PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA

advertisement
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA
PENYIDIKAN DI SIDANG PENGADILAN TERHADAP TINDAK
PIDANA NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Oleh:
ARDI MULYO SAYEKTI
E1A008233
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
i
Lembar Pengesahan Skripsi
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA
PENYIDIKAN DI SIDANG PENGADILAN TERHADAP TINDAK
PIDANA NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.)
Oleh:
ARDI MULYO SAYEKTI
E1A008233
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada Tanggal 26 Juli 2012
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H.
NIP. 19581019 198702 2 001
Pranoto, S.H., M.H.
NIP. 19540305 198601 1 001
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H.
NIP. 19640724 199002 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S.
NIP. 19520603 198003 2 001
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama
:
ARDI MULYO SAYEKTI
NIM
:
E1A008233
Judul Skripsi
:
PEMBUKTIAN
KETERANGAN
SAKSI
DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN DI
SIDANG
PENGADILAN
TERHADAP
TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Tinjauan
Yuridis
Terhadap
Putusan
Nomor
108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.)
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain.
Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di
atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 19 Juli 2012
ARDI MULYO SAYEKTI
E1A008233
iii
ABSTRAKSI
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI DALAM BERITA ACARA
PENYIDIKAN DI SIDANG PENGADILAN TERHADAP TINDAK
PIDANA NARKOTIKA
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.)
Oleh :
ARDI MULYO SAYEKTI
E1A008233
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat
bukti yang berhasil di hadirkan dalam pembuktian di sidang peradilan, terutama
yang berkaitan dengan saksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan terhadap
tindak pidana narkotika di sidang pengadilan dan mengetahui pertimbangan
hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.
Keterangan saksi yang dapat menjadi alat bukti dalam pembuktian adalah
keterangan saksi yang telah memenuhi syarat formiil dan syarat materiil. Apabila
suatu keterangan saksi tidak memenuhi syarat formiil dan syarat materiil maka
keterangan tersebut tidak memiliki nilai pembuktian sebagai alat bukti. Suatu
pembuktian sangat erat hubungannya dengan pertimbangan hukum hakim dalam
memutus suatu perkara yang di sidangkan. Hakim di dalam menjatuhkan suatu
putusan harus mendasarkan pertimbangannya pada fakta-fakta hukum yang
muncul dalam persidangan baik fakta yuridis maupun fakta non yuridis yang
didapatkan dari alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Berdasarkan
penelitian, keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan yang dibacakan di
depan persidangan memiliki kesesuaian dengan alat bukti yang ada, sehingga
dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang dapat menguatkan
keyakinan hakim. Hakim dalam menjatuhkan Putusan nomor 108/
Pid.Sus/2010/PN.Pwt sudah mendasarkan pertimbangannya pada fakta-fakta
hukum yang muncul dalam persidangan baik fakta yuridis maupun fakta non
yuridis yang didapatkan dari alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan.
Kata kunci: Pembuktian, Saksi, Pengadilan, Tindak Pidana Narkotika.
iv
ABSTRACT
The success of the criminal justice process is highly dependent on the
evidence that is successful in presenting the evidence in the trial court, especially
relating to the witness. The purpose of this study was to determine the strength of
evidence witness statements in the Minutes of Investigation on criminal trial
against narcotics and to know the legal considerations of judges in imposing
Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt. The Witness statements that can be
used as evidence in proving is statements that are qualified formiil and material
requirements. If those witness statement are not qualified the requirements then
the statements have no evidentiary value as evidence. The evidence is closely
related to the legal considerations of the judge in deciding a case on trial. Judge
at the verdict should base its consideration on the facts that appear in the court of
law whether the juridical and non juridical facts obtained from the evidence
presented at trial. Based on research, witness statements in the Minutes of
Investigation which is read before the court has compliance with existing
evidence, so it can be used to additional evidence may strengthen the confidence
of judges. Judge in imposing Putusan nomor 108/ Pid.Sus/2010/PN.Pwt was
basing its consideration on the facts that appear in a court of law whether the
juridical and non juridical facts obtained from the evidence presented at trial.
Keyword: Evidence, Witness, Trial, Narcotics Crimes.
v
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang
telah melimpahkan rahmat, nikmat, karunia-NYA sehingga penulis dapat
menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “PEMBUKTIAN KETERANGAN
SAKSI
DALAM
BERITA
ACARA
PENYIDIKAN
DI
SIDANG
PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Tinjauan
Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.)”. Skripsi ini
disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H.) pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari
sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat
keterbatasan pengetahuan dan waktu. Oleh karena itu semua kritik dan saran yang
sifatnya membangun akan diterima dengan ketulusan hati.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari
berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis akan menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan
yang sedalam-dalamnya kepada :
1.
Hj.Rochani Urip Salami, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2.
Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I sekaligus
Dosen Penguji I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dengan
penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
vi
3.
Pranoto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Dosen Penguji II
yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji dalam seminar skripsi
dan ujian skripsi, yang telah memberikan masukan bagi Penulis demi
perbaikan skripsi ini.
5.
Kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Sarwono dan ibunda Wagirah
yang telah melahirkan, mendidik, menyayangi, membesarkan dan mendoakan
dalam setiap langkah penulis. Ayahanda dan Ibunda adalah motivasi terbesar
penulis dalam menjalani kehidupan.
Semoga segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis,
mendapatkan balasan pahala dari ALLAH SWT. Penulis juga memohon maaf
kepada semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan maupun tingkah
laku selama berproses di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Akhir
kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi yang
membacanya.
Purwokerto, 19 Juli 2012
ARDI MULYO SAYEKTI
E1A008233
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
ABSTRACT ..................................................................................................... v
PRAKATA ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 6
D. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Asas Hukum Acara Pidana ...................................... 7
1. Pengertian Hukum Acara Pidana ................................................ 7
2. Asas-Asas Hukum Acara Pidana ............................................... 11
B. Pembuktian ...................................................................................... 20
1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti dalam Hukum Acara
Pidana ......................................................................................... 20
2. Teori Pembuktian ....................................................................... 36
viii
3. Teori Pembuktian yang Dianut KUHAP .................................... 42
C. Penyidikan ....................................................................................... 44
1. Pengertian Penyidikan ................................................................ 44
2. Kewenangan Penyidikan ............................................................ 45
3. Berita Acara Penyidikan ............................................................ 48
D. Narkotika ......................................................................................... 49
1. Pengertian dan Jenis-Jenis Narkotika.......................................... 49
2. Tindak Pidana Narkotika ............................................................ 53
3. Unsur Tindak Pidana Narkotika ................................................. 56
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ......................................................................... 60
B. Spesifikasi Penelitian ....................................................................... 60
C. Sumber Data .................................................................................... 61
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 62
E. Metode Penyajian Data .................................................................... 62
F. Metode Analisis Data ....................................................................... 62
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................................... 63
B. Pembahasan ..................................................................................... 84
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................................... 105
B. Saran ............................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA
ix
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum acara pidana merupakan hukum formil yang digunakan dalam
mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Suatu perbuatan yang
melanggar hukum pidana haruslah ditindak oleh penegak hukum agar selanjutnya
diproses menggunakan hukum acara pidana. Salah satu proses pembuktian dalam
hukum acara pidana adalah pemeriksaan terdakwa dan pemeriksaan saksi dalam
persidangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk membuktikan apakah benar
terdakwa benar-benar bersalah dalam perkara yang sedang disidangkan.
Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya
adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap
perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan
untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan
seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara
tersebut.
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat
bukti yang berhasil diungkapkan atau dimunculkan di tingkat sidang pengadilan,
terutama yang berkaitan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang pembuktiannya
sulit dilakukan karena tidak adanya saksi. Saksi merupakan unsur penting dalam
pembuktian suatu proses peradilan pidana. Pengertian saksi menurut Pasal 1 butir
2
26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), merumuskan sebagai berikut:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.”
Alat bukti yang digunakan dalam hukum acara pidana menurut Pasal 184
KUHAP, adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Berkaitan dengan hal tersebut hakim di dalam memutus
suatu perkara haruslah didasarkan minimal dua alat bukti beserta keyakinan
hakim. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Dengan
demikian apabila suatu perkara yang disidangkan hanya memiliki satu alat bukti
maka dalam hal tersebut hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa.
Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan antara pemeriksaan saksi
dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilan maupun mengenai cara
pemeriksaan, sama-sama dilandasi oleh peraturan dan prinsip yang serupa.
Bahkan pengaturanya dalam KUHAP hampir seluruhnya diatur dalam pasal-pasal
yang bersamaan, tidak dipisahkan dalam aturan pasal yang berbeda. 1
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kecuali menjadi saksi
yang tercantum dalam Pasal 186 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah
sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga meraka yang mempunyai
1
M. Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. hlm 138.
3
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajad ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa.
Selain karena hubungan keluarga (sedarah atau semenda), ditentukan oleh
Pasal 170 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan
kepada mereka.”
Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang
menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan
yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, hakim yang
menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapat
kebebasan tersebut.
Terkait
dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor
108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, pembuktian dalam persidangan perkara tindak pidana
narkotika, pada pemeriksaan saksi terdapat keterangan saksi yang hanya
dibacakan di depan persidangan oleh penuntut umum dengan persetujuan dari
terdakwa dan majelis hakim. Keterangan tersebut merupakan keterangan saksi di
dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang di dalam memberikan keterangan
tersebut tidak disumpah terlebih dahulu. Pembuktian perkara tersebut dalam
persidangan juga diajukan alat bukti lain selain keterangan saksi dalam berita
acara pemeriksaan yang dibacakan tersebut. Keterangan saksi di dalam berita
4
acara penyidikan tersebut dibacakan oleh penuntut umum di depan persidangan
karena saksi tidak hadir dengan alasan yang dapat diterima. Walaupun saksi sudah
dipanggil secara patut.
Menurut Pasal 185 KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti adalah
keterangan yang saksi sampaikan di dalam persidangan. Kemudian jika
keterangan saksi tersebut hanya dibacakan di depan persidangan, memiliki
kedudukan sebagai alat bukti atau tidak. Keterangan saksi yang dibacakan tersebut
merupakan ketarangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Suatu berita
acara dapat menjadi alat bukti surat ketika berita acara tersebut dibuat atas
sumpah jabatan atau dilakukan dengan sumpah. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 187 huruf a KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“ Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat
atas sumpah jabatan atau dilakukan dengan sumpah, yaitu berita acara dan
surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri,
disertai dengan alas an yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.”
Berkaitan dengan perkara tersebut, pada saat saksi memberikan keterangan
di depan penyidik disumpah terlebih dahulu ataukah tidak. Selain itu keterangan
saksi tersebut harus diberikan di depan penyidik, sebagai pihak yang memiliki
wewenang untuk menyidik dan sudah melakukan sumpah jabatan sebelumnya
sebagai penyidik. Keterangan saksi yang seperti itu dapat dikategorikan ke dalam
alat bukti surat. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 187 ayat (1) KUHAP.
Proses penyidikan menurut KUHAP merupakan serangkaian tindakan
penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam kitab undang-undang
hukum acara pidana (KUHAP), untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu
5
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Berkaitan dengan keterangan saksi dalam berita acara penyidikan
yang dibacakan di depan persidangan pada putusan Pengadilan Negeri Purwokerto
Nomor 108/ Pid.Sus/2010/PN.Pwt, berdasarkan pasal 116 ayat (1) KUHAP yang
merumuskan sebagai berikut:
“Saksi pada saat diperiksa dan memberikan keterangan dihadapan
penyidik tidak disumpah kecuali apabila cukup alasan untuk diduga bahwa
saksi tidak dapat hadir dalam pemeriksaan di persidangan.”
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk mengkaji
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pembuktian saksi dalam Berita Acara
Penyidikan (BAP) yang tidak disumpah terlebih dahulu yang dibacakan di depan
persidangan, serta pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pada
perkara tersebut dengan melakukan suatu penelitian hukum dan nantinya akan
dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “ PEMBUKTIAN KETERANGAN
SAKSI DALAM BERITA ACARA PENYIDIKAN (BAP) TERHADAP
TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI SIDANG PENGADILAN (Tinjauan
Yuridis Terhadap Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.) ”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam Berita Acara
Penyidikan (BAP) di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika,
pada Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt?
6
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan
nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, dalam perkara tindak pidana narkotika?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam Berita Acara
Penyidikan (BAP) di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika,
pada Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.
2. Mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan nomor
108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, dalam perkara tindak pidana narkotika.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada
khususnya terutama ilmu hukum acara pidana.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan di dalam
penegakan hukum acara khususnya hukum acara pidana tentang penegakan
hukum tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Asas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Sebagaimana diketahui penegakan hukum merupakan salah satu usaha
untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik
itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau
penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Apabila undang-undang yang
menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum
kurang sesuai dengan dasar falsafah dan pandangan hidup bangsa kita sudah
barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai sasarannya.
Istilah hukum acara pidana jarang sekali diperkenalkan secara umum.
Hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit dan
menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu pendapat
bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana lazimnya sebagai
ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap terhadap hukum pidana
materiil. Hukum acara pidana memiliki ruang lingkup yang sempit yaitu hanya
mulai dari mencari kebenaran, penyelidikan penyidikan, penuntutan, dan berakhir
pada pelaksanaan pidana (eksekusi). Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum
acara pidana. Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.2
2
Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 1.
8
KUHAP tidak menjelaskan pengertian hukum acara pidana, melainkan
hanya memberikan beberapa definisi yang merupakan dari bagian hukum acara
pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan
pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain yang
semuanya merupakan satu kesatuan dalam proses berlakunya hukum acara pidana.
Hukum acara pidana menurut Sudarto3 sebagaimana dikutip dalam bukunya
Suryono Soetarto sebagai berikut:
“Hukum acara pidana ialah aturan-aturan yang memberikan petujuk apa
yang harus diperlakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau
orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan bahwa
hukum pidana dilanggar”.
Sedangkan menurut D. Simons4 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah sebagai berikut:
“Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana
Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidanakan
dan menjatuhkan pidana.”
Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap dan
tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena merinci pula
substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya saja. Pengertian
hukum acara pidana menurut Van Bemmelen
5
sebagaimana dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah, adalah sebagai berikut:
“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-perauran yang
diciptakan oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang
pidana, yaitu sebagai berikut:
3
Suryono Sutarto. 1987. Sari Hukum Acara Pidana I. Jakarat: Yayasan Cendikia Purna
Dharma. hlm. 5.
4
Andi hamzah. Op. Cit. hlm. 4.
5
Ibid., hlm. 6.
9
1. Negara melalui alatnya yang menyidik kebenaran.
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku yang melakukan perbuatan itu.
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat
dan kalau perlu menahannya.
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim
dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
5. Hakim member keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau
tindakan tata tertib.
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata
tertib.”
Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut dapat
ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai denga poin 4 adalah tahap
penyelidikan, dan penuntutan. Oleh karena itu, batas penyidikan dan penuntutan
menjadi kabur, karena memang Van Bammelen dapat digolongkan pada golongan
pakar yang memandang penyidikan sebagai bagian penuntutan dalam arti luas.
Terlihat yang jelas terpisah adalah pemeriksaan dan putusan hakim yang
disebutkan pada poin 5. Begitu pula upaya hukum yang disebutkan pada poin 6
dan eksekusi pada poin 7. Adapun peninjauan kembali (herzeining) adalah hal
khusus yang merupakan upaya hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi
dalam peradilan pidana yang normal.
Perlu dilihat lagi juga pengertian tentang hukum acara pidana yang
diberikan oleh pakar Indonesia, diambil dari sarjana senior yaitu Wirjono
Prodjodikoro, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung. Sebagaimana
dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara pidana menurut
Wirjono Prodjodikoro6 adalah sebagai berikut:
6
Ibid., hlm. 7.
10
“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,
maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan Negara
dengan mengadakan hukum pidana.”
Pengertian tersebut jelas sangat menggantungkan fungsi hukum acara
pidana pada menjalankan hukum pidana (materiil). Dapat dijabarkan bahwa
tujuan Negara dalam menciptakan hukum pidana (materiil) yaitu tata tertib, aman,
sejahtera, dan damai dalam masyarakat.
Tujuan hukum acara pidana dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang
dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selangkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan suatu
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat
dipersalahkan.”
Pengertian tersebut merupakan kalimat yang terlalu panjang, yang
mestinya dapat disingkat. Kebenaran itu harus didapatkan dalam menjalankan
hukum acara pidana. Umumnya disebut “mencari kebenaran materiil”, merupakan
tujuan hukum acara pidana. Akan tetapi usaha hakim untuk menemukan
kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa. Hakim tidak dapat
menuntut agar jaksa mendakwa terdakwa dengan dakwaan yang lain atau
menambah perbuatan yang didakwakan.
Berkaitan dengan batas surat dakwaan, hakim harus benar-benar tidak
boleh puas dengan kebenaran formal. Agar dapat memperkuat keyakinannya,
11
hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak yaitu terdakwa dan penuntut
umum, begitu pula dengan saksi-saksi yang diajukan oleh kedua belah pihak.
Van Bammelen7 mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana,
sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya, sebagai berikut:
a. Mencari dan menemukan kebenaran.
b. Pemberian keputusan oleh hakim.
c. Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga fungsi di atas, yang paling penting karena menjadi tumpuan
kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan
kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan
sampai pada putusan (yang seharusnya adil dan tepat untuk terdakwa), yang
kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Tujuan akhir hukum acara pidana yang
sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan,
dan kesejahteraan dalam masyarakat.
2. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Asas- asas hukum acara pidana adalah:
a. Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Sebenarnya hal ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya
KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-kata
yang lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP. Untuk
7
Ibid., hlm. 8.
12
menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP
yang memakai istilah “segera”.8
Pasal 71 HIR menyatakan bahwa jika hulp magistraat melakukan
penahanan, maka dalam waktu satu kali dua puluh empat jam memberitahu
jaksa. Arti dari kata peradilan cepat dan sederhana adalah bahwa peradilan
dilaksanakan dengan proses yang jelas dan tidak berbelit-belit, sehingga
peradilan dapat berjalan dengan cepat, selain itu tidak merugikan terdakwa.
Selain hal tersebut dengan peradilan yang berjalan dengan cepat dan
sederhana diharapkan tidak mengeluarkan biaya yang besar, sehingga
peradilannya memiliki sifat biaya ringan.
Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada
istilah segera. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu
diwujudkan dalam praktik oleh penegak hukum.
Bambang Poernomo9 dalam bukunya berpendapat sebagai berikut:
“Proses perkara pidana dengan biaya yang murah diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme
bekerjannya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang
berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding
karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan hasil yang diharapkan
lebih kecil.”
Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) di dalam
KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu. Asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam KUHAP
8
Ibid., hlm. 12.
Bambang Poernomo. 1993. Pola-Pola Dasar Teori Asas Umun Hukum Acara Pidana
dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 66.
9
13
sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama
sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak memihak salah satu pihak
yang diutamakan dalam KUHAP.
b. Praduga Tidak Bersalah
Inti dari asas ini adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah
dalam suatu proses hukum selama belum ada putusan yang berkekuatan
hukum tetap yang menyatakan bahwa dirinya bersalah. Asas ini disebut dalam
Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3c KUHAP yang
merumuskan sebagai berikut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,
dan/dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
M. Yahya Harahap10 dalam bukunya berpendapar sebagai berikut:
“Dapat disimpulkan pembuat undang-undang telah menetapkannya
sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum
(law enforce). Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP
memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan
prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan”.
c. Asas Oportunitas
10
M Yahya Harahap. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 40.
14
Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut
penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa.
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai
monopili, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan. Hal
ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal
dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya
delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari
penuntut umum.
Pengertian
asas
oportunitas
menurut
A.Z.
Abidin
Farid11
sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah adalah sebagai berikut:
“Asas hukum yang emberikan wewenang kepada penuntut umum
untuk menuntu atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang
atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan
umum.”
Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di
Indonesia. Pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:
“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan
umum”.
Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan
umum” dalam sebuah perkara. Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberikan
penjelasan sebagai berikut:
“…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam
penerapan asa oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk
11
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 17.
15
kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan
masyarakat”.
Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo12 yang dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:
“Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang
disebut asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan
Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau
adanya tuntutan itu dianggap tidak “opportuun”, tidak guna
kepentingan masyarakat”.
d. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas ini dapat diperhatikan dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4)
KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
(3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
(4) Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
Pada penjelasan ayat (3) dikatakan cukup jelas, sedangkan untuk ayat
(4) lebih dipertegas lagi, yaitu sebagai berikut:
“Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya,
terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan tersebut
tidak terpenuhi”.
Berkaitan dengan hal tersebut kemudian ada masalah adalah karena
masih ada pengecualian yang lain dari pada yang disebut di atas, yaitu delik
yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut ketertiban
umum (openbare orde). Jika hakim menyatakan sidang tertutup untuk umum
untuk menjaga rahasia, menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur hal tersebut, dalam pasal
12
Ibid.,hlm. 20.
16
tersebut tidak menyebutkan secara limitatif pengecualian seperti KUHAP.
Akan tetapi, dengan KUHAP, hal seperti itu menjadikan putusan batal demi
hukum.
Sebenarnya hakim dapat menyatakan suatu sidang dinyatakan
seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan
dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya
diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan hal itu berdasarkan jabatannya
atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat
mengajukan permohonan agar sidang tertutup unutk umum dengan alasan
demi nama baik keluarganya.13
Sebagaimana menurut D. Simons14 yang dikutip Andi Hamzah dalam
bukunya, sebagai berikut:
“HR dengan arrestnya tanggal 30 Agustus 1909 W. 8903 memutuskan
bahwa hakim berdasarkan keadaan persidangan dapat menentukan
suatu persidangan tertutup untuk umum”.
Penetapan hakim bahwa persidangan tertutup untuk umum itu tidak
dapat dibanding. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun
dalam putusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Bahkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP tegas merumuskan sebagai berikut:
“Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum”.
13
14
Ibid., hlm. 21.
Ibid.
17
e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum pula dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang
Kekuasaan Kehakiman dan dalam penjelasan umum butir 3a
KUHAP. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, merumuskan sebagai berikut:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”.
Selain itu dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga
menyinggung tentang asas perlakuan yang sama di muka hukum terhadap
setiap orang. Pasal tersebut merumuskannya sebagai berikut:
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
f. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Asas ini berarti pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa
dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini
diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri yang
menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili
golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam
18
tentang ilmu hukum. Menurut D. Simons15 sebagaimana dikutip dalam
bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut:
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara
Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun
1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu
dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut
maka Jerman juga tidak menganutnya.”
g. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas tersebut sesuai dengan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP
yang mengatur tentang bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat
kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:
1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan.
2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
4. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik
atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan
Negara.
5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan.
6. Penasihat
hukum
berhak
mengirim
atau
menerima
surat
tersangka/terdakwa.
Andi Hamzah16 dalam bukunya berpendapat sebagai berikut:
15
Ibid. hlm. 22.
dari
19
“Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan
hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggarankelonggaran ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi
politis, sosial, dan ekonomis. Segi-segi yang disebut terakhir ini juga
menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum secara merata.”
Adnan Buyung Nasution17, sebagaimana dikutip dalam buku Andi
Hamzah berpendapat sebagai berikut:
“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah
banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya
bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan
oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi
dan keadaan kesehatan yang buruk”.
h. Asas Akusator dan Inkisitor
Asas inkisitoir adalah suatu sistem pemeriksaan yang memandang
seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan
para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan
yang dilakukan secara tertutup. Sedangkan asas akusator adalah kebalikan dari
prinsip inkisitor. Prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan
terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan
pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak.
Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan
bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator. Ini berarti perbedaa antara
pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya
telah dihilangkan.
Andi Hamzah18 berpendapat dalam bukunya sebagai berikut:
16
Ibid. hlm. 24.
Ibid.
18
Ibid. hlm. 25.
17
20
“Menyangkut untuk mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan
pembuktian dalam sistem akusator, maka para penegak hukum makin
dituntut untuk menguasai segi-segi teknis hukum dan ilmu-ilmu
pembantu untuk acara pidana, seperti kriminalistik, kriminologi,
kedokteran forensik, antropologi, psikologi, dan lain-lain.”
i. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda
dengan acara perdata di mana tergugat ataupun penggugat dapat diwakili
kuasanya. Pemeriksaan hakim secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim
dengan terdakwa.19
Ketentuan mengenai pemeriksaan hakim secara langsung dan lisan
diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Pengecualian dari asas
langsung ialah kemungkinan tidak hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek
atau in absentia. Pasal 213 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya
di sidang”.
Begitu pula ketentuan dalam Pasal 214 KUHAP yang mengatur acara
pemeriksaan verstek dalam hukum acara pidana.
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan. Pembuktian menurut M. Yahya Harahap 20 sebagai berikut:
19
Ibid., hlm. 25.
M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 273.
20
21
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan.”
Dari uraian singkat di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum
acara Pidana, antara lain:
1. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan
mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau
penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh bertindak leluasa dengan
caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat
bukti, tidak boleh bertebtangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa
mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang
telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim harus benarbenar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan
pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis
hakim akan meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam putusan yang
akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara
dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang
ditemukan.kalau tidak demikian bisa saja orang yang jahat lepas, dan orang
yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman.21
2. Berhubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan
meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus
21
Ibid., hlm 274.
22
berdasarkan alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh undang-undang
secara “limitatif”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 22
Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas
yang dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang
hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang
harus dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan
berdasarkan hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang
dibenarkan sistem pembuktian. Tidak berbau dan diwarnai oleh perasaan dan
pendapat subjektif hakim.23
Pengakuan dalam hukum acara pidana tidak melenyapkan kewajiban
pembuktian. Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum
acara pidana “selamanya” tetap diperlukan sekalipun terdakwa “mengakui”
tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Apabila terdakwa mengakui
kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap
berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain.
Pengakuan “bersalah” (guilty) dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan
kewajiban
penuuntut
umum
dan
persidangan
utuk
menambah
dan
menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat
bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti
petunjuk. Hal tersebut sesuai dengan penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP
yang merumuskan sebagai berikut:
22
23
Ibid.
Ibid.
23
“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan dari terdakwa saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah telah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain”.
Ketentuan itu sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 308 HIR yang
menegaskan untuk dapat menghukum terdakwa selain daripada pengakuannya
harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti bukti yang lain.24
Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (2) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Rumusan pasal tersebut selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious
(generally known).25
b. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menetukan secara “limitatif” alat bukti
yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut
umum, dan penasihat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan
mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Para pihak di atas tidak memiliki
keleluasaan untuk mempergunakan alat bukti sesuai dengan kehendaki di luar
alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Bukti yang dinilai
sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian”
hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar
24
25
Ibid., hlm. 175.
Ibid., hlm. 176.
24
alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai
nilai serta tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat.
Adapun alat bukti menurut undang-undang sesuai dengan apa yang
disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat-alat bukti adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
Keterangan Saksi;
Keterangan Ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan Terdakwa.
Jika dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan
alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Selain dari pada itu ada perubahan nama
alat bukti yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain, yaitu “pengakuan
terdakwa” menjadi keterangan terdakwa.26
a. Keterangan Saksi
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kecuali menjadi
saksi yang tercantum dalam Pasal 186 KUHAP yang merumuskan sebagai
berikut:
4) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
kebawah sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersamasama sebagai terdakwa;
5) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga meraka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajad ketiga;
6) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
26
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 259.
25
Selain karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ada
ketentuan lain yaitu Pasal 170 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari
kewajiban untuk member keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal
yang dipercayakan kepadanya”.
Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang
menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau
pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang
menentukan sak tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan
kebebasan tersebut.
Pasal 170 ayat (1) KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut di atas
mengatakan “…dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan
keterangan sebagai saksi…”, hal tersebut berarti jika yang bersangkutan
bersedia untuk menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah,
maka pengecualiaan menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan
atau karena martabatnya merupakan pengecualian relatif.
Selain Pasal 170 ayat (1) KUHAP ada pengecualian untuk
memberikan kesaksian di bawah sumpah yaitu Pasal 171 KUHAP yang
merumuskan sebagai berikut:
“Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah
ialah.
26
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatanya baik kembali.”
Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa anak yang belum
berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa,
sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa
disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah
atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka
hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Pasal 160 ayat (3) KUHAP merumuskan bahwa sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah itu
merupakan syarat mutlak.27
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan
apa yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
27
Ibid., hlm 263.
27
Agar supaya keterangan saksi dapat diniai sebagai alat bukti,
keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut
sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian
keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya
sendiri, dilihatnya sendiri, atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa
pidana, baru bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan saksi itu
dinyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang
pengadilan (outside the court) bukan sebagai alat bukti, sehingga tidak dapat
digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.28
Salah satu proses dalam pembuktian adalah pemeriksaan saksi.
Pengertian saksi menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, merumuskan
sebagai berikut:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.”
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi dalam pemeriksaan saksi
merupakan hal yang paling penting dalam persidangan suatu perkara pidana.
Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat
bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu
bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di
samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
28
M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 288.
28
Beberapa syarat sahnya keterangan saksi agar keterangan saksi
tersebut dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan
pembuktian, adalah sebagai berikut:
1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut rumusan
pasal tersebut, sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan
sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut
cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi
akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain
daripadaa yang sebenarnya.
Menurut rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya
sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan.
Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk
mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan.
Berkaitan dengan hal tersebut maka saat mengucapkan sumpah atau janji
pada prinsipnya wajib mengucapkan “sebelum” saksi memberikan
keterangan, akan tetapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan,
sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberikan
keterangan.29
Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau
janji,sudah ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
29
Ibid., hlm. 286.
29
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk
bersumpah atau berjanji sebagai mana dimaksud dalam Pasal
160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua
sudang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan
Negara paling lama empat belas hari.
(2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau
dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau
mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan
hakim.
2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah
keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka
27 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP jika dihubungkan
dengan bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka dapat diterik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya
dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar
pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu
peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai
sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai
kekuatan nilai pembuktian.
30
b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai
hasil pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan
ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti.
c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan
merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi
yang
bersifat
pendapat
atau
hasil
pemikiran
saksi,
harus
dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan
terdakwa.
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti,
keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan”.
Mengenai hal tersebut, keterangan saksi yang berisi penjelasan
tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, dan dialaminya
sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat
bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court)
31
bukan alat bukti, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa.
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Supaya keterangan saksi dapat dianggap dapat dianggap cukup
membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau
sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan
seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan haus
dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak Pasal 185 ayat (2)
KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya”.
Mengenai hal tersebut, keterangan seorang saksi saja belum dapat
dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
dakwa, atau “ unus testis nullus testis”.30 Hal tersebut berarti jika alat bukti
yang dikemukakan penuntut umum adalah kesaksian tunggal, maka
keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang
cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya.
Kembali lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hal
yang dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi.
30
Ibid., hlm. 288.
32
b. Jika saksi yang ada hanya seorang saja maka kesaksian tunggal itu
harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya, alat
bukti lainnya yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Sering terdapat kekeliruan pendapat orang yang beranggapan
dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu
telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Padahal pendapat yang
seperti itu adalah keliru. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang
banyak, jika keterangan para saksi berdiri sendiri tanpa adanya hubungan
antara yang satu dengan yang lainnya, yang dapat mewujudkan suatu
kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sndiri tentang
suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah, dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa. Sehingga
dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”.
Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan
beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai
kekuatan pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling
hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau
kejadian tertentu. Jika keterangan saksi yang banyak saling bertentangan
satu dengan yang lainnya, maka keterangan tersebut harus disingkirkan
33
menjadi alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum keterangan seperti itu
tidak mempunyai nilai pembuktian maupun kekuatan pembuktian.31
b. Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua
oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP,
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di depan
persidangan pengadilan”.
Pasal tersebut tidak menjawab apa itu yang disebut ahli dan keterangan
ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini. Pasal 343
Ned. Sv. Memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan keterangan
ahli sebagai berikut:
“Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan
yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai
pertimbangannya”.
Menurut Wirjono Prodjodikoro32 sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:
“Isi keterangan seorang saksi dan seorang ahli berbeda. Keterangan
seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan
keterangan seorang ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai
hal-hal yang sudah nyata ada dan mengambil kesimpulan dari hal-hal
itu.”
KUHAP membedakan keterangan seorang ahli dipersidangan sebagai
alat bukti “keterangan ahli”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 186 KUHAP
dengan keterangan seorang ahliyang diberikan secara tertulis di luar sidang
31
32
Ibid., hlm. 290.
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 274.
34
pengadilan sebagai alat bukti “surat”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 187
butir c KUHAP.33
c. Alat Bukti Surat
Pasal dalam KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat hanya
satu pasal yaitu Pasal 187 KUHAP yang terdiri dari empat ayat sebagai
berikut:
(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau dialami sendiri, dosertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangan itu;
(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan
yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan;
(3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang
diminta secara resmi daripadanya;
(4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
d. Alat Bukti Petunjuk
Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP merumuskan definisi petunjuk
sebagai berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Menurut KUHAP yang dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk
adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hal tersebut sesuai
33
Ibid., hlm. 274.
35
dengan ketentuan pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Jika dilihat Pasal 188 ayat
(3) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tercermin bahwa pada akhirnya
persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian menjadi sama
dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Disebut pengamatan oleh hakim
(eigen warrneming van de rechter) yaitu harus dilakukan selama sidang, apa
yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat
dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah
diketahui oleh umum.34
e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa
KUHAP dengan jelas mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai
alat bukti dalam Pasal 184 butir c. Pengertian keterangan terdakwa terdapat
pada ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa menyatakan di sidang
tentang perbuatanyang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri”.
Dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar.
34
Ibid., hlm. 278.
36
Ditinjau dari segi pengertian bahasa, jelas terasa terdapat perbedaan
makna antara pengakuan dan keterangan. Pada pengakuan, terasa benar
mengandung perntataan tentang apa yang dilakukan seseorang. Sedangkan
pada kata keterangan lebih bersifat suatu penjelasan akan apa yang telah
dilakukan seseorang. Berdasarkan ketentuan Pasal 189 KUHAP dapat
disimpulkan bahwa apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang
pengadilan, dan apa yang dinyatakan dan dijelaskan itu ialah tentang
perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang
berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana
yang sedang diperiksa.35
2. Teori Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun
hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang
didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan
alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah
maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Berbeda
dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.36
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada
beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan.
Sistem pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).37
35
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 319.
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 249.
37
Ibid.
36
37
Berkaitan dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,
ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu:
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara
Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)
Menurut teori ini pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat
pembuktian yang disebut undang-undang. Dikatakan secara positif karena
hanya didasarkan kepada undang-undang saja. Artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang,
maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga
teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).
Menurut D. Simons
38
sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam
bukunya, menyatakan sebagai berikut:
“Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
positif (positief wettellijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertiimbangan subyektif hakim secara ketat menurut peraturanperaturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu
berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana”.
Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut
di Indonesia. Pendapat Wirjono Prodjodikoro39 sebagaimana dikutip dalam
buku Andi Hamzah adalah sebagai berikut:
“Bagaimana hakim akan menetapkan kebenaran selain dengan cara
menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula
keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin
sekali adalah sesuai denan keyakinan masyarakat.”
38
39
Ibid., hlm. 251.
Ibid.
38
Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau conviction intime. Menurut sistem ini keyakinan hakim tidak
ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Untuk
membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alatalat bukti yang sah menurut undang-undang. Asal sudah dipenuhi syaratsyarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup untuk
menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu
(Conviction in Time)
Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian
menurut undang-undang secara positif, adalah teori pembuktian menurut
keyakinan hakim melulu. Teori ini disebut juga conviction intime.40 Disadari
bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu
membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin
terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Bertolak pangkal dari pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan
hakim melulu didasarkan pada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Menurut
Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian yang demikian pernah dianut di
Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini
40
Andi Hamzah. op. cit. hlm. 252.
39
katanya
memungkinkan
hakim
menyebut
apa
saja
yang
menjadi
keyakinannya.41
Berdasarkan teori ini hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang
terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan hakim belaka tanpa didukung oleh
alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari
tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa sudah cukup
terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa.
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (Laconviction Raisonnee)
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasar keyakinan hakim
sampai
batas tertentu
(Laconvictian Raisonee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan
seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan
kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive)
yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi
putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem atau teori
pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk
menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).42
Sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memeggang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,
faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in
41
42
Wirjono Prodjodikoro. Op Cit. hlm. 72.
Andi hamzah. Op. Cit. hlm. 253.
40
time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem
conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan
yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Selain itu keyakinan hakim
harus memiliki dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima
akal. Bukan semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian
alasan yang masuk akal.43
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif
Sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in
time.44
Menurut Wirjono Prodjodikoro45 sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:
“Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
(negatitief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan,
pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,
janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak
yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada aturan
yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam
melakukan peradilan.”
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara
ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang43
M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 278.
Ibid.
45
Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 257.
44
41
undang secara negatif “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem
yang saling bertolak belakang tersebut, terwujud suatu “sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif”. Rumusannya berbunyi salah tidaknya
seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakimyang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.46
Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidaknya
seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata. Atau
hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketetuan dan cara
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Seorang terdakwa baru bisa dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan
itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari uraian tersebut,
untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:
1.
Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang,
2.
Dan keyakinan hakim yang harus didasarkan atas cara dan dengan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang.47
46
47
M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 279.
Ibid.
42
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini
memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menetukan salah dan
tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara unsur tersebut.
Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung
keterbuktian kesalahan terdakwa.48 Misalnya ditinjau dari segi cara dan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup
terbukti, tetapi walaupun sudah cukup terbukti, hakim “tidak yakin” dengan
kesalahan terdakwa, dalam hal tersebut maka terdakwa tidak dapat dinyatakan
bersalah. Sebaliknya jika hakim benar-benar yakin akan kesalahan terdakwa
melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi keyakinan tersebut tidak
didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat bukti
yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti itupun terdakwa tidak
dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua unsur atau
komponen tersebut harus saling mendukung.49
3. Teori Pembuktian yang Dianut KUHAP
HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned. Sv. Yang lama dan yang baru,
semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang
negatif (negatief wettelijk).50 Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183
KUHAP, dahulu Pasal 394 HIR.
Pasal 183 KUHAP merumuskan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
48
Ibid.
Ibid.
50
Andi Hamzah. Op.Cit. hlm. 254.
49
43
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut mengantur untuk
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah,
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus
didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah
tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang
diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Dari pasal tersebut juga dapat
disimpulkan bahwa negara Indonesia menganut teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif.
Mengetahui alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183
KUHAP, yang ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal
mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya
keadilan dan kepastian hukum”. Pendapat ini dapat diambil dari makna
penjelasan Pasal 183 KUHAP. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut
pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian
yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah
sistem pembuktian menurut udang-undang secara negatif, demi tegaknya
44
keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum. Sistem pembuktian ini, terpadu
kesatuan pengabungan antara sistem conviction-in time dengan sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk stelsel).
Hakim dalam suatu pembuktian tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
dan diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 183 KUHAP
C. Penyidikan
1. Pengertian Penyidikan
Penyidikan merupakan salah satu bentuk proses dalam hukum acara
pidana. Penyidikan merupakan suati istilah yang dimaksudkan sejajar dengan
pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau
siasat (Malaysia).51
Pengertian penyidikan menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP, merumuskan
sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal atau menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Menurut de Pinto
52
sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah,
menyatakan sebagai berikut:
“Menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabatpejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka
51
52
Ibid. hlm. 120.
Ibid.
45
dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada
terjadi suatu pelanggaran hukum”.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan
jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan menbatasi hak-hak manusia.
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai
berikut 53:
a. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.
b. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik.
c. Pemeriksaan ditempat kejadian.
d. Pemanggilan tersangka atau terdakwa.
e. Penahanan sementara.
f. Penggeledahan.
g. Pemeriksaan atau interogasi.
h. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat).
i. Penyitaan.
j. Penyampingan perkara.
k. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada
penyidik untuk disempurnakan.
2. Kewenangan Penyidikan
Pengertian penyidik menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP,dirumuskan sebagai
berikut:
“Penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyelidikan.”
53
Ibid.
46
Berdasarkan isi pasal tersebut berarti dapat diketahui bahwa yang memiliki
kewenangan dalam proses penyidikan adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia dan pegawai negeri sipil yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan. Dengan demikian undang-undang telah menentukan
secara limitatif mengenai siapa yang memiliki wewenang melaksanakan proses
penyidikan.
Pasal 6 ayat (1) KUHAP menentukan dua macam badan yang dibebani
wewenang penyidikan, pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:
Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
Pasal 2A Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang merumuskan sebagai berikut:
(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a,
calon harus memenuhi persyaratan:
a. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan
paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
b. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
c. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal;
d. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
e. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
47
Pasal 3A Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menentukan pejabat pegawai negeri sipil
yang dapat menjadi penyidik, pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:
(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua)
tahun;
b. Berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;
c. Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang
setara;
d. Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;
e. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter pada rumah sakit pemerintah;
f. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit
bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan
g. Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai
dengan huruf f diajukan kepada Menteri oleh pimpinan kementerian
atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai
negeri sipil yang bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja
sama dengan instansi terkait.
Syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam peraturan pemerintah.
Kedudukan dan kepangkatan penyidik diselaraskan dan diseimbangkan dengan
kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan. Berkaitan
dengan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 10 (1) KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh kepala kepolisian Negara Republik
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana dalam ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
48
Penyidik pembantu dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
merumuskan sebagai berikut:
Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
b. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal;
c. bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi .
Mengenai kewenangan yang dimiliki oleh penyidik, di dalam KUHAP
sudah menentukan kewenangan-kewenangan penyidik, yaitu dalam Pasal 7 ayat
(1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. Memanggil orang untuk didengar atau diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
3. Berita Acara Penyidikan (BAP)
Sebagai bukti adanya proses penyidikan maka ada yang disebut dengan
Berita Acara Penyidikan (BAP). Berita acara penyidikan dibuat oleh penyidik
49
sebagai bukti adanya proses penyidikan. Berita acara penyidikan tersebut berisi
semua proses yang berjalan dalam melakukan penyidikan berisi mulai dari
keterangan para saksi sampai keterangan dari tersangka. Berita acara penyidikan
berfungsi sebagai syarat dalam mengajukan proses yang lebih lanjut yaitu proses
penuntutan oleh penuntut umum.
Ditinjau dari segi hukum, berita acara adalah “akta resmi”, yang
mempunyai nilai autentik. Autentifikasinya terletak pada cara dan bentuk
pembuatanya:
a. Dibuat oleh pejabat resmi yang berwenang untuk itu, yaitu penyidik.
b. Berita acara itu ditandatangani oleh penyidik dan pihak yang diperiksa.
c. Penyidik membuat berita acara berdasarkan sumpah jabatan atau keterangan
yang didapatkan diperoleh dibawah sumpah.
Autentifikasi berita acara ditinjau dari segi hukum adalah tulisan yang
berisi keterangan resmi dan sah, sepanjang keterangan itu tidak dapat dibuktikan
palsu atau dipalsukan. Keabsahan dan keresmiannya sangat penting melekat pada
berita acara, demi untuk kepastian hukum.
Ketentuan mengenai pembuatan berita acara penyidikan oleh penyidik
sudah dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai
berikut:
“Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi
ketentuan lain dalam undang-undang ini.”
D. Narkotika
1. Pengertian dan Jenis-jenis Narkotika
50
a. Pengertian Narkotika
Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang
dapat
menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi
orang-orang yang
menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh. Istilah narkotika
yang dipergunakan bukanlah “narcotics” pada farmacologie (farmasi), mwlainkan
sama artinya dengan “drug”, yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan
membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh pemakai,54 yaitu:
a. Mempengaruhi kesadaran;
b. Member dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia;
c. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa:
1) Penenang;
2) Perangsang (bukan rangsangan seks);
3) Menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara
khayalan dengan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan
tempat).
Pengertian narkotika menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika, merumuskan sebagai berikut:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
undang-undang ini.”
54
Taufik Makaro dkk. 2005. Tindak Pidana Narkotika. Bogor: Ghalia Indonesia. hlm. 17.
51
Menurut Sudarto55 sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam
bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:
“Perkataan narkotika berasal dari bahasa Yunani “Narke”, yang berarti
terbius sehingga tidak merasa apa-apa.”
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan obat-obatan
semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannya. Namun belakangan
diketahui pula bahwa zat-zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang
bias menimbulkan pemakai bergantung hidupnya terus menerus pada obat-obat
narkotika itu. Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang mungkin agak
panjang pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan, dan pengendalian guna
bisa disembuhkan.
b. Jenis-jenis Narkotika
Jenis-jenis narkotika digolongkan di dalam Pasal 6 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang merumuskan sebagai
berikut:
1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke
dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
55
Ibid.
52
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, rincian jenis-jenis narkotika secara
jelas dalam golongannya sudah tercantum dalam Lampiran I Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berikut ini adalah beberapa jenis-jenis dari narkotika:
a. Candu atau disebut juga dengan opium
Candu berasal dari jenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan Papaver
Somniferum, nama lain dari candu selain opium adalah madat. Candu ini
terbagi atas dua jenis, yaitu candu mentah dan candu matang. Untuk candu
mentah dapat ditemukan dalam kulit buah,daun, dan bagian-bagian lainnya
yang terbawa sewaktu pengumpulan getah yang mongering pada kulit buah,
bentuk candu mentah berupa adonan yang membeku seperti aspal lunak.
Sedangkan candu masak merupakan hasil olahan dari candu mentah.56
b. Heroin
Berasal dari tumbuhan Papaver Somniferum. Heroin disebut juga
dengan sebutan putau, zat ini sangat berbahaya bila dikonsumsi secara
berlebihan.
c. Ganja
Ganja berasal dari bunga dan daun-daun sejenis tumbuhan rumput bernama
Cannabis Sativa. Sebutan lain dari ganja yaitu mariyuana, sejenis mariyuana
adalah hashis yang dibuat dari damar tumbuhan Cannabis Sativa, efek dari
hashis lebih kuat dari pada ganja.
d. Metamfetamina
56
Ibid. hlm. 22.
53
Metamfetamina (metilamfetamina atau desoksiefedrin), disingkat met, dan
dikenal di Indonesia sebagai sabu-sabu. metamfetamina adalah obat
psikostimulansia dan simpatomimetik. Efek dari sabu yaitu menciptakan
kebahagiaan dan kenyamanan kepercayaan diri hiperaktif dan bertenaga. Zat
yang terkandung di dalam sabu-sabu
sangat berbahaya bagi tubuh dan
merusak organ, dan yang menjadikan sabu-sabu disebutkan menjadi narkoba.
2. Tindak Pidana Narkotika
Perkembangan kehidupan masyarakat memunculkan suatu permasalahanpermasalahan baru di dalam masyarakat itu sendiri. Permasalahan tersebut salah
satunya berkaitan dengan hukum. Zat-zat kimia alami ataupun buatan yang
dahulunya ditemukan untuk kepentingan medis sekarang disalahgunakan. Salah
satunya yaitu penyalahgunaan narkotika yang dapat menyebabkan rusaknya
generasi muda suatu bangsa. Pengaturan mengenai narkotika di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-undang
tersebut di samping mengatur penggunaan narkotika, menetapkan perbuatanperbuatan yang dilarang berhubungan dengan narkotika, yang bilamana dilakukan
merupakan
perbuatan
penyalahgunaan
narkotika
yang tergolong
tindak
kejahatan.57
Pengertian penyalahguna menurut Pasal 1 butir 15 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merumuskan sebagai berikut:
“Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum.”
57
Ibid. hlm. 28.
54
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai
berikut ini:
a. Penyalahgunaan atau melebihi dosis penggunaan narkotika.
b. Pengedaran narkotika.
Berkaitan dengan suatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional
maupun internasional.
c. Jual beli narkotika
Hal ini pada umumnya dilatabelakangi oleh motivasi mencari keuntungan
materiil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memiliki
kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen
dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari
150 pasal yang diatur dalam Undang-undang tersebut. Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika menggunakan pendekatan pidana untuk
melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika.
Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti
agar tidak terjadinya penggunaan narkotika.
Lebih jauh, ketentuan pidana dalam tindak pidana narkotika sebagaimana
yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika
sebagai berikut:
a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika.
Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam
beberapa pasal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
55
dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang
yang memang sebenarnya tidak mempunyai niat untuk melakukan tindak
pidana
narkotika,
baik
karena
adanya
paksaan,
desakan,
ataupun
ketidaktahuaan.
b. Penggunaan sistem pidana minimal. Penggunaan sistem ini dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memperkuat asumsi bahwa
Undang-undang
tersebut
memang
diberlakukan
untuk
memidanakan
masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal
juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan.
c. Kriminalisasi bagi orang tua dan masyarakat Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan ancaman hukuman pidana (6
bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang
menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur
’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur
tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang
dikonsumsi anaknya adalah narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menuntut agar
setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini
memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak
melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat
sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang
ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut
juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu
56
tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang
mendampingi komunitas pecandu narkotika.
Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak
diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan
narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak
singkronan antara delik formal dengan delik materiil.
d. Persamaan
hukuman
bagi
percobaan
dan
tindak
pidana
selesai
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyamakan
hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana
percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan
tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu
tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak
selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana
percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.
3. Unsur Tindak Pidana Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur
tentang penggunaan narkotika dan menetapkan perbuatan-perbuatan yang dilarang
berhubungan dengan narkotika. Salah satu perbuatan yang dilarang dalam
undang-undang tersebut adalah penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, yang merumuskan sebagai berikut:
1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
57
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim
wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54, Pasal 55, dan Pasal 103.
3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika,
Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Unsur-unsur tindak pidana narkotika untuk diri sendiri berdasarkan
ketentuan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Unsur Setiap Penyalahguna.
Berkaitan dengan hal ini, setiap penyalahguna dapat juga dikatakan
setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan
hukum. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 15 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berarti setiap orang tanpa
terkecuali, yang menggunakan narkotika tanpa ada izin dari instansi atau pihak
yang berwenang, telah memenuhi unsur “setiap penyalahguna”. Unsur setiap
penyalahguna atau setiap orang dalam pasal tersebut hanya ditujukan kepada
orang atau manusia. Selain itu unsur tersebut hanya ditujukan kepada orang
perorangan.
2. Unsur Menyalahgunakan Narkotika Golongan I, II, dan III.
Kata “menyalahgunakan” tidak didefinisikan secara jelas di dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Akan tetapi di
dalam pasal-pasal undang-undang tersebut telah dijelaskan mengenai
58
pengklasifikasian penggunaan narkotika. Seperti pada ketentuan Pasal 7 dan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang
mengklasifikasikan peruntukan narkotika golongan I.
Menyalahgunakan narkotika yang dimaksud dalam unsur ini adalah
menggunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Narkotika yang
dimaksud di dalam unsur tersebut yaitu narkotika golongan I, II, dan golongan
III. Golongan tersebut terdapat secara lengkap dalam Lampiran I UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menyalahgunakan
narkotika juga dapat diartikan menggunakan narkotika tidak sesuai dengan
peruntukannya. Peruntukan narkotika sudah terdapat dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Salah satunya
yaitu Pasal 9 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang
merumuskan sebagai berikut:
1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan tahunan Narkotika.
3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan
rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara
komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan
pengawasan Narkotika secara nasional.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan
tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal tersebut menjelaskan tentang salah satu peruntukan narkotika di
Indonesia. Apabila narkotika digunakan bertentangan dengan pasal tersebut
maka perbuatan tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
59
Apabila kedua unsur tersebut sudah terpenuhi, maka seseorang yang telah
memenuhi dua unsur tersebut dapat dikenakan pasal 127 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan dapat terancam pidana yang berbeda,
sesuai dengan golongan narkotika yang disalahgunakan untuk dirinya sendiri
tersebut.
60
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis
normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidahkaidah atau norma-norma dalam hukum positif.58
Penulisan ini digunakan dua pendekatan masalah yang meliputi
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui
keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum acara pidana di Indonesia.
Pendekatan kasus digunakan untuk memperoleh gambaran terhadap dampak
dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam paktik hukum, serta
menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam penerapan
hukum.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan
gambaran atau penjelasan secara konkrit tentang keadaan objek atau masalah yang
diteliti tanpa mengambil kesimpulan secara umum. Spesifikasi penelitian
58
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing. hlm. 295.
61
deskriptif menurut Soerjono Soekanto59 dalam bukunya Pengantar Penelitian
Hukum dijelaskan sebagai berikut :
“Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya
tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.”
C. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan hukum dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritif
artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan perundangundangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika,
serta
peraturan
perundang-undangan
lainnya
yang
dapat
mendukung dalam penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka di bidang
ilmu hukum seperti buku-buku literatur yang berkaitan dengan hukum acara
pidana.
59
Soerjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press. hlm. 10.
62
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari kamus hukum dan
ensiklopedia.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
kepustakaan, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran
terhadap bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, jurnal ilmiah,
dll).
E. Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara
sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan
yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara
keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
F. Metode Analisis Data
Menganalisis data yang diperoleh, dengan menggunakan metode analisis
normatif, yang merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan
hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori
hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum
diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta
yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses
silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution) terhadap permasalahannya.
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Duduk Perkara
a. Identitas Terdakwa
Nama Lengkap
: Khaerudin alias Rudin bin Suripto
Tempat Lahir
: Banyumas
Umur/Tanggal Lahir
: 45 Tahun / 17 September 1965
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan
Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Buruh
Pendidikan
: SMK (Tidak Tamat)
b. Perbuatan Terdakwa
Berawal pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 04.45 WIB,
terdakwa pergi ke Stasiun Purwokerto untuk menjemput saudara Intanto yang
habis pulang dari Jakarta untuk membeli Narkoba jenis sabu-sabu. Sewaktu
datang ternyata Intanto ditemani oleh Elkana Efraim Pangalila yang sebelumnya
terdakwa juga telah mengenal Elkana. Elkana pernah datang ke rumah terdakwa
sekitar bulan Mei 2010 dalam urusan jual beli ekstasi.
64
Terdakwa setelah bertemu dengan saudara Intanto dan Elkana, kemudian
mereka bertiga membeli sarapan terlebih dahulu dan kemudian menuju ke rumah
terdakwa. Sesampainya di rumah terdakwa, Intanto langsung pergi keluar untuk
membeli peralatan yang akan digunakan untuk memakai sabu-sabu diantaranya
berupa sedotan, pipet, dan bong yang dibuat dari botol bekas minuman kemasan.
Selanjutnya terdakwa dan Intanto langsung menyiapkan alat-alat tersebut yang
akan digunakan untuk mengkonsumsi sabu, sedangkan Elkana tidur disalah satu
kamar rumah terdakwa. Intanto mulai memasukan sabu-sabu ke dalam bong
kemudian mengkonsumsi sabu-sabu tersebut secara bergantian dengan terdakwa
sampai sebanyak tiga kali. Intanto menghubungi Didi Setiawan dan setelah Didi
datang, mereka bertiga bersama-sama mengkonsumsi sabu-sabu tersebut. Setelah
selesai mengkonsumsi sabu-sabu tersebut kemudian alat-alat yang digunakan
untuk mengkonsumsi sabu-sabu tersebut dibuang ke sebuah sungai yang berada
di belakang rumah terdakwa.
Masyarakat ada yang mengetahui perbuatan terdakwa dan temantemannya saat mengkonsumsi sabu-sabu, yang kemudian melaporkan kepada
petugas Polwil Banyumas. Susanto dan Wiwid Priambodo selaku anggota
Reskrim Polwil Banyumas langsung menuju rumah terdakwa. Setelah
mengumpulkan informasi dan melihat situasi di sekitar rumah terdakwa,
kemudian
Susanto
dan
Wiwid
Priambodo
melakukan
penangkapan,
penggledahan dan penyitaan di rumah terdakwa. Saat penggledahan ditemukan
barang bukti berupa satu buah tas pinggang warna biru berlogo B, satu buah tas
ransel berwarna hitam dan satu bungkus rokok sampoerna mild yang berisi
65
sepuluh batang rokok dan dua paket sabu-sabu. Kemudian terdakwa dan barang
bukti tersebut diamankan oleh pihak kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun
secara alternatif, yaitu sebagai berikut:
a. Dakwaan Pertama
Terdakwa pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB,
bertempat di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan
Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, yang merupakan daerah hukum
Pengadilan Negeri Purwokerto, tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto
didakwa telah melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Atau,
b. Dakwaan Kedua
Terdakwa pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB,
bertempat di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan
Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, yang
merupakan daerah hukum
Pengadilan Negeri Purwokerto, tanpa hak atau melawan hukum telah
menyalahgunakan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 127
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Atau,
66
c. Dakwaan Ketiga
Terdakwa pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB,
bertempat di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecamatan
Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, yang merupakan daerah hukum
Pengadilan Negeri Purwokerto, dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak
pidana sebagai dimaksud dalam Pasal 112, Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 131
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Pembuktian
Di persidangan hakim memeriksa beberapa alat bukti, yakni:
a. Keterangan Saksi
1. Saksi Susanto, S.H.
Saksi Susanto memberikan keterangan di bawah sumpah di depan
persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Saksi dalam persidangan menyatakan tidak kenal dan tidak ada
hubungan keluarga sedarah maupun semenda dengan terdakwa. Saksi juga
menyatakan sudah pernah diperiksa oleh Penyidik dan keterangan yang
diberikan benar dan saksi masih tetap pada keterangannya. Saksi adalah
seorang petugas Polisi, di mana pada hari rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar
pukul 10.00 WIB telah melakukan penangkapan terhadap seorang yang diduga
telah menyimpan atau memiliki sabu-sabu dan menggunakannya, yaitu
terdakwa, Elkana Efraim Pangalila bin Ferry Pangalila (terdakwa dalam
67
perkara lain) dan Didi Setiawan (tidak dijadikan tersangka sebab urine negatif)
di rumah terdakwa yang beralamat di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01
Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas. Penangkapan itu dapat
dilakukan karena sebelumnya sekitar pukul 08.00 WIB saksi mendapatkan
informasi melalui pesan singkat dari masyarakat bahwa di rumah terdakwa
sedang diadakan pesta narkoba, kemudian atas informasi tersebut saksi
bersama timnya yang dipimpim oleh Aiptu Subagyo langsung bergerak
kesasaran sesuai informasi yang didapat dan saat dilakukan penggrebekan
tersebut terdakwa sedang duduk bersama saksi Didi Setiawan dan Tanto
terlihat baru saja habis memakai sabu, sementara Elkana Efraim sedang tidur
di kamar belakang, lalu kemudian saksi bersama rekan saksi Wiwit melakukan
penangkapan terhadap terdakwa, Elkana Efraim, Didi Setiawan sedangkan
Tanto berhasil melarikan diri.
Saksi dan rekan melakukan pula penggeledahan di rumah terdakwa
dengan disaksikan istri terdakwa yaitu Sunarti dan ketua RT setempat yaitu
Hartono. Penggeledahan tersebut berhasil menemukan barang bukti berupa 1
buah tas pinggang warna biru hitam berlogo B, 1 buah tas ransel warna hitam
berisi baju, 1 bungkus rokok sampoerna mild yang berisi 10 batang rokok dan
2 paket serbuk kristal warna putih sabu-sabu. Menurut pengakuan terdakwa 2
(dua) paket sabu-sabu yang disimpan dalam tas kecil yang dibungkus dengan
rokok sampoerna mild tersebut asalnya dari Jakarta yang dibawa oleh Tanto
(DPO) dan Elkana Efraim ke Purwokerto atas suruhan Iwan untuk diberikan
kepada Tanto. Harga sabu-sabu di daerah Purwokerto lebih mahal dari pada di
68
Jakarta yaitu di Purwokerto sekitar Rp. 1.500.00,- sedangkan di Jakarta Rp.
1.300.000,-. Saksi mengetahui dan membenarkan barang bukti yang
diperlihatkan di persidangan;
2. Saksi Hartono
Saksi Hartono memberikan keterangan di bawah sumpah di depan
persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Saksi di dalam persidangan menyatakan tidak kenal dan tidak ada
hubungan keluarga, sedarah maupun semenda dengan terdakwa. Saksi adalah
ketua RT di lingkungan tempat tinggal terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01
RW 01 Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas. Saksi pernah
memberikan keterangan di hadapan penyidik dan masih tetap dengan
keterangannya. Pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB
pihak kepolisian telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa, Elkana
Efraim, dan saksi Didi, sedangkan Tanto melarikan diri di rumah terdakwa di
Kelurahan Teluk RT 01 RW 01 Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten
Banyumas. Saksi mengetahui kejadian tersebut karena saksi sebagai ketua RT
dimintai tolong oleh petugas kepolisian untuk menjadi saksi dalam
penggeledahan dan penyitaan di rumah terdakwa.
Pada saat penggledahan tersebut saksi melihat petugas berhasil
menemukan barang bukti berupa dua paket/plastik kecil yang berisi serbuk
putih yang diduga sabu-sabu dalam bungkus rokok sampoerna mild yang
disimpan dalam tas kecil warna biru hitam. Tas biru hitam tersebut ditemukan
oleh petugas kepolisian di kamar belakang rumah terdakwa di tempat
69
terdakwa tidur. Saksi menyatakan mengetahui dan membenarkan barang bukti
yang diperlihatkan di persidangan.
3. Saksi Wiwid Priambodo
Saksi Wiwid Priambodo memberikan keterangan di bawah sumpah di
depan persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Saksi dalam persidangan menyatakan tidak kenal dan tidak ada
hubungan keluarga, sedarah, maupun semenda dengan terdakwa. Saksi pernah
diperiksa oleh Penyidik dan keterangan yang diberikan benar dan saksi masih
tetap pada keterangannya. Saksi adalah petugas kepolisian yang bersama
rekannya yang lain dari Subbag Reskrim yaitu Subagyo, Susanto, Beny
Rudianto dan Ardi Widianto pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul
10.00 WIB telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa, Didi Setiawan
dan saksi Elkana Efraim Pangalila. Sementara Tanto berhasil melarikan diri di
rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01 Kecamatan Purwokerto
Selatan, Kabupaten Banyumas.
Penangkapan dilakukan karena sebelumnya sekitar pukul 08.00 WIB
mereka telah mendapatkan informasi melalui pesan singkat dari masyarakat
bahwa di rumah terdakwa sedang diadakan pesta narkoba, kemudian atas
informasi tersebut bersama timnya yang dipimpin oleh Aiptu Subagyo
bergerak ke sasaran sesuai dengan informasi yang didapat dan berhasil
menangkap terdakwa yang sedang duduk bersama Didi Setiawan dan Tanto
(melarikan diri) yang terlihat baru saja memakai sabu, serta Elkana Efraim
yang sedang tidur di kamar belakang di rumah terdakwa. Setelah dilakukan
70
penggledahan di rumah terdakwa berhasil ditemukan satu buah tas pinggang
warna biru hitam berlogo B, satu buah tas ransel warna hitam berisi baju, satu
bungkus rokok sampoerna mild yang berisi 10 batang rokok dang dua paket
serbuk kristal warna putih yang diduga sabu-sabu.
Menurut pengakuan Elkana Efraim, dua paket sabu-sabu yang
disimpan dalam tas kecil yang dibungkus dengan rokok sampoerna mild
tersebut asalnya dari Jakarata dan Tanto (DPO) dan saksi Elkana Efraim yang
membawanya ke Purwokerto atas suruhan Iwan dan rencananya akan dijual
oleh Tanto karena sabu-sabu di daerah Purwokerto lebih mahal dari pada di
Jakarta. Jika di Jakarta seharga Rp. 1.300.000,- , sedangkan di Purwokerto Rp.
1.500.00,-. Tanto mendapatkan sabu tersebut dari Iwan di Jakarta dan Elkana
Efraim yang disuruh oleh Iwan untuk mengantar sabu tersebut kepada Tanto
di rumah terdakwa. Pekerjaan Elkana Efraim adalah seniman dan tidak
mempunyai ijin untuk membawa dan menyerahkan sabu tersebut kepada
Tanto. Pada saat saksi datang ke rumah terdakwa untuk melakukan upaya
penangkapan posisinya ketika itu terdakwa, Tanto (melarikan diri) dan Didi
sedang berada di ruang depan televisi sedangkan Elkana Efraim tidur di kamar
belakang rumah terdakwa. Saksi mengetahui dan membenarkan barang bukti
yang diperlihatkan di persidangan.
4. Saksi Elkana Efraim bin Ferry Pangalila
Saksi Elkana Efraim bin Ferry Pangalila memberikan keterangan di
bawah sumpah di depan persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
71
Pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB saksi
bersama dengan terdakwa dan Didi Setiawan telah ditangkap oleh saksi
Susanto, Wiwid dan rekan-rekannya yang tergabung sebagai petugas Polisi
dari tim Subbag Reskrim Polwil Banyumas dalam suatu penggrebekaan di
rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01 Kecamatan Purwokerto
Selatan Kabupaten Banyumas. Pada saat petugas datang melakukan
penggrebekan di rumah terdakwa, saksi Didi Setiawan, dan Tanto (melarikan
diri) yang sedang mengobrol di ruang depan televisi, sedangkan saksi sendiri
tidur di kamar belakang.
Saksi
sebelum
tidur
sempat
melihat
terdakwa
dan
Tanto
mempersiapkan alat semacam bong untuk mengkonsumsi sabu, akan tetapi
saksi tidak tahu saat mereka mengkonsumsinya karena saksi tidur, dan inisiatif
memakai sabu tersebut setahu saksi datangnya dari Tanto. Saksi telah
mengenal terdakwa dua minggu sebelumnya yaitu pada sekitar bulan Mei
2010 di rumah terdakwa, ketika itu saksi dikenalkan oleh Tanto setelah saksi
memberikan paket ekstasi kepada tanto di sebuah hotel di Baturaden lalu saksi
diajak ke rumah terdakwa.
Kronologis kejadian menurut saksi adalah berawal pada hari Selasa 8
Juni 2010 sekitar pukul 20.00 WIB saksi bertemu dengan Tanto di terminal
bus Bekasi untuk menyerahkan barang (sabu-sabu) pesanannya, tetapi Tanto
tidak mau diserahkan di tempat itu. Tanto meminta saksi untuk membawa
barang tersebut sampai ke Purwokerto dan akan diberi imbalan, sehingga
kemudian sekitar pukul 21.00 WIB, saksi bersama Tanto berangkat ke
72
Purwokerto dengan menggunakan kereta api. Saksi dan Tanto sampai di
Purwokerto pagi hari, dan kemudian sudah dijemput oleh terdakwa di stasiun
kereta api, dan selanjutya dengan menggunakan sepeda motor berboncengan
bertiga pergi ke rumah terdakwa dan sempat mampir ke warung makan
membeli nasi bungkus kemudian dilanjutkan ke rumah terdakwa lagi.
Sesampai di rumah terdakwa, saksi langsung tidur di kamar belakang
terdakwa.
Pada saat petugas kepolisian menggerebek pada hari Rabu tanggal 9
Juni 2010 saksi sedang tidur dan sewaktu dilakukan penggledahan sabu-sabu
ditemukan di dalam kamar terdakwa, di tempat saksi tidur dalam bungkus
rokok sampoerna mild yang disimpan dalam tas kecil warna biru milik Tanto.
Sabu-sabu yang ditemukan di rumah terdakwa saksi yang membawa dari
Jakarta karena disuruh oleh iwan untuk diserahkan kepada Tanto. Saksi telah
dua kali mengantar barang terlarang tersebut itu kepada Tanto atas suruhan
Iwan, yaitu yang pertama berupa ekstasi sekitar bulan Mei tahun 2010 di
sebuah hotel di kawasan Baturaden dengan mendapatkan upah sebesar Rp
200.000,- sedangkan kedua pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 berupa sabusabu sebanyak dua paket yang saksi tidak tahu beratnya di rumah terdakwa
tersebut tetapi sebelum mendapatkan upah yang dijanjikan sebesar
Rp.300.000,- itu baru akan diberikan saat saksi akan pulang ke Jakarta.
Mengenai bagaimana prosesnya Tanto memesan narkotika kepada Iwan
tersebut saksi tidak tahu, yang saksi ketahui hanya bila ada pemesanan dari
73
Tanto pasti saksi yang disuruh mengantar oleh Iwan. Saksi mengetahui dan
membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan.
Keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) yang dibacakan di
depan persidangan:
5. Saksi Stefanus Dwi Yohanan, dalam Berita Acara Penyidikan memberikan
keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 06.30 WIB saksi
sedang tidur di rumah dan terbangun karena mendengar suara telepon dari
terdakwa, namun saksi tidak mengangkat panggilan tersebut. Sekitar jam
07.01 WIB saksi mendapat pesan singkat dari terdakwa yang isinya saksi
ditawari film baru dan bagus, maksud dari pada itu adalah “sabu-sabu”, dan
saksi balas pesan singkat terdakwa sekitar pukul 10.34 WIB dengan kata-kata
“tidak punya uang dan mungkin lusa saksi akan ke tempat terdakwa.
Sekitar pukul 12.00 WIB, saksi pergi ke Purwokerto untuk mencari
teman bernama saudara Aji, karena tidak ketemu saksi beristirahat di toko
Aroma Purwokerto. Pada saat itu pula saksi menelpon terdakwa untuk
memesan sabu-sabu sebanyak satu paket namun tidak diangkat oleh terdakwa,
dan yang datang adalah petugas Kepolisian. Kemudian saksi dibawa ke kantor
Polisi untuk dimintai keterangan. Saksi kenal dengan terdakwa sekitar bulan
November tahun 2009 bertempat di rumah terdakwa sendiri karena dikenalkan
oleh teman dengan keperluan untuk membeli sabu-sabu kepada terdakwa.
Setelah kejadian itu hampir sebulan sekali saksi membeli sabu-sabu kepada
terdakwa. Saksi pernah membeli sabu-sabu kepada terdakwa sebanyak tujuh
74
kali dengan jumlah masing-masing sebanyak satu paket dengan harga Rp.
1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah). Saksi mengetahui dari terdakwa
bahwa sabu-sabu yang terdakwa jual kepada saksi sebelumnya diperoleh
terdakwa dari orang di Kebumen.
6. Saksi Didi Setiawan bin Yanto Setiawan, dalam Berita Acara Penyidikan
memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pada hari rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 10.00 WIB saksi
bersama terdakwa ditangkap oleh petugas pada saat dilakukan penggrebekan
di rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01, Kecaman Purwokerto
Selatan, Kabupaten Banyumas. Saksi datang ke rumah terdakwa sekitar pukul
08.30 WIB karena sebelumnya sudah ditelepon oleh Tanto. Pada saat saksi
sampai di rumah terdakwa, saksi melihat terdakwa dan Tanto sedang duduk di
ruang tamu. Saksi ditawari oleh Tanto untuk menghisap sabu-sabu yang sudah
siap untuk dihisap karena sudah sudah dibakar di atas pipet kaca, kemudian
saksi menerima tawaran Tanto. Saksi menghisab sabu-sabu dengan
menggunakan bong yang dibuat dari botol kecil dimana pada tutupnya ditaruh
dua buah sedotan untuk menghisab sabu-sabu. Saksi tidak mengetahui pemilik
dari sabu-sabu dan bong yang sedang dikonsumsi tersebut, dan saksi juga
tidak mengetahui dari mana sabu-sabu itu berasal. Saksi menyatakan bahwa
saksi dan terdakwa tidak memiliki ijin pada waktu menggunakan sabu-sabu
tersebut.
b. Surat
75
Alat bukti surat pada perkara ini adalah Berita Acara Pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik dari Laboratorium Forensik Cabang Semarang Nomor
Lab: 650/KNF/VI/2010 tanggal 14 Juni 2010, yang menerangkan bahwa urine
milik terdakwa mengangdung Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I nomor
urut 61 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
c. Petunjuk
Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, merumuskan
pengertian petunjuk sebagai berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.”
Selanjutnya dalam ayat (2) nya menyatakan bahwa petunjuk dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan
ketentuan KUHAP tersebut di atas dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap
dalam pemeriksaan di persidangan baik dari keterangan para saksi maupun dari
keterangan terdakwa sendiri, maka telah terdapat adanya persesuaian keadaan
baik antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lainnya
maupun adanya persesuaian antara keterangan saksi dengan keterangaan
terdakwa serta persesuaian antara keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat
bukti surat yang ada. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP tersebut telah diperoleh alat bukti petunjuk yang
menandakan telah terjadinya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa
Khaerudin alias Rudin bin Suripto sebagai pelakunya.
76
d. Keterangan Terdakwa
Terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto, di persidangan memberikan
keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Terdakwa di dalam persidangan menyatakan mengerti dan tidak keberatan
atas dakwaan dari Penuntut Umum. Terdakwa dalam perkara yang sedang
disidangkan benar didampingi oleh seorang Penasihat Hukum. Terdakwa pernah
memberikan keterangan di hadapan Penyidik dan keterangan yang terdakwa
berikan tersebut sudah benar semua.
Pada hari Senin tanggal 7 Juni 2010 sekitar pukul 13.00 WIB terdakwa
mengantarkan saudara Intanto yang akan pergi ke Jakarta di Terminal Bus
Purwokerto. Pada hari Selasa 8 Juni 2010 sekitar pukul 11.00 WIB saudara
Intanto mengirim pesan singkat kepada terdakwa dengan menanyakan kepada
terdakwa, apakah terdakwa akan ikut untuk mentrasnfer uang untuk membeli
sabu-sabu atau tidak, dan kemudian dibalas oleh terdakwa tidak, karena terdakwa
tidak memiliki uang.
Pada hari Rabu tanggal 9 Juni 2010 sekitar pukul 04.45 WIB saudara
Intanto menelpon terdakwa dan meminta terdakwa untuk menjemputnya di
Stasiun Purwokerto. Kemudian terdakwa menuju stasiun dan setelah sekitar 10
menit kemudian saudara Intanto sampai di stasiun, dan ternyata datang bersama
dengan saksi Elkana. Terdakwa, Intanto dan Elkana bersama-sama berboncengan
bersepeda motor menuju ke rumah terdakwa di Kelurahan Teluk RT 01 RW 01,
Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, dan sebelumnya bertiga
sempat mampir untuk membeli sarapan. Setelah sampai kemudian mereka bertiga
77
sarapan. Setelah selesai sarapan kemudian Tanto pergi keluar dari rumah terdakwa
untuk membeli peralatan sabu-sabu sedangkan saksi Elkana tidur di kamar
belakang rumah terdakwa. Setengah jam kemudian Tanto kembali ke rumah
terdakwa dengan membawa minuman kemasan botol, 3 sedotan warna putih dan
pipet.
Tanto
dan
terdakwa
selanjutnya
menyiapkan
peralatan
untuk
mengkonsumsi sabu-sabu. Terdakwa bertugas untuk membuat bong dari botol
minuman kemasan dengan cara dilubangi kecil dengan gunting dan dimasukkan
dua buah sedotan, yang satu untuk disedot sedangkan yang lain untuk
disambungkan ke pipet. Tanto bertugas untuk membuat alat untuk membakar
dengan menggunakan korek api yang dibuka tutupnya dan disambungkan dengan
grenjeng rokok yang sudah digulung kecil dan selanjutnya diatur apinya agar
nyalanya kecil.
Ketika peralatan untuk mengkonsumsi sabu-sabu sudah siap, kemudian
terdakwa
dan
Tanto
mulai
menggunakan
sabu-sabu
tersebut
dengan
disedot/dihisap, dimana yang pertama memakai adalah Tanto kemudian barulah
terdakwa. Setelah terdakwa menghisap tiga kali hisapan saksi Didi Setiawan
datang ke rumah terdakwa setelah sebelumnya ditelpon oleh Tanto, kemudian
mereka bertiga secara bergantian memakai sabu tersebut. Setelah selesai memakai
sabu-sabu tersebut, kemudian peralatan berupa bong dibuang ke sungai oleh
terdakwa. Sungai tersebut berada tepat di belakang rumah terdakwa. Selanjutnya
petugas datang untuk menangkap terdakwa. Terdakwa menyatakan memang
sudah lama memakai sabu-sabu, dan memang benar pernah dihukum dalam
masalah narkoba pada tahun 2009 dengan hukuman selama satu tahun penjara.
78
e. Barang bukti
Barang bukti yang diajukan di persidangan dalam perkara ini adalah:
1. 1 (satu) buah tas pinggang warna biru berlogo B.
2. 1 (satu) buah tas ransel warna hitam berisi baju.
3. 1 (satu) bungkus rokok Sampoerna Mild berisi 10 batang rokok dan 2 (dua)
paket serbuk Kristal warna putih (satu paket sisa pemakaian).
4. 1 (satu) buah gunting.
5. 1 (satu) korek api warna kuning merk Tokai.
6. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine Khaerudin alias Rudin bin Suripto.
7. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine Elkana Efraim Pangalila.
8. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine Didi Setiawan bin Yanto Setiawan.
Barang bukti tersebut telah disita secara sah menurut hukum, oleh
karenanya dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian. Majelis hakim telah
memperhatikan pula barang bukti tersebut baik kapada para saksi maupun
kepada terdakwa, dimana mereka telah membenarkannya. Oleh karena itu,
berdasarkan ketentuan Pasal 181 jo Pasal 184 ayat (1) d jo Pasal 188 ayat (1) dan
(2) KUHAP merupakan alat bukti yang berupa petunjuk.
4. Tuntutan Penuntut Umum
Penuntut Umum dalam perkara Putusan nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt,
menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan
mengadili perkara memutuskan bahwa terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”, sebagaimana tertuang
79
dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Khaerudin
alias Rudin bin Suripto selama 2 (dua) tahun, dengan permintaan agar terdakwa
tetap ditahan.
5. Putusan Pengadilan
a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, berdasarkan keterangan para saksi dan keterangan terdakwa
yang saling bersesuaian, dihubungkan dengan alat bukti surat berupa Berita
Acara Labolatoris Kriminalistik dan barang bukti yang diajukan dalam perkara
ini, yang kemudian memunculkan fakta-fakta hukum dalam persidangan.
Rumusan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, mengandung dua unsur, yaitu:
1. Setiap Orang;
Menimbang, unsur “setiap orang” dalam perkara ini ditujukan kepada
orang perorangan, hal ini sesuai sebagaimana dari fakta-fakta di persidangan
bahwa yang diajukan oleh Penuntut Umum sebagai terdakwa dalam perkara ini
adalah Khaerudin alias Rudin bin Suripto, dan terdakwa tersebut dapat
mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri
(pertanggungjawaban
pribadi).
Terdakwa
di
dalam
persidangan
telah
membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan Penuntut
Umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini benar ditujukan kepada
terdakwa tersebut di atas, sehingga tidak salah orang (error in persona). Guna
menentukan apakah terdakwa dapat dikatakan sebagai orang yang melakukan
80
tindak pidana atau sebagai pelaku tindak pidana ini tentunya akan dibuktikan
dalam persidangan;
2. Menyalahgunakan Narkotika Golongan I.
Menimbang,
maksud
dari
“penyalahguna”
adalah
orang
yang
menyalahgunakan narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Sesuai faktafakta hukum dalam persidangan, terdakwa telah mengkonsumsi sabu-sabu
bersama Intanto alias Tanto dan Didi Setiawan bin Yanto Setiawan adalah milik
Tanto yang dibeli dari Jakarta, dan terdakwa mengkonsumsi sabu-sabu tersebut
atas ajakan Intanto. Sabu-sabu yang terdakwa konsumsi adalah termasuk
Narkotika Golongan I sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaaan Labolatoris
Kriminaistik. Narkotika tersebut dilarang untuk dikonsumsi.
Menimbang, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, majelis hakim
berpendapat unsur “Menyalahgunakan Narkotika Golongan I” ini telah terpenuhi.
Unsur dari Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tetang
Narkotika telah terpenuhi, maka perbuatan terdakwa telah terdbukti secara sah
dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam
dakwaan kedua Penuntut Umum yang kualifikasinya akan dirumuskan dalam
amar putusan. Oleh karena dalam perkara ini tidak memenuhi persyaratan yang
ditentukan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 04 Tahun 2010, maka
majelis hakim tidak menempatkan terdakwa dalam rehabilitasi medis maupun
rehabilitasi sosial.
Menimbang, majelis hakim selanjutnya mempertimbangkan apakah
terhadap pribadi dan perbuatan terdakwa ada alasan penghapus atau peniadaan
81
pidana baik alasan pemaaf atau alasan pembenar, sehingga berakibat dapat atau
tidaknya terdakwa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Alasan pemaaf
(schuld uitsluitings gronden) adalah bersifat subyektif dan melekat pada diri
terdakwa/pelaku, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan
berbuat, dan telah diatur dalam Pasal 44 ayat (1),48, 49 ayat (2), dan 51 ayat (2)
KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak menemukan keadaankeadaan sebagaimana ketentuan pasal-pasal di atas, sehingga terdakwa
dikategorikan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Menimbang, berkaitan dengan alasan pembenar (rechtvaardingungs
gronden) adalah bersifat obyektif dan melekat pada perbuatan atau hal-hal lain di
luar batin pembuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1), 50, dan Pasal 51
ayat (1) KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak menemukan
fakta-fakta yang membuktikan adanya keadaan-keadaan yang dirumuskan dalam
pasal-pasal tersebut di atas, sehingga tidak menghilangkan/menghapuskan sifat
melawan hukum dari perbuatan terdakwa. Pada saat persidangan juga tidak
ditemukan alasan-alasan penghapus pidana terhadap terdakwa, maka terdakwa
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan telah terpenuhi syarat-syarat
penjatuhan pidana terhadap terdakwa;
Menimbang, majelis hakim sebelum menjatuhkan pidana pada diri
terdakwa tersebut, telah memperlihatkan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari
terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta hal-hal yang memberatkan dan
82
hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 197
ayat (1) KUHP;
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka
memberantas penyalahgunaan narkotika;
- Perbuatan terdakwa dapat dan berpotensi merusak generasi muda sebagai
harapan bangsa;
- Terdakwa sudah pernah dihukum dalam perkara narkotika;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa berlaku sopan di persidangan dan berterus terang sehingga
memperlancar proses persidangan;
- Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi
perbuatan melawan hukum, sebagai wujud niat baik terdakwa;
- Terdakwa mempunyai tanggungjawab nafkah atas keluarga;
Oleh karenanya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa telah setimpal
dengan perbuatan dan berat serta sifat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa,
serta telah sesuai dengan rasa keadilan, baik keadilan hukum (legal justice)
maupun keadilan masyarakat (social justice), sehingga dengan pidana yang
dijatuhkan kepada terdakwa diharapkan akan menimbulkan efek jera (deterrent
effect) khususnya bagi terdakwa.
b. Amar Putusan
83
1. Menyatakan terdakwa Khaeruddin alias Rudin bin Suripto telah terbukti
secara
sah
dan
menyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
“menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara
selama 1 tahun 6 bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa akan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan;
5. Memerintahkan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) buah gunting warna hitam;
b. 1 (satu) buah korek api warna kuning merk tokai;
c. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine milik terdakwa Khaerudin alias
Rudin bin Suripto;
Dirampas untuk dimusnahkan;
d. 1 (satu) bungkus sampoerna mild berisi sepuluh batang rokok dan dua
paket sabu-sabu;
e. 1 (satu) buah tas pinggang warna biru berlogo B;
f. 1 (satu) buah tas ransel berwarna hitam berisi baju;
g. 1 (satu) tube plastik berisi urine milik Elkana Efraim Pangalila;
h. 1 (satu) tube plastik berisi urine Didi Setiawan bn Yanto Setiawan;
Dikembalikan kepada penuntut umum untuk dijadikan barang bukti
dalam perkara atas nama Elkana Efraim Pangalila bin Fery Pangalila;
84
6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
1.000,- (seribu rupiah)
Putusan tersebut diputuskan dalam Rapat Musyawarah Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Purwokerto pada hari Jumat, tanggal 29 Oktober 2010, oleh:
SOHE, S.H. M.H., sebagai Hakim Ketua Majelis, dengan ELLY TRI
PANGESTUTI, S.H., dan JULI HANDAYANI, S.H. M.H., masing-masing
sebagai Hakim Anggota. Putusan diucapkan pada hari Kamis, tanggal 4
Nopember 2010 oleh Hakim Ketua Majelis di atas, dengan didampingi hakimhakim anggota, dalam sidang yang terbuka untuk umum, dibantu oleh WAHID
HASYIM, S.H., sebagai Panitera pengganti pada Pengadilan Negeri tersebut
serta dihadiri AGUS FIKRI, S.H., Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Purwokerto dan terdakwa dengan didampingi penasihat hukumnya.
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil
penelitian
tentang
Putusan
Nomor
108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, maka dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi dalam Berita Acara Penyidikan
Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Sidang Pengadilan pada Perkara
Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.
Berkaitan dengan pembuktian di pengadilan, salah satu proses dalam
pembuktian adalah pemeriksaan saksi. Pengertian saksi menurut ketentuan Pasal
1 butir 26 KUHAP, merumuskan sebagai berikut:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
85
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang
sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.”
Pasal 160 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan
tidak lain dari pada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah itu merupakan syarat
mutlak.60
Agar keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu
harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan
penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian keterangan saksi yang
berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, atau
dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru bernilai sebagai alat
bukti apabila keterangan saksi itu dinyatakan di sidang pengadilan.
Beberapa syarat sahnya keterangan saksi agar keterangan saksi tersebut
dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian,
adalah sebagai berikut:
60
Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta:
Sinar Grafika., hlm 263.
86
6. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut rumusan
pasal tersebut, sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan
sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut cara
agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang
sebenarnya.
Menurut rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah
atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan. Akan tetapi
pada Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan
sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Berkaitan dengan hal
tersebut maka saat mengucapkan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib
mengucapkan “sebelum” saksi memberikan keterangan, akan tetapi dalam hal
yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan
“sesudah” saksi memberikan keterangan.61
Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji,sudah
ditentukan dalam Pasal 161 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
(3) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk
bersumpah atau berjanji sebagai mana dimaksud dalam Pasal 160
ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang
dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling
lama empat belas hari.
(4) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan
saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji,
maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang
dapat menguatkan keyakinan hakim.
61
Ibid., hlm. 286.
87
7. Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan
yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia liat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 KUHAP jika dihubungkan dengan
bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
d. Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam
peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya
dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar
pendengaran, pengelihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu
peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai
alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai
pembuktian.
e. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil
pendengaran dari orang lain, “tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti”.
Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa
yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
88
f. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan
merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal
185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang
bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari
pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
8. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti,
keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan
sebagai berikut:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan”.
Mengenai hal tersebut, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang
apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri, dan dialaminya sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila
keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang
dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti,
sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
9. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan
terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua
alat bukti. Dengan demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai
sebagai satu alat bukti saja dan haus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya.
Bertitik tolak Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
89
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Mengenai hal tersebut, keterangan seorang saksi saja belum dapat
dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, atau “ unus testis nullus testis”.62 Hal tersebut berarti jika alat bukti
yang dikemukakan penuntut umum adalah kesaksian tunggal, maka keterangan
yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Kembali lagi pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP, dan berdasarkan hal
yang dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
c. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi.
d. Jika saksi yang ada hanya seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus
dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya, alat bukti
lainnya yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
10. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Sering terdapat kekeliruan pendapat orang yang beranggapan dengan
adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup
membuktikan kesalahan terdakwa. Padahal pendapat yang seperti itu adalah
keliru. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika keterangan
para saksi berdiri sendiri tanpa adanya hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau
62
Ibid., hlm. 288.
90
keadaan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4)
KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang
sah, dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa. Sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”.
Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan beberapa
orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan
pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling hubungan
serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian
tertentu. Jika keterangan saksi yang banyak saling bertentangan satu dengan
yang lainnya, maka keterangan tersebut harus disingkirkan menjadi alat bukti,
sebab ditinjau dari segi hukum keterangan seperti itu tidak mempunyai nilai
pembuktian maupun kekuatan pembuktian.63
Dikaitkan dengan keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang
dibacakan oleh penuntut umum di persidangan pada Putusan Perkara Nomor
108/Pid,Sus/2010/PN.Pwt, bahwa menurut ketentuan Pasal 116 KUHAP
pemeriksaan saksi pada tingkat penyidikan tidak disumpah terlebih dahulu.
Begitu pula dengan keterangan saksi dalam perkara tersebut di atas yang tidak
disumpah terlebih dahulu. Pasal 116 ayat (1) KUHAP merumuskan sebagai
berikut:
“Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila cukup alasan
untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di
pengadilan”.
63
Ibid., hlm. 290.
91
Keterangan saksi dalam berita acara penyidikan boleh dibacakan dalam
persidangan, ketika saksi yang bersangkutan tidak dapat hadir dalam persidangan
dengan memberikan alasan yang sah dan dapat diterima. Keterangan saksi yang
dibacakan dalam persidangan perkara tersebut yaitu keterangan dari saksi
Stefanus Dwi Yohanan dan saksi Didi Setiawan bin Yanto Setiawan. Ketentuan
mengenai hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 162 ayat (1)
KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
“Jika saksi sudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal
dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau
tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau
karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara , maka
keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan”.
Berkaitan dengan perkara tersebut di atas, kemudian apakah majelis
hakim terikat terhadap keterangan saksi yang dibacakan dalam persidangan
tersebut. Keterangan saksi yang seperti itu termasuk ke dalam alat bukti ataukah
tidak. Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang merumuskan sebagai
berikut:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.”
Menurut pasal tersebut maka keterangan saksi dalam berita acara
penyidikan yang dibacakan di sidang pengadilan bukan merupakan alat bukti
menurut KUHAP. Namun, jika keterangan saksi yang dibacakan tersebut pada
saat memberikan keterangan ditingkat penyidikan disumpah terlebih dahulu,
maka keterangan saksi tersebut dapat dipersamakan nilainya dengan keterangan
saksi yang disampaikan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal
162 ayat (2) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:
92
“Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka
keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah
sumpah yang diucapkan di sidang.”
Keterangan saksi yang dibacakan dalam perkara di atas, pada saat
memberikan keterangan di tingkat penyidikan saksi tidak disumpah terlebih
dahulu. Jadi keterangan saksi tersebut tidak diberikan di bawah sumpah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (2) di atas, maka keterangan saksi dalam
perkara tersebut tidak dapat dipersamakan nilainya dengan keterangan saksi yang
diucapkan di sidang pengadilan di bawah sumpah. Dengan demikian kekuatan
pembuktian keterangan saksi yang dibacakan tersebut tidak sama dengan
kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disampaikan di sidang pengadilan di
bawah sumpah. Kedudukan keterangan saksi yang dibacakan tersebut juga tidak
memiliki kekuatan sebagai alat bukti. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal
185 ayat (1) KUHAP, yang sudah dijelaskan di atas.
Keterangan saksi yang tidak disumpah memang bukan merupakan alat
bukti, tetapi apabila keterangan tersebut memiliki kesesuaian dengan keterangan
dari saksi yang disumpah dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah
lainnya. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, yang
merumuskan sebagai berikut:
“Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu
sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lain.”
Pasal tersebut jika dikaitkan dengan keterangan saksi yang dibacakan di
sidang pengadilan pada perkara nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, maka
keterangan yang dibacakan tersebut dapat sebagai tambahan alat bukti yang sah
93
lainnya dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tersebut. Dengan syarat bahwa
keterangan saksi yang dibacakan tersebut memiliki kesesuaian dengan
keterangan saksi lainnya yang memberikan keterangan di bawah sumpah. Hal
tersebut menunjukkan bahwa keterangan saksi yang dibacakan di depan
persidangan dapat menjadi salah satu tambahan alat bukti yang dapat
menguatkan keyakinan hakim dalam suatu pembuktian tindak pidana, dalam
perkara ini tindak pidana narkotika. Tambahan alat bukti tersebut tentunya hanya
sebagai pelengkap dalam pemeriksaan dipengadilan, maksudnya adalah harus
sudah memenuhi minimal alat bukti pembuktian dalam hukum acara pidana,
yang juga sudah ditentukan di dalam KUHAP yaitu pada Pasal 183 KUHAP.
Berkaitan dengan perkara tersebut, saksi yang telah memberikan
keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata
kemudian ”tidak dapat dihadirkan” dalam persidangan dengan alasan yang sah
dan dapat diterima. Kemudian keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara
penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Keterangan saksi dalam perkara
tersebut yang dibacakan adalah keterangan dari saksi Stefanus Dwi Yohanan dan
saksi Didi Setiawan bin Yanto Setiawan. Jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal
162 ayat (2) dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, nilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang
pengadilan, sekurang-kurangnya dapat “dipersamakan” dengan keterangan saksi
yang diberikan di persidangan pengadilan tanpa sumpah. 64 Jadi, sifatnya tetap
64
Op Cit. hlm. 292.
94
tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat
padanya adalah:
I.
Keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan dalam
persidangan
tersebut
dapat
diperguanakan
untuk
“menguatkan”
keyakinan hakim,
II.
Keterangan saksi
yang dibacakan tersebut dapat bernilai dan
dipergunakan sebagai “tambahan alat bukti” yang sah lainnya, sepanjang
keterangan saksi yang dibacakan mempunyai “saling kesesuaian”
dengan alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah
memenuhi batas minimum pembuktian. Hal tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP.
2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Nomor
108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, tentang Tindak Pidana Narkotika.
Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting di dalam
pemeriksaan sidang suatu perkara. Pembuktian menurut M. Yahya Harahap 65
sebagai berikut:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan.”
Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara didasarkan
atas pertimbangan-pertimbangan hukum yang muncul di dalam persidangan.
Pertimbangan hukum hakim tersebut muncul dari fakta-fakta hukum yang
65
Ibid.. hlm. 273.
95
muncul di persidangan dan mendasarkan pada alat-alat bukti yang diajukan
dalam persidangan. Semua hal tersebut muncul dalam proses pemeriksaan
khususnya pada saat pembuktian.
Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan memenuhi syarat minimal
pembuktian yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan adanya
keyakinan hakim. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP,
yang merumuskan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut mengantur untuk
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
c. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah. Jika pada saat pembuktian alat bukti yang sah kurang dari dua alat
bukti, maka majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada seorang
terdakwa.
d. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
majelis hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak
pidana. Apabila dengan dua alat bukti yang sah tersebut mejelis hakim
tidak memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak
pidana yang didakwakan, maka dengan demikian majelis hakim juga tidak
96
dapat menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa, walaupun sudah
memenuhi dua alat bukti.
Berkaitan dengan alat bukti yang sah sudah ditentukan secara limitatif
yaitu sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alatalat bukti adalah:
f.
g.
h.
i.
j.
Keterangan Saksi;
Keterangan Ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan Terdakwa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
tersebut di atas, maka hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap suatu perkara
sudah ditentukan bahwa harus sukurang-kurangnya mendasarkan dengan dua
alat bukti yang sah, dan dengan dua alat bukti yang sah tersebut hakim
memperoleh keyakinan bahwa seorang terdakwa telah bersalah melakukan
tindak pidana. Apabila hakim dengan dua alat bukti yang sah tersebut tidak
memperoleh keyakinan bahwa seorang terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana, maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
tersebut. Alat bukti yang sah tersebut sudah ditentukan secara limitatif oleh
undang-undang, sehingga hakim tidak dapat secara bebas menentukan alat bukti
di luar yang sudah ditentukan oleh undang-undang.
Berkaitan dengan Putusan Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, bahwa
pertimbangan-pertimbangan hukum hakim didasarkan atas beberapa alat bukti
sebagai berikut:
1. Keterangan saksi
97
Saksi
yang
dihadirkan
dalam
persidangan
Perkara
Nomor
108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, sebanyak 4 orang saksi, yaitu saksi Susanto, saksi
Hartono, saksi Wiwit Priambodo, dan saksi Elkana Efraim Pangalila. Selain
keterangan saksi yang disampaikan di persidangan, ada juga keterangan saksi
di dalam berita acara penyidikan yang dibacakan oleh penuntut umum di
depan persidangan atas persetujuan terdakwa dan majelis hakim. Keterangan
saksi tersebut dibacakan karena saksi tidak dapat hadir dalam persidangan
dengan alasan yang sah dan dapat diterima. Walaupun keterangannya hanya
dibacakan di depan persidangan, akan tetapi keterangan tersebut memiliki
kesesuaian dan mendukung dengan keterangan saksi yang disampaikan
dipersidangan, sehingga dapat juga menjadi salah satu pertimbangan hakim,
walaupun sifatnya tidak mengikat. Keterangan saksi yang disampaikan di
depan persidangan antara saksi yang satu dengan saksi yang lain pun juga
saling bersesuaian dan saling mendukung sehingga keterangan para saksi
dapat dipergunakan sebagai salah satu dasar pertimbangaan hukum hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Khaerudin alias Rudin bin
Suripto.
2. Surat
Alat bukti surat dalam perkara ini adalah Berita Acara Pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik dari Laboratorium Forensik Cabang Semarang
Nomor Lab : 650/KNF/VI/2010 tanggal 14 Juni 2010, yang menerangkan
bahwa urine milik terdakwa mengandung Metamfetamina yang terdaftar
98
dalam Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Petunjuk
Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, merumuskan
pengertian petunjuk sebagai berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Selanjutnya dalam ayat (2) nya menyatakan bahwa petunjuk dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan
ketentuan KUHAP tersebut diatas dikaitkan dengan fakta-fakta yang
terungkap dalam pemeriksaan di persidangan baik dari keterangan para saksi
maupun dari keterangan terdakwa sendiri, maka telah terdapat adanya
persesuaian keadaan baik antara keterangan saksi yang satu dengan
keterangan saksi yang lainnya maupun adanya persesuaian antara keterangan
saksi dengan keterangaan terdakwa serta persesuaian antara keterangan saksi,
keterangan terdakwa dan alat bukti surat yang ada. Oleh karena itu,
berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut telah
diperoleh alat bukti petunjuk yang menandakan telah terjadinya tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto
sebagai pelakunya.
4. Keterangan Terdakwa
Terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto dalam persidangan juga
memberikan keterangan berkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan
99
kepadanya. Terdakwa dalam perkara ini mengakui bahwa telah melakukan
salah satu tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum kepadanya.
Keterangan terdakwa juga memiliki kesesuaian dengan keterangan para saksi.
Hal tersebut dapat digunakan oleh hakim sebagai salah satu pertimbangan
dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
Selain alat bukti tersebut di atas majelis hakim juga memiliki
pertimbangan-pertimbangan non yuridis yaitu hal-hal yang meringankan dan
hal-hal yang memberatkan. Sebelum menjatuhkan pidana pada diri terdakwa
tersebut, majelis hakim akan memperlihatkan sifat yang baik dan sifat yang
jahat dari terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta hal-hal yang
memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa sesuai dengan
ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHP;
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka
memberantas penyalahgunaan narkotika;
- Perbuatan terdakwa dapat dan berpotensi merusak generasi muda sebagai
harapan bangsa;
- Terdakwa sudah pernah dihukum dalam perkara narkotika;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa berlaku sopan dipersidangan dan berterus terang sehingga
memperlancar proses persidangan;
100
- Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi
perbuatan melawan hukum, sebagai wujud niat baik terdakwa;
- Terdakwa mempunyai tanggungjawab nafkah atas keluarga;
Oleh karenanya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa telah setimpal
dengan perbuatan dan berat serta sifat kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa,
serta telah sesuai dengan rasa keadilan, baik keadilan hukum (legal justice)
maupun keadilan masyarakat (social justice), sehingga dengan pidana yang
dijatuhkan kepada terdakwa diharapkan akan menimbulkan efek jera (deterrent
effect) khususnya bagi terdakwa.
Terdakwa dalam perkara ini dituntut dengan tuntutan Pasal 127 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal tersebut
mengandung dua unsur-unsur yang harus terpenuhi agar seorang terdakwa dapat
dipidanakan dengan menggunakan pasal tersebut. Jika dilihat dari unsur-unsur
Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
tersebut, maka berdasarkan fakta-fakta yang muncul dipersidangan, hakim
memiliki pertimbangan hukum terhadap unsur-unsur pasal tersebut sebagai
berikut:
1. Setiap Orang;
Unsur “setiap orang” dalam perkara ini ditujukan kepada orang
perorangan, hal ini sesuai sebagaimana dari fakta-fakta di persidangan
bahwa yang diajukan oleh Penuntut Umum sebagai terdakwa dalam perkara
ini adalah Khaerudin alias Rudin bin Suripto, dan terdakwa tersebut dapat
mempertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang dilakukannya sendiri
101
(pertanggungjawaban pribadi). Terdakwa di dalam persidangan telah
membenarkan identitas dirinya sebagaimana termuat dalam dakwaan
Penuntut Umum, sehingga orang yang dimaksud dalam perkara ini benar
ditujukan kepada terdakwa tersebut di atas, sehingga tidak salah orang
(error in persona). Untuk menentukan apakah terdakwa dapat dikatakan
sebagai orang yang melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku tindak
pidana ini tentunya akan dibuktikan dalam persidangan.
2. Menyalahgunakan Narkotika Golongan I.
Maksud dari “penyalahguna” adalah orang yang menyalahgunakan
narkotika tanpa hak dan atau melawan hukum. Sesuai fakta-fakta hukum
dalam persidangan, terdakwa telah mengkonsumsi sabu-sabu bersama
Intanto alias Tanto dan Didi Setiawan bin Yanto Setiawan adalah milik
Tanto yang dibeli dari Jakarta, dan terdakwa mengkonsumsi sabu-sabu
tersebut atas ajakan Intanto. Sabu-sabu yang terdakwa konsumsi adalah
termasuk Narkotika Golongan I sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaaan
Labolatoris Kriminaistik. Narkotika tersebut dilarang untuk dikonsumsi.
Berdasarkan
pertimbangan
hukum
di
atas,
majelis
hakim
berpendapat unsur “Menyalahgunakan Narkotika Golongan I” ini telah
terpenuhi. Unsur dari Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tetang Narkotika telah terpenuhi, maka perbuatan terdakwa telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dalam dakwaan kedua Penuntut Umum yang kualifikasinya
akan dirumuskan dalam amar putusan. Di samping itu dalam perkara ini
102
tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Surat Edaran Mahkamah
Agung RI Nomor 04 Tahun 2010, maka majelis hakim tidak menempatkan
terdakwa dalam rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Selain pertimbangan pertimbangan majelis hakim di atas, masih ada
pertimbangan yang lainnya yaitu majelis hakim akan mempertimbangkan
berkaitan dengan pribadi dan perbuatan terdakwa ada alasan penghapus atau
peniadaan pidana baik alasan pemaaf atau alasan pembenar, yang akan berakibat
terhadap
dapat
atau
tidaknya
terdakwa
mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
Pertimbangan majelis hakim berkaitan dengan alasan pemaaf. Alasan
pemaaf (schuld uitsluitings gronden) adalah bersifat subyektif dan melekat pada
diri terdakwa/pelaku, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat
akan berbuat, dan telah diatur dalam Pasal 44 ayat (1),48, 49 ayat (2), dan 51
ayat (2) KUHP. Selama proses persidangan majelis hakim tidak menemukan
keadaan-keadaan sebagaimana ketentuan pasal-pasal di atas, sehingga terdakwa
dikategorikan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pertimbangan majelis hakim berkaitan dengan alasan pembenar. Alasan
pembenar (rechtvaardingungs gronden) adalah bersifat obyektif dan melekat
pada perbuatan atau hal-hal lain di luar batin pembuat, sebagaimana diatur
dalam Pasal 49 ayat (1), 50, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Selama proses
persidangan majelis hakim tidak menemukan fakta-fakta yang membuktikan
adanya keadaan-keadaan yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas,
103
sehingga tidak menghilangkan/menghapuskan sifat melawan hukum dari
perbuatan terdakwa.
Majelis hakim memberi pertimbangan, karena pada saat dipersidangan
tidak ditemukan alasan-alasan penghapus pidana terhadap terdakwa Khaerudin
alias Rudin bin Suripto, maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya, dan telah terpenuhi syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap
terdakwa.
Berdasarkan semua pertimbangan-pertimbangan majelis hakim di atas,
maka majelis hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Khaeruddin alias Rudin bin Suripto telah terbukti
secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri”;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut di atas dengan pidana
penjara selama 1 tahun 6 bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan;Memerintahkan barang bukti
berupa :
a. 1 (satu) buah gunting warna hitam;
b. 1 (satu) buah korek api warna kuning merk tokai;
c. 1 (satu) buah tube plastik berisi urine milik terdakwa Khaerudin alias
Rudin bin Suripto;
Dirampas untuk dimusnahkan;
104
d. 1 (satu) bungkus sampoerna mild berisi sepuluh batang rokok dan dua
paket sabu-sabu;
e. 1 (satu) buah tas pinggang warna biru berlogo B;
f. 1 (satu) buah tas ransel berwarna hitam berisi baju;
g. 1 (satu) tube plastik berisi urine milik Elkana Efraim Pangalila;
h. 1 (satu) tube plastik berisi urine Didi Setiawan bn Yanto Setiawan;
Dikembalikan kepada penuntut umum untuk dijadikan barang bukti
dalam perkara atas nama Elkana Efraim Pangalila bin Fery Pangalila;
5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Perkara nomor 108/
Pid.Sus/2010/PN.Pwt. tersebut telah mendasarkan pada fakta-fakta yuridis dan
non yuridis yang ada dalam persidangan, dan mendasarkan pada alat-alat bukti
yang sah yang diajukan dalam persidangan. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan hakim tersebut, perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal
127 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
sehingga terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan
tindak pidana penyalahgunaan narkotika Golongan I bagi diri sendiri.
105
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam berita acara penyidikan (BAP)
terhadap tindak pidana narkotika di sidang pengadilan, pada putusan nomor
108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt.
Saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan
penyidikan dengan tidak disumpah dalam BAP, ternyata kemudian ”tidak
dapat dihadirkan” dalam persidangan dengan alasan yang sah dan dapat
diterima. Kemudian keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara
penyidikan tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan. Keterangan saksi
yang dibacakan dalam perkara tersebut adalah keterangan dari saksi Stefanus
Dwi Yohanan dan saksi Didi Setiawan bin Yanto Setiawan. Jika bertitik tolak
dari ketentuan Pasal 162 ayat (2) dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7)
KUHAP, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang
dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat “dipersamakan”
dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan pengadilan tanpa
sumpah. Jadi, sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan
pembuktian yang melekat padanya adalah:
106
a. Keterangan saksi dalam berita acara penyidikan yang dibacakan dalam
persidangan
tersebut
dapat
diperguanakan
untuk
“menguatkan”
keyakinan hakim.
b. Keterangan
saksi
yang dibacakan tersebut
dapat
bernilai
dan
dipergunakan sebagai “tambahan alat bukti” yang sah lainnya, sepanjang
keterangan saksi yang dibacakan mempunyai “saling kesesuaian” dengan
alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi
batas minimum pembuktian. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal
185 ayat (7) KUHAP.
2. Pertimbangan-pertimbangan hukum hakim yang digunakan sebagai dasar
untuk
menjatuhkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor
108/Pid.Sus/2010/PN.Pwt tentang perkara tindak pidana narkotika.
Hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut telah mendasarkan pada
fakta-fakta yuridis dan non yuridis yang ada dalam persidangan, dan
mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang diajukan dalam persidangan.
Alat bukti tersebut antara lain keterangan saksi, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim,
perbuatan terdakwa Khaerudin alias Rudin bin Suripto telah memenuhi
rumusan Pasal 127 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, sehingga terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika
golongan I bagi diri sendiri, dan kemudian dijatuhi pidana penjara selama 1
(satu) tahun 6 (enam) bulan.
107
B. Saran
1. Penuntut Umum diharapkan lebih teliti kembali pada saat menerima berkas
dari penyidik berkaitan dengan pemeriksaan saksi pada tingkat penyidikan.
Terutama berkaitan dengan dapat diduganya saksi tidak dapat hadir dalam
persidangan,
sehingga
apabila
hal
tersebut
terjadi,
penyidik
dapat
memerintahkan agar saksi tersebut untuk memberikan keterangan di hadapan
penyidik di bawah sumpah.
2. Hakim pada saat menjatuhkan suatu putusan diharapkan agar lebih teliti dalam
mempertimbangkan semua alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan,
serta fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan baik yuridis maupun non
yuridis.
108
Daftar Pustaka
Buku Literatur:
Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
_______. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
Makaro, Taufik dkk. 2005. Tindak Pidana Narkotika. Bogor: Ghalia Indonesia.
Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian hukum, Jakarta: Kencana.
Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara
Pidana dan Penegakan Hukum Pidana. Yogjakarta: Liberty.
Salam, Moch. Faisal.2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek.
Bandung: Mandar Maju.
Soekanto, Soerjono 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sunarso, Siswanto. 2004. Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian
Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutarto, Suryono. 1987. Sari Hukum Acara Pidana I. Jakarat: Yayasan Cendikia
Purna Dharma.
Wisnubroto, AL. 2002. Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara
Pidana. Jakarta. Galaxy Puspa Mega.
Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
109
________, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
________,Undang-Undang
Kehakiman.
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
________, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Download