12 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Keseimbangan Pasar Menurut Baye (2010), pembentukan harga keseimbangan pasar ditentukan oleh interaksi antara pemintaan dan penawaran pasar. Harga keseimbangan adalah harga ketika jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan. Secara matematis, keseimbangan pasar dapat dituliskan sebagai berikut: Qd (Pe) = Qs (Pe) dimana Qd adalah jumlah barang yang diminta pada tingkat harga P Qs adalah jumlah barang yang ditawarkan pada tingkat harga P Pe adalah harga keseimbangan Proses terbentuknya harga keseimbangan pasar yaitu adanya interkasi kurva permintaan dan kurva penawaran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Jika P adalah harga barang dan Q adalah jumlah barang, maka untuk melihat bagaimana harga ditentukan dijelaskan sebagai berikut. Misalkan harga barang adalah PL. Pada harga ini konsumen berharap membeli Q1 unit barang (titik B). Sementara itu, pada harga PL produsen hanya bersedia memproduksi di titik Q0 (titik A), sehingga ketika harga PL terdapat kekurangan barang (shortage) yang berarti barang yang ditawarkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Pada kondisi terjadinya kekurangan terdapat kecenderungan peningkatan harga. Oleh karena terjadinya peningkatan harga dari PL ke Pe, produsen memiliki insentif untuk meningkatkan output dari Q0 ke Qe. Jika harga meningkat konsumen akan membeli dalam jumlah yang lebih sedikit. Ketika harga meningkat menjadi Pe, jumlah barang yang diminta menjadi Qe. Pada harga ini, jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran. Harga S Surplus PH G F Pe PL O A Q0 Shortage Qe B D Q1 Kuantitas Gambar 4 Kurva Keseimbangan Pasar (Sumber: Baye, 2010) 13 Selanjutnya, jika harga berada pada tingkat yang lebih tinggi yaitu PH, menunjukkan bahwa konsumen bersedia untuk membeli Q0 jumlah barang (titik F). Namun produsen bersedia memproduksi pada Q1 unit pada tingkat harga ini (titik G), sehingga ketika harga PH terdapat kelebihan barang (surplus) karena perusahaan memproduksi lebih banyak dari yang dapat mereka jual. Jika terjadi kelebihan (surplus) terdapat kecenderungan harga untuk turun. Oleh karena harga turun dari PH ke Pe, produsen memiliki insentif untuk mengurangi jumlah yang ditawarkan menjadi Qe. Pada kondisi harga ini konsumen bersedia untuk membeli lebih banyak barang sehingga jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran. Terjadinya penyesuaian harga menuju keseimbangan seperti yang telah diuraikan, disebabkan oleh adanya perubahan pada sisi permintaan atau pada sisi penawaran. Menurut Baye (2010), proses penyesuaian pasar menuju keseimbangan dipengaruhi oleh beberapa kondisi yaitu: permintaan yang berubah sedangkan penawaran tetap, penawaran yang berubah sedangkan permintaan tetap, serta permintaan dan penawaran yang berubah secara simultan. Volatilitas Harga Volatilitas harga adalah suatu ukuran yang menunjukkan variasi harga dari waktu ke waktu. Teori cobweb (sarang laba-laba) menguraikan mengenai fenomena terjadinya volatilitas harga. Teori cobweb menjelaskan siklus harga dan kuantitas produksi yang berfluktuasi dalam jangka waktu tertentu. Volatilitas harga ini sering terjadi pada komoditas pertanian. Volatilitas harga muncul akibat adanya reaksi terlambat (time lag) dari produsen terhadap harga. Reakasi terlambat ditunjukkan oleh keputusan memproduksi suatu komoditas pada saat ini yang dipengaruhi oleh harga pada periode sebelumnya. Selain itu, volatilitas harga disebabkan karena karakterisitik produk pertanian tersebut yang bersifat musiman (berfluktuasi antar musim), tidak tahan lama (undurable goods). Jenis-jenis model cobweb sebagaimana yang dijelaskan oleh Ghatak dan Ingersent (1984) adalah: 1. Model cobweb dengan fluktuasi menuju titik keseimbangan (convergent cobweb model). Model cobweb menuju ke titik keseimbangan terjadi akibat elastisitas penawaran lebih kecil dibandingkan elastisitas permintaan. Siklus yang terjadi pada convergent cobweb model ditunjukkan pada Gambar 5. 14 Gambar 5 Siklus model cobweb yang menuju titik keseimbangan (konveregen) (Sumber: Ghatak dan Ingersent, 1984) Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa harga keseimbangan akan terjadi pada titik harga Pe dan output akan berada pada Q0. Jika diasumsikan terjadi kekeringan yang mengakibatkan gagal panen dan output berada di Q1. Adanya kelebihan jumlah permintaan mengakibatkan harga meningkat ke P1. Peningkatan harga ini menyebabkan petani meningkatkan produksi ke Q2, sehingga terjadi kelebihan penawaran. Kelebihan penawaran ini menyebabkan harga turun ke P2. Turunnya harga ke P2 kemudian menyebabkan penurunan penawaran ke Q3. Pada kondisi ini kembali terjadi kelebihan permintaan yang mengakibatkan kenaikan harga. Kondisi demikian akan berakhir ketika harga dan jumlah keseimbangan diperoleh pada Pe dan Q0. 2. Model cobweb dengan fluktuasi menjauhi titik keseimbangan (divergent cobweb model). Model cobweb menjauhi titik keseimbangan terjadi akibat elastisitas penawaran lebih besar dibandingkan elastisitas permintaan. Siklus yang terjadi pada divergent cobweb model ditunjukkan pada Gambar 6. Siklus harga diawali dari penawaran sebesar Q0, yaitu terjadi kekurangan (shortage) jumlah barang yang ditawarkan. Pada kondisi ini terdapat kecenderungan peningkatan harga. Adanya peningkatan harga tersebut menyebabkan peningkatan penawaran dari Q0 ke Q1. Oleh karena terjadi kelebihan penawaran, selanjutnya terjadi pengurangan harga di P1. Hal ini diikuti dengan pengurangan yang tajam pada jumlah yang diproduksi di Q2 yang kemudian mengakibatkan harga menjadi tinggi di P2. Harga yang tinggi kembali mendorong peningkatan yang lebih besar pada sisi produksi sehingga terjadi lagi kelebihan penawaran. Siklus ini akan terus berkembang menjadi semakin tidak stabil hingga harga menjadi benar-benar nol atau produksi menjadi sangat berlimpah atau munculnya kelangkaan terkait ketersediaan sumber daya (elastisitas penawaran akan berubah) sehingga produksi tidak dapat terus dilakukan. 15 Gambar 6 Siklus model cobweb yang menjauhi titik keseimbangan (diveregen) (Sumber: Ghatak dan Ingersent, 1984) 3. Model Cobweb dangan fluktuasi yang jaraknya tetap. Model cobweb dengan fluktuasi yang jaraknya tetap ditunjukkan pada Gambar 7. Siklus harga diawali pada saat jumlah penawaran yang besar yaitu di Q1. Kondisi ini menyebabkan rendahnya harga ketika bertemu dengan kurva permintaa pada tingkat harga P1. Harga yang rendah ini kemudian bertemu dengan kurva penawaran, yang selanjutnya mengakibatkan rendahnya penawaran di Q0. Rendahnya penawaran ini menyebabkan harga yang tinggi di P0 ketika bertemu dengan kurva permintaan. Tingginya harga ini selanjutnya akan meningkatkan produksi di Q1, sehingga pada periode selanjutnya menyebabkan harga kembali rendah di P1. Karena harga yang rendah tersebut sama dengan kondisi awal, produksi dan harga pada periode selanjutnya terus berputar mengelilingi/ mengikuti siklus awal. Selama harga ditentukan oleh penawaran saat ini dan penawaran ditentukan oleh harga terdahulu, fluktuasi pada harga dan produksi akan berlanjut tanpa tercapainya keseimbangan. Gambar 7 Siklus model cobweb dengan fluktuasi yang jaraknya tetap (Sumber: Ghatak dan Ingersent, 1984) 16 Diantara ketiga model cobweb tersebut, hanya convergent fluctuation yang sesuai dengan asumsi teori equilibrium. Pemusatan menuju titik keseimbangan secara cepat hanya jika kurva penawaran memiliki elastisitas yang lebih kecil dibandingkan kurva permintaan. Hal yang penting untuk digaris bawahi adalah bahwa harga dan jumlah dapat berada di atas nilai keseimbangan atau kurang dari harga keseimbangan akibat mekanisme yang ada pada teori cobweb itu sendiri. Jika pergerakan cobweb adalah divergen, maka pasar berada pada kondisi tidak stabil. Sebaliknya jika pergerakan harga adalah konvergen, maka pasar berada pada kondisi stabil. Kebijakan Pajak Ekspor 1. Dampak kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor atau bea keluar merupakan pungutan resmi dari pemerintah yang dibebankan terhadap penjualan barang dan jasa ke luar negeri. Pajak ekspor umumnya digunakan oleh negara berkembang untuk menyediakan sumber pendapatan (hard currency) untuk pemerintah. Pajak ekspor sering diterapkan pada komoditi pertanian. Pelaksanaan pajak ekspor ditujukan untuk menjamin ketersediaan suplai di pasar domestik serta menciptakan stabilitas harga. Dampak pelaksanaan pajak ekspor terhadap harga di pasar dunia dan harga domestik (di negara eksportir) ditampilkan pada Gambar 8. Gambar 8 Dampak kebijakan pajak ekspor (Sumber: Tweeten, 1992) Sebelum pelaksanaan pajak ekspor atau pada saat terjadi perdagangan bebas, tingkat harga di pasar dunia adalah sebesar P1. Pada tingkat harga P1 ini, jumlah permintaan di negara A adalah sebesar Q0 dan jumlah penawaran sebesar Q1, sedangkan kelebihan penawaran domestik (excess supply) negara A sebesar Q1-Q0 akan diekspor ke pasar dunia. Pelaksanaan kebijakan pajak ekspor menyebabkan kurva penawaran di pasar dunia bergeser dari ES ke ESt, yang diakibatkan oleh menurunnya jumlah ekspor negara A ke pasar dunia yaitu menjadi Q3-Q2 (asumsi negara A adalah negara besar dalam perdagangan sehingga perubahan jumlah ekspor dapat mempengaruhi jumlah penawaran serta harga 17 dunia). Adanya pajak ekspor tersebut akan meningkatkan biaya ekspor sehingga mendorong produsen di negara A untuk mengurangi ekspor dan lebih memilih untuk mengalokasikan ke pasar domestik. Kondisi tersebut berdampak pada harga di pasar dunia yang meningkat ke P3. Adapun harga di pasar domestik turun ke P2, sehingga pada harga ini permintaan domestik meningkat menjadi Q2 dan penawaran domestik turun menjadi Q3. 2. Konsep hubungan pajak ekspor/bea keluar minyak sawit dengan volatilitas harga. Pajak ekspor/bea keluar minyak sawit adalah pungutan resmi dari pemerintah untuk penjualan minyak sawit ke luar negeri. Hubungan bea keluar minyak sawit dengan harga dan volatilitas harga minyak sawit itu sendiri serta terhadap minyak goreng sebagai produk turunannya terdapat pada Gambar 9 berikut. Gambar 9 Volatilitas harga minyak sawit setelah kebijakan bea keluar Sebelum diberlakukannya bea keluar, harga minyak sawit berada pada tingkat P1, sedangkan permintaan domestik minyak sawit adalah sebesar Q0 dan. penawaran minyak sawit adalah sebesar Q1. Tingginya harga minyak sawit tersebut akan mengakibatkan harga minyak goreng sebagai produk akhir ikut tinggi. Setelah kebijakan bea keluar, harga minyak sawit domestik turun dari P1 ke P2. Penurunan harga domestik tersebut menyebabkan jumlah minyak sawit yang diminta meningkat ke Q2, dan jumlah yang ditawarkan turun ke Q3. Walaupun terjadi penurunan penawaran di Q3, namun pada kondisi tersebut masih tetap ada kelebihan penawaran. Berdasarkan teori cobweb, adanya reaksi terlambat (time lag) ketika terjadi kelebihan penawaran menyebabkan harga turun ke P3 yang diikuti turunnya penawaran minyak sawit ke Q4. Pada kondisi ini terjadi kelebihan permintaan sehingga harga kembali naik ke P4. Siklus harga minyak sawit ini akan terus berlangsung menuju keseimbangan yang mengikuti siklus convergent cobweb model. Proses menuju harga keseimbangan inilah yang menyebabkan terjadinya volatilitas harga minyak sawit antar waktu yang semakin kecil. 18 Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa penerapan bea keluar minyak sawit dapat menurunkan harga dengan siklus volatilitas harga yang konvergen pada minyak sawit. Hal ini juga akan diikuti oleh turunnya harga minyak goreng sebagai produk turunan dari minyak sawit tersebut. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai 1. Dampak kebijakan pajak pertambahan nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung yaitu pajak tersebut disetor oleh pihak lain (produsen) yang bukan penanggung pajak, sehingga penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ditanggungnya. Pelaksanaan kebijakan pajak pertambahan nilai akan berpengaruh kepada penurunan penawaran sehingga akan menyebabkan peningkatan harga. Baye (2010) membagi tarif pajak terbagi menjadi 2 jenis yang terdiri atas: (1) pajak per unit (excise tax) yaitu pajak yang dikenakan sebagai beban tetap pada setiap unit barang yang terjual, dan (2) pajak ad valorem yaitu pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari setiap unit barang yang terjual. Pajak per unit akan menggeser kurva penawaran keatas yang sejajar dengan kurva penawaran semula, sedangkan pajak ad valorem tidak menggeser kurva penawaran keatas secara sejajar, tetapi jaraknya akan semakin lebar jika semakin jauh dari titik originalnya. Gambar 10 menunjukkan pengaruh pajak terhadap pergeseran kurva penawaran. Gambar 10 Pergeseran kurva penawaran dengan adanya pajak (Sumber: Baye, 2010) Selanjutnya, untuk melihat dampak pajak terhadap harga akan terlihat setelah adanya interaksi kurva penawaran dan kurva permintaan. Gambar 11 menampilkan dampak pajak terhadap harga. 19 Harga St S0 P0 + t P1 P0 E1 t E0 D O Q1 Q0 Kuantitas Gambar 11 Dampak penerapan kebijakan pajak (Sumber: Lipsey et al, 1995) Sebelum adanya pajak, keseimbangan awal adalah di E0 dengan kurva penawaran semula digambarkan S0 dengan tingkat harga P0 dan kuantitas Q0. Ketika diberlakukan kebijakan pajak sebesar t maka akan menggeser kurva penawaran ke S1 yang terletak diatas kurva penawaran semula. Sesudah adanya pajak akan terbentuk keseimbangan baru di E1 sehingga harga meningkat di P1 dan kuantitas di Q1 menyebabkan terjadinya peningkatan harga. Lawan dari pajak adalah subsidi yang disebut juga dengan pajak negatif. Pergeseran kurva penawaran sesudah adanya subsidi berlawanan arah dengan pergeserannya akibat adanya pajak. Selain itu, bila pajak menyebabkan harga meningkat, sedangkan subusidi menyebabkan harga turun. 2. Konsep hubungan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPNDTP) dengan volatilitas harga Kebijakan PPN-DTP pada industri minyak goreng dimaksudkan untuk mendorong harga penjualan minyak goreng pada tingkat harga yang lebih rendah. Mekanisme pengaruh PPN-DTP industri minyak goreng terhadap harga minyak goreng dijelaskan melalui Gambar 12. Minyak goreng merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat sehingga memiliki karakteristik permintaan yang bersifat inelastis. Dampak kebijakan pajak akan mengakibatkan kurva penawaran bergeser. Kurva penawaran minyak goreng semula pada saat pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai adalah S0 dan harga adalah Pe. Pada tingkat harga Pe, jumlah minyak goreng yang diminta adalah sebesar Qe. Selanjutnya pemerintah menetapkan kebijakan pajak pertambahan nilai yang ditanggung pemerintah (PPN-DTP). Dengan kata lain pemerintah memberikan subsidi pajak pertambahan nilai kepada industri minyak goreng. Hal ini menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kanan dari S0 ke S1 . Pada kondisi ini terjadi kelebihan penawaran. Berdasarkan teori cobweb, reaksi terlambat (time lag) ketika terjadi kelebihan penawaran akan menyebabkan harga turun di P1 yang 20 diikuti turunnya penawaran minyak sawit ke Q2. Pada kondisi ini terjadi kelebihan permintaan sehingga harga kembali naik ke P2. Siklus harga minyak goreng ini akan terus berlangsung mengikuti siklus divergent cobweb model. siklus tersebut menyebabkan terjadinya volatilitas harga minyak goreng antar waktu yang semakin besar. Gambar 12 Dampak kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah terhadap harga minyak goreng Pemodelan Volatilitas Volatilitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar harga berfluktuasi dalam suatu periode waktu. Volatilitas diestimasi dengan cara menghitung varians dan standar deviasi perubahan harga dalam jangka waktu tertentu yang menentukan seberapa cepat data berubah dengan keacakannya. Pemodelan data deret waktu umumnya dilakukan dengan menggunakan asumsi homoskedastisitas atau varians residual yang konstan sepanjang waktu. Namun asumsi homoskedastisitas tidak bisa menjawab persoalan adanya volatilitas pada data deret waktu ekonomi dan bisnis, karena umumnya data pada ekonomi dan bisnis mempunyai varians residual yang selalu berubah sepanjang waktu atau heteroskedastisitas. Model ARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity) adalah model yang memperhitungkan adanya unsur heteroskedastisitas dalam analisis deret waktu. Model ARCH pertama kali diperkenalkan oleh Engel pada tahun 1982. Model ARCH dipakai untuk memodelkan varians residual yang tergantung pada kuadrat residual pada periode sebelumnya (conditional) secara autoregresif (regresi diri sendiri). Model ARCH terdiri dari dua komponen varians yaitu varians yang konstan dan varians yang tergantung dari besarnya volatilitas pada periode sebelumnya. Jika volatilitas pada periode sebelumnya besar, maka varian pada saat ini juga akan besar. Varians tergantung dari varians pada masa lalu sehingga heteroskedastisitas dapat dimodelkan dan varians diperbolehkan untuk berubah antar waktu. Volatilitas yang besar di masa lalu dapat ditangkap dalam model ARCH. Bentuk umum model ARCH(m) adalah: ht = ξ + α0ε2t + α1ε2t-1 + α2ε t-2 +.......+ αmε2t-m 21 dimana ht ξ ε2t-m α0, α1,..., αm = varians pada waktu ke t = variabel yang konstan = volatilitas pada periode sebelumnya (suku ARCH) = koefisien orde m yang diestimasikan Kondisi yang seringkali terjadi adalah bahwa varians saat ini tergantung dari volatilitas beberapa periode dimasa lalau (conditional variance). Hal ini akan menyebabkan banyaknya parameter dalam conditional variance yang harus diestimasi. Pengestimasian parameter-parameter tetrsebut sulit dilakukan dengan presisi yang tepat. Oleh karena itu Bollerslev pada tahun 1986 memperkenalkan model GARCH (Generalized Autoregressive Conditional Heteroschedasticity) yang merupakan pengembangan model ARCH. Model GARCH dikembangkan dengan mengintegrasikan autoregresi dari kuadrat residual lag kedua hingga lag tak hingga ke dalam bentuk varian pada lag pertama. Model ini dikembangkan sebagai generalisasi dari model volatilitas. Volatilitas berdasarkan model GARCH(r,m) mengasumsikan bahwa varians dari data fluktuasi dipengaruhi sejumlah m data fluktuasi sebelumnya dan sejumlah r data volatilitas sebelumnya. Bentuk umum model GARCH(r,m) adalah: ht = k + δ1ht-1 + δ2ht-2 + ...+ δrht-r + α1ε2t-1 + α2ε2 t-2 +.......+ αmε2t-m dimana: = varians pada waktu ke t ht k = varian yang konstan ε2t-m = volatilitas pada periode sebelumnya (suku ARCH) ht-r = varian pada periode sebelumnya (suku GARCH) = koefisien orde m yang diestimasikan α1, α2,..., αm = koefisien order r yang diestimasikan δ1, δ2,... δr Pada model GARCH, varians terdiri dari tiga komponen. Komponen pertama adalah varians yang konstan, komponen kedua adalah volatilitas pada periode sebelumnya (suku ARCH), dan komponen ketiga adalah varians pada periode sebelumnya (suku GARCH). Kerangka Pemikiran Operasional Sistem agribisnis berbasis sawit menfokuskan pada penciptaan dan peningkatan nilai tambah terhadap komoditas tersebut. Proses penciptaan dan peningkatan nilai tambah melalui suatu proses tertentu yang melibatkan koordinasi dan keterhubungan antar komoditas hulu dan hilir. Dalam hal ini, minyak sawit merupakan bahan baku (input) utama dalam menciptakan produk hilir bernilai tambah yaitu minyak goreng. Keterkaitan kedua komoditas hulu dan hilir ini tidak saja terkait secara fungsi dari masing-masing produk, tetapi juga terkait dari segi harga. Jika harga minyak sawit sebagai bahan baku meningkat, akan berdampak pada harga produk minyak goreng. Harga minyak sawit di dalam negeri yang semakin tak menentu dalam beberapa tahun terakhir. Harga minyak sawit yang relatif rendah dan stabil tidak bisa dipertahankan karena terjadinya krisis ekonomi global memasuki akhir tahun 22 2007. Kondisi ini memicu adanya ketidakstabilan harga minyak sawit. Jika harga minyak sawit tidak stabil, maka diduga akan berdampak juga bagi ketidapastian harga minyak goreng yang akan membawa dampak pada pengambilan keputusan berbagai pihak baik produsen maupun konsumen. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya untuk menciptakan harga minyak sawit maupun harga minyak goreng yang stabil karena peran strategis dari kedua produk tersebut. Pemerintah menggunakan berbagai kebijakan untuk menciptakan harga yang stabil tesebut. Kebijakan yang dikeluarkan antara penetapan bea keluar/pajak ekspor untuk minyak sawit secara progresif mengikuti harga minyak sawit internasional dan kebijakan pembebasan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN-DTP). Pelaksanaan kebijakan bea keluar/pajak ekspor akan berkaitan dengan ketersediaan bahan baku minyak sawit bagi produksi dalam negeri. Jika ekspor minyak sawit dikenakan pajak, maka ekspor akan cenderung turun sehingga suplai bahan baku didalam negeri meningkat. Hal ini akan berpengaruh langsung kepada harga minyak sawit di pasar domestik. Jika suplai meningkat maka harga bahan baku akan turun dan diduga harga minyak goreng juga akan turun. Selanjutnya, kebijakan PPN-DTP untuk industri minyak goreng diduga akan mendorong perkembangan industri minyak goreng dalam negeri. Berkembangnya indusri minyak goreng akan menciptakan pasar yang lebih bersaing, sehingga akan berpengaruh pada tingkat harga minyak goreng. Peran dari kebijakan-kebijakan tersebut dapat mempengaruhi stabilitas harga. Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap volatilitas dan stabilisasi harga minyak sawit dan minyak goreng di Indonesia. Alur kerangka pemikiran operasional digambarkan pada Gambar 13 berikut. Kebijakan Pemeritah: Kebijakann Bea Keluar Minyak Sawit Kebijakan PPN-DTP Minyak Goreng Harga Minyak Sawit Harga Minyak Goreng Volatilitas Harga Minyak Sawit dan Minyak Goreng Stabilisasi Harga Gambar 13 Kerangka pemikiran operasional penelitian