BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Data dan informasi yang digunakan dalam proses Tugas Akhir ini didapat dari berbagai sumber, yaitu: 1. Literatur Mayoritas Pencarian data melalui buku dan artikel yang berhubungan dengan materi yang diangkat yaitu mengenai alat musik bambu Jawa Barat. 2. Wawancara Wawancara narasumberdari pihak terkait yaitu dengan Bpk. Rusmana selaku pemandu sekaligus pemerhati kesenian Sunda untuk mendapatkan informasi mengenai alat musik bambu Jawa Barat di Anjungan Jawa Barat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). 3. Website Pencarian data juga diperoleh dari website yang berhubungan dengan alat-alat musik bambu Jawa Barat, dan mengenai teori desain komunikasi visual yang digunakan untuk mendukung pembuatan buku. 2.2 Hasil Wawancara Hasil wawancara dengan Bpk. Rusmana adalah intinya mengenai perkembangan alat musik Jawa Barat. Ada banyak sekali alat musik bambu Jawa Barat, namun yang paling terkenal adalah angklung. Angklung sudah berkembang sejak lama bahkan sudah mencapai mancanegara seperti di Amerika dan di Eropa. Ada pula alat musik lain seperti celempung, karinding, suling yang sering digunakan dalam karawitan Sunda masih lumayan sering ditemukan dan dimainkan. Kemudian ada juga ansambel musik yang disebut arumba yaitu alunan musik bambu, ini merupakan ensembel musik yang terdiri dari angklung dan calung. Ansambel ini juga cukup terkenal. Untuk perkembangan alat musik bambu lainnya masih kurang terlihat perkembangannya bahkan sekarang nyaris sudah punah. Diharapkan hendaknya alat-alat music tersebut dapat dilestarikan dengan cara diperkenalkan kepada pelajar yang masih sekolah dasar. 3 4 2.3 Sejarah Masyarakat Sunda Menurut data dan penelitian arkeologis Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs Purbakala di Cihampea (Bogor), Kelapa Dua (Jakarta), dataran tinggi (Bandung) dan Cangkuang (Garut) member bukti dan informasi bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki system kepercayaan, organisasi social, system mata pencaharian, pola pemukiman dan lain sebagainya layaknya kehidupan masyarakat manusia yang sederhana. Era Sejarah di Tanah Sunda baru mulai pada pertengahan abad ke-5 seiring dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat batu dengan menggunakan bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti-prasasti itu yang diketemukan di daerah bogor, Bekasi dan Pandegelang dibuat pada zaman kerajaan Tarumanegara dengan seorang rajanya bernama Purnawarman dan ibukotanya terletak di Bekasi sekarang. Pada masa itu sampai abad ke-7, system kerajaan merupakan pemerintahan, agama Hindu sebagai agama resmi negara, system kasta sebagai bentuk stratifikasi social dan hubungan antar negara telah mulai terwujud walaupun masih dalam tahap awal dan terbatas. Negri yang menjalin kerjasama dengan kerajaan Tarumanegara adalah Sriwijaya di Sumatra, India, dan China. Tetapi yang paling mempengaruhi dalam hal agama adalah pengaruh dari India. Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke-8 sebagai lanjutan atau penerus Kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaannya adalah di Bogor. Ada dua sumber yang menyebut nama Sunda adalah nama kerajaan yaitu dari dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi) dan dari beberapa buah naskah lama (yaitu dari Carita Parahiyangan dan Sanghiyang siksa kendang karesian). Ibu kota kerajaan Sunda dinamai Pakuan Pajajaran. Di dalam tradisi lisan dan Naskah, Pakuan biasa disebut untuk nama ibu kota, sedangkan Pajajaran biasa untuk sebutan nama kerajaan. Setelah mengalami masa kejayaan akhirnya runtuh pada tahun 1579. Kejayaan Pakuan Pajajaran ditandai dengan adanya luasnya wilayah Tatar Sunda, kesejahterahan rakyat, keamanan yang stabil, dan baiknya kerjasama antara hubungan dengan dunia luar ( Majapahit, Portugis, Sriwijaya). 5 Di masa ini dikenal ada dua raja termasyur yaitu Prabu Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja. Pada masa kejayaan kerajaan Sunda, Pedagang islam sudah berdatangan ke kotakota pelabuhan besar seperti Banten, Sunda Kelapa (Jakarta Sekarang) dan Cirebon untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Dan lama kelamaan para pedagang islam tersebut bermukim di kota-kota pelabuhan Sunda, terutama di Banten, Karawang, dan Cirebon dan penduduk-penduduk setempat pun banyak yang menganut ajaran Islam. Dan berkat dukungan kesultanan Demak berdirilah kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten yang dalam perkembangan selanjutnya menumbangkan kekuasaan kerajaan Sunda pada tahun 1579. Pada periode selanjutnya sejak abad ke-17 Sejarah Sunda mengalami babak baru karena dari arah pesisir utara Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan Kompeni Belanda (1620) dan dari arah pedalaman sebelah Timur masuk kekuasaan Mataram (1625). Dan secara perlahan-lahan seluruh Tanah Sunda akhirnya jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda tepatnya pada awal abad ke-19. Disebut pula saat ini adalah awal dari zaman kekuasaan colonial Belanda. Masyarakat Sunda pun dieksploitasi habis-habisan dengan mulai menyerahkan secara wajib hasil dari penanaman lada, nila, dan kopi dan diperintahkan kerja paksa. Hal ini menjadikan rakyat pribumi tidak mendapatkan sama sekali keuntungan yang setimpal dengan usaha keras mereka bahkan banyak kehidupan mereka menderita. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan penentangan sebagian masyarakat. Oleh karena itu timbulah gerakan perlawanan pemberontakan rakyat seperti Dipati Ukur di Priangan (1628-1632); Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya di Banten (16591683); Prawatasari di Priangan (1705-1708); Kiai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750-1752); Bagus Rangin (1802-1818); Kiai Hasan Maulani di Kuningan (1842); Kiai Washid di Banten (1888); Kiai Hasan Arifin di Garut (1918). Ketidakpuasan tersebut masih berlanjut sampai dengan sejak awal abad ke-20 muncul lagi gerakan penentang social dan organisasi politik seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Paguyuban Pa-Sundan dan Partai Nasional Indonesia. Melalui pendudukan Militer Jepang (1942-1945) yang menumbangkan kekuasaan colonial Belanda (menyerah di Kalijati , Subang tanggal 8 Maret 1942) menjadikan kaum 6 pribumi mendapatkan keberanian dan mempunyai keterampilan dalam berperang. Dan pada saat ini pun pada umumnya masyarakat Indonesia berhasil mencapai kemerdekaannya (1945). Pada saat itu pula masyarakat Sunda berada dalam Propinsi Jawa Barat. Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan Propinsi yang pertama dibentuk di Wilayah Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU No.11 tahun 1950, tentang pembentukan Propinsi Jawa Barat yang beribu kota di Bandung. 2.4 Kesenian Sunda Pada awal abad ke-16 orang Sunda sudah mengenal aneka jenis kesenian. Berdasarkan hasil inventarisasi Laboratorium Kesenian Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat (1976-1981). Dalam masyarakat Sunda masih dijumpai 243 jenis seni pertunjukan tergolong tradisional yang terdiri lagi dari 18 rumpun kesenian yaitu; angklung, beladiri, celempungan, debus, gamelan, helaran, ibing, ketuk tilu, kacapian, macakal, mawalan, ngotrek, pantun, sandiwara, terbangan, topeng, sekar, dan wayang. Dan semua kesenian tersebut dapat diklasifikasikan atas seni suara, seni gerak dan seni teater. Di dalam seni suara dibedakan menjadi dua yaitu suara vokal dan suara instrumen. Di dalam suara vokal yaitu sperti: a. Tembang yang dilantunkan penembang atau pesinden contohnya dalam tembang cianjuran atau kliningan, b. Senggak, yaitu suara aransemen vokal untuk mengisi kekosongan pada sela-sela vokal, untuk member kesan suasana meriah. Sedangkan,di dalam suara instrumen yaitu dapat diklasifikasi sebagai berikut: a. Bahan yang dipakai: - Bambu : angklung, angguk, calung, celempung - Kayu : gambang, kolotok, kohkol - Perunggu/ besi : Gamelan, bende, bonang, goong, bonang rincik, ketuk, saron, demung, jenglong - Kawat : kecapi, tarawangsa, rendo - Kulit : dogdog, genjring, kendang, rebana. 7 b. Cara memainkannya: - Ditiup : suling, terompet, taleot, elet - Dipukul : bonang, gender, saron, jengglong - Dipetik : kecapi, siter, celempung - Digesek : rebab, rendo, piul - Digoyang : angklung, gengge, kelinting Karawitan Di Jawa Barat karawitan biasanya disebut kawiyagan, kagunan, karagunan, atau rinenggaswara. Secara umum artinya sama dengan musik atau seni suara. Secara khusus berarti seni suara yang bertangga nada pentatonik (sistem lima nada). Karawitan meliputi bentuk-bentuk seni suara yang bertangga nada dan bunyi-bunyian tanpa skala nada, yang biasanya dibawakan secara ritmis oleh alat-alat tertentu. Dalam karawitan Sunda, karawitan bukan berarti gamelan semata, tetapi juga mencakup alat-alat yang non gamelan, seperti kacapi, suling, calung. Begitu juga alatalat yang tidak bernada seperti dogdog, lisung, kohkol, bedug, kendang, keprak, dll. Berdasarkan skala nadanya, antara musik dengan karawitan Sunda sangat berbeda. Karena berdasarkan teorinya, Laras Pelog memiliki 9 suara, dan Laras Salendro mempunyai 17 suara. Sedangkan musik memiliki 12 suara yang tersusun berdasarkan interval dalam 1 oktaf. Namun sebenarnya untuk Laras pelog dan degung hal ini tidak terlalu terasa, dengan kata lain juga dimainkan dengan tangga nada musik (diatonis) perbedaan intervalnya tidak terlalu terasa. Tetapi untuk laras salendro, sangat terasa perbedaan intervalnya dalam karawitan Sunda dan tidak pas. 2.5 Masa Lalu Musik Bambu Sejak kapan timbulnya alat musik yang dibuat dari bambu di Indonesia, tidak terdapat keterangan yang jelas. Beberapa ahli, seperti J. Kunst (Mr. J dan C.J. A Kunst "Musical Exploration in the Indian Archipelago" dalam Asiatic Review (1936:814) dan Will G. Gilbert Muziek uit Oost-en West, Inleiding tot de Inhemsche Muziek van Nederlandsch Oost-en West India (tidak bertahun:9) berpendapat, bahwa beberapa bentuk alat musik bambu berasal dari masa sebelum adanya pengaruh Hindu. Menurut dugaan mereka, permulaan berkembangnya alat musik dari bambu di Indonesia sangat 8 erat hubungannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia yang kemudian menjadi nenek moyang suku-suku Melayu Polinesia, beberapa Melanium sebelum Masehi. Dari bukti-bukti yang dapat dikumpulkan, dengan terdapatnya beberapa alat musik dari bambu yang sama bentuknya di Asia Tenggara, dugaan tersebut dapat diterima. Sebagai contoh, alat musik bambu berdawai yang di Sulawesi Selatan disebut Gandrangbulo, di Priangan dikenal dengan sebutan Celempung, di Jawa Tengah disebut Gumbeng atau Gumbeng Rebah, di Bali dinamai Guntang. Alat seperti itu, dengan berbagai variasinya antara lain terdapat di Siam Utara, Hugo A. Bertzik, Die Gaister der Gelben Blutter (1938:174); di Laos ,A. Schaeffoer, Origine des Instrumente de Musque (1938:XII), di Kamboja dikenal dengan sebutan Dianglye, Curt Sachs, Die Musikinstrumente Indiens und Indonesiens (1915:97). Di beberapa tempat di Malaysia biasa disebut Gendang Batak, Henry Balfour, Musical Instruments from Malay Peninsula, Antropology, part 11(1954:17) Orang-orang Sakai menyebutnya Krob, orang Semang menyebutnya Amang (M. Kelsinki, "Die Musik der Primitiv Stamme auf Malaka" Anthrops, XXV, 1930:591). Dengan adanya persamaan bentuk alat musik dari bambu sebagaimana dikemukakan di atas, yang dapat dikatakan salah satu ciri persamaan selera dari suatu kebudayaan yang sama pendukungnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa berkembangnya musik bambu di Indonesia erat kaitannya dengan perpindahan nenek moyangnya dari daratan Asia. Perpindahan yang dimaksud mungkin sekali perpindahan gelombang pertama, yakni perpindahan suku Negrito Weda yang terjadi pada zaman Mesolitikum, bahkan tidak mustahil sebelumnya. Sebagaimana dimaklumi sebelum adanya perpindahan suku bangsa Palaeo Mongoloid di Nusantara sudah ada suku-suku bangsa yang menetap yang juga berasal dari daratan Asia yang kini sisa-sisanya antara lain adalah penduduk asli Irian, M. Amir Sutarga, "Tjiri-tjiri Antropologi Fisik dari Penduduk Pribumi" dalam buku: Penduduk Irian Barat, di bawah redaksi Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar (1963:22). Penduduk Irian ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain yang bentuknya dikenal di Pasundan dengan sebutan Kerinding, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut rindhing atau Genggong, dan di Bali disebut Ginggung. Alat seperti 9 itu dapat ditemui di berbagai tempat di Irian, seperti di sekitar Jabi, Tarung Gare, Awembiak, Den Dama, di sekitar Gunung Jaya Wijaya dan di hulu sungai Apauwar. Dengan dikenalnya alat musik dari bambu oleh penduduk pedalaman Irian Jaya yang dapat dikatakan sebagai monumen kebudayaan zaman Batu Tua, dapatlah kiranya diterima pendapat, bahwa alat musik dari bambu di Indonesia sudah berkembang sejak zaman itu. Jadi tidak seperti pendapat Will Gilbert, yang menyebutkan berkembangnya musik bambu di Indonesia sejalan dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia atau seribu tahun sebelum Masehi, melainkan jauh sebelum itu, mungkin antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum perhitungan tahun Saka. Pada zaman itu kebudayaan setingkat dengan orang Tasadi, suatu suku terasing di pedalaman Mindanau (Filipina) yang belum mengenal logam dan cocok tanam dan masih hidup di goa-goa. Orang Tasadi juga mengenal alat musik bambu, yakni alat musik bambu berdawai yang mereka namai Kubing. Sebagaimana dimaklumi, suku Tasadi ini baru ditemukan dan terjadi kontak dengan orang luar lingkungan mereka pada tahun 1971. Alat-alat musik dari bambu yang tampak pada relief Candi Borobudur dan candicandi yang lain, dari bentuk dan jenisnya menunjukkan adanya pengaruh Hindu, seperti Bangsing (suling lintang, wangsi). Sedang alat-alat yang sudah ada sebelumnya, seperti alat musik bambu berdawai dan sebagainya, tidak digambarkan. Gambang bambu seperti yang digambarkan pada relief Borobudur dan teras depan Prambanan, sampai sekarang masih merupakan alat musik sakral di kalangan penganut agama Hindu Bali. Di beberapa Pura tua, seperti di Pura Kelaci Denpasar, terdapat gambang demikian yang kelihatan sudah sangat tua. Alat itu biasa dipergunakan dalam upacaraupacara penting terutama dalam pengabenan. Sebagai makhluk yang berakal, bagaimanapun juga sederhananya, dalam mencukupi hajat kebutuhannya, nenek moyang bangsa Indonesia sejak zaman purba telah memanfaatkan bahan yang mudah didapat dan dibuat alat, yaitu bambu. Perubahan bentuk dan peningkatan mutu alat-alat musik dari bambu tampak sangat lamban, bahkan ada yang sama sekali tidak mengalami perubahan. Di beberapa daerah dewasa ini masih terdapat alat musik dari bambu yang hanya berupa ruasan bambu yang dibunyikan dengan cara ditumbuk-tumbukkan pada sebuah papan, seperti 10 Garantang di Tohpati Kasiman, Bali. Ada pula yang ditabuhnya dengan dipukul dengan pemukul dari kayu, seperti Guyonbulon di Banjara. Alat musik dari bambu yang mengalami perkembangan yang wajar adalah suling. Hampir setiap suku bangsa di Indonesia mengenal dan memiliki suling dengan berbagai bentuk dan jenis, serta fungsi. Contohnya di Pasundan terdapat semacam suling yang disebut Surilit, Taleot, Elet, Calintu dan Bangsing. Di antara berbagai macam suling terdapat pula yang digunakan sebagai alat musik yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan setempat, seperti suling Lembang, di Tanah Toraja. Suling dapat membawakan lagu-lagu sedih yang menyayat hati, atau lagu-lagu riang yang menggembirakan pendengarnya. Dapat pula dibawakan lagu-lagu syahdu berjiwa keagamaan. Itulah mungkin antara lain sebabnya di Maluku suling diperkembangkan sebagai alat musik Gerejani. Di Ambon dan Lease nyanyinyanyian Jemaat Gereja biasa diiringi Orkes Suling, yang dibawakan oleh sejumlah pemuda. Menurut pendapat Dr. Th. Muller Kruger, bila dibandingkan dengan iringan orgel-orgel kecil yang dipakai oleh kebanyakan jemaat-jemaat di Indonesia, orkes suling bambu jauh lebih baik dan bermanfaat. Alat-alatnya mudah dibuat sendiri dari bahan yang banyak terdapat di Indonesia. Sedang orgel harus dibeli dengan harga yang mahal dari luar negeri. Taraf musiknyapun orkes suling bambu tidak kurang indahnya dari orgel. Manfaatnya untuk kehidupan gerejani banyak pula, sebab dengan digunakannya orkes suling bambu para pemuda mendapat tugas dan tanggung jawab dalam kebaktiankebaktian. Orkes suling bambu di Maluku dikembangkan oleh Jozef Kam, seorang domine yang di sana dikenal dengan sebutan "Rasul Maluku" yang melakukan pekabaran Injil di Indonesia bagian Timur sejak tahun 1816, Dr. Th. Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia (1966:95). Rupanya di Filipina suling bambu sebagai alat musik Gerejani pernah ditingkatkan lagi bentuknya, yakni disusun sebagai organ. Sebuah pragan bambu yang dibuat tahun 1819 di bawah pengawasan seorang Rahib Agustin diberitakan pada tahun 1973 dalam keadaan rusak berat, sehingga untuk perbaikannya diperlukan dana sebesar 64.000 dollar Amerika, Harian Umum Berita Buana (1973:4). Hal ini saya kemukakan 11 sekedar memberikan gambaran betapa besar apresiasi masyarakat tetangga kita itu terhadap alat musik bambu yang telah dikembangkan. Alat musik bambu lainnya yang mengalami berbagai pasang surut dalam perkembangannya adalah Angklung, sebagaimana akan kita tinjau bersama. 2.6 Alat Musik Bambu Jawa Barat Bambu merupakan tanaman aneka guna, mudah didapat, dan sangat akrab dengan kehidupan masyarakat. Persebaran bambu sendiri mencapai ke seluruh dunia, tetapi sebagian besar di daerah tropis dan tumbuh secara liar pada ketinggian rendah hingga sedang. Jawa Barat merupakan propinsi yang terletak di daerah tropis serta memiliki wilayah yang luas dengan bentuk permukaan tanah yang beragam, yaitu daerah datar, landai, berbukit, dan pegunungan. Di Jawa Barat, bambu tumbuh subur di sekeliling desa sehingga selalu tersedia bila akan digunakan sehari-hari. Bambu sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. terutama masyarakat di daerah pedesaan. Selain berguna untuk menahan erosi tanah, akar bambu juga dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Rebungnya dapat dikonsumsi atau diolah menjadi berbagai macam masakan. Batang atau buluh bambu merupakan bagian yang paling sering dipakai oleh manusia untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai bahan bangunan, kerajinan tangan, dan mebel. Bagian daunnya sering dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pembungkus makanan, sedangkan bijinya digunakan sebagai bahan makanan dan obat tradisional. Adapun serat bambudapat digunakan sebagai bahan pembuat kertas. Selain menjadi salah satu bahan untuk bangunan rumah, perabot, seni dan ukiran, makanan dan senjata, bambu juga dijadikan sebagai bahan beberapa jenis alat musik yang sangat dikenal di Jawa Barat. Seperti angklung, calung, celempung, suling, dll. Yang paling terkenal adalah angklung, alat music ini terbuat dari bambu, dapat dimainkan sendiri, dapat dipadukan dengan alat music lain, namun umumnya dimainkan secara massal. Pemainnya puluhan hingga ratusan orang. Selain banyak dikenal oleh banyak daerah di Indonesia, angklung juga banyak peminatnya dari negara lain. Hal ini menandakan bahwa alat musik angklung sudah sangat berkembang. Perkembangan alat 12 musik angklung juga merupakan berkat pengembangan yang dilakukan oleh seorang guru di Kuningan Jawa Barat yaitu Daeng Soetigna, yang mengembangkan alat music angklung dari skala nada slendro ke skala nada diatonik pada tahun 1938. Kemudian untuk melestarikan serta menciptakan dedikasi yang tinggi kesenian musik bambu Jawa Barat, pada tahun 1966 didirikan Saung Angklung Udjo oleh seorang yang bernama Udjo Ngalagena beserta istrinya, Uum Sumiati. Alat musik bambu memiliki beberapa kelebihan yaitu dapat dibentuk besar atau kecil sesuai dengan nada yang akan dihasilkan. memiliki kelebihan dalam hal bentuk yaitu bambu telah menyerupai tabung, sehingga mempunyai rongga sendiri untuk bersuara. Contohnya adalah angklung dan calung. Alat musik bambu di Jawa Barat sering dimainkan pada upacara pertanian untuk memanggil hujan, untuk menandai mulainya musim tanam dan saat musim panen, serta pada pertemuan keluarga dan dalam berbagai macam acara seperti peresmian gedung, perayaan hari-hari besar, dan kegiatan seni. Jika alat musik bambu dimainkan pada saat upacara tradisional keluarga, instrumen tersebut umumnya bebas dari ikatan upacara. Sebagai bentuk hiburan yang bebas, instrumen ini tidak harus berhubungan langsung dengan kegiatan upacara yang mungkin diadakan. 2.6.1 Angklung Padaeng Penciptanya yaitu Daeng Sutigna, tahun 1938, Kuningan, Berfungsi mula-mula sebagai alat yang berguna dalam pendidikan dan disiplin untuk anak-anak, jenis nada yang dihasilkan adalah diatonic cara memainkan alat music tersebut yaitu digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar, persebaran alat music ini mencapai ke seluruh Indonesia, bahkan ke luar negeri. Berawal dari kisah dua pengamen jalanan yang dating ke rumah Daeng Sutigna di Kuningan. Di hadapan Daeng kedua pengamen tersebut memainkan angklung pentatonis. Dan hati Daeng pun senang mendengarnya, kemudian Ia membeli kedua angklung itu setelah dimainkan oleh pengamen. Setelah angklung itu di tangannya, Ia 13 pun memiliki ide yakni ingin membuat angklung diatonis. Namun yang menjadi persoalan, Daeng tidak dapat membuat angklung dan Ia pergi untuk belajar angklung kepada Djaya yang saat itu berumur 80 tahun. Setelah bisa membuat angklung, Ia kemudian berupaya sedemikian rupa untuk mewujudkan membuat angklung yang bertangga nada diatonis. Pada awalnya, permainan angklung ini hanya dikenal di kalangan anak-anak pramuka di Kuningan. Selanjutnya, setelah dikenal di kalangan Pramuka sebagai alat music yang menyenangkan, akhirnya permainan alat music angklung diatonis ini bias diterima oleh masyarakat yang lebih luas dan diajarkan di sekolah-sekolah. Kemudian pada forum Perundingan Linggarjati pada 12 November 1946, Konfrensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Daeng Sutigna diberi kesempatan untuk konser angklung yang dikreasikan oleh dirinya dengan dihadiri oleh tokoh-tokoh asing dari Negara Amerika, Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Korea, Malaysia dan Negaranegara lainnya. Saat inilah banyak tokoh dari Negara asing tersebut yang ingin belajar angklung sehingga menjadikan alat music angklung Pa Daeng melang –lang buana. Sampai pada akhirnya Daeng Soetigna meninggal tahun 1984. Kemudian Udjo Nalagena (alm) selaku murid dan asistennya berupaya melestarikan dan mengembangkan angklung lebih jauh. Udjo Ngalagena yang akrab dengan panggilan Mang Udjo dan isterinya, Uum Sumiati, berhasil mengemas angklung dengan sangat menarik. Mereka mendirikan Saung Angklung Udjo: Sundanese Art & Bamboo Craft Center pada awal tahun 1967. Saung Angklung Udjo adalah sebuah tempat dimana seni angklung berkembang dengan dinamis dan memukau dunia. Tidak hanya memainkan musik instrumen tradisional tetapi juga memainkan lagu-lagu modern yang popular. 2.6.2 Angklung Dogdog Lojor Angklung jenis ini dinamakan dogdog lojor terkait penggunaannya dalam suatu kesenian yang bernama Dogdog Lojor yang terdapat di daerah sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak).Dimainkan oleh 12 orang yang dibagi menjadi dua kelompok. Setiap kelompok terdiri dari dua orang pemain dogdog dan empat pemain angklung. Biasanya, salah seorang pemain dogdog ditunjuk menjadi ketua kelompok. 14 Permainan diawali dengan pemain menyanyikan lagu dan pantun yang sederhana sambil terus bergerak membentuk lingkaran sambil mengikuti irama. Kemudian permainan dilanjutkan dengan acara ngadu atau bertanding. Pertandingan yang dilakukan antara lain gerakan ucing-ucingan, oray-orayan, ngadu bedug/dogdog, ngadu domba, dan ngadu jalan. Dogdog lojor dimainkan oleh orang dewasa sebagai pelengkap upacara adat Seren Taun, Ngaruat dan Pesta Panen untuk memeriahkan suasana. Merupakan kesenian yang dimainkan pada ritual panen padi atau seren taun. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, Angklung Dogdog Lojor juga dipentaskan pada acara khitanan. Instrumen yang digunakan meliputi dua buah dogdog lojor (panjang) dan empat buah angklung. Nama keempat angklung tersebut mulai dari ukuran terbesar adalag Gonggong, Panembal, Kingking, dan Inclok. Keseluruhan, kesenian tersebut dimainkan oleh enam orang. Lagu-lagu yang sering dimainkan antara lain Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Penganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Dahulu, Angklung Dogdog Lojor dimainkan saat musim kemarau tiba sebagai permohonan agar diturunkan hujan. Saat itu, perayaan dilangsungkan dengan memandikan seekor kucing yang kemudian diarak ramai-ramai. Kini, dalam pementasannya, dapat diisi dengan dua kelompok yang bertanding kucing-kucingan sambil mempertontonkan keterampilannya, saling mengintai, dan membuyarkan kelompok lain. Kesenian ini dimainkan oleh masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau Kesatuan Adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi.Di Garut, Angklung Dogdog Lojor diyakini telah ada sejak tahun 1900-an, tepatnya di Desa Sukadana, Kecamatan BI. Limbangan, Kabupaten Garut. Sedikit berbeda dengan yang ada di Sukabumi, di Garut, Angklung Dogdog Lojor dimainkan oleh delapan orang yang terdiri dari: Dua orang pemain angklung Tiga orang pemain dogdog lojor 15 Dua orang pemain kohkol Satu orang pemain keprak Para pemain menggunakan busana baju takwa, celana sontog, dan totopong. 2.6.3 Angklung Kanekes Angklung ini di daerah Kanekes (Badui) digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero) Angklung dibunyikan secara bebas, sedangkan di Kalauran (Baduy luar) angklung dimainkan dengan ritmis tertentu. Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritual menanam padidan tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabur hanya sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Sebagai sajian hiburan, angklung biasanya dimainkan saat terang bulan. 2.6.4 Angklung Buncis Angklung Buncis merupakan nama sebuah orkes yang bersifat hiburan. Tediri atas beberapa angklung, masing-masing dimainkan oleh seorang pemain sambil menari, dengan diiringi gong bambu dan kendang. Jumlah angklung disesuaikan dengan jumlah pemain yang ada atau yang diperlukan. Para pemain, yang juga penari, memakai busana dan berdandan yang menurut mereka sebagai gaya Dayak (suku dari Kalimantan), lengkap dengan topi berbulu serta wajah dan badan dicat. Mereka memakai kain penutup semacam rok di atas celana pendek. Musik buncis awalnya dimainkan sebagai hiburan di lapangan atau halaman rumah setelah panen atau pada perayaan hari besar. Namun semenjak tahun 1940-an merupakan berakhirnya buncis sebagai ritual sebab perubahan masyarakatnya yang tidak lagi mengindahkan hal-hal yang berbau kepercayaan dan pada saat itu pula buncis beralih sebagai suatu hiburan. Tokoh dari pencipta angklung ini adalah Pak Bonce (1795) di Daerah Ciwidey, Ujungberung, Banjaran, dan Babakan Tarogong, Bandung.Pada mulanya buncis digunakan pada acaraacara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis 16 digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Kini dimainkan dalam acara penyambutan tamu.Para pemain angklung memainkan waditranya sambil bergerak dengan langkah beragam seperti banting suku, tenggeng, tenggang, ban karet dan angkog. Kadang ada juga yang memainkan angklungnya dengan terlentang. Lagunya adalah: Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega BeureumNama buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaiutu cis kacang buncis nyengcle …, dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis. 2.6.5 Calung Renteng Adalah instrument yang terdiri dari deretan buluh-buluh bambu yang diikat dan ditata berdasarkan panjangnya, sesuai dengan nada yang dihasilkan. Biasanya Calung Renteng dibunyikan di saung sawah oleh penunggu sawah (orang yang menunggui padi yang sedang menguning). Lagu yang biasa dimainkan antara lain Pok-pok Datang, Papancara, Rara Muncang, Buncis, Cimplung, dan Barenuk Mundur. Instrumen ini biasanya dimainkan pada upacara Seren Taun. Dimainkan di beberapa daerah, yakni di kampung Ciptarasa, Kecamatan Sukabumi; Banjaran, Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Daerah asal alat music ini yaitu dari Kampung Ciptarasa, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi; Banjaran, Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung. Dimainkan pada saat acara Seren Tau, dan untuk menghalau burung di sawah pada saat padi mengunin. Kesenian Calung Renteng juga berfungsi untuk mengusir serta menakutnakuti berbagai satwa liar yang hendak datang dan masuk kedalam areal pertanian. Terdiri dari 17 ruas bamboo, diikat secara berderet sehingga Nampak seperti gambang. Dari 17 ruas bamboo yang disusun secara berderet dengan dua utas tali, ujung kedua utas tali yang satu dibelitkan kepada pinggang pemain, sedangkan kedua ujung yang lain diikatkan pada kaki meja atau pohon tergantung dimana akan dimainkan atau dibuatkan ancak dudukan khusus dari bambu. Dan cara memainkannya yaitu dengan cara dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah. Dimainkan Terdiri dari:8 angklung dan beduk 17 Lagunya: Pok-pok Datang, Papancara, Rara Muncang, Buncis, Cimplung, dan Berenuk Mundur. 2.6.6 Calung Jinjing Penemu dari alat music ini yaitu Eki Barkah, Parmas, dkk. Kampung Ciptarasa, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi; Banjaran, Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung.Alat music ini biasanya digunakan pada saat acara hiburan lawakan/guyonan dalam acara khitanan, perkawinan, peringatan HUT RI, dan pasanggiri (Festival) Cara memainkannya Dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut.Adapun alat waditra calung jingjing tersebut adalah kingking, panempas,jongrong, dan gonggong. Memiliki tugas masing-masing dalam penyajian permainannya calung, sementara calung panempas mempunyai kemudian calung jongjrong mempunyai tugas rangkap, yaitu sebagai penegas nada pokok kadang bertugas seperti kendang. Sedangkan calung gonggong mempunyai tugas seperti halnya gong.Lagu nya yaitu Aha ehe, Sinyur, Singgot. Gending yang dinamis, dan atraktif, dan diisi dengan komedian merupakan andalan dalam penyajian seni calung, sehingga masyarakat sangat menggemarinya. Daya apresiasi masyarakat pada seni calung, terutama pada sekitar Tahun 1970 sampai Tahun 1985 sangat besar, dan hal ini ditunjukan dari berbagai kegiatan acara seperti, acara khitanan, perkawinan, peringatan HUT RI, dan pasanggiri (Festival) selalu mendominasi. Pada zaman Orde Baru program pembinaan pelestarian, dan festival seni calung yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan sbuah Partai Politik selalu mendominasi, sehingga dalam program pasanggiri mulai tingkat Kecamatan, Kabupaten, dan tingkat Jawa Barat dengan katagori antar peserta usia anak-anak sampai dengan dewasa (group calung) selalu semarak.Namun pada tahun 1995 sampai dengan saat ini Seni Calung terasa hambar istilah hidup dan matinya tidak jelas, walaupun masih ada group-group yang masih bertahan namun pada sajiannya sudah dikembangkan berdasarkan selera apresiasi masyarakatnya. 2.6.7 Celempung Waditra tradisional, dibuat dari ruas bambu dengan sembilunya sebagai senar. Berfungsi sebagai pengatur irama lagu dalam orkestrasi yang dinamakan celempungan. 18 Terbuat dari bahan ruas bambu yaitu awi gombong, ukuran diameter 20 cm, panjang 40 cm. Yang dijadikan muka, ditatah diratakan (membuang bagian yang tidak dipergunakan sebagai senar) bagian tengah dilubangi agar suara senar menggema dalam tabung. Kedua senar diatur nada-nadanya. Kedua senar tersebut dihubungkan dengan bambu berbentuk persegi panjang (5x3 cm) disebut sumbi atau lilidah dipasang tepat pada tengah permukaan di atas lubang. Celempung dibunyikan dengan alat pemukul terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring yang disebut tarengteng. Biasanya pertunjukan celempungan disertai dengan diiringi suara sinden. Lagunya seperti Banjaran, Cangkurileung, Dayung Sampan, Eceng Gondok, Gendu, dsb. Sekarang musik bambu ini jarang didapat dan hanya terdapat di daerah desa-desa di Jawa Barat seperti di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. 2.6.8 Hatong Salah satu alat tiup musik tradisional Sunda, terbuat dari bambu tamiang. Satu batang disebut hatong pamijen, dua batang disebut hatong pamijen, dua batang disebut hatong sekaran, beberapa batang disebut hatong pangemat. Sering dipakai oleh penggemar burung dara, disimpan dekat ekor merpati dan ketika terbang berbunyi tertiup angin. Tukang putu menjajakan dagangannya memakai hatong, alatnya berbunyi karena uap air yang mendidih melalui lubang hatong. 2.6.7 Karinding Alat bunyi-bunyian dalam Karawitan Sunda. Dibuat dari bambu, dibunyikan dengan pukulan jari tangan dengan rongga mulut sebagai resonator. Dahulu dipergunakan sebagai sarana hiburan para penggembala kerbau atau biri-biri di kampung-kampung. Di daerah Banten, karinding dipergunakan oleh remaja sebagai alat komunikasi waktu mencari kekasih. Alat ini dibunyikan di serambi rumah ketika sore hari saat bersantai setelah selesai bekerja. Para gadis yang mendengarnya biasanya mendekati si penabuh alat itu, karena mereka mengetahui di tempat itu banyak pemuda. Di daerah Cianjur dipergunakan seruas bamboo sebagai resonator di samping mulut yang mengatur volume udara yang mengakibatkan tinggi rendahnya nada. 19 2.6.10 Kohkol Bambu Kentongan terbuat dari bambu atau kayu yang tengahnya dilubangi, berbentuk bulat panjang dipukul dengan alat pemukul yang keras sehingga menimbulkan suara. Kohkol bambu dipergunakan untuk komunikasi ketika meronda malam berkeliling dengan cara memukulkan sebagai peringatan agar orang jangan terlalu nyenyak tidur. Yang terbuat dari kayu biasanya digantungkan di langgar-langgar kampung, dibunyikan pada waktu salat tiba sebagai pengganti beduk yang hanya terdapat di masjid. Selain itu juga dipergunakan sebagai tanda bahaya jika terjadi banjir, kebakaran, perampokan, dll. Bahan untuk membuat kohkol adalah kayu atau bambu yang dikeringkan dengan dipanaskan. Bambu dipotong pada buku-bukunya, di tengah-tengahnya diberi lubang panjang, untuk mengatur suara. Diberi tangkai untuk pegangan. Kohkol bamboo juga dijadikan waditra karawitan. 2.6.11 Suling Bambu Alat tiup dalam Karawitan sunda, terbuat dari bamboo tamiang. Tamiang salah satu jenis bambu yang tipis dan diameter kecil sehingga cocok untuk dibuat suling. Suling berlubang 4 dan 6 buah. Yang berlubang 4 berlaras pelog, dipakai untuk melodi dalam Gamelan Degung; berukuran antara 24-28 cm. Suling berlubang 4 buah berlaras salendro, membawakan melodi dalam gamelan salendro, berukuran antara 22-26 cm. Suling lubang 6 berlaras: Salendro dab madenda yang berukuran 48-68 cm dipergunakan dalam Kacapi Suling Kawih, dan yang berukuran 58-68 cm dipergunakan dalam Tembang Sunda. Dalam memainkan suling sunda tidak menggunakan notasi do-re-mi-fa-sol-la-sido melainkan memakai notasi da-mi-na-ti-la-da. Namun penggunaan notasi di suling sunda sedikit miripdengan penggunaan notasi biasa jika kita memainkan recorder. Jika kita sudah mengetahui lubang mana yang harus ditekan untuk menciptakan nada tertentu, maka untuk memainkan lagu, kita hanya tinggal mengikuti partitur. Di daerah Sunda, sebuah suling digunakan sebagai salah satu instrumen utama dalam kacapi suling dan menyertai instrumen dalam Gamelan Degung, Tembang Sunda. 20 2.7 Definisi Ensiklopedia “Encyclopaedia” yang asal katanya dari bahasa Yunani (Greek), yaitu egkuklios, adalah cyclon, all round (siklus) dan paedia adalah education, knowledge (pengetahuan, widya).Dengan demikian bahwa pengertian sederhana Encyclopaedia, ialah siklus ilmu pengetahuan atau ringkasan uraian ilmu pengetahuan. Marilah kita perhatikan defenisi Ensiklopedia berdasarkan beberapa sumber. Ensiklopedia bukanlah buku teks pelengkap atau buku pegangan bagi pelajar sebagaimana biasanya yang banyak digunakan oleh pelajar sesuai syllabus/kurikulum pendidikan. Tidak semua pelajar, mahasiswa terpelajar, terbiasa dengan menggunakan ensiklopedia. Oleh karena itu, seorang Konsultan Pembelajaran Handal harus tahu menjelaskan bagaimana cara menggunakan suatu Ensiklopedia secara baik dan tepat agar dapat digunakan dan cepat mendapatkan informasi yang diharapkan. Itulah sebabnya Ensiklopedia disebut dengan “Alat Bantu Cepat” (Quick Help). 2.8 Data Kompetitor Judul : Ensiklopedia Junior, Hewan Pemecah Rekor Penerbit : PT Bhuana Ilmu Populer Pengarang : Emilie Beaumont Tipe : Hard Cover Ukuran : 18 x 22 Cm Jumlah Halaman : 131 Halaman Gambar 2.1 21 Ensiklopedia Junior, Hewan Pemecah Rekor ini berisi berbagai fakta mengenai keajaiban hewan-hewan yang ada dunia. Ensiklopedi ini disusun secara menarik dengan menggunakan banyak ilustrasi sehingga dapat dijadikan sebagai buku referensi serta dapat mengibur anak sebagai pembaca. Buku ensiklopedia ini dipilih sebagai kompetitor karena memiliki kelebihan yaitu setiap entri disajikan secara ilustratif serta dengan gaya bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami dan tidak memberi kesan monoton. 2.9 Target market Secara Demografis Usia : 8-11 tahun (Anak-anak yang duduk di Sekolah Dasar) Gender : Laki – laki dan perempuan Kelas sosial : B dan A Secara Geografis Masyarakat berkewarganegaraan Indonesia, berdomisili di Jawa Barat dan di Jakarta. Secara Psikografis Anak-anak yang aktif, ceria, semangat untuk belajar sesuatu yang baru, menyukai musik, tertarik membaca buku ilustrasi di waktu yang senggang, serta mencintai budaya lokal. 2.10 Judul Buku Ensiklopedia Alat Musik Bambu Jawa Barat 2.11 Format dan Gambaran Garis Besar Isi Buku Format buku akan dicetak dalam ukuran 20 x 20 cm dengan struktur rangka seperti berikut: 1. Cover 2. Kata Pengantar 3. Daftar Isi 4. Pendahuluan 22 5. Alat musik bambu Jawa Barat: 1.Angklung Padaeng 2.Angklung Buncis 3.Angklung Dog dog lojor 3 Angklung Kanekes 4 Calung renteng 5 Calung jinjing 6 Celempung 7 Hatong 8 Karinding 9 Kohkol Bambu 10 Suling Bambu 6. Daftar Pustaka 2.12 Analisa SWOT Streght - Informasi pengetahuan tentang alat musik bambu sangat membantu anak untuk dapat mengenalkan sekaligus mengapresiasi terhadap alat musik bambu Jawa Barat. - Visual yang menarik dan dengan pendekatan ilustrasi serta gaya bahasa yang sederhana akan memudahkan dan meningkatkan minat untuk dibaca oleh anak serta mudah mengingat informasi yang disampaikan. Weakness - Harga dari buku ini lumayan mahal, namun cocok untuk dikoleksi sebagai buku kesayangan. Opportunity - Media buku untuk menyampaikan informasi pengetahuan tentang alat musik bambu Jawa Barat sulit didapatkan bahkan jarang sekali ada. 23 Threat - Minat baca yang masih kurang dari anak-anak. - Anak-anak yang cepat bosan terhadap sesuatu. - Harga buku yang mahal membuat masyarakat memilih membaca buku secara online.