Hal 99-107_M. Muchson.doc - Fmipa UM

advertisement
M. Muchson dkk, Pemahaman Konsep Dan Miskonsepsi Mahasiswa Pada Topik Ikatan Ionik
Menggali Pemahaman Konsep Dan Identifikasi Miskonsepsi Mahasiswa Prodi
Pendidikan Kimia FMIPA UM Angkatan 2013 Pada Topik Ikatan Ionik
Menggunakan Instrumen Tes Diagnostik Two Tier
M. Muchson, Prayitno, & M. Su’aidy
Jurusan Kimia, FMIPA
Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak
Salah satu topik penelitian miskonsepsi dalam pembelajaran kimia adalah ikatan ionik. Penelitian ini
bertujuan untuk menggali pemahaman konsep dan mengidentifikasi miskonsepsi yang dialami oleh
mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia FMIPA UM angkatan 2013. Penelitian ini menjadi sangat vital untuk
dilakukan karena para mahasiswa tersebut adalah calon guru kimia. Penelitian ini menggunakan rancangan
deskriptif dengan subjek 110 mahasiswa. Instrumen penelitian berupa tes diagnostik two tier yang telah
dikembangkan oleh Wardani (et al., 2014). Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa yang
memahami konsep dalam setiap subtopik pada topik ikatan ionik cukup rendah, yaitu 34 % dan diidentifikasi
sebanyak 25 jenis miskonsepsi.
Kata kunci: pemahaman konsep, miskonsepsi, ikatan ionik
Abstract
One of the misconception research topics in the chemistry classroom is the ionic bonding. This study
aimed to explore the conceptual understanding and identify misconceptions experienced by students of
Chemistry Education Department of MIPA Faculty of UM year 2013. This research is vital to do for these
students because they are prospective teachers of chemistry in senior high school. This research uses
descriptive design with 110 subjects. The research instrument used were the two tier diagnostic test that had
been developed by Wardani (et al., 2014). The result showed that the students showed low level of conceptual
understanding, 34 % students on average understood the concepts in each sub topic. Moreover, 25
misconceptions were identified.
Keywords: conceptual understanding, misconception, ionic bonding
PENDAHULUAN
Ikatan ionik didefinisikan sebagai gaya tarikmenarik elektrostatik antara kation dengan anion
(Taber, et al., 2012; Barke, et al.,2009). Ikatan
ionik terdapat pada senyawa-senyawa ionik.
Senyawa ionik dapat berada dalam fase gas, cair,
maupun padat (Effendy, 2008). Senyawa ionik pada
fase padat terdiri atas pasangan kation dengan
anion. Senyawa ionik pada fase cair terdiri atas
kation-kation dan anion-anion yang tersusun secara
acak. Senyawa ionik pada fase padat terdiri atas
kation-kation dan anion-anion yang tersusun secara
teratur, berulang, dan bergantian. Ketika padatan
senyawa ionik dilarutkan dalam air kation-kation
disolvasi oleh molekul-molekul air melalui kutub
negatif sedangkan setiap anion-anion melalui kutub
positif. Bagaimana kation dan anion berinteraksi
ternyata berpengaruh terhadap kenampakan fisik
senyawa pada ketiga fase. Fenomena-fenomena
molekular ikatan ionik tampak sebagai gejala fisik
senyawa ionik yang berbeda dengan senyawa bukan
ionik. Kenampakan gejala fisik senyawa ionik akan
dapat dipahami secara logis jika dijelaskan
menggunakan pendekatan molekular ikatan ionik.
Oleh karena itu, pemahaman konseptual terhadap
ikatan ionik sangat penting bagi pebelajar dalam
rangka mempelajari ilmu kimia secara utuh.
Pemahaman konseptual ikatan ionik
seringkali dianggap sulit karena melibatkan
representasi pada level submikroskopik. Beberapa
hasil penelitian yang mengungkapkan baik
kesulitan maupun miskonsepsi pada topik ikatan
ionik diantaranya adalah Taber (et al., 2012), Taber
M. Muchson dkk, Pemahaman Konsep Dan Miskonsepsi Mahasiswa Pada Topik Ikatan Ionik
99
Media Komunikasi Pembelajaran Kimia Volume 1, Nomor 1, Desember 2015, ISSN 2407-7704
(2003, 2002b, 1998, 1997, 1994), Coll & Treagust
(2003, 2001), Coll & Taylor (2002), Barker &
Millar (2000), Harrison & Treagust (2000), Tan &
Treagust (1999), Boo (1998), Schmidt (1997),
Taber & Watss (1996), Oversby (1996), dan Butts
& Smith (1987).
Salah satu sumber miskonsepsi dalam
pembelajaran kimia adalah guru (Özmen, 2004).
Miskonsepsi dapat terjadi sebagai hasil interaksi
antara guru dan pebelajar dalam proses
pembelajaran (Gilbert & Zylberstajn, 1985).
Hilbing, Sumfleth, Ploschke, dan Geisler (dalam
Barke, et al., 2009) secara khusus menyebutkan
miskonsepsi yang terjadi dalam topik ikatan ionik
juga bersumber dari guru. Hal ini karena proses
pebelajar memahami konsep sangat bergantung
pada strategi pembelajaran guru, baik strategi
pengorganisasian,
penyampaian,
maupun
pengelolaan. Nahum (et al., 2004) menyebutkan
bahwas sumber belajar/buku teks yang dipilih oleh
guru juga dapat menjadi sumber miskonsepsi. Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Taber (2002,
2001a) bahwa sumber miskonsepsi dalam topik
ikatan ionik diantaranya adalah guru dan sumber
belajar yang digunakan. Wandersee (dalam Özmen,
2004) dan Özkaya (2002) bahkan mengungkapkan
bahwa miskonsepsi pebelajar dapat terjadi sebagai
akibat miskonsepsi yang sudah terlebih dahulu
dialami oleh guru. Kemungkinan lain guru
menganggap tidak ada yang salah terkait
miskonsepsi yang dialami oleh pebelajar atau guru
tidak menyadari adanya miskonsepsi dalam buku
teks yang digunakan.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali
pemahaman konsep dan identifikasi miskonsepsi
pada topik ikatan ionik yang dialami oleh
mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia
FMIPA UM angkatan 2013 yang merupakan calon
guru kimia di sekolah menengah menggunakan
instrumen tes diagnostik two tier. Treagust et al.
(2007) menyatakan kelebihan two tier sebagai tes
diagnostik adalah efisiensi waktu dan efektif
digunakan pada subjek dengan jumlah besar.
Treagust et al. (2007) dan Tan et al. (2005)
menambahkan bahwa disertakannya kemungkinankemungkinan alasan yang mendasari pemilihan
jawaban menjadikan tes diagnostik jenis ini lebih
kuat dan efektif dalam mendeteksi miskonsepsi.
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan
deskripstif untuk memaparkan kondisi pemahaman
serta miskonsepsi yang dialami oleh calon guru
kimia pada topik ikatan kimia. Subjek penelitian
ini adalah 110 mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia
angkatan 2013. Penelitian ini menggunakan
instrumen tes diagnostik two tier pada topik Ikatan
Ionik yang telah dikembangkan oleh Wardani (et
al., 2014). Instrumen tersebut terdiri atas 30 butir
soal yang dibuat berpasangan untuk mewakili 15
sub topik. Pengumpulan data dilakukan dengan
menerapkan instrumen pada subjek penelitian.
Hasil tes subjek penelitian dikoreksi berdasarkan
kunci dan selanjutnya ditabulasikan. Jawaban atau
alasan benar diberi skor 1, sedangkan jawaban atau
alasan salah diberi skor 0. Penskoran ini hanya
bertujuan untuk memudahkan dalam analisis
menggunakan program MS Office Excel. Hasil tes
subjek penelitian selanjutnya diklasifikasi menjadi
Benar (B) untuk jawaban atau alasan benar dan
Salah (S) untuk jawaban atau alasan salah. Tahap
selanjutnya adalah membandingkan hasil pasangan
butir soal dalam kelompok sub topik. Tahap ini
bertujuan untuk melihat konsistensi hasil tes subjek
penelitian pada setiap sub topik. Konsistensi
bertujuan untuk mengetahui pemahaman dan
miskonsepsi yang dialami oleh subjek penelitian.
Subjek penelitian dikategorikan memahami konsep
untuk setiap sub topik jika konsisten menjawab
benar pada kedua soal. Subjek penelitian
dikategorikan
mengalami
miskonsepsi jika
konsisten menjawab salah dengan opsi jawaban dan
alasan yang sama pada kedua soal. Kriteria
penentuan miskonsepsi menggunakan instrumen
two-tier adalah jika minimal 10% subjek penelitian
memilih opsi konsisten (Tan, et al., 2005).
HASIL & PEMBAHSAN
Penyajian Data Hasil Penelitian
Persentase mahasiswa yang memahami
konsep pada topik ikatan ionik disajikan pada Tabel
1.1. Rata-rata mahasiswa yang memahami konsep
pada setiap sub topik hanya mencapai 34%.
Persentase cukup tinggi terdapat pada 5 sub topik,
yaitu ikatan ionik dalam senyawa ionik padat,
pembentukan senyawa ionik dari atom-atom unsur
yang memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi,
jenis kation dan anion penyusun senyawa ionik,
struktur senyawa ionik pada fase padat, dan
pelarutan senyawa ionik dalam air. Miskonsepsi
yang dialami mahasiswa pada topik ikatan ionik
disajikan pada Tabel 1.2. Daftar miskonsepsi
tersebut dipilih berdasarkan persentase konsistensi
100
M. Muchson dkk, Pemahaman Konsep Dan Miskonsepsi Mahasiswa Pada Topik Ikatan Ionik
yang mencapai kategori miskonsepsi sebagaimana
dinyatakan oleh Tan (et al., 2005).
Tabel 1.1. Persentase mahasiswa yang memahami konsep pada topik ikatan ionik
Sub topik
Ionisasi atom dengan nomor atom lebih dari 20
 Atom dengan nomor atom lebih dari 20 membentuk kation dengan melepas elektron yang berada pada tingkat energi
tertinggi (4s)
Ukuran kation dibanding atom unsurnya
 Kation memiliki ukuran lebih kecil dibanding atom unsurnya karena jarak antara inti dengan elektron terluar pada kation
semakin dekat sehingga gaya tarik inti terhadap elektron terluar semakin kuat
Ukuran anion dibanding atom unsurnya
 Anion memiliki ukuran lebih besar dibanding atom unsurnya karena jumlah elektron pada tingkat energi terluar pada anion
bertambah sehingga gaya tolak antar elektron pada tingkat energi tersebut semakin besar
Struktur Lewis senyawa ionik
 Struktur Lewis senyawa ionik/rumus ion merupakan kombinasi antara struktur Lewis kation dengan anion, dimana untuk
kation digambarkan dengan mengurangi/menghilangkan titik elektron di sekitar lambang kation sesuai jumlah elektron yang
dilepas, untuk anion dengan menambahkan titik elektron di sekitar lambang anion, masing-masing dalam kurung siku, dan
menuliskan muatan elektrik kation atau anion pada pojok kanan atas luar kurung siku, kurung siku menyimbolkan adanya
interaksi elektrostatik antara kation dan anion yang saling berdekatan
Makna kurung siku dalam struktur Lewis senyawa ionik
 Kurung siku kation dan anion dalam penulisan struktur Lewis senyawa ionik/rumus ion menyimbolkan adanya interaksi
elektrostatik antara kation dan anion yang saling berdekatan, bukan menyimbolkan konsentrasi ion
Jenis ikatan/interaksi dalam senyawa ionik biner
 Jenis ikatan/interaksi dalam senyawa ionik biner hanya gaya elektrostatik antara kation dengan anion yang disebut dengan
ikatan ionik
Ikatan ionik dalam senyawa ionik padat
 Ikatan ionik dalam senyawa ionik padat terjadi antara setiap kation dengan anion-anion yang mengelilinginya dan setiap
anion dengan kation-kation yang mengelilinginya, membentuk susunan rapat, berulang, dan beraturan
Pembentukan senyawa ionik dari atom-atom unsur yang memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi
 Pembentukan senyawa ionik dari atom-atom unsur penyusunnya dapat terjadi karena perbedaan keelektronegatifan yang
tinggi sehingga memungkinkan terjadi transfer elektron dari atom-atom unsur dengan keelektronegatifan tinggi ke atomatom unsur dengan keelektronegatifan rendah
Jenis kation dan anion penyusun senyawa ionik
 Senyawa ionik dapat tersusun baik atas kation dan anion monoatomik (biner) maupun poliatomik
Hasil reaksi antara unsur logam dengan nonlogam yang memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi
 Hasil reaksi antara unsur logam dengan nonlogam yang memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi adalah senyawa ion
karena memungkinkan terjadi transfer electron dari atom-atom unsur logam yang memiliki kelektronegatifan rendah ke
atom-atom unsur nonlogam yang memiliki keelektronegatifan tinggi
Partikel penyusun senyawa ionik
 Partikel penyusun senyawa ionik adalah kation-kation dan anion-anion bukan atom atau molekul
Struktur senyawa ionik pada fase padat
 Senyawa ionik pada fasa padat tersusun atas kation-kation dan anion-anion yang dihubungkan dengan ikatan ionik, dimana
setiap kation berikatan dengan anion-anion yang mengelilinginya dan setiap anion berikatan dengan kation-kation yang
mengelilinginya, membentuk susunan rapat, berulang, dan beraturan
Pelarutan padatan senyawa ionik dalam air
 Padatan senyawa ionik yang dilarutkan dalam air mengalami disosiasi akibat pemutusan ikatan ionik/pemecahan kisi kristal
ionik menghasilkan kation-kation dan anion-anion yang disolvasi oleh molekul-molekul air sehingga dapat bergerak bebas
dan berjauhan satu sama lain
Ionisasi senyawa kovalen dalam larutan
 Senyawa kovalen yang tersusun atas molekul-molekul ketika dilarutkan dalam air mengalami ionisasi menghasilkan kationkation dan anion-anion yang disolvasi oleh molekul-molekul air sehingga dapat bergerak bebas dan berjauhan satu sama
lain, dan senyawa kovalen tersebut bukan senyawa ionik
Sifat fisika senyawa ionik
 Pada peristiwa penguapan, senyawa ionik mengalami pemutusan ikatan ionik sedangkan senyawa kovalen mengalami
pemutusan gaya antar molekul kovalen, sehingga energi yang dibutuhkan untuk menguapkan senyawa ionik lebih tinggi
dibanding senyawa kovalen karena ikatan ionik jauh lebih kuat dibanding gaya antar molekul kovalen
Rata-rata
Persentase %
8
42
39
20
10
29
58
56
67
34
11
63
51
20
5
34
Tabel 1.2. Miskonsepsi mahasiswa pada topik ikatan ionik
Sub topik
Ionisasi atom dengan nomor atom lebih dari 20
 Atom dengan nomor atom lebih dari 20 membentuk kation dengan melepas elektron yang berada pada tingkat energi 3d
untuk membentuk kestabilan menurut aturan penuh/setengah penuh
 Atom dengan nomor atom lebih dari 20 membentuk kation dengan melepas elektron yang berada pada tingkat energi lebih
rendah (3d)
Ukuran kation dibanding atom unsurnya
 Kation memiliki ukuran lebih kecil dibanding atom unsurnya karena atom yang kehilangan elektron mengalami gaya tarik
menarik antara inti dengan elektron terluar lebih kuat karena gaya tarik inti dan elektron dibagi rata
 Kation memiliki ukuran lebih kecil dibanding atom unsurnya karena atom yang kehilangan elektron mengalami gaya tarik
menarik antara inti dengan elektron terluar lebih lemah
Ukuran anion dibanding atom unsurnya
Persentase %
10
10
16
10
101
Media Komunikasi Pembelajaran Kimia Volume 1, Nomor 1, Desember 2015, ISSN 2407-7704

Anion memiliki ukuran lebih besar dibanding atom unsurnya karena jumlah elektron pada tingkat energi terluar pada anion
bertambah sehingga gaya tarik menarik antara inti dengan elektron terluar lebih lemah karena gaya tarik inti dan elektron
dibagi rata
 Anion memiliki ukuran lebih kecil dibanding atom unsurnya karena jumlah elektron pada tingkat energi terluar pada anion
bertambah sehingga gaya tarik menarik antara inti dengan elektron terluar lebih kuat
Struktur Lewis senyawa ionik
 Struktur Lewis senyawa ionik/rumus ion merupakan kombinasi antara struktur Lewis kation dengan anion, dimana untuk
kation digambarkan dengan mengurangi/menghilangkan titik elektron di sekitar lambang kation sesuai jumlah elektron yang
dilepas, untuk anion dengan menambahkan titik elektron di sekitar lambang anion, masing-masing dalam kurung siku, dan
menuliskan muatan elektrik kation atau anion pada pojok kanan atas luar kurung siku, kurung siku menyimbolkan donasi
elektron dari kation ke anion
 Struktur Lewis senyawa ionik/rumus ion digambarkan dengan menuliskan simbol atom yang menjadi kation dan anion, dan
menuliskan titik-titik elektron yang berada di sekitar kation dan anion serta pasangan elektron yang digunakan bersama
untuk memenuhi aturan oktet (struktur Lewis senyawa ionik/rumus ion tidak berbeda dengan senyawa kovalen/molekul)
Makna kurung siku dalam struktur Lewis senyawa ionik
 Kurung siku dalam struktur Lewis senyawa ionik menyimbolkan donasi elektron dari kation ke anion
 Kurung siku dalam struktur Lewis senyawa ionik menyimbolkan anion harus melepaskan elektron dan kation harus
menangkap elektron agar keduanya bermuatan netral
 Kurung siku dalam struktur Lewis senyawa ionik menyimbolkan konsentrasi kation dan anion karena dalam ilmu kimia
kurung siku menyimbolkan konsentrasi suatu zat
Jenis ikatan/interaksi dalam senyawa ionik biner
 Jenis ikatan/interaksi dalam senyawa ionik biner adalah gaya elektrostatik antara kation dengan anion yang disebut dengan
ikatan ionik dan gaya antar molekul yang terjadi antar pasangan kation-anion
 Jenis ikatan/interaksi dalam senyawa ionik biner adalah gaya elektrostatik antara atom-atom penyusun senyawa ionik dan
gaya antar molekul senyawa ionik
Ikatan ionik dalam senyawa ionik padat
 Ikatan ionik dalam senyawa ionik padat terjadi antara kation dengan anion, sedangkan antara pasangan kation-anion tidak
terjadi ikatan ionik
 Ikatan ionik dalam senyawa ionik padat terjadi antara atom-atom penyusun senyawa ionik, dimana setiap satu atom
dikelilingi atom-atom lainnya
Pembentukan senyawa ionik dari atom-atom unsur yang memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi
 Pembentukan senyawa ionik dari atom-atom unsur penyusunnya dapat terjadi karena terjadi transfer elektron dari atomatom unsur logam ke atom-atom unsur nonlogam
Jenis kation dan anion penyusun senyawa ionik
 Senyawa yang tersusun atas kation-kation atau anion-anion poliatomik merupakan senyawa kovalen polar karena kationkation dan anion-anion tersebut merupakan molekul-molekul penyusun senyawa kovalen dan terlarut sempurna dalam air
Hasil reaksi antara unsur logam dengan nonlogam yang memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi
 Hasil reaksi antara unsur logam dengan nonlogam yang memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi adalah senyawa ion
karena senyawa ion dihasilkan dari reaksi antara unsur-unsur logam dengan nonlogam
 Hasil reaksi antara unsur logam dengan nonlogam yang memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi adalah senyawa
kovalen polar karena terjadi penggunaan bersama pasangan elektron antara unsur-unsur logam dengan nonlogam dan
terlarut sempurna dalam air
Partikel penyusun senyawa ionik
 Senyawa ionik tersusun atas kation-kation dan anion-anion yang membentuk molekul
Struktur senyawa ionik pada fase padat
 Pada fase padat senyawa ionik tersusun atas atom-atom yang membentuk susunan rapat, berulang, dan beraturan yang
mengelilinginya dan setiap anion berikatan dengan kation-kation yang mengelilinginya, membentuk susunan rapat,
berulang, dan beraturan
 Pada fase padat senyawa ionik tersusun atas kation-kation dan anion-anion, dimana ukuran kation lebih besar dibanding
anion, dan membentuk susunan rapat, berulang, dan beraturan
Pelarutan padatan senyawa ionik dalam air
 Padatan senyawa ionik ketika dilarutkan dalam air membentuk pasangan kation-anion dengan jarak yang lebih rapat
dibanding pada fase gas, tetapi lebih renggang dibanding fase padat
Ionisasi senyawa kovalen dalam air
 Senyawa ionik mengalami ionisasi dalam air mengasilkan ion-ion
Sifat fisika senyawa ionik
 Pada peristiwa penguapan, senyawa ionik mengalami pemutusan ikatan ionik sedangkan senyawa kovalen mengalami
pemutusan ikatan kovalen, sehingga energi yang dibutuhkan untuk menguapkan senyawa ionik lebih tinggi dibanding
senyawa kovalen karena ikatan ionik jauh lebih kuat dibanding ikatan kovalen
Pembahasan dan Diskusi
Miskonsepsi pada sub topik ionisasi atom
dengan nomor atom lebih dari 20 berkaitan dengan
pemahaman terhadap muatan inti efektif dan efek
shielding. Efek Shielding pada orbital 4s lebih besar
dibanding 3d sehingga muatan inti efektif atomatom dengan nomor atom lebih dari 20 lebih besar
22
10
39
10
37
17
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
12
10
20
28
19
dirasakan oleh elektron-elektron pada orbital 3d
dibanding 4s. Oleh karena itu, melepas elektron
pada orbital 4s membutuhkan energi yang lebih
sedikit dibanding 3d. Pelepasan elektron dalam
proses ionisasi selalu terjadi pada orbital dengan
tingkat energi paling tinggi karena kebutuhan
energi yang lebih kecil (Dekock & Gray, 1980;
Huheey, et al., 1993). Energi untuk melepas
102
M. Muchson dkk, Pemahaman Konsep Dan Miskonsepsi Mahasiswa Pada Topik Ikatan Ionik
elektron pada orbital 3d tidak cukup disuplai oleh
energi penstabilan akibat “pertukaran tempat
elektron” orbital 3d jika terisi setengah penuh.
Akan tetapi mahasiswa yang mengalami
miskonsepsi tersebut mungkin menganggap energi
penstabilan
akibat
“pertukaran
tempat
elektron”orbital 3d jika terisi setengah penuh
mampu menyuplai kebutuhan energi untuk melepas
elektron pada orbital 3d. Sebagian subjek penelitian
lain mengalami miskonsepsi mungkin karena
bingung dalam membedakan antara tingkat energi
orbital 3d dengan kebutuhan energi untuk melepas
elektron pada orbital 3d. Oleh karena itu, ketika
mereka memahami bahwa tingkat energi orbital 3d
lebih rendah dibanding 4s maka mereka berpikir
kebutuhan energi untuk melepas elektron pada
orbital 3d juga lebih kecil.
Miskonsepsi pada sub topik ukuran kation
dan anion dibanding atom unsurnya masih
berhubungan dengan muatan inti efektif dan efek
Shielding. Atom unsur yang melepas atau
menangkap elektron dan menjadi ion mengalami
perubahan muatan inti efektif dan efek Shielding.
Akibatnya ukuran ion berbeda dibanding atom
unsurnya. Muatan inti efektif yang dirasakan oleh
tiap-tiap elektron juga berbeda berdasarkan
besarnya muatan inti efektif dan efek Shielding
masing-masing elektron tersebut. Akan tetapi,
sebagian mahasiswa menganggap bahwa gaya tarik
inti terhadap elektron pada tiap-tiap orbital
besarnya adalah sama. Bahkan sebagian yang lain
menganggap semakin bertambah elektron valensi
maka gaya tarik inti terhadap elektron valensi
semakin kuat sehingga ukuran ion menjadi lebih
kecil. Sebagian mahasiswa lain mungkin bingung
dalam memahami jari-jari/jarak inti terhadap
elektron valensi pada atom dan ion. Akibatnya,
mereka menganggap semakin lemah gaya tarik inti
terhadap elektron valensi maka ukuran ion menjadi
semakin kecil.
Miskonsepsi pada topik struktur Lewis dan
makna struktur Lewis senyawa ionik sebagaimana
yang terjadi pada penelitian ini adalah hal yang
sangat umum. Taber (1997) mengemukakan bahwa
sebagian besar pebelajar kimia cenderung
menggambarkan struktur Lewis molekular untuk
senyawa ionik. Mereka menganggap bahwa struktur
Lewis untuk senyawa molekular maupun ionik
sama. Adanya mahasiswa yang menganggap bahwa
kurung siku pada struktur Lewis bermakna
konsentrasi ion menunjukkan bahwa mereka tidak
memahami representasi simbolik dengan baik.
Miskonsepsi pada sub-sub topik berikutnya
berhubungan dengan pemahaman terahadap
perbedaan antara konsep ikatan ionik dengan
pembentukan
ion.
Miskonsepsi-miskonsepsi
tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa lebih
memahami ikatan ionik dengan sudut pandang
entitas atau sifat yang melekat dibanding gaya yang
mengakibatkan dua spesies bergabung. Boo (1998)
dan de Posda (1997) mengemukakan bahwa
sebagian
besar
pebelajar
cenderung
mendeskripsikan ikatan ionik dengan penekanan
pada proses transfer elektron antara dua atom yang
memiliki perbedaan keelektronegatifan tinggi.
Deskripsi tersebut hanya menjelaskan proses
pembentukan ion. Bukan ikatan ionik. Mereka
hampir tidak ada yang menyinggung ikatan ionik
terbentuk karena gaya elektrostatik yang
mengakibatkan kation dan anion saling tarik
menarik. Pebelajar bingung dalam membedakan
konsep pembentukan ion dengan ikatan ionik.
Bahkan sebagian pebelajar lebih menganggap
interaksi antara kation dan anion merupakan proses
netralisasi dibanding pembentukan ikatan. Hal ini
kemungkinan karena pebelajar bingung dalam
membedakan konsep dalam topik ikatan ionik
dengan asam basa (Boo, 1998; Schmidt, 1997).
Penelitian yang dilakukan oleh Butts &
Smith (1987) menunjukkan bahwa sebagian
pebelajar Australia yang ditanya tentang kristal
natrium
klorida,
NaCl
(s)
cenderung
mendeskripsikan bagaimana ion natrium, Na+ dan
ion klorida, Cl- terbentuk melalui proses transfer
elektron. Sebagian pebelajar juga menganggap
bahwa partikel penyusun kristal natrium klorida,
NaCl (s) adalah molekul-molekul natrium klorida,
NaCl, dimana setiap molekul tersusun atas atom
natrium, Na dan atom klorin, Cl yang berikatan
secara kovalen, sedangkan antar molekul natrium
klorida, NaCl terjadi interaksi ionik, atau
sebaliknya. Sebagian pebelajar juga menggunakan
pendekatan molekul natrium klorida, NaCl untuk
menjelaskan mengapa kristal natrium klorida, NaCl
(s) tidak menghantarkan arus listrik. Mereka juga
menganggap bahwa ion-ion natrium, Na+ dan ionion klorida akan dihasilkan hanya ketika kirstal
natrium klorida, NaCl (s) dilarutkan dalam air.
Hasil penelitian serupa juga dilaporkan oleh
Taber (1994) tentang pebelajar di United Kingdom,
103
Media Komunikasi Pembelajaran Kimia Volume 1, Nomor 1, Desember 2015, ISSN 2407-7704
UK. Mereka menganggap bahwa partikel penyusun
kirstal natrium klorida, NaCl (s) adalah pasanganpasangan ion natrium, Na+ dengan ion kloroda, Cl-,
dimana antar pasangan ion ini terjadi interaksi
molekular. Anggapan tentang senyawa ionik yang
tersusun atas molekul-molekul ini juga terjadi pada
pebelajar-pebelajar lain di New Zealand (Coll &
Treagust, 2001), UK (Barker & Millar, 2000),
Australia (Harrison & Treagust, 2000), dan
Singapura (Tan & Treagust, 1999).
Hasil penelitian di Australia dan UK
menunjukkan bahwa sebagian besar pebelajar
menganggap bahwa ikatan ion dalam kristal
senyawa ionik hanya terjadi antara satu kation
dengan satu anion membentuk satu pasangan
kation-anion. Hal ini berkaitan dengan penjelasan
tentang aturan kulit harus terisi penuh untuk
mencapai kestabilan dalam pembentukan ikatan.
Berdasarkan aturan tersebut, atom natrium, Na
dianggap harus mendonasikan satu elektron,
sedangkan atom klorin, Cl dianggap harus
menangkap satu elektron, sehingga seolah-olah
ikatan ionik hanya terbentuk antar atom yang
mengalami transfer elektron. Hal ini yang menurut
Taber (1998, 1997) mengakibatkan pabelajar
menganggap bahwa ikatan ionik dalam kristal
natrium klorida, NaCl hanya membentuk pasangan
ion bukan jaringan yang menghasilkan kisi kristal.
Miskonsepsi-miskonsepsi pada jenjang
SMA yang masih ditemukan pada jenjang
perguruan tinggi sebagaimana dipaparkan dalam
hasil penelitian ini ternyata juga terjadi di luar
negeri. Coll & Treagust (2001) melaporkan bahwa
sebagian mahasiswa kimia di New Zealand
menganggap ikatan ionik dalam kristal senyawa
ionik hanya berupa pasangan-pasangan kationanion. Oversby (1996) menemukan bahwa beberapa
mahasiswanya yang sudah lulus dan merupakan
calon guru masih mengalami miskonsepsi tentang
ikatan ionik seperti yang dilaporkan oleh Taber
(1994): (i) suatu ion hanya membentuk ikatan
dengan ion-ion lain sesuai jumlah elektron valensi
yang dilepas dalam proses pembentukan ion, (ii)
ikatan ionik akan dihasilkan hanya ketika terjadi
transfer elektron, (iii) ion-ion yang digambarkan
tanpa proses transfer elektron tidak membentuk
ikatan ion melainkan hanya interaksi/gaya antar ion.
Butts & Smith (1987) menyatakan bahwa
penggunaan bola pasak sebagai media untuk
membelajarkan kisi kristal dapat mengakibatkan
pebelajar berpikir bahwa ikatan ionik hanya terjadi
antara satu kation dengan satu anion.
Persentase mahasiswa memahami konsep
yang termasuk dalam kategori rendah serta jumlah
dan jenis mikonsepsi yang banyak dan bervariasi
menjukkan bahwa calon guru kimia ini berada
dalam kondisi yang memprihatinkan. Hal ini tidak
terlepas dari pembelajaran yang mereka alami baik
pada jenjang SMA maupun perguruan tinggi. Taber
(2001a) mengemukakan bahwa dalam praktek
pembelajaran yang terjadi di SMA, pada umumnya
ikatan kovalen disajikan terlebih dahulu sebelum
ikatan ionik. Selain itu, ikatan ionik hampir selalu
ditekankan pada proses transfer elektron antara dua
atom yang memiliki perbedaan keelektronegatifan
tinggi dibanding adanya gaya tarik elektrostatik
antara kation dengan anion. Hal ini ternyata
mengakibatkan
pebelajar
cenderung
mengkonseptualisasi elektron valensi untuk
menentukan jumlah ikatan yang terbentuk dan
menganggap senyawa-senyawa ionik seolah-olah
tersusun oleh partikel-partikel diskret berupa
molekul yang hanya memiliki ikatan internal atau
pasangan-pasangan kation-anion yang disolvasi
oleh molekul-molekul pelarut dalam proses
pelarutan.
Pemahaman terhadap konsep-konsep dalam
ikatan ionik yang kurang baik kemungkinan juga
dipicu oleh pemahaman yang kurang baik terhadap
partikulat materi seperti atom, molekul, dan ion.
Hilbing (dalam Barke, et al.,2009) mengemukakan
bahwa konsep ion jarang sekali dikenalkanoleh
guru pada pebelajar jenjang menengah. Konsep ion
baru dikenalkan ketika membahas tentang reaksi
redoks atau pembentukan ion melalui transfer
elektron. Konsep ion juga baru dikenalkan ketika
membahas tentang hantaran listrik suatu larutan
atau elektrolisis larutan garam. Pembelajaran
seperti ini tidak akan memberikan gambaran yang
utuh tentang ion kepada pebelajar. Oleh karena itu,
pebelajar tidak dapat mengaplikasikan dengan baik
ketika membahas konsep-konsep dalam topik ikatan
ionik. Sumfleth, Ploschke, dan Geisler (dalam
Barke, et al., 2009) mengemukakan hal yang sama.
Konsep ion hanya dikenalkan pada pebelajar ketika
melakukan percobaan untuk membuktikan hantaran
listrik suatu larutan. Guru berulangkali menekankan
bahwa keberadaan ion dalam larutan yang
menghantarkan listrik dapat dibuktikan, sedangkan
siswa meyakini bahwa ikatan ionik yang mereka
104
M. Muchson dkk, Pemahaman Konsep Dan Miskonsepsi Mahasiswa Pada Topik Ikatan Ionik
pahami melalui sudut pandang transfer elektron
ternyata ada dalam proses hantaran listrik larutan.
Hal ini mengakibatkan pebelajar tidak dapat
membedakan antara pembentukan ion dengan
ikatan ionik.
Meskipun memiliki posisi istimewa dalam
pembelajaran kimia, atom diskret jarang ditekankan
dalam proses-proses kimia. Sebagian besar proses
kimia melibatkan molekul, ion, atau spesies yang
lebih kompleks. Dalam proses kimia yang
melibatkan radikal atom sekalipun, atom tidak
pernah ditonjolkan pada tahap inisiasi. Akan tetapi
menurut Taber (2002b) dalam pembelajaran pada
umunya baik pebelajar, guru, maupun buku-buku
sumber sering mengasumsikan bahwa reaksi kimia
terjadi antar atom. Contohnya, dalam pembentukan
ikatan ionik dalam kristal natrium klorida selalu
dimulai dengan penjelasan tentang kebutuhan atom
natrium, Na dan atom klorin untuk memenuhi
elektron valensinya yang dilanjutkan dengan proses
transfer elektron antar kedua atom sehingga
terbentuklah ikatan ionik pasangan kation-anion
natrium klorida, Na+Cl-. Ketika diberikan fakta
bahwa kristal natrium klorida, NaCl (s) diperoleh
dengan cara menguapkan larutan natrium klorida,
NaCl (aq) pebelajar akan mengalami kebingungan
bagaimana mungkin larutan tersebut mengandung
atom-atom natrium dan klorin. Sebagian pebelajar
di Jerman yang ditanya mengenai fenomena
tersebut memberikan jawaban bahwa krital natrium
klorida, NaCl (s) yang dihasilkan tersusun atas
molekul-molekul natrium klorida, NaCl (Hilbing
dalam Barke, et al., 2009).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Persentase mahasiswa Prodi Pendidikan
Kimia angkatan 2013 yang memahami konsepkonsep topik ikatan kimia cukup rendah, yakni
hanya mencapai 34%. Sedangkan miskonsepsi yang
dialami cukup banyak dan bervariasi, yakni
sebanyak 25. Hal ini merupakan kondisi yang
memprihatinkan berdasarkan pertimbangan bahwa
mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia angkatan 2013
adalah calon guru kimia.
Saran
Miskonsepsi pada topik ikatan ionik yang
masih terjadi hinga jenjang perguruan tinggi
menunjukkan
bahwa
membangun
kembali
pemahaman pebelajar perlu untuk selalu dilakukan
pada setiap jenjang pendidikan (Özmen, 2004).
Nicoll (2001) menyarankan agar guru selalu
menekankan transisi penggunaan istilah-istilah
dalam topik ikatan ionik pada level simbolik,
makroskopik, dan submikroskopik. Penggunaan
istilah tersebut seperti menyebut spesi dengan nama
diikuti rumus kimia. Penyebutan tersebut seperti
“atom natrium, Na”; “ion natrium, Na+”; “krital
natrium klorida, NaCl (s)”; dan “larutan natrium
klorida, NaCl (aq)”. Hal ini diharapkan dapat
membantu pebelajar mengembangkan model
mental ikatan ionik pada ketiga level tersebut.
Guru harus mendiskusikan konsep-konsep
penting yang dirasa belum dikuasai dengan baik
kapada pakar. Jika pengetahuan dan wawasan guru
terhadap suatu konsep kurang baik, maka
pengalaman belajar yang diberikan kepada
pebelajar juga kurang bermakna. Hal ini sangat
berpotensi mengakibatkan pebelajar mengalami
mikskonsepsi
(Valanides,
2000).
Dalam
pembelajaran yang melibatkan representasi konsep
abstrak seperti ikatan ionik, guru juga harus selalu
mendiskusikan dengan pebelajar. Guru akan
mengetahui konseptualisasi pebelajar tentang
konsep yang sedang diajarkan melalui kegiatan
tersebut. Hal ini diharapkan dapat mereduksi
kemungkinan pebelajar mengalami miskonsepsi.
Bergquist & Heikkinen (1990) menyatakan bahwa
memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk
mengungkapkan pemikiran tentang suatu konsep
adalah hal yang sangat penting dalam rangka
konstruksi konsep dan meremediasi miskonsepsi.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab miskonsepsi
hanya akan dapat diidentifikasi dan didiagnosa
ketika pebelajar diberikan kesempatan untuk
mengungkapkan pemikiran-pemikirannya terkait
suatu konsep.
Miskonsepsi juga dapat diakibatkan guru
kurang informasi tentang pengetahuan awal
pebelajar terkait konsep yang dipelajari (Krishnan
& Howe, 1994). Pengetahuan awal pebelajar dapat
dimanfaatkan sebagai jalur untuk melacak sumber
miskonsepsi. Hal ini perlu dilakukan karena strategi
pembelajaran yang dikembangkan dalam rangka
memperbaiki miskonsepsi dapat bervariasi dan
sangat tergantung pada tipe atau sumber
miskonsepsi tersebut. Manfaat paling utama dari
penelitian
identifikasi
miskonsepsi
adalah
memberikan informasi berharga bagi para guru
105
Media Komunikasi Pembelajaran Kimia Volume 1, Nomor 1, Desember 2015, ISSN 2407-7704
untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang
tepat dalam rangka memperbaiki miskonsepsi
tersebut (Özmen, 2004).
Usaha perbaikan miskonsepsi pebelajar
dengan mengembangkan strategi pembelajaran
yang sesuai juga sangat berkaitan dengan pemilihan
bahan ajar atau media pembelajaran. Guru harus
selektif dalam memilih atau mengembangkan bahan
ajar atau media pembalajaran. Guru dapat
memanfaatkan media-media digital dalam rangka
membelajarkan konsep-konsep yang melibatkan
representasi submikroskopik. Kelebihan media
pembelajaran digital adalah kemampuannya dalam
menyediakan menu visualisasi dinamis berupa
animasi. Jenis menu ini dapat memvisualisasi halhal abstrak yang dirasa sulit untuk dipelajari tanpa
bantuan model. Dinamisasi model yang disajikan
juga sesuai dengan konsep-konsep partikulat materi
seperti ikatan ionik. Namun demikian, penelitianpenelitian dalam rangka menguji efektivitas strategi
DAFTAR RUJUKAN
Barke, H.D., Al Hazari,0063 Yitbarek, S. (2009).
Misconceptions
in
Chemistry:
Addresing
Perceptions in Chemical Education. Verlag Berlin
Heidelberg: Springer.
Barker, V., & Millar, R. (2000). Students’
Reasoning about Basic Chemical Thermodynamics
and Chemical Bonding: What Changes Occur
during A Context-Based Post-16 Chemistry
Course? International Journal of Science
Education, 22 (11), 1171-1200.
pembelajaran yang sesuai untuk memperbaiki
miskonsepsi juga sangat penting dikembangkan.
Penelitian tentang miskonsepsi pada topiktopik dalam pembelajaran kimia menjadi lebih vital
ketika dilakukan terhadap mahasiswa calon guru
seperti mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia
angkatan 2013. Hasil dari penelitian selain
memberikan informasi yang akurat tentang sumbersumber miskonsepsi dalam rangka mengembangkan
strategi pembelajaran yang sesuai untuk
memperbaikinya,
juga
diharapkan
dapat
memberikan informasi kepada dosen-dosen di
perguruan tinggi tentang bagaimana membekali
mahasiswa calon guru dalam memfasilitasi siswa
dengan pembalajaran yang mampu meminimalisasi
miskonsepsi.
Coll, R.K., & Treagust, D.F. (2001). Learners’
Mental Model of Chemical Bonding. Research in
Science Education, 31 (3), 357-382.
Coll, R.K., & Treagust, D.F. (2003). Investigation
of Secondary School, Undergraduate, and Graduate
Learners’ Mental Model of Ionic Bonding. Journal
of Research in Science Teaching, 40 (5), 464-486.
Bergquist, W., & Heikkinen, H. (1990). Students’
Ideas Regarding Chemical Equilibrium. Journal of
Chemical Education, 67, 1000-1003.
de Posada, J.M. (1997). Conceptions of High
School Students Concerning The Internal Structure
of Metals and Their Electronic Conduction:
Structure and Evolution. Science Education, 81 (4),
445-467.
Boo, H.K. (1998). Students’ Understanding of
Chemical Bonds and The Energetics of Chemical
Reactions. Journal of Research in Science
Teaching, 35 (5), 569-581.
Dekock, R.L., & Gray, H.B. (1980). Chemical
Structure
and Bonding.
California:
The
Benjamin/Cumings Publishing Company, Inc.
Butts, B., & Smith, R. (1987). HSC Chemistry
Students’ Understanding of The Structures and
Properties of Molecular and Ionic Compounds.
Research in Science Education, 17, 192-201.
Coll, R.K., & Taylor, N. (2002). Mental Model in
Chemistry: Senior Chemistry Students’ Mental
Model of Chemical Bonding. Chemistry Education:
Research and Practice in Europe, 3 (2), 175-184.
Effendy. (2008). Ikatan Ionik dan Cacat-cacat pada
Kristal Ionik. Malang: Bayu Media.
Harrison, A.G., & Treagust, D.F. (2000). Learning
about Atoms, Molecules, and Chemical Bonds: A
Case Study of Multiple-Model use in Grade 11
Chemistry. Science Education, 84, 352-381.
Huheey, J.E., Keiter, E.A., & Keiter L.R. (1993).
Inorganic Chemistry: Principles of Structure and
Reactivity 4th Ed. : Harper Collins College
Publishers.
106
M. Muchson dkk, Pemahaman Konsep Dan Miskonsepsi Mahasiswa Pada Topik Ikatan Ionik
Krishnan, S.R., & Howe, A.C. (1994). The Mole
Concept: Developing an Instrument to Assess
Conceptual Understanding. Journal of Chemical
Education, 71 (8), 653-658.
Nahum, T.L., Hofstein A., Naaman R.M, & BarDov, Z. (2004). Can Final Examinations Amplify
Students’ Misconceptions in Chemistry? Research
Report (Empirical Study), 5 (3), 301-325.
Oversby, J. (1996). The Ionic Bond. Education in
Chemistry, 33 (2), 37-38.
Özkaya, A.R. (2002). Conceptual Difficulties
Experienced by Prospective Teachers in
Electrochemistry: Half Cell Potential, Cell
Potential, and Chemical and Electrochemical
Equilibrium in Galvanic Cell. Journal of Chemical
Education, 79 (6), 735.
Özmen, H. (2004). Some Student Misconceptions
in Chemistry: A Literature Review of Chemical
Bonding. Journal of Science Education and
Technology, 13 (2), 147-159.
Wardani, S.R., Prayitno, & Fajaroh, F. 2014.
Menggali Pemahaman Konsep Siswa SMA pada
Topik Ikatan Ionik Menggunakan Instrumen
Diagnostik Two Tier. Skripsi tidak diterbitkan.
Malang: FMIPA UM.
Schmidt, H.J. (1997). Students’ MisconceptionsLooking for A Pattern. Science Education, 81 (2),
123-135.
Taber, K.S. (1994). Misunderstanding The Ionic
Bond. Education in Chemistry, 31 (4), 100-103.
Taber, K.S. (2002b). Chemical MisconceptionsPrevention, Diagnosis and Cure. London: Royal
Society of Chemistry.
Taber, K.S. (2003). The Atom in The Chemistry
Curriculum: Fundamental Concept, Teaching
Model or Epistemological Obstacle? Foundation
Chemistry, 5 (1), 43-48.
Taber, K.S., & Watts, M. (1996). The Secret Life of
the Chemical Bond: Students’ Anthromorphic and
Animistic
References
to
Bonding.
The
International Journal of Science Education, 18 (5),
557-568.
Taber, K.S., Tsaparlis, G., Nakiboğlu, C. (2012).
Student Conceptions of Ionic Bonding: Patterns of
Thinking Across Three European Contexts.
International Journal of Science Education, 34
(18), 2843-2873.
Tan, D., & Treagust, D.F. (1999). Evaluating
Students’ Understanding of Chemical Bonding.
School Science Review, 81 (294), 75-83.
Tan, D., Khang, G.N., & Sai, C.L., Taber, K. S.
(2005). The Ionisation Energy Diagnostic
Instrument:
A
Two-Tier
Multiple-choice
Instrument to Determine High School Students’
Understanding of Ionisation Energy. Chemistry
Education Research and Practice, 6 (4), 180-197.
Valanides, N. (2000). Primary Student Teachers’
Understanding of Particulate Nature of Matter and
Its Transformations during Dissolving. Chemistry
Education: Research and Practice in Europe, 1,
249-262.
Taber, K.S. (1997). Student Understanding of Ionic
Bonding: Molecular Versus Electrostatic Thinking?
School Science Review, 78 (285), 85-95.
Taber, K.S. (1998). An Alternative Conceptual
Framework
from
Chemistry
Education.
International Journal of Science Education, 20 (5),
597-608.
Taber, K.S. (2001a). Buildding The Structural
Concepts of Chemistry: Some Considerations from
Educational Research. Chemical Education:
Research and Practice in Europe, 2 (2) 123-158.
Taber, K.S. (2002b). Chemical MisconceptionsPrevention, Diagnosis and Cure: Theoritical
Background (Vol. 1). London: Royal Society of
Chemistry.
107
Download