BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Toraks 2.1.1 Definisi Toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari pada bagian depan. Pada rongga toraks terdapat paru-paru dan mediatinum. Mediastinum adalah ruang didalam rongga dada diantara kedua paru-paru, di dalam rongga toraks terdapat beberapa sistem diantaranya yaitu; sistem pernapasan dan peredaran darah. Organ yang terletak dalam rongga dada yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe. Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang kosta berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru, hati dan Lien (Assi et al, 2012). Gambar 2.1 Anatomi toraks (emedicine.medscape, 2009) 2.2 Trauma Toraks 2.2.1 Definisi Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005). Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan leher dapat diraba insisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus dorsi, muskulus trapezius, muskulus rhombhoideus mayor dan minor, muskulus seratus anterior, dan muskulus interkostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak didalam rongga toraks yaitu paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan sistem limfatik (Kukuh, 2002). Trauma tumpul toraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding toraks, fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim paru, trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks dan hematotoraks. (Milisavljevic, et al, 2012) 2.2.2 Epidemiologi Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata mortalitas trauma tumpul toraks dapat mencapai 60%. Disamping itu 20-25% kematian multipel trauma disebabkan oleh trauma toraks (Veysi, et al, 2009). 2.2.3 Etiologi Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol dan berenergi tinggi seperti pada senjata militer. Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan pneumotoraks seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat, 2003). Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan sternum, rongga pleura saluran nafas intra toraks dan parenkim paru. Kerusakan ini dapat terjadi tunggal atau kombinasi tergantung mekanisme cedera (Gallagher, 2014). 2.2.4 Patofisiologi Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks, berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauama langsung pada jantung (Kukuh, 2002). Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat mengganggu fungsi fisiologi dari pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah (Kukuh, 2002; David, 2005). 2.3 Kontusio Paru 2.3.1 Definisi Kontusio Paru Kontusio paru merupakan cedera parenkim paru yang terbanyak didapatkan pada trauma tumpul toraks (Bruner et al, 2011). Kontusio paru adalah adanya lesi yang secara anatomi dan fisiologi dari paru yang mengikuti trauma tumpul, cedera kompresi dan dekompresi pada dinding toraks. Adanya penurunan integritas kapiler alveoli menyebabkan paru-paru mengalami perdarahan dan edema dari alveoli dan adanya ruang interstitial (Trickle et al, 1973). Kontusio paru merupakan faktor risiko utama dari dari terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada pasien trauma (Daurat et al 2015). 2.3.2 Epidemiologi Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab kontusio paru terbanyak karena tingginya kekuatan akselerasi/deselerasi; jatuh dari ketinggian, pergerakan yang cepat dari suatu objek yang menimpa dinding toraks, kecelakaan lalulintas, dan cedera karena ledakan (Vignesh et al, 2004; Bruner et al, 2011; Ganie et al, 2013). Trauma toraks terjadi lebih dari 50% pada pasien trauma tumpul. Kontusio paru merupakan cedera yang paling sering terjadi sekitar 30–75% dari pasien trauma. Pada beberapa penelitian kejadian kontusio paru berhubungan dengan tingginya angka kematian khususnya karena kegagalan pertukaran gas dan timbulnya acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan atau kegagalan multi organ (Vignesh et al, 2004). Kontusio paru merupakan cedera parenkim paru yang terbanyak didapatkan pada trauma tumpul toraks sekitar 25-35% kasus dengan 200,000 korban per tahun, 15.000 orang dewasa meninggal dengan 25% dari angka kematian trauma tumpul toraks karena kontusio paru. Pada populasi anakanak, kontusio paru terjadi pada 50,000 anak-anak di Amerika Serikat dengan angka kematian 8,000 pasien (Bruner et al, 2011). Sebuah studi dari amerika dengan 6332 responden pasien multipel trauma dari 1722 (27%) pasien ditemukan dengan kontusio paru dan rata rata angka kematian sekitar 10%-25% (Daurat et al 2015). Pada negara Cina, kontusio paru terhitung sekitar 5% dari kejadian trauma. Dan ini merupakan faktor risiko utama untuk ALI dan ARDS. Angka kematian kontusio paru cukup tinggi yaitu 14%40% (Jin et al, 2014). 2.3.3 Patofisiologi Sekitar 25-35% dari trauma tumpul toraksmengakibatkan trauma pada paru. Paru-paru merupakan bagian kedua organ yang sering mengalami trauma. Kontusio paru merupakan hasil dari konsolidasi dan kolapsnya alveolar sebagai akibat perdarahan dan oedema interstitial.Wagner et al dalam Bruner et al, 2011 menyebutkan ada 4 kemungkinan dan tipe dari kontusio paru untuk membantu mengerti resiko dan penyebab dari proses ini. 1. Tipe I Melalui kompresi langsung dinding toraks terhadap parenkim paru. Ini merupakan penyebab terbesar kontusio paru. 2. Tipe II Melalui tekanan organ paru terhadap tulang belakang. 3. Tipe III Adanya lesi melalui patah tulang kosta yang merupakan trauma langsung pada paru. 4. Tipe IV Terjadinya adhesi pleura paru-paru karena trauma toraks yang merusak parenkim paru-paru. Paru-paru mengalami cedera karena tekanan langsung dengan tulang kosta. Bila terjadi patah tulang kosta atau flail chest, akan menimbulkan trauma pada paru-paru sekitar 5 % - 13 % meskipun tanpa adanya fraktur tulang kosta. Tekanan mekanis dari luar dapat menyebabkan laserasi atau rusaknya parenkim paru. Ketika trauma tumpul toraks, terjadi fase edema menjadi edema interstitial dan muncul infiltrate pada 1-2 jam sesudah cedera. Rongga udara menjadi penuh dengan darah, penanda inflamasi dan debris jaringan yang meningkatkan permeabilitas alveolar dan kapiler dengan menurunkan produksi surfaktan (Bruner et al, 2011). 24-48 jam sesudah terjadinya trauma, muncul kolap alveolar dan konsolidasi yang cepat melalui ekstravasasi dari darah kedalam alveoli. Konsolidasi paru dapat meningkatkan tekanan pembuluh darah yang menyebabkan hipertensi pulmonal dan retensi dari darah (Bruner et al, 2011). Ketidaksesuaian perfusi/ventilasi menurunkan pertukaran gas dan penurunan compliance paru sehingga secara klinis muncul gejala seperti hypoxia, hypercarbia, tachypnea, hemoptysis dan wheezing (Karmakar et al, 2002). Mekanisme konsolidasi, ketidaksesuaian perfusi dengan ventilasi dapat menjadi predisposisi pasien dengan kontusio paru menjadi pneumonia dan ARDS. Terjadinya vasokontriksi paru dan hipertensi pulmonal merupakan mekanisme proteksi yang terjadi sebagai respon terjadinya kontusio paru. Darah mengalir menuju area dengan oksigenasi yang lebih baik. Hipoksia merupakan tanda kontusio paru dan menjadi tanda awal adanya hipoinflasi dan atelectasis sebagai bagian meluasnya kerusakan pertukaran gas. Hipoksia selalu memburuk 48 jam sesudah trauma (Ganie et al, 2013). Tanda pertama dari kontusio paru pada foto polos toraks adalah fokal atau diffuse kekeruhan pada paru-paru dan muncul 6 jam pertama tetapi mungkin membutuhkan waktu 24-48 jam untuk menunjukkan konsolidasi maksimal. Selama waktu tersebut, fase respon inflamasi mengalir kedalam cedara seluler dan subseluler dengan aktivasi dari koagulan, kaskade komplemen dan mengeluarkan mediator inflamasi seperti cytokines, chemokines dan radikal bebas. Fase akut inflamasi ini dipercaya sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas dengan kontusio paru (Bruner et al, 2011; Daurat et al 2015). Pasien dengan trauma paru dapat menyebabkan kerusakan pada saluran nafas, alveoli, pembuluh kapiler, kerusakan pada sel endothelial, sel epithel, meningkatkan permeabilitas kapiler paru yang dapat menimbulkan edema pada alveolar. Hal ini menyebabkan penurunan oksigenasi, sumbatan jalan nafas disebabkan karena darah pada bronkus masuk kedalam jaringan yang normal, terjadi bronkospasme, jalan nafas menyempit, rasio ventilasi dan perfusi tidak seimbang, penurunan compliance paru dan kapasitas tidak efektif serta hypoxemia. Semua ini menambah keparahan dari terjadinya edema pada paru. Pada saat yang sama produksi mukus meningkat, kemampuan pengenceran menurun, seluruh surfaktan karena cedera alveolar tidak aktif sehingga menimbulkan paru tidak berfungsi dengan baik (Jin et al, 2014). 2.3.4 Manifestasi Klinis Pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan distres pernafasan harus dicurigai adanya kontusio paru sesudah dilakukan pemeriksaan tidak adanya tension pneumuthorax atau hemothorax. Pasien mungkin menunjukkan adanya cedera dinding toraks seperti patah tulang kosta maupun flail chest. Adanya cedera ini harus dicurigai dengan adanya kerusakan parenkim paru. Kontusio paru bisa tanpa adanya cedera dinding toraks dengan kemungkinan adanya multipel trauma sehingga perlu penilaian ulang untuk mengetahui adanya kontusio paru (Daurat et al 2015). Tanda dan gejala kontusio paru selalu dengan adanya distres pernafasan. Tanda fisik ditemukan adanya bruising pada dinding toraksatau bagian belakang dinding toraks, adanya tenderness lokal atau krepitasi diatas tulang kosta yang patah atau flail chest. Bila ditemukan adanya patah tulang kosta multiple atau flail chest harus dicurigai adanya kontusio paru. Penelitian menunjukkan flail chest 75 % berhubungan dengan kontusio parenkim paru. Pada pemeriksaan auskultasi paru, ditemukan adanya penurunan suara nafas, peningkatan usaha nafas, rales, ronchi kadang dengan wheezing. Pemeriksaan fisik dan tanda vital untuk mengetahui adanya hypoxia, hypercarbia, tachycardia dan tanda lain sebagai tanda tidak berfungsinya organ. Tanda –tanda ini mungkin tidak ditemukan pada awal terjadinya cedera tetapi akan berkembang secara cepat sehingga memerlukan pengawasan yang ketat (Bruner et al, 2011). 2.3.5 Penatalaksanaan Kontusio Paru Ketika pasien tiba di rumah sakit, pasien harus dilakukan pemeriksaan dengan cepat dan penanganan sesuai protokol ATLS (Advanced Trauma Life Support). Penanganan awal kontusio paru bersifat supportif dengan fokus pada penanganan cedera toraksdan memberikan bantuan oksigenasi untuk mencegah terjadinya hipoksia.Intubasi disiapkan walaupun tanpa adanya tanda impending respiratory failure. Pedoman ATLS menyatakan bila adanya hipoksia signifikan seperti paO2 < 65 mmHg atau SaO2 < 90% harus diintubasi dan ventilasi pada jam pertama cedera. Intubasi dilakukan dengan tujuan menurunkan edema parenkim paru, meningkatkan kapasitas fungsi residu dan menurunkan hipoksemia (Bruner et al, 2011). Tujuan utama penanganan kontusio paru adalah mempertahankan oksigenasi yang adekuat. Penanganan suportif lainnya seperti noninvasive dan invasive ventilasi, highfrequency ventilation, surfactant Replacement dan lain– lainnya sudah dilakukan penelitian untuk meningkatkan harapan hidup pada kontusio paru (Bruner et al, 2011). Resusitasi cairan masih menjadi kontroversi pada kontusio paru. Tetapi penelitian dengan model binatang gagal menyatakan bahwa cairan kristaloid menambah hipoksia pada kontusio paru. Mempertahankan penggunaan cairan untuk hypovolemia menggunakan kristaloid dan koloid merupakan standar penanganan (Simon et al, 2012; Genie et al, 2013). Pemberian tekanan positif ekspirasi melalui intubasi maupun noninvasive masih kontroversi. Pemberian posisi optimal untuk meningkatkan oksigenasi. Pemberian surfaktan seperti natural bovine surfactant (Alveofact), porcine- derived surfactant (Curosurf) yang dikombinasikan dengan broncho-alveolar lavage (BAL) untuk mengeluarkan komponen darah yang merusak area yang mengalami kontusio. Studi ini secara statistik menurunkan lama penggunaan intubasi (Bruner et al, 2011). Upaya kontrol terhadap nyeri merupakan penanganan yang paling penting. Pasien membutuhkan kenyamanan dalam menarik nafas dalam dan batuk. Kombinasi model analgetik seperti epidurals, opioid PCA, nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs) dan acetaminophen meningkatkan ventilasi dan fisioterapi. Penggunaan epidural anestesi dengan blok saraf intercostal sangat berguna bagi pasien yang mengalami nyeri persisten. Tidak ada indikasi pemberian antibiotika profilaksis atau steroid pada pasien dengan kontusio paru (Bruner et al, 2011; Unsworth et al, 2015). 2.3.6 Komplikasi Kontusio paru yang kecil biasanya sembuh tanpa adanya komplikasi dan dengan intervensi yang minimal. Komplikasi serius dapat terjadi selama proses cedera yang biasanya terjadi 24 jam setelah cedera dan berhubungan dengan luasnya kerusakan parenkim paru. ARDS (Acute respiratory distress Syndrome) diketahui sebagai komplikasi yang signifikan dari kontusio paru (Martin et al, 2009; Genie, 2013. Lebih dari 50% dari pasien dengan kontusio paru menyebabkan infeksi bakteri pada respirasi dan menimbulkan pneumonia. Pelaksanaan intubasi meningkatkan resiko ventilator-associated pneumonia, khususnya penggunaan ventilator yang lama. Kontusio paru juga meningkatkan risiko terjadinya posttraumatic empyema dengan odds ratio 3.06. Salah satu penyebab utama kematian dari kontusio paru adalah sepsis (Bruner et al, 2011). 2.4 Fraktur Kosta 2.4.1 Definisi Fraktur Kosta Fraktur pada iga merupakan kelainan yang sering terjadi akibat trauma tumpul pada dinding toraks. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga sering terjadi pada iga IV-X dan sering menyebabkan kerusakan pada organ intra toraks dan intra abdomen (Sjamsuhidajat, 2005).Toraks terdiri dari 12 tulang toraks dengan bagian depan terdapat; manubrium, sternum, xyphoid, clavikula dan scapula terletak dibagian belakang. Fraktur kosta adalah patah tulang yang terjadi pada tulang iga. Flail chest secara khusus didefinisikan dengan patah tulang pada 4 atau lebih patah tulang kosta pada dua atau lebih lokasi yang menyebabkan adanya gerakan paradoksal dari dinding toraks selama pernafasan (Lube, 2013). 2.4.2 Epidemiologi Patah tulang kosta pada remaja biasanya karena kegiatan olah raga dan rekreasi sedangkan pada orang dewasa penyebab utamanya adalah kecelakaan lalu lintas. Pada usia lanjut, penyebab utama terjadinya fraktur kosta adalah jatuh dari ketinggian. Fraktur kosta juga bisa karena proses patologis. Metastase kanker ke tulang seperti kanker prostat, kanker payudara, kanker ginjal bisa muncul fraktur kosta. Kosta lebih tipis daripada tulang panjang dan lebih mudah terjadi metastase (Assi et al, 2012); Melendez S. L, 2015). Pada anak- anak umur kurang dari 3 tahun penyebab terbanyak karena menjadi korban kekerasan pada anak 82% dari 62 anak-anak dengan umur kurang dari 3 tahun menjadi korban kekerasan pada anak (Lafferty et al, 2011). Prevalensi dari fraktur kosta berhubungan dengan prevalensi penyebab dari trauma. Fraktur kosta di dunia lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalulintas. Fraktur kosta tidak selalu berbahaya. Angka kejadian berhubungan dengan derajat dari cedera yang didapat. Pada tahun 2004, lebih dari 300,000 orang dirawat dengan fraktur kosta di Amerika. Insiden fraktur kosta di Amerika serikat banyak dilaporkan dengan lebih dari 2 juta trauma tumpul terjadi yang biasanya karena kecelakaan kendaraan bermotor, dengan insiden dari trauma toraks antara 67 dan 70%. Suatu studi pada pasien dengan fraktur kosta, angka kematian mencapai 12%; dengan 94% berhubungan dengan trauma itu sendiri dan 32% didapatkan dengan hemothorax atau pneumothorax (Laferty et al, 2011). Lebih dari setengah dari semua pasien memerlukan tindakan operasi atau penanganan ICU. Suatu penelitian retrospective dari 99 pasien lanjut usia, 16 % dari pasien dengan confidence interval 95%, sedangkan 9.5-24.9% mengalami perburukan termasuk 2 orang meninggal. Perburukan yang terjadi karena acute respiratory distress syndrome (ARDS), pneumonia, intubasi yang tidak terantisipasi, transfer ke ICU dengan hipoksemia atau meninggal. Sebuah studi pada orang Jepang dengan rheumatoid arthritis yang diikuti selama lebih dari 5 tahun, 13.5% dilaporkan terjadi fraktur dengan fraktur kosta menjadi kasus terbanyak pada laki-laki dan patah tulang belakang pada perempuan (Melendez S. L, 2015). Pada anak anak lebih banyak terjadi trauma pada bagian bawah toraksdan bagian perut sehingga bila terjadi fraktur kosta dapat menjadi tanda adanya kemungkinan cedera dengan tenaga yang lebih besar. Pada anak yang lebih muda dari 2 tahun dengan fraktur tulang kosta mempunyai prevalensi karena kekerasan pada anak sekitar 83%.Pada anak-anak jarang terjadi fraktur kosta karena tulang kosta anak anak lebih elastis dibandingkan orang dewasa (Lafferty et al, 2011; Bruner et al, 2011). 2.4.3 Patofisiologi Fraktur Kosta Dinding toraks melindungi dan mengelilingi bagian organ didalamnya dengan tulang padat seperti tulang kosta, clavikula, sternum dan scapula. Pada pernafasan normal dibutuhkan sebuah dinding toraks yang normal. Fraktur tulang kosta mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme. Nyeri dari patah tulang kosta dapat disebabkan karena penekanan respirasi yang menghasilkan atelectasis dan pneumonia. Patah tulang kosta yang berdekatan seperti flail chest mengganggu sudut costovertebral normal dan otot diaphragma, menyebabkan penurunan ventilasi. Fragmen tulang dari tulang kosta yang patah dapat menusuk bagian paru yang menimbulkan hemothorax atau pneumothorax (Melendez S. L, 2015). Fraktur kosta merupakan cedera yang paling sering terjadi pada trauma tumpul toraks lanjut usia. Posisi dari patahan fraktur kosta membantu untuk mengidentifikasi kemungkinan cedera pada organ dibawahnya. Fraktur pada kosta pertama menggambarkan trauma serius pada spinal atau pembuluh darah.Fraktur pada kosta pertama dapat menjadi prediksi terjadinya cedera serius. Tulang kosta pertama dilindungi dengan baik oleh bahu, otot leher bagian belakang dan clavikula sehingga bila terjadi patah pada tulang ini, memerlukan energi lebih dibandingkan dengan patah pada tulang kosta lainnya. Angka kematian sekitar 36% sudah dilaporkan pada fraktur tulang kosta pertama berhubungan dengan cedera pada paru, aorta asenden, arteri subklavia dan plexus brachialis. Tulang kosta biasanya mengalami patah pada bagian posterior karena secara struktural bagian ini merupakan yang paling lemah. Tulang kosta ke 4 sampai 9 lebih sering terjadi cedera. Mekanisme terjadinya cedera tulang kosta pertama pada kecelakaan lalulintas terjadikarena kontraksi otot akibat gerakan tiba-tiba dari kepala dan leher (Melendez, 2015). 2.4.4 Manifestasi Klinis Pasien dengan patah tulang kosta biasanya dengan nyeri berat khususnya saat inspirasi atau ketika bergerak. Tanda dan gejala lainnya termasuk tenderness dan kesulitan dalam pernafasan. Ketidaksimetrisan dari pergerakan dinding toraks(flail chest). Pasien juga biasanya ditemukan tanda adanya kecemasan, kelemahan, keluhan nyeri kepala dan mengantuk (Assi et al, 2012). 2.5 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan fisik dilakukan setelah dilakukan anamnesa untuk mengetahui mekanisme kejadian kemudian perlu dilakukan pemeriksaan untuk menunjang diagnosis. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi; 2.5.1 Laboratorium Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak begitu berguna untuk mengevaluasi pada kasus isolated rib fractures. Pemeriksaan urinalisis pada kasus patah tulang kosta bagian bawah diindikasikan pada trauma ginjal. Tes fungsi paru seperti analisa gas darah digunakan untuk mengetahui adanya kontusio paru tetapi bukan pemeriksaan untuk patah tulang toraks itu sendiri (Melendez S.L, 2015). 2.5.2 Foto Polos Toraks Pemeriksaan pertama pada pasien dengan trauma toraks adalah foto polos toraks. X-ray hanya membutuhkan sedikit waktu sesudah terjadinya cedera. Deteksi dini adanya kontusio paru, hematoma, laserasi sangat penting untuk mengetahui kelainan patologis dan perencanaan perawatan. Angka kematian dapat diturunkan dengan kerjasama antara radiologis dengan dokter emergensi (Elmali et al, 2007). Pemeriksaan foto polos toraks sangat berguna untuk mengetahui cedera lainnya seperti adanya hemothorax, pneumothorax, kontusio paru, atelectasis, pneumonia dan cedera pembuluh darah. Adanya patah tulang sternum dan scapula dapat menjadi kecurigaan adanya patah tulang kosta. Cedera aorta tampak ada pelebaran > 8 cm dari mediastinum pada bagian atas kanan dari hasil foto polos Toraks (Assi et al, 2012). Gambar 2.2 Foto Toraks Kontusio Paru 2.5.3 Ultrasonography Pemeriksaan USG memberikan diagnosa yang cepat tanpa radiasi. Pemeriksaan Ultrasonography juga dapat mendeteksi kartilago tulang kosta dan costochondral junction (Christenson et al, 2005). Proses penyembuhan dengan callous formation juga dapat dideteksi dengan USG (Melendez S.L, 2015). Ultrasonography dilaporkan mempunyai sensitivitas yang bisa diterima dengan hasil sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan radiografi (0.92 vs. 0.44) tetapi hasil ini sangat tergantung pada operator alat dan alat yang digunakan (Hosseini et al, 2015). 2.5.4 CT ScanToraks CT scantoraks lebih sensitif daripada foto polos toraksuntuk mengetahui fraktur tulang kosta. Jika dicurigai adanya komplikasi dari fraktur kosta pada pemeriksaan foto polos toraks, CT scan toraks dapat dilakukan untuk mengetahui cedera yang spesifik sehingga dapat membantu penanganan selanjutnya. Foto polos toraks dapat menjadi tidak efektif pada beberapa kondisi sehingga diperlukan CT scan toraks yang dapat mencegah dari kondisi yang serius (Elmali et al, 2007; Taylor et al, 2013). Computed tomography (CT) sangat sensitive untuk mendiagnosa kontusio paru dengan ukuran 3 dimensi. CT scan dapat membedakan area dari kontusio paru terjadi atelectasis atau aspirasi (Genie, 2013). Gambar 2.3 Ct Scan Toraks Axial 2.5.5 Angiography Patah tulang kosta pertama dan kedua biasanya berhubungan dengan cedera pembuluh darah maka dokter di unit gawat darurat dapat melakukan angiography khususnya pada pasien dengan tanda dan gejala gangguan neurovascular. Hal ini penting khususnya pada fraktur kosta tulang kedua dengan kemungkinan hasil abnormal yang lebih tinggi ditemukan daripada patah tulang kosta yang lain (Melendez S.L, 2015). 2.5.6 MRI MRI digunakan untuk mengetahui angulasi patah tulang kosta bagian posterior lateral meskipun MRI tidak digunakan untuk diagnose pertama pada patah tulang kosta. 2.6 Penatalaksanaan Fraktur Kosta 2.6.1 Penatalaksanaan Prehospital Penatalaksanaan prehospital harus fokus dalam mempertahankan jalan nafas dan dengan bantuan oksigenasi. 2.6.2 Penatalaksanaan di unit gawat darurat Tujuan utama dari penatalaksanaan di unit gawat darurat adalah untuk menstabilkan kondisi pasien trauma dan evaluasi dari multi trauma. Manajemen dan kontrol nyeri mutlak pada penatalaksanaan fraktur tulang kosta. Untuk menurunkan alveolar yang kolap dan membersihkan sekresi paru. Manajemen nyeri dapat dimulai dengan pemberian analgetik NSAID bila tidak ada kontraindikasi. Dilanjutkan dengan golongan narkotik bila hasilnya tidak memuaskan. Pilihan lain adalah narkotik parenteral untuk mencegah depresi pernafasan. Beberapa penelitian merekomendasikan rawat inap untuk pasien dengan 3 atau lebih patah tulang kosta dan perawatan ICU untuk pasien lanjut usia dengan 6 atau lebih patah tulang kosta karena ada hubungan yang signifikan dari patah tulang tersebut dengan adanya cedera serius pada organ dalam seperti pneumothorax dan kontusio paru (Melendez, 2015). Kontrol nyeri perlu dipertahankan selama perawatan kontrol nyeri merupakan dasar dari kualitas perawatan pasien untuk menjamin kenyamanan pasien. Pasien dengan patah tulang kosta akan mengalami nyeri berat ketika bernafas, berbicara, batuk maupun ketika menggerakkan tubuh. Sehingga kontrol nyeri merupakan prioritas untuk menurunkan risiko paru dan efek sistemik dari fraktur seperti penurunan fungsi pernafasan yang memicu terjadinya hypoxia, atelectasis, dan pneumonia (Esmailian et al, 2015). Penggunaan fiksasi patah tulang kosta meningkat untuk penanganan flail chest karena peningkatan jumlah publikasi tentang peningkatan outcome pasien. Belum ada publiksasi tentang keunggulan dari fiksasi patah tulang kosta tetapi ada perbedaan dari teknik muscle sparing dan tradisional untuk penanganan toraks dan pembedahan spinal (Taylor et al, 2013). Fiksasi patah tulang melalui pembedahan/Surgical Rib fixation (SRF) merupakan suatu penanganan pada flail chest untuk menjaga stabilitas dinding toraks (Unsworth et al, 2015). 2.7 2.7.1 Komplikasi fraktur Kosta Kegagalan fungsi respirasi Nyeri pada dinding toraks karena patah tulang kosta meningkatkan kerja dari pernafasan dan resiko terjadi kelemahan pada paru-paru. Kegagalan respirasi dapat terjadi karena trauma pada dinding toraks dan lebih sering terjadi kontusio paru atau terjadinya pneumonia nosokomial (Melendez S.L, 2015). 2.7.2 Hipoksia Fraktur tulang kosta mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme. Ketidaksesuaian perfusi/ventilasi menurunkan pertukaran gas dan penurunan compliance paru sehingga secara klinis muncul gejala seperti hipoksia (Karmakar et al, 2002). Kegagalan pernafasan terjadi ketika pertukaran O2 dengan CO2 tidak adekuat sesuai kebutuhan metabolisme sehingga menyebabkan hypoxaemia (Gunning, 2003). 2.7.3 Atelektasis Nyeri dari patah tulang kosta dapat disebabkan karena penekanan respirasi yang menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Hipoksemia berhubungan dengan ketidak sesuaian ventilasi dan perfusi karena penurunan ventilasi sehingga meningkatkan FiO2. Bila atelectasis muncul, positive end expiratory pressure (PEEP) akan meningkatkan PaO2 (Gunning, 2003). 2.7.4 Pneumonia Pneumonia merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada patah tulang kosta. Pneumonia dapat bervariasi tergantung pada patah tulang kosta dan umur pasien.Insiden terjadinya pneumonia pada semua pasien yang dirawat di rumah sakit dengan satu atau lebih patah tulang kosta sekitar 6 % (Melendez S.L, 2015). 2.7.5 Kerusakan Organ Viseral Fraktur pada kosta bagian bawah biasanya berhubungan dengan trauma pada organ abdomen dibandingkan dengan parenkim paru. Fraktur pada bagian bawah kiri berhubungan dengan trauma lien dan fraktur pada bagian bawah kanan berhubungan trauma liver dengan fraktur pada kosta 11 dan 12 biasanya berhubungan dengan cedera ginjal (Melendez S.L, 2015). 2.7.6 Pneumotoraks Adanya akumulasi udara dalam rongga pleura yang menekan paru-paru dapat dilihat pada pemeriksaan diagnostik foto polos toraks. Pneumotoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di rongga pleura akibat robeknya pleura visceral, dapat terjadi spontan atau karena trauma, yang mengakibatkan terjadinya peningkatan btekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru. Pneumotoraks terjadi karena trauma tumpul atau tembus torak. Dapat pula terjadi karena robekan pleura viseral yang disebut dengan barotrauma, atau robekan pleura mediastinal yang disebut dengan trauma trakheobronkhial(Neto, 2015). 2.7.7 Hemotoraks Hemotoraks berhubungan dengan adanya darah/bekuan darah pada rongga toraks dan memerlukan tindakan segera thoracostomy drainage. Risiko empyema meningkat pada pasien dengan hemotoraks. Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada toraks. Sumber perdarahan umumnya berasal dari arteri interkostalis atau arteri mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat terjadi syok hipovolemik berat yang mengakibatkan terjadinya kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata oleh karena perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam rongga toraks (Melendez S.L, 2015). 2.7.8 Kontusio paru Trauma tumpul toraksmenyebabkan kontusio paru merupakan kasus yang sering terjadi dengan 10%-17% dari semua pasien yang masuk rumah sakit dengan angka kematian 10% - 25% (Martin et al, 2009). Fraktur kosta selalu berhubungan dengan kontusio paru. Patah tulang kosta multipel ditemukan menjadi predisposisi terjadinya penurunan fungsi paru dan compromised ventilation. (Lafferty et al, 2011).