strategi mendiagnosis dispepsia

advertisement
LAPORAN KHUSUS
STRATEGI MENDIAGNOSIS DISPEPSIA
Kalbe Academia Highlight
I
stilah dispepsia berasal dari kata Yunani,
yang berarti “bad digestion”, atau
sekumpulan gejala rasa nyeri atau rasa tidak
nyaman pada daerah epigastrum.Dispepsia
disebabkan oleh berbagai faktor. Pada kasus
dispepsia karena kadar asam lambung yang
tinggi, seperti GERD (gastroesophageal reflux
disease), terapi PPI (proton pump inhibitor)
mampu menurunkan asam lambung.
Dikatakan dr. Ari F Syam, Sp.PD-KGEH dari
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pada
KALBE ACADEMIA yang berlangsung di
Lombok Plaza, Lombok, 22 Februari 2014,
hampir 30% pasien yang datang ke dokter
umum dan 60% pasien yang datang ke
klinik gastroenterologi memiliki keluhan
utama berupa dispepsia. Di Amerika, angka
kejadiannya mencapai 26%. Sementara di
Inggris, angka kejadiannya mencapai 41%.
Penelitian pada penduduk Jakarta sendiri
memperlihatkan angka kejadian sebesar
60%.
Gejala-gejala yang menyertai dispepsia meliputi rasa tidak nyaman atau sakit di sekitar
ulu hati, mual, muntah, kembung, atau perut
terasa penuh dan cepat merasa kenyang,
sering sendawa, dan anoreksia. Pada kasuskasus tertentu, dispepsia bisa disertai dengan
heartburn dan regurgitasi. Namun, sebelum
melangkah lebih jauh, harus dipastikan bahwa
gejala-gejala tersebut bukan kolik bilier,
dan bukan karena sakit jantung. “Pastikan
juga bahwa nyeri bisa berkurang dengan
pemberian antasida,” tutur dr. Ari.
Ada dua jenis dispepsia, lanjut dr. Ari, yaitu
dispepsia fungsional dan dispepsia organik.
Disebut dispepsia fungsional jika saat
dilakukan endoskopi tidak ditemukan kelainan
pada organ pencernaan. Dikatakan dispepsia
organik jika ditemukan adanya kelainan saat
dilakukan endoskopi. Sebuah penelitian oleh
Prof. dr. Aziz Rani, Sp.PD-KGEH tahun 2001
mengungkap bahwa 15% kasus dispepsia
tak-terinvestigasi memiliki kelainan organik
saat dilakukan endoskopi.
CDK-215/ vol. 41 no. 4, th. 2014
Pendekatan diagnostik dispepsia memerlukan
waktu dan biaya. Karena itu, penderita
harus diberi pendekatan yang tepat, untuk
mengetahui apakah mereka memerlukan
pemeriksaan lebih jauh atau bisa segera diberi
pengobatan. Ada empat faktor yang menjadi
pertimbangan, yaitu usia, bentuk gejala, status
H. pylori, dan riwayat penggunaan NSAID.
Jika melihat usia, kelainan organik lebih
sering terjadi pada orang tua. Usia ambang
yang digunakan adalah 45 tahun. Penelitian
Prof. Aziz memperlihatkan bahwa kasus
ulkus duodenum dan ulkus lambung lebih
banyak terjadi pada orang berusia lebih tua.
Publikasi lainnya oleh Wahyuni dan kawankawan tahun 2006 memperlihatkan bahwa
dari 859 pasien berusia 45 tahun ke bawah,
20,6% mengalami kelainan organik dan 77,2%
mengalami gangguan fungsional. Sementara
itu, dari 1.315 pasien berusia di atas 45 tahun,
43,5% mengalami kelainan organik dan 52,8%
mengalami kelainan fungsional.
Infeksi H. pylori
Infeksi H. pylori merupakan salah satu
penyebab ulkus dan adenokarsinoma
pada antrum dan korpus lambung. Sebuah
penelitian oleh Uemira dan kawan-kawan
memperlihatkan bahwa dari 1.246 pasien
yang terinfeksi H. pylori, 36 pasien mengalami
kanker. Sebaliknya, pada pasien yang tidak
terinfeksi, tidak satu pun yang mengalami
kanker. Secara invasif, pemeriksaan untuk
menentukan ada tidaknya infeksi bisa dilakukan dengan pemeriksaan histopatologis,
rapid urea test, dan kultur kuman. Pemeriksaan
noninvasif dilakukan dengan urea breath test,
H. pylori stool test, dan tes urin.
Bentuk gejala
Ada beberapa gejala yang bisa dianggap
alarm symptoms. Gejala tersebut antara lain
penurunan berat badan yang mencolok,
perdarahan saluran cerna, disfagia, muntah
terus-menerus, dan anemia tanpa sebab jelas.
Jika terdapat gejala-gejala ini, dibutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut karena boleh jadi
terdapat kelainan organik.
Riwayat penggunaan NSAID
Riwayat penggunaan NSAID juga perlu diperhatikan karena NSAID dapat mencetuskan
terjadinya ulkus pada lambung.
GERD
Gastroesophageal reflux disease (GERD)
merupakan salah satu kondisi yang menyebabkan gejala-gejala dispepsia. Kondisi
ini berkembang ketika refluks asam lambung
menimbulkan gejala dan atau komplikasi
yang mengganggu. Gejala utamanya berupa
rasa seperti terbakar di dada (heartburn) dan
regurgitasi, seperti mulut terasa pahit dan
terasa ada sesuatu yang berbalik arah dari
esofagus ke rongga mulut.
Manifestasi GERD bisa terjadi pada saluran
cerna atau di luar saluran cerna, misalnya
asma. Dalam sebuah meta-analisis, 72%
pasien asma mengalami gejala refluks
dan 70% memiliki keasaman esofageal
yang abnormal. Selain itu, 39% pasien
asma mengalami erosi esofagus dan 13%
mengalami Barret’s esophagus.
Penatalaksanaan
GERD
bertujuan
memperbaiki gejala dan mencegah
komplikasi. Modifikasi gaya hidup, mencakup berhenti merokok dan mengonsumsi
alkohol, menurunkan berat badan, diet
rendah lemak, serta menghindari makanan
yang mengandung cokelat dan keju, juga
makanan dan minuman yang merangsang
pengeluaran asam lambung, seperti kopi
dan minuman bersoda.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk
menekan
produksi
asam
lambung,
dengan pendekatan step down. Ada
beberapa obat PPI (proton pump inhibitor)
di pasaran, yaitu omeprazol, lansoprazol,
pantoprazol, rabeprazol, dan esomeprazol.
Mempertahankan
pH
>4
penting
dalam penatalaksanaan GERD karena
penelitian memperlihatkan bahwa lama
mempertahankan pH di atas 4 berbanding
lurus dengan angka kesembuhan pasien
GERD. (LVO)
313
Download