4 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Output FTIR Plot bilangan gelombang yang disajikan pada Gambar 2 menunjukkan bahwa bilangan gelombang untuk seluruh informasi bilangan gelombang (model 1) berada pada selang 3996.27 cm-1 sampai dengan 399.24 cm-1, sedangkan bilangan gelombang untuk informasi bilangan gelombang pada daerah sidik jari (model 2) berada pada selang 1758.98cm-1 dan 399.24 cm-1. sampai dengan 2839.05cm-1 dan pada selang bilangan gelom-bang 1758.98cm-1 dan 1488.96 cm-1. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya sesepora cemaran yang mempengaruhi contoh tanaman obat (Harborne 1987). Berbeda dengan output FTIR pada kunyit dan bangle, pada output FTIR temulawak yang disajikan pada Lampiran 5 tidak terlihat adanya contoh temulawak yang memiliki persentase nilai absorban yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan contoh temulawak yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada sesepora cemaran yang mempengaruhi tanaman obat temulawak. Gambar 2. Plot bilangan gelombang dan persentase nilai absorban pada kunyit Pada Gambar 2 juga terlihat bahwa terdapat satu contoh kunyit yang memiliki persentase nilai absorban lebih tinggi jika dibandingkan dengan contoh kunyit yang lainnya. Contoh kunyit tersebut adalah contoh kunyit dengan kode CL-4 atau yang berasal dari Kota Semarang, Kecamatan Tembalang. Kunyit CL-4 memiliki persentase nilai absorban tertinggi pada selang bilangan gelombang 3610.53cm-1 sampai dengan 3224.79cm-1 dan pada selang bilangan gelombang 1103.22cm-1 sampai dengan 399.24 cm-1. Sama halnya dengan output FTIR kunyit, pada output FTIR bangle yang disajikan pada Lampiran 4, terdapat dua contoh bangle yang memiliki persentase nilai absorban lebih tinggi jika dibandingkan dengan contoh bangle yang lain. Kedua contoh tersebut adalah contoh bangle dengan kode ZC-23 dan ZC-28. Bangle dengan kode ZC-23 berasal dari Kota Semarang, Kecamatan Tembalang, sedang-kan bangle dengan kode ZC-28 berasal dari Kota Kediri, Kecamatan Semen. Bangle ZC-23 memiliki persentase nilai absorban tertinggi pada selang bilangan gelombang 3610.53cm-1 sampai dengan -1 3031.92cm dan pada selang bilangan gelombang 1103.22cm-1 sampai dengan 399.24 cm-1. Sedangkan, bangle ZC-28 memiliki persentase nilai absorban tertinggi pada selang bilangan gelombang 3031.9 cm-1 Gambar 3 Diagram kotak garis persentase kadar kurkumin pada data contoh Jika dilihat secara keseluruhan, output FTIR untuk tanaman obat kunyit, temulawak, dan bangle memiliki pola yang hampir sama. Hal ini mungkin dikarenakan ketiga tanaman obat tersebut mempunyai komponen kimia aktif penyusun yang sama, yaitu kurkumin dan minyak atsiri. Persentase kadar kurkumin untuk masing-masing tanaman obat berbedabeda. Untuk mengetahui persentase kadar kurkumin pada masing-masing tanaman obat dapat menggunakan alat High Performance Liquid Chromotography (HPLC). Persentase kadar kurkumin yang terdapat pada masingmasing data contoh yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 6. Jika persentase kadar kurkumin pada masingmasing data contoh dieksplorasi menggunakan diagram kotak garis, maka dapat diketahui nilai persentase rata-rata kadar kurkumin yang dimiliki oleh tanaman obat kunyit, temu-lawak, dan bangle. Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa nilai persentase rata-rata kadar kurkumin untuk kunyit, temulawak, dan bangle masing-masing adalah 33.04%, 11.02%, dan 5.5%. Karena ada beberapa contoh tanaman obat temulawak yang memiliki persentase kadar kurkumin mendekati persentase ratarata kadar kurkumin yang dimiliki oleh 5 tanaman obat kunyit dan bangle, maka ada kemungkinan contoh yang berasal dari kelompok temulawak akan terdeteksi sebagai contoh yang berasal dari kelompok kunyit ataupun bangle. Pembentukan dan Pembedaan Fungsi Diskriminan Kernel Fungsi diskriminan kernel yang digunakan pada penelitian ini dibangun dengan menggunakan 80% dari keseluruhan data yang digunakan. Untuk mengetahui keakuratan dari fungsi diskriminan kernel dilakukan pengklasifikasian seluruh contoh pada data pemodelan ke kelompok sebenarnya. a) Model 1 : Seluruh Informasi Bilangan Gelombang Berdasarkan perhitungan dengan parameter pemulusan optimum, didapatkan nilai parameter pemulusan optimum untuk masing-masing kelompok pada model 1 sebesar 0.99. Kesamaan nilai parameter pemulusan untuk masing- masing kelompok pada model 1 disebabkan oleh jumlah contoh dan jumlah bilangan gelombang pada masing-masing kelompok hampir sama. Jika dilakukan pengklasifikasian pada data pemodelan model 1 dengan menggunakan parameter pemulusan optimum sebesar 0.99, maka didapatkan hasil pengklasifikasian yang sudah 100% akurat dalam menempatkan setiap contoh yang digunakan pada data pemodelan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi diskriminan kernel yang dibangun pada model 1 sudah 100% akurat. Untuk lebih jelasnya, pengklasifikasian data pemodelan pada model 1 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengklasifikasian pemodelan model 1 Pengklasifikasian berdasarkan fungsi Kelompok awal diskriminan kernel K T B data Total Kunyit(K) 17 0 0 17 Temulawak(T) 0 17 0 17 Bangle(B) 0 0 16 16 Total 17 17 16 50 Jika dilakukan overfitting dan underfitting dengan menggunakan parameter pemulusan sebesar 0.5 dan 1.5, maka akan didapatkan hasil pengklasifikasian data pemodelan yang sama dengan hasil pengklasifikasian data pemodelan jika menggunakan parameter pemulusan optimum (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa fungsi diskriminan kernel yang dibangun pada model 1 konsisten untuk semua parameter yang digunakan. Kekonsistenan fungsi diskriminan kernel yang dibangun pada model 1 disebabkan karena nilai parameter pemulusan untuk masing-masing kelompok sama. b) Model 2 : Bilangan Gelombang pada Daerah Sidik Jari Nilai parameter pemulusan optimum yang diperoleh pada model 2, sama dengan nilai parameter pemulusan optimum yang diperoleh pada model 1, yaitu sebesar 0.99. Karena jumlah contoh dan jumlah bilangan gelombang untuk masing-masing kelompok hampir sama, maka nilai parameter pemulusan optimum untuk masing-masing kelompok juga bernilai sama. Tabel 2 Hasil pengklasifikasian pemodelan model 2 Pengklasifikasian berdasarkan fungsi Kelompok awal diskriminan kernel K T B data Total Kunyit(K) 17 0 0 17 Temulawak(T) 0 17 0 17 Bangle(B) 0 0 16 16 Total 17 17 16 50 Sama halnya dengan model 1, jika dilakukan pengklasifikasian data pemodelan pada model 2, maka akan didapatkan hasil pengklasifikasian yang 100% akurat. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi diskriminan kernel yang dibangun pada model 2 sudah 100% akurat dalam menempatkan setiap contoh pada data pemodelan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Sama seperti pada model 1, setelah dilakukan overfitting dan underfitting pada model 2 dengan menggunakan parameter pemulusan sebesar 0.5 dan 1.5, akan diperoleh hasil pengklasifikasian pada data pemodelan yang sama dengan hasil pengklasifikasian pada data pemo- 6 delan jika menggunakan parameter pemulusan optimum (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa fungsi diskriminan kernel yang dibangun pada model 2 juga konsisten untuk setiap parameter pemulusan yang dicobakan. Validasi Fungsi Diskriminan Kernel Untuk mengetahui kemampuan fungsi diskriminan kernel dalam menempatkan setiap contoh pada data validasi ke kelompok dengan benar, dapat dilihat dari jumlah keberhasilan fungsi diskriminan kernel tersebut dalam mengklasifikasikan setiap contoh ke dalam kelompok yang sebenarnya. Pada penelitian ini, tahapan validasinya menggunakan 20% dari keseluruhan data yang digunakan. a) Model 1 : Seluruh Informasi Bilangan Gelombang Hasil validasi yang diperoleh jika menggunakan fungsi diskriminan kernel dengan parameter pemulusan optimum sebesar 0.99 dapat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil validasi model 1 Pengklasifikasian berdasarkan fungsi Kelompok awal diskriminan kernel K T B Total Kunyit(K) 4 0 0 4 Temulawak(T) 1 2 1 4 Bangle(B) 0 0 4 4 Total 5 2 5 12 Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa dari 12 contoh yang digunakan pada data validasi, terdapat 2 contoh yang salah penempatan. Dua contoh yang mengalami salah penempatan tersebut berasal dari kelompok temulawak. Untuk mengetahui contoh temulawak yang mengalami salah penempatan, dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4, diketahui contoh temulawak yang mengalami salah penempatan adalah temulawak dengan kode CX-38 dan kode CX-43. Temulawak dengan kode CX-38 atau yang berasal dari Kota Kediri, Kecamatan Semen terdeteksi sebagai kunyit. Sedangkan temulawak dengan kode CX-43 atau yang berasal dari Kota Karanganyar, Kecamatan Tawangmangu terdeteksi sebagai bangle. Kesalahan penempatan ini dapat disebabkan oleh persentase kadar kurkumin yang terkandung pada temulawak dengan kode CX-38 dan CX-43 serta letak geografis dari kedua contoh tanaman obat tersebut. Untuk temulawak dengan kode CX-38 mempunyai kadar kurkumin sebesar 33.44% (Lampiran 6). Berdasarkan diagram kotak garis pada Gambar 3, persentase kadar kurkumin pada temulawak CX-38 berada pada selang persentase kadar kurkumin yang dimiliki oleh tanaman obat kunyit, sehingga temulawak dengan kode CX-38 terdeteksi sebagai tanaman obat kunyit. Sedangkan untuk temulawak dengan kode CX-43 mempunyai persentase kadar kur-kumin sebesar 17.83% (Lampiran 6). Berdasarkan diagram kotak garis pada Gambar 3, persen-tase kadar kurkumin yang dimiliki oleh temulawak CX-43 berada diatas batas bawah persentase kadar kurkumin yang dimiliki oleh tanaman kunyit. Akan tetapi, temulawak CX-43 terdeteksi sebagai tanaman bangle. Hal ini mungkin disebabkan letak geografis temulawak dengan kode CX-43 sama dengan letak geografis bangle ZC26, sehingga mungkin ada kesamaan unsur hara yang terkandung pada tanaman obat temulawak CX-43 dan bangle ZC26. Selain itu, kesalahan penempatan ini mungkin disebabkan oleh adanya sesepora cemaran pada daerah pengambilan contoh (Harborne 1987). Tabel 4 Penempatan masing - masing contoh pada data validasi model 1 Kode Observasi Observasi Observasi Awal Akhir CL-5 1 1 CL-12 1 1 CL-17 1 1 CL-55 1 1 CX-38 2 1 CX-43 2 3 CX-49 2 2 CX-66 2 2 ZC-21 3 3 ZC-26 3 3 ZC-30 3 3 ZC-60 3 3 Walaupun fungsi diskriminan kernel yang dibangun pada model 1, masih ada dua contoh yang salah penempatan, namun hal tersebut tidak menjadi masalah dalam penelitian ini. Karena dua contoh 7 yang mengalami salah penempatan berasal dari kelompok temulawak, bukan berasal dari kelompok kunyit ataupun bangle. Sehingga tidak masalah jika ada pihakpihak tertentu yang melakukan pemalsuan obat (adulterasi) tanaman obat kunyit ataupun bangle dengan menggunakan tanaman obat temulawak. Karena hal tersebut tidak akan merugikan konsumen. Hasil validasi pada parameter pemulusan sebesar 0.5 dan 1.5 akan sama dengan hasil validasi jika menggunakan parameter pemulusan optimum(Tabel 3 dan Tabel 4). Hal ini disebabkan karena fungsi diskriminan kernel yang dibangun pada model 1 konsisten untuk semua parameter yang dicobakan. b) Model 2 : Bilangan Gelombang pada Daerah Sidik Jari Jika menggunakan parametar pemulusan optimum pada fungsi diskriminan kernel model 2 sebesar 0.99, maka akan diperoleh hasil validasi yang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil validasi model 2 Pengklasifikasian berdasarkan fungsi Kelompok awal diskriminan kernel K T B Total Kunyit(K) 3 1 0 4 Temulawak(T) 0 4 0 4 Bangle(B) 0 0 4 4 Total 3 5 4 12 Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa dari 12 contoh yang digunakan pada data validasi, terdapat satu contoh yang salah penempatan. Untuk mengetahui contoh yang mengalami salah penempatan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, diketahui contoh yang mengalami salah penempatan berasal dari kelompok kunyit. Kunyit dengan kode CL-12 atau yang berasal dari Kota Kediri, Kecamatan Semen terdeteksi sebagai temulawak. Kunyit dengan kode CL-12 mempunyai persentase kadar kurkumin sebesar 36.1% (Lampiran 6). Berdasarkan diagram kotak garis pada Gambar 3, persentase kadar kurkumin yang dimiliki oleh CL-12 masih berada pada selang persentase kadar kurkumin yang dimiliki kunyit lainnya. Namun, kunyit CL-12 terdeteksi sebagai temulawak. Hal ini mungkin dikarenakan kadar kurkumin pada tanaman obat kunyit CL-12 hampir sama dengan kadar kurkumin pada tanaman obat temulawak CX-38. Selain itu, kunyit CL-12 memiliki letak geografis yang sama dengan temulawak CX-38, sehingga ada kemungkinan memiliki kesamaan dalam unsur hara yang terkandung pada kedua tanaman obat tersebut. Tabel 6 Penempatan masing - masing contoh pada data validasi model 2 Observasi keCL-5 Observasi Awal 1 Observasi Akhir 1 CL-12 1 2 CL-17 1 1 CL-55 1 1 CX-38 2 2 CX-43 2 2 CX-49 2 2 CX-66 2 2 ZC-21 3 3 ZC-26 3 3 ZC-30 3 3 ZC-60 3 3 Walaupun pada fungsi diskriminan yang dibangun pada model 2 hanya terdapat satu kesalahan penempatan contoh observasi, namun hal tersebut menjadi masalah harus diwaspadai. Karena contoh yang mengalami salah penempatan adalah contoh yang berasal dari kelompok kunyit yang terdeteksi sebagai temulawak. Sehingga jika terjadi pemalsuan obat (adulterasi) tanaman temulawak dengan tanaman kunyit, maka fungsi diskriminan kernel yang dibangun pada model 2 belum dapat mendeteksi hal tersebut secara akurat . Hal ini akan sangat merugikan konsumen. Sama halnya dengan model 1, karena fungsi diskriminan yang dibangun pada model 2 konsisten untuk setiap parameter yang dicobakan, maka hasil validasi dengan menggunakan parameter pemulusan sebesar 0.5 dan 1.5 akan sama dengan hasil validasi jika menggunakan parameter pemulusan optimum(Tabel 5 dan Tabel 6).