komunikasi persuasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku

advertisement
PERINGATAN !!!
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan
referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila
Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan
pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
KOMUNIKASI PERSUASI IBU DAN ANAK DALAM
MEMBENTUK PERILAKU BERIBADAH
PADA ANAK
Studi Kualitatif Dengan Pendekatan Interaksi Simbolik Mengenai Komunikasi
Persuasi Ibu dan Anak Dalam Membentuk Perilaku Beribadah Ritual Khususnya
Sholat Fardhu Lima Waktu dan Aktivitas Belajar Membaca
Al Quran Pada Anak
Disusun Oleh :
FATMAH NUR
10080000044
Bidang Kajian Manajemen Komunikasi
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2005
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak
Dalam Membentuk Perilaku Beribadah Pada Anak
Studi Kulaitatif Dengan Pendekatan Interaksi Simbolik Mengenai Komunikasi
Persuasi Ibu dan Anak Dalam Membentuk Perilaku Beribadah Yakni Sholat
Wajib Lima Waktu dan Aktifitas Belajar Membaca Al Quran Pada Anak
Disusun Oleh:
FATMAH NUR
10080000044
Bidang Kajian Manajemen Komunikasi
Bandung 7 Februari 2006
Menyetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
Hj.Rini Rinawati Dra.,M.Si.
Prima Mulyasari S.Sos.,M.Si
Mengetahui:
Ketua Bidang Kajian Manajemen Komunilkasi
Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung
Anne Maryani Dra.,M.Si.
ABSTRAK
Perilaku beribadah yang konsisten pada anak merupakan tanggung jawab
orang tua khususnya ibu. Dalam membentuk perilaku beribadah pada anak, yakni
ibadah sholat wajib 5 waktu dan aktivitas belajar membaca Al Quran, ibu
dihadapkan pada pilihan metode yang tepat, khususnya metode komunikasi yang
digunakan. Komunikasi persuasi merupakan salah satu metode dalam membentuk
perilaku beribadah pada anak. Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana
komunikasi persuasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah yang
dilaksanakan anak atas kesadarannya sendiri dan mampu konsisten dalam
pelaksanaanya.
Ibu Zubaidah dan anaknya Azzahra merupakan pasangan ibu dan anak
yang dijadikan objek penelitian ini. Komunikasi persuasi yang dilakukan
pasangan objek penelitian ini dalam membentuk perilaku beribadah anak
dijadikan sumber data primer dalam penelitian ini. Dimana data primer ini
diperoleh melalui wawancara pada keduanya dan observasi seputar kegiatan
beribadahnya sehari-hari. Memerlukan waktu kurang lebih 5 bulan dalam
pengumpulkan data-data primer ini. Mulai dari orientasi awal dengan keluarga ibu
Zubaidah sampai dengan observasi yang dilakukan peneliti.
Melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan interaksi simbolik, peneliti
menginterpretasikan semua data-data penelitian, sehingga mendapat hasil
penelitian berdasarkan tujuan penelitian. Yang mana adik Azzahra telah
melaksanakan sholat 5 waktu dan belajar membaca Al Quran tanpa terpaksa
berdasarkan pemahamannya atas ibadah. Hanya saja pelaksanaan sholat dan
membaca Al Quran masih terus dipantau oleh ibunya. Pemahaman ibadah pada
Azzahra berasal dari upaya ibunya dalam membentuk perilaku beribadah tanpa
menggunakan paksaan, kekerasan dan juga sanksi-sanksi.
Upaya ibu dan pelasaknaan ibadah oleh anak dipengaruhi oleh pemaknaan
atas ibadah oleh keduanya. Dimana peneliti menyimpulkan komunikasi persuasi
ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah pada anak memang mampu
membuat anak melaksanakan sholat dan mengaji tanpa merasa terbebani dan tidak
terpaksa melaksanakannya. Namun makna atas ibadah yang dipahami anak masih
belum mampu membentuk perilaku beribadah itu dengan istiqomah, karena anak
masih sesekali meninggalkan ibadahnya dengan atau tanpa alasan yang jelas.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirahamanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah Swt Sang Pencipta
Alam dan Pemberi Rahmat dan Hidayah yang tidak terhingga serta Salawat dan
Salam yang dilimpahkan pada junjungan kita Muhammad Rasulullah Saw.
sebagai pintu ilmu dan Ali A.s sebagai kuncinya serta keluarga dan sahabat yang
dicintainya. Akhirnya penulis mampu merampungkan skripsi yang berjudul
Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak dalam Membentuk Perilaku Beribadah Pada
Anak, yang merupakan salah satu syarat dalam menempuh Ujian Sidang Sarjana
Strata 1 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan, namun dengan kerendahan hati, penulis selalu terbuka atas
kritik dan saran guna memperbaiki wawasan dan ilmu pengetahuan penulis
kedepan. Semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat besar dan kecil bagi
penulis khususnya dan pada pihal lain yang membutuhkan informasi seputar
masalah skripsi ini umumnya.
Dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan baik berupa pengarahan, bimbingan, motivasi dan juga
bantuan lainnya dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan
ii
berjuta terima kasih atas bantuan-bantuan pada penulis. Terima kasih ditujukan
kepada:
1. Yang tercinta umi Syarifah Zainab dan abah Muda Syufatri terima
kasih atas kesempatan, dukungan, doa dan harapan yang tidak putus
buat keberhasilan anaknya, LUV U !.
2. Yang tersayang bang Iman, abang satu-satunya, sekaligus mentor,
pelindung dan yang menjaga Inthan di Bandung serta teman terbaik
sepanjang masa. Thanks Bro! U doin’ great.
3. Yang terkasih Jida, Jidi, Aunti, Mican sekeluarga, Ace sekeluarga.
Thanks for the laptop nti, mican untuk semua nasehatnya dan menjadi
pendengar yang baik. Jida terima kasih atas jiwa yang penuh inspirasi
serta cinta I LUV U. Jidi penguat bathin kami sekeluarga.
4. Yang terhormat ibu Hj. Rini Rinawati Dra., M.si. dan keluarga selaku
dosen pembimbing I atas bimbingan, arahan, waktu, tenaga dan
pikirannya membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Yang terhormat ibu Prima Mulyasari S.Sos., M.si. dan keluarga selaku
dosen pembimbing II atas arahan dan kontribusinya yang buat penulis
kurang merasakan tekanan.
6. Yang terhormat Ibu Anne Maryani Dra., M.s.i dan Ibu Dede Lilis S.sos
serta Ibu Ike Junita E. S.sos., Msi selaku Ketua Bidang Kajian dan
seketaris Bidang Kajian Manajeman Komunikasi Fikom Unisba.
iii
7. Yang terhormat Bapak Wawang Kuswanto Drs., M.si. , terima kasih
atas ilmu dan semua masukannya termasuk menjadi motivator
penelitian kualitatif buat anak ManKom.
8. Seluruh dosen Fikom Unisba khususnya bidang kajian Manajeman
Komunkasi
9. Seluruh civitas akademika Fikom Unisba, atas kelancaran birokrasi,
informasi dan pengolahan nilai dan data, meskipun kadang kala
prosedur menyulitkan
10.
Yang terhormat Bapak H. Ir. Abdurahman dan Ibu Zubaidah dan
adik Aza atas kesediannya menjadi objek penelitian serta partisipasi
yang sangat baik serta dukungan sprituil dan morilnya.
11.
Yang terhormat Bapak Septiawan S. Drs.M.Si terimakasih atas
semua masukan dan dorongan yang membuat PD.
12.
Buat semua sahabat terbaik sepanjang masa, Eldha, Santi (hope u
find ur soulmate), intan, dila, weni, Amel (teman curhat abiz) Ulan
(sorry hon, qta duluan.. nyusul ya!), Iin, Ega, Linda dan Mia.
13.
Thanks to semua anak asrama IPMKR cant say one by one key!
14.
Seluruh anak kosan di sukaluyu I 57. dian, teh Tanti, Rina, Endah,
Wulan.
15.
Seluruh teman seperjuangan baik dari Tanjungpinang, Kijang, satu
kontrakan, satu kosan juga teman-teman di kampus, dan seluruh temanteman tan yang terlewatkan sorry! Serta seluruh orang-orang yang
iv
memberikan kontribusinya pada hidup tan. Kalian semuanya sangat
menginspirasi.
Semoga Allah Swt membalas bantuan dari semua pihak sebagai amal dan
ibadah yang tulus ikhlas, Amin ya Rabbal’alamin.
Akhir kata semoga skripsi ini mampu memenuhi kebutuhan akan
informasi atas komunikasi persuasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku
beribadah pada anak. Dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila kata
dan tulisan yang menyinggung pihak lain.
Billahitaufiq Wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa
Barakaatuh.
Bandung, Februari 2006
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ....................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ...............................................................
5
1.3
Pertanyaan Penelitian ..........................................................
5
1.4
Tujuan Penelitian ................................................................
6
1.5
Kegunaan Penelitian ...........................................................
7
1.6
Fokus Peneliitian .................................................................
8
1.7
Pengertian Istilah .................................................................
9
1.8
Kerangka Pemikiran ............................................................
10
1.9
Metodologi Penelitian .........................................................
15
1.9.1 Metodologi Penelitian .............................................
15
1.9.2
Tahapan Penelitian ..................................................
18
1.10 Sasaran Penelitian ...............................................................
20
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.2
Tinjauan Tentang Komunikasi ............................................
23
2.1.1 Pengertian Komunikasi ...........................................
23
2.1.2
Tujuan Komunikasi .................................................
24
2.1.3
Fungsi-fungsi Komunikasi ......................................
27
2.1.4
Unsur-unsur Komunikasi ........................................
28
Komunikasi Persuasi Dalam Tatanan Komunikasi
Persuasi ..................................................................... .........
30
2.2.1
30
Tinjauan Komunikasi Antarpribadi .........................
2.2.2 Komunikasi Persuasi Dalam Komunikasi
vi
2.3
2.4
Antarpribadi .................................................... .......
31
2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Persuasi.................
31
2.2.2.2 Prinsip-Prinsip Komunikasi Persuasi ..........
34
2.2.2.3 Hambatan Komunikasi Persuasi ........... ......
37
Prinsip Etika Komunikasi Dalam Islam ..............................
37
2.3.1
41
Hubungan Ibu dan anak dalam Membentuk
Perilaku Beribadah Pada Anak.............................................
43
2.4.1
Tinjauan Tentang Ibu ..............................................
43
2.4.2
Tanggung Jawab dan Peran Ibu Dalam
2.4.3
BAB III
BAB IV
Komunikasi Persuasi Dalam Perspektif Islam . .......
Membentuk Perilaku Beribadah Pada Anak …. .......
46
Tinjauan Tentang Anak ...........................................
49
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian Kualitatif ...............................................
52
3.2
Pendekatan Interaksi Simbolik ............................................
56
3.3
Tahapan Penelitian ..............................................................
62
3.4
Fokus Penelitian ..................................................................
65
3.5
Teknik Pengumpulan Data ..................................................
66
3.5.1
Wawancara ..............................................................
67
3.5.2
Observasi .................................................................
67
3.5.3
Studi Kepustakaan ...................................................
68
OBJEK PENELITIAN
4.1
Pemlilihan Objek Penelitian ................................................
4.2
Seputar Keluarga Ibu Zubaidah dan Anaknya
69
Sebagai Pasangan Objek Penelitian ....................................
71
4.2.1
Sebagai Keluarga Islami .........................................
72
4.2.2 Kelancaran Komunikasi Dalam Keluarga ...............
73
4.2.3 Pendidikan Agama Dalam Keluarga .......................
74
vii
4.3
Seputar Ibadah sholat Fardhu Lima Waktu dan
Aktifitas Membaca Al Quran ..............................................
BAB V
76
ANALISIS
5.1
Analisis Proses Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak
Dalam Memberikan Pemahaman Beribadah pada Anak ....
5.2.
Analisis Upaya Ibu dalam Menyampaikan Pesan Pada
Anak Berdasarkan Pemaknaan Ibu Atas Ibadah .................
5.3.
81
87
Analisis Tanggapan Anak dalam Memaknai Ibadah
(Sholat 5 waktu dan Belajar Membaca Al Quran)
Melalui Pesan yang Disampaikan Ibu ................................
5.4.
Analisis Peneliti atas Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak
dalam Membentuk Perilaku Beribadah pada Anak. ............
BAB VI
93
97
PENUTUP
6.1
Kesimpulan .........................................................................
103
6.2
Saran ..................................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
106
LAMPIRAN ...................................................................................................
109
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pasangan Sasaran Penelitian .........................................................
22
Tabel 3.1 Tabel Perbandingan Dua Paradigma Interkasi
Simbolik ........................................................................................
ix
58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap keluarga dan orang tua memiliki format dan metode tersendiri
dalam mendidik anak-anak mereka. Namun setiap orang tua sepakat bahwa
dalam mendidik anak, kondisi psikologis anak tetap harus terjaga, jangan sampai
secara mental anak menderita dalam mendidik dan membentuk pribadi anak. Ibu
merupakan orang yang paling perduli pada kondisi mental anak. Dan juga ibu
merupakan orang yang paling intens membangun jiwa dan keimanan anak.
Dalam menanamkan nilai-nilai yang kadang kurang dipahami oleh anak,
banyak sekali halangan dan hambatannya, karena kurangnya pemahaman anak
akan suatu hal. Maka tindak-tindak alternatif seringkali menjadi senjata akhir
orang tua dalam memasukkan nilai-nilai yang wajib pada anak.
Dalam keluarga yang Islami, seorang anak pasti akan di perkenalkan
pada bentuk-bentuk ibadah yang biasanya dilakukan orang tuanya. Tentu saja
melalui tahapan-tahapan tertentu berdasarkan umur dan tingkat pemahaman
anak. Sholat dan membaca Al Quran adalah bentuk ibadah awal yang di
perkenalkan orang tua pada anak. Disini orang tua khususnya ibu akan
menanamkan pemahaman akan sholat dan membaca Al Quran berdasarkan
tingkat keimanan dan kemampuan komunikasi yang dimiliki ibu. Kemampuan
komunikasi yang dimiliki ibu serta pemahaman ibu akan pentingnya nilai ibadah
itu akan mempengaruhi cara dan metode ibu dalam membentuk perilaku
beribadah pada anak.
2
Menanamkan nilai dan membentuk perilaku pada anak merupakan
kewajiban orang tua. Mengapa kemudian ibu menjadi sosok yang memegang
peranan dalam membentuk perilaku anak, ini dikarenakan kedekatan emosional
ibu pada anak dan kemampuannya dalam mengerti anak-anaknya. Ibu memiliki
naluri mengajak anaknya melakukan sesuatu tanpa menimbulkan banyak
pertentangan pada anak. Selain itu ibu di nilai sebagai orang yang paling dekat
dengan anaknya sejak awal kehamilan. Sehingga, sudah dapat dipastikan bahwa
tugas dan kewajiban ibu dalam membentuk moral dan perilaku anak menjadi
begitu signifikan.
Dalam
membentuk
perilaku
anak
dalam
beribadah
khususnya,
kemampuan dan metode komunikasi yang digunakan ibu sangat penting.
Bagaimana ibu menjalin komunikasi dengan anaknya, merupakan titik awal
kebiasaan anak dan ibu dalam terus berinteraksi dan berkomunikasi. Selain
kemampuan komunikasi dan metode komunikasi yang dimiliki ibu, pemahaman
ibu akan nilai dan perilaku yang akan ditananamkan pada anak juga sangat
berpengaruh pada keberhasilan proses.
Pemahaman ibu atas seberapa penting ibadah, dan juga pemahaman ibu
pada diri anaknya yang akan memudahkan ibu dalam membentuk perilaku
ibadah, sehingga menjadi bagian dari diri anak. Pemahaman ibu nantinya akan
saling mempengaruhi dengan pemaknaan yang akan timbul antara ibu dan anak.
Keduanya saling mempengaruhi dalam proses pemberian makna atas tindakan
yang ibu lakukan dan perilaku anak yang dipengaruhi oleh ibu. Melalui interaksi
yang menimbulkan penafsiran atas simbol-simbol yang dihasilkan keduanya
3
nanti akan mempermudah proses komunikasi atau bahkan mempersulit karena
perbedaan penafsiran terhadap sesuatu.
Dunia anak idealnya bersih dari tindakan-tindakan yang agresif dan
pemaksaan. Anak di didik dalam lingkungan yang penuh dengan kasih sayang
dan toleransi seyogyanya. Meskipun dalam kenyataan sering kita jumpai hal-hal
yang bertolak belakang. Sikap yang toleran inilah yang kemudian lekat pada
jiwa anak, yakni sebuah sikap tanpa paksaan atau tekanan.
Tentu saja sikap tanpa paksaan ini tidak berarti bahwa orang tua
khususnya ibu kehilangan kendali atas pendidikan dan perkembangan anak
secara keseluruhan. Sikap toleran yang dimaksud adalah sikap yang menghargai
anak juga pendapat dan keinginan meraka. Dimana dalam mendidik dan
menanamkan nilai-nilai yang penting dilakukan dengan cara yang lebih santun
dan manusiawi.
Hal ini tentu saja tidak serta-merta mengendurkan semangat orang tua
khususnya ibu dalam memasukkan nilai agama dalam diri anak. Sebagian ibu
menganggap ibadah merupakan sebuah keharusan dan kewajiban yang tidak
dapat ditawar, sehingga ibu sejak awal menanamkan nilai bahwa ibadah harus
dilaksanakan dengan alasan yang beraneka ragam. Tentunya disini kita bertemu
pada sebuah problematika dimana seorang ibu menempuh cara-cara atau metoda
tertentu dalam membentuk perilaku beribadah pada anak dengan menggunakan
pendekatan pemaknaan atas ibadah.
Pemberian makna atas ibadah sehingga pelaksanaan ibadah dilakukan
tanpa paksaan. Namun pada kenyataannya, anak sering kali menafsirkan ibadah
sebagai kewajiban yang membebankan. Pada titik poin inilah terlihat peran
4
sebuah metode komunikasi dalam membentuk perilaku beribadah pada anak.
Ada dua metode komunikasi yang lazim digunakan, pertama yaitu metode
komunikasi koersif yang bersifat instruktif dan atau paksaan (Effendy, 2001:45).
Sedangkan metode yang kedua adalah metode komunikasi persuasif yang
bersifat bujukan dan imbauan.
Kedua metode di atas memiliki dampak jangka pendek dan jangka
panjang yang relatif berbeda. Komunikasi koersi mampu membentuk perilaku
beribadah pada anak dengan cepat dan mudah. Karena melibatkan otoritas ibu
yang tentunya selalu dapat dan harus ditaati. Namun pemahaman dan
pemaknaan anak pada proses pelaksanaan ibadah mampu membuat anak
dikemudian hari tidak konsisten (istiqamah) atas ibadahnya, karena pelaksanaan
ibadah yang tidak dilandasi pemahaman yang baik dan kokoh atas ibadah yang
dilakukan. Inilah membuat kurangnya kesadaran dan motivasi atas diri anak itu
sendiri.
Lain halnya pada metode komunikasi persuasi, dampak yang demikian
dapat diminimalisasikan bahkan dihilangkan. Pada metode ini, anak akan
beribadah atas dasar pamahamannya dan pemaknaanya pada ibadah itu sendiri,
yang menghasilkan motivasinya sendiri untuk melaksanakan ibadah. Memang
menerapkan metode komunikasi persuasi dalam membentuk perilaku beribadah,
dinilai sulit dan memakan waktu yang relatif lama.
Akan muncul banyak sekali kendala dan hambatan mengingat sulitnya
menyamakan pemahaman dan pemaknaan atas perilaku beribadah antara ibu dan
anak. Dimana ibu harus menggunakan banyak pendekatan untuk menumbuhkan
motivasi dalam diri anak itu, sehingga melaksanakan ibadah khususnya sholat
5
fardhu 5 waktu dan membaca Al Quran. Yang tentu saja dalam umur anak kedua
ibadah itu masih dikategorikan belajar.
Bagaimana komunikasi persuasi ibu dan anak mampu membentuk
perilaku beribadah pada anak, di sini akan ditelaah melalui penafsiran dan
pemaknaan simbol-simbol yang digunakan pada proses pembentukan perilaku
beribadah
pada anak, khususnya simbol-simbol yang bersifat imbauan dan
bujukan. Bagaimana proses persuasi yang dilakukan ibu dalam membentuk
perilaku beribadah pada anak dimaknai dengan tepat oleh anak. Kemudian anak
menafsirkan dan memaknai perilaku beribadahnya sebagai apa, inilah yang
kemudian akan kita ketahui melalui penelitian yang menggunakan metode
kualitatif.
1.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah maka peneliti mengecilkan ruang
permasalahan melalui sebuah rumusan. Peneliti merumuskan permasalahan yang
akan diteliti menjadi:
“Bagaimana proses komunikasi persuasi ibu kepada anak dapat membantu anak
dalam
memaknai ibadah, sehingga mampu membentuk perilaku beribadah
anak yang konsisten (istiqomah) berdasarkan kesadaran anak sendiri?”
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menjabarkan masalah
melalui beberapa pertanyaan penelitian, antara lain:
6
1.
Bagaimana proses komunikasi persuasi ibu dan anak dalam
memberikan pemahaman beribadah pada anak?
2.
Bagaimana upaya ibu dalam menyampaikan pesan imbauan (ajakan)
kepada anak berdasarkan pemaknaan ibu atas ibadah, sehingga anak
melaksanakan ibadah (sholat dan belajar membaca Al Quran) secara
konsisten atas kesadarannya sendiri?
3.
Bagaimana anak memaknai ibadah ( Sholat 5 waktu dan belajar
membaca Al Quran)
melalui pesan imbauan (ajakan) yang
disampaikan ibu, sehingga anak melaksanakan ibadah secara
konsisten atas keinginannya sendiri ?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian
ditetapkan
berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan
penelitian, yaitu:
1. Untuk mengetahui proses komunikasi persuasi antara ibu dan anak
dalam memberikan pemahaman beribadah pada anak.
2. Untuk mengetahui upaya ibu menyampaikan pesan imbauan (ajakan)
pada anak berdasarkan pemaknaan ibu atas ibadah, sehingga anak
melaksanakan ibadah secara konsisten atas keinginannya sendiri.
3. Untuk mengetahui tanggapan anak dalam memaknai ibadah melalui
pesan imbauan (ajakan) yang disampaikan ibu, sehingga anak
melakasanakan ibadah secara konsisten atas keinginannya sendiri.
1.5 Kegunaan Penelitian
7
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mampu dipergunakan dan
bermanfaat tidak hanya bagi peneliti tetapi juga bagi orang lain yang membaca
dan membutuhkan informasi seputar masalah yang diangkat dan berdasarkan
metode yang digunakan peneliti. Yang
mana peneliti membagi kegunaan
penelitian ini pada dua aspek yakni:
1. Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis disini maksudnya hasil penelitian ini nantinya
dapat membantu memberikan referensi bagi peneliti lainnya yang akan
meneliti sebuah fenomena yang serupa atau seputar masalah yang sama.
Juga menambah pengetahuan yang ilmiah mengenai masalah yang
diangkat dengan metode yang digunakan peneliti, yakni studi kulaitatif
dengan pendekatan interaksiosme simbolik mengenai komunikasi
persuasi.
2. Kegunaan Praktis
Kegunaan paktis ini maksudnya hasil dari penelitian ini nantinya
dapat dipergunakan sebagai acuan atau referensi bagi pihak-pihak lain
yang memerlukan informasi ilmiah seputar masalah komunikasi ibu dan
anak dalam membentuk perilaku beribadah anak, agar dapat diterapkan
dalam mendidik dan mempersiapkan keimanan anak khususnya dalam
membentuk perilaku beribadah yakni sholat wajib 5 waktu dan aktifitas
membaca Al Quran pada anak. Hasil penelitian ini diharapkan berguna
bagi setiap ibu yang menerapkan dan menanamkan nilai-nilai agama,
norma, keimanan atau apapun pada anak tanpa melalui proses
pemaksakan kehendak oleh ibu atau orang tua.
8
1.6 Fokus Penelitian
Fokus penelitian dirancang guna menghindari
pembahasan yang
melebar dan keluar dari masalah utama yang diangkat oleh peneliti. Selain itu
fokus penelitian juga didesain untuk memberikan arah yang pasti dalam sebuah
penelitian guna mendapatkan informasi yang jelas, spesifik dan detail.
Memberikan perincian masalah yang akan diteliti dan memfokuskan kegiatan
peneliltian pada suatu area pengamatan dan penelitian yang lebih spesifik. Yang
mana peneliti menetapkan beberapa hal yang menjadi fokus penelitian, yaitu:
1. Perilaku beribadah lebih difokuskan dan dikhususkan pada pelaksanaan
ibadah ritual yang telah diketahui dan dipahami anak usia sekolah dasar.
Spesifikknya ialah sholat wajib lima waktu dan aktifitas membaca Al
Quran yang intensitasnya dibatasi minimal 1 kali seminggu.
2.
Konteks ibadah disini adalah proses belajar praktek dan pelaksanaan
sholat wajib lima waktu dan aktifitas membaca Al Quran itu sendiri.
Tentu kedua ibadah ini masih dalam tahap belajar bukan pendalaman
ataupun memiliki konsekuensi hukum yang wajib dikerjakan. Karena
anak masih dalam usia belum baligh.
3. Komunikasi persuasi terjadi dalam komunikasi antar pribadi antara ibu
dan anak, yang mana usia anak yang belum baligh dan masih duduk di
sekolah dasar. Dan berdasarkan status dan peranan ibu dan anak, maka
komunikasi yang dilakukan cendrung merupakan komunikasi horizontal.
4. Penelitian difokuskan pada sasaran penelitian yang basis keluarganya
merupakan keluarga yang Islami. Jadi paling tidak ibu dan bapaknya
9
telah memahami dan menerapkan syari’at Islam dalam pola asuh anak
juga pada kehidupan keluarga dengan baik.
1.7 Pengertian Istilah
1. Komunikasi atau communication bahasa Inggrisnya berasal dari kata latin
communis yang berarti sama. Komunikasi menyarankan bahwa satu pikiran,
satu makna, satu pesan yang dianut secara sama (Mulyana, 2001:41-42).
Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson menyebutkan komunikasi sebagai
proses memahami dan berbagi makna (Mulyana,2001:69).
2. Sementara komunikasi persuasi menurut Onong U. E (1979) adalah proses
mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan menggunakan
manipulasi psikilogis, sehingga orang tersebut bertindak atas kehendaknya
sendiri (Effendy,1979).
3. Perilaku yaitu tindakan yang jelas dan dapat diamati (Devito, 1997:447).
4. Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Lainnya ibadah
diartikan sebagai beramal dengan yang diizinkan oleh Syari’ Allah Swt,
karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti khusus, yaitu:
5. Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal
yang dilaksanakan dengan niat ibadah (LPPKID, 2001:1).
6. Ibadah dalam arti khusus adalah perbuatan yang dilaksanakan dengan tata
cara yang telah ditetapkan oleh Rasullah s.a.w (LPPKID, 2001:1).
10
1.8 Kerangka Pemikiran
Interaksi antara ibu dan anak merupakan interaksi yang kodrati yakni
proses interaksi yang terjadi oleh setiap manusia untuk pertama kalinya yakni
mulai dari dalam kandungan. Dengan demikian interaksi yang terjadi antara ibu
dan anak merupakan sebuah interaksi yang selalu melibatkan emosional dan
interaksi yang intensif (Djamarah, 2004:56).
Sebuah hadist yang meriwayatkan tanggung jawab orang tua, dalam
kasus ini ibu untuk mengajarkan anaknya segala sesuatu kebaikan dengan budi
pekerti. Seperti dikutip Djamarah (2004:29) hadist yang diriwyatkan oleh Abdur
Razzaq Sa’id bin Mansur yang menuliskan sabda Rasulullah Saw sebagai
berikut:
“Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka
dengan budi pekerti yang baik” (HR.Bukahri&Muslim).
Berdasarkan hadist di atas dalam menbentuk perilaku beribadah maka
komunikasi persuasi merupakan metode komunikasi yang paling ideal dalam
membentuk perilaku beribadah pada anak. Tentu saja tak terlepas dari kelebihan
dan kekurangan dari komunikasi persuasi itu sendiri.
Komunikasi persuasi ibu dan anak merupakan proses komunikasi
antarpribadi yang bertujuan mempengaruhi perilaku anak, tepatnya membentuk
perilaku anak dalam melaksanakan ibadah khususnya sholat dan membaca Al
Quran. Yang mana dalam proses komunikasi antarpribadi yang dilakukan ibu
dan anak menggunakan metode persuasi, ibu memberi pengaruh pada anak
khususnya dalam mempresepsi pesan dan perilaku ibadah itu sendiri.
11
Komunikasi antar pribadi menurut Liliweri memiliki salah satu cirinya
yakni bentuk akibat, yang mana komunikasi antar pribadi mempunyai akibat
yang disengaja atau tidak. Yang mengakibatkan suatu hasil yang direncanakan
atau tidak. Liliweri menyebutkan dalam bukunya Komunikasi Antar Persona
bahwa komunikasi antarpribadi merupakan tindakan persuasi manusia (Liliweri,
1991:15). Lebih lanjut Liliweri menjelaskan komunikasi persuasi dengan
mengutip dari Sunarjo (1983), yang mengatakan komunikasi persuasi
merupakan
teknik
untuk
mempengaruhi
manusia
dengan
memanfatkan/menggunakan data dan fakta psikologis maupun sosiologis dari
komunikan yang hendak dipengaruhi (Liliweri, 1991:40).
Semenetara itu Onong U. E mendefinisikan komunikasi persuasi dalam
kamus komunikasi sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan
orang dengan menggunakan manipulasi psikolgis, sehingga orang tersbut
bertindak atas kehendaknya sendiri (Effendy,1986:46). Berdasarkan esensi dari
persuasi itu sendiri maka imbauan atau bujukan merupakan hal yang identik
dalam proses komunikasi persuasi.
Berkaitan dengan komponen pesan persuasi, didalamnya terdapat
organisasi pesan, struktur pesan dan imbauan pesan. Dalam proses komunikasi
antar persona yang dilakukan ibu dan anak, organisasi pesan dan struktur pesan
sering kali terabaikan dan kurang dipergunakan dengan baik dan benar.
Sementara imbauan pesan merupakan komponen penting dari komunikasi
persuasi ibu dan anak. Ada lima jenis imbauan pesan dalam komunikasi persuasi
antara lain:
12
1. Imbauan Rasional; didasarkan pada anggapan bahwa manusia itu pada
dasarnya adalah makhluk rasional, yang baru bereaksi pada imbauan
emosional, bila imbauan rasional tidak ada. (Penggunaan pendekatan
logis atau penyajian bukti).
2. Imbauan Emosional; menggunakan pernyataan yang menyentuh emosi
komunikan.
3. Imbauan
Takut;
pesan
yang
menggunakan
istilah-istilah
yang
mencemaskan, mengancam, atau meresahkan.
4. Imabuan Ganjaran; imbauan yang menjanjikan tentang sesuatu yang
menguntungkan komunikan.
5. Imbauan Motivasional; pesan yang disusun untuk mendorong seseorang
atau sekelompok orang berpendapat, bersikap dan berperilaku yang
sesuai dengan yang diharapkan komunikator.
Teori Self Disclosure atau yang lebih dikenal dengan “Johari Window”
berasumsi bahwa setiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa
mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang
lain. Dimana dalam teori ini ada empat bingkai, yang setiap bingkainya
menggambarkan setiap sisi dari setiap manusia.
Bingkai pertama, disebut bidang terbuka yang menggambarkan
keterbukaan dalam berinteraksi. Bingkai kedua, disebut bidang buta yakni orang
lain lebih mengetahui diri kita dibanding diri kita sendiri. Bingkai ketiga adalah
bidang tersembunyi yaitu, dimana kita menyembunyi bagian dari diri kita
sehingga tidak diketahui orang lain. Sementara bingkai keempat disebut bidang
13
tak dikenal yakni suatu sisi dalam diri kita yang tak kita ketahui dan tak juga
diketahui orang lain.
Penelitian ini menggunakan pendekatan interaksi simbolik. Dalam
interaksi simbolik terdapat beberapa nama
yang memberikan asumsi yang
berbeda satu dengan lainnya. Sebut saja Blumer dan Mead yang asumsinya atas
interaksi simbolik paling sering digunakan peneliti dalam berbagai penelitian
interaksi simbolik.
Pada penelitian ini, peneliti berperan dalam menafsirkan dan
mendefinisikan setiap simbol dalam interaksi yang diteliti. Yang mana menurut
Cooley dalam interaksi simbolik ini ada sebuah teori yakni; aku (I), “daku”
(me), “milikku” (mine), dan “diriku” (myself) atau biasa disebut teori diri
(Mulyana, 2002:73).
Maksudnya disini secara ringkas interaksi simbolik
didasarkan atas tiga premis, yakni:
1.
Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon
lingkungan, termasuk objek fisik (benda), objek sosial (perilaku
manusia) didasarkan pada makna yang dikandung komponenkomponen lingkungan tersebut bagi mereka.
2.
Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak lekat
pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
3.
Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke
waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam
interaksi sosial (Mulyana,2002:71-72).
Penjelasan
mengenai
premis
dari
interaksi
simbolik
tersebut
menggambarkan bahwa setiap individu akan merespon dan menginterpretsikan
14
segala perilaku sosial berdasarkan nilai subjektif pada dirinya. Yang dijelaskan
Mulyana dalam bukunya “Metodologi Penelitian Kualitatif” menjelaskan
mengenai aliran yang diusung Mead ini bahwa:
Perilaku manusia berlangsung dengan mendefenisikan situasi yang
memungkinkan manusia bertindak, yakni pandangan bahwa perilaku
khas manusia adalah perilaku berdasarkan apa yang disimbolisasikan
oleh situasi, inilah esesnsi dari pendekatan interaksi simbolik
(Mulyana, 2002:93).
Dengan demikian penelitian memfokuskan pada proses pemaknaan oleh
ibu dan anak dalam komunikasi persuasi mengenai makna dari perilaku
beribadah ataupun pelaksanaan ibadah itu sendiri. Bagaimana ibu dan anak
menegosiasikan makna ibadah itu melalui penggunaan bahasa-bahasa yang
persuasi tentunya.
Pastinya pelaksanaan ibadah merupakan produk dari interaksi antara ibu
dan anak. Dan komunikasi persuasi antara ibu dan anak akan dilihat dan diteliti
dengan melihat interaksi yang menggunakan simbol-simbol dengan hasil atau
produk akhirnya berupa tujuan ibu dalam membentuk perilaku beribadah pada
anaknya
1.9 Metodologi Penelitian
1.9.1
Metodologi Penelitian
Metode dalam suatu penelitian besar sekali pengaruhnya terutama pada
hasil penelitian. Penggunaan metode yang relevan akan memungkinkan
mendapatkan hasil penelitian yang baik dan valid. Atas dasar pertimbangan
tersebut, peneliti menilai bahwa penelitian dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yang meneliti permasalahan langsung dan terlibat dalam penelitian,
15
merupakan metode yang tepat untuk melihat apakah komunikasi persuasi yang
digunakan oleh ibu dan anak sudah cukup berhasil atau tidak dalam membentuk
perilaku beribadah pada anak, khususnya dalam membantu anak memaknai
makna ibadah.
Penelitian kualitatif dikenal memiliki beberapa pendekatan, yang antara
lain fenomenologis, pendekatan etnografi untuk menelaah segi kebudayaan,
interaksi simbolik yang dinilai sangat lekat dengan studi komunikasi dan banyak
lagi lainnya.
Interaksi simbolik merupakan pendekatan yang digunakan peneliti
dengan pertimbangan bahwa perilaku ibu dan anak yang diteliti. Proses
komunikasi persuasi yang dilakukan merupakan proses pembentukan makna atas
ibadah bagi anak. Sehingga untuk meneliti perilaku beribadah pada ibu dan
anak, terlebih dahulu harus diketahui bagaimana anak dan ibu memaknai ibadah.
Selanjutnya makna ibadah pada keduanya yang akan membentuk dan
mempengaruhi perilaku pada ibu dan anak.
Dijelaskan Mulyana melalui pengalaman Charles H. Cooley bahwa
dalam mengamati perilaku manusia tidak boleh melihat dari luar tetapi harus
berupaya menangkap makna dan definisi yang dianut pihak yang diamati
(Mulyana,2002:75). Singkatnya interaksi simbolik dapat dijelaskan melalui
beberapa premis dibawah ini:
1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon
lingkungan, termasuk objek fisik (benda), objek sosial (perilaku
16
manusia) didasarkan pada makna yang dikandung komponenkomponen lingkungan tersebut bagi mereka.
2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak
lekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa.
3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu
ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan
dalam interaksi sosial (Mulyana,2002:71-72).
Sementara paham interaksi simbolik yang digunakan peneliti adalah
interaksi simbolik yang diusung oleh Herbert Blumer. Blumer merupakan yang
pertama kali menggunakan istilah interaksi simbolik. Ia dikenal sebagai
interaksionis simbolik dari mahzab Chicago yang termasuk dalam paradigma
kualitatif.
Blumer menjelaskan bahwa melalui penelitian interaksi simbolik dengan
paradigma kualitatif, peneliti akan meneliti perilaku manusia tidak untuk
digeneralisasikan dan peneliti juga akan cendrung mengguanakan introseksi
simpatetik. Selain itu juga menurut Blumer peneliti nantinya akan melihat
masalah melalui sudut pandang objek penelitian. Sehingga membuat peneliti
menggali infotmasi-informasi dari objek penelitian melalui kedekatnnya pada
objek penelitian. Sehingga membuat proses penelitian tidak terstruktur
(Ritzer,1992:225-229 dan Bryman,1988:94). Menurut Blumer
interaksi
simbolik didasari oleh tiga asumsi yaitu:
1. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki
hal-hal tersebut baginya.
17
2. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari, interaksi sosial yang
pernah dilakukan dengan orang lain.
3. Makna-makna itu dikelola dalam, dan diubah melalui, proses penafsiran
yang dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang
dijumpai (Effendy, 2003:394).
Apabila melihat asumsi Blumer di atas, maka diketahui bahwa interaksi
antara ibu dan anak akan membantu anak memaknai ibadah yakni sholat dan
mengaji melalui komunikasi persuasi yang dilakukan keduanya. Berdasarkan
asumsi Blumer, perilaku sholat dan mengaji pada anak akan terbentuk
berdasarkan pemaknaan anak atas sholat dan mengaji.
Ibu memaknai perilaku beribadah tentu berbeda dengan anak memaknai
perilaku ibadah. Ibu memberikan makna pada ibadah sesuai dengan esensi
ibadah yang dipahami ibu baik secara umum maupun secara khusus, yaitu
kewajiban sebagai seorang islam yang apabila tidak dilakoni akan menimbulkan
konsekuansi baginya, yakni dosa yang akan di-hisab pada hari pembalasan di
akhirat nanti. Selain itu juga kesempatan mendapatkan pahala sebanyak
mungkin. Ibadah diyakini ibu sebagai media mendekatkan diri dengan
penciptanya.
Makna atas ibadah pada anak tentu saja akan sangat berbeda dengan ibu.
Dengan tingkat pemahaman anak atas ibadah dan kewajibanya sebagai seorang
muslim tentu bergantung pada usianya dan pengetahunannya.. Jadi wajar saja
kalau anak memaknai ibadah sebagai bentuk ketaatannya pada orang tua dan
kewajiban sebagai anak untuk mematuhi semua ajakan dan perintah orangtua
khususnya ibu. Selain itu ibadah dapat juga dimaknai anak sebagai beban dan
18
tanggungjawab yang harus dilaksanakan dengan merelakan waktu anak yang
untuknya lebih baik dihabiskan untuk hal yang menyenangkannya.
Melalui penelitian ini pendefinisian ibadah atau pemaknaan atas ibadah
pada ibu dan anak yang terbentuk melalui komunikasi persuasi yang digunakan
ibu sebagai upaya membentuk perilaku ibadah anak akan ditelaah lebih dalam
guna mendapat hasil penelitian sesuai dengan pertanyaan penelitian yang ada.
1.9.2
Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap yaitu:
1. Tahap Pra-lapangan yaitu, peneliti menyiapkan segala sesuatunya sebelum
memulai penelitian langsung. Disini peneliti memilih dan menyeleksi
sasaran penelitian sesuai kriteria dan mulai melakukan interaksi-interaksi
dengan sasaran penelitian agar peneliti dapat dengan akrab dan leluasa saat
mengamati dan mewawancara objek atau sasaran penelitian. selain itu
peneliti juga mengumpulkan data-data pribadi sepasang ibu dan anak yang
akan menjadi sasaran penelitian. Antara lain latar belakang pendidikan anak
dan ibu serta status pekejaan ibu dan sebagainya yang dianggap penting dan
relevan sebagai penunjang data penelitian agar valid. Peneliti mengadakan
pendekatan
secara
kekeluargaan
dengan
objek
penelitian
dalam
mendapatkan kesedian pasangan ibu dan anak menjadi objek penelitian.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan yaitu, tahap dimana peneliti terjun langsung dan
mulai menggali dan mengumpulkan data dengan melalui 2 cara yakni:
a. Observasi, dimana peneliti mengumpulkan data dan informasi dengan
melihat dan mengamati setiap interaksi dan komunikasi yang
19
dilakukan ibu dan anak dalam upaya membentuk perilaku beribadah
pada
anak.
Observasi
akan
dilakukan
secara
intensif
guna
mendapatkan data-data yang akurat dan merupakan gambaran nyata
menyangkut masalah yang diteliti. Pengamatan atau observasi
dilakukan dengan melihat realita di lapangan bagaimana ibu dan anak
melakukan komunikasi persuasi dan juga seputar kebiasaan beribadah
anak dan ibu khususnya sholat dan aktifitas belajar membaca Al Quran
pada anak
b. Wawancara secara mendalam, yaitu mendapatkan dan mengumpulkan
data dan informasi seputar masalah dengan mengajukan beberapa
pertanyaan yang dirasa perlu oleh peneliti. Bentuk dan format dari
wawancara mendalam ini tidak terstruktur dan informal guna
mendapatkan data yang valid dan detail. Peneliti akan memberikan
sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian.
Yang mana wawancara ini dilakukan dalam konteks non formal dan
tidak berstruktur. Pertanyaan yang sebelumnya sudah dibuat oleh
peneliti. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diformat dalam sebuah daftar
pertanyaan. Namun peneliti juga akan mencatat setiap pertanyaan yang
berkaitan dengan masalah namun tidak terdapat dalam pertanyaan.
3. Tahap Analisis Data atau dengan istilah lainnya Studi Kepustakaan, yakni
penggalian data dari sumber-sumber literatur dan dokumen-dokumen
lainnya baik yang bersifat ilmiah ataupun tidak ilmiah yang relevan dan
menunjang hasil penelitian.
20
1.10 Sasaran peneltian
Penelitian kulalitatif yang dilakukan menggunakan sampling atau lebih
tepatnya objek penelitian berdasarkan kebutuhan penelitian yang memenuhi
konteks masalah penelitian. Moleng (2004:224) mengutip pendapat Lincoln dan
Guba, menjelaskan penelitian dengan asumsi bahwa konteks itu kritis sehingga
masing-masing konteks itu ditangani dari segi konteksnya sendiri.
Sehingga peneliti memilih menggunakan purposifve sampling (sampling
berdasarkan tujuan) yang termasuk kedalam non-probability sampling, yaitu
teknik sampling yang tidak memberikan kesempatan (peluang) pada setiap
anggota populasi untuk dijadikan anggota sample (Riduwan, 2004:61) . Dimana
pengambilan sampling tidak berdasarkan kerandoman atau peluang, namun
dikarenakan teknik sampling ini biasa digunakan dalam penelitian kualitatif
(Mulyana, 2001:187).
Guna mengamati gejala atau masalah yang diteliti, maka peneliti
memilih sepasang ibu dan anak sebagai sasaran penelitian yang tentunya
memenuhi beberapa kriteria atau pertimbangan yang berkaitan dengan
kebutuhan penelitian. Diambilnya sepasang ibu anak sebagai objek atau sasaran
penelitian agar dapat merekam dan mendapatkan data yang berkaitan dengan
penelitian secara lebih spesifik dan detail. Ini sejalan dengan alasan yang
dijelaskan oleh Moleng (2004:224), bahwa tujuannya bukanlah memusatkan diri
pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam
generalisasi. Tujuannya adalah untuk merinci
ramuan konteks yang unik.
kekhususan yang ada dalam
21
Pemilihan sasaran penelitian didasarkan pada beberapa pertimbangan
tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian dan ditetapkan berdasarkan
fokus penelitian guna memudahkan peneliti dalam memilih sasaran penelitian
yang sesuai dengan konteks masalah.
Maka berdasarkan fokus penelitian,
peneliti menetapkan kriteria atau pertimbangannya sebagai berikut:
1. Berasal dari keluarga yang Islami, ini dimaksudkan untuk mendapatkan
sasaran penelitian yang juga sejalan dengan penelitian yang mengangkat
masalah pentingnya ibadah sejak dini. Ibu yang mengerti dan paham esensi
ibadah dan tingkat keimanan yang relatif baik.
2. Tingkat pendidikan ibu yang baik, maksudnya pendidikan formal terakhir
yang dicapai oleh ibu. Kriteria ini di maksudkan untuk mendapatkan sasaran
atau objek penelitian dengan pemahaman intelektual yang baik dalam
membesarkan dan mendidik anaknya. Serta pendidikan dan usia anak yang
dianggap dapat mengerti dan mampu berkomunikasi dengan baik.
3. Kedekatan antara ibu dan anak, maksudnya kedekatan antara ibu dan anak
dalam banyak hal terutama pola komunikasi yang baik dan kelancaran
komunikasi antara ibu dan anak.
Setelah banyak melakukan interaksi dan pencarian objek penelitian yang
sesuai, akhirnya peneliti menganggap sepasang ibu dan anak di bawah ini layak
menjadi sasaran penelitian.
22
Tabel 1.1
Pasangan Sasaran Penelitian
Nama
Pendidikan
Umur
Ibu: Zubaidah
D3(sarjana muda)
40 tahun
Anak: Syarifah Azzahra
Kelas 4 SDN 02 Sukaluyu
9 tahun
Pilihan sasaran penelitian jatuh pada pasangan ibu Zubaidah dan anaknya
Azzahra selain dirasa profil mereka memenuhi kriteria juga pada kesedian
keluarga ibu Zubaidah. Sebelumnya peneliti mencoba mengamati dan
berinteraksi awal dengan keluarga ibu Zubaidah dan anaknya seputar masalah
yang diteliti guna mencocokan fokus penelitian dan kriteria sasaran penelitian
yang sudah ditetapkan. Keseluruhan proses pengambilan sasaran penelitian ini
masuk dalam tahapan penelitian pada tahap pra-lapangan.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi
2.1.1 Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan kegiatan lahiriah manusia. Sejak lahir, manusia
telah diberi kemampuan berkomunikasi dengan tahapan dan cara yang berbedabeda. Inilah sebanya mengapa selama hidup setiap manusia pasti melakukan
komunikasi, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain.
Komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatio” yang bersumber
dari kata communis yang memiliki arti sama. Sama disini diartikan sebagai
kesamaan makna. (Effendy,2003:30) jika terdapat dua orang yang saling
berkomunikasi, maka komunikasi tersebut berlangsung dengan baik, selama
terdapat kesamaan makna antara satu sama lainya.
Selain Effendy, masih banyak lagi para ahli komunikasi lainnya
mendefinisikan pengertian komunikasi baik secara luas ataupun dalam arti yang
lebih sempit. Seperti yang disampaikan Geradl M. Miller bahwa komunikasi
terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan
niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku manusia (Devito,1997:231).
Dengan jelas bahwa Gerald membuat pengertian menjadi sempit ketika
dia mengatakan bahwa komunikasi dilakukan untuk perubahan perilaku.
Sementara lain halnya dengan Raymond S. Ross yang mendefinisikan
komunikasi sebagai:
24
Intentional yaitu, suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan
simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar
membangkitkan makna /respon dan pikirannya yang serupa dengan yang
dimaksud komunikator(Mulyana,2001:62).
Komunikasi yang dijelaskan di atas mengisyaratkan pada komunikasi
yang segaja dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Selain komunikasi
dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu, komunikasi juga merupakan
proses pertukaran atau pembentukan makna. Seperti yang dikemukan oleh
Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss bahwa komunikasi adalah proses
pembentukan makna di antara dua orang atau lebih (Mulyana,2001:69).
Serupa dengan rekannya di atas Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson
menyebutkan komunikasi sebagai proses memahami dan berbagi makna
(Mulyana,2001:69). Keempat ahli ini menjelaskan esensi komunikasi sebagai
proses pertukaran makna, sementara John R. Wenburg dan William W. Wilmot
sepakat menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu usaha untuk memperolah
makna (Mulyana2001:68). Pengertian-pengertian komunikasi di atas selain
berorientasi pada pertukaran makna, juga berorientasi pada tindakan dengan
tujuan-tujuan tertentu.
2.1.2
Tujuan komunikasi
Joseph A. Devito (1997:30) dalam bukunya “Komunikasi antar
Manusia” menuliskan empat tujuan utama komunikasi yang dilakukan, baik
tujuan yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar. Tujuan-tujuan
komunikasi antara lain:
25
1. Menemukan.
Maksud dari menemukan ialah menyangkut penemuan diri (personal
discovery). Pada saat berkomunikasi dengan orang lain, kita belajar
mengenai diri kita sendiri selian juga tentang orang lain.
2. Untuk Berhubungan.
Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan
orang lain. Membina dan memelihara hubungan dengan orang lain. Kita
menghabiskan banyak waktu dan energi komunikasi kita untuk membina
dan memelihara hubungan sosial.
3. Untuk Meyakinkan.
Maksud meyakinkan disini dapat dilihat dari kita menghabiskan banyak
waktu untuk melakukan persuasi antarpribadi, baik sebagai sumber
maupun sebgai penerima. Dalam perjumpaan antarpribadi sehari-hari kita
berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain.
4. Untuk Bermain.
Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan
menghibur diri. Demikian pula banyak dari perilaku komunikasi kita
dirancang untuk menghibur orang lain. Adakalanya hiburan ini merupakan
tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk mengikat
perhatian orang lain sehingga kita dapat mencapai tujuan-tujuan lain
(Devito, 1997:31-32).
Berdasarkan pendapat Devito diatas, kita ketahui bahwa komunikasi
selalu dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Bisa saja keempat tujuan di atas
saling mempengaruhi dan saling mendukung antara tujuan yang satu dengan
tujuan lainnya. Atau keempat tujuan diatas menjadi satu kesatuan dan terjadi
dalam sebuah proses komunikasi sekaligus.
Seperti pada saat melakukan komunikasi, komunikator selain mengenal
komunikan, komunikator juga tanpa sengaja menemukan sebuah motivasi atau
sifat pada dirinya yang kemudian dimanfaatkan untuk lebih mendekatkan diri
pada komunikan dan pada akhirnya mampu meyakinkan komunikan dalam
mengubah nilai, sikap, pendapat bahkan perilaku pada komunikan.
26
Sebagai pencapaian akhir dari komunikasi seperti dijelaskan di atas,
Effendy kemudian mengemukan tujuan komunikasi antara lain:
a. Mengubah sikap (to change the attitude)
b. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion)
c. Mengubah perilaku (to change the behavior)
d. Mengubah masyarakat (to change the society) (Effendy,2003:55).
Tiga dari empat tujuan komunikasi diatas, kemudian dikenal dan di
identifikasikan sebagai efek dari komunikasi, yakni :
1. Efek kognitif, yaitu dampak yang mempengaruhi aspek intelektual,
berupa opini, pendapat, ide dan juga pandangan komunikan.
2. Efek afektif, yaitu dampak yang mempengaruhi perasaan dan
kecendrungan perilaku (sikap) pada komunikan.
3. Efek Behavioral, yaitu dampak yang merujuk pada perubahan perilaku
komunikan.
Dalam proses komunikasi yang dilakukan ibu dan anak, ketiga efek ini
menjadi target, yakni berupa perubahan pemahaman, sikap dan tentunya
perubahan perilaku pada anak sebagai klimaks yang diharapkan terjadi sekaligus
dalam proses komunikasi yang kontinyu.
2.1.3 Fungsi-Fungsi Komunikasi
Selain memiliki tujuan-tujuan seperti yang dijelaskan di atas,
komunikasi juga dilakukan dengan beberapa fungsi. Beberapa ahli komunikasi
mengungkapkan banyak fungsi berdasarkan perspektifnya. William I. Gorden
27
salah satu ahli komunikasi yang mengemukan empat fungsi komunikasi yang
kemudian dijelaskan oleh Deddy Mulyana. Yang mana keempat fungsi
komunikasi itu antara lain:
1. Komunikasi sosial
Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan
bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita,
aktualisasi-diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan,
terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang
bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain.
2. Komunikasi ekspresif
Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain.
Namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk
menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita.
3. Komunikasi ritual
Komunikasi ritual biasanya dilakukan secara kolektif, melaui acara-acara
ritual tertentu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilakuperilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus seperti berdoa (sholat),
lebaran adalah komunikasi ritual.
4. Komunikasi instrunmental
Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum:
menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, dan keyakinan
dan merubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga menghibur.
Maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasif)
(Mulyana,2001:5-30).
Fungsi komunikasi instrumental merupaka komunikasi yang yang
mempunyai tujuan yang semuanya merujuk pada sifat persuasif. Dengan
demikian komunikasi persuasi mencakup pada wilayah komunikasi bertujuan
yang luas cakupannya.
2.1.4 Unsur-Unsur Komunikasi
Proses komunikasi terjadi setelah memenuhi beberapa unsur dalam
komunikasi. Sedikitnya dalam proses komunikasi terdiri atas 3 unsur yakni:
28
1. Komunikator
Disebut juga sebagai sumber atau orang yang menyampaikan pesan.
Komunikator dalam jenis komunikasi tertentu bisa juga menjadi komunikan.
2. Komunikan
Komunikan ialah orang yang menerima pesan dari komunikator atau sumber
komunikasi. Dalam jenis komunikasi tertentu komunikan juga dapat berperan
ganda, yakni merangkap sebagai komunikator.
3. Pesan
Pesan merupakan sekumpulan simbol atau lambang yang memiliki arti.
Pesan dapat berupa simbol-simbol atau lambang-lambang secara verbal dan
juga non verbal.
Selain tiga unsur komunikasi diatas, dalam proses komunikasi juga
ditemui beberapa unsur penting lainnya yang menunjang terciptanya komunikasi
yang efektif. Para ahli menetapkan unsur-unsur komunikasi lainnya sebagai satu
kesatuan dari proses komunikasi. Unsur-unsur tersebut antara lain:
1. Media
Media merupakan alat dan sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan
dari komunikator pada komunikannya.
2. Efek (pengaruh)
Merupakan bentuk dini dari hasil proses komunikasi. Pengaruh atau efek juga
tidak kalah penting dari unsur komunikasi lainnya karena melalui efek
29
komunikasi kita dapat melihat dan mengetahui hasil komunikasi yang kita
lakukan.
3. Umpan Balik
Biasa juga disebut feedback, yaitu informasi yang dikirimkan balik
kesumbernya (Clement&Frandsen,1976). Berupa tanggapan atau reaksi dari
komunikan terhadap pesan yang telah disampaikan oleh komunikator. Umpan
balik terbagi dua jenis , pertama umpan balik secara langsung dan kedua umpan
balik yang tertunda. Berdasarkan umpan balik ini, pembicara dapat
menyesuaikan, memodifikasi, memperkuat, mengubah isi atau bentuk pesannya
(Devito,1997:104).
4. Hambatan atau Gangguan
Berupa hambatan-hambatan yang menyebabkan komunikasi tidak berjalan
dengan lancar dan dapat mendistorsi tujuan dari komunikasi sehingga
menimbulkan kesalah pahaman dalam proses komunikasi.
2.2 Komunikasi Persuasi Dalam Tatanan Komuniaksi Antarpribadi
2.2.1 Tinjauan Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi merupakan salah satu bentuk atau jenis
komunikasi. Dimana komunikasi antarpribadi juga dikenal dengan komunikasi
antarpersona.
Devito menyebutkan komunikasi antarpribadi dalam bukunya
“The Interpersonal Communication Book” sebagai:
30
The process of sending and receiving messages between two persons, or
among a small group of persons, with some effect and some immediate
feedback.
(Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan diantara dua orang, atau
diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan
beberapa umpan balik seketika) (Effendy, 2003:60).
Sesuai
dengan
definisi
yang
disampaikan
Devito,
komunikasi
antarpribadi memang merupakan komunikasi yang bersifat dialogis dengan
melibatkan dua orang atau dikenal sebagai komunikasi diadik. Seperti
komunikasi yang dilakukan ibu dan anak, dengan maksud dan tujuan yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
Sifat komunikasi antarpribadi yang dialogis ini
kemudian menjelaskan mengapa umpan balik dalam komunikasi antarpribadi
yang disebutkan oleh Devito merupakan umpan balik seketika.
Komunikasi antarpribadi juga lekat dan lebih dikenal dengan komunikasi
tatap muka, meskipun perkembangan teknologi akhirnya mulai mematahkan
pendapat yang demikian. Namun apapun bentuk komunikasi antarpribadi tidak
menyurutkan keampuhan komunikasi antarpribadi dalam mencapai tujuan
komunikasi. Karena dinilai sebagai komunikasi yang paling efektif dalam
mencapai tujuan komunikasi yakni, mengubah sikap, kepercayaan, opini dan
perilaku komunikan, maka komunikasi antarpribadi sering kali dipergunakan
untuk melancarkan komunikasi persuasif.
Liliweri menyebutkan ciri dari Komunikasi antarpribadi adalah kegiatan
komunikasi harus selalu mengandung tindakan persuasi (Liliweri1997:40).
Inilah yang kemudian melekatkan banyak elemen komunikasi antarpribadi yang
bersinggungan dengan elemen komunikasi persuasi. Bahkan komunikasi
persuasi biasanya hadir dalam komunikasi antarpribadi. Apalagi bentuk
31
komunikasi intensif yang dilakukan oleh ibu dan anak, dapat dipastikan bahwa
komunikasi antarpribadi yang memegang peran penting pada hubungan ibu dan
anak, serta menjadi salah satu media pendidikan yang dilakukan ibu pada anak.
Kenneth & Anderson menyebutkan komunikasi persuasi sebagai proses
komunikasi antarpesona(Effendy,1983:103), ini berarti komunikasi persuasi
yang dilakukan ibu dan anak sudah jelas berada dalam situasi komunikasi
antarpribadi yang dialogis dan tatap muka. Semua unsur atau elemen
komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak ini merupakan unsur dan
elemen komunikasi antarpribadi.
2.2.2
Komunikasi Persuasi Dalam Komunikasi Antarpribadi
2.2.2.1 Pengertian Komunikasi Persuasi
Sebelum mengetahui lebih lanjut dan dalam komunikasi persuasi ada
baiknya kita ketahui dahulu apa sebenarnya persuasi itu. Jika ditelaah dari asal
kata persuasi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yakni persuassion.
Yang mana asal kata persuassion berasal dari bahasa latin persuasio yang
memiliki arti ajakan, himbauan, bujukan atau rayuan. Yang kemudian selalu
digunakan oleh orang dalam melakukan komunikasi yang memiliki tujuan
tertentu. Drs. R.A. Sastroputro mendefinisikan persuasi sebagai:
Persuasi merupakan salah satu metode komunikasi sosial dalam
penerapannya menggunakan teknik atau cara tertentu, sehingga dapat
menyebabkan orang bersedia melakukan sesuatu dengan senang hati,
dengan suka rela dan tanpa merasa dipaksa oleh siapapun (Sastroputro,
1998:246).
Selain Sastroputro yang mendefinisikan sebagai metode komunikasi, ada
juga ahli yang menjelaskan persuasi sebagai kegiatan psikologis dalam usaha
32
mempengaruhi pendapat, sikap dan tingkah laku orang banyak (Roekomy,
1992:2).
Dalam upaya pembentukan perilaku ibadah yang dilakukan oleh ibu pada
anak, persuasi dipilih sebagai upaya
menggugah anak agar melaksanakan
ibadah atas keinginan anak sendiri tentu berdasarkan pemahamannya atas ibadah
itu sendiri. Jika didekatkan pada dua definisi diatas maka terlihat jelas bahwa ibu
melakukan upaya atau teknik membentuk perilaku ibadah anak dengan
mempengaruhi psikologis anak sehingga melaksanakan ibadah sengan senang
hati dan suka rela sebagai wujud dari pemahaman anak atas ibadah.
Karena peran persuasi mengubah pengetahuan, sikap, dan atau tingkah
laku seseorang adalah mirip dengan proses pendidikan dan berarti merupakan
tujuan umum dari komunikasi (Whalen,2005:61). Maka persuasi kerap
disandingkan dan menjadi bagian dari komunikasi. Sehingga komunikasi
persuasi telah menjadi satu kesatuan dalam upaya menyukseskan tujuan
seseorang melakukan komunikasi.
Secara jelas telah diketahui makna persuasi baik secara etimologis
maupun uraian para ahli, sehingga sudah sedikit tergambarkan pengertian dari
komunikasi persuasi. Baik para ahli komunikasi maupun bukan ahli komuniaksi
mendefinisikan komunikasi persuasi sesuai dengan pemahaman dan konteks
komunikasi persuasi yang diketahui dan diyakininya. . Salah
satunya
komunikasi persuasi dikemukan oleh Kenneth & Anderson diterrjemahkan oleh
Effendy sebagai:
Proses komunikasi antarpersona dimana komunikator berupaya dengan
menggunakan lambang-lambang untuk mempengaruhi kognisi penerima,
jadi secara sengaja mengubah sikap atau kegiatan seperti yang diingikan
komunikator (Effendy, 1981:103).
33
Pengertian di atas memperkuat dan sangat sesuai dengan kegiatan
komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak dengan tujuan terbentuknya
perilaku beribadah pada anak, yakni sebuah aktivitas komunikasi antarpersona
yang menggunakan simbol tertentu yang akan mempengaruhi pemahaman anak
pada ibadah, sehingga nantinya diharapkan anak mampu melaksanakan ibadah
sesuai keinginan ibu dan kesadaran anak.
Sesuai dengan definisi di atas, ibu sebagai komunikator akan kerap kali
menggunakan lambang-lambang yang biasa disebut pesan dalam mempengaruhi
kognisi anak, yakni pemahaman anak pada makna sholat fardhu lima waktu dan
juga aktifitas baca Al Quran sebelum kemudian mampu melaksanakannya
dengan konsisten. Upaya ibu dalam mempengaruhi dan membentuk perilaku ini
merupakan sebuah kegiatan komunikasi yang mengharuskan ibu sebagai
komunkator memahami dan melakoni terlebih dahulu ibadah sebelum mengikut
sertakan anaknya.
Namun proses ini jelas tidak mudah karena menyangkut kontribusi ibu
yang sangat besar sebagai komunikator dengan kredibilitas yang sempurna di
mata anak. Sepaham dengan yang dikutip Jalaludin Rakhmat atas kegiatan
komunikasi
persuasi menurut Aristoteles tetang pentingnya karakteristik
komunikator, yaitu:
Persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicara yang ketika ia
menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya.
Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang-orang baik dari
pada orang lain : ini berlaku pada masalah apa saja dan secara mutlak
berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak
benar pendapat penulis retorika bahwa kebaikan personal yang
diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuasaan
persuasinya: sebaliknya karakteristiknya hampir bisa disebut sebagai alat
persuasi yang paling efektif yang dimilikinya (Rakhmat 2001:255)
34
Melalui kutipan Rakhmat di atas, dapat disimpulkan peran penting
seorang komunikator atau persuader dalam keberhasilan komunikasi persuasi.
Peran penting ibu kembali menjadi perhatian dalam kaitannya memilih metode
persuasi dalam membentuk perilaku beribadah anak yang notabene tugas
penting ibu dalam terus membina akhlak dan aqidah anak. Barangkali kedekatan
dan hubungan emosional antara ibu dan anak merupakan salah satu faktor
penting dalam keberhasilan komunikasi persuasi yang dilakukan ibu.
2.2.2.2 Prinsip-Prinsip Komunikasi Persuasi
Ada beberapa prinsip-prinsip komunikasi persuasi yang dikemukan Dedy
Jamaludin dalam bukunya Komunikasi Persuasif antara lain:
1. Prinsip Identifikasi
Kebanyakan orang mengabaikan ide, opini atau sudut pandang sekalipun
diketahuinya. Betul bila hal-hal tersebut mempengaruhi hasrat, rasa,
harapan dan aspirasi pribadinya. Pesan yang disampaikan harus anda
susun dengan memperhatikan kepentingan khalayak.
2. Prinsip Tindakan
Orang jarang menerima gagasan yang terpisah dari tindakan, bila
tindakan yang diambil oleh penganjur ide maupun tindakan yang
diyakini bisa membuktikan kebenaran ide itu, sekalipun sarana tindakan
diberikan, orang cendrung menganggap enteng imbauan untuk
mengerjakannya.
3. Prinsip Familiaritas dan Kepercayaan
Kita hanya menerima ide yang disampai orang yang kita percayai. Orang
yang mempengaruhi kita atau hanya mengambil opini dan sudut pandang
yang disampaikan individu, perusahaan atau lembaga yang kita anggap
terpecaya. Sekalipun pendengar mempercayai pembicara, dia mungkin
tidak mendengar dan mempercayai.
4. Prinsip kejelasan situasi harus jelas bagi kita, tidak membingungkan.
Hal-hal yang diatas, dibaca, atau didengar yang membentuk kesan-kesan
haruslah jelas. Bukan hal memungkin munculnya berbagai interpretasi.
Orang cendrung melihat sesuatu sebagai hitam putih
untuk
berkomunikasi, anda harus menggunakan kata-kata, simbol-simbol dan
stereotip-stereotip yang dipahami dan mendapat respon pendengar
(Malik,1994:132-133).
35
Keempat prinsip di atas dalam aplikasinya sehari-hari dapat berbedabeda sesuai dengan tujuan komunikasi persuasi dan konteks komunikasi
persuasi. Prinsip pertama misalnya mengusung ide kejelian seorang persuader
untuk lebih mengetahui komunikan agar lebih efektif proses persuasinya.
Disini ibu sebagai persuader dituntut untuk lebih jeli mengetahui anak
luar dan dalam. Paling tidak pengetahuan ibu tentang anaknya dapat menentukan
langakah-langkah tindakan yang cocok dalam membujuk dan mengarahkan anak
untuk melaksanakan sholat lima waktu serta membaca Al Quran.
Menurut prinsip pertama yang di atas ibu harus menyampaikan pesanpesan persuasi yang dapat dimengerti dengan baik oleh anak. Baik dari
penjelasan verbal maupun dengan peragaan atau hal-hal yang non verbal yang
mampu dicerna dan dipahami dengan baik oleh anak. Tidak mudah mungkin
akan menjelaskan bentuk ibadah yang sifatnya mengikat dan wajib tanpa
menunjukkan manfaat nyata bagi seorang anak.
Sementara prinsip yang kemukan Dedy
yang kedua merujuk pada
tindakan konkrit dari pesan yang disampaikan persuader. Tentu saja disini ibu
akan bertindak sebagai tauladan dan mentor anak dalam membimbing dan
mengajak anak untuk melaksanakan ibadah. Ini tidak sulit, karena ibu yang
menginginkan anaknya untuk tekun beribadah pastilah ia akan menunjukan
ketekunan ibu beribadah.
Prinsip yang ketiga merupakan prinsip komunikasi persuasi yang
menguntungkan dalam proses komunikasi persuasi ibu dan anak. Tidak
diragukan lagi bahwa hubungan ibu dan anak merupakan hubungan yang paling
hakiki dan hubungan kodrati. Jadi kedekatan antara persuader yang diperani oleh
36
ibu dengan komunikannya yaitu anak, sudah cukup menguntungkan bagi
keduanya karena kepercayaan yang ada diantara keduanya tidak perlu
dipermasalahkan lagi.
Prinsip komunikasi persuasi yang terakhir ialah kejelasan situasi dan
yang tidak membingungkan. Menghindari munculnya berbagai interpretasi ialah
penting bagi persuader agar tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan yang
diharapkan. Dalam upaya ibu mempersuasi anaknya agar tekun beribadah tentu
sebuah tujuan dan upaya yang jelas. Hanya saja maksudnya disini kondisi yang
dibangun oleh ibu dalam membujuk anaknya agar selalu beribadah khususnya
sholat dan mengaji harus dapat terlebih dahulu dipahami anak sebagai sesuatu
yang baik. Yang pada akhirnya setiap pesan yang disampaikan ibu dapat
dimengerti dan dipahami anak dengan tepat.
2.2.2.3 Hambatan Komunikasi Persuasi
Dalam unsur-unsur komunikasi di atas kita temui gangguan atau hambatan
dalam komunikasi. Khususnya hambatan pada komunikasi antarpribadi yang
bersifat dialogis. Karena komunikasi persuasi yang dibahas merupakan bagian
dari komunikasi antarpribadi maka gangguan atau hambatan komunikasi
persuasi dapat berupa hambatan atau gangguan yang juga ada pada komunikasi
antarpribadi. Hambatan dan gangguan yang muncul dapat menggeser dan
mengagalkan tujuan-tujuan dari komunikasi persuasi yang dilakukan oleh ibu.
Effendy (2003:46) mengklasifikasikan gangguan berdasarkan sifatnya menjadi
dua bagian, yaitu:
37
a. Gangguan Mekanik, yang dimaksud gangguan mekanik ialah: gangguan
yang berupa suara-suara kegaduhan yang membuat komunikasi tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
b. Gangguan Sematik, yaitu gangguan yang menyangkut isi pesan yang
disampaikan
berupa pemakaian kata-kata, istilah yang menimbulkan
salah paham dan salah pengertian.
2.3 Prinsip Etika Komunikasi Dalam Islam
Dalam komunikasi kita mengenal beberapa prinsip komunikasi yang
dikemukan oleh para ahli komunikasi, demikian juga dalam agama Islam yang
mengatur setiap detail umat manusia di muka bumi ini. Islam juga mengenal
prinsip etika dalam berkomunikasi. Ada enam etika prinsip komunikasi yang
dipaparkan Djamarah dibawah ini antara lain:
a. Qawlan Karima (Perkataan yang Mulia)
Islam mengajarkan agar mempergunakan perkataan yang mulia dalam
berkomunikasi kepada siapa pun. Perkataan yang mulia ini seperti terdapat
dalam Al Quran yang berbunyi:
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaknya kamu berbuat baik pada ibu bapamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai umur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan pada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia”. (QS.Al-Israa:23)
Dalam ayat ini, Allah tidah hanya mengingatkan ajaran tauhid tetapi juga
memerintahkan kepada anak agar berbakti dan bertutur kata yang mulia pada
orangnya.
38
b. Qawlan Sadida (Perkataan yang Benar/Lurus)
Siapa pun menyukai orang yang jujur, karena ia dapat dipercaya untuk
mengemban amanah yang diberikan. Tentang perkataan yang benar ini terdapat
dalam Al Quran yang berbunyi:
Artinya:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (QS.An-Nisaa:9)
Perkataan yang benar dan kejujuran sudah pasti diketahui setiap umat
Islam bahwa itu merupakan salah satu identitas Nabi Muhammad Saw sebagai
Rasulullah dan suri tauladan kita muslim dan muslimah.
c. Qawlan Ma’rufa (Perkataan yang Baik)
Perkataan atau ungkapan yang baik dan pantas juga menjadi prinsip etika
komunikasi dalam Islam, ini tercermin dalam ayat Al Quran dibawah ini:
Artinya:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiring
dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun”. (QS.Al-Baqarah:263)
Dalam ayat diatas Allah memperingatkan bahwa perkataan yang baik
atau pantas dan pemberian maaf lebih baik dari pada pemberian sedekah yang
diiringi dengan perkataan yang menyakitkan hati penerima.
d. Qawlan Baligha (Perkataan yang Efektif/Keterbukaan)
Dalam konteks komunikasi, frase ini dapat diartikan sebagai komunikasi
yang efektif. Pengertian didasarkan pada pengertian atas “perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka” yang terdapat dalam Al Quran:
Artinya:
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang didalam hati
mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran,
39
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. (QS.AnNisaa:63)
Ayat di atas memberikan isyarat bahwa komunikasi itu efektif bila
perkataan yang disampaikan itu berbekas pada jiwa seseorang. Dalam
komunikasi keluarga berbekas di jiwa itu penting.
e. Qawlan Layyina (Perkataan yang Lemah Lembut)
Islam mengajarkan komunikasi yang lemah lembut kepada siapa pun.
Dalam keluarga, orang tua sebaiknya berkomunikasi pada anak dengan cara
lemah lembut, jauh dari kekerasan dan permusuhan. Dengan menggunakan
komunikasi yang lemah lembut, selain ada perasaan bersahabat pada anak. Juga
ia berusaha menjadi pendengar yang baik. Perintah menggunakan perkataan
yang lemah lembut ini terdapat dalam Al Quran berbunyi:
Artinya:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS.Thaahaa:44)
f. Qawlan Maisura (Perkataan yang Pantas)
Dalam komunikasi, baik lisan dan tulisan, dianjurkan untuk mengunakan
bahasa yang mudah, ringkas dan tepat sehingga mudah dicerna dan dimengerti.
Dalam Al Quran ditemukan istilah qawlan maisura yang merupakan salah satu
tuntutan untuk melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa yang
mudah dimengerti dan melegakan perasaan. Seperti pada ayat dibawah ini:
Artinya:
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang
kamu harapkan, maka katakanlah pada mereka ucapan yang pantas”. (QS.Al-Israa:28)
Komunikasi yang baik lagi menyenangkan membuahkan kerinduan
dalam keakraban hubungan antara anak dan orang tuanya dalam sebuah keluarga
(Djamarah, 2004:105-114).
Enam prinsip etika komunikasi yang dikemukan Djamarah di atas sangat
menggambarkan betapa Islam memiliki rujukan dan anjuran bagi setiap umatnya
untuk menjaga tutur kata dalam berkomunikasi. Sangat jelas tergambar dan
terpapar di atas bahwa komunikasi yang dilakukan pada siapa pun, baik dalam
40
keluarga antara orang tua dan anak, tapi juga pada orang-orang yang diluar
lingkungan keluarga.
Etika komunikasi Islam ini terkadang dilupakan oleh banyak orang
khususnya umat Islam, yang sebenarnya jika dilakukan dapat memperkecil
kesenjangan antara kaya dan miskin, tua dan muda serta pintar dan bodoh.
Diperlukannya dan dianjurkannya komunikasi persuasi dalam kehidupan umat
islam membuat kita harus benar-benar menerapkan dalam setiap kegiatan
berkomunikasi dalam hidup kita.
Terutama pada aplikasi komunikasi dalam keluarga, karena proses
identifikasi yang berlangsung dalam keluarga membuat pentingnya nilai-nilai
kebaikan tumbuh dan berkembang dalam keluarga. Komunikasi persuasi yang
mulai diterap dalam membentuk perilaku beribadah pada anak diharapkan
kemudian menumbuhkan bibit-bibit toleransi yang besar pada diri anak.
2.3.1 Komunikasi Persuasi Dalam Perspektif Islam
Komunikasi persuasi
kita kenal sebagai kebalikan dari komunikasi
koersif, yang mana komunikasi koersif sendiri diartikan oleh Phillip L. Husanker
dan Anthony J. Alessandra sebagai seni atau cara dalam berkomunikasi yang
menampilkan emosi, lewat suara dan gerak-gerik tubuh yang membuat
komunikan merasa takut, tunduk dan patuh (Effendy,1986:62).
Dengan demikian komunikasi persuasi merupakan cara komunikasi yang
tentunya bertolak belakang dari komunikasi koersif yang dijelaskan di atas.
Agama Islam mengatur segala tindak-tanduk dan pergerakan umat manusia
dimuka bumi, termasuk dalam hal mempengaruhi orang lain. Banyak tahapan
41
dan cara yang diperkenalkan oleh agama Islam dalam mengajak dan
menghimbau orang untuk berbuat kebajikan dan beribadah.
Tentu salah satunya ialah metode komunikasi persuasi, yang kerap
diidentikkan dengan rayuan dan bujukan dengan menggunakan pesan-pesan
yang lebih santun dan manusiawi. Berkaitan dengan pesan yang disampaikan,
lebih tepatnya pesan-pesan verbal, didalam Al Quran menjelaskan bagaimana
ucapan dapat diperhalus melalui ayat dibawah ini yang:
Artinya:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimah yang
baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan menjulang kelangit. Pohon itu
memberikan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan- perumpamaan itu kepada manusia agar selalu ingat.” (QS.Ibrahim
14:24-25).
Dari kutipan ayat Al Quran di atas, secara eksplisit dapat kita pahami
bahwa Islam mengajarkan perumpaan-perumpaan kalimat yang baik dalam
berkomunikasi. Ini tentu saja menunjukan pada kita bahwa ujar dan tutur kata
yang santun merupakan bagian keimanan kita sebagai umat Islam. Ditambah
lagi dengan sikap dan perilaku Nabi besar kita Muhammad Rasulluah Saw yang
selalu menunjukkan dan mengajarkan akan kesopanan dan kebaikan dalam
segala aspek, apalagi dalam kaitannya mendidik dan membina anak.
Dalam kaitannya dengan kewajiban ibu mengajarkan dan membina
anaknya beribadah, Islam juga menganjurkan pada orang tua khususnya ibu
42
untuk mengajarkan sesuatu dengan baik-baik pada anak-anaknya. Djamarah
(2004:29) mengutip hadist yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq Sa’id bin
Mansur tentang sabda Rasulullah saw :
“Ajarkanlah kebaikan pada anak-anak kamu dan didiklah mereka dengan
budi pekerti yang baik” (HR.Bukhari&Muslim)
Dalam hadist lainnya yang dikutip Djamarah (2004:29) berasal dari Ibnu
Abbas r.a, Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersada:
“Diantara hak orang tua terhadap anaknya adalah mendidiknya dengan
budi pekerti yang baik dan memberikan nama yang baik” (HR.
Bukhari&Muslim).
2.4
Hubungan Ibu dan Anak Dalam Menbentuk Perilaku Beribadah
Pada Anak
2.4.1 Tinjauan Tentang Ibu
Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil yang di dalamnya terdapat
bagian dan anggota yang terikat pertalian darah dan bukan. Sebagai institusi,
keluarga memiliki tanggung jawab - tanggung jawab pada semua aspek
kehidupan. Termasuk pada fungsi pendidikan dan fungsi religius.
Terkait pada tanggung jawab dalam kehidupan dan juga keluarga, sebuah
hadist yang dipercaya menuliskan mengapa kemudian kita harus bertanggung
jawab atas sesuatu dalam hidup kita. Terlebih tanggung jawab yang dipegang
oleh orang tua sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga. Hadist yang tercatat
dalam panduan hadist umat Islam berbunyi sebagai berikut:
43
“Kalian semua adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggung
jawaban atas apa yang dipimpinnya, seorang pejabat adalah pemimpin,
seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, seorang istri adalah
pemimpin dalam rumah suami dan anak-anaknya, dan kalian semua
adalah pemimpin dan kalian akan diminta pertanggung jawaban atas apa
yang dipimpinnya (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist di atas ditujukan pada setiap manusia yang secara kodrati
memiliki tanggung jawab dalam kehidupan pada kapasitasnya masing-masing.
Namun perhatian besar pada hadist di atas diperuntukkan pada tanggung jawab
keluarga khususnya bapak dan ibu. Masih merujuk pada hadist di atas,
diterangkan bahwa seorang istri dan juga ibu memiliki tanggung jawab atas
anak-anaknya, inilah kemudian mengapa peran ibu dalam proses pendidikan
khsususnya pendidikan agama pada anak menjadi sangat signifikan. Karena
menyangkut pertanggung jawabannya yang akan di-hisab pada hari akhir nanti.
Sebelum mengulas lebih dalam peran ibu dalam membentuk kepribadian
dan perilaku anaknya, ada baiknya kita telaah sedikit keistimewaan seorang ibu.
Beberapa ayat suci Al Quran menjelaskan betapa ibu sebagai sosok yang
istimewa bagi semua insan,salah satunya:
Artinya:
“Kami perintahkan pada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibubapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan
susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan……” (QS.Al-Ahqaaf:15)
Ayat suci Al Quran di atas merupakan rujukan bagi semua umat Islam
dalam menyikapi dan memperlakukan orang tua khususnya ibu dalam kehidupan
sehari-hari. Penghargaan yang begitu tinggi atas ibu juga kemuliaan seorang ibu
yang membuat ibu menjadi bagian dari hidup setiap anaknya termasuk di
44
dalamnya peran ibu dalam membentuk setiap perilaku anak khususnya perilaku
beribadah.
Selain ayat suci Al Quran yang tak diragukan keberannya di atas, hadist
sahih yang diakui semua umat Islam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim,
membuat ibu tiga kali lebih diutamakan dari pada ayah. Dimana Rasulullah Saw
menyebutkan ibu sebanyak tiga kali atas pertanyaannya “siapa yang paling
berhak menerima bakti?” setelah tiga kali Rasulullah Saw menyebut ibu, baru
beliau menyebutkan ayah yang kemudian berhak menerima bakti anak
(Hadi,1998:12).
Peran ibu yang komprehensif pada anak tidak berdasarkan atas hal-hal
yang sifatnya kodrati atau lahiriah, tetapi juga pada sifat-sifat utama yang
melekat pada seorang ibu, sifat yang penuh kasih sayang dan perhatian serta
kelembutan yang membuat ibu mengambil banyak tempat dihati anaknya.
Karena sesungguhnya anak merupakan bagian dari ibunya dan kelembutan ibu
lebih kuat pengaruhnya terhadap anak daripada ayah, (Naurah, 2005:16). Itulah
mengapa kapabilitas ibu dalam banyak hal terutama dalam hal keimanannya
menjadi kualitas utama seorang ibu.
Seorang ibu yang shalihah merupakan bibit unggul yang terdapat dalam
rumah karena dialah orang yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anaknya
(Naurah, 2005:16). Kelembutan seorang ibu biasanya akan terwujud dalam tata
cara ibu menanamkan nilai dan membentuk perilaku anak. Sikap yang toleransi
dan perlakuan lemah lembut dan kasih sayang penuh selalu hadir dalam setiap
upaya ibu membentuk perilaku dan menanamkan nilai-nilai.
45
Kerap kita jumpai upaya ibu mempersuasi anaknya dalam menggiring
anaknya pada kebaikan. Termasuk pada proses komunikasi persuasi yang
digunakan ibu dalam upayanya membentuk perilaku beribadah yang konsisten
pada anak.
2.4.2 Tanggungjawab dan Peran Ibu Dalam Membentuk Perilaku
Beribadah Anak
“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun, dan
pukullah jika ia tidak shalat pada usia 10 tahun, dan pisahkan tempat
tidur mereka.” (HR Bukhari & Muslim)
Berdasarkan kutipan hadist di atas jelas sekali hadist ini diserukan
khusus bagi para orang tua untuk tekun dan mengerahkan energi penuh untuk
mengajarkan anak sholat. Diberikan tenggang waktu yang sangat panjang
kurang lebih 3 tahun untuk mengajarkan dan membentuk perilaku sholat pada
anak secara lemah lembut dan penuh toleransi.
Ini semakin membuktikan dalam Islam mengajak dengan kebaikan
menjadi prioritas dalam mendidik anak khususnya. Seperti yang selalu diserukan
oleh Islam pada setiap orang, khususnya keluarga dalam mendidik anak untuk
melakukan kebaikan yang akan tercermin dari perilaku orang tua dalam
mendidik anaknya. Orang tua lah yang memegang tanggung jawab atas semua
pendidikan sholat dan perbuatan kebaikan lainnya, seperti pada kutipan ayat Al
Quran ini yang mempertegas perintah sholat yang harus diterapkan pada anak,
berbunyi sebagai berikut:
46
Artinya:
“Hai anakku, dirikan sholat dan suruhlah (manusia mengerjakan yang baik) dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah Swt)” (QS. Luqman:17).
Al Quran memang sudah seharusnya diajarkan pada anak-anak agar di
kemudian hari Al Quran dapat menjadi tuntunan bagi kehidupannya kelak.
Kewajiban mengajarkan Al Quran pada anak-anak sudah pasti pertama di
pegang oleh orang tua. Sebab itulah ibu khususnya disini sudah sejak awal harus
menerapkan aktivitas membaca Al Quran sebagai ibadah rutin yang sama hal
nya dengan sholat.
Menjadikan aktivitas membaca Al Quran sebagai ibadah yang akan
dilaksanakan anak dengan atau tanpa dorongan dari ibu. Akan lebih baik lagi
jika anak memahaminya dan melaksanakannya berdasarkan keinginannya
sendiri. Itu sebabnya anak perlu mengetahui bahwa paling tidak membaca Al
Quran merupakan keharusan bagi umat Islam, lebih baik lagi jika hafal dan
memahami isinya dengan baik. Keharusan akan berpegang pada Al Quran
banyak hadir dalam ayat-ayat Al Quran sendiri diantaranya:
Artinya:
“kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan paranya: petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”
(QS.al-Baqarah:2)
Artinya:
“kami turunkan kepadamu Alkitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS.anNahl:89)
47
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab (Al Qu’an) dan dirikanlah
sholat” (QS.al-Ankabuut:45.)
Selain perintah yang membaca dan menjadikan Al Quran pegangan ilmu,
Rasulullah Saw juga menyampaikan kemuliaan akan mengajari dan mempelajari
Al Quran. Dimana menurut sabda Nabi Muhammad Saw bahwa:
"Ajarkanlah anak-anak kamu tiga perkara: Mencintai Nabi kamu, dan
mencintai keluarganya serta membaca al-Quran. Sebab para pembaca
al-Quran berada di sisi Arasy Allah bersama-sama para anbiya'Nya dan
ashfiya'Nya pada hari tiada naungan melainkan naungan Allah sahaja."
(HR.Bukhari&Muslim)
“Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan
mengajarkan kepada orang lain” (HR.Bukhari&Muslim).
Mengajarkan atau memberikan pemahaman akan pentingnya belajar Al
Quran memang selayaknya di mulai dari keluarga, apabila kedua orang tua
merasa tidak berkemampuan mengajarkannya atau merasa lebih baik
menyerahkan pelajaran membaca Al Quran pada orang yang lebih mahir,
pemahaman akan pentingnya Al Quran tetap berada pada peran orang tua
khususnya ibu. Sebuah tanggung jawab dunia dan akherat yang terletak di
tangan orang tua lagi lebih spesifiknya seorang ibu.
2.4.3 Tinjauan Tentang Anak
Sesungguhnya anak merupakan anugrah sebagai penerus keturunan
orang tuanya. Pada anak juga di berikan jalan-jalan untuk mendatangkan pahala
yang banyak dan juga dosa yang banyak.
Tanggung jawab ini lah yang
48
kemudian membuat orang tua ekstra hati-hati dalam mendidik dan membentuk
kepribadian anak.
Sebagai anggota keluarga, anak merupakan anggota yang kecil
partisipasinya dalam menentukan sebuah pilihan. Tentu saja sesuai dengan porsi
anak yang belum dapat dengan baik berfikir mana yang baik dan mana yang
benar. Perkembangan jiwa dan kepribadian anak bergantung pada peran orang
tua dan anggota keluarga lainnya. Seperti yang disampaikan Dra. Kartini
Kartono mengatakan sebagai berikut :
Keluarga memberikan pengaruh yang menentukan bagi pembentukan
watak dan kepribadian anak. Keluarga sebaga unit sosial terkecil yang
memberikan stempel dan fondasi dasar bagi perkembangan anak. Maka
tingkah laku psikotis atau kriminal dari orang tua atau salah satu dari
anggota keluarga, bisa memberikan pengaruh yang menular dan
infeksius kepada lingkungannya, khususnya kepada anak-anak : (Kartini
Kartono dalam Daradjat, 1990).
Dari uraian pendapat ahli psikologis di atas memaksa orang tua harus jeli
dan teliti dalam membesarkan anak-anak mereka. Termasuk pada pola asuh dan
pola komunikasi yang diterapkan orang tua. Seperti dikatakan di atas, bahwa
tingkah laku orang tua memberi pengaruh pada perkembangan anak. Termasuk
di dalamnya menerapkan metode yang tidak memaksakan kehendak orang
tuanya. Mendidik anak dengan metode yang memberikan kebebasan terkontrol
pada anak. Seperti yang disampail Amirul Mu’minin Sayyidina Ali bin Abi
Thalib:
“Janganlah
engkau
memaksakan
anak-anakmu
sesuai
dengan
pendidikanmu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman
yang bukan zaman kalian” (al-Ha’iri,2004:153).
49
Orang tua yang telah memikul begitu banyak tanggung jawab dan
peranannya pada anak, harus didukung kesadaran dan kewajiban anak pada
orang tuanya. Bahwa berlaku baik dan mematuhi orang tua merupakan sedikit
kewajiban anak pada orang tuanya. Selaku anak yang masih dalam tanggung
jawab orang tuanya, seorang anak memiliki kewajiban yang mutlak untuk
menghormati, mencintai serta berbakti pada orang tuanya, khususnya ibu disini.
Kewajiban lainnya adalah patuh pada orang tua dan melaksanakan
perintah atau memenuhi keinginan ibunya. Kewajiban anak yang masih dalam
usia sekolah dasar memang masih seputar hormat dan patuh pada ibunya.
Namun kepatuhan dan rasa hormat anak merupakan sebuah tanggung jawab
besar bagi seorang anak karena harus mengikuti segala perintah dan keinginan
orang tuanya yang belum tentu sesuai dengan keinginan anak. Kewajiban anak
ini harus dibarengi dengan peranan dan tanggung jawab ibu yang penuh pula.
Sehingga kelak akhlak dan perilaku beribadah anak menjadikan ciri dari
kepribadian anak yang islami.
Pendidikan anak memang memerlukan banyak energi, ilmu serta waktu
agar mencapai tujuan yang relatif berhasil dalam berbagai aspek. Perhatian dan
usaha penuh pada proses pendidikan anak khususnya pendidikan agama dan
moralnya sebagai bekal kepribadian yang kuat saat dewasa merupakan tugas
orang tua khususnya ibu. Seperti puisi yang kerap dikutip oleh para penulis buku
yang menggambarkan begitu pentingnya metode dan cara mendidik dalam
pendidikan anak baik secara mental, spiritual dan tingkah laku anak. Puisi
berjudul Children Learn What They Live hasil karya Dorothy Law Nolte, yang
berbunyi:
50
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar
menemukan cinta dalam kehidupan (Ekomadyo,2005:1).
Demikian jelasnya puisi di atas menggambarkan setiap metode yang
dilakukan dalam mendidik dan membesarkan anak akan mempengaruhi anak
dalam proses pebelajarannya. Metode persuasi yang diterapkan ibu dalam
membentuk perilaku anak ini juga dimaksukkan untuk membantu anak belajar
dengan sebuah iklim demokrasi dalam keluarga dan memberikan pelajaran pada
anak untuk tidak memaksakan kehedak dalam mencapai tujuan yang ia inginkan.
51
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian kualitatif
Metodologi dalam sebuah penelitian merupakan kerangka yang
menyatukan objek, data, serta peneliti dalam sebuah penelitian, sehingga pada
akhirnya menemukan hasil yang tentunya valid dan bermanfaat. Lebih tepatnya
disebutkan Bogdan dan Taylor (1975) bahwa metodologi sebagai proses, prinsip
dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban
(Mulyana,2002:145). Selanjutnya
Mulyana menambahkan dengan ungkapan
lain, metodologi adalah pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian
(Mulyana,2002:145). Karena peran signifikan metodologi dalam penelitian,
maka peneliti harus cermat dalam memilih dan menggunakan metode penelitian.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu;
“penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksionis
simbolik, perspektif ke dalam, etnometodologi, fenomenologis, studi kasus,
interpretatif, ekologis, dan deskriptif”. (Bogdan dan Biklen dalam Moleong,
2004)
Metode penelitian kualitatif yang juga dikenal sebagai metode penelitian
naturalistik, yang mampu melukiskan secara sistematik fakta yang ada secara
faktual, penelitian kualitatif bukanlah mencari suatu kebenaran mutlak.
Pendirian kualitatif mengakui adanya “dunia luar” akan tetapi itu tidak dapat
dikenal sepenuhnya secara mutlak. Ia melihat dunia itu dari segi pandangannya,
52
atau bisa dari segi pandangan respondennya dan pandangan itu mungkin sekali
ada perbedaan dengan pandangan orang lain (Nasution,1996:6).
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah kualitatif, yakni
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
(Bogdan dan
Taylor dalam Moleong, 2004). Untuk mengkaji lebih dalam terhadap istilah
penelitian kualitatif, maka perlu dikemukakan beberapa definisi. Penelitian
kualitatif disebut juga penelitian naturalistik dikarenakan situasi lapangan
penelitian bersifat “natural” atau wajar sebagaimana adanya tanpa dimanipulasi,
diatur dengan eksperimen atau test. (Nasution, 2002:18)
Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam
lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa
dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Yin, 2003:5). Oleh karena itu,
yang dilakukan oleh peneliti kualitatif banyak persamaannya dengan detektif
atau mata-mata, penjelajah atau jurnalis yang juga terjun ke lapangan yaitu
untuk mempelajari manusia melalui pengumpulan data yang banyak. Penelitian
kualitatif bukan mencari “kebenaran” mutlak. Metode penelitian kualitatif
memiliki banyak ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lain.
Ciri-ciri penelitian Naturalistik atau kualitatif, (Nasution, 2003:9) sebagai
berikut:
1. Sumber data ialah situasi yang wajar atau “natural setting”, peneliti
mengumpulkan data berdasarkan
observasi situasi yang wajar,
sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi dengan sengaja.
53
2. Peneliti sebagai instrumen penelitian, peneliti adalah “key instrument”
atau alat penelitian utama. Dialah yang mengadakan sendiri pengamatan
atau wawancara tak berstruktur, sering hanya menggunakan buku
catatan. Walaupun digunakan alat rekaman atau kamera, peneliti tetap
memegang peranan utama.
3. Sangat deskriptif, penelitian ini tidak menggunakan angka atau statistik.
4. Memperhatikan proses maupun produk, memperhatikan perkembangan
terjadinya sesuatu.
5. Mencari makna, metode ini berusaha memahami sesuatu melalui
kelakuan manusia dalam konteks yang lebih luas.
6. Mengutamakan data langsung, peneliti sendiri terjun ke lapangan untuk
mengadakan observasi wawancara.
7. Triangulasi, data atau informasi dari satu pihak harus dicek
kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain.
8. Menonjolkan rincian konteksktual, peneliti mengumpulkan dan mencatat
data yang sangat terinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian
dengan masalah yang diteliti.
9. Subjek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti, jadi
tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya akan tetapi
sebagai manusia yang setaraf.
10. Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan
responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari
segi pendiriannya.
11. Verifikasi, antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.
54
12. Sampling yang purposif, sampel biasanya sedikit atau dipilih menurut
tujuan (purpose) penelitian.
13. Menggunakan “audit trail”, penelitian diadakannya “audit trail” (trail
ialah mengikuti jejak atau melacak) untuk mengetahui apakah laporan
penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan.
14. Partisipasi tanpa mengganggu, untuk memperoleh situasi yang “natural”
atau “wajar”, peneliti hendaknya jangan menonjolkan diri dalam
melakukan observasi.
15. Mengadakan analisis sejak awal penelitian, analisis dengan sendirinya
timbul bila ia menafsirkan data yang diperolehnya.
16. Desain penelitian tampil dalam proses penelitian.
Dalam ciri penelitian kualitatif di atas, dalam praktek di lapangan
peneliti mungkin tidak akan menggunakan ciri-ciri penelitian di atas semuanya
akan tetapi dipilih sesuai dengan yang ditemui nantinya di lapangan dan akan
disesuaikan dengan bentuk atau jenis penelitian kualititaf.
Metode penelitian kualitatif dipilih oleh peneliti sesuai dengan beberapa
manfaatnya yang dinilai oleh peneliti mewakili harapan dan keinginan peneliti
dalam penelitian ini. Yang mana manfaat-manfaat yang ada dalam penelitian
kualitatif antara lain:
1. Dimanfaatkan oleh peneliti yang ingin meneliti sesuatu dari segi
prosesnya.
2. Pada upaya pemahaman penelitian perilaku dan penelitian motivasional.
3. Untuk keperluan evaluasi
55
4. Digunakan untuk menemukan perspektif baru tentang hal-hal yang sudah
banyak diketahui (Moleong. 2004:7).
Berdasarkan manfaat-manfaat yang terpapar di atas maka penelitian
kualitatif dianggap sangat cocok dan memenuhi kriteria dalam penelitian yang
dilakukan peneliti dalam melihat beberapa peran dan proses komunikasi persuasi
yang dilakukan ibu dalam menumbuhkan sebuah pemahaman terhadap perilaku
beribadah pada anak, sehingga anak melaksanakan ibadah atas keinginannya dan
kesadarannya sendiri.
3.2 Pendekatan Interaksi Simbolik
Dalam sebuah penelitian kualitatif, pendekatan yang digunakan
merupakan sebuah keharusan, di mana melalui pendekatan penelitian yang
digunakan kita dapat meneliti atau menelahaah sebuah permasalahannya atau
sebuah fenomena berdasarkan sudut pandang dari masalah ataupun dari
perspektif yang tentunya sesuai dengan masalah yang diteliti.
Penelitian kualitatif dikenal memiliki beberapa pendekatan, yang antara
lain fenomenologis, pendekatan etnografi untuk telaah segi kebudayaan,
interaksi simbolik yang dinilai sangat lekat dengan studi komunikasi dan banyak
lagi lainnya. Peneliti memilih menggunakan pendekatan interaksi simbolik pada
penelitian yang melibatkan proses komunikasi persuasi yang berlangsung pada
ibu dan anak dalam membentuk perilaku anak dalam beribadah, karena dilandasi
oleh esensi dari interaksi simbolik itu sendiri yaitu suatu aktivitas yang
merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna (Mulyana,2002:67).
56
Berangkat dari sinilah kemudian peneliti mencoba meneliti proses
komunikasi persuasi ibu dan anak dalam membentuk perilaku beribadah anak
melalui kacamata atau sudut pandang interaksi simbolik. Yang mana ahli
interaksi simbolik George Herbert Mead menyebutkan bahwa inti dari teori
interaksi simbolik adalah tentang diri (Mulyana,2002:73). Lebih lanjutnya
dijelaskan Mulyana melalui pengalaman Charles H. Cooley bahwa dalam
mengamati perilaku manusia tidak boleh melihat dari luar tetapi harus berupaya
menangkap
makna
dan
definisi
yang
dianut
pihak
yang
diamati
(Mulyana,2002:75).
Singkatnya interaksi simbolik dapat dijelaskan melalui beberapa premis
dibawah ini:
1.
Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon
lingkungan, termasuk objek fisik (benda), objek sosial (perilaku
manusia) didasarkan pada makna yang dikandung komponenkomponen lingkungan tersebut bagi mereka.
2.
Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak lekat
pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
3.
Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke
waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam
interaksi sosial (Mulyana,2002:71-72).
Teori interaksionisme simbolik atau penelitian interaksi simbolik tidak
hanya dibangun oleh ide-ide atau asumsi-asumsi dasar di atas, tetapi penelitian
ini juga dilatarbelakangi oleh dua paradigma yang berbeda yaitu dari paradigma
57
kuantitatif (dikenal dengan sebutan klasik) dan paradigma kualitatif (dikenal
dengan sebutan konstruktivisme).
Dari banyak asumsi ide mengenai penelitian interaksi simbolik yang
dikemukakan atau dikembangkan oleh para ahli, kemudian peneliti menganggap
asumsi-asumsi yang dikemukan dan dikembangkan oleh Herbert Blumer yang
paling sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Herbert Blumer yang berasal
dari Mazhab Chicago termasuk ke dalam paradigma kualitatif.
Tabel di bawah ialah kutipan Ritzer (1992) dan Bryman (1988) yang
memperlihatkan perbedaan teori interaksi simbolik juga paradigma yang diusung
oleh Blumer dengan Manfrod H. Kuhn yang termasuk pada Mazhab Iowa, yang
mengusung paradigma kuantitatif. Keduanya memperlihatkan ciri dari masingmasing yang merupakan pembentukan dasar teori interaksi simbolik berdasarkan
dari paradigma yang berbeda.
Table 3.1
Tabel Perbandingan Dua Paradigma Interkasi Simbolik
Teori Interaksi Simbolik versi
Teori Interaksi Simbolik versi Kuhn
Blumer / Paradigma Konstruktivis
/ Paradigma Klasik
ƒ Untuk
meneliti
perilaku
ƒ Kuhn menekankan kesatuan
manusia
ƒ
metode
yang
metode ilmiah, di mana semua
digunakan peneliti tidak bisa
metode ilmiah bertujuan pada
digeneralisasikan.
generalisasi.
cendrung
menggunakan
introseksi
untuk menolak teknik-teknik
simpatetik
penelitian
yang tidak ilmiah.
dalam
ƒ
perilaku manusia.
ƒ
ƒ
Blumer
Blumer
mendorong
Kuhn
Kuhn
mendorong
mendorong
peneliti
peneliti
peneliti
untuk menggunakan indikator-
untuk menggunakan intuisinya
indikator perilaku yang tampak
sehingga dapat mengambil dari
untuk mengetahui apa yang
58
sudut
pandang
objek
yang
sedang
diteliti.
ƒ
Blumer
menerima
konsep-
ƒ
ilmiah
terlalu
menggunakan variable-variabel
untuk
formal
dan
tidak
konsep-konsep
mendefinisikan
dunia
Blumer
melihat
ƒ
Kuhn lebih cendrung berfikir
yang
statis
tidak
dan
dalam
berstruktur
pentahapan
baik
proses
diprediksikan dalam tindakan
penelitian atau pun instrumen
manusia.
pengumpulan
Blumer
cendrung
berlangsung
berfikir
dan
data
yang
dipergunakan.
ƒ
tidak
Peneliti
cendrung
melihat
realitas sosial sebagai suatu
berstruktur.
wujud statis, yang telah jadi
Peneliti cendrung berasumsi
dan bisa diamati pada waktu
bahwa realitas sosial selalu
tertentu.
berubah dan merupakan hasil
konstruksi
sosial
ƒ
yang
Peneliti
cendrung
dalam
usaha
terfokus
penemuan
berlangsung antara para pelaku
‘kebenaran”, atau the truth,
dan institusi sosial.
yang berlaku umum untuk
Perumusan permasalahan yang
fenomena yang diteliti.
akan diteliti mungkin baru
ƒ
Hubungan teori dengan data
“ditemukan” setelah melakukan
empirik memberi konfirmasi
pengumpulan data di lapangan.
bagi teori.
Instrument penelitian biasanya
tidak berstruktur pula.
ƒ
definisi-definisi
operasional yang diteliti.
besarnya
dalam kerangka proses yang
ƒ
dengan
dalam kerangka yang lebih
unsur-unsur
ƒ
tradisional
dan
nyata.
ƒ
Kuhn lebih menyukai metode
konsep kepekaan yang tidak
operasional yang lebih ilmiah
ƒ
dalam
benak para pelaku.
menggunakan
ƒ
berlangsung
Peneliti
berkepentingan
ƒ
Dalam
analisis
dipergunakan
single
data,
level
kualitatif
analysis (hanya pada level
untuk
individu saja, atau komunitas
menemukan “suatu kebenaran”
saja).
59
atau
a
truth
mengenai
fenomena dalam konteks di
mana penelitian dilakukan.
ƒ
Teori dimunculkan atas dasar
data empirik dan analisis data
yang
dipergunakan
mulai
level
(mengaitkan
adalah
analysis
analisis
pada
level-level berbeda).
(Ritzer, 1992:225-229 dan Bryman, 1988:94)
Blumer mengembangkan teori interaksi simbolik dengan mengemukakan
tiga asumsi dasar. Berdasarkan ide-ide dasar Blumer membantu peneliti
menetukan arah penelitian dan aspek dasar yang ingin diteliti oleh peneliti.
Ketiga pemikiran dasar Blumer tentang interaksi simbolik antara lain:
a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki
hal-hal tersebut baginya.
b. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari, interaksi sosial yang
pernah dilakukan dengan orang lain.
c. Makna-makna itu dikelola dalam, dan diubah melalui, proses penafsiran
yang dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang
dijumpai (Effendy, 2003:394).
Sesuai teori interaksionisme simbolik yang dikemukan Blumer baik pada
asumsi di atas dan pada tabel di atas, maka mendorong peneliti melakukan
penelitian dengan cendrung melihat dari sudut pandang objek penelitian.
Sehingga peneliti memandang perilaku pada ibu Zubaidah dan adik Azzahra
selaku objek penelitian berdasarkan pemaknaannya terhadap ibadah sholat dan
mengaji. Peneliti melakukan penelitian dengan terlebih dahulu membangun
60
kedekatan dengan objek penelitian. Dengan demikian peneliti secara tidak
langsung menggunakan introseksi simpatetik dalam melakukan pengamatan.
Lebih lanjut apabila dikaitkan pada asumsi Blumer maka kemudian
pemahaman atau makna sholat dan mengaji itu akan dilihat oleh anak
berdasarkan pada interaksi sosialnya. Di sini interaksi sosial lebih sempit karena
terbatas pada keluarganya terutama ibunya. Tentunya perilaku beribadah
keluarga terutama ibu akan menjadi landasan anak dalam menemukan makna
ibadah. Sehingga penting dilihat di sini sejauh mana ibu memberikan contohcontoh konkrit dalam menjelaskan ibadah pada anak.
Kemudian kita akan menemukan asumsi Blumer yang berkaitan pada
anak setelah anak cukup melihat seputar ibadah yang dijumpai. Yang pada
akhirnya anak kemudian membuat makna ibadah berdasarkan pemahaman dan
kepentingan ibadah pada dirinya. Hal ini akan berperan penting dikemudian hari
pada saat anak akan melaksanakan ibadah sholat dan mengaji. Bagaimana ia
memandang sholat dan mengaji sebagai sebuah tanggung jawab, kewajiban,
kebutuhan atau hanya sekedar pemenuhan kepatuhan anak pada ibu dan yang
juga sebenarnya merupakan sebuah beban baginya, ataupun dapat menemukan
kemungkinan lainnya.
Berdasarkan pemahaman
interaksionisme simbolik khususnya yang
dianut oleh Blumer, membantu peneliti melihat bagaimana ibadah dimaknai oleh
anak berdasarkan interaksi dan komunikasi dengan ibunya. Sehingga
berdasarkan makna yang ada pada anak dapat membentuk perilaku ibadah yang
konsisten.
61
Makna ibadah yang ada pada anak akan berpengaruh pada perilaku
beribadahnya, karena menurut Blumer perilaku seseorang dipicu dari bagaimana
ia memandang sesuatu. Jadi apabila anak memandang bahwa sholat dan mengaji
sebuah kewajiban yang harus dijalani dengan atau tanpa alasan yang jelas, maka
anak akan melaksanakan sholat dan mengaji berdasarkan pandangan atau makna
yang ada dalam dirinya.
Lebih lanjut, Blumer menegaskan bahwa tindakan manusia adalah
bertujuan,
untuk
mewujudkan
apa
yang
ada
dalam
pikirannya
(Mulyana,2002:153). Di sini apabila dikaitkan pada upaya ibu dalam
membentuk perilaku beribadah anak, pemahaman ibu dan makna yang ada pada
ibu atas ibadah sangat memegang peranan penting dalam keberhasilan proses
komunikasi persuasi.
Apa yang dilakukan ibu dalam membentuk perilaku sholat dan mengaji
merupakan refleksi dari pemikiran ibu atas sholat dan mengaji baik sebagai
murni ibadah yang harus dilakukan individual ataupun juga sebagai tanggung
jawabnya dalam menanamkan nilai ibadah juga perilaku ibadah pada anaknya.
3.3 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian yang digunakan peneliti merupakan tahapan
penelitian kualitatif pada umumnya. Menurut Moleong (2004:127), ada tiga
tahap umum dalam penelitian kualitatif, yaitu antara lain:
1. Tahap Pra-lapangan
Merupakan persiapan awal sebelum peneliti mengambil dan
mengumpulkan data-data yang diperlukan. Dalam tahap pra-lapangan
62
ini ada beberapa hal yang dilakukan peneliti sebelum terlibat banyak
dengan sasaran penelitian yang juga bertindak sebagai informan dalam
penelitian ini. Tahap pra-lapangan digunakan oleh peneliti dalam
mendekatkan diri dan membangun interaksi dengan sasaran penelitian
dengan melakukan beberapa kontak awal seperti dijabarkan dibawah ini:
a. Pemilihan dan penetapan sasaran penelitian / informan.
Setelah peneliti menetapkan kriteria pasangan ibu dan anak yang
menjadi objek penelitian, dan men-survey beberapa keluarga sebagai
pasangan ibu dan anak yang dikenal peneliti. Yang mana kriteria dari
pasangan ibu dan anak yang dijadikan sebagai objek penelitian antara
lain; berasal dari keluarga yang Islami sehingga ibu paling tidak
memiliki pemahaman akan ibadah relataif baik, selanjutnya tingkat
pendidikan formal ibu yang sampai pada pendidikan tinggi yang akan
berimplikasi pada pola pikir ibu dalam mendidik anaknya. Kriteria
ketiga yaitu kedekatan hubungan ibu dan anak serta kelancaran
berkomunikasi keduanya. Dari ketiga Kriteria di atas maka peneliti
mencocokkan dan menetapkan ibu Zubaidah dan adik Azzahra
sebagai objek penelitian
b. Meminta kesediaan dan keizinan informan sebagai objek atau sasaran
penelitian.
Peneliti mulai melakukan pendekatan awal dengan keluarga bapak
H. Ir. Said Abdurahman sebagai kepala keluarga, ibu Zubaidah dan
anaknya sebagai objek penelitian. Meminta bantuan mereka dengan
bersedia dijadikan objek penelitian. Dan meminta waktu serta ruang
63
yang cukup bagi peneliti untuk banyak berinteraksi dengan pasangan
objek penelitian.
c. Orientasi dengan sasaran atau objek penelitian.
Proses orientasi ini merupakan proses di mana peneliti membangun
situasi dan suasana yang kekeluargaan dengan ibu Zubaidah dan adik
Azzahra sebelum memulai penelitian. Proses di mana sebelum
mengumpulkan data-data melalui wawancara dan observasi, peneliti
mencoba lebih mengenal dan dekat dengan mereka agar leluasa
dalam mendapatkan data sesuai dengan kepentingan penelitian.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahap pekerjaan lapangan merupakan sebuah tahapan di mana
peneliti mengumpulkan data-data primer dari informan yang dilakukan
dengan terlibat langsung dengan informan dan juga sasaran penelitian.
Dalam tahap ini peneliti berperan serta dalam dalam mengumpulkan
data. Di sini peneliti sudah mulai terlibat secara intensif dalam
mengumpulkan data dan membangun kedekatan sehingga dengan leluasa
peneliti dapat mengamati dan bertanya dengan pasangan ibu dan anak.
Dalam tahap ini lah peneliti dengan intensif mendapatkan data-data dari
pasangan ibu dan anak melalui keseharian mereka dalam beribadah dan
bentuk serta proses komunikasi yang berlangsung. Tahap ini tidak
ditetapkan batasan waktu, karena tahap pekerjaan lapangan merupakan
tahap di mana peneliti mengumpulkan data, jadi waktu yang digunakan
sepanjang penelitian dan sesuai dengan kebutuhan penelitian.
64
3. Tahap Analisis Data
Merupakan
tahapan
di
mana
peneliti
mengolah
dan
menginterpretasikan data yang dikumpul dengan beberapa cara. Tahap
ini lebih pada penjabaran dan penggunaan sumber kepustakaan dalam
menjabarkan hasil pengumpulan data. Dan melalui proses interpretasi
data yang juga akan dianalisis nantinya mendapatkan hasil kesimpulan
penelitian.
3.4 Fokus Penelitian
Fokus penelitian dirancang guna menghindari
pembahasan yang
melebar dan keluar dari masalah utama yang diangkat oleh peneliti. Selain itu
fokus penelitian juga di desain untuk memberikan arah yang pasti dalam sebuah
penelitian guna mendapatkan informasi yang jelas, spesifik dan detail.
Memberikan perincian masalah yang akan diteliti dan memfokuskan kegiatan
peneliltian pada suatu area pengamatan dan penelitian yang lebih spesifik. Yang
mana peneliti menetapkan beberapa hal yang menjadi fokus penelitian, yaitu:
1. Perilaku beribadah lebih difokuskan dan dikhususkan pada pelaksanaan
ibadah ritual yang telah diketahui dan dipahami anak usia sekolah dasar.
Spesifiknya ialah sholat wajib lima waktu dan aktifitas belajar membaca
Al Quran yang intensitasnya dibatasi minimal 1 kali seminggu.
2.
Konteksnya ibadah disini adalah proses belajar praktek dan pelaksanaan
sholat wajib lima waktu dan aktifitas belajar membaca Al Quran. Tentu
kedua ibadah ini masih dalam tahap belajar bukan pendalaman ataupun
memiliki konsekuensi hukum yang wajib dikerjakan. Karena anak masih
65
dalam usia belum baligh dan masih duduk di sekolah dasar maka
penelitian lebih diarahkan pada pemahaman anak dalam menjalankan
ibadah, tidak dipandang dari segi kesempurnaan ibadah yang sesuai
syar’i.
3. Komunikasi persuasi terjadi dalam
komunikasi antar pribadi yakni
antara ibu dan anak, dan merupakan komunikasi persuasi yang sifatnya
kontinyu. Dan berdasarkan status dan peranan ibu dan anak, maka
komunikasi yang dilakukan cendrung merupakan komunikasi horizontal.
4. Penelitian difokuskan pada sasaran penelitian yang basis keluarganya
merupakan keluarga yang Islami. Jadi paling tidak ibu dan bapaknya
telah memahami dan menerapkan syari’at Islam dalam pola asuh anak
juga pada kehidupan keluarga dengan baik.
3.5
Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan beberapa teknik yang biasa dilakukan para peneliti
kualitatif, yakni menggunkan tiga jenis teknik pengumpulan data, yang
antara lain sebagai berikut :
3.5.1
Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. (Mulyana,
2001:180). Wawancara ini dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi
yang tidak mungkin diperoleh melalui observasi. Melalui wawancara, peneliti
66
bisa mendapatkan informasi yang mendalam sehubungan dengan hal-hal yang
ingin diteliti.
Peneliti menggunkan jenis wawancara yang tidak terstruktur atau
wawancara secara mendalam, yaitu mendapatkan dan mengumpulkan data dan
informasi seputar masalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang dirasa
perlu oleh peneliti. Bentuk dan format dari wawancara mendalam ini tidak
terstruktur dan informal guna mendapatkan data yang valid dan detail.
Peneliti akan memberikan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan
pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang sebelumnya sudah dibuat dan
dipersiapkan oleh peneliti. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diformat dalam
sebuah daftar pertanyaan. Namun peneliti juga akan mencatat setiap pertanyaan
yang berkaitan dengan masalah diluar dari pertanyaan yang telah disiapkan
sebelumnya.
3.5.2
Observasi
Dalam observasi ini peneliti mengumpulkan data dan informasi
dengan melihat dan mengamati setiap interaksi dan komunikasi yang
dilakukan ibu dan anak dalam upaya membentuk perilaku beribadah pada
anak. Observasi akan dilakukan secara intensif guna mendapatkan data-data
yang akurat dan merupakan gambaran nyata menyangkut masalah yang
diteliti. Observasi dilakukan dengan mencatat waktu dan kegiatan ibu dan
anak dalam kaitannya dengan masalah yang diteliti. Observasi dilakukan
dalam kurun waktu selama penelitian, yakni dari bulan Juni – Oktober 2005.
67
3.5.3
Studi Kepustakaan
Dalam proses pengumpulan data, ada beberapa metode yang
digunakan sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan, yaitu:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari informan atau objek
penelitian melalui wawancara langsung yang dilakukan oleh peneliti
di lokasi penelitian, dan juga data-data hasil catatan pada saat
melakukan observasi pada objek penelitian.
b. Data Sekunder, yaitu data yang digunakan untuk membantu
menjelaskan data primer berupa arsip dan dokumen-dokumen yang
relevan dengan permasalahan penelitian.
Dalam memperoleh data skunder seperti pejelasan di atas, peneliti
memasukkan studi kepustakaan dalam membantu menjelaskan data-data
primer. Dalam studi kepustakaan, peneliti dibantu dengan dokumendokumen, literatur serta buku-buku dan arsip-arsip yang relevan dangan
masalah yang diteliti.
Studi kepustakaan juga membantu peneliti
menemukan beberapa data-data penting melalui penelitian-penelitian serupa
terdahulu.
68
BAB IV
OBJEK PENELITIAN
4.1 Pemlilihan Objek Penelitian
Dalam penelitian kualitatif yang dilakukan peneliti, objek penelitian
dipilih dan ditentukan oleh peneliti sesuai kebutuhan. Ini dilakukan atas dasar
kepentingan penelitian yang bersifat natural. Jadi untuk mengamati sebuah
fenomena secara mendalam peneliti memilih sepasang ibu dan anak yang sesuai
kriteria untuk dijadikan sebagai objek penelitian.
Pemilihan sampling atau objek penelitian sesuai tujuan penelitian yang
biasa disebut purposif sampling termasuk kedalam non probability sampling,
yaitu merupakan teknik sampling yang tidak memberikan kesempatan (peluang)
pada setiap anggota populasi untuk dijadikan anggota sampel (Riduwan,
2004:61). Dimana pengambilan sampling tidak berdasarkan kerandoman atau
peluang, namun dikarenakan teknik sampling ini biasa digunakan dalam
penelitian kualitatif (Mulyana, 2001:187). Melalui teknik sampling ini peneliti
menganggap dapat menemukan banyak temuan-temuan seputar masalah yang
diteliti.
Peneliti memulai memilih objek penelitian dengan beberapa syarat dan
kriteria yang dianggap mampu memperlancar dan mencapai tujuan penelitian.
Melalui kriteria yang ditetapkan inilah kemudian peneliti mulai mencari dan
menetapkan objek penelitian. Adapun kriteria yang ditetapkan hanya membantu
mempermudah peneliti dalam melaksanakan penelitian, bukanlah sebuah
69
keharusan dalam penelitian, yang apabila tidak dipenuhi akan membuat hasil
penelitian tidak valid.
Syarat dan kriteria yang ditetapkan peneliti dalam menentukan pasangan
ibu dan anak ini berguna dalam menjaring pasangan penelitian yang tepat dan
sesuai dengan masalah yang diteliti yang tertera dalam fokus penelitian. Adapun
kriteria atau pertimbangan yang ditetapkan peneliti dalam menentukan pasangan
ibu dan anak adalah sebagai berikut:
1. Berasal dari keluarga yang Islami, ini dimaksudkan untuk mendapatkan
sasaran penelitian yang juga sejalan dengan penelitian yang mengangkat
masalah pentingnya ibadah sejak dini. Ibu yang mengerti dan paham
esensi ibadah dan tingkat keimanan yang relatif baik.
2. Tingkat pendidikan ibu yang baik, maksudnya pendidikan formal
terakhir yang dicapai oleh ibu. Kriteria ini dimaksudkan untuk
mendapatkan sasaran atau objek penelitian dengan pemahaman
intelektual yang baik dalam membesarkan dan mendidik anaknya. Serta
pendidikan dan usia anak yang dianggap dapat mengerti dan mampu
berkomunikasi dengan baik.
3. Kedekatan antara ibu dan anak, maksudnya kedekatan antara ibu dan
anak dalam banyak hal terutama pola komunikasi yang baik dan
kelancaran komunikasi antara ibu dan anak.
Sebelumnya ada beberapa calon pasangan ibu dan anak yang ditemui
oleh peneliti. Namun setelah disesuaikan dengan kriteria dan pertimbangan
pemilihan pasangan objek penelitian, maka akhirnya peneliti menetapkan
pasangan ibu Zubaidah dan anaknya Syarifah Azzahra sebagai pasangan ibu dan
70
anak yang menjadi objek penelitian.
Karena pasangan ini menurut paling
memenuhi semua kriteria yang ditetapkan peneliti. Ditambah dengan beberapa
kelebihan lainnya pada pasangan ini. Seperti kondisi keluarga yang dinilai
harmonis dan secara ekonomi tergolong pada keluarga sederhana yang
berkecukupan.
4.2 Seputar Keluarga Ibu Zubaidah dan Anaknya Sebagai Pasangan Objek
Penelitian
Ibu Zubaidah dan anak keduanya Syariffah Azzahra merupakan
cerminan format keluarga ideal Indonesia. Dimana satu keluarga terdiri dari
ayah, ibu dan 2 orang anak. Ibu Zubaidah berusia 46 tahun dengan pendidikan
terakhir sebagai Sarjana muda (D3)
dan suaminya Bapak
Ir. H. Said
Abdurrahman B.A berusia 50 tahun dan meraih gelar insinyur di sebuah
perguruan tinggi swasta di Bandung, menikah tahun 1990 di kota
Tanjungpinang, dan pindah ke kota Bandung tahun 1993 bertempat tinggal di Jl.
Rereng Suliga no.33 Sukaluyu, Bandung.
Keduanya bekerja menjalankan usaha keluarga sebagai pengusaha Travel
domestik serta haji dan umroh. Mereka memiliki dua orang anak, anak
pertamanya berumur 14 tahun bernama Said A. Husien, sekarang duduk di kelas
3 SMP. Dan anak keduanya berumur 10 tahun bernama Syarifah Azzahra yang
sekarang duduk dikelas 4 SDN 02 Sukaluyu Bandung.
71
4.2.1 Sebagai Keluarga Islami
Sebuah keluarga Islami tercermin dari anggota keluarganya. Terutama
tercermin pada kepala keluarga yakni ayah. Keluarga Islami dapat dikatakan
sebagai sebuah keluarga yang menjalankan hukum-hukum Islam dalam setiap
urusan dalam keluarga. Contohnya pada perilaku sehari-hari setiap anggota
keluarga yang mencerminkan seorang muslim atau muslimah. Konkritnya sebut
saja anggota keluarga wanita yang menggunakan jilbab. Selain itu keluarga
Islami yang dapat dipandang dengan kasat mata terbukti dari peran ibu atau ayah
dalam keluarga dalam menegakkan nafas Islami pada anak-anak. Sebut saja
pada ibadah-ibadah wajib dan juga disunahkan.
Keluarga bapak Abdurrahman dapat dikategorikan Islami tercermin dari
sosok bapak yang menjadi tokoh masyarakat di daerah Sukaluyu. Beliau seorang
pak Haji yang menjadi kepala Rw dan menjadi imam masjid setempat. Serta
biasa memberikan kutbah-kutbah baik kutbah jumat atau lainnya pada masyrakat
sekitarnya. Bapak Abdurahman juga banyak memberikan bimbingan keagamaan
bagi masyarakat sekitar, kerabat dan siapa saja yang meminta nasehat spiritual
darinya dan ingin mempelajari Islam.
Sementara ibu Zubaidah selain sibuk membantu usaha suaminya, ia juga
menjadi ibu rumah tangga, beliau juga aktif dalam pengajian ibu-ibu setempat.
Pasangan suami istri ini menjadi panutan masyarakat setempat karena meski
relatif muda mampu menunjukkan eksistensi yang sangat besar dalam memberi
kontribusi pada masyarakat sekitar baik dalam bentuk kehidupan sosial dan juga
kehidupan beragama.
72
Setelah peneliti banyak berdiskusi dengan keluarga bapak Abdurrahman
baik menyangkut materi penelitian dan juga seputar ilmu agama Islam, secara
subjektif, peneliti mengkategorikan keluarga ini sebagai keluarga Islami. Karena
memenuhi beberapa kriteria keluarga Islami yang ditetapkan peneliti secara
subjektif. Seperti tingkat pengetahuan agama pasangan suami istri terutama ilmu
agama suami yang sangat baik. Juga penerapan dalam kehidupan sehari-hari dan
juga dalam menerapkan pada anak-anaknya, menunjukan bahwa keimanan ibu
dan ayah dalam keluarga yang sangat baik.
Sementara kedua anaknya merupakan anak-anak yang patuh dan berbakti
terlihat dari keseharian kedua anaknya yang nyaris sepi masalah kenakalan
remaja atau anak. Tentu saja penilain ini melalui pengamatan peneliti dan hasil
diskusi dengan bapak Abdurahman dan ibu Zubaidah.
4.2.2 Kelancaran Komunikasi Dalam Keluarga
Selama pengamatan yang dilakukan, peneliti melihat bentuk komunikasi
yang sangat wajar. Komunikasi antara anggota keluarga juga terjalin wajar serta
lancar. Keluarga bapak Abdurrahman dan ibu Zubaidah menggunakan bahasa
Indonesia dalam kesehariannya. Secara verbal, peneliti tidak menemukan
kejanggalan atau keanehan dalam keluarga ini berkomunikasi dan berinteraksi.
Masing-masing mampu menerima pesan dan memberikan pesan serta mampu
mencerna pesan dengan baik. Intonasi, nada suara serta perkataan yang
digunakan semuannya berada pada kondisi dan batas normal dan kewajaran.
Jika dilihat berdasarkan komunikasi antarpribadi yang dipergunakan
dalam komunikasi keluarga ini, peneliti melihat semua unsur komunikasi
73
antarpibadi terpenuhi seperti; unsur sumber/penerima, pesan, umpan balik,
gangguan. Ditambah komunikasi antarpribadi yang berlangsung dalam keluarga,
sehingga kedekatan memberikan pengaruh yang baik dalam kelancaran
komunikasi. Namun apakah tujuan komunikasi yang dilakukan ibu Zubaidah
dan anak bungsunya yaitu dalam membentuk perilaku sholat anak dan rutinitas
mengaji anak tercapai, masih perlu ditelaah lebih dalam.
Kelancaran komunikasi dalam keluarga ini serta intensitas dalam
berkomunikasi khususnya antara ibu dan anak merupakan salah satu alasan
mengapa kemudian peneliti memilih keluarga ini. Ibu selain membantu suami
menjalankan usaha mereka yang berlokasi di rumah mereka, ibu Zubaidah
adalah seorang ibu rumah tangga yang mengurus semua kebutuhan keluarga.
Ditambanh keluarga ibu Zubaidah tidak memiliki pekerja rumah tangga (PRT)
yang membantunya, membuat hubungannya dengan anak-anaknya terjalin baik.
Terutama komunikasi yang terjalin antara ibu dan anaknya berlangsung mulus
tanpa halangan yang berarti.
Secara keseluruhan peneliti menilai bahwa
komunikasi dalam keluarga bapak Abdurrahman berlangsung lancar dan baik.
4.2.3 Pendidikan Agama Dalam Keluarga
Pendidikan agama baik untuk anak maupun anggota keluarga lainnya
dimulai dari pengetahuan-pengetahuan seputar hukum Islam dan kewajiban
umat Islam. Seperti ibadah sholat, puasa, mengaji, patuh pada orang tua, dan
pengetahuan Islam lainnya seperti sejarah para Rasul. Selain hal-hal yang
bersifat pengetahuan, pendidikan agama dalam keluarga bapak Abdurrahman
74
juga dimulai dengan hal-hal yang selalu diamalkan dalam keluarga. Seperti
memulai dengan doa setiap melaksanakan kegiatan.
Ibu Zubaidah menerapkan pendidikan agama Islam pada anak-anak
dengan menggunakan metode persuasi dalam berbagai hal. Termasuk dalam
mengajarkan anak-anaknya sholat dan mengaji. Pendidikan agama anak-anak
ibu Zubaidah selain diterima dari pelajaran sekolah, ditambahkan oleh ibu
Zubaidah dan bapak Abdurrahman sendiri. Bahkan mereka meyakini bahwa
pendidikan agama anak-anak mereka akan lebih kokoh dan kuat bila
mendapatkan dari orangtuanya sendiri.
Mereka memberikan pendidikan agama selain melalui komunikasi verbal
namun juga dengan menjadi contoh pada anak-anak mereka. Perilaku yang akan
dicontohkan pada anak-anak dibantu dengan nasehat dan bujukan merupakan
metode pendidikan agama dalam keluarga ini.
Selaku keluarga kecil dengan anggota keluarga berjumlah 4 orang,
menurut ibu Zubaidah tidaklah begitu sulit dalam memberikan dan menerapkan
pendidikan agama baik pemahaman meyangkut keimanan juga hal-hal seputar
kewajiban pelaksanaan beribadah pada anaknya.
Sejauh pengamatan peneliti kedua anak ibu Zubaidah dan Bapak
Abdurrahman memang merupakan anak yang sangat patuh, ditambah kedua
anaknya menunjukan sikap yang santun, menunjukan bahwa pernyataan ibu
Zubaidah yang mengatakan bahwa pendidkan agama harus sudah dimulai dari
dini dan keluargalah yang berperan penting tampaknya mampu dibuktikan
sejauh ini.
75
4.3 Seputar Ibadah sholat Fardhu Lima Waktu dan Aktifitas Membaca
Al Quran
Setalah menjelaskan seputar keluarga objek penelitian, peneliti
menganggap penting memberikan gambaran dan penjelasan ibadah yang akan
diteliti. Yang mana ibadah sholat dan aktifitas membaca Al Quran merupakan
bagian dari ibadah yang dilakukan keluarga bapak Abdurrahman.
Ibadah sholat dan mengaji dijelaskan dan dikaji berdasarkan seruan
wajibnya kedua ibadah tersebut yang tercantum dalam ayat suci Al Quran, dari
hadist-hadist, juga apabila di kaji melalui pengertiannya. Juga dijelaskan oleh
peneliti beberapa aspek yang berkaitan dengan sholat dan mengaji.
Kata ibadah merupakan kata yang tidak asing bagi semua orang.
Maknanya pun seragam dikenal menyangkut hal hubungan manusia dengan
Sang Khalik. Sebelum menjelaskan pengertian ibadah, ada baiknya kita tinjau
asal kata ibadah. Ibadah berasal dari bahasa Al Quran yakni Al abdiyah, Al
ubudiyaah dan menyampaikan arti taat dan tunduk (Hasanah,2002:24). Dari asal
kata ibadah inilah kemudian secara lebih jauh ibadah yang berawal dari taat dan
tunduk, dimanifestsikan dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, juga
beramal dengan yang diizinkan oleh syari’ Allah Swt (LPKID,2001:1).
Ketaatan dan kepatuhan umat Islam dalam melakasanakan ibadah
berawal pada pemahaman dan motivasi setiap individu, bisa saja terdapat
kesamaan, namun banyak juga terdapat perbedaan pada setiap individu. Ada
baiknya kita merujuk pada kitab suci Al Quran, dalam memberikan seruan
76
beribadah seperti ayat dibawah ini yang menyebut betapa pentingnya mencintai
Allah Swt. :
Artinya:
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak saudara-saudara, istri-istri kamu dan
keluarga kamu, harta kekayaan yang kau usahakan, perniagaan yang kamu
khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, ialah
yang lebih kamu cinta dari pada Allah dan Rasul-Nya dan berjihatlah dijalan-Nya,
maka tunggulah sampai aku mendatangkan keputusan…”. (QS.At-Taubah:24).
Ketiga ayat suci Al Quran secara eksplisit juga implisit menyerukan bagi
setiap umat Islam untuk tunduk menyembah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Selain kepatuhan dan ketundukan pada seruan Allah untuk menyembah-Nya, di
sana juga terdapat ayat yang menyerukan untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga ayat di atas kemudian menimbulkan kesimpulan yang menjelaskan
bahwa ibadah terbagi atas 2 unsur, seperti yang dikemukan Nur Hasanah, yaitu:
1. Ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada perintah Allah.
Berpegang teguh pada apa yang telah di syari’atkan oleh Allah dan
apa yang telah diserukan oleh Rasul-Nya, baik itu yang berupa
perintah maupun larangan, seruan yang bersifat menghalalkan atau
mengharapkan dan inilah yang digambarkan dengan unsur taat dan
tunduk serta patuh pada Allah Swt.
2. Rasa cinta pada Allah
Sikap berpegang teguh ini ialah timbul dari rasa cinta kepada Allah.
Karena tidak ada dalam wujud ini tidak ada yang lebih berhak
dicintai, kecuali hanya Allah Swt. Dzat yang Maha Pencipta segala
sesuatunya yang ada. Barang siapa yang mengenal Allah, pasti ia
akan benar-benar cinta pada-Nya (Hasanah,2002:35-36).
Unsur ketaatan, ketundukan dan rasa cinta pada Allah kemudian
memperluas lagi elemen dalam ibadah. Selain kedua unsur di atas, diyakini
ibadah memiliki content lainnya yang mengukuhkan perilaku ibadah. Jadi di
77
dalam ibadah selain ketaatan dan rasa cinta, juga di penuhi dengan keikhlasan
dan didasarkan pada niat karena Allah Swt semata.
Sholat merupakan salah satu ibadah yang paling utama yang harus
dilaksanakan oleh umat Islam. Pelaksanaan sholat mencakup juga pada Taharah,
karena dalam sholat terdapat syarat dan rukun sah sholat yang mewajibkan
untuk bersih diri.
Pengertian sholat menurut istilah syara’ ialah ibadah yang terdiri dari
perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikram dan diakhiri
dengan memberi salam salam, dengan syarat-syarat tertentu (LPKID,2001:32).
Sementara itu ada juga yang lainnya memberikan pengertian sholat yang kurang
lebih sama, ditambah dengan mewajibkan dikerjakan pada waktu-waktu tertentu
(Hasanah, 2002:210).
Sebagai mana telah diketahui bahwa sholat merupakan ibadah yang juga
menjadi identitas Islam seperti terkandung dalam rukun Islam, maka perintah
untuk mendirikan sholat banyak sekali dijumpai dalam kitab suci Al Quran. Di
bawah ini sejumlah perintah sholat yang terkandung dalam ayat-ayat Al Quran,
antara lain:
1. Perintah sholat yang selalu di barengi dengan perintah zakat terdapat
dalam ayat-ayat: al-Baqarah: 43,83,110; an-Nisa: 77; al-Hajj: 78; an-Nur:
56; ar-Rum: 31; al-Mujadilah:13; al-Anbiya’:73. berbunyi:
Artinya:
“…….tegakkan lah
(LPKID,2001:33).
Sholat
dan
tunaikanlah
Zakat….”(QS.)
78
2. Perintah sholat untuk mengingat Allah Swt :
Artinya:
“sesungguhanya Aku ini adalah Allah dan tidak ada Tuhan (yang hak)
selain aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk
mengingat-Ku” (QS. Thaha:14)
3. Perintah untuk sholat dan berpegang pada Kitabullah Al Quran:
Artinya:
“…Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab (Al
Qu’an) dan dirikanlah sholat” (QS.al-Ankabuut:45.)
Di atas merupakan sedikit dari begitu banyak perintah sholat yang
diserukan dalam berbagai situasi dan kondisi. Perintah sholat selalu hadir dalam
banyak seruan kebajikan. Ini menandakan bahwa setiap amal shaleh yang
diperintahkan, sholat merupakan keutamaan yang tidak boleh dilalaikan.
Itulah sebabnya keyakinan dan pelaksanaan sholat sudah harus ada pada
setiap umat Islam sejak dini. Tak mengherankan kalau sholat seharusnya sudah
menjadi ciri dan kepribadian umat Islam. Berdasarkan atas ini lah kemudian
sholat harus mulai diterapkan sejak kecil, terutama pada sholat-sholat wajib
yang merupakan ibadah ritual umat Islam.
Al Quran sudah diketahui secara pasti pegangan, ilmu dan hukum yang
mengatur umat Islam selain sunah. Al Quran yang memiliki 114 surah dan 6236
79
ayat, selain dikenal sebagai kitabullah yaitu kitab Allah dan mukjizat Nabi
Muhammad Saw, Al Quran memiliki definisi yang lebih lengkap yang
menerangkan Al Quran secara lebih komprehensif dan detail. Adapun definisi
Al Quran ialah:
Kalam Allah Swt yang merupakan mukjizat yang diturunkan
(diwahyukan) kepada Nabi Muhammad Saw dan yang ditulis di mushaf dan
diriwiyatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah
(DepAgRI,1967:17).
Berdasarkan definisi Al Quran di atas dikemukakan bahwa membacanya
selain merupakan ibadah juga sebagai kewajiban dan jati diri bagi umat Islam.
Sebabnya untuk memperkenalkan agama iIslam pada siapa saja Al Quran akan
maju lebih dahulu sebagai pengantar dan pegangan umat Islam, tidak terkecuali
pada anak-anak.
80
BAB V
ANALISIS
5.1 Analisis Proses Komunikasi Persuasi Ibu dan Anak Dalam
Memberikan Pemahaman Beribadah pada Anak
Proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak merupakan
proses komunikasi yang panjang karena menyangkut pembentukan perilaku dan
pendidikan anak, seperti yang dilakukan ibu Zubaidah kepada anak-anaknya.
Apabila kita kaitkan komunikasi persuasi ibu dan anak dengan definisi
komunikasi persuasi yang dikemukan Kenneth E Anderson yang diterjemahkan
Effendy (1981:103), maka proses komunikasi persuasi ibu dan anak diartikan
sebagai proses komunikasi antarpribadi di mana
ibu sebagai komunikator
berupaya dengan menggunakan lambang-lambang untuk mempengaruhi kognisi
anak sebagai penerima, dengan sengaja dilakukan untuk mengubah sikap atau
kegiatan seperti yang diinginkan komunikator yaitu ibu. Namun definisi dari ahli
di atas belum tentu benar-benar sesuai dengan kenyataan dilapangan.
Seperti yang dilakukan oleh ibu Zubaidah yang memandang proses
komunikasi persuasi dalam membentuk perilaku beribadah anaknya dengan
tidak memaksa, tidak memberikan sanksi, membujuk secara verbal dan non
verbal melalui nasehat dan memberikan contoh bersikap dan berperilaku. Secara
detail mungkin terdapat perbedaan antara pendapat Anderson dengan ibu
Zubaidah, namun pada dasarnya dan pada intinya komunikasi persuasi tetap
dipandang sebagai komunikasi yang beroientasi pada tujuan tertentu yang
sengaja dilakukan oleh komunikator.
81
Ibu Zubaidah mengaku bahwa tahapan awal dalam membentuk perilaku
beribadah pada anaknya Azzahra dengan mencontohkan perilaku beribadahnya
sehari-hari dan memberikan pemahaman seputar ibadah sholat dan membaca Al
Quran. Selanjutnya baru beranjak ke tahap berikutnya dengan mengajarkan cara
sholat dan mulai memperkenalkan mengaji pada Azzahra. Kemudian proses ini
berjalan dengan sendirinya, seperti mulai dengan bacaan sholat dan aktivitas
rutin belajar membaca Al Quran sampai kemudian meminta anaknya untuk terus
melaksanakan dan tidak meninggalkan sholat dan terus belajar mengaji.
Pada penjelasan proses pembentukan perilaku beribadah di atas, ibu
Zubaidah mengaku tidak menggunakan paksaan. Pembentukan perilaku ibadah
itu dilakukan dengan memberikan pemahaman secara terus menerus dan
memotivasi anak dengan memberikan contoh yang baik dan nasehat-nasehat. Ini
dilakukan ibu Zubaidah karena ia merasa yakin bahwa dalam mendidik anak,
khususnya membentuk perilaku beribadah pada anak harus dilaksanakan secara
Islami juga tentunya.
Dalam Islam, membentuk perilaku, mengajak beribadah harus dilakukan
dengan cara yang santun dan lemah lembut. Seperti yang tercantum pada ayat Al
Quran dibawah ini:
Artinya:
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang didalam hati
mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran,
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”. (QS.AnNisaa:63)
82
Berawal dari keyakinan akan efektifnya pembentukan perilaku dan
mengajak anak
beribadah dengan cara yang santun dan lembut, maka ibu
Zubaidah merasa bahwa bentuk paksaan belum diperlukan atau bahkan tidak
diperlukan. Ditambah dengan prinsip Islami yang dijunjung tinggi ibu Zubaidah
bahwa perintah beribadah dapat dilakukan dengan cara yang santun seperti yang
tertera pada ayat di atas.
Sementara apabila ditinjau melalui prinsip komunikasi persuasi yang
dikemukan Dedy Jamaludin, yang menyatakan bahwa keberhasilan komunikasi
persuasi terletak pada beberapa aspek yaitu antara lain:
1. Prinsip identifikasi
2. Prinsip tindakan
3. Prinsip familiaritas dan kepercayaan
4. Prinsip kejelasan situasi (Malik,1994:132-133).
Kenyataan di lapangan yang diperoleh baik melalui wawancara dan
observasi, yang dilakukan ibu Zubaidah tidak jauh berbeda dari
beberapa
prinsip komunikasi di atas. Sebut saja prinsip identifikasi yang mengarah pada
proses identifikasi yang dilakukan oleh anak. Dengan
melihat sikap dan
perilaku beribadah ibunya, adik Azzahra dengan sendirinya memulai proses
identifikasi, dengan melihat tata cara ibunya sholat atau dengan mendengarkan
ibunya mengaji. Selanjutnya peran ibu dalam memberikan contoh sangat
berpengaruh dalam membentuk perilaku beribadah pada anak. Seperti yang
dilihat peneliti bahwa saat ibu Zubaidah tadarus di bulan Ramadhan, ia
mengajak anaknya ikut serta. Ke-ikut sertaan Azzahra yakni dengan meneruskan
pelajaran mengajinya.
83
Prinsip identifikasi ini merupakan salah satu metode persuasi non verbal
paling ampuh yang dinila olehi ibu Zubaidah. Menurutnya menjadi contoh atau
tauladan bagi anak-anaknya adalah upaya persuasi non verbal paling efektif
dalam membentuk perilaku sholat dan mengaji pada anaknya selama ini. Anak
akan dapat memahami dan memaknai sholat sebagai bagian terpenting dalam
hidup ibunya sehingga hal itu pun akan menjadi penting pada pada dirinya.
Selanjutnya proses identifikasi yang dilakukan anak pada perilaku
beribadah ibunya, merujuk pada tindakan konkrit. yang membuktikan bahwa
nasehat atau penjelasan ibunya akan sholat tidak sekedar retorika semata. Anak
dapat melihat dengan tindakan ibunya yang dengan selalu memberikan contoh
bahwa selaku umat Islam tidak boleh meninggalkan sholat terkecuali pada
kondisi tertentu. Perilaku beribadah ibu khususnya sholat dan mengaji,
menunjukan bahwa perbuatan ibu Zubaidah sejalan dengan prinsip komunikasi
persuasi yang kedua yakni prinsip tindakan.
Sementara apabila dilihat dari prinsip komunikasi yang ketiga yang
dikemukan oleh Dedy Jamaluddin, prinsip familiaritas dan kepercayaan, status
hubungan keduanya sudah menjadi poin lebih yang sedikitnya membuat
komunikasi persuasi mampu berjalan lancar. Kepercayaan dan kedekatan antara
ibu dan anak merupakan sebuah naluri yang sudah ada sejak dalam kandungan,
sehingga kedekatan dan kepercayaan di antara ibu Zubaidah dan anaknya
Azzahra sudah tidak perlu di pertanyakan lagi.
Perilaku beribadah merupakan tujuan utama dari proses komunikasi
persuasi yang dilakukan ibu Zubaidah dan Adik Azzahra. Namun dalam proses
komunikasi persuasi yang dilakukan ibu dan anak, khususunya adik Azzahra
84
akan mulai memahami sholat sebagai sesuatu yang penting dilaksanakan melalui
interaksi dan komunikasinya dengan ibunya seta anggota keluarga yang lain.
Khususnya melalui komunikasi persuasi yang dilakukan ibunya, adik
Azzahra mulai memaknai ibadah. Interaksi dan juga komunikasi persuasi yang
dilakukan ibu dalam membantu anaknya memahami makna sholat dan mengaji
akan mempengaruhi perilaku beribadah pada anak. Makna sesuatu itu akan
menetukan perilaku seseorang merupakan pandangan interaksi simbolik yang
dikemukan Blumer. Pamahaman akan sholat dan belajar membaca Al Quran
diterima adik Azzahra salah satunya melalui proses komunikasi persuasi dengan
ibunya. Melalui nasehat-nasehat yang memotivasi juga gambaran atau cerita
seputar ibadah serta hukum sholat dan mengaji atau pun melalui contoh perilaku
yang diberikan ibu Zubaidah akan membentuk pemahaman Azzahra akan
ibadah, yang kemudian memberikan makna dalam dirinya.
Berdasarkan hal-hal yang telah dilakukan ibu Zubaidah di atas, Azzahra
mengaku memaknai ibadah sebagai hal yang wajib dan akan berdosa apabila
tidak melaksanakannya. Hanya saja peneliti melihat bahwa pengertiannya akan
dosa dan konsekuensi dosa yang diketahuinya masih sangat sedikit. Sehingga
berdosa merupakan hal yang buruk dan akan masuk neraka apabila berdosa.
Akan tetapi hal ini masih sebatas pengetahuan saja. Sehingga esensi dan
konsekuensi akan dosa masih belum dipahaminya.
Sejauh Azzahra memaknai sholat dan membaca Al Quran adalah wajib
dan melaksanakannya tanpa paksaaan sudah menjadi sebuah pertanda bahwa
komunikasi persuasi ibu dan anak dalam memberikan pemahaman beribadah
anak, sudah mampu membentuk perilaku beribadah pada anak. Dari sekian
85
banyak hal yang membuat seseorang memberikan makna atau definisi terhadap
sesuatu, adalah interaksi yang dilakukan seseorang.
Interaksi yang dilakukan seseorang akan membantunya memberikan
makna pada sesuatu. Sebut saja Azzahra akan memberikan makna pada sholat
dan mengaji yang salah satunya ditentukan dari interaksi yang ia lakukan,
interaksi sosialnya atau dalam skala yang lebih kecil interaksi dengan
keluarganya. Atau lebih khususnya lagi yaitu interaksi pribadi dengan ibunya.
Komunikasi persuasi yang terjadi dalam interaksi Azzahra dengan
ibunya, membantunya memaknai ibadah berdasarkan makna-makna yang
dibentuk bersama ibunya. Seperti yang dikemukan oleh Stewart L. Tubbs dan
Sylvia Moss bahwa komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua
orang atau lebih (Mulyana,2001:69). Di sini Azzahra memberikan makna pada
ibadah melalui penggunaan bahasa atau simbol-simbol yang persuasif yang
selama ini dijumpai saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan ibunya. Juga
melalui objek sosial (perilaku manusia) khususnya perilaku ibunya dalam
beribadah.
Proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu Zubaidah dan anaknya
Azzahra dapat dikatakan sebagai usaha Azzahra dalam menegosiasikan makna
melalui pesan-pesan persuasi yang diberikan ibunya. Atau pun melalui perilakuperilaku beribadah ibu sehari-hari. Sehingga diharapkan Azzahra memaknai
ibadah sesuai yang ia temui saat berinteraksi dengan ibunya. Khususnya
memaknai sholat dan mengaji melalui proses komunikasi persuasi antara dia dan
ibunya.
86
5.2.
Analisis Upaya Ibu dalam Menyampaikan Pesan pada Anak
Berdasarkan Pemaknaan Ibu Atas Ibadah
Sedikit telah dijelaskan di atas bagaimana upaya ibu dalam
menyampaikan pesan dalam proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu,
yakni dengan memberikan nasehat-nasehat seputar hukum dan tata cara
beribadah. Selain dengan menyampaikan pesan-pesan verbal yang membujuk
serta memotivasi anak, ibu juga menggunakan metode lain yakni memberikan
contoh perilaku beribadah sehari-hari agar lebih nyata dan mudah dipahami anak
sebagai sebuah kewajiban 1.
Ibu Zubaidah memandang dan memahami bahwa sholat dan mengaji
merupakan ibadah ritual sehari-hari yang paling awal yang harus dilaksanakan
dan diajarkan pada anak, disamping ibadah-ibadah lainya 2. Dengan pemahaman
akan wajibnya sholat dalam hidup umat Islam, maka ibu Zubaidah memilih
menanamkan nilai dan pengetahuan yang kuat pada anaknya sebelum nanti
mulai mewajibkan melaksanakannya setiap waktu.
Menurutnya, paksaan yang mewajibkan anak dalam melaksanakan
ibadah sholat dan mengaji akan mengecilkan dan mempersempit nilai ibadah di
mata anak-anak. Jadi melalui pemahamannya akan sholat dan makna sholat yang
telah diketahuinya, ibu Zubaidah yakin bahwa metode ini akan berhasil jika niat
dan usaha yang dilakukan sudah benar dan gigih.
Dalam hal menegakkan perintah sholat pada anaknya, dengan
membentuk perilaku beribadah pada anaknya, ibu Zubaidah juga memarahi
anaknya apabila anaknya dengan sengaja meninggalkan sholat. Saat anak
meninggalkan kewajiban sholatnya, ibu Zubaidah memperingatinya atau
87
memarahinya dengan kata-kata yang berupa nasehat, yang pada akhirnya ibu
Zubaidah akan menjelaskan nilai sholat dan hukum sholat serta kebaikan dan
keburukan jika meninggalkan sholat.
Namun diyakini oleh keduanya yakni ibu dan anak ini bahwa tidak ada
sanksi sejauh ini yang menyertai marahnya 3 ibu Zubaidah saat anaknya tidak
sholat. Juga tidak menggunakan bentakan, teriakan atau kata-kata kasar dalam
memarahi anaknya. Penekanan untuk sholatlah yang dipertegas ibu Zubaidah
saat meminta anaknya untuk sholat apabila anaknya melupakan sholat.
Semua upaya ibu Zubaidah di atas didasari atas pemahamannya akan
Islam yang menginginkan mengajarkan dan membentuk perilaku sholat anak
dengan tanpa paksaan sebagai tahapan awal sebelum melangkah ke tahap
selanjutnya yang memerlukan paksaan apabila melalui imbauan tidak berhasil.
Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah as. dibawah ini:
“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun, dan
pukullah jika ia tidak shalat pada usia 10 tahun, dan pisahkan tempat
tidur mereka.” (HR Bukhari & Muslim)
Telah diketahui di atas bagaimana upaya ibu membentuk perilaku
beribadah pada anaknya, selanjutnya yang perlu diketahui di sini bagaimana ibu
memaknai ibadah itu sendiri. Hal ini erat kaitannya pada proses komunikasi ibu
dan anak dalam membentuk perilaku beribadah pada anak, karena ibu selaku
komunikator pada proses komunikasi persuasi akan memberikan pesan-pesan
yang mempengaruhi anak dalam memaknai ibadah.
88
Sholat dan mengaji yang dimaknai ibu Zubaidah diakuinya sama seperti
pada umumnya yakni sebagai perintah Allah Swt. yang wajib dilaksanakan.
Selaku perintah yang paling banyak diserukan dalam Al Quran, sholat
menduduki ibadah urutan pertama bagi umat islam. Makna itulah yang
kemudian coba ditransfer oleh ibu Zubaidah pada anaknya Azzahra melalui
komunikasi persuasi. Sejauh pengakuan ibu Zubaidah ia mengetahui tanggapan
anaknya dan pemahaman anaknya atas sholat dan membaca Al Quran. Hal ini
lah yang kemudian membuatnya lebih toleran terhadap pelaksanaan ibadah pada
anaknya Azzahra.
Asumsi interaksi simbolik menganggap bahwa setiap manusia akan
memaknai sesuatu sesuai dengan penafsiarannya terhadap sesuatu, membuat
setiap orang memliki perbedaan dalam menafsirkan sesuatu. Ibu menafsirkan
perilaku beribadah yang ia lakukan berbeda dengan yang ditafsirkannya saat
membentuk perilaku beribadah pada anaknya. Beribadah yang diajarkan pada
anaknya masih sebatas proses pelajaran dan membentuk perilaku, belum masuk
pada bentuk ibadah yang sesungguhnya yaitu ibadah yang secara sah telah
memiliki konsekuensi hukum.
Hal ini karena ibu memandang ibadah pada anaknya masih tahap
membiasakan belum mewajibkan karena konsekuensi hukum wajib sholat.
Karena Azzahra masih dalam status belum baligh, sehingga begitu banyak
toleransi yang diberikan. Dan proses komunikasi persuasi yang menurut Onong
U. E (1979) adalah proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang
dengan menggunakan manipulasi psikilogis, sehingga orang tersebut bertindak
89
atas kehendaknya sendiri. Masih dinilai layak menjadi metode komunikasi yang
tepat digunakan dalam membentuk perilaku beribadah anak.
Menurut ibu Zubaidah ibadah ialah kewajiban individu bagi setiap umat
islam. Namun apabila dikaitkan dengan peran dan tanggung jawabnya sebagai
ibu, maka sholat dan mengaji dipandang sebagai hal yang paling utama yang
harus diajarkan pada anak sejak dini. Pendapat ibu Zubaidah ini di dukung
dengan pemahamannya dalam mendidik anak dengan tanpa kekerasan dan
paksaan.
Ibu Zubaidah menambahkan bahwa ia memandang, membentuk perilaku
beribadah pada anak dengan paksaan akan mengecilkan nilai dan makna ibadah,
sehingga menurutnya lagi akan lebih baik apabila memberikan kesempatan bagi
anak untuk memaknai sholat dan mengaji tanpa adanya unsur pemaksaan
sehingga akan memberatkan atau membebaninya untuk sholat dan mengaji, pada
akhinya akan mengecilkan esensi dari sholat dan mengaji 4.
Upaya ibu Zubaidah dalam membentuk perilaku beribadah pada
ananknya Azzahra dilakukan dengan komunikasi persuasi karena ia yakin
melalui cara yang demkian, selain membentuk perilaku beribadah pada anaknya,
ia secara tidak langsung mendidik dan memberikan contoh pada anaknya akan
pentingnya sopan santun serta etika dalam berkomunikasi. Sehingga selain
membentuk perilaku sholat dan mengaji pada anaknya ia juga membentuk
perilaku berkomunikasi yang Islami pada anaknya, sekalipun komunikasi yang
dilakukan bertujuan untuk mengubah dan membentuk perilaku seseorang.
90
Bicara komunikasi yang Islami Djamarah meyebutkan ada enam bentuk
etika dalam berkomunikasi, khususnya dalam bertutur kata. Yang mana keenam
etika tersebut antara lain:
1. Qawlan Karima (Perkataan yang Mulia)
2. Qawlan Sadida (Perkataan yang Benar/Lurus)
3. Qawlan Ma’rufa (Perkataan yang Baik)
4. Qawlan Baligha (Perkataan yang Efektif/Keterbukaan)
5. Qawlan Layyina (Perkataan yang Lemah Lembut)
6. Qawlan Maisura (Perkataan yang Pantas)(Djamarah, 2004:105114).
Enam etika dalam bertutur kata di atas, seharusnya dikenal dan diaplikasi
oleh setiap umat Islam karena keenamnya secara implisit dan ekspilisit terdapat
dalam ayat-ayat suci Al Quran, dimana di bab sebelumnya dalam skripsi ini
telah dijelaskan.
Apabila dikaitkan dengan upaya ibu Zubaidah dalam membentuk
perilaku sholat dan mengaji anaknya melalui penyampaian pesan-pesan yang
persuasif maka berdasarkan hasil observasi dijumpai beberapa hal yang sesuai
dengan etika bertutur kata di atas.
Seperti yang disaksikan peneliti, saat ibu Zubaidah mengajari Azzahra
mengaji. Ibu Zubaidah menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan teknis
mengaji seperti cara baca, bunyi yang keluaran dari salah satu huruf saat
mengaji dan beberapa hal lainnya dengan beberapa perkataan yang lembut.
Lain lagi yang diakui ibu Zubaidah saat diwawancara yang menyatakan
bahwa ia mencoba menjelaskan hukuman yang dapat diterima nanti dengan
91
mengguna kata-kata yang ia nilai pantas dan di dimengerti anaknya. Juga pada
saat ia meminta anaknya untuk segera melaksanakan sholat, ia menggunakan
kata-kata yang menurutnya cukup membuat anak termotivasi atau kata-kata
yang efektif.
Upaya yang di lakukan ibu Zubaidah dalam membentuk perilaku sholat
dan mengaji pada anaknya sejauh ini, menurutnya masih belum sempurna
karena masih banyak hal yang ingin direalisasikan guna meyempurnakan
perilaku beribadah anaknya, sehingga tidak hanya ia melaksanakan dengan
kesadarannya sendiri, tetapi juga istiqomah dalam melaksanakan. Namun ia
akan tetap mendidik dan membentuk perilaku beribadah anaknya dengan caracara yang persuasif sesuai dengan pemahamannya dan pengetahuannya.
Belum istiqomah-nya anak dalam beribadah karena kurang dalamnya
makna ibadah yang ada pada anak. Ditambah dalam belajar mengaji anak belum
disiplin setiap hari melakukannya. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi dari
upaya ibu yang diakui ibu Zubaidah belum maksimal. Upaya ibu juga belum
maksimal dalam menegakkan sholat yang sempurna pada anak yang sejauh ini
masih belum menghafal semua bacaan wajib sholat. Hal ini dikarenakan
toleransi ibu pada anaknya sebagai bentuk kekurangan dari komunikasi persuasi.
5.3. Analisis Tanggapan Anak dalam Memaknai Ibadah ( Sholat 5 waktu
dan Belajar Membaca Al Quran) Melalui Pesan yang Disampaikan
Ibu
Perspektif interaksi simbolik yang mencoba memahami perilaku seseorang
berdasarkan sudut pandang subjek yang diteliti membuat kita perlu melihat
92
bagaimana adik Azzahra memandang ibadah yang disebutnya sebagai sebuah
kewajiban. Respon yang ia berikan pada upaya-upaya ibunya dalam membentuk
perilaku beribadahnya, juga responnya akan situasi komunikasi yang ia rasakan
selama ini berdasarkan bagaimana ia memandang sholat dan mengaji itu sendiri.
Statusnya sebagai anak mewajibkannya akan banyak hal terhadap ibunya, salah
satunya yang paling penting ialah kepatuhannya pada ibunya. Hal ini juga
menjadi sebuah situasi yang akan menentukan perilakunya.
Boleh saja ia memandang bahwa sholat dan mengaji sebagai kewajiban,
namun hal ini tidak serta merta mampu membuatnya melaksanakan sholat dan
mengaji berdasarkan kesadarannya. Namun dibalik pemahaman yang diberikan
ibunya akan wajibnya sholat dan mengaji, ada situasi-situasi tertentu yang
membuatnya melaksanakan sholat.
Seperti yang dikemukan Blumer bahwa seseorang akan memperhitungkan
apa yang sedang dilakukannya, Azzahra juga secara sadar atau tidak disadarinya
akan memperhitungkan perilaku beribadahnya sebagai sebuah kewajiban pada
perintah agama atau pun kewajibannya sebagai seorang anak yang akan
mematuhi dan menjalankan nilai yang diberikan ibunya.
Terbatasnya pengetahuannya mengenai kewajiban dan konsekensi hukum
saat meninggalkan sholat membuat ia tidak hanya memaknai sholat dan mengaji
sebagai kewajiban umat islam, tetapi juga sebagai bentuk pembuktiannya
sebagai anak yang patuh pada ibunya.
Pesan yang disampaikan ibunya dapat saja dimaknai sebagai pelajaran dan
juga imabauan halus atau pun perintah baginya untuk melaksanakan sholat dan
mengaji. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti, makna sholat dan
93
mengaji yang ada diri Azzahra diinterpretasikan sebagai sebuah kewajiban umat
islam seperti yang selalu dikatakan ibunya dan juga yang selalu dilihatnya dari
perilaku beribadah orang tuanya dan kakaknya. Selain itu sholat juga
dimaknainya sebagai bentuk pembuktian akan kepatuhannya pada ibunya.
Makna sholat dan mengaji yang masih begitu sederhana tanpa rasa takut
akan dosa yang menjanjikan siksaan dikemudian hari, juga memaknai sholat
bukan sebagai kebutuhan yang dirasakan sebagian besar umat islam yang sudah
lebih dewasa dan paham esensi sholat sebagai perintah Allah Swt yang paling
banyak diserukan dalam Al Quran, sehingga membuat adik Azzahra masih
belum melaksanakan secara konsisten dan masih sering meninggalkan sholat
dengan atau tanpa sengaja.
Diakui oleh Azzahra bahwa dia masih sering meninggalkan sholat saat
asyik bermain sehingga kelupaan 5. Tetapi, umi begitu ia biasa memanggil
ibunya selalu mengingatkan jika ia kelupaan. Sementara sholat subuh yang
mengharuskannya bangun pagi merupakan sholat yang paling sering ketinggalan
karena mengantuk dan susah bangun. Namun apabila ibunya membangunkannya
ia akan tetap sholat, meskipun sering kali meninggalkan sholat subuh. Dan
alasannya pun saat meninggalkan sholat adalah mengantuk sehingga
membuatnya malas melaksanakan sholat. Sholat isya’ juga kadang dilakukan
melewati jauh dari waktu masuknya isya’ karena menonton TV sampai akhirnya
ia mengantuk.
Azzahra memahami sholat sebagai hal yang wajib dilakukan sesuai yang
selalu dikatakan oleh ibunya. Sehingga pemahaman atas wajibnya sholatlah
yang membuat ia melaksanakan sholat. Sementara mengaji diakuinya bahwa
94
masih dalam tahap belajar yang saat ini sudah sampai ke tingkatan Al Quran
yakni surah Al Baqarah. Beberapa bacaan wajib sholat juga masih terus
menghafal bersama ibunya. Selebihnya hal-hal seputar sholat seperti kewajiban
akan ber-wudhu, ber-mukenah, mengahadap kiblat serta jumlah rakaat sudah
dipahaminya.
Dalam menanggapi metode yang diterapkan ibunya yakni dengan
komunikasi persuasi, adik Azzahra sama sekali tidak merasa keberatan.
Menurutnya, ibunya selalu “biasa saja” 6 saat memintanya sholat. Maksud dari
biasa saja di sini ialah tidak dengan paksaan, tidak selalu marah jika ia
meninggalkan sholat dan hanya memarah sesekali pada kondisi tertentu itu pun
memarahinya hanya dengan nasehat dan arahan-arahan saja, selalu menasehati
setiap ada kesempatan, dan masih sering sekedar mengingatkan untuk
melaksanakan sholat. Sementara cara mengingatkannya juga hanya bertanya dan
meminta untuk segera sholat, tanpa paksaan apalagi sanksi. Sedangkan mengaji,
Azzahra mengaku ibunya yang mengajarkannya. Sementara intensitas atau
waktunya masih ditentukan oleh ibunya.
Menanggapi semua pesan yang disampaikan ibunya, Azzahra mengaku
tidak selalu mengerti dengan apa yang disampaikan ibunya. Ada hal-hal yang
disampaikan ibunya yang terkadang tidak dimengertinya namun banyak juga
pesan-pesan ibu yang dapat ia dimengerti. Apabila ia merasa perlu bertanya,
maka ia akan meminta ibunya jawaban yang dapat dimengertinya. Namun satu
hal yang pasti, kepercayaannya pada ibunya membuatnya dengan suka rela
mematuhi atau mendengarkan setiap perkataan ibunya.
95
Keterbatasan daya tanggap yang membuat Azzahra kadang tidak
mengerti dengan penjelasan ibunya juga mempengaruhinya dalam memaknai
ibadah sholat dan mengaji. Ketidakmengertian Azzahra pada pesan-pesan yang
disampaikan ini dapat diketegorikan sebagai salah satu hambatan komunikasi
persuasi yakni gangguan sematik yang membuat komunikan kesulitan
memahami atau mengerti pesan yang disampaikan yang berupa kata-kata, istilah
atau simbol-simbol lainnya.
Selain kesulitan dalam mengerti dan memahami pesan, gangguan sematik
juga juga dikenal sebagai hambatan komunikasi persuasi yang dapat membuat
komunikan salah mengerti dan salah paham. Dalam kasus Azzahra ini, ketidak
mengertiannya tidak memberikan pengaruh yang besar pada upaya ibu. Hal ini
disebabkan kepercayaannya pada ibunya yang yakin bahwa ucapannya selalu
berisikan hal-hal yang baik untuknya.
Namun meski tidak berpengaruh yang besar, pengakuan adik Azzahra
yang kadang kala tidak mengerti apa yang disampaikan ibunya, berpengaruh
buatnya
dalam
memaknai
ibadah
itu
meskipun
sedikt.
Mungkin
ketidakmengertian Azzahra pada beberapa pesan ibu yang belum membuatnya
konsisten dalam menjalankan sholat.
5.4. Analisis Peneliti atas Komunikasi Persuasi Inu dan Anak dalam
Membentuk Perilaku Beribadah Pada Anak.
Pada bagian ini selanjutnya peneliti mencoba memberi analisis sebagai
hasil dari proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu yaitu pelaksanaan
ibadah sholat lima waktu dan aktifitas belajar membaca Al Quran yang
96
konsisten pada anak. Disini peneliti memberikan analisis proses komunikasi
persuasi yang dilakukan oleh ibu Zubaidah pada anaknya.
Secara terbuka ibu Zubaidah mengatakan bahwa masih banyak hal yang
belum terealisasikan atas usahanya dan masih banyak yang ingin dicapai 7
kedepannya pada perilaku beribadah anaknya. Namun di sini dengan analisis
dan penilain subejktif oleh peneliti mencoba memaparkan informasi yang
diperoleh khususnya dari hasil observasi yang dilakukan peneliti kurang lebih 4
bulan. Selain itu juga peneliti mencoba menganalisis hasil observasi dengan
dibantu dengan studi kepustakaan dan juga hasil wawancara dengan narasumber.
Proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu Zubaidah dan anaknya
dalam membentuk perilaku beribadah anaknya Azzahra merupakan proses
komunikasi yang panjang dan intensif. Dilakukan setiap waktu kapan saja dan
dimana saja selama keduanya berkesempatan berkomunikasi. Lebih spesifiknya
terlibat dalam komunikasi yang berkaitan denga paelaksanaan sholat dan
mengaji.
Sehingga intensitas dan proses komunikasi yang cukup lama
memungkinkan ibu memasukkan nilai-nilai, pemahaman akan sholat dan
mengaji dengan metode persuasi lebih tepatnya melalui komunikasi persuasi.
Waktu meruapakan sebuah kelebihan yang mampu menutupi kekurangan dari
komunikasi persuasi yang dinilai membutuhkan waktu yang cukup lama dalam
mengubah atau membentuk perilaku. Selain memliliki kelebihan akan intensitas
dan waktu, kedekatan antara ibu dan anak juga dinilai mampu membuat anak
selaku subjek yang dibentuk perilaku ibadah lebih mudah percaya. Seperti yang
97
dikemukan Aristoteles yang dikutip Jalaludin Rakhmat bahwa pentingnya
komunikator dalam proses komunikasi persuasi menyebutkan:
Persuasi tercapai karena karakteristik personal pembicara yang ketika ia
menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat dipercaya.
Kita lebih penuh dan lebih cepat percaya pada orang-orang baik dari
pada orang lain : ini berlaku pada masalah apa saja dan secara mutlak
berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan pendapat terbagi. Tidak
benar pendapat penulis retorika bahwa kebaikan personal yang
diungkapkan pembicara tidak berpengaruh apa-apa pada kekuasaan
persuasinya: sebaliknya karakteristiknya hampir bisa disebut sebagai alat
persuasi yang paling efektif yang dimilikinya (Rakhmat 2001:255)
Selain kedekatan ibu dan anak mampu membuat anak percaya dan yakin
dengan pesan-pesan yang disampaikan ibu, kedekatan antara ibu dan anak
memudahkan ibu membentuk perilaku beribadah pada anak karena ibu sebagai
orang yang notabene paling dekat dengan anak paham dan mengenali karakter
anak sepenuhnya. Sehingga proses komunikasi persuasi yang berlangsung akan
disesuaikan dengan pengetahuan ibu akan anaknya.
Proses komunikasi persuasi yang berlangsung membantu seseorang
bertindak atau berperilaku berdasarkan dorongan dari dalam. Salah satu
dorongan dari dalam diri seseorang itu ialah cara pandangnya terhadap sesuatu.
Cara pandangnya terhadap sesuatu sesuai dengan bagaimana seseorang maknai
sesuatu.
Makna yang timbul pada diri seseorang akan menentukan sikap dan
perilaku seseorang. Dalam beberapa premis yang diungkapkan Blumer,
menyebutkan makna merupakan basis dari perilaku, apabila makna berubah,
maka perilaku juga akan berubah (Mulyana,2002:231). Melalui proses
komunikasi persuasi, makna akan terbentuk sebelum seseorang digiring
berperilaku secara sadar atau pun tidak kearah sesuai keinginan persuader.
98
Upaya yang dilakukan ibu Zubaidah menyangkut pembentukan perilaku
sholat dan mengaji pada anak memang belum sempurna seperti yang diakui ibu
Zubaidah, namun dapat dikatakan berhasil apabila melektakkan tolok ukur
keberhasilan dari Azzahra melaksanakan ibadah tanpa merasa terpaksa.
Sejauh pengamatan peneliti, Azzahra tidak merasa bahwa kewajiban
sholat ini sebagai sebuah beban. Namun ia juga belum mampu memaknai sholat
sebagai sebuah kewajiban yang akan berdosa apabila ditinggal. Memang
berdasarkan wawancara dengan peneliti ia menyebutkannya bahwa akan berdosa
apabila ditinggalkan. Akan tetapi hal ini hanya merupakan sekedar kutipan
ucapan ibunya saat memberikan penjelasan.
Jelas ia belum mengerti bahwa dosa adalah sebuah kredit hukuman besar
di akherat nanti. Meski ibunya telah menjelaskan sedikit tentang neraka yang
sangat buruk dan menakutkan sebagai bentuk hukuman apabila berdosa saat
meninggalkan sholat atau tidak ingin mengaji. Namun hal ini belum mampu
dipahami Azzahra, ia hanya sekedar mendengarkan ibunya.
Hal itulah yang masih membuatnya masih malas dan belum istiqomah
dalam melaksanakan sholat. Namun melaksanakan sholat berdasarkan kesadaran
pribadinya menunjukkan bahwa Azzahra telah memaknai sholat bukan sebagai
sebuah gangguan atau beban. Menurut peneliti makna ibadah yang ada dalam
diri adik Azzahra masih sebatas kewajiban akan umat Islam seprti ditunjukan
ibunya dan sebagai bentuk kepatuhannya pada orang tuanya.
Makna yang ada pada Azzahra ini yang membetuk perilaku beribadah
Azzahra terutama sholat masih belum konsisten. Seperti seringnya ia melupakan
sholat saat asyik bermain dan lainnya. Sementara aktifitas mengaji tetap
99
diyakininya sebagai sebuah kewajiban, karena masih melalui proses belajar dan
karena yang mengajarkan ibunya, maka pelaksanaannya masih sesuai dengan
ibunya. Namun berdasarkan pengakuan ibunya, sesekali ia dengan suka rela ikut
mengaji apabila ibunya sedang mengaji sendiri.
Upaya ibu dalam membentuk perilaku beribadah pada anaknya melalui
proses komunikasi persuasi bergantung pada pemahaman ibu dan cara pandang
terhadap sholat dan mengaji itu sendiri. Sejauh ini ibu merasa bahwa
menyangkut kewajibannya sebagai ibu, ibadah merukapakan hal utama
terpenting yang harus di ajarkan pada anak. Menyangkut hal itu, maka ibu
memulai membentuk perilaku beribadah pada anaknya khususnya sholat dan
mengaji sejak anak usia 5 tahun.
Komunikasi persuasi yang dipilih sebagai metode berdasarkan
pemahaman ibu akan sholat dan mengaji yang diyakini ibu wajib dilaksanakan
dengan benar sesuai syarat dan hukumnya. Selain itu ibu Zubaidah juga
menganggap sholat dan mengaji sama seperti pada umunya sebagai perintah
Allah Swt.
Peneliti
menilai makna sholat yang disebutkan ibu sebagai ibadah
individu seperti di atas, juga makna sholat apabila menyangkut pada tanggung
jawabnya sebagai ibu, membuat ibu menerapkan komunikasi persuasi sebagai
upaya dalam membentuk perilaku pada anak-anaknya. Ibu Zubaidah ingin
anaknya yakni Azzahra memaknai sholat dan mengaji bukan sebagai sebuah
beban atau paksaan sehingga saat ia melaksanakan sholat dan mengaji. Tetapi ia
ingin anaknya memandang sholat sesuai dengan maknanya yakni kewajiban
umat Islam. Pandangan bahwa makna sholat dan mengaji akan sempit apabila
100
memaksakan pelaksanaan sholat dan mengaji sehingga mempersempit esensi
sholat, membuat ibu Zubaidah yakin akan metode persuasi sudah yang paling
tepat.
Akan tetapi, peneliti menilai komunikasi persuasi memiliki sifat toleran
yang besar, sehingga dikhawatirkan banyak dan besarnya toleran yang ada tidak
mampu membentuk perilaku beribadah yang konsisten. Namun Kenyataan
dilapangan memperlihatkan bahwa proses komunikasi persuasi yang dilakukan
ibu Zubaidah dalam upayanya membentuk perilaku bieribadah anaknya tidaklah
murni sebuah komunikasi persuasi yang bersih akan instruksi.
Pertanyaan ibu Zubaidah pada anaknya mengenai apakah Azzahra sudah
melaksanakan sholat, dinilai peneliti sebagai bentuk instruksi halus yang
dilakukan ibu. Hal ini didasari atas pengamatan peneliti saat melihat ibu
Zubaidah bertanya pada Azzahra. Dengan segera Azzahra melaksanakan sholat
layaknya telah mendapat sebuah perintah. Namun peneliti melihat pelaksanaan
sholat yang dilakukan Azzahra memang tidak mencerminkan adanya
keterpaksaan. Hal inilah yang membuat peneliti menilai bahwa perilaku sholat
pada anak sesuai dengan pemahaman anak yang memandang sholat sebagai
bentuk kewajiban tanpa perlu dipaksa.
Upaya ibu Zubaidah dengan memberikan contoh sikap dan perilaku
dalam beribadah merupakan sebuah metode yang
menurut peneliti paling
efektif. Karena melalui contoh yang diberikan ibu menguatkan pernyataan dan
sangat mencerminkan keseriusan akan pentingnya sholat dan juga mengaji.
Nasehat, atau pernyataan yang memotivasi serta penjelasan seputar yang juga
sebagai media komunikasi persuasi ibu dalam membentuk perilaku sholat dan
101
mengaji sejauh pengamatan peneliti sesudah mencerminkan sifat dari persuasi
itu sendiri yakni membujuk dan menghimbau.
102
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dalam penelitian yang telah beberapa bulan dilakukan oleh peneliti,
akhirnya beberapa kesimpulan dapat ditarik berdasarkan fakta dan realita yang
diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi kepustakaan serta analisis
yang dilakukan peneliti atas proses komunikasi persuasi yang dilakukan ibu
Zubaidah pada anaknya Syarifah Azzahra dalam membentuk perilaku beribadah
sholat wajib lima dan aktivitas belajar membaca Al Quran. Kesimpulankesimpulan itu antara lain:
1. Peneliti menyimpulkan bahwa proses komunikasi persuasi ibu Zubaidah
dan anaknya Syariffah Azzahra untuk membentuk perilaku beribadah
anak dilakukan dengan intensif dan dalam kurun waktu yang lama
kurang lebih 4 tahun. Komunikasi persuasi berlangsung pada ibu dan
anak setiap kali memiliki kesempatan untuk berdiskusi seputar ibadah.
Selanjutnya
peneliti meyimpulkan proses komunikasi persuasi
memberikan kesempatan bagi keduanya memaknai ibadah berdasarkan
interaksi dan komunikasi persuasi yang dilakukan keduanya, sehingga
anak khususnya mampu memaknai ibadah sebagai kewajiban.
2. Peneliti menyimpulkan bahwa upaya ibu dalam menyampaikan pesan
imbauan kepada anak berdasarkan pemaknaan ibu atas ibadah dengan
memberikan pemahaman beribadah (sholat lima waktu dan aktifitas
belajar membaca Al Quran) kepada anak dilakukan melalui proses
103
identifikasi dimana ibu menjadi contoh bagi anaknya. Ibu memberikan
contoh dalam perilaku beribadah ibu sehari-hari karena ibu memaknai
sholat sebagai kewajiban dan akan ditiru juga oleh anak sebagai bagian
dari kewajibannya juga. Sehingga anak akan melaksanakan sholatnya
layaknya sholat yang dilakukan oleh ibu.
Selain itu juga dilakukan
dengan nasehat-nasehat, penjelasan-penjelasan seputar ibadah.
3. Tanggapan anak dalam memaknai ibadah melalui pesan imbauan yang
disampaikan ibu, anak menanggapi segala upayanya dengan positif,
yakni ia memandang bahwa upaya ibu bukan sebuah pemaksaan dan
upaya ibu ditanggapai dengan sikap dan perilaku yang mematuhi
keinginan ibunya. Khusus sholat anak memperlihatkan perilakunya
dalam melaksanakan sholat dengan tanpa beban atau tanpa merasa
terpaksa.
Meskipun
demikian
anak
memaknai
sholat
sebagai
kewajibannya selaku umat Islam dan kewajibannya pada orang tuanya
sehingga perilaku sholatnya belum konsisten karena tidak ada sanksi atau
ketakutan yang lain saat meninggalkan sholat.
6.2 Saran
Adapun saran peneliti kepada ibu Zubaidah dan anak berdasarkan dari
hasil penelitian yang ditemui, peneliti menyarankan:
1. Dalam komunikasi persuasi ibu Zubaidah sebaiknya lebih menitik
beratkan pada konsekuensi sholat dan mengaji yang apabila ditinggalkan
akan membuat anak berdosa. Dan menjelaskan dosa sebagai hal yang
buruk sehingga anak takut akan dosa dan akan istiqomah melaksanakan
104
sholat. Serta lebih disiplin dalam belajar mengaji dengan menetapkan
jadwal yang tetap sehingga anak mulai memiliki tanggung jawab yang
besar atas ibadah mengaji khususnya untuk tidak meninggalkan
membaca Al Quran dalam kesehariannya.
2. Bagi adik Azzahra peneliti penyarankan untuk lebih memahami pesanpesan yang disampaikan ibunya. Juga menyarankan keterbukaan atas
hal-hal yang kurang dimengerti olehnya. Sehingga kedepannya ia
mampu memaknai ibadah lebih dalam dan lebih tepat sehingga akan
istiqomah dalam melaksanakan sholat dan mengaji.
3. Ibu Zubaidah pernah mengaku bahwa upayanya belum maksimal dan
masih banyak yang belum direalisasikan, peneliti menyarankan upaya
ibu Zubaidah lebih lanjut dalam merealisasikan hal-hal yang ingin
ditingkatkan sehubungan perilaku beribadah pada anaknya.
4. Peneliti menyarankan agar ibu Zubaidah lebih memaksimalkan
pendidikan tatacara sholat dan bacaan sholat yang benar agar anak akan
melaksanakan ibadah dengan benar pada saat ia sudah baligh¸ saran ini
berdasarkan pengakuan adi Azzahra yang masih suka lupa bacaan sholat
dan belum hafal semua. Penting diperhatikan hal ini karena meyangkut
sah tidaknya sholat Azzahra.
105
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, Oemi.1986. Dasar-dasar PR. Bandung : Alumni
Abi Tahlib, Ali bin.2004. Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku. Cetakan
Kedua, Bandung : Pustaka Hidayah
As-Said, Naurah Binti.2005. Ibu Dekatilah Anakmu. Cetakan Pertama, Jakarta :
Cakrawala publishing
Arifin, E. Zaenal.2003. Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah. Cetakan
keempat, Jakarta : PT. Grasindo.
Departemen Agama Republik Indonesia.1993. Al Quran dan Terjemahannya.
Bandung : Gema RIsalah
Devito, Joseph.2003. Komunikasi Antar Manusia. Cetakan Ketiga, Bandung :
Djamarah, Syaiful Bahri.2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam
Keluarga. Cetakan Pertama, Jakarta : Rineka Cipta
Effendy, Onong U.1981. Humas : Suatu Studi Komunikalogi. Bandung : Remaja
Rosdakarya
______________.1986. Kamus Komunikasi. Bandung : Mandar Maju
______________.2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunukasi. Cetakan Ketiga,
Bandung : Citra Aditya Bakti
Ekomadyo, Ike Junita.2005. Prinsip Komunikasi Efektif : Untuk Meningkatkan
Minat Belajar Anak. Cetakan Pertama, Bandung : Simbiosa Rekatama
Media
Hasanah, Nur.2002. Hakekat Ibadah : Ditinjau dari Segi Pengertian Hukum dan
Hikmahnya. Cetakan Pertama, Surabaya : Bintang Usaha Jaya
106
Hadi, Ahmad Abdul.1998. Al Quran Bicara Tentang Ibu. Cetakan Pertama,
Jakarta : Gema Insani
Liliweri, Alo.1997. Komunikasi Antarpribadi. Cetakan Kedua, Bandung : Citra
Aditya Bakti
LPPKID.2001. Bimbingan Ibadah Praktis. Bandung : LPPKID UNISBA
Moleong, Lexy J.2002. Metodologi Penelitian Komunikasi. Cetakan Kedua,
Bandung : Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Nawabuddin, Abdurrab dan Bambang S.M.1996. Teknik Menghafal Al Quran.
Jakarta : sinar baru algensindo
Rakhmat, Jalaluddin.2003. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi, Bandung :
Remaja Rosdakarya
Sastroputro, Santoso.1988. Komunikasi Persuasi dan Disiplin Pembangunan
Nasional. Bandung : Alumni
Whalen, Joel.2005. I See What You Mean : Komunikasi Persuasi dalam Bisnis.
Cetakan pertama, Yogyakarta : Alenia
Internet
− www.eramuslim.com
− www.myquran.org
− www.rahima.co.id
− www.ummigroup.co.id
107
Lainnya
− Catatan perkuliahan komunikasi persuasi bersama dosen Drs. Anne
Ratnasari
− Hand Out Perkuliahan komunikasi pesuasi dari dosen Drs. Anne
Ratnasari
− Catatan Perkuliahan komunikasi antarpribadi bersama dosen Prima
Mulyasari S.Sos
108
LAMPIRAN
Tanggal / hari: Rabu, 31 Agustus 2005
Jam / tempat :15.00-16.00wib, kediaman ibu Zubaidah,
Jl. Rereng suliga no.33 Sukaluyu.
Wawancara bersama Ibu Zubaidah
1. a. Sejak usia berapa anak diperkenalkan dan diajarkan sholat dan
membaca Al Quran (mengaji)
Diperkenalkan pada saat anak masih TK mungkin sekitar umur 5 tahun,
diperkenalkan pada hal-hal yang dasar dulu seperti teknis sholat yaitu
gerakan dan bacaan sholat mulai diajarkan. Namun karena ia sudah
terbiasa melihat kami sekeluarga sholat jadi tidaklah sulit. Sementara ngaji
saya yang mengajarkan atas dasar pertimbangan bahwa saya punya banyak
waktu dan saya merasa sanggup kenapa tidak?. Memulainya dari iqrok
tentu saja.
b. Sejak usia berapa anak mulai diminta wajib untuk sholat secara
benar dan penuh?
Pada saat saya merasa dia sudah mampu melaksanakan sholat dengan
benar, yaitu bacaan-bacaan penting sudah bisa dan gerakan serta sudah
paham waktu serta informasi penting lainnya seputar sholat. Mungkin
sekitar SD kelas 2 yaitu umur 7 tahunan. Namun saya tidak mewajibkan
secara keras, hanya meminta mulai mengerjakan sholat setiap waktunya tiba
setiap hari, namun tetap diberikan sedikit keringanan.
c. Kalau mengaji, sudah sampai tahap mana anak belajarnya?
Sekarang sudah sampai Al Quran, sudah pada surah Al Baqarah.
109
2. Apakah secara teknis anak sudah melaksanakan sholat dengan
cukup baik, baik,
sangat baik atau masih kurang? (sejauh
pengamatan ibu) apakah sholatnya anak sudah benar (khusyuk, dan
lainnya) menurut penilaian ibu?
Khusuknya anak-anak saya rasa standar ya, tentunya tidak seperti kita,
namun saya kiranya dapat diterima. Kalau gerakan tidak sulit ya, di juga
selalu melihat kakaknya, abahnya ataupun saya. Tapi kalau bacaan
sholatnya saja yang masih belum semuanya hafal. Mungkin itu saja yang
saya rasa belum sempurnanya. Masih kurang di bacaan mungkin.
3. Menurut
ibu
sholat
dan
membaca
Al
Quran
adalah……………………..
Menurut saya keduanya tentu saja hal yang utama yang harus dikerjakan
dengan benar dan sesuai hukumnya. Dan pastinya harus saya ajarkan pada
anak sejak dini. Selebihnya sama saja seperti yang lain bahwa sholat dan
mengaji sebagai mana perintah Allah Swt itu hukumnya wajib.
4. Bagaimana cara ibu memberi tahukan makna sholat dan membaca
Al Quran ? Apakah ibu memberi tahukan makna sholat sesuai yang
ibu pahami dan ibu yakini?
Ya tentu saja saya memberikan pengetahuan tentang ibadah yang sudah
saya dapatkan. Tentunya saya beri tahu dengan bahasa yang mampu
dicerna anak saya. Dengan memberi tahukan apa yang terjadi nanti kalau
kita tidak sholat dan mengaji serta apa keuntungannya nanti kalau kita
mengaji dan sholat tanpa meninggalkannya. Contohnya: saya memberi
tahukan pada anak saya kalau kita meninggalkan sholat maka kita akan
masuk neraka yang panasnya luar biasa, dan alhamdulilah dia
menanggapinya dan mengerti.
110
5. Sejauh ini apakah anak cukup mengerti dan memahami sholat dan
mengaji sesuai dengan pegertian dari ibu?
Biasalah anak-anak, belum dapat saya katakan mengerti atau tidak. Tapi
mungkin belum begitu mengerti sesuai dengan harapan saya, tapi saya
optimis kedepannya perlahan namun pasti akan mengerti kalau kita rajin
berdialaog dan rajin berdiskusi masalah apa saja tentang agama.
6. Menurut ibu, dalam menerapkan wajib sholat dan belajar membaca
Al Quran pada anak sebaiknya dan efektifnya dilakukan dengan
instruksi (perintah) atau ajakan yang memotivasional (bujukan)
sehingga anak melaksanakan sholat dan belajar mengaji dengan
sendirinya(tanpa paksaan)?
Menurut saya sebaiknya dengan memberikan contoh sehingga anak
termotivasi dan melaksanakan tanpa paksaan. Lebih baik dia banyak belajar
dengan melihat kenyataan yang sesuai dengan pemahaman yang saya
berikan. Jadi lama kelamaan dia akan mengerti dan banyak mencontoh
orang tuanya.
111
Hari / Tanggal : Sabtu, 3 September 2005
Waktu / Tempat : 19.45-20.30, kediaman adik Azzahra
Jl. Rereng suliga no.33 Sukaluyu
Wawancara bersama adik Azzahra
1. Sudah sholat belum? Sholatnya masih sering tinggal/ kelupaan
nggak?
Tadi udah, aza masih suka lupa kak..
2. Kapan biasanya paling malas atau ketinggalan sholatnya?
Yang paling malas tuh pas sholat subuh, kalau isya suka kelupaan.
3. Kalau ketinggalan sholat atau tidak sholat biasanya kenapa
(alasannya)?
Ngantuk, lupa kalau lagi main.
4. Kenapa sih kita harus sholat dan harus mengaji (menurut adik)?
Kita harus sholat dan ngaji karena itu wajib.
5. Kalau tinggalin sholat atau adik tidak sholat dimarahin ibu nggak?
Kadang-kadang bisa dimarahin, tapi bisa juga kadang-kadang tidak.
6. Ibu bilang apa waktu suruh atau ajak adik sholat?
Aza udah sholat belum? Kalau belum sholat dulu ya,…..
7. Apakah adik mengerti yang disampaikan ibu pada saat ibu meminta
adik untuk sholat?
Ada yang aza ngerti tapi yang aza gak ngerti juga banyak. tapi aza selalu
denger omongan umi.
112
8. Menurut adik kalau Ibu meminta adik untuk sholat biasanya
menggunakan perintah (maksa) atau bicara baik-baik dan
membujuk?
Umi kalau suruh aza sholat dan ngaji biasa aja. Paling bilang kayak tadi
“aza sholat! “
9. Pertanyaan teknis sholat:
− Sebelum sholat harus,,,,,
Wudhu dulu
− Sholat harus menghadap kemana?
Menghadap kiblat
− Sholat pakai apa aja?
Laki-laki pakai sarung dan peci, kalau perempuan pakai mukenah
− Sholat subuh berapa rakaat?
Dua rakaat
−
Sholat zuhur berapa rakaat?
Empat rakaat
−
Sholat ashar berapa rakaat?
Empat rakaat
−
Sholat maghrib berapa rakaat?
Tiga rakaat
−
Sholat isya berapa rakaat?
Empat rakaat
− Sudah hafal bacaan sholatnya?(test salah satu bacaan sholat)
Bacaan ruku’nya: subhana rabbiyal’azimi wa bihamdih, terus kalo
sujudnya : subhana rabiyal’a’la wa bihamdih, kalau bacaan abis ruku’
samiallahuliman hamidah rabbana lakal hamdu, udah kak, tapi aza ada
yang belum hapal.
113
10. Kapan biasanya adik mengaji? Siapa yang ngajirin?
Habis sholat magrib kadang-kandang, atau kalau umi ajak ngaji. Yang
ngajar umi.
11. Sudah bisa belum ngajinya? Sudah sampai mana ngajinya?
Aza sudah sampai Al Quran sekarang…
12. Kalau sholat masih diawasin dan masih sering diingatkan? Atau
adik selalu sholat tanpa di ingtakan oleh ibu/bapak?
Masih sering diingatkan. Tapi kalau aza ingat, aza sholat sendiri gak
diingatkan
13 kalau kita ninggalin sholat atau tidak ngaji gimana?
Dosa, kata umi kalau suka gak sholat berdosa besar dan masuk neraka.
Pokoknya berdosa.
114
Hari / Tanggal : Sabtu, 1 Oktober 2005
Waktu / Tempat: 19.15-20.00 wib, kediaman ibu Zubaidah
Jl. Rereng Suliga no.33 Sukaluyu
Wawancara bersama Ibu Zubaidah
7. Ibu menggunakan pendekatan apa dalam memotivasi atau
mengajak
anak
untuk
sholat
dan
mengaji?
(historis,
sanksi/hukuman. Ganjaran atau yang lainnya)?
Saya memilih melakukannya dengan nasehat, seperti yang pernah saya
katakan sebelumnya, bahwa saya menasehati anak saya dengan hal-hal
yang baik dan juga hal-hal yang buruk sebagai konsekuansi apabila tidak
melaksanakan ibadah. Mungkin bisa dikatakan juga menggunakan histori
yakni cerita-cerita seputar ibadah.
8. Selain menghimbau atau mengajak anak ibadah secara verbal,
apakah ada cara atau upaya lain yang dilakukan tanpa
menggunakan imbauan verbal?
Selain dari imbauan-imbauan verbal ya seperti yang telah saya jelaskan
sebelumnya bahwa dengan memberikan contoh dari saya sendiri dalam
pelaksanaan ibadah sehari-hari. Saya rasa hal itu lebih baik dan besar
manfaatnya. Jadi dia akan langsung mencontoh saya bukan? Lebih dari
yang hanya sekedar omongan itu membuktikan keseriusan ibu mengajarkan
anaknya.
9. Kalau anak tidak sholat atau meninggalkan sholat dengan sengaja
(malas dan bermain) apakah ibu akan marah atau memberikan
sanksi?
115
Ya saya akan memarahinya, namun yang wajar saja. Dengan peringatan
yang agak tegas, namun tidak dengan sanksi. Hanya memberikan sedikit
gambaran apabila tidak sholat dan mengaji akan seperti apa. Namun saya
tidak memberikan sanksi.
10. Sejauh ini, apakah anak sudah melaksanakan sholat tanpa
pengawasan dan peringatan dari ibu/bapak?
Oh..iya, Alhamdulillah. Saya agak lega sedikit melihat dia sudah mulai
melaksanakan sholat tanpa pengawasan dan kadang-kadang tanpa
diingatkan. Namun tetap saya pantau terus agar ini semakin baik
kedepannya.
11. Sejauh pengamatan ibu, apakah anak sudah dapat dilepas dalam
menjalankan ibadah, (sholat 5 waktu)?
Mungkin belum ya, karena saya masih terus memberikan pengetahuan
seputar ibadah dan agama agar kedepannya lebih mantap. Mungkin nanti
pada saat dia sudah mantap yakni pada saat sudah baligh baru saya coba
lepas namun tetap peran saya harus menjadi pembimbingan dan
mengontrolnya.
12. Secara
keseluruhan
dari
proses
membentuk
perilaku
beribadah pada anak yang telah ibu lakukan, menurut ibu
apakah sudah berjalan sesuai target dan keinginan ibu (sudah
ideal) atau masih banyak hal yang belum terealisasikan dan
belum dicapai pada proses pembentukan perilaku beribadah
anak tentunya?
Masih banyak hal-hal yang belum terealisasikan. Jadi usaha saya
masih panjang. Dengan pengetahuan yang saya miliki, saya akan
116
mencoba mendidik anak saya dengan persuasi dan kasih sayang
tentunya.
13.Terakhir saya ingin mempertegas pernyataan ibu yang
mengatakan membentuk perilkau dengan metode komunikasi
persuasi, benar bukan? Apa alasannya memilih metode ini
bukan dengan metode instruksi atau dengan yang lebih tegas
seperti koersif?
Ya benar.., saya menggunakan komunikasi yang persuasi dalam
membentuk perilaku anak saya dan mendidiknya selalu dengan
persuasif, karena menurut saya kasih sayang dan kelembutan lebih
membekas pada anak sehingga ia akan menjadi anak yang lunak,
patuh juga terbiasa pada kelembutan, tanpa kekerasan dan jauh lebih
damailah. Apalagi dalam membentuk perilaku beribadah pada anak,
pentingnya anak faham benar akan esensi ibadah kemudian dengan
mudah dan tanpa paksaan melaksanakan dari pada memberi perintah
yang keras dan sedikit memaksa, itu akan mempersempit esensi
ibadah. Ia akan ibadah adalah beban dan itu tentu saja tidak saya
inginkan.
117
Catatan Hasil Observasi / Pengamatan Peneliti
Hari /Tanggal :
Sabtu, 16 Juli 2005
Waktu / Tempat :
15.45-16.30. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Konsultasi sebelum
wawancara dengan ibu
Zubaidah
Syarifah
dan
adik
Azzahra
dan
melakukan observasi.
Kegiatan / Keterangan :
Peneliti meminta izin untuk sering datang kerumah
ibu Zubaidah dan meminta kerjasamanya dalam
menjawab
pertanyaan
guna
mengambil
data/informasi penelitian.
Hari /Tanggal :
Rabu, 27 Juli 2005
Waktu / Tempat :
14.10-13.15. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Diskusi dengan ibu Zubaidah
Kegiatan / Keterangan :
Mencoba
membangun
kedekatan
berdiskusi seputar masalah
Namun
peneliti
belum
dengan
agama dan anak.
memulai
wawancara
dengan beliau. Selesai.
Hari /Tanggal
Senin, 8 Agustus 2005
Waktu / Tempat
17.45-20.10. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
118
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Mengamati adik Azzahra yang sedang belajar
mengaji dengan ibunya.
Kegiatan / Keterangan :
Adik Azzahra mengaji dari habis sholat magrib
sampai dengan sholat isya’. Sholat maghrib
berjama’ah bersama peneliti dan keluarga bapak
Abdurahman. Kemudian peneliti hanya melihat ibu
Zubaidah dan adik Azzahra belajar mengaji.
Belajar mengaji selesai pada saat azdan isya’.
Kemudian peneliti beramah tamah sebentar dengan
kelurga bapak Abdurahman sebelum akhirnya
pulang sekitar jam 8 lebih. Selesai.
Hari /Tanggal
Minggu, 14 Agustus 2005
Waktu / Tempat
16.50-17.30.
Rumah
tetangga
keluarga
Ibu
Zubaidah, Jl. Gambir Anom no.3 Sukaluyu.
Subjek :
Adik Azzahra pulang sekolah sore hari.
Kegiatan/ Keterangan :
Ibu Zubaidah tidak di rumah, pergi pengajian dan
adik Azzahra baru pulang sekolah sekitar jam 5
dimana ia masuk siang dan pulang sore. Tidak ada
ibu pulang sekolah, rumah kosong dan dikunci
akhirnya adik Azzahra menunggu di rumah
tetangga sampai ibunya pulang jam 5.30 sore dan
adik Azzahra tidak sholat ashar. Peneliti menemani
119
adik Azzahra di rumah tetangganya sampai ibunya
pulang. Selesai.
Hari /Tanggal
Sabtu, 16 Agustus 2005
Waktu / Tempat
14.00-16.00, Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Memberikan sedikit pertanyaan seputar adik
Azzahra.
Kegiatan / Keterangan :
Peneliti menghabiskan waktu sekitar 2jam dengan
ibu Zubaidah ngobrol seputar adik azzahra dan
kegiatannya. Peneliti sudah mulai mengamati pola
komunikasi dan kelancaran komunikasi dalam
keluarga ini. Dan ibu Zubaidah cukup lemah
lembut dan halus dalam berkomunikasi dengan
keluarga. Karena adik Azzahra ada di rumah dan
belum melaksanakan sholat, peneliti melihat ibu
Zubaidah
meminta
anaknya
sholat
dengan
bertanya apakah anak sudah sholat belum, jika
belum untuk segera sholat sebelum nantinya
tambah malas. Selesai.
Hari /Tanggal
Kamis, 18 Agustus 2005
Waktu / Tempat
9.00-10.00. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
120
Subjek :
Peneliti mengamati kegiatan pagi keluarga ibu
Zubaidah
Kegiatan / Keterangan :
Peneliti mencoba melihat pola interaksi dan
komunikasi di pagi hari. Dan kegiatan pagi ibu
Zubaidah sangat sibuk sehingga setelah keluarga
sarapan
pagi,
maka
ibu
Zubaidah
mulai
konsentrasi pada urusan usahanya. Adik Azzahra
masuk
siang
jadi
dia
menonton
TV
dan
mengerjakan PR. Seleisai.
Hari /Tanggal
Sabtu, 20 Agustus 2005
Waktu / Tempat
19.10-20.30, Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Peneliti diundang makan malam dengan keluarga
Abdurahman
Kegiatan / Keterangan :
Ketika peneliti datang ibu Zubaidah dan keluarga
baru siap berjamaah sholat isya’. Dan peneliti
bergabung
untuk
bersantap
malam,
peneliti
berdiskusi dengan mereka sekeluarga tentang arti
ibadah dan pendapat kedua suami istri tersebut
akan ibadah. Dan mereka sepakat mengatakan
ibadah adalah media manusia untuk dekat dan
mengabdi pada Allah Swt, kewajibannya tak dapat
ditawar. Dalam suasana kekeluargaan kedua orang
121
tua memasukkan nilai-nilai ibadah dan agama
dengan cara dan bahasa yang sederhana namun
sangat bermanfaat besar pada kedua anaknya.
Selesai.
Hari /Tanggal
Sabtu, 27 Agustus 2005
Waktu / Tempat
14.00-17.00. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Datang mengamati kegiatan adik Azzahra dan ibu
Zubaidah.
Kegiatan / Keterangan :
Sepanjang siang peneliti berada di rumah ibu
Zubaidah dan melihat aktifitas mereka. Tidak
banyak hal baru yang dilihat peneliti, hanya sekali
lagi peneliti melihat ibu bertanya pada anaknya
Azzahra apakah sudah sholat ashar belum setelah
si ibu melaksanakan sholat ashar, dan ternyata
anaknya menjawab sudah tepat pada saat abis
adzan ashar. Ini memang diluar pengetahuan ibu
karena pas adzan ashar ibu berada di kantornya
yang tepat sebelah rumahnya karena masih ada
urusan bisnis dengan suaminya. Selesai.
Hari /Tanggal
Rabu, 31 Agustus 2005
Waktu / Tempat
15.00-16.00. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
122
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Mewawancari ibu Zubaidah
Kegiatan / Keterangan :
Peneliti memisahkan wawancara yang dilakukan
peneliti dengan ibu Zubaidah dan anaknya
Azzahra. Kegiatan selama 1 jam habis hanya
memberikan pertanyaan dan mencatat jawaban ibu
Zubaidah. Kegiatan wawancara terpotong istirahat
2 kali saat sholat ashar dan ibu Zubaidah menerima
telepon.
Peneliti
memutuskan
melanjutkan
wawancara lain waktu. Selesai.
Hari /Tanggal
Sabtu, 3 September 2005
Waktu / Tempat
19.45-20.30. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Mewawancari adik Azzahra
Kegiatan / Keterangan :
Sedikit susah berbicara dan wawancara dengan
adik Azzahra karena sifatnya yang sedikit pendiam
dan tidak terlalu terbuka dengan orang luar.
Namun
seluruh
pertanyaan
dapat
dijawab
seperlunya oleh adik Azzahra dalam waktu kurang
dari 45 menit. Wawancara dilakukan sambil
menemani
adik
kucingnya. Selesai
Azzahra
bermain
dengan
123
Hari /Tanggal
Sabtu, 1 Oktober 2005
Waktu / Tempat
19.15-20.00. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Mewawancari ibu Zubaidah lanjutan.
Kegiatan / Keterangan :
Peneliti melanjutkan wawancara ibu Zubaidah
kurang lebih satu jam. Selesai.
Hari /Tanggal
Minggu , 9 Oktober 2005
Waktu / Tempat
17.30-18.30. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Diundang buka bersama
Kegiatan / Kegiatan :
Peneliti hanya datang untuk berbuka puasa
bersama dan sholat magrib berjamaah lantas
pulang. Dan seluruh keluarga puasa pada hari ini.
Hari /Tanggal
Rabu , 12 Oktober 2005
Waktu / Tempat
16.10-16.45. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Ngabuburit. Bersilaturahmi
Kegiatan / Keterangan :
Peneliti hanya datang untuk ngobrol dengan ibu
Zubaidah dan suami guna bertanya-tanya hal-hal
seputar puasa. Peneliti sekalian ingin mengecek
hasil jawaban dari pertanyaan yang didapat melalui
wawancara.
Saat
peneliti
di
rumahnya
ibu
124
Zubaidah sedang tadarus dan adik Azzahra sedang
puasa dan belum sholat. Akhirnya adik Azzahra
sholat setelah ibunya menyuruhnya untuk segera
sholat
sebelum
main
keluar
rumah
untuk
menunggu buka puasa. Selesai.
Hari /Tanggal
Minggu , 16 Oktober 2005
Waktu / Tempat
16.10-18.45. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng
suliga no.33 Sukaluyu.
Subjek :
Melihat adik Azzahra mengaji
Kegiatan / Keterangan :
Saat
peneliti
datang
ibu
Zubaidah
sedang
mengajarkan Azzahra mengaji, melihat bahwa ibu
Zubaidah
cukup
telaten
dan
sabar
dalam
mengajarkan anaknya mengaji. Mereka mengaji
sekitar setengah jam, dan peneliti mengamati dari
luar ruangan sholat keluarga. Selesai mengaji ibu
Zubaidah sibuk menyiapkan bukaan puasa dan
penelti membantunya. Buka puasa bersama dan
sholat maghrib berjamaah dan pulang. Selesai.
Hari /Tanggal
Rabu, 19 oktober 2005
Waktu / Tempat
19.20. Kediaman ibu Zubaidah, Jl.Rereng suliga
no.33. Sukaluyu.
Subjek :
Berterima kasih pada keluarga Abdurahman dan
125
ibu Zubaidah serta adik Azzahra
Kegiatan / Keterangan :
Pamitan dengan keluarga bapak Abdurahman dan
ibu
Zubaidah
karena
peneliti
mudik,
serta
megucapkan terima kasih atas kesediaan dan
kesempatan yang diberikan keluarga ini pada
peneliti untuk mengamati dan mewawancara
keluarga mereka. Peneliti merasa sudah cukup
mengumpulkan
Pengamatan
informasi
dan
yang
proses
dibutuhkan.
mengambilan
informasi/data dari keluarga ibu Zubaidah telah
selesai dan berakhir.
- Waktu yang digunakan sesuai dengan Waktu Indonesia Barat (WIB)
126
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Fatmah Nur
Tempat/Tanggal Lahir
: Tanjungpinang, 3 Juni 1982
Alamat
: Jl. Sukaluyu I No.57 RT:04/rw:06 Cibeunying
Bandung.
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Status
: Lajang/ Belum Kawin
Pekerjaan
: Mahasisiwa
Anak ke
: Kedua
Jumlah Saudara
: Satu Orang
Alamat Email
: [email protected]
Nama Ayah
: Muda Syufatri
Nama Ibu
: Syarifah Zainab
Pekerjaan Ayah
: Karyawan Swasta
Pekerjaan Ibu
: Pegawai Negeri Sipil
Alamat Orang Tua
: Jl. Senggarang No.2 Perumnas Sei-Jang
Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Download