PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN DI SIDANG PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.) SKRIPSI Oleh: ARDI MULYO SAYEKTI E1A008233 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 i Lembar Pengesahan Skripsi PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN DI SIDANG PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.) Oleh: ARDI MULYO SAYEKTI E1A008233 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada Tanggal 26 Juli 2012 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Penguji Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H. NIP. 19581019 198702 2 001 Pranoto, S.H., M.H. NIP. 19540305 198601 1 001 Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. NIP. 19640724 199002 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S. NIP. 19520603 198003 2 001 ii SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya : Nama : ARDI MULYO SAYEKTI NIM : E1A008233 Judul Skripsi : PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN DI SIDANG PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.) Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, 19 Juli 2012 ARDI MULYO SAYEKTI E1A008233 iii ABSTRAKSI PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN DI SIDANG PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.) Oleh : ARDI MULYO SAYEKTI E1A008233 Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil di hadirkan dalam pembuktian di sidang peradilan, terutama yang berkaitan dengan saksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan terhadap tindak pidana narkotika di sidang pengadilan dan mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt. Keterangan saksi yang dapat menjadi alat bukti dalam pembuktian adalah keterangan saksi yang telah memenuhi syarat formiil dan syarat materiil. Apabila suatu keterangan saksi tidak memenuhi syarat formiil dan syarat materiil maka keterangan tersebut tidak memiliki nilai pembuktian sebagai alat bukti. Suatu pembuktian sangat erat hubungannya dengan pertimbangan hukum hakim dalam memutus suatu perkara yang di sidangkan. Hakim di dalam menjatuhkan suatu putusan harus mendasarkan pertimbangannya pada fakta-fakta hukum yang muncul dalam persidangan baik fakta yuridis maupun fakta non yuridis yang didapatkan dari alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Berdasarkan penelitian, keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan yang dibacakan di depan persidangan memiliki kesesuaian dengan alat bukti yang ada, sehingga dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Hakim dalam menjatuhkan Putusan nomor 108/ Pid.Sus/2010/PN.Pwt sudah mendasarkan pertimbangannya pada fakta-fakta hukum yang muncul dalam persidangan baik fakta yuridis maupun fakta non yuridis yang didapatkan dari alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Kata kunci: Pembuktian, Saksi, Pengadilan, Tindak Pidana Narkotika. iv ABSTRACT The success of the criminal justice process is highly dependent on the evidence that is successful in presenting the evidence in the trial court, especially relating to the witness. The purpose of this study was to determine the strength of evidence witness statements in the Minutes of Investigation on criminal trial against narcotics and to know the legal considerations of judges in imposing Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt. The Witness statements that can be used as evidence in proving is statements that are qualified formiil and material requirements. If those witness statement are not qualified the requirements then the statements have no evidentiary value as evidence. The evidence is closely related to the legal considerations of the judge in deciding a case on trial. Judge at the verdict should base its consideration on the facts that appear in the court of law whether the juridical and non juridical facts obtained from the evidence presented at trial. Based on research, witness statements in the Minutes of Investigation which is read before the court has compliance with existing evidence, so it can be used to additional evidence may strengthen the confidence of judges. Judge in imposing Putusan nomor 108/ Pid.Sus/2010/PN.Pwt was basing its consideration on the facts that appear in a court of law whether the juridical and non juridical facts obtained from the evidence presented at trial. Keyword: Evidence, Witness, Trial, Narcotics Crimes. v PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN DI SIDANG PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.)”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan dan waktu. Oleh karena itu semua kritik dan saran yang sifatnya membangun akan diterima dengan ketulusan hati. Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Hj.Rochani Urip Salami, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen Penguji I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. vi 3. Pranoto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Dosen Penguji II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji dalam seminar skripsi dan ujian skripsi, yang telah memberikan masukan bagi Penulis demi perbaikan skripsi ini. 5. Kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Sarwono dan ibunda Wagirah yang telah melahirkan, mendidik, menyayangi, membesarkan dan mendoakan dalam setiap langkah penulis. Ayahanda dan Ibunda adalah motivasi terbesar penulis dalam menjalani kehidupan. Semoga segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis, mendapatkan balasan pahala dari ALLAH SWT. Penulis juga memohon maaf kepada semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan maupun tingkah laku selama berproses di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi yang membacanya. Purwokerto, 19 Juli 2012 ARDI MULYO SAYEKTI E1A008233 vii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii SURAT PERNYATAAN ............................................................................... iii ABSTRAK ...................................................................................................... iv ABSTRACT ..................................................................................................... v PRAKATA ...................................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. viii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .......................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 6 D. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Asas Hukum Acara Pidana ...................................... 7 1. Pengertian Hukum Acara Pidana ................................................ 7 2. Asas-Asas Hukum Acara Pidana ............................................... 11 B. Pembuktian ...................................................................................... 20 1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana ......................................................................................... 20 2. Teori Pembuktian ....................................................................... 36 viii 3. Teori Pembuktian yang Dianut KUHAP .................................... 42 C. Penyidikan ....................................................................................... 44 1. Pengertian Penyidikan ................................................................ 44 2. Kewenangan Penyidikan ............................................................ 45 3. Berita Acara Penyidikan ............................................................ 48 D. Narkotika ......................................................................................... 49 1. Pengertian dan Jenis-Jenis Narkotika.......................................... 49 2. Tindak Pidana Narkotika ............................................................ 53 3. Unsur Tindak Pidana Narkotika ................................................. 56 BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ......................................................................... 60 B. Spesifikasi Penelitian ....................................................................... 60 C. Sumber Data .................................................................................... 61 D. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 62 E. Metode Penyajian Data .................................................................... 62 F. Metode Analisis Data ....................................................................... 62 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ............................................................................... 63 B. Pembahasan ..................................................................................... 84 BAB V. PENUTUP A. Simpulan ......................................................................................... 105 B. Saran ............................................................................................... 107 DAFTAR PUSTAKA ix 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana merupakan hukum formil yang digunakan dalam mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana haruslah ditindak oleh penegak hukum agar selanjutnya diproses menggunakan hukum acara pidana. Salah satu proses pembuktian dalam hukum acara pidana adalah pemeriksaan terdakwa dan pemeriksaan saksi dalam persidangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk membuktikan apakah benar terdakwa benar-benar bersalah dalam perkara yang sedang disidangkan. Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil diungkapkan atau dimunculkan di tingkat sidang pengadilan, terutama yang berkaitan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang pembuktiannya sulit dilakukan karena tidak adanya saksi. Saksi merupakan unsur penting dalam pembuktian suatu proses peradilan pidana. Pengertian saksi menurut Pasal 1 butir 2 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merumuskan sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.” Alat bukti yang digunakan dalam hukum acara pidana menurut Pasal 184 KUHAP, adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berkaitan dengan hal tersebut hakim di dalam memutus suatu perkara haruslah didasarkan minimal dua alat bukti beserta keyakinan hakim. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Dengan demikian apabila suatu perkara yang disidangkan hanya memiliki satu alat bukti maka dalam hal tersebut hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan antara pemeriksaan saksi dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilan maupun mengenai cara pemeriksaan, sama-sama dilandasi oleh peraturan dan prinsip yang serupa. Bahkan pengaturanya dalam KUHAP hampir seluruhnya diatur dalam pasal-pasal yang bersamaan, tidak dipisahkan dalam aturan pasal yang berbeda. 1 Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kecuali menjadi saksi yang tercantum dalam Pasal 186 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: 1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; 2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga meraka yang mempunyai 1 M. Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. hlm 138. 3 hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajad ketiga; 3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa. Selain karena hubungan keluarga (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.” Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapat kebebasan tersebut. Terkait dengan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, pembuktian dalam persidangan perkara tindak pidana narkotika, pada pemeriksaan saksi terdapat keterangan saksi yang hanya dibacakan di depan persidangan oleh penuntut umum dengan persetujuan dari terdakwa dan majelis hakim. Keterangan tersebut merupakan keterangan saksi di dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang di dalam memberikan keterangan tersebut tidak disumpah terlebih dahulu. Pembuktian perkara tersebut dalam persidangan juga diajukan alat bukti lain selain keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan yang dibacakan tersebut. Keterangan saksi di dalam berita 4 acara penyidikan tersebut dibacakan oleh penuntut umum di depan persidangan karena saksi tidak hadir dengan alasan yang dapat diterima. Walaupun saksi sudah dipanggil secara patut. Menurut Pasal 185 KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan yang saksi sampaikan di dalam persidangan. Kemudian jika keterangan saksi tersebut hanya dibacakan di depan persidangan, memiliki kedudukan sebagai alat bukti atau tidak. Keterangan saksi yang dibacakan tersebut merupakan ketarangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Suatu berita acara dapat menjadi alat bukti surat ketika berita acara tersebut dibuat atas sumpah jabatan atau dilakukan dengan sumpah. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 187 huruf a KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “ Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dilakukan dengan sumpah, yaitu berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, disertai dengan alas an yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.” Berkaitan dengan perkara tersebut, pada saat saksi memberikan keterangan di depan penyidik disumpah terlebih dahulu ataukah tidak. Selain itu keterangan saksi tersebut harus diberikan di depan penyidik, sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk menyidik dan sudah melakukan sumpah jabatan sebelumnya sebagai penyidik. Keterangan saksi yang seperti itu dapat dikategorikan ke dalam alat bukti surat. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 187 ayat (1) KUHAP. Proses penyidikan menurut KUHAP merupakan serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu 5 membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berkaitan dengan keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan di depan persidangan pada putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 108/ Pid.Sus/2010/PN.Pwt, berdasarkan pasal 116 ayat (1) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Saksi pada saat diperiksa dan memberikan keterangan dihadapan penyidik tidak disumpah kecuali apabila cukup alasan untuk diduga bahwa saksi tidak dapat hadir dalam pemeriksaan di persidangan.” Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk mengkaji persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pembuktian saksi dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang tidak disumpah terlebih dahulu yang dibacakan di depan persidangan, serta pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara tersebut dengan melakukan suatu penelitian hukum dan nantinya akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “ PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN (BAP) TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI SIDANG PENGADILAN (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.) ”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika, pada Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt? 6 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, dalam perkara tindak pidana narkotika? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika, pada Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt. 2. Mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, dalam perkara tindak pidana narkotika. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya terutama ilmu hukum acara pidana. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan di dalam penegakan hukum acara khususnya hukum acara pidana tentang penegakan hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Asas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana Sebagaimana diketahui penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah dan pandangan hidup bangsa kita sudah barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai sasarannya. Istilah hukum acara pidana jarang sekali diperkenalkan secara umum. Hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit dan menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap terhadap hukum pidana materiil. Hukum acara pidana memiliki ruang lingkup yang sempit yaitu hanya mulai dari mencari kebenaran, penyelidikan penyidikan, penuntutan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi). Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana. Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.2 2 Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 1. 8 KUHAP tidak menjelaskan pengertian hukum acara pidana, melainkan hanya memberikan beberapa definisi yang merupakan dari bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain yang semuanya merupakan satu kesatuan dalam proses berlakunya hukum acara pidana. Hukum acara pidana menurut Sudarto3 sebagaimana dikutip dalam bukunya Suryono Soetarto sebagai berikut: “Hukum acara pidana ialah aturan-aturan yang memberikan petujuk apa yang harus diperlakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar”. Sedangkan menurut D. Simons4 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah sebagai berikut: “Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidanakan dan menjatuhkan pidana.” Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap dan tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya saja. Pengertian hukum acara pidana menurut Van Bemmelen 5 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, adalah sebagai berikut: “Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-perauran yang diciptakan oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu sebagai berikut: 3 Suryono Sutarto. 1987. Sari Hukum Acara Pidana I. Jakarat: Yayasan Cendikia Purna Dharma. hlm. 5. 4 Andi hamzah. Op. Cit. hlm. 4. 5 Ibid., hlm. 6. 9 1. Negara melalui alatnya yang menyidik kebenaran. 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku yang melakukan perbuatan itu. 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5. Hakim member keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.” Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut dapat ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai denga poin 4 adalah tahap penyelidikan, dan penuntutan. Oleh karena itu, batas penyidikan dan penuntutan menjadi kabur, karena memang Van Bammelen dapat digolongkan pada golongan pakar yang memandang penyidikan sebagai bagian penuntutan dalam arti luas. Terlihat yang jelas terpisah adalah pemeriksaan dan putusan hakim yang disebutkan pada poin 5. Begitu pula upaya hukum yang disebutkan pada poin 6 dan eksekusi pada poin 7. Adapun peninjauan kembali (herzeining) adalah hal khusus yang merupakan upaya hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan pidana yang normal. Perlu dilihat lagi juga pengertian tentang hukum acara pidana yang diberikan oleh pakar Indonesia, diambil dari sarjana senior yaitu Wirjono Prodjodikoro, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung. Sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara pidana menurut Wirjono Prodjodikoro6 adalah sebagai berikut: 6 Ibid., hlm. 7. 10 “Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.” Pengertian tersebut jelas sangat menggantungkan fungsi hukum acara pidana pada menjalankan hukum pidana (materiil). Dapat dijabarkan bahwa tujuan Negara dalam menciptakan hukum pidana (materiil) yaitu tata tertib, aman, sejahtera, dan damai dalam masyarakat. Tujuan hukum acara pidana dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selangkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan suatu ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.” Pengertian tersebut merupakan kalimat yang terlalu panjang, yang mestinya dapat disingkat. Kebenaran itu harus didapatkan dalam menjalankan hukum acara pidana. Umumnya disebut “mencari kebenaran materiil”, merupakan tujuan hukum acara pidana. Akan tetapi usaha hakim untuk menemukan kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa. Hakim tidak dapat menuntut agar jaksa mendakwa terdakwa dengan dakwaan yang lain atau menambah perbuatan yang didakwakan. Berkaitan dengan batas surat dakwaan, hakim harus benar-benar tidak boleh puas dengan kebenaran formal. Agar dapat memperkuat keyakinannya, 11 hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak yaitu terdakwa dan penuntut umum, begitu pula dengan saksi-saksi yang diajukan oleh kedua belah pihak. Van Bammelen7 mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, sebagai berikut: a. Mencari dan menemukan kebenaran. b. Pemberian keputusan oleh hakim. c. Pelaksanaan keputusan. Dari ketiga fungsi di atas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai pada putusan (yang seharusnya adil dan tepat untuk terdakwa), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Tujuan akhir hukum acara pidana yang sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. 2. Asas-asas Hukum Acara Pidana Asas- asas hukum acara pidana adalah: a. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Sebenarnya hal ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-kata yang lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP. Untuk 7 Ibid., hlm. 8. 12 menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP yang memakai istilah “segera”.8 Pasal 71 HIR menyatakan bahwa jika hulp magistraat melakukan penahanan, maka dalam waktu satu kali dua puluh empat jam memberitahu jaksa. Arti dari kata peradilan cepat dan sederhana adalah bahwa peradilan dilaksanakan dengan proses yang jelas dan tidak berbelit-belit, sehingga peradilan dapat berjalan dengan cepat, selain itu tidak merugikan terdakwa. Selain hal tersebut dengan peradilan yang berjalan dengan cepat dan sederhana diharapkan tidak mengeluarkan biaya yang besar, sehingga peradilannya memiliki sifat biaya ringan. Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah segera. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam praktik oleh penegak hukum. Bambang Poernomo9 dalam bukunya berpendapat sebagai berikut: “Proses perkara pidana dengan biaya yang murah diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjannya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan hasil yang diharapkan lebih kecil.” Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP 8 Ibid., hlm. 12. Bambang Poernomo. 1993. Pola-Pola Dasar Teori Asas Umun Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 66. 9 13 sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak salah satu pihak yang diutamakan dalam KUHAP. b. Praduga Tidak Bersalah Inti dari asas ini adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah dalam suatu proses hukum selama belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa dirinya bersalah. Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3c KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. M. Yahya Harahap10 dalam bukunya berpendapar sebagai berikut: “Dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum (law enforce). Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan”. c. Asas Oportunitas 10 M Yahya Harahap. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 40. 14 Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa. Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopili, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan. Hal ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum. Pengertian asas oportunitas menurut A.Z. Abidin Farid11 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah adalah sebagai berikut: “Asas hukum yang emberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntu atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.” Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal tersebut merumuskan sebagai berikut: “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”. Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan umum” dalam sebuah perkara. Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberikan penjelasan sebagai berikut: “…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asa oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk 11 Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 17. 15 kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat”. Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo12 yang dikutip dalam bukunya Andi Hamzah sebagai berikut: “Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna kepentingan masyarakat”. d. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum Asas ini dapat diperhatikan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: (3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. (4) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.” Pada penjelasan ayat (3) dikatakan cukup jelas, sedangkan untuk ayat (4) lebih dipertegas lagi, yaitu sebagai berikut: “Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan tersebut tidak terpenuhi”. Berkaitan dengan hal tersebut kemudian ada masalah adalah karena masih ada pengecualian yang lain dari pada yang disebut di atas, yaitu delik yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban umum (openbare orde). Jika hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum untuk menjaga rahasia, menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur hal tersebut, dalam pasal 12 Ibid.,hlm. 20. 16 tersebut tidak menyebutkan secara limitatif pengecualian seperti KUHAP. Akan tetapi, dengan KUHAP, hal seperti itu menjadikan putusan batal demi hukum. Sebenarnya hakim dapat menyatakan suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan hal itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup unutk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya.13 Sebagaimana menurut D. Simons14 yang dikutip Andi Hamzah dalam bukunya, sebagai berikut: “HR dengan arrestnya tanggal 30 Agustus 1909 W. 8903 memutuskan bahwa hakim berdasarkan keadaan persidangan dapat menentukan suatu persidangan tertutup untuk umum”. Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak dapat dibanding. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun dalam putusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bahkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP tegas merumuskan sebagai berikut: “Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum”. 13 14 Ibid., hlm. 21. Ibid. 17 e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam penjelasan umum butir 3a KUHAP. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, merumuskan sebagai berikut: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”. Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyinggung tentang asas perlakuan yang sama di muka hukum terhadap setiap orang. Pasal tersebut merumuskannya sebagai berikut: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” f. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Asas ini berarti pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri yang menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam 18 tentang ilmu hukum. Menurut D. Simons15 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut: “Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.” g. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut: 1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. 2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. 3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. 4. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara. 5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. 6. Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat tersangka/terdakwa. Andi Hamzah16 dalam bukunya berpendapat sebagai berikut: 15 Ibid. hlm. 22. dari 19 “Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggarankelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum secara merata.” Adnan Buyung Nasution17, sebagaimana dikutip dalam buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut: “…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang buruk”. h. Asas Akusator dan Inkisitor Asas inkisitoir adalah suatu sistem pemeriksaan yang memandang seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup. Sedangkan asas akusator adalah kebalikan dari prinsip inkisitor. Prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak. Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator. Ini berarti perbedaa antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Andi Hamzah18 berpendapat dalam bukunya sebagai berikut: 16 Ibid. hlm. 24. Ibid. 18 Ibid. hlm. 25. 17 20 “Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin dituntut untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu pembantu untuk acara pidana, seperti kriminalistik, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dan lain-lain.” i. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat ataupun penggugat dapat diwakili kuasanya. Pemeriksaan hakim secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dengan terdakwa.19 Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim secara langsung dan lisan diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Pengecualian dari asas langsung ialah kemungkinan tidak hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Pasal 213 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang”. Begitu pula ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang mengatur acara pemeriksaan verstek dalam hukum acara pidana. B. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana a. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian menurut M. Yahya Harahap 20 sebagai berikut: 19 Ibid., hlm. 25. M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 273. 20 21 “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan.” Dari uraian singkat di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara Pidana, antara lain: 1. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh bertindak leluasa dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertebtangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim harus benarbenar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim akan meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam putusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.kalau tidak demikian bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman.21 2. Berhubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus 21 Ibid., hlm 274. 22 berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang secara “limitatif”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 22 Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasarkan hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian. Tidak berbau dan diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim.23 Pengakuan dalam hukum acara pidana tidak melenyapkan kewajiban pembuktian. Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana “selamanya” tetap diperlukan sekalipun terdakwa “mengakui” tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Apabila terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Pengakuan “bersalah” (guilty) dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan kewajiban penuuntut umum dan persidangan utuk menambah dan menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti petunjuk. Hal tersebut sesuai dengan penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: 22 23 Ibid. Ibid. 23 “Keterangan terdakwa saja atau pengakuan dari terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Ketentuan itu sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 308 HIR yang menegaskan untuk dapat menghukum terdakwa selain daripada pengakuannya harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti bukti yang lain.24 Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (2) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”. Rumusan pasal tersebut selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally known).25 b. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menetukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, dan penasihat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Para pihak di atas tidak memiliki keleluasaan untuk mempergunakan alat bukti sesuai dengan kehendaki di luar alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Bukti yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar 24 25 Ibid., hlm. 175. Ibid., hlm. 176. 24 alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai nilai serta tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat. Adapun alat bukti menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti adalah: a. b. c. d. e. Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa. Jika dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Selain dari pada itu ada perubahan nama alat bukti yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain, yaitu “pengakuan terdakwa” menjadi keterangan terdakwa.26 a. Keterangan Saksi Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kecuali menjadi saksi yang tercantum dalam Pasal 186 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: 4) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersamasama sebagai terdakwa; 5) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga meraka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajad ketiga; 6) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 26 Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 259. 25 Selain karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ada ketentuan lain yaitu Pasal 170 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk member keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya”. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sak tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut. Pasal 170 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut di atas mengatakan “…dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi…”, hal tersebut berarti jika yang bersangkutan bersedia untuk menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah, maka pengecualiaan menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan pengecualian relatif. Selain Pasal 170 ayat (1) KUHAP ada pengecualian untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah yaitu Pasal 171 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah ialah. 26 a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatanya baik kembali.” Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Pasal 160 ayat (3) KUHAP merumuskan bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah itu merupakan syarat mutlak.27 Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” 27 Ibid., hlm 263. 27 Agar supaya keterangan saksi dapat diniai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan saksi itu dinyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan sebagai alat bukti, sehingga tidak dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.28 Salah satu proses dalam pembuktian adalah pemeriksaan saksi. Pengertian saksi menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, merumuskan sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi dalam pemeriksaan saksi merupakan hal yang paling penting dalam persidangan suatu perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 28 M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 288. 28 Beberapa syarat sahnya keterangan saksi agar keterangan saksi tersebut dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, adalah sebagai berikut: 1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut rumusan pasal tersebut, sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripadaa yang sebenarnya. Menurut rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan. Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Berkaitan dengan hal tersebut maka saat mengucapkan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib mengucapkan “sebelum” saksi memberikan keterangan, akan tetapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberikan keterangan.29 Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji,sudah ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: 29 Ibid., hlm. 286. 29 (1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagai mana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sudang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan Negara paling lama empat belas hari. (2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. 2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP jika dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka dapat diterik kesimpulan sebagai berikut: a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian. 30 b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti, keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Mengenai hal tersebut, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, dan dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) 31 bukan alat bukti, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Supaya keterangan saksi dapat dianggap dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan haus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Mengenai hal tersebut, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan dakwa, atau “ unus testis nullus testis”.30 Hal tersebut berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum adalah kesaksian tunggal, maka keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Kembali lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hal yang dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi. 30 Ibid., hlm. 288. 32 b. Jika saksi yang ada hanya seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya, alat bukti lainnya yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Sering terdapat kekeliruan pendapat orang yang beranggapan dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Padahal pendapat yang seperti itu adalah keliru. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika keterangan para saksi berdiri sendiri tanpa adanya hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sndiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa. Sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”. Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Jika keterangan saksi yang banyak saling bertentangan satu dengan yang lainnya, maka keterangan tersebut harus disingkirkan 33 menjadi alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum keterangan seperti itu tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian.31 b. Keterangan Ahli Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP, merumuskan sebagai berikut: “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di depan persidangan pengadilan”. Pasal tersebut tidak menjawab apa itu yang disebut ahli dan keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini. Pasal 343 Ned. Sv. Memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan keterangan ahli sebagai berikut: “Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya”. Menurut Wirjono Prodjodikoro32 sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut: “Isi keterangan seorang saksi dan seorang ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan mengambil kesimpulan dari hal-hal itu.” KUHAP membedakan keterangan seorang ahli dipersidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 186 KUHAP dengan keterangan seorang ahliyang diberikan secara tertulis di luar sidang 31 32 Ibid., hlm. 290. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 274. 34 pengadilan sebagai alat bukti “surat”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 187 butir c KUHAP.33 c. Alat Bukti Surat Pasal dalam KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat hanya satu pasal yaitu Pasal 187 KUHAP yang terdiri dari empat ayat sebagai berikut: (1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, dosertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; (2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; (3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; (4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. d. Alat Bukti Petunjuk Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP merumuskan definisi petunjuk sebagai berikut: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”. Menurut KUHAP yang dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hal tersebut sesuai 33 Ibid., hlm. 274. 35 dengan ketentuan pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Jika dilihat Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Disebut pengamatan oleh hakim (eigen warrneming van de rechter) yaitu harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum.34 e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa KUHAP dengan jelas mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c. Pengertian keterangan terdakwa terdapat pada ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa menyatakan di sidang tentang perbuatanyang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. 34 Ibid., hlm. 278. 36 Ditinjau dari segi pengertian bahasa, jelas terasa terdapat perbedaan makna antara pengakuan dan keterangan. Pada pengakuan, terasa benar mengandung perntataan tentang apa yang dilakukan seseorang. Sedangkan pada kata keterangan lebih bersifat suatu penjelasan akan apa yang telah dilakukan seseorang. Berdasarkan ketentuan Pasal 189 KUHAP dapat disimpulkan bahwa apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang pengadilan, dan apa yang dinyatakan dan dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.35 2. Teori Pembuktian Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.36 Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).37 35 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 319. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 249. 37 Ibid. 36 37 Berkaitan dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu: a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie) Menurut teori ini pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). Menurut D. Simons 38 sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, menyatakan sebagai berikut: “Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettellijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertiimbangan subyektif hakim secara ketat menurut peraturanperaturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana”. Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia. Pendapat Wirjono Prodjodikoro39 sebagaimana dikutip dalam buku Andi Hamzah adalah sebagai berikut: “Bagaimana hakim akan menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai denan keyakinan masyarakat.” 38 39 Ibid., hlm. 251. Ibid. 38 Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Menurut sistem ini keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alatalat bukti yang sah menurut undang-undang. Asal sudah dipenuhi syaratsyarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction in Time) Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, adalah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Teori ini disebut juga conviction intime.40 Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Bertolak pangkal dari pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan hakim melulu didasarkan pada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian yang demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini 40 Andi Hamzah. op. cit. hlm. 252. 39 katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi keyakinannya.41 Berdasarkan teori ini hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan hakim belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee) Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (Laconvictian Raisonee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).42 Sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memeggang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in 41 42 Wirjono Prodjodikoro. Op Cit. hlm. 72. Andi hamzah. Op. Cit. hlm. 253. 40 time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Selain itu keyakinan hakim harus memiliki dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Bukan semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.43 d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif Sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.44 Menurut Wirjono Prodjodikoro45 sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut: “Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatitief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.” Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang43 M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 278. Ibid. 45 Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 257. 44 41 undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang tersebut, terwujud suatu “sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakimyang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.46 Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketetuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang terdakwa baru bisa dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian tersebut, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen: 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, 2. Dan keyakinan hakim yang harus didasarkan atas cara dan dengan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang.47 46 47 M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 279. Ibid. 42 Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menetukan salah dan tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.48 Misalnya ditinjau dari segi cara dan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi walaupun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” dengan kesalahan terdakwa, dalam hal tersebut maka terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya jika hakim benar-benar yakin akan kesalahan terdakwa melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti itupun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua unsur atau komponen tersebut harus saling mendukung.49 3. Teori Pembuktian yang Dianut KUHAP HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned. Sv. Yang lama dan yang baru, semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk).50 Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 394 HIR. Pasal 183 KUHAP merumuskan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia 48 Ibid. Ibid. 50 Andi Hamzah. Op.Cit. hlm. 254. 49 43 memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut mengantur untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Dari pasal tersebut juga dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia menganut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Mengetahui alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP, yang ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Pendapat ini dapat diambil dari makna penjelasan Pasal 183 KUHAP. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut udang-undang secara negatif, demi tegaknya 44 keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Sistem pembuktian ini, terpadu kesatuan pengabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk stelsel). Hakim dalam suatu pembuktian tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP C. Penyidikan 1. Pengertian Penyidikan Penyidikan merupakan salah satu bentuk proses dalam hukum acara pidana. Penyidikan merupakan suati istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia).51 Pengertian penyidikan menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP, merumuskan sebagai berikut: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal atau menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Menurut de Pinto 52 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut: “Menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabatpejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka 51 52 Ibid. hlm. 120. Ibid. 45 dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum”. Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan menbatasi hak-hak manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut 53: a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. c. Pemeriksaan ditempat kejadian. d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. e. Penahanan sementara. f. Penggeledahan. g. Pemeriksaan atau interogasi. h. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). i. Penyitaan. j. Penyampingan perkara. k. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. 2. Kewenangan Penyidikan Pengertian penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP,dirumuskan sebagai berikut: “Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.” 53 Ibid. 46 Berdasarkan isi pasal tersebut berarti dapat diketahui bahwa yang memiliki kewenangan dalam proses penyidikan adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pegawai negeri sipil yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dengan demikian undang-undang telah menentukan secara limitatif mengenai siapa yang memiliki wewenang melaksanakan proses penyidikan. Pasal 6 ayat (1) KUHAP menentukan dua macam badan yang dibebani wewenang penyidikan, pasal tersebut merumuskan sebagai berikut: Penyidik adalah: a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia; b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Pasal 2A Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang merumuskan sebagai berikut: (1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, calon harus memenuhi persyaratan: a. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara; b. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; c. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. 47 Pasal 3A Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menentukan pejabat pegawai negeri sipil yang dapat menjadi penyidik, pasal tersebut merumuskan sebagai berikut: (1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun; b. Berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a; c. Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara; d. Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum; e. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah; f. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan g. Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f diajukan kepada Menteri oleh pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama dengan instansi terkait. Syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam peraturan pemerintah. Kedudukan dan kepangkatan penyidik diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan. Berkaitan dengan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 10 (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: (1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh kepala kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini. (2) Syarat kepangkatan sebagaimana dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. 48 Penyidik pembantu dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, merumuskan sebagai berikut: Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi; b. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal; c. bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun; d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi . Mengenai kewenangan yang dimiliki oleh penyidik, di dalam KUHAP sudah menentukan kewenangan-kewenangan penyidik, yaitu dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. Memanggil orang untuk didengar atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. 3. Berita Acara Penyidikan (BAP) Sebagai bukti adanya proses penyidikan maka ada yang disebut dengan Berita Acara Penyidikan (BAP). Berita acara penyidikan dibuat oleh penyidik 49 sebagai bukti adanya proses penyidikan. Berita acara penyidikan tersebut berisi semua proses yang berjalan dalam melakukan penyidikan berisi mulai dari keterangan para saksi sampai keterangan dari tersangka. Berita acara penyidikan berfungsi sebagai syarat dalam mengajukan proses yang lebih lanjut yaitu proses penuntutan oleh penuntut umum. Ditinjau dari segi hukum, berita acara adalah “akta resmi”, yang mempunyai nilai autentik. Autentifikasinya terletak pada cara dan bentuk pembuatanya: a. Dibuat oleh pejabat resmi yang berwenang untuk itu, yaitu penyidik. b. Berita acara itu ditandatangani oleh penyidik dan pihak yang diperiksa. c. Penyidik membuat berita acara berdasarkan sumpah jabatan atau keterangan yang didapatkan diperoleh dibawah sumpah. Autentifikasi berita acara ditinjau dari segi hukum adalah tulisan yang berisi keterangan resmi dan sah, sepanjang keterangan itu tidak dapat dibuktikan palsu atau dipalsukan. Keabsahan dan keresmiannya sangat penting melekat pada berita acara, demi untuk kepastian hukum. Ketentuan mengenai pembuatan berita acara penyidikan oleh penyidik sudah dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.” D. Narkotika 1. Pengertian dan Jenis-jenis Narkotika 50 a. Pengertian Narkotika Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh. Istilah narkotika yang dipergunakan bukanlah “narcotics” pada farmacologie (farmasi), mwlainkan sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh pemakai,54 yaitu: a. Mempengaruhi kesadaran; b. Member dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia; c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa: 1) Penenang; 2) Perangsang (bukan rangsangan seks); 3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dengan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat). Pengertian narkotika menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, merumuskan sebagai berikut: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.” 54 Taufik Makaro dkk. 2005. Tindak Pidana Narkotika. Bogor: Ghalia Indonesia. hlm. 17. 51 Menurut Sudarto55 sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut: “Perkataan narkotika berasal dari bahasa Yunani “Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.” Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan obat-obatan semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannya. Namun belakangan diketahui pula bahwa zat-zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang bias menimbulkan pemakai bergantung hidupnya terus menerus pada obat-obat narkotika itu. Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang mungkin agak panjang pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna bisa disembuhkan. b. Jenis-jenis Narkotika Jenis-jenis narkotika digolongkan di dalam Pasal 6 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang merumuskan sebagai berikut: 1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III. 2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 55 Ibid. 52 Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, rincian jenis-jenis narkotika secara jelas dalam golongannya sudah tercantum dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berikut ini adalah beberapa jenis-jenis dari narkotika: a. Candu atau disebut juga dengan opium Candu berasal dari jenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan Papaver Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah madat. Candu ini terbagi atas dua jenis, yaitu candu mentah dan candu matang. Untuk candu mentah dapat ditemukan dalam kulit buah,daun, dan bagian-bagian lainnya yang terbawa sewaktu pengumpulan getah yang mongering pada kulit buah, bentuk candu mentah berupa adonan yang membeku seperti aspal lunak. Sedangkan candu masak merupakan hasil olahan dari candu mentah.56 b. Heroin Berasal dari tumbuhan Papaver Somniferum. Heroin disebut juga dengan sebutan putau, zat ini sangat berbahaya bila dikonsumsi secara berlebihan. c. Ganja Ganja berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama Cannabis Sativa. Sebutan lain dari ganja yaitu mariyuana, sejenis mariyuana adalah hashis yang dibuat dari damar tumbuhan Cannabis Sativa, efek dari hashis lebih kuat dari pada ganja. d. Metamfetamina 56 Ibid. hlm. 22. 53 Metamfetamina (metilamfetamina atau desoksiefedrin), disingkat met, dan dikenal di Indonesia sebagai sabu-sabu. metamfetamina adalah obat psikostimulansia dan simpatomimetik. Efek dari sabu yaitu menciptakan kebahagiaan dan kenyamanan kepercayaan diri hiperaktif dan bertenaga. Zat yang terkandung di dalam sabu-sabu sangat berbahaya bagi tubuh dan merusak organ, dan yang menjadikan sabu-sabu disebutkan menjadi narkoba. 2. Tindak Pidana Narkotika Perkembangan kehidupan masyarakat memunculkan suatu permasalahanpermasalahan baru di dalam masyarakat itu sendiri. Permasalahan tersebut salah satunya berkaitan dengan hukum. Zat-zat kimia alami ataupun buatan yang dahulunya ditemukan untuk kepentingan medis sekarang disalahgunakan. Salah satunya yaitu penyalahgunaan narkotika yang dapat menyebabkan rusaknya generasi muda suatu bangsa. Pengaturan mengenai narkotika di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang tersebut di samping mengatur penggunaan narkotika, menetapkan perbuatanperbuatan yang dilarang berhubungan dengan narkotika, yang bilamana dilakukan merupakan perbuatan penyalahgunaan narkotika yang tergolong tindak kejahatan.57 Pengertian penyalahguna menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merumuskan sebagai berikut: “Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.” 57 Ibid. hlm. 28. 54 Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai berikut ini: a. Penyalahgunaan atau melebihi dosis penggunaan narkotika. b. Pengedaran narkotika. Berkaitan dengan suatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional. c. Jual beli narkotika Hal ini pada umumnya dilatabelakangi oleh motivasi mencari keuntungan materiil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memiliki kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam Undang-undang tersebut. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Lebih jauh, ketentuan pidana dalam tindak pidana narkotika sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai berikut: a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika. Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 55 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niat untuk melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan. b. Penggunaan sistem pidana minimal. Penggunaan sistem ini dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memperkuat asumsi bahwa Undang-undang tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan. c. Kriminalisasi bagi orang tua dan masyarakat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu 56 tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika. Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil. d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan. 3. Unsur Tindak Pidana Narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur tentang penggunaan narkotika dan menetapkan perbuatan-perbuatan yang dilarang berhubungan dengan narkotika. Salah satu perbuatan yang dilarang dalam undang-undang tersebut adalah penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang merumuskan sebagai berikut: 1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; 57 b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. 3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Unsur-unsur tindak pidana narkotika untuk diri sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut adalah sebagai berikut: 1. Unsur Setiap Penyalahguna. Berkaitan dengan hal ini, setiap penyalahguna dapat juga dikatakan setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berarti setiap orang tanpa terkecuali, yang menggunakan narkotika tanpa ada izin dari instansi atau pihak yang berwenang, telah memenuhi unsur “setiap penyalahguna”. Unsur setiap penyalahguna atau setiap orang dalam pasal tersebut hanya ditujukan kepada orang atau manusia. Selain itu unsur tersebut hanya ditujukan kepada orang perorangan. 2. Unsur Menyalahgunakan Narkotika Golongan I, II, dan III. Kata “menyalahgunakan” tidak didefinisikan secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Akan tetapi di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut telah dijelaskan mengenai 58 pengklasifikasian penggunaan narkotika. Seperti pada ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mengklasifikasikan peruntukan narkotika golongan I. Menyalahgunakan narkotika yang dimaksud dalam unsur ini adalah menggunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Narkotika yang dimaksud di dalam unsur tersebut yaitu narkotika golongan I, II, dan golongan III. Golongan tersebut terdapat secara lengkap dalam Lampiran I UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menyalahgunakan narkotika juga dapat diartikan menggunakan narkotika tidak sesuai dengan peruntukannya. Peruntukan narkotika sudah terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satunya yaitu Pasal 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang merumuskan sebagai berikut: 1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika. 3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal tersebut menjelaskan tentang salah satu peruntukan narkotika di Indonesia. Apabila narkotika digunakan bertentangan dengan pasal tersebut maka perbuatan tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 59 Apabila kedua unsur tersebut sudah terpenuhi, maka seseorang yang telah memenuhi dua unsur tersebut dapat dikenakan pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan dapat terancam pidana yang berbeda, sesuai dengan golongan narkotika yang disalahgunakan untuk dirinya sendiri tersebut. 60 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif.58 Penulisan ini digunakan dua pendekatan masalah yang meliputi pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum acara pidana di Indonesia. Pendekatan kasus digunakan untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam paktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam penerapan hukum. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau penjelasan secara konkrit tentang keadaan objek atau masalah yang diteliti tanpa mengambil kesimpulan secara umum. Spesifikasi penelitian 58 Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. hlm. 295. 61 deskriptif menurut Soerjono Soekanto59 dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai berikut : “Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.” C. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum dapat diuraikan sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundangundangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang dapat mendukung dalam penelitian ini. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum seperti buku-buku literatur yang berkaitan dengan hukum acara pidana. 59 Soerjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press. hlm. 10. 62 c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari kamus hukum dan ensiklopedia. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kepustakaan, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, jurnal ilmiah, dll). E. Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian. F. Metode Analisis Data Menganalisis data yang diperoleh, dengan menggunakan metode analisis normatif, yang merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution) terhadap permasalahannya. 63 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Duduk Perkara a. Identitas Terdakwa Nama Lengkap : Khaerudin alias Rudin bin Suripto Tempat Lahir : Banyumas Umur/Tanggal Lahir : 45 Tahun / 17 September 1965 Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Tempat Tinggal : Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas Agama : Islam Pekerjaan : Buruh Pendidikan : SMK (Tidak Tamat) b. Perbuatan Terdakwa Berawal pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 04.45 WIB, terdakwa pergi ke Stasiun Purwokerto untuk menjemput saudara Intanto yang habis pulang dari Jakarta untuk membeli Narkoba jenis sabu-sabu. Sewaktu datang ternyata Intanto ditemani oleh Elkana Efraim Pangalila yang sebelumnya terdakwa juga telah mengenal Elkana. Elkana pernah datang ke rumah terdakwa sekitar bulan Mei 2010 dalam urusan jual beli ekstasi. 64 Terdakwa setelah bertemu dengan saudara Intanto dan Elkana, kemudian mereka bertiga membeli sarapan terlebih dahulu dan kemudian menuju ke rumah terdakwa. Sesampainya di rumah terdakwa, Intanto langsung pergi keluar untuk membeli peralatan yang akan digunakan untuk memakai sabu-sabu diantaranya berupa sedotan, pipet, dan bong yang dibuat dari botol bekas minuman kemasan. Selanjutnya terdakwa dan Intanto langsung menyiapkan alat-alat tersebut yang akan digunakan untuk mengkonsumsi sabu, sedangkan Elkana tidur disalah satu kamar rumah terdakwa. Intanto mulai memasukan sabu-sabu ke dalam bong kemudian mengkonsumsi sabu-sabu tersebut secara bergantian dengan terdakwa sampai sebanyak tiga kali. Intanto menghubungi Didi Setiawan dan setelah Didi datang, mereka bertiga bersama-sama mengkonsumsi sabu-sabu tersebut. Setelah selesai mengkonsumsi sabu-sabu tersebut kemudian alat-alat yang digunakan untuk mengkonsumsi sabu-sabu tersebut dibuang ke sebuah sungai yang berada di belakang rumah terdakwa. Masyarakat ada yang mengetahui perbuatan terdakwa dan temantemannya saat mengkonsumsi sabu-sabu, yang kemudian melaporkan kepada petugas Polwil Banyumas. Susanto dan Wiwid Priambodo selaku anggota Reskrim Polwil Banyumas langsung menuju rumah terdakwa. Setelah mengumpulkan informasi dan melihat situasi di sekitar rumah terdakwa, kemudian Susanto dan Wiwid Priambodo melakukan penangkapan, penggledahan dan penyitaan di rumah terdakwa. Saat penggledahan ditemukan barang bukti berupa satu buah tas pinggang warna biru berlogo B, satu buah tas ransel berwarna hitam dan satu bungkus rokok sampoerna mild yang berisi 65 sepuluh batang rokok dan dua paket sabu-sabu. Kemudian terdakwa dan barang bukti tersebut diamankan oleh pihak kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara alternatif, yaitu sebagai berikut: a. Dakwaan Pertama Terdakwa pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB, bertempat di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, yang merupakan daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. Atas perbuatan tersebut, terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto didakwa telah melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Atau, b. Dakwaan Kedua Terdakwa pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB, bertempat di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, yang merupakan daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, tanpa hak atau melawan hukum telah menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri. Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Atau, 66 c. Dakwaan Ketiga Terdakwa pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB, bertempat di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, yang merupakan daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagai dimaksud dalam Pasal 112, Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 3. Pembuktian Di persidangan hakim memeriksa beberapa alat bukti, yakni: a. Keterangan Saksi 1. Saksi Susanto, S.H. Saksi Susanto memberikan keterangan di bawah sumpah di depan persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi dalam persidangan menyatakan tidak kenal dan tidak ada hubungan keluarga sedarah maupun semenda dengan terdakwa. Saksi juga menyatakan sudah pernah diperiksa oleh Penyidik dan keterangan yang diberikan benar dan saksi masih tetap pada keterangannya. Saksi adalah seorang petugas Polisi, di mana pada hari rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB telah melakukan penangkapan terhadap seorang yang diduga telah menyimpan atau memiliki sabu-sabu dan menggunakannya, yaitu terdakwa, Elkana Efraim Pangalila bin Ferry Pangalila (terdakwa dalam 67 perkara lain) dan Didi Setiawan (tidak dijadikan tersangka sebab urine negatif) di rumah terdakwa yang beralamat di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01 Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas. Penangkapan itu dapat dilakukan karena sebelumnya sekitar pukul 08.00 WIB saksi mendapatkan informasi melalui pesan singkat dari masyarakat bahwa di rumah terdakwa sedang diadakan pesta narkoba, kemudian atas informasi tersebut saksi bersama timnya yang dipimpim oleh Aiptu Subagyo langsung bergerak kesasaran sesuai informasi yang didapat dan saat dilakukan penggrebekan tersebut terdakwa sedang duduk bersama saksi Didi Setiawan dan Tanto terlihat baru saja habis memakai sabu, sementara Elkana Efraim sedang tidur di kamar belakang, lalu kemudian saksi bersama rekan saksi Wiwit melakukan penangkapan terhadap terdakwa, Elkana Efraim, Didi Setiawan sedangkan Tanto berhasil melarikan diri. Saksi dan rekan melakukan pula penggeledahan di rumah terdakwa dengan disaksikan istri terdakwa yaitu Sunarti dan ketua RT setempat yaitu Hartono. Penggeledahan tersebut berhasil menemukan barang bukti berupa 1 buah tas pinggang warna biru hitam berlogo B, 1 buah tas ransel warna hitam berisi baju, 1 bungkus rokok sampoerna mild yang berisi 10 batang rokok dan 2 paket serbuk kristal warna putih sabu-sabu. Menurut pengakuan terdakwa 2 (dua) paket sabu-sabu yang disimpan dalam tas kecil yang dibungkus dengan rokok sampoerna mild tersebut asalnya dari Jakarta yang dibawa oleh Tanto (DPO) dan Elkana Efraim ke Purwokerto atas suruhan Iwan untuk diberikan kepada Tanto. Harga sabu-sabu di daerah Purwokerto lebih mahal dari pada di 68 Jakarta yaitu di Purwokerto sekitar Rp. 1.500.00,- sedangkan di Jakarta Rp. 1.300.000,-. Saksi mengetahui dan membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan; 2. Saksi Hartono Saksi Hartono memberikan keterangan di bawah sumpah di depan persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi di dalam persidangan menyatakan tidak kenal dan tidak ada hubungan keluarga, sedarah maupun semenda dengan terdakwa. Saksi adalah ketua RT di lingkungan tempat tinggal terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01 Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Saksi pernah memberikan keterangan di hadapan penyidik dan masih tetap dengan keterangannya. Pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB pihak kepolisian telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa, Elkana Efraim, dan saksi Didi, sedangkan Tanto melarikan diri di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01 Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas. Saksi mengetahui kejadian tersebut karena saksi sebagai ketua RT dimintai tolong oleh petugas kepolisian untuk menjadi saksi dalam penggeledahan dan penyitaan di rumah terdakwa. Pada saat penggledahan tersebut saksi melihat petugas berhasil menemukan barang bukti berupa dua paket/plastik kecil yang berisi serbuk putih yang diduga sabu-sabu dalam bungkus rokok sampoerna mild yang disimpan dalam tas kecil warna biru hitam. Tas biru hitam tersebut ditemukan oleh petugas kepolisian di kamar belakang rumah terdakwa di tempat 69 terdakwa tidur. Saksi menyatakan mengetahui dan membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan. 3. Saksi Wiwid Priambodo Saksi Wiwid Priambodo memberikan keterangan di bawah sumpah di depan persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi dalam persidangan menyatakan tidak kenal dan tidak ada hubungan keluarga, sedarah, maupun semenda dengan terdakwa. Saksi pernah diperiksa oleh Penyidik dan keterangan yang diberikan benar dan saksi masih tetap pada keterangannya. Saksi adalah petugas kepolisian yang bersama rekannya yang lain dari Subbag Reskrim yaitu Subagyo, Susanto, Beny Rudianto dan Ardi Widianto pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa, Didi Setiawan dan saksi Elkana Efraim Pangalila. Sementara Tanto berhasil melarikan diri di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01 Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Penangkapan dilakukan karena sebelumnya sekitar pukul 08.00 WIB mereka telah mendapatkan informasi melalui pesan singkat dari masyarakat bahwa di rumah terdakwa sedang diadakan pesta narkoba, kemudian atas informasi tersebut bersama timnya yang dipimpin oleh Aiptu Subagyo bergerak ke sasaran sesuai dengan informasi yang didapat dan berhasil menangkap terdakwa yang sedang duduk bersama Didi Setiawan dan Tanto (melarikan diri) yang terlihat baru saja memakai sabu, serta Elkana Efraim yang sedang tidur di kamar belakang di rumah terdakwa. Setelah dilakukan 70 penggledahan di rumah terdakwa berhasil ditemukan satu buah tas pinggang warna biru hitam berlogo B, satu buah tas ransel warna hitam berisi baju, satu bungkus rokok sampoerna mild yang berisi 10 batang rokok dang dua paket serbuk kristal warna putih yang diduga sabu-sabu. Menurut pengakuan Elkana Efraim, dua paket sabu-sabu yang disimpan dalam tas kecil yang dibungkus dengan rokok sampoerna mild tersebut asalnya dari Jakarata dan Tanto (DPO) dan saksi Elkana Efraim yang membawanya ke Purwokerto atas suruhan Iwan dan rencananya akan dijual oleh Tanto karena sabu-sabu di daerah Purwokerto lebih mahal dari pada di Jakarta. Jika di Jakarta seharga Rp. 1.300.000,- , sedangkan di Purwokerto Rp. 1.500.00,-. Tanto mendapatkan sabu tersebut dari Iwan di Jakarta dan Elkana Efraim yang disuruh oleh Iwan untuk mengantar sabu tersebut kepada Tanto di rumah terdakwa. Pekerjaan Elkana Efraim adalah seniman dan tidak mempunyai ijin untuk membawa dan menyerahkan sabu tersebut kepada Tanto. Pada saat saksi datang ke rumah terdakwa untuk melakukan upaya penangkapan posisinya ketika itu terdakwa, Tanto (melarikan diri) dan Didi sedang berada di ruang depan televisi sedangkan Elkana Efraim tidur di kamar belakang rumah terdakwa. Saksi mengetahui dan membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan. 4. Saksi Elkana Efraim bin Ferry Pangalila Saksi Elkana Efraim bin Ferry Pangalila memberikan keterangan di bawah sumpah di depan persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut: 71 Pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB saksi bersama dengan terdakwa dan Didi Setiawan telah ditangkap oleh saksi Susanto, Wiwid dan rekan-rekannya yang tergabung sebagai petugas Polisi dari tim Subbag Reskrim Polwil Banyumas dalam suatu penggrebekaan di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01 Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas. Pada saat petugas datang melakukan penggrebekan di rumah terdakwa, saksi Didi Setiawan, dan Tanto (melarikan diri) yang sedang mengobrol di ruang depan televisi, sedangkan saksi sendiri tidur di kamar belakang. Saksi sebelum tidur sempat melihat terdakwa dan Tanto mempersiapkan alat semacam bong untuk mengkonsumsi sabu, akan tetapi saksi tidak tahu saat mereka mengkonsumsinya karena saksi tidur, dan inisiatif memakai sabu tersebut setahu saksi datangnya dari Tanto. Saksi telah mengenal terdakwa dua minggu sebelumnya yaitu pada sekitar bulan Mei 2010 di rumah terdakwa, ketika itu saksi dikenalkan oleh Tanto setelah saksi memberikan paket ekstasi kepada tanto di sebuah hotel di Baturaden lalu saksi diajak ke rumah terdakwa. Kronologis kejadian menurut saksi adalah berawal pada hari Selasa 8 Juni 2010 sekitar pukul 20.00 WIB saksi bertemu dengan Tanto di terminal bus Bekasi untuk menyerahkan barang (sabu-sabu) pesanannya, tetapi Tanto tidak mau diserahkan di tempat itu. Tanto meminta saksi untuk membawa barang tersebut sampai ke Purwokerto dan akan diberi imbalan, sehingga kemudian sekitar pukul 21.00 WIB, saksi bersama Tanto berangkat ke 72 Purwokerto dengan menggunakan kereta api. Saksi dan Tanto sampai di Purwokerto pagi hari, dan kemudian sudah dijemput oleh terdakwa di stasiun kereta api, dan selanjutya dengan menggunakan sepeda motor berboncengan bertiga pergi ke rumah terdakwa dan sempat mampir ke warung makan membeli nasi bungkus kemudian dilanjutkan ke rumah terdakwa lagi. Sesampai di rumah terdakwa, saksi langsung tidur di kamar belakang terdakwa. Pada saat petugas kepolisian menggerebek pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 saksi sedang tidur dan sewaktu dilakukan penggledahan sabu-sabu ditemukan di dalam kamar terdakwa, di tempat saksi tidur dalam bungkus rokok sampoerna mild yang disimpan dalam tas kecil warna biru milik Tanto. Sabu-sabu yang ditemukan di rumah terdakwa saksi yang membawa dari Jakarta karena disuruh oleh iwan untuk diserahkan kepada Tanto. Saksi telah dua kali mengantar barang terlarang tersebut itu kepada Tanto atas suruhan Iwan, yaitu yang pertama berupa ekstasi sekitar bulan Mei tahun 2010 di sebuah hotel di kawasan Baturaden dengan mendapatkan upah sebesar Rp 200.000,- sedangkan kedua pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 berupa sabusabu sebanyak dua paket yang saksi tidak tahu beratnya di rumah terdakwa tersebut tetapi sebelum mendapatkan upah yang dijanjikan sebesar Rp.300.000,- itu baru akan diberikan saat saksi akan pulang ke Jakarta. Mengenai bagaimana prosesnya Tanto memesan narkotika kepada Iwan tersebut saksi tidak tahu, yang saksi ketahui hanya bila ada pemesanan dari 73 Tanto pasti saksi yang disuruh mengantar oleh Iwan. Saksi mengetahui dan membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan. Keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang dibacakan di depan persidangan: 5. Saksi Stefanus Dwi Yohanan, dalam Berita Acara Penyidikan memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 06.30 WIB saksi sedang tidur di rumah dan terbangun karena mendengar suara telepon dari terdakwa, namun saksi tidak mengangkat panggilan tersebut. Sekitar jam 07.01 WIB saksi mendapat pesan singkat dari terdakwa yang isinya saksi ditawari film baru dan bagus, maksud dari pada itu adalah “sabu-sabu”, dan saksi balas pesan singkat terdakwa sekitar pukul 10.34 WIB dengan kata-kata “tidak punya uang dan mungkin lusa saksi akan ke tempat terdakwa. Sekitar pukul 12.00 WIB, saksi pergi ke Purwokerto untuk mencari teman bernama saudara Aji, karena tidak ketemu saksi beristirahat di toko Aroma Purwokerto. Pada saat itu pula saksi menelpon terdakwa untuk memesan sabu-sabu sebanyak satu paket namun tidak diangkat oleh terdakwa, dan yang datang adalah petugas Kepolisian. Kemudian saksi dibawa ke kantor Polisi untuk dimintai keterangan. Saksi kenal dengan terdakwa sekitar bulan November tahun 2009 bertempat di rumah terdakwa sendiri karena dikenalkan oleh teman dengan keperluan untuk membeli sabu-sabu kepada terdakwa. Setelah kejadian itu hampir sebulan sekali saksi membeli sabu-sabu kepada terdakwa. Saksi pernah membeli sabu-sabu kepada terdakwa sebanyak tujuh 74 kali dengan jumlah masing-masing sebanyak satu paket dengan harga Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah). Saksi mengetahui dari terdakwa bahwa sabu-sabu yang terdakwa jual kepada saksi sebelumnya diperoleh terdakwa dari orang di Kebumen. 6. Saksi Didi Setiawan bin Yanto Setiawan, dalam Berita Acara Penyidikan memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Pada hari rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB saksi bersama terdakwa ditangkap oleh petugas pada saat dilakukan penggrebekan di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecaman Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Saksi datang ke rumah terdakwa sekitar pukul 08.30 WIB karena sebelumnya sudah ditelepon oleh Tanto. Pada saat saksi sampai di rumah terdakwa, saksi melihat terdakwa dan Tanto sedang duduk di ruang tamu. Saksi ditawari oleh Tanto untuk menghisap sabu-sabu yang sudah siap untuk dihisap karena sudah sudah dibakar di atas pipet kaca, kemudian saksi menerima tawaran Tanto. Saksi menghisab sabu-sabu dengan menggunakan bong yang dibuat dari botol kecil dimana pada tutupnya ditaruh dua buah sedotan untuk menghisab sabu-sabu. Saksi tidak mengetahui pemilik dari sabu-sabu dan bong yang sedang dikonsumsi tersebut, dan saksi juga tidak mengetahui dari mana sabu-sabu itu berasal. Saksi menyatakan bahwa saksi dan terdakwa tidak memiliki ijin pada waktu menggunakan sabu-sabu tersebut. b. Surat 75 Alat bukti surat pada perkara ini adalah Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dari Laboratorium Forensik Cabang Semarang Nomor Lab: 650/KNF/VI/2010 tanggal 14 Juni 2010, yang menerangkan bahwa urine milik terdakwa mengangdung Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. c. Petunjuk Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, merumuskan pengertian petunjuk sebagai berikut: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Selanjutnya dalam ayat (2) nya menyatakan bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan ketentuan KUHAP tersebut di atas dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan baik dari keterangan para saksi maupun dari keterangan terdakwa sendiri, maka telah terdapat adanya persesuaian keadaan baik antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lainnya maupun adanya persesuaian antara keterangan saksi dengan keterangaan terdakwa serta persesuaian antara keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat yang ada. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut telah diperoleh alat bukti petunjuk yang menandakan telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto sebagai pelakunya. 76 d. Keterangan Terdakwa Terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto, di persidangan memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Terdakwa di dalam persidangan menyatakan mengerti dan tidak keberatan atas dakwaan dari Penuntut Umum. Terdakwa dalam perkara yang sedang disidangkan benar didampingi oleh seorang Penasihat Hukum. Terdakwa pernah memberikan keterangan di hadapan Penyidik dan keterangan yang terdakwa berikan tersebut sudah benar semua. Pada hari Senin tanggal 7 Juni 2010 sekitar pukul 13.00 WIB terdakwa mengantarkan saudara Intanto yang akan pergi ke Jakarta di Terminal Bus Purwokerto. Pada hari Selasa 8 Juni 2010 sekitar pukul 11.00 WIB saudara Intanto mengirim pesan singkat kepada terdakwa dengan menanyakan kepada terdakwa, apakah terdakwa akan ikut untuk mentrasnfer uang untuk membeli sabu-sabu atau tidak, dan kemudian dibalas oleh terdakwa tidak, karena terdakwa tidak memiliki uang. Pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 04.45 WIB saudara Intanto menelpon terdakwa dan meminta terdakwa untuk menjemputnya di Stasiun Purwokerto. Kemudian terdakwa menuju stasiun dan setelah sekitar 10 menit kemudian saudara Intanto sampai di stasiun, dan ternyata datang bersama dengan saksi Elkana. Terdakwa, Intanto dan Elkana bersama-sama berboncengan bersepeda motor menuju ke rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, dan sebelumnya bertiga sempat mampir untuk membeli sarapan. Setelah sampai kemudian mereka bertiga 77 sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian Tanto pergi keluar dari rumah terdakwa untuk membeli peralatan sabu-sabu sedangkan saksi Elkana tidur di kamar belakang rumah terdakwa. Setengah jam kemudian Tanto kembali ke rumah terdakwa dengan membawa minuman kemasan botol, 3 sedotan warna putih dan pipet. Tanto dan terdakwa selanjutnya menyiapkan peralatan untuk mengkonsumsi sabu-sabu. Terdakwa bertugas untuk membuat bong dari botol minuman kemasan dengan cara dilubangi kecil dengan gunting dan dimasukkan dua buah sedotan, yang satu untuk disedot sedangkan yang lain untuk disambungkan ke pipet. Tanto bertugas untuk membuat alat untuk membakar dengan menggunakan korek api yang dibuka tutupnya dan disambungkan dengan grenjeng rokok yang sudah digulung kecil dan selanjutnya diatur apinya agar nyalanya kecil. Ketika peralatan untuk mengkonsumsi sabu-sabu sudah siap, kemudian terdakwa dan Tanto mulai menggunakan sabu-sabu tersebut dengan disedot/dihisap, dimana yang pertama memakai adalah Tanto kemudian barulah terdakwa. Setelah terdakwa menghisap tiga kali hisapan saksi Didi Setiawan datang ke rumah terdakwa setelah sebelumnya ditelpon oleh Tanto, kemudian mereka bertiga secara bergantian memakai sabu tersebut. Setelah selesai memakai sabu-sabu tersebut, kemudian peralatan berupa bong dibuang ke sungai oleh terdakwa. Sungai tersebut berada tepat di belakang rumah terdakwa. Selanjutnya petugas datang untuk menangkap terdakwa. Terdakwa menyatakan memang sudah lama memakai sabu-sabu, dan memang benar pernah dihukum dalam masalah narkoba pada tahun 2009 dengan hukuman selama satu tahun penjara. 78 e. Barang bukti Barang bukti yang diajukan di persidangan dalam perkara ini adalah: 1. 1 (satu) buah tas pinggang warna biru berlogo B. 2. 1 (satu) buah tas ransel warna hitam berisi baju. 3. 1 (satu) bungkus rokok Sampoerna Mild berisi 10 batang rokok dan 2 (dua) paket serbuk Kristal warna putih (satu paket sisa pemakaian). 4. 1 (satu) buah gunting. 5. 1 (satu) korek api warna kuning merk Tokai. 6. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine Khaerudin alias Rudin bin Suripto. 7. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine Elkana Efraim Pangalila. 8. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine Didi Setiawan bin Yanto Setiawan. Barang bukti tersebut telah disita secara sah menurut hukum, oleh karenanya dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian. Majelis hakim telah memperhatikan pula barang bukti tersebut baik kapada para saksi maupun kepada terdakwa, dimana mereka telah membenarkannya. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 181 jo Pasal 184 ayat (1) d jo Pasal 188 ayat (1) dan (2) KUHAP merupakan alat bukti yang berupa petunjuk. 4. Tuntutan Penuntut Umum Penuntut Umum dalam perkara Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili perkara memutuskan bahwa terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”, sebagaimana tertuang 79 dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto selama 2 (dua) tahun, dengan permintaan agar terdakwa tetap ditahan. 5. Putusan Pengadilan a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, berdasarkan keterangan para saksi dan keterangan terdakwa yang saling bersesuaian, dihubungkan dengan alat bukti surat berupa Berita Acara Labolatoris Kriminalistik dan barang bukti yang diajukan dalam perkara ini, yang kemudian memunculkan fakta-fakta hukum dalam persidangan. Rumusan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengandung dua unsur, yaitu: 1. Setiap Orang; Menimbang, unsur “setiap orang” dalam perkara ini ditujukan kepada orang perorangan, hal ini sesuai sebagaimana dari fakta-fakta di persidangan bahwa yang diajukan oleh Penuntut Umum sebagai terdakwa dalam perkara ini adalah Khaerudin alias Rudin bin Suripto, dan terdakwa tersebut dapat mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri (pertanggungjawaban pribadi). Terdakwa di dalam persidangan telah membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan Penuntut Umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini benar ditujukan kepada terdakwa tersebut di atas, sehingga tidak salah orang (error in persona). Guna menentukan apakah terdakwa dapat dikatakan sebagai orang yang melakukan 80 tindak pidana atau sebagai pelaku tindak pidana ini tentunya akan dibuktikan dalam persidangan; 2. Menyalahgunakan Narkotika Golongan I. Menimbang, maksud dari “penyalahguna” adalah orang yang menyalahgunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Sesuai faktafakta hukum dalam persidangan, terdakwa telah mengkonsumsi sabu-sabu bersama Intanto alias Tanto dan Didi Setiawan bin Yanto Setiawan adalah milik Tanto yang dibeli dari Jakarta, dan terdakwa mengkonsumsi sabu-sabu tersebut atas ajakan Intanto. Sabu-sabu yang terdakwa konsumsi adalah termasuk Narkotika Golongan I sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaaan Labolatoris Kriminaistik. Narkotika tersebut dilarang untuk dikonsumsi. Menimbang, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, majelis hakim berpendapat unsur “Menyalahgunakan Narkotika Golongan I” ini telah terpenuhi. Unsur dari Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tetang Narkotika telah terpenuhi, maka perbuatan terdakwa telah terdbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan kedua Penuntut Umum yang kualifikasinya akan dirumuskan dalam amar putusan. Oleh karena dalam perkara ini tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 04 Tahun 2010, maka majelis hakim tidak menempatkan terdakwa dalam rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Menimbang, majelis hakim selanjutnya mempertimbangkan apakah terhadap pribadi dan perbuatan terdakwa ada alasan penghapus atau peniadaan 81 pidana baik alasan pemaaf atau alasan pembenar, sehingga berakibat dapat atau tidaknya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Alasan pemaaf (schuld uitsluitings gronden) adalah bersifat subyektif dan melekat pada diri terdakwa/pelaku, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat, dan telah diatur dalam Pasal 44 ayat (1),48, 49 ayat (2), dan 51 ayat (2) KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak menemukan keadaankeadaan sebagaimana ketentuan pasal-pasal di atas, sehingga terdakwa dikategorikan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Menimbang, berkaitan dengan alasan pembenar (rechtvaardingungs gronden) adalah bersifat obyektif dan melekat pada perbuatan atau hal-hal lain di luar batin pembuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1), 50, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak menemukan fakta-fakta yang membuktikan adanya keadaan-keadaan yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas, sehingga tidak menghilangkan/menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa. Pada saat persidangan juga tidak ditemukan alasan-alasan penghapus pidana terhadap terdakwa, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan telah terpenuhi syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap terdakwa; Menimbang, majelis hakim sebelum menjatuhkan pidana pada diri terdakwa tersebut, telah memperlihatkan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta hal-hal yang memberatkan dan 82 hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHP; Hal-hal yang memberatkan: - Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka memberantas penyalahgunaan narkotika; - Perbuatan terdakwa dapat dan berpotensi merusak generasi muda sebagai harapan bangsa; - Terdakwa sudah pernah dihukum dalam perkara narkotika; Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa berlaku sopan di persidangan dan berterus terang sehingga memperlancar proses persidangan; - Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi perbuatan melawan hukum, sebagai wujud niat baik terdakwa; - Terdakwa mempunyai tanggungjawab nafkah atas keluarga; Oleh karenanya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa telah setimpal dengan perbuatan dan berat serta sifat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa, serta telah sesuai dengan rasa keadilan, baik keadilan hukum (legal justice) maupun keadilan masyarakat (social justice), sehingga dengan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa diharapkan akan menimbulkan efek jera (deterrent effect) khususnya bagi terdakwa. b. Amar Putusan 83 1. Menyatakan terdakwa Khaeruddin alias Rudin bin Suripto telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan; 5. Memerintahkan barang bukti berupa : a. 1 (satu) buah gunting warna hitam; b. 1 (satu) buah korek api warna kuning merk tokai; c. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine milik terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto; Dirampas untuk dimusnahkan; d. 1 (satu) bungkus sampoerna mild berisi sepuluh batang rokok dan dua paket sabu-sabu; e. 1 (satu) buah tas pinggang warna biru berlogo B; f. 1 (satu) buah tas ransel berwarna hitam berisi baju; g. 1 (satu) tube plastik berisi urine milik Elkana Efraim Pangalila; h. 1 (satu) tube plastik berisi urine Didi Setiawan bn Yanto Setiawan; Dikembalikan kepada penuntut umum untuk dijadikan barang bukti dalam perkara atas nama Elkana Efraim Pangalila bin Fery Pangalila; 84 6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) Putusan tersebut diputuskan dalam Rapat Musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto pada hari Jumat, tanggal 29 Oktober 2010, oleh: SOHE, S.H. M.H., sebagai Hakim Ketua Majelis, dengan ELLY TRI PANGESTUTI, S.H., dan JULI HANDAYANI, S.H. M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan diucapkan pada hari Kamis, tanggal 4 Nopember 2010 oleh Hakim Ketua Majelis di atas, dengan didampingi hakimhakim anggota, dalam sidang yang terbuka untuk umum, dibantu oleh WAHID HASYIM, S.H., sebagai Panitera pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut serta dihadiri AGUS FIKRI, S.H., Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Purwokerto dan terdakwa dengan didampingi penasihat hukumnya. B. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian tentang Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, maka dapat dianalisis sebagai berikut: 1. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi dalam Berita Acara Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Sidang Pengadilan pada Perkara Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt. Berkaitan dengan pembuktian di pengadilan, salah satu proses dalam pembuktian adalah pemeriksaan saksi. Pengertian saksi menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, merumuskan sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” 85 Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Pasal 160 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah itu merupakan syarat mutlak.60 Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan saksi itu dinyatakan di sidang pengadilan. Beberapa syarat sahnya keterangan saksi agar keterangan saksi tersebut dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, adalah sebagai berikut: 60 Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika., hlm 263. 86 6. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut rumusan pasal tersebut, sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya. Menurut rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan. Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Berkaitan dengan hal tersebut maka saat mengucapkan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib mengucapkan “sebelum” saksi memberikan keterangan, akan tetapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberikan keterangan.61 Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji,sudah ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: (3) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagai mana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. (4) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. 61 Ibid., hlm. 286. 87 7. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP jika dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: d. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian. e. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. 88 f. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. 8. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti, keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Mengenai hal tersebut, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, dan dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 9. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan haus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: 89 “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Mengenai hal tersebut, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “ unus testis nullus testis”.62 Hal tersebut berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum adalah kesaksian tunggal, maka keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Kembali lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hal yang dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: c. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi. d. Jika saksi yang ada hanya seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya, alat bukti lainnya yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 10. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Sering terdapat kekeliruan pendapat orang yang beranggapan dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Padahal pendapat yang seperti itu adalah keliru. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika keterangan para saksi berdiri sendiri tanpa adanya hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau 62 Ibid., hlm. 288. 90 keadaan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa. Sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”. Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Jika keterangan saksi yang banyak saling bertentangan satu dengan yang lainnya, maka keterangan tersebut harus disingkirkan menjadi alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum keterangan seperti itu tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian.63 Dikaitkan dengan keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan oleh penuntut umum di persidangan pada Putusan Perkara Nomor 108/Pid,Sus/2010/PN.Pwt, bahwa menurut ketentuan Pasal 116 KUHAP pemeriksaan saksi pada tingkat penyidikan tidak disumpah terlebih dahulu. Begitu pula dengan keterangan saksi dalam perkara tersebut di atas yang tidak disumpah terlebih dahulu. Pasal 116 ayat (1) KUHAP merumuskan sebagai berikut: “Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan”. 63 Ibid., hlm. 290. 91 Keterangan saksi dalam berita acara penyidikan boleh dibacakan dalam persidangan, ketika saksi yang bersangkutan tidak dapat hadir dalam persidangan dengan memberikan alasan yang sah dan dapat diterima. Keterangan saksi yang dibacakan dalam persidangan perkara tersebut yaitu keterangan dari saksi Stefanus Dwi Yohanan dan saksi Didi Setiawan bin Yanto Setiawan. Ketentuan mengenai hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 162 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Jika saksi sudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara , maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan”. Berkaitan dengan perkara tersebut di atas, kemudian apakah majelis hakim terikat terhadap keterangan saksi yang dibacakan dalam persidangan tersebut. Keterangan saksi yang seperti itu termasuk ke dalam alat bukti ataukah tidak. Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Menurut pasal tersebut maka keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan di sidang pengadilan bukan merupakan alat bukti menurut KUHAP. Namun, jika keterangan saksi yang dibacakan tersebut pada saat memberikan keterangan ditingkat penyidikan disumpah terlebih dahulu, maka keterangan saksi tersebut dapat dipersamakan nilainya dengan keterangan saksi yang disampaikan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 162 ayat (2) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: 92 “Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.” Keterangan saksi yang dibacakan dalam perkara di atas, pada saat memberikan keterangan di tingkat penyidikan saksi tidak disumpah terlebih dahulu. Jadi keterangan saksi tersebut tidak diberikan di bawah sumpah. Berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (2) di atas, maka keterangan saksi dalam perkara tersebut tidak dapat dipersamakan nilainya dengan keterangan saksi yang diucapkan di sidang pengadilan di bawah sumpah. Dengan demikian kekuatan pembuktian keterangan saksi yang dibacakan tersebut tidak sama dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disampaikan di sidang pengadilan di bawah sumpah. Kedudukan keterangan saksi yang dibacakan tersebut juga tidak memiliki kekuatan sebagai alat bukti. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang sudah dijelaskan di atas. Keterangan saksi yang tidak disumpah memang bukan merupakan alat bukti, tetapi apabila keterangan tersebut memiliki kesesuaian dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.” Pasal tersebut jika dikaitkan dengan keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan pada perkara nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, maka keterangan yang dibacakan tersebut dapat sebagai tambahan alat bukti yang sah 93 lainnya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tersebut. Dengan syarat bahwa keterangan saksi yang dibacakan tersebut memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi lainnya yang memberikan keterangan di bawah sumpah. Hal tersebut menunjukkan bahwa keterangan saksi yang dibacakan di depan persidangan dapat menjadi salah satu tambahan alat bukti yang dapat menguatkan keyakinan hakim dalam suatu pembuktian tindak pidana, dalam perkara ini tindak pidana narkotika. Tambahan alat bukti tersebut tentunya hanya sebagai pelengkap dalam pemeriksaan dipengadilan, maksudnya adalah harus sudah memenuhi minimal alat bukti pembuktian dalam hukum acara pidana, yang juga sudah ditentukan di dalam KUHAP yaitu pada Pasal 183 KUHAP. Berkaitan dengan perkara tersebut, saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata kemudian ”tidak dapat dihadirkan” dalam persidangan dengan alasan yang sah dan dapat diterima. Kemudian keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Keterangan saksi dalam perkara tersebut yang dibacakan adalah keterangan dari saksi Stefanus Dwi Yohanan dan saksi Didi Setiawan bin Yanto Setiawan. Jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 162 ayat (2) dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat “dipersamakan” dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan pengadilan tanpa sumpah. 64 Jadi, sifatnya tetap 64 Op Cit. hlm. 292. 94 tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya adalah: I. Keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan dalam persidangan tersebut dapat diperguanakan untuk “menguatkan” keyakinan hakim, II. Keterangan saksi yang dibacakan tersebut dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat bukti” yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai “saling kesesuaian” dengan alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP. 2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, tentang Tindak Pidana Narkotika. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting di dalam pemeriksaan sidang suatu perkara. Pembuktian menurut M. Yahya Harahap 65 sebagai berikut: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan.” Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan hukum yang muncul di dalam persidangan. Pertimbangan hukum hakim tersebut muncul dari fakta-fakta hukum yang 65 Ibid.. hlm. 273. 95 muncul di persidangan dan mendasarkan pada alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Semua hal tersebut muncul dalam proses pemeriksaan khususnya pada saat pembuktian. Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan memenuhi syarat minimal pembuktian yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut mengantur untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus memenuhi syarat sebagai berikut: c. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Jika pada saat pembuktian alat bukti yang sah kurang dari dua alat bukti, maka majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa. d. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, majelis hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana. Apabila dengan dua alat bukti yang sah tersebut mejelis hakim tidak memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana yang didakwakan, maka dengan demikian majelis hakim juga tidak 96 dapat menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, walaupun sudah memenuhi dua alat bukti. Berkaitan dengan alat bukti yang sah sudah ditentukan secara limitatif yaitu sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alatalat bukti adalah: f. g. h. i. j. Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut di atas, maka hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap suatu perkara sudah ditentukan bahwa harus sukurang-kurangnya mendasarkan dengan dua alat bukti yang sah, dan dengan dua alat bukti yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa seorang terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana. Apabila hakim dengan dua alat bukti yang sah tersebut tidak memperoleh keyakinan bahwa seorang terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut. Alat bukti yang sah tersebut sudah ditentukan secara limitatif oleh undang-undang, sehingga hakim tidak dapat secara bebas menentukan alat bukti di luar yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Berkaitan dengan Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum hakim didasarkan atas beberapa alat bukti sebagai berikut: 1. Keterangan saksi 97 Saksi yang dihadirkan dalam persidangan Perkara Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, sebanyak 4 orang saksi, yaitu saksi Susanto, saksi Hartono, saksi Wiwit Priambodo, dan saksi Elkana Efraim Pangalila. Selain keterangan saksi yang disampaikan di persidangan, ada juga keterangan saksi di dalam berita acara penyidikan yang dibacakan oleh penuntut umum di depan persidangan atas persetujuan terdakwa dan majelis hakim. Keterangan saksi tersebut dibacakan karena saksi tidak dapat hadir dalam persidangan dengan alasan yang sah dan dapat diterima. Walaupun keterangannya hanya dibacakan di depan persidangan, akan tetapi keterangan tersebut memiliki kesesuaian dan mendukung dengan keterangan saksi yang disampaikan dipersidangan, sehingga dapat juga menjadi salah satu pertimbangan hakim, walaupun sifatnya tidak mengikat. Keterangan saksi yang disampaikan di depan persidangan antara saksi yang satu dengan saksi yang lain pun juga saling bersesuaian dan saling mendukung sehingga keterangan para saksi dapat dipergunakan sebagai salah satu dasar pertimbangaan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto. 2. Surat Alat bukti surat dalam perkara ini adalah Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dari Laboratorium Forensik Cabang Semarang Nomor Lab : 650/KNF/VI/2010 tanggal 14 Juni 2010, yang menerangkan bahwa urine milik terdakwa mengandung Metamfetamina yang terdaftar 98 dalam Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 3. Petunjuk Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, merumuskan pengertian petunjuk sebagai berikut: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya dalam ayat (2) nya menyatakan bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan ketentuan KUHAP tersebut diatas dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan baik dari keterangan para saksi maupun dari keterangan terdakwa sendiri, maka telah terdapat adanya persesuaian keadaan baik antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lainnya maupun adanya persesuaian antara keterangan saksi dengan keterangaan terdakwa serta persesuaian antara keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat yang ada. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut telah diperoleh alat bukti petunjuk yang menandakan telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto sebagai pelakunya. 4. Keterangan Terdakwa Terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto dalam persidangan juga memberikan keterangan berkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan 99 kepadanya. Terdakwa dalam perkara ini mengakui bahwa telah melakukan salah satu tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum kepadanya. Keterangan terdakwa juga memiliki kesesuaian dengan keterangan para saksi. Hal tersebut dapat digunakan oleh hakim sebagai salah satu pertimbangan dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Selain alat bukti tersebut di atas majelis hakim juga memiliki pertimbangan-pertimbangan non yuridis yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan. Sebelum menjatuhkan pidana pada diri terdakwa tersebut, majelis hakim akan memperlihatkan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHP; Hal-hal yang memberatkan: - Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka memberantas penyalahgunaan narkotika; - Perbuatan terdakwa dapat dan berpotensi merusak generasi muda sebagai harapan bangsa; - Terdakwa sudah pernah dihukum dalam perkara narkotika; Hal-hal yang meringankan: - Terdakwa berlaku sopan dipersidangan dan berterus terang sehingga memperlancar proses persidangan; 100 - Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi perbuatan melawan hukum, sebagai wujud niat baik terdakwa; - Terdakwa mempunyai tanggungjawab nafkah atas keluarga; Oleh karenanya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa telah setimpal dengan perbuatan dan berat serta sifat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa, serta telah sesuai dengan rasa keadilan, baik keadilan hukum (legal justice) maupun keadilan masyarakat (social justice), sehingga dengan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa diharapkan akan menimbulkan efek jera (deterrent effect) khususnya bagi terdakwa. Terdakwa dalam perkara ini dituntut dengan tuntutan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal tersebut mengandung dua unsur-unsur yang harus terpenuhi agar seorang terdakwa dapat dipidanakan dengan menggunakan pasal tersebut. Jika dilihat dari unsur-unsur Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, maka berdasarkan fakta-fakta yang muncul dipersidangan, hakim memiliki pertimbangan hukum terhadap unsur-unsur pasal tersebut sebagai berikut: 1. Setiap Orang; Unsur “setiap orang” dalam perkara ini ditujukan kepada orang perorangan, hal ini sesuai sebagaimana dari fakta-fakta di persidangan bahwa yang diajukan oleh Penuntut Umum sebagai terdakwa dalam perkara ini adalah Khaerudin alias Rudin bin Suripto, dan terdakwa tersebut dapat mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri 101 (pertanggungjawaban pribadi). Terdakwa di dalam persidangan telah membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan Penuntut Umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini benar ditujukan kepada terdakwa tersebut di atas, sehingga tidak salah orang (error in persona). Untuk menentukan apakah terdakwa dapat dikatakan sebagai orang yang melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku tindak pidana ini tentunya akan dibuktikan dalam persidangan. 2. Menyalahgunakan Narkotika Golongan I. Maksud dari “penyalahguna” adalah orang yang menyalahgunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Sesuai fakta-fakta hukum dalam persidangan, terdakwa telah mengkonsumsi sabu-sabu bersama Intanto alias Tanto dan Didi Setiawan bin Yanto Setiawan adalah milik Tanto yang dibeli dari Jakarta, dan terdakwa mengkonsumsi sabu-sabu tersebut atas ajakan Intanto. Sabu-sabu yang terdakwa konsumsi adalah termasuk Narkotika Golongan I sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaaan Labolatoris Kriminaistik. Narkotika tersebut dilarang untuk dikonsumsi. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, majelis hakim berpendapat unsur “Menyalahgunakan Narkotika Golongan I” ini telah terpenuhi. Unsur dari Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tetang Narkotika telah terpenuhi, maka perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan kedua Penuntut Umum yang kualifikasinya akan dirumuskan dalam amar putusan. Di samping itu dalam perkara ini 102 tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 04 Tahun 2010, maka majelis hakim tidak menempatkan terdakwa dalam rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Selain pertimbangan pertimbangan majelis hakim di atas, masih ada pertimbangan yang lainnya yaitu majelis hakim akan mempertimbangkan berkaitan dengan pribadi dan perbuatan terdakwa ada alasan penghapus atau peniadaan pidana baik alasan pemaaf atau alasan pembenar, yang akan berakibat terhadap dapat atau tidaknya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertimbangan majelis hakim berkaitan dengan alasan pemaaf. Alasan pemaaf (schuld uitsluitings gronden) adalah bersifat subyektif dan melekat pada diri terdakwa/pelaku, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat, dan telah diatur dalam Pasal 44 ayat (1),48, 49 ayat (2), dan 51 ayat (2) KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak menemukan keadaan-keadaan sebagaimana ketentuan pasal-pasal di atas, sehingga terdakwa dikategorikan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertimbangan majelis hakim berkaitan dengan alasan pembenar. Alasan pembenar (rechtvaardingungs gronden) adalah bersifat obyektif dan melekat pada perbuatan atau hal-hal lain di luar batin pembuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1), 50, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak menemukan fakta-fakta yang membuktikan adanya keadaan-keadaan yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas, 103 sehingga tidak menghilangkan/menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa. Majelis hakim memberi pertimbangan, karena pada saat dipersidangan tidak ditemukan alasan-alasan penghapus pidana terhadap terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan telah terpenuhi syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap terdakwa. Berdasarkan semua pertimbangan-pertimbangan majelis hakim di atas, maka majelis hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa sebagai berikut: 1. Menyatakan terdakwa Khaeruddin alias Rudin bin Suripto telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan;Memerintahkan barang bukti berupa : a. 1 (satu) buah gunting warna hitam; b. 1 (satu) buah korek api warna kuning merk tokai; c. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine milik terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto; Dirampas untuk dimusnahkan; 104 d. 1 (satu) bungkus sampoerna mild berisi sepuluh batang rokok dan dua paket sabu-sabu; e. 1 (satu) buah tas pinggang warna biru berlogo B; f. 1 (satu) buah tas ransel berwarna hitam berisi baju; g. 1 (satu) tube plastik berisi urine milik Elkana Efraim Pangalila; h. 1 (satu) tube plastik berisi urine Didi Setiawan bn Yanto Setiawan; Dikembalikan kepada penuntut umum untuk dijadikan barang bukti dalam perkara atas nama Elkana Efraim Pangalila bin Fery Pangalila; 5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Perkara nomor 108/ Pid.Sus/2010/PN.Pwt. tersebut telah mendasarkan pada fakta-fakta yuridis dan non yuridis yang ada dalam persidangan, dan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang diajukan dalam persidangan. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan hakim tersebut, perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal 127 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sehingga terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika Golongan I bagi diri sendiri. 105 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam berita acara penyidikan (BAP) terhadap tindak pidana narkotika di sidang pengadilan, pada putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt. Saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah dalam BAP, ternyata kemudian ”tidak dapat dihadirkan” dalam persidangan dengan alasan yang sah dan dapat diterima. Kemudian keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan. Keterangan saksi yang dibacakan dalam perkara tersebut adalah keterangan dari saksi Stefanus Dwi Yohanan dan saksi Didi Setiawan bin Yanto Setiawan. Jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal 162 ayat (2) dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat “dipersamakan” dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan pengadilan tanpa sumpah. Jadi, sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya adalah: 106 a. Keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan dalam persidangan tersebut dapat diperguanakan untuk “menguatkan” keyakinan hakim. b. Keterangan saksi yang dibacakan tersebut dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat bukti” yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai “saling kesesuaian” dengan alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP. 2. Pertimbangan-pertimbangan hukum hakim yang digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt tentang perkara tindak pidana narkotika. Hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut telah mendasarkan pada fakta-fakta yuridis dan non yuridis yang ada dalam persidangan, dan mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang diajukan dalam persidangan. Alat bukti tersebut antara lain keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim, perbuatan terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto telah memenuhi rumusan Pasal 127 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sehingga terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dan kemudian dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. 107 B. Saran 1. Penuntut Umum diharapkan lebih teliti kembali pada saat menerima berkas dari penyidik berkaitan dengan pemeriksaan saksi pada tingkat penyidikan. Terutama berkaitan dengan dapat diduganya saksi tidak dapat hadir dalam persidangan, sehingga apabila hal tersebut terjadi, penyidik dapat memerintahkan agar saksi tersebut untuk memberikan keterangan di hadapan penyidik di bawah sumpah. 2. Hakim pada saat menjatuhkan suatu putusan diharapkan agar lebih teliti dalam mempertimbangkan semua alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, serta fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan baik yuridis maupun non yuridis. 108 Daftar Pustaka Buku Literatur: Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. _______. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. Makaro, Taufik dkk. 2005. Tindak Pidana Narkotika. Bogor: Ghalia Indonesia. Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian hukum, Jakarta: Kencana. Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana. Yogjakarta: Liberty. Salam, Moch. Faisal.2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Mandar Maju. Soekanto, Soerjono 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sunarso, Siswanto. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sutarto, Suryono. 1987. Sari Hukum Acara Pidana I. Jakarat: Yayasan Cendikia Purna Dharma. Wisnubroto, AL. 2002. Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara Pidana. Jakarta. Galaxy Puspa Mega. Peraturan Perundang-undangan: Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 ________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 109 ________, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. ________,Undang-Undang Kehakiman. Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan ________, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.