BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak penemuan antibiotik pertama kali oleh Fleming pada tahun 1928, telah
ditemukan ribuan antibiotik lain dengan potensi yang beragam. Sayangnya,
banyak senyawa kimia bersifat antimikroba yang juga toksik bagi manusia.Selain
itu, penggunaan antibiotik yang serampangan memunculkan strain bakteri yang
resisten antibiotik.Resistensi ini muncul akibat perubahan genetik pada mikroba
yang mengakibatkan toleransi antibiotik pada jumlah tertentu. Perubahan ini juga
meliputi produksi enzim yang dapat menginaktivasi antibiotik, dan perubahan
permukaan sel mikroba yang mencegah antibiotik menempel dan terabsorbsi ke
dalam mikroba (Tortora dkk., 2010).
Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat
menimbulkan masalah serius bagi pasien pasca operasi, pasien dengan luka bakar,
kanker dan cystic fibrosis.Bakteri ini juga mengakibatkan berbagai macam infeksi
seperti endokarditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, sistem syaraf pusat, mata,
telinga, kulit, dan sistem musculoskeletal (Iglewski, 1996).P. aeruginosa cepat
mengalami resistensi antibiotik, sedangkan penemuan antibiotik baru yang
beraktivitas sebagai antipseudomonal sulit sekali ditemukan.Pemberian berbagai
macam antibiotik dalam usaha mengatasi infeksi bakteri ini mengakibatkan pasien
mengalami multiresistansi antibiotik.Karena itulah dibutuhkan adanya penemuan
senyawa baru yang dapat mengobati infeksi P. aeruginosa (Paterson, 2009). Salah
1
satunya adalah dengan menemukan senyawa penghambat faktor virulensi bakteri
yang menyebabkan kerusakan pada inang tetapi tidak membunuh bakteri
(antipatogenik) (Cotar dkk., 2013).
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif yang memiliki satu
flagela polar, dapat bergerak pada lingkungan berair maupun lingkungan yang
memiliki kadar air rendah. Bakteri ini bergerak secara swimming menggunakan
satu flagella polarnya. Selain itu, P. aeruginosa bergerak secara swarming oleh
adanya hiperflagelasi (Köhler dkk., 2000), dan secara twitching dengan
menggunakan pili tipe IV (Semmler dkk., 1999). Pili diasosiasikan dengan
biofilm karena memiliki fungsi perlekatan sehingga bakteri mampu membentuk
koloni dan menginfeksi inangnya. Penemuan senyawa yang dapat menghambat
motilitas bakteri diharapkan dapat menjadi suatu terobosan dalam penemuan
senyawa antipatogenik terutama bagi bakteri yang cepat mengalami resistensi
terhadap antibiotik.
Tanaman sarang semut (Myrmecodia tuberosa Jack.) banyak ditemukan di
pedalaman Australia dan Asia tenggara. Di Indonesia, tanaman ini ditemukan di
Flores, Maluku, Kalimantan, dan Papua dan telah banyak digunakan sebagai obat
tradisional untuk menghilangkan pegal linu, sakit kepala, asam urat, dan
kolesterol (Subroto dan Saputro, 2006). Tumbuhan ini telah dilaporkan berpotensi
sebagai imunomodulator (Hertiani dkk., 2010). Penelitian Efendi dan Hertiani
(2013) membuktikan adanya aktivitas antimikroba ekstrak M. tuberosa terhadap
S. aureus, E. coli dan C. albicans. Senyawa tersebut merupakan senyawa
golongan fenolik (Setyani, 2011). Hertiani dkk. (unpublished data) menemukan
2
bahwa ekstrak etanol dan fraksi tumbuhan sarang semut spesies M. tuberosa aktif
sebagai agen antibiofilm dan antibakteri terhadap P. aeruginosa dan S. aureus
pada kadar 1 mg/mL.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Fraksi atau ekstrak apakah dari umbi Sarang Semut (M. tuberosa Jack.) yang
paling aktif sebagai agen antibakteri terhadap P. aeruginosa PAO1?
2. Golongan senyawa apakah yang memiliki efek antibakteri terhadap P.
aeruginosa PAO1?
3. Apakah ekstrak dan fraksi tersebut memiliki efek antimotilitas terhadap P.
aeruginosa PAO1?
.
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menentukan potensi antibakteri ekstrak dan fraksi M. tuberosa terhadap P.
aeruginosa.
2. Mengidentifikasi golongan senyawa yang aktif sebagai agen antibakteri
terhadap P. aeruginosa.
3. Menentukan potensi antimotilitas ekstrak dan fraksi M. tuberosa terhadap P.
aeruginosa.
3
D. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan tentang bakteri
Bakteri merupakan salah satu mikroorganisme bersel satu yang
berkembang biak dengan pembelahan diri dan hanya dapat dilihat dengan
mikroskop (Jawetz dkk., 1996). Bakteri dapat dibedakan berdasarkan
morfologinya, jumlah koloni, kebutuhan akan oksigen, dan cara hidupnya
(Pratiwi, 2008). Bakteri juga dapat dibedakan berdasarkan materi penyusun
dinding selnya secara pewarnaan diferensial (Dwidjoseputro, 2001).
Salah satu jenis pewarnaan diferensial adalah prosedur pewarnaan Gram.
Prosedur pewarnaan Gram dilakukan dengan mewarnai bakteri yang telah
difiksasi pada kaca objek menggunakan crystal violet, sehingga bakteri akan
terwarnai ungu. Sisa pewarna dicuci dan noda yang tertinggal diberi iodin
yang dapat menajamkan warna ungu crystal violet.Selanjutnya noda spesimen
diberi alkohol sebagai agen pencuci zat warna untuk menghilangkan warna
ungu pada bakteri tertentu (Pratiwi, 2008). Penambahan safranin akan
memberikan warna merah bagi bakteri Gram negatif. Contoh bakteri Gram
negatif adalah Escherichia coli, Salmonella, dan Klebsiella (Dwidjoseputro,
2001). Bakteri Gram positif akan tetap berwarna ungu setelah penambahan
safranin. Contoh bakteri Gram positif adalah Staphylococcus aureus dan
Streptococcus (Dwidjoseputro, 2001).
Perbedaan di atas dapat terjadi karena dinding bakteri Gram positif
mengandung peptidoglikan yang dapat menghambat tercucinya kompleks
crystal violet-iodin.Sedangkan dinding bakteri Gram negatif mengandung
4
lipopolisakarida yang rusak oleh penambahan alkohol sehingga kompleks
crystal violet-iodin dapat tercuci. Selanjutnya, pewarnaan oleh safranin akan
memberikan warna merah pada bakteri yang telah kehilangan warna ungu
(Pratiwi, 2008).
Gambar 1. Pengecatan Gram pada Pseudomonas aeruginosa
(Todara, 2012)
Pseudomonas
aeruginosa
merupakan
salah
satu
anggota
famili
Pseudomonaceae, ordo Pseudomonadales, kelas Gammaproteobakteria, filum
Proteobakteria,
kingdom
Bakteria
(Todara,
2012;
Prescott,
2002).Pseudomonas aeruginosa umumnya bergerak dengan satu flagela polar
walaupun beberapa strain memiliki dua atau tiga flagel. Bakteri ini merupakan
bakteri Gram negatif, aerob, berbentuk batang dengan panjang rata-rata 1-3
µm, dan dapat hidup dalam suhu 37°C hingga 42°C (Kiska dan Gilligan,
2003). Di bawah lampu UV, P. aeruginosa menampakkan efek fluoresensi
akibat produksi pigmen pyocyanin (Todar a, 2012; Iglewski, 1996).
Pseudomonas aeruginosa tahan terhadap garam konsentrasi tinggi,
pewarna,
antiseptik
lemah
dan
antiobiotik
yang
umum
digunakan
masyarakat.Hal ini menjelaskan bagaimana bakteri ini dapat ditemukan
5
hampir di segala macam lingkungan dan menjadi penyebab masalah serius
pada pasien luka bakar, kanker, dan cystic fibrosis.Bakteri ini juga
menyebabkan endokarditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, sistem syaraf
pusat,
mata,
telinga,
kulit,
dan
sistem
musculoskeletal.Antibiotik
fluoroquinolon, gentamicin, dan imipenem dilaporkan efektif bagi sebagian
besar strain P. aeruginosa. Penggunaan kombinasi gentamisin dan karbenisilin
sering digunakan dalam terapi infeksi Pseudomonas, terutama bagi pasien
leukopenia (Iglewski, 1996).
Pseudomonas aeruginosa menggunakan mekanisme quorum sensing
untuk membentuk faktor-faktor virulensi (Lal, 2009), saling berkoordinasi
membentuk biofilm, bergerak dan membentuk agregat.Bakteri ini hidup di
dalam inangnya tanpa menimbulkan gejala hingga mereka mencapai densitas
tertentu. Kemudian, setelah densitas mereka sudah cukup untuk menimbulkan
infeksi, mereka membentuk biofilm dan menyebabkan penyakit (Tortora dkk.,
2010; Hentzer dan Givskov, 2003).
Pseudomonas aeruginosa bergerak individual secara swimming dengan
menggunakan satu flagela polar. Pada media yang lebih kental, bakteri ini
mengalami hiperflagelasi dan mensintesis satu flagela polar lain untuk
bergerak dalam kelompok secara swarming. Pergerakan ini membutuhkan
pula koordinasi antar sel yang disebut mekanisme quorum sensing (Köhler
dkk., 2000; Rashid dan Kornberg, 2000). Selain itu, P. aeruginosa dapat
bergerak menggunakan pili tipe IV secara twitching (Semmler dkk., 1999).
6
2. Tinjauan tentang antimikroba
Antimikroba dapat dibedakan menjadi antimikroba berspektrum luas dan
berspektrum sempit. Antimikroba berspektrum luas dapat mempengaruhi
mikroba Gram negatif dan Gram positif. Antimikroba berspektrum sempit,
misalnya Penisilin G, mempengaruhi bakteri Gram positif dan sedikit bakteri
Gram negatif. Antimikroba dapat pula dibedakan oleh sifat bakterisid
(membunuh mikroba) atau bakteristatik (menghambat pertumbuhan mikroba).
Pada sistem bakteristatik, mikroba diharapkan akan mati dengan adanya
sistem pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi
(Tortora dkk., 2010).
Tortora dkk. (2010) mengidentifikasikan lima mekanisme aksi obat
antimikroba, sebagaimana tersebut di bawah ini :
a. Penghambatan sintesis dinding sel
Penisilin, Carbapenem, dan Cephalosporin menghambat sintesis utuh
peptidoglikan. Peptidoglikan hanya dapat ditemukan pada dinding sel
bakteri. Dengan kata lain, konsumsi antibiotik ini aman karena tidak
mempengaruhi sel inang. Akan tetapi, antibiotik jenis ini hanya efektif
untuk sel bakteri yang sedang tumbuh.
b. Penghambatan sintesis protein
Antibiotik yang menghambat sintesis protein merupakan jenis yang
dapat
berefek pada
inang karena sel inang
juga
mengandung
protein.Perbedaan dari sel prokariot dengan sel eukariot hanya pada
7
struktur ribosom. Sel eukariot mengandung ribosom 80S, sedangkan sel
prokariot memiliki ribosom 70S (gabungan ribosom 50S dan 30S).
Antibiotik yang selektif mempengaruhi ribosom 70S dapat mempengaruhi
mitokondria inang karena organel tersebut memiliki jenis ribosom yang
sama. Kloramfenikol, eritromisin, streptomisin dan tetrasiklin memiliki
mekanisme aksi mengganggu sintesis protein.
c. Melukai membran plasma
Antibiotik polipeptida mengubah permeabilitas membran plasma dan
mengakibatkan sel mikroba kehilangan metabolit penting. Beberapa obat
antifungi seperti amfoterisin B, mikonazol, dan ketokonazol efektif
melawan berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh fungi. Obat
tersebut berikatan dengan sterol pada membran plasma fungi. Obat ini
tidak berefek pada bakteri karena membran plasma bakteri tidak
mengandung sterol.
d. Penghambatan sintesis asam nukleat
Antibiotik
mengganggu
seperti
Rifamisin,
proses
replikasi
Quinolon
dan
dan
transkripsi
Fluoroquinolon
DNA
pada
mikroorganisme.Jenis antibiotik ini jarang digunakan karena dapat
mempengaruhi DNA inang.
e. Penghambatan sintesis metabolit primer
Aktivitas enzimatik tertentu dalam mikroorganisme dapat dihambat
secara kompetitif oleh antimetabolit yang mirip dengan substrat normal,
contohnya sulfanilamide (sulfa drug) dan asam para aminobenzoat
8
(PABA).Pada
mikroorganisme,
PABA
merupakan
substrat
untuk
memproduksi asam folat, vitamin yang dapat menjadi koenzim dalam
sintesis basa purin dan pirimidin untuk asam nukleat dan asam amino.
Adanya ikatan antara enzim dengan sulfa drugakan menghambat produksi
asam folat.
Selain antimikroba, telah dikembangkan strategi terapi antipatogenik, yaitu
terapi infeksi mikroba dengan menggunakan senyawa yang melemahkan
faktor virulensi mikroba. Strategi terapi ini memiliki keuntungan diantaranya,
memperluas target terapi bakteri, melindungi inang dari zat endogen mikroba,
dan bersifat selektif sehingga dapat meminimalisir terjadinya resistensi (Cotar
dkk., 2013). Salah satu strategi terapi antipatogenik difokuskan pada
komunikasi antar bakteri (quorum sensing). Terapi ini menghambat
pembentukan faktor virulensi tanpa menghambat pertumbuhan bakteri (Smith
dan Iglewski, 2003).
Streptomisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, yaitu
golongan antibiotik yang gula aminonya terikat oleh ikatan glikosidik.
Antibiotik aminoglikosida bersifat bakterisid dan paling aktif melawan
patogen Gram negatif. Ikatan antara streptomisin dan subunit 30S ribosom
menghambat sintesis protein dan menyebabkan kesalahan pembacaan mRNA.
Aminoglikosida cukup toksik dan dapat menyebabkan tuli, berpengaruh pada
ginjal, kehilangan keseimbangan, mual, dan respon alergi (Prescott dkk.,
2002; Tortora dkk., 2010).
9
Gambar 2. Struktur kimia Streptomisin
(Prescott, 2012)
Uji aktivitas antimikroba terhadap patogen spesifik dapat dilakukan
dengan beberapa metode uji, yaitu metode uji dilusi dan difusi. Metode uji
dilusi biasa digunakan untuk mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan
kadar bunuh minimum (KBM) tetapi tidak dapat digunakan untuk memastikan
sifat bakterisid dan bakteriostatik. Metode dilusi dilakukan dengan membuat
seri konsentrasi obat dalam media cair, kemudian ke dalamnya diinokulasikan
bakteri uji. Kadar terkecil yang memberikan larutan jernih merupakan
KHM.Larutan tersebut kemudian dipindahkan ke dalam medium baru yang
tidak mengandung antibiotik maupun bakteri uji. Larutan yang masih terlihat
jernih setelah inkubasi selama 18-24 jam merupakan KBM (Prescott dkk.,
2002, Pratiwi, 2008). Penentuan KBM juga dapat dilakukan dengan
meggoreskan larutan KHM pada media padat bebas antibiotik dan mikroba.
Jika terlihat adanya pertumbuhan pada media padat, obat tersebut tidak
bersifat bakterisid pada kadar yang digunakan (Tortora dkk., 2010).
10
Metode uji difusi merupakan metode yang sederhana dan dapat
menghemat waktu serta media.Salah satu jenis metode difusi adalah disc
diffusion (Kirby & Bauer test). Metode ini dilakukan dengan cara
menempelkan
paper
disk
berisi
antimikroba
yang
telah
diketahui
konsentrasinya pada permukaan media padat yang telah diberi bakteri uji.
Setelah diinkubasi selama 18-24 jam, pengamatan dilakukan untuk melihat
area jernih di sekitar paper disk. Area jernih menunjukkan adanya hambatan
pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antibiotik (Pratiwi, 2008).
3. Tinjauan tentang motilitas bakteri
Beberapa sel prokariotik memiliki flagela, yaitu alat gerak yang berupa
filament panjang dan ramping. Flagela tersebut dapat berupa peritrik (tersebar
diseluruh permukaan sel) atau polar (berada pada satu atau kedua kutub sel).
Flagela polar dapat berupa monotrik (satu flagela pada salah satu kutub),
lofotrik (lebih dari satu flagela pada salah satu kutub), atau amfitrik
(sekelompok flagela di kedua kutub sel). Sedangkan bakteri yang tidak
memiliki flagela disebut pula atrikus (Pratiwi, 2008; Tortora dkk., 2010).
Setiap flagela yang dimiliki oleh prokariotik bersifat semirigid, memiliki
struktur heliks dan menggerakkan sel dengan cara memutar tubuh utamanya.
Saat flagela berotasi, mereka membentuk buntalan yang dapat mendorong
cairan di lingkungan tumbuhnya dan menggerakkan bakteri. Rotasi flagela ini
tergantung oleh adanya energi (Tortora dkk., 2010).
11
Sel bakteri dapat mengubah kecepatan dan arah rotasi flagella dan
menyebabkan berbagai macam pola motilitas atau kemampuan organisme
berpindah secara individual. Bakteri yang berpindah menuju satu arah
sepanjang waktu disebut run atau swim. Beberapa spesies bakteri yang
memiliki lebih dari satu flagel dapat melakukan swarming, menunjukkan
pergerakan cepat seperti ombak pada media kultur padat (Tortora dkk., 2010).
Pergerakan atau motilitas memungkinkan bakteri berpindah menuju
lingkungan yang lebih kondusif bagi hidup mereka.Pergerakan ini disebabkan
oleh adanya stimulus kimia (kemotaksis) atau cahaya (fototaksis). Sebagai
respon dari stimulus, informasi akan dikirimkan ke flagel. Jika sinyal yang
diterima positif, disebut juga atraktan, bakteri akan berpindah ke arah
stimulus. Sedangkan apabila sinyal yang diterima negatif, bakteri akan
menjauh dari stimulus (Tortora dkk., 2010).
Banyak bakteri Gram negatif memiliki organ seperti rambut yang lebih
pendek, lebih lurus, dan lebih tipis dibandingkan flagella. Organ ini biasa
digunakan sebagai alat bantu perlekatan dan transfer DNA. Organ tersebut
disebut fimbria atau pili. Rambut nonflagelar ini memiliki tendensi untuk
melekat pada permukaan media, substrat, dan pada sel atau jaringan lain.
Dalam dunia kesehatan, pili merupakan salah satu faktor penentu virulensi
bakteri.Pili dapat membantu perlekatan patogen pada permukaan epithelial
inang sehingga dapat membentuk koloni dan menginfeksi jaringan tersebut.
Pili juga mampu membantu mengelak dari serangan fagosit sel darah
putih.(Todarb, 2013). Selain itu, pili juga diasosiasikan terhadap pergerakan
12
secara
twitching
dan
gliding
pada
mikroba.
Tipe
pergerakan
ini
memungkinkan mikroba bergerak pada lingkungan yang rendah air, contohnya
biofilm dan tanah (Tortora dkk., 2010).
Henrichsen (1972) menyebutkan enam macam tipe pergerakan bakteri,
yaitu swarming, swimming, gliding, twitching, sliding, dan darting.Keenam
tipe pergerakan tersebut diuraikan secara singkat sebagai berikut di bawah ini.
a. Swarming
Swarming merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media
yang dihasilkan oleh adanya pergerakan flagela.Akan tetapi, pergerakan
ini
berbeda
dengan
tipe
swimming.Pola
pergerakan
secara
mikromorfologis terorganisir membentuk pita yang terulir.Pergerakan
terjadi secara terus menerus dan mengikuti sumbu panjang sel yang
teragregasi dalam ikatan selama pergerakan.
b. Swimming
Swimming merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media
menggunakan flagella. Tipe pergerakan ini dapat terjadi apabila lapisan
pada
permukaan
cairan
cukup
tebal.
Pola
pergerakan
secara
mikromorfologi tidak terorganisir. Sel-sel bergerak secara individual dan
acak.
c. Gliding
Gliding merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media oleh
bakteri tak berflagela dengan mekanisme yang belum diketahui. Pola
pergerakan
mikromorfologi
terorganisir
13
membentuk
pita
terulir.
Pergerakan terjadi terus menerus mengikuti sumbu panjang sel yang
teragregasi dalam ikatan selama pergerakan.
d. Twitching
Twitching merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media oleh
bakteri berflagel dan tidak berflagel dengan mekanisme yang belum
diketahui, namun bukan diakibatkan oleh flagela. Pola pergerakan
mikromorfologinya bervariasi tetapi tidak terlalu teratur seperti pada
swarming dan gliding. Bakteri bergerak secara individual dengan sedikit
pengaruh pergerakan koloni. Pergerakan muncul secara tidak teratur
mengikuti sumbu panjang sel.
e. Sliding
Sliding merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media yang
terjadi akibat adanya gaya ekspansif pada kultur yang tumbuh. Sliding
terjadi akibat adanya bantuan dari senyawa tertentu pada permukaan
bakteri yang dapat mengurangi gesekan antara sel dengan substrat. Pola
pergerakan mikromorfologi yang terjadi berupa lembaran tipis yang
seragam terdiri dari satu lapis sel. Lembaran tipis tersebut bergerak
perlahan sebagai satu unit.
f. Darting
Darting merupakan perpindahan bakteri pada permukaan media yang
terjadi akibat adanya gaya ekspansif dalam suatu kapsul yang berisi
kumpulan sel. Pasangan sel dan kumpulan sel bergerak hanya dengan cara
terlontar seperti yang telah dibuktikan di bawah mikroskop. Pola
14
pergerakan mikromorfologi sel dan kumpulan sel terdistribusi acak dengan
adanya area yang kosong pada media karena perpindahan dengan cara
telontar.
Rashid dan Kornberg (2000) melakukan beberapa metode uji antimotilitas
sebagaimana diuraikan di bawah ini.
a. Uji swimming
Metode uji swimming dilakukan pada media tripton Agar 0,3%.
Bakteri uji yang telah diinokulasikan semalam pada media LB Agar 1,5%,
diinokulasikan pada media tripton Agar 0,3% menggunakan tusuk gigi
steril. Cawan petri tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 30°C selama
12-14 jam.
b. Uji swarming
Metode uji swarming dilakukan pada media Difco bacto-Agar 0,5%.
Media swarming perlu dikeringkan pada suhu ruang selama satu malam
sebelum digunakan. Bakteri yang telah diinokulasikan semalam pada
media LB Agar 1,5% atau pada media swimming dipindahkan
menggunakan tusuk gigi steril. Media tersebut kemudian diinkubasi pada
suhu 30°C selama 12-14 jam.
15
4. Uraian tanaman Myrmecodia tuberosa Jack.
a. Klasifikasi tanaman
Menurut Backer dan Van den Brink (1965) tanaman ini termasuk
dalam divisi Tracheophyta, Kelas magnoliopsida, sub kelas lamiidae, ordo
rubiales, family rubiaceae. Tanaman ini juga dikenal dengan nama
Lasiostoma tuberosum (Jack) Spreng., M. amboinensis Becc., M. apoensis
Elmer, M. armata DC., M. bullosa Becc., M. dahlia K. Schum., M.
goramensis Becc., M. kandariensis Becc., M. lanceolata Valeton, M
menadensis Becc., M. muelleri Becc., M. oninensis Becc., M. paucispina
Valeton, M. menadensis Becc., M. paucispina Valeton, M. pentasperma K.
Schum., M. pulvinata Becc., M. salomonensis Becc., M. sibuyanensis
Elmer, M. sorsogonensis Elmer, M.urdanetensis Elmer, M. vivipara
Warb., M. echinata F. Muell. [illegitimate], M. echinata Gaudich.
[illegitimate], M.
hispida A. Rich. [invalid], M. inermis DC.
[illegitimate], M. tuberose Becc. Ex Treub [illegitimate] (Anonim, 2013c).
b. Penyebaran tanaman
Tanaman ini banyak ditemukan di hutan rimba terutama di daerah
pedalaman Australia, Thailand, Filipina, Vietnam, Kamboja, Malaysia,
Singapura, Flores, Maluku dan Kalimantan. Spesies Myrmecodia tuberosa
banyak ditemukan di Papua Nugini.Di Papua, tanaman ini dapat
ditemukan di puncak gunung Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, gunung
Bintang, dan Paniai (Subroto dan Saputro, 2006).
16
Gambar 3. Tanaman sarang semut
(Chanin, 2006)
c. Morfologi tanaman
Myrmecodia tuberosa merupakan semak epifit dan berduri pada
bagian hipokotil tersebar sepanjang 10-20 cm di daerah linearnya (Huxley
dan Jebb, 1993). Bagian hipokotil tumbuhan ini memiliki semacam
lubang-lubang terowongan yang dapat digunakan sebagai jalan masuk dan
ventilasi udara bagi semut. Biasanya tumbuhan ini tidak bercabang, tetapi
terkadang ditemukan tanaman yang bercabang. Lembar daun tumbuhan ini
keras, memiliki panjang 7-25 cm serta lebar 4-11 cm dan memiliki 10-15
tulang daun lateral. Menurut penelitian, sarang semut yang tumbuh pada
kondisi teduh akan memiliki lembar daun tipis dan lebar. Sedangkan
sarang semut yang tumbuh di bawah terik matahari memiliki lembar daun
yang lebih kecil dan keras.Bunga tumbuhan sarang semut tumbuh
menyendiri.Beberapa berkelompok dan menempel pada batang.Buah
17
tumbuhan ini berwarna oranye cerah, berdaging, dan berbiji 3 hingga 8
(Huxley, 1978).
d. Kandungan kimia
Tanaman M. pendens mengandung senyawa aktif golongan
flavonoid dan tannin, antioksidan (tokoferol dan fenolik) dan kaya
kandungan mineral penting seperti kalsium, natrium, kalium, zink, besi,
fosfor, dan magnesium (Subroto dan Saputro, 2006).Fraksi n-butanol M.
pendens dilaporkan mengandung senyawa yang dapat menghambat enzim
xantin oksidase (Simanjuntak, dkk., 2010). Fraksi heksan tanaman sarang
semut dari spesies H. formicarum mengandung senyawa stigmasterol,
fraksi
etil
asetat
mengandung
senyawa
isoliquiritigenin,
protocatechualdehyde, butin dan butein (Prachayasittikul dkk., 2008).
Penelitian membuktikan bahwa M. tuberosa mengandung senyawa fenolik
(Efendi dan Hertiani, 2013) dan flavonoid (Saad, 2010). Tumbuhan yang
termasuk dalam satu familia pada umumnya memiliki anatomi, morfologi
yang mirip sehingga diperkirakan memiliki proses fisiologi yang mirip
pula. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab banyak tumbuhan dalam
satu familia mempunyai kandungan kimia yang sejenis (Amini dkk.,
1991).
e. Efek farmakologis
Dalam
family
rubiaceae,
hanya
genus
Hydnophytum
dan
Myrmecodia yang diasosiasikan dengan semut. Dari kedua genus tersebut,
M. pendens, M. tuberosa, dan H. formicarum diyakini memiliki aktivitas
18
terapetik (Soeksmanto dkk., 2010) digunakan secara tradisional sebagai
obat luka, tumor, dan kanker. Masyarakat Kabupaten Bulungan,
Kalimantan, menggunakan tanaman ini sebagai obat tradisional untuk
menghilangkan pegal linu, sakit kepala, asam urat, kolesterol, ambeien,
migren, sakit maag, dan kanker (Subroto dan Saputro, 2006). Penduduk
lokal di Papua menggunakan tanaman ini untuk mengobati ulcer,
haemorrhoid, mimisan, sakit punggung, alergi, asam urat, stroke, jantung
koroner, TBC, tumor, dan kanker.Myrmecodia pendens mengandung
flavonoid yang berguna sebagai antioksidan sehingga baik untuk
mencegah dan membantu mengobati kanker, melindungi struktur sel,
meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, dan sebagai antibiotik
(Suherman, 2008).Khasiat M. pendens terbukti secara empiris untuk
mengobati rematik (Subroto dan Saputro, 2006). Sedangkan M. tuberosa
dilaporkan memiliki potensi sebagai imunomodulator (Hertiani dkk.,
2010), antimikroba terhadap S. aureus, E. coli, dan C. albicans (Efendi
dan Hertiani, 2013), serta aktif sebagai agen antibiofilm dan antibakteri
pada P. aeruginosa dan S. aureus (unpublished data).
Tumbuhan ini telah dilaporkan berpotensi sebagai imunomodulator
(Hertiani dkk., 2010). Penelitian Efendi dan Hertiani (2013) membuktikan
adanya aktivitas antimikroba ekstrak M. tuberosa terhadap S. aureus, E.
coli dan C. albicans. Senyawa yang aktif sebagai antibakteri terhadap S.
aureus merupakan senyawa golongan fenolik (Setyani, 2011). Hertiani
dkk. (unpublished data) menemukan bahwa ekstrak etanol dan fraksi
19
tumbuhan sarang semut spesies M. tuberosa aktif sebagai agen antibiofilm
dan antibakteri terhadap P. aeruginosa dan S. aureus pada kadar 1 mg/mL.
5. Ekstrak dan Fraksi
Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut pada pelarut cair sehingga terpisah dengan bahan yang tidak dapat
larut.Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, dan kulit akar harus
diserbuk sampai halus untuk mempermudah kandungan kimia larut dalam
pelarut.Simplisia yang lunak seperti daun dan rimpang tidak perlu
diserbuk hingga halus.Hasil ekstraksi disebut ekstrak (Anonim, 2000).
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku
yang telah ditetapkan (Anonim, 1995). Pelarut yang digunakan adalah air,
eter, atau campuran etanol dan air (Anief, 1999). Pelarut yang baik harus
memenuhi beberapa kriteria antara lain: murah dan mudah diperoleh,
stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan
tidak mudah terbakar, selektif, tidak mempengaruhi zat berkhasiat dan
diperbolehkan oleh peraturan (Anonim, 1986).
Salah satu metode ekstraksi adalah maserasi. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut. Metode ekstraksi
ini digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan
20
penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan
penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-lain. Pelarut yang
digunakan untuk maserasi dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut
lain. Cara pengerjaan dan peralatan yang diperlukan metode ini sederhana
dan mudah ditemukan. Akan tetapi, pengerjaannya lama, dan penyarian
senyawa aktif kurang sempurna (Anonim,1986).
Secara umum maserasi dilakukan dengan cara : 10 bagian simplisia
atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke
dalam sebuah bejana, lalu dituangi 75 bagian cairan penyari, ditutup dan
dibiarkan 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk. Setelah 5
hari campuran tersebut diserkai, diperas, dicuci ampasnya dengan cairan
penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Lalu maserat dipindah
dalam bejana tertutup dan dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari
cahaya selama 2 hari, kemudian maserat dienaptuangkan atau disaring.
Selanjutnya, maserat disuling atau diuapkan pada tekanan rendah pada
suhu tidak lebih dari 50˚C hingga konsistensi yang dikehendaki (Anief,
1999).
Fraksinasi, atau separasi, dilakukan untuk menghilangkan atau
memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa
mempengaruhi senyawa yang dikehendaki. Fraksi yang diperoleh
diharapkan menjadi lebih murni. Proses yang terjadi pada tahapan ini
antara lain pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur, dan
sentrifugasi (Anonim, 2000).
21
6. KLT-Bioautografi
Uji bioautografi merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak
senyawa antimikroba pada kromatogram (Pratiwi, 2008). Metode ini
praktis, sederhana, tidak membutuhkan peralatan khusus, dan efisien
karena letak bercak dapat ditentukan sehingga memungkinkan untuk
mengisolasi senyawa aktif tersebut (Gu dkk., 2009; Pratiwi, 2008). Akan
tetapi, KLT-Bioautografi tidak dapat digunakan untuk menentukan KHM
dan KBM (Pratiwi, 2008). Metode bioautografi melibatkan difusi senyawa
dari kromatogram ke dalam media Agar terinokulasi serta visualisasi zona
hambat (Atta-ur-Rahman, 2005).
Ada dua macam metode bioautografi, yaitu :
1. Bioautografi langsung
Pada metode ini, kromatogram disemprot menggunakan suspensi
mikroba. Dapat pula dengan cara menyentuhkan kromatogram pada
media Agar terinokulasi mikroba uji. Letak senyawa aktif akan tampak
sebagai area jernih dengan latar belakang keruh setelah inkubasi pada
selang waktu tertentu (Pratiwi, 2008).
2. Bioautografi overlay
Metode ini dilakukan dengan menuangkan media Agar terinokulasi
pada permukaan kromatogram. Setelah diinkubasi pada selang waktu
tertentu, area hambatan diamati dengan penyemprotan menggunakan
22
tetrazolium klorida. Senyawa aktif antimikroba akan teramati sebagai
area jernih berlatar belakang ungu (Pratiwi, 2008).
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aktivitas
antibakteri dan penghambatan motilitas bakteri Pseudomonas aeruginosa oleh
ekstrak dan fraksi tanaman M. tuberosa serta dapat mengetahui golongan senyawa
yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut.
23
Download