bab ii teori dasar - Perpustakaan Digital ITB

advertisement
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Ketahanan Pangan Nasional
Program diversifikasi pangan sudah sejak lama dicanangkan, namun belum
terlihat indikasi penurunan konsumsi beras penduduk Indonesia. Indikasi ini
bahkan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang, beras tetap menjadi sumber utama
gizi dan energi bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia. Dengan tingkat konsumsi
rata-rata 141 kg/kapita/tahun, untuk mencapai kemandirian pangan dibutuhkan 34
juta ton beras atau setara dengan 54 juta ton GKG/tahun (Yuwono, 2007).
Kebutuhan pangan nasional memang dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Namun seiring jumlah penduduk terus bertambah dan tersebar di banyak pulau
serta kendala kondisi cuaca dan iklim yang tidak mendukung sehingga terjadi
ketergantungan akan pangan impor yang menyebabkan rentannya ketahanan
pangan sehingga berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial,
ekonomi, dan bahkan politik.
Di Indonesia, padi diusahakan oleh 18 juta petani dan menyumbang 66% terhadap
produk domestik bruto (PDB) tanaman pangan. Selain itu, usahatani padi telah
memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah
tangga dengan sumbangan pendapatan 25-35%. Oleh karena itu beras tetap
menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional,
sehingga menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian ke depan.
Fakta menunjukkan bahwa produksi padi nasional sejak tahun 1970 hingga 2004
meningkat hampir tiga kali lipat. Hal ini erat kaitannya dengan peningkatan
produktivitas dan luas areal tanam (lahan baku sawah). Peningkatan produktivitas
padi dalam kurun waktu tersebut mencapai 87,6 %, yaitu dari 2,42 ton/ha pada
tahun 1970 mejadi 4,54 ton/ha pada tahun 2004. Sementara peningkatan luas areal
panen dalam periode yang sama mencapai 39,8%, yaitu dari 8,3 juta ha pada tahun
1970 menjadi 11,6 juta ha pada tahun 2004 (Yuwono, 2007).
8
Sampai saat ini sekitar 90 % produksi padi nasional dipasok dari lahan sawah
irigasi yang sebagian telah terkonversi untuk berbagai keperluan di luar pertanian.
Keberhasilan upaya peningkatan produksi nasional tidak terlepas dari penerapan
teknologi terapan yang mendukung pertumbuhan usaha tani.
Menuju tahun 2025 mendatang, Indonesia dituntut untuk mencukupi minimal 95%
dari kebutuhan beras nasional (swasembada). Pada tahun 2010, 2015, 2020, dan
2025, kebutuhan beras diperkirakan masing-masing sebesar 55,8 juta ton 58,9 juta
ton, 62,3 juta ton, dan 65,8 juta ton GKG. Impor beras diusahakan maksimal 5%
dari kebutuhan tersebut. Untuk mendukung tuntutan tersebut diperlukan dukungan
teknologi terkini dalam usaha peningkatan produksi padi.
2.2 Lahan Sawah
Beranjak dari tantangan ketahanan pangan nasional, diperlukan kesiapan baik
dalam segi kualitas produksi pangan maupun segi kuantitas produksi pangan.
Beras sebagai komoditas utama unggul tidak terlepas dari adanya lahan sawah
yang mendukung. Besarnya lahan sawah digunakan dalam perhitungan luasan
areal tanam sehingga didapatkan niali produktivitas pangan beras suatu daerah.
Sawah dideskripsikan sebagai areal pertanian yang digenangi air atau diberi air,
baik dengan teknologi pengairan, tadah hujan maupun pasang surut. Areal
pertanian dicirikan oleh pola pematang, dengan ditanami jenis tanaman pangan
berumur pendek (padi) (Nasional, Badan Standardisasi, 2010)
Terdapat beberapa jenis sawah yang terbagi dalam kelas penutup lahan menurut
Standard Nasional Indonesia, yaitu:
Tabel 2.1. Pembagian Kelas Penutup Lahan pada SNI 7645-2010
9
Siklus pemanfaatan lahan sawah untuk bercocok tanam padi mempunyai
karakteristik yang khas sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk
membedakan dari jenis tanaman lainnya. Pada masa pengolahan tanah, lahan
memerlukan kondisi basah digenangi (flooding). Pada awal pertumbuhan tanaman
padi (transplanting), areal sawah selalu digenangi air dan kenampakan yang
dominan adalah kenampakan air (fase air). Sejalan dengan pertumbuhannya
kondisi lahan sawah akan berubah didominasi oleh dauun-daun padi. Pada saat
puncak pertumbuhan vegetatif terjadi tingkat kehijauan yang tinggi disebabkan
oleh tingginya kandungan klorofil. Setelah masa tersebut berlalu tingkat kehijauan
menurun kemudian timbul bunga-bunga padi sampai menguning fase
pertumbuhan akan diakhiri dengan masa panen dan lahan dibiarkan kosong
selama jangka waktu tertentu tergantung pola tanamnya (Wahyunto, et al., 2006).
Sehubugan dengan itu, fase pertumbuhan padi dapat dikelompokkan kedalam 4
kategori (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000), yaitu:
1. Fase awal pertumbuhan padi, sering disebut juga fase air dimana lahan
sawah didominasi oleh air karena penggenangan. Pada fase ini benih padi
masih baru ditanam.
2. Fase pertumbuhan vegetatif, ditandai dengan semakin lebatnya daun
tanaman padi yang menutupi seluruh lahan sawah.
3. Fase pertumbuhan generatif, dimana lahan sawah yang semula didominasi
oleh daun berwarna hijau akan digantikan dengan butr-butir padi yang
berwarna kuning pucat.
4. Fase panen. Pada fase ini lahan menjadi bera (lahan kosong dibiarkan tidak
adanya tanaman) selama jangka waktu tertentu.
2.3 Peran Penginderaan Jauh dalam Identifikasi Lahan Sawah
Identifikasi lahan sawah dapat dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Penginderaan jauh memberikan informasi mengenai suatu objek di permukaan
bumi menggunakan sensor tanpa mendekati secara langsung objek tersebut.
Penginderaan jauh mengambil peran dalam mengidentifikasi suatu objek dengan
lebih spesifik sehingga objek tersebut dapat dikenali dan dibedakan dengan objek
lainnya. Semua objek pada permukaan bumi dapat diidentifikasi kemudian
disegmentasi dan diklasifikasikan menjadi objek-objek yang berbeda. Lahan
sawah beserta karakteristiknya memiliki paramater yang unik yang dapat
membedakannya dengan objek lainnya.
10
Lahan sawah memiliki karakteristik spektral yang berheda pada citra sesuai
dengan fase pertumbuhannya. Untuk mengidentifikasi lahan sawah dapat diawali
dengan mempelajari karakteristik spektral (spectal relctance) fase-fase
pertumbuhan tanaman padi sejak awal tanam sampai siap panen, yang kemudian
digunakan sebagai kunci interpretasi dalm mengenali tanaman padi, fase- dase
tersebut dapat dipantau dengan menggunakan citra satelit. Kenampakan lahan
sawah di setiap fase pada citra satelit dijelaskan sebagai berikut:
1. Fase awal pertumbuhan padi, lahan sawah didominasi oleh air. Pada citra
satelit dengan kompsosisi warna true color composite (TCC), lahan sawah
akan tampak berwarna biru.
2. Fase pertumbuhan vegetatif, semakin lebatnya daun tanaman padi
sehingga penutupan lahan didominasi oleh warna hijau.
3. Fase pertumbuhan generatif, lahan sawah yang semula didominasi oleh
warna hijau akan digantikan dengan butir-butir padi yang berwarna kuning
pucat pada komposisi warna TCC.
4. Fase panen, lahan menjadi bera sehingga akan tampak berwarna coklat
kemerahan pada komposisi warna TCC.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pemantauan tanaman padi dapat dilakukan
dengan menggunakan data citra satelit yang diarahkan untuk mengidentifikasi
area tanam, delineasi batas area tanam, memprediksi luas area tanam, hingga
mengkualifikasi area tanam.
Kondisi di lapangan terkadang memerlukan informasi lahan pangan daerah secara
cepat sebagai analisis ketahanan pangan daerah. Dengan penginderaan jauh dapat
pemetaan lahan sawah (identifikasi, delineasi, klasifikasi) dapat dilakukan dengan
lebih tanggap. Mengingat wilayah Indonesia yang cukup luas, terdiri dari banyak
pulau dan banyak diantaranya yang terpencil, dengan menggunakan citra satelit
dari beberapa waktu perekaman (multi temporal data) monitoring luas area
tanaman padi dan produktivitasnya dapat dilakukan lebih akurat dan lebih tepat
waktu.
2.4 Satelit Quickkbird
Pada 18 Oktober 2001, Digital Globe Inc. Meluncurkan satelit Quickbird yang
digunakan untuk proses pengindeaan jauh. Satelt Quicbird diluncurkan dari
Vandenburg Air Force Base, CA. Didalamnya dilengkapi dengan multispektral
sensor yang terdiri atas sensor pankromatik (725 nm) dengan resolusi spasial
11
sebesar 0,61 sampai dengan 0,72 meter dan juga citra multispektral dlam sensor
biru (479,5 nm), hijau (546,5 nm), merah (654 nm), dan juga near infrared (814,5
nm) dengan resolusi sebesar 2,44 sampai 2,88 meter dari ketinggian orbit sejauh
450 km.
2.5 Metode OBIA (Object Based Image Analysis) untuk Identifiksi Lahan Sawah
Salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengidentifikasian lahan sawah
menggunakan data penginderaan jauh adalah metode OBIA. Keunggulan metode
OBIA yaitu dapat melakukan analisis citra digital secara visual berdasarkan
informasi dari beberapa kumpulan piksel yang sama yang disebut benda atau
objek gambar. Berbeda dengan analisis citra lainnya (pixel based), metode ini
memandang suatu objek selayaknya prosedur manusia memandang suatu objek.
Objek tidak dilihat hanya dari digital number pikselnya tetapi juga berdasarkan
bentuk, luasan, tekstur, serta relasional dengan sekitarnya.
Pengidentifikasian lahan sawah melalui citra satelit mungkin sudah umum
dilakukan namun belum pernah dilakukan dengan metode OBIA. Dengan metode
ini, lahan sawah diinterpretasikan tidak lagi dari sebuah piksel namun sebagai
kesatuan objek lahan sawah. Pengidentifikasian objek tersebut merujuk pada
karakteristik objek yang diklasifikasikan. Lahan sawah memiliki karakteristik
unik yang berbeda dengan objek lainnya, karakteristik inilah yang dijadikan
parameter dalam klasifikasi objek menggunakan metode OBIA.
Lahan sawah dapat diidentifikasi dengan menggunakan beberapa parameter,
diantaranya:
1. Rona, dimana setiap fase pertumbuhannya rona lahan sawah akan
berbeda.
2. Bentuk, dimana bentuk lahan sawah pada umumnya membentuk poligon
bergeometri segiempat
3. Luasan, dimana rata-rata luas petak sawah di dalam satu area lahan
sawah adalah sama
4. Tektur, dimana tanaman padi memiliki tekstur yang halus
5. Relasional, dimana setiap lahan sawah selalu berdekatan dengan saluran
irigasi.
12
Dengan menggunakan parameter-parameter tersebut, metode OBIA mendeteksi
keseragaman citra menjadi satu objek. Semakin jelas paramater yang dimasukkan
maka semakin banyak klasifikasi lahan yang didapatkan.
Secara umum, prosedur dari metode OBIA dapat dilihat pada bagan berikut
(Marpu, et al., 2006):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pra pengolahan Citra
Segmentasi
Pengambilan Sampel
Penentuan Ambang Batas Parameter
Klasifikasi
Validasi Data
!"#$!%&'()#&$*+,"#-
.%'/%&,#0+-
!%&'#/1+2#&$
.#/3%2-
!%&%&,4#&$5/1#&'$
6#,#0$!#"#/%,%"-
72#0+89#0+-
:#2+;#0+$<#,#-
Gambar 2.1 Prosedur Object Based Image Analysis
13
Metode Object Based Image Analysis tidak hanya digunakan dalam pendeteksian
lahan sawah saja namun dapat diaplikasikan dalam mendeteksi segala objek yang
tertangkap pada citra. Studi mengenai metode OBIA telah dilakukan dalam 10
tahun sebelumnya diantaranya pengggunaan OBIA dalam mendeteksi perubahan
penggunaan lahan hutan secara otomatis, pembuatan peta banjir dan dampaknya,
pemetaan vegetasi, pemetaan mangrove, dan pemetaan permukiman.
Studi yang dilakukan di Belgia (Desclee, et.al., 2004) menggunakan metode
OBIA dalam pendeteksian perubahan hutan secara otomatis. Tujuan penelitian ini
yaitu mendeteksi perubahan tutupan lahan dalam hutan baik dikarenakan
penebangan hutan maupun regenerasi lahan. Data yang digunakan merupakan data
multi-temporal yaitu 3 citra SPOT- HRV tahun 1992, 1995, 2003. Metode OBIA
digunakan dengan penambahan metode statistic extraction dan iterative trimming
untuk mendeteksi algoritma yang digunakan dalam segmentasi dan klasifikasi
pada citra. Dilakukan validasi data dengan referensi bandingan yaitu hasil
interpretasi visual mata didapatkan tingkat akurasi mencapai 94.9 %.
Studi lain menggunakan OBIA sebagai metodologi dalam pembuatan peta banjir
dan peta kerusakan akibat banjir (Uddin, et.al., 2008). Studi dilakukan di daerah
Sunsari, Nepal. Tujuan penelitian ini yaitu menggembangkan algoritma yang
sesuai untuk mendeteksi persebaran area banjir menggunakan citra gelombang
mikro (microwace image) ENVISAT, ASAR tahun 2008 dan untuk mengetahui
kerusakan yang disebabkan oleh banjir tersebut dengan klasifikasi OBIA
menggunakan citra ASTER. Semua citra tersebut diambil sebelum banjir dan pada
saat banjir terjadi. Dilakukan segmentasi dan pembuatan rule set yang tepat di
setiap citra yang menghasilkan peta tutupan lahan dari citra ASTER dan peta
banjir dari citra RADAR. Kemudian hasil dari metode OBIA tersebut ditumpang
susun untuk mendapatkan peta kerusakan yang diakibatkan bajir di daerah
tersebut. Studi ini menunjukkan bahwa metode OBIA dapat mengkombinasikan
berbagai algoritma pada kelas yang berbeda dan informasi yang didapatkan dapat
sangat bermanfaat bagi perencanaan dan pengukuran tanggap darurat.
Selain itu metode OBIA dapat menjadi metode baru dalam pemetaan vegetasi
dengan menggunakan citra resolusi tinggi (Kamagata, et.al., 2006). Studi yang
dilakukan di Chiba, Jepang bertujuan untuk memetakan vegetasi di daerah
tersebut. Metode OBIA lebih efisien dan murah jika dibandingkan dengan metode
tradisional yang mengandalkan foto udara dan survey langsung ke lapangan
sebagai validasi yang dinilai mahal, menghabiskan banyak waktu dan perlu
banyak tenaga. Dibandingkan antara ketiga tipe klasifikasi yaitu pixel based
maximum likelihood, pixel-based ISODATA, dan object-based minimum distance.
14
Hasil yang didapat dari ketiga metode klasifikasi tersebut dibandingkan dengan
peta dasar dari Kementrian Lingkungan dan menunjukkan hasil yang luar biasa
pada metode OBIA dimana didapatkan tingkat keakurasian yang tinggi
dibandingkan kedua metode klasifikasi lainnya. Penelitian ini menunjukkan
bahwa metode OBIA dapat mereduksi beban kerja dan membuat dan
memperbaharui peta vegetasi berkualitas tinggi.
Metode object-based tidak selalu disandingkan dengan metode pixel-based,
namun di dalam penelitian pemetaan mangrove di Punta Galeta, Panama metode
object-based dan pixel-based digabungkan menjadi metode yang menghasilkan
nilai terbaik (Wang, et al., 2004). Citra IKONOS pankromatik daerah Caribbean
coast, Panama digunakan sebagai citra dasar. Hipotesis awal yaitu persebaran
spektral diantara spesies mangrove akan bertambah tajam dengan mengambil
objek tersebut sebagai basis satuan dasar spasial seperti yang dilakukan pada
piksel. Tiga metode klasifikasi digunakan yaitu maximum likelihood di piksel
level, nearest neighbour di objek level, dan gabungan antara keduanya.
Didapatkan akurasi rata-rata terbaik yaitu 91,4 % pada metode gabungan antara
pixel-based dan object-based.
Studi mengenai OBIA sudah meluas baik konsep maupun aplikasinya (Stow, et
al., 2009). Sebuah studi di Ghana menggunakan metode OBIA sebagai metode
klasifikasi perumahan. Segmentasi dan hierarki klasifikasi diaplikasikan kepada
citra Quickbird multispektral yang bertujuan untuk membentuk batas poligon
permukiman dan mengidentifikasi daerah sosial-ekonomi rendah dan tinggi. Dua
tipe klasfikasi object-based digunakan yaitu berbasis pada karakteristik frekuensi
spasial data multispektral dan berbasis proporsi vegetasi dan tanah kosong. Kedua
tipe pendekatan tersebut menghasilkan persentase akurasi yang serupa yaitu 75%
dan kappa index 0.62 dengan menggunakan data bandingan intrepretasi visual
citra pankromatik Quickbird.
15
Download