II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aedes aegypti L. 1. Klasifikasi ilmiah

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Aedes aegypti L.
1.
Klasifikasi ilmiah
Kingdom
: Animalia
Phyilum
: Arthropoda
Classis
: Insecta
Ordo
: Diptera
Familia
: Culicidae
Sub familia : Culicinae
Genus
: Aedes
Species
: Aedes aegypti (Geetha Bai et al. 1981).
Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti adalah penampungan air
bersih yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Ditjen PP dan PL,
2002). Nyamuk Ae. aegypti mempunyai kebiasaan menggigit pada pagi
hari yaitu 09.00 s.d 13.00 dan sore hari pukul 15.00 s.d 17.00. Setelah
menghisap darah, nyamuk mencari tempat untuk beristirahat. Tempat
istirahat nyamuk ada yang di dalam rumah (endofilik) yaitu pada dinding
rumah dan ada juga yang di luar rumah (eksofilik), seperti pada tanaman
atau kandang binatang ( Hoedojo, 2008)
9
2.
Morfologi
a. Telur
Morfologi stadium telur menurut Sungkar (2005) pada waktu
diletakkan telur berwarna putih, lima belas menit kemudian telur
berwarna abu-abu dan setelah 40 menit menjadi hitam. Telur Ae.
aegypti berbentuk lonjong, panjangnya ± 0,6 mm dan beratnya 0,0113
mg. Pada dinding telur menyerupai kawat kasa atau sarang tawon
seperti gambar 1.
Gambar 1. Telur Ae. aegypti (Sungkar, 2005).
b. Larva
Larva Ae. aegypti dalam sklus hidupnya melalui 4 stadium larva dari
instar I, II, III, dan IV. Pada larva instar I memiliki panjang 1- 2 mm,
dengan tubuh yang sangat kecil warna transparan, sedangkan duri-duri
(spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong
pernapasan (siphon) belum menghitam (gambar 2). Pada instar II
corong penapasan sudah berwarna hitam, sedangkan ukuran tubuh
bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm. Pada instar III duri-duri dada
10
mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman, dengan
ukuran 4-5mm. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan
jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (caput), dada (thorax),
dan perut (abdomen). Larva instar IV mempunyai tanda khas yaitu
pelana yang terbuka pada segmen anal, sepasang bulu siphon dan gigi
sisir yang berduri lateral pada segmen abdomen ke-7 (Gandahusada
dkk, 2000).
Gambar 2. Larva Ae. Aegypti (Sungkar, 2005).
c. Pupa
Pupa nyamuk Ae. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian
kepala-dada (cephalotorax) lebih besar bila dibandingkan dengan
bagian perutnya seperti gambar 3. Pada bagian punggung (dorsal)
dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8
terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat
pengayuh tersebut berjumbai panjang (Gandahusada dkk, 2000). Pupa
adalah fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap
membutuhkan oksigen untuk bernafas. Untuk keperluan
pernafasannya pupa berada di dekat permukaan air. Lama fase pupa
11
tergantung dengan suhu air dan spesies nyamuk yang lamanya dapat
berkisar antara satu hari sampai beberapa minggu (Geetha Bai et al,
1981).
Gambar 3. Pupa Ae. Aegypti (Sungkar, 2005).
d. Dewasa
Ae. aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan
ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna
dasar yang hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian
badannya terutama pada kakinya dan dikenal dari bentuk
morfologinya yang khas sebagai nyamuk yang mempunyai gambaran
lira (lire-form) yang putih pada punggungnya (mesonotum), yaitu ada
dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan. Ukuran
nyamuk jantan umumnya lebih kecil daripada nyamuk betina dan
terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Nyamuk
jantan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan,
sedangkan nyamuk betina menghisap darah (Gambar 4). Hal itu
12
dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya
untuk memproduksi telur. Pengisapan darah dilakukan pada pagi dan
petang (Djakaria, 2000).
Alat tusuk atau yang disebut proboscis terdapat dibagian kepala.
Proboscis pada Aedes aegypti memiliki permukaan yang halus serta
panjang dan langsing. Proboscis pada nyamuk betina berfungsi
sebagai alat penghisap darah, sedangkan pada nyamuk jantan untuk
menghisap nektar pada bunga dan sari buah-buahan. Pada sisi kanan
proboscis nyamuk terdapat palpus sebagai alat peraba (Ridad dkk,
1999). Ukuran palpus ini lebih pendek daripada proboscisnya
(Aradilla, 2009). Antena nyamuk jantan lebih lebat daripada nyamuk
betina, disebut plumose. Sedangkan pada nyamuk betina antenanya
jumlahnya lebih sedikit, disebut pilose.
Mesonotum (sebagian thorax yang tampak) diliputi bulu-bulu halus.
Pada mesonotum terdapat skutelum, yang membentuk tiga lobi (tiga
lengkungan). Sepasang sayap yang panjang dan langsing dengan
vena-vena sayap yang bersisik (Soedarto, 1992). Terdapat tiga pasang
kaki yang terdiri dari coxae, trochanter, femur, tibia, dan lima tarsus
yang berakhir sebagai cakar (Aradilla, 2009).
Aedes aegypti mempunyai abdomen yang panjang dan langsing.
Bagian abdomen terdiri dari 10 ruas, dimana dua ruas terakhir berubah
menjadi alat kelamin, yang mana pada nyamuk jantan disebut
hypopigidium dan pada betina disebut cerci (Soedarto, 1992).
13
A
B
Gambar 4. Imago Ae. aegypti jantan mengisap nectar bunga (kiri) dan
betina mengisap darah inang (kanan) (Geetha Bai 1981).
3.
Siklus Hidup Ae. aegypti
Menurut Depkes RI (2007) nyamuk Ae. aegypti mengalami
metamorfosis sempurna dalam siklus hidupnya, artinya sebelum menjadi
stadium dewasa nyamuk Ae. aegypti ini mengalami beberapa stadium
pertumbuhan, yakni stadium telur (menetas 1-2 hari setelah perendaman
air) kemudian berubah menjadi stadium larva. Terdapat beberapa
tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan
larva dari instar 1-4 memerlukan waktu sekitar 5 hari. Selanjutnya, larva
akan berubah menjadi pupa selama ± 2 hari sebelum akhirnya menjadi
nyamuk dewasa (gambar 5).
Nyamuk betina meletakkan telur-telurnya di bagian atas permukaan air
dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukkannya.
Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir
14
telur. Telur-telur Ae. aegpti diletakkan satu persatu terpisah, biasanya
pada lubang pohon dan benda-benda yang dapat menampung air (Ridad
dkk, 1999). Menurut Nurmaini (2003), selama hidupnya, nyamuk betina
hanya sekali mengalami perkawinan.
Setelah 2-3 hari, telur menetas menjadi larva (jentik) yang selalu hidup di
dalam air. Selama proses pertumbuhannya larva nyamuk mengadakan
pengelupasan kulit (moulting) sebanyak 4 kali (Ridad dkk, 1999).
Perkembangan dari instar I ke instar II berlangsung dalam 2-3 hari,
kemudian dari instar II ke instar III dalam waktu 2 hari, dan perubahan
dari instar III ke instar IV dalam waktu 2-3 hari. Larva mengambil
makanan dari tumbuhan atau mikroba di tempat perindukannya
(Aradilla,2009).
Larva instar IV kemudian tumbuh menjadi pupa kurang lebih selama 3
hari. Pupa merupakan stadium yang tidak makan tetapi masih
memerlukan oksigen yang diambilnya melalui corong pernapasan
(breathing trumpet). Diperlukan waktu 1-2 hari agar pupa menjadi
dewasa. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu
sekitar 14 hari (Ridad dkk, 1999).
15
Gambar 5. Siklus hidup Ae. aegypti (Koeswara, 2004).
4.
Nyamuk Ae. aegypti sebagai Vektor Penyakit DBD
Ae. aegypti adalah vektor penyakit Demam berdarah dengue. Nyamuk
ini mempunyai empat setadium dalam siklus hidupnya yaitu: telur, larva,
pupa, dan dewasa. Populasi nyamuk Ae. aegypti akan meningkat pada
waktu musim hujan, karena terdapat genangan air bersih yang dapat
menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk Ae. aegypti. Keadaan
lingkungan rumah yang masih kurang baik banyak dijumpai air yang
tergenang sebagai tempat berkembang biak nyamuk, menyebabkan DBD
masih menghantui masyarakat (Depkes RI. 2007) . Penyakit demam
berdarah dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
karena cendrung meningkat penderitanya serta semakin luas
penyebaranya sejalan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.
Puncak kasus penyakit DBD diketahui pada musim hujan dari bulan
desember sampai dengan bulan maret (Koeswara, 2004).
16
B. Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)
1.
Klasifikasi ilmiah
Regnum
: Plantae
Diviso
: Spermatophyta
Sub-Divisio : Angiospermae
2.
Classis
: Dicotyledoneae
Ordo
: Myrtales
Familia
: Myrtaceae
Genus
: Syzygium
Species
: Syzygium aromaticum L. (Plantus 2008)
Deskripsi tanaman
Cengkeh (S. aromaticum L.) termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat
memiliki batang pohon besar dan berkayu keras (Gambar 6). Cengkeh
(S. aromaticum L.) mampu bertahan hidup puluhan bahkan sampai
ratusan tahun, tingginya dapat mencapai 20-30 meter dan cabangcabangnya cukup lebat (Thomas, 2007). Daun tunggal, bertangkai, tebal,
kaku, bentuk bulat telur sampai lanset memanjang, ujung runcing,
pangkal meruncing, tepi rata, tulang daun menyirip, permukaan atas
mengkilap, panjang 6-13,5 cm, lebar 2,5-5 cm, warna hijau muda atau
cokelat muda saat masih muda dan hijau tua ketika tua (gambar 6)
(Kardinan, 2003). Bunga dan buah cengkeh (S. aromaticum L.) akan
muncul pada ujung ranting daun dengan tangkai pendek serta bertandan.
Pada saat masih muda bunga cengkeh (S. aromaticum L.) berwarna
17
keungu-unguan, kemudian berubah menjadi kuning kehijauan dan
berubah lagi menjadi merah muda apabila sudah tua. Sedang bunga
cengkeh (S.aromaticum L) kering akan berwarna cokelat kehitaman dan
berasa pedas sebab mengandung minyak atsiri (Thomas, 2007).
Perbanyakan tanaman dapat dilakukan secara vegetatif dan generatif.
Tanaman ini tumbuh baik di daerah tropis di ketinggian 600-1.100 meter
di atas permukaan laut (dpl) di tanah yang berdrainase baik (Kardinan,
2007).
Gambar 6. Pohon cengkeh (S. aromaticum L.) secara keseluruhan (kiri),
daun cengkeh tua sebagai ekstarak (kanan)
3.
Kandungan zat kimia
Menurut Nurdjannah (2004) daun cengkeh (S. aromaticum L)
mengandung eugenol, flavonoid, saponin dan tanin.
18
a. Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat
racun/aleopati, merupakan persenyawaan dari gula yang terikat
dengan flavon (gambar 7). Flavonoid punya sejumlah kegunaan,
antara lain (1) terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur fotosintesis,
kerja antimikroba dan antivirus, (2) terhadap manusia, yaitu sebagai
antibiotik terhadap penyakit kanker dan ginjal, menghambat
perdarahan, (3) kegunaan lainnya adalah sebagai bahan aktif dalam
pembuatan insektisida nabati. Struktur kimia senyawa flavonoid
seperti Gambar 7 (Suyanto, 2009).
Flavonoid juga berfungsi sebagai inhibitor pernapasan dan
menghambat sistem pernapasan nyamuk (Dinata, 2003). Senyawa ini
mempunyai sifat khas yaitu bau yang sangat tajam, rasanya pahit,
dapat larut dalam air dan pelarut organik, serta mudah terurai pada
temperatur tinggi (Suyanto, 2009). Flavonoid merupakan senyawa
pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat sistem
pencernaan serangga dan juga bersifat toksik yang menyebabkan
serangga akan mati (Dinata, 2003).
.
19
Gambar 7. Struktur sanyawa kimia flavonoid
b. Tanin
Menurut Westerdarp (2006), tanin merupakan polifenol tanaman yang
larut dalam air dan dapat menggumpalkan protein (gambar 8).
Apabila tanin kontak dengan lidah maka reaksi pengendapan protein
ditandai dengan rasa sepat atau astringen.
Tanin dapat menurunkan kemampuan mencerna makanan dengan cara
menurunkan aktivitas enzim pencernaan (protease dan amilase) serta
mengganggu aktivitas protein usus. Serangga yang memakan
tumbuhan dengan kandungan tanin tinggi akan memperoleh sedikit
nutrisi dalam makanannya, akibatnya akan terjadi penurunan
pertumbuhan dan serangga akan mati (Suyanto, 2009).
Gambar 8. Struktur sanyawa kimia tanin.
20
c. Saponin
Saponin merupakan glikosida dalam tanaman yang sifatnya
menyerupai sabun dan dapat larut dalam air (gambar 9). Istilah
saponin diturunkan dari bahasa Latin ‘SAPO’ yang berarti sabun,
diambil dari kata Saponaria Vaccaria, suatu tanaman yang
mengandung saponin digunakan sebagai sabun untuk mencuci.
Struktur kimia senyawa saponin seperti Gambar 9 (Aminah dkk. 2001).
Saponi dikenal sebagai insektisida dan larvasida. Saponin dapat
menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus
sehingga dinding trakus menjadi korosif (Aminah dkk. 2001).
Menurut Novizan (2002), pada kosentrasi tinggi saponin bersifat
toksik. Saponin juga dapat masuk melalui organ pernapasan dan
menyebabkan membran sel rusak atau proses metabolisme terganggu
yang menyebabkan nyamuk akan mati.
Gambar 9. Struktur sanyawa kimia Saponin
21
d. Eugenol
Eugenol dapat dikelompokkan dalam keluarga alilbenzena dari
senyawa-senyawa fenol dikenal dengan nama IUPAC 2-metoksi-4-(2propenil) fenol (gambar 10). Eugenol berwarna bening hingga
kuning pucat, kental seperti minyak. Sumber alaminya dari minyak
cengkeh. Terdapat pula pada pala, kulit manis, dan salam. Eugenol
sedikit larut dalam air namun mudah larut pada pelarut organik
(Nurdjannah, 2004). Eugenol dapat merusak mukosa kulit nyamuk,
menyebabkan kerusakan pada kutikula nyamuk dan mengganggu
saluran pernafasan pada nyamuk sehingga nyamuk susah untuk
bernafas dan nyamuk pun akan mati (Nurdjannah, 2004).
Gambar 10. Struktur sanyawa kimia Eugenol
4.
Manfaat Tumbuhan Cengkeh (S. aromaticum L)
Orang India menggunakan cengkeh sebagai campuran bumbu khas India
atau garam masala. Bunga cengkeh yang sudah kering dapat digunakan
sebagai obat kolera dan menambah denyut jantung. Minyak cengkeh
sering digunakan sebagai pengharum mulut, mengobati bisul, sakit gigi,
memperkuat lendir usus dan lambung serta menambah jumlah sel darah
putih (Plantus, 2008). Tanaman cengkeh sejak lama digunakan dalam
22
industri rokok kretek, makanan, minuman dan obat-obatan. Bagian
tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan diatas adalah bunga,
tangkai bunga dan daun cengkeh (Nurdjannah, 2004).
Minyak esensial dari cengkeh mempunyai fungsi anestetik dan
antimikrobial. Minyak cengkeh sering digunakan untuk menghilangkan
bau nafas dan untuk menghilangkan sakit gigi. Zat yang terkandung
dalam cengkeh yang bernama eugenol, digunakan dokter gigi untuk
menenangkan saraf gigi (Nurdjannah, 2004).
C. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati ataupun hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian pelarut diuapkan dan massa
yang yang tersisaa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan (Depkes RI, 2000).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Pembuatan ekstrak memiliki beberapa tahapan (Depkes RI, 2000).
1. Pembuatan serbuk simplisia
Simplisia dibentuk menjadi serbuk agar proses pembasahan dapat merata
dan difusi zat aktif meningkat.
2. Cairan pelarut
Pelarut digunakan untuk memisahkan zat aktif. Ethanol merupakan
23
pelarut yang baik digunakan secara universal. Pelarut dipilih secara
selektif bergantung pada zat aktif yang diharapkan. Ethanol dapat
melarutkan zat dari tanaman tanpa merusak bagian dari tanaman tersebut.
3. Pemisahan dan pemurnian
Tahapan memisahkan zat aktif yang diharapkan sehingga mendapatkan
ekstrak murni
4. Pengeringan ekstrak
Pengeringan ekstrak bertujuan untuk menghilangkan pelarut dari bahan
sehingga menghasilkan massa kering rapuh
5. Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal
Metode maserasi digunakan untuk membuat ekstrak yang berasal dari
tumbuhan. Metode ekstraksi secara maserasi merupakan metode pemisahan
zat aktif secara pengadukan dan penyaringan. Cairan pelarut masuk kedalam
sel menciptakan perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam dan di luar sel.
Larutan konsentrasi rendah berada di dalam sel sedangkan larutan konsentrasi
tinggi terdesak keluar sel (Depkes RI, 2000).
D. Insektisida
Insektisida merupakan senyawa kimia yang berguna untuk membunuh
serangga, yang dapat dilakukan dengan meracuni makanannya, media hidup
atau meracuni langsung serangga tersebut (Tarumingkeng, 1992).
24
Insektisida nabati adalah ramuan alami pembasmi hama yang bahan-bahan
aktifnya berasal dari alam seperti ekstrak tanaman tertentu yang sudah
diketahui efek positifnya dalam membasmi hama tertentu (Syamsuhidayat,
1991).
Menurut Soedarto (1995), berdasarkan cara masuknya ke dalam tubuh
serangga, insektisida dibagi dalam:
1. Racun kontak (contact poisons)
Insektisida masuk melalui eksoskeleton ke dalam tubuh serangga dengan
perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu istirahat di permukaan yang
mengandung residu insektisida. Umumnya dipakai untuk memberantas
serangga yang mempunyai bentuk mulut tusuk isap.
2. Racun perut (stomach poisons)
Insektisida masuk ke dalam tubuh serangga melalui mulut. Biasanya
serangga yang diberantas dengan menggunakan insektisida ini mempunyai
bentuk mulut untuk menggigit, lekat isap, kerat isap, dan bentuk mengisap.
3. Racun pernapasan (fumigant)
Insektisida masuk melalui sistem pernapasan dan juga melalui permukaan
tubuh serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk mengendalikan
semua jenis serangga tanpa harus memperhatikan bentuk mulutnya.
Penggunaan insektisida ini harus hati-hati terutama jika digunakan untuk
pemberantasan serangga di ruang tertutup.
25
Penggunaan insektisida yang berlebihan tidak dianjurkan, karena sifatnya
yang tidak spesifik sehingga membunuh berbagai jenis serangga lain yang
bermanfaat secara ekologis. Penggunaan insektisida yang berlebihan juga
dapat memunculkan masalah resistensi serangga, sehingga mempersulit
penanganannya di kemudian hari (Nawangsari, 2013).
Insektisida nabati adalah insektisida yang bahan aktifnya berasal dari tanaman
atau bagian tanaman seperti akar, batang, daun, dan buah. Cara kerja
insektisida nabati dapat mengendalikan serangga hama dengan sangat
spesifik, yaitu merusak perkembangan telur, larva dan pupa, mengurangi
nafsu makan, menghambat reproduksi serangga betina, dan lain-lain
(Hoedojo, 2008).
Download