3 kerangka pemikiran

advertisement
12
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Keseimbangan Pasar
Menurut Baye (2010), pembentukan harga keseimbangan pasar ditentukan
oleh interaksi antara pemintaan dan penawaran pasar. Harga keseimbangan adalah
harga ketika jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Secara
matematis, keseimbangan pasar dapat dituliskan sebagai berikut:
Qd (Pe) = Qs (Pe)
dimana Qd adalah jumlah barang yang diminta pada tingkat harga P
Qs adalah jumlah barang yang ditawarkan pada tingkat harga P
Pe adalah harga keseimbangan
Proses terbentuknya harga keseimbangan pasar yaitu adanya interkasi kurva
permintaan dan kurva penawaran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Jika P
adalah harga barang dan Q adalah jumlah barang, maka untuk melihat bagaimana
harga ditentukan dijelaskan sebagai berikut. Misalkan harga barang adalah PL.
Pada harga ini konsumen berharap membeli Q1 unit barang (titik B). Sementara
itu, pada harga PL produsen hanya bersedia memproduksi di titik Q0 (titik A),
sehingga ketika harga PL terdapat kekurangan barang (shortage) yang berarti
barang yang ditawarkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pada
kondisi terjadinya kekurangan terdapat kecenderungan peningkatan harga. Oleh
karena terjadinya peningkatan harga dari PL ke Pe, produsen memiliki insentif
untuk meningkatkan output dari Q0 ke Qe. Jika harga meningkat konsumen akan
membeli dalam jumlah yang lebih sedikit. Ketika harga meningkat menjadi Pe,
jumlah barang yang diminta menjadi Qe. Pada harga ini, jumlah permintaan sama
dengan jumlah penawaran.
Harga
S
Surplus
PH
G
F
Pe
PL
O
A
Q0
Shortage
Qe
B
D
Q1
Kuantitas
Gambar 4 Kurva Keseimbangan Pasar
(Sumber: Baye, 2010)
13
Selanjutnya, jika harga berada pada tingkat yang lebih tinggi yaitu PH,
menunjukkan bahwa konsumen bersedia untuk membeli Q0 jumlah barang (titik
F). Namun produsen bersedia memproduksi pada Q1 unit pada tingkat harga ini
(titik G), sehingga ketika harga PH terdapat kelebihan barang (surplus) karena
perusahaan memproduksi lebih banyak dari yang dapat mereka jual. Jika terjadi
kelebihan (surplus) terdapat kecenderungan harga untuk turun. Oleh karena harga
turun dari PH ke Pe, produsen memiliki insentif untuk mengurangi jumlah yang
ditawarkan menjadi Qe. Pada kondisi harga ini konsumen bersedia untuk membeli
lebih banyak barang sehingga jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran.
Terjadinya penyesuaian harga menuju keseimbangan seperti yang telah
diuraikan, disebabkan oleh adanya perubahan pada sisi permintaan atau pada sisi
penawaran. Menurut Baye (2010), proses penyesuaian pasar menuju
keseimbangan dipengaruhi oleh beberapa kondisi yaitu: permintaan yang berubah
sedangkan penawaran tetap, penawaran yang berubah sedangkan permintaan
tetap, serta permintaan dan penawaran yang berubah secara simultan.
Volatilitas Harga
Volatilitas harga adalah suatu ukuran yang menunjukkan variasi harga dari
waktu ke waktu. Teori cobweb (sarang laba-laba) menguraikan mengenai
fenomena terjadinya volatilitas harga. Teori cobweb menjelaskan siklus harga dan
kuantitas produksi yang berfluktuasi dalam jangka waktu tertentu.
Volatilitas harga ini sering terjadi pada komoditas pertanian. Volatilitas
harga muncul akibat adanya reaksi terlambat (time lag) dari produsen terhadap
harga. Reakasi terlambat ditunjukkan oleh keputusan memproduksi suatu
komoditas pada saat ini yang dipengaruhi oleh harga pada periode sebelumnya.
Selain itu, volatilitas harga disebabkan karena karakterisitik produk pertanian
tersebut yang bersifat musiman (berfluktuasi antar musim), tidak tahan lama
(undurable goods).
Jenis-jenis model cobweb sebagaimana yang dijelaskan oleh Ghatak dan
Ingersent (1984) adalah:
1. Model cobweb dengan fluktuasi menuju titik keseimbangan (convergent
cobweb model).
Model cobweb menuju ke titik keseimbangan terjadi akibat elastisitas
penawaran lebih kecil dibandingkan elastisitas permintaan. Siklus yang terjadi
pada convergent cobweb model ditunjukkan pada Gambar 5.
14
Gambar 5 Siklus model cobweb yang menuju titik keseimbangan (konveregen)
(Sumber: Ghatak dan Ingersent, 1984)
Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa harga keseimbangan akan terjadi pada
titik harga Pe dan output akan berada pada Q0. Jika diasumsikan terjadi kekeringan
yang mengakibatkan gagal panen dan output berada di Q1. Adanya kelebihan
jumlah permintaan mengakibatkan harga meningkat ke P1. Peningkatan harga ini
menyebabkan petani meningkatkan produksi ke Q2, sehingga terjadi kelebihan
penawaran. Kelebihan penawaran ini menyebabkan harga turun ke P2. Turunnya
harga ke P2 kemudian menyebabkan penurunan penawaran ke Q3. Pada kondisi ini
kembali terjadi kelebihan permintaan yang mengakibatkan kenaikan harga.
Kondisi demikian akan berakhir ketika harga dan jumlah keseimbangan diperoleh
pada Pe dan Q0.
2. Model cobweb dengan fluktuasi menjauhi titik keseimbangan (divergent
cobweb model).
Model cobweb menjauhi titik keseimbangan terjadi akibat elastisitas
penawaran lebih besar dibandingkan elastisitas permintaan. Siklus yang terjadi
pada divergent cobweb model ditunjukkan pada Gambar 6.
Siklus harga diawali dari penawaran sebesar Q0, yaitu terjadi kekurangan
(shortage) jumlah barang yang ditawarkan. Pada kondisi ini terdapat
kecenderungan peningkatan harga. Adanya peningkatan harga tersebut
menyebabkan peningkatan penawaran dari Q0 ke Q1. Oleh karena terjadi
kelebihan penawaran, selanjutnya terjadi pengurangan harga di P1. Hal ini diikuti
dengan pengurangan yang tajam pada jumlah yang diproduksi di Q2 yang
kemudian mengakibatkan harga menjadi tinggi di P2. Harga yang tinggi kembali
mendorong peningkatan yang lebih besar pada sisi produksi sehingga terjadi lagi
kelebihan penawaran. Siklus ini akan terus berkembang menjadi semakin tidak
stabil hingga harga menjadi benar-benar nol atau produksi menjadi sangat
berlimpah atau munculnya kelangkaan terkait ketersediaan sumber daya
(elastisitas penawaran akan berubah) sehingga produksi tidak dapat terus
dilakukan.
15
Gambar 6 Siklus model cobweb yang menjauhi titik keseimbangan (diveregen)
(Sumber: Ghatak dan Ingersent, 1984)
3. Model Cobweb dangan fluktuasi yang jaraknya tetap.
Model cobweb dengan fluktuasi yang jaraknya tetap ditunjukkan pada
Gambar 7. Siklus harga diawali pada saat jumlah penawaran yang besar yaitu di
Q1. Kondisi ini menyebabkan rendahnya harga ketika bertemu dengan kurva
permintaa pada tingkat harga P1. Harga yang rendah ini kemudian bertemu dengan
kurva penawaran, yang selanjutnya mengakibatkan rendahnya penawaran di Q0.
Rendahnya penawaran ini menyebabkan harga yang tinggi di P0 ketika bertemu
dengan kurva permintaan. Tingginya harga ini selanjutnya akan meningkatkan
produksi di Q1, sehingga pada periode selanjutnya menyebabkan harga kembali
rendah di P1. Karena harga yang rendah tersebut sama dengan kondisi awal,
produksi dan harga pada periode selanjutnya terus berputar mengelilingi/
mengikuti siklus awal. Selama harga ditentukan oleh penawaran saat ini dan
penawaran ditentukan oleh harga terdahulu, fluktuasi pada harga dan produksi
akan berlanjut tanpa tercapainya keseimbangan.
Gambar 7 Siklus model cobweb dengan fluktuasi yang jaraknya tetap
(Sumber: Ghatak dan Ingersent, 1984)
16
Diantara ketiga model cobweb tersebut, hanya convergent fluctuation yang
sesuai dengan asumsi teori equilibrium. Pemusatan menuju titik keseimbangan
secara cepat hanya jika kurva penawaran memiliki elastisitas yang lebih kecil
dibandingkan kurva permintaan. Hal yang penting untuk digaris bawahi adalah
bahwa harga dan jumlah dapat berada di atas nilai keseimbangan atau kurang dari
harga keseimbangan akibat mekanisme yang ada pada teori cobweb itu sendiri.
Jika pergerakan cobweb adalah divergen, maka pasar berada pada kondisi tidak
stabil. Sebaliknya jika pergerakan harga adalah konvergen, maka pasar berada
pada kondisi stabil.
Kebijakan Pajak Ekspor
1. Dampak kebijakan pajak ekspor.
Pajak ekspor atau bea keluar merupakan pungutan resmi dari pemerintah
yang dibebankan terhadap penjualan barang dan jasa ke luar negeri. Pajak ekspor
umumnya digunakan oleh negara berkembang untuk menyediakan sumber
pendapatan (hard currency) untuk pemerintah. Pajak ekspor sering diterapkan
pada komoditi pertanian. Pelaksanaan pajak ekspor ditujukan untuk menjamin
ketersediaan suplai di pasar domestik serta menciptakan stabilitas harga. Dampak
pelaksanaan pajak ekspor terhadap harga di pasar dunia dan harga domestik (di
negara eksportir) ditampilkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Dampak kebijakan pajak ekspor
(Sumber: Tweeten, 1992)
Sebelum pelaksanaan pajak ekspor atau pada saat terjadi perdagangan
bebas, tingkat harga di pasar dunia adalah sebesar P1. Pada tingkat harga P1 ini,
jumlah permintaan di negara A adalah sebesar Q0 dan jumlah penawaran sebesar
Q1, sedangkan kelebihan penawaran domestik (excess supply) negara A sebesar
Q1-Q0 akan diekspor ke pasar dunia. Pelaksanaan kebijakan pajak ekspor
menyebabkan kurva penawaran di pasar dunia bergeser dari ES ke ESt, yang
diakibatkan oleh menurunnya jumlah ekspor negara A ke pasar dunia yaitu
menjadi Q3-Q2 (asumsi negara A adalah negara besar dalam perdagangan sehingga
perubahan jumlah ekspor dapat mempengaruhi jumlah penawaran serta harga
17
dunia). Adanya pajak ekspor tersebut akan meningkatkan biaya ekspor sehingga
mendorong produsen di negara A untuk mengurangi ekspor dan lebih memilih
untuk mengalokasikan ke pasar domestik. Kondisi tersebut berdampak pada harga
di pasar dunia yang meningkat ke P3. Adapun harga di pasar domestik turun ke P2,
sehingga pada harga ini permintaan domestik meningkat menjadi Q2 dan
penawaran domestik turun menjadi Q3.
2. Konsep hubungan pajak ekspor/bea keluar minyak sawit dengan volatilitas
harga.
Pajak ekspor/bea keluar minyak sawit adalah pungutan resmi dari
pemerintah untuk penjualan minyak sawit ke luar negeri. Hubungan bea keluar
minyak sawit dengan harga dan volatilitas harga minyak sawit itu sendiri serta
terhadap minyak goreng sebagai produk turunannya terdapat pada Gambar 9
berikut.
Gambar 9 Volatilitas harga minyak sawit setelah kebijakan bea keluar
Sebelum diberlakukannya bea keluar, harga minyak sawit berada pada
tingkat P1, sedangkan permintaan domestik minyak sawit adalah sebesar Q0 dan.
penawaran minyak sawit adalah sebesar Q1. Tingginya harga minyak sawit
tersebut akan mengakibatkan harga minyak goreng sebagai produk akhir ikut
tinggi.
Setelah kebijakan bea keluar, harga minyak sawit domestik turun dari P1 ke
P2. Penurunan harga domestik tersebut menyebabkan jumlah minyak sawit yang
diminta meningkat ke Q2, dan jumlah yang ditawarkan turun ke Q3. Walaupun
terjadi penurunan penawaran di Q3, namun pada kondisi tersebut masih tetap ada
kelebihan penawaran.
Berdasarkan teori cobweb, adanya reaksi terlambat (time lag) ketika terjadi
kelebihan penawaran menyebabkan harga turun ke P3 yang diikuti turunnya
penawaran minyak sawit ke Q4. Pada kondisi ini terjadi kelebihan permintaan
sehingga harga kembali naik ke P4. Siklus harga minyak sawit ini akan terus
berlangsung menuju keseimbangan yang mengikuti siklus convergent cobweb
model. Proses menuju harga keseimbangan inilah yang menyebabkan terjadinya
volatilitas harga minyak sawit antar waktu yang semakin kecil.
18
Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa penerapan bea keluar minyak sawit
dapat menurunkan harga dengan siklus volatilitas harga yang konvergen pada
minyak sawit. Hal ini juga akan diikuti oleh turunnya harga minyak goreng
sebagai produk turunan dari minyak sawit tersebut.
Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai
1. Dampak kebijakan pajak pertambahan nilai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung yaitu pajak tersebut disetor
oleh pihak lain (produsen) yang bukan penanggung pajak, sehingga penanggung
pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ditanggungnya.
Pelaksanaan kebijakan pajak pertambahan nilai akan berpengaruh kepada
penurunan penawaran sehingga akan menyebabkan peningkatan harga. Baye
(2010) membagi tarif pajak terbagi menjadi 2 jenis yang terdiri atas: (1) pajak per
unit (excise tax) yaitu pajak yang dikenakan sebagai beban tetap pada setiap unit
barang yang terjual, dan (2) pajak ad valorem yaitu pajak yang dikenakan
berdasarkan angka persentase tertentu dari setiap unit barang yang terjual. Pajak
per unit akan menggeser kurva penawaran keatas yang sejajar dengan kurva
penawaran semula, sedangkan pajak ad valorem tidak menggeser kurva
penawaran keatas secara sejajar, tetapi jaraknya akan semakin lebar jika semakin
jauh dari titik originalnya. Gambar 10 menunjukkan pengaruh pajak terhadap
pergeseran kurva penawaran.
Gambar 10 Pergeseran kurva penawaran dengan adanya pajak
(Sumber: Baye, 2010)
Selanjutnya, untuk melihat dampak pajak terhadap harga akan terlihat
setelah adanya interaksi kurva penawaran dan kurva permintaan. Gambar 11
menampilkan dampak pajak terhadap harga.
19
Harga
St
S0
P0 + t
P1
P0
E1
t
E0
D
O
Q1 Q0
Kuantitas
Gambar 11 Dampak penerapan kebijakan pajak
(Sumber: Lipsey et al, 1995)
Sebelum adanya pajak, keseimbangan awal adalah di E0 dengan kurva
penawaran semula digambarkan S0 dengan tingkat harga P0 dan kuantitas Q0.
Ketika diberlakukan kebijakan pajak sebesar t maka akan menggeser kurva
penawaran ke S1 yang terletak diatas kurva penawaran semula. Sesudah adanya
pajak akan terbentuk keseimbangan baru di E1 sehingga harga meningkat di P1
dan kuantitas di Q1 menyebabkan terjadinya peningkatan harga.
Lawan dari pajak adalah subsidi yang disebut juga dengan pajak negatif.
Pergeseran kurva penawaran sesudah adanya subsidi berlawanan arah dengan
pergeserannya akibat adanya pajak. Selain itu, bila pajak menyebabkan harga
meningkat, sedangkan subusidi menyebabkan harga turun.
2. Konsep hubungan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPNDTP) dengan volatilitas harga
Kebijakan PPN-DTP pada industri minyak goreng dimaksudkan untuk
mendorong harga penjualan minyak goreng pada tingkat harga yang lebih rendah.
Mekanisme pengaruh PPN-DTP industri minyak goreng terhadap harga minyak
goreng dijelaskan melalui Gambar 12.
Minyak goreng merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok bagi
masyarakat sehingga memiliki karakteristik permintaan yang bersifat inelastis.
Dampak kebijakan pajak akan mengakibatkan kurva penawaran bergeser. Kurva
penawaran minyak goreng semula pada saat pemerintah menerapkan pajak
pertambahan nilai adalah S0 dan harga adalah Pe. Pada tingkat harga Pe, jumlah
minyak goreng yang diminta adalah sebesar Qe.
Selanjutnya pemerintah menetapkan kebijakan pajak pertambahan nilai
yang ditanggung pemerintah (PPN-DTP). Dengan kata lain pemerintah
memberikan subsidi pajak pertambahan nilai kepada industri minyak goreng. Hal
ini menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kanan dari S0 ke S1 . Pada kondisi
ini terjadi kelebihan penawaran. Berdasarkan teori cobweb, reaksi terlambat (time
lag) ketika terjadi kelebihan penawaran akan menyebabkan harga turun di P1 yang
20
diikuti turunnya penawaran minyak sawit ke Q2. Pada kondisi ini terjadi kelebihan
permintaan sehingga harga kembali naik ke P2. Siklus harga minyak goreng ini
akan terus berlangsung mengikuti siklus divergent cobweb model. siklus tersebut
menyebabkan terjadinya volatilitas harga minyak goreng antar waktu yang
semakin besar.
Gambar 12 Dampak kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah
terhadap harga minyak goreng
Pemodelan Volatilitas
Volatilitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar harga
berfluktuasi dalam suatu periode waktu. Volatilitas diestimasi dengan cara
menghitung varians dan standar deviasi perubahan harga dalam jangka waktu
tertentu yang menentukan seberapa cepat data berubah dengan keacakannya.
Pemodelan data deret waktu umumnya dilakukan dengan menggunakan
asumsi homoskedastisitas atau varians residual yang konstan sepanjang waktu.
Namun asumsi homoskedastisitas tidak bisa menjawab persoalan adanya
volatilitas pada data deret waktu ekonomi dan bisnis, karena umumnya data pada
ekonomi dan bisnis mempunyai varians residual yang selalu berubah sepanjang
waktu atau heteroskedastisitas.
Model ARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity) adalah
model yang memperhitungkan adanya unsur heteroskedastisitas dalam analisis
deret waktu. Model ARCH pertama kali diperkenalkan oleh Engel pada tahun
1982. Model ARCH dipakai untuk memodelkan varians residual yang tergantung
pada kuadrat residual pada periode sebelumnya (conditional) secara autoregresif
(regresi diri sendiri).
Model ARCH terdiri dari dua komponen varians yaitu varians yang konstan
dan varians yang tergantung dari besarnya volatilitas pada periode sebelumnya.
Jika volatilitas pada periode sebelumnya besar, maka varian pada saat ini juga
akan besar. Varians tergantung dari varians pada masa lalu sehingga
heteroskedastisitas dapat dimodelkan dan varians diperbolehkan untuk berubah
antar waktu. Volatilitas yang besar di masa lalu dapat ditangkap dalam model
ARCH. Bentuk umum model ARCH(m) adalah:
ht = ξ + α0ε2t + α1ε2t-1 + α2ε t-2 +.......+ αmε2t-m
21
dimana
ht
ξ
ε2t-m
α0, α1,..., αm
= varians pada waktu ke t
= variabel yang konstan
= volatilitas pada periode sebelumnya (suku ARCH)
= koefisien orde m yang diestimasikan
Kondisi yang seringkali terjadi adalah bahwa varians saat ini tergantung dari
volatilitas beberapa periode dimasa lalau (conditional variance). Hal ini akan
menyebabkan banyaknya parameter dalam conditional variance yang harus
diestimasi. Pengestimasian parameter-parameter tetrsebut sulit dilakukan dengan
presisi yang tepat. Oleh karena itu Bollerslev pada tahun 1986 memperkenalkan
model GARCH (Generalized Autoregressive Conditional Heteroschedasticity)
yang merupakan pengembangan model ARCH.
Model GARCH dikembangkan dengan mengintegrasikan autoregresi dari
kuadrat residual lag kedua hingga lag tak hingga ke dalam bentuk varian pada lag
pertama. Model ini dikembangkan sebagai generalisasi dari model volatilitas.
Volatilitas berdasarkan model GARCH(r,m) mengasumsikan bahwa varians dari
data fluktuasi dipengaruhi sejumlah m data fluktuasi sebelumnya dan sejumlah r
data volatilitas sebelumnya. Bentuk umum model GARCH(r,m) adalah:
ht = k + δ1ht-1 + δ2ht-2 + ...+ δrht-r + α1ε2t-1 + α2ε2 t-2 +.......+ αmε2t-m
dimana:
= varians pada waktu ke t
ht
k
= varian yang konstan
ε2t-m
= volatilitas pada periode sebelumnya (suku ARCH)
ht-r
= varian pada periode sebelumnya (suku GARCH)
= koefisien orde m yang diestimasikan
α1, α2,..., αm
= koefisien order r yang diestimasikan
δ1, δ2,... δr
Pada model GARCH, varians terdiri dari tiga komponen. Komponen
pertama adalah varians yang konstan, komponen kedua adalah volatilitas pada
periode sebelumnya (suku ARCH), dan komponen ketiga adalah varians pada
periode sebelumnya (suku GARCH).
Kerangka Pemikiran Operasional
Sistem agribisnis berbasis sawit menfokuskan pada penciptaan dan
peningkatan nilai tambah terhadap komoditas tersebut. Proses penciptaan dan
peningkatan nilai tambah melalui suatu proses tertentu yang melibatkan
koordinasi dan keterhubungan antar komoditas hulu dan hilir. Dalam hal ini,
minyak sawit merupakan bahan baku (input) utama dalam menciptakan produk
hilir bernilai tambah yaitu minyak goreng. Keterkaitan kedua komoditas hulu dan
hilir ini tidak saja terkait secara fungsi dari masing-masing produk, tetapi juga
terkait dari segi harga. Jika harga minyak sawit sebagai bahan baku meningkat,
akan berdampak pada harga produk minyak goreng.
Harga minyak sawit di dalam negeri yang semakin tak menentu dalam
beberapa tahun terakhir. Harga minyak sawit yang relatif rendah dan stabil tidak
bisa dipertahankan karena terjadinya krisis ekonomi global memasuki akhir tahun
22
2007. Kondisi ini memicu adanya ketidakstabilan harga minyak sawit. Jika harga
minyak sawit tidak stabil, maka diduga akan berdampak juga bagi ketidapastian
harga minyak goreng yang akan membawa dampak pada pengambilan keputusan
berbagai pihak baik produsen maupun konsumen.
Oleh sebab itu, pemerintah berupaya untuk menciptakan harga minyak sawit
maupun harga minyak goreng yang stabil karena peran strategis dari kedua produk
tersebut. Pemerintah menggunakan berbagai kebijakan untuk menciptakan harga
yang stabil tesebut. Kebijakan yang dikeluarkan antara penetapan bea keluar/pajak
ekspor untuk minyak sawit secara progresif mengikuti harga minyak sawit
internasional dan kebijakan pembebasan pajak pertambahan nilai atau pajak
pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP).
Pelaksanaan kebijakan bea keluar/pajak ekspor akan berkaitan dengan
ketersediaan bahan baku minyak sawit bagi produksi dalam negeri. Jika ekspor
minyak sawit dikenakan pajak, maka ekspor akan cenderung turun sehingga suplai
bahan baku didalam negeri meningkat. Hal ini akan berpengaruh langsung kepada
harga minyak sawit di pasar domestik. Jika suplai meningkat maka harga bahan
baku akan turun dan diduga harga minyak goreng juga akan turun.
Selanjutnya, kebijakan PPN-DTP untuk industri minyak goreng diduga akan
mendorong perkembangan industri minyak goreng dalam negeri. Berkembangnya
indusri minyak goreng akan menciptakan pasar yang lebih bersaing, sehingga
akan berpengaruh pada tingkat harga minyak goreng.
Peran dari kebijakan-kebijakan tersebut dapat mempengaruhi stabilitas
harga. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana dampak kebijakan tersebut
terhadap volatilitas dan stabilisasi harga minyak sawit dan minyak goreng di
Indonesia. Alur kerangka pemikiran operasional digambarkan pada Gambar 13
berikut.
Kebijakan Pemeritah:
Kebijakann Bea Keluar Minyak Sawit
Kebijakan PPN-DTP Minyak Goreng
Harga Minyak Sawit
Harga Minyak Goreng
Volatilitas Harga Minyak Sawit
dan Minyak Goreng
Stabilisasi Harga
Gambar 13 Kerangka pemikiran operasional penelitian
Download