legalitas akad syariah pasca putusan mahkamah konstitusi nomor

advertisement
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
LEGALITAS AKAD SYARIAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 TENTANG PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008, TENTANG
PERBANKAN SYARIAH TAHUN 1945
Femmy Silaswaty Faried
(Mahasiswa S2 Program MKN FH UNS)
Email : [email protected]
Pranoto
(Dosen Fakultas Hukum Universitas sebelas Maret)
Abstract
The legality of the contract is an absolute thing in an agreement which was then poured into a contract.
Contract as one of the means of proof made before a Notary as the competent authority in accordance with
the laws and regulations have the force of proof is perfect. Therefore of course the absolute legality of a
contract which means it meets all the requirements that have been determined in accordance with legislation.
Similarly, Akad Sharia, which is based on the principles of sharia is the main source of Islamic law, the Koran
and the Hadith. With the decision of the Constitutional Court Number 93 / PUU-X / 2012, concerning the
testing of Islamic Banking Act against the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, of course, has
implications for the legality of the contract itself. On the basis of the legislation also rules of Islamic law as
norm is empty and vague norm.
Keywords:
Abstrak
Legalitas akad adalah suatu hal yang mutlak didalam suatu perjanjian yang kemudian dituangkan dalam
suatu akad. Akad sebagai salah satu alat pembuktian yang dibuat dihadapan seorang Notaris sebagai pejabat
yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna. Oleh karena itu tentu saja legalitas suatu akad mutlak yang berarti memenuhi segala syaratsyarat yang telah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Begitu pula halnya dengan Akad
Syariah, yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip syariah dengan sumber utamanya adalah Hukum Islam, yakni
Al Quran dan Al Hadits. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tentang
pengujian Undang-Undang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945, tentu saja berimplikasi kepada legalitas akad itu sendiri. Dengan berdasarkan peraturan
perundang-undangan juga aturan Hukum Islam sebagai suatu dasar dalam pembuatan akad syariah, maka
untuk memperoleh suatu legalitas akad harus terpenuhi tujuan daripada hukum itu sendiri, yaitu keadilan,
kepastian serta kemanfaatan. Sehingga norma-norma yang ada tidak terjadi konflik norma, norma kosong
dan norma kabur.
Kata Kunci: Legalitas, Akad, Syariah
A. Pendahuluan
Berangkat dari pemikiran atas fitrah manusia
bahwa awal keberadaan manusia dikehendaki oleh
Ilahi Rabbi, walaupun dalam ikatan ketergantungan
pada orang tua yang menghendaki dan melahirkannya,
pada fitrahnya ia dibekali oleh sejumlah hak dan
76
kewajiban implikasi ruang, waktu dan keadaan
yang akan mengarahkan, mengendalikan dan
menuntunnya.
Sejumlah hak dan kewajiban yang melekat
pada keberadaan manusia sebagai makhluk yang
memiliki potensi cipta, karsa dan rasa dalam
Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ...
pemikiran hukum menempatkan manusia sebagai
subyek hukum. Namun dalam posisi demikian
itu, penggunaan hak dan kewajiban yang melekat
pada diri pribadi seseorang manusia tidaklah
dimaksudkan untuk dapat digunakan secara semenamena akan tetapi berada didalam kendali lingkungan
yang serba kompleks dan lingkungan awal yang akan
mengarahkan serta mengendalikan dan malah akan
memberi warna terhadap pola pikir dan bertindak
setiap manusia adalah lingkungan keluarga, yang
untuk kemudian diikuti oleh lingkungan masyarakat
hingga pada lingkungan negara.
Kebebasan berkontrak merupakan
suatu asas yang ada, hidup, dikenal dan
berkembang dalam dunia perikatan, serta
dikenal secara positif dalam hukum perikatan.
Asas kebebasan berkontrak timbul karena
adanya sifat keterbukaan dalam dunia
perikatan, yang berarti setiap orang bebas
memperjanjikan apa saja dalam suatu
kontrak. Mengenai arti dari sistem terbuka
itu sendiri, menurut Setiono adalah bahwa
orang dapat mengadakan perikatan atau
perjanjian apapun, baik berdasarkan apa yang
diatur dalam undang-undang maupun yang
sama sekali belum ada peraturannya, asal
memenuhi syarat-syarat tertentu (Setiono
2012: 6). Dengan demikian, eksistensi
kebebasan berkontrak pada hakekatnya
akan terkait langsung dengan eksistensi
perikatan itu sendiri. Terdorong dengan
adanya kesadaran akan kebutuhan untuk
membuktikan adanya suatu perikatan, para
pihak yang bersepakat dan memperikatkan
diri serta selanjutnya merasa perlu untuk
menuangkan kesepakatan atau perikatan
tersebut ke dalam suatu akta sebagai bentuk
formil dan eksplisit atas kesepakatan yang
diperikatkan sebelumnya. Akta dimaksud
akan berlaku sebagai suatu bukti tertulis dari
apa yang telah diperjanjikan dalam suatu
perikatan, yang bahkan menempati urutan
teratas dari daftar alat bukti yang dikehendaki
dalam setiap upaya pembuktian dalam dunia
perdata.
Terhadap akta otentik itu sendiri,
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang
selanjutnya telah dirubah di dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut UUJN), telah ditegaskan pada Pasal 1
angka 1 bahwa Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik.
Penegasan tersebut pada dasarnya merupakan
suatu penegasan lebih lanjut dari penyebutan
atau istilah “pejabat umum” sebagaimana
dimaksud dalam KUHPerdata Pasal 1868.
Dalam hal ini, Notaris berwenang membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/
atau yang dikehendaki oleh pihak-pihak
yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuan yaitu sepanjang pembuatan akta-akta
itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Salah satu bentuk nyata akta otentik yang
dibuat oleh seorang Notaris adalah akta yang
berisikan kesepakatan antara suatu bank di satu
sisi sebagai salah satu pihak, dengan nasabah atau
debitur sebagai pihak lain dalam akta dimaksud.
Kesepakatan di antara bank yang lazim disebut
sebagai kreditur dengan debitur pada hakekatnya
timbul karena adanya pertemuan kepentingan di
antara kedua belah pihak. Pihak bank sebagai
kreditur berkepentingan dalam penyaluran kredit
ataupun pembiayaan, yang merupakan salah satu
usaha yang dilakukan oleh bank pada umumnya.
Akselerasi perkembangan dunia perbankan
bahkan telah berlangsung sedemikian cepatnya,
sehingga juga menjadi pemicu utama atas
perkembangan corak dan macam dunia perbankan
itu sendiri. Salah satu perkembangan dunia
perbankan adalah adanya perbankan syariah, yang
dalam menjalankan usahanya mendasarkan pada
prinsip-prinsip syariah. Eksistensi perbankan
syariah tersebut dilandasi dengan ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (selanjutnya disebut UU
Perbankan Syariah).
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan
Syariah Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
77
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
kegiatan usahanya. Pada Hakekatnya, perbankan
syariah dalam melakukan kegiatan usahanya
berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi,
dan prinsip kehati-hatian, dan bertujuan untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan,
dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Syariah yang dimaksud adalah dalam arti
yang sebernarnya, yaitu dimana seorang manusia
meyakini akan kebenaran Al-quran dan Al-hadits,
sebab aturan syariah adalah suatu aturan yang
dipakai sesuai dengan ketentuan Islam. Sebelum
lebih jauh melihat hakikat syariah disini, maka akan
diperinci mengapa syariah adalah pelaksanaan dari
aturan Islam yang sebenarnya. Perikatan yang timbul
dari suatu kontrak berdasarkan prinsip syariah,
adalah didalam hukum Islam memiliki makna yang
berbeda sebagaimana yang dikenal dalam hukum
Barat. Berdasarkan prinsip syariah, kontrak adalah
suci dan melaksanakan kontrak adalah tugas suci
seseorang (Faisal Kutty dalam Makalah Universitas
Udayana, 2015:27) sebagaimana yang tertuang
di dalam surat Al Maidah ayat 1 yang berisikan
mewajibkan orang-orang beriman untuk mematuhi
perjanjian yang mereka buat. Perintah Al Quran
ini menjadi dasar utama kesucian terhadap semua
kontrak.
Hubungannya adalah dalam suatu perikatan
dengan ketentuan syariah, dengan berdasar pada
ketentuan cakupan Islam yang pertama, yaitu
aqidah, yang berarti, setiap orang melakukan suatu
perikatan harus memiliki keimanan (arkadul iman),
yang meliputi iman kepada Allah SWT, malaikat,
kitab, nabi dan rasul, hari akhir dan iman kepada
qadha dan qadar.Dengan demikian berarti bahwa
dengan keimanan yang dimiliki, sehingga setiap
orang yang melakukan perikatan memiliki dasar dan
pegangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam.
Sedangkan dalam pelaksanaan perikatan dalam
cakupan Islam yang kedua yaitu akhlak (ihsan),
yang berarti bahwa keyakinannya, maka segala
tindakan yang dilakukan selalu memiliki kendali
dalam diri orang tersebut, disebabkan keyakinan
bahwa melakukan suatu perikatan adalah juga
termasuk suatu ibadah, bahwa apa yang dilakukan
semata-mata karena ibadah, dan oleh karena itu
akan terdapat kendali di dalam diri kita sendiri
untuk selalu berjalan sesuai dengan ketentuan-Nya.
Cakupan Islam yang ketiga adalah syariah (Islam),
bahwasanya telah diatur secara jelas mengenai
ibadah dan muamalah. Muamalah inilah yang
78
merupakan kategori didalam pelaksanaan syariah.
Hukum asal muamalah adalah segala sesuatunya
dibolehkan kecuali ada larangan dalam Al- Qur’an
dan Al-hadits.
Syariah dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu
syariah dalam arti yang luas dan syariah dalam arti
yang sempit, dalam arti yang luas “al-syari’ah berarti
seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma
ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin
(sistem kepercayaan/doktrinal) maupun tingkah laku
konkrit (legal formal) yang individual dan kolektif.
Sedangkan syariah dalam arti sempit “al-syari’ah”
berarti norma-norma yang mengatur sistem tingkah
laku individual maupun tingkah laku kolektif.
Menurut Ibnu Jaza Al Maliki, seorang ulama dari
mazhab maliki mengelompokkan fiqih menjadi dua
yakni ibadah dan muamalah.
Begitu pula yang terkandung di dalam
Alquran Surah Al-Fath ayat 10, yang memiliki
arti: “bahwa orang-orang yang berjanji setia
kepadamu (Muhammad), sesuangguhnya mereka
hanya berjanji setia kepada Allah.Tangan Allah
diatas tangan-tangan mereka, maka barang siapa
melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar
atas (janji) sendiri dan barang siapa menepati
janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya
pahala yang besar”. Hal ini lah yang menunjukkan
bahwa didalam perikatan Islam yang berdasarkan
pada prinsip prinsip syariah memiliki keutamaan
adanya unsur kebatinan dan pertanggung jawaban
yang bukan hanya antar sesama manusia tetapi juga
langsung kepada Allah SWT
Pelaksanaan perikatan Islam yangi disepakati
dan diwujudkan dalam bentuk akad di dalam
perbankan syariah keabsahannya dan kedudukannya
berdasarkan hukum Islam yang merupakan hukum
positif yang diakui didalam negara konstitusional
Indonesia. Sebagai negara Konstitusional,
keberadaan dan keabsahan dalam menjalankan
hukum Islam, diatur didalam Pasal 29 ayat 1 dan
2 29 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD NKRI Tahun 1945) serta berkaitan langsung
dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana
diatur didalam Pasal 1338 KUHPerdata.
Dalam hal timbul suatu sengketa di antara bank
syariah dengan nasabah penerima fasilitas, telah
diciptakan suatu ketentuan sebagaimana diatur dalam
UU Perbankan Syariah, di mana pada Pasal 55 ayat
(1) telah ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa
Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ...
Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama. Namun demikian,
pada ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal para pihak
telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. Dalam
hal penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
isi akad, ayat (3) dalam pasal yang sama menegaskan
bahwa penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip
syariah.
Pelaksanaan kegiatan didalam Bank syariah
dengan berdasar pada syariah, berkaitan erat dengan
kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan
pengadilan agama. Kompetensi absolut pengadilan
dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam
Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana
dibangun atas azas personalitas keislaman, yang
mana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan
Agama merupakah salah satu pelaksanaan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1)
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yaitu bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah.
Lembaga Peradilan agama melalui Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah
diamandemen dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah
menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama, tugas dan wewenangnya adalah
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah dan selanjutnya
didalam penjelasan undang-undang ini disebutkan
bahwa yang dimaksud ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan
menurut prinsip syariah.
Lebih lanjut lagi, Undang-Undang Peradilan
Agama telah disempurnakan dengan adanya
perubahan dalam Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, dimana didalam Pasal 1 Ayat (1) kembali
menyebutkan, bahwa peradilan agama adalah
peradilan bagi orang-orang beragama Islam. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan suatu persoalan
di kemudian hari, yang disebabkan karena adanya
kesenjangan antara UU Perbankan Syariah pasca
putusan MK No. 93/PUU/X-2012 dengan UU
Peradilan Agama itu sendiri.
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 93/PUU-X/2012 tentang Uji
materiil Undang-Undang Perbankan Syariah
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945, telah memutuskan
bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-Undang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867
selanjutnya disebut LN RI Tahun 2008 Nomor
94) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, penjelasan pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang Perbankan Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867) dinyatakan tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Dalam melakukan suatu perikatan Islam yang
diwujudkan dalam bentuk suatu akad didalam
perbankan syariah tentu saja, tujuan yang ingin
dicapai adalah selain tujuan dari kepentingan
kedua belah pihak atau lebih tersebut, tetapi juga
tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan hukum
dalam perikatan Islam menurut penulis adalah
suatu keadilan. Sebagaimana teori keadilan dari
Aristoteles, yang menyebutkan bahwa hukum
hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan. Pandangan Aristoteles, melihat keadilan
ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi
bukan persamarataan. Aristoteles membedakan
hak persamaannya sesuai dengan hak proporsional.
Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai satu
unit atau wadah yang sama.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua
belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati sebagaimana
mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat
dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu
tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari
pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338
KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
79
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.
Selanjutnya asas didalam hukum perjanjian
adalah asas itikad baik. Didalam hukum perjanjian
itikad baik itu mempunyai dua pengertian, yaitu:
(Sudikno mertokusumo 1999:110)
1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran
seseorang dalam melakukan suatu perbuatan
hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin
seseorang pada waktu diadakan perbuatan
hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini
diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
2. Itikad baik dalam arti obyektif, ya itu
pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan
pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu
kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan
perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya
tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan
keadilan . Kepatutan dimaksudkan agar jangan
sampai pemenuhan kepentingan salah satu
pihak terdesak, harus adanya keseimbangan.
Keadilan artinya bahwa kepastian untuk
mendapatkan apa yang telah diperjanjikan
dengan memperhatikan norma yang berlaku.
Asas itikad baik, sangat diperlukan dalam
suatu perikatan, dimana maksud dari para pihak
adalah jujur keinginan dari para pihak, dimana kedua
belah pihak saling membutuhkan, saling terikat dan
tanpa ada kepalsuan didalamnya, sehingga apa yang
dituangkan dalam suatu akad adalah kebenaran dan
keinginan dari kedua belah pihak.
Asas selanjutnya didalam hukum perjanjian
adalah asas kepribadian, asas ini berhubungan
dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian.
Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam
Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa
suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.
Didalam suatu akad, yang dibuat oleh seorang
Notaris sebagai pejabat yang berwenang dimana
akad adalah suatu akad dari para pihak, tentunya
harus memiliki asas kepribadian yang berarti
perikatan yang timbul didalamnya adalah berlaku
bagi mereka yang membuatnya saja. Terhadap
perikatan berakibat kepada pihak ketiga diatur lebih
lanjut di dalam KUHPerdata.
Selanjutnya berkaitan dengan kajian yang
akan Penulis teliti terhadap pihak yang melakukan
80
perjanjian tersebut, jika dilihat dari kewenangan
memutus suatu perkara jika suatu sengketa dalam
akad perbankan syariah, sebagaimana yang telah
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, maka terlihat
ketidaksesuaian atau terjadi suatu pertanyaan
kembali bahwa aturan terkait kewenangan
pengadilan agama tersbut hanya menyebutkan
bahwa hanya orang-orang yang beragama Islam saja
yang bisa menyelesaikan sengketa di Pengadilan
agama.
Sistem ekonomi syariah menekankan pada
konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang luas
lagi, bukan hanya pada manfaat disetiap akhir
kegiatan, akan tetapi juga pada proses transaksi
dan setiap kegiatan termasuk proses transaksi harus
mengacu pada konsep maslahat dan menjunjung
tinggi asas keadilan. Sejalan juga dengan teori
Magasid Al-Syari’ah, yang dikemukakan dan
dikembangkan oleh Abu Ishaq al-syathib (Zainuddin
Ali, 2009 : 86) yaitu tujuan akhir hukum adalah
maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia.
Tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai
tujuan.
Dalam hal penerapan hukum, jika ditinjau dari
teori sistem hukum oleh Lawrence M Friedman,
yakni terdiri dari struktur, substansi dan budaya
hukum. Struktur yang dimaksud adalah pola yang
menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan
menurut ketentuan formalnya, maksud dari
ketentuan formalnya didalam suatu kelembagaan
didalam penegakan hukumnya, maka struktur
hukum yang dimaksudkan adalah kerangka yang
mencerminkan adanya kaitan suatu organ dengan
organ lain di dalam mengembangkan tugas dan
fungsi yang sama di dalam peran yang berbeda
(Faried Ali, Anwar Sulaiman Femmy Silaswaty
Faried, 2012: 46) Pelaksanaan perikatan Islam
dalam hal struktur hukum menurut pendapat
penulis, meskipun aturan telah tertuang didalam
peraturan perundang-undangan, tetapi masih
terjadi ketimpangan-ketimpangan atau ketidak
sesuaian. Aspek yang kedua adalah substansinya,
yang dimaksud adalah norma dan pola perilaku
nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut,
ketika melihat substansi norma yang mengatur
perikatan dengan berdasar syariah dengan mengikuti
sesuai dengan aturan Hukum Islam, maka norma
tersebut, kembali kepada pelaku hukum, pelaksana
norma tersebut, yang berarti melihat secara jelas
dan memahami norma tersebut, karena secara
substansi norma ini bukan hanya tanggung jawab
Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ...
sebatas didunia saja namun juga di akhirat dan hal
tersebutlah yang menjadikan pengaturan kontrak
dan perikatan dalam hukum Islam itu berbeda
dengan kontrak perikatan dalam bidang keperdataan.
Selanjutnya tidak lagi mengkaji terhadap budaya
hukumnya, karena yang penulis kaji adalah terbatas
pada penulisan penelitian secara normatif.
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang dikaji
adalah bagaimanakah legalitas akad syariah yang
ditimbulkan dari perikatan yang didasarkan pada
kontrak dilandasi pada Hukum Islam, terhadap
akad yang telah dibuat sebelum Putusan Mahkamah
Konstitsi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29
Agustus 2013, yang mana akad tersebut masih
berlaku setelah putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian ukum nor matif. Penelitian ini
menggunakan data sekunder berupa bahan hukum
primer yang bersumber dari peraturan perundangundangan. Peraturan perundang-undangan yang
dipakai adal yang mengatur tentang Perbankan
Syariah, Pengadilan Agama, Mahkamah Konstitusi.
Selain itu penelitian ini menggunakan bahan
hukum primer yang bersumber pada jurnal-jurnal
hasil penelitian, buku-buku dan artikel-artikel di
media cetak yang mengkaji tentang perbankan
syariah, kompetensi pengadilan agama serta
akad-akad syariah. Teknik pengumpulan data
dilakukan
meneliti bahan pustaka atau
data sekunder. Penelitian ini dilakukan untuk
mengidentifikasi konsep dan asas-asas serta prinsipprinsip syariah yang digunakan untuk mengatur
perbankan syariah, Metode berpikir yang digunakan
adalah metode berpikir deduktif, merupakan suatu
penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa
umum, yang kebenarannya telah diketahui atau
diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan
atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Dengan menganalisis dengan tafsir gramatikal,
teleologis restriktif dan holistik.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pengertian legalitas dalam kamus besar bahasa
Indonesia, adalah suatu perihal (keadaan) sah,
keabsahan. Jadi tentunya jika melihat legalitas suatu
akad maka dapat ditinjau dari bagaimana akad itu
ada, yang kemudian, akad itu dibuat serta bagaimana
akad itu didalam pembuatannya. Berkaitan dengan
hal tersebut, sesuai dengan kajian dalam tesis ini
yaitu tentang perikatan Islam yang timbul akibat
kesepakatan kedua belah pihak didalam suatu
perhubungan hukum dalam perbankan syariah.
Perikatan Islam yang dimaksudkan disini
adalah bentuk hubungan kegiatan muamalah
antara dua orang atau lebih yang mengatur perilaku
antara keduanya, dimana hubungan tersebut
pada dasarnya adalah berdasarkan prinsip prinsip
Agama Islam. Kegiatan yang dimaksud adalah
kegiatan dalam ruang lingkup perekonomian,
yang kesemuanya diatur didalam Undang-Undang
Perbankan Syariah. Hukum Islam yang juga diakui
didalam hukum positif di Indonesia, adalah sebagai
dasar pemberlakuan hukum perikatan Islam yang
didasarkan pada pelaksanaan perbankan syariah
itu sendiri. Pengertian Hukum Perikatan Islam
menurut Tahir Azhary dalam Gemala Dewi,
Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti ( Gemala
Dewi, Widsyaningsih dan Yeni Barlinti, 2005: 3),
adalah merupakan “seperangkat kaidah hukum
yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah (Hadits)
dan Ar-Ra’yu (ijtihad) yang mengatur tentang
hubungan antara dua orang atau lebih mengenai
suatu benda yang dihalalkan menjadi suatu objek
suatu transaksi”. Lebih lanjut menyebutkan
bahwa kaidah-kaidah hukum yang berhubungan
langsung dengan konsep Hukum Perikatan Islam
adalah yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist
Nabi Muhammad SAW (As-Sunah), adapun kaidahkaidah fiqih berfungsi sebagai pemahaman dari
syariah yang dilakukan oleh manusia (para ulama
mashab) yang merupakan suatu bentuk ijtihad.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan
terkait hukum perikatan Islam cakupannya lebih luas,
tidak hanya menimbulkan suatu pertanggungjawaban
secara horizontal antara dua pihak atau lebih, namun
tetapi juga hubungan vertikal antara manusia dengan
Allah SWT yang memiliki otoritas tertinggi. Selain
keberlakuan hukum perikatan Islam didasarkan pada
KUHPerdata dan Hukum Islam sebagai hukum
positif, diatur pula didalam konstitusi tertinggi
yaitu UUD NKRI Tahun 1945 pada Pasal 29, yang
memberikan kebebasan pelaksanaan ajaran agama
bagi tiap penduduk negara dan juga pada sila
pertama dari Pancasila yang merupakan falsafah
negara Indonesia. Ruang lingkup Hukum perikatan
Islam tentu saja harus dikaji dalam ruang lingkup
dinul-dinul Islam, yaitu Aqidah (iman), Akhlaq
81
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
(ihsan) dan Syari’ah (Islam), Aqidah (iman) yang
berarti merujuk pada suatu keyakinan, keimanan dan
kepercayaan kita terhadap Allah SWT dan sesuai
dengan ajarannya yaitu Rukum Iman itu sendiri,
iman kepada Allah SWT, iman kepada Malaikat,
iman kepada kitab, iman kepada Nabi dan Rasul,
iman kepada hari akhir, serta iman kepada qadha
dan qadhar. Selanjutnya berkaitan dengan akhlaq
(ihsan) , kaitannya kepada perilaku, perasangka yang
baik yang bersumber dari hati kita sendiri, yaitu
ketika kita beribadah kepada Allah, seolah olah kita
melihatnya sendiri, kalaupun kita tidak melihatnya
maka Ia melihat kita, sedangkan syari’ah (Islam)
sesuatu yang wajib dijalani dengan prinsip prinsip
Islam, yang kesemuanya mengatur tentang ibadah
dan muamalah.
Berlakunya perikatan Islam didalam perbankan
syariah tentu saja bersumber dari hukum Islam
dengan tetap melihat kaidah-kaidah didalam hukum
perdata, yaitu didalam KUHPerdata sebagai
payung hukum persoalan keperdataan, berdasarkan
aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan republik Indonesia. Sebagaimana yang
diatur didalam Pasal 1329 KUHPerdata, bahwa
tiap orang berwenang membuat perikatan kecuali
jika ia dinyatakan tidak cakap untuk melakukan hal
itu. Berdasarkan isi pasal tersebut maka menjadi
dasar bagi setiap orang untuk melakukan suatu
perikatan, dari sinilah yang memunculkan adanya
azas kebebasan berkontrak.
Berkaitan dengan hal tersebut, dan ditinjau dari
akibat hukum serta kekuatan mengikat hukumnya,
maka sebelum putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/ PUU-X/2012 tentang Pengujian UU
Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka akad/
akta yang dibuat oleh Notaris tidak berimplikasi
apapun, akta/akad tersebut tetap memiliki kekuatan
hukum yang mengikat bagi para pihak yang
membuatnya, sepanjang akta tersebut sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan sebagaimana
yang telah ditulis diatas.
Namun yang jadi permasalahan ketika suatu
akad, yang mana jika terjadi suatu sengketa yang
kemudian diajukan kepada lembaga peradilan sesuai
dengan isi kesepakatan didalam akad tersebut,
sedangkan sengketa tersebut belum terselesaikan
dan belum mendapatkan putusan, kemudian ada
putusan mahkamah konstitusi yang selanjutnya
tentu saja jelas mempengaruhi sengketa tersebut.
Sebagaimana yang telah di tulis pada bagian awal
82
penulisan ini bahwa persoalan penyelesaian sengketa
sebelum putusan Mahkamah konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012, Tentang Pengujian UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008, tentang Perbankan
Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesi Tahun 1945, bahwa
penyelesaian sengketa dilakukan dengan dua cara,
yakni litigasi (pengadilan negeri) dan Non litigasi
(diluar peradilan), yakni berdasar kesepakatan,
musyawarah, basyarnas dan mediasi perbankan.
Sedangkan setelah putusan Mahkamah Konstitusi,
penyelesaian sengketa satu-satunya hanya dapat
dilakukan melalui pengadilan agama. Hal tersebut
yang menjadikan suatu akibat, apakah akad yang
dibuat sebelum putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut memiliki legalitas. Berdasarkan hal tersebut
menurut penulis, untuk melihat legalitas suatu akad,
akan diketengahkan sebagai berikut:
1.
Akta Notaris dapat dibatalkan dan Batal
demi hukum
Akta notaris sebagaimana yang kita
ketahui sesuai dengan KUHPerdata, Pasal 1870,
menyebutkan bahwa mempunyai kekuatan
pembuktian yang mutlak dan mengikat.
Akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna sehingga tidak perlu lagi
dibuktikan dengan pembuktian lain selama
ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta
Notaris merupakan suatu perjanjian para pihak
yang membuatnya oleh karena itu syarat sahnya
suatu perjanjian harus terpenuhi. Syarat sahnya
perjanjian terbagi atas syarat subyektif dan
obyektif. Syarat subyektif adalah syarat yang
berkaitan dengan subyek yang mengadakan
suatu perjanjian yang terdiri dari sepakat dan
cakap untuk bertidank dan melakukan suatu
perbuatan hukum. Syarat tersebut dicantumkan
didalam awal akta. Sedangkan syarat obyektif
dicantumkan didalam badan akta sebagai isi
akta yang merupakan perwujudan dari asas
kebebasan berkontrak, yang memberikan
kepastian dan perlindungan hukum kepada
para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya
(Habib adjie, 2010: 68). Dengan demikian jika
syarat-syarat tersebut yakni syarat subyektif
tidak terpenuhi maka atas permintaan orang
tertentu maka akta tersebut dapat dibatalkan
dan jika tidak memenuhi syarat obyektif, yang
berkaitan dengan objek tertentu dan substansi
perjanjian adalah sesuatu yang diperbolehkan
baik menurut undang-undang, kebiasaan,
kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum
Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ...
yang berlaku pada saat perjanjian dibuat dan
ketika akan dilaksanakan, jika syarat obyektif
tersebut tidak terpenuhi maka akta tersebut
dapat batal demi hukum.
Penulisan penelitian adalah suatu akad
syariah yang juga merupakan suatu akad yang
dibuat dihadapan seorang Notaris, secara
syariah yang kontrak perikatan yang berdasar
pada Islam tentu saja mesti memenuhi syaratsyarat dan rukun-rukun Islam dalam membuat
suatu akad. Hukum kontrak Islam didasarkan
ketentuan Al Quran dan Al Hadits sebagai
sumber hukum utama didalam Hukum Islam
yang selanjutnya, juga adalah sumber hukum
yang ketiga adalah ijtihad, yang dilakukan
dengan menggunakan akal atau ar-ra’yu
(Gemala dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma
Barlinti, 2013: 44).
Hukum kontrak Islam didasarkan pada
sekitar konsep benda (al-mal), sebagian
besar mazhab menentukan persyaratan yang
berkaitan dengan objek kontrak agar menjadi
sah, yaitu:
Legalitas
Objek sudah ada pada saat kontrak dibuat
Objek itu dapat diserahkan dan
Objek tertentu.
Sedangkan sistem keabsahan dan validitas
dan pembatalan kontrak dibedakan dalam dua
tingkatan atau derajad, yakni derajad hukum
dan derajad religius. Konsep derajad hukum
dikenal dengan istilah masrhu yang literal
berarti diakui secara hukum, didalam konsep
ini menyangkut tiga perbedaan antara sahih
(valid) dan batil (batal demi hukum) dan fasid
(dapat dibatalkan). Sedangkan derajad religius
dikenal dengan kategori kontrak yang haram
dan kontrak yang makruh ( Ridwan Khairandy,
2013: 213)
2.
Akta Notaris yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan
Untuk akta Notaris yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi
ketentuan, karena:
Tidak berwenangnya pejabat umum yang
bersangkutan
Tidak mempunyai pejabat umum yang
bersangkutan atau
-
Cacat dalam bentuknya, meskipun
demikian akta s ep erti itu teteap
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan jika akta tersebut
ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan
tersebut juga diatur didalam UndangUndang Jabatan Notaris (UUJN). (Habib
adjie, 2010: 81)
Menurut penulis untuk akad syariah
berkaitan dengan legalitas akadnya, maka
dapat dikategorikan kedalam suatu akad
yang batal demi hukum, dikarenakan objek
tertentu dan substansi perjanjian. sesuatu yang
diperbolehkan baik menurut undang-undang,
kebiasaan, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban
umum yang berlaku pada saat perjanjian dibuat
dan ketika akan dilaksanakan, oleh karena
itu akad tersebut harus memenuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sedangkan
jika dikaji dari perikatan Islamnya, maka akad
tersebut masuk dalam kategori derajad hukum
yang fasid dan derajat religius yang makruh
tergantung pada kesepakatan para pihaknya.
Dengan terbentuknya suatu peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan asasasas pembentukannya, tentu saja memberikan
dasar bagi setiap individu yang akan
melaksanakan suatu tindakan atau peristiwa
menjadi yakin karena telah diatur dengan jelas
dan adanya dasar hukum dalam pelaksanaannya,
tidak terkecuali seorang Notaris tentunya dalam
menuangkan suatu akad yang diinginkan para
pihak tidak hanya menuangkannya dalam suatu
akad tetapi juga mampu memberi masukan
atas ilmu yang dimilikinya. Sehingga suatu
akad dapat dipertanggung jawabkan, karena
akad dalam Islam sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah (Islam) didalam perbankan syariah
adalah hubungannya bukan hanya antara kedua
belah pihak tetapi juga hubungannya dengan
Allah SWT.
Dengan demikian, secara ontologi didalam
suatu akad semua aspek yang tertuang di
dalamnnya adalah berdasarkan dan sesuai
dengan hukum Islam. Seca ra fil os ofi
pengetahuan islam yang berdasarkan pada AlQur’an dan Hadits, sedangkan secara aksiologi
tujuan hukum dari Islam itu adalah keadilan,
serta secara epistimologi, teori atau pendekatan
yang digunakan adalah akad atau transaksi
83
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
yang terjadi, dimana pelaksanaan transaksi
tersebut adalah bagian dari fikih mu’amalah,
yaitu mengatur hubungan manusia dengan
sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya.Didalam tesis ini lebih dalam
melihat isi akad dan bagaimana pelaksanaan
akad tersebut berdasarkan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan prinsip syariah, sistem
ekonomi syariah yang dianut menekankan pada
konsep manfaat pada kegiatan ekonomi yang
lebih luas, bukan hanya pada akhir kegiatan
akan tetapi juga para proses transaksi. Segala
kegiatan termasuk transaksi didalamnyab harus
mengacu pada konsep maslahat dan menjunjung
tinggi rasa keadilan.
Berdasarkan hal tersebut, maka menurut
penulis dengan adanya Putusan MK Nomor
93/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa diperbankan syariah
hanya dengan cara litigasi (pengadilan) adalah
suatu putusan yang tidak berkesusaian dengan
PERMA No. 02 Tahun 2003, tentang Prosedur
Mediasi Di Pengadilan, artinya bahwa di dalam
perkara perdata dalam hal ini adalah perkara
yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah
merupakan perkara tingkat pertama, yang
berarti bahwa terlebih dahulu diselesaikan
melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
Jadi jelas bahwa suatu kegiatan didalam
perbankan syariah adalah memiliki tujuan
keadilan, sedangkan tentunya pengaturan
perundang-undangan yang mendasari kegiatan
ekonomi tersebut adalah suatu peraturan
perundang-undangan yang memiliki tujuan
yaitu kepastian hukum yang mampu menopang
dan memberi perlindungan hukum bagi
masyarakat. Sehingga segala manfaat dapat
terwujud. Dalam arti bahwa hukum positif di
negara Indonesia, adalah suatu hukum yang
mengantarkan masyarakatnya menjadi lebih
baik dan mampu bertanggung jawab atas segala
yang dilakukannya.
D. Kesimpulan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 adalah suatu putusan bersifat
final dan mengikat, yang menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa didalam perbankan
syariah adalah melalui litigasi (pengadilan)
dan tidak ada upaya hukum lagi selain itu dan
penyelesaian sengketa itupun dibatasi bahwa
hanya dapat dilakukan di lingkungan peradilan
agama yaitu Pengadilan Agama(PA).
Achmad Ali. 1996. Menguak Tabir Hukum. Cetakan
Pertama. Jakarta: Chandra Pratama
Menurut penulis berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Republik indonesia Nomor
02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan yang selanjutnya disebut PERMA
No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan. Pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan
bahwa: semua perkara perdata yang diajukan
kepengadilan tingkat pertama terlebih dahulu
diselesaikan melalui perdamaian dengan
bantuan mediator, yang pengaturan selanjutnya
84
diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
Dari hasil penelitian dan pembahasan pokok
permasalahan dalam kajian ini, dapat disimpulkan
bahwa: akad syariah setelah putusan mahkamah
konstitusi dapat dikategorikan kedalam suatu
akad yang batal demi hukum, dikarenakan tidak
memenuhi objek tertentu dan substansi perjanjian.
Daftar Pustaka
Buku
-----------------. 1985. Mendalami Hukum Pembuktian.
Yogyakarta: Karya Pustaka
Affandi Ali. 1983.1983.Hukum Waris Hukum
Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: PT.
Bina Aksara
Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum. Alih
Bahasa Arief Sidharta, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti
Djaja S Meliala, 2007. Perkembangan Hukum
Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan,
Bandung: Nuansa Aulia
Faried Ali. 1997. Hukum Tata Pemerintahan dan
. Cetakan Kedua,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ...
Faried Ali, Anwar Sulaiman, Femmy Silaswaty
Faried, 2012 Studi Sistem Hukum Indonesia
(Untuk kompetensi Bidang Ilmu-ilmu
Sosial dan Ilmu Politik dan dalam Payung
Pancasila). Cetakan Pertama, Bandung:
Refika Aditama
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti,
2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia,
Cetakan Kedua, Jakarta: Dieterbitkan atas
kerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati.
2008. Argumentasi Hukum. Cetakan Ketiga.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pieter Mahmud Marzuki. 2010.Penelitian Hukum.
Cetakan Keenam. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Ridwan Khairandy, 2013. Hukum Kontrak Indonesia
Dalam Perspektif perbandingan (Bagian
Pertama). Cetakan Pertama. Jakarta: FH
UII Press
Jabatan Notaris) Cetakan Pertama,
Semarang: Pustaka Zaman
Roger Fisher, William Ury, Bruce Patton. Getting To
Yes (Teknik Berunding Menuju Kesepakatan
Tanpa Memaksakan Kehendak) ,2003,
penerjemah Daniel Haryono, Gloria
Situmorang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
____________. 2011. Kompilasi Peraturan
Perundang-Undangan Jabatan Notaris.
Cetakan Pertama, Semarang: Pustaka Zaman
Rosa Agustina, Hans Nieuwenhuis, Jaap hijma,
Suharnoko. 2012
Obligation), Denpasar-Bali: Pustaka Larasan
____________. 2011. Hukum Notaris Indonesia.
Cetakan Ketiga, Bandung: Refika aditama
Setiono. 2012.Hukum Perikatan (menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Surakarta:
Sebelas Maret Univeersity Press
Habib Adjie. 2011. Akta Perbankan Syariah (yang
selaras Pasal 38 Undang-Undang
____________. 2011. Kebatalan dan Pembatalan
Akta Notaris. Cetakan Kesatu. Bandung:
Refika Aditama
I Made Widnyana, 2007. Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR), Jakarta: Indonesia Business
Law Center (IBLC) bekerjasama dengan
Kantor Hukum Gani Djemat dan partners
Ismail, 2011. Perbankan Syariah, Edisi Pertama,
jakarta: Kencana Prenadamedia Group
Lukman Santoso AZ, 2011. Hak dan Kewajiban
Hukum Nasabah Bank, Yogyakarta, Cetakan
Pertama, Pustaka Yustisia
Maria Farida Indrati S, 2007. Ilmu PerundangU n d a n g a n ( p r o s e s d a n Te k n i k
Pembentukannya), dikembangkan dari
perkuliahan Hamid Attamimi, Jakarta:
Kanisius
Meuwissen, 2008. Pengembangan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum,
Penerjemah Arief Sidharta, Bandung: Refika
Aditama.
Morris I Kohen and Olson. C.Kent. 2000.
Research, ST. Paul. Minnesotta
Muhammad Syafi’i Antonio, 2001. Bank Syariah
Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Setiono, 2010. Pemahaman Terhadap Metodologi
Penelitian Hukum, Surakarta: Program
Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Subekti, 2001. Hukum Perjanjian, Cetakan
Kedelapanbelas. Jakarta: PT. Intermasa
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007.
Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Soerjono Soekanto. 1984. Penelitian Hukum. Jakara:
UI Press
Soetandyo Wignjoseoebroto, 2013. Hukum Konsep
dan Metode. Malang: Setara Press
Sutan Remy Sjahdeni. 2009. Kebebasan Berkontrak,.
Cetakan Kesatu. Grafiti. Jakarta: Pradnya
Paramita
_______________. 2014. Perbankan Syariah
(produk-produk dan aspek-aspek hukumnya).
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group
Yuliandri, 2009. Asas-asas Pembentuka n
Peraturan Perundang-undangan Yang Baik
(gagasan Pembentukan Undang-Undang
Berkelanjutan), Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada
85
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 3 Januari-Juni 2015
Yudha Hernoko Agus. 2010. Hukum Perjanjian (Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial)
Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana Prenada.
Media Group
Zainuddin Ali. 2009. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika
Jurnal:
Noor Ahmed Memon, 2007. “ Islamic Banking:
Present and Future Challenges “. Vol.3 .
Farrukh Shahzad, Ahsan Zia, Naveed Ahmed,
Zeeshan Fareed, Bushra Zulfiqar. 2014.
International Journal of Management,
Accounting and Economics Vol. 1, No. 3,
October, 2014ISSN 2383-2126 (Online)©
IJMAE, All Rights Reserved 215. Growth
of Islamic Banking in Middle East andSouth
Asian Countries.
Salahuddin Yousuf, Md. Ariful Islam, Md. Rayhan.
2014. Islam. Journal of Islamic Banking and
Finance Vol. 2, No. 1 23©American Research
Institute for Policy Development www.
aripd.org/jibf “Islamic Banking Scenario of
Bangladesh”.
Ali Mutasowifin. 2003. Jurnal Universitas
Pa ra ma dina , “Meng agas Str ateg i
Pengembangan Syariah Di Pasar Non
Muslim”. Vol 3 Nomor 1
Yusuf Wibisono. 2009. Bisnis & Birokrasi , Jurnal
Ilmu Administrasi dan Organisasi, hlm.
105-115 Volume 16, Nomor 2ISSN 08543844, “Politik Ekonomi UU Perbankan
SyariahPeluang dan Tantangan Regulasi
Industri Perbankan Syariah”.
Abdul Jalil. 2013. Jurnal Konstitusi “Tumpang
Tindih Kewenangan dalam Penyelesaian
Sengketa PerbankanSyariah”. Vol 9 Nomor
10
Dharu Triasih. Efi Yulistyawati, dan Doddy
Krida Saksana. 2005 Jurnal Penelitian
“Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Debitor
Dalam Perjanjian Kredit Bank”.
Ani Nugroho. 2013. Jurnal ilmu hukum, “Hukum
Perjanjian Syariah dan Penerapannya Dalam
Perbankan Syariah di Indonesia
86
Muhammad. 2005. “Kumpulan Modul Short Course
Bank Syariah”, SBTC Yogyakarta
Ma’ruf Amin. 2014, “Asas-asas Kontrak Syariah
dan Harmonisasinya dengan Asas-asas
Kontrak Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), makalah disambut
dalam Seminar Nasional, Bedah Hukum
Penerapan Prinsip Syariah Dalam Asuransi
Di Indonesia, Fakultas Hukum UNS
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris
Undang-Undang republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1992, tentang Perbankan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2008, tentang Perbankan Syariah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989, tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006, tentang Perubahan Atas UU peradilan
Agama No. 7 Tahun 1989
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50
Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua atas
UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2012, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10 Tahun 2008,
tentang Restruksisasi Pembiayaan Bagi Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003,
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008,
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Femmy Silaswaty Faried. Legalitas Akad Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi ...
Data Elektronik
Islamwikiblogspot.com/2012/8/pengertian-syariahdalam-arti-luas-dan.html. 04 september
2014, 10.00 WIB
ww w. ac a de m ia .e du / 50 53 88 9 /
AGAMA_DAN_
K EWEN A NGA N BA RU NYA _Ol eh_
Akhmad_ Norozi. 3 Januari 2015, 12.00 WIB
www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/
infoumum/ejurnal/pdf/Ejurnal_1404_vol 10
no 4 Desember 2013, 19 Maret 2014, 11.15
WIB
www.academia.edu/5205126/asas_dalam_filsafat_
hukum
http://myrizal-76.blogspot.com/2011/03/teoridalam-hukum-kontrak.html wikipedia Bahasa
Indonesia, 16 Oktober 2013, 10.45 WIB
Myrizal-76.blogspot.com/2011/03/teori-dalamhukum-kontrak.html, 13 Maret 2014, 10.06
WIB
http://pengertiandarisyariah.blogspot.com/2013/01/
pengertian-syariah.html, 4 Januari 2015,
11.00 WIB
http://murasa.com/DepKumHam_ekonomiSyariah.
pdf, 4 Januari 2015, 11.00 WIB
http://alapalapingintaubat.blogspot.com/p/jenisjenis-akad-dalam-perbankan.html, 05 Januari
2015, 12.00 WIB
h t t p : / / b o e y b e r u s a h a s a b a r. w o r d p r e s s .
com/2013/12/1 0/sumber-kewenanganatribusi-delegasi-dan-mandat, 05 Januari
2015, 22.00 WIB
http://zofyanthespiritolife.blogspot.com/201 3/
jenis-jenis-lembaga-dan-peradilandi22.html,
5 Januari, 22.45 WIB
http:/?ww.sbp.prg.pk/departement/pdf/strategic plan
PDF/Xpeend-C%20 shariah20complince.pdf,
10 April 2014, 09.10 WIB
www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/
infoumum/ejurnal/pdf/Ejurnal_1404_vol 10
no 4 Desember.pdf, 19 Maret 2014, 11.15
WIB
Rulhome. Blog.com/2010/04/11/contoh-metodepenelitian-normatif-dengan-penelitianempiris, 10 April 2014, 10.20 WIB
87
Download