NILAI EKONOMI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER SEBAGAI PENYIMPAN KARBON DENGAN PENDEKATAN KARAKTERISTIK KAWASAN Ikhsan Anshori1 1 Ilmu Lingkungan, Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Email : [email protected] Abstrak Sumber Daya Alam (SDA) Hutan memiliki kedudukan dan peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Salah satu penyebab rusaknya hutan di Indonesia adanya paradigma hutan dinilai secara ekonomi dari hasil kayunya (timber oriented), tetapi secara ekologisnya jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi kayu. Nilai intangible hutan diantaranya adalah peranannya dalam tata kelola air, penyerap karbon (CO2) dan dan dapat dikembangkan sebagai objek wisata yang potensial. Perlu diketahui nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari kawasan hutan, serta kajian tentang manfaat kawasan hutan melalui pendekatan nilai karbon yang tersimpan. Cara tersebut diharapkan efektif dalam mereduksi pemahaman yang keliru tentang kecilnya nilai ekonomi kawasan hutan konservasi (Taman Hutan Raya Bunder) dibandingkan dengan bentuk pemanfaatan lainnya. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam dapat dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Metode yang penilaian ekonomo kawasan menggunakan pendekatan nilai karbon yang tersimpan dalam areal tersebut. Nilai ekonomi kawasan Taman Hutan Raya Bunder sebagai penyimpan karbon dengan pendekatan karakteristik tapak sebesar 123,325 milyar rupiah per tahun. Keyword : nilai ekonomi, Taman Hutan Raya Bunder, penyimpan karbon. 1. PENDAHULUAN Sumber Daya Alam (SDA) memiliki kedudukan dan peranan sangat penting bagi kehidupan manusia. Hutan merupakan SDA yang harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari demi kesejahteraan manusia baik untuk saat ini maupun pada masa yang akan datang. Salah satu penyebab rusaknya hutan di Indonesia adanya paradigma bahwa hutan hanya bisa dinilai secara ekonomi dari hasil kayunya (timber oriented). Hutan masih sekedar dilihat dari sudut nilai tangible berupa produk yang bisa dijual secara langsung seperti kayu, madu, getah dan sebagainya. Selain itu, masih kuatnya mindset di masyarakat dan pemangku kebijakan bahwa hutan merupakan penghasil devisa negara yang bisa diperbaharui (renewable) semakin memicu tingginya laju deforestasi yang ada di Indonesia. Hutan menghasilkan intangible produk yang apabila dihitung, nilai ekonomi dan ekologisnya jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi kayu. Nilai intangible hutan diantaranya adalah peranannya dalam tata kelola air, penyerap karbon (CO2) dan dapat dikembangkan sebagai objek wisata yang potensial. Namun saat ini nilai ekonomi dari sistem plasma nutfah dan sistem ekologi-biologi sebagai produk (nature) dan jasa/layanan ekosistemnya diabaikan dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan kekayaan alam yang tidak disesuaikan dengan karakteristik dan peruntukannya akan mengakibatkan terjadinya kelangkaan yang berujung pada kemusnahan biodiversity hayati. Apabila kekayaan alam ini musnah karena pemakaian untuk tujuan lain, maka sifatnya absolut tidak dapat dikembalikan pada posisi ekologi biologi semula (irreversible) [1]. Kawasan hutan konservasi merupakan bagian kawasan hutan yang cenderung masih alami. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan/atau bukan jenis asli, yang tidak invasif dan dimanfaatkan untuk Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 55 kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi [2]. Taman Hutan Raya Bunder terletak di dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Playen dan Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Hutan Raya tahun 2014 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : SK.144/Menhut-II/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Hutan Raya Bunder Seluas 634,10 Ha. Taman Hutan Raya Bunder memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh daerah lain, selain itu kekayaan alam hayati serta non hayati yang dimiliki di kawasan ini sangat beragam berupa flora, fauna, pemandangan dan topografi. Taman Hutan Raya Bunder merupakan pertemuan tiga ekosistem alami yaitu ekosistem karst (Pegunungan Seribu) di sebelah timur dan ekosistem lembah (Wonosari) di bagian selatan dan ekosistem gunung tua purba (Gunung Nglanggeran) di sebelah Utara. Ketiga ekosistem ini telah ditetapkan UNESCO menjadi kawasan Geopark untuk dapat dikembangkan sebagai Konservasi Paleoekosistem. Keberadaan Taman Hutan Raya Bunder ini secara langsung memiliki keistimewaan karena berada di transisi 3 (tiga) ekotype yaitu (a) Karst, (b) Lembah Wonosari, dan (c) kaki gunung Purba Nglanggeran [3]. Pengelolaan kawasan Taman Hutan Raya Bunder hendaknya diselenggarankan secara menyeluruh dan terpadu. Menyeluruh baik dari segi sosial, ekonomi maupun ekologi dan terpadu melibatkan pemerintah, akademisi dan masyarakat sekitar. Pengelolaan yang tidak tepat akan mengakibatkan konflik dan kerusakan ekologi yang tidak dapat dikembalikan seperti semula. Berbagai kegagalan dalam pengelolaan kawasan hutan telah meningkatkan jumlah kemiskinan, kualitas kerusakan lingkungan yang terus merosot seperti terjadinya banjir, longsor, kekeringan, bencana alam lainnya bahkan sering terjadi konflik yang berkepanjangan. Hal ini menunjukan adanya kesalahan strategi pembangunan hutan yang selama ini dilaksanakan. Faktor penghambatnya adalah krisis ekonomi dan moneter yang belum pulih dan perencanaan pengelolaan kawasan wisata yang belum optimal. Optimalnya pengelolaan kawasan Taman Hutan Raya Bunder secara signifikan berpengaruh terhadap pendapatan finansial masyarakat setempat dan secara luas meningkatkan perekonomian nasional. Dari sisi ekonomi secara nyata kawasan konservasi mampu menciptakan kegiatan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Pemanasan global telah menjadi isu yang menghangat beberapa dekade belakangan ini, hal ini tidak terlepas semakin terasanya dampak negatif dari pemanasan global tersebut. Dampak yang ditimbulkan dari pemansasan global dirasakan oleh negara maju maupun negara berkembang. Akibat dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global, maka seluruh negara di dunia sepakat untuk mengusahakan pencegahan pemanasan global tersebut. Salah satu usaha pencegahan pemanasan global tersebut adalah penerapan Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) yaitu mekanisme pencegahan pemanasan global melalui penyerapan karbon hutan dengan mencegah deforestasidan degradasi hutan. Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak [4]. Kawasan Taman Hutan Raya Bunder dengan luas 634,10 hektar sebagai hutan memiliki ekosistem hutan yang sempurna. Dengan ekosistem hutan yang sempurna maka akan mempunyai peran dalam penyerapan karbon sehingga mempunyai pengaruh terhadap pengurangan tingkat emisi gas rumah kaca yang memicu adanya pemanasan global (global warming). Potensi penyerapan karbon yang dimiliki kawasan Taman Hutan Raya Bunder mempunyai nilai ekonomi yang harus dipandang sebagai suatu jasa (services) yang merupakan barang yang mempunyai nilai jual. Di dalam ilmu ekonomi, jasa lingkungan seperti udara dan air bersih, tempat tinggal yang bebas dari kebisingan, serta keindahan alam, harus dipandang sebagai suatu jasa (services) yang merupakan final product di dalam bundel pilihan ekonomi individu karena hal tersebut memiliki nilai ekonomi yang signifikan bagi kehidupan manusia [1]. 56 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk Penentuan nilai ekonomi kawasan Taman Hutan Raya Bunder menggunakan pendekatan nilai karbon diharapkan dapat mengungkap nilai ekonomi kawasan. Keseluruhan informasi yang didapatkan akan menjadi referensi dalam pengelolaan khususnya investasi pengembangan kawasan Taman Hutan Raya Bunder sehingga tujuan pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan dapat tercapai. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ekonomi kawasan Taman Hutan Raya Bunder sebagai penyimpan karbon dengan pendekatan karakteristik kawasan. Pengertian Sumber Daya Alam Hutan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap [5]. Hutan adalah ekosistem atau persekutuan hidup tumbuh-tumbuhan yang membentuk satu unit dengan alam lingkungannya. Lingkungan alam dalam pengertian ini meliputi hayati (flora, fauna dan manusia) dan non hayati (sinar matahari, air, udara, dan tanah). Hutan menurut fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya [5]. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan/atau bukan jenis asli, yang tidak invasif dan dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi [4]. Valuasi Ekonomi Sumber Daya Hutan dan Lingkungan Semua manfaat sumber daya hutan dapat diberikan nilai terhadap masing-masing jasa dari hutan tersebut. Secara umum, nilai ekonomi dapat didefenisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Nilai merupalan persepsi manusia tentang makna suatu obyek sumber daya hutan bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu [6]. Nilai sumber daya hutan akan berbeda-beda karena adanya persepsi masyarakat baik berkaitan dengan lokasi yang berbeda maupun cara penilaian atau metode yang digunakan. Nilai sumber daya hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima langsung akan menilai persepsi yang positif terhadap nilai sumber daya hutan, berbeda dengan masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dan tidak menerima manfaat secara langsung. Nilai sumber daya hutan dapat diklasifikasikan menutur cara penilaian dan penentuan besar nilai yang dilakukan yaitu sebagai berikut [7]. a. Nilai pasar, yaitu nilai yang ditetapkan melalui transaksi pasar. b. Nilai kegunaan, yaitu nilai yang diperoleh dari pengunaan sumber daya hutan tersebut oleh individu tertentu. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 57 c. Nilai sosial, yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum ataupun perwakilan masyarakat. Valuasi ekonomi penggunaan sumberdaya alam hingga saat ini telah berkembang pesat. Di dalam konteks ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan, perhitungan-perhitungan tentang biaya lingkungan sudah cukup banyak berkembang. Secara garis besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi suvey atau penilaian hipotesis yang disajikan berikut ini [8]. a. Pendekatan Orientasi Pasar 1) Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual based market methods) : a) Perubahan dalam nilai hasil produksi (change in Productivity). b) Metode khilangan penghasilan (loss of earning methods). 2) Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa perlindungan lingkungan : a) Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods). b) Biaya penggantian (replacement cost methods). c) Proyek bayangan (shadow project methods). d) Analisis keefektifan biaya. 3) Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market based methods) a) Barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan. b) Pendekatan nilai kepemilikan. c) Pendekatan lain terhadap nilai tanah. d) Biaya perjalanan (travel cost). e) Pendekatan perbedaan upah (wage differential methods). f) Penerimaan kompensasi/pampasan. b. Pendekatan Orientasi Survey 1) Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (Willingness To Pay). 2) Pertanyaan langsung terhadap kemauan dibayar (Willingness To Accept). Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non use value). Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai penggunaan (use value) dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value) [10]. 2. METODE Tempat penelitian ini adalah areal kawasan Taman Hutan Raya Bunder Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Waktu penelitian mulai bulan Agustus 2016. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang dipergunakan adalah data sekunder berupa data potensi kawasan Taman Hutan Raya Bunder. Perhitungan nilai ekonomi Taman Hutan Raya Bunder menggunakan data potensi kawasan yang didasarkan pada jenis tegakan pada masing masing petak. Perhitungan cadangan karbon dalam suatu areal hutan menggunakan persamaan sebagai berikut. C total = Σ CPetak Keterangan: Ctotal adalah cadangan karbon dalam suatu areal, dinyatakan dalam ton; 58 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk Cpetak adalah total cadangan karbon dalam setiap petak, dinyatakan dalam ton. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Manfaat Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Bunder Sumber daya hutan banyak memberikan fungsi dan manfaatnya bagi kehidupan manusia di muka bumi. Beberapa manfaat tersebut tergolong tangible seperti hasil hutan kayu dan non kayu seperti rotan, tanaman obat, buah, sayuran, binatang dan sebagainya maupun intangible seperti peran dalam tata kelola air, udara bersih, penyerap karbon (CO2), membantu penyerbukan dan nilai keindahan yang dimiliki ekosistem hutan sebagai potensi wisata. Kawasan konservasi memiliki 3 (tiga) dimensi manfaat, yaitu manfaat ekologi yang berarti melestarikan keanekaan hayati dan ekosistemnya, manfaat ekonomi yang berarti mampu menciptakan peluang dan kesempatan kerja, dan manfaat sosial yang berarti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ragam manfaat yang diberikan kawasan konservasi berhubungan dengan tipe pengelolaan masing-masing kawasan tersebut, yang sangat bergantung pada spesifikasi tujuan konservasi yang ditetapkan. Variasi tujuan konservasi dapat berkisar antara lain sebagai berikut. a. Pemeliharaan dan perlindungan sumber daya lingkungan, jasa dan proses-proses ekologi. b. Produksi sumber daya alam, seperti kayu dan satwa. c. Produksi rekreasi dan jasa wisata. d. Perlindungan benda-benda dan situs sejarah serta budaya; dan. e. Penyediaan peluang-peluang pendidikan dan penelitian. Kawasan konservasi sebagai sumber daya memiliki karakteristik sebagai berikut [6]. a. Nonrivalry (tak tersaingi), yaitu : tidak ada persaingan dalam mengkonsumsi jasa-jasa yang diberikan oleh kawasan konservasi, sebagai contoh konsumsi orang terhadap jasa lingkungan (udara bersih, keindahan alam) tidak mengurangi jumlah produk dan jasa yang tersedia. b. Nonexcludability (tidak eksklusif), yaitu masyarakat umum memiliki akses yang terbuka terhadap sumber daya. Kondisi ini membawa implikasi bahwa produk dan jasa lingkungan tidak memiliki harga pasar atau untuk mendapat manfaat produk/jasa orang tidak harus membeli. c. Off-site Effect (berdampak terhadap lingkungan luar), yaitu manfaat kawasan konservasi dapat menyebar ke tingkat lokal, nasional, global, seperti manfaat DAS dan hidrologi, udara bersih, dan produksi oksigen. d. Uncertainty (ketidakpastian), yaitu: data dan informasi mengenai nilai potensi manfaat pada umumnya tidak lengkap atau tidak benar sehingga membawa implikasi tidak tepatnya penentuan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi, seperti dalam pengalokasian dana dan sumber daya manusia. e. Irreversibility (ketidakpulihan), yaitu apabila kawasan konservasi sudah rusak, maka sangat sulit untuk dapat pulih kembali. Sedangkan apabila dimungkinkan pulih lagi akan diperlukan waktu yang sangat lama, bahkan berabad-abad. Banyak manfaat yang disediakan kawasan konservasi, termasuk taman hutan raya, yang justru sulit dinilai dalam satuan moneter. Manfaat-manfaat tersebut biasanya merupakan manfaat sosial yang sering menjadi justifikasi bagi perlindungan terhadap kawasan konservasi. Mengoptimalkan fungsi hutan merupakan upaya mitigasi perubahan iklim global melalui perannya sebagai pengurangan emisi karbon hutan, penyerapan CO2 dari atmosfir dan pemeliharaan sediaan karbon. 3.2 Perdagangan Karbon sektor Kehutanan Dalam konteks perdagangan tentu ada penjual, pembeli dan barang dagangan itu sendiri, yang diperankan secara berturut turut adalah negara-negara pemilik hutan (penyerap karbon, carbon sink), Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 59 negara-negara industri (penghasil karbon, emitor), dan karbon (dalam senyawa CO2). Jual-beli karbon ini akan dilakukan melalui suatu bentuk skim yang disepakati bersama secara standar internasional dan sebagai konsekwensinya negara penjual wajib mempertahankan dan menjaga kondisi hutannya. Pada awalnya timbul rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan oleh negara-negara yang masih memiliki hutan dan umumnya miskin dan berkembang yang merasa selalu ditekan untuk tetap menjaga hutannya demi kepentingan internasional tanpa memperoleh kompensasi apapun. Di satu sisi negaranegara ini dipaksa untuk mempertahankan kondisi hutannya agar tetap berfungsi menyerap karbon di udara sekaligus menjaga karbon yang ada di dalam tanah agar tidak lepas ke udara, tapi di sisi lain negara-negara industri kaya terus saja melepas CO2 melalui kegiatan industri mereka. Konon sekitar 85% emisi karbon yang ada di atmosfir berasal dari negara-negara ini. Sudah sepantasnya mereka inilah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan pemanasan global [12]. Perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land use change and forestry) merupakan penyumbang emisi karbon terbesar kedua setelah sektor industri, yaitu menyumbang sekitar 15-20% dari total emisi dunia. Pada umumnya terdapat 3 (tiga) kategori mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan, yaitu peningkatan manajemen hutan, Aforestasi/Reforestasi, dan menghindari penebangan hutan dan degradasi hutan (REDD). Dari ketiga kategori tersebut, REDD mempunyai potensi pengurangan emisi karbon yang paling besar. Melalui mekanisme CDM (yang notabene satu-satunya mekanisme yang melibatkan negara berkembang dalam Protokol Kyoto), sektor kehutanan dapat berperan melalui proyek Aforestasi/Reforestasi (A/R CDM). Aforestasi adalah upaya menghutankan areal yang pada masa 50 tahun lalu bukan merupakan hutan. Sedangkan reforestasi adalah upaya menghutankan kembali areal yang dulunya pernah menjadi hutan (dalam hal ini ditetapkan lahan yang sejak 31 Desember 1989 bukan berupa hutan termasuk kategori ini). Namun demikian, proyek-proyek A/R CDM sampai saat ini hanya sebesar 0.29% dari total proyek CDM yang ditransaksikan. Pasar CDM didominasi oleh proyek-proyek industri energi 56%, disusul oleh proyek-proyek dibidang penanganan limbah/sampah 17%, fugitive emission of fuels (6%), pertanian (5%), dan industri manufaktur (4,8%). Dalam skema voluntary, prosentase proyek sektor kehutanan lebih besar yaitu sekitar 14.5% dari total nilai transaksi perdagangan karbon voluntary. Proyek kehutanan dalam skema voluntary diantaranya juga berupa proyek-proyek yang bersifat avoided deforestation. Pasar karbon sektor Kehutanan kemungkinan besar akan bertambah besar terkait dengan isu REDD. Deforestasi sebagian besar disumbang oleh negara-negara berkembang dan setengahnya dilakukan oleh 2 negara yaitu Brasil dan Indonesia. Mengurangi deforestasi dan degradasi hutan berarti mengurangi emisi. Dalam perdagangan diperlukan standar untuk menjaga kualitas barang/jasa yang diperdagangkan. Demikian juga dalam perdagangan karbon diperlukan standar untuk menjaga kualitas proyek pengurangan emisi karbon/offset karbon yang dihasilkan. Standar CDM yang bersifat mandatory telah terbentuk dengan mantap sehingga sering jadi acuan dalam penyusunan standar karbon sukarela. Dalam banyak kasus, pembeli sukarela-karena alasan menghindari resiko-lebih memilih membeli kredit karbon mandatory. Inilah tantangan bagi pengembang standar karbon sukarela. 3.3 Potensi Karbon Taman Hutan Raya Bunder Hutan merupakan tempat penyimpanan dan pengemisi karbon. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90 % biomassa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah), hewan, dan jasad renik [11]. Kawasan Taman Hutan Raya Bunder sebagai kawasan hutan mempunyai potensi penyerapan karbon (carbon sequestration). Dengan potensi karbon yang tinggi untuk kawasan hutan di daratan lahan kering seperti di Wonosari merupakan suatu nilai lebih dari suatu kawasan hutan dalam hal ikut andil dalam penurunan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai penyebab perubahan iklim (climate change).Di kawasan Taman Hutan Raya Bunder terbagi ke dalam 8 petak pengelolaan yaitu sebagai berikut. 60 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk Petak 11 memiliki 10 anak petak dengan luas diperkirakan 93,3 ha. Jenis tamanan pada petak ini didominasi oleh tegakan kayu putih (Melaleuca leucadendron). Tanaman kayu putih yang dimanfaatkan untuk produksi minyak kayu putih dengan sistem pangkas. Jenis tanaman yang lain adalah mahoni, kemiri dan gliricidae. Petak 15 memiliki 5 anak petak dengan luas total kawasan 43,0 ha. Jenis vegetasi yang mendominasi pada petak ini adalah tegakan kayu putih (Melaleuca leucadendron), hampir mencapai 65,0 %, kemudian tanaman mahoni (Sweitenia macrophila) sekitar 25,0 % sisanya adalah akasia sekitar 10 % dari luasan seluruh petak. Petak 19 merupakan kawasan Taman Hutan Raya Bunder yang sangat strategis dan potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata. Jenis tumbuhan yang mendominasi pada areal petak ini ialah jenis akasia (Acacia auriculiformis), baik secara murni maupun tercampur dengan jenis lain. Di bagian tengah terdapat beberapa mosaik tumbuhan sesuai dengan kegiatan pengelolaan pada masingmasing anak petak.Tanaman agroforestry yang dapat dijumpai pada petak ini adalah talok (Grewia sp.), sukun (Artocarpus cummini), mangga (Mangivera indica), jambu mete (Anacardium occidentale), rumput dan palawija. Petak 20 memiliki tanaman dominan jenis kayu putih (Melaleuca leucadendrom) yang diperkirakan mencapai 38,1 ha atau setara 53,9 % luas petak. Jenis tanaman yang lain adalah mahoni (Swietenia macrophyla) diperkirakan seluas 20,3 ha atau setara 28,7 %. Terdapat juga tanaman Glerecidea sp. dengan kondisi rapat pada anak petak 20c seluas 4,2 ha dan tanaman sengon buto (Albizia sp.) yang rapat seluas 5 ha pada anak petak 20 dengan tahun tanam 1995. Petak 21 jenis tanaman yang dominan adalah tanaman kayu putih yang diperkirakan seluas 66,55 ha atau mencakup 63 %dari luas. Jenis tanaman lain yang cukup banyak ialah kesambi (Schleichera oleosa) pada anak petak 20k seluas 17,8 ha atau setara 16,8 % dan tanaman mahoni (Swietenia macrophyla) seluas 12,6 ha atau setara dengan 11,9 %. Jenis lain yang dapat dijumpai pada petak ini adalah tanaman akasia. Tegakan kayu putih pada kawasan ini dibiarkan sebagai upaya tindakan konservatif. Petak 22 terdapat kebun arboretum yang luasnya sekitar 10,7 ha dan areal penangkaran satwa. Pada areal arboretum ditanami berbagai jenis Myrtaceae dan berbagai jenis Eucalyptus sp. Arboretum ini dikelola oleh Balai penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Pada areal penangkaran telah ditangkarkan rusa yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam DIY. Petak 23 seluruh wilayahnya ditanami kayu putih (Melaleuca leucadendron), secara keseluruhan (100 %). Kondisi tegakannya sedang sampai rapat. Kayu putih yang ada tidak dipangkas (tidak diusahakan untuk produksi daun kayu putihnya). Petak 24 jenis vegetasi yang tumbuh pada petak ini seluruhnya adalah kayu putih (Melaleuca leucadendron), untuk produksi dengan sistem pangkas, kerapatan tegakan dari sedang sampai rapat. Pada petak ini dijumpai pula adanya tumpangsari dengan tanaman agroforestry maupun tanaman palawija. Dalam perhitungan potensi karbon tersimpan di Taman Hutan Raya Bunder menggunakan asumsi : a. bahwa setiap petak mempunyai karakteristik dan perkiraan jumlah karbon berbeda. Perhitungan jumlah karbon menggunakan faktor koreksi 0,90 dimana faktor koreksi ditentukan didasarkan pada kondisi luas areal terbuka. b. Estimasi kemampuan penyerapan karbon untuk hutan primer sebesar 263 ton/ha, penyerapan karbon untuk hutan sekunder sebesar 194 ton/ha dan untuk hutan tersier dan semak belukar 115 ton/ha, dimana untuk menghindari perhitungan yang terlalu tinggi (over estiate), maka dipergunakan faktor koreksi sebesar 90%.[9]. c. Perhitungan stock karbon hanya didasarkan pada areal yang berupa hutan (tegakan kayu putih, mahoni, gleresidae dsb.) sebagai hutan sekunder sedangkan untuk aeral lainnya baik persemaian, padang rumput untuk penangkaran satwa, tegalan, tanah kosong dan bangunan dianggap 0. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 61 Berdasarkan uraian data potensi karbon tersimpan tersebut dapat dihitung nilai potensi karbon tersimpan untuk masing-masing petak yang ada di Taman Hutan Raya Bunder. Dari perhitungan yang dilakukan diketahui jumlah stock karbon tersimpan untuk kawasan Taman Hutan Raya Bunder sebesar 1.027.713,06 ton (lihat Tabel 1). Tabel 1. Jumlah stock karbon di setiap petak. No Petak Penggunaan Lahan Luas (Ha) 11 Hutan Lainnya Hutan Lainnya Hutan Lainnya Hutan lainnya Hutan lainnya Hutan lainnya Hutan lainnya Hutan lainnya Total 93,30 0,00 39,30 4,10 98,20 21,30 68,10 2,60 100,40 5,30 62,50 12,20 45,70 0,00 81,11 0,00 634,11 15 19 20 21 22 23 24 Stock Karbon (ton/ha) 194 0 194 0 194 0 194 0 194 0 194 0 194 0 194 0 Jumlah Stock Karbon (ton) 162901.8 0 68617.8 0 171457.2 0 118902.6 0 175298.4 0 109125 0 79792.2 0 141618.06 0 1.027.713.06 Nilai Karbon (US $) 1.629.018,00 686.178,00 1.714.572,00 1.189.026,00 1.752.984,00 1.091.250,00 797.922,00 1.416.180,60 10.277.130,60 3.4. Nilai Ekonomi Karbon Taman Hutan Raya Bunder Berdasarkan Harga Karbon mengikuti standart Word Bank US $ 10 / per ton tersimpan. Mengacu pada hal tersebut maka nilai ekonomi potensi karbon tersimpan dapat diketahui yaitu sebesar US $ 10.277.130.60. Apabila diasumsikan nilai tukar untuk US $ 1 sebesar Rp12.000,00, maka nilai ekonomi potensi karbon tersimpan sebesar Rp123.325.567.200,00 (123,325 milyar rupiah) per tahun. Nilai penyerapan karbon ini merupakan nilai manfaat yang bisa diberikan masyarakat dunia atas kualitas ekosistem Taman Hutan Raya Bunder sebagai kawasan hutan yang mampu berfungsi sebagai penyerap emisi CO2. Bagi Taman Hutan Raya Bunder hasil perdagangan karbon dari fungsi penyerapan karbon merupakan salah satu potensi sumber pendanaan untuk menjaga dan melestarikan keberadaan dan existensi dari Taman Hutan Raya Bunder. 4. KESIMPULAN Nilai ekonomi Taman Hutan Raya Bunder dengan pendekatan nilai karbon yang tersimpan sebesar 123,325 milyar rupiah per tahun. Dengan meningkatkan penglolaan Taman Hutn Raya Bunder ini diharapkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, yang dapat meningkatkan stok karbon di permukaan bumi umumnya dan Provinsi DIY khususnya. Hal ini sesuai dengan komitmen Presiden RI tahun 2009 yang menyatakan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yaitu sebesar 26% dengan upaya sendiri (business as usual) dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020. Dengan mengetahui potensi karbon tersimpan maka langkah menuju perdagangan karbon international akan lebih mudah karena Indonesia sebagai negara “penjual karbon” telah memiliki data lengkap terkait produk yang dijual dalam hal ini potensi karbon. Salah satu cara untuk mengetahui nilai ekonomi potensi karbon tersimpan dengan melakukan pengukuran dan di penelitian ini menggunakan pendekatan 62 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk karakteristik kawasan dan penggunaan lahan untuk mengetahui potensi karbon tersimpan. Sebagai upaya untuk meningkatkan serapan karbon perlu dilakukan kegiatan RHL pada beberapa lokasi yang terbuka. . DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] Tambunan, M., 2011. Teori dan Aplikasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Bahan Ajar Kuliah Ekonomi SDA dan Lingkungan Mahasiswa PPIE Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sutarto, 2015. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Hutan Raya Bunder Periode 20162025. Dinas Kehutanan Dan Perkebunan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta. Hairiah, K., & Subekti R. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran “Karbon Tersimpan” Di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre, ICRAF Southeast Asia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hufschmidt, M. 1993. Teknik Penilaian Ekonomi terhadap Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Suparmoko, M dan Ratnaningsih, M, 2014, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. BPFE-Yogyakarta. Wiratno, Indriyo, D., Syarifudin, A., dan Kartikasari, A. 2004. Berkaca di Cermin Retak : Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia, Departemen Kehutanan, Forest Press, PILI-NGO Movement. Jakarta. Brown K, Pearce DW. 1994. The Causes of Deforestation : The Economic and Statistical Analysis of the Factor Giving Rise to Loss of the Tropical Forest, University College Press, London, and the University of British Columbia Press, Vancouver. Fauzi, A. 2014. Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. IPB Press. Bogor. Arief, A. 2005. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Boer, Nugroho, Ardiansyah. 2009. Analisis Potensi Perdagangan Karbon Kehutanan dalam rangka mengatasi Krisis Keuangan. Prosiding seminar hasil-hasil penelitian IPB. Bogor. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 63