KELIMPAHAN KASIH KARUNIA DALAM TUGAS PEMURIDAN (1) Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Matius 16:24) Baru saja kita memperingati HUT-GMIF yang ke-15 pada bulan Juni yang lalu. Kita patut bersyukur kepada Tuhan yang sudah membangun dan menjaga GMI selama 15 tahun ini. Semua ini hanya karena kasih karunia-Nya. Karena jikalau bukan Tuhan yang membangun gereja-Nya, maka sia-sialah usaha kita yang membangunnya (Mazmur 127:1). Peringatan hari lahirnya Gereja Misi Indonesia di Frankfurt pada bulan Juni yang lalu mengangkat tema “To be a House of Grace” (Menjadi Rumah Kasih Karunia). Melalui pemberitaan Firman Tuhan yang disampaikan oleh Bp. Pdt. Drs. Christofel Estefanus M.D., M.Si sebagai wakil dari sinode GMI/GUPdI, beliau telah mendorong kita masing-masing untuk memelihara kasih karunia Allah dan menjadi distributor dari kasih karunia Allah itu untuk dibagikan kepada orang yang belum merasakan nikmatnya kasih karunia Tuhan itu. Bila setiap anggota jemaat dalam sebuah gereja lokal bersedia untuk tetap hidup dalam kasih karunia-Nya, maka gereja-Nya dapat menjadi rumah kasih karunia bagi banyak orang yang juga rindu untuk menikmati kasih karunia-Nya yang berkelimpahan itu. Dan kelimpahan kasih karunia-Nya ini sangat dibutuhkan oleh setiap gereja-Nya untuk menjalankan tugas pemuridan bagi segala bangsa. Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya tentang rahasia mengikut Yesus yang dapat menghasilkan terobosan rohani yang sesungguhnya. “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” Yesus mengatakan ini bukan sekedar teori, melainkan berdasarkan pengalaman-Nya sendiri secara pribadi dalam tugas pemuridan yang dilakukan-Nya demi perluasan KerajaanNya. Rupanya jati diri seorang murid Kristus yang sejati lebih dari sekedar hanya mengikut Yesus. Dalam kenyataan yang sesungguhnya masih cukup banyak orang Kristen yang karena alasan-alasan tertentu dalam hidupnya memang kelihatannya menunjukkan minat yang besar untuk mengikut Yesus, tetapi sebenarnya mereka tidak bersedia untuk menyangkal diri, apalagi untuk memikul salibnya. Inilah masalah paling besar untuk menjadi seorang murid Kristus yang sejati. Menyangkal diri dalam konteks iman Kristiani sama artinya dengan bersedia menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:5-8). Untuk apa Dia lakukan semua ini? Tentu jawabannya yang pasti adalah demi untuk keselamatan manusia yang mau sungguh-sungguh percaya kepadaNya. Dan Dia bersedia mengosongkan diri-Nya sedemikian rupa, dan mau mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan kita manusia, untuk menunjukkan dan membuktikan kepada kita semua, bahwa permasalahan dan pergumulan terberat apapun yang harus dihadapi oleh orang benar dalam kehidupan ini, bahkan sampai harus dibayar dengan kematian yang begitu mengerikan, semua itu tetap akan bisa dihadapi tanpa harus mengkompromikan iman kepercayaan kita. Dan ini semua hanya dapat terjadi apabila kita hidup dalam kasih karunia-Nya yang melimpah. Itulah yang menjadi kekuatan bagi rasul Paulus ketika dia harus menerima kenyataan yang ada atas dirinya. Kepadanya Tuhan berkata: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9). Mari, kita renungkan bersama dalam bulan Juli-Agustus 2008 ini, bagaimana kita dapat memanfaatkan kasih karunia-Nya yang begitu luar biasa itu dalam menghadapi setiap pergumulan yang harus kita hadapi sebagai murid-murid Kristus yang sejati tanpa kompromi. Tuhan memberkati! “Amin! Oleh: Pastor Silwanus Obadja (Gembala Jemaat GMI)