Panduan Bagi Petugas Kesehatan Panduan Bagi Petugas Kesehatan Daftar Kontributor 2 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi 1. Prof. DR. Dr. Sudarto Ronoatmojo, MPH 2. Dr. Pandu Riono, PhD, MPH 3. Dr. Muh. Ilhamy Setyahadi, Sp.OG 4. Dr. Yudianto Budi Saroyo, Sp.OG 5. Dr. Dina Muktiarti, Sp.A 6. Dr. Dyani Kusumowardhani, Sp.A 7. Dr. Toha Muhaimin, M.Sc 8. Husen Habsyi, SKM 9. Caroline Thomas Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) i Panduan Bagi Petugas Kesehatan Panduan Bagi Petugas Kesehatan Daftar Isi 1. Pendahuluan 1.1 1.2 1.3 1.4 2. Pengertian HIV dan PMTCT..............................................................5 Besaran masalah HIV pada perempuan dan anak ...........................7 Intervensi medis dalam PMTCT .......................................................7 Komunikasi/Pendekatan Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan PMTCT ...........................................................................................10 ART untuk PMTCT 2.1 Obat ARV bagi perempuan dengan HIV ............................................. 2.2 Pemberian ART dalam PMTCT ........................................................... 3. Penatalaksanaan obstetri 3.1 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi ............................................17 3.2 Tatalaksana antenatal pada ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya ........................................................................17 3.3 Tatalaksana persalinan bagi ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya ........................................................................18 3.4 Tatalaksana nifas bagi ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya.............................................................20 3.5 Kontrasepsi pada ibu dengan HIV ..................................................21 4. Pemberian makanan bagi bayi 4.1 Penularan HIV melalui makanan pada bayi ...................................22 4.2. Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV .................................................................................................23 5. Pemeliharaan kesehatan bagi bayi/anak dari ibu dengan HIV 5.1 ART pada bayi dengan HIV.............................................................25 5.2 Imunisasi........................................................................................25 5.3 Profilaksis Kotrimoksasol ...............................................................26 ii Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) iii Panduan Bagi Petugas Kesehatan 5.4 Pemantauan tumbuh kembang dan status kesehatan ..................27 5.5 Diagnosis HIV pada bayi dan anak .................................................28 6. Prinsip-prinsip konseling dan testing dalam PMTCT ......................29 Proses konseling, testing dan hasil testing ....................................30 Konseling pasangan .......................................................................30 Testing untuk bayi dan anak .........................................................30 1. Komunikasi/Pendekatan Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan PMTCT Tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat) dalam melakukan pelayanan PMTCT dan terutama menghilangkan stigma dan diskriminasi perlu memperhatikan hal-hal berikut: • Memiliki pengetahuan yang lengkap dan jelas mengenai HIV/ AIDS dan PMTCT, sehingga mampu menginformasikan kepada klien/pasien dengan benar. • Mampu menjelaskan mengenai informasi HIV/AIDS secara umum, pengertian dan langkah program PMTCT dan melakukan konseling singkat bila pada klien ditemukan gejala-gejala yang mengarah pada HIV/AIDS. • Tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan PMTCT perlu mendapatkan pelatihan keterampilan dan pengetahuan mengenai PMTCT. • Mengetahui cara penatalaksanaan pemberian makanan bayi yang aman dan sesuai. • Memberikan dukungan kepatuhan berobat bagi ibu dengan HIV. • Motivasi anggota keluarga untuk mendukung perawatan bagi ibu dengan HIV. Kewaspadaan universal 7.1 7.2 7.3 7.4 8. Ringkasan Eksekutif Konseling dan Testing 6.1 6.2 6.3 6.4 7. Panduan Bagi Petugas Kesehatan Strategi pencegahan penularan di sarana kesehatan ....................31 Tindakan pencegahan penularan di sarana kesehatan ..................31 Pengelolaan limbah medis.............................................................32 Pencegahan pasca pajanan............................................................32 Stigma dan diskriminasi 8.1 Stigma dan diskriminasi pada perempuan dengan HIV .................35 8.2 Dukungan psikososial bagi perempuan dengan HIV ......................37 2. Pemberian ARV Selama Kehamilan, Persalinan dan Setelah Melahirkan mengikuti sejumlah prinsip sebagai berikut : • Harus dalam pengawasan dokter. • Mengikuti Pedoman ARV Nasional 2007 yang dikeluarkan Depkes iv Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) v Panduan Bagi Petugas Kesehatan • Diberikan melalui RS Rujukan ARV • Perlu penjelasan tentang efek samping yang dapat terjadi • Pasca melahirkan, ARV dilanjutkan sebagai ARV terapi untuk meningkatkan kualitas hidup ibu • Sebaiknya ada pendamping minum ARV, karena tingkat kepatuhan/adherence sangat menentukan efektivitas terapi ARV 3. Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi ibu/pasangan dengan HIV adalah kondom, karena bersifat proteksi ganda. Jenis kontrasepsi lainnya (Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormon jangka panjang (suntik dan implan)) bukan kontraindikasi bagi ibu (pasangan) dengan HIV. 4. Perempuan hamil dengan hitung CD 4 antara 250350 sel/mm3 yang memiliki indikasi untuk ART dapat memulai terapi dengan rejimen mengandung NVP dengan monitoring ketat dalam 12 minggu pertama terapi atau dengan rejimen mengandung EFV jika pada trimester kedua atau ketiga atau menerima rejimen 3 NRTI atau berbasis golongan protease inhibitor/PI. 5. Efavirens menjadi pilihan untuk komponen NNRTI untuk rejimen lini pertama pada perempuan hamil pada kehamilan trimester kedua atau ketiga. Panduan Bagi Petugas Kesehatan bulan 10. Bila ibu memilih untuk menyusui eksklusif maka ibu harus mendapat ART (referensinya perlu dimasukkan: profilaksis ART pada post partum atau HAART dini). 11. Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (pemberian ASI bersamaan dengan susu formula ataupun makanan/ minuman lain), karena memiliki risiko penularan virus HIV pada bayi yang tertinggi. .Hal ini disebabkan pemberian susu formula yang merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus yang mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah. Pilihan apapun yang diambil oleh seorang ibu, setelah mendapat informasi dan konseling secara lengkap harus didukung. 12. Tenaga kesehatan berperan dalam mendorong klien/pasien untuk menjalani tes HIV, dalam hal ini perempuan hamil dan pasangannya baik yang memiliki faktor risiko maupun tidak. 13. Pada ibu yg datang di layanan ANC diberikan KIE HIV/AIDS. 14. Konseling dan testing dianjurkan dilakukan pada ibu dengan risiko tinggi dan pasangannya. 6. Rekomendasi rejimen untuk bayi untuk perempuan dengan HIV, maka dosis AZT untuk bayi harus diperpanjang hingga 4 minggu. 15. Dokter dan tenaga kesehatan dianjurkan untuk menyarankan testing HIV bagi ibu dan pasangannya yang berisiko tinggi. 7. Air susu ibu/ASI adalah asupan yang paling baik untuk bayi, karena komposisinya yang lengkap dan ideal bukan hanya bagi pertumbuhan serta perkembangan otak yang optimal, namun juga perlindungan dari berbagai penyakit.. 16. Dokter/tenaga kesehatan yang melakukan proses PITC kepada klien/pasiennya harus melakukan konseling pasca tes. 17. Pada seluruh layanan HIV/AIDS bila menemukan kasus positif pada laki-laki perlu melakukan konseling dan testing pada pasangan perempuannya (dimasukkan juga ke panduan konseling dan testing). 8. Pada odha tidak dianjurkan untuk memberikan ASI , bila pemberian susu formula memenuhi syarat AFASS. 9. Bila syarat AFASS tidak dapat dipenuhi maka dianjurkan kepada ibu dengan HIV untuk menyusui eksklusif selama 6 vi Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) vii 1 Pengertian HIV dan PMTCT 2 Besaran masalah HIV pada perempuan dan anak 3 Intervensi medis dalam PMTCT 4 Komunikasi/Pendekatan Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan PMTCT Panduan Bagi Petugas Kesehatan 1.1. Pengertian HIV dan PMTCT 1.1.1. Apakah HIV DAN AIDS ? HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus golongan RNA (genus retroviridae, ordo lentivirus) yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia dan menyebabkan AIDS. Dengan HIV adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV dan tubuh telah membentuk antibodi (zat anti) terhadap virus tersebut. Mereka berpotensi sebagai sumber penularan bagi orang lain. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome/Sindroma Defisiensi Imun Akuisita/SIDA) adalah kumpulan gejala klinis akibat penurunan sistem imun yang timbul akibat infeksi HIV. AIDS sering bermanifestasi dengan munculnya berbagai penyakit infeksi oportunistik, keganasan, gangguan metabolisme dan lainnya. Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan pengidap HIV (Odha) amat rentan dan mudah terjangkit berbagai macam – macam penyakit/infeksi oportunistik. Masa Jendela/window period adalah masa dimana seseorang yang sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan antibodi di dalam darahnya masih belum dideteksi/negatif. Masa jendela ini biasanya berlangsung 3 bulan sejak infeksi didapat. Penyakit HIV bukanlah penyakit yang dianggap ‘letal’. Saat ini penyakit HIV adalah penyakit kronis, sama dengan misalnya penyakit diabetes melitus, hipertensi ataupun penyakit kronis lainnya. Semua penyakit kronis tersebut dapat mencapai status ‘terkendali’. Sangat dipahami banyak orang takut terhadap penyakit HIV. Penanganan kasus HIV bagi tenaga kesehatan seharusnya sama dengan penyakit menular yang ditransmisikan dengan cairan tubuh seperti hepatitis B, hepatitis C dan lainnya. Bila kita secara teknis biasa melayani pasien dengan hepatitis B, maka kita dapat melayani pasien HIV. Mengapa kita mesti takkut bila risiko tertular dari penderita hepatitis B sekitar 30% daripada penderita HIV 0,3%. Risiko tertular bila kita tertusuk jarum yang terkontaminasi darah penderita hepatitis B 100 kali lebih besar daripada penderita HIV. Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 3 Panduan Bagi Petugas Kesehatan 1.1.2. Perbedaan antara HIV, infeksi HIV, dan AIDS a. HIV merupakan virus yang dapat menyebabkan infeksi. b. Orang yang terinfeksi-HIV mungkin tidak menunjukkan gejala namun dapat menulari orang lain. c. Kebanyakan orang yang terinfeksi-HIV pada akhirnya akan terserang AIDS pada suatu waktu, yang mungkin bisa terjadi dalam jangka beberapa bulan bahkan sampai 15 tahun. d. AIDS merupakan sekelompok penyakit dan infeksi oportunistik yang akan berkembang setelah terinfeksi HIV dalam jangka waktu yang cukup lama (rata-rata 3-5 tahun). e. Diagnosis AIDS didasarkan atas hasil uji kriteria klinis dan hasil uji laboratorium (menurut pedoman WHO). 1.1.3. HIV menular melalui cairan tubuh antara lain (direview kembali): a. Cairan genital : cairan genital (sel sperma, lendir vagina) memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan. Oleh karenanya hubungan seksual yang berisiko/ tidak aman dapat menularkan HIV. Semua jenis hubungan seksual misalnya kontak seksual genital, kontak seksual oral dan anal dapat menularkan HIV. b. Darah : penularan melalui darah dapat terjadi melalui transfusi darah dan produknya dan perilaku menyuntik yang tidak aman pada pengguna napza suntik (penasun/IDU). Transplantasi organ yang tercemar virus HIV juga dapat menularkan. c. Dari ibu dengan HIV ke bayinya : hal ini dapat terjadi selama dalam masa kandungan (melalui plasenta/ari-ari pada keadaan terinfeksi IMS, malaria dan ketuban pecah dini), masa persalinan (melalui cairan genital dan darah) dan pada saat persalinan dan menyusui (melalui pemberian ASI) 1.1.4. Apa yang dimaksud dengan perilaku berisiko tertular HIV ? Perilaku berisiko adalah perilaku individu yang memungkinkan tertular virus HIV. Perilaku berisiko ini dapat menjadi bagian dari anamnesis terhadap seseorang yang diduga terinfeksi HIV dan AIDS. 4 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan Sejumlah perilaku berisiko yang dimaksud adalah : a. Berhubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan cara yang tidak aman, misalnya tidak memakai kondom bila pasangannya menderita HIV. b. Berganti-ganti pasangan/partner seksual. c. Berganti-ganti (berbagi) jarum suntik dan alat lainnya yang kontak dengan darah dan cairan tubuh dengan orang lain Cara penularan HIV yang utama di Indonesia Metode penularan/transmisi yang terutama di Indonesia adalah melalui : a. Penularan melalui kegiatan seks pada perilaku seksual dengan banyak pasangan dan tidak menggunakan kondom. b. Penularan akibat penggunaan alat suntik yang tak steril, terutama pada pengguna napza suntik 1.2. Besaran masalah HIV pada perempuan dan anak Walaupun prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia hanya 16%, tetapi karena mayoritas (92,54%) Odha berusia reproduksi aktif (15-49 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV akan meningkat. Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi. Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi, morbiditas dan mortalitas maternal. Besarnya stigma sosial menyebabkan odha semakin menutup diri tentang keberadaannya, yang pada akhirnya akan mempersulit proses pencegahan dan pengendalian infeksi. Diskriminasi dalam kehidupan sosial menyebabkan odha kehilangan kesempatan untuk ikut berkarya dan memberikan penghidupan yang layak pada keluarganya. Karena terjadi penurunan daya tahan tubuh secara bermakna, maka morbiditas dan mortalitas maternal akan meningkat pula. Sedangkan dampak infeksi HIV terhadap bayi antara lain: gangguan tumbuh kembang karena rentan terhadap penyakit, peningkatan mortalitas dan morbiditas, stigma sosial, yatim piatu lebih dini akibat orang tua meninggal karena AIDS, dan permasalahan kepatuhan/adherence minum obat pada penyakit menahun untuk seumur hidup. Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 5 Panduan Bagi Petugas Kesehatan Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila : (1) Terdeteksi dini (2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, ibu mendapatkan ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan Standar), (3) Penatalaksanaan persalinan yang aman (4) Pemberian makanan bayi yang aman dan sesuai (PASI dan susu formula), dengan konseling mengenaii manfaat dan risiko pemberian ASI dan susu formula. Perlu dukungan bagi ibu mengenai keputusan terhadap pilihan pemberian makanan bayi. jika pilihan ibu adalah ASI eksklusif, maka diberikan konseling manajemen laktasi; jika pilihan ibu susu formula ekslusif, maka dijelaskan mengenai AFASS (5) Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi dan balita dari ibu dengan dengan HIV (6) Adanya dukungan dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya. 1.3. Intervensi dalam PMTCT Menurut WHO terdapat 4 (empat) prong yang perlu diupayakan untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, meliputi: a. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi b. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV c. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya d. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta bayi dan keluarganya. 1.3.1. Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi Memberikan pengertian dan penjelasan kepada perempuan 6 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan dalam usia reproduksi mengenai : 1. Setiap perempuan dalam usia reproduksi menghindari perilaku berisiko terkena HIV dan IMS dan pasangan mempunyai pasangan yang berisiko 2. Jangan berhubungan seksual dengan pria berisiko tinggi atau siapapun tanpa mengetahui status HIVnya 3. Setiap perempuan dalam usia reproduksi untuk tidak menggunakan alat suntik tidak steril. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan primer antara lain: 1. Sosialisasi mengenai HIV/AIDS dilakukan pada usia dini mengenai kesehatan reproduksi, HIV/AIDS dan napza disesuaikan dengan tingkat umur. 2. Informasi dan pendidikan kesehatan umum 3. Tes HIV dan konseling 4. Tes rutin bagi yang pernah melakukan kegiatan berisiko 5. Konseling pasangan dan tes kepada pasangan 6. Mempraktekkan kegiatan seks yang aman 7. Menunda kegiatan seksual 8. Komunikasi perubahan perilaku untuk menghindari perilaku risiko tinggi 1.3.2. Mengatur kehamilan pada ibu dengan HIV Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV: 1. Menyediakan konseling dan layanan perencanaan keluarga untuk meyakinkan perempuan HIV+ membuat keputusan berdasarkan informasi yang benar 2. Mempraktekkan kegiatan seks yang aman 3. Memberikan informasi alat kontrasepsi yang dianjurkan. 4. Mengatur kehamilan bagi odha dan pasangannya. Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 7 Panduan Bagi Petugas Kesehatan Pemberian alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta konseling yang berkualitas akan membantu Odha dalam melakukan seks yang aman, mempertimbangkan jumlah anak yang dilahirkannya, serta menghindari lahirnya anak yang terinfeksi HIV. Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi ibu/pasangan dengan HIV adalah kondom, karena bersifat proteksi ganda. Jenis kontrasepsi lainnya (Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormon jangka panjang (suntik dan implan)) bukan kontraindikasi bagi Odhaibu (pasangan) dengan HIV. Namun perlu diperhatikan interaksi obat ARV dengan kontrasepsi hormonal (terutama yang mengandung estrogen). Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim( AKDR) tidak dianjurkan karena bisa menyebabkan infeksi asendens/menaik. Spons dan diafragma kurang efektif untuk mencegah terjadinya kehamilan maupun penularan HIV. Pasca persalinan perlu konseling ulang mengenai pertimbangan jumlah anak yang akan dilahirkannya. Jika ibu dengan HIV tetap ingin memiliki anak, dianjurkan jarak antar kelahiran minimal 2 tahun. 1.3.3. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu dengan HIV kepada bayi yang dikandungnya Bentuk intervensi berupa: a. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif b. Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (VCT) maupun konseling singkat dari petugas kesehatan c. Pemberian obat antiretroviral (ARV) d. Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi e. Persalinan yang aman. 1.3.4. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV, beserta bayi dan keluarganya Upaya PMTCT tidak terhenti setelah ibu melahirkan. Karena ibu tersebut terus menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, maka membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang 8 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi waktu. Jika bayi dari ibu tersebut tidak terinfeksi HIV, tetap perlu dipikirkan tentang masa depannya, karena kemungkinan seperti orang tua bayi meninggal dunia. Sedangkan bila bayi terinfeksi HIV, perlu mendapatkan pengobatan ARV seperti odha lainnya. Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, dan berperilaku sehat agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain. Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk Odha ini perlu diketahui masyarakat luas. Diharapkan informasi ini bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV mereka sedini mungkin. 1.4. Komunikasi/Pendekatan Tenaga Kesehatan dalam Pelayanan PMTCT Tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat) dalam melakukan pelayanan PMTCT dan terutama menghilangkan stigma dan diskriminasi perlu memperhatikan hal-hal berikut : 1. Memiliki pengetahuan yang lengkap dan jelas mengenai HIV/ AIDS dan PMTCT, sehingga mampu menginformasikan kepada klien/pasien dengan benar. 2. Mampu menjelaskan mengenai informasi HIV/AIDS secara umum, pengertian dan langkah program PMTCT dan melakukan konseling singkat bila pada klien ditemukan gejala-gejala yang mengarah pada HIV/AIDS. 3. Tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan PMTCT perlu mendapatkan pelatihan keterampilan dan pengetahuan mengenai PMTCT. 4. Mengetahui cara penatalaksanaan pemberian makanan bayi yang aman dan sesuai. 5. Memberikan dukungan kepatuhan berobat bagi ibu dengan HIV. 6. Motivasi anggota keluarga untuk mendukung perawatan bagi ibu dengan HIV. 1. Obat ARV bagi perempuan dengan HIV 2. Pemberian ART dalam PMTCT Panduan Bagi Petugas Kesehatan 2.1. Obat antiretroviral (ARV) bagi perempuan dengan HIV 2.1.1. Penggunaan obat antiretroviral pada Ibu dengan HIV Terapi ARV Tujuan Mencegah timbulnya AIDS Penggunaan Jangka lama/seumur hidup Kelayakan pem- Gejala klinis dan kadar berian CD4 atau Limfosit Profilaksis ARV Mencegah penularan HIV dari Ibu ke Bayi Masa kehamilan saja Ibu dengan HIV yang hamil Manfaat terapi ARV dalam program PMTCT serupa dengan terapi ARV untuk pasien HIV pada umumnya yaitu : 1. Memperbaiki status kesehatan dan kualitas hidup 2. Menurunkan angka rawat inap akibat HIV 3. Menurunkan kematian terkait AIDS 4. Menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke anak (MTCT) Semua ibu hamil dengan HIV yang tidak memenuhi syarat secara medis untuk ARV Terapi (ART) harus ditawarkan ARV profilaksis untuk PMTCT Pemberian ARV Selama Kehamilan, Persalinan dan Setelah Melahirkan mengikuti sejumlah prinsip sebagai berikut : 1. Harus dalam pengawasan dokter. 2. Mengikuti Pedoman ARV Nasional 2007 yang dikeluarkan Depkes 3. Diberikan melalui RS Rujukan ARV 4. Perlu penjelasan tentang efek samping yang dapat terjadi 5. Pasca melahirkan, ARV dilanjutkan sebagai ARV terapi untuk meningkatkan kualitas hidup ibu 6. Sebaiknya ada pendamping minum ARV, karena tingkat kepatuhan/adherence sangat menentukan efektivitas terapi ARV Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 13 Panduan Bagi Petugas Kesehatan 2.1.2. Syarat pemberian ARV (menurut pedoman WHO 2006) Stadium klinis menurut WHO Bila tidak tersedia tes CD4 Bila tersedia tes CD 4 1 Tidak diobati untuk kepentingan ibu saat ini Obati jika hitung sel CD 4 < 200 sel/mm3 2 Tidak diobati 3 Obati Obati jika hitung sel CD 4< 350 sel/mm3 4 Obati Obati tanpa memperhatikan hitung CD 4 Perempuan mengalami kadar hitung CD4 yang lebih rendah saat kehamilan dibandingkan setelah melahirkan/nifas, sebagian dikarenakan hemodilusi terkait kehamilan. Hal ini mempengaruhi penggunaan ambang batas 350 pada perempuan hamil, khususnya pada stadium klinis 1 atau 2, belum diketahui. Kriteria memulai terapi ARV pada perempuan hamil sama dengan perempuan yang tidak hamil, dengan pengecualian bahwa terapi ini dianjurkan bagi perempuan hamil yang telah mengalami stadium klinis 3 dan hitung CD 4 dibawah 350 sel/mm3. • Berikan ARV pada semua pasien pada stadium 4 dan stadium 3 (bila tidak tersedia pemeriksaan hitung CD4) • Berikan ARV pada semua pasien dengan hitung CD 4 < 200 atau hitung total limfosit < 1.200 sel/mm3 • Berikan ARV pada perempuan hamil dengan CD4 < 350 sel/ mm3 • Pertimbangkan untuk ARV pada perempuan tidak hamil dengan CD4 < 350 sel/mm3 2.2. Pemberian ART dalam PMTCT 2.2.1. Memulai terapi ARV pada kehamilan Perempuan yang menjadi hamil saat mendapat terapi ART Apabila sebelum kehamilan sudah menggunakan ARV terapi, teruskan selama kehamilan-persalinan-nifas Untuk perempuan yang hamil saat mendapat ART mengandung efavirens dan pada trimester 1, maka rejimen ARV yang mengandung nevirapin/NVP harus diganti dengan nevirapin/NVP, dengan monitor 14 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan ketat hitung CD 4 nya. Alternatifnya dapat diberikan tiga macam NRTI atau PI. Perempuan yang menerima EFV dan baru mengetahui kehamilannya pada usia gestasi trimester kedua dan ketiga kehamilannya dapat meneruskan rejimen yang sedang diminum. Mendapatkan EFV pada saat kehamilan bukan indikasi untuk aborsi. Untuk perempuan yang hamil saat menerima rejimen ART mengandung tenofovir/TDF , keuntungan melanjutkan rejimen melebihi risiko toksisitas untuk bayi dan substitusi obat tidak dianjurkan. Bayi yang lahir dari ibu yang mendapat terapi antiretroviral harus mendapat zidovudin selama 7 hari. Perempuan hamil dengan indikasi untuk terapi ARV Apabila memenuhi persyaratan medis terapi ARV, mulai sesegera mungkin berikan ARV, walaupun pada trimester I. Ibu Bayi Antepartum Intrapartum Pasca partum AZT + 3TC + NVP 2 x sehari AZT + 3TC + NVP 2 x sehari AZT + 3TC + NVP 2 x sehari AZT X 7 hari Selama trimester pertama pada kehamilan, EFV hanya digunakan jika potensi keuntungan melebihi potensi risiko pada janin, pada perempuan hamil tanpa adanya pilihan terapi lainnya Perempuan yang datang pada masa kehamilan akhir atau pada saat persalinan Perempuan dengan indikasi ART yang datang terlambat pada kehamilan harus memulai ART, tanpa memperdulikan usia kehamilannya. Terapi untuk bayi Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 15 Panduan Bagi Petugas Kesehatan Rekomendasi rejimen untuk bayi adalah AZT untuk 1 minggu. Jika ibu menerima ART antenatal kurang dari 4 minggu, maka untuk bayi diberikan AZT 4 minggu bukan satu minggu. 2.2.2. Kesimpulan : 1. Rejimen lini 1 untuk terapi ART pada perempuan hamil adalah AZT + 3TC + NVP 2. Perempuan hamil dengan hitung CD 4 antara 250-350 sel/mm3 yang memiliki indikasi untuk ART dapat memulai terapi dengan rejimen mengandung NVP dengan monitoring ketat dalam 12 minggu pertama terapi atau dengan rejimen mengandung EFV jika pada trimester kedua atau ketiga atau menerima rejimen 3 NRTI atau berbasis golongan protease inhibitor/PI. 3. Efavirens menjadi pilihan untuk komponen NNRTI untuk rejimen lini pertama pada perempuan hamil pada kehamilan trimester kedua atau ketiga. 4. Tenofovir harus dipertimbangkan sebagai komponen ART awal bagi perempuan hamil jika alternatif lain tidak tersedia atau dikontraindikasikan (ingat: tenofovir adalah obat ARV lini 2) 5. Rekomendasi rejimen untuk bayi untuk perempuan dengan HIV, maka dosis AZT untuk bayi harus diperpanjang hingga 4 minggu. 6. Perempuan dengan indikasi ART yang datang pada akhir masa kehamilan harus memulai ART tanpa melihat usia kehamilannya. 16 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan 1. Ibu belum memenuhi syarat untuk mendapatkan terapi ARV Jenis Pemberian Ranking Antepartum Intrapartum Pasca partum Rekomen- AZT 300mg 2 AZT 600 mg Ibu: AZT(300 mg) dasi x sehari pada awal + 3TC (150 (mulai > 28 persalinan mg) 2x/hari mgg) atau AZT 300 mg 7 hari Bayi: pada awal Dosis persalinan, tunggaldan tiap 3 NVP 2 mg/ jam sampai kgBB segera melahirkan setelah lahir DAN ditambah Dosis tunggal-NVP 200 AZT 2 mg/ kgBB/kali mg pada awal persali- 4x/hari - 7 hari (bila ibu nan mendapat DAN ARV lengkap, 3TC 150mg bila hanya pada awal mendapat in persalinan dan setiap 12 partu atau tidak lengkap jam sampai 4 minggu) melahirkan Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 17 Panduan Bagi Petugas Kesehatan 2. Ibu belum mendapat profilaksis ARV antepartum Ranking Rekomendasi Jenis Pemberian Antepartum Pasca partum Ibu: AZT 600mg pada awal persalinan AZT(300mg) + 3TC atau (150mg) 2x/hari - 7 hari AZT 300mg pada awal persalinan, dan tiap 3 jam sampai melahirkan DAN Bayi: NVP dosis tunggal 200mg paaad awal persalinan NVP dosis tunggal 2mg/ kgBB segera setelah lahir ditambah 2 mg/kg BB/kali, 4 kali/ hari- 4 minggu DAN 3TC 150mg pada awal persalinan dan setiap 12 jam sampai melahirkan 3. Ibu belum mendapat profilaksis ARV antepartum ataupun intrapartum Ranking Rekomendasi Postpartum Bayi: Dosis tunggal-NVP 2mg/kgBB segera setelah lahir DAN AZT 2 mg/kgBB 4x/hari - 4 minggu 4. Ibu hamil dengan koinfeksi tuberkulosis a. Prioritas adalah mengobati tuberkulosis b. Dengan manajemen klinis yang baik, seorang ibu hamil 18 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi 1. Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi 2. Tatalaksana antenatal pada ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya 3. Tatalaksana persalinan bagi ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya 4. Tatalaksana nifas bagi ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya 5. Kontrasepsi pada ibu dengan HIV Panduan Bagi Petugas Kesehatan 3.1 Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi Risiko penularan HIV bila tanpa intervensi (de Cock, dkk, 2000): 5 Ͳ 10 % 10Ͳ20 % % 5Ͳ20% 5 intrauterin intrapartum pascapersalinan Intervensiyangdapatdilakukan: ARVbagiibu (ARV) 3.2 ARVbagiibu SCelektif Bayi:ARV SusuFormula(AFASS) Tatalaksana antenatal pada ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya Perawatan antenatal dapat meningkatkan kesehatan secara umum dan kesejahteraan ibu dan keluarga mereka. Dengan menggabungkan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi dengan layanan perawatan antenatal, maka program kualitas pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan bagi semua klien. Intervensi antenatal dapat menurunkan resiko penularan HIV/ AIDS dari ibu ke bayinya. Perawatan kesehatan kehamilan yang baik dapat membantu perempuan yang terinfeksi HIV tetap sehat dan merawat anak mereka dengan baik. Jika ibu meninggal, maka kemungkinan anak akan menderita penyakit dan mengalami kematian akan lebih tinggi. Untuk implementasi program pencegahan penularan dari ibu ke bayinya, maka elemen berikut harus turut disertakan sebagai bagian dari perawatan antenatal: 1. Informasi dan pendidikan kesehatan. 2. Pendidikan tentang cara berhubungan seksual yang aman dan Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 21 Panduan Bagi Petugas Kesehatan 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. HIV. Tes dan konseling tentang HIV. Tes dan konseling bagi pasangan tentang HIV. Intervensi untuk menurunkan risiko penularan dari ibu ke bayinya. Bimbingan dan dukungan pemberian makanan bayi untuk perawatan ibu hamil yang aman termasuk pengobatan malaria dan tuberkulosis. Diagnosis dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS). Deteksi dini dan pengobatan dan pengawasan atas tuberkulosis dan malaria. Pilihan metode persalinan, pilihan pemberian makanan untuk bayi/anak, metode kontrasepsi. HIV bukan merupakan indikasi absolut untuk dilakukan sterilisasi pada ibu.Hal ini harus didiskusikan dan ditentukan sebelum persalinan. Konseling pemberian makanan untuk bayi meliputi hal-hal berikut : 1. Konseling ini dilakukan saat usia kehamilan mencapai trimester 3. 2. Dijelaskan mengenai cara penularan HIV. 3. Diberikan penjelasan keuntungan dan kerugian dalam memilih pemberian nutrisi pada bayi. 4. Dipersilahkan memilih metode yang telah dijelaskan 5. Dukungan terhadap pilihan ibu. Perawatan antenatal bagi perempuan yang terinfeksi HIV Perawatan antenatal bagi perempuan yang terinfeksi HIV mencakup layanan dasar yang disarankan untuk semua perempuan hamil. Namun, perawatan obstetri dan medis ini diperluas agar dapat mencakup kebutuhan khusus perempuan yang terinfeksi HIV. Infeksi HIV pada perempuan pada usia kehamilan mendapat tantangan besar pada lingkungan dengan keterbatasan sumber daya. Menentukan status HIV perempuan merupakan langkah pertama 22 Panduan Bagi Petugas Kesehatan Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi dalam menyediakan pengobatan, perawatan dan penyediaan layanan dukungan yang tepat, termasuk akses atas profilaksis antiretroviral saat dibutuhkan. Ketersediaan layanan tes cepat/ rapid test memungkinkan para perempuan untuk menjalani uji dan menerima hasil uji HIV mereka pada kunjungan prenatal pertama. Jika status HIV telah diketahui, maka ibu dapat dievaluasi untuk persyaratan minum ARV dan ditawarkan untuk diberikan perawatan ARV dan profilaksis. Dalam beberapa situasi, karena kurangnya akses layanan tes ini atau karena perempuan menolak tes, maka status HIV-nya tidak dapat diketahui. Dalam kondisi seperti ini, maka perempuan tersebut dianggap berpotensi dalam penularan dari ibu ke bayinya, dan dia harus diberikan bimbingan yang selayaknya selama perawatan antenatal. Perempuan dengan status HIV belum diketahui perlu mendapat konseling mengenai testing HIV pada kunjungan perawatan antenatal berikutnya dan diingatkan tentang keuntungan mengetahui status HIVnya. 3.3 Tatalaksana persalinan bagi ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya Untuk mencegah terjadinya penularan HIV ke janin/bayi, perlu diperhatikan : a. Dengan menurunkan kadar viral load/VL serendah-rendahnya - Deteksi dini - ARV - Pola hidup sehat b. Pemilihan metode kelahiran tergantung: - Muatan virus dalam darah/Viral Load (pada minggu ke berapa diperiksanya?) - Kesiapan sarana kesehatan: kewaspadaan universal, saranadan prasarana, SDM medis dan non medis. - Status obstetri Bahwa seksio sesarea berencana merupakan cara persalinan yang memiliki risiko transmisi terkecil pada saat persalinan. Risiko transmisi akan meningkat bila terjadi persalinan (in partu) Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 23 Panduan Bagi Petugas Kesehatan dan ketuban pecah. Pilihan persalinan haruslah disertai dengan penjelasan keuntungan dan kerugian termasuk besaran risiko transmisi virus ke bayinya. Pada ibu hamil perlu dilakukan konseling keuntungan dan kerugian metode persalinan per vaginam atau seksio sesarea. Kelahiran per vaginam dimungkinkan bila : 1. Persetujuan tindakan medis dan informasi yang sejelas-jelasnya (informed consent) 2. Kadar VL tidak terdeteksi/undetectable dan/atau; • Meminum ARV teratur sesuai prosedur, minimal 4 minggu dan apabila hitung kadar virus dalam darah/viral load ibu < 1.000 kopi/mm3 (PCR-RNA)atau tidak terdeteksi dengan PCR-DNA (bila dimungkinkan). Penerapan kewaspadaan universal dalam pertolongan persalinan, baik secara seksio sesarea maupun persalinan spontan, berprinsip pada : 1. Cuci tangan 2. Penggunaan alat pelindung diri untuk mencegah transmisi HIV melalui cairan. 3. Penanganan alat medis tajam baik dalam penggunaan, serah terima, penyimpanan maupun pembuangan sebagai limbah medis. 4. Penerapan budaya aman dalam kamar operasi ataupun kamar bersalin Operasi seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba (atas dasar pilihan, bukan karena tindakan emergensi) akan menghindari bayi terkena kontak dengan darah dan lendir ibu dengan HIV. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa operasi seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% (apakah sudah mendapat ARV atau belum, perlu mendorong persalinan per vaginam) istilah ibu diganti ibu dengan HIV. 24 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan Pilihan Metode Persalinan 3.4 Metode persalinan Keuntungan Seksio Sesarea Risiko penularan Elektif yang rendah Terencana Kerugian Lama perawatan bagi ibu. Perlu sarana dan fasilitas pendukung Biaya. Per Vaginam Risiko penularan pada bayi relatif tinggi (kecuali ibu telah minum ARV teratur dan diketahui kadar viral load). Mudah dilakukan di sarana kesehatan yang terbatas. Masa pemulihan pasca partum singkat Biaya rendah Tatalaksana nifas bagi ibu dengan HIV maupun yang belum diketahui statusnya 3.4.1 Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV Pekerja layanan kesehatan harus mengikuti prosedur rutin bagi perawatan ibu dengan HIV dalam masa nifas. Perawatan berkelanjutan 1. Pemberian supresi laktasi bagi ibu yang memilih tidak menyusui. 2. Hasil pemeriksaan/tes HIV pada bayi disampaikan kepada dokter spesialis obsgin yang merawat ibu.(sebagai bagian penilaian keberhasilan penerapan PMTCT dalam institusi kesehatan, serta memperkuat kinerja Tim PMTCT. 3. Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan terhadap HIV/AIDS dan kemungkinan infeksi mikroorganisme yang disertai dengan dukungan nutrisi yang cukup. 4. Perawatan ginekologi rutin, termasuk pemeriksaan pap smear, jika tersedia. Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 25 Panduan Bagi Petugas Kesehatan 3.4.2 Pemberian makanan untuk bayi yang baru dilahirkan 1. Berikan pelatihan dan awasi teknik pemberian makan yang benar sebelum memulangkan ibu. 2. Dukung pilihan ibu tentang cara pemberian makanan. Pilihan ibu dapat dilakukan dengan memberikan konseling menyusui pada perawatan antenatal. 3. Pastikan bahwa ibu menentukan pilihan makanan sebelum dia meninggalkan klinik atau rumah sakit setelah melahirkan. 3.5 Kontrasepsi pada ibu dengan HIV Kontrasepsi dan pemberian jarak kelahiran antar anak harus dibicarakan dengan setiap ibu selama perawatan antenatal dan dibicarakan kembali segera setelah masa nifas usai. 1. Penularan HIV melalui makanan pada bayi 2. Jenis-jenis metode pemberian Makanan pada bayi dari ibu dengan 26 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan 4.1. Penularan HIV melalui makanan pada bayi Ibu dengan HIV perlu mempertimbangkan banyak faktor ketika mengambil keputusan tentang pilihan pemberian makan yang terbaik untuk bayinya. Petugas kesehatan memainkan peran penting dalam mengarahkan proses pengambilan keputusan mereka dengan memberi konseling tentang pemberian makan bayi yang di dalamnya tercakup: a. Informasi tentang risiko penularan HIV melalui pemberian ASI b. Keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan yang tersedia. Penghargaan terhadap adat-istiadat, praktik-praktik, dan kepercayaan setempat ketika menolong seorang ibu menentukan pilihan tentang pemberian makan bayi. 4.1.1. Rekomendasi-rekomendasi dalam hal memberi makan bayi bagi ibu dengan HIV a. Air susu ibu/ASI adalah asupan yang paling baik untuk bayi, karena komposisinya yang lengkap dan ideal bukan hanya bagi pertumbuhan serta perkembangan otak yang optimal, namun juga perlindungan dari berbagai penyakit.. b. Pada ibu dengan HIV dan AIDS, maka terdapat risiko transmisi HIV melalui ASI (5- 20%). c. Pada odha tidak dianjurkan untuk memberikan ASI , bila pemberian susu formula memenuhi syarat AFASS, yaitu : Acceptable (Dapat diterima) , artinya tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula pada bayinya Feasible (Layak), artinya iIbu dan keluarga punya waktu, pengetahuan, dan ketrampilan memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi Affordable (Terjangkau) artinya iIbu dan keluarga mampu membeli susu formula, tersedia air bersih, bahan bakar untuk memasak dan perlengkapan lain yang diperlukan untuk menyiapkan susu formula yang memenuhi syarat. Sustainable (Berkelanjutan) artinya susu formula dijamin dapat Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 29 Panduan Bagi Petugas Kesehatan diberikan setiap hari, siang dan malam selama usia bayi belum mencapai 6 bulan dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya hingga bayi berusia setidaknya 6 bulan. Safe (Aman) artinya sSusu formula harus disimpan secara higienis, tidak terkontaminasi, saat penyiapannya tersedia air bersih dan takarannya dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat, khususnya para ibu menyusui (Spill Over). d. Bila syarat AFASS tidak dapat dipenuhi maka dianjurkan kepada ibu dengan HIV untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan Formatted: Indonesian e. Bila ibu memilih untuk menyusui eksklusif maka ibu harus mendapat ART (referensinya perlu dimasukkan: profilaksis ART pada post partum atau HAART dini) f. Bila ibu memilih menyusui eksklusif, hentikan sesegera mungkin apabila syarat AFASS sudah terpenuhi dan beralih ke susu formula (dihentikan ASI eksklusif). g. Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (pemberian ASI bersamaan dengan susu formula ataupun makanan/minuman lain), karena memiliki risiko penularan virus HIV pada bayi yang tertinggi. .Hal ini disebabkan pemberian susu formula yang merupakan benda asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus yang mempermudah masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah. h. Pilihan apapun yang diambil oleh seorang ibu, setelah mendapat informasi dan konseling secara lengkap harus didukung. 4.2. Jenis-jenis metode pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV 4.2.1. Ibu dengan status HIV negatif atau status HIV tak diketahui a. ASI eksklusif untuk usia 6 bulan pertama b. Makanan padat yang aman, sesuai, dan ASI diteruskan hingga 2 tahun. c. Dorong ibu untuk relaktasi bila ibu belum menyusui. 30 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan 4.2.2. Ibu dengan status HIV positif a. Tersedia pengganti ASI yang memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible, acceptable, sustainable, safe). b. Bila kondisi AFASS tidak terpenuhi, maka dapat dipertimbangkan pemberian ASI eksklusif yang jangka pemberiannya singkat atau alternatif ASI lainnya, yaitu: - Pasteurisasi/memanaskan ASI perah. - Mencari Ibu Susu (perempuan lain untuk menyusui bayinya) yang telah dibuktikan HIV negatif. 4.3. Komplikasi yang perlu diperhatikan pada ibu yang memberikan ASI Breast engorgement /payudara bengkak: 1. Jelaskan kepada ibu bahwa ASI perlu dikeluarkan (bahkan pada saat bayi tidak minum) untuk menghindari mastitis atau abses yang dapat menurungkan produksi ASI. 2. Jika bayi dapat menghisap, beritahukan ibu untuk lebih sering menyusui bayinya, dan ajarkan ibu mengenai posisi menyusui bayi yang optimal. 3. Jika bayi tidak dapat menyusu/menghisap, ajarkan ibu bagaimana untuk mengeluarkan ASI kepada bayi dengan tangan, melalui pompa ASI. Ajarkan pula bagaimana ibu dapat dengan baik dan aman menggunakan cangkir untuk memberi minum kepada bayinya. Gejala mastitis dan duktus yang tersumbat : 1. Perhatikan penyebab dari aliran yang terhambat seperti perlekatan mulut bayi yang kurang baik, tekanan yang berlebih dari pakaian atau posisi tidur ibu, atau bentuk payudara pendulum dengan duktus yang tersumbat pada bagian bawah payudara. 2. Anjurkan ibu untuk lebih sering menyusui, dengan lembut mengurut payudara saat bayi menyusu, kompres air hangat pada payudara, berikan ASI dari payudara yang tidak sakit, dan menyusui bayi dalam posisi yang berbeda sepanjang hari. Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 31 Panduan Bagi Petugas Kesehatan 3. Jika tampak tanda-tanda infeksi (demam, kemerahan dan nyeri) berikan antibiotik (dikloksasillin 500 mg setiap 6 jam atau klindamisin 300 mg tiap 6 jam selama 7-10 hari). 4. Sarankan untuk istirahat total dan berikan saran juga kepada majikan atau keluarga pasien jika perlu. 5. Berikan parasetamol untuk mengatasi nyeri. Untuk lecet pada puting: 1. Perhatikan penyebab yang paling mungkin (perlekatan dengan mulut bayi yang kurang, fisura, pembengkakan, infeksi kandida pada mulut/kulit bayi). 2. Jelaskan kepada ibu bahwa lecet bersifat sementara, dan ibu dapat melanjutkan menyusui dan tidak perlu mengistirahatkan payudara, dan proses menyusui akan kembali membaik. 3. Tawarkan perawatan yang baik dengan mengajarkan bagaimana perlekatan mulut bayi yang tepat, membantu ibu mengurangi pembengkakan jika perlu, oleskan gentian violet atau nistatin pada puting dan mulut bayi jika kemerahan, gatal, nyeri atau lecet berlanjut. 4. Anjurkan ibu tidak membersihkan payudara lebih dari sekali sehari, karena akan menghilangkan minyak alamiah dari kulit, dan memudahkan terjadinya lecet. 5. Anjurkan ibu tidak menggunakan salep dan losio obat, karena akan mengiritasi kulit. 6. Anjurkan setelah menyusui, ibu dapat mengoleskan ASI yang tersisa ke daerah puting susu dengan jari, karena akan mempercepat penyembuhan. 1. ART pada bayi dengan HIV 2. Imunisasi 3. Profilaksis Kotrimoksasol 4. Pemantauan tumbuh kembang dan status kesehatan 5. Diagnosis HIV pada bayi dan anak 32 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan 5.1. ART pada bayi dengan HIV 5.1.1. Profilaksis ARV pada Bayi a. Pilihan dan lamanya bergantung pada protokol PMTCT yang digunakan b. Perlu penyesuaian dosis c. Harus memperhatikan dosis dan efek samping d. Harus memantau adherence 5.1.2. ARV Profilaksis pada Bayi a. Diberikan untuk semua bayi lahir dari ibu dengan HIV b. Zidovudin dimulai hari pertama (umur 12 jam) selama 4 minggu (jika ibu telah mendapat zidovudin kurang dari 4 minggu pada saat kehamilannya). c. Nevirapin 1 kali/hari dalam masa baru lahir hingga 72 jam pertama 5.1.3. Dosis Zidovudin/AZT/ZDV a. Bayi dengan usia gestasi > 35 minggu: 2 mg/kgBB/kali oral diberikan dalam waktu 6-12 jam setelah lahir, kemudian diberikan tiap 6 jam (4 kali/hari). b. Bayi dengan usia gestasi 30-35 minggu: 2 mg/kgBB/kali diberikan secara oral tiap 12 jam, kemudian diberikan setiap 8 jam pada usia 2 minggu dan seterusnya.. c. Bayi dengan usia gestasi < 30 minggu: 2 mg/kg/kali diberikan secara oral setiap 12 jam, kemudian setiap 8 jam pada usia 4 minggu dan seterusnya. d. Pemberian ARV profilaksis pada bayi selambatnya 72 jam setelah lahir e. Pada bayi baru lahir dengan ibu dengan HIV tidak perlu dilakukan pemeriksaan dengan metode rapid tes. Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 35 Panduan Bagi Petugas Kesehatan Panduan Bagi Petugas Kesehatan 5.1.4. Dosis Nevirapin/NVP : 2 mg/kg BB/kali diberikan secara oral, dosis tunggal, saat lahir hingga usia 72 jam 5.2. Imunisasi 1. Imunisasi diperlukan untuk melindungi bayi-bayi yang terpapar HIV 2. Prinsip umum: tidak memberi vaksin hidup (life attenuated vaccine) bila terdapat gejala infeksi HIV 3. Untuk negara endemis dan sumber daya terbatas, BCG diberikan pada usia dini pada bayi asimtomatik/tidak ada gejala-gejala penyakit Kotrimoksazol (TMP) 5 mg/kg BB Berat Badan Larutan TMP 8mg/mL Tablet dewasa (SMZ 400mg, TMP 80mg) 3 - 4.9 kg 2 mL/hari 5 - 6.9 kg 3 mL/hari 7 - 9.9 kg 4 mL/hari 1/2 tab 10 - 11.9 kg 5 mL/hari 1/2 tab 12 - 14.9 kg 7 mL/hari 1 tab 5.4. Pemantauan tumbuh kembang dan status kesehatan Jadwal kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu dengan HIV Keterangan Saat lahir 10 hari 4 mgg 6 mgg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12 bln 18 bln Setiap 6 Bulan Evaluasi klinis Jadwal Imunisasi pada Bayi dari Ibu dengan HIV (menurut WHO/ UNICEF) Vaksin BCG DPT Infeksi HIV Infeksi HIV Waktu optimal imuasimtomatik simtomatik nisasi YA TIDAK YA YA Minggu ke 6,10,14 OPV YA Campak YA Hepatitis B YA YA YA YA Minggu ke 0, 6, 10, 14 Bulan ke 9 Seperti pada anak yang tidak terinfeksi Berat dan Tinggi Badan Pemberian F/EBF makanan ARV profilaksis (Dosis Tunggal NVP 2 mg/kgBB : AZT 2 mg/kgBB/kali, 4 x/hari) Profilaksis PCP dengan kotrimoksasol Imunisasi (sesuai Hep B dengan jadwal OPV imunisasi menurut IDAI/Depkes) F/EBF F/EBF F/EBF OPV BCG Hep B F/EBF F/EBF F/EBF F/EBF F DTP OPV HIB DTP OPV HIB Hep B HIB Cam pak DTP OPV F-SF F-SF DTP HIB OPV Laboratorium Hb dan Lekosit CD 4 atau absolut PCR RNA/DNA Serologi HIV Keterangan : F : Formula feeding/susu formula 5.3. Profilaksis Kotrimoksasol 1. Pemberian kotrimoksasol (TMP-SMZ) diberikan untuk semua bayi dari ibu dengan HIV hingga diagnosis HIV disingkirkan. 2. Dosis : 5 mg/kg BB, sekali sehari. EBF : Breast Feeding/ASI eksklusif SF : Solid Feeding/makanan padat DTP : Difteri,tetanus,pertusis BCG: Bacillus Calmette-Guerin OPV: Oral polio vaksin HIB: hemofilus influenza B PCR RNA/DNA : polymerase chain reaction RNA/DNA 36 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 37 Panduan Bagi Petugas Kesehatan 5.5. Diagnosis HIV pada bayi dari ibu dengan HIV Pemeriksaan Status HIV Bayi (pada program PMTCT) : 1. Dilakukan dengan menggunakan PCR-RNA/DNA HIV pada usia 4-6 minggu dan antara usia 4-6 bulan. Tes konfirmasi dilakukan dengan antibodi HIV pada usia 18 bulan. 2. Konseling pra dan pasca tes bagi orang tua 3. Menurut panduan yang berlaku danfasilitas yang tersedia 4. Gunakan system rujukan bila tidak tersedia atau untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tujuan Diagnosis 1. Penilaian dan tatalaksana awal 2. Menyingkirkan infeksi HIV 3. Menegakkan diagnosis HIV pada bayi di bawah 18 bulan. 1. Prinsip-prinsip konseling dan testing dalam PMTCT 2. Proses konseling, testing dan hasil testing 3. Konseling pasangan 4. Testing untuk bayi dan anak 38 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan 6.1 Prinsip-prinsip konseling dan tes dalam PMTCT Konseling dan Tes HIV 1. Berperan penting dalam mengidentifikasi perempuan HIV positif untuk memberikan pelayanan kepadanya 2. Memberikan pijakan untuk pengobatan, perawatan, dan dukungan HIV/AIDS yang komprehensif 3. Membantu mengidentifikasi dan mengurangi perilaku-perilaku yang menambah risiko penularan HIV 4. Tenaga kesehatan berperan dalam mendorong klien/pasien untuk menjalani tes HIV, dalam hal ini perempuan hamil dan pasangannya baik yang memiliki faktor risiko maupun tidak. Semua perempuan yang menjalani pemeriksaan antenatal harus menerima informasi mengenai: 1. Safe motherhood 2. Cara berhubungan seksual yang aman 3. Pencegahan dan penanganan IMS 4. PMTCT 5. Konseling pasca tes dan pelayanan lanjutan Prinsip-Prinsip Konseling dan Tes HIV dalam PMTCT Rahasia (Konfidensialitas): 1. Semua informasi pasien disimpan secara rahasia 2. Informasi hanya dibagi dengan konselor yang terlibat langsung menangani-dan hanya atas dasar “hal yang harus diketahui” 3. Semua catatan dan daftar medis disimpan dalam tempat yang aman Izin yang diberikan (Informed Consent): 1. Menjelaskan maksud, keuntungan, dan kerugian tes 2. Menegaskan pemahaman mengenai proses konseling dan tes 3. Menghargai keputusan klien mengenai tes Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 41 Panduan Bagi Petugas Kesehatan Dukungan dan pelayanan pasca-tes: 1. Selalu sampaikan hasil tes secara langsung dan individual 2. Berikan informasi pasca-tes yang tepat 3. Tawarkan konseling atau rujukan 6.2 Proses konseling, tes dan hasil tes Pemberian Informasi Pra Tes 1. Mempersiapkan perempuan dan pasangannya untuk proses tes dan menerima hasil tes 2. Menggali perilaku yang berisiko untuk tertular HIV 3. Menjamin konfidensialitas Konseling Pra Tes Individual 1. Mungkin diberikan dalam fasilitas ANC 2. Rujukan jika diperlukan, kepada konselor HIV terlatih pada layanan VCT Pemberian informasi kelompok dapat berisi hal-hal sebagai berikut : 1. HIV dan AIDS 2. Penularan dan pencegahan 3. Tes HIV dan interpretasi hasil tes 4. Konseling individu dan penilaian risiko Yang dapat melakukan konseling dalam kaitannya dengan PTMCT adalah : 1. Konselor profesional 2. Tenaga medis yang telah mendapat pelatihan VCT(dalam kaitan dengan PITC). 42 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan 6.3 Konseling pasangan : Menangani Pasangan dilakukan dengan : 1. Berikan Tes dan Konseling kepada pasangan laki-laki 2. Tekankan tanggung jawab laki-laki untuk melindungi kesehatan pasangan dan keluarga 3. Kurangi sikap “menyalahkan” perempuan 4. Identifikasi pasangan yang diskordan (salah satu positif dan lainnya negatif) Pasangan : pasangan seksual, pasangan yang akan hamil Sebelum menikah dan saat akan hamil, atau telah mengetahui status pasangannya. 6.4. Tes untuk bayi dan anak Prinsip tes HIV pada bayi dan anak: 1. Antibodi ditransfer dari ibu ke bayi dan akan menghilang pada usia sekitar 18 bulan, sehingga pemeriksaan antibodi HIV pada bayi di bawah 18 bulan tidak dapat digunakan sebagai uji diagnosis. 2. Di sarana kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan PCR HIV, maka tes antibodi dapat dilakukan pada usia 12 bulan. a. Bila hasil negatif dan bayi tidak sedang mendapatkan ASI dari ibunya, maka status anak tersebut adalah negatif. b. Bila hasil positif, diperlukan pemeriksaan konfirmasi tes antibodi pada usia 18 bulan. Namun apabila saat itu, terdapat gejala klinis sesuai dengan HIV, maka mungkin bayi tersebut menderita HIV/HIV presumptif (prosedur diagnosis HIV pada bayi) c. Apabila bayi sedang mendapatkan ASI, maka pemberian ASI harus dihentikan minimal 6 minggu sebelum melakukan tes antibodi Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 43 1. Strategi pencegahan penularan di sarana kesehatan 2. Tindakan pencegahan penularan di sarana kesehatan 3. Pengelolaan limbah medis 4. Pencegahan pasca pajanan Panduan Bagi Petugas Kesehatan 7.1 Strategi pencegahan penularan di sarana kesehatan Konsep-konsep dasar mengenai pencegahan infeksi HIV Infeksi HIV dapat ditularkan melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh, baik melalui kontak langsung dengan luka yang terbuka atau melalui luka bekas suntik. Darah adalah cairan utama yang diketahui berhubungan dengan penularan HIV pada fasilitas kesehatan; sejumlah kecil darah bisa saja terdapat dalam cairan tubuh yang lain. Penularan HIV kepada petugas kesehatan hampir selalu berhubungan dengan luka bekas suntik pada saat perawatan seorang pasien yang terinfeksi HIV. Pada praktiknya, penularan terjadi pada saat melakukan: 1. Injeksi melalui pembuluh darah 2. Donor darah 3. Dialisis 4. Transfusi Menciptakan lingkungan kerja yang aman Menciptakan sebuah lingkungan kerja yang aman meliputi penerapan tindakan pencegahan umum, pengelolaan lingkungan kerja, dan pemberian pendidikan mengenai pencegahan infeksi yang terus menerus bagi para pegawai. 7.2 Tindakan pencegahan penularan di sarana kesehatan Tindakan Pencegahan Umum diakukan pada saat menangani semua pasien 1. Mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik. 2. Mendekontaminasi peralatan dan perlengkapan 3. Menggunakan dan membuang jarum dan alat tajam dengan aman (hindari penutupan ulang, terutama dengan dua tangan). 4. Apabila diperlukan, menutup kembali jarum suntik dengan teknik satu tangan (one hand technique) 5. Gunakan alat pelindung diri (APD). 6. Segera bersihkan percikan darah dan cairan tubuh. Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 47 Panduan Bagi Petugas Kesehatan 7. Gunakan sistem pembuangan yang aman untuk pengumpulan dan pembuangan limbah medis dan non medis. 8. Pengelolaan bahan pakai ulang sesuai standar. 7.3 Pengelolaan limbah medis Limbah/sampah dari RS dan fasilitas pelayanan kesehatan dapat berupa yang telah terkontaminasi (secara potensial sangat berbahaya) atau tidak terkontaminasi. Sekitar 85% sampah umum yang dihasilkan dari RS dan klinik tidak terkontaminasi dan tidak berbahya bagi petugas yang menangani. Sampah yang terkontaminasi (biasanya membawa mikroorganisme), jika tidak dikelola secara benar akan dapat menular pada petugas yang menyentuh sampah tersebut termasuk masyarakat pada umumnya. 7.4 Pencegahan pasca pajanan Jenis pajanan yang dapat dialami oleh seorang petugas kesehatan 1. Okupasional : berhubungan dengan pekerjaaan orang tersebut, dalam hal ini tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan medik, misalnya : tertusuk jarum suntik, terkena pisau operasi, terpercik cairan tubuh dan lainnya. 2. Non okupasional : tidak berhubungan dengan pekerjaaannya seperti kecelakaan lalu lintas, berkelahi, berhubungan seksual dan pemakaian jarum suntik narkotika. Tempat dan alat serta tindakan yang berisiko menularkan HIV 1. Tempat dan alat melakukan tindakan : meja operasi, ruang tindakan ginekologi, perawatan bayi, pemasangan infus, pengolahan limbah/sampah medis. 2. Tindakan : pembedahan, menyuntik, pengambilan darah, menangani cairan tubuh, menangani,membersihkan alat-alat kesehatan. 48 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan Risiko penularan HIV dari cairan tubuh : Tinggi Darah Serum Semen Sekret vagina Sputum Sulit ditentukan Cairan Amnion Cairan Pleura Cairan Peritoneal Cairan Perikardial Cairan Sinovial LCS Rendah Air mata Muntahan Keringat Mukosa serviks Feses Urin Prosedur Kecelakaan Kerja Pertolongan pertama bila terjadi paparan : 1. Bersihkan luka atau kulit yang terpapar dengan sabun dan air 2. Kulit yang terluka harus dengan segera di cuci dan digosok dengan sabun berulang kali dan povidon iodine, atau klorhexidin 3. Mata atau selaput lendir yang terkena harus diirigasi dengan NaCl 0.9% atau air bidestilata selama 5 – 10 menit 4. Untuk luka suntik atau alat tajam, biarkan darah keluar untuk beberapa saat sebelum dibersihkan 5. Jaga kerahasiaan dan dukung serta beri rujukan untuk pengobatan 6. Direkomendasikan obat ARV jangka pendek untuk mengurangi kemungkinan penularan 7. Laporkan dan catat dalam buku laporan kecelakaan kerja 8. Laksanakan protap kecelakaan kerja Pedoman untuk Profilaksis Pasca Pajanan/PPP 1. Idealnya, mulai pengobatan PPP dalam 2 jam sesudah pemaparan 2. Jika pasien tertular HIV, hentikan PPP dan tes ulang sesudah 6 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan 3. Jika pasien tertular HIV, konsultasikan, dukung, dan referensikan pekerja kesehatan untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut. 4. Saat ini tidak terdapat satu jenis PPP regimen tertentu yang Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 49 Panduan Bagi Petugas Kesehatan diakui 5. Terapi dua jenis atau tiga jenis obat direkomendasikan dan dipercaya lebih efektif dibanding satu jenis obat 6. Ikuti rejimen PPP yang berlaku Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pasca Pajanan HIV Perlukaan Kulit Status infeksi dari sumber pajanan Jenis HIV positif HIV positif Pajanan tingkat 1 tingkat 2 Tidak diketahui status HIVnya Umumnya tidak perlu PPP, pertimbangkan 2 obat PPP bila sumber berisiko Anjuran Umumnya tidak Lebih Berat Pengobatan perlu PPP dengan 3 obat pengobatan dengan 3 obat pertimbangkan PPP 2 obat PPP bila PPP sumber berisiko Pajanan pada Lapisan Mukosa atau Pajanan Pada Luka di Kulit Status infeksi sumber pajanan Umumnya tidak Volume Sedikit Pertimbangkan Anjuran perlu PPP, (beberapa pengobatan pengobatan dengan 3 obat pertimbangkan tetes) dasar 2 obat PPP bila 2 obat PPP PPP sumber berisiko Anjuran Umumnya tidak Dianjurkan Volume perlu PPP, pengobatan pengobatan banyak dengan 3 obat pertimbangkan dasar (tumpahan 2 obat PPP bila PPP banyak darah) 2 obat PPP sumber berisiko Kurang Berat Dianjurkan pengobatan dasar 2 obat PPP Anjuran pengobatan dengan 3 obat PPP Tidak diketahui sumbernya Umumnya tidak perlu PPP HIV negatif Tidak PPP perlu Umumnya tidak perlu PPP Tidak PPP perlu Umumnya tidak perlu PPP Tidak PPP perlu Umumnya tidak perlu PPP Tidak PPP perlu Rejimen ARV untuk Profilaksis Pasca Pajanan Tingkat Risiko Pajanan Risko menengah (Kemungkinan ada risiko terjadi infeksi) Risiko tinggi (Risiko terjadi infeksi yang nyata, misalnya pajanan dengan darah volume banyak, luka tusuk yang dalam) Rejimen Rejimen kombinasi dua obat dasar, contohnya: AZT 2 x 300 mg + 3 TC 2 x 150 mg atau d4T 2 x 400 mg + 3 TC atau ddI 1 x 400 mg + d4T Rejimen kombinasi 3 obat, contohnya : AZT/3TC/LPV/r (3 x 800 mg) atau NFV (3 x 750 mg) AZT/3TC/LPV/r AZT/3TC + golongan NNRTI (EFV 1 x 600 mg) Keterangan : 50 • Rejimen PPP perlu disesuaikan dengan menggunakan obat yang tidak resisten terhadap sumber pajanan (bila diketahui). • Efavirens lebih baik daripada nevirapin namun tidak dianjurkan untuk perempuan hamil. Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi 1. Stigma dan diskriminasi pada perempuan dengan HIV 2. Dukungan psikososial bagi perempuan dengan HIV Panduan Bagi Petugas Kesehatan 8.1. Stigma dan diskriminasi pada perempuan dengan HIV Stigmatisasi mencerminkan perilaku, tapi diskriminasi adalah tindakan atau perilaku. Diskriminasi adalah cara mengekspresikan, baik secara sengaja maupun tidak disengaja, dengan melakukan stigmatisasi pendapat. Stigma dan diskriminasi saling berhubungan. Individu yang mengalami stigmatisasi mungkin mengalami diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Stigmatisasi pendapat dapat membuat seseorang bertindak atau berperilaku dengan cara yang menolak layanan atau hak untuk orang lain. Stigma dan diskriminasi telah dicatat dalam kaitannya dengan penyakit menular lain yang tercela atau yang tidak dapat disembuhkan, termasuk TBC, sifilis, dan lepra. Namun, stigma yang terkait dengan HIV dan AIDS tampak lebih parah dari stigma yang terkait dengan penyakit menular lain yang mematikan. Stigma dan layanan PMTCT Stigma dan diskriminasi merupakan tantangan yang jelas untuk mengirim layanan PMTCT. Khususnya, di banyak daerah perempuan dapat menolak penggantian pemberian makan karena meraka tahu bahwa mereka akan dinamai sebagai yang mengidap HIV jika mereka tidak menyusui. Anak-anak dari ibu yang berpartisipasi dalam program PMTCT memperoleh pengalaman stigmatisasi sekunder karena orang-orang menganggap bahwa mereka adalah yang mengidap HIV. 8.2. Dukungan psikososial bagi perempuan dengan HIV Bentuk-bentuk dukungan psikososial : Konseling a. Konseling individu (termasuk konseling ARV, Persalinan, Pemberian Makanan Bayi) b. Konseling pasangan c. Konseling keluarga d. Konseling kelompok e. Konseling masyarakat sekitar Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 53 Panduan Bagi Petugas Kesehatan Pendampingan a. Layanan sahabat (buddies service) b. Pengawas minum obat c. Kunjungan rumah (Home-visit) Dukungan Ekonomi Keluarga a. Memberikan pelatihan keterampilan kerja b. Program peningkatan pendapatan keluarga Advokasi Melalui penyebarluasan materi informasi, komunikasi dan edukasi/KIE Landasan Dasar Dukungan Psikososial a. PMTCT harus tidak bias gender atau gender sensitif b. PMTCT adalah hak reproduksi setiap ibu c. PMTCT harus bebas dari stigma dan diskriminasi Panduan Bagi Petugas Kesehatan Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi, 2006. 2. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal P2PL. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral pada Anak, 2008. 3. Departemen Kesehatan RI-IDAI, Direktorat Jenderal P2PL. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral (ART), 2007. 4. WHO. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preenting HI Infection in Infants in Resource-Limited Settings; Towards Universal Access, 2006. 5. Ilhamy S, M. Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Disampaikan pada Pertemuan Pokjanas PMTCT, Oktober 2008. 5.6. Modul Pelatihan PMTCT, 2008. Ditkesbu, Depkes RI. Panduan ini juga didukung oleh : Aliansi Organisasi Profesi Kedokteran (IDI, IBI, ISFI, PDGI, PPNI, IAKMI) 54 Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu Ke Bayi Prevention Mother to Child HIV/AIDS Transmission (PMTCT) 55