BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak penemuan antibiotik pertama kali oleh Fleming pada tahun 1928, telah ditemukan ribuan antibiotik lain dengan potensi yang beragam. Sayangnya, banyak senyawa kimia bersifat antimikroba yang juga toksik bagi manusia.Selain itu, penggunaan antibiotik yang serampangan memunculkan strain bakteri yang resisten antibiotik.Resistensi ini muncul akibat perubahan genetik pada mikroba yang mengakibatkan toleransi antibiotik pada jumlah tertentu. Perubahan ini juga meliputi produksi enzim yang dapat menginaktivasi antibiotik, dan perubahan permukaan sel mikroba yang mencegah antibiotik menempel dan terabsorbsi ke dalam mikroba (Tortora dkk., 2010). Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan masalah serius bagi pasien pasca operasi, pasien dengan luka bakar, kanker dan cystic fibrosis.Bakteri ini juga mengakibatkan berbagai macam infeksi seperti endokarditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, sistem syaraf pusat, mata, telinga, kulit, dan sistem musculoskeletal (Iglewski, 1996).P. aeruginosa cepat mengalami resistensi antibiotik, sedangkan penemuan antibiotik baru yang beraktivitas sebagai antipseudomonal sulit sekali ditemukan.Pemberian berbagai macam antibiotik dalam usaha mengatasi infeksi bakteri ini mengakibatkan pasien mengalami multiresistansi antibiotik.Karena itulah dibutuhkan adanya penemuan senyawa baru yang dapat mengobati infeksi P. aeruginosa (Paterson, 2009). Salah 1 satunya adalah dengan menemukan senyawa penghambat faktor virulensi bakteri yang menyebabkan kerusakan pada inang tetapi tidak membunuh bakteri (antipatogenik) (Cotar dkk., 2013). Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif yang memiliki satu flagela polar, dapat bergerak pada lingkungan berair maupun lingkungan yang memiliki kadar air rendah. Bakteri ini bergerak secara swimming menggunakan satu flagella polarnya. Selain itu, P. aeruginosa bergerak secara swarming oleh adanya hiperflagelasi (Köhler dkk., 2000), dan secara twitching dengan menggunakan pili tipe IV (Semmler dkk., 1999). Pili diasosiasikan dengan biofilm karena memiliki fungsi perlekatan sehingga bakteri mampu membentuk koloni dan menginfeksi inangnya. Penemuan senyawa yang dapat menghambat motilitas bakteri diharapkan dapat menjadi suatu terobosan dalam penemuan senyawa antipatogenik terutama bagi bakteri yang cepat mengalami resistensi terhadap antibiotik. Tanaman sarang semut (Myrmecodia tuberosa Jack.) banyak ditemukan di pedalaman Australia dan Asia tenggara. Di Indonesia, tanaman ini ditemukan di Flores, Maluku, Kalimantan, dan Papua dan telah banyak digunakan sebagai obat tradisional untuk menghilangkan pegal linu, sakit kepala, asam urat, dan kolesterol (Subroto dan Saputro, 2006). Tumbuhan ini telah dilaporkan berpotensi sebagai imunomodulator (Hertiani dkk., 2010). Penelitian Efendi dan Hertiani (2013) membuktikan adanya aktivitas antimikroba ekstrak M. tuberosa terhadap S. aureus, E. coli dan C. albicans. Senyawa tersebut merupakan senyawa golongan fenolik (Setyani, 2011). Hertiani dkk. (unpublished data) menemukan 2 bahwa ekstrak etanol dan fraksi tumbuhan sarang semut spesies M. tuberosa aktif sebagai agen antibiofilm dan antibakteri terhadap P. aeruginosa dan S. aureus pada kadar 1 mg/mL. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Fraksi atau ekstrak apakah dari umbi Sarang Semut (M. tuberosa Jack.) yang paling aktif sebagai agen antibakteri terhadap P. aeruginosa PAO1? 2. Golongan senyawa apakah yang memiliki efek antibakteri terhadap P. aeruginosa PAO1? 3. Apakah ekstrak dan fraksi tersebut memiliki efek antimotilitas terhadap P. aeruginosa PAO1? . C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan potensi antibakteri ekstrak dan fraksi M. tuberosa terhadap P. aeruginosa. 2. Mengidentifikasi golongan senyawa yang aktif sebagai agen antibakteri terhadap P. aeruginosa. 3. Menentukan potensi antimotilitas ekstrak dan fraksi M. tuberosa terhadap P. aeruginosa. 3 D. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan tentang bakteri Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme bersel satu yang berkembang biak dengan pembelahan diri dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop (Jawetz dkk., 1996). Bakteri dapat dibedakan berdasarkan morfologinya, jumlah koloni, kebutuhan akan oksigen, dan cara hidupnya (Pratiwi, 2008). Bakteri juga dapat dibedakan berdasarkan materi penyusun dinding selnya secara pewarnaan diferensial (Dwidjoseputro, 2001). Salah satu jenis pewarnaan diferensial adalah prosedur pewarnaan Gram. Prosedur pewarnaan Gram dilakukan dengan mewarnai bakteri yang telah difiksasi pada kaca objek menggunakan crystal violet, sehingga bakteri akan terwarnai ungu. Sisa pewarna dicuci dan noda yang tertinggal diberi iodin yang dapat menajamkan warna ungu crystal violet.Selanjutnya noda spesimen diberi alkohol sebagai agen pencuci zat warna untuk menghilangkan warna ungu pada bakteri tertentu (Pratiwi, 2008). Penambahan safranin akan memberikan warna merah bagi bakteri Gram negatif. Contoh bakteri Gram negatif adalah Escherichia coli, Salmonella, dan Klebsiella (Dwidjoseputro, 2001). Bakteri Gram positif akan tetap berwarna ungu setelah penambahan safranin. Contoh bakteri Gram positif adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus (Dwidjoseputro, 2001). Perbedaan di atas dapat terjadi karena dinding bakteri Gram positif mengandung peptidoglikan yang dapat menghambat tercucinya kompleks crystal violet-iodin.Sedangkan dinding bakteri Gram negatif mengandung 4 lipopolisakarida yang rusak oleh penambahan alkohol sehingga kompleks crystal violet-iodin dapat tercuci. Selanjutnya, pewarnaan oleh safranin akan memberikan warna merah pada bakteri yang telah kehilangan warna ungu (Pratiwi, 2008). Gambar 1. Pengecatan Gram pada Pseudomonas aeruginosa (Todara, 2012) Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu anggota famili Pseudomonaceae, ordo Pseudomonadales, kelas Gammaproteobakteria, filum Proteobakteria, kingdom Bakteria (Todara, 2012; Prescott, 2002).Pseudomonas aeruginosa umumnya bergerak dengan satu flagela polar walaupun beberapa strain memiliki dua atau tiga flagel. Bakteri ini merupakan bakteri Gram negatif, aerob, berbentuk batang dengan panjang rata-rata 1-3 µm, dan dapat hidup dalam suhu 37°C hingga 42°C (Kiska dan Gilligan, 2003). Di bawah lampu UV, P. aeruginosa menampakkan efek fluoresensi akibat produksi pigmen pyocyanin (Todar a, 2012; Iglewski, 1996). Pseudomonas aeruginosa tahan terhadap garam konsentrasi tinggi, pewarna, antiseptik lemah dan antiobiotik yang umum digunakan masyarakat.Hal ini menjelaskan bagaimana bakteri ini dapat ditemukan 5 hampir di segala macam lingkungan dan menjadi penyebab masalah serius pada pasien luka bakar, kanker, dan cystic fibrosis.Bakteri ini juga menyebabkan endokarditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, sistem syaraf pusat, mata, telinga, kulit, dan sistem musculoskeletal.Antibiotik fluoroquinolon, gentamicin, dan imipenem dilaporkan efektif bagi sebagian besar strain P. aeruginosa. Penggunaan kombinasi gentamisin dan karbenisilin sering digunakan dalam terapi infeksi Pseudomonas, terutama bagi pasien leukopenia (Iglewski, 1996). Pseudomonas aeruginosa menggunakan mekanisme quorum sensing untuk membentuk faktor-faktor virulensi (Lal, 2009), saling berkoordinasi membentuk biofilm, bergerak dan membentuk agregat.Bakteri ini hidup di dalam inangnya tanpa menimbulkan gejala hingga mereka mencapai densitas tertentu. Kemudian, setelah densitas mereka sudah cukup untuk menimbulkan infeksi, mereka membentuk biofilm dan menyebabkan penyakit (Tortora dkk., 2010; Hentzer dan Givskov, 2003). Pseudomonas aeruginosa bergerak individual secara swimming dengan menggunakan satu flagela polar. Pada media yang lebih kental, bakteri ini mengalami hiperflagelasi dan mensintesis satu flagela polar lain untuk bergerak dalam kelompok secara swarming. Pergerakan ini membutuhkan pula koordinasi antar sel yang disebut mekanisme quorum sensing (Köhler dkk., 2000; Rashid dan Kornberg, 2000). Selain itu, P. aeruginosa dapat bergerak menggunakan pili tipe IV secara twitching (Semmler dkk., 1999). 6 2. Tinjauan tentang antimikroba Antimikroba dapat dibedakan menjadi antimikroba berspektrum luas dan berspektrum sempit. Antimikroba berspektrum luas dapat mempengaruhi mikroba Gram negatif dan Gram positif. Antimikroba berspektrum sempit, misalnya Penisilin G, mempengaruhi bakteri Gram positif dan sedikit bakteri Gram negatif. Antimikroba dapat pula dibedakan oleh sifat bakterisid (membunuh mikroba) atau bakteristatik (menghambat pertumbuhan mikroba). Pada sistem bakteristatik, mikroba diharapkan akan mati dengan adanya sistem pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi (Tortora dkk., 2010). Tortora dkk. (2010) mengidentifikasikan lima mekanisme aksi obat antimikroba, sebagaimana tersebut di bawah ini : a. Penghambatan sintesis dinding sel Penisilin, Carbapenem, dan Cephalosporin menghambat sintesis utuh peptidoglikan. Peptidoglikan hanya dapat ditemukan pada dinding sel bakteri. Dengan kata lain, konsumsi antibiotik ini aman karena tidak mempengaruhi sel inang. Akan tetapi, antibiotik jenis ini hanya efektif untuk sel bakteri yang sedang tumbuh. b. Penghambatan sintesis protein Antibiotik yang menghambat sintesis protein merupakan jenis yang dapat berefek pada inang karena sel inang juga mengandung protein.Perbedaan dari sel prokariot dengan sel eukariot hanya pada 7 struktur ribosom. Sel eukariot mengandung ribosom 80S, sedangkan sel prokariot memiliki ribosom 70S (gabungan ribosom 50S dan 30S). Antibiotik yang selektif mempengaruhi ribosom 70S dapat mempengaruhi mitokondria inang karena organel tersebut memiliki jenis ribosom yang sama. Kloramfenikol, eritromisin, streptomisin dan tetrasiklin memiliki mekanisme aksi mengganggu sintesis protein. c. Melukai membran plasma Antibiotik polipeptida mengubah permeabilitas membran plasma dan mengakibatkan sel mikroba kehilangan metabolit penting. Beberapa obat antifungi seperti amfoterisin B, mikonazol, dan ketokonazol efektif melawan berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh fungi. Obat tersebut berikatan dengan sterol pada membran plasma fungi. Obat ini tidak berefek pada bakteri karena membran plasma bakteri tidak mengandung sterol. d. Penghambatan sintesis asam nukleat Antibiotik mengganggu seperti Rifamisin, proses replikasi Quinolon dan dan transkripsi Fluoroquinolon DNA pada mikroorganisme.Jenis antibiotik ini jarang digunakan karena dapat mempengaruhi DNA inang. e. Penghambatan sintesis metabolit primer Aktivitas enzimatik tertentu dalam mikroorganisme dapat dihambat secara kompetitif oleh antimetabolit yang mirip dengan substrat normal, contohnya sulfanilamide (sulfa drug) dan asam para aminobenzoat 8 (PABA).Pada mikroorganisme, PABA merupakan substrat untuk memproduksi asam folat, vitamin yang dapat menjadi koenzim dalam sintesis basa purin dan pirimidin untuk asam nukleat dan asam amino. Adanya ikatan antara enzim dengan sulfa drugakan menghambat produksi asam folat. Selain antimikroba, telah dikembangkan strategi terapi antipatogenik, yaitu terapi infeksi mikroba dengan menggunakan senyawa yang melemahkan faktor virulensi mikroba. Strategi terapi ini memiliki keuntungan diantaranya, memperluas target terapi bakteri, melindungi inang dari zat endogen mikroba, dan bersifat selektif sehingga dapat meminimalisir terjadinya resistensi (Cotar dkk., 2013). Salah satu strategi terapi antipatogenik difokuskan pada komunikasi antar bakteri (quorum sensing). Terapi ini menghambat pembentukan faktor virulensi tanpa menghambat pertumbuhan bakteri (Smith dan Iglewski, 2003). Streptomisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, yaitu golongan antibiotik yang gula aminonya terikat oleh ikatan glikosidik. Antibiotik aminoglikosida bersifat bakterisid dan paling aktif melawan patogen Gram negatif. Ikatan antara streptomisin dan subunit 30S ribosom menghambat sintesis protein dan menyebabkan kesalahan pembacaan mRNA. Aminoglikosida cukup toksik dan dapat menyebabkan tuli, berpengaruh pada ginjal, kehilangan keseimbangan, mual, dan respon alergi (Prescott dkk., 2002; Tortora dkk., 2010). 9 Gambar 2. Struktur kimia Streptomisin (Prescott, 2012) Uji aktivitas antimikroba terhadap patogen spesifik dapat dilakukan dengan beberapa metode uji, yaitu metode uji dilusi dan difusi. Metode uji dilusi biasa digunakan untuk mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM) tetapi tidak dapat digunakan untuk memastikan sifat bakterisid dan bakteriostatik. Metode dilusi dilakukan dengan membuat seri konsentrasi obat dalam media cair, kemudian ke dalamnya diinokulasikan bakteri uji. Kadar terkecil yang memberikan larutan jernih merupakan KHM.Larutan tersebut kemudian dipindahkan ke dalam medium baru yang tidak mengandung antibiotik maupun bakteri uji. Larutan yang masih terlihat jernih setelah inkubasi selama 18-24 jam merupakan KBM (Prescott dkk., 2002, Pratiwi, 2008). Penentuan KBM juga dapat dilakukan dengan meggoreskan larutan KHM pada media padat bebas antibiotik dan mikroba. Jika terlihat adanya pertumbuhan pada media padat, obat tersebut tidak bersifat bakterisid pada kadar yang digunakan (Tortora dkk., 2010). 10 Metode uji difusi merupakan metode yang sederhana dan dapat menghemat waktu serta media.Salah satu jenis metode difusi adalah disc diffusion (Kirby & Bauer test). Metode ini dilakukan dengan cara menempelkan paper disk berisi antimikroba yang telah diketahui konsentrasinya pada permukaan media padat yang telah diberi bakteri uji. Setelah diinkubasi selama 18-24 jam, pengamatan dilakukan untuk melihat area jernih di sekitar paper disk. Area jernih menunjukkan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antibiotik (Pratiwi, 2008). 3. Tinjauan tentang motilitas bakteri Beberapa sel prokariotik memiliki flagela, yaitu alat gerak yang berupa filament panjang dan ramping. Flagela tersebut dapat berupa peritrik (tersebar diseluruh permukaan sel) atau polar (berada pada satu atau kedua kutub sel). Flagela polar dapat berupa monotrik (satu flagela pada salah satu kutub), lofotrik (lebih dari satu flagela pada salah satu kutub), atau amfitrik (sekelompok flagela di kedua kutub sel). Sedangkan bakteri yang tidak memiliki flagela disebut pula atrikus (Pratiwi, 2008; Tortora dkk., 2010). Setiap flagela yang dimiliki oleh prokariotik bersifat semirigid, memiliki struktur heliks dan menggerakkan sel dengan cara memutar tubuh utamanya. Saat flagela berotasi, mereka membentuk buntalan yang dapat mendorong cairan di lingkungan tumbuhnya dan menggerakkan bakteri. Rotasi flagela ini tergantung oleh adanya energi (Tortora dkk., 2010). 11 Sel bakteri dapat mengubah kecepatan dan arah rotasi flagella dan menyebabkan berbagai macam pola motilitas atau kemampuan organisme berpindah secara individual. Bakteri yang berpindah menuju satu arah sepanjang waktu disebut run atau swim. Beberapa spesies bakteri yang memiliki lebih dari satu flagel dapat melakukan swarming, menunjukkan pergerakan cepat seperti ombak pada media kultur padat (Tortora dkk., 2010). Pergerakan atau motilitas memungkinkan bakteri berpindah menuju lingkungan yang lebih kondusif bagi hidup mereka.Pergerakan ini disebabkan oleh adanya stimulus kimia (kemotaksis) atau cahaya (fototaksis). Sebagai respon dari stimulus, informasi akan dikirimkan ke flagel. Jika sinyal yang diterima positif, disebut juga atraktan, bakteri akan berpindah ke arah stimulus. Sedangkan apabila sinyal yang diterima negatif, bakteri akan menjauh dari stimulus (Tortora dkk., 2010). Banyak bakteri Gram negatif memiliki organ seperti rambut yang lebih pendek, lebih lurus, dan lebih tipis dibandingkan flagella. Organ ini biasa digunakan sebagai alat bantu perlekatan dan transfer DNA. Organ tersebut disebut fimbria atau pili. Rambut nonflagelar ini memiliki tendensi untuk melekat pada permukaan media, substrat, dan pada sel atau jaringan lain. Dalam dunia kesehatan, pili merupakan salah satu faktor penentu virulensi bakteri.Pili dapat membantu perlekatan patogen pada permukaan epithelial inang sehingga dapat membentuk koloni dan menginfeksi jaringan tersebut. Pili juga mampu membantu mengelak dari serangan fagosit sel darah putih.(Todarb, 2013). Selain itu, pili juga diasosiasikan terhadap pergerakan 12 secara twitching dan gliding pada mikroba. Tipe pergerakan ini memungkinkan mikroba bergerak pada lingkungan yang rendah air, contohnya biofilm dan tanah (Tortora dkk., 2010). Henrichsen (1972) menyebutkan enam macam tipe pergerakan bakteri, yaitu swarming, swimming, gliding, twitching, sliding, dan darting.Keenam tipe pergerakan tersebut diuraikan secara singkat sebagai berikut di bawah ini. a. Swarming Swarming merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media yang dihasilkan oleh adanya pergerakan flagela.Akan tetapi, pergerakan ini berbeda dengan tipe swimming.Pola pergerakan secara mikromorfologis terorganisir membentuk pita yang terulir.Pergerakan terjadi secara terus menerus dan mengikuti sumbu panjang sel yang teragregasi dalam ikatan selama pergerakan. b. Swimming Swimming merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media menggunakan flagella. Tipe pergerakan ini dapat terjadi apabila lapisan pada permukaan cairan cukup tebal. Pola pergerakan secara mikromorfologi tidak terorganisir. Sel-sel bergerak secara individual dan acak. c. Gliding Gliding merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media oleh bakteri tak berflagela dengan mekanisme yang belum diketahui. Pola pergerakan mikromorfologi terorganisir 13 membentuk pita terulir. Pergerakan terjadi terus menerus mengikuti sumbu panjang sel yang teragregasi dalam ikatan selama pergerakan. d. Twitching Twitching merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media oleh bakteri berflagel dan tidak berflagel dengan mekanisme yang belum diketahui, namun bukan diakibatkan oleh flagela. Pola pergerakan mikromorfologinya bervariasi tetapi tidak terlalu teratur seperti pada swarming dan gliding. Bakteri bergerak secara individual dengan sedikit pengaruh pergerakan koloni. Pergerakan muncul secara tidak teratur mengikuti sumbu panjang sel. e. Sliding Sliding merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media yang terjadi akibat adanya gaya ekspansif pada kultur yang tumbuh. Sliding terjadi akibat adanya bantuan dari senyawa tertentu pada permukaan bakteri yang dapat mengurangi gesekan antara sel dengan substrat. Pola pergerakan mikromorfologi yang terjadi berupa lembaran tipis yang seragam terdiri dari satu lapis sel. Lembaran tipis tersebut bergerak perlahan sebagai satu unit. f. Darting Darting merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media yang terjadi akibat adanya gaya ekspansif dalam suatu kapsul yang berisi kumpulan sel. Pasangan sel dan kumpulan sel bergerak hanya dengan cara terlontar seperti yang telah dibuktikan di bawah mikroskop. Pola 14 pergerakan mikromorfologi sel dan kumpulan sel terdistribusi acak dengan adanya area yang kosong pada media karena perpindahan dengan cara telontar. Rashid dan Kornberg (2000) melakukan beberapa metode uji antimotilitas sebagaimana diuraikan di bawah ini. a. Uji swimming Metode uji swimming dilakukan pada media tripton Agar 0,3%. Bakteri uji yang telah diinokulasikan semalam pada media LB Agar 1,5%, diinokulasikan pada media tripton Agar 0,3% menggunakan tusuk gigi steril. Cawan petri tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 30°C selama 12-14 jam. b. Uji swarming Metode uji swarming dilakukan pada media Difco bacto-Agar 0,5%. Media swarming perlu dikeringkan pada suhu ruang selama satu malam sebelum digunakan. Bakteri yang telah diinokulasikan semalam pada media LB Agar 1,5% atau pada media swimming dipindahkan menggunakan tusuk gigi steril. Media tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 30°C selama 12-14 jam. 15 4. Uraian tanaman Myrmecodia tuberosa Jack. a. Klasifikasi tanaman Menurut Backer dan Van den Brink (1965) tanaman ini termasuk dalam divisi Tracheophyta, Kelas magnoliopsida, sub kelas lamiidae, ordo rubiales, family rubiaceae. Tanaman ini juga dikenal dengan nama Lasiostoma tuberosum (Jack) Spreng., M. amboinensis Becc., M. apoensis Elmer, M. armata DC., M. bullosa Becc., M. dahlia K. Schum., M. goramensis Becc., M. kandariensis Becc., M. lanceolata Valeton, M menadensis Becc., M. muelleri Becc., M. oninensis Becc., M. paucispina Valeton, M. menadensis Becc., M. paucispina Valeton, M. pentasperma K. Schum., M. pulvinata Becc., M. salomonensis Becc., M. sibuyanensis Elmer, M. sorsogonensis Elmer, M.urdanetensis Elmer, M. vivipara Warb., M. echinata F. Muell. [illegitimate], M. echinata Gaudich. [illegitimate], M. hispida A. Rich. [invalid], M. inermis DC. [illegitimate], M. tuberose Becc. Ex Treub [illegitimate] (Anonim, 2013c). b. Penyebaran tanaman Tanaman ini banyak ditemukan di hutan rimba terutama di daerah pedalaman Australia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Singapura, Flores, Maluku dan Kalimantan. Spesies Myrmecodia tuberosa banyak ditemukan di Papua Nugini.Di Papua, tanaman ini dapat ditemukan di puncak gunung Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, gunung Bintang, dan Paniai (Subroto dan Saputro, 2006). 16 Gambar 3. Tanaman sarang semut (Chanin, 2006) c. Morfologi tanaman Myrmecodia tuberosa merupakan semak epifit dan berduri pada bagian hipokotil tersebar sepanjang 10-20 cm di daerah linearnya (Huxley dan Jebb, 1993). Bagian hipokotil tumbuhan ini memiliki semacam lubang-lubang terowongan yang dapat digunakan sebagai jalan masuk dan ventilasi udara bagi semut. Biasanya tumbuhan ini tidak bercabang, tetapi terkadang ditemukan tanaman yang bercabang. Lembar daun tumbuhan ini keras, memiliki panjang 7-25 cm serta lebar 4-11 cm dan memiliki 10-15 tulang daun lateral. Menurut penelitian, sarang semut yang tumbuh pada kondisi teduh akan memiliki lembar daun tipis dan lebar. Sedangkan sarang semut yang tumbuh di bawah terik matahari memiliki lembar daun yang lebih kecil dan keras.Bunga tumbuhan sarang semut tumbuh menyendiri.Beberapa berkelompok dan menempel pada batang.Buah 17 tumbuhan ini berwarna oranye cerah, berdaging, dan berbiji 3 hingga 8 (Huxley, 1978). d. Kandungan kimia Tanaman M. pendens mengandung senyawa aktif golongan flavonoid dan tannin, antioksidan (tokoferol dan fenolik) dan kaya kandungan mineral penting seperti kalsium, natrium, kalium, zink, besi, fosfor, dan magnesium (Subroto dan Saputro, 2006).Fraksi n-butanol M. pendens dilaporkan mengandung senyawa yang dapat menghambat enzim xantin oksidase (Simanjuntak, dkk., 2010). Fraksi heksan tanaman sarang semut dari spesies H. formicarum mengandung senyawa stigmasterol, fraksi etil asetat mengandung senyawa isoliquiritigenin, protocatechualdehyde, butin dan butein (Prachayasittikul dkk., 2008). Penelitian membuktikan bahwa M. tuberosa mengandung senyawa fenolik (Efendi dan Hertiani, 2013) dan flavonoid (Saad, 2010). Tumbuhan yang termasuk dalam satu familia pada umumnya memiliki anatomi, morfologi yang mirip sehingga diperkirakan memiliki proses fisiologi yang mirip pula. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab banyak tumbuhan dalam satu familia mempunyai kandungan kimia yang sejenis (Amini dkk., 1991). e. Efek farmakologis Dalam family rubiaceae, hanya genus Hydnophytum dan Myrmecodia yang diasosiasikan dengan semut. Dari kedua genus tersebut, M. pendens, M. tuberosa, dan H. formicarum diyakini memiliki aktivitas 18 terapetik (Soeksmanto dkk., 2010) digunakan secara tradisional sebagai obat luka, tumor, dan kanker. Masyarakat Kabupaten Bulungan, Kalimantan, menggunakan tanaman ini sebagai obat tradisional untuk menghilangkan pegal linu, sakit kepala, asam urat, kolesterol, ambeien, migren, sakit maag, dan kanker (Subroto dan Saputro, 2006). Penduduk lokal di Papua menggunakan tanaman ini untuk mengobati ulcer, haemorrhoid, mimisan, sakit punggung, alergi, asam urat, stroke, jantung koroner, TBC, tumor, dan kanker.Myrmecodia pendens mengandung flavonoid yang berguna sebagai antioksidan sehingga baik untuk mencegah dan membantu mengobati kanker, melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, dan sebagai antibiotik (Suherman, 2008).Khasiat M. pendens terbukti secara empiris untuk mengobati rematik (Subroto dan Saputro, 2006). Sedangkan M. tuberosa dilaporkan memiliki potensi sebagai imunomodulator (Hertiani dkk., 2010), antimikroba terhadap S. aureus, E. coli, dan C. albicans (Efendi dan Hertiani, 2013), serta aktif sebagai agen antibiofilm dan antibakteri pada P. aeruginosa dan S. aureus (unpublished data). Tumbuhan ini telah dilaporkan berpotensi sebagai imunomodulator (Hertiani dkk., 2010). Penelitian Efendi dan Hertiani (2013) membuktikan adanya aktivitas antimikroba ekstrak M. tuberosa terhadap S. aureus, E. coli dan C. albicans. Senyawa yang aktif sebagai antibakteri terhadap S. aureus merupakan senyawa golongan fenolik (Setyani, 2011). Hertiani dkk. (unpublished data) menemukan bahwa ekstrak etanol dan fraksi 19 tumbuhan sarang semut spesies M. tuberosa aktif sebagai agen antibiofilm dan antibakteri terhadap P. aeruginosa dan S. aureus pada kadar 1 mg/mL. 5. Ekstrak dan Fraksi Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut pada pelarut cair sehingga terpisah dengan bahan yang tidak dapat larut.Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, dan kulit akar harus diserbuk sampai halus untuk mempermudah kandungan kimia larut dalam pelarut.Simplisia yang lunak seperti daun dan rimpang tidak perlu diserbuk hingga halus.Hasil ekstraksi disebut ekstrak (Anonim, 2000). Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995). Pelarut yang digunakan adalah air, eter, atau campuran etanol dan air (Anief, 1999). Pelarut yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain: murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif, tidak mempengaruhi zat berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan (Anonim, 1986). Salah satu metode ekstraksi adalah maserasi. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut. Metode ekstraksi ini digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan 20 penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-lain. Pelarut yang digunakan untuk maserasi dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Cara pengerjaan dan peralatan yang diperlukan metode ini sederhana dan mudah ditemukan. Akan tetapi, pengerjaannya lama, dan penyarian senyawa aktif kurang sempurna (Anonim,1986). Secara umum maserasi dilakukan dengan cara : 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam sebuah bejana, lalu dituangi 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk. Setelah 5 hari campuran tersebut diserkai, diperas, dicuci ampasnya dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Lalu maserat dipindah dalam bejana tertutup dan dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari, kemudian maserat dienaptuangkan atau disaring. Selanjutnya, maserat disuling atau diuapkan pada tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 50˚C hingga konsistensi yang dikehendaki (Anief, 1999). Fraksinasi, atau separasi, dilakukan untuk menghilangkan atau memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa mempengaruhi senyawa yang dikehendaki. Fraksi yang diperoleh diharapkan menjadi lebih murni. Proses yang terjadi pada tahapan ini antara lain pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur, dan sentrifugasi (Anonim, 2000). 21 6. KLT-Bioautografi Uji bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak senyawa antimikroba pada kromatogram (Pratiwi, 2008). Metode ini praktis, sederhana, tidak membutuhkan peralatan khusus, dan efisien karena letak bercak dapat ditentukan sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut (Gu dkk., 2009; Pratiwi, 2008). Akan tetapi, KLT-Bioautografi tidak dapat digunakan untuk menentukan KHM dan KBM (Pratiwi, 2008). Metode bioautografi melibatkan difusi senyawa dari kromatogram ke dalam media Agar terinokulasi serta visualisasi zona hambat (Atta-ur-Rahman, 2005). Ada dua macam metode bioautografi, yaitu : 1. Bioautografi langsung Pada metode ini, kromatogram disemprot menggunakan suspensi mikroba. Dapat pula dengan cara menyentuhkan kromatogram pada media Agar terinokulasi mikroba uji. Letak senyawa aktif akan tampak sebagai area jernih dengan latar belakang keruh setelah inkubasi pada selang waktu tertentu (Pratiwi, 2008). 2. Bioautografi overlay Metode ini dilakukan dengan menuangkan media Agar terinokulasi pada permukaan kromatogram. Setelah diinkubasi pada selang waktu tertentu, area hambatan diamati dengan penyemprotan menggunakan 22 tetrazolium klorida. Senyawa aktif antimikroba akan teramati sebagai area jernih berlatar belakang ungu (Pratiwi, 2008). E. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aktivitas antibakteri dan penghambatan motilitas bakteri Pseudomonas aeruginosa oleh ekstrak dan fraksi tanaman M. tuberosa serta dapat mengetahui golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut. 23