Pengaruh Persepsi Kedekatan dengan Korban dan Pelaku terhadap Intensi Menolong Para Pedagang Kaki Lima sebagai Bystander Non Siswa pada Kejadian Bullying di Sekolah Diva Marini Octavia, Lifina Dewi Pohan, dan Ratna Djuwita Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Pada kasus bullying yang terjadi di sekolah, seringkali ditemukan adanya pihak yang menyaksikan kejadian tersebut, namun tidak melakukan tindakan apapun untuk menolong. Orang yang menyaksikan kejadian bullying disebut sebagai bystander. Salah satu hal yang mempengaruhi intensi menolong pada bystander adalah persepsi kedekatan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku terhadap intensi menolong pada bystander. Dalam penelitian ini, bystander yang dimaksud adalah pedagang kaki lima sebagai bystander non siswa pada kejadian bullying di sekolah. Hal ini disebabkan karena interaksi jual beli yang terjadi antara pedagang dan siswa di sekolah dapat menimbulkan adanya persepsi kedekatan. Partisipan dalam penelitian ini adalah pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar SMA yang sering terjadi kasus bullying (N = 56). Dalam penelitian ini digunakan desain eksperimental dimana terdapat beberapa variasi terhadap persepsi kedekatan dengan siswa yang terlibat dalam perilaku bullying, yaitu persepsi kedekatan dengan korban, pelaku, serta korban dan pelaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari memiliki persepsi kedekatan terhadap korban (p = 0,012), memiliki persepsi kedekatan terhadap pelaku (p = 0,000), dan memiliki persepsi kedekatan terhadap korban dan pelaku (p = 0,000) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi menolong bystander pedagang pada kejadian bullying di sekolah. Pedagang yang memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku bullying memiliki intensi menolong yang lebih tinggi dibandingkan pedagang yang tidak memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku. The Influence of Perceived Closeness to the Victims and the Bullies upon Intention to Help among Street Vendors as Non Student Bystanders in Bullying Cases Occurring in Schools Abstract In the case of bullying occurring in schools are often to be found witnesses, yet immediate actions to help the victims are null. The person who witnesses bullying is called bystander. One of the factors that influence intention to help among bystander is perceived closeness. This research aims to understand the influence of perceived closeness to the victims and the bullies upon intention to help among street vendors as bystanders in school’s bullying cases. This may be because the interaction between street vendors and students during daily transactions can elicit perceived closeness. Participants in this research are street vendors whose kiosks are located near high schools in Jakarta that are previously known to have cases of bullying (N = 56). In this research, manipulation exists in the variable perceived closeness, varying from perceived closeness to the victims, the bullies, and both. The result shows that having perceived closeness to the victims (p = 0,012), the bullies (p = 0,000), and both (p = 0,000) have significant influence upon intention to help among street vendors bystanders in bullying cases in schools. Street vendors who possess perceived closeness to the victims and the bullies are shown to have higher intention to help compared to those who do not have perceived closeness to either of both. Keywords: bullying; perceived closeness; intention to help; street vendors Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Pendahuluan Kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar Indonesia di lingkungan sekolah dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan dan beberapa diantaranya telah menjadi sorotan media massa. Kejadian tersebut melibatkan pelaku, korban, dan adanya pihak yang menyaksikan peristiwa, namun pihak yang menyaksikan tersebut tidak melakukan tindakan untuk menghentikan kejadian. Kekerasan yang dialami oleh anak atau pelajar Indonesia di sekolah seperti pada beberapa kasus di atas juga seringkali berkaitan dengan kasus kekerasan secara fisik yang dilakukan secara sengaja dan berulang oleh pihak yang merasa memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan pihak lain, contohnya antara senior dan junior di sekolah. Hal ini dapat berdampak negatif, terutama pada korban yang tidak hanya mengalami luka fisik, namun juga mengalami kondisi dalam diri yang terganggu, seperti merasa terancam dan ketakutan yang berlebihan apabila berada di lingkungan sekolah. Bentuk kasus kekerasan seperti ini disebut sebagai bullying. Bullying merupakan perilaku seseorang yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan ketakutan, ketidaknyamanan, serta melukai orang lain (Olweus, 1994). Perilaku ini biasanya dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang oleh pihak yang merasa memiliki kekuatan, sehingga ia menyalahgunakan kekuatan tersebut untuk menyakiti pihak yang dianggap lebih lemah (Rigby, 2003). Beberapa kasus kekerasan seperti yang dipaparkan di atas merupakan bentuk bullying yang sering terjadi di sekolah, misalnya dilakukan senior terhadap junior. Banyak ditemukannya kasus bullying yang terjadi, serta adanya dampak negatif dari kejadian tersebut, mendorong para ahli untuk melakukan penelitian mengenai kasus bullying di sekolah. Secara umum terdapat tiga peran individu saat peristiwa bullying terjadi, yaitu pelaku, korban, dan pihak yang menyaksikan atau disebut sebagai bystander. Pada beberapa kasus bullying yang terjadi di sekolah, ditemukan lebih banyak bsytander yang tidak melakukan tindakan untuk memberikan pertolongan kepada korban. Oleh sebab itu, beberapa peneliti mulai memfokuskan penelitian mereka mengenai perilaku menolong pada bsytander. Salmivalli dan Voeten (2004) menemukan bahwa sebagian besar siswa tidak dapat menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap peer yang melakukan bullying dan memutuskan untuk tidak membantu korban. Small dan Simonsohn (2006) menemukan bahwa hubungan dekat dengan korban akan meningkatkan empati dari bystander sehingga dapat memunculkan perilaku menolong. Coloroso (2008) menemukan bahwa alasan bystander siswa tidak melaporkan kasus bullying di sekolah jika mereka mengetahui bahwa pelaku bully merupakan teman mereka dan korban bully bukan merupakan teman mereka. Selain itu, Uale (2010) juga melakukan survei Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 terhadap para guru di Hawai mengenai alasan mereka memutuskan untuk memberikan pertolongan atau tidak saat melihat kejadian bullying di sekolah. Hasilnya adalah 98% partisipan mengatakan akan melaporkan kasus bullying jika mengetahui bahwa korban merupakan teman mereka. Sebanyak 95% partisipan juga mengatakan bahwa mereka cenderung untuk memberikan pertolongan ketika mereka memiliki hubungan baik dengan korban maupun pelaku. Kemudian, 89% partisipan juga melaporkan bahwa mereka cenderung memberikan pertolongan jika mereka mengenal pelaku dari kejadian bullying. Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku menolong pada bystander juga dipengaruhi oleh hubungan bystander dengan korban dan pelaku. Dalam penelitian ini peneliti berencana untuk mengetahui pengaruh persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku terhadap intensi menolong korban bullying pada bystander yang berada dalam tahap perkembangan dewasa. Pada kasus bullying di sekolah, bystander orang dewasa bisa meliputi, guru, administrasi, staf, dan orang dewasa lainnya yang berada di sekitar lingkungan sekolah. Hal yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini kepada orang dewasa karena menurut Twemlow, Sacco, dan Williams (1996) bystander orang dewasa memiliki peranan yang penting dalam menghadapi kasus bullying di sekolah. Kegagalan orang dewasa dalam menghadapi kasus bullying di sekolah berdampak pada ketakutan anak untuk berada di lingkungan sekolah (Olweus & Limber, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti memilih pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar lingkungan sekolah untuk dijadikan partisipan penelitian. Para pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sekolah sebagian besar berada dalam masa perkembangan dewasa. Salah satu hal yang menjadi tugas perkembangan orang dewasa, khususnya dewasa muda dan dewasa madya, yaitu memiliki pekerjaan tetap untuk dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan perekonomiannya. Selain itu, mereka juga dituntut untuk memiliki interaksi yang baik dengan orang-orang yang berada di sekitar lingkungan sosial mereka (Hurlock, 2002). Berkaitan dengan hal tersebut, menjadi seorang pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk pekerjaan dimana seseorang melakukan kegiatan perdagangan barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan perekonomiannya (Alma, 2006). Kegiatan perdagangan ini dapat terjadi apabila terdapat interaksi yang baik antara pedagang dan pembeli. Bentuk interaksi yang terjadi antara pedagang dan pembeli ini dapat menimbulkan terjadinya kedekatan, terutama apabila interaksi yang terjadi berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu, pedagang juga perlu memahami bagaimana cara berinteraksi sosial dengan orang lain agar interaksi jual beli juga dapat terus terjadi, sehingga memberikan keuntungan bagi pedagang. Dalam hal ini, pedagang yang berjualan di sekolah juga perlu membangun hubungan yang baik Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 dengan siswa melalui interaksi jual beli yang mereka lakukan. Interaksi yang baik tersebut dapat menimbulkan adanya perasaan positif yang muncul antara pedagang dan siswa, sehingga interaksi jual beli yang terjadi dapat berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan memberikan keuntungan bagi keduanya. Interaksi yang terjadi antara pedagang dan siswa seperti yang telah dijelaskan tersebut, dapat menimbulkan munculnya persepsi kedekatan. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan desain penelitian eksperimental, dimana terdapat beberapa manipulasi atau perlakuan dari variabel bebas, bertujuan untuk melihat pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Dalam hal ini, peneliti akan memberikan tiga kondisi manipulasi dari persepsi kedekatan, yaitu persepsi kedekatan dengan korban, persepsi kedekatan dengan pelaku, dan persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku. Kemudian, untuk melihat intensi menolong pada partisipan, peneliti menggunakan alat ukur berbentuk kuesioner yang merupakan modifikasi dari Gini, Pozzoli, Borghi dan Franzoni (2008). Hipotesis peneliti dalam penelitian ini adalah: a. H1: Terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan korban terhadap intensi menolong pada bystander non siswa. b. H2: Terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku terhadap intensi menolong pada bystander non siswa. c. H3: Terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku terhadap intensi menolong pada bystander non siswa. Tinjauan Teoritis Bullying Rigby (2003) mendefinisikan tingkah laku disebut sebagai bentuk bullying ketika adanya keinginan seseorang untuk menyakiti individu lain atau membuat mereka merasa tertekan, adanya bentuk perilaku menyakiti, ada kekuatan yang lebih besar pada pelaku bully, dilakukan berulang-ulang (repetisi), adanya kesenangan pada diri pelaku, dan persepsi bahwa korban merasa tertekan. Selain itu, menurut Sullivan (2000) bullying merupakan perilaku menyerang yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh satu orang atau lebih terhadap seseorang atau kelompok yang lain. Smith, Schneider, Smith, dan Ananiadou (2004) mendefinisikan bullying sebagai bentuk tindakan agresi yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap korban yang dianggap lebih lemah dan tidak dapat melindungi dirinya sendiri. Baron, Branscombe, dan Byrne (2009) mengatakan bahwa bullying merupakan tingkah laku dimana adanya individu yang menjadi Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 korban dari tindakan menyerang secara berulang-ulang oleh satu orang atau lebih. Rigby dan Thomas (2010) mendefinisikan bullying sebagai bentuk tingkah laku penyalahgunaan kekuatan, yang dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan untuk menyakiti dan mengancam orang lain. Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bullying sebagai bentuk tingkah laku dimana adanya seseorang atau kelompok yang menyalahgunakan kekuatannya untuk menyerang individu atau kelompok lain yang dianggap lebih lemah dirinya secara berulang-ulang, sehingga menyebabkan adanya perasaan terancam, ketakutan, dan kecemasan. Bentuk dari perilaku bullying ini dapat terbagi dalam beberapa jenis, yaitu bullying fisik, verbal, dan relasional. Bystander dalam Bullying Bystander merupakan kelompok terbesar dari seluruh partisipan dalam kejadian bullying dan perilaku mereka lebih mudah berpengaruh dibandingkan perilaku pelaku (Salmivalli, Voeten, & Poskiparta, 2011). Coloroso (2008) mendefinisikan bystander sebagai orang ketiga yang terdapat dalam situasi bullying, dimana mereka memiliki pengaruh untuk mendukung pelaku bully atau mereka memilih untuk menghentikan kejadian tersebut dengan membantu korban bully. Selain itu, Coloroso (2008) juga mengatakan bahwa bystanders bullying dapat memilih untuk tidak melakukan apa-apa, walaupun sebenarnya mereka tidak memiliki sikap yang positif terhadap bullying. Salmivalli, Lagerspetz, Björkqvist, Österman, & Kaukiainen (1996) juga mengidentifikasi tiga peran berbeda yang ditemukan pada bystander saat menyaksikan peristiwa bullying, yaitu followers, outsiders, dan defenders. Followers merupakan orang yang membantu pelaku untuk melakukan bullying, seperti memburu korban atau memegang korban. Followers juga merupakan pihak yang tidak terlibat secara langsung untuk menyakiti korban, namun memberikan dukungan kepada pelaku. Hal ini biasanya dilakukan dengan tertawa atau bersorak. Outsiders merupakan orang-orang yang memilih untuk menghindari kejadian bullying, dengan berusaha menjauh dari situasi tersebut karena mereka tidak berani berpihak terhadap siapapun. Defenders merupakan individu yang berusaha untuk memberikan pertolongan atau membela korban, dengan melawan tindakan pelaku, menenangkan korban, atau melaporkan kejadian dengan pihak yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis peranan bystander dari Salmivalli, Lagerspetz, Björkqvist, Österman, & Kaukiainen (1996). Peranan bystander tersebut akan menjadi pernyataan item pilihan jawaban pada alat ukur intensi menolong yang peneliti gunakan, yaitu modifikasi dari alat ukur Gini, Pozzoli, Borghi, dan Franzoni (2008). Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Intensi Menolong Fishbein dan Ajzen (1975) mendefinisikan intensi sebagai probabilitas subjektif atau niat yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intensi memiliki kaitan yang erat dengan keyakinan dan sikap terhadap objek, serta perilaku sebagai bentuk perwujudan nyata dari intensi. Sementara itu, perilaku menolong merupakan tindakan seseorang yang secara sengaja dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi individu atau kelompok lain (Vaughan & Hogg, 2005). Wrightsman dan Deaux (1981) mengatakan bahwa intensi menolong adalah kemungkinan subjektif individu untuk melakukan tindakan yang lebih memberikan keuntungan bagi orang lain daripada diri sendiri. Mussen dan Eisenberg (1989) juga memberikan definisi mengenai intensi menolong, yaitu niat untuk membantu orang lain dengan cara meringankan beban fisik atau psikologis yang sedang dirasakan oleh orang tersebut. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa intensi menolong merupakan probabilitas subjektif atau niat yang dimiliki seseorang untuk secara sengaja melakukan suatu tindakan yang memberikan keuntungan bagi individu atau kelompok lain. Di dalam penelitian ini, intensi menolong yang dimaksud adalah keinginan atau niat untuk menolong siswa yang menjadi korban bullying. Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa intensi menolong merupakan sebuah niat untuk memberikan keuntungan kepada orang lain. Intensi menolong ini juga berkaitan dengan perilaku menolong karena pada akhirnya intensi akan ditunjukkan dengan melakukan perbuatan nyata berupa perilaku menolong. Begitu pula yang terjadi pada bystander kasus bullying di sekolah. Mereka diharapkan dapat memberikan pertolongan saat meyaksikan peristiwa tersebut, namun pada beberapa kasus bullying yang terjadi di sekolah sering ditemukan bahwa bystander tidak melakukan tindakan apapun untuk memberikan pertolongan kepada korban. Hal ini dapat berkaitan dengan motivasi yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Seseorang yang memiliki motivasi untuk menolong, akan cenderung melakukan tindakan untuk memberikan pertolongan kepada korban pada kejadian bullying, sebaliknya apabila ia tidak termotivasi untuk menolong maka ia memiliki kemungkinan yang besar untuk tidak menolong. Motivasi seseorang untuk menolong dapat dijelaskan menggunakan beberapa teori, yaitu teori pertukaran sosial, teori empati, dan teori norma sosial. Teori pertukaran sosial mengatakan bahwa interaksi sosial terjadi sesuai pertimbangan untung dan rugi yang terjadi. Perilaku menolong dapat terjadi jika keuntungan yang diperoleh oleh penolong lebih besar dari kerugian yang ia dapatkan (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Sementara itu, teori empati mengatakan bahwa empati melibatkan komponen kognitif dan afektif. Komponen kognitif membuat seseorang mampu untuk memahami apa yang orang lain rasakan dan alasannya, sedangkan komponen afektif membuat orang dapat turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Menurut Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Baron, Branscombe, & Byrne (2009), hal-hal yang mempengaruhi motivasi seseorang untuk menolong itu sendiri adalah empati-altruisme, mengurangi perasaan negatif (negative-state relief), dan kesenangan empatik (emphatic joy). Kemudian, menurut teori norma sosial ada dua bentuk norma sosial yang memotivasi seseorang untuk menolong, yaitu norma timbal-balik dan norma tanggung jawab sosial. Norma timbal balik mengatakan bahwa seseorang termotivasi untuk menolong orang lain yang pernah menolongnya, sedangkan norma tanggung jawab sosial mengatakan bahwa seseorang harus menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan tanpa mengharapkan balasan di masa depan (Myers, 1996). Teori-teori tersebut lebih menjelaskan perilaku menolong yang disebabkan oleh faktor dari dalam diri seseorang, sementara itu faktor situasional juga dapat mempengaruhi perilaku menolong seseorang, yaitu adanya efek bystander, daya tarik korban, atribusi terhadap korban, dan sifat kebutuhan korban (Latane & Darley, 1970; Baron, Byrne, & Branscombe, 2009; Weiner, 1980; Deaux, Dane, & Wrightsman, 1993). Persepsi Kedekatan Feldman (1999) mengatakan bahwa persepsi merupakan proses konstruktif, dimana kita menerima informasi atau stimulus melalui panca indera, kemudian berusaha untuk memahami informasi tersebut. Selain itu, Kreitner dan Kinicki (2005) mendefinisikan persepsi adalah proses kognitif yang memungkinkan kita dapat menafsirkan dan memahami lingkungan sekitar kita. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu individu yang mempersepsi, target yang dipersepsi, dan faktor situasi. Aron dan Mashek (2004) mendefinisikan kedekatan sebagai kedekatan emosional, dimana seseorang merasa diakui, diperhatikan, dan dipedulikan oleh orang lain yang memiliki hubungan dengannya. Berscheid, Snyder, dan Omoto (1989) mendefinisikan kedekatan sebagai bagian terbesar dalam hubungan antar individu yang dapat mempengaruhi munculnya tingkah laku tertentu. Mereka juga mengatakan bahwa kedekatan ditandai dengan adanya rasa saling ketergantungan dan saling mempengaruhi antara individu yang terlibat didalamnya. Menurut Paulson, Hill, & Holmbeck (1991; Burnett & Demnar, 1996) kedekatan didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang menyukai orang lain, menikmati waktu yang dihabiskan bersama, dan senang mendengarkan orang lain yang dianggap penting dalam hidupnya. Kedekatan terjadi ketika dua orang atau lebih menjalin sebuah hubungan, dimana terdapat rasa saling bergantung dan emosi positif yang muncul pada masing-masing individu dalam jangka waktu yang cukup lama (Kelley, 1983; Attridge, 2013). Beberapa definisi dari kedekatan menunjukkan bahwa hal tersebut berkaitan dengan hubungan antarindividu yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Hubungan yang terdiri dari dua orang atau lebih, adanya ketergantungan satu sama lain, dan Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 menggunakan pola interaksi yang konsisten disebut sebagai hubungan interpersonal (Pearson, 1983). Oleh sebab itu, kedekatan yang dimaksud dalam penelitian ini juga berkaitan dengan kedekatan secara emosional yang didapatkan melalui hubungan interpersonal yang terjadi antara satu individu dengan individu lainnya. Berdasarkan pengertian dari persepsi dan kedekatan yang telah dijelaskan di atas, peneliti menyimpulkan persepsi kedekatan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat memahami sejauh mana hubungannya dengan orang lain yang dianggap penting dalam kehidupannya dapat menimbulkan rasa saling ketergantungan dan menimbulkan emosi positif, berdasarkan pengalaman interaksi yang diperoleh oleh keduanya. Pedagang Kaki Lima Menurut Alma (2006), pedagang kaki lima (PKL) adalah orang yang melakukan usaha untuk memperoleh penghasilan, dilakukan secara tidak tetap, memiliki kemampuan terbatas, berlokasi di tempat-tempat publik, serta tidak memiliki izin usaha secara sah. PKL cenderung menempati lokasi yang tidak tetap dan tersebar di trotoar dan tempat terbuka yang bersifat umum lainnya. Pedagang kaki lima juga didefinisikan sebagai pedagang kecil yang umumnya melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, melayani kebutuhan atas barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, dilakukan secara berpindah-pindah dengan modal yang terbatas, menggunakan peralatan yang sederhana, berlokasi di tempat-tempat umum (khususnya trotoar dan sebagian bahu jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal (Rasyid & Kadarisman, 2013). Karakteristik pedagang kaki lima adalah menurut Dinas Tata Kota Kodya Bandung (2000), yaitu: a. Dilakukan dengan modal kecil oleh masyarakat ekonomi lemah b. Biasanya dilakukan perseorangan atau keluarga tanpa suatu kongsi dagang c. Berada dekat dengan jalur sirkulasi atau lokasi yang paling sibuk d. Menggunakan tempat umum sebagai lokasi berjualan, seperti trotoar, badan jalan, dan lainlain e. Menggunakan gerobak atau tenda sederhana yang cukup mudah untuk dipindah-pindahkan Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pedagang kaki lima adalah orang-orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang atau jasa dengan modal yang terbatas, berada di sekitar lokasi umum tanpa memiliki izin usaha secara legal, dan menggunakan peralatan yang sederhana. Pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar lingkungan sekolah merupakan orang-orang yang melakukan usaha perdagangan barang atau jasa secara sederhana di sekeliling lingkungan sekolah. Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Metode Penelitian Tipe dan Desain Penelitian Berdasarkan aplikasinya, tipe penelitian yang peneliti gunakan adalah applied research karena jika penelitian ini terbukti, peneliti ingin menggunakan hasil penelitian ini sebagai langkah untuk menerapkan intervensi yang sesuai terhadap kasus bullying yang telah terjadi. Berdasarkan tujuan penelitiannya, tipe penelitian ini bersifat eksplanatori karena peneliti ingin menjelaskan pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Berdasarkan metode pengumpulan data, tipe penelitian ini bersifat kuantitatif karena peneliti memberikan kuantifikasi atau besaran terhadap variabel penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan repeated measures design atau disebut juga dengan within subject design, dimana setiap partisipan langsung mendapatkan beberapa manipulasi dari variabel bebas. Selain itu, peneliti juga melakukan kontrol dengan cara menyamakan seluruh bentuk, bagian, dan administrasi kuesioner yang diberikan pada masing-masing partisipan. Ditambahkan juga, peneliti melakukan kontrol dengan menyamakan karakteristik dan lokasi partisipan yang sesuai dalam penelitian ini. Partisipan Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah dewasa muda dan dewasa madya. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode quota sampling. Karakteristik partisipan yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Memiliki pekerjaan sebagai seorang pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sekolah, yang melakukan kegiatan perdagangan barang, seperti makanan dan minuman. b. Berada pada kisaran usia antara 20-40 tahun untuk dewasa muda, sementara itu dewasa madya berada dalam kisaran usia 40-60 tahun. Dalam penelitian ini peneliti mencari partisipan dengan batasan usia tersebut karena sesuai dengan tahap perkembangan dewasa muda dan dewasa madya menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2008). c. Berjualan di sekitar lokasi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta, dimana di sekolah tersebut sering terjadi kasus bullying antarsiswa. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan peneliti untuk memberikan manipulasi persepsi kedekatan adalah berupa cerita bergambar. Cerita bergambar tersebut terdiri dari tiga jenis, yaitu tentang bullying fisik, verbal, dan relasional. Konten dari masing-masing cerita tersebut menggambarkan persepsi kedekatan antara pedagang dan siswa. Kemudian, cerita tersebut juga mengandung kasus Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 bullying yang terjadi di sekolah, dimana bystander adalah para pedagang dan siswa di sekolah. Peneliti membuat cerita bergambar ini berdasarkan pada alat ukur dari Gini, Pozzoli, Borghi, dan Franzoni (2008). Sementara itu, untuk mengukur intensi menolong partisipan, peneliti menggunakan alat ukur berupa kuesioner terdiri dari 8 item dalam bentuk Skala Likert. Alat ukur ini merupakan alat ukur yang dimodifikasi dari Gini, Pozzoli, Borghi, dan Franzoni (2008). Hasil Penelitian Gambaran Partisipan Peneliti berhasil mendapatkan 56 orang pedagang kaki lima yang bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini. Berikut ini merupakan gambaran demografis dari partisipan: Tabel 1. Statistik Deskriptif Partisipan Kategori Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia Dewasa Muda 21-30 31-40 Dewasa Madya 41-50 51-60 Pekerjaan Pedagang Makanan Pedagang Minuman Pedagang Warung Lama Berjualan <10 tahun 10-20 tahun 20-30 tahun >30 tahun Pengalaman Menyaksikan Kejadian Bullying Ya Tidak N % 39 17 69,6 30,4 28 5 23 28 17 11 50 8,9 41,1 50 30,3 19,7 38 13 5 67,8 23,3 8,9 14 30 10 2 25 53,6 17,8 3,6 10 46 17,9 82,1 Gambaran Variabel Penelitian Berikut ini merupakan perbandingan skor rata-rata intensi menolong berdasarkan kondisi manipulasi persepsi kedekatan: Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Tabel 2. Statistik Deskriptif Dari Setiap Kondisi Persepsi Kedekatan Kondisi Memiliki persepsi kedekatan dengan korban Memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku Memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku Tidak memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku N M Median 78,00 Nilai Minimum 49 Nilai Maksimum 113 56 81,43 56 SD 18,279 88,07 92,00 39 120 20,947 56 90,38 92,00 39 123 21,684 56 70,32 67,00 28 120 27,967 Hasil Utama Teknik statistik yang peneliti gunakan untuk melihat pengaruh persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku bullying terhadap intensi menolong adalah menggunakan Univariate Analysis of Variance (ANOVA). Tabel 3. Hasil Perhitungan ANOVA Kondisi Memiliki persepsi kedekatan dengan korban Memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku Memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku F 6,476 Signifikansi 0,012 Keterangan Signifikan 15,062 0,000 Signifikan 18,723 0,000 Signifikan Berdasarkan hasil perhitungan statistik, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku bullying dapat mempengaruhi intensi menolong. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa terdapat perbedaan skor total yang signifikan dari kondisi memiliki persepsi kedekatan dengan korban, memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku, dan memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku dengan skor total dari kondisi tidak memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku dan korban. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa Ha diterima dan H0 ditolak. Pembahasan Hasil utama dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan dari persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku bullying terhadap intensi menolong bystander pedagang pada kasus bullying di sekolah. Temuan ini mendukung hasil penelitian Chaux (2005) yang juga menemukan bahwa perilaku menolong individu dipengaruhi oleh kedekatannya dengan korban bullying. Apabila bystander merasa dekat dengan koban, maka ia akan cenderung menolong. Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Adanya persepsi kedekatan yang dimiliki oleh pedagang terhadap korban dan pelaku bullying pada siswa di sekolah, dapat memunculkan adanya rasa saling ketergantungan yang menimbulkan emosi positif. Hal tersebut dapat menimbulkan adanya empati yang muncul dari dalam diri pedagang terhadap korban dan pelaku bullying di sekolah. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Small dan Simonsohn (2006) yang menemukan bahwa hubungan yang dekat dengan korban dapat meningkatkan empati yang dimiliki oleh bystander, sehingga memutuskan untuk memberikan pertolongan terhadap korban. Hal ini juga terjadi pada partisipan yang merupakan pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sekolah. Alasan mereka memberikan pertolongan pada korban yang dipersepsikan dekat dengan mereka disebabkan karena adanya perasaan sedih dan kasihan apabila melihat seorang siswa yang diperlakukan secara tidak menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa para pedagang tersebut juga dapat merasakan apa yang dirasakan oleh siswa yang menjadi korban bullying, sehingga mereka akan cenderung untuk memberikan pertolongan kepada korban. Teori pertukaran sosial merupakan salah satu teori yang membahas mengenai motivasi seseorang untuk menolong. Teori ini mengatakan bahwa interaksi sosial terjadi berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Perilaku menolong dapat muncul dari bystander apabila ia memperoleh keuntungan yang lebih besar dari usaha yang ia keluarkan (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa persepsi kedekatan dapat mempengaruhi intensi menolong karena dipengaruhi oleh adanya empati bystander terhadap korban, sehingga pemikiran mengenai pertukaran sosial tidak terjadi. Penjelasan teori ini dapat peneliti temukan pada saat proses pengambilan data dilakukan. Pada kondisi tidak memiliki kedekatan dengan korban maupun pelaku, beberapa orang partisipan mengatakan bahwa mereka cenderung tidak memberikan pertolongan karena tidak ingin mengalami kerugian, seperti ikut menjadi korban dan ikut terlibat dalam kasus tersebut. Hal ini disebabkan karena mereka merasa tidak mengenal korban maupun pelaku sehingga tidak dapat memperkirakan hal apa yang akan terjadi apabila ia melakukan tindakan untuk memberikan pertolongan. Dalam hal ini, mereka lebih banyak memikirkan dampak negatif yang terjadi. Oleh sebab itu, untuk menghindari kemungkinan kerugian yang dapat mereka alami, mereka memutuskan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa untuk menolong. Hal ini cukup mendukung teori pertukaran sosial, dimana jika seseorang memikirkan bahwa kerugian yang ia terima lebih besar daripada keuntungan maka ia akan memutuskan untuk tidak memberikan pertolongan. Penjelasan di atas juga dapat berkaitan dengan teori norma sosial, khususnya norma timbal balik, yang menjelaskan bahwa seseorang akan termotivasi untuk menolong orang lain yang Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 pernah menolongnya (Myers, 1996). Pada konteks pedagang dan siswa di sekolah, salah satu bentuk hubungan timbal balik pada keduanya terjadi melalui interaksi jual beli. Melalui hal tersebut, pedagang dapat berpendapat bahwa siswa memberikan keuntungan dengan meningkatkan penghasilan mereka. Peningkatan penghasilan tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Pada manipulasi cerita bergambar yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, salah satu hal yang menggambarkan kedekatan antara pedagang dan siswa adalah frekuensi seberapa banyak mereka bertemu. Hal tersebut peneliti deskripsikan dengan konten cerita, dimana terdapat siswa yang hampir setiap hari membeli dagangan dari pedagang tersebut, sehingga frekuensi mereka untuk bertemu dan berinteraksi cukup banyak. Peneliti memiliki anggapan bahwa bentuk manipulasi persepsi kedekatan tersebut juga dapat mempengaruhi intensi menolong disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara pedagang dan siswa. Pada setiap kondisi memiliki persepsi kedekatan, siswa yang menjadi korban dan pelaku bullying dideskripsikan sebagai siswa yang sering membeli dagangan pedagang tersebut. Hal ini bisa saja mempengaruhi intensi menolong pada pedagang disebabkan ia merasa siswa tersebut sering menolong dirinya juga, sehingga ia merasa lebih termotivasi untuk menolong. Pada saat pengambilan data berlangsung, partisipan tidak mengatakan secara langsung bahwa alasan mereka ingin menolong berhubungan dengan keuntungan ekonomi yang mereka dapatkan, namun berdasarkan definisi dari pedagang kaki lima, yaitu orang yang melakukan kegiatan perdagangan barang atau jasa untuk memperoleh keuntungan ekonomi, maka peneliti berpendapat bahwa salah satu bentuk hubungan timbal balik yang dapat mempengaruhi intensi menolong pada pedagang adalah melalui interaksi jual beli yang terjadi dengan siswa. Kemudian, hal yang juga berkaitan dengan hipotesis empati-altruisme adalah pengurangan perasaan negatif (negative state relief) dan kesenangan empatik (emphatic joy). Ketika seseorang merasa bahwa ia berempati terhadap orang lain, maka ia dapat memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan (Baron, Branscombe, & Byrne, 2009). Ketika seorang bystander melihat seseorang yang ia persepsi memiliki kedekatan dengan dirinya menjadi korban bullying, maka ia akan dapat merasakan kesedihan dan kesakitan yang dialami oleh korban. Hal tersebut dapat mempengaruhi bystander juga merasa tidak nyaman yang memunculkan perasaanperasaan negatif. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk memberikan pertolongan kepada korban agar dapat mengurangi perasaan tidak nyaman dan negatif yang ia rasakan. Sementara itu, kesenangan empatik muncul ketika seseorang menolong orang lain sehingga ia juga dapat merasakan perasaan positif dari korban. Hal ini juga peneliti temukan pada pedagang kaki lima yang menjadi partisipan. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa mereka merasa senang Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 apabila dapat memberikan bantuan kepada korban bullying, seperti membesarkan hati korban agar tidak merasa sedih dan menghentikan kejadian bullying lalu menasihati pelaku agar ia dapat mengurangi kesedihan yang dialami korban. Mereka juga mengatakan tujuan mereka membesarkan hati korban agar korban merasa senang. Hal tersebut menunjukkan bahwa para pedagang memiliki kesenangan empatik disebabkan karena mereka juga ikut merasa senang apabila dapat menolong korban bullying. Hasil utama penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku bullying terhadap intensi menolong. Hasil penelitian ini sebenarnya sesuai dengan hipotesis peneliti, walaupun bertentangan dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, misalnya penelitian Chaux (2005) dan Oh (2007) yang mengatakan bahwa apabila bystander memiliki kedekatan dengan pelaku, maka cenderung tidak menolong korban saat menyaksikan peristiwa bullying. Penelitian sebelumnya yang dilakukan juga banyak melibatkan bystander anak-anak dan remaja, sehingga dalam penelitian ini hasil yang ditemukan tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya disebabkan adanya perbedaan karakteristik individu berdasarkan tahap perkembangannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intensi menolong pada partisipan menjadi lebih tinggi ketika mereka memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku bullying dibandingkan hanya memiliki persepsi kedekatan dengan korban. Pada saat pengambilan data berlangsung, banyak ditemukan pendapat dari partisipan yang mengatakan bahwa apabila mereka merasa memiliki kedekatan dengan pelaku, maka mereka menjadi lebih berkeinginan dan berani untuk melakukan tindakan yang dapat menghentikan terjadinya kasus bullying. Mereka juga merasa dengan memiliki kedekatan dengan pelaku tersebut akan membuat mereka menjadi lebih mudah dalam menyampaikan nasihat disebabkan karena dengan memiliki persepsi kedekatan dengan siswa yang menjadi pelaku bullying, mereka sudah mengetahui karakteristik siswa tersebut, sehingga mereka merasa lebih berani dantahu cara yang tepat untuk dapat menasihatinya. Menyampaikan nasihat kepada pelaku juga merupakan bentuk perilaku menolong yang secara tidak langsung dapat mengurangi kejadian bullying di sekolah. Selain itu, tindakan tersebut juga merupakan salah satu cara yang dapat menunjukkan kepedulian dan perhatian yang diberikan oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan teori kedekatan dari Aron & Mashek (2004) yang mengatakan bahwa kedekatan ditandai dengan adanya bentuk kepedulian terhadap orang lain. Selain itu, Berscheid, Snyder, dan Omoto (1989) juga mengatakan bahwa kedekatan antarindividu ditandai dengan adanya kekuatan untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki persepsi kedekatan Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 dengan orang lain juga akan merasa memiliki kekuatan untuk dapat mempengaruhi tingkah laku orang tersebut. Berkaitan dengan hasil utama penelitian, peneliti juga menanyakan mengenai alasan bystander untuk tidak memberikan pertolongan apabila tidak memiliki persepsi kedekatan terhadap korban dan pelaku. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa dengan tidak memiliki kedekatan dengan korban dan pelaku, mereka cenderung tidak memberikan pertolongan disebabkan karena takut akan ikut menjadi korban. Selain itu, mereka juga merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah tersebut, terutama apabila di sekitar kejadian terdapat banyak bystander lainnya. Hal ini sesuai dengan teori dari Latane & Darley (1970) yang mengatakan bahwa adanya rasa tanggung jawab untuk memberikan pertolongan kepada korban akan mempengaruhi perilaku menolong seseorang. Apabila ia tidak memiliki rasa tanggung jawab pribadi, maka akan terjadi penyebaran tanggung jawab atau biasa disebut sebagai diffussion of responsibility. Hal ini juga terjadi pada partisipan yang mengatakan bahwa apabila mereka tidak memiliki persepsi kedekatan dengan korban maupun pelaku, maka akan ada pihak lain yang lebih berhak untuk menyelesaikan kasus tersebut, seperti pihak sekolah, orang tua, dan orang lain yang lebih mengenali korban dan pelaku tersebut. Kesimpulan Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan korban, memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku, serta memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku terhadap intensi menolong bystander non siswa. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari skor total kondisi memiliki persepsi kedekatan dengan korban, memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku, dan kondisi memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku dengan skor total kondisi tidak memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku dan korban. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan korban, pelaku, korban dan pelaku bullying terhadap intensi menolong pada bystander pedagang dalam kejadian bullying di sekolah. Saran 1. Dalam penelitian ini jumlah partisipan laki-laki dan perempuan tidak seimbang, yaitu lebih banyak laki-laki. Hal ini bisa saja berakibat pada faktor psikososial lain yang mungkin mempengaruhi. Oleh sebab itu, untuk penelitian selanjutnya jumlah partisipan laki-laki dan perempuan perlu disetarakan. Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 2. Seluruh pedagang yang menjadi partisipan dalam penelitian ini adalah pedagang kaki lima yang berjualan di luar lingkungan sekolah. Untuk penelitian selanjutnya, ada baiknya pedagang yang berjualan di dalam lingkungan sekolah juga dilibatkan dalam penelitian guna melihat apakah ada perbedaan antara perilaku menolong pedagang yang berjualan di dalam dan di luar lingkungan sekolah. 3. Dalam penelitian selanjutnya dapat digunakan between subject design untuk menghindari kekurangan yang terdapat pada desain within subject. 4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku dapat mempengaruhi intensi menolong pada bystander pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sekolah. Melalui hal ini, peneliti ingin memberikan saran kepada pihak sekolah untuk tidak terlalu membatasi lingkungan internal sekolah dengan lingkungan eksternal. Daftar Referensi : Alma, B. (2006). Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta. Aron, P., & Mashek, D.J. (2004). Handbook of Closeness and Intimacy. Mahwah NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Aronson, E., Wilson, T., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th ed.). New Jersey: Pearson Education. Attridge, M. (2013). Jealousy and relationship closeness: Exploring the good (reactive) and bad (suspicious) sides of romantic jealousy. SAGE Journals. Barnett, V.J. (1999). Conscience and Complicity during the Holocaust. Westport: Greenwood Press. Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. (2009). Social Psychology (12th ed.) New York: Pearson. Berscheid, E., Snyder, M., & Omoto, A.M. (1989). The relationship closeness inventory: Assessing the closeness of interpersonal relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 792-807. Burnett, P. C. & Demnar, W. J. (1996). The relationship between closeness to significant others and self-esteem. Journal of Family Studies, 2(2). 121-129. Burleson, B.R., & Gilstrap, C.M. (2002). Explaining sex differences in interaction goals in support situations: Some mediating effects of expressivity and instrumentality. Communication Reports, 15, 43-55. Camodeca, M. & Goossens, F. A. (2005). Children’s opinions on effective strategies to cope with bullying: The importance of bullying role and perspective. Educational Research, 47, 93-105. Chaux, E. (2005). Role of third parties in conflicts among Colombian children and early adolescents. Aggressive Behavior, 31, 40-55. Coloroso, B. (2008). The Bully, the Bullied, and the Bystander. New York: Harper Collins. Deaux, K., Dane, F.C., & Wrightsman, L.S. (1993). Social Psychology in the 90’s (6th ed.). New York: Brooks & Cole Publishing. Dinas Tata Kota Kodya Bandung.(2000). Penanganan Sektor Informal (PKL) dalam Kebijaksanaan Tata Ruang. Makalah pada Diskusi Panel Pedagang Kaki Lima, ITB. Bandung. Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Eisenberg, N., & Mussen, P.H. (1989). The Roots of Prosocial Behavior in Children. Cambridge: Cambridge University Press. Feldman, J. (1999). The role of objects in perceptual grouping. Acta Psychologica, 102, 137-163. Fischer, P., Greitemeyer, T., Pollozek, F., & Frey, D. (2006). The unresponsive bystander: are bystanders more responsive in dangerous emergencies? European Journal of Social Psychology, 36, 267-278. Fishbein, M. & Ajzen, I. (1975). Belief, attitude, intention, and behavior: An Introduction to theory and research [Electronic version]. MA: Addison-Wesley. Retrieved from http://www.people.umass.edu/aizen/f&a1975.html. Gini, G., Pozzoli, T., Borghi, F., & Franzoni, L. (2008). The role of bystanders in students’perception of bullying and sense of safety. Journal of School Psychology. 617-638. Hurlock, E.B. (2002). Developmental Psychology: A Life Span Approach. Boston: McGraw-Hill. Kreitner & Kinicki. (2005). Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat. Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: Sage Publications. Laner, M.R., Benin, M.H., & Ventrone, N.A. (2001). Bystander attitudes toward victims of violence: who’s worth helping? An Interdisciplinary Journal, 22, 23-42. Latané, B., & Darley, J. M. (1970). The unresponsive bystander: Why doesn’t he help? New York: AppletonCentury-Crofts. Myers, D.G. (1996). Social Psychology. New York: McGraw-Hill Companies. Oh, I.S. (2007). Relationship of bystander personal, situational, and psychological factors to behavioral reactions to school bullying. Thesis. Olweus, D. (1994). Bullying at School. Oxford: Blackwell Publishing. Olweus, D., & Limber, S. (2010). Bullying in school: Evaluation and dissemination of the Olweus bullying prevention program. American Journal of Orthopsychiatry, 80, 124-134. Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2007). Human development (10th ed.). New York: McGraw-Hill. Rasyid, A., & Kadarisman, Y. (2013). Persepsi pedagang kaki lima terhadap tugas satpol PP dalam penertiban umum (kasus pedagang kaki lima jl. HR. Soebrantas Panam) Pekanbaru, 1-15. Rigby, K. (2003). Consequences of bullying in schools. Canadian Journal of Psychiatry, 28,583-590. Rigby, & Thomas. (2010). How Schools Counter Bullying Policies and Procedures in Selected Australian Schools. Camberwell: Australian Council for Educational Research Limited. Salmivalli, C., Lagerspetz, K., Björkqvist, K., Österman, K., & Kaukiainen, A. (1996). Bullying as a group process: Participant roles and their relations to social status within the group. Aggressive Behavior, 22, 1−15. Salmivalli, C., & Voeten, M. (2004). Connections between attitudes, group norms, and behavior in bullying situations. International Journal of Behavioral Development , 28, 246. Salmivalli, C., Voeten, M., & Poskiparta, E. (2011). Bystanders matter: Associations between reinforcing, defending, and the frequency of bullying behavior in classrooms. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 40(5), 668-676. Small, D. & Simonsohn, U. (2006). Friends of victim: Personal experience and social preferences. Journal of Consumer Research, 35, 532-542. Smith, J.D., Schneider, B.H., Smith, P.K., & Ananiadou, K. (2004). The effectiveness of whole school anti-bullying programs: A synthesis of evaluation research. School Psychology Review, 33(4), 547-561. Sullivan, K. (2000). The Anti-Bullying Handbook, Oxford UP: New Zealand. Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Sullivan, K., Cleary, M. & Sullivan, G. (2005). Bullying in Secondary Schools. London: SAGE Publications. Twemlow, S.W., Sacco, F.S., & Williams, P. (1996). A clinical and interactionist perspective on the bully-victim bystander relationship. Bulletin of The Menninger Clinic, 60, 296-313. Twemlow, S.W., Fonagy, P., & Sacco, F.S. (2004). The role of the bystander in the social architecture of bullying and violence in schools and communities. Youth Violence: Scientific Approaches to Prevention, 1036, 215232. Uale, B. (2010). Teachers as bystanders: The effect of teachers perception on reporting bullying behavior. Disertasi. Vaughan, G.M., & Hogg, M.A. (2005). Introduction to Social Psychology (4th ed.). Australia: Pearson Education Australia. Weiner, B. (1980). A cognitive (attribution) emotion-action model of motivated behavior: An analysis of judgments of help-giving. Journal of Personality and Social Psychology, 39, 186-200. Wrightsman, L.S. & Deaux K. (1981). Social Psychology In the 80’s. New York: Publishing. Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014 Brooks & Cole