HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang diimunisasi dengan antigen E/S F. gigantica (Gambar 2 dan 3). Dari ketiga ekor ayam tersebut dua ekor diimunisasi dengan antigen E/S dari cacing yang diisolasi baik domba, dan seekor lainnya dengan antigen cacing yang berasal dari kerbau. Hal ini menunjukan bahwa ketiga ekor ayam tersebut memberikan respon terhadap antigen E/S F. gigantica yang disuntikkan dengan membentuk antibodi spesifik terhadap kedua jenis antigen. (a) (b) Gambar 2 Hasil AGPT (1); (a) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-9 (serum); (b) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal kerbau pada minggu ke-12 (kuning telur) Prinsip uji presipitasi agar (AGPT) adalah reaksi pengendapan antigen oleh antibodi spesifik. Pengendapan antigen ini diperlihatkan dengan adanya garis presipitasi pada media agar. Garis presipitasi dapat muncul bila antibodi pada serum maupun kuning telur homolog terhadap antigen yang digunakan. Gambar 2 dan 3 memperlihatkan adanya pembentukan garis presipitasi berwarna putih baik pada sampel serum maupun sampel kuning telur. Pembentukan garis presipitasi 16 diinisiasi oleh terbentuknya kompleks molekul antigen-antibodi yang saling bereaksi diikuti dengan proses agregasi serta sedimentasi kompleks tersebut. Pembentukan garis presipitasi tersebut melibatkan ion antigen divalen atau multivalen dan sangat tergantung pada proporsi antigen terhadap antibodi (Barriga 1981). Reaksi ini juga dipengaruhi oleh pH, suhu, avinitas atau kestabilan kompleks antigen-antibodi dan afinitas atau kekuatan ikatan kompleks antibodiantigen (Tizzard 2004). (a) (b) Gambar 3 Hasil AGPT (2); (a) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-10 (serum); (b) presipitasi antibodi anti E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-13 (kuning telur) Hasil AGPT asal kerbau terlebih dulu memperlihatkan adanya antibodi spesifik terhadap F. gigantica baik dalam serum maupun kuning telur. Pada ayam yang diimunisasikan dengan E/S F. gigantica asal kerbau, antibodi pada serum dan kuning telur ditemukan berturut-turut pada minggu ke-9 dan ke-10, sedangkan pada ayam yang diimunisasikan dengan antigen E/S F. gigantica asal domba antibodi pada serum dan kuning telur ditemukan berturut-turut pada minggu ke-10 dan ke-11 (Tabel 3). Perbedaan waktu terdeteksinya antibodi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi antibodi dalam serum maupun kuning telur pada saat pengujian. Pengujian keberadaan antibodi dengan uji AGPT memerlukan kosentrasi antibodi minimal sebesar 30 mg/ml (Tizzard 2004). Konsentrasi 17 antibodi saat pengujian AGPT yang kurang dari ambang batas tersebut, maka hasil uji akan memperlihatkan hasil negatif. Tabel 3 Data Hasil AGPT E/S F.gigantica terhadap serum dan kuning telur Antigen Sampel Hasil AGPT (minggu ke-) 0 1 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 E/S Fasciola Serum - - - - - - - + + + + + + gigantica asal Kuning - - - - - - - - + ++ ++ ++ + kerbau telur E/S Fasciola Serum - - - - - - - - + + + + + gigantica asal Kuning - - - - - - - - - + ++ ++ ++ domba telur Keterangan : - Tidak Terbentuk Presipitasi + Terbentuk Presipitasi ++ Penebalan Presipitasi Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa antibodi anti E/S F. gigantica asal kerbau pada serum maupun kunig telur terbentuk lebih cepat dibandingkan dengan antibodi terhadap E/S F. gigantica asal domba. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Setyaningsih (2011) yang menggunakan antigen yang sama tetapi dengan hewan coba kelinci. Perbedaan tersebut terletak pada waktu pembentukan antibodi anti E/S F. gigantica asal kerbau maupun asal domba pada serum. Berdasarkan hasil AGPT serum penelitian tersebut menyebutkan bahwa Ig G antiE/S F. gigantica asal domba terbentuk lebih cepat dibandingkan dengan antibodi terhadap E/S F. gigantica asal kerbau. Kelinci yang diimunisasi dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba sudah menunjukkan adanya pembentukkan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-4. Berbeda dengan kelinci yang disuntik antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau, antibodi yang terbentuk pada serum terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau, baru dapat dideteksi pada minggu ke 12. Sedangkan berdasarkan hasil AGPT pada penelitian ini, ayam yang diimunisasi dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba baru menunjukkan adanya pembentukkan antibodi terhadap E/S Fasciola gigantica asal domba pada minggu ke-10. Berbeda dengan ayam yang disuntik 18 antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau, antibodi yang terbentuk pada serum terhadap E/S Fasciola gigantica asal kerbau, baru dapat dideteksi pada minggu ke-9. Hal ini menujukkan bahwa perbedaan waktu untuk menimbulkan respon pembentukan antibodi pada inang (hewan yang diinjeksi imunogen) dapat bervariasi dan tergantung pada imunogenitas, bentuk, dan stabilitas stimulan, spesies hewan, rute injeksi, serta sensitivitas uji yang digunakan untuk mendeteksi antibodi pertama yang terbentuk (Hercowitz 1978). Respon induk semang terhadap imunogen yang diberikan tidak hanya ditentukan oleh sifat fisikokimia imunogen, namun juga ditentukan oleh beberapa faktor terkait induk semang, termasuk ke dalamnya yaitu genetik, umur, status nutrisi, dan efek sekunder yang diturunkan dari suatu proses penyakit (Jackson 1978). Ayam yang digunakan pada penelitian ini memiliki rataan umur, bobot badan, jenis kelamin, dosis injeksi, nutrisi, serta rute injeksi yang sama, sehingga perbedaan waktu antibodi antara semua ayam dapat disebabkan karena adanya karakter antigen protein E/S F. gigantica. Perbedaan karakter E/S F. gigantica pada inang yang berbeda dapat mempengaruhi respon pembentukan antibodi. Kedua jenis antigen tersebut merupakan protein yang berasal dari spesies cacing yang sama, namun E/S F. gigantica yang dihasilkan dapat memiliki karakter protein yang berbeda. Morfologi inang asal F. gigantica yang berbeda akan mempengaruhi profil protein E/S yang dihasilkan. Perbedaan morfologi protein E/S F. gigantica tergantung pada inang definitifnya (Ashour et al. 1999). Berdasarkan elektroforesis menggunakan SDS-PAGE, antigen E/S F. gigantica dari isolat asal kerbau memiliki 9 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 14-80 kDa (Satrija 2009), sedangkan E/S F. gigantica dari isolat asal sapi memiliki 6 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 15-42 kDa (Meshgi et al. 2008). Antigen somatik F. gigantica dan E/S F. hepatica dari isolat asal sapi memiliki jumlah pita protein yang berbeda. Antigen somatik F. hepatica memiliki 8 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 18-62 kDa, sedangkan antigen somatik F. gigantica memiliki 11 pita protein dengan berat molekul berkisar antara 18-68 kDa (Meshgi et al. 2008). Perbedaan karakter protein Fasciola disebabkan oleh spesies cacing yang sama dari inang yang 19 berbeda, spesies cacing yang berbeda dari inang yang sama ataupun karena variasi geografis (Ashour et al. 1999; Meshgi et al. 2008). Pengujian IgY yang Dimurnikan dari Kuning Telur Kuning telur yang mengandung antibodi anti E/S F. gigantica asal domba dan asal kerbau dimurnikan menggunakan kit eggstract® Ig Y (PROMEGA) media. Antibodi berupa IgY anti-F. gigantica hasil pemurnian diuji kembali dengan AGPT menggunakan antigen E/S F. gigantica. Presipitasi pada hasil AGPT menunjukkan bahwa Ig Y yang dihasilkan mampu mengikat antigen E/S F. gigantica (Gambar 4). Ig Y yang dihasilkan dari kuning telur pada penelitian ini dapat menjadi sumber bahan diagnostik untuk menguji antigen E/S Fasciola gigantica. (a) (b) Gambar 4 Hasil AGPT (3); (a) presipitasi Ig Y dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal domba pada (b) presipitasi Ig Y dengan antigen E/S Fasciola gigantica asal kerbau (Ig Y terletak ditengah) Pembentukan antibodi ayam juga dapat dipengaruhi oleh antigenitas protein E/S F. gigantica yang disuntikkan. Ciri pokok antigenitas suatu bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizzard 2004). Limitasi kimiawi suatu bahan atau senyawa yaitu ukuran molekul antigen harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia yang kompleks (Kindt et al. 2007). Struktur kimia protein E/S F. gigantica yang besar dan kompleks, akan menghasilkan antibodi yang semakin cepat. Sifat antigenik atau imunogenik E/S 20 dari cacing golongan nematoda dan trematoda berasal dari kutikula dan tegumen (Lightowlers dan Rickard 1988). Proses pembentukan Ig Y bermula dari makrofag yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) akan memfragmentasi antigen dan akan mempresentasikan antigen tersebut ke sel limfosit melalui molekul major histocompasibility complex (MHC) yang terletak di permukaan makrofag. Sel T hanya bereaksi dengan antigen asing jika antigen tersebut ditampilkan pada permukaan APC bersama-sama dengan MHC. Sel Th mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas II (MHC II) dan sel Tc mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas I (MHC I). MHC II akan membawa antigen yang disajikan oleh APC kepada sel Th. Interaksi antara sel Th dan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau interleukin. Sitokin dan interleukin berfungsi sebagai alat komunikasi antar sel. Sitokin dan interleukin akan menginduksi pematangan sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi (Wibawan et al. 2003) Netralisasi antigen terjadi apabila antigen tersebut dikenali oleh antibodi. Antibodi selalu bersifat spesifik terhadap antigen tertentu. Bagian antibodi yang berikatan dengan antigen adalah paratop, sedangkan bagian antigen yang berikatan dengan antibodi adalah epitop. Paratop antibodi 1 hanya bisa berikatan dengan epitop antigen 1, paratop antibodi 2 hanya bisa berikatan dengan epitop antigen 2. Antigen dapat memiliki lebih dari satu epitop. Tubuh akan merespon antigen tersebut dengan membentuk antibodi yang sesuai dengan epitop-epitop yang terdapat pada antigen tersebut (Wibawan et al. 2003). Pemaparan antigen yang sama yang terjadi untuk kedua kalinya akan merangsang pembentukan respon imun sekunder yang sering disebut sebagai booster. Respon imun sekunder akan menghasilkan titer antibodi yang lebih tinggi dan lebih cepat (lag phase pendek) dari respon imun primer. Hal ini disebabkan karena adanya sel B dan sel T memori dan adanya antibodi yang tersisa dari pemaparan pertama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibawan et al. (2003) bahwa pada saat paparan kedua, antigen akan dikenal oleh sel pertahanan dengan lebih efisien. Hal ini disebabkan oleh jumlah sel B dan sel T spesifik juga lebih banyak, kemungkinan 21 untuk bereaksi dengan antigen lebih besar, sehingga titer antibodi juga cepat meningkat. Limfosit-limfosit yang mengikat antigen dirangsang untuk perbanyakan diri dan berdiferensiasi, sehingga terbentuk klon limfosit yang masing-masing memiliki reseptor pada membran sel induknya. Selama proses perbanyakan berlangsung, sel berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori. Sel memori memiliki reseptor sama dengan limfosit tetuanya. Sel tersebut akan berdiferensiasi kemudian ada antigen yang mempunyai determinan antigen sama dengan reseptornya akan dihasilkan antibodi spesifik. Dengan demikian dihasilkan bermacam-macam antibodi. Ig Y yang telah dihasilkan dari pemurnian dapat dimanfaatkan sebagai bahan uji serologis. Salah satu uji tersebut adalah uji ELISA. ELISA adalah uji untuk mengukur langsung interaksi antara antigen dan antibodi sehingga termasuk dalam uji pengikatan primer seperti halnya FAT dan RIA (Tizard 2004). ELISA dapat digunakan untuk mendiagnostik pada penyakit infeksi misalnya dalam mendeteksi adanya antigen (bakteri, virus, parasit atau jamur) atau antibodi. Di uji ELISA, antibodi (IgY) dimanfaatkan sebagai pendeteksi dan pengikat suatu antigen dan antibodi yang di bantu oleh ligan dan enzim dalam suatu sumur plate ELISA. Ig Y akan di tempelkan dalam setiap sumur di plate ELISA bersama dengan antigen, enzim, konjugat dan substrat. Nantinya Ig Y tersebut akan bereaksi terhadap zat-zat tersebut. Hasil dari reaksi tersebut adalah penampakkan warna biru pada plate ELISA. Warna biru pada plate itulah nantinya yang akan di ukur di ELISA Reader untuk mendapatkan nilai absorbansi pada antigen. Nilai absorbansi inilah yang digunakan sebagai bahan analisis untuk mengetahui ada tidaknya infeksi suatu parasit pada hewan. 22