KEPEMILIKAN TUBUH INDIVIDU DI DALAM RELASI KUASA DAN SOSIAL Annisa Himmatu Fitriana Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Penelitian ini merupakan sebuah telaah kritis terhadap pemikiran Michel Foucault dan Anthony Synnott mengenai kepemilikan tubuh individu. Melalui Foucault tubuh diartikan sebagai hal yang patuh terhadap relasi kuasa yang dicerminkan melalui berbagai pengawasan (panopticon) sehingga tidak ada ruang gerak untuk tubuh, sementara Anthony Synnott melihat tubuh sebagai bagian dari sosial yang tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial sehingga tubuh terbentuk sedemikian rupa dan menjadi tubuh sosial. Penelitian ini berusaha untuk menunjukkan benang merah yang berada di antara tubuh yang patuh dan tubuh sosial sehingga terlihat bahwa tubuh individu tidak bisa dimiliki karena berada di dalam relasi kuasa dan sosial. Kata Kunci: Foucault, tubuh yang patuh, pengawasan, panopticon, relasi kuasa, Synnott, konstruksi sosial, tubuh sosial, wacana, pengetahuan, sexualitas, panca indra. The Possession of Individual Body in Power and Social Relation Abstract This undergraduate thesis is a critical analysis of Michel Foucault and Anthony Synnott’s theories about the possession of individual body. Based on Michel Foucault, the body is defined as a docile entity which enslaved by power relation that can be seen through some kind of surveillances called panopticon. In consequence, there is no free space for the body. Antony Synnott sees the body as part of social relation which cannot be separated from its construction. From this point the body is being constructed to be the body social . This undergraduate thesis is a serious effort to points out the general connection between the docile body and the social body which indicate that the possession of individual body cannot be attained, because the body is being placed under power and social relation. Key words: Body social; docile body; discourse; Foucault; knowledge; panopticon; power relation; senses; sexuality; social construction; surveillance; Synnott.. Pendahuluan Dalam beberapa pembahasan ranah filsafat, tubuh merupakan hal atau bagian yang sering kali terlupakan. Tanpa kita sadari, kebanyakan pembahasan filsafat cenderung kepada akal budi atau kesadaran. Tubuh hanya didefinisikan sebagai alat yang digerakkan oleh akal budi yang 1 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 tidak memiliki keistimewaan apapun. Jika kita telusuri dalam sejarah filsafat Yunani Kuno (Barat), permasalahan tubuh tidak pernah dibahas secara serius. Yang pertama kali dibicarakan dan dianggap penting pada zaman tersebut adalah elemen-elemen dasar kehidupan manusia, begitu juga ketika sampai pada pemikiran Plato. Plato hanya membahas sedikit mengenai tubuh, bagi Plato, mencintai tubuh sendiri adalah bentuk pencintaan yang paling rendah. Tubuh hanya diartikan sebagai permasalahan kecil, tidak penting, dan serius dibandingkan dengan permasalahan-permasalahan ekonomi, sosial, dan politik. Tidak hanya dalam zaman filsafat Yunani Kuno, tapi juga dalam zaman abad pertengahan sampai dengan abad ke-17, tubuh menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan secara bebas. Semuanya berada dalam represi kekuasaan gereja dan otonomi kerajaan Victorian. Pada zaman ini, tubuh diprivatisasi dan hanya boleh menjadi konsumsi domestik (rumah tangga antara suami dan istri), semuanya dibenamkan dalam kesunyian dan terbatas pada kamar suami-istri saja1. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, pembahasan mengenai tubuh menjadi lebih menarik. Pada akhir abad 20, pembicaraan mengenai tubuh mulai terbuka lagi. Tubuh menjadi hal yang menarik karena bukan hanya dimaknai sebagai alat yang digerakkan oleh pikiran, tapi juga sebagai simbol sosial. Berbagai disiplin ilmu mencoba mengkaji tubuh. Tubuh tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur sosial yang ada pada sekitarnya. Tubuh kemudian menjadi sesuatu yang dimaknai sebagai citra dari individu dalam keberadaannya dalam lingkup sosial. Dengan begitu, tubuh menjadi identitas individu sebagai eksistensinya di lingkup sosial. Selain itu, tubuh juga mengandung nilai-nilai estestis, seperti banyak seniman yang melukis atau membuat patung mengenai tubuh manusia atau berupa prosa/puisi mengenai keindahan tubuh manusia. Pada hakikatnya, tubuh menjadi bagian penting bagi manusia. Tanpa tubuh manusia tidak bisa melakukan aktivitasnya. Untuk bersosialisasi di dalam masyarakat, tubuh merupakan hal yang penting karena sebagai salah satu media untuk bisa berbaur dalam tatanan masyarakat. Seperti yang dikatakan Merleau Ponty bahwa tubuh lebih mengenali dunia daripada subjek, karena tubuh lah yang selama ini terlibat secara langsung dengan dunia2. 1 Foucault, Michel, The History of Sexuality, volume 1: an Introduction, (New York. Vintage Book, 1978), hlm. 3 2 Hardiman, F.Budi, Filsafat Fragmentaris, hlm. 23 2 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 Tubuh manusia kemudian dikunci dalam aturan-aturan tertentu dengan dalih sebagai pembebasan pembahasan akan tubuh, yang pada kenyataannya justru tubuh manusia menjadi korban akan aturan-aturan tersebut. Individu tidak bisa dengan bebas menentukan dirinya sendiri. Penulis memberikan sejarah tubuh manusia. Di zaman filsafat Yunani, tubuh tidak memiliki nilai filosofis walau pada zamannya banyak pemahat yang membuat patung tubuh telanjang dan juga terkenal dengan body centered. Pada zaman Yunani, tubuh dibedakan atas pikiran. Tubuh hanya dianggap sebagai persemayaman atas jiwa, seperti yang diungkapkan Plato "The body is the tomb of the soul". Akan tetapi, pernyataan Plato tersebut tidak sepenuhnya bernafaskan negativitas terhadap tubuh, Plato memiliki pandangan lain tentang tubuh. Menurut Plato, keindahan tubuh merupakan salah satu jalan menuju Keindahan Absolut dan Tuhan3. Berbeda lagi pada zaman middle ages. Pada zaman ini tubuh diartikan sebagai sesuatu yang privat. Tubuh dianggap sebagai hal yang tabu dan rendah derajatnya. Hal ini dikarenakan otoritas gereja yang berkuasa pada saat itu membuat aturan bahwa sesuatu yang berhubungan dengan tubuh seperti hasrat seksual sengaja disembunyikan oleh otoritas gereja. Kemudian beralih pada era modern di mana Descartes mengungkapkan bahwa tubuh adalah sebuah mesin. Berawal dari jargon Descartes "I think, therefore I am" ini kemudian Descartes menyatakan bahwa tubuh hanyalah mesin dari pikiran. Descartes menggambarkan hubungan tubuh dengan pikiran seperti jam. Bagi Descartes, tubuh diidentikkan dengan gereja, sedangkan pikiran kepada science. Oleh karena itu, harus terdapat dua pembedaan yang jelas antara tubuh dan pikiran. Di abad ke-20, tubuh diartikan sebagai mechanical body. Tubuh merupakan bentukan institusi dengan mekanisme sosial yang ada di masyarakat. Pada zaman ini, paham materialisme sedang berkembang pesat, sehingga tubuh diartikan sangat penting oleh pemikir-pemikir aliran materialisme. Demikianlah perubahan cara pandang terhadap tubuh manusia yang terjadi selama ini. Perubahan-perubahan ini terjadi akibat adanya pergeseran pola pikir manusia dalam memandang tubuh. Tubuh dikacamatai oleh berbagai macam ideologi dalam memandangnya dan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi di baliknya. Oleh karena itu, pemaknaan terhadap tubuh yang bergeser menandakan tubuh tidak sekedar hanya dimaknai sebagai hal yang biologis yang terisolasi dalam ruang sosial, tetapi juga terjadi pemaknaan (interpretasi) yang lebih terbuka terhadap tubuh. 3 Antony Synnott, The Body Social, (Routledge, 1993), hlm.9 3 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 Setelah melalui penjelasan di atas, penulis melihat adanya subordinasi terhadap tubuh di dalam pengetahuan. Setelah abad 20, tubuh mulai kembali gencar dibicarakan, akan tetapi dengan dibicarakannya tubuh bukan berarti bahwa tubuh individu bisa melenggang dengan bebas untuk dimiliki atau dibentuk oleh sang pemilik tubuh. Tubuh di sini merupakan manifestasi dari berbagai campur tangan relasi sosial, ekonomi, dan budaya yang membentuk tubuh tersebut sehingga menjadi sebuah identitas bagi sang pemilik tubuh. Tubuh yang akan dibahas oleh penulis di sini adalah tubuh sosial hasil dari manifestasi relasi kuasa yang beredar dalam lingkup sosial. Dengan adanya campur tangan sosial dalam membentuk tubuh individu, maka timbul pertanyaan di manakah letak kepemilikan tubuh individu selama ini jika tubuh yang ia gunakan hanyalah merupakan bentukan dari sosial saja? Tubuh menjadi tubuh yang patuh terhadap segala aturan yang beredar di dalam lingkup sosial. Di dalam ranah sosial, manusia mulai kehilangan atas hak sepenuhnya ketika diobjekan oleh institusi sosial dan relasi kuasa yang ada di dalamnya. Studi Tubuh Sosial Bagi kajian ilmu sosial menunjukkan bahwa tubuh bukan hanya sebagai tubuh biologis yang tidak terkena paparan pengaruh sosial dan budaya, melainkan tubuh yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh konstruksi sosial dan budaya yang ada di sekitar tubuh dan waktu tertentu. Dengan adanya konstruksi sosial dan budaya yang melekat pada tubuh, tidak bisa dipungkiri bahwa adanya ideologi-ideologi tertentu yang disisipkan di dalamnya. Hal ini menunjukan bahwa tubuh sebagai media ajang kontestasi ideologi. Apa yang hadir di dalam tubuh manusia merupakan hasil dari ideologi yang kompleks di dalamnya. Tubuh hadir melalui pencitraan yang dibawa oleh individu atau kelompok masyarakat tertentu. Pembicaraan mengenai tubuh mulai memasuki pada nilai-nilai sosial yang ada di dalam tubuh, di mana di dalamnya terdapat permasalahan mengenai ketubuhan itu sendiri, alam, serta pengetahuan (knowledge) yang dimasukan di dalam tubuh. Nilai-nilai yang berkembang bebas di dalam masyarakat mengenai tubuh tidak bisa dilepaskan dari pengaruh media massa dan juga rezim yang berkuasa pada waktu tertentu. Dari media massa disebarkan nilai-nilai tertentu mengenai tubuh melalui iklan-iklan atau para model yang sedang berjaya dan menjadi gambaran tubuh pada waktu tersebut yang kemudian mempengaruhi masyarakat dalam menilai tubuh. Dari sini kemudian muncul sebuah 4 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 pemahaman akan tubuh yang harus dicapai oleh masyarakat. Melalui pemahaman terhadap tubuh yang baru, maka tubuh menghasilkan citra yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat. Tubuh yang hadir merupakan citra yang kemudian diterima oleh media massa, citra tubuh ini hadir menjadi lebih nyata dibandingkan dengan tubuh itu sendiri. Tubuh dikemas menjadi permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya yang didominasi oleh kekuasaan. Hal ini yang kemudian membuat seorang sosiolog asal Montreal, Kanada, mengkaji mengenai tubuh di dalam sosial. Ia adalah Anthony Synnott. Synnott menghabiskan waktu bertahuntahun dalam penelitiannya dalam mengkaji keberadaan tubuh (body) dengan respon atau tanggapan dari masyarakat. Anthony Synnott telah menghasilkan banyak karya mengenai tubuh sosial, salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah dengan terbitnya buku The Body Social: Symbolism, Self and Society yang diterbitkan pada tahun 1993. Buku ini berisi kecemasan-kecemasan Synnott atas tubuh di dalam sosial. Di dalam The Body Social ia menjabarkan bagaimana sejarah memaknai tubuh melalui serangkaian nilai-nilai agama, sosial, dan budaya, hingga pada akhirnya muncul pandangan terhadap tubuh. Di dalam setiap periode waktu dan jaman, menurut Synnott, memiliki ideologi-ideologi yang berbeda yang bisa saling menjatuhkan atau mengukuhkan yang lainnya yang berkesesuaian dengan kelompok-kelompok dominan pada periode tersebut. Dengan begitu, tubuh kemudian dimaknai sesuai dengan cara pandang ideologi yang dominan pada periode atau zaman tersebut yang sifatnya juga kontekstual. Melalui pergeseran-pergeseran ideologi, maka cara berpikir terhadap tubuh pun mengalami pergeseran juga mengikuti pola pikir masyarakat dan konteks yang muncul sehingga pemaknaan terhadap tubuh tidak pernah stabil. Hal ini menunjukan adanya keterbukaan tubuh untuk diinterpretasi. Berdasarkan fenomena-fenomena tadi, bagi Synnott, tubuh dan panca indra yang dimiliki oleh manusia merupakan hasil dari konstruksi sosial, di berbagai populasi, proses, ataupun atribut tubuh. Permasalahan yang muncul kemudian adalah untuk mendemonstrasikan bagaimana tubuh dikonstruksi dan kenapa konstruksi tersebut terus berlangsung dan berubah-ubah (tidak konstan). Tubuh bukanlah keterberian dari Tuhan lagi, tapi sebagai kategori sosial dengan berbagai makna yang dijatuhkan dan dikembangkan kemudian di setiap zamannya. Bagi Synnott, tubuh sosial adalah banyak hal: simbol utama dari diri, dan juga sosial, sesuatu yang kita miliki, individual dan personal, sebagai objek dan subjek pada waktu yang bersamaan, sebagai sidik jari yang unik, dan juga sebagai kemanusiaan dengan semua sistem 5 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 yang ada, termasuk pada pengetahuan. Tubuh adalah kreasi individu, fisik, dan juga fenomenologi serta produk budaya4. Sosial membentuk tubuh menjadi sedemikian rupa melalui ideologi-ideologi yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak hanya pada tubuh tetapi juga pada atribut-atribut yang ada di dalam tubuh manusia: cara makan, berpakaian, berperilaku, bahkan sampai pada hubungan seksual merupakan hasil bentukan sosial. Anthony Synnott kemudian mengalami kecemasan terhadap tubuh yang ada di dalam masyarakat sampai pada akhirnya ia menerbitkan buku yang berjudul The Body Social: Symbolism, Self, and Society. Buku ini berisi analisa Synnott mengenai pengaruh sosial terhadap tubuh manusia yang kompleks, berisi 302 halaman, dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1993. Di dalam buku ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tubuh dan panca indera. Di sini Synnott mengungkapkan pandangan-pandangannya mengenai tubuh secara terbuka. Di dalam The Body Social: Symbolism, Self, and Society ia menjabarkan bagaimana sejarah memaknai tubuh melalui serangkaian nilai-nilai agama, sosial, dan budaya, hingga pada akhirnya muncul pandangan terhadap tubuh. Buku ini mencoba untuk menjawab permasalahan yang muncul di kemudian hari, yaitu untuk mendemonstrasikan bagaimana tubuh dikonstruksi dan mengapa konstruksi tersebut terus berlangsung dan berubah-ubah (tidak konstan). Tubuh bagi Synnott bukan hanya kulit dan tulang, melainkan juga diri sendiri. Semua yang dimiliki oleh manusia adalah kesatuan, termasuk di dalamnya adalah tubuh. Analisa Tubuh Sosial dan Korelasinya terhadap Michel Foucault Dari buku Anthony Synnott, ada dua tesis yang diajukan oleh Anthony Synnott mengenai tubuh sosial, yaitu upaya Synnott untuk menempatkan kembali tubuh ke dalam posisi pusat di dalam diri manusia dan juga kehidupan sosial, serta tubuh dan panca indra merupakan hasil dari konstruksi sosial. Seperti yang kita ketahui sejak zaman Yunani klasik terjadi perdebatan mengenai penempatan tubuh. Tubuh dianggap oleh sebagian filsuf tidak lebih penting daripada akal budi. Ini merupakan hasil dari adanya paham dualisme yang menganggap bahwa tubuh dan akal budi bukanlah satu kesatuan. Dari sinilah kemudian Synnott mencoba untuk membawa tubuh menjadi pembahasan yang penting dan tidak hanya dipandang sebelah mata. Synnott 4 Synnott, Anthony, 1993, The Body Social, hlm. 4 6 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 menunjukkan bahwa tubuh merupakan bagian yang penting dari manusia dan berhubungan erat dengan lingkungan serta aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Dengan banyaknya pembahasan mengenai akal budi dan persoalan rasionalitas, tubuh acap kali sering diabaikan kepentingannya. Di dalam realitasnya tubuh menjadi simbol dan memainkan peranan penting di dalam interaksi sosial. Di sinilah Synnott kemudian membawa tubuh ke tengah-tengah sosial dan kehidupan manusia secara personal. Kegamangan Synnott tentang manusia yang tidak mengenali tubuhnya dijadikan sebagai motivasi untuk mengajak manusia mengenali tubuhnya sendiri dan mengenali akan kepemilikan tubuhnya sendiri. Tubuh menjadi pembeda antara satu individu dengan individu yang lainnya, tubuh menjadi simbol dan identitas di dalam lingkup sosial. Tubuh juga merupakan sebagai sesuatu yang unik dan berhubungan dengan sistem yang ada sekaligus sebagai hasil dari budaya, ideologi, dan sistem yang ada di ranah sosial. Dengan dijadikannya tubuh menjadi pembahasan sentral di dalam sosial, maka relasi-relasi yang ada di balik tubuh akan terlihat dengan jelas, yaitu konstruksi sosial dan relasi kuasa. Tubuh dan panca indra merupakan hasil dari konstruksi sosial ditunjukkan dengan berbagai macam penjelasan dari penelusuran sejarah yang dilakukan Synnott dengan memberikan catatan-catatan terhadap pemaknaan tubuh dan panca indra yang dimiliki manusia. Penelusuran sejarah yang dilakukan Synnott menunjukkan bahwa adanya kekuatan yang bermain di belakang konstruksi sosial terhadap tubuh. Tubuh manusia dikeluarkan dari ranah privat yang kemudian dimasukkan ke dalam ranah sosial. Tubuh menjadi konsumsi sosial dan menjadikan manusia seolah-olah memiliki tubuhnya namun yang sebenarnya terjadi adalah manusia berada di alam bawah sadarnya untuk membentuk tubuhnya yang berkesesuaian dengan konstruksi sosial. Konstruksi sosial yang membentuk tubuh dimainkan di berbagai instansi dan menjadikan instansi tersebut menjadi 'kamera pengawas' dan pengatur tubuh. Tubuh sosial merupakan pergerakan dari pemaknaan tubuh yang terus berubah seiring dengan berubahnya struktur masyarakat dan penguasa. Tubuh sosial bersifat cair dan selalu berhubungan dengan manusia. Di dalam tubuh sosial juga terkandung mengenai relasi antara tubuh dan self. Hal yang perlu digaris bawahi di dalam tubuh sosial ini adalah adanya polarisasi di dalam tubuh dan batasan-batasan norma (moral) yang tidak bisa begitu saja dilepaskan. Hal ini sebagai konsekuensi adanya dualisme terhadap tubuh yang dibawa sejak zaman Yunani klasik. 7 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 Di sisi lain, dengan adanya kosntruksi sosial yang membentuk tubuh sehingga menjadi tubuh sosial, kita bisa melihat adanya sebuah tali kekuasaan yang bekerja di belakangnya. Tali kekuasaan ini bisa kita sebut sebagai relasi kuasa. Relasi kuasa menjadi peran pusat di dalam cara kerja konstruksi sosial dan tubuh sosial. Di dalam pemikiran Synnott mengenai tubuh sosial ini ia selalu kaitkan dengan adanya pengaruh kuasa yang bekerja di dalamnya melalui telusur sejarah. Bagi Synnott, di dalam penelusuran sejarahnya terhadap pembentukan tubuh menjadi tubuh sosial selalu ada peran yang dimainkan oleh 'penguasa' untuk menjadikan tubuh menjadi tubuh yang patuh terhadap konstruksi sosial. Di sini terlihat adanya keterhubungan antara pemikiran Synnott dengan Foucault mengenai relasi kuasa dan juga tubuh yang patuh. Menurut penulis, konstruksi sosial terhadap tubuh yang menghasilkan tubuh sosial tidak akan terjadi apabila tidak adanya relasi kuasa yang menekan manusia beserta tubuhnya untuk mengikuti dan masuk ke dalam 'permainan peraturan' bentukan sosial. Foucault memainkan peranan yang penting dalam pemikiran Synnott di dalam menciptakan tubuh sosial. Dari analisa penulis, tubuh sosial yang dimaksudkan oleh Synnott adalah tubuh sosial yang berada di bawah pengaruh relasi kuasa (Foucault) yang kemudian menjadikan tubuh ke dalam simbol-simbol di dalam tatanan sosial. Tubuh sosial dijadikan sebagai kontrol sosial dan pengawasan sosial serta permainan kesadaran dalam kepemilikan tubuh. Tubuh yang masuk ke dalam ranah sosial dan juga private sekaligus, menjadi subjek dan objek, serta unik. Di dalam penjelasan-penjelasan Synnott mengenai tubuh sosial, penulis melihat bahwa adanya permasalahan filosofis yang dibawa oleh Synnott ke dalam ranah sosiologi, tetapi sosiologi belum secara sempurna menjelaskan permasalahan filosofis tersebut. Hal ini terlihat dari penjelasan Synnott mengenai kekuasaan atau pun konstruksi sosial yang ia tidak jelaskan secara jelas. Dari kegamangan yang dihasilkan oleh Synnott di dalam tubuh sosialnya, Foucault merupakan jalan keluar untuk membawa permasalahan tersebut kembali ke dalam filsafat. Foucault menjadi penyempurna di dalam celah pemikiran Synnott. Di sinilah letak keterhubungan antara Synnott dan Foucault. Kita juga tidak bisa pungkiri bahwa sosiologi berangkat dari filsafat, terlebih untuk pembahasan mengenai tubuh sosial ini. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pada awalnya permasalahan tubuh sosial yang kemudian dihubungkan dengan konstruksi sosial merupakan bawaan dari pemahaman filsafat mengenai relasi kuasa atau pun konstruksi 8 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 sosial yang kemudian sosiologi mencoba mengadopsi konsep-konsep filsafat tersebut dan adanya upaya untuk 'membumikan' konsep-konsep yang ada di filsafat. Teori-teori Foucault mengenai relasi kuasa memberikan pencerahan terhadap tubuh sosial Synnott. Teori Foucault kemudian memberi penegasan di dalam tubuh sosial sebagai hasil dari konstruksi sosial. Penjelasan mengenai relasi kuasa, konstruksi sosial, dan juga kepemilikan tubuh akan lebih lanjut lagi dijelaskan di dalam bab IV. Di sini nantinya akan terlihat skema yang berputar di dalam ranah sosial mengenai pergerakan tubuh sosial dan kepemilikan tubuh individu. Ini merupakan kritik dari Synnott melalui Foucault terhadap tubuh sosial. Tanpa disadari, gagasan yang diajukan oleh Synnott tertanam di dalam gagasan yang dimiliki oleh Foucault mengenai relasi kuasa dan kosntruksi sosial untuk melengkapi dan menunjukkan adanya tubuh sosial. Relasi kuasa Foucault merupakan benang merah di dalam permasalahan tubuh sosial yang masih belum bisa diuraikan oleh Synnott secara jelas dan tepat dari sisi sosiologi. Tentunya skema yang berputar di dalam ranah sosial mengenai pergerakan tubuh sosial dan kepemilikan tubuh berhubungan dengan individu yang ada di dalamnya. Individu akan mengalami perubahan dan juga adanya reduksi yang bekerja di dalam individu melalui konstruksi sosial dan relasi kuasa yang membatasi individu itu sendiri. Dengan adanya konstruksi sosial, maka tidak dimungkinkan keadaan yang ada di dalam ranah sosial menjadi statis atau tetap, melainkan mengalami perubahan. Tubuh dalam Kacamata Michel Foucault Tubuh dalam kacamata Foucault tidak hadir begitu saja melainkan melalui serangkaian proses pemikirannya. Pemikiran Foucault sangat luas dan berubah-ubah, akan tetapi Foucault memiliki satu pijakan di mana awal pemikirannya bermula, yaitu pada konsep normal dan tidak normal. Seperti yang sudah dijelaskan diawal tadi bahwa konsep normal dan tidak normal ini kemudian menjadi ideologi yang diterima oleh masyarakat selama ini untuk mendikotomikan antara manusia yang normal dan tidak normal berdasarkan satu perspektif, yaitu perspektif manusia normal. Dari sini lah kemudian Foucault membuka jalan untuk membahasnya, yaitu dengan pembantahan Foucault terhadap konsep normal dan tidak normal yang menurut Foucault selalu mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Misalnya saja jika pada tahun 1232 tingkah laku XY dianggap tidak normal dan pada tahun 1456 tingkah laku XY bisa dianggap sebagai yang normal. Hal ini juga tercermin di dalam 9 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 buku Foucault yang berjudul The History of Sexuality di mana di dalamnya terdapat pergerakan-peregerakan sejarah dalam memahami seksualitas. Seperti misalnya yang terdapat di dalam buku tersebut adalah ketika zaman Victorian seks direpresi dan diperlihatkan bagaimana dampaknya. Pemikiran Foucault ini terus berkembang dengan memahami apa yang terjadi pada abad 18 dengan dimaknainya pengetahuan, kekuasaan, dan juga atas konsep normal dan tidak normal. Dengan adanya pengetahuan dan kekuasaan ini, maka konsep-konsep atau ideologi-ideologi yang berada pada abad ini dikembangkan terus menerus hingga pada suatu ketika apa yang terjadi pada waktu tersebut dijadikan sebagai panutan atau dipergunakan lagi untuk mengatur dan mengawasi tindak-tanduk manusia. Dengan demikian, jika Foucault melihat apa yang terjadi melalui jejak historis, maka pemikiran Foucault juga demikian dipengaruhi oleh sejarah. Sebagai contohnya pemikiran Foucault mengenai institusi sosial dipengaruhi oleh pemikiran Marxis melalui konsep power Marx yang dicerminkan melalui sektor produksi. Bahasa kemudian memaknai tubuh. Tubuh dibahasakan melalui bahasa. Di dalam tubuh kemudian kekuasaan dibahasakan. Tubuh merupakan komponen penting di dalam segala hal dan berbagai aspek kehidupan. Tubuh merupakan sebuah permasalahan yang kompleks di mana di dalamnya terdapat masalah kekuasaan yang menyelimuti tubuh. Tubuh tidak bisa lagi menjadi tubuh yang organik ketika di dalamnya terdapat kekuasaan dan juga konstruksi. Pembahasan tubuh di dalam Foucault diawali dengan hadirnya The History of Sexuality. Bagi Foucault, tubuh bukan lah hal yang rasional yang berada di bawah sebuah aturan atau sistem. Tubuh merupakan hal yang romantis yang seharusnya bisa dinikmati melalui berbagai macam pengalaman rasa yang dimiliki oleh manusia dalam menikmati tubuhnya. Sayangnya, hal ini tidak bisa sepenuhnya dinikmati oleh manusia. Tubuh yang dimiliki oleh manusia merupakan sebuah kompleksitas yang tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa dan selalu menjadi hal yang politis ketika berada di dalam lingkup sosial. Relasi kuasa yang berada di dalam sosial terhadap tubuh bukan dicerminkan melalui relasi kuasa yang keras dan tercermin langsung, melainkan sistem kuasa yang halus dan melalui ideologi. Melalui relasi kuasa yang ada tubuh dianggap sebagai sebuah instrumen atau alat bagi kehidupan dan sosial, terutama bisa kita lihat jejaknya melalui ekonomi dan sosial. Di dalam ekonomi terdapat sebuah pasar di mana di sini tubuh dijual melalui citra, yang digambarkan melalui kesempurnaan dan keidealan sebuah tubuh. Hal ini bisa kita saksikan 10 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 melalui berbagai macam komoditas-komoditas produk tubuh yang di dalamnya dicitrakan tubuh yang ideal. Relasi kuasa dan pengetahuan merupakan hal yang berkaitan satu dengan lainnya. Relasi kuasa berhubungan dengan pengetahuan karena keduanya berjalan beriringan dan saling mendukung satu dengan lainnya. Melalui relasi kuasa-pengetahuan nantinya akan terbit kebenaran. Relasi kuasa-pengetahuan-dan kebenaran bekerja di dalam satu wadah ideologi yang sama di dalam setiap jejak sejarah. Foucault memang tidak mendefinisikan kuasa secara jelas dan pasti, karena Foucault lebih memberikan pemahaman kuasa melalui hal-hal praksis dan dalam tahapan bagaimana kuasa bekerja. Karena relasi kuasa-pengetahuan-kebenaran tidak bisa dilepaskan dari jejak-jejak sejarah, maka Foucault memiliki pandangan bahwa apa yang di dalamnya memiliki wacana (discourse) dan sistem kuasa di dalam setiap masyarakat sosial pada setiap waktu. Melalui analisis-analisis Foucault mengenai relasi kuasa akan berujung pada tesis Foucault mengenai relasi kuasa, yaitu kehendak untuk memperoleh kebenaran5. Kepastian kebenaran di dalam berbagai lingkup sosial saat ini dianggap sebagai produk dari metode sains. Bagi Foucault, relasi yang ada di dalam sosial dan manusia tidak bisa luput dari kuasa. Kuasa ini tampak di dalam berbagai wacana-wacana yang berkembang di dalam lingkup masyarakat dan sosial, termasuk juga wacana mengenai tubuh dan seksualitas yang berkembang di dalam masyarakat. Di dalam wacana juga terdapat pengetahuan yang dikemudikan oleh kuasa sehingga nantinya pengetahuan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran yang diafirmasi oleh masyarakat. Foucault menjelaskan kuasa lebih lanjut lagi ke dalam kalimat berikut: "It seems to me that power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relation immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organizations, transforms, strengthens, or reverses them; as the support which these forces relations fins in one another, thus forming a chain or a system, or on the contrary, the disfunctions and contradictions which isolate them for one another; and lastly, as the strategies in which they take effect, whose general design or institutional crystallization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemonies."6 Di dalam penjelasan Foucault di atas bisa kita tarik kesimpulan jika kuasa atau kekuasaan merupakan hubungan kekuatan yang imanen yang berada di dalam bidang di mana mereka berada dan berupa organisasi mereka sendiri. Di sisi lain jejak kuasa sebagai sebuah 5 McHoul, Alec, A Foucault Primer: Discourse, Power, and the Subject, hlm.58 Kritzman, Lawrence, 1988, Michel Foucault, Politics, Philosophy, Culture, Interviews and Other Writing 1977-1984, hlm. 92 6 11 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 permainan atau sistem, maka akan menghasilkan perjuangan dan pertarungan yang berimplikasi pada kuasa yang bisa memperkokoh, mengubah, atau memutarbalikannya. Jika dimungkinkan lagi, kuasa bisa menjadi perekat yang memiliki kekuatan di antara relasi-relasi yang lainnya yang kemudian membentuk sebuah sistem, kesenjangan, dan pengkristalan atau semacam isolasi di dalam suatu masyarakat. Kuasa di sini dipandang sebagai hal yang kompleks yang berada di dalam tataran masyarakat. Perumusan relasi kuasa Foucault merupakan relasi yang berada di antara masyarakat yang mempengaruhi perilaku individu lain. Foucault juga membedakan antara kuasa dan paksaan atau kekerasan yang mempengaruhi tubuh (fisik). Hal ini melibatkan subyek yang bebas untuk melakukan suatu hal, dan secara kebalikannya, kuasa bisa bertindak dalam membatasi atau mengubah kehendak individu. Kuasa hadir di dalam setiap hubungan individu dan masuk melalui sosial. Bagi Foucault, negara tidak memiliki monopoli di dalam kuasa karena kuasa merupakan hal yang tidak stabil dan berubah-ubah (atau bisa disebut sebagai hal yang cair). Kemudian, relasi kuasa yang diformulasikan oleh Foucault tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan yang nantinya menjadi sebuah kebenaran yang telah diafirmasi oleh masyarakat melalui kuasa. Relasi kuasa bekerja di dalam dominasi. Pembahasan mengenai Foucault berlanjut kepada pembahasan mengenai docile body atau tubuh yang patuh. Latar belakang Foucault membahas mengenai tubuh yang patuh berawal dari pengamatan Foucault terhadap tentara. Foucault melihat adanya 'keseragaman' bentuk tubuh pada tentara. Tubuh tentara dibentuk sedemikan rupa: seperti berambut pelontos, memiliki tubuh dengan tinggi yang hampir sama, dan memiliki pandangan mata yang sama. di sini kemudian Foucault berkesimpulan bahwa tubuh tentara dapat dibentuk dan disesuaikan dengan pemilik kekuasaan, yaitu sistem kuasa yang berada di dalam institusi tentara tersebut. Selain tentara, Foucault memadang tubuh yang patuh di latar belakangi juga oleh pemikiran Descartes di dalam tulisan Man-the-Machine. Sebenarnya tulisan Descartes Man-the-Machine memiliki korelasi dengan pengamatan Foucault tadi mengenai tentara. Tubuh dianggap sebagai sebuah mesin yang telah memiliki keteraturan di dalam mekanisme alam semesta ini 7. 7 Foucault, Michel, op.cit, hlm.135 12 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 Bagi Foucault, tubuh yang patuh merupakan hasil dari relasi kuasa. Hal ini Foucault nyatakan di dalam bukunya yang berjudul Discipline and Punish, sebagai berikut: "Body is docile that may be subjected, used, transformed, and improved."8 Bagi Foucault tubuh diartikan sebagai yang patuh yang bisa diobjektivikasikan, digunakan, ditransformasikan, dan dibentuk. Hal ini mulai terjadi pada abad ke-18 di mana tubuh mulai dijadikan sebagai objek. Dengan dijadikannya tubuh sebagai objek, maka di sini terlihat adanya relasi kuasa yang bermain di dalamnya. Hal ini terdapat di dalam berbagai macam pelarangan dan peraturan-peraturan lainnya yang membuat tubuh menjadi patuh. Relasi tubuh dan kuasa berada pada konseptualisasi di dalam masyarakat yang didisiplinkan untuk menjadikan tubuh sebagai tubuh yang patuh. Lebih lanjut lagi, tubuh yang patuh di dalam wacana relasi kuasa dan wacana terhadap tubuh dijelaskan sebagai bentuk kepasifan dari tubuh individu, di mana tubuh individu dianggap hanya sebagai instrumen yang tunduk dan patuh pada relasi kuasa. Hal ini Foucault jelaskan lebih lanjut melalui statement-nya di dalam Discipline and Punish, sebagai berikut: "The human body was entering a machinery of power that explores it, breaks it down and rearranges it. A 'political anatomy', which was also a 'mechanics of power', was being born; it defined how one may a hold over others' bodies, not only so that they may di what one wishes, but so that they may operate as one wishes, with the techniques, the speed and the efficiency that one determines. Thus discipline produce subjected and practised bodies, 'docile' bodies."9 Dengan demikian, tubuh yang patuh merupakan hasil dari relasi kuasa-wacana-tubuh itu sendiri. Wacana yang bergerak adalah wacana kuasa yang mempengaruhi dan membentuk tubuh menjadi sedemikian rupa. Tubuh yang patuh merupakan suatu wacana yang tidak bisa kita hindari di dalam kehidupan sosial ini, karena tubuh telah dijadikan sebagai objek yang dididik menjadi sedemikian rupa, dilatih ke dalam sistem kendali yang ada agar kepatuhan atau kedisiplinan terhadap tubuh tidak keluar dari peraturan, serta tubuh sebagai alat dari kehidupan yang digunakan untuk bereproduksi, kematian, kesejahteraan, kesehatan, dan lain sebagainya yang bersifat biologis. Analisa Kepemilikan Tubuh di dalam Relasi Kuasa dan Sosial Kita telah mengetahui bahwa relasi kuasa bekerja secara halus dan masuk melalui ideologiideologi tertentu. Hal ini juga berlaku terhadap tubuh. Tanpa disadari, kita sering terbayang8 9 ibid, hlm. 136 Foucault, Michel, op.cit, hlm. 138 13 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 bayang akan tubuh yang ideal yang telah dicitrakan oleh berbagai media massa yang kemudian diafirmasi oleh masyarakat sebagai yang ideal. Idealisasi tubuh ini merupakan produk atau hasil dari wacana terhadap tubuh yang direalisasikan melalui relasi kuasa, pasar ekonomi, sosial, dan budaya. Idealisasi terhadap tubuh membuat individu berusaha memaknai citra yang ada di dalam tubuh ideal atau tubuh modeling yang tanpa disadari telah merubah pola pikir individu untuk membentuk tubuhnya sedemikian rupa. Relasi kuasa yang bermain di sini merupakan relasi kuasa yang dikendalikan oleh 'penguasa' yang memiliki kepentingan tertentu. Individu berbondong-bondong menghabiskan waktu dengan mengkonsumsi tubuh ideal yang dipamerkan tersebut. Menurut analisis penulis, hal yang terjadi di atas merupakan efek yang ditimbulkan oleh relasi kuasa terhadap tubuh manusia. Ketika individu berusaha membentuk tubuhnya ke dalam tubuh ideal yang dicitrakan oleh sosial, di sini mulai masuknya tubuh individu ke dalam tubuh sosial. Tubuh individu tidak lagi menjadi tubuh biologis, tubuh individu telah masuk ke dalam sebuah sistem kuasa di mana ketika tubuh masuk ke dalam sistem kuasa akan berbaur dengan wacana mengenai tubuh. Kita juga tidak bisa memungkiri ketika tubuh individu masuk ke dalam tubuh sosial, tubuh telah mengalami konstruksi sosial. Konstruksi sosial terjadi karena adanya relasi kuasa dan wacana terhadap tubuh. Relasi kuasa bekerja secara menyebar, tidak hanya pada sektor makro saja, melainkan juga pada sektor mikro. Ketika relasi kuasa masuk ke dalam sosial, ia berusaha untuk menanamkan sebuah ideologi yang menuntut untuk diafirmasikan oleh masyarakat. Ketika masyarakat sudah mengafirmasi ideologi tersebut, masyarakat mulai 'bekerja' dalam mengkonstruksi sosial sesuai dengan ideologi yang ditanamkan tadi. Relasi kuasa yang bekerja di dalam tubuh sosial lebih dicitrakan kepada hal yang merusak atau mereduksi apa yang ada di dalam tubuh individu, seperti halnya kepemilikan tubuh individu yang direduksi oleh relasi kuasa. Di dalam relasi kuasa terdapat punishment yang memaksa tubuh untuk menjadi tubuh yang patuh. Tubuh dipengaruhi oleh punishment. Punishment yang dimaksudkan di sini bukanlah hukuman yang selalu nyata seperti hukuman fisik, melainkan lebih kepada hukuman di dalam sistem modern. Tubuh yang patuh merupakan hasil dari relasi kuasa yang menghasilkan tubuh sosial. Bisa juga dikatakan bahwa tubuh sosial juga merupakan tubuh yang patuh. Mengapa demikian? Karena tubuh sosial mengikuti mekanisme pergerakan relasi kuasa yang ada di dalam 14 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 masyarakat dan tidak dapat dihindari. Hal ini tercermin dengan banyaknya individu yang terobsesi dengan bentuk tubuh yang langsing seperti yang dicitrakan oleh media. Obsesi yang dimiliki individu merupakan kecenderungan akan wacana mengenai tubuh yang normal yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat (seperti yang kita ketahui bahwa adanya perbedaan antara normal dan abnormal juga berlaku pada tubuh: seperti contohnya tubuh yang gendut dianggap sebagai yang tidak normal). Hal ini juga diamini oleh pengaruh relasi kuasapengetahuan yang membentuk kebenaran akan tubuh yang ideal adalah tubuh yang langsing. Hal ini dijelaskan oleh Foucault mengenai tubuh yang patuh: "Foucault's seminal vision of the body as a docile, malleable site for inscribing social power reveals the crucial role the soma can play in political philosophy and the question of justice. It offers way of understanding how complex hierarchies of power can be widely exercised and reproduced without any need to make them explicit in laws or to enforce the officially' they are implicitly observed and enforced simply through our bodily habits of feeling that have bodily roots. Entire ideologies of domination can thus be covertly materialized dan preserved by encoding them in somatic social norm, as bodily habits, are typically taken for granted and so escape critical consciousness."10 Hal ini bisa dilihat dari atribut-atribut yang menempel di dalam tubuh sebagai kesatuan. Sebagai contoh norma atau aturan terhadap perempuan yang dibentuk atau dibuat oleh budaya bahwa perempuan harus bersuara lembut, tidak melakukan kontak mata, kepala menunduk ke bawah, dan duduk dengan sopan, merupakan hasil dari bentukan norma sosial yang merupakan refleksi dari penekanan terhadap gender (gender merupakan atribut dari tubuh yang tidak bisa dilepaskan juga). Dengan begitu, kita bisa melihat benang merah di antara tubuh sosial dan relasi kuasa adalah tubuh sebagai instrumen dari kehidupan yang bisa dibentuk sedemikan rupa oleh kuasa dan bagaimana sosial dengan keras mengkonstruksi tubuh melalui relasi kuasa yang secara langsung konstruksi sosial yang berlangsung merupakan refleksi dari sosial itu sendiri. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah konstruksi sosial terjadi karena adanya relasi kuasa yang bekerja di dalamnya dan adanya struktur hirarki di dalamnya untuk membentuk sebuah wacana baru dan tidak dimungkinkan konstruksi sosial terjadi tanpa adanya relasi kuasa. Tubuh sosial sebagai tubuh yang patuh merupakan sebuah sistematika yang diusung oleh kuasa yang memiliki hirarki dan adanya generalisasi yang dilakukan oleh relasi kuasa terhadap tubuh sosial itu sendiri. Selain itu, relasi kuasa juga membentuk sense of ownership terhadap tubuh menjadi berkurang. Relasi kuasa mengubah cara pandang sense of ownership 10 Shusterman, Richard, Body Consciousness: A Philosophy of Mindfulness and Somaesthetics, hlm. 21-22 15 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 tubuh menjadi sosial dari yang awalnya tubuh sebagai hal yang privat. Hal ini tidak bisa dihindari, terlebih dengan banyaknya pengaturan-pengaturan untuk mendisiplinkan tubuh tentunya hal ini tidak akan luput dari rasa kepemilikan terhadap tubuh. Rasa kepemilikan terhadap tubuh bisa dilihat dari dihadapkannya tubuh individu dengan the other. The other sendiri memili sebuah peranan yang bisa membentuk persepsi individu terhadap tubuhnya, karena seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat serta the other melakukan judgment terhadap tubuh dan berusaha saling mengobyekkan satu dengan yang lainnya, sehingga kemudian judgment yang dilakukan oleh the other menjadi sebuah skema terhadap kosntruksi sosial. Hal lain yang berhubungan dengan kepemilikan tubuh adalah dengan keberadaan dari tubuh itu sendiri. Keberadaan tubuh bergantung pada keberadaan subjek yang asli itu sendiri. Di sisi lain, tubuh individu memanifestkan kejujuran dari transcendent being, di mana kesadaran bisa ditemukan di sana. Keberadaan tubuh individu jika dihadapkan dengan tubuh the other akan menghasilkan pandangan yang berbeda di dalam rasa kepemilikan terhadap tubuh. Solusi dari permasalahan ini terpapar di dalam buku Philosophy and Phenomenology of the Body yang ditulis oleh Michel Henry mengenai konstitusi dari tubuh ketika dihadapkan dengan the other's body, yang ia nyatakan dalam kalimat: "The duality of regions of being, a unity and a belonging to the ego of being of the body, where this unity and this belonging stand interior to the sphere of absolute subjectivity and originally deal only with the subjective being of the body." 11 Pada akhirnya, relasi kuasa yang ada di dalam masyarakat juga menimbulkan efek ketika tubuh individu dihadapkan dengan the other's body dan juga the self, sehingga terlihat adanya kecenderungan satu diantaranya untuk menguasai tubuh yang lainnya dan membuat tubuh yang lain ikut menjadi tubuh yang patuh. Di sisi lain, di dalam konstruksi sosial melihat bahwa tubuh merupakan sebuah objek yang bisa diregulasikan bahkan dibentuk berdasarkan diskursus atau rezim yang berlaku pada saat tersebut yang didukung oleh kuasa pemerintah untuk menyebarkan dan direfleksikan ke dalam pengawasan terhadap masyarakat yang berada di bawah pengaruh sistem politik yang ada. Membicarakan relasi kuasa, wacana, tubuh yang patuh, ataupun tubuh sosial, kita tidak bisa melepaskan pengaruh strukturalisme yang ada pada sebelumnya. Strukturalisme tidak 11 Henry, Michel, Philosophy and Phenomenology of the Body, hlm. 120 16 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia di dalam ranah sosial atau bermasyarakat yang di dalamnya terdapat tubuh. Di dalam analisis penulis, pengambilan teori Foucault ini sebagai pendukung dan penguat terhadap teori tubuh sosial Synnott. Di dalam tubuh sosial tidak secara gamblang Synnott menjelaskan mengenai konstruksi sosial dan relasi kuasa, oleh karena itu penulis mengambil teori Foucault sebagai penyempurna teori Synnott. Synnott tidak menyadari bahwa di dalam pemikirannya mengenai tubuh sosial, ia telah mengambil beberapa permasalahan filsafat yang ia coba masukkan ke dalam sosiologi namun tidak menemukan jalan keluar, oleh karena itu, Foucault penulis jadikan sebagai jalan keluar dari Synnott mengenai konstruksi sosial dan relasi kuasa, dan juga sebagai penguat tesis yang diajukan oleh penulis. Synnott juga masih belum menyadari bahwa di dalam tubuh sosial juga terdapat wacana dan pengetahuan yang bekerja di dalamnya. Wacana dan pengetahuan tersebut sejalan dengan apa yang dijelaskan Foucault sebelumnya. Wacana dan pengetahuan terhadap tubuh nantinya akan bermuara pada bahasa. Bahasa yang tidak selalu di dalam tulisan, namun juga melalui simbol-simbol yang ada. di sini letak persoalan di dalam penelitian ini. Dengan demikian, kepemilikan tubuh di dalam relasi kuasa dan tubuh sosial merupakan hal yang semu. Individu tidak bisa dengan bebas memiliki tubuhnya sendiri karena adanya wacana kuasa dan wacana tubuh yang bermain di dalam lingkup sosial. Foucault memberikan analoginya mengenai penjara panopticon seperti apa yang telah sebelumnya dijelaskan oleh Bentham. Panopticon dijadikan Foucault sebagai sebuah simbol pengawasan terhadap tubuh individu di dalam lingkup yang lebih luas. Bagi Foucault, kuasa untuk mendisiplinkan tubuh lebih bekerja di dalam sistem panopticon, di mana orang-orang yang berada di dalam penjara tersebut hidup dibawah pengawasan total dan kuasa terhadap pengawasan bekerja efektif di sini karena adanya sistem hirarki, begitu juga dengan relasi manusia yang berada di dalam sosial terhadap tubuhnya sendiri. Dengan begitu individu tidak memiliki dirinya sendiri karena adanya pengawasan yang dilakukan institusi-institusi sehingga menjadikan tubuh individu menjadi tubuh yang patuh dan mengikuti mekanisme relasi kuasa yang bekerja. Dari tubuh yang biasa kemudian dibentuk ke dalam tubuh sosial melalui mekanisme relasi kuasa dan konstruksi sosial yang berakhir menjadi tubuh yang patuh membuat individu kehilangan kepemilikan akan tubuhnya sendiri. Tubuh manusia tidak bisa lagi dimiliki secara utuh ketika tubuh menjadi patuh dan tunduk terhadap mekanisme sosial yang ada. 17 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 Relasi kuasa yang diartikulasikan melalui panopticon merupakan salah satu bentuk dari pendisiplinan terhadap tubuh. Relasi kuasa kemudian dipandang sebagai hal yang tidak netral di dalam ranah sosial dan juga tubuh, karena, seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa relasi kuasa merupakan hal yang berada di dalam kelompok dominan. Oleh karena itu, relasi kuasa yang berada di sekitar individu (termasuk juga tubuh) merupakan hal yang tidak netral dan cenderung memilih kepada kelompok yang dominan sebagai salah satu bentuk pelanggengan dari suatu kepentingan tertentu. Dengan begitu, jelas permasalahan kepemilikan tubuh di dalam relasi kuasa dan sosial, di mana di dalamnya terdapat konstruksi sosial dan kuasa yang bekerja. Tubuh tidak akan pernah selesai didefinisikan, diwacanakan, dan dibentuk oleh para pemegang rezim yang berlaku. Tubuh juga tidak bisa lagi dimiliki secara penuh oleh individu selama masih adanya kuasa dan wacana di dalam sosial, termasuk juga di dalam bahasa yang menjadi keseharian manusia, karena melalui bahasa juga tubuh dibahasakan dan menjadi sebuah wacana yang bisa diinstitusikan ataupun menjadi non-institusi. Kesimpulan Konstruksi sosial yang diajukan oleh Synnott memang berupa konstruksi sosial secara umum dan luas. Untuk memperjelas hal ini, penulis menggunakan pemikiran Foucault tentang relasi kuasa dan pengawasan (panopticon) sebagai hal yang lebih spesifik, sehingga terlihat korelasi di antara keduanya. Dengan demikian, mulai terlihat sintesa yang ada di dalam Synnott dan Foucault, yaitu adanya konstruksi sosial dan relasi kuasa yang bekerja secara bersamaan di dalam membentuk tubuh individu. Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah konstruksi sosial tidak mungkin terjadi tanpa adanya kuasa. Kuasa merupakan variable dari konstruksi sosial. Dengan adanya konstruksi sosial, relasi kuasa, dan pengawasan, individu tidak bisa lagi memiliki tubuhnya. Tubuh individu terbelenggu di dalam regulasi yang terdapat di dalam sosial. Ketika tubuh individu tidak bisa dimiliki, maka pada saat itu lah tubuh menjadi tubuh yang patuh dan tubuh sosial pada saat yang bersamaan. Catatan Kritis Relasi kuasa di sini tidak selalu dipandang sebagai hal yang negatif, karena jika kita melihat lagi dari sejarah tubuh, pemaknaan tubuh mengalami perubahan terus menerus, dari yang tertutup, kemudian terbuka, hingga akhirnya kembali kepada tubuh yang direpresi oleh setumpuk aturan. Ada sisi lain dari relasi kuasa yang memberikan pengaruh positif terhadap 18 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 tubuh, yaitu mulai adanya kesadaran individu di dalam kepemilikan tubuhnya dan juga perubahan pola pikir di dalam memaknai tubuh. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya kesadaran gender yang mulai disuarakan. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengenai keutuhan tubuh. Jika individu memang tidak bisa memiliki tubuh secara utuh, utuh yang seperti apa yang dimaksudkan? Apakah memang pada awalnya tubuh individu merupakan tubuh yang utuh? Seperti yang kita ketahui bahwa Foucault merupakan seorang strukturalis yang menganggap semua hal yang ada di dunia ini merupakan sebuah sistem yang memiliki kuasa sehingga mengakibatkan adanya pihak yang tereduksi. Namun, ada sisi lain dari Foucault yang membahas mengenai keutuhan, yaitu ars erotica. Ars erotica bagi Foucault adalah hal yang tidak terkena paparan relasi kuasa. Ars erotica merupakan sebuah keutuhan. Perlu diklarifikasi terlebih dahulu bahwa utuh yang dimaksudkan di sini bersifat situasional, mewaktu, dan membumi. Keutuhan bisa diperoleh melalui kenikmatan dari ars erotica, sebagai jalan keluar dari keutuhan tubuh. Ketika individu mengalami kenikmatan, maka individu mengalami kebertubuhannya secara utuh dengan menggunakan tubuhnya sebagai medium untuk menggapai kenikmatan tersebut di dalam waktu tersebut (bukan pada masa lampau ataupun masa depan, melainkan sekarang (present)). Hal ini juga tercermin di dalam buku Foucault yang berjudul The Histrory of Sexuality di dalam pembahsan ars erotica. Foucault menyadari bahwa adanya bagian yang tidak terkena dari represi kuasa dan konstruksi sosial, yaitu kenikmatan. Di dalam ars erotica, kebenaran digambarkan melalui kenikmatan di dalam diri, kenikmatan bukanlah relasi absolut mengenai yang terlarang dan yang diperbolehkan. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dijelaskan melaui hedonisme mengenai kenikmatan tubuh merupakan hal yang penting di dalam kehidupan manusia. Hedonisme merupakan bagian dari etika. Hedonisme menganggap apa yang membuat senang tubuh merupakan hal yang baik. Seperti menurut Aristippos yang beranggapan bahwa kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam badan12. Gerak dalam badan bisa kita artikan sebagai kenikmatan atau pleasure yang di dapatkan oleh individu. 12 Bertens, Kees, Etika, hlm. 236 19 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014 Daftar Referensi Bertens, Kees. 2001. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama ___________. 1993. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality, volume 1: an Introduction. New York: Vintage Book _____________. 1977. Discipline and Punish: The Birth of The Prison, trans: Allen Lane. New York: Vintage Books _____________. 1980. Power / Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. New York: Pantheon Book Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius Henry, Michel. 1975. Philosophy and Phenomenology of the Body, trans. Grard Etzkon Husterman, Richard. 2008. Body Consciousness: A Philosophy of Mindfulness and Somaesthetics. New York: Cambridge University Press Kritzman, Lawrence.1988. Michel Foucault, Politics, Philosophy, Culture, Interviews and Other Writing 1977-1984. New York: Routledge Mc.Houl, Alec, & Grace, W. 1993. A Foucault Primer: Discourse, Power, and The Subject. London: Routledge Synnott, Anthony. 1993. The Body Social: Symbolism, Self and Society. London: The Routledge Shilling, Chris. 1993. The Body and Social Theory. London: SAGE Publication Ltd Turner, Bryan S. 1984. The Body and Society: Explorations in Social Theory, 3rd Edition (2008). London: SAGE Publication Ltd Jurnal/Buletin Juliastuti, Nuraini. 1999. Studi Tubuh. KUNCI NEWSLETTER edisi No.1, Minggu ke-3 Bulan Juli. 20 Kepemilikan tubuh..., Annisa Himmatu Fitriana, FIB UI, 2014