BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (buruk) dan peptein
(pencernaan). Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun
1980-an, yang menggambar keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang
terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrum, mual, muntah,
kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas
yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau
didasari oleh berbagai penyakit, termasuk juga didalamnya penyakit yang
mengenai
lambung
atau
yang
dikenal
sebagai
penyakit
maag
(Djojodiningrat, 2006)
2.2. Klasifikasi Dispepsia
Pengelompokan mayor dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis,
stomach cancer, Gastro-Esophageal reflux disease, hiperacidity.
2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non
ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa
disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan
klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran
pencernaan) (Mansjoer, 2000).
7
Jenis-jenis dispepsia organik yaitu
a. Tukak Pada Saluran Cerna Atas
Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada
mukosa, submukosa dan lapisan muskularis, pada distal esophagus,
lambung dan duodenum. Keluhan yang sering terjadi adalah nyeri
epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau
tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum
terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung. Nyeri
dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau setelah minum
antasida. Gejala lain seperti mual, muntah, kembung, bersendawa dan
kurang nafsu makan (Hadi S, 2002).
b. Gastritis
Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada lapisan mukosa dan
submukosa lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang
mengiritasi mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam lambung yang
berlebihan. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri epigastrum,
nafsu makan menurun dan kadang terjadi perdarahan (Sutanto, 2007).
c. Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)
Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang
menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke
kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas terbakar di
dada (hearthburn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa
panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan. Belum ada tes standar
untuk mendiagnosa GERD, kejadiannya diperkirakan dari gejala-gejala
penyakit lain atau dari ditemukannya radang pada esofagus seperti
esofagitis (Berdanier, 2008).
d. Karsinoma
Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas,
kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri di
8
perut, bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang
menyebabkan berat badan turun (Hadi S, 2002).
e. Pankreatitis
Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri hebat di
epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti ditusuktusuk dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian menjalar
ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan terasa tegang
beberapa jam kemudian. Perut yang tegang menyebabkan mual dan
kadang-kadang muntah.
Rasa nyeri di perut bagian atas juga terjadi pada penderita
pankreatitis kronik. Nyeri yang timbul seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke
punggung, mual dan muntah hilang dan timbul. Pada pankreatitis kronik
tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan disertai tanda-tanda diabetes
melitus atau keluhan steatorrrhoe (Hadi, 2002).
f.
Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan proses
absorbsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi. Penderita
ini mengalami keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus,
kembung dan timbulnya diare berlendir (Sudoyo, 2009).
g. Gangguan Metabolisme
Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang
hebat sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang,
mual dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu ketidakmampuan lambung
untuk mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila makanan berbentuk padat
tertahan di lambung. Gangguan metabolik lain seperti hipertiroid yang
menimbulkan nyeri perut dan vomitus (Hadi, 2002).
h. Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori
Penemuan bakteri ini dilakukan oleh dua dokter peraih Nobel dari
Australia, Barry Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya
bakteri yang bisa hidup dalam lambung manusia. Penemuan ini mengubah
cara pandang ahli dalam mengobati penyakit lambung. Penemuan ini
9
membuktikan bahwa infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori
pada lambung dapat menyebabkan peradangan mukosa lambung yang
disebut gastritis. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak
bahkan dapat menjadi kanker (Rani, 2007).
Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi pada kondisi perut
bagian atas seperti rasa tidak nyaman, mual, muntah, rasa penuh setelah
makan yang menunjukkan perubahan sensitivitas syaraf di sekeliling abdomen
dan kontraksi otot yang tidak terkoordinasi di dalam perut. Penyebab ini
secara umum tidak sama walaupun beberapa kasus berhubungan dengan
stress, kecemasan, infeksi, obat-obatan dan ada beberapa berhubungan dengan
IBS (irritable bowel syndrome)(Desai, 2012).
Kriteria Rome III menetapkan dispepsia fungsional dibagi menjadi 2
kelompok yaitu
1. Postprandial distress syndrom
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
b. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan
porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.
Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah adanya rasa kembung
di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang
berlebihan dan dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrum.
2. Epigastric pain syndrome
Gejala yang dirasakan pada tahap ini yaitu
a. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrum
dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali
dalam seminggu
b. Nyeri timbul berulang
c. Tidak menjalar atau terlokalisai di daerah perut atau dada selain daerah
perut bagian atas/epigastrum
10
d. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
e. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfinger oddi.
Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah
a. Nyeri epigastrum dapat berupa rasa terbakar, tetapi tanpa
menjalar ke daerah retrosternal
b. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan,
tetapi mungkin timbul saat puasa
c. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distress setelah
makan (Abdulah dan Gunawan, 2012).
2.3. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak
jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan
stress, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong,
kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat
gesekan antara dinding-dinding lambung. Kondisi demikian dapat
mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam lambung, sehingga rangsangan di medula oblongata
membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan
maupun cairan (Anonim, 2010).
Lambung mempunyai fungsi yaitu fungsi motorik dan fungsi
pencernaan dan sekresi. Fungsi motorik lambung dibagi menjadi
a. Fungsi menampung
Menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi
sedikit dicerna dan bergerak pada saluran cerna. Menyesuaikan
peningkatan volume tanpa menambah tekanan dengan relaksasi reseptif
otot polos diperantarai oleh nervus vagus dan dirangsang oleh gastrin.
b. Fungsi mencampur
11
Memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan
mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang
mengelilingi lambung. Kontraksi peristaltik diatur oleh suatu irama
listrik intrinsik dasar.
c. Fungsi pengosongan lambung
Diatur oleh pembukaan sfinger pilorus yang dipengaruhi oleh
viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik, keadaan fisik, serta
oleh emosi, obat-obatan dan olah raga. Pengosongan lambung diatur
oleh faktor saraf dan hormonal seperti kolesistokinin.
Fungsi pencernaan dan sekresi antara lain
a. Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL, pencernaan karbohidrat dan
lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil peranannya.
b. Sintesa dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan,
peregangan antrum, alkalinisasi antrum dan rangsangan vagus.
c. Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus
halus bagian distal
d. Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi lambung serta
berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut
e. Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, berperan sebagai
barier dari asam lumen dan pepsin (Price dan Wilson, 2006)
Asam klorida (HCL) di dalam lambung mempunyai fungsi sebagai berikut
a. Menggiatkan enzim-enzim pepsinogen yang dihasilkan getah lambung
menjadi pepsin yang berfungsi memecah protein menjadi pepton
b. Sebagai desinfektan atau pembunuh kuman (bibit penyakit) yang masuk
lambung.
c. Membantu dalam membuka dan menutup klep yang terdapat diantara
pilorus dan duodenum.
d. Merangsang pengeluaran (sekresi) getah usus.
12
Getah lambung yang dimaksud diatas (gastric juice) sekresinya
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor psikis dan hormonal.
a. Faktor psikis
Faktor ini sama dengan yang mempengaruhi kerja glandula saliva
(kelenjar ludah) yaitu reflek pikir, melihat atau mencium makanan yang dapat
merangsang keluarnya getah lambung.
b. Faktor hormonal
Ada dua tahapan yaitu
1. Tahapan gastrium, berdasarkan pada timbulnya rangsangan setelah
makanan masuk ke lambung, hormon gastrin terproduksi yang berfungsi
merangsang keluarnya getah lambung.
2. Tahapan intestinal berdasarkan timbulnya rangsangan chyme memasuki
mukosa duodenal akan mengeluarkan sekresi hormon ini berfungsi
merangsang keluarnya getah pankreatik dan empedu. Bila terdapat lemak
dalam makanan yang masuk ke usus maka akan keluar hormon
enterogaster yang berfungsi menghambat keluarnya cairan lambung
(HCL). Selain untuk dapat menghambat berlangsungnya motilitas Gastro
Intestinal Tract dengan demikian makanan yang telah tercerna akan
tertahan lebih lama dalam lambung dan usus (Kartasapoetra dan Marsetyo,
2005).
Gejala yang ditimbulkan oleh dispepsia antara lain berupa mual, muntah,
anoreksia
dan
diare.
Mual
merupakan
sensasi
subjektif
yang
tidak
menyenangkan dan sering mendahului muntah. Terjadinya muntah diawali
dengan berjalannya impuls-impuls aferen ke pusat muntah sebagai aferen vagus
dan simpatis. Impuls aferen ini berasal dari lambung atau duodenum yang
muncul sebagai respon terhadap stimulasi kimiawi oleh emetik (bahan penyebab
muntah). Apabila refleks muntah terjadi pada pusat muntah, terjadi melalui
aktifitas beberapa syaraf kranialis ke wajah dan kerongkongan serta neuron
motorik spinalis ke otot abdomen dan diaframa. Gejala-gejala yang dapat terjadi
sebelum muntah adalah mual, takikardi dan berkeringat (Corwin, 2009).
13
2.4. Faktor-faktor yang Menyebabkan Dispepsia
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang
bersifat organik dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara lain
karena terjadinya gangguan di saluran cerna atau di sekitar saluran cerna,
seperti pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan penyakit yang
bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor intoleran
terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Abdulah dan Gunawan,
2012).
Faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia adalah :
1. Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan
bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas).
2. Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah
(mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara).
3. Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat
lambung terasa penuh atau bersendawa terus.
4. Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya
dispepsia, seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi.
Minuman jenis ini dapat mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.
5. Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs
(NSAID) misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven (Rani, 2007).
6. Pola makan
Di pagi hari kebutuhan kalori seseorang cukup banyak sehingga bila
tidak sarapan, lambung akan lebih banyak memproduksi asam. Tuntutan
pekerjaan yang tinggi, padatnya lalu lintas, jarak tempuh rumah dan
kantor yang jauh dan persaingan yang tinggi sering menjadi alasan para
profesional untuk menunda makan (Rani, 2007).
14
1. Faktor stres
Faktor stres erat kaitannya dengan reaksi tubuh yang merugikan
kesehatan. Pada waktu stres akan menyebabkan otak mengaktifkan
sistem hormon untuk memicu sekresinya. Proses ini memicu terjadinya
penyakit psychosomatik dengan gejala dispepsia seperti mual, muntah,
diare, pusing, nyeri otot dan sendi (Irawan, 2007).
2.5. Pola Konsumsi Makan
Pola konsumsi makan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor,
diantaranya : sosial, ekonomi lingkungan budaya seperti kebiasaan,
kepercayaan, tahayul, adat, yang akan jumlah gizi yang akan menentukan
keadaan gizi seseorang. Kebutuhan seseorang akan jumlah gizi yang
berkualitas tergantung pada usia, jenis kelamin dan jenis kegiatan seharihari (Irianto dan Waluyo, 2007).
Kebutuhan gizi pada usia dewasa berubah sesuai kelompok usia
tersebut. Usia dewasa dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 19-29 tahun, 3049 tahun dan 50-64 tahun. Usia 19-49 tahun disebut dewasa muda,
sedangkan usia 50-64 tahun disebut dewasa setengah tua. Memilih makanan
secara bijak selama usia dewasa, dapat menunjang kemampuan seseorang
dalam menjaga kesehatan fisik, emosional, mental dan mencegah penyakit.
Contoh gaya hidup sehat adalah mengonsumsi makanan seimbang, minum
air putih, berolahraga secara teratur, tidak merokok, cukup tidur,
bersosialisasi, selalu optimis dan belajar seumur hidup(life long learning)
(Soetardjo S., 2011).
Pertumbuhan yang pesat, perubahan psikologis yang dramatis serta
peningkatan aktivitas yang menjadi karakteristik pada usia produktif,
menyebabkan peningkatan kebutuhan zat gizi. Terpenuhi atau tidak
kebutuhan zat gizi akan mempengaruhi status gizi (Irianto dan Waluyo,
2007).
15
Pada penelitian The HEROES-DIP Brazil dengan 850 sampel pekerja,
usia kejadian dispepsia antara 18-82 tahun dengan 70 % adalah usia diatas
40 tahun dan banyak terjadi pada kelompok wanita (73,9%). Lebih lanjut
dikatakan mereka yang mempunyai gaya hidup seperti merokok, konsumsi
alkohol, peminum kopi mempunyai prevalensi yang lebih tinggi (Sanders,
2011).
Kebiasaan hidup yang dianjurkan pada dispepsia adalah pola makan
yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan
dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengonsumsi makanan
yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol dan pantang rokok, bila minum
obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara
wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung (Anonim, 2010).
2.6. Makanan yang Mengakibatkan Dispepsia
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai
dalam praktis sehari-hari. Kebiasaan makan memiliki peran terhadap faktor
resiko timbulnya dispepsia (Priantika, 2013)
Kebiasaan yang menyebabkan dispepsia adalah merokok, konsumsi
kafein (kopi), alkohol, atau minuman berkarbonasi. Kelompok yang sensitif
atau alergi terhadap bahan makanan tertentu, bila mengonsumsi makanan
jenis tersebut bisa menyebabkan gangguan pada saluran cerna (Abdullah
dan Gunawan, 2012).
Pola konsumsi makan yang menyebabkan dispepsia adalah
a. Frekuensi makan
Menurut Susanti dkk. (2011) kejadian dispepsia dipengaruhi oleh
keteraturan dan frekuensi makan. Orang yang memiliki pola makan yang
tidak teratur mudah terserang dispepsia. Frekuensi makan merupakan
faktor yang berhubungan dengan pengisian dan pengosongan lambung.
16
Menurut Oktaviani (2009) kasus gastritis (dispepsia) diawali
dengan pola makan yang tidak teratur sehingga asam lambung
meningkat, produksi HCl yang berlebihan dapat menyebabkan gesekan
pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul nyeri epigastrum.
Keadaan ini secara perlahan menimbulkan perdarahan. Perut yang
kosong atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan mencerna lapisan
mukosa lambung, berakibat rasa nyeri.
b. Makan makanan berisiko
Makanan yang berisiko yang dimaksud adalah makanan yang
terbukti ada pengaruhnya terhadap dispepsia yaitu makanan pedas,
makanan asam, makanan bergaram tinggi. Frekuensi makan makanan
berisiko berhubungan signifikan dengan kejadian dispepsia. Semakin
sering mengkonsumsi makanan tersebut semakin berisiko terkena
dispepsia (Anggita, 2012).
Konsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang
sistem pencernaan, terutama lambung dan usus yang berkontraksi.
Keadaan ini menimbulkan rasa panas dan nyeri ulu hati yang disertai
mual dan muntah (Oktaviani, 2009). Bila kebiasaan mengkonsumsi lebih
dari satu kali dalam seminggu selama minimal enam bulan dibiarkan
berlangsung lama dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang disebut
gastritis. Selain itu, bubuk cabai atau chilli powder dapat menyebabkan
kehilangan sel epitel pada lapisan mukosa (Berdanier, 2008).
Makanan dengan rasa asin yang berlebihan baik dalam segi rasa
maupun frekuensi terbukti signinifikan dalam kasus pra kanker lambung.
Peningkatan makanan asin dan makanan yang diasap secara berkaitan
terbukti
signifikan
dalam
perkembangan
kanker
lambung.
Mengkonsumsi makanan asin dapat meningkatkan risiko terinfeksi
bakteri H. Pylori yaitu bakteri penyebab gastritis (Corwin, 2009).
17
Makanan yang berminyak dan berlemak juga dapat menimbulkan
gejala dispepsia. Makanan ini berada di lambung lebih lama dari jenis
makanan lainnya. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan
tekanan di lambung. Proses pencernaan ini membuat katup antara
lambung
dan
kerongkongan
(Lower
Esophageal
Sphincter/LES)
melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan
(Berdanier, 2008).
Makanan asam termasuk makanan yang berisiko
penyebab
dispepsia. Makanan asam dapat memperlambat pengosongan lambung.
Sebelum masuk duodenum, kimus yang bersifat asam akan dinetralisir
oleh Natrium Bikarbonat (NaHCO3). Bila proses belum selesai, kimus
asam akan berada di dalam lambung, sehingga akan mengiritasi lapisan
mukosa lambung dan menimbulkan serangan gastritis.
Diet rendah serat dianjurkan untuk mengurangi keluhan perut
kembung. Tetapi serat yang tidak larut dalam air dapat menyebabkan
kembung tanpa adanya peningkatan jumlah gas. Kembung ini disebabkan
oleh melambatnya aliran gas ke usus kecil akibat serat (Mansjoer, 2000).
Diit tinggi serat dan gas tidak dianjurkan dalam gangguan lambung.
Makanan yang mengandung serat tinggi dan gas seperti : daun singkong,
kacang panjang, kol, lobak, sawi, asparagus, jambu biji, nanas,
kedondong, durian, nangka (Almatsier, 2005).
c. Minum minuman berisiko
Menurut Yunita (2010), frekuensi minum minuman iritatif seperti
kopi, bersoda(soft drink) dan alkohol berpengaruh signifikan terhadap
kejadian dispepsia. Beberapa jenis minuman atau zat tertentu yang
terkandung pada minuman ternyata memiliki hubungan terhadap kejadian
dispepsia.
Zat yang terkandung dalam kopi adalah kafein yang merupakan zat
sekrettagogue. Zat ini merupakan salah satu penyebab antrum mukosa
lambung menyekresikan hormon gastrin. Kafein dapat menstimulasi
18
produksi pepsin yang bersifat asam yang menyebabkan iritasi dan erosi
mukosa lambung. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung
mempunyai efek sekresi getah lambung yang sangat asam dari fundus
lambung (Ganong, 2008).
Minuman bersoda merupakan minuman mengandung gas. Gas
yang berlebihan dalam lambung dapat memperberat kerja lambung.
Minuman bersoda atau berkarbonasi akan melenturkan katup LES
(Lower Esophangeal Sphincter) yaitu katup antara lambung dan
tenggorokan sehingga menyebabkan reflux atau berbaliknya asam
lambung ke kerongkongan. Oleh karena itu orang memiliki gangguan
pencernaan
dianjurkan
tidak
mengkonsumsinya.
Disamping
itu,
minuman bersoda juga memiliki pH antara 3-4 yang berarti bersifat asam
sehingga akan meningkatkan dampak buruk bagi lambung (Berdanier,
2008).
Minum susu terlalu banyak tidak dianjurkan bila ada gejala
intoleransi laktosa. Lactose intolerance disebabkan oleh kurangnya
enzim lactase yang dibutuhkan tubuh untuk mencerna laktosa (gula
susu). Laktosa yang tidak tercerna akan bertahan di usus dan mengalami
fermentasi sehingga dapat menimbulkan rasa kembung (Berdanier,
2008).
d. Waktu makan
Hasil penelitian oleh Anisa (2009) jeda antara jadwal makan yang
lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan sindroma dispepsia.
Pada penelitian ini juga ditemukan perbedaan antara pola makan dan
pengaruhnya terhadap gejala gastrointestinal pada remaja putri.
Penyebab asam lambung tinggi diantaranya adalah aktivitas padat
sehingga terlambat makan. Secara alami lambung akan memproduksi
asam lambung setiap saat dalam jumlah kecil. Setelah 4-6 jam sesudah
makan kadar glukosa dalam darah telah banyak diserap dan terpakai
sehingga tubuh akan merasakan lapar dan saat itu jumlah asam akan
meningkat (Ganong, 2008).
19
Pembagian waktu makan yang baik dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Pembagian Waktu Makan
Waktu
Jam Makan
Makan pagi
Pukul 07.00
Snack pagi
Pukul 10.00
Makan siang
Pukul 13.00
Snack sore
Pukul 16.00
Makan malam
Pukul 19.00
Sumber : Penuntun Diet Tahun 2005
2.7. Manajemen Diet Penderita Dispepsia
Diit pada penyakit dispepsia diberikan untuk penyakit yang
berhubungan dengan saluran cerna. Gangguan pada saluran cerna umumnya
berupa sindroma dispepsia yaitu kumpulan gejala yang terdiri dari mual,
muntah, nyeri epigastrum, kembung, nafsu makan berkurang dan rasa cepat
kenyang.
Tujuan diet adalah untuk memberikan makanan dan cairan
secukupnya yang tidak memberatkan lambung serta mencegah dan
menetralkan sekresi asam lambung yang berlebihan.
Syarat diet penyakit dispepsia (diet lambung) adalah :
a. Mudah cerna, porsi kecil dan sering diberikan
b. Energi
dan
protein
cukup,
sesuai
kemampuan
pasien
untuk
menerimanya
c. Lemak
rendah, yaitu 10-15 % dari kebutuhan energi total yang
ditingkatkan secara bertahap hingga sesuai kebutuhan
d. Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara
bertahap
e. Cairan cukup, terutama bila ada muntah
20
f. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara
termis, mekanis, maupun kimia (disesuaikan dengan daya terima
perorangan)
g. Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa, umumnya tidak
dianjurkan minum susu terlalu banyak.
h. Makan secara perlahan di lingkungan yang tenang.
i. Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja 24-48 jam untuk
memberi istirahat pada lambung (Almatsier, 2004).
2.8.
Hubungan Kebiasaan Makan, Jadwal Makan, Makanan
Minuman Berisiko dengan Kekambuhan Dispepsia
Frekuensi kekambuhan dispepsia adalah terjadinya kembali serangan
dispepsia dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama biasanya kekambuhan
lebih dari 2 kali sama dengan diagnosa pasti dispepsia dari kunjungan
pertama sampai kunjungan berikutnya. Kekambuhan sendiri adalah
kembalinya
suatu
penyakit
setelah
nampak
mereda.
Kekambuhan
menunjukkan kembalinya gejala-gejala penyakit sebelumnya cukup parah dan
mengganggu aktifitas sehari-hari dan memerlukan rawat inap dan rawat jalan
yang tidak terjadwal. Penyebab kekambuhan yaitu tidak teratur minum obat,
dosis obat tidak sesuai, tidak ada dukungan keluarga dan adanya masalah
yang tidak teratasi (Dorland, 2002).
Penyebab kambuhnya dispepsia dapat dipicu pola konsumsi makan,
diantaranya konsumsi alkohol yang terlalu banyak, rokok, kafein, kopi/teh,
minuman berkarbonasi, makanan berbumbu tajam, makanan tinggi garam,
berlemak dan berminyak (Berdanier, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Septy Priantika (2013)
pada mahasiswa Fakultas kedokteran dan Ilmu kesehatan Universitas Jambi
membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan makan dengan
sindroma dispepsia (p<0,005). Sebanyak 62,65 % mahasiswa memiliki
kebiasaan makan
21
buruk, sebanyak 49,4% mahasiswa mengalami positif dispepsia dan jenis
gejala yang paling banyak dialami yaitu keluhan cepat kenyang dengan
jumlah 30,1 %.
Hasil penelitian Susilawati (2013) membuktikan terdapat hubungan
positif antara pola makan yang tidak teratur dengan kejadian sindroma
dispepsia siswa Madrasah Aliyah Manado. Kesimpulan dari hasil penelitian
yaitu frekuensi makan pada remaja adalah makan 2 kali dalam sehari, jenis
makanan yang paling banyak dikonsumsi adalah makanan pedas, dan gejala
yang paling banyak dikeluhkan adalah nyeri epigastrum.
2.9.Kerangka Teori
Pola konsumsi makan
Faktor psikologi (stres)
Faktor intoleran : obat dan
jenis makanan tertentu
(alkohol, kafein)
Penyakit gangguan
pencernaan : gastritis,
ulkus peptikum, stomach
cancer, gastro-esophangeal
reflux disease, hiperacidity
dll
DISPEPSIA
22
2.10. Kerangka Konsep
Variabel bebas
Variabel terikat
Kebiasaan Makan
Frekuensi kekambuhan
dispepsia
Jadwal Makan
Makanan Minuman
Berisiko
Variabel pengganggu
Kepatuhan minum obat
Tingkat keparahan penyakit
Variabel penelitian
Variabel yang diteliti
2.11.Hipotesa
1.
Ada hubungan antara kebiasaan makan dengan frekuensi kekambuhan
dispepsia di poli rawat jalan RSUD Kabupaten Kudus.
2. Ada hubungan antara jadwal makan dengan frekuensi kekambuhan
dispepsia di poli rawat jalan RSUD Kabupaten Kudus.
3. Ada hubungan antara makanan minuman berisiko dengan frekuensi
kekambuhan dispepsia di poli rawat jalan RSUD Kabupaten Kudus.
23
Download