PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh 1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi 2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini 3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah 4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah Selamat membaca !!! Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh UPT PERPUSTAKAAN UNISBA KOMUNIKASI PERSUASI IBU DAN ANAK DALAM MEMBENTUK PERILAKU BERIBADAH PADA ANAK Studi Kualitatif Dengan Pendekatan Interaksi Simbolik Mengenai Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak Dalam Membentuk Perilaku Beribadah Ritual Khususnya Sholat Fardhu Lima Waktu dan Aktivitas Belajar Membaca Al Quran Pada Anak Disusun Oleh : FATMAH NUR 10080000044 Bidang Kajian Manajemen Komunikasi FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2005 LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak Dalam Membentuk Perilaku Beribadah Pada Anak Studi Kulaitatif Dengan Pendekatan Interaksi Simbolik Mengenai Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak Dalam Membentuk Perilaku Beribadah Yakni Sholat Wajib Lima Waktu dan Aktifitas Belajar Membaca Al Quran Pada Anak Disusun Oleh: FATMAH NUR 10080000044 Bidang Kajian Manajemen Komunikasi Bandung 7 Februari 2006 Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II Hj.Rini Rinawati Dra.,M.Si. Prima Mulyasari S.Sos.,M.Si Mengetahui: Ketua Bidang Kajian Manajemen Komunilkasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Anne Maryani Dra.,M.Si. ABSTRAK Perilaku beribadah yang konsisten pada anak merupakan tanggung jawab orang tua khususnya ibu. Dalam membentuk perilaku beribadah pada anak, yakni ibadah sholat wajib 5 waktu dan aktivitas belajar membaca Al Quran, ibu dihadapkan pada pilihan metode yang tepat, khususnya metode komunikasi yang digunakan. Komunikasi persuasi merupakan salah satu metode dalam membentuk perilaku beribadah pada anak. Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana komunikasi persuasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah yang dilaksanakan anak atas kesadarannya sendiri dan mampu konsisten dalam pelaksanaanya. Ibu Zubaidah dan anaknya Azzahra merupakan pasangan ibu dan anak yang dijadikan objek penelitian ini. Komunikasi persuasi yang dilakukan pasangan objek penelitian ini dalam membentuk perilaku beribadah anak dijadikan sumber data primer dalam penelitian ini. Dimana data primer ini diperoleh melalui wawancara pada keduanya dan observasi seputar kegiatan beribadahnya sehari-hari. Memerlukan waktu kurang lebih 5 bulan dalam pengumpulkan data-data primer ini. Mulai dari orientasi awal dengan keluarga ibu Zubaidah sampai dengan observasi yang dilakukan peneliti. Melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan interaksi simbolik, peneliti menginterpretasikan semua data-data penelitian, sehingga mendapat hasil penelitian berdasarkan tujuan penelitian. Yang mana adik Azzahra telah melaksanakan sholat 5 waktu dan belajar membaca Al Quran tanpa terpaksa berdasarkan pemahamannya atas ibadah. Hanya saja pelaksanaan sholat dan membaca Al Quran masih terus dipantau oleh ibunya. Pemahaman ibadah pada Azzahra berasal dari upaya ibunya dalam membentuk perilaku beribadah tanpa menggunakan paksaan, kekerasan dan juga sanksi-sanksi. Upaya ibu dan pelasaknaan ibadah oleh anak dipengaruhi oleh pemaknaan atas ibadah oleh keduanya. Dimana peneliti menyimpulkan komunikasi persuasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah pada anak memang mampu membuat anak melaksanakan sholat dan mengaji tanpa merasa terbebani dan tidak terpaksa melaksanakannya. Namun makna atas ibadah yang dipahami anak masih belum mampu membentuk perilaku beribadah itu dengan istiqomah, karena anak masih sesekali meninggalkan ibadahnya dengan atau tanpa alasan yang jelas. i KATA PENGANTAR Bismillahirahamanirrahim, Assalamu’alaikum Wr.Wb Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt Sang Pencipta Alam dan Pemberi Rahmat dan Hidayah yang tidak terhingga serta Salawat dan Salam yang dilimpahkan pada junjungan kita Muhammad Rasulullah Saw. sebagai pintu ilmu dan Ali A.s sebagai kuncinya serta keluarga dan sahabat yang dicintainya. Akhirnya penulis mampu merampungkan skripsi yang berjudul Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak dalam Membentuk Perilaku Beribadah Pada Anak, yang merupakan salah satu syarat dalam menempuh Ujian Sidang Sarjana Strata 1 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, namun dengan kerendahan hati, penulis selalu terbuka atas kritik dan saran guna memperbaiki wawasan dan ilmu pengetahuan penulis kedepan. Semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat besar dan kecil bagi penulis khususnya dan pada pihal lain yang membutuhkan informasi seputar masalah skripsi ini umumnya. Dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan baik berupa pengarahan, bimbingan, motivasi dan juga bantuan lainnya dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan ii berjuta terima kasih atas bantuan-bantuan pada penulis. Terima kasih ditujukan kepada: 1. Yang tercinta umi Syarifah Zainab dan abah Muda Syufatri terima kasih atas kesempatan, dukungan, doa dan harapan yang tidak putus buat keberhasilan anaknya, LUV U !. 2. Yang tersayang bang Iman, abang satu-satunya, sekaligus mentor, pelindung dan yang menjaga Inthan di Bandung serta teman terbaik sepanjang masa. Thanks Bro! U doin’ great. 3. Yang terkasih Jida, Jidi, Aunti, Mican sekeluarga, Ace sekeluarga. Thanks for the laptop nti, mican untuk semua nasehatnya dan menjadi pendengar yang baik. Jida terima kasih atas jiwa yang penuh inspirasi serta cinta I LUV U. Jidi penguat bathin kami sekeluarga. 4. Yang terhormat ibu Hj. Rini Rinawati Dra., M.si. dan keluarga selaku dosen pembimbing I atas bimbingan, arahan, waktu, tenaga dan pikirannya membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 5. Yang terhormat ibu Prima Mulyasari S.Sos., M.si. dan keluarga selaku dosen pembimbing II atas arahan dan kontribusinya yang buat penulis kurang merasakan tekanan. 6. Yang terhormat Ibu Anne Maryani Dra., M.s.i dan Ibu Dede Lilis S.sos serta Ibu Ike Junita E. S.sos., Msi selaku Ketua Bidang Kajian dan seketaris Bidang Kajian Manajeman Komunikasi Fikom Unisba. iii 7. Yang terhormat Bapak Wawang Kuswanto Drs., M.si. , terima kasih atas ilmu dan semua masukannya termasuk menjadi motivator penelitian kualitatif buat anak ManKom. 8. Seluruh dosen Fikom Unisba khususnya bidang kajian Manajeman Komunkasi 9. Seluruh civitas akademika Fikom Unisba, atas kelancaran birokrasi, informasi dan pengolahan nilai dan data, meskipun kadang kala prosedur menyulitkan 10. Yang terhormat Bapak H. Ir. Abdurahman dan Ibu Zubaidah dan adik Aza atas kesediannya menjadi objek penelitian serta partisipasi yang sangat baik serta dukungan sprituil dan morilnya. 11. Yang terhormat Bapak Septiawan S. Drs.M.Si terimakasih atas semua masukan dan dorongan yang membuat PD. 12. Buat semua sahabat terbaik sepanjang masa, Eldha, Santi (hope u find ur soulmate), intan, dila, weni, Amel (teman curhat abiz) Ulan (sorry hon, qta duluan.. nyusul ya!), Iin, Ega, Linda dan Mia. 13. Thanks to semua anak asrama IPMKR cant say one by one key! 14. Seluruh anak kosan di sukaluyu I 57. dian, teh Tanti, Rina, Endah, Wulan. 15. Seluruh teman seperjuangan baik dari Tanjungpinang, Kijang, satu kontrakan, satu kosan juga teman-teman di kampus, dan seluruh temanteman tan yang terlewatkan sorry! Serta seluruh orang-orang yang iv memberikan kontribusinya pada hidup tan. Kalian semuanya sangat menginspirasi. Semoga Allah Swt membalas bantuan dari semua pihak sebagai amal dan ibadah yang tulus ikhlas, Amin ya Rabbal’alamin. Akhir kata semoga skripsi ini mampu memenuhi kebutuhan akan informasi atas komunikasi persuasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah pada anak. Dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila kata dan tulisan yang menyinggung pihak lain. Billahitaufiq Wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakaatuh. Bandung, Februari 2006 Penulis v DAFTAR ISI ABSTRAK ..................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................. vi DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix BAB I BAB II PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 5 1.3 Pertanyaan Penelitian .......................................................... 5 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................ 6 1.5 Kegunaan Penelitian ........................................................... 7 1.6 Fokus Peneliitian ................................................................. 8 1.7 Pengertian Istilah ................................................................. 9 1.8 Kerangka Pemikiran ............................................................ 10 1.9 Metodologi Penelitian ......................................................... 15 1.9.1 Metodologi Penelitian ............................................. 15 1.9.2 Tahapan Penelitian .................................................. 18 1.10 Sasaran Penelitian ............................................................... 20 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 Tinjauan Tentang Komunikasi ............................................ 23 2.1.1 Pengertian Komunikasi ........................................... 23 2.1.2 Tujuan Komunikasi ................................................. 24 2.1.3 Fungsi-fungsi Komunikasi ...................................... 27 2.1.4 Unsur-unsur Komunikasi ........................................ 28 Komunikasi Persuasi Dalam Tatanan Komunikasi Persuasi ..................................................................... ......... 30 2.2.1 30 Tinjauan Komunikasi Antarpribadi ......................... 2.2.2 Komunikasi Persuasi Dalam Komunikasi vi 2.3 2.4 Antarpribadi .................................................... ....... 31 2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Persuasi................. 31 2.2.2.2 Prinsip-Prinsip Komunikasi Persuasi .......... 34 2.2.2.3 Hambatan Komunikasi Persuasi ........... ...... 37 Prinsip Etika Komunikasi Dalam Islam .............................. 37 2.3.1 41 Hubungan Ibu dan anak dalam Membentuk Perilaku Beribadah Pada Anak............................................. 43 2.4.1 Tinjauan Tentang Ibu .............................................. 43 2.4.2 Tanggung Jawab dan Peran Ibu Dalam 2.4.3 BAB III BAB IV Komunikasi Persuasi Dalam Perspektif Islam . ....... Membentuk Perilaku Beribadah Pada Anak …. ....... 46 Tinjauan Tentang Anak ........................................... 49 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Kualitatif ............................................... 52 3.2 Pendekatan Interaksi Simbolik ............................................ 56 3.3 Tahapan Penelitian .............................................................. 62 3.4 Fokus Penelitian .................................................................. 65 3.5 Teknik Pengumpulan Data .................................................. 66 3.5.1 Wawancara .............................................................. 67 3.5.2 Observasi ................................................................. 67 3.5.3 Studi Kepustakaan ................................................... 68 OBJEK PENELITIAN 4.1 Pemlilihan Objek Penelitian ................................................ 4.2 Seputar Keluarga Ibu Zubaidah dan Anaknya 69 Sebagai Pasangan Objek Penelitian .................................... 71 4.2.1 Sebagai Keluarga Islami ......................................... 72 4.2.2 Kelancaran Komunikasi Dalam Keluarga ............... 73 4.2.3 Pendidikan Agama Dalam Keluarga ....................... 74 vii 4.3 Seputar Ibadah sholat Fardhu Lima Waktu dan Aktifitas Membaca Al Quran .............................................. BAB V 76 ANALISIS 5.1 Analisis Proses Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak Dalam Memberikan Pemahaman Beribadah pada Anak .... 5.2. Analisis Upaya Ibu dalam Menyampaikan Pesan Pada Anak Berdasarkan Pemaknaan Ibu Atas Ibadah ................. 5.3. 81 87 Analisis Tanggapan Anak dalam Memaknai Ibadah (Sholat 5 waktu dan Belajar Membaca Al Quran) Melalui Pesan yang Disampaikan Ibu ................................ 5.4. Analisis Peneliti atas Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak dalam Membentuk Perilaku Beribadah pada Anak. ............ BAB VI 93 97 PENUTUP 6.1 Kesimpulan ......................................................................... 103 6.2 Saran .................................................................................. 104 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 106 LAMPIRAN ................................................................................................... 109 viii DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Pasangan Sasaran Penelitian ......................................................... 22 Tabel 3.1 Tabel Perbandingan Dua Paradigma Interkasi Simbolik ........................................................................................ ix 58 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap keluarga dan orang tua memiliki format dan metode tersendiri dalam mendidik anak-anak mereka. Namun setiap orang tua sepakat bahwa dalam mendidik anak, kondisi psikologis anak tetap harus terjaga, jangan sampai secara mental anak menderita dalam mendidik dan membentuk pribadi anak. Ibu merupakan orang yang paling perduli pada kondisi mental anak. Dan juga ibu merupakan orang yang paling intens membangun jiwa dan keimanan anak. Dalam menanamkan nilai-nilai yang kadang kurang dipahami oleh anak, banyak sekali halangan dan hambatannya, karena kurangnya pemahaman anak akan suatu hal. Maka tindak-tindak alternatif seringkali menjadi senjata akhir orang tua dalam memasukkan nilai-nilai yang wajib pada anak. Dalam keluarga yang Islami, seorang anak pasti akan di perkenalkan pada bentuk-bentuk ibadah yang biasanya dilakukan orang tuanya. Tentu saja melalui tahapan-tahapan tertentu berdasarkan umur dan tingkat pemahaman anak. Sholat dan membaca Al Quran adalah bentuk ibadah awal yang di perkenalkan orang tua pada anak. Disini orang tua khususnya ibu akan menanamkan pemahaman akan sholat dan membaca Al Quran berdasarkan tingkat keimanan dan kemampuan komunikasi yang dimiliki ibu. Kemampuan komunikasi yang dimiliki ibu serta pemahaman ibu akan pentingnya nilai ibadah itu akan mempengaruhi cara dan metode ibu dalam membentuk perilaku beribadah pada anak. 2 Menanamkan nilai dan membentuk perilaku pada anak merupakan kewajiban orang tua. Mengapa kemudian ibu menjadi sosok yang memegang peranan dalam membentuk perilaku anak, ini dikarenakan kedekatan emosional ibu pada anak dan kemampuannya dalam mengerti anak-anaknya. Ibu memiliki naluri mengajak anaknya melakukan sesuatu tanpa menimbulkan banyak pertentangan pada anak. Selain itu ibu di nilai sebagai orang yang paling dekat dengan anaknya sejak awal kehamilan. Sehingga, sudah dapat dipastikan bahwa tugas dan kewajiban ibu dalam membentuk moral dan perilaku anak menjadi begitu signifikan. Dalam membentuk perilaku anak dalam beribadah khususnya, kemampuan dan metode komunikasi yang digunakan ibu sangat penting. Bagaimana ibu menjalin komunikasi dengan anaknya, merupakan titik awal kebiasaan anak dan ibu dalam terus berinteraksi dan berkomunikasi. Selain kemampuan komunikasi dan metode komunikasi yang dimiliki ibu, pemahaman ibu akan nilai dan perilaku yang akan ditananamkan pada anak juga sangat berpengaruh pada keberhasilan proses. Pemahaman ibu atas seberapa penting ibadah, dan juga pemahaman ibu pada diri anaknya yang akan memudahkan ibu dalam membentuk perilaku ibadah, sehingga menjadi bagian dari diri anak. Pemahaman ibu nantinya akan saling mempengaruhi dengan pemaknaan yang akan timbul antara ibu dan anak. Keduanya saling mempengaruhi dalam proses pemberian makna atas tindakan yang ibu lakukan dan perilaku anak yang dipengaruhi oleh ibu. Melalui interaksi yang menimbulkan penafsiran atas simbol-simbol yang dihasilkan keduanya 3 nanti akan mempermudah proses komunikasi atau bahkan mempersulit karena perbedaan penafsiran terhadap sesuatu. Dunia anak idealnya bersih dari tindakan-tindakan yang agresif dan pemaksaan. Anak di didik dalam lingkungan yang penuh dengan kasih sayang dan toleransi seyogyanya. Meskipun dalam kenyataan sering kita jumpai hal-hal yang bertolak belakang. Sikap yang toleran inilah yang kemudian lekat pada jiwa anak, yakni sebuah sikap tanpa paksaan atau tekanan. Tentu saja sikap tanpa paksaan ini tidak berarti bahwa orang tua khususnya ibu kehilangan kendali atas pendidikan dan perkembangan anak secara keseluruhan. Sikap toleran yang dimaksud adalah sikap yang menghargai anak juga pendapat dan keinginan meraka. Dimana dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai yang penting dilakukan dengan cara yang lebih santun dan manusiawi. Hal ini tentu saja tidak serta-merta mengendurkan semangat orang tua khususnya ibu dalam memasukkan nilai agama dalam diri anak. Sebagian ibu menganggap ibadah merupakan sebuah keharusan dan kewajiban yang tidak dapat ditawar, sehingga ibu sejak awal menanamkan nilai bahwa ibadah harus dilaksanakan dengan alasan yang beraneka ragam. Tentunya disini kita bertemu pada sebuah problematika dimana seorang ibu menempuh cara-cara atau metoda tertentu dalam membentuk perilaku beribadah pada anak dengan menggunakan pendekatan pemaknaan atas ibadah. Pemberian makna atas ibadah sehingga pelaksanaan ibadah dilakukan tanpa paksaan. Namun pada kenyataannya, anak sering kali menafsirkan ibadah sebagai kewajiban yang membebankan. Pada titik poin inilah terlihat peran 4 sebuah metode komunikasi dalam membentuk perilaku beribadah pada anak. Ada dua metode komunikasi yang lazim digunakan, pertama yaitu metode komunikasi koersif yang bersifat instruktif dan atau paksaan (Effendy, 2001:45). Sedangkan metode yang kedua adalah metode komunikasi persuasif yang bersifat bujukan dan imbauan. Kedua metode di atas memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang yang relatif berbeda. Komunikasi koersi mampu membentuk perilaku beribadah pada anak dengan cepat dan mudah. Karena melibatkan otoritas ibu yang tentunya selalu dapat dan harus ditaati. Namun pemahaman dan pemaknaan anak pada proses pelaksanaan ibadah mampu membuat anak dikemudian hari tidak konsisten (istiqamah) atas ibadahnya, karena pelaksanaan ibadah yang tidak dilandasi pemahaman yang baik dan kokoh atas ibadah yang dilakukan. Inilah membuat kurangnya kesadaran dan motivasi atas diri anak itu sendiri. Lain halnya pada metode komunikasi persuasi, dampak yang demikian dapat diminimalisasikan bahkan dihilangkan. Pada metode ini, anak akan beribadah atas dasar pamahamannya dan pemaknaanya pada ibadah itu sendiri, yang menghasilkan motivasinya sendiri untuk melaksanakan ibadah. Memang menerapkan metode komunikasi persuasi dalam membentuk perilaku beribadah, dinilai sulit dan memakan waktu yang relatif lama. Akan muncul banyak sekali kendala dan hambatan mengingat sulitnya menyamakan pemahaman dan pemaknaan atas perilaku beribadah antara ibu dan anak. Dimana ibu harus menggunakan banyak pendekatan untuk menumbuhkan motivasi dalam diri anak itu, sehingga melaksanakan ibadah khususnya sholat 5 fardhu 5 waktu dan membaca Al Quran. Yang tentu saja dalam umur anak kedua ibadah itu masih dikategorikan belajar. Bagaimana komunikasi persuasi ibu dan anak mampu membentuk perilaku beribadah pada anak, di sini akan ditelaah melalui penafsiran dan pemaknaan simbol-simbol yang digunakan pada proses pembentukan perilaku beribadah pada anak, khususnya simbol-simbol yang bersifat imbauan dan bujukan. Bagaimana proses persuasi yang dilakukan ibu dalam membentuk perilaku beribadah pada anak dimaknai dengan tepat oleh anak. Kemudian anak menafsirkan dan memaknai perilaku beribadahnya sebagai apa, inilah yang kemudian akan kita ketahui melalui penelitian yang menggunakan metode kualitatif. 1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah maka peneliti mengecilkan ruang permasalahan melalui sebuah rumusan. Peneliti merumuskan permasalahan yang akan diteliti menjadi: “Bagaimana proses komunikasi persuasi ibu kepada anak dapat membantu anak dalam memaknai ibadah, sehingga mampu membentuk perilaku beribadah anak yang konsisten (istiqomah) berdasarkan kesadaran anak sendiri?” 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menjabarkan masalah melalui beberapa pertanyaan penelitian, antara lain: 6 1. Bagaimana proses komunikasi persuasi ibu dan anak dalam memberikan pemahaman beribadah pada anak? 2. Bagaimana upaya ibu dalam menyampaikan pesan imbauan (ajakan) kepada anak berdasarkan pemaknaan ibu atas ibadah, sehingga anak melaksanakan ibadah (sholat dan belajar membaca Al Quran) secara konsisten atas kesadarannya sendiri? 3. Bagaimana anak memaknai ibadah ( Sholat 5 waktu dan belajar membaca Al Quran) melalui pesan imbauan (ajakan) yang disampaikan ibu, sehingga anak melaksanakan ibadah secara konsisten atas keinginannya sendiri ? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ditetapkan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Untuk mengetahui proses komunikasi persuasi antara ibu dan anak dalam memberikan pemahaman beribadah pada anak. 2. Untuk mengetahui upaya ibu menyampaikan pesan imbauan (ajakan) pada anak berdasarkan pemaknaan ibu atas ibadah, sehingga anak melaksanakan ibadah secara konsisten atas keinginannya sendiri. 3. Untuk mengetahui tanggapan anak dalam memaknai ibadah melalui pesan imbauan (ajakan) yang disampaikan ibu, sehingga anak melakasanakan ibadah secara konsisten atas keinginannya sendiri. 1.5 Kegunaan Penelitian 7 Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mampu dipergunakan dan bermanfaat tidak hanya bagi peneliti tetapi juga bagi orang lain yang membaca dan membutuhkan informasi seputar masalah yang diangkat dan berdasarkan metode yang digunakan peneliti. Yang mana peneliti membagi kegunaan penelitian ini pada dua aspek yakni: 1. Kegunaan Teoritis Kegunaan teoritis disini maksudnya hasil penelitian ini nantinya dapat membantu memberikan referensi bagi peneliti lainnya yang akan meneliti sebuah fenomena yang serupa atau seputar masalah yang sama. Juga menambah pengetahuan yang ilmiah mengenai masalah yang diangkat dengan metode yang digunakan peneliti, yakni studi kulaitatif dengan pendekatan interaksiosme simbolik mengenai komunikasi persuasi. 2. Kegunaan Praktis Kegunaan paktis ini maksudnya hasil dari penelitian ini nantinya dapat dipergunakan sebagai acuan atau referensi bagi pihak-pihak lain yang memerlukan informasi ilmiah seputar masalah komunikasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah anak, agar dapat diterapkan dalam mendidik dan mempersiapkan keimanan anak khususnya dalam membentuk perilaku beribadah yakni sholat wajib 5 waktu dan aktifitas membaca Al Quran pada anak. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi setiap ibu yang menerapkan dan menanamkan nilai-nilai agama, norma, keimanan atau apapun pada anak tanpa melalui proses pemaksakan kehendak oleh ibu atau orang tua. 8 1.6 Fokus Penelitian Fokus penelitian dirancang guna menghindari pembahasan yang melebar dan keluar dari masalah utama yang diangkat oleh peneliti. Selain itu fokus penelitian juga didesain untuk memberikan arah yang pasti dalam sebuah penelitian guna mendapatkan informasi yang jelas, spesifik dan detail. Memberikan perincian masalah yang akan diteliti dan memfokuskan kegiatan peneliltian pada suatu area pengamatan dan penelitian yang lebih spesifik. Yang mana peneliti menetapkan beberapa hal yang menjadi fokus penelitian, yaitu: 1. Perilaku beribadah lebih difokuskan dan dikhususkan pada pelaksanaan ibadah ritual yang telah diketahui dan dipahami anak usia sekolah dasar. Spesifikknya ialah sholat wajib lima waktu dan aktifitas membaca Al Quran yang intensitasnya dibatasi minimal 1 kali seminggu. 2. Konteks ibadah disini adalah proses belajar praktek dan pelaksanaan sholat wajib lima waktu dan aktifitas membaca Al Quran itu sendiri. Tentu kedua ibadah ini masih dalam tahap belajar bukan pendalaman ataupun memiliki konsekuensi hukum yang wajib dikerjakan. Karena anak masih dalam usia belum baligh. 3. Komunikasi persuasi terjadi dalam komunikasi antar pribadi antara ibu dan anak, yang mana usia anak yang belum baligh dan masih duduk di sekolah dasar. Dan berdasarkan status dan peranan ibu dan anak, maka komunikasi yang dilakukan cendrung merupakan komunikasi horizontal. 4. Penelitian difokuskan pada sasaran penelitian yang basis keluarganya merupakan keluarga yang Islami. Jadi paling tidak ibu dan bapaknya 9 telah memahami dan menerapkan syari’at Islam dalam pola asuh anak juga pada kehidupan keluarga dengan baik. 1.7 Pengertian Istilah 1. Komunikasi atau communication bahasa Inggrisnya berasal dari kata latin communis yang berarti sama. Komunikasi menyarankan bahwa satu pikiran, satu makna, satu pesan yang dianut secara sama (Mulyana, 2001:41-42). Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson menyebutkan komunikasi sebagai proses memahami dan berbagi makna (Mulyana,2001:69). 2. Sementara komunikasi persuasi menurut Onong U. E (1979) adalah proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikilogis, sehingga orang tersebut bertindak atas kehendaknya sendiri (Effendy,1979). 3. Perilaku yaitu tindakan yang jelas dan dapat diamati (Devito, 1997:447). 4. Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Lainnya ibadah diartikan sebagai beramal dengan yang diizinkan oleh Syari’ Allah Swt, karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti khusus, yaitu: 5. Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang dilaksanakan dengan niat ibadah (LPPKID, 2001:1). 6. Ibadah dalam arti khusus adalah perbuatan yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasullah s.a.w (LPPKID, 2001:1). 10 1.8 Kerangka Pemikiran Interaksi antara ibu dan anak merupakan interaksi yang kodrati yakni proses interaksi yang terjadi oleh setiap manusia untuk pertama kalinya yakni mulai dari dalam kandungan. Dengan demikian interaksi yang terjadi antara ibu dan anak merupakan sebuah interaksi yang selalu melibatkan emosional dan interaksi yang intensif (Djamarah, 2004:56). Sebuah hadist yang meriwayatkan tanggung jawab orang tua, dalam kasus ini ibu untuk mengajarkan anaknya segala sesuatu kebaikan dengan budi pekerti. Seperti dikutip Djamarah (2004:29) hadist yang diriwyatkan oleh Abdur Razzaq Sa’id bin Mansur yang menuliskan sabda Rasulullah Saw sebagai berikut: “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik” (HR.Bukahri&Muslim). Berdasarkan hadist di atas dalam menbentuk perilaku beribadah maka komunikasi persuasi merupakan metode komunikasi yang paling ideal dalam membentuk perilaku beribadah pada anak. Tentu saja tak terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari komunikasi persuasi itu sendiri. Komunikasi persuasi ibu dan anak merupakan proses komunikasi antarpribadi yang bertujuan mempengaruhi perilaku anak, tepatnya membentuk perilaku anak dalam melaksanakan ibadah khususnya sholat dan membaca Al Quran. Yang mana dalam proses komunikasi antarpribadi yang dilakukan ibu dan anak menggunakan metode persuasi, ibu memberi pengaruh pada anak khususnya dalam mempresepsi pesan dan perilaku ibadah itu sendiri. 11 Komunikasi antar pribadi menurut Liliweri memiliki salah satu cirinya yakni bentuk akibat, yang mana komunikasi antar pribadi mempunyai akibat yang disengaja atau tidak. Yang mengakibatkan suatu hasil yang direncanakan atau tidak. Liliweri menyebutkan dalam bukunya Komunikasi Antar Persona bahwa komunikasi antarpribadi merupakan tindakan persuasi manusia (Liliweri, 1991:15). Lebih lanjut Liliweri menjelaskan komunikasi persuasi dengan mengutip dari Sunarjo (1983), yang mengatakan komunikasi persuasi merupakan teknik untuk mempengaruhi manusia dengan memanfatkan/menggunakan data dan fakta psikologis maupun sosiologis dari komunikan yang hendak dipengaruhi (Liliweri, 1991:40). Semenetara itu Onong U. E mendefinisikan komunikasi persuasi dalam kamus komunikasi sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikolgis, sehingga orang tersbut bertindak atas kehendaknya sendiri (Effendy,1986:46). Berdasarkan esensi dari persuasi itu sendiri maka imbauan atau bujukan merupakan hal yang identik dalam proses komunikasi persuasi. Berkaitan dengan komponen pesan persuasi, didalamnya terdapat organisasi pesan, struktur pesan dan imbauan pesan. Dalam proses komunikasi antar persona yang dilakukan ibu dan anak, organisasi pesan dan struktur pesan sering kali terabaikan dan kurang dipergunakan dengan baik dan benar. Sementara imbauan pesan merupakan komponen penting dari komunikasi persuasi ibu dan anak. Ada lima jenis imbauan pesan dalam komunikasi persuasi antara lain: 12 1. Imbauan Rasional; didasarkan pada anggapan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk rasional, yang baru bereaksi pada imbauan emosional, bila imbauan rasional tidak ada. (Penggunaan pendekatan logis atau penyajian bukti). 2. Imbauan Emosional; menggunakan pernyataan yang menyentuh emosi komunikan. 3. Imbauan Takut; pesan yang menggunakan istilah-istilah yang mencemaskan, mengancam, atau meresahkan. 4. Imabuan Ganjaran; imbauan yang menjanjikan tentang sesuatu yang menguntungkan komunikan. 5. Imbauan Motivasional; pesan yang disusun untuk mendorong seseorang atau sekelompok orang berpendapat, bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan yang diharapkan komunikator. Teori Self Disclosure atau yang lebih dikenal dengan “Johari Window” berasumsi bahwa setiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang lain. Dimana dalam teori ini ada empat bingkai, yang setiap bingkainya menggambarkan setiap sisi dari setiap manusia. Bingkai pertama, disebut bidang terbuka yang menggambarkan keterbukaan dalam berinteraksi. Bingkai kedua, disebut bidang buta yakni orang lain lebih mengetahui diri kita dibanding diri kita sendiri. Bingkai ketiga adalah bidang tersembunyi yaitu, dimana kita menyembunyi bagian dari diri kita sehingga tidak diketahui orang lain. Sementara bingkai keempat disebut bidang 13 tak dikenal yakni suatu sisi dalam diri kita yang tak kita ketahui dan tak juga diketahui orang lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan interaksi simbolik. Dalam interaksi simbolik terdapat beberapa nama yang memberikan asumsi yang berbeda satu dengan lainnya. Sebut saja Blumer dan Mead yang asumsinya atas interaksi simbolik paling sering digunakan peneliti dalam berbagai penelitian interaksi simbolik. Pada penelitian ini, peneliti berperan dalam menafsirkan dan mendefinisikan setiap simbol dalam interaksi yang diteliti. Yang mana menurut Cooley dalam interaksi simbolik ini ada sebuah teori yakni; aku (I), “daku” (me), “milikku” (mine), dan “diriku” (myself) atau biasa disebut teori diri (Mulyana, 2002:73). Maksudnya disini secara ringkas interaksi simbolik didasarkan atas tiga premis, yakni: 1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda), objek sosial (perilaku manusia) didasarkan pada makna yang dikandung komponenkomponen lingkungan tersebut bagi mereka. 2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak lekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. 3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial (Mulyana,2002:71-72). Penjelasan mengenai premis dari interaksi simbolik tersebut menggambarkan bahwa setiap individu akan merespon dan menginterpretsikan 14 segala perilaku sosial berdasarkan nilai subjektif pada dirinya. Yang dijelaskan Mulyana dalam bukunya “Metodologi Penelitian Kualitatif” menjelaskan mengenai aliran yang diusung Mead ini bahwa: Perilaku manusia berlangsung dengan mendefenisikan situasi yang memungkinkan manusia bertindak, yakni pandangan bahwa perilaku khas manusia adalah perilaku berdasarkan apa yang disimbolisasikan oleh situasi, inilah esesnsi dari pendekatan interaksi simbolik (Mulyana, 2002:93). Dengan demikian penelitian memfokuskan pada proses pemaknaan oleh ibu dan anak dalam komunikasi persuasi mengenai makna dari perilaku beribadah ataupun pelaksanaan ibadah itu sendiri. Bagaimana ibu dan anak menegosiasikan makna ibadah itu melalui penggunaan bahasa-bahasa yang persuasi tentunya. Pastinya pelaksanaan ibadah merupakan produk dari interaksi antara ibu dan anak. Dan komunikasi persuasi antara ibu dan anak akan dilihat dan diteliti dengan melihat interaksi yang menggunakan simbol-simbol dengan hasil atau produk akhirnya berupa tujuan ibu dalam membentuk perilaku beribadah pada anaknya 1.9 Metodologi Penelitian 1.9.1 Metodologi Penelitian Metode dalam suatu penelitian besar sekali pengaruhnya terutama pada hasil penelitian. Penggunaan metode yang relevan akan memungkinkan mendapatkan hasil penelitian yang baik dan valid. Atas dasar pertimbangan tersebut, peneliti menilai bahwa penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang meneliti permasalahan langsung dan terlibat dalam penelitian, 15 merupakan metode yang tepat untuk melihat apakah komunikasi persuasi yang digunakan oleh ibu dan anak sudah cukup berhasil atau tidak dalam membentuk perilaku beribadah pada anak, khususnya dalam membantu anak memaknai makna ibadah. Penelitian kualitatif dikenal memiliki beberapa pendekatan, yang antara lain fenomenologis, pendekatan etnografi untuk menelaah segi kebudayaan, interaksi simbolik yang dinilai sangat lekat dengan studi komunikasi dan banyak lagi lainnya. Interaksi simbolik merupakan pendekatan yang digunakan peneliti dengan pertimbangan bahwa perilaku ibu dan anak yang diteliti. Proses komunikasi persuasi yang dilakukan merupakan proses pembentukan makna atas ibadah bagi anak. Sehingga untuk meneliti perilaku beribadah pada ibu dan anak, terlebih dahulu harus diketahui bagaimana anak dan ibu memaknai ibadah. Selanjutnya makna ibadah pada keduanya yang akan membentuk dan mempengaruhi perilaku pada ibu dan anak. Dijelaskan Mulyana melalui pengalaman Charles H. Cooley bahwa dalam mengamati perilaku manusia tidak boleh melihat dari luar tetapi harus berupaya menangkap makna dan definisi yang dianut pihak yang diamati (Mulyana,2002:75). Singkatnya interaksi simbolik dapat dijelaskan melalui beberapa premis dibawah ini: 1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda), objek sosial (perilaku 16 manusia) didasarkan pada makna yang dikandung komponenkomponen lingkungan tersebut bagi mereka. 2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak lekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. 3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial (Mulyana,2002:71-72). Sementara paham interaksi simbolik yang digunakan peneliti adalah interaksi simbolik yang diusung oleh Herbert Blumer. Blumer merupakan yang pertama kali menggunakan istilah interaksi simbolik. Ia dikenal sebagai interaksionis simbolik dari mahzab Chicago yang termasuk dalam paradigma kualitatif. Blumer menjelaskan bahwa melalui penelitian interaksi simbolik dengan paradigma kualitatif, peneliti akan meneliti perilaku manusia tidak untuk digeneralisasikan dan peneliti juga akan cendrung mengguanakan introseksi simpatetik. Selain itu juga menurut Blumer peneliti nantinya akan melihat masalah melalui sudut pandang objek penelitian. Sehingga membuat peneliti menggali infotmasi-informasi dari objek penelitian melalui kedekatnnya pada objek penelitian. Sehingga membuat proses penelitian tidak terstruktur (Ritzer,1992:225-229 dan Bryman,1988:94). Menurut Blumer interaksi simbolik didasari oleh tiga asumsi yaitu: 1. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal tersebut baginya. 17 2. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari, interaksi sosial yang pernah dilakukan dengan orang lain. 3. Makna-makna itu dikelola dalam, dan diubah melalui, proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpai (Effendy, 2003:394). Apabila melihat asumsi Blumer di atas, maka diketahui bahwa interaksi antara ibu dan anak akan membantu anak memaknai ibadah yakni sholat dan mengaji melalui komunikasi persuasi yang dilakukan keduanya. Berdasarkan asumsi Blumer, perilaku sholat dan mengaji pada anak akan terbentuk berdasarkan pemaknaan anak atas sholat dan mengaji. Ibu memaknai perilaku beribadah tentu berbeda dengan anak memaknai perilaku ibadah. Ibu memberikan makna pada ibadah sesuai dengan esensi ibadah yang dipahami ibu baik secara umum maupun secara khusus, yaitu kewajiban sebagai seorang islam yang apabila tidak dilakoni akan menimbulkan konsekuansi baginya, yakni dosa yang akan di-hisab pada hari pembalasan di akhirat nanti. Selain itu juga kesempatan mendapatkan pahala sebanyak mungkin. Ibadah diyakini ibu sebagai media mendekatkan diri dengan penciptanya. Makna atas ibadah pada anak tentu saja akan sangat berbeda dengan ibu. Dengan tingkat pemahaman anak atas ibadah dan kewajibanya sebagai seorang muslim tentu bergantung pada usianya dan pengetahunannya.. Jadi wajar saja kalau anak memaknai ibadah sebagai bentuk ketaatannya pada orang tua dan kewajiban sebagai anak untuk mematuhi semua ajakan dan perintah orangtua khususnya ibu. Selain itu ibadah dapat juga dimaknai anak sebagai beban dan 18 tanggungjawab yang harus dilaksanakan dengan merelakan waktu anak yang untuknya lebih baik dihabiskan untuk hal yang menyenangkannya. Melalui penelitian ini pendefinisian ibadah atau pemaknaan atas ibadah pada ibu dan anak yang terbentuk melalui komunikasi persuasi yang digunakan ibu sebagai upaya membentuk perilaku ibadah anak akan ditelaah lebih dalam guna mendapat hasil penelitian sesuai dengan pertanyaan penelitian yang ada. 1.9.2 Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: 1. Tahap Pra-lapangan yaitu, peneliti menyiapkan segala sesuatunya sebelum memulai penelitian langsung. Disini peneliti memilih dan menyeleksi sasaran penelitian sesuai kriteria dan mulai melakukan interaksi-interaksi dengan sasaran penelitian agar peneliti dapat dengan akrab dan leluasa saat mengamati dan mewawancara objek atau sasaran penelitian. selain itu peneliti juga mengumpulkan data-data pribadi sepasang ibu dan anak yang akan menjadi sasaran penelitian. Antara lain latar belakang pendidikan anak dan ibu serta status pekejaan ibu dan sebagainya yang dianggap penting dan relevan sebagai penunjang data penelitian agar valid. Peneliti mengadakan pendekatan secara kekeluargaan dengan objek penelitian dalam mendapatkan kesedian pasangan ibu dan anak menjadi objek penelitian. 2. Tahap Pekerjaan Lapangan yaitu, tahap dimana peneliti terjun langsung dan mulai menggali dan mengumpulkan data dengan melalui 2 cara yakni: a. Observasi, dimana peneliti mengumpulkan data dan informasi dengan melihat dan mengamati setiap interaksi dan komunikasi yang 19 dilakukan ibu dan anak dalam upaya membentuk perilaku beribadah pada anak. Observasi akan dilakukan secara intensif guna mendapatkan data-data yang akurat dan merupakan gambaran nyata menyangkut masalah yang diteliti. Pengamatan atau observasi dilakukan dengan melihat realita di lapangan bagaimana ibu dan anak melakukan komunikasi persuasi dan juga seputar kebiasaan beribadah anak dan ibu khususnya sholat dan aktifitas belajar membaca Al Quran pada anak b. Wawancara secara mendalam, yaitu mendapatkan dan mengumpulkan data dan informasi seputar masalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang dirasa perlu oleh peneliti. Bentuk dan format dari wawancara mendalam ini tidak terstruktur dan informal guna mendapatkan data yang valid dan detail. Peneliti akan memberikan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Yang mana wawancara ini dilakukan dalam konteks non formal dan tidak berstruktur. Pertanyaan yang sebelumnya sudah dibuat oleh peneliti. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diformat dalam sebuah daftar pertanyaan. Namun peneliti juga akan mencatat setiap pertanyaan yang berkaitan dengan masalah namun tidak terdapat dalam pertanyaan. 3. Tahap Analisis Data atau dengan istilah lainnya Studi Kepustakaan, yakni penggalian data dari sumber-sumber literatur dan dokumen-dokumen lainnya baik yang bersifat ilmiah ataupun tidak ilmiah yang relevan dan menunjang hasil penelitian. 20 1.10 Sasaran peneltian Penelitian kulalitatif yang dilakukan menggunakan sampling atau lebih tepatnya objek penelitian berdasarkan kebutuhan penelitian yang memenuhi konteks masalah penelitian. Moleng (2004:224) mengutip pendapat Lincoln dan Guba, menjelaskan penelitian dengan asumsi bahwa konteks itu kritis sehingga masing-masing konteks itu ditangani dari segi konteksnya sendiri. Sehingga peneliti memilih menggunakan purposifve sampling (sampling berdasarkan tujuan) yang termasuk kedalam non-probability sampling, yaitu teknik sampling yang tidak memberikan kesempatan (peluang) pada setiap anggota populasi untuk dijadikan anggota sample (Riduwan, 2004:61) . Dimana pengambilan sampling tidak berdasarkan kerandoman atau peluang, namun dikarenakan teknik sampling ini biasa digunakan dalam penelitian kualitatif (Mulyana, 2001:187). Guna mengamati gejala atau masalah yang diteliti, maka peneliti memilih sepasang ibu dan anak sebagai sasaran penelitian yang tentunya memenuhi beberapa kriteria atau pertimbangan yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian. Diambilnya sepasang ibu anak sebagai objek atau sasaran penelitian agar dapat merekam dan mendapatkan data yang berkaitan dengan penelitian secara lebih spesifik dan detail. Ini sejalan dengan alasan yang dijelaskan oleh Moleng (2004:224), bahwa tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk merinci ramuan konteks yang unik. kekhususan yang ada dalam 21 Pemilihan sasaran penelitian didasarkan pada beberapa pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian dan ditetapkan berdasarkan fokus penelitian guna memudahkan peneliti dalam memilih sasaran penelitian yang sesuai dengan konteks masalah. Maka berdasarkan fokus penelitian, peneliti menetapkan kriteria atau pertimbangannya sebagai berikut: 1. Berasal dari keluarga yang Islami, ini dimaksudkan untuk mendapatkan sasaran penelitian yang juga sejalan dengan penelitian yang mengangkat masalah pentingnya ibadah sejak dini. Ibu yang mengerti dan paham esensi ibadah dan tingkat keimanan yang relatif baik. 2. Tingkat pendidikan ibu yang baik, maksudnya pendidikan formal terakhir yang dicapai oleh ibu. Kriteria ini di maksudkan untuk mendapatkan sasaran atau objek penelitian dengan pemahaman intelektual yang baik dalam membesarkan dan mendidik anaknya. Serta pendidikan dan usia anak yang dianggap dapat mengerti dan mampu berkomunikasi dengan baik. 3. Kedekatan antara ibu dan anak, maksudnya kedekatan antara ibu dan anak dalam banyak hal terutama pola komunikasi yang baik dan kelancaran komunikasi antara ibu dan anak. Setelah banyak melakukan interaksi dan pencarian objek penelitian yang sesuai, akhirnya peneliti menganggap sepasang ibu dan anak di bawah ini layak menjadi sasaran penelitian. 22 Tabel 1.1 Pasangan Sasaran Penelitian Nama Pendidikan Umur Ibu: Zubaidah D3(sarjana muda) 40 tahun Anak: Syarifah Azzahra Kelas 4 SDN 02 Sukaluyu 9 tahun Pilihan sasaran penelitian jatuh pada pasangan ibu Zubaidah dan anaknya Azzahra selain dirasa profil mereka memenuhi kriteria juga pada kesedian keluarga ibu Zubaidah. Sebelumnya peneliti mencoba mengamati dan berinteraksi awal dengan keluarga ibu Zubaidah dan anaknya seputar masalah yang diteliti guna mencocokan fokus penelitian dan kriteria sasaran penelitian yang sudah ditetapkan. Keseluruhan proses pengambilan sasaran penelitian ini masuk dalam tahapan penelitian pada tahap pra-lapangan. 23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi 2.1.1 Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan kegiatan lahiriah manusia. Sejak lahir, manusia telah diberi kemampuan berkomunikasi dengan tahapan dan cara yang berbedabeda. Inilah sebanya mengapa selama hidup setiap manusia pasti melakukan komunikasi, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatio” yang bersumber dari kata communis yang memiliki arti sama. Sama disini diartikan sebagai kesamaan makna. (Effendy,2003:30) jika terdapat dua orang yang saling berkomunikasi, maka komunikasi tersebut berlangsung dengan baik, selama terdapat kesamaan makna antara satu sama lainya. Selain Effendy, masih banyak lagi para ahli komunikasi lainnya mendefinisikan pengertian komunikasi baik secara luas ataupun dalam arti yang lebih sempit. Seperti yang disampaikan Geradl M. Miller bahwa komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku manusia (Devito,1997:231). Dengan jelas bahwa Gerald membuat pengertian menjadi sempit ketika dia mengatakan bahwa komunikasi dilakukan untuk perubahan perilaku. Sementara lain halnya dengan Raymond S. Ross yang mendefinisikan komunikasi sebagai: 24 Intentional yaitu, suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna /respon dan pikirannya yang serupa dengan yang dimaksud komunikator(Mulyana,2001:62). Komunikasi yang dijelaskan di atas mengisyaratkan pada komunikasi yang segaja dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Selain komunikasi dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu, komunikasi juga merupakan proses pertukaran atau pembentukan makna. Seperti yang dikemukan oleh Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss bahwa komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih (Mulyana,2001:69). Serupa dengan rekannya di atas Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson menyebutkan komunikasi sebagai proses memahami dan berbagi makna (Mulyana,2001:69). Keempat ahli ini menjelaskan esensi komunikasi sebagai proses pertukaran makna, sementara John R. Wenburg dan William W. Wilmot sepakat menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu usaha untuk memperolah makna (Mulyana2001:68). Pengertian-pengertian komunikasi di atas selain berorientasi pada pertukaran makna, juga berorientasi pada tindakan dengan tujuan-tujuan tertentu. 2.1.2 Tujuan komunikasi Joseph A. Devito (1997:30) dalam bukunya “Komunikasi antar Manusia” menuliskan empat tujuan utama komunikasi yang dilakukan, baik tujuan yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar. Tujuan-tujuan komunikasi antara lain: 25 1. Menemukan. Maksud dari menemukan ialah menyangkut penemuan diri (personal discovery). Pada saat berkomunikasi dengan orang lain, kita belajar mengenai diri kita sendiri selian juga tentang orang lain. 2. Untuk Berhubungan. Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain. Membina dan memelihara hubungan dengan orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu dan energi komunikasi kita untuk membina dan memelihara hubungan sosial. 3. Untuk Meyakinkan. Maksud meyakinkan disini dapat dilihat dari kita menghabiskan banyak waktu untuk melakukan persuasi antarpribadi, baik sebagai sumber maupun sebgai penerima. Dalam perjumpaan antarpribadi sehari-hari kita berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain. 4. Untuk Bermain. Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Demikian pula banyak dari perilaku komunikasi kita dirancang untuk menghibur orang lain. Adakalanya hiburan ini merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk mengikat perhatian orang lain sehingga kita dapat mencapai tujuan-tujuan lain (Devito, 1997:31-32). Berdasarkan pendapat Devito diatas, kita ketahui bahwa komunikasi selalu dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Bisa saja keempat tujuan di atas saling mempengaruhi dan saling mendukung antara tujuan yang satu dengan tujuan lainnya. Atau keempat tujuan diatas menjadi satu kesatuan dan terjadi dalam sebuah proses komunikasi sekaligus. Seperti pada saat melakukan komunikasi, komunikator selain mengenal komunikan, komunikator juga tanpa sengaja menemukan sebuah motivasi atau sifat pada dirinya yang kemudian dimanfaatkan untuk lebih mendekatkan diri pada komunikan dan pada akhirnya mampu meyakinkan komunikan dalam mengubah nilai, sikap, pendapat bahkan perilaku pada komunikan. 26 Sebagai pencapaian akhir dari komunikasi seperti dijelaskan di atas, Effendy kemudian mengemukan tujuan komunikasi antara lain: a. Mengubah sikap (to change the attitude) b. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion) c. Mengubah perilaku (to change the behavior) d. Mengubah masyarakat (to change the society) (Effendy,2003:55). Tiga dari empat tujuan komunikasi diatas, kemudian dikenal dan di identifikasikan sebagai efek dari komunikasi, yakni : 1. Efek kognitif, yaitu dampak yang mempengaruhi aspek intelektual, berupa opini, pendapat, ide dan juga pandangan komunikan. 2. Efek afektif, yaitu dampak yang mempengaruhi perasaan dan kecendrungan perilaku (sikap) pada komunikan. 3. Efek Behavioral, yaitu dampak yang merujuk pada perubahan perilaku komunikan. Dalam proses komunikasi yang dilakukan ibu dan anak, ketiga efek ini menjadi target, yakni berupa perubahan pemahaman, sikap dan tentunya perubahan perilaku pada anak sebagai klimaks yang diharapkan terjadi sekaligus dalam proses komunikasi yang kontinyu. 2.1.3 Fungsi-Fungsi Komunikasi Selain memiliki tujuan-tujuan seperti yang dijelaskan di atas, komunikasi juga dilakukan dengan beberapa fungsi. Beberapa ahli komunikasi mengungkapkan banyak fungsi berdasarkan perspektifnya. William I. Gorden 27 salah satu ahli komunikasi yang mengemukan empat fungsi komunikasi yang kemudian dijelaskan oleh Deddy Mulyana. Yang mana keempat fungsi komunikasi itu antara lain: 1. Komunikasi sosial Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi-diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain. 2. Komunikasi ekspresif Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain. Namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. 3. Komunikasi ritual Komunikasi ritual biasanya dilakukan secara kolektif, melaui acara-acara ritual tertentu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilakuperilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus seperti berdoa (sholat), lebaran adalah komunikasi ritual. 4. Komunikasi instrunmental Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, dan keyakinan dan merubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga menghibur. Maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasif) (Mulyana,2001:5-30). Fungsi komunikasi instrumental merupaka komunikasi yang yang mempunyai tujuan yang semuanya merujuk pada sifat persuasif. Dengan demikian komunikasi persuasi mencakup pada wilayah komunikasi bertujuan yang luas cakupannya. 2.1.4 Unsur-Unsur Komunikasi Proses komunikasi terjadi setelah memenuhi beberapa unsur dalam komunikasi. Sedikitnya dalam proses komunikasi terdiri atas 3 unsur yakni: 28 1. Komunikator Disebut juga sebagai sumber atau orang yang menyampaikan pesan. Komunikator dalam jenis komunikasi tertentu bisa juga menjadi komunikan. 2. Komunikan Komunikan ialah orang yang menerima pesan dari komunikator atau sumber komunikasi. Dalam jenis komunikasi tertentu komunikan juga dapat berperan ganda, yakni merangkap sebagai komunikator. 3. Pesan Pesan merupakan sekumpulan simbol atau lambang yang memiliki arti. Pesan dapat berupa simbol-simbol atau lambang-lambang secara verbal dan juga non verbal. Selain tiga unsur komunikasi diatas, dalam proses komunikasi juga ditemui beberapa unsur penting lainnya yang menunjang terciptanya komunikasi yang efektif. Para ahli menetapkan unsur-unsur komunikasi lainnya sebagai satu kesatuan dari proses komunikasi. Unsur-unsur tersebut antara lain: 1. Media Media merupakan alat dan sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator pada komunikannya. 2. Efek (pengaruh) Merupakan bentuk dini dari hasil proses komunikasi. Pengaruh atau efek juga tidak kalah penting dari unsur komunikasi lainnya karena melalui efek 29 komunikasi kita dapat melihat dan mengetahui hasil komunikasi yang kita lakukan. 3. Umpan Balik Biasa juga disebut feedback, yaitu informasi yang dikirimkan balik kesumbernya (Clement&Frandsen,1976). Berupa tanggapan atau reaksi dari komunikan terhadap pesan yang telah disampaikan oleh komunikator. Umpan balik terbagi dua jenis , pertama umpan balik secara langsung dan kedua umpan balik yang tertunda. Berdasarkan umpan balik ini, pembicara dapat menyesuaikan, memodifikasi, memperkuat, mengubah isi atau bentuk pesannya (Devito,1997:104). 4. Hambatan atau Gangguan Berupa hambatan-hambatan yang menyebabkan komunikasi tidak berjalan dengan lancar dan dapat mendistorsi tujuan dari komunikasi sehingga menimbulkan kesalah pahaman dalam proses komunikasi. 2.2 Komunikasi Persuasi Dalam Tatanan Komuniaksi Antarpribadi 2.2.1 Tinjauan Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi merupakan salah satu bentuk atau jenis komunikasi. Dimana komunikasi antarpribadi juga dikenal dengan komunikasi antarpersona. Devito menyebutkan komunikasi antarpribadi dalam bukunya “The Interpersonal Communication Book” sebagai: 30 The process of sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback. (Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan diantara dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika) (Effendy, 2003:60). Sesuai dengan definisi yang disampaikan Devito, komunikasi antarpribadi memang merupakan komunikasi yang bersifat dialogis dengan melibatkan dua orang atau dikenal sebagai komunikasi diadik. Seperti komunikasi yang dilakukan ibu dan anak, dengan maksud dan tujuan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sifat komunikasi antarpribadi yang dialogis ini kemudian menjelaskan mengapa umpan balik dalam komunikasi antarpribadi yang disebutkan oleh Devito merupakan umpan balik seketika. Komunikasi antarpribadi juga lekat dan lebih dikenal dengan komunikasi tatap muka, meskipun perkembangan teknologi akhirnya mulai mematahkan pendapat yang demikian. Namun apapun bentuk komunikasi antarpribadi tidak menyurutkan keampuhan komunikasi antarpribadi dalam mencapai tujuan komunikasi. Karena dinilai sebagai komunikasi yang paling efektif dalam mencapai tujuan komunikasi yakni, mengubah sikap, kepercayaan, opini dan perilaku komunikan, maka komunikasi antarpribadi sering kali dipergunakan untuk melancarkan komunikasi persuasif. Liliweri menyebutkan ciri dari Komunikasi antarpribadi adalah kegiatan komunikasi harus selalu mengandung tindakan persuasi (Liliweri1997:40). Inilah yang kemudian melekatkan banyak elemen komunikasi antarpribadi yang bersinggungan dengan elemen komunikasi persuasi. Bahkan komunikasi persuasi biasanya hadir dalam komunikasi antarpribadi. Apalagi bentuk 31 komunikasi intensif yang dilakukan oleh ibu dan anak, dapat dipastikan bahwa komunikasi antarpribadi yang memegang peran penting pada hubungan ibu dan anak, serta menjadi salah satu media pendidikan yang dilakukan ibu pada anak. Kenneth & Anderson menyebutkan komunikasi persuasi sebagai proses komunikasi antarpesona(Effendy,1983:103), ini berarti komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak sudah jelas berada dalam situasi komunikasi antarpribadi yang dialogis dan tatap muka. Semua unsur atau elemen komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak ini merupakan unsur dan elemen komunikasi antarpribadi. 2.2.2 Komunikasi Persuasi Dalam Komunikasi Antarpribadi 2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Persuasi Sebelum mengetahui lebih lanjut dan dalam komunikasi persuasi ada baiknya kita ketahui dahulu apa sebenarnya persuasi itu. Jika ditelaah dari asal kata persuasi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yakni persuassion. Yang mana asal kata persuassion berasal dari bahasa latin persuasio yang memiliki arti ajakan, himbauan, bujukan atau rayuan. Yang kemudian selalu digunakan oleh orang dalam melakukan komunikasi yang memiliki tujuan tertentu. Drs. R.A. Sastroputro mendefinisikan persuasi sebagai: Persuasi merupakan salah satu metode komunikasi sosial dalam penerapannya menggunakan teknik atau cara tertentu, sehingga dapat menyebabkan orang bersedia melakukan sesuatu dengan senang hati, dengan suka rela dan tanpa merasa dipaksa oleh siapapun (Sastroputro, 1998:246). Selain Sastroputro yang mendefinisikan sebagai metode komunikasi, ada juga ahli yang menjelaskan persuasi sebagai kegiatan psikologis dalam usaha 32 mempengaruhi pendapat, sikap dan tingkah laku orang banyak (Roekomy, 1992:2). Dalam upaya pembentukan perilaku ibadah yang dilakukan oleh ibu pada anak, persuasi dipilih sebagai upaya menggugah anak agar melaksanakan ibadah atas keinginan anak sendiri tentu berdasarkan pemahamannya atas ibadah itu sendiri. Jika didekatkan pada dua definisi diatas maka terlihat jelas bahwa ibu melakukan upaya atau teknik membentuk perilaku ibadah anak dengan mempengaruhi psikologis anak sehingga melaksanakan ibadah sengan senang hati dan suka rela sebagai wujud dari pemahaman anak atas ibadah. Karena peran persuasi mengubah pengetahuan, sikap, dan atau tingkah laku seseorang adalah mirip dengan proses pendidikan dan berarti merupakan tujuan umum dari komunikasi (Whalen,2005:61). Maka persuasi kerap disandingkan dan menjadi bagian dari komunikasi. Sehingga komunikasi persuasi telah menjadi satu kesatuan dalam upaya menyukseskan tujuan seseorang melakukan komunikasi. Secara jelas telah diketahui makna persuasi baik secara etimologis maupun uraian para ahli, sehingga sudah sedikit tergambarkan pengertian dari komunikasi persuasi. Baik para ahli komunikasi maupun bukan ahli komuniaksi mendefinisikan komunikasi persuasi sesuai dengan pemahaman dan konteks komunikasi persuasi yang diketahui dan diyakininya. . Salah satunya komunikasi persuasi dikemukan oleh Kenneth & Anderson diterrjemahkan oleh Effendy sebagai: Proses komunikasi antarpersona dimana komunikator berupaya dengan menggunakan lambang-lambang untuk mempengaruhi kognisi penerima, jadi secara sengaja mengubah sikap atau kegiatan seperti yang diingikan komunikator (Effendy, 1981:103). 33 Pengertian di atas memperkuat dan sangat sesuai dengan kegiatan komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak dengan tujuan terbentuknya perilaku beribadah pada anak, yakni sebuah aktivitas komunikasi antarpersona yang menggunakan simbol tertentu yang akan mempengaruhi pemahaman anak pada ibadah, sehingga nantinya diharapkan anak mampu melaksanakan ibadah sesuai keinginan ibu dan kesadaran anak. Sesuai dengan definisi di atas, ibu sebagai komunikator akan kerap kali menggunakan lambang-lambang yang biasa disebut pesan dalam mempengaruhi kognisi anak, yakni pemahaman anak pada makna sholat fardhu lima waktu dan juga aktifitas baca Al Quran sebelum kemudian mampu melaksanakannya dengan konsisten. Upaya ibu dalam mempengaruhi dan membentuk perilaku ini merupakan sebuah kegiatan komunikasi yang mengharuskan ibu sebagai komunkator memahami dan melakoni terlebih dahulu ibadah sebelum mengikut sertakan anaknya. Namun proses ini jelas tidak mudah karena menyangkut kontribusi ibu yang sangat besar sebagai komunikator dengan kredibilitas yang sempurna di mata anak. Sepaham dengan yang dikutip Jalaludin Rakhmat atas kegiatan komunikasi persuasi menurut Aristoteles tetang pentingnya karakteristik komunikator, yaitu: Persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicara yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang-orang baik dari pada orang lain : ini berlaku pada masalah apa saja dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak benar pendapat penulis retorika bahwa kebaikan personal yang diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuasaan persuasinya: sebaliknya karakteristiknya hampir bisa disebut sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya (Rakhmat 2001:255) 34 Melalui kutipan Rakhmat di atas, dapat disimpulkan peran penting seorang komunikator atau persuader dalam keberhasilan komunikasi persuasi. Peran penting ibu kembali menjadi perhatian dalam kaitannya memilih metode persuasi dalam membentuk perilaku beribadah anak yang notabene tugas penting ibu dalam terus membina akhlak dan aqidah anak. Barangkali kedekatan dan hubungan emosional antara ibu dan anak merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan komunikasi persuasi yang dilakukan ibu. 2.2.2.2 Prinsip-Prinsip Komunikasi Persuasi Ada beberapa prinsip-prinsip komunikasi persuasi yang dikemukan Dedy Jamaludin dalam bukunya Komunikasi Persuasif antara lain: 1. Prinsip Identifikasi Kebanyakan orang mengabaikan ide, opini atau sudut pandang sekalipun diketahuinya. Betul bila hal-hal tersebut mempengaruhi hasrat, rasa, harapan dan aspirasi pribadinya. Pesan yang disampaikan harus anda susun dengan memperhatikan kepentingan khalayak. 2. Prinsip Tindakan Orang jarang menerima gagasan yang terpisah dari tindakan, bila tindakan yang diambil oleh penganjur ide maupun tindakan yang diyakini bisa membuktikan kebenaran ide itu, sekalipun sarana tindakan diberikan, orang cendrung menganggap enteng imbauan untuk mengerjakannya. 3. Prinsip Familiaritas dan Kepercayaan Kita hanya menerima ide yang disampai orang yang kita percayai. Orang yang mempengaruhi kita atau hanya mengambil opini dan sudut pandang yang disampaikan individu, perusahaan atau lembaga yang kita anggap terpecaya. Sekalipun pendengar mempercayai pembicara, dia mungkin tidak mendengar dan mempercayai. 4. Prinsip kejelasan situasi harus jelas bagi kita, tidak membingungkan. Hal-hal yang diatas, dibaca, atau didengar yang membentuk kesan-kesan haruslah jelas. Bukan hal memungkin munculnya berbagai interpretasi. Orang cendrung melihat sesuatu sebagai hitam putih untuk berkomunikasi, anda harus menggunakan kata-kata, simbol-simbol dan stereotip-stereotip yang dipahami dan mendapat respon pendengar (Malik,1994:132-133). 35 Keempat prinsip di atas dalam aplikasinya sehari-hari dapat berbedabeda sesuai dengan tujuan komunikasi persuasi dan konteks komunikasi persuasi. Prinsip pertama misalnya mengusung ide kejelian seorang persuader untuk lebih mengetahui komunikan agar lebih efektif proses persuasinya. Disini ibu sebagai persuader dituntut untuk lebih jeli mengetahui anak luar dan dalam. Paling tidak pengetahuan ibu tentang anaknya dapat menentukan langakah-langkah tindakan yang cocok dalam membujuk dan mengarahkan anak untuk melaksanakan sholat lima waktu serta membaca Al Quran. Menurut prinsip pertama yang di atas ibu harus menyampaikan pesanpesan persuasi yang dapat dimengerti dengan baik oleh anak. Baik dari penjelasan verbal maupun dengan peragaan atau hal-hal yang non verbal yang mampu dicerna dan dipahami dengan baik oleh anak. Tidak mudah mungkin akan menjelaskan bentuk ibadah yang sifatnya mengikat dan wajib tanpa menunjukkan manfaat nyata bagi seorang anak. Sementara prinsip yang kemukan Dedy yang kedua merujuk pada tindakan konkrit dari pesan yang disampaikan persuader. Tentu saja disini ibu akan bertindak sebagai tauladan dan mentor anak dalam membimbing dan mengajak anak untuk melaksanakan ibadah. Ini tidak sulit, karena ibu yang menginginkan anaknya untuk tekun beribadah pastilah ia akan menunjukan ketekunan ibu beribadah. Prinsip yang ketiga merupakan prinsip komunikasi persuasi yang menguntungkan dalam proses komunikasi persuasi ibu dan anak. Tidak diragukan lagi bahwa hubungan ibu dan anak merupakan hubungan yang paling hakiki dan hubungan kodrati. Jadi kedekatan antara persuader yang diperani oleh 36 ibu dengan komunikannya yaitu anak, sudah cukup menguntungkan bagi keduanya karena kepercayaan yang ada diantara keduanya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Prinsip komunikasi persuasi yang terakhir ialah kejelasan situasi dan yang tidak membingungkan. Menghindari munculnya berbagai interpretasi ialah penting bagi persuader agar tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan yang diharapkan. Dalam upaya ibu mempersuasi anaknya agar tekun beribadah tentu sebuah tujuan dan upaya yang jelas. Hanya saja maksudnya disini kondisi yang dibangun oleh ibu dalam membujuk anaknya agar selalu beribadah khususnya sholat dan mengaji harus dapat terlebih dahulu dipahami anak sebagai sesuatu yang baik. Yang pada akhirnya setiap pesan yang disampaikan ibu dapat dimengerti dan dipahami anak dengan tepat. 2.2.2.3 Hambatan Komunikasi Persuasi Dalam unsur-unsur komunikasi di atas kita temui gangguan atau hambatan dalam komunikasi. Khususnya hambatan pada komunikasi antarpribadi yang bersifat dialogis. Karena komunikasi persuasi yang dibahas merupakan bagian dari komunikasi antarpribadi maka gangguan atau hambatan komunikasi persuasi dapat berupa hambatan atau gangguan yang juga ada pada komunikasi antarpribadi. Hambatan dan gangguan yang muncul dapat menggeser dan mengagalkan tujuan-tujuan dari komunikasi persuasi yang dilakukan oleh ibu. Effendy (2003:46) mengklasifikasikan gangguan berdasarkan sifatnya menjadi dua bagian, yaitu: 37 a. Gangguan Mekanik, yang dimaksud gangguan mekanik ialah: gangguan yang berupa suara-suara kegaduhan yang membuat komunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. b. Gangguan Sematik, yaitu gangguan yang menyangkut isi pesan yang disampaikan berupa pemakaian kata-kata, istilah yang menimbulkan salah paham dan salah pengertian. 2.3 Prinsip Etika Komunikasi Dalam Islam Dalam komunikasi kita mengenal beberapa prinsip komunikasi yang dikemukan oleh para ahli komunikasi, demikian juga dalam agama Islam yang mengatur setiap detail umat manusia di muka bumi ini. Islam juga mengenal prinsip etika dalam berkomunikasi. Ada enam etika prinsip komunikasi yang dipaparkan Djamarah dibawah ini antara lain: a. Qawlan Karima (Perkataan yang Mulia) Islam mengajarkan agar mempergunakan perkataan yang mulia dalam berkomunikasi kepada siapa pun. Perkataan yang mulia ini seperti terdapat dalam Al Quran yang berbunyi: Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaknya kamu berbuat baik pada ibu bapamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai umur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan pada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS.Al-Israa:23) Dalam ayat ini, Allah tidah hanya mengingatkan ajaran tauhid tetapi juga memerintahkan kepada anak agar berbakti dan bertutur kata yang mulia pada orangnya. 38 b. Qawlan Sadida (Perkataan yang Benar/Lurus) Siapa pun menyukai orang yang jujur, karena ia dapat dipercaya untuk mengemban amanah yang diberikan. Tentang perkataan yang benar ini terdapat dalam Al Quran yang berbunyi: Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS.An-Nisaa:9) Perkataan yang benar dan kejujuran sudah pasti diketahui setiap umat Islam bahwa itu merupakan salah satu identitas Nabi Muhammad Saw sebagai Rasulullah dan suri tauladan kita muslim dan muslimah. c. Qawlan Ma’rufa (Perkataan yang Baik) Perkataan atau ungkapan yang baik dan pantas juga menjadi prinsip etika komunikasi dalam Islam, ini tercermin dalam ayat Al Quran dibawah ini: Artinya: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiring dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS.Al-Baqarah:263) Dalam ayat diatas Allah memperingatkan bahwa perkataan yang baik atau pantas dan pemberian maaf lebih baik dari pada pemberian sedekah yang diiringi dengan perkataan yang menyakitkan hati penerima. d. Qawlan Baligha (Perkataan yang Efektif/Keterbukaan) Dalam konteks komunikasi, frase ini dapat diartikan sebagai komunikasi yang efektif. Pengertian didasarkan pada pengertian atas “perkataan yang berbekas pada jiwa mereka” yang terdapat dalam Al Quran: Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang didalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, 39 dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. (QS.AnNisaa:63) Ayat di atas memberikan isyarat bahwa komunikasi itu efektif bila perkataan yang disampaikan itu berbekas pada jiwa seseorang. Dalam komunikasi keluarga berbekas di jiwa itu penting. e. Qawlan Layyina (Perkataan yang Lemah Lembut) Islam mengajarkan komunikasi yang lemah lembut kepada siapa pun. Dalam keluarga, orang tua sebaiknya berkomunikasi pada anak dengan cara lemah lembut, jauh dari kekerasan dan permusuhan. Dengan menggunakan komunikasi yang lemah lembut, selain ada perasaan bersahabat pada anak. Juga ia berusaha menjadi pendengar yang baik. Perintah menggunakan perkataan yang lemah lembut ini terdapat dalam Al Quran berbunyi: Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS.Thaahaa:44) f. Qawlan Maisura (Perkataan yang Pantas) Dalam komunikasi, baik lisan dan tulisan, dianjurkan untuk mengunakan bahasa yang mudah, ringkas dan tepat sehingga mudah dicerna dan dimengerti. Dalam Al Quran ditemukan istilah qawlan maisura yang merupakan salah satu tuntutan untuk melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan melegakan perasaan. Seperti pada ayat dibawah ini: Artinya: “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah pada mereka ucapan yang pantas”. (QS.Al-Israa:28) Komunikasi yang baik lagi menyenangkan membuahkan kerinduan dalam keakraban hubungan antara anak dan orang tuanya dalam sebuah keluarga (Djamarah, 2004:105-114). Enam prinsip etika komunikasi yang dikemukan Djamarah di atas sangat menggambarkan betapa Islam memiliki rujukan dan anjuran bagi setiap umatnya untuk menjaga tutur kata dalam berkomunikasi. Sangat jelas tergambar dan terpapar di atas bahwa komunikasi yang dilakukan pada siapa pun, baik dalam 40 keluarga antara orang tua dan anak, tapi juga pada orang-orang yang diluar lingkungan keluarga. Etika komunikasi Islam ini terkadang dilupakan oleh banyak orang khususnya umat Islam, yang sebenarnya jika dilakukan dapat memperkecil kesenjangan antara kaya dan miskin, tua dan muda serta pintar dan bodoh. Diperlukannya dan dianjurkannya komunikasi persuasi dalam kehidupan umat islam membuat kita harus benar-benar menerapkan dalam setiap kegiatan berkomunikasi dalam hidup kita. Terutama pada aplikasi komunikasi dalam keluarga, karena proses identifikasi yang berlangsung dalam keluarga membuat pentingnya nilai-nilai kebaikan tumbuh dan berkembang dalam keluarga. Komunikasi persuasi yang mulai diterap dalam membentuk perilaku beribadah pada anak diharapkan kemudian menumbuhkan bibit-bibit toleransi yang besar pada diri anak. 2.3.1 Komunikasi Persuasi Dalam Perspektif Islam Komunikasi persuasi kita kenal sebagai kebalikan dari komunikasi koersif, yang mana komunikasi koersif sendiri diartikan oleh Phillip L. Husanker dan Anthony J. Alessandra sebagai seni atau cara dalam berkomunikasi yang menampilkan emosi, lewat suara dan gerak-gerik tubuh yang membuat komunikan merasa takut, tunduk dan patuh (Effendy,1986:62). Dengan demikian komunikasi persuasi merupakan cara komunikasi yang tentunya bertolak belakang dari komunikasi koersif yang dijelaskan di atas. Agama Islam mengatur segala tindak-tanduk dan pergerakan umat manusia dimuka bumi, termasuk dalam hal mempengaruhi orang lain. Banyak tahapan 41 dan cara yang diperkenalkan oleh agama Islam dalam mengajak dan menghimbau orang untuk berbuat kebajikan dan beribadah. Tentu salah satunya ialah metode komunikasi persuasi, yang kerap diidentikkan dengan rayuan dan bujukan dengan menggunakan pesan-pesan yang lebih santun dan manusiawi. Berkaitan dengan pesan yang disampaikan, lebih tepatnya pesan-pesan verbal, didalam Al Quran menjelaskan bagaimana ucapan dapat diperhalus melalui ayat dibawah ini yang: Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimah yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan menjulang kelangit. Pohon itu memberikan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan- perumpamaan itu kepada manusia agar selalu ingat.” (QS.Ibrahim 14:24-25). Dari kutipan ayat Al Quran di atas, secara eksplisit dapat kita pahami bahwa Islam mengajarkan perumpaan-perumpaan kalimat yang baik dalam berkomunikasi. Ini tentu saja menunjukan pada kita bahwa ujar dan tutur kata yang santun merupakan bagian keimanan kita sebagai umat Islam. Ditambah lagi dengan sikap dan perilaku Nabi besar kita Muhammad Rasulluah Saw yang selalu menunjukkan dan mengajarkan akan kesopanan dan kebaikan dalam segala aspek, apalagi dalam kaitannya mendidik dan membina anak. Dalam kaitannya dengan kewajiban ibu mengajarkan dan membina anaknya beribadah, Islam juga menganjurkan pada orang tua khususnya ibu 42 untuk mengajarkan sesuatu dengan baik-baik pada anak-anaknya. Djamarah (2004:29) mengutip hadist yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq Sa’id bin Mansur tentang sabda Rasulullah saw : “Ajarkanlah kebaikan pada anak-anak kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik” (HR.Bukhari&Muslim) Dalam hadist lainnya yang dikutip Djamarah (2004:29) berasal dari Ibnu Abbas r.a, Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersada: “Diantara hak orang tua terhadap anaknya adalah mendidiknya dengan budi pekerti yang baik dan memberikan nama yang baik” (HR. Bukhari&Muslim). 2.4 Hubungan Ibu dan Anak Dalam Menbentuk Perilaku Beribadah Pada Anak 2.4.1 Tinjauan Tentang Ibu Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil yang di dalamnya terdapat bagian dan anggota yang terikat pertalian darah dan bukan. Sebagai institusi, keluarga memiliki tanggung jawab - tanggung jawab pada semua aspek kehidupan. Termasuk pada fungsi pendidikan dan fungsi religius. Terkait pada tanggung jawab dalam kehidupan dan juga keluarga, sebuah hadist yang dipercaya menuliskan mengapa kemudian kita harus bertanggung jawab atas sesuatu dalam hidup kita. Terlebih tanggung jawab yang dipegang oleh orang tua sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga. Hadist yang tercatat dalam panduan hadist umat Islam berbunyi sebagai berikut: 43 “Kalian semua adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya, seorang pejabat adalah pemimpin, seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suami dan anak-anaknya, dan kalian semua adalah pemimpin dan kalian akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya (HR. Bukhari dan Muslim). Hadist di atas ditujukan pada setiap manusia yang secara kodrati memiliki tanggung jawab dalam kehidupan pada kapasitasnya masing-masing. Namun perhatian besar pada hadist di atas diperuntukkan pada tanggung jawab keluarga khususnya bapak dan ibu. Masih merujuk pada hadist di atas, diterangkan bahwa seorang istri dan juga ibu memiliki tanggung jawab atas anak-anaknya, inilah kemudian mengapa peran ibu dalam proses pendidikan khsususnya pendidikan agama pada anak menjadi sangat signifikan. Karena menyangkut pertanggung jawabannya yang akan di-hisab pada hari akhir nanti. Sebelum mengulas lebih dalam peran ibu dalam membentuk kepribadian dan perilaku anaknya, ada baiknya kita telaah sedikit keistimewaan seorang ibu. Beberapa ayat suci Al Quran menjelaskan betapa ibu sebagai sosok yang istimewa bagi semua insan,salah satunya: Artinya: “Kami perintahkan pada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibubapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan……” (QS.Al-Ahqaaf:15) Ayat suci Al Quran di atas merupakan rujukan bagi semua umat Islam dalam menyikapi dan memperlakukan orang tua khususnya ibu dalam kehidupan sehari-hari. Penghargaan yang begitu tinggi atas ibu juga kemuliaan seorang ibu yang membuat ibu menjadi bagian dari hidup setiap anaknya termasuk di 44 dalamnya peran ibu dalam membentuk setiap perilaku anak khususnya perilaku beribadah. Selain ayat suci Al Quran yang tak diragukan keberannya di atas, hadist sahih yang diakui semua umat Islam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, membuat ibu tiga kali lebih diutamakan dari pada ayah. Dimana Rasulullah Saw menyebutkan ibu sebanyak tiga kali atas pertanyaannya “siapa yang paling berhak menerima bakti?” setelah tiga kali Rasulullah Saw menyebut ibu, baru beliau menyebutkan ayah yang kemudian berhak menerima bakti anak (Hadi,1998:12). Peran ibu yang komprehensif pada anak tidak berdasarkan atas hal-hal yang sifatnya kodrati atau lahiriah, tetapi juga pada sifat-sifat utama yang melekat pada seorang ibu, sifat yang penuh kasih sayang dan perhatian serta kelembutan yang membuat ibu mengambil banyak tempat dihati anaknya. Karena sesungguhnya anak merupakan bagian dari ibunya dan kelembutan ibu lebih kuat pengaruhnya terhadap anak daripada ayah, (Naurah, 2005:16). Itulah mengapa kapabilitas ibu dalam banyak hal terutama dalam hal keimanannya menjadi kualitas utama seorang ibu. Seorang ibu yang shalihah merupakan bibit unggul yang terdapat dalam rumah karena dialah orang yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anaknya (Naurah, 2005:16). Kelembutan seorang ibu biasanya akan terwujud dalam tata cara ibu menanamkan nilai dan membentuk perilaku anak. Sikap yang toleransi dan perlakuan lemah lembut dan kasih sayang penuh selalu hadir dalam setiap upaya ibu membentuk perilaku dan menanamkan nilai-nilai. 45 Kerap kita jumpai upaya ibu mempersuasi anaknya dalam menggiring anaknya pada kebaikan. Termasuk pada proses komunikasi persuasi yang digunakan ibu dalam upayanya membentuk perilaku beribadah yang konsisten pada anak. 2.4.2 Tanggungjawab dan Peran Ibu Dalam Membentuk Perilaku Beribadah Anak “Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah jika ia tidak shalat pada usia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR Bukhari & Muslim) Berdasarkan kutipan hadist di atas jelas sekali hadist ini diserukan khusus bagi para orang tua untuk tekun dan mengerahkan energi penuh untuk mengajarkan anak sholat. Diberikan tenggang waktu yang sangat panjang kurang lebih 3 tahun untuk mengajarkan dan membentuk perilaku sholat pada anak secara lemah lembut dan penuh toleransi. Ini semakin membuktikan dalam Islam mengajak dengan kebaikan menjadi prioritas dalam mendidik anak khususnya. Seperti yang selalu diserukan oleh Islam pada setiap orang, khususnya keluarga dalam mendidik anak untuk melakukan kebaikan yang akan tercermin dari perilaku orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua lah yang memegang tanggung jawab atas semua pendidikan sholat dan perbuatan kebaikan lainnya, seperti pada kutipan ayat Al Quran ini yang mempertegas perintah sholat yang harus diterapkan pada anak, berbunyi sebagai berikut: 46 Artinya: “Hai anakku, dirikan sholat dan suruhlah (manusia mengerjakan yang baik) dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah Swt)” (QS. Luqman:17). Al Quran memang sudah seharusnya diajarkan pada anak-anak agar di kemudian hari Al Quran dapat menjadi tuntunan bagi kehidupannya kelak. Kewajiban mengajarkan Al Quran pada anak-anak sudah pasti pertama di pegang oleh orang tua. Sebab itulah ibu khususnya disini sudah sejak awal harus menerapkan aktivitas membaca Al Quran sebagai ibadah rutin yang sama hal nya dengan sholat. Menjadikan aktivitas membaca Al Quran sebagai ibadah yang akan dilaksanakan anak dengan atau tanpa dorongan dari ibu. Akan lebih baik lagi jika anak memahaminya dan melaksanakannya berdasarkan keinginannya sendiri. Itu sebabnya anak perlu mengetahui bahwa paling tidak membaca Al Quran merupakan keharusan bagi umat Islam, lebih baik lagi jika hafal dan memahami isinya dengan baik. Keharusan akan berpegang pada Al Quran banyak hadir dalam ayat-ayat Al Quran sendiri diantaranya: Artinya: “kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan paranya: petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS.al-Baqarah:2) Artinya: “kami turunkan kepadamu Alkitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS.anNahl:89) 47 “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab (Al Qu’an) dan dirikanlah sholat” (QS.al-Ankabuut:45.) Selain perintah yang membaca dan menjadikan Al Quran pegangan ilmu, Rasulullah Saw juga menyampaikan kemuliaan akan mengajari dan mempelajari Al Quran. Dimana menurut sabda Nabi Muhammad Saw bahwa: "Ajarkanlah anak-anak kamu tiga perkara: Mencintai Nabi kamu, dan mencintai keluarganya serta membaca al-Quran. Sebab para pembaca al-Quran berada di sisi Arasy Allah bersama-sama para anbiya'Nya dan ashfiya'Nya pada hari tiada naungan melainkan naungan Allah sahaja." (HR.Bukhari&Muslim) “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkan kepada orang lain” (HR.Bukhari&Muslim). Mengajarkan atau memberikan pemahaman akan pentingnya belajar Al Quran memang selayaknya di mulai dari keluarga, apabila kedua orang tua merasa tidak berkemampuan mengajarkannya atau merasa lebih baik menyerahkan pelajaran membaca Al Quran pada orang yang lebih mahir, pemahaman akan pentingnya Al Quran tetap berada pada peran orang tua khususnya ibu. Sebuah tanggung jawab dunia dan akherat yang terletak di tangan orang tua lagi lebih spesifiknya seorang ibu. 2.4.3 Tinjauan Tentang Anak Sesungguhnya anak merupakan anugrah sebagai penerus keturunan orang tuanya. Pada anak juga di berikan jalan-jalan untuk mendatangkan pahala yang banyak dan juga dosa yang banyak. Tanggung jawab ini lah yang 48 kemudian membuat orang tua ekstra hati-hati dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Sebagai anggota keluarga, anak merupakan anggota yang kecil partisipasinya dalam menentukan sebuah pilihan. Tentu saja sesuai dengan porsi anak yang belum dapat dengan baik berfikir mana yang baik dan mana yang benar. Perkembangan jiwa dan kepribadian anak bergantung pada peran orang tua dan anggota keluarga lainnya. Seperti yang disampaikan Dra. Kartini Kartono mengatakan sebagai berikut : Keluarga memberikan pengaruh yang menentukan bagi pembentukan watak dan kepribadian anak. Keluarga sebaga unit sosial terkecil yang memberikan stempel dan fondasi dasar bagi perkembangan anak. Maka tingkah laku psikotis atau kriminal dari orang tua atau salah satu dari anggota keluarga, bisa memberikan pengaruh yang menular dan infeksius kepada lingkungannya, khususnya kepada anak-anak : (Kartini Kartono dalam Daradjat, 1990). Dari uraian pendapat ahli psikologis di atas memaksa orang tua harus jeli dan teliti dalam membesarkan anak-anak mereka. Termasuk pada pola asuh dan pola komunikasi yang diterapkan orang tua. Seperti dikatakan di atas, bahwa tingkah laku orang tua memberi pengaruh pada perkembangan anak. Termasuk di dalamnya menerapkan metode yang tidak memaksakan kehendak orang tuanya. Mendidik anak dengan metode yang memberikan kebebasan terkontrol pada anak. Seperti yang disampail Amirul Mu’minin Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Janganlah engkau memaksakan anak-anakmu sesuai dengan pendidikanmu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zaman kalian” (al-Ha’iri,2004:153). 49 Orang tua yang telah memikul begitu banyak tanggung jawab dan peranannya pada anak, harus didukung kesadaran dan kewajiban anak pada orang tuanya. Bahwa berlaku baik dan mematuhi orang tua merupakan sedikit kewajiban anak pada orang tuanya. Selaku anak yang masih dalam tanggung jawab orang tuanya, seorang anak memiliki kewajiban yang mutlak untuk menghormati, mencintai serta berbakti pada orang tuanya, khususnya ibu disini. Kewajiban lainnya adalah patuh pada orang tua dan melaksanakan perintah atau memenuhi keinginan ibunya. Kewajiban anak yang masih dalam usia sekolah dasar memang masih seputar hormat dan patuh pada ibunya. Namun kepatuhan dan rasa hormat anak merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang anak karena harus mengikuti segala perintah dan keinginan orang tuanya yang belum tentu sesuai dengan keinginan anak. Kewajiban anak ini harus dibarengi dengan peranan dan tanggung jawab ibu yang penuh pula. Sehingga kelak akhlak dan perilaku beribadah anak menjadikan ciri dari kepribadian anak yang islami. Pendidikan anak memang memerlukan banyak energi, ilmu serta waktu agar mencapai tujuan yang relatif berhasil dalam berbagai aspek. Perhatian dan usaha penuh pada proses pendidikan anak khususnya pendidikan agama dan moralnya sebagai bekal kepribadian yang kuat saat dewasa merupakan tugas orang tua khususnya ibu. Seperti puisi yang kerap dikutip oleh para penulis buku yang menggambarkan begitu pentingnya metode dan cara mendidik dalam pendidikan anak baik secara mental, spiritual dan tingkah laku anak. Puisi berjudul Children Learn What They Live hasil karya Dorothy Law Nolte, yang berbunyi: 50 Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan (Ekomadyo,2005:1). Demikian jelasnya puisi di atas menggambarkan setiap metode yang dilakukan dalam mendidik dan membesarkan anak akan mempengaruhi anak dalam proses pebelajarannya. Metode persuasi yang diterapkan ibu dalam membentuk perilaku anak ini juga dimaksukkan untuk membantu anak belajar dengan sebuah iklim demokrasi dalam keluarga dan memberikan pelajaran pada anak untuk tidak memaksakan kehedak dalam mencapai tujuan yang ia inginkan. 51 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian kualitatif Metodologi dalam sebuah penelitian merupakan kerangka yang menyatukan objek, data, serta peneliti dalam sebuah penelitian, sehingga pada akhirnya menemukan hasil yang tentunya valid dan bermanfaat. Lebih tepatnya disebutkan Bogdan dan Taylor (1975) bahwa metodologi sebagai proses, prinsip dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban (Mulyana,2002:145). Selanjutnya Mulyana menambahkan dengan ungkapan lain, metodologi adalah pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian (Mulyana,2002:145). Karena peran signifikan metodologi dalam penelitian, maka peneliti harus cermat dalam memilih dan menggunakan metode penelitian. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu; “penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik, perspektif ke dalam, etnometodologi, fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptif”. (Bogdan dan Biklen dalam Moleong, 2004) Metode penelitian kualitatif yang juga dikenal sebagai metode penelitian naturalistik, yang mampu melukiskan secara sistematik fakta yang ada secara faktual, penelitian kualitatif bukanlah mencari suatu kebenaran mutlak. Pendirian kualitatif mengakui adanya “dunia luar” akan tetapi itu tidak dapat dikenal sepenuhnya secara mutlak. Ia melihat dunia itu dari segi pandangannya, 52 atau bisa dari segi pandangan respondennya dan pandangan itu mungkin sekali ada perbedaan dengan pandangan orang lain (Nasution,1996:6). Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah kualitatif, yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2004). Untuk mengkaji lebih dalam terhadap istilah penelitian kualitatif, maka perlu dikemukakan beberapa definisi. Penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik dikarenakan situasi lapangan penelitian bersifat “natural” atau wajar sebagaimana adanya tanpa dimanipulasi, diatur dengan eksperimen atau test. (Nasution, 2002:18) Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Yin, 2003:5). Oleh karena itu, yang dilakukan oleh peneliti kualitatif banyak persamaannya dengan detektif atau mata-mata, penjelajah atau jurnalis yang juga terjun ke lapangan yaitu untuk mempelajari manusia melalui pengumpulan data yang banyak. Penelitian kualitatif bukan mencari “kebenaran” mutlak. Metode penelitian kualitatif memiliki banyak ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lain. Ciri-ciri penelitian Naturalistik atau kualitatif, (Nasution, 2003:9) sebagai berikut: 1. Sumber data ialah situasi yang wajar atau “natural setting”, peneliti mengumpulkan data berdasarkan observasi situasi yang wajar, sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi dengan sengaja. 53 2. Peneliti sebagai instrumen penelitian, peneliti adalah “key instrument” atau alat penelitian utama. Dialah yang mengadakan sendiri pengamatan atau wawancara tak berstruktur, sering hanya menggunakan buku catatan. Walaupun digunakan alat rekaman atau kamera, peneliti tetap memegang peranan utama. 3. Sangat deskriptif, penelitian ini tidak menggunakan angka atau statistik. 4. Memperhatikan proses maupun produk, memperhatikan perkembangan terjadinya sesuatu. 5. Mencari makna, metode ini berusaha memahami sesuatu melalui kelakuan manusia dalam konteks yang lebih luas. 6. Mengutamakan data langsung, peneliti sendiri terjun ke lapangan untuk mengadakan observasi wawancara. 7. Triangulasi, data atau informasi dari satu pihak harus dicek kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain. 8. Menonjolkan rincian konteksktual, peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat terinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti. 9. Subjek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya akan tetapi sebagai manusia yang setaraf. 10. Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya. 11. Verifikasi, antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif. 54 12. Sampling yang purposif, sampel biasanya sedikit atau dipilih menurut tujuan (purpose) penelitian. 13. Menggunakan “audit trail”, penelitian diadakannya “audit trail” (trail ialah mengikuti jejak atau melacak) untuk mengetahui apakah laporan penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan. 14. Partisipasi tanpa mengganggu, untuk memperoleh situasi yang “natural” atau “wajar”, peneliti hendaknya jangan menonjolkan diri dalam melakukan observasi. 15. Mengadakan analisis sejak awal penelitian, analisis dengan sendirinya timbul bila ia menafsirkan data yang diperolehnya. 16. Desain penelitian tampil dalam proses penelitian. Dalam ciri penelitian kualitatif di atas, dalam praktek di lapangan peneliti mungkin tidak akan menggunakan ciri-ciri penelitian di atas semuanya akan tetapi dipilih sesuai dengan yang ditemui nantinya di lapangan dan akan disesuaikan dengan bentuk atau jenis penelitian kualititaf. Metode penelitian kualitatif dipilih oleh peneliti sesuai dengan beberapa manfaatnya yang dinilai oleh peneliti mewakili harapan dan keinginan peneliti dalam penelitian ini. Yang mana manfaat-manfaat yang ada dalam penelitian kualitatif antara lain: 1. Dimanfaatkan oleh peneliti yang ingin meneliti sesuatu dari segi prosesnya. 2. Pada upaya pemahaman penelitian perilaku dan penelitian motivasional. 3. Untuk keperluan evaluasi 55 4. Digunakan untuk menemukan perspektif baru tentang hal-hal yang sudah banyak diketahui (Moleong. 2004:7). Berdasarkan manfaat-manfaat yang terpapar di atas maka penelitian kualitatif dianggap sangat cocok dan memenuhi kriteria dalam penelitian yang dilakukan peneliti dalam melihat beberapa peran dan proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dalam menumbuhkan sebuah pemahaman terhadap perilaku beribadah pada anak, sehingga anak melaksanakan ibadah atas keinginannya dan kesadarannya sendiri. 3.2 Pendekatan Interaksi Simbolik Dalam sebuah penelitian kualitatif, pendekatan yang digunakan merupakan sebuah keharusan, di mana melalui pendekatan penelitian yang digunakan kita dapat meneliti atau menelahaah sebuah permasalahannya atau sebuah fenomena berdasarkan sudut pandang dari masalah ataupun dari perspektif yang tentunya sesuai dengan masalah yang diteliti. Penelitian kualitatif dikenal memiliki beberapa pendekatan, yang antara lain fenomenologis, pendekatan etnografi untuk telaah segi kebudayaan, interaksi simbolik yang dinilai sangat lekat dengan studi komunikasi dan banyak lagi lainnya. Peneliti memilih menggunakan pendekatan interaksi simbolik pada penelitian yang melibatkan proses komunikasi persuasi yang berlangsung pada ibu dan anak dalam membentuk perilaku anak dalam beribadah, karena dilandasi oleh esensi dari interaksi simbolik itu sendiri yaitu suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana,2002:67). 56 Berangkat dari sinilah kemudian peneliti mencoba meneliti proses komunikasi persuasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah anak melalui kacamata atau sudut pandang interaksi simbolik. Yang mana ahli interaksi simbolik George Herbert Mead menyebutkan bahwa inti dari teori interaksi simbolik adalah tentang diri (Mulyana,2002:73). Lebih lanjutnya dijelaskan Mulyana melalui pengalaman Charles H. Cooley bahwa dalam mengamati perilaku manusia tidak boleh melihat dari luar tetapi harus berupaya menangkap makna dan definisi yang dianut pihak yang diamati (Mulyana,2002:75). Singkatnya interaksi simbolik dapat dijelaskan melalui beberapa premis dibawah ini: 1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda), objek sosial (perilaku manusia) didasarkan pada makna yang dikandung komponenkomponen lingkungan tersebut bagi mereka. 2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak lekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. 3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial (Mulyana,2002:71-72). Teori interaksionisme simbolik atau penelitian interaksi simbolik tidak hanya dibangun oleh ide-ide atau asumsi-asumsi dasar di atas, tetapi penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh dua paradigma yang berbeda yaitu dari paradigma 57 kuantitatif (dikenal dengan sebutan klasik) dan paradigma kualitatif (dikenal dengan sebutan konstruktivisme). Dari banyak asumsi ide mengenai penelitian interaksi simbolik yang dikemukakan atau dikembangkan oleh para ahli, kemudian peneliti menganggap asumsi-asumsi yang dikemukan dan dikembangkan oleh Herbert Blumer yang paling sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Herbert Blumer yang berasal dari Mazhab Chicago termasuk ke dalam paradigma kualitatif. Tabel di bawah ialah kutipan Ritzer (1992) dan Bryman (1988) yang memperlihatkan perbedaan teori interaksi simbolik juga paradigma yang diusung oleh Blumer dengan Manfrod H. Kuhn yang termasuk pada Mazhab Iowa, yang mengusung paradigma kuantitatif. Keduanya memperlihatkan ciri dari masingmasing yang merupakan pembentukan dasar teori interaksi simbolik berdasarkan dari paradigma yang berbeda. Table 3.1 Tabel Perbandingan Dua Paradigma Interkasi Simbolik Teori Interaksi Simbolik versi Teori Interaksi Simbolik versi Kuhn Blumer / Paradigma Konstruktivis / Paradigma Klasik ƒ Untuk meneliti perilaku ƒ Kuhn menekankan kesatuan manusia ƒ metode yang metode ilmiah, di mana semua digunakan peneliti tidak bisa metode ilmiah bertujuan pada digeneralisasikan. generalisasi. cendrung menggunakan introseksi untuk menolak teknik-teknik simpatetik penelitian yang tidak ilmiah. dalam ƒ perilaku manusia. ƒ ƒ Blumer Blumer mendorong Kuhn Kuhn mendorong mendorong peneliti peneliti peneliti untuk menggunakan indikator- untuk menggunakan intuisinya indikator perilaku yang tampak sehingga dapat mengambil dari untuk mengetahui apa yang 58 sudut pandang objek yang sedang diteliti. ƒ Blumer menerima konsep- ƒ ilmiah terlalu menggunakan variable-variabel untuk formal dan tidak konsep-konsep mendefinisikan dunia Blumer melihat ƒ Kuhn lebih cendrung berfikir yang statis tidak dan dalam berstruktur pentahapan baik proses diprediksikan dalam tindakan penelitian atau pun instrumen manusia. pengumpulan Blumer cendrung berlangsung berfikir dan data yang dipergunakan. ƒ tidak Peneliti cendrung melihat realitas sosial sebagai suatu berstruktur. wujud statis, yang telah jadi Peneliti cendrung berasumsi dan bisa diamati pada waktu bahwa realitas sosial selalu tertentu. berubah dan merupakan hasil konstruksi sosial ƒ yang Peneliti cendrung dalam usaha terfokus penemuan berlangsung antara para pelaku ‘kebenaran”, atau the truth, dan institusi sosial. yang berlaku umum untuk Perumusan permasalahan yang fenomena yang diteliti. akan diteliti mungkin baru ƒ Hubungan teori dengan data “ditemukan” setelah melakukan empirik memberi konfirmasi pengumpulan data di lapangan. bagi teori. Instrument penelitian biasanya tidak berstruktur pula. ƒ definisi-definisi operasional yang diteliti. besarnya dalam kerangka proses yang ƒ dengan dalam kerangka yang lebih unsur-unsur ƒ tradisional dan nyata. ƒ Kuhn lebih menyukai metode konsep kepekaan yang tidak operasional yang lebih ilmiah ƒ dalam benak para pelaku. menggunakan ƒ berlangsung Peneliti berkepentingan ƒ Dalam analisis dipergunakan single data, level kualitatif analysis (hanya pada level untuk individu saja, atau komunitas menemukan “suatu kebenaran” saja). 59 atau a truth mengenai fenomena dalam konteks di mana penelitian dilakukan. ƒ Teori dimunculkan atas dasar data empirik dan analisis data yang dipergunakan mulai level (mengaitkan adalah analysis analisis pada level-level berbeda). (Ritzer, 1992:225-229 dan Bryman, 1988:94) Blumer mengembangkan teori interaksi simbolik dengan mengemukakan tiga asumsi dasar. Berdasarkan ide-ide dasar Blumer membantu peneliti menetukan arah penelitian dan aspek dasar yang ingin diteliti oleh peneliti. Ketiga pemikiran dasar Blumer tentang interaksi simbolik antara lain: a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal tersebut baginya. b. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari, interaksi sosial yang pernah dilakukan dengan orang lain. c. Makna-makna itu dikelola dalam, dan diubah melalui, proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpai (Effendy, 2003:394). Sesuai teori interaksionisme simbolik yang dikemukan Blumer baik pada asumsi di atas dan pada tabel di atas, maka mendorong peneliti melakukan penelitian dengan cendrung melihat dari sudut pandang objek penelitian. Sehingga peneliti memandang perilaku pada ibu Zubaidah dan adik Azzahra selaku objek penelitian berdasarkan pemaknaannya terhadap ibadah sholat dan mengaji. Peneliti melakukan penelitian dengan terlebih dahulu membangun 60 kedekatan dengan objek penelitian. Dengan demikian peneliti secara tidak langsung menggunakan introseksi simpatetik dalam melakukan pengamatan. Lebih lanjut apabila dikaitkan pada asumsi Blumer maka kemudian pemahaman atau makna sholat dan mengaji itu akan dilihat oleh anak berdasarkan pada interaksi sosialnya. Di sini interaksi sosial lebih sempit karena terbatas pada keluarganya terutama ibunya. Tentunya perilaku beribadah keluarga terutama ibu akan menjadi landasan anak dalam menemukan makna ibadah. Sehingga penting dilihat di sini sejauh mana ibu memberikan contohcontoh konkrit dalam menjelaskan ibadah pada anak. Kemudian kita akan menemukan asumsi Blumer yang berkaitan pada anak setelah anak cukup melihat seputar ibadah yang dijumpai. Yang pada akhirnya anak kemudian membuat makna ibadah berdasarkan pemahaman dan kepentingan ibadah pada dirinya. Hal ini akan berperan penting dikemudian hari pada saat anak akan melaksanakan ibadah sholat dan mengaji. Bagaimana ia memandang sholat dan mengaji sebagai sebuah tanggung jawab, kewajiban, kebutuhan atau hanya sekedar pemenuhan kepatuhan anak pada ibu dan yang juga sebenarnya merupakan sebuah beban baginya, ataupun dapat menemukan kemungkinan lainnya. Berdasarkan pemahaman interaksionisme simbolik khususnya yang dianut oleh Blumer, membantu peneliti melihat bagaimana ibadah dimaknai oleh anak berdasarkan interaksi dan komunikasi dengan ibunya. Sehingga berdasarkan makna yang ada pada anak dapat membentuk perilaku ibadah yang konsisten. 61 Makna ibadah yang ada pada anak akan berpengaruh pada perilaku beribadahnya, karena menurut Blumer perilaku seseorang dipicu dari bagaimana ia memandang sesuatu. Jadi apabila anak memandang bahwa sholat dan mengaji sebuah kewajiban yang harus dijalani dengan atau tanpa alasan yang jelas, maka anak akan melaksanakan sholat dan mengaji berdasarkan pandangan atau makna yang ada dalam dirinya. Lebih lanjut, Blumer menegaskan bahwa tindakan manusia adalah bertujuan, untuk mewujudkan apa yang ada dalam pikirannya (Mulyana,2002:153). Di sini apabila dikaitkan pada upaya ibu dalam membentuk perilaku beribadah anak, pemahaman ibu dan makna yang ada pada ibu atas ibadah sangat memegang peranan penting dalam keberhasilan proses komunikasi persuasi. Apa yang dilakukan ibu dalam membentuk perilaku sholat dan mengaji merupakan refleksi dari pemikiran ibu atas sholat dan mengaji baik sebagai murni ibadah yang harus dilakukan individual ataupun juga sebagai tanggung jawabnya dalam menanamkan nilai ibadah juga perilaku ibadah pada anaknya. 3.3 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian yang digunakan peneliti merupakan tahapan penelitian kualitatif pada umumnya. Menurut Moleong (2004:127), ada tiga tahap umum dalam penelitian kualitatif, yaitu antara lain: 1. Tahap Pra-lapangan Merupakan persiapan awal sebelum peneliti mengambil dan mengumpulkan data-data yang diperlukan. Dalam tahap pra-lapangan 62 ini ada beberapa hal yang dilakukan peneliti sebelum terlibat banyak dengan sasaran penelitian yang juga bertindak sebagai informan dalam penelitian ini. Tahap pra-lapangan digunakan oleh peneliti dalam mendekatkan diri dan membangun interaksi dengan sasaran penelitian dengan melakukan beberapa kontak awal seperti dijabarkan dibawah ini: a. Pemilihan dan penetapan sasaran penelitian / informan. Setelah peneliti menetapkan kriteria pasangan ibu dan anak yang menjadi objek penelitian, dan men-survey beberapa keluarga sebagai pasangan ibu dan anak yang dikenal peneliti. Yang mana kriteria dari pasangan ibu dan anak yang dijadikan sebagai objek penelitian antara lain; berasal dari keluarga yang Islami sehingga ibu paling tidak memiliki pemahaman akan ibadah relataif baik, selanjutnya tingkat pendidikan formal ibu yang sampai pada pendidikan tinggi yang akan berimplikasi pada pola pikir ibu dalam mendidik anaknya. Kriteria ketiga yaitu kedekatan hubungan ibu dan anak serta kelancaran berkomunikasi keduanya. Dari ketiga Kriteria di atas maka peneliti mencocokkan dan menetapkan ibu Zubaidah dan adik Azzahra sebagai objek penelitian b. Meminta kesediaan dan keizinan informan sebagai objek atau sasaran penelitian. Peneliti mulai melakukan pendekatan awal dengan keluarga bapak H. Ir. Said Abdurahman sebagai kepala keluarga, ibu Zubaidah dan anaknya sebagai objek penelitian. Meminta bantuan mereka dengan bersedia dijadikan objek penelitian. Dan meminta waktu serta ruang 63 yang cukup bagi peneliti untuk banyak berinteraksi dengan pasangan objek penelitian. c. Orientasi dengan sasaran atau objek penelitian. Proses orientasi ini merupakan proses di mana peneliti membangun situasi dan suasana yang kekeluargaan dengan ibu Zubaidah dan adik Azzahra sebelum memulai penelitian. Proses di mana sebelum mengumpulkan data-data melalui wawancara dan observasi, peneliti mencoba lebih mengenal dan dekat dengan mereka agar leluasa dalam mendapatkan data sesuai dengan kepentingan penelitian. 2. Tahap Pekerjaan Lapangan Tahap pekerjaan lapangan merupakan sebuah tahapan di mana peneliti mengumpulkan data-data primer dari informan yang dilakukan dengan terlibat langsung dengan informan dan juga sasaran penelitian. Dalam tahap ini peneliti berperan serta dalam dalam mengumpulkan data. Di sini peneliti sudah mulai terlibat secara intensif dalam mengumpulkan data dan membangun kedekatan sehingga dengan leluasa peneliti dapat mengamati dan bertanya dengan pasangan ibu dan anak. Dalam tahap ini lah peneliti dengan intensif mendapatkan data-data dari pasangan ibu dan anak melalui keseharian mereka dalam beribadah dan bentuk serta proses komunikasi yang berlangsung. Tahap ini tidak ditetapkan batasan waktu, karena tahap pekerjaan lapangan merupakan tahap di mana peneliti mengumpulkan data, jadi waktu yang digunakan sepanjang penelitian dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. 64 3. Tahap Analisis Data Merupakan tahapan di mana peneliti mengolah dan menginterpretasikan data yang dikumpul dengan beberapa cara. Tahap ini lebih pada penjabaran dan penggunaan sumber kepustakaan dalam menjabarkan hasil pengumpulan data. Dan melalui proses interpretasi data yang juga akan dianalisis nantinya mendapatkan hasil kesimpulan penelitian. 3.4 Fokus Penelitian Fokus penelitian dirancang guna menghindari pembahasan yang melebar dan keluar dari masalah utama yang diangkat oleh peneliti. Selain itu fokus penelitian juga di desain untuk memberikan arah yang pasti dalam sebuah penelitian guna mendapatkan informasi yang jelas, spesifik dan detail. Memberikan perincian masalah yang akan diteliti dan memfokuskan kegiatan peneliltian pada suatu area pengamatan dan penelitian yang lebih spesifik. Yang mana peneliti menetapkan beberapa hal yang menjadi fokus penelitian, yaitu: 1. Perilaku beribadah lebih difokuskan dan dikhususkan pada pelaksanaan ibadah ritual yang telah diketahui dan dipahami anak usia sekolah dasar. Spesifiknya ialah sholat wajib lima waktu dan aktifitas belajar membaca Al Quran yang intensitasnya dibatasi minimal 1 kali seminggu. 2. Konteksnya ibadah disini adalah proses belajar praktek dan pelaksanaan sholat wajib lima waktu dan aktifitas belajar membaca Al Quran. Tentu kedua ibadah ini masih dalam tahap belajar bukan pendalaman ataupun memiliki konsekuensi hukum yang wajib dikerjakan. Karena anak masih 65 dalam usia belum baligh dan masih duduk di sekolah dasar maka penelitian lebih diarahkan pada pemahaman anak dalam menjalankan ibadah, tidak dipandang dari segi kesempurnaan ibadah yang sesuai syar’i. 3. Komunikasi persuasi terjadi dalam komunikasi antar pribadi yakni antara ibu dan anak, dan merupakan komunikasi persuasi yang sifatnya kontinyu. Dan berdasarkan status dan peranan ibu dan anak, maka komunikasi yang dilakukan cendrung merupakan komunikasi horizontal. 4. Penelitian difokuskan pada sasaran penelitian yang basis keluarganya merupakan keluarga yang Islami. Jadi paling tidak ibu dan bapaknya telah memahami dan menerapkan syari’at Islam dalam pola asuh anak juga pada kehidupan keluarga dengan baik. 3.5 Teknik Pengumpulan Data Peneliti menggunakan beberapa teknik yang biasa dilakukan para peneliti kualitatif, yakni menggunkan tiga jenis teknik pengumpulan data, yang antara lain sebagai berikut : 3.5.1 Wawancara Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. (Mulyana, 2001:180). Wawancara ini dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi yang tidak mungkin diperoleh melalui observasi. Melalui wawancara, peneliti 66 bisa mendapatkan informasi yang mendalam sehubungan dengan hal-hal yang ingin diteliti. Peneliti menggunkan jenis wawancara yang tidak terstruktur atau wawancara secara mendalam, yaitu mendapatkan dan mengumpulkan data dan informasi seputar masalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang dirasa perlu oleh peneliti. Bentuk dan format dari wawancara mendalam ini tidak terstruktur dan informal guna mendapatkan data yang valid dan detail. Peneliti akan memberikan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang sebelumnya sudah dibuat dan dipersiapkan oleh peneliti. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diformat dalam sebuah daftar pertanyaan. Namun peneliti juga akan mencatat setiap pertanyaan yang berkaitan dengan masalah diluar dari pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. 3.5.2 Observasi Dalam observasi ini peneliti mengumpulkan data dan informasi dengan melihat dan mengamati setiap interaksi dan komunikasi yang dilakukan ibu dan anak dalam upaya membentuk perilaku beribadah pada anak. Observasi akan dilakukan secara intensif guna mendapatkan data-data yang akurat dan merupakan gambaran nyata menyangkut masalah yang diteliti. Observasi dilakukan dengan mencatat waktu dan kegiatan ibu dan anak dalam kaitannya dengan masalah yang diteliti. Observasi dilakukan dalam kurun waktu selama penelitian, yakni dari bulan Juni – Oktober 2005. 67 3.5.3 Studi Kepustakaan Dalam proses pengumpulan data, ada beberapa metode yang digunakan sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan, yaitu: a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari informan atau objek penelitian melalui wawancara langsung yang dilakukan oleh peneliti di lokasi penelitian, dan juga data-data hasil catatan pada saat melakukan observasi pada objek penelitian. b. Data Sekunder, yaitu data yang digunakan untuk membantu menjelaskan data primer berupa arsip dan dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan penelitian. Dalam memperoleh data skunder seperti pejelasan di atas, peneliti memasukkan studi kepustakaan dalam membantu menjelaskan data-data primer. Dalam studi kepustakaan, peneliti dibantu dengan dokumendokumen, literatur serta buku-buku dan arsip-arsip yang relevan dangan masalah yang diteliti. Studi kepustakaan juga membantu peneliti menemukan beberapa data-data penting melalui penelitian-penelitian serupa terdahulu. 68 BAB IV OBJEK PENELITIAN 4.1 Pemlilihan Objek Penelitian Dalam penelitian kualitatif yang dilakukan peneliti, objek penelitian dipilih dan ditentukan oleh peneliti sesuai kebutuhan. Ini dilakukan atas dasar kepentingan penelitian yang bersifat natural. Jadi untuk mengamati sebuah fenomena secara mendalam peneliti memilih sepasang ibu dan anak yang sesuai kriteria untuk dijadikan sebagai objek penelitian. Pemilihan sampling atau objek penelitian sesuai tujuan penelitian yang biasa disebut purposif sampling termasuk kedalam non probability sampling, yaitu merupakan teknik sampling yang tidak memberikan kesempatan (peluang) pada setiap anggota populasi untuk dijadikan anggota sampel (Riduwan, 2004:61). Dimana pengambilan sampling tidak berdasarkan kerandoman atau peluang, namun dikarenakan teknik sampling ini biasa digunakan dalam penelitian kualitatif (Mulyana, 2001:187). Melalui teknik sampling ini peneliti menganggap dapat menemukan banyak temuan-temuan seputar masalah yang diteliti. Peneliti memulai memilih objek penelitian dengan beberapa syarat dan kriteria yang dianggap mampu memperlancar dan mencapai tujuan penelitian. Melalui kriteria yang ditetapkan inilah kemudian peneliti mulai mencari dan menetapkan objek penelitian. Adapun kriteria yang ditetapkan hanya membantu mempermudah peneliti dalam melaksanakan penelitian, bukanlah sebuah 69 keharusan dalam penelitian, yang apabila tidak dipenuhi akan membuat hasil penelitian tidak valid. Syarat dan kriteria yang ditetapkan peneliti dalam menentukan pasangan ibu dan anak ini berguna dalam menjaring pasangan penelitian yang tepat dan sesuai dengan masalah yang diteliti yang tertera dalam fokus penelitian. Adapun kriteria atau pertimbangan yang ditetapkan peneliti dalam menentukan pasangan ibu dan anak adalah sebagai berikut: 1. Berasal dari keluarga yang Islami, ini dimaksudkan untuk mendapatkan sasaran penelitian yang juga sejalan dengan penelitian yang mengangkat masalah pentingnya ibadah sejak dini. Ibu yang mengerti dan paham esensi ibadah dan tingkat keimanan yang relatif baik. 2. Tingkat pendidikan ibu yang baik, maksudnya pendidikan formal terakhir yang dicapai oleh ibu. Kriteria ini dimaksudkan untuk mendapatkan sasaran atau objek penelitian dengan pemahaman intelektual yang baik dalam membesarkan dan mendidik anaknya. Serta pendidikan dan usia anak yang dianggap dapat mengerti dan mampu berkomunikasi dengan baik. 3. Kedekatan antara ibu dan anak, maksudnya kedekatan antara ibu dan anak dalam banyak hal terutama pola komunikasi yang baik dan kelancaran komunikasi antara ibu dan anak. Sebelumnya ada beberapa calon pasangan ibu dan anak yang ditemui oleh peneliti. Namun setelah disesuaikan dengan kriteria dan pertimbangan pemilihan pasangan objek penelitian, maka akhirnya peneliti menetapkan pasangan ibu Zubaidah dan anaknya Syarifah Azzahra sebagai pasangan ibu dan 70 anak yang menjadi objek penelitian. Karena pasangan ini menurut paling memenuhi semua kriteria yang ditetapkan peneliti. Ditambah dengan beberapa kelebihan lainnya pada pasangan ini. Seperti kondisi keluarga yang dinilai harmonis dan secara ekonomi tergolong pada keluarga sederhana yang berkecukupan. 4.2 Seputar Keluarga Ibu Zubaidah dan Anaknya Sebagai Pasangan Objek Penelitian Ibu Zubaidah dan anak keduanya Syariffah Azzahra merupakan cerminan format keluarga ideal Indonesia. Dimana satu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan 2 orang anak. Ibu Zubaidah berusia 46 tahun dengan pendidikan terakhir sebagai Sarjana muda (D3) dan suaminya Bapak Ir. H. Said Abdurrahman B.A berusia 50 tahun dan meraih gelar insinyur di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung, menikah tahun 1990 di kota Tanjungpinang, dan pindah ke kota Bandung tahun 1993 bertempat tinggal di Jl. Rereng Suliga no.33 Sukaluyu, Bandung. Keduanya bekerja menjalankan usaha keluarga sebagai pengusaha Travel domestik serta haji dan umroh. Mereka memiliki dua orang anak, anak pertamanya berumur 14 tahun bernama Said A. Husien, sekarang duduk di kelas 3 SMP. Dan anak keduanya berumur 10 tahun bernama Syarifah Azzahra yang sekarang duduk dikelas 4 SDN 02 Sukaluyu Bandung. 71 4.2.1 Sebagai Keluarga Islami Sebuah keluarga Islami tercermin dari anggota keluarganya. Terutama tercermin pada kepala keluarga yakni ayah. Keluarga Islami dapat dikatakan sebagai sebuah keluarga yang menjalankan hukum-hukum Islam dalam setiap urusan dalam keluarga. Contohnya pada perilaku sehari-hari setiap anggota keluarga yang mencerminkan seorang muslim atau muslimah. Konkritnya sebut saja anggota keluarga wanita yang menggunakan jilbab. Selain itu keluarga Islami yang dapat dipandang dengan kasat mata terbukti dari peran ibu atau ayah dalam keluarga dalam menegakkan nafas Islami pada anak-anak. Sebut saja pada ibadah-ibadah wajib dan juga disunahkan. Keluarga bapak Abdurrahman dapat dikategorikan Islami tercermin dari sosok bapak yang menjadi tokoh masyarakat di daerah Sukaluyu. Beliau seorang pak Haji yang menjadi kepala Rw dan menjadi imam masjid setempat. Serta biasa memberikan kutbah-kutbah baik kutbah jumat atau lainnya pada masyrakat sekitarnya. Bapak Abdurahman juga banyak memberikan bimbingan keagamaan bagi masyarakat sekitar, kerabat dan siapa saja yang meminta nasehat spiritual darinya dan ingin mempelajari Islam. Sementara ibu Zubaidah selain sibuk membantu usaha suaminya, ia juga menjadi ibu rumah tangga, beliau juga aktif dalam pengajian ibu-ibu setempat. Pasangan suami istri ini menjadi panutan masyarakat setempat karena meski relatif muda mampu menunjukkan eksistensi yang sangat besar dalam memberi kontribusi pada masyarakat sekitar baik dalam bentuk kehidupan sosial dan juga kehidupan beragama. 72 Setelah peneliti banyak berdiskusi dengan keluarga bapak Abdurrahman baik menyangkut materi penelitian dan juga seputar ilmu agama Islam, secara subjektif, peneliti mengkategorikan keluarga ini sebagai keluarga Islami. Karena memenuhi beberapa kriteria keluarga Islami yang ditetapkan peneliti secara subjektif. Seperti tingkat pengetahuan agama pasangan suami istri terutama ilmu agama suami yang sangat baik. Juga penerapan dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam menerapkan pada anak-anaknya, menunjukan bahwa keimanan ibu dan ayah dalam keluarga yang sangat baik. Sementara kedua anaknya merupakan anak-anak yang patuh dan berbakti terlihat dari keseharian kedua anaknya yang nyaris sepi masalah kenakalan remaja atau anak. Tentu saja penilain ini melalui pengamatan peneliti dan hasil diskusi dengan bapak Abdurahman dan ibu Zubaidah. 4.2.2 Kelancaran Komunikasi Dalam Keluarga Selama pengamatan yang dilakukan, peneliti melihat bentuk komunikasi yang sangat wajar. Komunikasi antara anggota keluarga juga terjalin wajar serta lancar. Keluarga bapak Abdurrahman dan ibu Zubaidah menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya. Secara verbal, peneliti tidak menemukan kejanggalan atau keanehan dalam keluarga ini berkomunikasi dan berinteraksi. Masing-masing mampu menerima pesan dan memberikan pesan serta mampu mencerna pesan dengan baik. Intonasi, nada suara serta perkataan yang digunakan semuannya berada pada kondisi dan batas normal dan kewajaran. Jika dilihat berdasarkan komunikasi antarpribadi yang dipergunakan dalam komunikasi keluarga ini, peneliti melihat semua unsur komunikasi 73 antarpibadi terpenuhi seperti; unsur sumber/penerima, pesan, umpan balik, gangguan. Ditambah komunikasi antarpribadi yang berlangsung dalam keluarga, sehingga kedekatan memberikan pengaruh yang baik dalam kelancaran komunikasi. Namun apakah tujuan komunikasi yang dilakukan ibu Zubaidah dan anak bungsunya yaitu dalam membentuk perilaku sholat anak dan rutinitas mengaji anak tercapai, masih perlu ditelaah lebih dalam. Kelancaran komunikasi dalam keluarga ini serta intensitas dalam berkomunikasi khususnya antara ibu dan anak merupakan salah satu alasan mengapa kemudian peneliti memilih keluarga ini. Ibu selain membantu suami menjalankan usaha mereka yang berlokasi di rumah mereka, ibu Zubaidah adalah seorang ibu rumah tangga yang mengurus semua kebutuhan keluarga. Ditambanh keluarga ibu Zubaidah tidak memiliki pekerja rumah tangga (PRT) yang membantunya, membuat hubungannya dengan anak-anaknya terjalin baik. Terutama komunikasi yang terjalin antara ibu dan anaknya berlangsung mulus tanpa halangan yang berarti. Secara keseluruhan peneliti menilai bahwa komunikasi dalam keluarga bapak Abdurrahman berlangsung lancar dan baik. 4.2.3 Pendidikan Agama Dalam Keluarga Pendidikan agama baik untuk anak maupun anggota keluarga lainnya dimulai dari pengetahuan-pengetahuan seputar hukum Islam dan kewajiban umat Islam. Seperti ibadah sholat, puasa, mengaji, patuh pada orang tua, dan pengetahuan Islam lainnya seperti sejarah para Rasul. Selain hal-hal yang bersifat pengetahuan, pendidikan agama dalam keluarga bapak Abdurrahman 74 juga dimulai dengan hal-hal yang selalu diamalkan dalam keluarga. Seperti memulai dengan doa setiap melaksanakan kegiatan. Ibu Zubaidah menerapkan pendidikan agama Islam pada anak-anak dengan menggunakan metode persuasi dalam berbagai hal. Termasuk dalam mengajarkan anak-anaknya sholat dan mengaji. Pendidikan agama anak-anak ibu Zubaidah selain diterima dari pelajaran sekolah, ditambahkan oleh ibu Zubaidah dan bapak Abdurrahman sendiri. Bahkan mereka meyakini bahwa pendidikan agama anak-anak mereka akan lebih kokoh dan kuat bila mendapatkan dari orangtuanya sendiri. Mereka memberikan pendidikan agama selain melalui komunikasi verbal namun juga dengan menjadi contoh pada anak-anak mereka. Perilaku yang akan dicontohkan pada anak-anak dibantu dengan nasehat dan bujukan merupakan metode pendidikan agama dalam keluarga ini. Selaku keluarga kecil dengan anggota keluarga berjumlah 4 orang, menurut ibu Zubaidah tidaklah begitu sulit dalam memberikan dan menerapkan pendidikan agama baik pemahaman meyangkut keimanan juga hal-hal seputar kewajiban pelaksanaan beribadah pada anaknya. Sejauh pengamatan peneliti kedua anak ibu Zubaidah dan Bapak Abdurrahman memang merupakan anak yang sangat patuh, ditambah kedua anaknya menunjukan sikap yang santun, menunjukan bahwa pernyataan ibu Zubaidah yang mengatakan bahwa pendidkan agama harus sudah dimulai dari dini dan keluargalah yang berperan penting tampaknya mampu dibuktikan sejauh ini. 75 4.3 Seputar Ibadah sholat Fardhu Lima Waktu dan Aktifitas Membaca Al Quran Setalah menjelaskan seputar keluarga objek penelitian, peneliti menganggap penting memberikan gambaran dan penjelasan ibadah yang akan diteliti. Yang mana ibadah sholat dan aktifitas membaca Al Quran merupakan bagian dari ibadah yang dilakukan keluarga bapak Abdurrahman. Ibadah sholat dan mengaji dijelaskan dan dikaji berdasarkan seruan wajibnya kedua ibadah tersebut yang tercantum dalam ayat suci Al Quran, dari hadist-hadist, juga apabila di kaji melalui pengertiannya. Juga dijelaskan oleh peneliti beberapa aspek yang berkaitan dengan sholat dan mengaji. Kata ibadah merupakan kata yang tidak asing bagi semua orang. Maknanya pun seragam dikenal menyangkut hal hubungan manusia dengan Sang Khalik. Sebelum menjelaskan pengertian ibadah, ada baiknya kita tinjau asal kata ibadah. Ibadah berasal dari bahasa Al Quran yakni Al abdiyah, Al ubudiyaah dan menyampaikan arti taat dan tunduk (Hasanah,2002:24). Dari asal kata ibadah inilah kemudian secara lebih jauh ibadah yang berawal dari taat dan tunduk, dimanifestsikan dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, juga beramal dengan yang diizinkan oleh syari’ Allah Swt (LPKID,2001:1). Ketaatan dan kepatuhan umat Islam dalam melakasanakan ibadah berawal pada pemahaman dan motivasi setiap individu, bisa saja terdapat kesamaan, namun banyak juga terdapat perbedaan pada setiap individu. Ada baiknya kita merujuk pada kitab suci Al Quran, dalam memberikan seruan 76 beribadah seperti ayat dibawah ini yang menyebut betapa pentingnya mencintai Allah Swt. : Artinya: “Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak saudara-saudara, istri-istri kamu dan keluarga kamu, harta kekayaan yang kau usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, ialah yang lebih kamu cinta dari pada Allah dan Rasul-Nya dan berjihatlah dijalan-Nya, maka tunggulah sampai aku mendatangkan keputusan…”. (QS.At-Taubah:24). Ketiga ayat suci Al Quran secara eksplisit juga implisit menyerukan bagi setiap umat Islam untuk tunduk menyembah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Selain kepatuhan dan ketundukan pada seruan Allah untuk menyembah-Nya, di sana juga terdapat ayat yang menyerukan untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ketiga ayat di atas kemudian menimbulkan kesimpulan yang menjelaskan bahwa ibadah terbagi atas 2 unsur, seperti yang dikemukan Nur Hasanah, yaitu: 1. Ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada perintah Allah. Berpegang teguh pada apa yang telah di syari’atkan oleh Allah dan apa yang telah diserukan oleh Rasul-Nya, baik itu yang berupa perintah maupun larangan, seruan yang bersifat menghalalkan atau mengharapkan dan inilah yang digambarkan dengan unsur taat dan tunduk serta patuh pada Allah Swt. 2. Rasa cinta pada Allah Sikap berpegang teguh ini ialah timbul dari rasa cinta kepada Allah. Karena tidak ada dalam wujud ini tidak ada yang lebih berhak dicintai, kecuali hanya Allah Swt. Dzat yang Maha Pencipta segala sesuatunya yang ada. Barang siapa yang mengenal Allah, pasti ia akan benar-benar cinta pada-Nya (Hasanah,2002:35-36). Unsur ketaatan, ketundukan dan rasa cinta pada Allah kemudian memperluas lagi elemen dalam ibadah. Selain kedua unsur di atas, diyakini ibadah memiliki content lainnya yang mengukuhkan perilaku ibadah. Jadi di 77 dalam ibadah selain ketaatan dan rasa cinta, juga di penuhi dengan keikhlasan dan didasarkan pada niat karena Allah Swt semata. Sholat merupakan salah satu ibadah yang paling utama yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Pelaksanaan sholat mencakup juga pada Taharah, karena dalam sholat terdapat syarat dan rukun sah sholat yang mewajibkan untuk bersih diri. Pengertian sholat menurut istilah syara’ ialah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikram dan diakhiri dengan memberi salam salam, dengan syarat-syarat tertentu (LPKID,2001:32). Sementara itu ada juga yang lainnya memberikan pengertian sholat yang kurang lebih sama, ditambah dengan mewajibkan dikerjakan pada waktu-waktu tertentu (Hasanah, 2002:210). Sebagai mana telah diketahui bahwa sholat merupakan ibadah yang juga menjadi identitas Islam seperti terkandung dalam rukun Islam, maka perintah untuk mendirikan sholat banyak sekali dijumpai dalam kitab suci Al Quran. Di bawah ini sejumlah perintah sholat yang terkandung dalam ayat-ayat Al Quran, antara lain: 1. Perintah sholat yang selalu di barengi dengan perintah zakat terdapat dalam ayat-ayat: al-Baqarah: 43,83,110; an-Nisa: 77; al-Hajj: 78; an-Nur: 56; ar-Rum: 31; al-Mujadilah:13; al-Anbiya’:73. berbunyi: Artinya: “…….tegakkan lah (LPKID,2001:33). Sholat dan tunaikanlah Zakat….”(QS.) 78 2. Perintah sholat untuk mengingat Allah Swt : Artinya: “sesungguhanya Aku ini adalah Allah dan tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha:14) 3. Perintah untuk sholat dan berpegang pada Kitabullah Al Quran: Artinya: “…Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab (Al Qu’an) dan dirikanlah sholat” (QS.al-Ankabuut:45.) Di atas merupakan sedikit dari begitu banyak perintah sholat yang diserukan dalam berbagai situasi dan kondisi. Perintah sholat selalu hadir dalam banyak seruan kebajikan. Ini menandakan bahwa setiap amal shaleh yang diperintahkan, sholat merupakan keutamaan yang tidak boleh dilalaikan. Itulah sebabnya keyakinan dan pelaksanaan sholat sudah harus ada pada setiap umat Islam sejak dini. Tak mengherankan kalau sholat seharusnya sudah menjadi ciri dan kepribadian umat Islam. Berdasarkan atas ini lah kemudian sholat harus mulai diterapkan sejak kecil, terutama pada sholat-sholat wajib yang merupakan ibadah ritual umat Islam. Al Quran sudah diketahui secara pasti pegangan, ilmu dan hukum yang mengatur umat Islam selain sunah. Al Quran yang memiliki 114 surah dan 6236 79 ayat, selain dikenal sebagai kitabullah yaitu kitab Allah dan mukjizat Nabi Muhammad Saw, Al Quran memiliki definisi yang lebih lengkap yang menerangkan Al Quran secara lebih komprehensif dan detail. Adapun definisi Al Quran ialah: Kalam Allah Swt yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad Saw dan yang ditulis di mushaf dan diriwiyatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah (DepAgRI,1967:17). Berdasarkan definisi Al Quran di atas dikemukakan bahwa membacanya selain merupakan ibadah juga sebagai kewajiban dan jati diri bagi umat Islam. Sebabnya untuk memperkenalkan agama iIslam pada siapa saja Al Quran akan maju lebih dahulu sebagai pengantar dan pegangan umat Islam, tidak terkecuali pada anak-anak. 80 BAB V ANALISIS 5.1 Analisis Proses Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak Dalam Memberikan Pemahaman Beribadah pada Anak Proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak merupakan proses komunikasi yang panjang karena menyangkut pembentukan perilaku dan pendidikan anak, seperti yang dilakukan ibu Zubaidah kepada anak-anaknya. Apabila kita kaitkan komunikasi persuasi ibu dan anak dengan definisi komunikasi persuasi yang dikemukan Kenneth E Anderson yang diterjemahkan Effendy (1981:103), maka proses komunikasi persuasi ibu dan anak diartikan sebagai proses komunikasi antarpribadi di mana ibu sebagai komunikator berupaya dengan menggunakan lambang-lambang untuk mempengaruhi kognisi anak sebagai penerima, dengan sengaja dilakukan untuk mengubah sikap atau kegiatan seperti yang diinginkan komunikator yaitu ibu. Namun definisi dari ahli di atas belum tentu benar-benar sesuai dengan kenyataan dilapangan. Seperti yang dilakukan oleh ibu Zubaidah yang memandang proses komunikasi persuasi dalam membentuk perilaku beribadah anaknya dengan tidak memaksa, tidak memberikan sanksi, membujuk secara verbal dan non verbal melalui nasehat dan memberikan contoh bersikap dan berperilaku. Secara detail mungkin terdapat perbedaan antara pendapat Anderson dengan ibu Zubaidah, namun pada dasarnya dan pada intinya komunikasi persuasi tetap dipandang sebagai komunikasi yang beroientasi pada tujuan tertentu yang sengaja dilakukan oleh komunikator. 81 Ibu Zubaidah mengaku bahwa tahapan awal dalam membentuk perilaku beribadah pada anaknya Azzahra dengan mencontohkan perilaku beribadahnya sehari-hari dan memberikan pemahaman seputar ibadah sholat dan membaca Al Quran. Selanjutnya baru beranjak ke tahap berikutnya dengan mengajarkan cara sholat dan mulai memperkenalkan mengaji pada Azzahra. Kemudian proses ini berjalan dengan sendirinya, seperti mulai dengan bacaan sholat dan aktivitas rutin belajar membaca Al Quran sampai kemudian meminta anaknya untuk terus melaksanakan dan tidak meninggalkan sholat dan terus belajar mengaji. Pada penjelasan proses pembentukan perilaku beribadah di atas, ibu Zubaidah mengaku tidak menggunakan paksaan. Pembentukan perilaku ibadah itu dilakukan dengan memberikan pemahaman secara terus menerus dan memotivasi anak dengan memberikan contoh yang baik dan nasehat-nasehat. Ini dilakukan ibu Zubaidah karena ia merasa yakin bahwa dalam mendidik anak, khususnya membentuk perilaku beribadah pada anak harus dilaksanakan secara Islami juga tentunya. Dalam Islam, membentuk perilaku, mengajak beribadah harus dilakukan dengan cara yang santun dan lemah lembut. Seperti yang tercantum pada ayat Al Quran dibawah ini: Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang didalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. (QS.AnNisaa:63) 82 Berawal dari keyakinan akan efektifnya pembentukan perilaku dan mengajak anak beribadah dengan cara yang santun dan lembut, maka ibu Zubaidah merasa bahwa bentuk paksaan belum diperlukan atau bahkan tidak diperlukan. Ditambah dengan prinsip Islami yang dijunjung tinggi ibu Zubaidah bahwa perintah beribadah dapat dilakukan dengan cara yang santun seperti yang tertera pada ayat di atas. Sementara apabila ditinjau melalui prinsip komunikasi persuasi yang dikemukan Dedy Jamaludin, yang menyatakan bahwa keberhasilan komunikasi persuasi terletak pada beberapa aspek yaitu antara lain: 1. Prinsip identifikasi 2. Prinsip tindakan 3. Prinsip familiaritas dan kepercayaan 4. Prinsip kejelasan situasi (Malik,1994:132-133). Kenyataan di lapangan yang diperoleh baik melalui wawancara dan observasi, yang dilakukan ibu Zubaidah tidak jauh berbeda dari beberapa prinsip komunikasi di atas. Sebut saja prinsip identifikasi yang mengarah pada proses identifikasi yang dilakukan oleh anak. Dengan melihat sikap dan perilaku beribadah ibunya, adik Azzahra dengan sendirinya memulai proses identifikasi, dengan melihat tata cara ibunya sholat atau dengan mendengarkan ibunya mengaji. Selanjutnya peran ibu dalam memberikan contoh sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku beribadah pada anak. Seperti yang dilihat peneliti bahwa saat ibu Zubaidah tadarus di bulan Ramadhan, ia mengajak anaknya ikut serta. Ke-ikut sertaan Azzahra yakni dengan meneruskan pelajaran mengajinya. 83 Prinsip identifikasi ini merupakan salah satu metode persuasi non verbal paling ampuh yang dinila olehi ibu Zubaidah. Menurutnya menjadi contoh atau tauladan bagi anak-anaknya adalah upaya persuasi non verbal paling efektif dalam membentuk perilaku sholat dan mengaji pada anaknya selama ini. Anak akan dapat memahami dan memaknai sholat sebagai bagian terpenting dalam hidup ibunya sehingga hal itu pun akan menjadi penting pada pada dirinya. Selanjutnya proses identifikasi yang dilakukan anak pada perilaku beribadah ibunya, merujuk pada tindakan konkrit. yang membuktikan bahwa nasehat atau penjelasan ibunya akan sholat tidak sekedar retorika semata. Anak dapat melihat dengan tindakan ibunya yang dengan selalu memberikan contoh bahwa selaku umat Islam tidak boleh meninggalkan sholat terkecuali pada kondisi tertentu. Perilaku beribadah ibu khususnya sholat dan mengaji, menunjukan bahwa perbuatan ibu Zubaidah sejalan dengan prinsip komunikasi persuasi yang kedua yakni prinsip tindakan. Sementara apabila dilihat dari prinsip komunikasi yang ketiga yang dikemukan oleh Dedy Jamaluddin, prinsip familiaritas dan kepercayaan, status hubungan keduanya sudah menjadi poin lebih yang sedikitnya membuat komunikasi persuasi mampu berjalan lancar. Kepercayaan dan kedekatan antara ibu dan anak merupakan sebuah naluri yang sudah ada sejak dalam kandungan, sehingga kedekatan dan kepercayaan di antara ibu Zubaidah dan anaknya Azzahra sudah tidak perlu di pertanyakan lagi. Perilaku beribadah merupakan tujuan utama dari proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu Zubaidah dan Adik Azzahra. Namun dalam proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak, khususunya adik Azzahra 84 akan mulai memahami sholat sebagai sesuatu yang penting dilaksanakan melalui interaksi dan komunikasinya dengan ibunya seta anggota keluarga yang lain. Khususnya melalui komunikasi persuasi yang dilakukan ibunya, adik Azzahra mulai memaknai ibadah. Interaksi dan juga komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dalam membantu anaknya memahami makna sholat dan mengaji akan mempengaruhi perilaku beribadah pada anak. Makna sesuatu itu akan menetukan perilaku seseorang merupakan pandangan interaksi simbolik yang dikemukan Blumer. Pamahaman akan sholat dan belajar membaca Al Quran diterima adik Azzahra salah satunya melalui proses komunikasi persuasi dengan ibunya. Melalui nasehat-nasehat yang memotivasi juga gambaran atau cerita seputar ibadah serta hukum sholat dan mengaji atau pun melalui contoh perilaku yang diberikan ibu Zubaidah akan membentuk pemahaman Azzahra akan ibadah, yang kemudian memberikan makna dalam dirinya. Berdasarkan hal-hal yang telah dilakukan ibu Zubaidah di atas, Azzahra mengaku memaknai ibadah sebagai hal yang wajib dan akan berdosa apabila tidak melaksanakannya. Hanya saja peneliti melihat bahwa pengertiannya akan dosa dan konsekuensi dosa yang diketahuinya masih sangat sedikit. Sehingga berdosa merupakan hal yang buruk dan akan masuk neraka apabila berdosa. Akan tetapi hal ini masih sebatas pengetahuan saja. Sehingga esensi dan konsekuensi akan dosa masih belum dipahaminya. Sejauh Azzahra memaknai sholat dan membaca Al Quran adalah wajib dan melaksanakannya tanpa paksaaan sudah menjadi sebuah pertanda bahwa komunikasi persuasi ibu dan anak dalam memberikan pemahaman beribadah anak, sudah mampu membentuk perilaku beribadah pada anak. Dari sekian 85 banyak hal yang membuat seseorang memberikan makna atau definisi terhadap sesuatu, adalah interaksi yang dilakukan seseorang. Interaksi yang dilakukan seseorang akan membantunya memberikan makna pada sesuatu. Sebut saja Azzahra akan memberikan makna pada sholat dan mengaji yang salah satunya ditentukan dari interaksi yang ia lakukan, interaksi sosialnya atau dalam skala yang lebih kecil interaksi dengan keluarganya. Atau lebih khususnya lagi yaitu interaksi pribadi dengan ibunya. Komunikasi persuasi yang terjadi dalam interaksi Azzahra dengan ibunya, membantunya memaknai ibadah berdasarkan makna-makna yang dibentuk bersama ibunya. Seperti yang dikemukan oleh Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss bahwa komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih (Mulyana,2001:69). Di sini Azzahra memberikan makna pada ibadah melalui penggunaan bahasa atau simbol-simbol yang persuasif yang selama ini dijumpai saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan ibunya. Juga melalui objek sosial (perilaku manusia) khususnya perilaku ibunya dalam beribadah. Proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu Zubaidah dan anaknya Azzahra dapat dikatakan sebagai usaha Azzahra dalam menegosiasikan makna melalui pesan-pesan persuasi yang diberikan ibunya. Atau pun melalui perilakuperilaku beribadah ibu sehari-hari. Sehingga diharapkan Azzahra memaknai ibadah sesuai yang ia temui saat berinteraksi dengan ibunya. Khususnya memaknai sholat dan mengaji melalui proses komunikasi persuasi antara dia dan ibunya. 86 5.2. Analisis Upaya Ibu dalam Menyampaikan Pesan pada Anak Berdasarkan Pemaknaan Ibu Atas Ibadah Sedikit telah dijelaskan di atas bagaimana upaya ibu dalam menyampaikan pesan dalam proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu, yakni dengan memberikan nasehat-nasehat seputar hukum dan tata cara beribadah. Selain dengan menyampaikan pesan-pesan verbal yang membujuk serta memotivasi anak, ibu juga menggunakan metode lain yakni memberikan contoh perilaku beribadah sehari-hari agar lebih nyata dan mudah dipahami anak sebagai sebuah kewajiban 1. Ibu Zubaidah memandang dan memahami bahwa sholat dan mengaji merupakan ibadah ritual sehari-hari yang paling awal yang harus dilaksanakan dan diajarkan pada anak, disamping ibadah-ibadah lainya 2. Dengan pemahaman akan wajibnya sholat dalam hidup umat Islam, maka ibu Zubaidah memilih menanamkan nilai dan pengetahuan yang kuat pada anaknya sebelum nanti mulai mewajibkan melaksanakannya setiap waktu. Menurutnya, paksaan yang mewajibkan anak dalam melaksanakan ibadah sholat dan mengaji akan mengecilkan dan mempersempit nilai ibadah di mata anak-anak. Jadi melalui pemahamannya akan sholat dan makna sholat yang telah diketahuinya, ibu Zubaidah yakin bahwa metode ini akan berhasil jika niat dan usaha yang dilakukan sudah benar dan gigih. Dalam hal menegakkan perintah sholat pada anaknya, dengan membentuk perilaku beribadah pada anaknya, ibu Zubaidah juga memarahi anaknya apabila anaknya dengan sengaja meninggalkan sholat. Saat anak meninggalkan kewajiban sholatnya, ibu Zubaidah memperingatinya atau 87 memarahinya dengan kata-kata yang berupa nasehat, yang pada akhirnya ibu Zubaidah akan menjelaskan nilai sholat dan hukum sholat serta kebaikan dan keburukan jika meninggalkan sholat. Namun diyakini oleh keduanya yakni ibu dan anak ini bahwa tidak ada sanksi sejauh ini yang menyertai marahnya 3 ibu Zubaidah saat anaknya tidak sholat. Juga tidak menggunakan bentakan, teriakan atau kata-kata kasar dalam memarahi anaknya. Penekanan untuk sholatlah yang dipertegas ibu Zubaidah saat meminta anaknya untuk sholat apabila anaknya melupakan sholat. Semua upaya ibu Zubaidah di atas didasari atas pemahamannya akan Islam yang menginginkan mengajarkan dan membentuk perilaku sholat anak dengan tanpa paksaan sebagai tahapan awal sebelum melangkah ke tahap selanjutnya yang memerlukan paksaan apabila melalui imbauan tidak berhasil. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah as. dibawah ini: “Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah jika ia tidak shalat pada usia 10 tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR Bukhari & Muslim) Telah diketahui di atas bagaimana upaya ibu membentuk perilaku beribadah pada anaknya, selanjutnya yang perlu diketahui di sini bagaimana ibu memaknai ibadah itu sendiri. Hal ini erat kaitannya pada proses komunikasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah pada anak, karena ibu selaku komunikator pada proses komunikasi persuasi akan memberikan pesan-pesan yang mempengaruhi anak dalam memaknai ibadah. 88 Sholat dan mengaji yang dimaknai ibu Zubaidah diakuinya sama seperti pada umumnya yakni sebagai perintah Allah Swt. yang wajib dilaksanakan. Selaku perintah yang paling banyak diserukan dalam Al Quran, sholat menduduki ibadah urutan pertama bagi umat islam. Makna itulah yang kemudian coba ditransfer oleh ibu Zubaidah pada anaknya Azzahra melalui komunikasi persuasi. Sejauh pengakuan ibu Zubaidah ia mengetahui tanggapan anaknya dan pemahaman anaknya atas sholat dan membaca Al Quran. Hal ini lah yang kemudian membuatnya lebih toleran terhadap pelaksanaan ibadah pada anaknya Azzahra. Asumsi interaksi simbolik menganggap bahwa setiap manusia akan memaknai sesuatu sesuai dengan penafsiarannya terhadap sesuatu, membuat setiap orang memliki perbedaan dalam menafsirkan sesuatu. Ibu menafsirkan perilaku beribadah yang ia lakukan berbeda dengan yang ditafsirkannya saat membentuk perilaku beribadah pada anaknya. Beribadah yang diajarkan pada anaknya masih sebatas proses pelajaran dan membentuk perilaku, belum masuk pada bentuk ibadah yang sesungguhnya yaitu ibadah yang secara sah telah memiliki konsekuensi hukum. Hal ini karena ibu memandang ibadah pada anaknya masih tahap membiasakan belum mewajibkan karena konsekuensi hukum wajib sholat. Karena Azzahra masih dalam status belum baligh, sehingga begitu banyak toleransi yang diberikan. Dan proses komunikasi persuasi yang menurut Onong U. E (1979) adalah proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikilogis, sehingga orang tersebut bertindak 89 atas kehendaknya sendiri. Masih dinilai layak menjadi metode komunikasi yang tepat digunakan dalam membentuk perilaku beribadah anak. Menurut ibu Zubaidah ibadah ialah kewajiban individu bagi setiap umat islam. Namun apabila dikaitkan dengan peran dan tanggung jawabnya sebagai ibu, maka sholat dan mengaji dipandang sebagai hal yang paling utama yang harus diajarkan pada anak sejak dini. Pendapat ibu Zubaidah ini di dukung dengan pemahamannya dalam mendidik anak dengan tanpa kekerasan dan paksaan. Ibu Zubaidah menambahkan bahwa ia memandang, membentuk perilaku beribadah pada anak dengan paksaan akan mengecilkan nilai dan makna ibadah, sehingga menurutnya lagi akan lebih baik apabila memberikan kesempatan bagi anak untuk memaknai sholat dan mengaji tanpa adanya unsur pemaksaan sehingga akan memberatkan atau membebaninya untuk sholat dan mengaji, pada akhinya akan mengecilkan esensi dari sholat dan mengaji 4. Upaya ibu Zubaidah dalam membentuk perilaku beribadah pada ananknya Azzahra dilakukan dengan komunikasi persuasi karena ia yakin melalui cara yang demkian, selain membentuk perilaku beribadah pada anaknya, ia secara tidak langsung mendidik dan memberikan contoh pada anaknya akan pentingnya sopan santun serta etika dalam berkomunikasi. Sehingga selain membentuk perilaku sholat dan mengaji pada anaknya ia juga membentuk perilaku berkomunikasi yang Islami pada anaknya, sekalipun komunikasi yang dilakukan bertujuan untuk mengubah dan membentuk perilaku seseorang. 90 Bicara komunikasi yang Islami Djamarah meyebutkan ada enam bentuk etika dalam berkomunikasi, khususnya dalam bertutur kata. Yang mana keenam etika tersebut antara lain: 1. Qawlan Karima (Perkataan yang Mulia) 2. Qawlan Sadida (Perkataan yang Benar/Lurus) 3. Qawlan Ma’rufa (Perkataan yang Baik) 4. Qawlan Baligha (Perkataan yang Efektif/Keterbukaan) 5. Qawlan Layyina (Perkataan yang Lemah Lembut) 6. Qawlan Maisura (Perkataan yang Pantas)(Djamarah, 2004:105114). Enam etika dalam bertutur kata di atas, seharusnya dikenal dan diaplikasi oleh setiap umat Islam karena keenamnya secara implisit dan ekspilisit terdapat dalam ayat-ayat suci Al Quran, dimana di bab sebelumnya dalam skripsi ini telah dijelaskan. Apabila dikaitkan dengan upaya ibu Zubaidah dalam membentuk perilaku sholat dan mengaji anaknya melalui penyampaian pesan-pesan yang persuasif maka berdasarkan hasil observasi dijumpai beberapa hal yang sesuai dengan etika bertutur kata di atas. Seperti yang disaksikan peneliti, saat ibu Zubaidah mengajari Azzahra mengaji. Ibu Zubaidah menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan teknis mengaji seperti cara baca, bunyi yang keluaran dari salah satu huruf saat mengaji dan beberapa hal lainnya dengan beberapa perkataan yang lembut. Lain lagi yang diakui ibu Zubaidah saat diwawancara yang menyatakan bahwa ia mencoba menjelaskan hukuman yang dapat diterima nanti dengan 91 mengguna kata-kata yang ia nilai pantas dan di dimengerti anaknya. Juga pada saat ia meminta anaknya untuk segera melaksanakan sholat, ia menggunakan kata-kata yang menurutnya cukup membuat anak termotivasi atau kata-kata yang efektif. Upaya yang di lakukan ibu Zubaidah dalam membentuk perilaku sholat dan mengaji pada anaknya sejauh ini, menurutnya masih belum sempurna karena masih banyak hal yang ingin direalisasikan guna meyempurnakan perilaku beribadah anaknya, sehingga tidak hanya ia melaksanakan dengan kesadarannya sendiri, tetapi juga istiqomah dalam melaksanakan. Namun ia akan tetap mendidik dan membentuk perilaku beribadah anaknya dengan caracara yang persuasif sesuai dengan pemahamannya dan pengetahuannya. Belum istiqomah-nya anak dalam beribadah karena kurang dalamnya makna ibadah yang ada pada anak. Ditambah dalam belajar mengaji anak belum disiplin setiap hari melakukannya. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi dari upaya ibu yang diakui ibu Zubaidah belum maksimal. Upaya ibu juga belum maksimal dalam menegakkan sholat yang sempurna pada anak yang sejauh ini masih belum menghafal semua bacaan wajib sholat. Hal ini dikarenakan toleransi ibu pada anaknya sebagai bentuk kekurangan dari komunikasi persuasi. 5.3. Analisis Tanggapan Anak dalam Memaknai Ibadah ( Sholat 5 waktu dan Belajar Membaca Al Quran) Melalui Pesan yang Disampaikan Ibu Perspektif interaksi simbolik yang mencoba memahami perilaku seseorang berdasarkan sudut pandang subjek yang diteliti membuat kita perlu melihat 92 bagaimana adik Azzahra memandang ibadah yang disebutnya sebagai sebuah kewajiban. Respon yang ia berikan pada upaya-upaya ibunya dalam membentuk perilaku beribadahnya, juga responnya akan situasi komunikasi yang ia rasakan selama ini berdasarkan bagaimana ia memandang sholat dan mengaji itu sendiri. Statusnya sebagai anak mewajibkannya akan banyak hal terhadap ibunya, salah satunya yang paling penting ialah kepatuhannya pada ibunya. Hal ini juga menjadi sebuah situasi yang akan menentukan perilakunya. Boleh saja ia memandang bahwa sholat dan mengaji sebagai kewajiban, namun hal ini tidak serta merta mampu membuatnya melaksanakan sholat dan mengaji berdasarkan kesadarannya. Namun dibalik pemahaman yang diberikan ibunya akan wajibnya sholat dan mengaji, ada situasi-situasi tertentu yang membuatnya melaksanakan sholat. Seperti yang dikemukan Blumer bahwa seseorang akan memperhitungkan apa yang sedang dilakukannya, Azzahra juga secara sadar atau tidak disadarinya akan memperhitungkan perilaku beribadahnya sebagai sebuah kewajiban pada perintah agama atau pun kewajibannya sebagai seorang anak yang akan mematuhi dan menjalankan nilai yang diberikan ibunya. Terbatasnya pengetahuannya mengenai kewajiban dan konsekensi hukum saat meninggalkan sholat membuat ia tidak hanya memaknai sholat dan mengaji sebagai kewajiban umat islam, tetapi juga sebagai bentuk pembuktiannya sebagai anak yang patuh pada ibunya. Pesan yang disampaikan ibunya dapat saja dimaknai sebagai pelajaran dan juga imabauan halus atau pun perintah baginya untuk melaksanakan sholat dan mengaji. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, makna sholat dan 93 mengaji yang ada diri Azzahra diinterpretasikan sebagai sebuah kewajiban umat islam seperti yang selalu dikatakan ibunya dan juga yang selalu dilihatnya dari perilaku beribadah orang tuanya dan kakaknya. Selain itu sholat juga dimaknainya sebagai bentuk pembuktian akan kepatuhannya pada ibunya. Makna sholat dan mengaji yang masih begitu sederhana tanpa rasa takut akan dosa yang menjanjikan siksaan dikemudian hari, juga memaknai sholat bukan sebagai kebutuhan yang dirasakan sebagian besar umat islam yang sudah lebih dewasa dan paham esensi sholat sebagai perintah Allah Swt yang paling banyak diserukan dalam Al Quran, sehingga membuat adik Azzahra masih belum melaksanakan secara konsisten dan masih sering meninggalkan sholat dengan atau tanpa sengaja. Diakui oleh Azzahra bahwa dia masih sering meninggalkan sholat saat asyik bermain sehingga kelupaan 5. Tetapi, umi begitu ia biasa memanggil ibunya selalu mengingatkan jika ia kelupaan. Sementara sholat subuh yang mengharuskannya bangun pagi merupakan sholat yang paling sering ketinggalan karena mengantuk dan susah bangun. Namun apabila ibunya membangunkannya ia akan tetap sholat, meskipun sering kali meninggalkan sholat subuh. Dan alasannya pun saat meninggalkan sholat adalah mengantuk sehingga membuatnya malas melaksanakan sholat. Sholat isya’ juga kadang dilakukan melewati jauh dari waktu masuknya isya’ karena menonton TV sampai akhirnya ia mengantuk. Azzahra memahami sholat sebagai hal yang wajib dilakukan sesuai yang selalu dikatakan oleh ibunya. Sehingga pemahaman atas wajibnya sholatlah yang membuat ia melaksanakan sholat. Sementara mengaji diakuinya bahwa 94 masih dalam tahap belajar yang saat ini sudah sampai ke tingkatan Al Quran yakni surah Al Baqarah. Beberapa bacaan wajib sholat juga masih terus menghafal bersama ibunya. Selebihnya hal-hal seputar sholat seperti kewajiban akan ber-wudhu, ber-mukenah, mengahadap kiblat serta jumlah rakaat sudah dipahaminya. Dalam menanggapi metode yang diterapkan ibunya yakni dengan komunikasi persuasi, adik Azzahra sama sekali tidak merasa keberatan. Menurutnya, ibunya selalu “biasa saja” 6 saat memintanya sholat. Maksud dari biasa saja di sini ialah tidak dengan paksaan, tidak selalu marah jika ia meninggalkan sholat dan hanya memarah sesekali pada kondisi tertentu itu pun memarahinya hanya dengan nasehat dan arahan-arahan saja, selalu menasehati setiap ada kesempatan, dan masih sering sekedar mengingatkan untuk melaksanakan sholat. Sementara cara mengingatkannya juga hanya bertanya dan meminta untuk segera sholat, tanpa paksaan apalagi sanksi. Sedangkan mengaji, Azzahra mengaku ibunya yang mengajarkannya. Sementara intensitas atau waktunya masih ditentukan oleh ibunya. Menanggapi semua pesan yang disampaikan ibunya, Azzahra mengaku tidak selalu mengerti dengan apa yang disampaikan ibunya. Ada hal-hal yang disampaikan ibunya yang terkadang tidak dimengertinya namun banyak juga pesan-pesan ibu yang dapat ia dimengerti. Apabila ia merasa perlu bertanya, maka ia akan meminta ibunya jawaban yang dapat dimengertinya. Namun satu hal yang pasti, kepercayaannya pada ibunya membuatnya dengan suka rela mematuhi atau mendengarkan setiap perkataan ibunya. 95 Keterbatasan daya tanggap yang membuat Azzahra kadang tidak mengerti dengan penjelasan ibunya juga mempengaruhinya dalam memaknai ibadah sholat dan mengaji. Ketidakmengertian Azzahra pada pesan-pesan yang disampaikan ini dapat diketegorikan sebagai salah satu hambatan komunikasi persuasi yakni gangguan sematik yang membuat komunikan kesulitan memahami atau mengerti pesan yang disampaikan yang berupa kata-kata, istilah atau simbol-simbol lainnya. Selain kesulitan dalam mengerti dan memahami pesan, gangguan sematik juga juga dikenal sebagai hambatan komunikasi persuasi yang dapat membuat komunikan salah mengerti dan salah paham. Dalam kasus Azzahra ini, ketidak mengertiannya tidak memberikan pengaruh yang besar pada upaya ibu. Hal ini disebabkan kepercayaannya pada ibunya yang yakin bahwa ucapannya selalu berisikan hal-hal yang baik untuknya. Namun meski tidak berpengaruh yang besar, pengakuan adik Azzahra yang kadang kala tidak mengerti apa yang disampaikan ibunya, berpengaruh buatnya dalam memaknai ibadah itu meskipun sedikt. Mungkin ketidakmengertian Azzahra pada beberapa pesan ibu yang belum membuatnya konsisten dalam menjalankan sholat. 5.4. Analisis Peneliti atas Komunikasi Persuasi Inu dan Anak dalam Membentuk Perilaku Beribadah Pada Anak. Pada bagian ini selanjutnya peneliti mencoba memberi analisis sebagai hasil dari proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu yaitu pelaksanaan ibadah sholat lima waktu dan aktifitas belajar membaca Al Quran yang 96 konsisten pada anak. Disini peneliti memberikan analisis proses komunikasi persuasi yang dilakukan oleh ibu Zubaidah pada anaknya. Secara terbuka ibu Zubaidah mengatakan bahwa masih banyak hal yang belum terealisasikan atas usahanya dan masih banyak yang ingin dicapai 7 kedepannya pada perilaku beribadah anaknya. Namun di sini dengan analisis dan penilain subejktif oleh peneliti mencoba memaparkan informasi yang diperoleh khususnya dari hasil observasi yang dilakukan peneliti kurang lebih 4 bulan. Selain itu juga peneliti mencoba menganalisis hasil observasi dengan dibantu dengan studi kepustakaan dan juga hasil wawancara dengan narasumber. Proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu Zubaidah dan anaknya dalam membentuk perilaku beribadah anaknya Azzahra merupakan proses komunikasi yang panjang dan intensif. Dilakukan setiap waktu kapan saja dan dimana saja selama keduanya berkesempatan berkomunikasi. Lebih spesifiknya terlibat dalam komunikasi yang berkaitan denga paelaksanaan sholat dan mengaji. Sehingga intensitas dan proses komunikasi yang cukup lama memungkinkan ibu memasukkan nilai-nilai, pemahaman akan sholat dan mengaji dengan metode persuasi lebih tepatnya melalui komunikasi persuasi. Waktu meruapakan sebuah kelebihan yang mampu menutupi kekurangan dari komunikasi persuasi yang dinilai membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengubah atau membentuk perilaku. Selain memliliki kelebihan akan intensitas dan waktu, kedekatan antara ibu dan anak juga dinilai mampu membuat anak selaku subjek yang dibentuk perilaku ibadah lebih mudah percaya. Seperti yang 97 dikemukan Aristoteles yang dikutip Jalaludin Rakhmat bahwa pentingnya komunikator dalam proses komunikasi persuasi menyebutkan: Persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicara yang ketika ia menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya. Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang-orang baik dari pada orang lain : ini berlaku pada masalah apa saja dan secara mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak benar pendapat penulis retorika bahwa kebaikan personal yang diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuasaan persuasinya: sebaliknya karakteristiknya hampir bisa disebut sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya (Rakhmat 2001:255) Selain kedekatan ibu dan anak mampu membuat anak percaya dan yakin dengan pesan-pesan yang disampaikan ibu, kedekatan antara ibu dan anak memudahkan ibu membentuk perilaku beribadah pada anak karena ibu sebagai orang yang notabene paling dekat dengan anak paham dan mengenali karakter anak sepenuhnya. Sehingga proses komunikasi persuasi yang berlangsung akan disesuaikan dengan pengetahuan ibu akan anaknya. Proses komunikasi persuasi yang berlangsung membantu seseorang bertindak atau berperilaku berdasarkan dorongan dari dalam. Salah satu dorongan dari dalam diri seseorang itu ialah cara pandangnya terhadap sesuatu. Cara pandangnya terhadap sesuatu sesuai dengan bagaimana seseorang maknai sesuatu. Makna yang timbul pada diri seseorang akan menentukan sikap dan perilaku seseorang. Dalam beberapa premis yang diungkapkan Blumer, menyebutkan makna merupakan basis dari perilaku, apabila makna berubah, maka perilaku juga akan berubah (Mulyana,2002:231). Melalui proses komunikasi persuasi, makna akan terbentuk sebelum seseorang digiring berperilaku secara sadar atau pun tidak kearah sesuai keinginan persuader. 98 Upaya yang dilakukan ibu Zubaidah menyangkut pembentukan perilaku sholat dan mengaji pada anak memang belum sempurna seperti yang diakui ibu Zubaidah, namun dapat dikatakan berhasil apabila melektakkan tolok ukur keberhasilan dari Azzahra melaksanakan ibadah tanpa merasa terpaksa. Sejauh pengamatan peneliti, Azzahra tidak merasa bahwa kewajiban sholat ini sebagai sebuah beban. Namun ia juga belum mampu memaknai sholat sebagai sebuah kewajiban yang akan berdosa apabila ditinggal. Memang berdasarkan wawancara dengan peneliti ia menyebutkannya bahwa akan berdosa apabila ditinggalkan. Akan tetapi hal ini hanya merupakan sekedar kutipan ucapan ibunya saat memberikan penjelasan. Jelas ia belum mengerti bahwa dosa adalah sebuah kredit hukuman besar di akherat nanti. Meski ibunya telah menjelaskan sedikit tentang neraka yang sangat buruk dan menakutkan sebagai bentuk hukuman apabila berdosa saat meninggalkan sholat atau tidak ingin mengaji. Namun hal ini belum mampu dipahami Azzahra, ia hanya sekedar mendengarkan ibunya. Hal itulah yang masih membuatnya masih malas dan belum istiqomah dalam melaksanakan sholat. Namun melaksanakan sholat berdasarkan kesadaran pribadinya menunjukkan bahwa Azzahra telah memaknai sholat bukan sebagai sebuah gangguan atau beban. Menurut peneliti makna ibadah yang ada dalam diri adik Azzahra masih sebatas kewajiban akan umat Islam seprti ditunjukan ibunya dan sebagai bentuk kepatuhannya pada orang tuanya. Makna yang ada pada Azzahra ini yang membetuk perilaku beribadah Azzahra terutama sholat masih belum konsisten. Seperti seringnya ia melupakan sholat saat asyik bermain dan lainnya. Sementara aktifitas mengaji tetap 99 diyakininya sebagai sebuah kewajiban, karena masih melalui proses belajar dan karena yang mengajarkan ibunya, maka pelaksanaannya masih sesuai dengan ibunya. Namun berdasarkan pengakuan ibunya, sesekali ia dengan suka rela ikut mengaji apabila ibunya sedang mengaji sendiri. Upaya ibu dalam membentuk perilaku beribadah pada anaknya melalui proses komunikasi persuasi bergantung pada pemahaman ibu dan cara pandang terhadap sholat dan mengaji itu sendiri. Sejauh ini ibu merasa bahwa menyangkut kewajibannya sebagai ibu, ibadah merukapakan hal utama terpenting yang harus di ajarkan pada anak. Menyangkut hal itu, maka ibu memulai membentuk perilaku beribadah pada anaknya khususnya sholat dan mengaji sejak anak usia 5 tahun. Komunikasi persuasi yang dipilih sebagai metode berdasarkan pemahaman ibu akan sholat dan mengaji yang diyakini ibu wajib dilaksanakan dengan benar sesuai syarat dan hukumnya. Selain itu ibu Zubaidah juga menganggap sholat dan mengaji sama seperti pada umunya sebagai perintah Allah Swt. Peneliti menilai makna sholat yang disebutkan ibu sebagai ibadah individu seperti di atas, juga makna sholat apabila menyangkut pada tanggung jawabnya sebagai ibu, membuat ibu menerapkan komunikasi persuasi sebagai upaya dalam membentuk perilaku pada anak-anaknya. Ibu Zubaidah ingin anaknya yakni Azzahra memaknai sholat dan mengaji bukan sebagai sebuah beban atau paksaan sehingga saat ia melaksanakan sholat dan mengaji. Tetapi ia ingin anaknya memandang sholat sesuai dengan maknanya yakni kewajiban umat Islam. Pandangan bahwa makna sholat dan mengaji akan sempit apabila 100 memaksakan pelaksanaan sholat dan mengaji sehingga mempersempit esensi sholat, membuat ibu Zubaidah yakin akan metode persuasi sudah yang paling tepat. Akan tetapi, peneliti menilai komunikasi persuasi memiliki sifat toleran yang besar, sehingga dikhawatirkan banyak dan besarnya toleran yang ada tidak mampu membentuk perilaku beribadah yang konsisten. Namun Kenyataan dilapangan memperlihatkan bahwa proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu Zubaidah dalam upayanya membentuk perilaku bieribadah anaknya tidaklah murni sebuah komunikasi persuasi yang bersih akan instruksi. Pertanyaan ibu Zubaidah pada anaknya mengenai apakah Azzahra sudah melaksanakan sholat, dinilai peneliti sebagai bentuk instruksi halus yang dilakukan ibu. Hal ini didasari atas pengamatan peneliti saat melihat ibu Zubaidah bertanya pada Azzahra. Dengan segera Azzahra melaksanakan sholat layaknya telah mendapat sebuah perintah. Namun peneliti melihat pelaksanaan sholat yang dilakukan Azzahra memang tidak mencerminkan adanya keterpaksaan. Hal inilah yang membuat peneliti menilai bahwa perilaku sholat pada anak sesuai dengan pemahaman anak yang memandang sholat sebagai bentuk kewajiban tanpa perlu dipaksa. Upaya ibu Zubaidah dengan memberikan contoh sikap dan perilaku dalam beribadah merupakan sebuah metode yang menurut peneliti paling efektif. Karena melalui contoh yang diberikan ibu menguatkan pernyataan dan sangat mencerminkan keseriusan akan pentingnya sholat dan juga mengaji. Nasehat, atau pernyataan yang memotivasi serta penjelasan seputar yang juga sebagai media komunikasi persuasi ibu dalam membentuk perilaku sholat dan 101 mengaji sejauh pengamatan peneliti sesudah mencerminkan sifat dari persuasi itu sendiri yakni membujuk dan menghimbau. 102 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Dalam penelitian yang telah beberapa bulan dilakukan oleh peneliti, akhirnya beberapa kesimpulan dapat ditarik berdasarkan fakta dan realita yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi kepustakaan serta analisis yang dilakukan peneliti atas proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu Zubaidah pada anaknya Syarifah Azzahra dalam membentuk perilaku beribadah sholat wajib lima dan aktivitas belajar membaca Al Quran. Kesimpulankesimpulan itu antara lain: 1. Peneliti menyimpulkan bahwa proses komunikasi persuasi ibu Zubaidah dan anaknya Syariffah Azzahra untuk membentuk perilaku beribadah anak dilakukan dengan intensif dan dalam kurun waktu yang lama kurang lebih 4 tahun. Komunikasi persuasi berlangsung pada ibu dan anak setiap kali memiliki kesempatan untuk berdiskusi seputar ibadah. Selanjutnya peneliti meyimpulkan proses komunikasi persuasi memberikan kesempatan bagi keduanya memaknai ibadah berdasarkan interaksi dan komunikasi persuasi yang dilakukan keduanya, sehingga anak khususnya mampu memaknai ibadah sebagai kewajiban. 2. Peneliti menyimpulkan bahwa upaya ibu dalam menyampaikan pesan imbauan kepada anak berdasarkan pemaknaan ibu atas ibadah dengan memberikan pemahaman beribadah (sholat lima waktu dan aktifitas belajar membaca Al Quran) kepada anak dilakukan melalui proses 103 identifikasi dimana ibu menjadi contoh bagi anaknya. Ibu memberikan contoh dalam perilaku beribadah ibu sehari-hari karena ibu memaknai sholat sebagai kewajiban dan akan ditiru juga oleh anak sebagai bagian dari kewajibannya juga. Sehingga anak akan melaksanakan sholatnya layaknya sholat yang dilakukan oleh ibu. Selain itu juga dilakukan dengan nasehat-nasehat, penjelasan-penjelasan seputar ibadah. 3. Tanggapan anak dalam memaknai ibadah melalui pesan imbauan yang disampaikan ibu, anak menanggapi segala upayanya dengan positif, yakni ia memandang bahwa upaya ibu bukan sebuah pemaksaan dan upaya ibu ditanggapai dengan sikap dan perilaku yang mematuhi keinginan ibunya. Khusus sholat anak memperlihatkan perilakunya dalam melaksanakan sholat dengan tanpa beban atau tanpa merasa terpaksa. Meskipun demikian anak memaknai sholat sebagai kewajibannya selaku umat Islam dan kewajibannya pada orang tuanya sehingga perilaku sholatnya belum konsisten karena tidak ada sanksi atau ketakutan yang lain saat meninggalkan sholat. 6.2 Saran Adapun saran peneliti kepada ibu Zubaidah dan anak berdasarkan dari hasil penelitian yang ditemui, peneliti menyarankan: 1. Dalam komunikasi persuasi ibu Zubaidah sebaiknya lebih menitik beratkan pada konsekuensi sholat dan mengaji yang apabila ditinggalkan akan membuat anak berdosa. Dan menjelaskan dosa sebagai hal yang buruk sehingga anak takut akan dosa dan akan istiqomah melaksanakan 104 sholat. Serta lebih disiplin dalam belajar mengaji dengan menetapkan jadwal yang tetap sehingga anak mulai memiliki tanggung jawab yang besar atas ibadah mengaji khususnya untuk tidak meninggalkan membaca Al Quran dalam kesehariannya. 2. Bagi adik Azzahra peneliti penyarankan untuk lebih memahami pesanpesan yang disampaikan ibunya. Juga menyarankan keterbukaan atas hal-hal yang kurang dimengerti olehnya. Sehingga kedepannya ia mampu memaknai ibadah lebih dalam dan lebih tepat sehingga akan istiqomah dalam melaksanakan sholat dan mengaji. 3. Ibu Zubaidah pernah mengaku bahwa upayanya belum maksimal dan masih banyak yang belum direalisasikan, peneliti menyarankan upaya ibu Zubaidah lebih lanjut dalam merealisasikan hal-hal yang ingin ditingkatkan sehubungan perilaku beribadah pada anaknya. 4. Peneliti menyarankan agar ibu Zubaidah lebih memaksimalkan pendidikan tatacara sholat dan bacaan sholat yang benar agar anak akan melaksanakan ibadah dengan benar pada saat ia sudah baligh¸ saran ini berdasarkan pengakuan adi Azzahra yang masih suka lupa bacaan sholat dan belum hafal semua. Penting diperhatikan hal ini karena meyangkut sah tidaknya sholat Azzahra. 105 DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, Oemi.1986. Dasar-dasar PR. Bandung : Alumni Abi Tahlib, Ali bin.2004. Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku. Cetakan Kedua, Bandung : Pustaka Hidayah As-Said, Naurah Binti.2005. Ibu Dekatilah Anakmu. Cetakan Pertama, Jakarta : Cakrawala publishing Arifin, E. Zaenal.2003. Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah. Cetakan keempat, Jakarta : PT. Grasindo. Departemen Agama Republik Indonesia.1993. Al Quran dan Terjemahannya. Bandung : Gema RIsalah Devito, Joseph.2003. Komunikasi Antar Manusia. Cetakan Ketiga, Bandung : Djamarah, Syaiful Bahri.2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga. Cetakan Pertama, Jakarta : Rineka Cipta Effendy, Onong U.1981. Humas : Suatu Studi Komunikalogi. Bandung : Remaja Rosdakarya ______________.1986. Kamus Komunikasi. Bandung : Mandar Maju ______________.2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunukasi. Cetakan Ketiga, Bandung : Citra Aditya Bakti Ekomadyo, Ike Junita.2005. Prinsip Komunikasi Efektif : Untuk Meningkatkan Minat Belajar Anak. Cetakan Pertama, Bandung : Simbiosa Rekatama Media Hasanah, Nur.2002. Hakekat Ibadah : Ditinjau dari Segi Pengertian Hukum dan Hikmahnya. Cetakan Pertama, Surabaya : Bintang Usaha Jaya 106 Hadi, Ahmad Abdul.1998. Al Quran Bicara Tentang Ibu. Cetakan Pertama, Jakarta : Gema Insani Liliweri, Alo.1997. Komunikasi Antarpribadi. Cetakan Kedua, Bandung : Citra Aditya Bakti LPPKID.2001. Bimbingan Ibadah Praktis. Bandung : LPPKID UNISBA Moleong, Lexy J.2002. Metodologi Penelitian Komunikasi. Cetakan Kedua, Bandung : Remaja Rosdakarya Mulyana, Deddy.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Nawabuddin, Abdurrab dan Bambang S.M.1996. Teknik Menghafal Al Quran. Jakarta : sinar baru algensindo Rakhmat, Jalaluddin.2003. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi, Bandung : Remaja Rosdakarya Sastroputro, Santoso.1988. Komunikasi Persuasi dan Disiplin Pembangunan Nasional. Bandung : Alumni Whalen, Joel.2005. I See What You Mean : Komunikasi Persuasi dalam Bisnis. Cetakan pertama, Yogyakarta : Alenia Internet − www.eramuslim.com − www.myquran.org − www.rahima.co.id − www.ummigroup.co.id 107 Lainnya − Catatan perkuliahan komunikasi persuasi bersama dosen Drs. Anne Ratnasari − Hand Out Perkuliahan komunikasi pesuasi dari dosen Drs. Anne Ratnasari − Catatan Perkuliahan komunikasi antarpribadi bersama dosen Prima Mulyasari S.Sos 108 LAMPIRAN Tanggal / hari: Rabu, 31 Agustus 2005 Jam / tempat :15.00-16.00wib, kediaman ibu Zubaidah, Jl. Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Wawancara bersama Ibu Zubaidah 1. a. Sejak usia berapa anak diperkenalkan dan diajarkan sholat dan membaca Al Quran (mengaji) Diperkenalkan pada saat anak masih TK mungkin sekitar umur 5 tahun, diperkenalkan pada hal-hal yang dasar dulu seperti teknis sholat yaitu gerakan dan bacaan sholat mulai diajarkan. Namun karena ia sudah terbiasa melihat kami sekeluarga sholat jadi tidaklah sulit. Sementara ngaji saya yang mengajarkan atas dasar pertimbangan bahwa saya punya banyak waktu dan saya merasa sanggup kenapa tidak?. Memulainya dari iqrok tentu saja. b. Sejak usia berapa anak mulai diminta wajib untuk sholat secara benar dan penuh? Pada saat saya merasa dia sudah mampu melaksanakan sholat dengan benar, yaitu bacaan-bacaan penting sudah bisa dan gerakan serta sudah paham waktu serta informasi penting lainnya seputar sholat. Mungkin sekitar SD kelas 2 yaitu umur 7 tahunan. Namun saya tidak mewajibkan secara keras, hanya meminta mulai mengerjakan sholat setiap waktunya tiba setiap hari, namun tetap diberikan sedikit keringanan. c. Kalau mengaji, sudah sampai tahap mana anak belajarnya? Sekarang sudah sampai Al Quran, sudah pada surah Al Baqarah. 109 2. Apakah secara teknis anak sudah melaksanakan sholat dengan cukup baik, baik, sangat baik atau masih kurang? (sejauh pengamatan ibu) apakah sholatnya anak sudah benar (khusyuk, dan lainnya) menurut penilaian ibu? Khusuknya anak-anak saya rasa standar ya, tentunya tidak seperti kita, namun saya kiranya dapat diterima. Kalau gerakan tidak sulit ya, di juga selalu melihat kakaknya, abahnya ataupun saya. Tapi kalau bacaan sholatnya saja yang masih belum semuanya hafal. Mungkin itu saja yang saya rasa belum sempurnanya. Masih kurang di bacaan mungkin. 3. Menurut ibu sholat dan membaca Al Quran adalah…………………….. Menurut saya keduanya tentu saja hal yang utama yang harus dikerjakan dengan benar dan sesuai hukumnya. Dan pastinya harus saya ajarkan pada anak sejak dini. Selebihnya sama saja seperti yang lain bahwa sholat dan mengaji sebagai mana perintah Allah Swt itu hukumnya wajib. 4. Bagaimana cara ibu memberi tahukan makna sholat dan membaca Al Quran ? Apakah ibu memberi tahukan makna sholat sesuai yang ibu pahami dan ibu yakini? Ya tentu saja saya memberikan pengetahuan tentang ibadah yang sudah saya dapatkan. Tentunya saya beri tahu dengan bahasa yang mampu dicerna anak saya. Dengan memberi tahukan apa yang terjadi nanti kalau kita tidak sholat dan mengaji serta apa keuntungannya nanti kalau kita mengaji dan sholat tanpa meninggalkannya. Contohnya: saya memberi tahukan pada anak saya kalau kita meninggalkan sholat maka kita akan masuk neraka yang panasnya luar biasa, dan alhamdulilah dia menanggapinya dan mengerti. 110 5. Sejauh ini apakah anak cukup mengerti dan memahami sholat dan mengaji sesuai dengan pegertian dari ibu? Biasalah anak-anak, belum dapat saya katakan mengerti atau tidak. Tapi mungkin belum begitu mengerti sesuai dengan harapan saya, tapi saya optimis kedepannya perlahan namun pasti akan mengerti kalau kita rajin berdialaog dan rajin berdiskusi masalah apa saja tentang agama. 6. Menurut ibu, dalam menerapkan wajib sholat dan belajar membaca Al Quran pada anak sebaiknya dan efektifnya dilakukan dengan instruksi (perintah) atau ajakan yang memotivasional (bujukan) sehingga anak melaksanakan sholat dan belajar mengaji dengan sendirinya(tanpa paksaan)? Menurut saya sebaiknya dengan memberikan contoh sehingga anak termotivasi dan melaksanakan tanpa paksaan. Lebih baik dia banyak belajar dengan melihat kenyataan yang sesuai dengan pemahaman yang saya berikan. Jadi lama kelamaan dia akan mengerti dan banyak mencontoh orang tuanya. 111 Hari / Tanggal : Sabtu, 3 September 2005 Waktu / Tempat : 19.45-20.30, kediaman adik Azzahra Jl. Rereng suliga no.33 Sukaluyu Wawancara bersama adik Azzahra 1. Sudah sholat belum? Sholatnya masih sering tinggal/ kelupaan nggak? Tadi udah, aza masih suka lupa kak.. 2. Kapan biasanya paling malas atau ketinggalan sholatnya? Yang paling malas tuh pas sholat subuh, kalau isya suka kelupaan. 3. Kalau ketinggalan sholat atau tidak sholat biasanya kenapa (alasannya)? Ngantuk, lupa kalau lagi main. 4. Kenapa sih kita harus sholat dan harus mengaji (menurut adik)? Kita harus sholat dan ngaji karena itu wajib. 5. Kalau tinggalin sholat atau adik tidak sholat dimarahin ibu nggak? Kadang-kadang bisa dimarahin, tapi bisa juga kadang-kadang tidak. 6. Ibu bilang apa waktu suruh atau ajak adik sholat? Aza udah sholat belum? Kalau belum sholat dulu ya,….. 7. Apakah adik mengerti yang disampaikan ibu pada saat ibu meminta adik untuk sholat? Ada yang aza ngerti tapi yang aza gak ngerti juga banyak. tapi aza selalu denger omongan umi. 112 8. Menurut adik kalau Ibu meminta adik untuk sholat biasanya menggunakan perintah (maksa) atau bicara baik-baik dan membujuk? Umi kalau suruh aza sholat dan ngaji biasa aja. Paling bilang kayak tadi “aza sholat! “ 9. Pertanyaan teknis sholat: − Sebelum sholat harus,,,,, Wudhu dulu − Sholat harus menghadap kemana? Menghadap kiblat − Sholat pakai apa aja? Laki-laki pakai sarung dan peci, kalau perempuan pakai mukenah − Sholat subuh berapa rakaat? Dua rakaat − Sholat zuhur berapa rakaat? Empat rakaat − Sholat ashar berapa rakaat? Empat rakaat − Sholat maghrib berapa rakaat? Tiga rakaat − Sholat isya berapa rakaat? Empat rakaat − Sudah hafal bacaan sholatnya?(test salah satu bacaan sholat) Bacaan ruku’nya: subhana rabbiyal’azimi wa bihamdih, terus kalo sujudnya : subhana rabiyal’a’la wa bihamdih, kalau bacaan abis ruku’ samiallahuliman hamidah rabbana lakal hamdu, udah kak, tapi aza ada yang belum hapal. 113 10. Kapan biasanya adik mengaji? Siapa yang ngajirin? Habis sholat magrib kadang-kandang, atau kalau umi ajak ngaji. Yang ngajar umi. 11. Sudah bisa belum ngajinya? Sudah sampai mana ngajinya? Aza sudah sampai Al Quran sekarang… 12. Kalau sholat masih diawasin dan masih sering diingatkan? Atau adik selalu sholat tanpa di ingtakan oleh ibu/bapak? Masih sering diingatkan. Tapi kalau aza ingat, aza sholat sendiri gak diingatkan 13 kalau kita ninggalin sholat atau tidak ngaji gimana? Dosa, kata umi kalau suka gak sholat berdosa besar dan masuk neraka. Pokoknya berdosa. 114 Hari / Tanggal : Sabtu, 1 Oktober 2005 Waktu / Tempat: 19.15-20.00 wib, kediaman ibu Zubaidah Jl. Rereng Suliga no.33 Sukaluyu Wawancara bersama Ibu Zubaidah 7. Ibu menggunakan pendekatan apa dalam memotivasi atau mengajak anak untuk sholat dan mengaji? (historis, sanksi/hukuman. Ganjaran atau yang lainnya)? Saya memilih melakukannya dengan nasehat, seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, bahwa saya menasehati anak saya dengan hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk sebagai konsekuansi apabila tidak melaksanakan ibadah. Mungkin bisa dikatakan juga menggunakan histori yakni cerita-cerita seputar ibadah. 8. Selain menghimbau atau mengajak anak ibadah secara verbal, apakah ada cara atau upaya lain yang dilakukan tanpa menggunakan imbauan verbal? Selain dari imbauan-imbauan verbal ya seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa dengan memberikan contoh dari saya sendiri dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari. Saya rasa hal itu lebih baik dan besar manfaatnya. Jadi dia akan langsung mencontoh saya bukan? Lebih dari yang hanya sekedar omongan itu membuktikan keseriusan ibu mengajarkan anaknya. 9. Kalau anak tidak sholat atau meninggalkan sholat dengan sengaja (malas dan bermain) apakah ibu akan marah atau memberikan sanksi? 115 Ya saya akan memarahinya, namun yang wajar saja. Dengan peringatan yang agak tegas, namun tidak dengan sanksi. Hanya memberikan sedikit gambaran apabila tidak sholat dan mengaji akan seperti apa. Namun saya tidak memberikan sanksi. 10. Sejauh ini, apakah anak sudah melaksanakan sholat tanpa pengawasan dan peringatan dari ibu/bapak? Oh..iya, Alhamdulillah. Saya agak lega sedikit melihat dia sudah mulai melaksanakan sholat tanpa pengawasan dan kadang-kadang tanpa diingatkan. Namun tetap saya pantau terus agar ini semakin baik kedepannya. 11. Sejauh pengamatan ibu, apakah anak sudah dapat dilepas dalam menjalankan ibadah, (sholat 5 waktu)? Mungkin belum ya, karena saya masih terus memberikan pengetahuan seputar ibadah dan agama agar kedepannya lebih mantap. Mungkin nanti pada saat dia sudah mantap yakni pada saat sudah baligh baru saya coba lepas namun tetap peran saya harus menjadi pembimbingan dan mengontrolnya. 12. Secara keseluruhan dari proses membentuk perilaku beribadah pada anak yang telah ibu lakukan, menurut ibu apakah sudah berjalan sesuai target dan keinginan ibu (sudah ideal) atau masih banyak hal yang belum terealisasikan dan belum dicapai pada proses pembentukan perilaku beribadah anak tentunya? Masih banyak hal-hal yang belum terealisasikan. Jadi usaha saya masih panjang. Dengan pengetahuan yang saya miliki, saya akan 116 mencoba mendidik anak saya dengan persuasi dan kasih sayang tentunya. 13.Terakhir saya ingin mempertegas pernyataan ibu yang mengatakan membentuk perilkau dengan metode komunikasi persuasi, benar bukan? Apa alasannya memilih metode ini bukan dengan metode instruksi atau dengan yang lebih tegas seperti koersif? Ya benar.., saya menggunakan komunikasi yang persuasi dalam membentuk perilaku anak saya dan mendidiknya selalu dengan persuasif, karena menurut saya kasih sayang dan kelembutan lebih membekas pada anak sehingga ia akan menjadi anak yang lunak, patuh juga terbiasa pada kelembutan, tanpa kekerasan dan jauh lebih damailah. Apalagi dalam membentuk perilaku beribadah pada anak, pentingnya anak faham benar akan esensi ibadah kemudian dengan mudah dan tanpa paksaan melaksanakan dari pada memberi perintah yang keras dan sedikit memaksa, itu akan mempersempit esensi ibadah. Ia akan ibadah adalah beban dan itu tentu saja tidak saya inginkan. 117 Catatan Hasil Observasi / Pengamatan Peneliti Hari /Tanggal : Sabtu, 16 Juli 2005 Waktu / Tempat : 15.45-16.30. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Konsultasi sebelum wawancara dengan ibu Zubaidah Syarifah dan adik Azzahra dan melakukan observasi. Kegiatan / Keterangan : Peneliti meminta izin untuk sering datang kerumah ibu Zubaidah dan meminta kerjasamanya dalam menjawab pertanyaan guna mengambil data/informasi penelitian. Hari /Tanggal : Rabu, 27 Juli 2005 Waktu / Tempat : 14.10-13.15. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Diskusi dengan ibu Zubaidah Kegiatan / Keterangan : Mencoba membangun kedekatan berdiskusi seputar masalah Namun peneliti belum dengan agama dan anak. memulai wawancara dengan beliau. Selesai. Hari /Tanggal Senin, 8 Agustus 2005 Waktu / Tempat 17.45-20.10. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng 118 suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Mengamati adik Azzahra yang sedang belajar mengaji dengan ibunya. Kegiatan / Keterangan : Adik Azzahra mengaji dari habis sholat magrib sampai dengan sholat isya’. Sholat maghrib berjama’ah bersama peneliti dan keluarga bapak Abdurahman. Kemudian peneliti hanya melihat ibu Zubaidah dan adik Azzahra belajar mengaji. Belajar mengaji selesai pada saat azdan isya’. Kemudian peneliti beramah tamah sebentar dengan kelurga bapak Abdurahman sebelum akhirnya pulang sekitar jam 8 lebih. Selesai. Hari /Tanggal Minggu, 14 Agustus 2005 Waktu / Tempat 16.50-17.30. Rumah tetangga keluarga Ibu Zubaidah, Jl. Gambir Anom no.3 Sukaluyu. Subjek : Adik Azzahra pulang sekolah sore hari. Kegiatan/ Keterangan : Ibu Zubaidah tidak di rumah, pergi pengajian dan adik Azzahra baru pulang sekolah sekitar jam 5 dimana ia masuk siang dan pulang sore. Tidak ada ibu pulang sekolah, rumah kosong dan dikunci akhirnya adik Azzahra menunggu di rumah tetangga sampai ibunya pulang jam 5.30 sore dan adik Azzahra tidak sholat ashar. Peneliti menemani 119 adik Azzahra di rumah tetangganya sampai ibunya pulang. Selesai. Hari /Tanggal Sabtu, 16 Agustus 2005 Waktu / Tempat 14.00-16.00, Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Memberikan sedikit pertanyaan seputar adik Azzahra. Kegiatan / Keterangan : Peneliti menghabiskan waktu sekitar 2jam dengan ibu Zubaidah ngobrol seputar adik azzahra dan kegiatannya. Peneliti sudah mulai mengamati pola komunikasi dan kelancaran komunikasi dalam keluarga ini. Dan ibu Zubaidah cukup lemah lembut dan halus dalam berkomunikasi dengan keluarga. Karena adik Azzahra ada di rumah dan belum melaksanakan sholat, peneliti melihat ibu Zubaidah meminta anaknya sholat dengan bertanya apakah anak sudah sholat belum, jika belum untuk segera sholat sebelum nantinya tambah malas. Selesai. Hari /Tanggal Kamis, 18 Agustus 2005 Waktu / Tempat 9.00-10.00. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. 120 Subjek : Peneliti mengamati kegiatan pagi keluarga ibu Zubaidah Kegiatan / Keterangan : Peneliti mencoba melihat pola interaksi dan komunikasi di pagi hari. Dan kegiatan pagi ibu Zubaidah sangat sibuk sehingga setelah keluarga sarapan pagi, maka ibu Zubaidah mulai konsentrasi pada urusan usahanya. Adik Azzahra masuk siang jadi dia menonton TV dan mengerjakan PR. Seleisai. Hari /Tanggal Sabtu, 20 Agustus 2005 Waktu / Tempat 19.10-20.30, Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Peneliti diundang makan malam dengan keluarga Abdurahman Kegiatan / Keterangan : Ketika peneliti datang ibu Zubaidah dan keluarga baru siap berjamaah sholat isya’. Dan peneliti bergabung untuk bersantap malam, peneliti berdiskusi dengan mereka sekeluarga tentang arti ibadah dan pendapat kedua suami istri tersebut akan ibadah. Dan mereka sepakat mengatakan ibadah adalah media manusia untuk dekat dan mengabdi pada Allah Swt, kewajibannya tak dapat ditawar. Dalam suasana kekeluargaan kedua orang 121 tua memasukkan nilai-nilai ibadah dan agama dengan cara dan bahasa yang sederhana namun sangat bermanfaat besar pada kedua anaknya. Selesai. Hari /Tanggal Sabtu, 27 Agustus 2005 Waktu / Tempat 14.00-17.00. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Datang mengamati kegiatan adik Azzahra dan ibu Zubaidah. Kegiatan / Keterangan : Sepanjang siang peneliti berada di rumah ibu Zubaidah dan melihat aktifitas mereka. Tidak banyak hal baru yang dilihat peneliti, hanya sekali lagi peneliti melihat ibu bertanya pada anaknya Azzahra apakah sudah sholat ashar belum setelah si ibu melaksanakan sholat ashar, dan ternyata anaknya menjawab sudah tepat pada saat abis adzan ashar. Ini memang diluar pengetahuan ibu karena pas adzan ashar ibu berada di kantornya yang tepat sebelah rumahnya karena masih ada urusan bisnis dengan suaminya. Selesai. Hari /Tanggal Rabu, 31 Agustus 2005 Waktu / Tempat 15.00-16.00. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng 122 suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Mewawancari ibu Zubaidah Kegiatan / Keterangan : Peneliti memisahkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan ibu Zubaidah dan anaknya Azzahra. Kegiatan selama 1 jam habis hanya memberikan pertanyaan dan mencatat jawaban ibu Zubaidah. Kegiatan wawancara terpotong istirahat 2 kali saat sholat ashar dan ibu Zubaidah menerima telepon. Peneliti memutuskan melanjutkan wawancara lain waktu. Selesai. Hari /Tanggal Sabtu, 3 September 2005 Waktu / Tempat 19.45-20.30. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Mewawancari adik Azzahra Kegiatan / Keterangan : Sedikit susah berbicara dan wawancara dengan adik Azzahra karena sifatnya yang sedikit pendiam dan tidak terlalu terbuka dengan orang luar. Namun seluruh pertanyaan dapat dijawab seperlunya oleh adik Azzahra dalam waktu kurang dari 45 menit. Wawancara dilakukan sambil menemani adik kucingnya. Selesai Azzahra bermain dengan 123 Hari /Tanggal Sabtu, 1 Oktober 2005 Waktu / Tempat 19.15-20.00. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Mewawancari ibu Zubaidah lanjutan. Kegiatan / Keterangan : Peneliti melanjutkan wawancara ibu Zubaidah kurang lebih satu jam. Selesai. Hari /Tanggal Minggu , 9 Oktober 2005 Waktu / Tempat 17.30-18.30. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Diundang buka bersama Kegiatan / Kegiatan : Peneliti hanya datang untuk berbuka puasa bersama dan sholat magrib berjamaah lantas pulang. Dan seluruh keluarga puasa pada hari ini. Hari /Tanggal Rabu , 12 Oktober 2005 Waktu / Tempat 16.10-16.45. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Ngabuburit. Bersilaturahmi Kegiatan / Keterangan : Peneliti hanya datang untuk ngobrol dengan ibu Zubaidah dan suami guna bertanya-tanya hal-hal seputar puasa. Peneliti sekalian ingin mengecek hasil jawaban dari pertanyaan yang didapat melalui wawancara. Saat peneliti di rumahnya ibu 124 Zubaidah sedang tadarus dan adik Azzahra sedang puasa dan belum sholat. Akhirnya adik Azzahra sholat setelah ibunya menyuruhnya untuk segera sholat sebelum main keluar rumah untuk menunggu buka puasa. Selesai. Hari /Tanggal Minggu , 16 Oktober 2005 Waktu / Tempat 16.10-18.45. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33 Sukaluyu. Subjek : Melihat adik Azzahra mengaji Kegiatan / Keterangan : Saat peneliti datang ibu Zubaidah sedang mengajarkan Azzahra mengaji, melihat bahwa ibu Zubaidah cukup telaten dan sabar dalam mengajarkan anaknya mengaji. Mereka mengaji sekitar setengah jam, dan peneliti mengamati dari luar ruangan sholat keluarga. Selesai mengaji ibu Zubaidah sibuk menyiapkan bukaan puasa dan penelti membantunya. Buka puasa bersama dan sholat maghrib berjamaah dan pulang. Selesai. Hari /Tanggal Rabu, 19 oktober 2005 Waktu / Tempat 19.20. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga no.33. Sukaluyu. Subjek : Berterima kasih pada keluarga Abdurahman dan 125 ibu Zubaidah serta adik Azzahra Kegiatan / Keterangan : Pamitan dengan keluarga bapak Abdurahman dan ibu Zubaidah karena peneliti mudik, serta megucapkan terima kasih atas kesediaan dan kesempatan yang diberikan keluarga ini pada peneliti untuk mengamati dan mewawancara keluarga mereka. Peneliti merasa sudah cukup mengumpulkan Pengamatan informasi dan yang proses dibutuhkan. mengambilan informasi/data dari keluarga ibu Zubaidah telah selesai dan berakhir. - Waktu yang digunakan sesuai dengan Waktu Indonesia Barat (WIB) 126 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Fatmah Nur Tempat/Tanggal Lahir : Tanjungpinang, 3 Juni 1982 Alamat : Jl. Sukaluyu I No.57 RT:04/rw:06 Cibeunying Bandung. Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Status : Lajang/ Belum Kawin Pekerjaan : Mahasisiwa Anak ke : Kedua Jumlah Saudara : Satu Orang Alamat Email : [email protected] Nama Ayah : Muda Syufatri Nama Ibu : Syarifah Zainab Pekerjaan Ayah : Karyawan Swasta Pekerjaan Ibu : Pegawai Negeri Sipil Alamat Orang Tua : Jl. Senggarang No.2 Perumnas Sei-Jang Tanjungpinang, Kepulauan Riau.