Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015 LEGALITAS AKAD SYARIAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008, TENTANG PERBANKAN SYARIAH TAHUN 1945 Femmy Silaswaty Faried (Mahasiswa S2 Program MKN FH UNS) Email : [email protected] Pranoto (Dosen Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret) Abstract The legality of the contract is an absolute thing in an agreement which was then poured into a contract. Contract as one of the means of proof made before a Notary as the competent authority in accordance with the laws and regulations have the force of proof is perfect. Therefore of course the absolute legality of a contract which means it meets all the requirements that have been determined in accordance with legislation. Similarly, Akad Sharia, which is based on the principles of sharia is the main source of Islamic law, the Koran and the Hadith. With the decision of the Constitutional Court Number 93 / PUU-X / 2012, concerning the testing of Islamic Banking Act against the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, of course, has implications for the legality of the contract itself. On the basis of the legislation also rules of Islamic law as norm is empty and vague norm. Keywords: Abstrak Legalitas akad adalah suatu hal yang mutlak didalam suatu perjanjian yang kemudian dituangkan dalam suatu akad. Akad sebagai salah satu alat pembuktian yang dibuat dihadapan seorang Notaris sebagai pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu tentu saja legalitas suatu akad mutlak yang berarti memenuhi segala syaratsyarat yang telah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Begitu pula halnya dengan Akad Syariah, yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip syariah dengan sumber utamanya adalah Hukum Islam, yakni Al Quran dan Al Hadits. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tentang pengujian Undang-Undang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, tentu saja berimplikasi kepada legalitas akad itu sendiri. Dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan juga aturan Hukum Islam sebagai suatu dasar dalam pembuatan akad syariah, maka untuk memperoleh suatu legalitas akad harus terpenuhi tujuan daripada hukum itu sendiri, yaitu keadilan, kepastian serta kemanfaatan. Sehingga norma-norma yang ada tidak terjadi konflik norma, norma kosong dan norma kabur. Kata Kunci: Legalitas, Akad, Syariah A. Pendahuluan Berangkat dari pemikiran atas fitrah manusia bahwa awal keberadaan manusia dikehendaki oleh Ilahi Rabbi, walaupun dalam ikatan ketergantungan pada orang tua yang menghendaki dan melahirkannya, pada fitrahnya ia dibekali oleh sejumlah hak dan 76 kewajiban implikasi ruang, waktu dan keadaan yang akan mengarahkan, mengendalikan dan menuntunnya. Sejumlah hak dan kewajiban yang melekat pada keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi cipta, karsa dan rasa dalam Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ... pemikiran hukum menempatkan manusia sebagai subyek hukum. Namun dalam posisi demikian itu, penggunaan hak dan kewajiban yang melekat pada diri pribadi seseorang manusia tidaklah dimaksudkan untuk dapat digunakan secara semenamena akan tetapi berada didalam kendali lingkungan yang serba kompleks dan lingkungan awal yang akan mengarahkan serta mengendalikan dan malah akan memberi warna terhadap pola pikir dan bertindak setiap manusia adalah lingkungan keluarga, yang untuk kemudian diikuti oleh lingkungan masyarakat hingga pada lingkungan negara. Kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang ada, hidup, dikenal dan berkembang dalam dunia perikatan, serta dikenal secara positif dalam hukum perikatan. Asas kebebasan berkontrak timbul karena adanya sifat keterbukaan dalam dunia perikatan, yang berarti setiap orang bebas memperjanjikan apa saja dalam suatu kontrak. Mengenai arti dari sistem terbuka itu sendiri, menurut Setiono adalah bahwa orang dapat mengadakan perikatan atau perjanjian apapun, baik berdasarkan apa yang diatur dalam undang-undang maupun yang sama sekali belum ada peraturannya, asal memenuhi syarat-syarat tertentu (Setiono 2012: 6). Dengan demikian, eksistensi kebebasan berkontrak pada hakekatnya akan terkait langsung dengan eksistensi perikatan itu sendiri. Terdorong dengan adanya kesadaran akan kebutuhan untuk membuktikan adanya suatu perikatan, para pihak yang bersepakat dan memperikatkan diri serta selanjutnya merasa perlu untuk menuangkan kesepakatan atau perikatan tersebut ke dalam suatu akta sebagai bentuk formil dan eksplisit atas kesepakatan yang diperikatkan sebelumnya. Akta dimaksud akan berlaku sebagai suatu bukti tertulis dari apa yang telah diperjanjikan dalam suatu perikatan, yang bahkan menempati urutan teratas dari daftar alat bukti yang dikehendaki dalam setiap upaya pembuktian dalam dunia perdata. Terhadap akta otentik itu sendiri, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang selanjutnya telah dirubah di dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), telah ditegaskan pada Pasal 1 angka 1 bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Penegasan tersebut pada dasarnya merupakan suatu penegasan lebih lanjut dari penyebutan atau istilah “pejabat umum” sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata Pasal 1868. Dalam hal ini, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/ atau yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuan yaitu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Salah satu bentuk nyata akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris adalah akta yang berisikan kesepakatan antara suatu bank di satu sisi sebagai salah satu pihak, dengan nasabah atau debitur sebagai pihak lain dalam akta dimaksud. Kesepakatan di antara bank yang lazim disebut sebagai kreditur dengan debitur pada hakekatnya timbul karena adanya pertemuan kepentingan di antara kedua belah pihak. Pihak bank sebagai kreditur berkepentingan dalam penyaluran kredit ataupun pembiayaan, yang merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh bank pada umumnya. Akselerasi perkembangan dunia perbankan bahkan telah berlangsung sedemikian cepatnya, sehingga juga menjadi pemicu utama atas perkembangan corak dan macam dunia perbankan itu sendiri. Salah satu perkembangan dunia perbankan adalah adanya perbankan syariah, yang dalam menjalankan usahanya mendasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Eksistensi perbankan syariah tersebut dilandasi dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah). Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Syariah Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan 77 Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015 kegiatan usahanya. Pada Hakekatnya, perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian, dan bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Syariah yang dimaksud adalah dalam arti yang sebernarnya, yaitu dimana seorang manusia meyakini akan kebenaran Al-quran dan Al-hadits, sebab aturan syariah adalah suatu aturan yang dipakai sesuai dengan ketentuan Islam. Sebelum lebih jauh melihat hakikat syariah disini, maka akan diperinci mengapa syariah adalah pelaksanaan dari aturan Islam yang sebenarnya. Perikatan yang timbul dari suatu kontrak berdasarkan prinsip syariah, adalah didalam hukum Islam memiliki makna yang berbeda sebagaimana yang dikenal dalam hukum Barat. Berdasarkan prinsip syariah, kontrak adalah suci dan melaksanakan kontrak adalah tugas suci seseorang (Faisal Kutty dalam Makalah Universitas Udayana, 2015:27) sebagaimana yang tertuang di dalam surat Al Maidah ayat 1 yang berisikan mewajibkan orang-orang beriman untuk mematuhi perjanjian yang mereka buat. Perintah Al Quran ini menjadi dasar utama kesucian terhadap semua kontrak. Hubungannya adalah dalam suatu perikatan dengan ketentuan syariah, dengan berdasar pada ketentuan cakupan Islam yang pertama, yaitu aqidah, yang berarti, setiap orang melakukan suatu perikatan harus memiliki keimanan (arkadul iman), yang meliputi iman kepada Allah SWT, malaikat, kitab, nabi dan rasul, hari akhir dan iman kepada qadha dan qadar.Dengan demikian berarti bahwa dengan keimanan yang dimiliki, sehingga setiap orang yang melakukan perikatan memiliki dasar dan pegangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam. Sedangkan dalam pelaksanaan perikatan dalam cakupan Islam yang kedua yaitu akhlak (ihsan), yang berarti bahwa keyakinannya, maka segala tindakan yang dilakukan selalu memiliki kendali dalam diri orang tersebut, disebabkan keyakinan bahwa melakukan suatu perikatan adalah juga termasuk suatu ibadah, bahwa apa yang dilakukan semata-mata karena ibadah, dan oleh karena itu akan terdapat kendali di dalam diri kita sendiri untuk selalu berjalan sesuai dengan ketentuan-Nya. Cakupan Islam yang ketiga adalah syariah (Islam), bahwasanya telah diatur secara jelas mengenai ibadah dan muamalah. Muamalah inilah yang 78 merupakan kategori didalam pelaksanaan syariah. Hukum asal muamalah adalah segala sesuatunya dibolehkan kecuali ada larangan dalam Al- Qur’an dan Al-hadits. Syariah dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu syariah dalam arti yang luas dan syariah dalam arti yang sempit, dalam arti yang luas “al-syari’ah berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku konkrit (legal formal) yang individual dan kolektif. Sedangkan syariah dalam arti sempit “al-syari’ah” berarti norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Menurut Ibnu Jaza Al Maliki, seorang ulama dari mazhab maliki mengelompokkan fiqih menjadi dua yakni ibadah dan muamalah. Begitu pula yang terkandung di dalam Alquran Surah Al-Fath ayat 10, yang memiliki arti: “bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesuangguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah.Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar”. Hal ini lah yang menunjukkan bahwa didalam perikatan Islam yang berdasarkan pada prinsip prinsip syariah memiliki keutamaan adanya unsur kebatinan dan pertanggung jawaban yang bukan hanya antar sesama manusia tetapi juga langsung kepada Allah SWT Pelaksanaan perikatan Islam yangi disepakati dan diwujudkan dalam bentuk akad di dalam perbankan syariah keabsahannya dan kedudukannya berdasarkan hukum Islam yang merupakan hukum positif yang diakui didalam negara konstitusional Indonesia. Sebagai negara Konstitusional, keberadaan dan keabsahan dalam menjalankan hukum Islam, diatur didalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 29 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NKRI Tahun 1945) serta berkaitan langsung dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur didalam Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam hal timbul suatu sengketa di antara bank syariah dengan nasabah penerima fasilitas, telah diciptakan suatu ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Perbankan Syariah, di mana pada Pasal 55 ayat (1) telah ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ... Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun demikian, pada ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. Dalam hal penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad, ayat (3) dalam pasal yang sama menegaskan bahwa penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip syariah. Pelaksanaan kegiatan didalam Bank syariah dengan berdasar pada syariah, berkaitan erat dengan kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama. Kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana dibangun atas azas personalitas keislaman, yang mana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah. Lembaga Peradilan agama melalui Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, tugas dan wewenangnya adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah dan selanjutnya didalam penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip syariah. Lebih lanjut lagi, Undang-Undang Peradilan Agama telah disempurnakan dengan adanya perubahan dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana didalam Pasal 1 Ayat (1) kembali menyebutkan, bahwa peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang beragama Islam. Hal inilah yang kemudian menimbulkan suatu persoalan di kemudian hari, yang disebabkan karena adanya kesenjangan antara UU Perbankan Syariah pasca putusan MK No. 93/PUU/X-2012 dengan UU Peradilan Agama itu sendiri. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Uji materiil Undang-Undang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, telah memutuskan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867 selanjutnya disebut LN RI Tahun 2008 Nomor 94) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam melakukan suatu perikatan Islam yang diwujudkan dalam bentuk suatu akad didalam perbankan syariah tentu saja, tujuan yang ingin dicapai adalah selain tujuan dari kepentingan kedua belah pihak atau lebih tersebut, tetapi juga tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan hukum dalam perikatan Islam menurut penulis adalah suatu keadilan. Sebagaimana teori keadilan dari Aristoteles, yang menyebutkan bahwa hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan. Pandangan Aristoteles, melihat keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai satu unit atau wadah yang sama. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah 79 Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015 pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu. Selanjutnya asas didalam hukum perjanjian adalah asas itikad baik. Didalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian, yaitu: (Sudikno mertokusumo 1999:110) 1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. 2. Itikad baik dalam arti obyektif, ya itu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan . Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma yang berlaku. Asas itikad baik, sangat diperlukan dalam suatu perikatan, dimana maksud dari para pihak adalah jujur keinginan dari para pihak, dimana kedua belah pihak saling membutuhkan, saling terikat dan tanpa ada kepalsuan didalamnya, sehingga apa yang dituangkan dalam suatu akad adalah kebenaran dan keinginan dari kedua belah pihak. Asas selanjutnya didalam hukum perjanjian adalah asas kepribadian, asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Didalam suatu akad, yang dibuat oleh seorang Notaris sebagai pejabat yang berwenang dimana akad adalah suatu akad dari para pihak, tentunya harus memiliki asas kepribadian yang berarti perikatan yang timbul didalamnya adalah berlaku bagi mereka yang membuatnya saja. Terhadap perikatan berakibat kepada pihak ketiga diatur lebih lanjut di dalam KUHPerdata. Selanjutnya berkaitan dengan kajian yang akan Penulis teliti terhadap pihak yang melakukan 80 perjanjian tersebut, jika dilihat dari kewenangan memutus suatu perkara jika suatu sengketa dalam akad perbankan syariah, sebagaimana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, maka terlihat ketidaksesuaian atau terjadi suatu pertanyaan kembali bahwa aturan terkait kewenangan pengadilan agama tersbut hanya menyebutkan bahwa hanya orang-orang yang beragama Islam saja yang bisa menyelesaikan sengketa di Pengadilan agama. Sistem ekonomi syariah menekankan pada konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang luas lagi, bukan hanya pada manfaat disetiap akhir kegiatan, akan tetapi juga pada proses transaksi dan setiap kegiatan termasuk proses transaksi harus mengacu pada konsep maslahat dan menjunjung tinggi asas keadilan. Sejalan juga dengan teori Magasid Al-Syari’ah, yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-syathib (Zainuddin Ali, 2009 : 86) yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Dalam hal penerapan hukum, jika ditinjau dari teori sistem hukum oleh Lawrence M Friedman, yakni terdiri dari struktur, substansi dan budaya hukum. Struktur yang dimaksud adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan formalnya, maksud dari ketentuan formalnya didalam suatu kelembagaan didalam penegakan hukumnya, maka struktur hukum yang dimaksudkan adalah kerangka yang mencerminkan adanya kaitan suatu organ dengan organ lain di dalam mengembangkan tugas dan fungsi yang sama di dalam peran yang berbeda (Faried Ali, Anwar Sulaiman Femmy Silaswaty Faried, 2012: 46) Pelaksanaan perikatan Islam dalam hal struktur hukum menurut pendapat penulis, meskipun aturan telah tertuang didalam peraturan perundang-undangan, tetapi masih terjadi ketimpangan-ketimpangan atau ketidak sesuaian. Aspek yang kedua adalah substansinya, yang dimaksud adalah norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut, ketika melihat substansi norma yang mengatur perikatan dengan berdasar syariah dengan mengikuti sesuai dengan aturan Hukum Islam, maka norma tersebut, kembali kepada pelaku hukum, pelaksana norma tersebut, yang berarti melihat secara jelas dan memahami norma tersebut, karena secara substansi norma ini bukan hanya tanggung jawab Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ... sebatas didunia saja namun juga di akhirat dan hal tersebutlah yang menjadikan pengaturan kontrak dan perikatan dalam hukum Islam itu berbeda dengan kontrak perikatan dalam bidang keperdataan. Selanjutnya tidak lagi mengkaji terhadap budaya hukumnya, karena yang penulis kaji adalah terbatas pada penulisan penelitian secara normatif. Berdasarkan uraian tersebut, maka yang dikaji adalah bagaimanakah legalitas akad syariah yang ditimbulkan dari perikatan yang didasarkan pada kontrak dilandasi pada Hukum Islam, terhadap akad yang telah dibuat sebelum Putusan Mahkamah Konstitsi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013, yang mana akad tersebut masih berlaku setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian ukum nor matif. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundangundangan. Peraturan perundang-undangan yang dipakai adal yang mengatur tentang Perbankan Syariah, Pengadilan Agama, Mahkamah Konstitusi. Selain itu penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yang bersumber pada jurnal-jurnal hasil penelitian, buku-buku dan artikel-artikel di media cetak yang mengkaji tentang perbankan syariah, kompetensi pengadilan agama serta akad-akad syariah. Teknik pengumpulan data dilakukan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas serta prinsipprinsip syariah yang digunakan untuk mengatur perbankan syariah, Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif, merupakan suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Dengan menganalisis dengan tafsir gramatikal, teleologis restriktif dan holistik. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pengertian legalitas dalam kamus besar bahasa Indonesia, adalah suatu perihal (keadaan) sah, keabsahan. Jadi tentunya jika melihat legalitas suatu akad maka dapat ditinjau dari bagaimana akad itu ada, yang kemudian, akad itu dibuat serta bagaimana akad itu didalam pembuatannya. Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan kajian dalam tesis ini yaitu tentang perikatan Islam yang timbul akibat kesepakatan kedua belah pihak didalam suatu perhubungan hukum dalam perbankan syariah. Perikatan Islam yang dimaksudkan disini adalah bentuk hubungan kegiatan muamalah antara dua orang atau lebih yang mengatur perilaku antara keduanya, dimana hubungan tersebut pada dasarnya adalah berdasarkan prinsip prinsip Agama Islam. Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan dalam ruang lingkup perekonomian, yang kesemuanya diatur didalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Hukum Islam yang juga diakui didalam hukum positif di Indonesia, adalah sebagai dasar pemberlakuan hukum perikatan Islam yang didasarkan pada pelaksanaan perbankan syariah itu sendiri. Pengertian Hukum Perikatan Islam menurut Tahir Azhary dalam Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti ( Gemala Dewi, Widsyaningsih dan Yeni Barlinti, 2005: 3), adalah merupakan “seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah (Hadits) dan Ar-Ra’yu (ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi suatu objek suatu transaksi”. Lebih lanjut menyebutkan bahwa kaidah-kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan konsep Hukum Perikatan Islam adalah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW (As-Sunah), adapun kaidahkaidah fiqih berfungsi sebagai pemahaman dari syariah yang dilakukan oleh manusia (para ulama mashab) yang merupakan suatu bentuk ijtihad. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan terkait hukum perikatan Islam cakupannya lebih luas, tidak hanya menimbulkan suatu pertanggungjawaban secara horizontal antara dua pihak atau lebih, namun tetapi juga hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT yang memiliki otoritas tertinggi. Selain keberlakuan hukum perikatan Islam didasarkan pada KUHPerdata dan Hukum Islam sebagai hukum positif, diatur pula didalam konstitusi tertinggi yaitu UUD NKRI Tahun 1945 pada Pasal 29, yang memberikan kebebasan pelaksanaan ajaran agama bagi tiap penduduk negara dan juga pada sila pertama dari Pancasila yang merupakan falsafah negara Indonesia. Ruang lingkup Hukum perikatan Islam tentu saja harus dikaji dalam ruang lingkup dinul-dinul Islam, yaitu Aqidah (iman), Akhlaq 81 Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015 (ihsan) dan Syari’ah (Islam), Aqidah (iman) yang berarti merujuk pada suatu keyakinan, keimanan dan kepercayaan kita terhadap Allah SWT dan sesuai dengan ajarannya yaitu Rukum Iman itu sendiri, iman kepada Allah SWT, iman kepada Malaikat, iman kepada kitab, iman kepada Nabi dan Rasul, iman kepada hari akhir, serta iman kepada qadha dan qadhar. Selanjutnya berkaitan dengan akhlaq (ihsan) , kaitannya kepada perilaku, perasangka yang baik yang bersumber dari hati kita sendiri, yaitu ketika kita beribadah kepada Allah, seolah olah kita melihatnya sendiri, kalaupun kita tidak melihatnya maka Ia melihat kita, sedangkan syari’ah (Islam) sesuatu yang wajib dijalani dengan prinsip prinsip Islam, yang kesemuanya mengatur tentang ibadah dan muamalah. Berlakunya perikatan Islam didalam perbankan syariah tentu saja bersumber dari hukum Islam dengan tetap melihat kaidah-kaidah didalam hukum perdata, yaitu didalam KUHPerdata sebagai payung hukum persoalan keperdataan, berdasarkan aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan republik Indonesia. Sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1329 KUHPerdata, bahwa tiap orang berwenang membuat perikatan kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk melakukan hal itu. Berdasarkan isi pasal tersebut maka menjadi dasar bagi setiap orang untuk melakukan suatu perikatan, dari sinilah yang memunculkan adanya azas kebebasan berkontrak. Berkaitan dengan hal tersebut, dan ditinjau dari akibat hukum serta kekuatan mengikat hukumnya, maka sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/ PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka akad/ akta yang dibuat oleh Notaris tidak berimplikasi apapun, akta/akad tersebut tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya, sepanjang akta tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sebagaimana yang telah ditulis diatas. Namun yang jadi permasalahan ketika suatu akad, yang mana jika terjadi suatu sengketa yang kemudian diajukan kepada lembaga peradilan sesuai dengan isi kesepakatan didalam akad tersebut, sedangkan sengketa tersebut belum terselesaikan dan belum mendapatkan putusan, kemudian ada putusan mahkamah konstitusi yang selanjutnya tentu saja jelas mempengaruhi sengketa tersebut. Sebagaimana yang telah di tulis pada bagian awal 82 penulisan ini bahwa persoalan penyelesaian sengketa sebelum putusan Mahkamah konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, Tentang Pengujian UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008, tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesi Tahun 1945, bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan dua cara, yakni litigasi (pengadilan negeri) dan Non litigasi (diluar peradilan), yakni berdasar kesepakatan, musyawarah, basyarnas dan mediasi perbankan. Sedangkan setelah putusan Mahkamah Konstitusi, penyelesaian sengketa satu-satunya hanya dapat dilakukan melalui pengadilan agama. Hal tersebut yang menjadikan suatu akibat, apakah akad yang dibuat sebelum putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki legalitas. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis, untuk melihat legalitas suatu akad, akan diketengahkan sebagai berikut: 1. Akta Notaris dapat dibatalkan dan Batal demi hukum Akta notaris sebagaimana yang kita ketahui sesuai dengan KUHPerdata, Pasal 1870, menyebutkan bahwa mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak dan mengikat. Akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta Notaris merupakan suatu perjanjian para pihak yang membuatnya oleh karena itu syarat sahnya suatu perjanjian harus terpenuhi. Syarat sahnya perjanjian terbagi atas syarat subyektif dan obyektif. Syarat subyektif adalah syarat yang berkaitan dengan subyek yang mengadakan suatu perjanjian yang terdiri dari sepakat dan cakap untuk bertidank dan melakukan suatu perbuatan hukum. Syarat tersebut dicantumkan didalam awal akta. Sedangkan syarat obyektif dicantumkan didalam badan akta sebagai isi akta yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak, yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya (Habib adjie, 2010: 68). Dengan demikian jika syarat-syarat tersebut yakni syarat subyektif tidak terpenuhi maka atas permintaan orang tertentu maka akta tersebut dapat dibatalkan dan jika tidak memenuhi syarat obyektif, yang berkaitan dengan objek tertentu dan substansi perjanjian adalah sesuatu yang diperbolehkan baik menurut undang-undang, kebiasaan, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ... yang berlaku pada saat perjanjian dibuat dan ketika akan dilaksanakan, jika syarat obyektif tersebut tidak terpenuhi maka akta tersebut dapat batal demi hukum. Penulisan penelitian adalah suatu akad syariah yang juga merupakan suatu akad yang dibuat dihadapan seorang Notaris, secara syariah yang kontrak perikatan yang berdasar pada Islam tentu saja mesti memenuhi syaratsyarat dan rukun-rukun Islam dalam membuat suatu akad. Hukum kontrak Islam didasarkan ketentuan Al Quran dan Al Hadits sebagai sumber hukum utama didalam Hukum Islam yang selanjutnya, juga adalah sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad, yang dilakukan dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu (Gemala dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, 2013: 44). Hukum kontrak Islam didasarkan pada sekitar konsep benda (al-mal), sebagian besar mazhab menentukan persyaratan yang berkaitan dengan objek kontrak agar menjadi sah, yaitu: Legalitas Objek sudah ada pada saat kontrak dibuat Objek itu dapat diserahkan dan Objek tertentu. Sedangkan sistem keabsahan dan validitas dan pembatalan kontrak dibedakan dalam dua tingkatan atau derajad, yakni derajad hukum dan derajad religius. Konsep derajad hukum dikenal dengan istilah masrhu yang literal berarti diakui secara hukum, didalam konsep ini menyangkut tiga perbedaan antara sahih (valid) dan batil (batal demi hukum) dan fasid (dapat dibatalkan). Sedangkan derajad religius dikenal dengan kategori kontrak yang haram dan kontrak yang makruh ( Ridwan Khairandy, 2013: 213) 2. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan Untuk akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan, karena: Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan Tidak mempunyai pejabat umum yang bersangkutan atau - Cacat dalam bentuknya, meskipun demikian akta s ep erti itu teteap mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan tersebut juga diatur didalam UndangUndang Jabatan Notaris (UUJN). (Habib adjie, 2010: 81) Menurut penulis untuk akad syariah berkaitan dengan legalitas akadnya, maka dapat dikategorikan kedalam suatu akad yang batal demi hukum, dikarenakan objek tertentu dan substansi perjanjian. sesuatu yang diperbolehkan baik menurut undang-undang, kebiasaan, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada saat perjanjian dibuat dan ketika akan dilaksanakan, oleh karena itu akad tersebut harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan jika dikaji dari perikatan Islamnya, maka akad tersebut masuk dalam kategori derajad hukum yang fasid dan derajat religius yang makruh tergantung pada kesepakatan para pihaknya. Dengan terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan asasasas pembentukannya, tentu saja memberikan dasar bagi setiap individu yang akan melaksanakan suatu tindakan atau peristiwa menjadi yakin karena telah diatur dengan jelas dan adanya dasar hukum dalam pelaksanaannya, tidak terkecuali seorang Notaris tentunya dalam menuangkan suatu akad yang diinginkan para pihak tidak hanya menuangkannya dalam suatu akad tetapi juga mampu memberi masukan atas ilmu yang dimilikinya. Sehingga suatu akad dapat dipertanggung jawabkan, karena akad dalam Islam sesuai dengan prinsip-prinsip syariah (Islam) didalam perbankan syariah adalah hubungannya bukan hanya antara kedua belah pihak tetapi juga hubungannya dengan Allah SWT. Dengan demikian, secara ontologi didalam suatu akad semua aspek yang tertuang di dalamnnya adalah berdasarkan dan sesuai dengan hukum Islam. Seca ra fil os ofi pengetahuan islam yang berdasarkan pada AlQur’an dan Hadits, sedangkan secara aksiologi tujuan hukum dari Islam itu adalah keadilan, serta secara epistimologi, teori atau pendekatan yang digunakan adalah akad atau transaksi 83 Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015 yang terjadi, dimana pelaksanaan transaksi tersebut adalah bagian dari fikih mu’amalah, yaitu mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.Didalam tesis ini lebih dalam melihat isi akad dan bagaimana pelaksanaan akad tersebut berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan prinsip syariah, sistem ekonomi syariah yang dianut menekankan pada konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang lebih luas, bukan hanya pada akhir kegiatan akan tetapi juga para proses transaksi. Segala kegiatan termasuk transaksi didalamnyab harus mengacu pada konsep maslahat dan menjunjung tinggi rasa keadilan. Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis dengan adanya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa diperbankan syariah hanya dengan cara litigasi (pengadilan) adalah suatu putusan yang tidak berkesusaian dengan PERMA No. 02 Tahun 2003, tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, artinya bahwa di dalam perkara perdata dalam hal ini adalah perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah merupakan perkara tingkat pertama, yang berarti bahwa terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Jadi jelas bahwa suatu kegiatan didalam perbankan syariah adalah memiliki tujuan keadilan, sedangkan tentunya pengaturan perundang-undangan yang mendasari kegiatan ekonomi tersebut adalah suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki tujuan yaitu kepastian hukum yang mampu menopang dan memberi perlindungan hukum bagi masyarakat. Sehingga segala manfaat dapat terwujud. Dalam arti bahwa hukum positif di negara Indonesia, adalah suatu hukum yang mengantarkan masyarakatnya menjadi lebih baik dan mampu bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya. D. Kesimpulan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 adalah suatu putusan bersifat final dan mengikat, yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa didalam perbankan syariah adalah melalui litigasi (pengadilan) dan tidak ada upaya hukum lagi selain itu dan penyelesaian sengketa itupun dibatasi bahwa hanya dapat dilakukan di lingkungan peradilan agama yaitu Pengadilan Agama(PA). Achmad Ali. 1996. Menguak Tabir Hukum. Cetakan Pertama. Jakarta: Chandra Pratama Menurut penulis berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik indonesia Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan yang selanjutnya disebut PERMA No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa: semua perkara perdata yang diajukan kepengadilan tingkat pertama terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator, yang pengaturan selanjutnya 84 diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Dari hasil penelitian dan pembahasan pokok permasalahan dalam kajian ini, dapat disimpulkan bahwa: akad syariah setelah putusan mahkamah konstitusi dapat dikategorikan kedalam suatu akad yang batal demi hukum, dikarenakan tidak memenuhi objek tertentu dan substansi perjanjian. Daftar Pustaka Buku -----------------. 1985. Mendalami Hukum Pembuktian. Yogyakarta: Karya Pustaka Affandi Ali. 1983.1983.Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: PT. Bina Aksara Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa Arief Sidharta, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Djaja S Meliala, 2007. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung: Nuansa Aulia Faried Ali. 1997. Hukum Tata Pemerintahan dan . Cetakan Kedua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ... Faried Ali, Anwar Sulaiman, Femmy Silaswaty Faried, 2012 Studi Sistem Hukum Indonesia (Untuk kompetensi Bidang Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan dalam Payung Pancasila). Cetakan Pertama, Bandung: Refika Aditama Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: Dieterbitkan atas kerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati. 2008. Argumentasi Hukum. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Pieter Mahmud Marzuki. 2010.Penelitian Hukum. Cetakan Keenam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Ridwan Khairandy, 2013. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif perbandingan (Bagian Pertama). Cetakan Pertama. Jakarta: FH UII Press Jabatan Notaris) Cetakan Pertama, Semarang: Pustaka Zaman Roger Fisher, William Ury, Bruce Patton. Getting To Yes (Teknik Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksakan Kehendak) ,2003, penerjemah Daniel Haryono, Gloria Situmorang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia ____________. 2011. Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Jabatan Notaris. Cetakan Pertama, Semarang: Pustaka Zaman Rosa Agustina, Hans Nieuwenhuis, Jaap hijma, Suharnoko. 2012 Obligation), Denpasar-Bali: Pustaka Larasan ____________. 2011. Hukum Notaris Indonesia. Cetakan Ketiga, Bandung: Refika aditama Setiono. 2012.Hukum Perikatan (menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Surakarta: Sebelas Maret Univeersity Press Habib Adjie. 2011. Akta Perbankan Syariah (yang selaras Pasal 38 Undang-Undang ____________. 2011. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Cetakan Kesatu. Bandung: Refika Aditama I Made Widnyana, 2007. Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Jakarta: Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerjasama dengan Kantor Hukum Gani Djemat dan partners Ismail, 2011. Perbankan Syariah, Edisi Pertama, jakarta: Kencana Prenadamedia Group Lukman Santoso AZ, 2011. Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia Maria Farida Indrati S, 2007. Ilmu PerundangU n d a n g a n ( p r o s e s d a n Te k n i k Pembentukannya), dikembangkan dari perkuliahan Hamid Attamimi, Jakarta: Kanisius Meuwissen, 2008. Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Penerjemah Arief Sidharta, Bandung: Refika Aditama. Morris I Kohen and Olson. C.Kent. 2000. Research, ST. Paul. Minnesotta Muhammad Syafi’i Antonio, 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Setiono, 2010. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Subekti, 2001. Hukum Perjanjian, Cetakan Kedelapanbelas. Jakarta: PT. Intermasa Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Soerjono Soekanto. 1984. Penelitian Hukum. Jakara: UI Press Soetandyo Wignjoseoebroto, 2013. Hukum Konsep dan Metode. Malang: Setara Press Sutan Remy Sjahdeni. 2009. Kebebasan Berkontrak,. Cetakan Kesatu. Grafiti. Jakarta: Pradnya Paramita _______________. 2014. Perbankan Syariah (produk-produk dan aspek-aspek hukumnya). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group Yuliandri, 2009. Asas-asas Pembentuka n Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 85 Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015 Yudha Hernoko Agus. 2010. Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial) Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana Prenada. Media Group Zainuddin Ali. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika Jurnal: Noor Ahmed Memon, 2007. “ Islamic Banking: Present and Future Challenges “. Vol.3 . Farrukh Shahzad, Ahsan Zia, Naveed Ahmed, Zeeshan Fareed, Bushra Zulfiqar. 2014. International Journal of Management, Accounting and Economics Vol. 1, No. 3, October, 2014ISSN 2383-2126 (Online)© IJMAE, All Rights Reserved 215. Growth of Islamic Banking in Middle East andSouth Asian Countries. Salahuddin Yousuf, Md. Ariful Islam, Md. Rayhan. 2014. Islam. Journal of Islamic Banking and Finance Vol. 2, No. 1 23©American Research Institute for Policy Development www. aripd.org/jibf “Islamic Banking Scenario of Bangladesh”. Ali Mutasowifin. 2003. Jurnal Universitas Pa ra ma dina , “Meng agas Str ateg i Pengembangan Syariah Di Pasar Non Muslim”. Vol 3 Nomor 1 Yusuf Wibisono. 2009. Bisnis & Birokrasi , Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, hlm. 105-115 Volume 16, Nomor 2ISSN 08543844, “Politik Ekonomi UU Perbankan SyariahPeluang dan Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah”. Abdul Jalil. 2013. Jurnal Konstitusi “Tumpang Tindih Kewenangan dalam Penyelesaian Sengketa PerbankanSyariah”. Vol 9 Nomor 10 Dharu Triasih. Efi Yulistyawati, dan Doddy Krida Saksana. 2005 Jurnal Penelitian “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Debitor Dalam Perjanjian Kredit Bank”. Ani Nugroho. 2013. Jurnal ilmu hukum, “Hukum Perjanjian Syariah dan Penerapannya Dalam Perbankan Syariah di Indonesia 86 Muhammad. 2005. “Kumpulan Modul Short Course Bank Syariah”, SBTC Yogyakarta Ma’ruf Amin. 2014, “Asas-asas Kontrak Syariah dan Harmonisasinya dengan Asas-asas Kontrak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), makalah disambut dalam Seminar Nasional, Bedah Hukum Penerapan Prinsip Syariah Dalam Asuransi Di Indonesia, Fakultas Hukum UNS Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Undang-Undang republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, tentang Perbankan Syariah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas UU peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua atas UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Bank Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, tentang Restruksisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ... Data Elektronik Islamwikiblogspot.com/2012/8/pengertian-syariahdalam-arti-luas-dan.html. 04 september 2014, 10.00 WIB ww w. ac a de m ia .e du / 50 53 88 9 / AGAMA_DAN_ K EWEN A NGA N BA RU NYA _Ol eh_ Akhmad_ Norozi. 3 Januari 2015, 12.00 WIB www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/ infoumum/ejurnal/pdf/Ejurnal_1404_vol 10 no 4 Desember 2013, 19 Maret 2014, 11.15 WIB www.academia.edu/5205126/asas_dalam_filsafat_ hukum http://myrizal-76.blogspot.com/2011/03/teoridalam-hukum-kontrak.html wikipedia Bahasa Indonesia, 16 Oktober 2013, 10.45 WIB Myrizal-76.blogspot.com/2011/03/teori-dalamhukum-kontrak.html, 13 Maret 2014, 10.06 WIB http://pengertiandarisyariah.blogspot.com/2013/01/ pengertian-syariah.html, 4 Januari 2015, 11.00 WIB http://murasa.com/DepKumHam_ekonomiSyariah. pdf, 4 Januari 2015, 11.00 WIB http://alapalapingintaubat.blogspot.com/p/jenisjenis-akad-dalam-perbankan.html, 05 Januari 2015, 12.00 WIB h t t p : / / b o e y b e r u s a h a s a b a r. w o r d p r e s s . com/2013/12/1 0/sumber-kewenanganatribusi-delegasi-dan-mandat, 05 Januari 2015, 22.00 WIB http://zofyanthespiritolife.blogspot.com/201 3/ jenis-jenis-lembaga-dan-peradilandi22.html, 5 Januari, 22.45 WIB http:/?ww.sbp.prg.pk/departement/pdf/strategic plan PDF/Xpeend-C%20 shariah20complince.pdf, 10 April 2014, 09.10 WIB www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/ infoumum/ejurnal/pdf/Ejurnal_1404_vol 10 no 4 Desember.pdf, 19 Maret 2014, 11.15 WIB Rulhome. Blog.com/2010/04/11/contoh-metodepenelitian-normatif-dengan-penelitianempiris, 10 April 2014, 10.20 WIB 87