Untitled

advertisement
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Daftar Kontributor
2
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
1.
Prof. DR. Dr. Sudarto Ronoatmojo, MPH
2.
Dr. Pandu Riono, PhD, MPH
3.
Dr. Muh. Ilhamy Setyahadi, Sp.OG
4.
Dr. Yudianto Budi Saroyo, Sp.OG
5.
Dr. Dina Muktiarti, Sp.A
6.
Dr. Dyani Kusumowardhani, Sp.A
7.
Dr. Toha Muhaimin, M.Sc
8.
Husen Habsyi, SKM
9.
Caroline Thomas
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
i
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Daftar Isi
1.
Pendahuluan
1.1
1.2
1.3
1.4
2.
Pengertian HIV dan PMTCT..............................................................5
Besaran masalah HIV pada perempuan dan anak ...........................7
Intervensi medis dalam PMTCT .......................................................7
Komunikasi/Pendekatan Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan
PMTCT ...........................................................................................10
ART untuk PMTCT
2.1 Obat ARV bagi perempuan dengan HIV .............................................
2.2 Pemberian ART dalam PMTCT ...........................................................
3.
Penatalaksanaan obstetri
3.1 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi ............................................17
3.2 Tatalaksana antenatal pada ibu dengan HIV maupun yang belum
diketahui statusnya ........................................................................17
3.3 Tatalaksana persalinan bagi ibu dengan HIV maupun yang belum
diketahui statusnya ........................................................................18
3.4 Tatalaksana nifas bagi ibu dengan HIV maupun yang
belum diketahui statusnya.............................................................20
3.5 Kontrasepsi pada ibu dengan HIV ..................................................21
4.
Pemberian makanan bagi bayi
4.1 Penularan HIV melalui makanan pada bayi ...................................22
4.2. Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan
HIV .................................................................................................23
5.
Pemeliharaan kesehatan bagi bayi/anak dari ibu dengan
HIV
5.1 ART pada bayi dengan HIV.............................................................25
5.2 Imunisasi........................................................................................25
5.3 Profilaksis Kotrimoksasol ...............................................................26
ii
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
iii
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
5.4 Pemantauan tumbuh kembang dan status kesehatan ..................27
5.5 Diagnosis HIV pada bayi dan anak .................................................28
6.
Prinsip-prinsip konseling dan testing dalam PMTCT ......................29
Proses konseling, testing dan hasil testing ....................................30
Konseling pasangan .......................................................................30
Testing untuk bayi dan anak .........................................................30
1.
Komunikasi/Pendekatan Tenaga Kesehatan dalam
Pelayanan PMTCT
Tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat) dalam melakukan
pelayanan PMTCT dan terutama menghilangkan stigma dan
diskriminasi perlu memperhatikan hal-hal berikut:
• Memiliki pengetahuan yang lengkap dan jelas mengenai HIV/
AIDS dan PMTCT, sehingga mampu menginformasikan kepada
klien/pasien dengan benar.
• Mampu menjelaskan mengenai informasi HIV/AIDS secara
umum, pengertian dan langkah program PMTCT dan melakukan
konseling singkat bila pada klien ditemukan gejala-gejala yang
mengarah pada HIV/AIDS.
• Tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan PMTCT perlu
mendapatkan pelatihan keterampilan dan pengetahuan
mengenai PMTCT.
• Mengetahui cara penatalaksanaan pemberian makanan bayi
yang aman dan sesuai.
• Memberikan dukungan kepatuhan berobat bagi ibu dengan
HIV.
• Motivasi anggota keluarga untuk mendukung perawatan bagi
ibu dengan HIV.
Kewaspadaan universal
7.1
7.2
7.3
7.4
8.
Ringkasan Eksekutif
Konseling dan Testing
6.1
6.2
6.3
6.4
7.
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Strategi pencegahan penularan di sarana kesehatan ....................31
Tindakan pencegahan penularan di sarana kesehatan ..................31
Pengelolaan limbah medis.............................................................32
Pencegahan pasca pajanan............................................................32
Stigma dan diskriminasi
8.1 Stigma dan diskriminasi pada perempuan dengan HIV .................35
8.2 Dukungan psikososial bagi perempuan dengan HIV ......................37
2.
Pemberian ARV Selama Kehamilan, Persalinan dan Setelah
Melahirkan mengikuti sejumlah prinsip sebagai berikut :
• Harus dalam pengawasan dokter.
• Mengikuti Pedoman ARV Nasional 2007 yang dikeluarkan
Depkes
iv
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
v
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
• Diberikan melalui RS Rujukan ARV
• Perlu penjelasan tentang efek samping yang dapat terjadi
• Pasca melahirkan, ARV dilanjutkan sebagai ARV terapi untuk
meningkatkan kualitas hidup ibu
• Sebaiknya ada pendamping minum ARV, karena tingkat
kepatuhan/adherence sangat menentukan efektivitas terapi
ARV
3.
Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi ibu/pasangan
dengan HIV adalah kondom, karena bersifat proteksi ganda.
Jenis kontrasepsi lainnya (Kontrasepsi oral dan kontrasepsi
hormon jangka panjang (suntik dan implan)) bukan
kontraindikasi bagi ibu (pasangan) dengan HIV.
4.
Perempuan hamil dengan hitung CD 4 antara 250350 sel/mm3 yang memiliki indikasi untuk ART dapat
memulai terapi dengan rejimen mengandung NVP dengan
monitoring ketat dalam 12 minggu pertama terapi atau
dengan rejimen mengandung EFV jika pada trimester kedua
atau ketiga atau menerima rejimen 3 NRTI atau berbasis
golongan protease inhibitor/PI.
5.
Efavirens menjadi pilihan untuk komponen NNRTI
untuk rejimen lini pertama pada perempuan hamil pada
kehamilan trimester kedua atau ketiga.
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
bulan
10.
Bila ibu memilih untuk menyusui eksklusif maka ibu harus
mendapat ART (referensinya perlu dimasukkan: profilaksis
ART pada post partum atau HAART dini).
11.
Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (pemberian
ASI bersamaan dengan susu formula ataupun makanan/
minuman lain), karena memiliki risiko penularan virus HIV
pada bayi yang tertinggi. .Hal ini disebabkan pemberian
susu formula yang merupakan benda asing dapat
menimbulkan perubahan mukosa dinding usus yang
mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI
ke peredaran darah. Pilihan apapun yang diambil oleh
seorang ibu, setelah mendapat informasi dan konseling
secara lengkap harus didukung.
12.
Tenaga kesehatan berperan dalam mendorong klien/pasien
untuk menjalani tes HIV, dalam hal ini perempuan hamil
dan pasangannya baik yang memiliki faktor risiko maupun
tidak.
13.
Pada ibu yg datang di layanan ANC diberikan KIE HIV/AIDS.
14.
Konseling dan testing dianjurkan dilakukan pada ibu
dengan risiko tinggi dan pasangannya.
6.
Rekomendasi rejimen untuk bayi untuk perempuan dengan
HIV, maka dosis AZT untuk bayi harus diperpanjang hingga
4 minggu.
15.
Dokter dan tenaga kesehatan dianjurkan untuk
menyarankan testing HIV bagi ibu dan pasangannya yang
berisiko tinggi.
7.
Air susu ibu/ASI adalah asupan yang paling baik untuk bayi,
karena komposisinya yang lengkap dan ideal bukan hanya
bagi pertumbuhan serta perkembangan otak yang optimal,
namun juga perlindungan dari berbagai penyakit..
16.
Dokter/tenaga kesehatan yang melakukan proses PITC
kepada klien/pasiennya harus melakukan konseling pasca
tes.
17.
Pada seluruh layanan HIV/AIDS bila menemukan kasus
positif pada laki-laki perlu melakukan konseling dan
testing pada pasangan perempuannya (dimasukkan juga ke
panduan konseling dan testing).
8.
Pada odha tidak dianjurkan untuk memberikan ASI , bila
pemberian susu formula memenuhi syarat AFASS.
9.
Bila syarat AFASS tidak dapat dipenuhi maka dianjurkan
kepada ibu dengan HIV untuk menyusui eksklusif selama 6
vi
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
vii
1
Pengertian HIV dan PMTCT
2
Besaran masalah HIV pada perempuan
dan anak
3
Intervensi medis dalam PMTCT
4
Komunikasi/Pendekatan Tenaga
Kesehatan dalam Pelayanan PMTCT
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
1.1. Pengertian HIV dan PMTCT
1.1.1.
Apakah HIV DAN AIDS ?
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus golongan
RNA (genus retroviridae, ordo lentivirus) yang spesifik menyerang
sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia dan menyebabkan
AIDS. Dengan HIV adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV dan
tubuh telah membentuk antibodi (zat anti) terhadap virus tersebut.
Mereka berpotensi sebagai sumber penularan bagi orang lain.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome/Sindroma
Defisiensi Imun Akuisita/SIDA) adalah kumpulan gejala klinis
akibat penurunan sistem imun yang timbul akibat infeksi HIV. AIDS
sering bermanifestasi dengan munculnya berbagai penyakit infeksi
oportunistik, keganasan, gangguan metabolisme dan lainnya.
Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan
pengidap HIV (Odha) amat rentan dan mudah terjangkit berbagai
macam – macam penyakit/infeksi oportunistik.
Masa Jendela/window period adalah masa dimana seseorang
yang sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan antibodi di
dalam darahnya masih belum dideteksi/negatif. Masa jendela ini
biasanya berlangsung 3 bulan sejak infeksi didapat.
Penyakit HIV bukanlah penyakit yang dianggap ‘letal’. Saat ini
penyakit HIV adalah penyakit kronis, sama dengan misalnya penyakit
diabetes melitus, hipertensi ataupun penyakit kronis lainnya.
Semua penyakit kronis tersebut dapat mencapai status ‘terkendali’.
Sangat dipahami banyak orang takut terhadap penyakit HIV.
Penanganan kasus HIV bagi tenaga kesehatan seharusnya sama
dengan penyakit menular yang ditransmisikan dengan cairan tubuh
seperti hepatitis B, hepatitis C dan lainnya.
Bila kita secara teknis biasa melayani pasien dengan hepatitis B,
maka kita dapat melayani pasien HIV. Mengapa kita mesti takkut
bila risiko tertular dari penderita hepatitis B sekitar 30% daripada
penderita HIV 0,3%. Risiko tertular bila kita tertusuk jarum yang
terkontaminasi darah penderita hepatitis B 100 kali lebih besar
daripada penderita HIV.
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
3
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
1.1.2.
Perbedaan antara HIV, infeksi HIV, dan AIDS
a. HIV merupakan virus yang dapat menyebabkan infeksi.
b. Orang yang terinfeksi-HIV mungkin tidak menunjukkan gejala
namun dapat menulari orang lain.
c. Kebanyakan orang yang terinfeksi-HIV pada akhirnya akan
terserang AIDS pada suatu waktu, yang mungkin bisa terjadi
dalam jangka beberapa bulan bahkan sampai 15 tahun.
d. AIDS merupakan sekelompok penyakit dan infeksi oportunistik
yang akan berkembang setelah terinfeksi HIV dalam jangka
waktu yang cukup lama (rata-rata 3-5 tahun).
e. Diagnosis AIDS didasarkan atas hasil uji kriteria klinis dan hasil
uji laboratorium (menurut pedoman WHO).
1.1.3. HIV menular melalui cairan tubuh antara lain (direview
kembali):
a. Cairan genital : cairan genital (sel sperma, lendir vagina) memiliki
jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan
penularan. Oleh karenanya hubungan seksual yang berisiko/
tidak aman dapat menularkan HIV. Semua jenis hubungan
seksual misalnya kontak seksual genital, kontak seksual oral dan
anal dapat menularkan HIV.
b. Darah : penularan melalui darah dapat terjadi melalui transfusi
darah dan produknya dan perilaku menyuntik yang tidak aman
pada pengguna napza suntik (penasun/IDU). Transplantasi organ
yang tercemar virus HIV juga dapat menularkan.
c. Dari ibu dengan HIV ke bayinya : hal ini dapat terjadi selama
dalam masa kandungan (melalui plasenta/ari-ari pada keadaan
terinfeksi IMS, malaria dan ketuban pecah dini), masa persalinan
(melalui cairan genital dan darah) dan pada saat persalinan dan
menyusui (melalui pemberian ASI)
1.1.4.
Apa yang dimaksud dengan perilaku berisiko tertular
HIV ?
Perilaku berisiko adalah perilaku individu yang memungkinkan
tertular virus HIV. Perilaku berisiko ini dapat menjadi bagian dari
anamnesis terhadap seseorang yang diduga terinfeksi HIV dan AIDS.
4
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Sejumlah perilaku berisiko yang dimaksud adalah :
a. Berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan cara yang
tidak aman, misalnya tidak memakai kondom bila pasangannya
menderita HIV.
b. Berganti-ganti pasangan/partner seksual.
c. Berganti-ganti (berbagi) jarum suntik dan alat lainnya yang
kontak dengan darah dan cairan tubuh dengan orang lain
Cara penularan HIV yang utama di Indonesia
Metode penularan/transmisi yang terutama di Indonesia adalah
melalui :
a. Penularan melalui kegiatan seks pada perilaku seksual dengan
banyak pasangan dan tidak menggunakan kondom.
b. Penularan akibat penggunaan alat suntik yang tak steril, terutama
pada pengguna napza suntik
1.2. Besaran masalah HIV pada perempuan dan anak
Walaupun prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia hanya
16%, tetapi karena mayoritas (92,54%) Odha berusia reproduksi
aktif (15-49 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan
HIV akan meningkat.
Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi
HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi,
morbiditas dan mortalitas maternal. Besarnya stigma sosial
menyebabkan odha semakin menutup diri tentang keberadaannya,
yang pada akhirnya akan mempersulit proses pencegahan dan
pengendalian infeksi.
Diskriminasi dalam kehidupan sosial
menyebabkan odha kehilangan kesempatan untuk ikut berkarya
dan memberikan penghidupan yang layak pada keluarganya.
Karena terjadi penurunan daya tahan tubuh secara bermakna, maka
morbiditas dan mortalitas maternal akan meningkat pula.
Sedangkan dampak infeksi HIV terhadap bayi antara lain:
gangguan tumbuh kembang karena rentan terhadap penyakit,
peningkatan mortalitas dan morbiditas, stigma sosial, yatim piatu
lebih dini akibat orang tua meninggal karena AIDS, dan permasalahan
kepatuhan/adherence minum obat pada penyakit menahun untuk
seumur hidup.
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
5
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah
apabila :
(1) Terdeteksi dini
(2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, ibu mendapatkan
ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur,
petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai
Kewaspadaan Standar),
(3) Penatalaksanaan persalinan yang aman
(4) Pemberian makanan bayi yang aman dan sesuai (PASI dan
susu formula), dengan konseling mengenaii manfaat dan risiko
pemberian ASI dan susu formula. Perlu dukungan bagi ibu
mengenai keputusan terhadap pilihan pemberian makanan bayi.
jika pilihan ibu adalah ASI eksklusif, maka diberikan konseling
manajemen laktasi; jika pilihan ibu susu formula ekslusif, maka
dijelaskan mengenai AFASS
(5) Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi dan balita dari ibu
dengan dengan HIV
(6) Adanya dukungan dan perhatian yang berkesinambungan
kepada ibu, bayi dan keluarganya.
1.3. Intervensi dalam PMTCT
Menurut WHO terdapat 4 (empat) prong yang perlu diupayakan
untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi,
meliputi:
a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi
b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan
HIV
c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV
ke bayi yang dikandungnya
d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada
ibu dengan HIV beserta bayi dan keluarganya.
1.3.1.
Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan
usia reproduksi
Memberikan pengertian dan penjelasan kepada perempuan
6
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
dalam usia reproduksi mengenai :
1. Setiap perempuan dalam usia reproduksi menghindari perilaku
berisiko terkena HIV dan IMS dan pasangan mempunyai pasangan
yang berisiko
2. Jangan berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi atau
siapapun tanpa mengetahui status HIVnya
3. Setiap perempuan dalam usia reproduksi untuk tidak
menggunakan alat suntik tidak steril.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan
primer antara lain:
1. Sosialisasi mengenai HIV/AIDS dilakukan pada usia dini mengenai
kesehatan reproduksi, HIV/AIDS dan napza disesuaikan dengan
tingkat umur.
2. Informasi dan pendidikan kesehatan umum
3. Tes HIV dan konseling
4. Tes rutin bagi yang pernah melakukan kegiatan berisiko
5. Konseling pasangan dan tes kepada pasangan
6. Mempraktekkan kegiatan seks yang aman
7. Menunda kegiatan seksual
8. Komunikasi perubahan perilaku untuk menghindari perilaku
risiko tinggi
1.3.2. Mengatur kehamilan pada ibu dengan HIV
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan
kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV:
1. Menyediakan konseling dan layanan perencanaan keluarga untuk
meyakinkan perempuan HIV+ membuat keputusan berdasarkan
informasi yang benar
2. Mempraktekkan kegiatan seks yang aman
3. Memberikan informasi alat kontrasepsi yang dianjurkan.
4. Mengatur kehamilan bagi odha dan pasangannya.
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
7
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Pemberian alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta konseling
yang berkualitas akan membantu Odha dalam melakukan seks yang
aman, mempertimbangkan jumlah anak yang dilahirkannya, serta
menghindari lahirnya anak yang terinfeksi HIV.
Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi ibu/pasangan dengan HIV
adalah kondom, karena bersifat proteksi ganda. Jenis kontrasepsi
lainnya (Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormon jangka panjang
(suntik dan implan)) bukan kontraindikasi bagi Odhaibu (pasangan)
dengan HIV. Namun perlu diperhatikan interaksi obat ARV dengan
kontrasepsi hormonal (terutama yang mengandung estrogen).
Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim( AKDR) tidak dianjurkan
karena bisa menyebabkan infeksi asendens/menaik. Spons dan
diafragma kurang efektif untuk mencegah terjadinya kehamilan
maupun penularan HIV.
Pasca persalinan perlu konseling ulang mengenai pertimbangan
jumlah anak yang akan dilahirkannya.
Jika ibu dengan HIV tetap ingin memiliki anak, dianjurkan jarak
antar kelahiran minimal 2 tahun.
1.3.3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu dengan HIV
kepada bayi yang dikandungnya
Bentuk intervensi berupa:
a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT) maupun
konseling singkat dari petugas kesehatan
c. Pemberian obat antiretroviral (ARV)
d. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian
makanan bayi
e. Persalinan yang aman.
1.3.4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan
kepada ibu dengan HIV, beserta bayi dan keluarganya
Upaya PMTCT tidak terhenti setelah ibu melahirkan. Karena
ibu tersebut terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, maka
membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang
8
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
waktu. Jika bayi dari ibu tersebut tidak terinfeksi HIV, tetap perlu
dipikirkan tentang masa depannya, karena kemungkinan seperti
orang tua bayi meninggal dunia. Sedangkan bila bayi terinfeksi HIV,
perlu mendapatkan pengobatan ARV seperti odha lainnya.
Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV
akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya.
Diharapkan ia akan bertindak bijak dan positif untuk senantiasa
menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku sehat agar
tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk
Odha ini perlu diketahui masyarakat luas. Diharapkan informasi ini
bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko tertular HIV
untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV
mereka sedini mungkin.
1.4. Komunikasi/Pendekatan Tenaga Kesehatan dalam
Pelayanan PMTCT
Tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat) dalam melakukan
pelayanan PMTCT dan terutama menghilangkan stigma dan
diskriminasi perlu memperhatikan hal-hal berikut :
1. Memiliki pengetahuan yang lengkap dan jelas mengenai HIV/
AIDS dan PMTCT, sehingga mampu menginformasikan kepada
klien/pasien dengan benar.
2. Mampu menjelaskan mengenai informasi HIV/AIDS secara
umum, pengertian dan langkah program PMTCT dan melakukan
konseling singkat bila pada klien ditemukan gejala-gejala yang
mengarah pada HIV/AIDS.
3. Tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan PMTCT perlu
mendapatkan pelatihan keterampilan dan pengetahuan
mengenai PMTCT.
4. Mengetahui cara penatalaksanaan pemberian makanan bayi
yang aman dan sesuai.
5. Memberikan dukungan kepatuhan berobat bagi ibu dengan
HIV.
6. Motivasi anggota keluarga untuk mendukung perawatan bagi
ibu dengan HIV.
1. Obat ARV bagi perempuan dengan
HIV
2. Pemberian ART dalam PMTCT
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
2.1. Obat antiretroviral (ARV) bagi perempuan dengan HIV
2.1.1.
Penggunaan obat antiretroviral pada Ibu dengan HIV
Terapi ARV
Tujuan
Mencegah timbulnya
AIDS
Penggunaan
Jangka lama/seumur
hidup
Kelayakan pem- Gejala klinis dan kadar
berian
CD4 atau Limfosit
Profilaksis ARV
Mencegah penularan
HIV dari Ibu ke Bayi
Masa kehamilan saja
Ibu dengan HIV yang
hamil
Manfaat terapi ARV dalam program PMTCT serupa dengan terapi
ARV untuk pasien HIV pada umumnya yaitu :
1. Memperbaiki status kesehatan dan kualitas hidup
2. Menurunkan angka rawat inap akibat HIV
3. Menurunkan kematian terkait AIDS
4. Menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke anak (MTCT)
Semua ibu hamil dengan HIV yang tidak memenuhi syarat secara
medis untuk ARV Terapi (ART) harus ditawarkan ARV profilaksis
untuk PMTCT
Pemberian ARV Selama Kehamilan, Persalinan dan Setelah
Melahirkan mengikuti sejumlah prinsip sebagai berikut :
1. Harus dalam pengawasan dokter.
2. Mengikuti Pedoman ARV Nasional 2007 yang dikeluarkan
Depkes
3. Diberikan melalui RS Rujukan ARV
4. Perlu penjelasan tentang efek samping yang dapat terjadi
5. Pasca melahirkan, ARV dilanjutkan sebagai ARV terapi untuk
meningkatkan kualitas hidup ibu
6. Sebaiknya ada pendamping minum ARV, karena tingkat
kepatuhan/adherence sangat menentukan efektivitas terapi
ARV
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
13
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
2.1.2. Syarat pemberian ARV (menurut pedoman WHO 2006)
Stadium klinis menurut WHO Bila tidak tersedia tes CD4
Bila tersedia tes CD 4
1 Tidak diobati untuk kepentingan ibu saat ini Obati jika hitung
sel CD 4 < 200 sel/mm3
2 Tidak diobati
3 Obati Obati jika hitung sel CD 4< 350 sel/mm3
4 Obati Obati tanpa memperhatikan hitung CD 4
Perempuan mengalami kadar hitung CD4 yang lebih rendah
saat kehamilan dibandingkan setelah melahirkan/nifas, sebagian
dikarenakan hemodilusi terkait kehamilan. Hal ini mempengaruhi
penggunaan ambang batas 350 pada perempuan hamil, khususnya
pada stadium klinis 1 atau 2, belum diketahui.
Kriteria memulai terapi ARV pada perempuan hamil sama dengan
perempuan yang tidak hamil, dengan pengecualian bahwa terapi ini
dianjurkan bagi perempuan hamil yang telah mengalami stadium
klinis 3 dan hitung CD 4 dibawah 350 sel/mm3.
• Berikan ARV pada semua pasien pada stadium 4 dan stadium 3
(bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4)
• Berikan ARV pada semua pasien dengan hitung CD 4 < 200 atau
hitung total limfosit < 1.200 sel/mm3
• Berikan ARV pada perempuan hamil dengan CD4 < 350 sel/
mm3
• Pertimbangkan untuk ARV pada perempuan tidak hamil dengan
CD4 < 350 sel/mm3
2.2.
Pemberian ART dalam PMTCT
2.2.1.
Memulai terapi ARV pada kehamilan
Perempuan yang menjadi hamil saat mendapat terapi ART
Apabila sebelum kehamilan sudah menggunakan ARV terapi,
teruskan selama kehamilan-persalinan-nifas
Untuk perempuan yang hamil saat mendapat ART mengandung
efavirens dan pada trimester 1, maka rejimen ARV yang mengandung
nevirapin/NVP harus diganti dengan nevirapin/NVP, dengan monitor
14
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
ketat hitung CD 4 nya. Alternatifnya dapat diberikan tiga macam
NRTI atau PI.
Perempuan yang menerima EFV dan baru mengetahui
kehamilannya pada usia gestasi trimester kedua dan ketiga
kehamilannya dapat meneruskan rejimen yang sedang diminum.
Mendapatkan EFV pada saat kehamilan bukan indikasi untuk
aborsi.
Untuk perempuan yang hamil saat menerima rejimen ART
mengandung tenofovir/TDF , keuntungan melanjutkan rejimen
melebihi risiko toksisitas untuk bayi dan substitusi obat tidak
dianjurkan.
Bayi yang lahir dari ibu yang mendapat terapi antiretroviral harus
mendapat zidovudin selama 7 hari.
Perempuan hamil dengan indikasi untuk terapi ARV
Apabila memenuhi persyaratan medis terapi ARV, mulai sesegera
mungkin berikan ARV, walaupun pada trimester I.
Ibu
Bayi
Antepartum
Intrapartum
Pasca partum
AZT + 3TC + NVP 2 x sehari
AZT + 3TC + NVP 2 x sehari
AZT + 3TC + NVP 2 x sehari
AZT X 7 hari
Selama trimester pertama pada kehamilan, EFV hanya digunakan
jika potensi keuntungan melebihi potensi risiko pada janin, pada
perempuan hamil tanpa adanya pilihan terapi lainnya
Perempuan yang datang pada masa kehamilan akhir atau pada
saat persalinan
Perempuan dengan indikasi ART yang datang terlambat
pada kehamilan harus memulai ART, tanpa memperdulikan usia
kehamilannya.
Terapi untuk bayi
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
15
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Rekomendasi rejimen untuk bayi adalah AZT untuk 1 minggu.
Jika ibu menerima ART antenatal kurang dari 4 minggu, maka untuk
bayi diberikan AZT 4 minggu bukan satu minggu.
2.2.2.
Kesimpulan :
1. Rejimen lini 1 untuk terapi ART pada perempuan hamil adalah
AZT + 3TC + NVP
2. Perempuan hamil dengan hitung CD 4 antara 250-350 sel/mm3
yang memiliki indikasi untuk ART dapat memulai terapi dengan
rejimen mengandung NVP dengan monitoring ketat dalam 12
minggu pertama terapi atau dengan rejimen mengandung EFV
jika pada trimester kedua atau ketiga atau menerima rejimen 3
NRTI atau berbasis golongan protease inhibitor/PI.
3. Efavirens menjadi pilihan untuk komponen NNRTI untuk rejimen
lini pertama pada perempuan hamil pada kehamilan trimester
kedua atau ketiga.
4. Tenofovir harus dipertimbangkan sebagai komponen ART awal
bagi perempuan hamil jika alternatif lain tidak tersedia atau
dikontraindikasikan (ingat: tenofovir adalah obat ARV lini 2)
5. Rekomendasi rejimen untuk bayi untuk perempuan dengan
HIV, maka dosis AZT untuk bayi harus diperpanjang hingga 4
minggu.
6. Perempuan dengan indikasi ART yang datang pada akhir
masa kehamilan harus memulai ART tanpa melihat usia
kehamilannya.
16
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
1. Ibu belum memenuhi syarat untuk mendapatkan terapi
ARV
Jenis Pemberian
Ranking Antepartum Intrapartum Pasca partum
Rekomen- AZT 300mg 2 AZT 600 mg Ibu:
AZT(300 mg)
dasi
x sehari
pada awal
+ 3TC (150
(mulai > 28
persalinan
mg) 2x/hari mgg)
atau
AZT 300 mg 7 hari
Bayi:
pada awal
Dosis
persalinan,
tunggaldan tiap 3
NVP 2 mg/
jam sampai
kgBB segera
melahirkan
setelah lahir
DAN
ditambah
Dosis tunggal-NVP 200 AZT 2 mg/
kgBB/kali
mg pada
awal persali- 4x/hari - 7
hari (bila ibu
nan
mendapat
DAN
ARV lengkap,
3TC 150mg
bila hanya
pada awal
mendapat in
persalinan
dan setiap 12 partu atau
tidak lengkap
jam sampai
4 minggu)
melahirkan
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
17
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
2. Ibu belum mendapat profilaksis ARV antepartum
Ranking
Rekomendasi
Jenis Pemberian
Antepartum
Pasca partum
Ibu:
AZT 600mg pada
awal persalinan
AZT(300mg) + 3TC
atau
(150mg) 2x/hari - 7 hari
AZT 300mg pada
awal persalinan, dan
tiap 3 jam sampai
melahirkan
DAN
Bayi:
NVP dosis tunggal
200mg paaad awal
persalinan
NVP dosis tunggal 2mg/
kgBB segera setelah lahir
ditambah
2 mg/kg BB/kali, 4 kali/
hari- 4 minggu
DAN
3TC 150mg pada
awal persalinan dan
setiap 12 jam sampai melahirkan
3. Ibu belum mendapat profilaksis ARV antepartum ataupun
intrapartum
Ranking
Rekomendasi
Postpartum
Bayi: Dosis tunggal-NVP 2mg/kgBB segera
setelah lahir DAN
AZT 2 mg/kgBB 4x/hari - 4 minggu
4. Ibu hamil dengan koinfeksi tuberkulosis
a. Prioritas adalah mengobati tuberkulosis
b. Dengan manajemen klinis yang baik, seorang ibu hamil
18
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
1. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
2. Tatalaksana antenatal pada ibu dengan
HIV maupun yang belum diketahui
statusnya
3. Tatalaksana persalinan bagi ibu dengan
HIV maupun yang belum diketahui
statusnya
4. Tatalaksana nifas bagi ibu dengan
HIV maupun yang belum diketahui
statusnya
5. Kontrasepsi pada ibu dengan HIV
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
3.1
Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
Risiko penularan HIV bila tanpa intervensi
(de Cock, dkk, 2000):
5 Ͳ 10 % 10Ͳ20 %
%
5Ͳ20% 5
intrauterin
intrapartum
pascapersalinan
Intervensiyangdapatdilakukan:
ARVbagiibu
(ARV)
3.2
ARVbagiibu
SCelektif
Bayi:ARV
SusuFormula(AFASS)
Tatalaksana antenatal pada ibu dengan HIV maupun yang
belum diketahui statusnya
Perawatan antenatal dapat meningkatkan kesehatan secara
umum dan kesejahteraan ibu dan keluarga mereka. Dengan
menggabungkan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke
bayi dengan layanan perawatan antenatal, maka program kualitas
pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan bagi semua klien.
Intervensi antenatal dapat menurunkan resiko penularan HIV/
AIDS dari ibu ke bayinya. Perawatan kesehatan kehamilan yang
baik dapat membantu perempuan yang terinfeksi HIV tetap sehat
dan merawat anak mereka dengan baik. Jika ibu meninggal, maka
kemungkinan anak akan menderita penyakit dan mengalami
kematian akan lebih tinggi.
Untuk implementasi program pencegahan penularan dari ibu ke
bayinya, maka elemen berikut harus turut disertakan sebagai bagian
dari perawatan antenatal:
1. Informasi dan pendidikan kesehatan.
2. Pendidikan tentang cara berhubungan seksual yang aman dan
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
21
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
HIV.
Tes dan konseling tentang HIV.
Tes dan konseling bagi pasangan tentang HIV.
Intervensi untuk menurunkan risiko penularan dari ibu ke
bayinya.
Bimbingan dan dukungan pemberian makanan bayi untuk
perawatan ibu hamil yang aman termasuk pengobatan malaria
dan tuberkulosis.
Diagnosis dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS).
Deteksi dini dan pengobatan dan pengawasan atas tuberkulosis
dan malaria.
Pilihan metode persalinan, pilihan pemberian makanan untuk
bayi/anak, metode kontrasepsi. HIV bukan merupakan indikasi
absolut untuk dilakukan sterilisasi pada ibu.Hal ini harus
didiskusikan dan ditentukan sebelum persalinan.
Konseling pemberian makanan untuk bayi meliputi hal-hal berikut
:
1. Konseling ini dilakukan saat usia kehamilan mencapai trimester
3.
2. Dijelaskan mengenai cara penularan HIV.
3. Diberikan penjelasan keuntungan dan kerugian dalam memilih
pemberian nutrisi pada bayi.
4. Dipersilahkan memilih metode yang telah dijelaskan
5. Dukungan terhadap pilihan ibu.
Perawatan antenatal bagi perempuan yang terinfeksi HIV
Perawatan antenatal bagi perempuan yang terinfeksi HIV
mencakup layanan dasar yang disarankan untuk semua perempuan
hamil. Namun, perawatan obstetri dan medis ini diperluas agar
dapat mencakup kebutuhan khusus perempuan yang terinfeksi
HIV.
Infeksi HIV pada perempuan pada usia kehamilan mendapat
tantangan besar pada lingkungan dengan keterbatasan sumber daya.
Menentukan status HIV perempuan merupakan langkah pertama
22
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
dalam menyediakan pengobatan, perawatan dan penyediaan
layanan dukungan yang tepat, termasuk akses atas profilaksis
antiretroviral saat dibutuhkan. Ketersediaan layanan tes cepat/
rapid test memungkinkan para perempuan untuk menjalani uji dan
menerima hasil uji HIV mereka pada kunjungan prenatal pertama.
Jika status HIV telah diketahui, maka ibu dapat dievaluasi untuk
persyaratan minum ARV dan ditawarkan untuk diberikan perawatan
ARV dan profilaksis.
Dalam beberapa situasi, karena kurangnya akses layanan tes
ini atau karena perempuan menolak tes, maka status HIV-nya
tidak dapat diketahui. Dalam kondisi seperti ini, maka perempuan
tersebut dianggap berpotensi dalam penularan dari ibu ke bayinya,
dan dia harus diberikan bimbingan yang selayaknya selama
perawatan antenatal. Perempuan dengan status HIV belum
diketahui perlu mendapat konseling mengenai testing HIV pada
kunjungan perawatan antenatal berikutnya dan diingatkan tentang
keuntungan mengetahui status HIVnya.
3.3
Tatalaksana persalinan bagi ibu dengan HIV maupun yang
belum diketahui statusnya
Untuk mencegah terjadinya penularan HIV ke janin/bayi, perlu
diperhatikan :
a. Dengan menurunkan kadar viral load/VL serendah-rendahnya
- Deteksi dini
- ARV
- Pola hidup sehat
b. Pemilihan metode kelahiran tergantung:
- Muatan virus dalam darah/Viral Load (pada minggu ke berapa
diperiksanya?)
- Kesiapan sarana kesehatan: kewaspadaan universal,
saranadan prasarana, SDM medis dan non medis.
- Status obstetri
Bahwa seksio sesarea berencana merupakan cara persalinan
yang memiliki risiko transmisi terkecil pada saat persalinan.
Risiko transmisi akan meningkat bila terjadi persalinan (in partu)
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
23
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
dan ketuban pecah. Pilihan persalinan haruslah disertai dengan
penjelasan keuntungan dan kerugian termasuk besaran risiko
transmisi virus ke bayinya.
Pada ibu hamil perlu dilakukan konseling keuntungan dan
kerugian metode persalinan per vaginam atau seksio sesarea.
Kelahiran per vaginam dimungkinkan bila :
1. Persetujuan tindakan medis dan informasi yang sejelas-jelasnya
(informed consent)
2. Kadar VL tidak terdeteksi/undetectable dan/atau;
• Meminum ARV teratur sesuai prosedur, minimal 4 minggu
dan apabila hitung kadar virus dalam darah/viral load ibu < 1.000
kopi/mm3 (PCR-RNA)atau tidak terdeteksi dengan PCR-DNA (bila
dimungkinkan).
Penerapan kewaspadaan universal dalam pertolongan persalinan,
baik secara seksio sesarea maupun persalinan spontan, berprinsip
pada :
1. Cuci tangan
2. Penggunaan alat pelindung diri untuk mencegah transmisi HIV
melalui cairan.
3. Penanganan alat medis tajam baik dalam penggunaan, serah
terima, penyimpanan maupun pembuangan sebagai limbah
medis.
4. Penerapan budaya aman dalam kamar operasi ataupun kamar
bersalin
Operasi seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan
tiba (atas dasar pilihan, bukan karena tindakan emergensi) akan
menghindari bayi terkena kontak dengan darah dan lendir ibu
dengan HIV. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa
operasi seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi sebesar 50-66% (apakah sudah mendapat ARV atau
belum, perlu mendorong persalinan per vaginam) istilah ibu diganti
ibu dengan HIV.
24
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Pilihan Metode Persalinan
3.4
Metode persalinan
Keuntungan
Seksio Sesarea
Risiko penularan
Elektif
yang rendah
Terencana
Kerugian
Lama perawatan bagi
ibu.
Perlu sarana dan fasilitas pendukung
Biaya.
Per Vaginam
Risiko penularan pada bayi relatif
tinggi (kecuali ibu telah
minum ARV teratur dan
diketahui kadar viral
load).
Mudah dilakukan di sarana
kesehatan yang
terbatas.
Masa pemulihan
pasca partum
singkat
Biaya rendah
Tatalaksana nifas bagi ibu dengan HIV maupun yang belum
diketahui statusnya
3.4.1 Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV
Pekerja layanan kesehatan harus mengikuti prosedur rutin bagi
perawatan ibu dengan HIV dalam masa nifas.
Perawatan berkelanjutan
1. Pemberian supresi laktasi bagi ibu yang memilih tidak
menyusui.
2. Hasil pemeriksaan/tes HIV pada bayi disampaikan kepada dokter
spesialis obsgin yang merawat ibu.(sebagai bagian penilaian
keberhasilan penerapan PMTCT dalam institusi kesehatan, serta
memperkuat kinerja Tim PMTCT.
3. Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan
terhadap HIV/AIDS dan kemungkinan infeksi mikroorganisme
yang disertai dengan dukungan nutrisi yang cukup.
4. Perawatan ginekologi rutin, termasuk pemeriksaan pap smear,
jika tersedia.
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
25
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
3.4.2 Pemberian makanan untuk bayi yang baru dilahirkan
1. Berikan pelatihan dan awasi teknik pemberian makan yang
benar sebelum memulangkan ibu.
2. Dukung pilihan ibu tentang cara pemberian makanan. Pilihan
ibu dapat dilakukan dengan memberikan konseling menyusui
pada perawatan antenatal.
3. Pastikan bahwa ibu menentukan pilihan makanan sebelum dia
meninggalkan klinik atau rumah sakit setelah melahirkan.
3.5
Kontrasepsi pada ibu dengan HIV
Kontrasepsi dan pemberian jarak kelahiran antar anak harus
dibicarakan dengan setiap ibu selama perawatan antenatal dan
dibicarakan kembali segera setelah masa nifas usai.
1. Penularan HIV melalui makanan pada
bayi
2. Jenis-jenis metode pemberian
Makanan pada bayi dari ibu dengan
26
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
4.1. Penularan HIV melalui makanan pada bayi
Ibu dengan HIV perlu mempertimbangkan banyak faktor ketika
mengambil keputusan tentang pilihan pemberian makan yang
terbaik untuk bayinya. Petugas kesehatan memainkan peran penting
dalam mengarahkan proses pengambilan keputusan mereka
dengan memberi konseling tentang pemberian makan bayi yang di
dalamnya tercakup:
a. Informasi tentang risiko penularan HIV melalui pemberian ASI
b. Keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan yang tersedia.
Penghargaan terhadap adat-istiadat, praktik-praktik, dan
kepercayaan setempat ketika menolong seorang ibu menentukan
pilihan tentang pemberian makan bayi.
4.1.1. Rekomendasi-rekomendasi dalam hal memberi makan bayi
bagi ibu dengan HIV
a. Air susu ibu/ASI adalah asupan yang paling baik untuk bayi,
karena komposisinya yang lengkap dan ideal bukan hanya bagi
pertumbuhan serta perkembangan otak yang optimal, namun
juga perlindungan dari berbagai penyakit..
b. Pada ibu dengan HIV dan AIDS, maka terdapat risiko transmisi
HIV melalui ASI (5- 20%).
c. Pada odha tidak dianjurkan untuk memberikan ASI , bila
pemberian susu formula memenuhi syarat AFASS, yaitu :
Acceptable (Dapat diterima) , artinya tidak ada hambatan
sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula pada
bayinya
Feasible (Layak), artinya iIbu dan keluarga punya waktu,
pengetahuan, dan ketrampilan memadai untuk menyiapkan dan
memberikan susu formula kepada bayi
Affordable (Terjangkau) artinya iIbu dan keluarga mampu membeli
susu formula, tersedia air bersih, bahan bakar untuk memasak dan
perlengkapan lain yang diperlukan untuk menyiapkan susu formula
yang memenuhi syarat.
Sustainable (Berkelanjutan) artinya susu formula dijamin dapat
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
29
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
diberikan setiap hari, siang dan malam selama usia bayi belum
mencapai 6 bulan dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai
dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya hingga bayi
berusia setidaknya 6 bulan.
Safe (Aman) artinya sSusu formula harus disimpan secara higienis,
tidak terkontaminasi, saat penyiapannya tersedia air bersih dan
takarannya dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi, disuapkan dengan
tangan dan peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan
penggunaan susu formula pada masyarakat, khususnya para ibu
menyusui (Spill Over).
d. Bila syarat AFASS tidak dapat dipenuhi maka dianjurkan kepada
ibu dengan HIV untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan
Formatted: Indonesian
e. Bila ibu memilih untuk menyusui eksklusif maka ibu harus
mendapat ART (referensinya perlu dimasukkan: profilaksis ART
pada post partum atau HAART dini)
f. Bila ibu memilih menyusui eksklusif, hentikan sesegera mungkin
apabila syarat AFASS sudah terpenuhi dan beralih ke susu
formula (dihentikan ASI eksklusif).
g. Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (pemberian ASI
bersamaan dengan susu formula ataupun makanan/minuman
lain), karena memiliki risiko penularan virus HIV pada bayi yang
tertinggi. .Hal ini disebabkan pemberian susu formula yang
merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa
dinding usus yang mempermudah masuknya HIV yang ada di
dalam ASI ke peredaran darah.
h. Pilihan apapun yang diambil oleh seorang ibu, setelah mendapat
informasi dan konseling secara lengkap harus didukung.
4.2. Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu
dengan HIV
4.2.1. Ibu dengan status HIV negatif atau status HIV tak diketahui
a. ASI eksklusif untuk usia 6 bulan pertama
b. Makanan padat yang aman, sesuai, dan ASI diteruskan hingga 2
tahun.
c. Dorong ibu untuk relaktasi bila ibu belum menyusui.
30
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
4.2.2. Ibu dengan status HIV positif
a. Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable,
feasible, acceptable, sustainable, safe).
b. Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan
pemberian ASI eksklusif yang jangka pemberiannya singkat atau
alternatif ASI lainnya, yaitu:
- Pasteurisasi/memanaskan ASI perah.
- Mencari Ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya)
yang telah dibuktikan HIV negatif.
4.3. Komplikasi yang perlu diperhatikan pada ibu yang
memberikan ASI
Breast engorgement /payudara bengkak:
1. Jelaskan kepada ibu bahwa ASI perlu dikeluarkan (bahkan pada
saat bayi tidak minum) untuk menghindari mastitis atau abses
yang dapat menurungkan produksi ASI.
2. Jika bayi dapat menghisap, beritahukan ibu untuk lebih sering
menyusui bayinya, dan ajarkan ibu mengenai posisi menyusui
bayi yang optimal.
3. Jika bayi tidak dapat menyusu/menghisap, ajarkan ibu bagaimana
untuk mengeluarkan ASI kepada bayi dengan tangan, melalui
pompa ASI. Ajarkan pula bagaimana ibu dapat dengan baik dan
aman menggunakan cangkir untuk memberi minum kepada
bayinya.
Gejala mastitis dan duktus yang tersumbat :
1. Perhatikan penyebab dari aliran yang terhambat seperti
perlekatan mulut bayi yang kurang baik, tekanan yang berlebih
dari pakaian atau posisi tidur ibu, atau bentuk payudara
pendulum dengan duktus yang tersumbat pada bagian bawah
payudara.
2. Anjurkan ibu untuk lebih sering menyusui, dengan lembut
mengurut payudara saat bayi menyusu, kompres air hangat
pada payudara, berikan ASI dari payudara yang tidak sakit, dan
menyusui bayi dalam posisi yang berbeda sepanjang hari.
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
31
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
3. Jika tampak tanda-tanda infeksi (demam, kemerahan dan
nyeri) berikan antibiotik (dikloksasillin 500 mg setiap 6 jam atau
klindamisin 300 mg tiap 6 jam selama 7-10 hari).
4. Sarankan untuk istirahat total dan berikan saran juga kepada
majikan atau keluarga pasien jika perlu.
5. Berikan parasetamol untuk mengatasi nyeri.
Untuk lecet pada puting:
1. Perhatikan penyebab yang paling mungkin (perlekatan dengan
mulut bayi yang kurang, fisura, pembengkakan, infeksi kandida
pada mulut/kulit bayi).
2. Jelaskan kepada ibu bahwa lecet bersifat sementara, dan ibu
dapat melanjutkan menyusui dan tidak perlu mengistirahatkan
payudara, dan proses menyusui akan kembali membaik.
3. Tawarkan perawatan yang baik dengan mengajarkan bagaimana
perlekatan mulut bayi yang tepat, membantu ibu mengurangi
pembengkakan jika perlu, oleskan gentian violet atau nistatin
pada puting dan mulut bayi jika kemerahan, gatal, nyeri atau
lecet berlanjut.
4. Anjurkan ibu tidak membersihkan payudara lebih dari sekali
sehari, karena akan menghilangkan minyak alamiah dari kulit,
dan memudahkan terjadinya lecet.
5. Anjurkan ibu tidak menggunakan salep dan losio obat, karena
akan mengiritasi kulit.
6. Anjurkan setelah menyusui, ibu dapat mengoleskan ASI
yang tersisa ke daerah puting susu dengan jari, karena akan
mempercepat penyembuhan.
1. ART pada bayi dengan HIV
2. Imunisasi
3. Profilaksis Kotrimoksasol
4. Pemantauan tumbuh kembang dan
status kesehatan
5. Diagnosis HIV pada bayi dan anak
32
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
5.1. ART pada bayi dengan HIV
5.1.1. Profilaksis ARV pada Bayi
a. Pilihan dan lamanya bergantung pada protokol PMTCT yang
digunakan
b. Perlu penyesuaian dosis
c. Harus memperhatikan dosis dan efek samping
d. Harus memantau adherence
5.1.2. ARV Profilaksis pada Bayi
a. Diberikan untuk semua bayi lahir dari ibu dengan HIV
b. Zidovudin dimulai hari pertama (umur 12 jam) selama 4 minggu
(jika ibu telah mendapat zidovudin kurang dari 4 minggu pada
saat kehamilannya).
c. Nevirapin 1 kali/hari dalam masa baru lahir hingga 72 jam
pertama
5.1.3. Dosis Zidovudin/AZT/ZDV
a. Bayi dengan usia gestasi > 35 minggu: 2 mg/kgBB/kali oral
diberikan dalam waktu 6-12 jam setelah lahir, kemudian
diberikan tiap 6 jam (4 kali/hari).
b. Bayi dengan usia gestasi 30-35 minggu: 2 mg/kgBB/kali diberikan
secara oral tiap 12 jam, kemudian diberikan setiap 8 jam pada
usia 2 minggu dan seterusnya..
c. Bayi dengan usia gestasi < 30 minggu: 2 mg/kg/kali diberikan
secara oral setiap 12 jam, kemudian setiap 8 jam pada usia 4
minggu dan seterusnya.
d. Pemberian ARV profilaksis pada bayi selambatnya 72 jam setelah
lahir
e. Pada bayi baru lahir dengan ibu dengan HIV tidak perlu dilakukan
pemeriksaan dengan metode rapid tes.
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
35
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
5.1.4. Dosis Nevirapin/NVP :
2 mg/kg BB/kali diberikan secara oral, dosis tunggal, saat lahir
hingga usia 72 jam
5.2. Imunisasi
1. Imunisasi diperlukan untuk melindungi bayi-bayi yang terpapar
HIV
2. Prinsip umum: tidak memberi vaksin hidup (life attenuated
vaccine) bila terdapat gejala infeksi HIV
3. Untuk negara endemis dan sumber daya terbatas, BCG diberikan
pada usia dini pada bayi asimtomatik/tidak ada gejala-gejala
penyakit
Kotrimoksazol (TMP) 5 mg/kg BB
Berat Badan Larutan TMP 8mg/mL
Tablet dewasa (SMZ
400mg, TMP 80mg)
3 - 4.9 kg
2 mL/hari
5 - 6.9 kg
3 mL/hari
7 - 9.9 kg
4 mL/hari
1/2 tab
10 - 11.9 kg
5 mL/hari
1/2 tab
12 - 14.9 kg
7 mL/hari
1 tab
5.4. Pemantauan tumbuh kembang dan status kesehatan
Jadwal kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu dengan HIV
Keterangan
Saat lahir 10 hari 4 mgg
6 mgg
2 bln
3 bln
4 bln
6 bln
9 bln
12 bln
18 bln
Setiap
6
Bulan
Evaluasi klinis
Jadwal Imunisasi pada Bayi dari Ibu dengan HIV (menurut WHO/
UNICEF)
Vaksin
BCG
DPT
Infeksi HIV
Infeksi HIV Waktu optimal imuasimtomatik simtomatik
nisasi
YA
TIDAK
YA
YA
Minggu ke 6,10,14
OPV
YA
Campak
YA
Hepatitis B YA
YA
YA
YA
Minggu ke 0, 6, 10, 14
Bulan ke 9
Seperti pada anak
yang tidak
terinfeksi
Berat dan Tinggi
Badan
Pemberian
F/EBF
makanan
ARV profilaksis
(Dosis Tunggal
NVP 2 mg/kgBB :
AZT 2
mg/kgBB/kali, 4
x/hari)
Profilaksis PCP
dengan
kotrimoksasol
Imunisasi (sesuai Hep B
dengan jadwal
OPV
imunisasi menurut
IDAI/Depkes)
F/EBF
F/EBF
F/EBF
OPV
BCG
Hep B
F/EBF F/EBF
F/EBF
F/EBF
F
DTP
OPV
HIB
DTP
OPV
HIB
Hep B
HIB
Cam
pak
DTP
OPV
F-SF
F-SF
DTP
HIB
OPV
Laboratorium
Hb dan Lekosit
CD 4 atau absolut
PCR RNA/DNA
Serologi HIV
Keterangan :
F : Formula feeding/susu formula
5.3. Profilaksis Kotrimoksasol
1. Pemberian kotrimoksasol (TMP-SMZ) diberikan untuk semua bayi
dari ibu dengan HIV hingga diagnosis HIV disingkirkan.
2. Dosis : 5 mg/kg BB, sekali sehari.
EBF : Breast Feeding/ASI eksklusif
SF : Solid Feeding/makanan padat
DTP : Difteri,tetanus,pertusis
BCG: Bacillus Calmette-Guerin
OPV: Oral polio vaksin
HIB: hemofilus influenza B
PCR RNA/DNA : polymerase chain reaction RNA/DNA
36
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
37
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
5.5. Diagnosis HIV pada bayi dari ibu dengan HIV
Pemeriksaan Status HIV Bayi (pada program PMTCT) :
1. Dilakukan dengan menggunakan PCR-RNA/DNA HIV pada usia
4-6 minggu dan antara usia 4-6 bulan. Tes konfirmasi dilakukan
dengan antibodi HIV pada usia 18 bulan.
2. Konseling pra dan pasca tes bagi orang tua
3. Menurut panduan yang berlaku danfasilitas yang tersedia
4. Gunakan system rujukan bila tidak tersedia atau untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
Tujuan Diagnosis
1. Penilaian dan tatalaksana awal
2. Menyingkirkan infeksi HIV
3. Menegakkan diagnosis HIV pada bayi di bawah 18 bulan.
1. Prinsip-prinsip konseling dan testing
dalam PMTCT
2. Proses konseling, testing dan hasil
testing
3. Konseling pasangan
4. Testing untuk bayi dan anak
38
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
6.1
Prinsip-prinsip konseling dan tes dalam PMTCT
Konseling dan Tes HIV
1. Berperan penting dalam mengidentifikasi perempuan HIV positif
untuk memberikan pelayanan kepadanya
2. Memberikan pijakan untuk pengobatan, perawatan, dan
dukungan HIV/AIDS yang komprehensif
3. Membantu mengidentifikasi dan mengurangi perilaku-perilaku
yang menambah risiko penularan HIV
4. Tenaga kesehatan berperan dalam mendorong klien/pasien
untuk menjalani tes HIV, dalam hal ini perempuan hamil dan
pasangannya baik yang memiliki faktor risiko maupun tidak.
Semua perempuan yang menjalani pemeriksaan antenatal
harus menerima informasi mengenai:
1. Safe motherhood
2. Cara berhubungan seksual yang aman
3. Pencegahan dan penanganan IMS
4. PMTCT
5. Konseling pasca tes dan pelayanan lanjutan
Prinsip-Prinsip Konseling dan Tes HIV dalam PMTCT
Rahasia (Konfidensialitas):
1. Semua informasi pasien disimpan secara rahasia
2. Informasi hanya dibagi dengan konselor yang terlibat langsung
menangani-dan hanya atas dasar “hal yang harus diketahui”
3. Semua catatan dan daftar medis disimpan dalam tempat yang
aman
Izin yang diberikan (Informed Consent):
1. Menjelaskan maksud, keuntungan, dan kerugian tes
2. Menegaskan pemahaman mengenai proses konseling dan tes
3. Menghargai keputusan klien mengenai tes
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
41
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Dukungan dan pelayanan pasca-tes:
1. Selalu sampaikan hasil tes secara langsung dan individual
2. Berikan informasi pasca-tes yang tepat
3. Tawarkan konseling atau rujukan
6.2
Proses konseling, tes dan hasil tes
Pemberian Informasi Pra Tes
1. Mempersiapkan perempuan dan pasangannya untuk proses tes
dan menerima hasil tes
2. Menggali perilaku yang berisiko untuk tertular HIV
3. Menjamin konfidensialitas
Konseling Pra Tes Individual
1. Mungkin diberikan dalam fasilitas ANC
2. Rujukan jika diperlukan, kepada konselor HIV terlatih pada
layanan VCT
Pemberian informasi kelompok dapat berisi hal-hal sebagai
berikut :
1. HIV dan AIDS
2. Penularan dan pencegahan
3. Tes HIV dan interpretasi hasil tes
4. Konseling individu dan penilaian risiko
Yang dapat melakukan konseling dalam kaitannya dengan
PTMCT adalah :
1. Konselor profesional
2. Tenaga medis yang telah mendapat pelatihan VCT(dalam kaitan
dengan PITC).
42
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
6.3
Konseling pasangan :
Menangani Pasangan dilakukan dengan :
1. Berikan Tes dan Konseling kepada pasangan laki-laki
2. Tekankan tanggung jawab laki-laki untuk melindungi kesehatan
pasangan dan keluarga
3. Kurangi sikap “menyalahkan” perempuan
4. Identifikasi pasangan yang diskordan (salah satu positif dan
lainnya negatif)
Pasangan : pasangan seksual, pasangan yang akan hamil
Sebelum menikah dan saat akan hamil, atau telah mengetahui
status pasangannya.
6.4. Tes untuk bayi dan anak
Prinsip tes HIV pada bayi dan anak:
1. Antibodi ditransfer dari ibu ke bayi dan akan menghilang pada
usia sekitar 18 bulan, sehingga pemeriksaan antibodi HIV
pada bayi di bawah 18 bulan tidak dapat digunakan sebagai uji
diagnosis.
2. Di sarana kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan
PCR HIV, maka tes antibodi dapat dilakukan pada usia 12 bulan.
a. Bila hasil negatif dan bayi tidak sedang mendapatkan ASI dari
ibunya, maka status anak tersebut adalah negatif.
b. Bila hasil positif, diperlukan pemeriksaan konfirmasi tes
antibodi pada usia 18 bulan. Namun apabila saat itu, terdapat
gejala klinis sesuai dengan HIV, maka mungkin bayi tersebut
menderita HIV/HIV presumptif (prosedur diagnosis HIV pada
bayi)
c. Apabila bayi sedang mendapatkan ASI, maka pemberian ASI
harus dihentikan minimal 6 minggu sebelum melakukan tes
antibodi
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
43
1. Strategi pencegahan penularan di
sarana kesehatan
2. Tindakan pencegahan penularan di
sarana kesehatan
3. Pengelolaan limbah medis
4. Pencegahan pasca pajanan
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
7.1
Strategi pencegahan penularan di sarana kesehatan
Konsep-konsep dasar mengenai pencegahan infeksi HIV
Infeksi HIV dapat ditularkan melalui kontak dengan darah atau
cairan tubuh, baik melalui kontak langsung dengan luka yang
terbuka atau melalui luka bekas suntik.
Darah adalah cairan utama yang diketahui berhubungan dengan
penularan HIV pada fasilitas kesehatan; sejumlah kecil darah bisa
saja terdapat dalam cairan tubuh yang lain.
Penularan HIV kepada petugas kesehatan hampir selalu
berhubungan dengan luka bekas suntik pada saat perawatan seorang
pasien yang terinfeksi HIV. Pada praktiknya, penularan terjadi pada
saat melakukan:
1. Injeksi melalui pembuluh darah
2. Donor darah
3. Dialisis
4. Transfusi
Menciptakan lingkungan kerja yang aman
Menciptakan sebuah lingkungan kerja yang aman meliputi
penerapan tindakan pencegahan umum, pengelolaan lingkungan
kerja, dan pemberian pendidikan mengenai pencegahan infeksi
yang terus menerus bagi para pegawai.
7.2
Tindakan pencegahan penularan di sarana kesehatan
Tindakan Pencegahan Umum diakukan pada saat menangani
semua pasien
1. Mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik.
2. Mendekontaminasi peralatan dan perlengkapan
3. Menggunakan dan membuang jarum dan alat tajam dengan
aman (hindari penutupan ulang, terutama dengan dua tangan).
4. Apabila diperlukan, menutup kembali jarum suntik dengan
teknik satu tangan (one hand technique)
5. Gunakan alat pelindung diri (APD).
6. Segera bersihkan percikan darah dan cairan tubuh.
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
47
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
7. Gunakan sistem pembuangan yang aman untuk pengumpulan
dan pembuangan limbah medis dan non medis.
8. Pengelolaan bahan pakai ulang sesuai standar.
7.3
Pengelolaan limbah medis
Limbah/sampah dari RS dan fasilitas pelayanan kesehatan
dapat berupa yang telah terkontaminasi (secara potensial sangat
berbahaya) atau tidak terkontaminasi. Sekitar 85% sampah umum
yang dihasilkan dari RS dan klinik tidak terkontaminasi dan tidak
berbahya bagi petugas yang menangani. Sampah yang terkontaminasi
(biasanya membawa mikroorganisme), jika tidak dikelola secara
benar akan dapat menular pada petugas yang menyentuh sampah
tersebut termasuk masyarakat pada umumnya.
7.4
Pencegahan pasca pajanan
Jenis pajanan yang dapat dialami oleh seorang petugas
kesehatan
1. Okupasional : berhubungan dengan pekerjaaan orang tersebut,
dalam hal ini tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan
medik, misalnya : tertusuk jarum suntik, terkena pisau operasi,
terpercik cairan tubuh dan lainnya.
2. Non okupasional : tidak berhubungan dengan pekerjaaannya
seperti kecelakaan lalu lintas, berkelahi, berhubungan seksual
dan pemakaian jarum suntik narkotika.
Tempat dan alat serta tindakan yang berisiko menularkan HIV
1. Tempat dan alat melakukan tindakan : meja operasi, ruang
tindakan ginekologi, perawatan bayi, pemasangan infus,
pengolahan limbah/sampah medis.
2. Tindakan : pembedahan, menyuntik, pengambilan darah,
menangani cairan tubuh, menangani,membersihkan alat-alat
kesehatan.
48
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Risiko penularan HIV dari cairan tubuh :
Tinggi
Darah
Serum
Semen
Sekret vagina
Sputum
Sulit ditentukan
Cairan Amnion
Cairan Pleura
Cairan Peritoneal
Cairan Perikardial
Cairan Sinovial
LCS
Rendah
Air mata
Muntahan
Keringat
Mukosa serviks
Feses
Urin
Prosedur Kecelakaan Kerja
Pertolongan pertama bila terjadi paparan :
1. Bersihkan luka atau kulit yang terpapar dengan sabun dan air
2. Kulit yang terluka harus dengan segera di cuci dan digosok dengan
sabun berulang kali dan povidon iodine, atau klorhexidin
3. Mata atau selaput lendir yang terkena harus diirigasi dengan
NaCl 0.9% atau air bidestilata selama 5 – 10 menit
4. Untuk luka suntik atau alat tajam, biarkan darah keluar untuk
beberapa saat sebelum dibersihkan
5. Jaga kerahasiaan dan dukung serta beri rujukan untuk
pengobatan
6. Direkomendasikan obat ARV jangka pendek untuk mengurangi
kemungkinan penularan
7. Laporkan dan catat dalam buku laporan kecelakaan kerja
8. Laksanakan protap kecelakaan kerja
Pedoman untuk Profilaksis Pasca Pajanan/PPP
1. Idealnya, mulai pengobatan PPP dalam 2 jam sesudah
pemaparan
2. Jika pasien tertular HIV, hentikan PPP dan tes ulang sesudah 6
minggu, 3 bulan, dan 6 bulan
3. Jika pasien tertular HIV, konsultasikan, dukung, dan referensikan
pekerja kesehatan untuk mendapatkan pengobatan lebih
lanjut.
4. Saat ini tidak terdapat satu jenis PPP regimen tertentu yang
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
49
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
diakui
5. Terapi dua jenis atau tiga jenis obat direkomendasikan dan
dipercaya lebih efektif dibanding satu jenis obat
6. Ikuti rejimen PPP yang berlaku
Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pasca Pajanan HIV
Perlukaan Kulit
Status infeksi dari sumber pajanan
Jenis
HIV
positif HIV
positif
Pajanan
tingkat 1
tingkat 2
Tidak diketahui
status HIVnya
Umumnya tidak
perlu
PPP,
pertimbangkan
2 obat PPP bila
sumber berisiko
Anjuran
Umumnya tidak
Lebih Berat
Pengobatan
perlu
PPP
dengan 3 obat pengobatan
dengan 3 obat pertimbangkan
PPP
2 obat PPP bila
PPP
sumber berisiko
Pajanan pada Lapisan Mukosa atau Pajanan Pada Luka di Kulit
Status infeksi sumber pajanan
Umumnya tidak
Volume Sedikit Pertimbangkan
Anjuran
perlu
PPP,
(beberapa
pengobatan
pengobatan
dengan 3 obat pertimbangkan
tetes)
dasar
2 obat PPP bila
2 obat PPP
PPP
sumber berisiko
Anjuran
Umumnya tidak
Dianjurkan
Volume
perlu
PPP,
pengobatan
pengobatan
banyak
dengan 3 obat pertimbangkan
dasar
(tumpahan
2 obat PPP bila
PPP
banyak darah) 2 obat PPP
sumber berisiko
Kurang Berat
Dianjurkan
pengobatan
dasar
2 obat PPP
Anjuran
pengobatan
dengan 3 obat
PPP
Tidak
diketahui
sumbernya
Umumnya
tidak
perlu
PPP
HIV negatif
Tidak
PPP
perlu
Umumnya
tidak
perlu
PPP
Tidak
PPP
perlu
Umumnya
tidak
perlu
PPP
Tidak
PPP
perlu
Umumnya
tidak
perlu
PPP
Tidak
PPP
perlu
Rejimen ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan
Tingkat Risiko Pajanan
Risko menengah
(Kemungkinan ada risiko terjadi infeksi)
Risiko tinggi
(Risiko terjadi infeksi yang nyata, misalnya
pajanan dengan darah volume banyak, luka tusuk
yang dalam)
Rejimen
Rejimen kombinasi dua obat dasar, contohnya:
AZT 2 x 300 mg + 3 TC 2 x 150 mg atau
d4T 2 x 400 mg + 3 TC
atau
ddI 1 x 400 mg + d4T
Rejimen kombinasi 3 obat, contohnya :
AZT/3TC/LPV/r (3 x 800 mg) atau NFV (3 x 750
mg)
AZT/3TC/LPV/r
AZT/3TC + golongan NNRTI (EFV 1 x 600 mg)
Keterangan :
50
•
Rejimen PPP perlu disesuaikan dengan menggunakan obat yang tidak resisten
terhadap sumber pajanan (bila diketahui).
•
Efavirens lebih baik daripada nevirapin namun tidak dianjurkan untuk
perempuan hamil.
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
1. Stigma dan diskriminasi pada
perempuan dengan HIV
2. Dukungan psikososial bagi perempuan
dengan HIV
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
8.1. Stigma dan diskriminasi pada perempuan dengan HIV
Stigmatisasi mencerminkan perilaku, tapi diskriminasi adalah
tindakan atau perilaku. Diskriminasi adalah cara mengekspresikan,
baik secara sengaja maupun tidak disengaja, dengan melakukan
stigmatisasi pendapat.
Stigma dan diskriminasi saling berhubungan. Individu yang
mengalami stigmatisasi mungkin mengalami diskriminasi dan
pelanggaran hak asasi manusia. Stigmatisasi pendapat dapat
membuat seseorang bertindak atau berperilaku dengan cara yang
menolak layanan atau hak untuk orang lain.
Stigma dan diskriminasi telah dicatat dalam kaitannya
dengan penyakit menular lain yang tercela atau yang tidak dapat
disembuhkan, termasuk TBC, sifilis, dan lepra. Namun, stigma yang
terkait dengan HIV dan AIDS tampak lebih parah dari stigma yang
terkait dengan penyakit menular lain yang mematikan.
Stigma dan layanan PMTCT
Stigma dan diskriminasi merupakan tantangan yang jelas untuk
mengirim layanan PMTCT. Khususnya, di banyak daerah perempuan
dapat menolak penggantian pemberian makan karena meraka
tahu bahwa mereka akan dinamai sebagai yang mengidap HIV jika
mereka tidak menyusui. Anak-anak dari ibu yang berpartisipasi
dalam program PMTCT memperoleh pengalaman stigmatisasi
sekunder karena orang-orang menganggap bahwa mereka adalah
yang mengidap HIV.
8.2. Dukungan psikososial bagi perempuan dengan HIV
Bentuk-bentuk dukungan psikososial :
Konseling
a. Konseling individu (termasuk konseling ARV, Persalinan,
Pemberian Makanan Bayi)
b. Konseling pasangan
c. Konseling keluarga
d. Konseling kelompok
e. Konseling masyarakat sekitar
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
53
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Pendampingan
a. Layanan sahabat (buddies service)
b. Pengawas minum obat
c. Kunjungan rumah (Home-visit)
Dukungan Ekonomi Keluarga
a. Memberikan pelatihan keterampilan kerja
b. Program peningkatan pendapatan keluarga
Advokasi
Melalui penyebarluasan materi informasi, komunikasi dan
edukasi/KIE
Landasan Dasar Dukungan Psikososial
a. PMTCT harus tidak bias gender atau gender sensitif
b. PMTCT adalah hak reproduksi setiap ibu
c. PMTCT harus bebas dari stigma dan diskriminasi
Panduan Bagi Petugas Kesehatan
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Bayi, 2006.
2. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal P2PL. Pedoman
Nasional Terapi Antiretroviral pada Anak, 2008.
3. Departemen Kesehatan RI-IDAI, Direktorat Jenderal P2PL.
Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral (ART), 2007.
4. WHO. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and
Preenting HI Infection in Infants in Resource-Limited Settings;
Towards Universal Access, 2006.
5. Ilhamy S, M. Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Disampaikan pada Pertemuan
Pokjanas PMTCT, Oktober 2008.
5.6. Modul Pelatihan PMTCT, 2008. Ditkesbu, Depkes RI.
Panduan ini juga didukung oleh :
Aliansi Organisasi Profesi Kedokteran
(IDI, IBI, ISFI, PDGI, PPNI, IAKMI)
54
Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi
Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT)
55
Download