BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian dan Ketentuan Umum Perjanjian Kerjasama 1. Pengertian perjanjian Menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukan dengan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi kegiatan bisnis yang atau sedang berjalan tersebut. Perangkat hukum tersebutlah yang disebut dengan perjanjian. Kegiatan perjanjian yang dilakukan karena adanya kepentingan, tujuan dan kebutuhan para pihak, pada intinya diartikan sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Pengaturan tentang perjanjian, terdapat pada buku III KUHPerdata, yang terdiri dari atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum terdiri dari empat (IV) bab, dan bagian khusus terdiri dari lima belas (XV) bab.Bab II diatur ketentuan umum mengenai persetujuan sedangkan ketentuan khusus diatur dalam bab V s/d XVIII ditambah bab VII A. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Buku III KUHPerdata tidak memberikan suatu rumusan dari perikatan, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut pengertian bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut.13 13 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni Edisi Kedua, Cetakan I, 1996), hal. 1. 13 Universitas Sumatera Utara 14 Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata, disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seorang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya, yang disebut perikatan.14 Menurut Setiawan15 rumusan Pasal 1313 KUHPerdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja, sangat luas karena dengan digunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai defenisi tersebut, ialah : a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Menurut Salim H.S. perjanjian adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan 14 I.G. Rai Widjaya., Merancang Suatu Kontrak (Contact Drafting), Kesaint Blanc, Jakarta, 2008, hal.21. 15 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Jakarta: Bina Cipta, 1987), hal. 49. Universitas Sumatera Utara 15 yang telah disepakinya.16 Menurut Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai harta kekayaan harta benda) antara dua orang atau lebih, yang memberikan hak kepada satu pihak untuk menuntut kebendaan dari pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 17 Pengertian ini membatasi perikatan hanya pada aspek hukum harta kekayaan (vermogenrecht). Hal ini untuk membedakan pengertian perikatan dalam lapangan hukum keluarga. Antara suami istri jelas terdapat perikatan menurut hukum, tetapi bukanlah perikatan dalam pengertian yang dimaksudkan dalam bagian ini. Sumber utama dari suatu perikatan adalah perjanjian yang dibuat secara sah. Perjanjian itu sendiri dalam KUHPerdata diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.18 Bila kita perhatikan defenisi tersebut, maka akan diperoleh kesan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan satu pihak. Abdulkadir Muhammad secara lebih lugas menyatakan bahwa defenisi tersebut mengandung kelemahankelemahan.19 Kelemahan pertama, rumusan itu menunjukkan hanya ada perbuatan sepihak. Seharusnya rumusan “mengikatkan diri” diganti menjadi “saling mengikatkan diri” agar tampak adanya hubungan timbal balik. Kelemahan kedua, kata perbuatan mempunyai pengertian yang terlampau luas, termasuk perbuatan melawan hukum dan tindakan tanpa kuasa (zaakwarneming). Kelemahan ketiga, perjanjian yang dimaksud dapat mencakup pula perjanjian perkawinan yang masuk ke dalam lapangan hukum keluarga. Kelemahan keempat, rumusan Pasal tersebut tidak menyebutkan apa tujuan dari pihak-pihak yang mengadakan 16 Salim H.S. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 27 17 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1980),., hal. 123. 18 Pasal 1313 KUHPerdata 19 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung: Alumni, 1982), hal. 78-79. Universitas Sumatera Utara 16 perjanjian.Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, Abdulkadir mengusulkan suatu rumusan yang lain, yaitu: “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Menurut sistem hukum perdata di Indonesia tidak dikenal istilah hukum kontrak. Hukum perdata mengenal istilah hukum perikatan dan hukum perjanjian.20 Hukum perikatan menunjuk pada suatu hubungan hukum yang tidak semata-mata diakibatkan karena perjanjian. Misalnya, dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad), hubungan hak dan kewajiban antara orang yang dirugikan dengan pelaku perbuatan melawan hukum tidak disebabkan karena perjanjian, melainkan karena undang-undang menetapkan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum harus membayar ganti kerugian yang terjadi karenanya.21 Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, hubungan hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para pihak, sebagai akibat dari persetujuan yang dicapai oleh para pihak, dan sebagai akibat perintah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja ataupun tidak, serta dari suatu peristiwa hukum, atau bahkan dari suatu keadaan hukum. Peristiwa hukum yang melahirkan perikatan misalnya tampak dalam putusan pengadilan yang bersifat menghukum atau kematian yang mewariskan harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya.22Hubungan hukum dalam perikatan ini melibatkan dua orang atau lebih, yang merupakan para pihak dalam perikatan. Pihak-pihak dalam perikatan 20 R. Subekti, Ibid, hal. 122. Pasal 1365 KUHPerdata. 22 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 18. 21 Universitas Sumatera Utara 17 tersebut sekurangnya terdiri dari dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiabn pada satu sisi, (yaitu debitur) dan pihak yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut pada sisi lain ( yaitu kreditur). Tidak mungkin lahir suatu perikatan yang hanya terdiri dari satu pihak saja, meskipun dalam pihak tersebut terdapat lebih dari satu orang, hal ini adalah konsekuensi logis dari sifat perikatan itu sendiri yang melahirkan kewajiban pada pihak pada pihak yang satu dalam perikatan. Kewajiban pada satu pihak, meskipun tidak disebutkan secara langsung dalam sebagian besar ketentuan KUHPerdata, dapat melahirkan atau menciptakan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut. 2. Ketentuan umum perjanjian a. Syarat sahnya perjanjian Sebuah perjanjian yang telah memenuhi syarat dan sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui undang-undang, harus dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri, cakap membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.23 Keempat syarat ini biasa juga disingkat dengan dengan sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal. Dua syarat pertama dari keempat syarat tersebut disebut dengan syarat subjektif, yang apabila tidak terpenuhi dua syarat ini maka konsekuensi hukumnya adalah perjanjian dapat dibatalkan (vernietigebaar). Artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya. Adapun syarat ketiga dan 23 Mohd Syaufi Syamsuddin., Perjanjian-perjanjian Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Saran Bhakti Persada, 2005), hal. 6. Universitas Sumatera Utara 18 keempat disebut dengan syarat objektif, dimana apabila tidak terjadinya syarat tersebut maka perjanjian batal demi hukum. Artinya perjanjian itu dianggap tidak ada. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Syarat pertama sahnya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan karena kehendak itu dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan : a. bahasa yang sempurna dan tertulis b. bahasa yang sempurna secara lisan c. bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. d. bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan e. diam atau membisu tetaapi asal dipahami atau diterima pihak lawan Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna di kala timbul sengketa di kemudian hari. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam KUHPerdata yakni yang disebut cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak (Pasal 1321 KUHPerdata) : 1) Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan/dwaling (Pasal 1322 KUHPerdata) Universitas Sumatera Utara 19 2) Paksaan/dwang (Pasal 1323-1327 KUHPerdata) 3) Penipuan (Pasal 1328 KUHPerdata) Perjanjian itu dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal tersebut di atas. Dalam perkembangannya muncul unsur cacat kehendak yang keempat yaitu penyalahgunaan keadaan/ Undue Influence (KUHPerdata tidak mengenal). 2. Cakap membuat perjanjian Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orangorang yang cakap dan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.24Menurut KUHPerdata disebutkan adanya 3 (tiga) kelompok orang yang tergolong tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah seperti dimaksud dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu : a. orang-orang yang belum dewasa b. orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan; dan c. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undangundang, dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Khusus untuk golongan ketiga, orang-orang perempuan yang telah bersuami, kenyataannya sekarang ini dalam praktik sudah tidak berlaku lagi. Hal ini dapat dilihat dari sikap Mahkamah Agung (MA) dengan surat edarannya Nomor 03/1963 tanggal 4 Agustus 1963, yang menjelaskan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan 24 Salim H.S., Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU) (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal. 10. Universitas Sumatera Utara 20 hukum dan menghadap di pengadilan tanpa izin dan bantuan dari suaminya sudah tidak berlaku lagi. Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata). Dalam hal ini undang-undang beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan (perjanjian) apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Jadi, pada prinsipnya semua orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang. 3. Suatu hal tertentu Suatu objek perjanjian haruslah jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini di dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga dan tidak berbuat sesuatu.Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti: menghitung, menimbang, mengukur dan menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak. Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga.” 4. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir agar suatu perjanjian sah. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (kausa yang halal). Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Universitas Sumatera Utara 21 undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.25 Mengenai syarat ini, Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian. Jadi yang dimaksudkan dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. b. Asas-asas perjanjian Mengenai prinsip-prinsip atau asas-asas perjanjian diatur dalam KUHPerdata, yang setidaknya terdapat 5 asas yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum, asas itikad baik dan asas kepribadian. 1. Asas kebebasan berkontrak Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan. Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang artinya kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya :26 a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. bebas menentukian isi atau klausul perjanjian; d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan 25 Ibid., hal. 11 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 14 26 Universitas Sumatera Utara 22 e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat meyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap PasalPasal tertentu yang bersifat memaksan. 2. Asas konsensualisme Asas konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya kontrak atau perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak tersebut belum dilaksanakan pada saat itu Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.27Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku tehadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak berlaku. 3. Asas kepastian hukum Asas ini mengandung arti bahwa setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 27 Ibid., hal 3. Universitas Sumatera Utara 23 Menurut Pasal tersebut, hukum mengakui bahwa suatu perjanjian mempunyai kekuatan hukum layaknya undang-undang, namun terbatas hanya mengikat para pihak yang menandatanganinya. Pihak ketiga diluar para pihak tidak terikat pada kontrak tersebut meskipun pihak ketiga itu disebutkan namanya di dalam kontrak; kecuali pihak ketiga tersebut ikut menandatangani perjanjian tersebut sebagai bentuk persetujuan. Oleh karena berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang membuatnya, perjanjian ini tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari salah satu pihak. Para pihak harus menaati apa yang telah mereka sepakati bersama. Apabila salah satu pihak melanggar perjanjian yang telah disetujui bersama, maka pihak lainnya dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak lawannya. 4. Asas itikad baik Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik berarti keadaan batin para pihak untuk melaksanakan perjanjian secara jujur, terbuka dan saling percaya. Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.28 5. Asas kepribadian 28 Salim H.S. Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding MoU), Op.cit. hal. 11 Universitas Sumatera Utara 24 Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi “ Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunya: “perjanjian hanya berlaku antarpihak yang membuatnya.” Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan pada Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.29 Jika dibandingkan kedua Pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan : 1. dirinya sendiri, 2. ahli warisnya; dan 3. orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. 6. Unsur-unsur perjanjian Kontrak lahir jika disepakati tentang hal pokok atau unsur esensial dalam suatu kontrak. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain unsur 29 Ibid. hal. 13. Universitas Sumatera Utara 25 yang essensial masih dikenal unsur lain dalam suatu kontrak. Menurut Asse dalam perjanjian terdiri bagian inti (essensialia) dan bagian bukan inti (naturalia dan accidentalia). 1. Unsur essensialia Unsur essensialia merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur essensialia ini maka tidak ada kontrak. Unsur ini sangat erat kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) dan untuk mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya. Sebagai contoh, dalam perjanjian jual-beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam perjanjian jual beli, perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan. 2. Unsur naturalia Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undangundang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undangundang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjiakan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUHPerdata bahwa penjual yang harus menanggung cacat tersembunyi.30 3. Unsur accidentalia Unsur accidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar 30 Ahmadi Miru., Op.cit hal. 32 Universitas Sumatera Utara 26 utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur esensial dalam suatu kontrak tersebut. B. Subjek dan Objek Perjanjian Subekti menggunakan istilah personalia dalam perikatan untuk membahas mengenai subjek dan objek perikatan, yaitu tentang pihak-pihak yang terkait dalam suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1315 KUHPerdata, pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau dirinya sendiri. Asas tersebut dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian. Mengikatkan diri, artinya memikul kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, sedangkan meminta ditetapkan suatu janji, artinya pihak lain memperoleh hak atas sesuatu yang akibatnya dapat menuntut sesuatu atas pihak lain. Secara absolute perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang-orang yang mengadakan perjanjian dan tidak mengikat orang lain yang tidak termasuk ke dalam perjanjian. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak dan kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan perjanjian tersebut tidak terbebani dalam ikatan hukum, kecuali secara sengaja melibatkan diri dalam perjanjian melalui surat kuasa. 31 1. Subjek perjanjian Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang 31 Firman Floranta Adonara., Aspek-aspek Hukum Perjanjian (Bandung: Mandar Maju, 2014) hal. 11 Universitas Sumatera Utara 27 untuk melakukan kontrak. Terjadinya kontrak disebabkan oleh adanya hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih manusia atau badan hukum sebagai subjek hukum. Subjek hukum adalah setiap pihak yang menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam melakukan hubungan hukum. Dengan demikian pembuat dan pelaksana suatu kontrak minimal dua subjek hukum yang berhadapan yang menduduki tempat yang berbeda. Kedua subjek hukum tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang setara dalam kontrak yang mereka sepakati, yaitu satu pihak berkewajiban melaksanakan prestasi dan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan prestasi. M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa menurut teori dan praktik hukum kontrak, subjek hukum kontrak terdiri dari : a. Individu sebagai person yang bersangkutan, yaitu : 1) Natuuralijke person atau manusia; 2) Recht person atau badan hukum; b. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu; c. Persoon yang dapat diganti yaitu berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam kontrak, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur/debitur baru Setiap subjek hukum yang mengadakan kontrak haruslah memenuhi persyaratan hukum tertentu, supaya kontrak tersebut mengikat, misalnya subjek hukum orang haruslah sudah dewasa, sedangkan subjek hukum badan hukum haruslah memenuhi persyaratan hukum formal suatu badan hukum. Dalam hal yang merupakan pihak dalam kontrak adalah badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, maka yang mewakili badan usaha tersebut tergantung dari bentuk Universitas Sumatera Utara 28 badan usahanya, kalau yang merupakan pihak adalah persekutuan firma (Fa), secara hukum setiap anggota sekutu berhak mewakili firma tersebut, kecuali kalau para sekutu itu sendiri menentukan lain, sedangkan dalam persekutuan komanditer (CV) yang berhak mewakili persekutuan tersebut dalam membuat kontrak adalah para sekutu pengurusnya.32 Apabila yang melakukan kontrak adalah badan hukum, yang mewakili adalah siapa yang ditentukan dalam undang-undang untuk mewakili badan hukum tersebut atau siapa yang ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut. 2. Objek perjanjian Setiap perikatan yang dibuat melalui perjanjian menimbulkan dua akibat hukum, yaitu kewajiban (obligations) yang ditanggung oleh suatu pihak dan hak atau manfaat yang diperoleh oleh pihak lain, yaitu hak untuk menuntut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian tersebut. 33 Hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu yang dimaksudkan disebut dengan prestasi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi yang diperjanjikan itu ialah untuk menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Memberikan sesuatu (te geven), sesuai dengan ketentuan Pasal 1235 KUHPerdata, berarti suatu kewajiban untuk menyerahkan atau melever (levering) benda. Tetapi perjanjian untuk menyerahkan bukan semata-mata yang berwujud benda nyata saja, maupun jenis dan jumlah benda tertentu. Dalam perjanjian memberikan sesuatu (te geven) termasuk kedalamnya kenikmatan (genot) dari suatu barang. Seperti dalam perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 32 33 Ahmadi Miru., Op.cit hal. 8. Firman Floranta Adonara.,Loc.cit. Universitas Sumatera Utara 29 1550 KUHPerdata. Penyewa wajib menyerahkan (te geven) barang sewa kepada si penyewa. Yang diserahkan disini bukan hak kebendaannya tetapi pemakaian untuk dinikmati dengan aman. Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu : a. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi objek perjanjian. b. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis. Dalam perikatan yang objeknya “berbuat sesuatu”, debitor wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan menyita jaminan, membongkar bangunan, mendirikan , melelang jaminan dan sebagainya. Dalam melakukan perbuatan tersebut, debitor tidak bebas melakukannya, tetapi diatur oleh berbagai kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian. Artinya, debitor harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan dan bertanggungjawab apabila terdapat perbuatan yang menyimpang dari ketentuan perikatan.34 Prestasi lainnya adalah “tidak berbuat sesuatu”, artinya debitor bersikap pasif karena telah ditetapkan dalam perikatan. Apabila debitor melakukan perbuatan tertentu yang seharusnya tidak diperbuat, ia dinyatakan telah melanggar perikatan, misalnya debitor tidak boleh menggunakan uang hasil pinjamannya untuk kegiatan yang besrifat konsumtif dan pemborosan.35 Objek perjanjian memerlukan beberapa syarat, yaitu :36 34 Ibid., hal. 58 Ibid. hal 59 36 Mohd Syaufi Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial(Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), hal. 6. 35 Universitas Sumatera Utara 30 1) Tertentu atau dapat ditentukan, artinya terjadinya perjanjian karena adanya suatu objek tertentu atau dapat ditentukan. Hanya perjanjian dengan objek yang dapat ditentukan diakui sah; 2) Objeknya diperkenankan, perjanjian tidak akan menimbulkan perjanjian jika objeknya bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaa; 3) Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan secara objektif dan subjektif. Secara objektif, setiap orang mengetahui bahwa prestasi mungkin dilaksanakan dan karenanya kreditur dapat mengharapkan pemenuhan prestasi tersebut. Pada ketidakmungkinan objektif tidak akan timbul perjanjian. Pada ketidakmungkinan objektif, tidak akan timbul perikatan, sedangkan pada ketidakmungkinan subjektif bisa saat terjadinya perikatan. Prestasi pada ketidakmungkinan objektif tidak dapat dilaksanakan oleh siapa pun, misalnya prestasinya berupa perbuatan debitor terbang ke langit tanpa pesawat. Pada ketidakmungkinan subjektif, hanya debitor yang bersangkutan yang tidak dapat melaksanakannya prestasinya, misalnya seorang tuna wicara harus berceramah di dapan para audience. Perbedaan antara ketidakmungkinan objektif dan ketidakmungkinan subjektif terletak pada pemikiran bahwa dalam hal ketidakmungkinan pada contoh pertama, setiap orang mengetahui bahwa prestasi tidak mungkin dilaksanakan. Adapun dalam contoh kedua, ketidakmungkinan itu hanya diketahui oleh debitor yang bersangkutan.Pada dasarnya, prestasi yang mungkin atau tidak mungkin dilaksanakan sangat bergantung pada pengamatan kreditur sebelum melaksanakan perikatan dengan debitor. Universitas Sumatera Utara 31 C. Akibat, Wanprestasi dan Berakhirnya Perjanjian 1. Akibat perjanjian Menurut Pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat dismpulkan adanya asas kebebasam berkontrak, akan tetapi kebebasan ini di batasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karema alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik oleh para pihak.37 Istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata hanya perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama. Istilah secara sah artinya adalah bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang sah menimbulkan suatu akibat yakni perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali dengan sepakat antara kedua belah pihak. 2. Wanprestrasi Terjadinya wanprestasi senantiasa diawali dengan hubungan kontraktual. Kontrak dibuat sebagai instrumen yang secara khusus mengatur hubungan hukum antara kepentingan yang bersifat privat dan perdata khususnya dalam pembuatan kontrak.38 Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif 37 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan (Penerbit Fakultas Hukum USU: Medan, 1974) hal 166. 38 Yahman.,Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan(Jakarta: Prenadamedia Group, 2014),hal.51. Universitas Sumatera Utara 32 dan sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya hingga muncul prestiwa yang disebut sebagai wanprestasi.39 Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa : a. sama sekali tidak memenuhi prestasi b. prestasi yang dilakukan tidak sempurna c. terlambat memenuhi prestasi d. melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan. 40 Pada umumnya wanprestasi baru terjadi setelah adanya pernyataan lalai (inmorastelling;ingeberekestelling) dari pihak kreditur kepada debitur. Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditur. Menurut undang-undang, peringatan (somatie) kreditur mengenai lalainya debitur harus dituangkan dalam bentuk tertulis (vide Pasal 1238 KUHPerdata).41 Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah : 39 Agus Yudha Hernoko.,Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial(Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hal.260. 40 Ahmadi Miru., Op.Cit. hal. 74. 41 Agus Yudha Hernoko.,Op.Cit. hal,261 Universitas Sumatera Utara 33 1) untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn); 2) debitur menolak pemenuhan; 3) debitur mengakui kelalaiannya; 4) pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar overmacht); 5) pemenuhan tidak lagi berarti (zinloos); dan 6) debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya. Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dilaksanakan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.” 3. Berakhirnya perjanjian Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang sesuatu hal. Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi, sedangkan debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Sesuatu hal di sini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak, bisa jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa dan lain-lain.42 R. setiawan berpendapat bahwa hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin masih tetap ada. Contoh pada 42 Salim H.S., Op.Cit. hal. 163 Universitas Sumatera Utara 34 perjanjian jual-beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan tentang pembayaran menjadi hapus, sedangkan perjanjiannya belum karena perikatan tentang penyerahan barang belum dilaksanakan. Dapat juga terjadi bahwa perjanjiannya sendiri telah berakhir (hapus), tetapi perikatannya masih ada, misalnya dalam sewa-menyewa, dimana perjanjian sewa-menyewanya sudah berakhir tetapi perikatannya untuk membayar uang sewa belum berakhir karena belum dibayar. Walaupun pada umumnya jika perjanjian hapus maka perikatannya pun hapus, begitu juga sebaliknya. 43 Hapusnya perikatan menurut Pasal 1381 KUHPerdata ialah : a. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUHPerdata) b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/ penitipan (Pasal 1404-1412 KUHPerdata) c. Novasi/pembaharuan hutang Pasal 1413-1424 KUHPerdata) d. Perjumpaan hutang/ kompensasi (Pasal 1425-1435 KUHPerdata) e. Konfisio/ percampuran hutang (Pasal 1436-1437 KUHPerdata) f. Pembebasan hutang (Pasal 1438-1443 KUHPerdata) g. Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444-1445 KUHPerdata) h. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUHPerdata) i. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUHPerdata) j. Lewatnya waktu/ kadaluwarsa (Pasal 1946-1993 Bab VII Buku IV KUHPerdata) Pada Pasal 1381 KUHPerdata mengatur berbagai cara hapusnya perikatanperikatan untuk perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang dan cara43 Handri Raharjo.,Hukum Perjanjian di Indonesia(Jakarta: Pustaka Yustisia,2009) hal. 95. Universitas Sumatera Utara 35 cara yang ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan. Cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUHPerdata itu tidaklah lengkap, karena tidak mengatur misalnya hapusnya perikatan karena meninggalnya seorang dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu pihak saja.44 Lima cara pertama yang tersebut di dalam Pasal 1381 KUHPerdata menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam cara keenam yaitu pembebasan utang, maka kreditur tidak menerima prestasi, bahkan sebaliknya, yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Pada keempat cara terakhir dari Pasal 1381 KUHPerdata maka kreditur tidak menerima prestasi, karena perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah gugur. Untuk mengetahui di manakah pengaturan dari berlakunya suatu syarat batal. sebagai salah satu cara hapusnya perikatan maka kita harus melihat kepada Bab I KUHPerdata yaitu berturut-turut Pasal 1253 dan seterusnya Pasal 1266 KUHPerdata.45 44 Mariam Darus., Sutan Remy., Heru Soeprapto. dkk., Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001) hal. 115 45 Ibid. hal 116 Universitas Sumatera Utara