaddafi sendiri, pada akhir bulan Mei, pasukan Oposisi mampu memaksa
pasukan Gaddafi keluar dari Misratadan memulai upaya untuk penguasaan
wilayah. 108
Dari bulan Juni sampai dengan awal Agustus, pihak oposisi mulai maju
dan fokus menduduki kota-kota di daerah Barat dan Dewan Transisi Nasional
mendapat pengakuan Internasional dari Amerika Serikat dan negara-negara lain,
membuka kedutaan dan kantor-kantor diplomatik di ibu kota negara-negara lain
dan meskipun pembunuhan terhadap Komandan Militer, Jenderal Abdul Fatah
Younis terjadi, pihak Oposisi yang berbasis di penggunungan Nafusa dengan
berani bergerak menuju daerah sekitar Laut Mediterania dan bergerak maju dari
Misrata menuju bagian Utara dan Timur dimana para loyalis berada. Sekitar
pertengahan Agustus hingga tanggal 23 Oktober, perimeter pertahanan Gaddafi di
Tripoli mulai hancur yang menyebabkan Gaddafi dan para loyalisnya pelan tapi
pasti bergerak meninggalkan Tripoli, banyak dari loyalis Gaddafi ditangkap atau
terbunuh dalam peperangan tersebut, termasuk putra bungsu Gaddafi, Khamis dan
108
http://www.theguardian.com/, URL:
http://www.theguardian.com/world/2011/mar/23/libya-no-fly-zone-leadership-squabbles , diakses
tanggal 18 januari 2015.
59 pos-pos pertahanan tersebut akhirnya runtuh di bawah serangan efektif yang
dilakukan NATO dan Pasukan Oposisi. Pada akhir bulan Desember, Dewan
Transisi Nasional telah diakui oleh PBB, Liga Arab dan Uni Afrika sebagai
otoritas pemerintahan yang sah dari Negara Libya dan dengan demikian telah
memperoleh pengakuan dari sebagian besar negara di dunia. Di saat-saat terakhir,
pihak Oposisi dengan gencar menyerang pos-pos pertahanan Gaddafi di Sirthe,
dan Gaddafi akhirnya tertangkap di Sirthe109 setelah mengalami luka-luka yang
cukup parah, Gaddafi kemudian meninggal dalam penahanan.110
3.1.3 Kualifikasi Konflik Bersenjata di Libya Dalam Persepektif Hukum
Internasional
Menurut William S. Lind, pengkategorian tentang perang yang disebutnya
sebagai Fourth Generation Warfare terbagi dalam empat generasi, yaitu111 :
a) First generation warfare
Masa ini ialah masa bermunculannya nation-state, yang menggantikan
eksistensi klan-klan, aliansi kota dan sebagainya, dimana kepemilikkan
senjata dimonopoli oleh negara dan peperangannya mengutamakan tactic
of line and column, yaitu pasukan A dan pasukan B berbaris saling berbaris
dan saling bertukar tembakan begitu seterusnya sampai salah satu pihak
kehabisan pasukan atau mundur.
a) Second Generation Warfare
109
http://www.bbc.co.uk/news/world-middle-east-15385955, diakses tanggal 22 Mei 2015.
http://www.reuters.com/article/2011/10/20/us-libya-idUSTRE79F1FK20111020, diakses
tanggal 22 Mei 2015.
111
http://pusbangsdmgrupag.blogspot.com, Url : http://pusbangsdmgrupag.blogspot.com
/2012/12/wajah-perang-telah-berubah-suryanto.html, diakses tanggal 24 Mei 2015.
110
60 Pada saat ini, militer mulai berkembang dan menitikberatkan serangan pada
taktik yang lebih fleksibel dan penerapan prinsip-prinsip manuver,
concealment dan artileri (indirect fire), mulai ada penambahan tentang
garis pertahanan yang dilengkapi dengan bunker-bunker.
b) Third Generation warfare
Ditandai dengan adanya strategi militer yang bersifat non linear dan
melakukan serangan langsung ke markas lawan yang pada intinya
menitikberatkan pada serangan langsung tanpa mendekati daerah lawan
dengan tujuan untuk menghancurkan pasukan militer lawan dan juga
memperhatikan pertahanan militer, salah satu contoh dapat diambil dari
serangan Jerman, Blitzkrieg, pada pembukaan Perang Dunia ke-2.
c) Fourth Generation warfare
Merupakan jenis peperangan yang terjadi tidak hanya antar suatu negara
dengan negara lain, namun juga terjadi antara negara dengan aktor-aktor
bukan negara (gerakan teroris, mafia, gerilyawan, dan lainnya termasuk
rakyatnya). Perang ini dapat menjadi perang yang dapat dilakukan tanpa
medan tempur yang terdefinisi dengan jelas, garis pemisah antara rakyat
sipil dan militer juga menjadi semakin tidak jelas. Perang ini akan terjadi
dalam seluruh segi kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
militer.
61 Dalam Hukum Humaniter sendiri, dikenal dua jenis peperangan
berdasarkan sifatnya,112 yaitu konflik bersenjata internasional dan konflik
bersenjata non-internasional yang mana perbedaannya terletak pada pihak-pihak
yang bersengketa. Konflik bersenjata internasional ialah perang antara dua negara
atau lebih dan tercantum dalam Common Article 2 Konvensi Jenewa 1949113
berserta Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, konflik yang terjadi antara dua negara atau
lebih terdiri dari tiga situasi yaitu Perang yang dilakukan dengan cara-cara yang
sah ; dalam hal ini perang yang didahului dengan pernyataan perang (declaration
of war); maupun peperangan yang tidak melakukan pernyataan perang
(declared/undeclared war). Kemudian peperangan yang diikuti dengan adanya
invasi atau pendudukan dari pihak musuh (occupation) baik yang di dalamnya
menemui perlawanan maupun yang tidak dan dalam situasi yang menegaskan
dimana pihak dalam peperangan atau yang bersengketa adalah para pihak atau
bukan pihak pada Konvensi Jenewa 1949, yang mana hal tersebut tidak
menyebabkan tidak berlakunya Konvensi itu sendiri.
Sementara sengketa bersenjata non-internasional ialah perang yang
melibatkan negara dengan pemberontak di dalam negara. Ketentuan mengenai
112
www.adh-geneva.ch/RULAC/,URL:http://www.adh
geneva.ch/RULAC/qualification_of_armed_conflict.php, diakses terakhir pada tanggal 24 Februari
2015.
113
In addition to the provisions which shall be implemented in peace-time, the present
Convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise
between two or more of the High Contracting Parties, even if the state of war is not recognized by
one of them.
The Convention shall also apply to all cases of partial or total occupation of the territory of a
High Contracting Party, even if the said occupation meets with no armed resistance
62 jenis konflik bersenjata tersebut tercantum dalam common article 3 Konvensi
Jenewa 1949114 dan Protokol Tambahan II tahun 1977.
Berdasarkan penjelasan mengenai kategori perang di atas, maka konflik
yang terjadi di Libya merupakan jenis perang dalam kategori perang generasi
keempat (Fourth Generation warfare) dimana konflik militer tersebut disebabkan
ketidakpuasan rakyat Libya terhadap pemerintahan Moammar Gaddafi, yang
meliputi segala aspek kehidupan dan dalam perkembangannya, garis pemisah
antara rakyat sipil dengan militer menjadi semakin kabur.
Terkait dengan sifat daripada konflik itu sendiri, perlu kiranya diketahui
mengenai status kaum pemberontak di Libya itu sendiri dalam dunia internasional.
Sebagaimana yang telah diketahui sejak dulu bahwa subyek hukum internasional
ialah Negara, karena dalam Hukum Internasional, ketentuan-ketentuan yang diatur
umumnya berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingankepentingan negara-negara, namun seiring perkembangan dunia internasional115
dan praktek-praktek internasional yang terjadi telah memperluas jangkauan atas
subyek-subyek internasional menjadi Lembaga-lembaga dan Organ-organ
Internasional,116
bagian-bagian
Negara
(negara-negara
bagian),117
Kaum
Beligerensi (para pemberontak),118 individu-individu,119 tahta suci Vatikan,120
114
In the case of armed conflict not of an international character occurring in the territory of
one of the High Contracting Parties, each Party to the conflict shall be bound to apply, as a
minimum, the following provisions…
115
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta,
2004, h. 80
116
Ibid, h. 85.
117
Ibid.
118
Ibid
119
J.G Starke, loc.cit.
120
Ibid, h. 2.
63 Palang Merah Internasional,
121
Wilayah perwalian,122 dan bangsa yang sedang
memperjuangkan haknya.123
Untuk kaum beligerensi (dalam internationalized internal armed conflict),
memang tidak terdapat syarat-syarat yang pasti untuk dapat mengatakan suatu
entitas sebagai kaum beligerensi yang mempunyai personalitas internasional.
Menurut Antonio Cassese agar pemberontak dapat menjadi suatu subyek
internasional maka pemberontak tersebut harus membuktikan bahwa mereka
mempunyai kontrol yang efektif dari sebagian teritori negaranya dan akibat serta
partisipasi masyarakat harus mencapai tingkat intensitas dan waktu tertentu, serta
negara (baik negara dimana pemberontak berada dan juga negara-negara lainnya)
untuk memberikan atau tidak memberikan, walaupun hanya secara implisit,
pengakuan terhadap kaum pemberontak, dengan atau tanpa syarat di atas
terpenuhi.124
Personalitas internasional suatu kaum pemberontak juga mempunyai
batasan-batasan, yaitu tergantung pada pandangan dan perlakuan subyek-subyek
internasional lain terhadapnya sehingga secara teori, jika seluruh anggota suatu
komunitas internasional menganggap bahwa kaum pemberontak tersebut tidak
mempunyai ataupun tidak memenuhi keseluruhan unsur-unsur yang diperlukan,
maka
kaum
pemberontak
tersebut
akan
mengalami
kesulitan
dalam
memperjuangkan hak-haknya dan menjalankan tugasnya dalam statusnya sebagai
subyek internasional bagaimanapun kuatnya dan efektif kekuasaan kaum
121
Ibid, h. 3.
I Wayan Parthiana, op.cit, h. 19.
123
Ibid. h. 19.
124
Antonio Cassese, International Law Second Edition, Oxford University Press, New York,
2005, h. 125.
122
64 pemberontak dalam suatu wilayah di negaranya, namun dalam prakteknya tidak
selalu demikian, sebab dalam suatu komunitas internasional terdapat kepentingankepentingan politik serta ideologi-ideologi yang berbeda dan negara-negara lain
pun dalam beberapa hal mendapat keuntungan bila kaum pemberontak diakui
sebagai suyek independen, seperti perlindungan dalam teritorial dalam suatu
negara yang mengalami pemberontakan dimana warga-warga asing berada, syarat
selanjutnya ialah peperangan dan/atau konflik yang terjadi merupakan peperangan
aktual antara pemerintah induk dan pihak pemberontak yang mencapai taraf atau
dimensi tertentu sehingga negara-negara luar terpaksa menganggap perang
saudara tersebut sebagai perang sesungguhnya antara dua kekuatan yang
sesungguhnya dan bukan semata-mata perebutan kekuasaan.
Terdapat pula syarat-syarat tertentu yang sebelum suatu keadaan
berperang itu diakuiyaitu permusuhan tersebut harus memiliki karakter umum
untuk membedakannya dengan konflik yang bersifat lokal. 125 Kemudian pihak
pemberontak juga harus melaksanakan kontrol terhadap wilayah yang cukup besar
untuk dapat mendukung kegiatannya dan yang terakhir kedua belah pihak harus
bertindak sesuai dengan hukum perang dan khusus untuk pihak pemberontak,
harus memiliki suatu angkatan bersenjata yang terorganisir di bawah suatu
komando yang baik.126
Apabila kita melihat dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa kaum
pemberontak di Libya telah memenuhi persyaratan untuk dapat diakui sebagai
subyek hukum internasional, sehingga sifat dari konflik militer yang terjadi di
125
126
J.G Starke, op.cit, h.198.
Ibid
65 Libya merupakan konflik bersenjata yang diinternasionalisasi (internationalized
armed conflict).
3.2 Keabsahan Serangan NATO terhadap Libya
3.1.2
Persepektif Hukum Internasional Umum
Masyarakat internasional secara umum memandang negatif terhadap
perang dan dengan demikian tidak menyukai peperangan, hal tersebut dapat
dilihat dalam pembukaan Piagam Bangsa-Bangsa yang mengutarakan mengenai
keengganan masyarakat internasional tentang perang mengingat kenyataan setelah
terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II.127 Hal ini juga tercermin di dalam
Pasal 2 ayat (3) dan (4) Piagam PBB mengenai penyelesaian konflik internasional
secara damai dan pelarangan dalam penggunaan kekerasan bersenjata.
Serangan NATO terhadap Libya sepintas merupakan pelanggaran terhadap
Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, namun demikian dalam Piagam PBB itu sendiri
terdapat sejumlah pengecualian sebagaimana yang tercantum dalam Bab VII
mengenai
tindakan
tindakan
yang
berkaitan
dengan
ancaman-ancaman
kedamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi; terutama dalam Pasal 42
dan 51 Piagam PBB tentang pembelaan diri (self defence). Pasal 42 Piagam PBB
menyatakan bahwa Dewan Keamanan dapat melakukan tindakan-tindakan
kekerasan senjata baik di darat, udara maupun laut demi memelihara atau
127
Lihat pembukaan Piagam PBB : “…to save succeeding generations from the scourge of
war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind, and…”
66 memulihkan perdamaian dan kemananan dunia apabila tindakan yang telah
dicantumkan dalam Pasal 41128 tidak cukup atau dianggap tidak mencukupi.129
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya di bagian Latar Belakang
tulisan ini, terdapat beberapa resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan
berkaitan dengan konflik yang terjadi di Libya. Namun hanya dua resolusi yang
pada intinya mempengaruhi situasi konflik bersenjata di Libya, yaitu Resolusi
S/RES/1970 (2011) dan Resolusi S/RES/1973 (2011).
Inti dari Resolusi 1970 ialah menekankan untuk segera terjadinya
penghentian konflik bersenjata; mendesak pemerintah libya untuk beroperasi
dengan mengingat hak-hak asasi masyarakatnya, pentingnya menghormati dan
menerapkan hukum humaniter; memutuskan untuk melakukan embargo senjata;
memastikan pembatasan gerak bagi orang-orang yang tercantum dalam Annex I
Resolusi 1970 ini dan pembekuan aset-aset seperti yang tercantum dalam Annex
II Resolusi 1970130. Resolusi 1970 juga merupakan peringatan terhadap
pemerintah Moammar Gaddafi, sebagaimana dapat dilihat dalam paragraf (26)
dimana
Dewan
Keamanan
telah
menyatakan
kesiapannya
dalam
mempertimbangkan pengambilan langkah-langkah tambahan sebagaimana yang
128
Article 41, UN Charter: The Security Council may decide what measures not involving the
use of armed force are to be employed to give effect to its decisions, and it may call upon the
Members of the United Nations to apply such measures. These may include complete or partial
interruption of economic relations and of rail, sea, air, postal, telegraphic, radio, and other means
of communication, and the severance of diplomatic relations.
129
Article 42, UN Charter : Should the Security Council consider that measures provided for
in Article 41 would be inadequate or have proved to be inadequate, it may take such action by air,
sea, or land forces as may be necessary to maintain or restore international peace and security.
Such action may include demonstrations, blockade, and other operations by air, sea, or land
forces of Members of the United Nations.
130
Lihat Resolusi Dewan Keamanan 1970 tahun 2011.
67 diperlukan untuk memfasilitasi dan mendukung kembalinya aspek aspek
kemanusian dan bantuan terkait dalam Libyan Arab Jamahiriya.131
Sementara Resolusi 1973 merupakan resolusi yang diambil oleh Dewan
Keamanan sebagai akibat dari kegagalan Resolusi 1970 terhadap penanganan
situasi konflik bersenjata di Libya. Resolusi ini mencantumkan tentang konsep No
Fly Zone dan otorisasi bagi negara-negara anggota untuk mengambil semua
tindakan yang diperlukan melalui organisasi-organisasi regional demi melindungi
warga sipil Libya132 sebagaimana tercantum dalam paragraf 4 Resolusi 1973
(2011), yaitu:
… Authorizes Member States that have notified the Secretary-General,
acting nationally or through regional organizations or arrangements,
and acting in cooperation with the Secretary-General, to take all
necessary measures, not withstanding paragraph 9 of resolution 1970
(2011), to protect civilians and civilian populated areas under threat of
attack in the Libyan Arab Jamahiriya, including Benghazi, while
excluding a foreign occupation force of any form on any part of Libyan
territory, and requests the Member States concerned to inform the
Secretary-General immediately of the measures they take pursuant to
the authorization conferred by this paragraph which shall be
immediately reported to the Security Council…
131
Lihat Resolusi 1970 (2011), paragraf 26.
www.nato.int/ , URL :
http://translate.googleusercontent.com/translate_c?anno=2&hl=id&rurl=translate.google.co.id&
sl=en&tl=id&u=http://www.nato.int/cps/en/SID-49AA062ACA01A195/natolive/topics_71652.htm, diakses terakhir pada 4 Februari 2015.
132
68 Konsep No Fly Zone pada paragraf 6 S/RES/1973 (2011)133 juga melarang
segala bentuk penerbangan dalam seluruh wilayah Libya untuk melindungi
penduduk sipil dengan pengecualian pada paragraf 7 S/RES/1973 (2011)
mengenai penerbangan-penerbangan yang mengangkut kebutuhan-kebutuhan
primer seperti pangan, sandang, obat-obatan serta relawan-relawan kemanusiaan
yaitu:
… Decides further that the ban imposed by paragraph 6 shall not apply
to flights whose sole purpose is humanitarian, such as delivering or
facilitating the delivery of assistance, including medical supplies, food,
humanitarian workers and related assistance, or evacuating foreign
nationals from the Libyan Arab Jamahiriya, nor shall it apply to flights
authorised by paragraphs 4 or 8, nor other flights which are deemed
necessary by States acting under the authorisation conferred in
paragraph 8 to be for the benefit of the Libyan people, and that these
flights shall be coordinated with any mechanism established under
paragraph 8 …
Penerbangan-penerbangan yang tercantum dalam paragraf 8 S/Res/1973 (2011)134
yang dilakukan oleh negara-negara anggota yang sebelumnya telah melaporkan
133
Res/1973/2011/ Par. 6: Decides to establish a ban on all flights in the airspace of the
Libyan Arab Jamahiriya in order to help protect civilians.
134
Res/1973/2011/Par. 8 :Authorizes Member States that have notified the Secretary-General
and the Secretary-General of the League of Arab States, acting nationally or through regional
organizations or arrangements, to take all necessary measures to enforce compliance with the ban
on flights imposed by paragraph 6 above, as necessary, and requests the States concerned in
cooperation with the League of Arab States to coordinate closely with the Secretary General on
the measures they are taking to implement this ban, including by establishing an appropriate
mechanism for implementing the provisions of paragraphs 6 and 7 above
69 aktivitas tersebut kepada Sekretaris Jenderal dan Sekretaris Jenderal Liga Arab
untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan dalam usahanya menegakkan
larangan penerbangan tersebut tidak dilarang, termasuk juga pembentukan
mekanisme untuk melaksanakan paragraf 6 dan 7 di atas dan paragraf 9
Res/1973/2011 yang meminta kepada seluruh negara anggota untuk memberikan
bantuan baik secara nasional maupun melalui organisasi regional untuk
memberikan bantuan demi mendukung pelaksanaan paragraf 4, 6, 7 dan 8
Res/1973/2011 tersebut. Inilah dasar-dasar hukum yang digunakan oleh NATO
dalam melakukan operasi militer di Libya.Berdasarkan uraian serta ketentuanketentuan dari resolusi-resolusi di atas, serangan NATO terhadap Libya
sesungguhnya tidak dilarang dan merupakan tindakan yang sesuai dengan situasi
konflik tersebut, sebab dasar dari serangan NATO ialah resolusi yang dikeluarkan
oleh Dewan Keamanan PBB. Dimana resolusi 1973 sendiri merupakan tindak
lanjut dari Resolusi 1970 yang diadopsi sesuai dengan ketentuan Pasal 41 dan 42
dalam Bab VII Piagam Bangsa Bangsa. Sebagaimana yang telah tercantum dalam
piagam tersebut mengenai pendapat maysarakat internasional mengenai
peperangan, masih terdapat pengecualian-pengecualian mengenai penggunaan
senjata yang dalam situasi konflik di Libya dirasa mengarah pada implementasi
Pasal 42 Piagam PBB.
3.2.2
Persepektif Hukum Humaniter
Dalam cabang-cabang Hukum Internasional terdapat salah satu bagian
yang mengatur tentang perang, baik pembenaran dalam melakukan tindakan
70 kekerasan senjata oleh negara maupun hukum yang berlaku di dalam perang itu
sendiri, terkodifikasinya hukum perang merupakan salah satu pengakuan dari
umat manusia mengenai konsep berperang dan merupakan usaha untuk
menghapuskan atau setidaknya memperkecil kemungkinan terjadinya perang yang
kemudian dalam sejarahnya, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk
menyebut hukum perang sebelum akhirnya disebut sebagai hukum Humaniter.135
Prof. Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi dua
bagian, yaitu Jus ad Bellum (hukum yang mengatur dalam hal bagaimana negara
dibenarkan menggunakan kekerasan senjata) dan Jus in Bello (hukum yang
berlaku dalam perang)136 dimana sebagian besar pengaturan perang tersebut dalam
bentuk treaties (perjanjian-perjanjian) dan conventions (konvensi-konvensi) dan
beberapa tidak tertulis. Dua di antaranya merupakan sumber utama dari hukum
humaniter, yaitu konvensi Den Haag dan konvensi Jenewa serta beberapa
peraturan tambahan dalam Protokol 1977.
Konferensi Perdamaian I di Den Haag diadakan beberapa kali, yaitu pada
tahun 1899 yang menghasilkan empat buah konvensi.137 Konferensi ini juga
menghasilkan tiga deklarasi tentang serta pada tahun 1917 mengenai larangan
penggunaan senjata dan bahan peledak dari udara (On the Launching of
Projectiles and Explosives from Balloons), mengenai penggunaan gas-gas
beracun (On the Use of Projectiles the Object of Which is the Diffusion of
Asphyxiating or Deleterious Gases) dan deklarasi ketiga mengenai penggunaan
135
Haryomataram, op.cit. h. 27
Haryomataram, op.cit , h. 6.
137
irnarahmawati.wordpress.com,URL:
https://irnarahmawati.wordpress.com/2012/12/25/hukum-den-haag-dan-hukum-jenewa/,
diakses tanggal 14 Mei 2015
136
terakhir
71 senjata peluru meriam (On the Use of Bullets Which Expand or Flatten Easily in
the Human Body) kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Perdamaian II yang
menghasilkan 13 buah konvensi dan meratifikasikan 12 buah konvensi dan dua
buah deklarasi tambahan mengenai penambahan dalam deklarasi II tahun 1899
mengenai tipe-tipe pesawat (extending Declaration II from the 1899 Conference
to other types of aircraft) dan mengenai arbitrase yang diwajibkan (on the
obligatory arbitration). Dalam Hague Convention II-1899 mengenai hukum dan
kebiasaan berperang di darat, terdapat pengaturan mengenai pihak pemberontak
(belligerents) yang selanjutnya dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa ketentuan
dalam Pasal 1, instruksi angkatan bersenjata para pihak harus menghormati dan
mematuhi peraturan yang terlampir dalam konvensi ini, hanya mengikat para
pihak pihak yang berwenang dalam kasus perang terjadi antara lebih dari dua
negara dan ketentuan tersebut seketika tidak berlaku ketika dalam peperangan
dimasuki pihak ketiga yang bukan
pihak awal dan bergabung dengan
pemberontak yang merupakan salah satu pihak dari peperangan tersebut.
Kemudian dalam konvensi selanjutnya pada tahun 1907, Pasal 2 Hague
Convention III mengenai tata cara memulai peperangan (The Opening of
Hostilities) mengikat dalam hal peperangan antara pemberontak yang merupakan
anggota dari konvensi ini dan juga untuk pihak netral yang merupakan anggota
konvensi.
Sehingga dalam situasi Libya, ketentuan dalam konvensi Den Haag tidak
lagi berlaku dengan masuknya NATO sebagai pihak yang membantu pihak
72 pemberontak Hal ini juga kembali ditegaskan dalam konvensi IV-1907138
mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat bahwa ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam konvensi tidak mengikat kecuali pihak-pihak dan juga
pemberontak merupakan anggota dari konvensi tersebut.
Namun demikian, ketentuan-ketentuan dalam Hague Convention masih
dan tetap diterapkan dalam keadaan perang yang kemudian dilengkapi oleh
peraturan-peraturan dalam Geneva Convention dan dalam kaitannya tersebut,
pihak-pihak konflik bersenjata di Libya terikat pada hukum kebiasaan humaniter
internasional (Customary International Humanitarian Law) yang merupakan
gabungan dari konvensi-konvensi dan deklarasi-deklarasi mengenai perang atau
konflik bersenjata, hal ini kemudian kembali dipertegas kenyataan bahwa hukum
internasional sendiri tidak melarang perang atau konflik bersenjata seperti yang
telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya mengenai perpektif hukum internasional
terhadap tindakan NATO.
138
Pasal 2 Hague Convention IV-1907 The provisions contained in the Regulations referred
to in Article 1, as well as in the present Convention, do not apply except between Contracting
Powers, and then only if all the belligerents are parties to the Convention.
BAB IV
BATAS ALASAN PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL SEBAGAI
PEMBENARAN DALAM SERANGAN NATO TERHADAP LIBYA
4.1 Perlindungan Penduduk Sipil dalam Hukum Internasional
Perlindungan terhadap penduduk sipil merupakan salah satu wujud diakuinya
hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam hukum internasional, perlindungan
penduduk sipil dalam konflik bersenjata telah menjadi kewajiban internasional
negara-negara yang tertuang di dalam sejumlah konvensi internasional serta
merupakan hukum kebiasaan internasional.
4.1.1
Ketertiban Umum dalam Hukum Internasional dalam kaitannya
dengan Perlindungan Penduduk Sipil di Libya.
Ketertiban umum merupakan salah satu asas yang ada dalam hukum
internasional. Makna ketertiban umum dapat dibedakan berdasarkan sistem negara
yang dianut. Pada negara-negara Common Law, ketertiban umum dikenal dengan
istilah Public Order sedangkan untuik negara-negara Civil Law ketertiban umum
dipadankan dengan konsep Law and Order.
Penulis berpendapat bahwa konsep ketertiban hukum dalam hukum
internasional khususnya berkaitan dengan perlindungan penduduk sipil dapat
dirujuk pada Klausa Martens. Klausa ini lahir dari Doktrin Professor Von Martens
yang menyatakan sebagai berikut:
“Until a more complete code of laws of war is issued, the High
Contracting Parties think it right to declare than in cases not included in the
Regulations adopted by them, populations and belligerents remain under the
protection and empire of the principles of international law, as they result
73 74 from the usages established between civilized nations, from the laws of
humanity and the requirement of the public conscience.”
Klausa ini terdapat dalam pembukaan Konvensi Den Haag II-1899
mengenai Hukum dan Kebiasaan Berperang di Darat, yang mempunyai pengertian
bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum
mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan haruslah
memenuhi atau mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional yang terbentuk
dari kebiasaan antara negara-negara beradab; dari hukum kemanusiaan serta dari
hati nurani masyarakat (dictated of public conscience). Nantinya klausa ini juga
akan tercantumkan dalam berbagai perjanjian, seperti pembukaan konvensi Hague
IV-1907
mengenai Hukum dan Kebiasaan Berperang di Darat, pembukaan
Conventional Weapon Convention 1980, dalam konvensi-konvensi Geneva139 dan
Protokol Tambahan I.140 Dalam pengertiannya sendiri, klausa ini mengacu pada
prinsip-prinsip kemanusiaan yang lebih dikenal sebagai ‘laws of humanity’ dan
pada Protokol Tambahan I disebut sebagai ‘principle of humanity’. Sehingga
ketika dikaitkan dengan uraian di atas, ketertiban umum merupakan suatu
‘exceptional cause’; dimana jika terdapat permasalahan yang mengganggu
ketertiban umum, seperti permasalahan yang mempengaruhi dunia internasional
139
Lihat Article 63 (konvensi I); Article 62 (Konvensi II); Article 142 (Konvensi III); Article
158 (Konvensi IV)
140
Lihat article 1 (2) : In cases not covered by this Protocol or by other international
agreements, civilians and combatants remain under the protection and authority of the principles
of international law derived from established custom, from the principles of humanity and from dictates of public conscience. 75 dan juga seperti pelanggaran berat hak asasi manusia,141 negara-negara ataupun
suatu organisasi internasional dapat melakukan tindakan-tindakan dalam rangka
menjaga ketertiban umum.
4.1.2
Beberapa Pengaturan Khusus tentang Perlindungan Warga Sipil
a.
Hukum Hak Asasi Manusia
Instrumen Hak Asasi Manusia sesungguhnya telah ada jauh sebelum
Franklin Delano Roosevelt mengumumkan pengakuan empat jenis kebebasan di
tahun 1941, yaitu kebebasan berbicara (freedom of speech), kebebasan beragama
(freedom of religion), kebebasan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
(freedom from want) dan kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) yang
kemudian menginspirasi negara-negara yang tergabung dalam PBB merumuskan
Universal Declaration of Humans Rights pada tahun 1948.142 Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan lahirnya dua dokumen HAM internasional yaitu
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) dan
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Tidak hanya itu, PBB kemudian mengeluarkan berbagai laporan dan
rekomendasi melalui badan-badan khususnya.143 Pada perkembangannya,
berbagai subjek hukuim internasional mempunyai andil dalam pemenuhan dan
penegakan HAM sehingga pengaturan mengenai hak-hak asasi manusia terus
berkembang dan terarah baik di tingkat nasional maupun internasional.
141
Lihat Article 7, Statuta Roma – 1988
Marianus Kleden, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, 2008, Penerbit
Lamalera, h. 57.
143
lihat Human Rights Bodies dalam http://www.ohchr.org/
142
76 Sejumlah perjanjian internasional dan dokumen internasional di bidang
HAM menggariskan perlunya dilakukan perlindungan bagi penduduk sipil dalam
situasi perang. Salah satunya adalah Konvensi Hak Anak (Convention on the
Rights of Child) yang dalam Pasal 38 ayat (4) konvensi tersebut menyatakan
bahwa negara-negara peserta konvensi harus mengambil tindakan yang diperlukan
dalam rangka menjamin perlindungan bagi anak-anak yang terkena dampak
konflik bersenjata sesuai dengan kewajiban mereka berdasarkan hukum humaniter
internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam situasi perang.
b.
Hukum Humaniter
Pengaturan mengenai perlindungan penduduk sipil dalam situasi konflik
bersenjata telah diatur dalam sejumlah instrumen Hukum Humaniter, seperti
misalnya Hague Convention-1899 dan 1907 Geneva Convention-1949,
dan
Protokol-Protokol Tambahan 1977.
Pada Hague Konvensi V-1907 mengenai Hak dan Kewajiban Pihak-pihak
Netral dalam perang di darat (Rights and Duties of Neutral Powers and Persons in
Case of War on Land) yang intinya pihak netral tidak akan ikut campur dalam
peperangan dan sebagai gantinya juga tidak akan mengalami efek langsung dari
peperangan tersebut dan mereka tetap diharuskan memberikan bantuan apabila
dalam wilayah mereka terdapat anggota atau pihak pemberontak yang terluka
ataupun sedang dalam proses penyembuhan.144Seiring perkembangan dunia
internasional, peraturan yang tercantum dalam Hague Convention dirasa masih
kurang sehingga diadakan Konvensi Jenewa yang secara keseluruhan mengatur
144
Lihat Bab II, Belligerents Interned and Wounded Tended in Neutral Territory dalam Hague
konvensi V-1907 mengenai ‘CONVENTION RESPECTING THE RIGHTS AND DUTIES OF
NEUTRAL POWERS AND PERSONS IN CASE OF WAR ON LAND’
77 tentang perlindungan bagi tentara, penduduk sipil, dan perlakuan bagi tawanan
perang.
Perlindungan Penduduk Sipil secara khusus diatur dalam KonvensiKonvensi Jenewa 1949. Dalam Common Articles 3, diatur bahwa para pihak
terikat untuk tidak melakukan kekerasan yang dapat mengakibatkan kematian
ataupun mutilasi, penyiksaan, perlakuan kejam, penghinaan, perlakuan yang dapat
merendahkan martabat pribadi seseorang, dan pelaksanaan hukuman tanpa
melalui proses hukum atau pengadilan yang terstruktur dan sah terhadap
penduduk sipil.145
Ketentuan tersebut dipertegas lagi melalui Protokol Tambahan I tahun
1977 , terutama dalam Pasal 51 mengenai perlindungan penduduk sipil, yaitu:
“1. The civilian population and individual civilians shall enjoy
general protection against dangers arising from military operations. To
give effect to this protection, the following rules, which are additional to
other applicable rules of international law, shall be observed in all
circumstances.
2. The civilian population as such, as well as individual civilians, shall not
be the object of attack. Acts or threats of violence the primary purpose of
which is to spread terror among the civilian population are prohibited.
3. Civilians shall enjoy the protection afforded by this section, unless and
for such time as they take a direct part in hostilities.
145
Lihat Article 3 (1), Geneva Convention IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil dalam
Peperangan.
78 4. Indiscriminate attacks are prohibited. Indiscriminate attacks are:
(a) Those which are not directed at a specific military objective;
(b) Those which employ a method or means of combat which cannot be
directed at a specific military objective; or
(c) Those which employ a method or means of combat the effects of which
cannot be limited as required by this Protocol;
and consequently, in each such case, are of a nature to strike military
objectives and civilians or civilian objects without distinction.
5. Among others, the following types of attacks are to be considered as
indiscriminate:
(a) an attack by bombardment by any methods or means which treats as a
single military objective a number of clearly separated and distinct
military objectives located in a city, town, village or other area containing
a similar concentration of civilians or civilian objects;
and
(b) an attack which may be expected to cause incidental loss of civilian
life, injury to civilians, damage to civilian objects, or a combination
thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct
military advantage anticipated.
6. Attacks against the civilian population or civilians by way of reprisals
are prohibited.
7. The presence or movements of the civilian population or individual
civilians shall not be used to render certain points or areas immune from
79 military operations, in particular in attempts to shield military objectives
from attacks or to shield, favour or impede military operations. The
Parties to the conflict shall not direct the movement of the civilian
population or individual civilians in order to attempt to shield military
objectives from attacks or to shield military operations.
8. Any violation of these prohibitions shall not release the Parties to the
conflict from their legal obligations with respect to the civilian population
and civilians, including the obligation to take the precautionary measures
provided for in Article 57 “
Dapat disarikan bahwasanya pasal tersebut menyatakan bahwa penduduk
sipil (individual maupun komunal) harus dilindungi dari operasi militer sehingga
mereka tidak dapat dijadikan obyek serangan. Selanjutnya diatur pula larangan
melakukan serangan membabi buta termasuk di dalamnya pemakaian senjata bom
atau sejenisnya yang ditujukan pada sasaran militer tunggal ataupun sejumlah
obyek militer yang penempatannya di kota, desa ataupun daerah lain yang banyak
terdapat penduduk sipil, juga yang dapat menyebabkan kerugian material maupun
immaterial dalam kehidupan penduduk sipil. Ada pula larangan melakukan
serangan balasan yang ditujukan pada penduduk sipil, pun pihak yang sedang
terlibat konflik juga dilarang dalam usahanya melindungi obyek-obyek penting
militer atau sasaran serta operasi militernya dengan menggunakan penduduk sipil,
80 selain peraturan-peraturan tersebut, protokol tambahan I juga telah secara khusus
mengatur perlindungan bagi wanita,146 anak-anak,147 dan jurnalis.148
4.2 Praktik Penegakan Ketentuan tentang Perlindungan Penduduk Sipil
Dalam peperangan, sangat dimungkinkan pemenuhan suatu hak asasi manusia
tertentu dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Seperti yang tercantum
dalam Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights bahwa Negara
dapat melakukan upaya-upaya yang bersifat sementara dan mengabaikan beberapa
kewajiban Negara “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam bangsa” dan
“sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat sangat darurat”. Hal
yang sama juga tercantum dalam Pasal 15 Konvensi Eropa – 1950 mengenai
HAM. Namun demikian kebutuhan agar Hak Asasi Manusia tetap terjaga selama
peperangan telah mendapat pengakuan penuh dengan disetujuinya Konvensi
Jenewa-1949 terutama Konvensi IV dan juga melalui usaha-usaha PBB dalam
menekankan jaminan penghormatan hak asasi manusia pada pertikaian bersenjata
dan pembatasan penggunaan senjata-senjata tertentu, beserta sejumlah dukungan
dari lembaga-lembaga pengadilan internasional yang akan dibahas lebih lanjut
pada sub-bab selanjutnya.
4.2.1
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad ‘Hoc
Pengadilan Ad ‘Hoc merupakan suatu badan peradilan yang dibentuk dan
dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja.149 Adapun contoh dari pengadilan Ad
146
Lihat Article 76 Protokol Tambahan I-1977
Lihat Article 77 dan 78 Protokol Tambahan I-1977
148
Lihat Article 79 Protokol tambahan I-1977
147
81 ‘Hoc ialah Mahkamah Nuremberg, yang dibentuk berdasarkan Nuremberg
Charter atau yang lebih dikenal dengan London Charter; yang memiliki yuridiksi
untuk mengadili kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan
perang (crimes war) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity).150
Selanjutnya ialah mahkamah Tokyo (International Military Tribunal for
the Far East) dengan pengaturan yuridiksi yang sama dengan mahkamah
Nuremberg. Hanya saja Mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan proklamasi
Jenderal Douglas Mac Arthur,151 bukannya berdasarkan perjanjian (treaty)
layaknya Nuremberg.
Contoh lainnya adalah ICTY (International Criminal Tribunal for the
former Yugoslavia) yang
dibentuk pada tahun 1991 yang secara khusus
menangani kejahatan kemanusiaan yang terjadi di daerah bekas Yugoslavia
(termasuk Kroasia, Bosnia dan Herzegovina). ICTY ini dibentuk berdasarkan
Resolusi Dewan Keamanan 827 (1993) kemudian Resolusi Dewan Keamanan
1966 (2010) dengan tujuan melanjutkan yuridiksi, hak, kewajiban dan fungsi
penting ICTY152 ‘
149
http://www.learnersdictionary.com, URL: http://www.learnersdictionary.com/qa/whatdoes-ad-hoc-mean
150
Lihat article 6 London Charter
151
http://sayfudin27071992.blogspot.com, URL:
http://sayfudin27071992.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_4393.html,
diakses 15 April 2012.
152
Article 4 Resolusi Dewan Keamanan 1966 – 2010 :
Decides that, as of the commencement date of each branch referred to in paragraph 1, the
Mechanism shall continue the jurisdiction, rights and obligations and essential functions of the
ICTY and the ICTR, respectively, subject to the provisions of this resolution and the Statute of the
Mechanism, and all contracts and international agreements concluded by the United Nations in
relation to the ICTY and the ICTR, and still in force as of the relevant commencement date, shall
continue in force mutatis mutandis in relation to the Mechanism;
82 Serupa dengan ICTW, pernah juga dibentuk ICTR (International Criminal
Tribunal for Rwanda) berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 955-1994.
ICTR dibentuk untuk menangani kejahatan genosida di Rwanda yang dilakukan
antara tanggal 1 Januari 1994 hingga 31 Desember 1994.153
Berdasarkan putusan ICTY dalam Tadic Case, kejahatan perang yang
dapat diadili haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut154:
1. Tindakan tersebut haruslah merupakan suatu pelanggaran dalam
ketentuan-ketentuan hukum humaniter internasional;
2. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan suatu yang umum, apabila
ketentuan tersebut berasal dari suatu perjanjian, syarat-syarat didalamnya
harus terpenuhi;
3. Tindakan tersebut haruslah merupakan suatu tindakan ‘serius’, dalam
pengertian bahwa tindakan pidana tersebut merupakan pelanggaran
ataupun penyalahgunaan wewenang dan/atau kekuasaan terhadap pasalpasal yang mengatur kepentingan yang harus dilindungi, sebagai contoh
apabila tentara ataupun kombatan menghancurkan ataupun mencuri
sepotong roti di daerah yang telah dikuasainya, itu bukan berarti
tentara/kombatan tersebut melakukan suatu pelanggaran serius dalam
hukum humaniter internasional, mereka tidak akan diadili karenanya,
meskipun pada dasarnya mereka melanggar Pasal 46 paragraf (1)
Konvensi Den Haag, dimana dinyatakan properti atau barang-barang
153
www.unictr.org, URL:
http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx, diakses 16 April
2012.
154
Robert Kolb and Richard Hyde, An Introduction to the International Law of Armed
Conflict, 2008, Hart Publishing, h. 291.
83 pribadi harus dihormati oleh pihak militer yang berhasil menduduki
wilayah musuhnya;
4. Pelanggaran tersebut haruslah beserta ketentuan yang dilanggar, baik yang
merupakan hukum kebiasaan ataupun hukum konvensional, dan juga
kewajiban kriminal individu yang melanggar ketentuan tersebut.
4.2.2
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional
merupakan salah satu upaya dari penegakan hukum bagi para pelaku kejahatan
internasional dan merupakan suatu badan permanen independen. ICC dibentuk
berdasarkan Statuta Roma – 1998 dan telah berlaku efektif sejak 1 Juli 2002
dengan diratifikasi oleh 60 negara.
Pasal 5 Statuta Roma menentukan empat jenis kejahatan yang termasuk
dalam kategori kejahatan internasional, yaitu kejahatan genosida (The crime of
genoside), kejahatan kemanusiaan (Crime against humanity), kejahatan perang
(War crimes) dan kejahatan agresi (The crime of aggressions).
Secara umum pasal-pasal dalam Statuta Roma telah mengatur mengenai
perlindungan penduduk sipil seperti dalam Pasal 7 yang menyebutkan “kejahatan
terhadap kemanusiaan” berarti bahwa tindakan yang dilakukan menjadi salah satu
bagian dari serangan sistemasis yang meluas terhadap penduduk sipil.155 Terdapat
155
Lihat Pasal 7 Statuta Roma : ‘... "crime against humanity" means any of the following acts
when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian
population...’
84 pula dalam Pasal 8 mengenai kesengajaan dalam melakukan serangan yang dapat
mengakibatkan kerugian terhadap warga sipil dan objek-objek sipil.156
Dalam Pasal 13 Statuta Roma dijelaskan mengenai yuridiksi ICC untuk
mengadili dan meminta pertanggungjawaban individu (Individual criminal
responsibility) yang melakukan, memfasilitasi, dan memberikan perintah sehingga
menyebabkan terjadinya kejahatan-kejahatan yang berada dalam lingkup
kejahatan internasional dalam situasi dimana jaksa prenuntut mengambil prakarsa
melakukan suatu pengadilan berkaitan dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 15
Statuta Roma.
Selain hal-hal tersebut dalam menyelesaikan suatu kasus, ICC akan
bekerja dengan mengadili kasus-kasus kejahatan internasional hanya bila
mahkamah nasional tidak ingin dan/atau tidak mampu mengadili pelaku-pelaku
kejahatan yang dimaksud157 atau bila terjadi situasi dimana satu atau lebih tindak
pidana telah terjadi dan dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum oleh dewan
keamanan yang bertindak atas dasar Bab VII Piagam PBB, sehingga dapat
dikatakan ICC merupakan pengadilan pelengkap atau komplementer dari suatu
pengadilan nasional oleh karenanya yuridiksi ICC hanya dapat dilaksanakan bila
ternyata suatu negara tidak ingin atau tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus
kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi Mahkamah Pidana
Internasional.
156
157
Lihat Pasal 8, Statuta Roma – 1988
Lihat Pasal 21, Statuta Roma – 1988 85 4.3 Analisis Penggunaan Alasan Perlindungan Penduduk Sipil dalam
Serangan NATO terhadap Libya
Dalam uraian berikut, penulis akan menyajikan analisis yang merupakan
pokok bahasan utama dalam penulisan skripsi ini. Analisis akan difokuskan pada
konsep perlindungan penduduk sipil serta doktrin Responsibility to Protect.
4.3.1
Konsep Perlindungan Penduduk Sipil
Salah satu kewajiban negara adalah melindungi warga negaranya158 baik di
dalam maupun di luar wilayah kedaulatannya dan dalam hukum internasional
khususnya hukum perang internasional. Pertanyaan hukum yang kemudian
muncul adalah apakah masyarakat internasional --yang dalam hal ini diwakili oleh
organisasi
internasional
(termasuk
NATO)--
memiliki
kewajiban
untuk
melindungi penduduk sipil dari suatu negara berdaulat.
Dalam konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, penduduk
sipil sering kali mengungsi secara besar-besaran dan
kerap tidak luput dari
sasaran suatu serangan militer. Bahkan, sejumlah kasus yang dihadapi oleh
penduduk sipil menunjukkan terjadinya pembantaian massal, penyanderaan,
kekerasan seksual, pelecehan seksual, pengusiran, pemindahan secara paksa,
penjarahan, dan penutupan akses ke air, makanan, dan perawatan kesehatan.159
Perluasan arti mengenai ‘perlindungan terhadap penduduk sipil’ kemudian terjadi
dalam masyarakat Internasional yang ditandai dengan mulai disadarinya adanya
perbedaan antara combatan dengan penduduk sipil, juga terhadap sasaran militer
158
Sugeng Istanto, Hukum Internasional, 1994, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h.
42.
159
Ambarwati, dkk, 2009, Hukum Humaniter Internasional, Rajawali Pers, Jakarta. h.152.
86 dengan objek sipil160 yang dapat dilihat dalam Pasal 48 dan Pasal 51 Protokol
Tambahan I-1977.
Negara, khususnya militernya, dan organisasi internasional sebagai pelaku
utama dalam konflik bersenjata kemudian mulai menerapkan konsep perlindungan
warga sipil. Dalam doktrin militer negara-negara, konsep ini dituangkan sebagai
pedoman bagi kombatan dalam membedakan pelaku kombatan, sasaran militer
dengan penduduk sipil dan objek sipil semata.161 Sedangkan bagi organisasi
internasional konsep ini diartikulasikan secara umum menjadi dua jenis, yaitu
perlindungan bagi penduduk sipil sebagai tujuan utama ingin dicapai dan
perlindungan bagi pendudk sipil yang lebih menjurus menjadi target yang dapat
diselesaikan seiring dengan tercapainya misi mereka atau mejadi salah satu unsur
yang mendukung penyelesaian misi utamanya.162
Ada sejumlah konsep perlindungan sipil yang justru dikembangkan oleh
berbagai negara, khususnya berkaitan strategi militer. Sebagai contoh, Amerika
Serikat mengeluarkan Doktrin FM 3-24 (Counterinsurgency Field Manual 3–24)
sebagai pedoman lapangan dalam konflik Irak dan Afganistan pada tahun 2006.
Doktrin ini merubah tindakan militer Amerika Serikat yang dalam menyelesaikan
konflik bersenjata menggunakan konsep ‘Enemy-Centric Approach’ dan
‘Population-Centric Approach’, dimana hanya berfokus pada menangkap
160
Jean-Marie Henckaert and Louise Doswald-Beck, 2005, ICRC, Customary International
Humanitarian Law, Vol. 1: Rules, Cambridge University Press, Cambridge. h. 11-17
161
Lihat Gordon, S, The Protection of Civilians: An Evolving Paradigm?. Stability: International
Journal of Security & Development, 2013, PDF document, h. 4, http://dx.doi.org/10.5334/sta.cb. 162
Gordon, S, Op.cit . h.8 87 dan/atau membunuh musuh dan melindungi penduduk,163 menjadi konsep
melindungi, membantu dan mengusahakan kesejahteraan penduduk sipil sebagai
fokus utamanya.164 Amerika Serikat selanjutnya mengeluarkan strategi militer
yang berjudul ‘Peace Operations’ (2007) mengenai unsur-unsur perlindungan
penduduk sipil yang berfokus pada perlindungan terhadap komponen sipil dari
misi internasional khususnya dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada
negara lain. Maka dapat disimpulkan bahwa doktrin militer negara adi daya ini
telah menyertakan konsep perlindungan penduduk sipil namun tidak sebagai
tujuan akhir yang ingin dicapai. 165
Selain Amerika Serikat, Doktrin militer Inggris juga menyiratkan adanya
konsep perlindungan terhadap penduduk sipil. Hal ini dapat dilihat dalam JDP 340 (UK Military 2009 Joint Doctrine Publication 3–40: Security and
Stabilisation: The Military Contribution)
yang memberikan perlindungan di
daerah terjadinya konflik, pengamanan di situs-situs penting, patroli intensif, dan
perlindungan ekstra (memberikan jam malam di daerah tertentu).166 Selain JDP 340, terdapat doktrin-doktrin lain yang dikeluarkan Inggris mengenai pentingnya
perlindungan penduduk sipil sebagai fokus utamanya. JWP 3–50 (Joint Warfare
Publication, The Military Contribution to Peace Support Operations (Second
Edition) menyinggung tentang pentingnya hukum dan melindungi hak
163
Cigionline.org, URL : https://www.cigionline.org/blogs/2010/2/why-population-centricapproach-doesnt-go-far-enough, diakses terakhir tanggal 3 Juni 2015. 164
Gordon, S, The Protection of Civilians: An Evolving Paradigm?. Stability: International
Journal of Security & Development, 2013, PDF document, h. 4, http://dx.doi.org/10.5334/sta.cb.
165
Ibid .
166
UK Military 2009 Joint Doctrine Publication 3–40: Security and Stabilisation: The Military
Contribution)
dalam
https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/49948/jdp3_40a4.p
df.
88 kemanusiaan tanpa ada penafsiran yang sistematis mengenai perlindungan
penduduk sipil. Begitu pula dalam JMD 4-03 (Joint Medical Doctrine FM 4–03)
dan laporan dari Unit Stabilisasi Inggris (The UK Stabilisation Unit’s 2008
publication ‘The UK Approach to Stabilisation: Stabilisation Unit Guidance
Notes’). Pengaturan yang paling mendekati konsep perlindungan penduduk sipil
ialah JDN 5/11 (UK MOD’s ‘Peacekeeping: An Evolving Role For Military
Forces’ Joint Doctrine Note 5/11). Doktrin ini memuat bagaimana luasnya
pengaruh perlindungan kepada penduduk sipil dalam pemeliharaan perdamaian
dan keharmonisan dengan pemimpin suatu masyarakat.167
Doktrin-doktrin mengenai konsep perlindungan penduduk sipil juga
dikembangkan
oleh
Organisasi
Internasional,
terutama
organisasi
yang
mempunyai tujuan sebagai bentuk pertahanan kolektif dan/atau sebagai
pengendalian krisis seperti misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa dan NATO.
Konsep yang tertuang di dalam Doktrin FM 3-24 milik AS secara tidak
langsung
diadopsi oleh NATO sebab dalam operasi militer di Irak dan
Afganistan, NATO juga turut berperan di dalamnya. JDN 5/11 juga berfungsi
sebagai laporan terhadap doktrin NATO sendiri. Pada bulan Mei 2010, NATO
mengeluarkan JOG 10/01 (Joint Operational Guidelines for Counterinsurgency)
yang telah mengakui pentingnya usaha melindungi masyarakat dengan tujuan
militernya pengamanan populasi dan mengalahkan pemberontak.168
Contoh Organisasi Internasional lain yang juga mengeluarkan doktrin
tersebut ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsep perlindungan
167
Gordon, S, Op.Cit . h. 6
Nato.int, Lihat Bi-Sc Joint Operational Guidelines (JOG) 10/01 Counterinsurgency, 2010
(Nato Headquarters).
168
89 penduduk sipil dapat dilihat pada pembukaan Piagam PBB paragraf 2169 dimana
juga menjadi dasar pembeda antara doktrin PBB dengan doktrin NATO. Doktrindoktrin NATO lebih menganggap perlindungan penduduk sipil merupakan salah
satu komponen dalam strategi politik dan militernya, sementara PBB menjadikan
perlindungan tersebut sebagai tujuan utama yang ingin dicapai.170
Dalam serangan NATO terhadap Libya, konsep perlindungan penduduk
sipil diimplementasikan dengan baik sebagaimana dapat dilihat dalam Annual
Report 2011 oleh Sekretaris Jendral NATO, Anders Fogh Rasmussen. Seperti
yang telah diketahui, operasi NATO di Libya mempunyai tiga tujuan utama yaitu
penegakan larangan ‘No-Fly zone’, embargo senjata dan penyerangan balik
terhadap ancaman bagi penduduk sipil dan pemukiman sipil. NATO kemudian
melakukan pemeriksaan 300 kapal muatan dan menolak 11 kapal tersebut untuk
masuk ke pelabuhan, NATO juga melakukan sekitar 26ribu kali inspeksi udara
dengan 42% diantaranya melakukan serangan balasan atau menghancurkan target
militer. NATO juga mengkoordinasi jalur darat, udara dan perairan agar misi-misi
kemanusiaan yang dilakukan PBB dan NGO lain dapat berlanjt tanpa
hambatan.171
Syarat mutlak bagi operasi militer di Libya ialah meminimalkan kerusakan
dan korban warga sipil sehingga serangan udara kemudian dilakukan.
Penyerangan tersebut dilakukan dengan hati-hati dan sebisa mungkin tidak
mengenai infrastruktur ynag penting bagi penduduk sipil. Hal ini kemudian
169
Lihat Preamble U.N Charter : ...to save succeeding generations from the scourge of war...
Gordon, S, Op.Cit . h. 8
171
Nato.int, 2012, NATO Secretary General The Secretary General’s Annual Report 2011 ,
Anders Fogh Rasmussen, NATO Public Diplomacy Division 1110 , Brussels – Belgium.. h. 7
170
90 didukung oleh sekretaris Jendral PBB, pada saat itu, Ban Ki-moon yang
menyatakan bahwa operasi militer yang dilakukan NATO telah sesuai dengan
Resolusi DK PBB 1973.172
4.3.2
Doktrin Responsibility to Protect
Doktrin Responsibility to Protect merupakan suatu konsep yang telah lama
dipertimbangkan dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 2005 oleh PBB.
Konsep ini merupakan pembaharuan dari konsep-konsep tentang intervensi;
seperti intervensi militer ataupun intervensi kemanusiaan. Sebagaimana yang telah
diketahui, negara mempunyai kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban untuk
tidak melakukan perang, untuk melaksanakan perjanjian internasional dengan
itikad baik, dan kewajiban untuk tidak mencampuri urusan negara lain.
Menurut Mahkamah Internasional, intervensi yang dilarang merupakan
intervensi yang terjadi apabila masalah tersebut sebenarnya dapat diputuskan
sendiri secara bebas oleh negara yang di-intervensi dan apabila intervensi tersebut
dilakukan berdasarkan paksaan ataupun dengan kekerasan.173 Sehingga apabila
suatu intervensi tidak memenuhi kedua syarat tersebut, intervensi itu tidaklah
dilarang meskipun demikian masih terdapat perdebatan mengenai tindakan
intervensi tersebut, terutama mengenai intervensi yang dilakukan berdasarkan
situasi kemanusiaan. Isu mengenai intervensi kemanusiaan juga disinggung dalam
laporan Sekretaris Jenderal PBB yang berjudul “We the peoples: the role of the
United Nations in the twenty-first century” yang menyatakan bahwa :
172
Ibid. h.8
Sugeng Istanto, Hukum Internasional, 1994, Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h.
31.
173
91 ‘Humanitarian intervention is a sensitive issue, fraught with political
difficulty and not susceptible to easy answers. But surely no legal principle — not
even sovereignty — can ever shield crimes against humanity. Where such crimes
occur and peaceful attempts to halt them have been exhausted, the Security
Council has a moral duty to act on behalf of the international community. The fact
that we cannot protect people everywhere is no reason for doing nothing when we
can. Armed intervention must always remain the option of last resort, but in the
face of mass murder it is an option that cannot be relinquished. ‘.174
Kontroversi ini kemudian mencapai puncaknya ketika pada tahun 1999
ketika NATO melakukan intervensi militer terhadap situasi di Kosovo (Serbia)
dimana pada saat itu justifikasi terhadap aksi militer bukanlah hal yang baru bagi
otoritas Dewan Keamanan. Meskipun moral atas kemanusiaan digunakan sebagai
pembenaran untuk aksi militer, dugaan bahwa intervensi tersebut menghasilkan
lebih banyak korban daripada yang seharusnya juga tidak dapat dihindari; dan
terdapat banyak kritik terhadap cara/metode yang dipakai sekutu NATO dalam
melaksanakan operasi tersebut. 175
Pada dasarnya, Responsibility to Protect meyakini bahwa tiap negara
berdaulat mempunyai kewajiban, dan tanggung jawab utamanya ialah melindungi
rakyat dan baru mempertimbangkan melakukan intervensi apabila terdapat suatu
kondisi dimana populasi menderita ataupun mengalami kerugian serius sebagai
174
Lihat U.N General Assembly , A/54/2000, h. 35 ICISS, The Responsibility to Protect, Report of the International Comissions on Intervention
and State Sovereignty, 2001, h.1
175
92 akibat dari perang internal, pemberontakan, penindasan dan apabila negara
tersebut tidak ingin dan/atau tidak dapat mencegah keadaan tersebut.176
Konsep Responsibility to Protect dapat dibagi menjadi tiga bagian khusus,
yaitu:177
a) The
responsibility
to
prevent
(tanggung
jawab
untuk
mencegah)
b) The responsibility to react (tanggung jawab untuk bereaksi)
c) The
responsibility
to
rebuild
(tanggung
jawab
untuk
membangun kembali)
Pencegahan atau Responsibility to prevent merupakan prioritas dan
intervensi, terutama intervensi militer merupakan cara terakhir yang akan
digunakan apabila benar setiap pilihan non-militer atau resolusi damai telah
dieksplorasi. Dalam penggunaan intervensi militer pun Responsibility to Protect
mempunyai syarat yang harus dipenuhi, yaitu apabila terdapat hilangnya
nyawa/kehidupan dalam jumlah besar, baik disengaja ataupun tidak, genosida,
negara tidak ingin ataupun mampu mencegah dan/atau dalam keadaan negara
gagal dan kondisi kedua; apabila terdapat pembersihan ethnis dalam skala besar,
baik disengaja ataupun tidak, dilakukan dengan cara pembunuhan, pengusiran
paksa, pemerkosaan, teror dan lainnya. 178
Dapat dikualifisir bahwa tindakan NATO lebih mengarah kepada ‘the
Responsibility to React’ atau tanggung jawab untuk bereaksi. Hal ini dapat dilihat
dari fakta bahwa reaksi NATO amat mempertimbangkan dengan serius terjadinya
176
177
178
Ibid. h.7
Ibid. h.XI
Ibid. h.19
93 sejumlah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Libya. Selain itu, tindakan NATO
juga merupakan reaksi atas seruan Dewan Keamanan PBB yang tertuang di dalam
Resolusi Nomor 1973.
Dalam
pelaksanaan
intervensi
militer,
Responsibility
to
Protect
mempunyai standar operasional179 yaitu:
a) Tujuan militer yang jelas; mandat yang jelas serta tidak ambigu dan
sumber daya yang cocok;
b) Pendekatan militer yang umum diantara anggota; kesatuan komando
militer serta komunikasi dan rantai komando yang jelas;
c) Tujuan objektif ialah perlindungan penduduk dan bukannya mengalahkan
musuh, pembatasan dalam penerapan kekuatan bersenjata;
d) Peraturan-peraturan yang dipakai dalam intervensi sesuai dengan prinsip
proposionalitas dan menggunakan serta menghormati hukum humaniter
internasional;
e) Perlindungan paksa bukanlah merupakan tujuan utama; dan
f) Koordinasi
semaksimal
mungkin
dengan
organisasi-organisasi
kemanusiaan.
Dalam kasus NATO di Libya, penggunaan Responsibility to Protect dapat
dilihat dalam implementasi dari Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1970
dan 1973 dimana telah jelas maksud dan tujuannya, yaitu menggunakan segala
cara yang diperlukan untuk melindungi warga sipil Libya.180 Hal ini tercantum
dalam Laporan tahunan Sekjen NATO tahun 2011 (The Secretary General’s
179
Ibid. h.XIII
Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1970 (2011), Par
Keamanan PBB S/RES/1973 (2011), Par 4.
180
9.dan Resolusi Dewan
94 Annual Report 2011, Anders Fogh Rasmussen ) bahwa dalam pelaksanaan misi
nya di Libya, NATO mempunyai 3 komponen yaitu embargo senjata untuk
mencegah adanya penggunanan senjata dan bahan berbahaya lainnya oleh tentara
Libya, pelaksanaan zona larangan terbang dengan tujuan mencegah terjadi
pemboman udara objek sipil dan serangan darat dan udara bagi mereka yang
terlibat atau merupakan ancaman bagi penduduk sipil Libya dan area
pemukimannya.181
4.3.3 Tinjauan Komprehensif
Tindakan NATO dalam melakukan serangan terhadap Libya merupakan
tindakan yang diambil dengan alasan ‘perlindungan penduduk sipil’ sebagaimana
konsep perlindungan penduduk sipil yang telah diuraikan pada sub-bab
sebelumnya. Penggunaan alasan perlindungan penduduk sipil oleh NATO
seseungguhnya juga merupakan implementasi dari konsep Responsibility to
Protect, yaitu suatu konsep yang hanya mempertimbangkan ‘intervensi’ sebagai
jalan terakhir atau hanya jika benar tidak ada pilihan lain lagi pilihan dalam
menyelesaikan suatu masalah. Tindakan NATO lebih mengarah kepada ‘the
Responsibility to React’ atau tanggung jawab untuk bereaksi.
Dengan demikian, menurut penulis ada empat batasan mengapa alasan
perlindungan penduduk sipil dapat digunakan sebagai pembenaran bagi NATO
untuk melakukan serangan terhadap Libya.
181
Nato.int, 2012, NATO Secretary General The Secretary General’s Annual Report 2011 ,
Anders Fogh Rasmussen, NATO Public Diplomacy Division 1110 , Brussels – Belgium.. h. 7
95 Pertama, tujuan serangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan penduduk sipil dari kemungkinan terjadinya pelanggaran berat Hak
Asasi Manusia yang lebih buruk. Sebagaimana yang akan terjadi apabila situasi di
Libya tidak ditangani, karena seiring dengan terus berjalannya konflik situasi
dalam negeri Libya akan semakin parah. Hal ini kemudian akan berakibat pada
merosotnya kondisi ekonomi, sosial dan politik yang kemudian akan memaksa
warga sipil melakukan berbagai cara demi bertahan hidup.
Kedua, secara prosedural, serangan tersebut bukanlah operasi militer
NATO yang bersifat unilateral karena justru mendapatkan legitimasi dari Dewan
Keamanan PBB yang tertuang di dalam Resolusi Nomor 1970 dan 1973. Hal ini
juga mendapat dukungan dari PBB melalui Sekretaris Jendral-nya pada saat itu,
Mr. Ban Ki-moon.182
Ketiga, dalam konteks hukum Humaniter Internasional, serangan tersebut
diarahkan kepada kombatan dan sasaran militer yang sah sehingga tidak justru
mengakibatkan korban berjatuhan yang lebih banyak lagi di kalangan penduduk
sipil. Hal ini kemudian dapat dilihat pada laporan tahun 2011 oleh sekretaris
jendral NATO pada saat itu, Anders Fogh Rasmussen. Serangan tersebut juga
telah memenuhi syarat yang terdapat dalam Hukum Humaniter mengenai
perlindungan terhadap penduduk sipil, obyek sipil, pemukiman penduduk dan
orang yang tidak mau dan/atau mampu mengangkat senjata.183
182
NATO Secretary General The Secretary General’s Annual Report 2011, Ibid. h.8
Lihat Protokol Tambahan I 1997 article 1 (2) : In cases not covered by this Protocol or by other
international agreements, civilians and combatants remain under the protection and authority of
the principles of international law derived from established custom, from the principles of
humanity and from dictates of public conscience.
183
96 Keempat, serangan NATO tersebut telah memenuhi unsur konsep
perlindungan penduduk sipil sebagaimana dikenal di berbagai negara dan
organisasi internasional pada umumnya serta merupakan implementasi dari
doktrin Responsibility to Protect, khususnya mengenai tanggung jawab untuk
bereaksi (responsibility to react) sebagaimana telah diatur dalam ICISS, The
Responsibility to Protect, Report of the International Comissions on Intervention
and State Sovereignty.
BAB V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan dari penyusunan skripsi ini sebagai berikut:
1. Legalitas serangan militer NATO terhadap Libya tidaklah melanggar
norma penggunaan kekuatan (the use of force) dalam hukum Internasional.
Berdasarkan Pasal 42 Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
penggunaan kekuatan dapat dilakukan atas dasar bahwa tindakan tersebut
berkaitan ancaman dan/atau pelanggaran perdamaian dunia serta tindakan
agresi. NATO dalam menggunakan kekuatan militernya tersebut telah
mendasarkan pada Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1970 dan
1973 yang merupakan implementasi dari Pasal 42 Piagam PBB.
2. Ada empat batasan mengapa alasan perlindungan penduduk sipil dapat
digunakan sebagai pembenaran bagi NATO untuk melakukan serangan
terhadap Libya. Pertama, tujuan serangan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan penduduk sipil dari kemungkinan terjadinya
pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang lebih buruk. Kedua, secara
prosedural, serangan tersebut bukanlah operasi militer NATO yang
bersifat unilateral karena justru mendapatkan legitimasi dari Dewan
Keamanan PBB yang tertuang di dalam Resolusi Nomor 1970 dan 1973.
Ketiga, dalam konteks hukum Humaniter Internasional, serangan tersebut
diarahkan kepada kombatan dan sasaran militer yang sah sehingga tidak
97 98 justru mengakibatkan korban berjatuhan yang lebih banyak lagi di
kalangan penduduk sipil. Keempat, serangan NATO tersebut telah
memenuhi unsur konsep perlindungan penduduk sipil sebagaimana
dikenal di berbagai negara dan organisasi internasional pada umumnya
serta merupakan implementasi dari doktrin Responsibility to Protect,
khususnya mengenai tanggung jawab untuk bereaksi (responsibility to
react)
5.2
Saran-saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. NATO
hendaknya
menyusun
suatu
pedoman
pelaksanaan
misi
Responsibility to Protect yang memuat panduan teknis perlindungan
penduduk sipil serta berisi tata cara implementasi yang lengkap dan
terperinci.
2. Perserikatan
Bangsa-Bangsa
hendaknya
menginisiasi
pembentukan
instrumen hukum internasional yang mengikat sebagai penjabaran dari
doktrin Responsibility to Protect sebagai perwujudan tujuan PBB untuk
menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Ambarwati, dkk, 2009, Hukum Humaniter Internasional, rajawali pers Jakarta.
Cassese, Antonio , 2005, International Law Second Edition, Oxford University
Press, New York.
D.W. Bowett.Q.C, 1991, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.
Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
_______, 1994, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University
Press, Surakarta.
Hassim.M, 2011, Pendidikan kewarganegaraan 2, Quadra, Bogor.
Istanto, Sugeng, 1998, Hukum Internasional, Cetakan II, PenerbitanUniversitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
_______, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan universitas atma jaya,
Yogyakarta.
Kleden, Marianus , 2008, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal, 2008,
Penerbit Lamalera.
Kolb, Robert and Richard Hyde, 2008, An Introduction to the International Law
of Armed Conflict, Hart Publishing.
Kurnia, Titon Slamet , 2009, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni,
Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud , 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Mauna, Boer , 2010, Hukum Internasional Pengertian; Peranan dan Fungsi Dalam
Era Dinamika Global; edisi ke-2, P.T ALUMNI Bandung, Bandung.
_______ , 2000, Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Integrasi
Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, PT.Ghalia
Indonesia, Jakarta,
99 100 NATO Handbook, 2006, Public Diplomacy Division NATO, Brussel 1110,
Belgium.
Parthiana, I Wayan , 1990, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
_______ , 2002, Perjanjian Hukum Internasional Bagian 1, Mandar Maju,
Bandung.
Rudi, Teuku May , 1993, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT. Eresco,
Bandung.
Shaw, Malcolm N. , 2008, International Law (Sixth Edition), Cambrige
University Press, New York.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum normatif suatu
tinjauan singkat, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Supoyo, J. , 1996, Hukum Perang Udara dalam Humaniter, PT.Toko Gunung
Agung, Jakarta.
Suwardi, Sri Setianingsih, 2004, Pengantar Hukum Oranisasi Internasional,
penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Starke, J.G , 2004, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, Sinar
Grafika, Jakarta.
Syahmin A.K, 1985, Hukum Internasional Humaniter 1, Penerbit C.V Armico,
Bandung
_______ , 1985, Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional,
Palembang.
B.
Instrumen Hukum Internasional
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945
Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/25/2625
Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1970 (2011)
Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1973 (2011)
Piagam North Atlantic Treaty Organization (NATO)
Binacipta,
101 Konvensi Den Haag
Konvensi Jenewa dan Protokol 1997
Statuta Roma 1988
C.
Skripsi / Hasil Penelitian
Rukayah Tahir Ali, 2011, Perlindungan Warga Sipil yang menjadi Korban dalam
Konflik Bersenjata Israel-Palestina ditinjau dari Segi Hukum Humaniter,
Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali.
ICISS, 2010, The Responsibility to Protect, Report of the Internasional
Commission on Intervention and State Soverignty.
United Nation General Assembly, 2000, A/54/2000.
Gordon, S, 2013, The Protection of Civilians: An Evolving Paradigm? Stability:
International Journal of Security & Development http://dx.doi.org/10.5334/sta.cb
D.
Artikel / Jurnal
Aljazeera.com, URL: http://www.aljazeera.com/
Archive.org,URL:https://archive.org/
Arlina Web’s Blog, URL: http://arlina100.wordpress.com/
ANTARANEWS.com, URL: http://www.antaranews.com/
Archives.dailynews.lk/, URL: http://archives.dailynews.lk/
Bbc.co.uk, URL : http://www.bbc.co.uk/
Boardcreations.blogspot, URL : http://boardcreations.blogspot.com/
CYBERSabili.com, URL: http://sabili.co.id/internasional/
102 Freedomhouse.org, URL: https://freedomhouse.org/
History.com, URL: http://www.history.com/
Id.muslimvillage.com/ URL: http://id.muslimvillage.com/
Irnarahmawati.wordpress.com , URL: https://irnarahmawati.wordpress.com/
ISJD.PDIII.LIPI.go.id , URL: http://isjd.pdii.lipi.go.id/
Kompas.Com, URL: Kompas.com URL : http://kompas.com/
Learnersdictionary.com, URL: http://www.learnersdictionary.com/
NATO.int URL : www.nato.int/
Nytimes.com , URL: http://www.nytimes.com/
Ourcivilisation.com/URL: http://www.ourcivilisation.com/
Ohchr.org, URL : http://www.ohchr.org/
PelitaOnline.com, URL : http://www.pelitaonline.com/
Pusbangsdmgrupag.blogspot.com, URL :
http://pusbangsdmgrupag.blogspot.com/2012/12/wajah-perang-telah-berubahsuryanto.html
Reuters.com ,URL: http://www.reuters.com/
Secretary General’s video blog, URL: http://andersfogh.info/2011/06/22/natoprotecting-civilians-in-libya,
Shvoong.com, URL: http://id.shvoong.com/
Sayfudin27071992.blogspot.com, URL: http://sayfudin27071992.blogspot.com/
Stat.oecd.org, URL : www. http://stats.oecd.org/
Theguardian.com/, URL: http://www.theguardian.com/
Un.org, URL: http://www.un.org/
103 Unpan.org, URL: http://unpan1.un.org/
Unictr.org, URL: http://www.unictr.org/
Vva.co.id , URL: http://sorot.news.viva.co.id/
Xinhuanet.com/english/, URL: http://news.xinhuanet.com/
104 LAMPIRAN-LAMPIRAN
Download