Bab 2 Landasan Teori 2.1 Pengertian Zen Eliot (1994: 9-12) menjelaskan bahwa agama Buddha masuk ke Jepang dari India melalui Cina dan Korea pada pertengahan abad keenam (resminya pada tahun 538 M). Setelah memperoleh dukungan kaisar, agama Buddha disebarluaskan oleh para penguasa ke semua pelosok. Pada awal abad kesembilan, agama Buddha di Jepang memasuki periode baru, ketika agama ini secara khusus melayani kaum bangsawan istana. Pada periode Kamakura (1192-1338), suatu periode keresahan besar politik dan kekacauan sosial, muncullah banyak sekte baru Buddha yang menawarkan harapan keselamatan baik kepada prajurit maupun kepada rakyat petani. Agama Buddha bukan hanya berkembang sebagai agama, tetapi juga banyak turut memperkaya kesenian dan ilmu pengetahuan Selama periode Edo (1603-1868) ketika pemerintahan keshogunan yang bertangan besi membawakan damai dan kemakmuran relatif serta sekularisasi yang meningkat, ternyata vitalitas spiritual ajaran Buddha banyak menyurut, sejalan dengan merosotnya kekuasaan sosial dan politis biara dan kuil buddha dan pengaruh budaya agama Buddha pada umumnya. Sesuai dengan penyebaran yang pesat, perkembangan agama Buddha di India setelah meninggalnya Siddharta terpecah menjadi dua aliran. Kedua aliran tersebut adalah Hinayana atau Theravada dan Mahayana. Aliran Hinayana bersatu dalam tradisi tunggal dan utuh. Ciri khas ajaran Buddha yang asli tampak pada aliran Hinayana di India. Ini berbeda dengan aliran Mahayana yang terus menerus terpecah dalam berbagai 11 bentuk dan corak. Aliran Mahayana lebih berkembang pesat dan mudah tersebar luas dibandingkan Hinayana. Menurut Blyth (2005: 156), agama Buddha di Jepang termasuk agama Buddha Mahayana di Asia Timur, dan pada umumnya mengajarkan keselamatan di taman firdaus untuk semua orang, bukan kesempurnaan perseorangan, dan mempunyai bentuk yang jauh berbeda dengan bentuk agama Buddha yang ditemukan di bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Semua sekte agama Buddha di Jepang dewasa ini (seratus lebih) tergolong atau dapat ditelusuri jejak asalnya pada cabang-cabang utama agama Buddha yang masuk ke Jepang atau dikembangkan di Jepang di masa dini : Jodo, Joso Shih, Nichiren, Shingon, tendai dan Zen. Menurut Sutrisno (1994: 9) salah satu bentuk aliran Mahayana yang berkembang dan menemukan tempat di Jepang adalah Zen ( 禅 ). Zen adalah salah satu hasil pemikiran Cina setelah bertemu dengan pemikiran India. Kata Zen adalah logat Jepang yang berasal dari perkataan Cina ch'an dan merupakan terjemahan lebih lanjut dari bahasa Sansekerta dhyana. Dalam bahasa Jepang disebut sebagai Zanna . Istilah tersebut berarti meditasi yang menghasilkan wawasan yang mendalam. Meditasi dalam Zen dikenal dengan sebutan zazen, yaitu meditasi dengan kedua kaki dilipat di depan dan punggung tegak, atau yang lebih dikenal dengan postur teratai. Selain zazen, dikenal juga metode yang disebut dengan kōan. Kōan adalah semacam pertanyaan maupun pernyataan yang terkadang tidak masuk akal. Kōan ini diajukan oleh seorang guru Zen untuk dijawab para muridnya, yang berguna membantu sang murid untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dari sekedar pemahaman yang diperoleh dari 12 kata-kata. Zazen dan kōan merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh penganut zen untuk mencapai pencerahan dengan memahami hakikat dirinya. Pencerahan merupakan inti ajaran bagi setiap aliran Buddha, baik itu Hinayana maupun Mahayana. Sebab ajaran sang Buddha sendiri berawal dari pencerahan yang diperolehnya setelah bertapa di bawah pohon bodhi sekitar 25 abad yang lampau. Oleh karena itu, setiap penganut Buddha diharapkan bisa mendapatkan pencerahan baik di dunia ini maupun di kehidupan selanjutnya, sesuai dengan kepercayaan masing-masing aliran. Dalam bahasa Jepang, pencerahan pada ajaran Buddha ini lebih dikenal dengan istilah satori (悟り). Namun istilah satori ini, menurut Suzuki (1991: 218), sekarang dianggap sebagai sesuatu yang sering dikaitkan dengan Zen., seperti yang diungkapkan oleh Sen XV (1998: 96) berikut ini: 「禅」というのは、サンスクリッタのジャーナから由来する名称である。 ジャーナは瞑想を意味する。専一に瞑想することによって至上の自己了解 に到達することができる、というのが禅の主張するところである。瞑想は 仏の悟りに入るための道のなかの一つである。 Arti: Yang disebut dengan Zen adalah sebutan yang berasal dari bahasa Sansekerta dhyana. Dhyana berarti meditasi. Dikatakan apabila mempertahankan Zen melalui meditasi dengan sepenuh hati maka akan bisa mencapai pemahaman diri tertinggi. Meditasi adalah salah satu dari enam cara untuk mencapai pencerahan Buddha. Suzuki (1991: 8) menyatakan bahwa ada dua cara umum dalam Zen untuk menyadari adanya satori. Pertama, melalui cara ’verbal’, dan kedua, cara ’aksional’. Cara yang pertama bertitik tolak pada pandangan bahwa manusia membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi dalam kehidupan berkelompok. Demikian pula 13 halnya dengan Zen, seseorang harus menggunakan bahasa untuk mengungkapkan satori kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Tetapi bahasa yang digunakan dalam Zen bukanlah bahasa dalam arti umum. Zen memiliki gambaran tersendiri tentang bahasa, seperti yang dikemukakan Suzuki (1991: 6) sebagai berikut: Zen verbalism has it own features, which violate all the rules of the science of linguistic. In Zen, experience and expression are one. Zen verbalism expresses the most concrete experience. Arti: Pemahaman verbal tentang ajaran Zen memiliki ciri tersendiri yang melanggar semua aturan dalam ilmu linguistik. Di dalam Zen, pengalaman dan pengungkapan adalah satu. Pemahaman verbal ajaran Zen mengungkapkan pengalaman diri yang paling konkrit. Penggunaan bahasa dalam Zen salah satunya adalah dalam bentuk kōan. Pengalaman manusia saat mendapatkan satori tidak dapat diungkapkan melalui kata-kata. Bahasa sebagai ekspresi dan pengalaman adalah satu. Oleh karena itu untuk menyadari satori, fungsi bahasa yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan harus dipatahkan sebagai cara menghayati pengalaman mendalam ini yang tidak bisa diungkapkan lewat bahasa. Suzuki (1991: 43-44) mengatakan koan adalah semacam pertanyaan maupun pernyataan yang terkadang tidak masuk akal. Koan ini diajukan oleh seorang guru Zen untuk dijawab para muridnya, yang berguna untuk membantu sang murid untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dari sekedar pemahaman yang diperoleh dari kata-kata. Tak seorangpun dapat mengetahui mengapa memecahkan koan dapat menghasilkan satori. Grandon (2006: 100) mengungkapkan bahwa apabila seseorang mengetahui jawabannya, maka jawaban itu salah dan bukanlah Zen. Bahkan apabila seseorang merasa telah mendapatkan satori karena suatu kejadian khusus, mereka juga tidak 14 mengetahui mengapa akhirnya mereka mencapainya walaupun sudah terjadi pada mereka. Cara kedua menyadari adanya satori adalah melalui cara aksional atau tindakan. Cara aksional ini melibatkan tubuh. Tindakan yang dimaksud di sini adalah tindakan yang spontan dan bersentuhan langsung dengan kenyataan konkrit itu sendiri. Kegiatan manusia sehari-hari bisa memicu timbulnya satori dari dalam diri selama kegiatan tersebut dilakukan dengan spontan. Karena satori adalah menemukan makna yang tersembunyi di balik pengalaman hidup sehari-hari, seperti makan, minum, maupun kegiatan yang lainnya. 2.2 Tujuh Karakteristrik Zen Hisamatsu dalam Yuana (2005: 26) mengatakan bahwa tujuh katakteristik Zen terdiri dari: fukinsei, kanso, koko, shizen, yūgen, datsuzoku, dan seijaku. Tujuh karakteristik ajaran tersebut berfungsi sebagai tuntutan atau pedoman bertingkah laku sosial termasuk bertingkah laku seni, seperti yang dikatakan oleh Grandon (2006: 98)「 日本の様々な芸道は禅理解の方法ともなる。」, yang artinya adalah bermacammacam kesenian Jepang juga dapat menjadi cara untuk memahami Zen. Suzuki (1991: 27) juga mengatakan bahwa selain satori dan koan, Zen juga ikut andil di dalam ilmu estetika Jepang. Daya tarik seni lebih mengacu kepada kehidupan manusia. Sikap moral adalah bersifat teratur atau keteraturan, sedangkan seni adalah berkreasi. Salah satu bentuk seni adalah bentuk tuntutan yang tidak masuk akal, dan yang lainnya adalah sikap tidak mengekang suatu bentuk ekspresi seni. Zen dapat ditemukan di dalam jiwa seni dan pada sikap perilaku atau moral. 15 Sehubungan dengan seni, Conway dan Roesnisch dalam Budihardjo (1997: 52) mengatakan bahwa arsitektur adalah ilmu dan seni membangun. Antariksa (2001: 76) juga mengatakan bahwa Zen mempengaruhi bentuk kehidupan Jepang termasuk arsitektur seperti berikut ini: It is the same that Engel (1964: 365) described Zen philosophy, from Japanese Middle Ages on, influenced all phases of Japanese life more profoundly than has any of the other sects and was closely associated not only with the arts, social institutions, but also, particularly, with architecture and landscaping. Arti: Hal tersebut sama dengan penjelasan Engel (1964: 365) mengenai filosofi Zen, dari zaman pertengahan di Jepang, Zen telah mempengaruhi semua bentuk kehidupan Jepang lebih besar daripada sekte yang ada lainnya dan berhubungan erat bukan hanya dengan seni dan lembaga sosial saja tetapi juga dengan arsitektur dan seni pertamanan. Berikut ini adalah pengertian tujuh karakteristik Zen, dimana ketujuh karakteristik tersebut mempunyai kedudukan yang sama, bahkan saling berkesinambungan: 1. Fukinsei (不均整, asimetris) Fukinsei mempunyai pengertian ketidakteraturan atau asimetri. Hisamatsu mencontohkan fukinsei dalam beberapa hal seperti geometris, hal jumlah, seni ikebana dan kaligrafi, dan kedalaman atau ketinggian dari suatu permukaan. Dalam geometris, fukinsei adalah ketidaksempurnaan atau ketidakseimbangan apabila dicontohkan sebagai lingkaran yang penyok atau miring. Dalam hal jumlah, fukinsei dapat diartikan sebagai jumlah ganjil. Jumlah yang genap dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama banyak, yang dapat dianalogikan sebagai simetris. Sebagai latar belakang kebudayaan Zen, asimetri fukinsei mempunyai makna membuang nafsu duniawi atau kehidupan bukan saja berorientasi pada kesempurnaan 16 tetapi juga pada ketidaksempurnaan, karena sesuatu kesempurnaan yang sempurna adalah sesuatu yang tidak sempurna. Untuk mewujudkan makna tersebut ke dalam karya seni, seniman harus berkreatif dalam melakukan pengubahan, perusakan dan penyimpangan bentuk. Pengubahan dan penyimbangan bentuk tersebut mempunyai bermacam-macam tujuan seperti demi komposisi, demi keindahan, demi ekspresi, dan sebagainya. 2. Kanso (簡素, kesederhanaan) Karakteristik yang kedua, kanso adalah kesederhanaan, tiadanya kekacauan, atau tiadanya kecampuradukkan. Kesederhanaan dalam warna berarti warna yang tidak mencolok dan menghindari keragaman warna atau monokromatik. Warna yang paling sederhana dalam lukisan adalah tinta Cina hitam, yang sekarang ini pencahayaan dan bayangan didapatkan dari satu warna tinta tersebut. Kesederhanaan yang paling tinggi adalah sesuatu yang dapat mewakili atau mencerminkan sifat dari suatu benda secara utuh yang diekspresikan melalui garis, warna, bentuk, dan unsur-unsur lainnya. 3. Kokō (枯高, kekeringan yang agung) Kokō mempunyai pengertian menjadi kering dan agung, yang secara singkat pengertiannya menjadi berpengalaman dalam hidup selama bertahun-tahun. Kasarnya dapat dianalogikan sebagai hilangnya indra pada kulit dan daging, dan menjadi kering. Analogi ini menunjukkan telah dicapainya sesuatu yang terdalam, hilangnya sensualitas dari kulit luar dan menyisakan sesuatu yang paling esensial. Sering kali kalimat ”menjadi kering” digunakan untuk mengungkapkan karakteristik yang penting dalam keindahan pada Zen, yaitu keistimewaan sebuah keindahan Oriental. 17 Konsep keindahan menurut Zen, bagaimanapun juga, ”menjadi kering” berarti puncak dari sebuah seni, penembusan sebuah intisari oleh seorang ahli dimana hal tersebut melewati batas seorang awam dan ketidakdewasaan. 4. Shizen (自然, kealamian) Karakteristik yang keempat, shizen adalah alami, natural, wajar, atau tidak menjadi buatan. Karakteristik fukinsei juga harus mempunyai shizen. Meskipun asimetris, tetapi juga harus terlihat wajar. Natural juga berarti tanpa berpikir atau tanpa kepentingan. Dengan kata lain adalah menjadi diri yang sesungguhnya, tanpa adanya kepentingan atau tujuan terhadap sesuatu hal, tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Alami, natural, adalah bukan artifisial, dalam makna bukan dibuat-buat. Dalam hal ini adalah ekspresi yang tidak dibuat-buat, apa adanya, tanpa berpikir, atau tanpa kepentingan. Bukan artifisial adalah menjadi diri kita yang sesungguhnya. 5. Yūgen (幽玄, kedalaman esensi) Karakteristik yang kelima, yūgen berarti kedalaman esensi atau makna yang mendalam. Dalam ekspresi, makna yūgen lebih kepada ’esensi’ atau ’maksud’ daripada ’pengungkapan langsung secara keseluruhan’. Yūgen dapat juga diungkapkan sebagai suatu yang tidak berdasar atau tidak berakhir, yang dapat digambarkan dengan sumber yang dalam atau gaung tak berakhir. Dari hanya suatu kesederhanaan, dapat digali sesuatu yang tak terbatas. Yūgen adalah kesederhanaan yang memungkinkan kita untuk membayangkan kedalaman isinya, seakan merasakan ’gema’ yang tak terbatas, merasakan sesuatu yang tak mungkin didapat dari karya yang jelas dan mendetail. Yūgen juga mempunyai makna kegelapan atau kesuraman. Kegelapan disini bukanlah kegelapan yang berkonotasi menakutkan, mencekam, ataupun kesuraman yang 18 bermakna sengsara atau menyedihkan. Kegelapan disini adalah kesuraman yang menenangkan. 6. Datsuzoku (脱俗, bebas dari ikatan) Karakteristik yang keenam, datsuzoku berarti bebas dari kebiasaan, aturan, rumusan, dan sebagainya. Bagi Zen aneka macam peraturan atau kebiasaan tersebut akan menjadi penghalang atas aktivitas dan kreativitas. Kebebasan Zen bukan berarti menjadi bebas secara akal sehat dan kemauan menurut peraturan-peraturan tetapi merupakan perasaan untuk tidak berada di bawah peraturan. Prinsip datsuzoku ini juga digunakan sebagai dasar untuk memperoleh ide-ide kreatif ke dalam suatu karya seni seperti: seni lukis, arsitektur bangunan dan ruangan rumah, seni merangkai bunga dan lain-lain. 7. Seijaku (静寂, ketenangan) Karakteristik yang ketujuh, seijaku adalah keheningan atau ketenangan. Tenang dapat diartikan sebagai tidak terganggu. Selain sebagai tenang, sesuatu yang memiliki karakteristik seijaku juga menenangkan. Dalam konsep Zen, ketenangan itu diekspresikan dalam keadaan yang diam tetapi mempunyai bentuk yang bergerak. Oleh sebab itu, bernyanyi, membuat suara, dan sebagainya, pada yang saat bersamaan juga membawa ketenangan, merupakan salah satu keistimewaan dari budaya pengungkapan Zen. 2.3 Akulturasi dan Asimilasi Dalam Arsitektur Tradisional Jepang Budiharjo (1997: 3) mengatakan bahwa suatu karya arsitektur adalah hasil upaya manusia menciptakan lingkungan yang utuh untuk menampung kebutuhan manusia 19 bertempat tinggal, berusaha, atau bersosial budaya. Arsitektur tradisional merupakan identitas budaya suatu suku bangsa. Jadi, setiap perubahan bentuk kehidupan masyarakat tradisional akan mempengaruhi arsitekturnya. Keinginan menampilkan identitas budaya melalui karya arsitektur sangat perlu dilengkapi pemahaman kebudayaan seutuhnya. Koentjaraningrat (1990: 181-182) mengatakan bahwa kata ”kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ”budi” atau ”akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan ”hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Adapun kata ”culture”, yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan ”kebudayaan” berasal dari bahasa Latin colere yang berarti ” mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai ” segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam”. Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, mempunyai arti sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Akulturasi terjadi karena adanya kontak sosial dan komunikasi antara dua kelompok masyarakat yang berbeda kebudayaannya, namun unsur kebudayaan tersebut tidak langsung diterima melainkan ditelaah terlebih dahulu melalui proses pembelajaran dan kemudian dilanjutkan dengan masa penyesuaian. Proses akulturasi ini didukung pula oleh terjadinya proses asimilasi. Istilah asimilasi atau assimilation diambil dari kata “to assimilate” dalam bahasa Inggris yang berarti ”bercampur secara harmonis”. Jadi asimilasi merupakan proses 20 sosial yang timbul bila dua golongan manusia dengan latar belakang berbeda saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu lama. Sehingga kebudayaan keduanya berubah unsurnya menjadi unsur campuran. 21