Pengaruh Persepsi Kedekatan dengan Korban dan Pelaku

advertisement
Pengaruh Persepsi Kedekatan dengan Korban dan Pelaku terhadap Intensi
Menolong Para Pedagang Kaki Lima sebagai Bystander Non Siswa pada Kejadian
Bullying di Sekolah
Diva Marini Octavia, Lifina Dewi Pohan, dan Ratna Djuwita
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pada kasus bullying yang terjadi di sekolah, seringkali ditemukan adanya pihak yang menyaksikan kejadian
tersebut, namun tidak melakukan tindakan apapun untuk menolong. Orang yang menyaksikan kejadian bullying
disebut sebagai bystander. Salah satu hal yang mempengaruhi intensi menolong pada bystander adalah persepsi
kedekatan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku
terhadap intensi menolong pada bystander. Dalam penelitian ini, bystander yang dimaksud adalah pedagang kaki
lima sebagai bystander non siswa pada kejadian bullying di sekolah. Hal ini disebabkan karena interaksi jual beli
yang terjadi antara pedagang dan siswa di sekolah dapat menimbulkan adanya persepsi kedekatan. Partisipan dalam
penelitian ini adalah pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar SMA yang sering terjadi kasus bullying (N = 56).
Dalam penelitian ini digunakan desain eksperimental dimana terdapat beberapa variasi terhadap persepsi kedekatan
dengan siswa yang terlibat dalam perilaku bullying, yaitu persepsi kedekatan dengan korban, pelaku, serta korban
dan pelaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari memiliki persepsi kedekatan terhadap
korban (p = 0,012), memiliki persepsi kedekatan terhadap pelaku (p = 0,000), dan memiliki persepsi kedekatan
terhadap korban dan pelaku (p = 0,000) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap intensi menolong bystander
pedagang pada kejadian bullying di sekolah. Pedagang yang memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku
bullying memiliki intensi menolong yang lebih tinggi dibandingkan pedagang yang tidak memiliki persepsi
kedekatan dengan korban dan pelaku.
The Influence of Perceived Closeness to the Victims and the Bullies upon Intention to Help
among Street Vendors as Non Student Bystanders in Bullying Cases Occurring in Schools
Abstract
In the case of bullying occurring in schools are often to be found witnesses, yet immediate actions to help the
victims are null. The person who witnesses bullying is called bystander. One of the factors that influence intention
to help among bystander is perceived closeness. This research aims to understand the influence of perceived
closeness to the victims and the bullies upon intention to help among street vendors as bystanders in school’s
bullying cases. This may be because the interaction between street vendors and students during daily transactions
can elicit perceived closeness. Participants in this research are street vendors whose kiosks are located near high
schools in Jakarta that are previously known to have cases of bullying (N = 56). In this research, manipulation exists
in the variable perceived closeness, varying from perceived closeness to the victims, the bullies, and both. The
result shows that having perceived closeness to the victims (p = 0,012), the bullies (p = 0,000), and both (p = 0,000)
have significant influence upon intention to help among street vendors bystanders in bullying cases in schools.
Street vendors who possess perceived closeness to the victims and the bullies are shown to have higher intention to
help compared to those who do not have perceived closeness to either of both.
Keywords: bullying; perceived closeness; intention to help; street vendors
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Pendahuluan
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar Indonesia di lingkungan sekolah dalam beberapa
tahun terakhir ini mengalami peningkatan dan beberapa diantaranya telah menjadi sorotan media
massa. Kejadian tersebut melibatkan pelaku, korban, dan adanya pihak yang menyaksikan
peristiwa, namun pihak yang menyaksikan tersebut tidak melakukan tindakan untuk
menghentikan kejadian. Kekerasan yang dialami oleh anak atau pelajar Indonesia di sekolah
seperti pada beberapa kasus di atas juga seringkali berkaitan dengan kasus kekerasan secara fisik
yang dilakukan secara sengaja dan berulang oleh pihak yang merasa memiliki kekuatan yang
lebih besar dibandingkan pihak lain, contohnya antara senior dan junior di sekolah. Hal ini dapat
berdampak negatif, terutama pada korban yang tidak hanya mengalami luka fisik, namun juga
mengalami kondisi dalam diri yang terganggu, seperti merasa terancam dan ketakutan yang
berlebihan apabila berada di lingkungan sekolah. Bentuk kasus kekerasan seperti ini disebut
sebagai bullying.
Bullying merupakan perilaku seseorang yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menyebabkan ketakutan, ketidaknyamanan, serta melukai orang lain (Olweus, 1994). Perilaku
ini biasanya dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang oleh pihak yang merasa memiliki
kekuatan, sehingga ia menyalahgunakan kekuatan tersebut untuk menyakiti pihak yang dianggap
lebih lemah (Rigby, 2003). Beberapa kasus kekerasan seperti yang dipaparkan di atas
merupakan bentuk bullying yang sering terjadi di sekolah, misalnya dilakukan senior terhadap
junior. Banyak ditemukannya kasus bullying yang terjadi, serta adanya dampak negatif dari
kejadian tersebut, mendorong para ahli untuk melakukan penelitian mengenai kasus bullying di
sekolah.
Secara umum terdapat tiga peran individu saat peristiwa bullying terjadi, yaitu pelaku, korban,
dan pihak yang menyaksikan atau disebut sebagai bystander. Pada beberapa kasus bullying yang
terjadi di sekolah, ditemukan lebih banyak bsytander yang tidak melakukan tindakan untuk
memberikan pertolongan kepada korban. Oleh sebab itu, beberapa peneliti mulai memfokuskan
penelitian mereka mengenai perilaku menolong pada bsytander.
Salmivalli dan Voeten (2004) menemukan bahwa sebagian besar siswa tidak dapat menunjukkan
ketidaksetujuan mereka terhadap peer yang melakukan bullying dan memutuskan untuk tidak
membantu korban. Small dan Simonsohn (2006) menemukan bahwa hubungan dekat dengan
korban akan meningkatkan empati dari bystander sehingga dapat memunculkan perilaku
menolong. Coloroso (2008) menemukan bahwa alasan bystander siswa tidak melaporkan kasus
bullying di sekolah jika mereka mengetahui bahwa pelaku bully merupakan teman mereka dan
korban bully bukan merupakan teman mereka. Selain itu, Uale (2010) juga melakukan survei
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
terhadap para guru di Hawai mengenai alasan mereka memutuskan untuk memberikan
pertolongan atau tidak saat melihat kejadian bullying di sekolah. Hasilnya adalah 98% partisipan
mengatakan akan melaporkan kasus bullying jika mengetahui bahwa korban merupakan teman
mereka. Sebanyak 95% partisipan juga mengatakan bahwa mereka cenderung untuk
memberikan pertolongan ketika mereka memiliki hubungan baik dengan korban maupun pelaku.
Kemudian, 89% partisipan juga melaporkan bahwa mereka cenderung memberikan pertolongan
jika mereka mengenal pelaku dari kejadian bullying. Beberapa hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa perilaku menolong pada bystander juga dipengaruhi oleh hubungan
bystander dengan korban dan pelaku.
Dalam penelitian ini peneliti berencana untuk mengetahui pengaruh persepsi kedekatan dengan
korban dan pelaku terhadap intensi menolong korban bullying pada bystander yang berada
dalam tahap perkembangan dewasa. Pada kasus bullying di sekolah, bystander orang dewasa
bisa meliputi, guru, administrasi, staf, dan orang dewasa lainnya yang berada di sekitar
lingkungan sekolah. Hal yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini kepada
orang dewasa karena menurut Twemlow, Sacco, dan Williams (1996) bystander orang dewasa
memiliki peranan yang penting dalam menghadapi kasus bullying di sekolah. Kegagalan orang
dewasa dalam menghadapi kasus bullying di sekolah berdampak pada ketakutan anak untuk
berada di lingkungan sekolah (Olweus & Limber, 2010).
Dalam penelitian ini, peneliti memilih pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar lingkungan
sekolah untuk dijadikan partisipan penelitian. Para pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar
sekolah sebagian besar berada dalam masa perkembangan dewasa. Salah satu hal yang menjadi
tugas perkembangan orang dewasa, khususnya dewasa muda dan dewasa madya, yaitu memiliki
pekerjaan tetap untuk dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan perekonomiannya. Selain itu,
mereka juga dituntut untuk memiliki interaksi yang baik dengan orang-orang yang berada di
sekitar lingkungan sosial mereka (Hurlock, 2002). Berkaitan dengan hal tersebut, menjadi
seorang pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk pekerjaan dimana seseorang
melakukan kegiatan perdagangan barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan perekonomiannya (Alma, 2006). Kegiatan perdagangan ini dapat
terjadi apabila terdapat interaksi yang baik antara pedagang dan pembeli. Bentuk interaksi yang
terjadi antara pedagang dan pembeli ini dapat menimbulkan terjadinya kedekatan, terutama
apabila interaksi yang terjadi berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu,
pedagang juga perlu memahami bagaimana cara berinteraksi sosial dengan orang lain agar
interaksi jual beli juga dapat terus terjadi, sehingga memberikan keuntungan bagi pedagang.
Dalam hal ini, pedagang yang berjualan di sekolah juga perlu membangun hubungan yang baik
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
dengan siswa melalui interaksi jual beli yang mereka lakukan. Interaksi yang baik tersebut dapat
menimbulkan adanya perasaan positif yang muncul antara pedagang dan siswa, sehingga
interaksi jual beli yang terjadi dapat berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan
memberikan keuntungan bagi keduanya. Interaksi yang terjadi antara pedagang dan siswa seperti
yang telah dijelaskan tersebut, dapat menimbulkan munculnya persepsi kedekatan.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan desain penelitian eksperimental, dimana
terdapat beberapa manipulasi atau perlakuan dari variabel bebas, bertujuan untuk melihat
pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Dalam hal ini, peneliti akan memberikan
tiga kondisi manipulasi dari persepsi kedekatan, yaitu persepsi kedekatan dengan korban,
persepsi kedekatan dengan pelaku, dan persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku.
Kemudian, untuk melihat intensi menolong pada partisipan, peneliti menggunakan alat ukur
berbentuk kuesioner yang merupakan modifikasi dari Gini, Pozzoli, Borghi dan Franzoni
(2008).
Hipotesis peneliti dalam penelitian ini adalah:
a. H1: Terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan korban
terhadap intensi menolong pada bystander non siswa.
b. H2: Terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku
terhadap intensi menolong pada bystander non siswa.
c. H3: Terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan
pelaku terhadap intensi menolong pada bystander non siswa.
Tinjauan Teoritis
Bullying
Rigby (2003) mendefinisikan tingkah laku disebut sebagai bentuk bullying ketika adanya
keinginan seseorang untuk menyakiti individu lain atau membuat mereka merasa tertekan,
adanya bentuk perilaku menyakiti, ada kekuatan yang lebih besar pada pelaku bully, dilakukan
berulang-ulang (repetisi), adanya kesenangan pada diri pelaku, dan persepsi bahwa korban
merasa tertekan. Selain itu, menurut Sullivan (2000) bullying merupakan perilaku menyerang
yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh satu orang atau lebih terhadap seseorang atau
kelompok yang lain.
Smith, Schneider, Smith, dan Ananiadou (2004) mendefinisikan bullying sebagai bentuk
tindakan agresi yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap korban yang dianggap lebih
lemah dan tidak dapat melindungi dirinya sendiri. Baron, Branscombe, dan Byrne (2009)
mengatakan bahwa bullying merupakan tingkah laku dimana adanya individu yang menjadi
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
korban dari tindakan menyerang secara berulang-ulang oleh satu orang atau lebih. Rigby dan
Thomas (2010) mendefinisikan bullying sebagai bentuk tingkah laku penyalahgunaan kekuatan,
yang dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan untuk menyakiti dan mengancam orang
lain.
Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bullying sebagai bentuk
tingkah laku dimana adanya seseorang atau kelompok yang menyalahgunakan kekuatannya
untuk menyerang individu atau kelompok lain yang dianggap lebih lemah dirinya secara
berulang-ulang, sehingga menyebabkan adanya perasaan terancam, ketakutan, dan kecemasan.
Bentuk dari perilaku bullying ini dapat terbagi dalam beberapa jenis, yaitu bullying fisik, verbal,
dan relasional.
Bystander dalam Bullying
Bystander merupakan kelompok terbesar dari seluruh partisipan dalam kejadian bullying dan
perilaku mereka lebih mudah berpengaruh dibandingkan perilaku pelaku (Salmivalli, Voeten, &
Poskiparta, 2011). Coloroso (2008) mendefinisikan bystander sebagai orang ketiga yang
terdapat dalam situasi bullying, dimana mereka memiliki pengaruh untuk mendukung pelaku
bully atau mereka memilih untuk menghentikan kejadian tersebut dengan membantu korban
bully. Selain itu, Coloroso (2008) juga mengatakan bahwa bystanders bullying dapat memilih
untuk tidak melakukan apa-apa, walaupun sebenarnya mereka tidak memiliki sikap yang positif
terhadap bullying.
Salmivalli, Lagerspetz, Björkqvist, Österman, & Kaukiainen (1996) juga mengidentifikasi tiga
peran berbeda yang ditemukan pada bystander saat menyaksikan peristiwa bullying, yaitu
followers, outsiders, dan defenders. Followers merupakan orang yang membantu pelaku untuk
melakukan bullying, seperti memburu korban atau memegang korban. Followers juga
merupakan pihak yang tidak terlibat secara langsung untuk menyakiti korban, namun
memberikan dukungan kepada pelaku. Hal ini biasanya dilakukan dengan tertawa atau bersorak.
Outsiders merupakan orang-orang yang memilih untuk menghindari kejadian bullying, dengan
berusaha menjauh dari situasi tersebut karena mereka tidak berani berpihak terhadap siapapun.
Defenders merupakan individu yang berusaha untuk memberikan pertolongan atau membela
korban, dengan melawan tindakan pelaku, menenangkan korban, atau melaporkan kejadian
dengan pihak yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan jenis peranan
bystander dari Salmivalli, Lagerspetz, Björkqvist, Österman, & Kaukiainen (1996). Peranan
bystander tersebut akan menjadi pernyataan item pilihan jawaban pada alat ukur intensi
menolong yang peneliti gunakan, yaitu modifikasi dari alat ukur Gini, Pozzoli, Borghi, dan
Franzoni (2008).
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Intensi Menolong
Fishbein dan Ajzen (1975) mendefinisikan intensi sebagai probabilitas subjektif atau niat yang
dimiliki seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intensi memiliki kaitan yang erat dengan
keyakinan dan sikap terhadap objek, serta perilaku sebagai bentuk perwujudan nyata dari intensi.
Sementara itu, perilaku menolong merupakan tindakan seseorang yang secara sengaja dilakukan
untuk memberikan keuntungan bagi individu atau kelompok lain (Vaughan & Hogg, 2005).
Wrightsman dan Deaux (1981) mengatakan bahwa intensi menolong adalah kemungkinan
subjektif individu untuk melakukan tindakan yang lebih memberikan keuntungan bagi orang lain
daripada diri sendiri. Mussen dan Eisenberg (1989) juga memberikan definisi mengenai intensi
menolong, yaitu niat untuk membantu orang lain dengan cara meringankan beban fisik atau
psikologis yang sedang dirasakan oleh orang tersebut. Berdasarkan definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa intensi menolong merupakan probabilitas subjektif atau niat yang dimiliki
seseorang untuk secara sengaja melakukan suatu tindakan yang memberikan keuntungan bagi
individu atau kelompok lain. Di dalam penelitian ini, intensi menolong yang dimaksud adalah
keinginan atau niat untuk menolong siswa yang menjadi korban bullying.
Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa intensi menolong merupakan sebuah niat untuk
memberikan keuntungan kepada orang lain. Intensi menolong ini juga berkaitan dengan perilaku
menolong karena pada akhirnya intensi akan ditunjukkan dengan melakukan perbuatan nyata
berupa perilaku menolong. Begitu pula yang terjadi pada bystander kasus bullying di sekolah.
Mereka diharapkan dapat memberikan pertolongan saat meyaksikan peristiwa tersebut, namun
pada beberapa kasus bullying yang terjadi di sekolah sering ditemukan bahwa bystander tidak
melakukan tindakan apapun untuk memberikan pertolongan kepada korban. Hal ini dapat
berkaitan dengan motivasi yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Seseorang yang memiliki
motivasi untuk menolong, akan cenderung melakukan tindakan untuk memberikan pertolongan
kepada korban pada kejadian bullying, sebaliknya apabila ia tidak termotivasi untuk menolong
maka ia memiliki kemungkinan yang besar untuk tidak menolong.
Motivasi seseorang untuk menolong dapat dijelaskan menggunakan beberapa teori, yaitu teori
pertukaran sosial, teori empati, dan teori norma sosial. Teori pertukaran sosial mengatakan
bahwa interaksi sosial terjadi sesuai pertimbangan untung dan rugi yang terjadi. Perilaku
menolong dapat terjadi jika keuntungan yang diperoleh oleh penolong lebih besar dari kerugian
yang ia dapatkan (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Sementara itu, teori empati mengatakan
bahwa empati melibatkan komponen kognitif dan afektif. Komponen kognitif membuat
seseorang mampu untuk memahami apa yang orang lain rasakan dan alasannya, sedangkan
komponen afektif membuat orang dapat turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Menurut
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Baron, Branscombe, & Byrne (2009), hal-hal yang mempengaruhi motivasi seseorang untuk
menolong itu sendiri adalah empati-altruisme, mengurangi perasaan negatif (negative-state
relief), dan kesenangan empatik (emphatic joy). Kemudian, menurut teori norma sosial ada dua
bentuk norma sosial yang memotivasi seseorang untuk menolong, yaitu norma timbal-balik dan
norma tanggung jawab sosial. Norma timbal balik mengatakan bahwa seseorang termotivasi
untuk menolong orang lain yang pernah menolongnya, sedangkan norma tanggung jawab sosial
mengatakan bahwa seseorang harus menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan tanpa
mengharapkan balasan di masa depan (Myers, 1996). Teori-teori tersebut lebih menjelaskan
perilaku menolong yang disebabkan oleh faktor dari dalam diri seseorang, sementara itu faktor
situasional juga dapat mempengaruhi perilaku menolong seseorang, yaitu adanya efek
bystander, daya tarik korban, atribusi terhadap korban, dan sifat kebutuhan korban (Latane &
Darley, 1970; Baron, Byrne, & Branscombe, 2009; Weiner, 1980; Deaux, Dane, & Wrightsman,
1993).
Persepsi Kedekatan
Feldman (1999) mengatakan bahwa persepsi merupakan proses konstruktif, dimana kita
menerima informasi atau stimulus melalui panca indera, kemudian berusaha untuk memahami
informasi tersebut. Selain itu, Kreitner dan Kinicki (2005) mendefinisikan persepsi adalah
proses kognitif yang memungkinkan kita dapat menafsirkan dan memahami lingkungan sekitar
kita. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu individu yang mempersepsi,
target yang dipersepsi, dan faktor situasi.
Aron dan Mashek (2004) mendefinisikan kedekatan sebagai kedekatan emosional, dimana
seseorang merasa diakui, diperhatikan, dan dipedulikan oleh orang lain yang memiliki hubungan
dengannya. Berscheid, Snyder, dan Omoto (1989) mendefinisikan kedekatan sebagai bagian
terbesar dalam hubungan antar individu yang dapat mempengaruhi munculnya tingkah laku
tertentu. Mereka juga mengatakan bahwa kedekatan ditandai dengan adanya rasa saling
ketergantungan dan saling mempengaruhi antara individu yang terlibat didalamnya. Menurut
Paulson, Hill, & Holmbeck (1991; Burnett & Demnar, 1996) kedekatan didefinisikan sebagai
sejauh mana seseorang menyukai orang lain, menikmati waktu yang dihabiskan bersama, dan
senang mendengarkan orang lain yang dianggap penting dalam hidupnya. Kedekatan terjadi
ketika dua orang atau lebih menjalin sebuah hubungan, dimana terdapat rasa saling bergantung
dan emosi positif yang muncul pada masing-masing individu dalam jangka waktu yang cukup
lama (Kelley, 1983; Attridge, 2013). Beberapa definisi dari kedekatan menunjukkan bahwa hal
tersebut berkaitan dengan hubungan antarindividu yang memiliki ketergantungan satu sama lain.
Hubungan yang terdiri dari dua orang atau lebih, adanya ketergantungan satu sama lain, dan
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
menggunakan pola interaksi yang konsisten disebut sebagai hubungan interpersonal (Pearson,
1983). Oleh sebab itu, kedekatan yang dimaksud dalam penelitian ini juga berkaitan dengan
kedekatan secara emosional yang didapatkan melalui hubungan interpersonal yang terjadi antara
satu individu dengan individu lainnya.
Berdasarkan pengertian dari persepsi dan kedekatan yang telah dijelaskan di atas, peneliti
menyimpulkan persepsi kedekatan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat memahami
sejauh mana hubungannya dengan orang lain yang dianggap penting dalam kehidupannya dapat
menimbulkan rasa saling ketergantungan dan menimbulkan emosi positif, berdasarkan
pengalaman interaksi yang diperoleh oleh keduanya.
Pedagang Kaki Lima
Menurut Alma (2006), pedagang kaki lima (PKL) adalah orang yang melakukan usaha untuk
memperoleh penghasilan, dilakukan secara tidak tetap, memiliki kemampuan terbatas, berlokasi
di tempat-tempat publik, serta tidak memiliki izin usaha secara sah. PKL cenderung menempati
lokasi yang tidak tetap dan tersebar di trotoar dan tempat terbuka yang bersifat umum lainnya.
Pedagang kaki lima juga didefinisikan sebagai pedagang kecil yang umumnya melakukan
kegiatan usaha perdagangan atau jasa, melayani kebutuhan atas barang-barang atau makanan
yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, dilakukan secara berpindah-pindah dengan modal
yang terbatas, menggunakan peralatan yang sederhana, berlokasi di tempat-tempat umum
(khususnya trotoar dan sebagian bahu jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal (Rasyid
& Kadarisman, 2013).
Karakteristik pedagang kaki lima adalah menurut Dinas Tata Kota Kodya Bandung (2000),
yaitu:
a. Dilakukan dengan modal kecil oleh masyarakat ekonomi lemah
b. Biasanya dilakukan perseorangan atau keluarga tanpa suatu kongsi dagang
c. Berada dekat dengan jalur sirkulasi atau lokasi yang paling sibuk
d. Menggunakan tempat umum sebagai lokasi berjualan, seperti trotoar, badan jalan, dan lainlain
e. Menggunakan gerobak atau tenda sederhana yang cukup mudah untuk dipindah-pindahkan
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pedagang kaki lima
adalah orang-orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang atau jasa dengan modal
yang terbatas, berada di sekitar lokasi umum tanpa memiliki izin usaha secara legal, dan
menggunakan peralatan yang sederhana. Pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar
lingkungan sekolah merupakan orang-orang yang melakukan usaha perdagangan barang atau
jasa secara sederhana di sekeliling lingkungan sekolah.
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Metode Penelitian
Tipe dan Desain Penelitian
Berdasarkan aplikasinya, tipe penelitian yang peneliti gunakan adalah applied research karena
jika penelitian ini terbukti, peneliti ingin menggunakan hasil penelitian ini sebagai langkah
untuk menerapkan intervensi yang sesuai terhadap kasus bullying yang telah terjadi.
Berdasarkan tujuan penelitiannya, tipe penelitian ini bersifat eksplanatori karena peneliti ingin
menjelaskan pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Berdasarkan metode
pengumpulan data, tipe penelitian ini bersifat kuantitatif karena peneliti memberikan
kuantifikasi atau besaran terhadap variabel penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan repeated measures design atau disebut juga dengan
within subject design, dimana setiap partisipan langsung mendapatkan beberapa manipulasi dari
variabel bebas. Selain itu, peneliti juga melakukan kontrol dengan cara menyamakan seluruh
bentuk, bagian, dan administrasi kuesioner yang diberikan pada masing-masing partisipan.
Ditambahkan juga, peneliti melakukan kontrol dengan menyamakan karakteristik dan lokasi
partisipan yang sesuai dalam penelitian ini.
Partisipan Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah dewasa muda dan dewasa madya. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan metode quota sampling. Karakteristik partisipan yang dipilih
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Memiliki pekerjaan sebagai seorang pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sekolah,
yang melakukan kegiatan perdagangan barang, seperti makanan dan minuman.
b. Berada pada kisaran usia antara 20-40 tahun untuk dewasa muda, sementara itu dewasa
madya berada dalam kisaran usia 40-60 tahun. Dalam penelitian ini peneliti mencari
partisipan dengan batasan usia tersebut karena sesuai dengan tahap perkembangan dewasa
muda dan dewasa madya menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2008).
c. Berjualan di sekitar lokasi Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta, dimana di sekolah
tersebut sering terjadi kasus bullying antarsiswa.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan peneliti untuk memberikan manipulasi persepsi kedekatan adalah
berupa cerita bergambar. Cerita bergambar tersebut terdiri dari tiga jenis, yaitu tentang bullying
fisik, verbal, dan relasional. Konten dari masing-masing cerita tersebut menggambarkan persepsi
kedekatan antara pedagang dan siswa. Kemudian, cerita tersebut juga mengandung kasus
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
bullying yang terjadi di sekolah, dimana bystander adalah para pedagang dan siswa di sekolah.
Peneliti membuat cerita bergambar ini berdasarkan pada alat ukur dari Gini, Pozzoli, Borghi,
dan Franzoni (2008).
Sementara itu, untuk mengukur intensi menolong partisipan, peneliti menggunakan alat ukur
berupa kuesioner terdiri dari 8 item dalam bentuk Skala Likert. Alat ukur ini merupakan alat
ukur yang dimodifikasi dari Gini, Pozzoli, Borghi, dan Franzoni (2008).
Hasil Penelitian
Gambaran Partisipan
Peneliti berhasil mendapatkan 56 orang pedagang kaki lima yang bersedia menjadi partisipan
dalam penelitian ini. Berikut ini merupakan gambaran demografis dari partisipan:
Tabel 1. Statistik Deskriptif Partisipan
Kategori
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Usia
Dewasa Muda
21-30
31-40
Dewasa Madya
41-50
51-60
Pekerjaan
Pedagang Makanan
Pedagang Minuman
Pedagang Warung
Lama Berjualan
<10 tahun
10-20 tahun
20-30 tahun
>30 tahun
Pengalaman Menyaksikan
Kejadian Bullying
Ya
Tidak
N
%
39
17
69,6
30,4
28
5
23
28
17
11
50
8,9
41,1
50
30,3
19,7
38
13
5
67,8
23,3
8,9
14
30
10
2
25
53,6
17,8
3,6
10
46
17,9
82,1
Gambaran Variabel Penelitian
Berikut ini merupakan perbandingan skor rata-rata intensi menolong berdasarkan kondisi
manipulasi persepsi kedekatan:
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Tabel 2. Statistik Deskriptif Dari Setiap Kondisi Persepsi Kedekatan
Kondisi
Memiliki persepsi kedekatan
dengan korban
Memiliki persepsi kedekatan
dengan pelaku
Memiliki persepsi kedekatan
dengan korban dan pelaku
Tidak memiliki persepsi
kedekatan dengan korban dan
pelaku
N
M
Median
78,00
Nilai
Minimum
49
Nilai
Maksimum
113
56
81,43
56
SD
18,279
88,07
92,00
39
120
20,947
56
90,38
92,00
39
123
21,684
56
70,32
67,00
28
120
27,967
Hasil Utama
Teknik statistik yang peneliti gunakan untuk melihat pengaruh persepsi kedekatan dengan
korban dan pelaku bullying terhadap intensi menolong adalah menggunakan Univariate Analysis
of Variance (ANOVA).
Tabel 3. Hasil Perhitungan ANOVA
Kondisi
Memiliki persepsi
kedekatan dengan korban
Memiliki persepsi
kedekatan dengan pelaku
Memiliki persepsi
kedekatan dengan korban
dan pelaku
F
6,476
Signifikansi
0,012
Keterangan
Signifikan
15,062
0,000
Signifikan
18,723
0,000
Signifikan
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi kedekatan
dengan korban dan pelaku bullying dapat mempengaruhi intensi menolong. Berdasarkan tabel di
atas, diketahui bahwa terdapat perbedaan skor total yang signifikan dari kondisi memiliki
persepsi kedekatan dengan korban, memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku, dan memiliki
persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku dengan skor total dari kondisi tidak memiliki
persepsi kedekatan dengan pelaku dan korban. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa Ha
diterima dan H0 ditolak.
Pembahasan
Hasil utama dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan dari persepsi
kedekatan dengan korban dan pelaku bullying terhadap intensi menolong bystander pedagang
pada kasus bullying di sekolah. Temuan ini mendukung hasil penelitian Chaux (2005) yang juga
menemukan bahwa perilaku menolong individu dipengaruhi oleh kedekatannya dengan korban
bullying. Apabila bystander merasa dekat dengan koban, maka ia akan cenderung menolong.
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Adanya persepsi kedekatan yang dimiliki oleh pedagang terhadap korban dan pelaku bullying
pada siswa di sekolah, dapat memunculkan adanya rasa saling ketergantungan yang
menimbulkan emosi positif. Hal tersebut dapat menimbulkan adanya empati yang muncul dari
dalam diri pedagang terhadap korban dan pelaku bullying di sekolah. Hal ini juga sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Small dan Simonsohn (2006) yang menemukan bahwa
hubungan yang dekat dengan korban dapat meningkatkan empati yang dimiliki oleh bystander,
sehingga memutuskan untuk memberikan pertolongan terhadap korban. Hal ini juga terjadi pada
partisipan yang merupakan pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sekolah. Alasan mereka
memberikan pertolongan pada korban yang dipersepsikan dekat dengan mereka disebabkan
karena adanya perasaan sedih dan kasihan apabila melihat seorang siswa yang diperlakukan
secara tidak menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa para pedagang tersebut juga dapat
merasakan apa yang dirasakan oleh siswa yang menjadi korban bullying, sehingga mereka akan
cenderung untuk memberikan pertolongan kepada korban.
Teori pertukaran sosial merupakan salah satu teori yang membahas mengenai motivasi
seseorang untuk menolong. Teori ini mengatakan bahwa interaksi sosial terjadi berdasarkan
pertimbangan untung dan rugi. Perilaku menolong dapat muncul dari bystander apabila ia
memperoleh keuntungan yang lebih besar dari usaha yang ia keluarkan (Aronson, Wilson, &
Akert, 2007). Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa persepsi kedekatan
dapat mempengaruhi intensi menolong karena dipengaruhi oleh adanya empati bystander
terhadap korban, sehingga pemikiran mengenai pertukaran sosial tidak terjadi. Penjelasan teori
ini dapat peneliti temukan pada saat proses pengambilan data dilakukan. Pada kondisi tidak
memiliki kedekatan dengan korban maupun pelaku, beberapa orang partisipan mengatakan
bahwa mereka cenderung tidak memberikan pertolongan karena tidak ingin mengalami
kerugian, seperti ikut menjadi korban dan ikut terlibat dalam kasus tersebut. Hal ini disebabkan
karena mereka merasa tidak mengenal korban maupun pelaku sehingga tidak dapat
memperkirakan hal apa yang akan terjadi apabila ia melakukan tindakan untuk memberikan
pertolongan. Dalam hal ini, mereka lebih banyak memikirkan dampak negatif yang terjadi. Oleh
sebab itu, untuk menghindari kemungkinan kerugian yang dapat mereka alami, mereka
memutuskan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa untuk menolong. Hal ini cukup
mendukung teori pertukaran sosial, dimana jika seseorang memikirkan bahwa kerugian yang ia
terima lebih besar daripada keuntungan maka ia akan memutuskan untuk tidak memberikan
pertolongan.
Penjelasan di atas juga dapat berkaitan dengan teori norma sosial, khususnya norma timbal
balik, yang menjelaskan bahwa seseorang akan termotivasi untuk menolong orang lain yang
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
pernah menolongnya (Myers, 1996). Pada konteks pedagang dan siswa di sekolah, salah satu
bentuk hubungan timbal balik pada keduanya terjadi melalui interaksi jual beli. Melalui hal
tersebut, pedagang dapat berpendapat bahwa siswa memberikan keuntungan dengan
meningkatkan penghasilan mereka. Peningkatan penghasilan tersebut secara tidak langsung
dapat mempengaruhi kelangsungan hidup mereka. Pada manipulasi cerita bergambar yang
peneliti gunakan dalam penelitian ini, salah satu hal yang menggambarkan kedekatan antara
pedagang dan siswa adalah frekuensi seberapa banyak mereka bertemu. Hal tersebut peneliti
deskripsikan dengan konten cerita, dimana terdapat siswa yang hampir setiap hari membeli
dagangan dari pedagang tersebut, sehingga frekuensi mereka untuk bertemu dan berinteraksi
cukup banyak. Peneliti memiliki anggapan bahwa bentuk manipulasi persepsi kedekatan tersebut
juga dapat mempengaruhi intensi menolong disebabkan karena adanya hubungan timbal balik
antara pedagang dan siswa. Pada setiap kondisi memiliki persepsi kedekatan, siswa yang
menjadi korban dan pelaku bullying dideskripsikan sebagai siswa yang sering membeli
dagangan pedagang tersebut. Hal ini bisa saja mempengaruhi intensi menolong pada pedagang
disebabkan ia merasa siswa tersebut sering menolong dirinya juga, sehingga ia merasa lebih
termotivasi untuk menolong. Pada saat pengambilan data berlangsung, partisipan tidak
mengatakan secara langsung bahwa alasan mereka ingin menolong berhubungan dengan
keuntungan ekonomi yang mereka dapatkan, namun berdasarkan definisi dari pedagang kaki
lima, yaitu orang yang melakukan kegiatan perdagangan barang atau jasa untuk memperoleh
keuntungan ekonomi, maka peneliti berpendapat bahwa salah satu bentuk hubungan timbal balik
yang dapat mempengaruhi intensi menolong pada pedagang adalah melalui interaksi jual beli
yang terjadi dengan siswa.
Kemudian, hal yang juga berkaitan dengan hipotesis empati-altruisme adalah pengurangan
perasaan negatif (negative state relief) dan kesenangan empatik (emphatic joy). Ketika seseorang
merasa bahwa ia berempati terhadap orang lain, maka ia dapat memahami dan merasakan apa
yang orang lain rasakan (Baron, Branscombe, & Byrne, 2009). Ketika seorang bystander
melihat seseorang yang ia persepsi memiliki kedekatan dengan dirinya menjadi korban bullying,
maka ia akan dapat merasakan kesedihan dan kesakitan yang dialami oleh korban. Hal tersebut
dapat mempengaruhi bystander juga merasa tidak nyaman yang memunculkan perasaanperasaan negatif. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk memberikan pertolongan kepada korban
agar dapat mengurangi perasaan tidak nyaman dan negatif yang ia rasakan. Sementara itu,
kesenangan empatik muncul ketika seseorang menolong orang lain sehingga ia juga dapat
merasakan perasaan positif dari korban. Hal ini juga peneliti temukan pada pedagang kaki lima
yang menjadi partisipan. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa mereka merasa senang
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
apabila dapat memberikan bantuan kepada korban bullying, seperti membesarkan hati korban
agar tidak merasa sedih dan menghentikan kejadian bullying lalu menasihati pelaku agar ia dapat
mengurangi kesedihan yang dialami korban. Mereka juga mengatakan tujuan mereka
membesarkan hati korban agar korban merasa senang. Hal tersebut menunjukkan bahwa para
pedagang memiliki kesenangan empatik disebabkan karena mereka juga ikut merasa senang
apabila dapat menolong korban bullying.
Hasil utama penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari
memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku bullying terhadap intensi menolong. Hasil penelitian
ini sebenarnya sesuai dengan hipotesis peneliti, walaupun bertentangan dengan penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya, misalnya penelitian Chaux (2005) dan Oh (2007) yang
mengatakan bahwa apabila bystander memiliki kedekatan dengan pelaku, maka cenderung tidak
menolong korban saat menyaksikan peristiwa bullying. Penelitian sebelumnya yang dilakukan
juga banyak melibatkan bystander anak-anak dan remaja, sehingga dalam penelitian ini hasil
yang ditemukan tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya disebabkan adanya
perbedaan karakteristik individu berdasarkan tahap perkembangannya. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa intensi menolong pada partisipan menjadi lebih tinggi ketika mereka
memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku bullying dibandingkan hanya memiliki persepsi
kedekatan dengan korban. Pada saat pengambilan data berlangsung, banyak ditemukan pendapat
dari partisipan yang mengatakan bahwa apabila mereka merasa memiliki kedekatan dengan
pelaku, maka mereka menjadi lebih berkeinginan dan berani untuk melakukan tindakan yang
dapat menghentikan terjadinya kasus bullying. Mereka juga merasa dengan memiliki kedekatan
dengan pelaku tersebut akan membuat mereka menjadi lebih mudah dalam menyampaikan
nasihat disebabkan karena dengan memiliki persepsi kedekatan dengan siswa yang menjadi
pelaku bullying, mereka sudah mengetahui karakteristik siswa tersebut, sehingga mereka merasa
lebih berani dantahu cara yang tepat untuk dapat menasihatinya. Menyampaikan nasihat kepada
pelaku juga merupakan bentuk perilaku menolong yang secara tidak langsung dapat mengurangi
kejadian bullying di sekolah.
Selain itu, tindakan tersebut juga merupakan salah satu cara yang dapat menunjukkan
kepedulian dan perhatian yang diberikan oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan teori kedekatan
dari Aron & Mashek (2004) yang mengatakan bahwa kedekatan ditandai dengan adanya bentuk
kepedulian terhadap orang lain. Selain itu, Berscheid, Snyder, dan Omoto (1989) juga
mengatakan bahwa kedekatan antarindividu ditandai dengan adanya kekuatan untuk saling
mempengaruhi satu sama lain. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki persepsi kedekatan
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
dengan orang lain juga akan merasa memiliki kekuatan untuk dapat mempengaruhi tingkah laku
orang tersebut.
Berkaitan dengan hasil utama penelitian, peneliti juga menanyakan mengenai alasan bystander
untuk tidak memberikan pertolongan apabila tidak memiliki persepsi kedekatan terhadap korban
dan pelaku. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa dengan tidak memiliki kedekatan
dengan korban dan pelaku, mereka cenderung tidak memberikan pertolongan disebabkan karena
takut akan ikut menjadi korban. Selain itu, mereka juga merasa tidak memiliki tanggung jawab
untuk ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah tersebut, terutama apabila di sekitar kejadian
terdapat banyak bystander lainnya. Hal ini sesuai dengan teori dari Latane & Darley (1970) yang
mengatakan bahwa adanya rasa tanggung jawab untuk memberikan pertolongan kepada korban
akan mempengaruhi perilaku menolong seseorang. Apabila ia tidak memiliki rasa tanggung
jawab pribadi, maka akan terjadi penyebaran tanggung jawab atau biasa disebut sebagai
diffussion of responsibility. Hal ini juga terjadi pada partisipan yang mengatakan bahwa apabila
mereka tidak memiliki persepsi kedekatan dengan korban maupun pelaku, maka akan ada pihak
lain yang lebih berhak untuk menyelesaikan kasus tersebut, seperti pihak sekolah, orang tua, dan
orang lain yang lebih mengenali korban dan pelaku tersebut.
Kesimpulan
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi
kedekatan dengan korban, memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku, serta memiliki persepsi
kedekatan dengan korban dan pelaku terhadap intensi menolong bystander non siswa. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari skor total kondisi memiliki
persepsi kedekatan dengan korban, memiliki persepsi kedekatan dengan pelaku, dan kondisi
memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan pelaku dengan skor total kondisi tidak memiliki
persepsi kedekatan dengan pelaku dan korban. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari memiliki persepsi kedekatan dengan
korban, pelaku, korban dan pelaku bullying terhadap intensi menolong pada bystander pedagang
dalam kejadian bullying di sekolah.
Saran
1. Dalam penelitian ini jumlah partisipan laki-laki dan perempuan tidak seimbang, yaitu
lebih banyak laki-laki. Hal ini bisa saja berakibat pada faktor psikososial lain yang
mungkin mempengaruhi. Oleh sebab itu, untuk penelitian selanjutnya jumlah partisipan
laki-laki dan perempuan perlu disetarakan.
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
2. Seluruh pedagang yang menjadi partisipan dalam penelitian ini adalah pedagang kaki
lima yang berjualan di luar lingkungan sekolah. Untuk penelitian selanjutnya, ada
baiknya pedagang yang berjualan di dalam lingkungan sekolah juga dilibatkan dalam
penelitian guna melihat apakah ada perbedaan antara perilaku menolong pedagang yang
berjualan di dalam dan di luar lingkungan sekolah.
3. Dalam penelitian selanjutnya dapat digunakan between subject design untuk menghindari
kekurangan yang terdapat pada desain within subject.
4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memiliki persepsi kedekatan dengan korban dan
pelaku dapat mempengaruhi intensi menolong pada bystander pedagang kaki lima yang
berjualan di sekitar sekolah. Melalui hal ini, peneliti ingin memberikan saran kepada
pihak sekolah untuk tidak terlalu membatasi lingkungan internal sekolah dengan
lingkungan eksternal.
Daftar Referensi :
Alma, B. (2006). Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Bandung: Alfabeta.
Aron, P., & Mashek, D.J. (2004). Handbook of Closeness and Intimacy. Mahwah NJ: Lawrence Erlbaum
Associates.
Aronson, E., Wilson, T., & Akert, R.M. (2007). Social Psychology (6th ed.). New Jersey: Pearson Education.
Attridge, M. (2013). Jealousy and relationship closeness: Exploring the good (reactive) and bad (suspicious) sides
of romantic jealousy. SAGE Journals.
Barnett, V.J. (1999). Conscience and Complicity during the Holocaust. Westport: Greenwood Press.
Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. (2009). Social Psychology (12th ed.) New York: Pearson.
Berscheid, E., Snyder, M., & Omoto, A.M. (1989). The relationship closeness inventory: Assessing the closeness of
interpersonal relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 792-807.
Burnett, P. C. & Demnar, W. J. (1996). The relationship between closeness to significant others and self-esteem.
Journal of Family Studies, 2(2). 121-129.
Burleson, B.R., & Gilstrap, C.M. (2002). Explaining sex differences in interaction goals in support situations: Some
mediating effects of expressivity and instrumentality. Communication Reports, 15, 43-55.
Camodeca, M. & Goossens, F. A. (2005). Children’s opinions on effective strategies to cope with bullying: The
importance of bullying role and perspective. Educational Research, 47, 93-105.
Chaux, E. (2005). Role of third parties in conflicts among Colombian children and early adolescents. Aggressive
Behavior, 31, 40-55.
Coloroso, B. (2008). The Bully, the Bullied, and the Bystander. New York: Harper Collins.
Deaux, K., Dane, F.C., & Wrightsman, L.S. (1993). Social Psychology in the 90’s (6th ed.). New York: Brooks &
Cole Publishing.
Dinas Tata Kota Kodya Bandung.(2000). Penanganan Sektor Informal (PKL) dalam Kebijaksanaan Tata Ruang.
Makalah pada Diskusi Panel Pedagang Kaki Lima, ITB. Bandung.
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Eisenberg, N., & Mussen, P.H. (1989). The Roots of Prosocial Behavior in Children. Cambridge: Cambridge
University Press.
Feldman, J. (1999). The role of objects in perceptual grouping. Acta Psychologica, 102, 137-163.
Fischer, P., Greitemeyer, T., Pollozek, F., & Frey, D. (2006). The unresponsive bystander: are bystanders more
responsive in dangerous emergencies? European Journal of Social Psychology, 36, 267-278.
Fishbein, M. & Ajzen, I. (1975). Belief, attitude, intention, and behavior: An Introduction to theory and research
[Electronic
version].
MA:
Addison-Wesley.
Retrieved
from
http://www.people.umass.edu/aizen/f&a1975.html.
Gini, G., Pozzoli, T., Borghi, F., & Franzoni, L. (2008). The role of bystanders in students’perception of bullying
and sense of safety. Journal of School Psychology. 617-638.
Hurlock, E.B. (2002). Developmental Psychology: A Life Span Approach. Boston: McGraw-Hill.
Kreitner & Kinicki. (2005). Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: Sage Publications.
Laner, M.R., Benin, M.H., & Ventrone, N.A. (2001). Bystander attitudes toward victims of violence: who’s worth
helping? An Interdisciplinary Journal, 22, 23-42.
Latané, B., & Darley, J. M. (1970). The unresponsive bystander: Why doesn’t he help? New York: AppletonCentury-Crofts.
Myers, D.G. (1996). Social Psychology. New York: McGraw-Hill Companies.
Oh, I.S. (2007). Relationship of bystander personal, situational, and psychological factors to behavioral reactions to
school bullying. Thesis.
Olweus, D. (1994). Bullying at School. Oxford: Blackwell Publishing.
Olweus, D., & Limber, S. (2010). Bullying in school: Evaluation and dissemination of the Olweus bullying
prevention program. American Journal of Orthopsychiatry, 80, 124-134.
Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2007). Human development (10th ed.). New York: McGraw-Hill.
Rasyid, A., & Kadarisman, Y. (2013). Persepsi pedagang kaki lima terhadap tugas satpol PP dalam penertiban
umum (kasus pedagang kaki lima jl. HR. Soebrantas Panam) Pekanbaru, 1-15.
Rigby, K. (2003). Consequences of bullying in schools. Canadian Journal of Psychiatry, 28,583-590.
Rigby, & Thomas. (2010). How Schools Counter Bullying Policies and Procedures in Selected Australian Schools.
Camberwell: Australian Council for Educational Research Limited.
Salmivalli, C., Lagerspetz, K., Björkqvist, K., Österman, K., & Kaukiainen, A. (1996). Bullying as a group process:
Participant roles and their relations to social status within the group. Aggressive Behavior, 22, 1−15.
Salmivalli, C., & Voeten, M. (2004). Connections between attitudes, group norms, and behavior in bullying
situations. International Journal of Behavioral Development , 28, 246.
Salmivalli, C., Voeten, M., & Poskiparta, E. (2011). Bystanders matter: Associations between reinforcing,
defending, and the frequency of bullying behavior in classrooms. Journal of Clinical Child & Adolescent
Psychology, 40(5), 668-676.
Small, D. & Simonsohn, U. (2006). Friends of victim: Personal experience and social preferences. Journal of
Consumer Research, 35, 532-542.
Smith, J.D., Schneider, B.H., Smith, P.K., & Ananiadou, K. (2004). The effectiveness of whole school anti-bullying
programs: A synthesis of evaluation research. School Psychology Review, 33(4), 547-561.
Sullivan, K. (2000). The Anti-Bullying Handbook, Oxford UP: New Zealand.
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Sullivan, K., Cleary, M. & Sullivan, G. (2005). Bullying in Secondary Schools. London: SAGE Publications.
Twemlow, S.W., Sacco, F.S., & Williams, P. (1996). A clinical and interactionist perspective on the bully-victim
bystander relationship. Bulletin of The Menninger Clinic, 60, 296-313.
Twemlow, S.W., Fonagy, P., & Sacco, F.S. (2004). The role of the bystander in the social architecture of bullying
and violence in schools and communities. Youth Violence: Scientific Approaches to Prevention, 1036, 215232.
Uale, B. (2010). Teachers as bystanders: The effect of teachers perception on reporting bullying behavior. Disertasi.
Vaughan, G.M., & Hogg, M.A. (2005). Introduction to Social Psychology (4th ed.). Australia: Pearson Education
Australia.
Weiner, B. (1980). A cognitive (attribution) emotion-action model of motivated behavior: An analysis of judgments
of help-giving. Journal of Personality and Social Psychology, 39, 186-200.
Wrightsman, L.S. & Deaux K. (1981). Social Psychology In the 80’s. New York:
Publishing.
Pengaruh persepsi…, Diva Marini Octavia, FPsi UI, 2014
Brooks
&
Cole
Download