DINAMIKA PSIKOLOGIS TAWADHU’ MAHASISWA TERHADAP GURUNYA Fony Libriastuti1 Priyo Abhi Sudewo2 1 Magister Psikologi Sains, Universitas Surabaya Alamat : Jalan Raya Kalirungkut, Surabaya, Indonesia / Telepon: +62-31-298-1000 Email : [email protected], [email protected] ABSTRAK Psikologi Islam sangat menarik untuk dibahas melihat perkembangannya saat ini di Indonesia, dalam paper ini penulis hendak membahas permasalahan Psikologi Islam dalam bidang pendidikan. Penulis pernah berkuliah di kampus islami namun saat menjalani perkuliahan dinamika emosi dengan dinamika berfikir kritis penulis cukup kompleks. Banyaknya tantangan masalah dan budaya yang mengharuskan penulis menempatkan diri dengan bijaksana. Setelah penulis observasi lebih lanjut, ada beberapa mahasiswa yang juga merasakan fenomena tersebut terjadi pada dirinya, bahkan dinamika dan kompleksitasnya cukup rumit untuk diuraikan. Beberapa mahasiswa yang dahulu berasal dari lingkungan budaya pesantren ternyata saat di pesantren terdapat budaya menghormati perintah dan pelajaran dari guru, namun ketika dihadapkan di dunia kampus dimana kita juga dikondisikan oleh budaya & sikap berfikir kritis entah itu dari pergaulan teman, organisasi ekstra kampus, dan juga bisa jadi oleh dosen kita sendiri, kita merasa dilemma apakah harus selalu mengkritisi pemikiran dosen/guru kita yang tidak sependapat dengan kita atau selalu menuruti kata-kata dosen/guru kita. Secara teoritis Tawadhu’ tidak berhubungan secara langsung terhadap berfikir kritis mahasiswa, namun secara etika komunikasi sikap tawadhu’ dapat mempengaruhi pola penyusunan argumentasi dan keterbukaan mahasiswa dalam menyampaikan pendapatnya. Tujuan dari penulisan paper gagasan pemikiran ilmiah ini adalah untuk memberi gambaran solusi atas Dinamika Psikologis Tawadhu’ dalam permasalahan pendidikan. Metode yang kami gunakan dalam membuat paper gagasan pemikiran ilmiah ini adalah dengan analisis literasi dari beberapa referensi terkait permasalahan yang dihadapi, dan merangkum sebuah solusi dan rekomendasi untuk mengatasi dinamika psikologis tawadhu’ tersebut. Diharapkan dengan adanya paper gagasan pemikiran ilmiah ini dapat membantu perkembangan kemampuan berfikir kritis mahasiswa. Kata Kunci: Berfikir Kritis, Dinamika Psikologis, Tawadhu’ 1. PENDAHULUAN Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 285 A. LATAR BELAKANG MASALAH Kampus islam di Indonesia mendapat input lulusan SMA dari berbagai macam latar belakang budaya, salah satunya adalah lulusan SMA di lingkungan budaya pesantren. Jika diperhatikan dari pengkondisian lingkungan pesantren, siswanya dididik untuk berperilaku santun dalam berbicara dengan gurunya, selalu menghormati perintah dan ajaran gurunya, sehingga terbentuk manusia yang bersikap tawadhu’ terhadap gurunya. Fenomena yang lebih marak terjadi saat berada dalam pengkondisian kelas, mungkin akan sangat bingung dengan cara teman-teman kelas lainnya menanggapi argumentasi dari sang Dosen (yang lebih ditempatkan sebagai Guru), banyak yang mampu terbuka mengeksplor orisinalitas pemikirannya sendiri sedangkan subjek merasa tidak mampu untuk melawan pemikiran dosen. Sedangkan dalam pengkondisian budaya organisasi (UKM) yang suka berfikir kritis semakin membuat subjek merasa harus punya rasa perlawanan terhadap ketidak-samaan pemikiran namun sungkan jika menghadapi dosen di kelas karena teringat norma sikap tawadhu’ yang dibiasakan saat masih mengenyam pendidikan di pesantren. Dalam diri seseorang terdapat sifat-sifat rendah hati, selalu memuliakan, mengutamakan orang lain, tidak memandang dirinya lebih dari orang lain. Rendah hati tidak sama dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri. Sikap tawadhu’ atau rendah hati terhadap sesama manusia akan membimbing seseorang bertingkah laku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada orang tua, kepada guru, kepada seseorang yang lebih tua ilmunya maupun umurnya. Sikap tawadhu’ yang seperti ini, pada masa kini sudah mulai berkurang, dan hampir sudah tidak ada lagi generasi sesudah kita ini sudah jarang yang masih kental melakukannya. Oleh karena itu muncullah pendidikan pesantren untuk menciptakan tumbuhnya akhlak-akhlak mulia tersebut pada diri seorang muslim. Namun tantangan untuk tetap mempertahankan akhlak tawadhu’ tersebut dihadapkan oleh dinamika pengkondisian kampus untuk tetap berfikir kritis dimanapun kita berada. Menurut penjelasan secara bahasa, definisi Tawadhu’ adalah bersikap tenang, sederhana, dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takkabur, ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan (kecerdasan, atau keunggulan) kita. Atau dapat juga diartikan Tawadhu’ artinya rendah hati, tidak sombong, lawan dari kata sombong atau takabur. Yaitu perilaku yang selalu menghargai keberadaan orang lain, perilaku yang suka memulyakan orang lain, perilaku yang selalu suka mendahulukan kepentingan orang lain, perilaku yang selalu suka menghargai pendapat orang lain (Ilyas, 2002 : 123). Sedangkan definisi berfikir kritis adalah menggunakan pikiran dan mencakup membuat pendapat, 286 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk membuat keputusan, menarik kesimpulan, dan merefleksikan (Gordon, 1995) Berpikir merupakan suatu proses yang aktif dan terkoordinasi (Chaffee, 1994). Atau dapat juga dikatakan berpikir kritis adalah suatu proses yang bertujuan untuk membuat keputusankeputusan yang masuk akal tentang apa yang dipercayai atau apa yang dilakukan (Ennis, 1996: xvii) Secara kajian teoritis Tawadhu’ tidak berhubungan secara langsung terhadap berfikir kritis mahasiswa. Secara etika komunikasi sikap tawadhu’ mungkin akan mempengaruhi dalam pola penyusunan argumentasi dan keterbukaan mahasiswa dalam menyampaikan pendapatnya. Dan hal ini dapat mempengaruhi proses pembelajaran saat di perkuliahan dan proses perkembangan dinamika psikis subjek dalam membentuk karakter pribadinya. Ada urgensi dalam hal pendidikan karakter yang seimbang untuk subjek mahasiswa yang berkuliah di kampus islam tersebut. Tujuan dari penulisan paper gagasan pemikiran ilmiah ini adalah untuk memberi gambaran solusi atas Dinamika Psikologis Tawadhu’ dalam permasalahan pendidikan. Diharapkan dengan adanya paper gagasan pemikiran ilmiah ini dapat membantu perkembangan kemampuan berfikir kritis mahasiswa dan keseimbangan karakter dalam pengembangan kepribadian mahasiswa kampus islam. Subjek studi kasus adalah mahasiswa salah satu kampus islam di Surabaya. B. SIKAP TAWADHU’ MAHASISWA Sudah menjadi keniscayaan bahwa Perguruan Tinggi Islam akan mengejawantahkan Visi, Misi dan Tujuan pendidikannya dengan memuat Mata Kuliah Keislaman yang porsinya lebih banyak, serta implementasi ajaran Islam akan mewarnai iklim akademik. Paradigma Islam tentang menuntut ilmu, dikemas dalam Al-Qur‟an dan Al-hadist. Setidaknya terdapat sepuluh ayat yang berkenaan dengan pentingnya menuntut ilmu yaitu dalam surat al‟Alaq: 1-5, surat az-Zumar: 9, al-Mujaadilah: 11, Saba: 6, Ali Imran: 7, Faathir: 28, al-Ankabuut: 20, Thaahaa: 114, Yusuf: 76, al-Israa: 85. Dengan demikian Islam menuntun dan menuntut mahasiswa sebagai orang yang sedang mencari ilmu untuk lebih tawadhu dan dapat menahan diri (lebih sabar), sehingga perilakunya harus sesuai dengan aturan lembaga pendidikan dan mencerminkan keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran atau college engagement. (HUBUNGAN COLLEGE ENGAGEMENT BANDUNG DENGAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA MUSLIM DI Yuli Aslamawati, Enoch, dan Agus Halimi Universitas Islam Bandung, Jl. Taman Sari No. 1, Bandung e-mail: [email protected]) Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 287 Kata tawadhu berasal dari kata kerja lampau (fi’il madhi) yakni yang berarti menaruh atau meletakkan sesuatu. Kata tawadhu secara etimologis berarti orang yang merasa dirinya memiliki sejumlah kekurangan karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong, lawan dari kata sombong atau takabur. Yaitu perilaku yang selalu menghargai keberadaan orang lain, perilaku yang suka memulyakan orang lain, perilaku yang selalu suka mendahulukan kepentingan orang lain, perilaku yang selalu suka menghargai pendapat orang lain (Ilyas, 2002 : 123). Dan bersikap tenang, sederhana, dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takkabur, ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita. Pengertian yang lebih dalam adalah kalau kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Orang yang tawadhu’ adalah orang yang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya berasal dari Allah SWT. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Tamiyyah Rahimahullah bahwa manusia itu terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu: a) Golongan pertama: Orang-orang yang menginginkan ketinggian diatas manusia dan berbuat kerusakan di bumi, yaitu berbuat maksiat kepada Allah. Mereka adalah kalangan para raja, para pemimpin yang senang membuat kerusakan seperti: Fir‟aun dan kelompoknya. Dan mereka adalah sejelek-jeleknya makhluk. b) Golongan kedua: Yaitu orangorang yang sekedar menginginkan kerusakan tanpa menginginkan ketinggian, seperti para pencuri dan para pelaku tindak kriminal dari kalangan orang-orang rendahan. c) Golongan ketiga: Yaitu mereka yang menginginkan ketinggian tanpa membikin kerusakan, seperti orang-orang yang punya piutang. d) Golongan keempat: Mereka adalah ahli surga, orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di muka bumi dan tidak suka berbuat kerusakan, padahal mereka sendiri terkadang sebenarnya lebih tinggi dari selainnya. Manfaat tawadhu dan pengaruhnya terhadap akhlak seorang hamba: 1. Mudah menerima kebenaran dari orang lain tanpa melihat jenis, keturunan, kedudukan, pangkat dan usia. 2. Tidak gampang meremehkan manusia. 3. Terciptanya manusia yang lurus dan saling mencintai, seperti ibarat jasad yang satu, tidak ada padanya seorangpun yang meninggikan diri atas yang lainnya. 4. Menampakkan kekuatan, power (kekuasaan) dihadapan orang kafir. 5. Suka memaafkan, lapang dada, dan merendah terhadap orang-orang yang beriman. 288 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk 6. Bersikap lemah lembut terhadap anak kecil dan kaum lemah. 7. Diangkat derajat dan kedudukannya.8. Merasakan lezatnya iman. 9. Tidak berbangga diri, dzalim dan tidak senang ketenaran. 10. Berakhlak mulia dan pelakunya mendapat kedudukan yang tinggi dan derajat yang agung serta keutamaan yang melimpah (Asy- syaikh husain bin „audah al awayisyah: 32 – 39). C. CARA MENEMPATKAN DIRI PARA MAHASISWA PESANTREN Posisi guru di dalam pondok pesantren adalah pembimbing kehidupan dunia dan akhirat kita, begitupun guru/dosen yang mengajar di lingkungan Kampus Islam juga seperti pembimbing kehidupan dunia dan akhirat subjek, sehingga subjek tidak akan menghilangkan rasa hormat subjek pada pembimbing kehidupan dunia & akhirat dia. Sedangkan murid adalah seseorang yang masih tahap belajar, sehingga subjek tidak akan serta merta menyombongkan dirinya yang baru saja tahap belajar. Dan di luar peran kelas, terkadang subjek bertemu dengan Guru dalam konteks sosial yang berbeda seperti saat guru subjek menjadi seorang pemimpin komunitas A sedangkan subjek mungkin menjadi seorang pemimpin komunitas B, maka saat anggota komunitas A dan anggota komunitas B sedang konflik personal maka subjek sebagai pemimpin yang bijak harus menjadi fasilitator yang mampu menyelesaikan masalah dengan adil dan berkomunikasi dengan baik dengan Guru subjek sendiri. DINAMIKA KEPERCAYAAN MAHASISWA TERHADAP USTADZ Penelitian dari sebuah survey yang dilakukan oleh The Royal College of Physicians (2009) mengenai level kepercayaan terhadap beberapa macam profesi (Annual Survey of Public Trust in Professions) di Inggris, menempatkan profesi Pemuka Agama (76%) termasuk pada level atas setelah profesi Dokter (89%), Guru (86%), dan Profesor (77%) yang dipercaya oleh masyarakat berdasarkan kebenaran perkataan yang disampaikan (tell of the truth). Sama halnya dengan ustadz yang dipercaya karena perkataan yang disam paikan merupakan sebuah kebenaran yang memiliki dasar, namun bukan berarti ustadz luput dari tindakan yang dapat menurunkan reputasi maupun citra baiknya sebagai figur pendakwah. Seperti, tidak sedikit berkembang berbagai fenomena yang kurang sesuai dengan peranan, kepribadian, maupun integritas seorang ustadz, mulai dari permasalahan mengenai ustadz sebagai trend dalam berdakwah yang hanya mencari popularitas, ustadz melakukan perbuatan asusila, hingga permasalahan seputar ustadz yang menetapkan tarif Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 289 untuk setiap dakwah yang ia sampaikan, hal ini menjadikan masyarakat mulai menganggap para penceramah tidak lagi ikhlas dalam menjalankan tugas mulianya. Rousseau et al. (1998) mendefinisikan kepercayaan adalah wilayah psikologi yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perhatian atau perilaku yang baik dari orang lain (dalam, Hakim, Thontowi, Yuniarti, & Uichol, 2012). Hardin (2004) memahami trust sebagai kepercayaan seseorang terhadap orang lain tergantung pada motif mereka. Ketika seseorang menyatakan “Aku percaya padamu”, ini tidak selalu berarti bahwa kepercayaan individu terhadap semua hal yang ada pada diri mereka, namun kepercayaan hanya mencakup hal-hal tertentu. Kami percaya pada dokter mengenai obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit tertentu namun tidak pada bidang politik. Oleh karena itu, kapasitas seseorang mengenai obyek kepercayaan merupakan hal penting sebagai dasar bagi kepercayaan (dalam Hakim, Thontowi, Yuniarti, & Uichol, 2012). Kee dan Knox (1970) mengatakan bahwa kepercayaan tidak hanya berdasarkan pada pengalaman masa lalu tetapi juga berdasarkan pada faktor posisi seperti kepribadian. Rotter (1967) kepercayaan sebagai bentuk kepribadian, kepercayaan dilukiskan sebagai sebuah harapan yang berupa kata- kata atau janji dari orang lain yang dapat terlaksana (dalam Colquitt, Scott, and LePine, 2007). Mayer et al. (1995) mendefinisikan kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada kemampuannya untuk mengawasi dan mengendalikannya. Megasari (2012) mengatakan bahwa ustadz adalah seorang juru dakwah yang di- pandang sebagai ahli agama, selain sebagai tempat bertanya masyarakat awam, tingkah lakunya juga dijadikan panutan. Ustadz sebagai publik figur yang dikenal oleh masyarakat melalui acara dakwahnya. Muji Al Ana (2008) kata Ustadz jamaknya asatidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, penulis, pelatih, dan penyair. 2. METODE Metode paper ini menggunakan metode analisis literature dan review jurnal atau penelitian yang mendukung. Literature review adalah uraian tentang teori, temuan, dan bahan penelitian yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian yang akan datang. Memperbandingkan teori dan temuan penelitian orang lain yang sudah dilakukan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 290 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk Barry McWaters mengemukakan 8 tingkatan kesadaran manusia, yaitu fisik, emosi, intelek, integrasi pribadi, intuisi, psikis, mistik, dan integrasi transpersonal dengan penjelasan dan metodemetodenya untuk pengembangan diri secara personal dan transpersonal. Dari pandangan ini nyata bahwa psikologi transpersonal berusaha memperluas bidang telaah psikologi dari kawasan ragawi dan kejiwaan menjadi kawasan raga-jiwa-ruhani. Dengan perkataan lain, psikologi transpersonal memperluas konsep kesatuan psikofisik manusia menjadi kesatuan psikofisik-spiritual. PERBEDAAN MENDASAR ANTARA “NEGATIVE THINKING” DAN BERFIKIR KRITIS Secara teoritik berpikir kritis haruslah reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to beleive or no. Ada yang mendefisikan critical thinking is mode of thinking about Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 291 any subject, content problem-in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully taking change of the structure inherent in thinking and impossing intellectual standard upon them. Jadi berpikir kritis itu tidak harus menolak pemikiran yang sedang berkembang. Berpikir kritis tidak harus menjadikan seseorang “no man” yang selalu menyatakan tidak setuju. Bahwa berpikir kritis itu tidak begitu saja percaya dengan pemikiran yang ada atau kebijakan yang ada adalah sangat betul. Berangkat dari ketidakpercayaan itu kemudian melakukan analisis, mencari data/pemikiran pembanding, sehingga akhirnya dapat memutuskan apakah menyetujui atau tidak menyetujui terhadap pemikiran atau kebijakan yang sedang ditelaah. Beberapa ahli mengatakan bahwa berpikir kritis meliput enam tahap, yaitu: (1) interpretasi, (2) analisis, (3) evaluasi, (4) inferensi, (5) penyelasan, dan (6) regulasi diri. Pada tahap interprestasi, seseorang melakukan pencermatan sampai memahami betul makna sesungguhnya dari pemikiran atau kebijakan yang dikritisi. Tahap ini antara lain dapat mecakup kategorisasi, dekoding dan klarifikasi. Pada tahap analisis, dilakukan analisis terhadap landasan filosofis, yuridis, dan teoritis yang digunakan oleh pemikiran atau kebijakan tersebut. Tahap inilah yang paling pokok, agar simpulan dari analisis tidak bias oleh subyektivitas tertentu. Pada tahap evaluasi dilakukan pembandingan hasil analisis tersebut dengan standar yang relevan. Pemilihan standar harus utuh dan obyekif sehingga patokan yang digunakan sebagai pengukur hasil analisis tersebut dapat dipertanggung-jawabkan. (oleh: Muchlas Samami) PENDIDIKAN KARAKTER YANG SEIMBANG DI LINGKUNGAN KAMPUS ISLAMI Definisi Karakter Menurut Ratna, karakter berasal dari bahasa Yunani "charassein", artinya meng- ukir hingga terbentuk sebuah pola. Jadi, untuk mendidik anak agar memiliki karakter diperlukan proses "mengukir", yakni pengasuhan dan pendidikan yang tepat. (Ratna Megawangi, 2007: 13). Sementara Kilpatrick dan Lickona merupakan pencetus utama pendidikan karakter yang per- caya adanya keberadaan moral absolute dan bahwa moral absolute itu perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana yang baik dan benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) juga Brooks dan Goble tidak sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values clarification yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari agama292 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”. Contohnya adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat dan bertanggungjawab. Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domein afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domain psikomotor). Seperti kata Aristotle, karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan. Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendi- dikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan utnuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action). (Lickona, 1992: 21). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. Istilah lain yang sering dipakai untuk karakter adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya adat kebiasaan. Moral juga berasal dari bahasa Yunani “mores” yang berarti adat kebiasaan. Etika dan moral merupakan sebuah pranata prilaku seseorang atau seke- lompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiah kelompok masyarakat tersebut. (Ahmad Amin, 1975:3). Standar baik dan buruk menurut etika adalah akal manusia. Sedangkan standar baik buruk menurut moral berdasarkan adat istiadat sekelompok masyarakat. Oleh karena itu rumusan etika dan moral bersifat lokal dan temporal. Dalam Islam, pendidikan karakter lebih komprehensif yang dikenal denga dengan pendidikan Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 293 akhlak. Pengertian akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun ( ) yang me- nurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Menurut Rahmat Djatnika, bahwa peng- ertian akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, di antaranya menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab dari mufrodnya khu- luq ( ( ) ﺧﻖ اbentuk jamak ), yang berarti budi pekerti. (Rahmat Djatnika, 1994:26). Elizabeth B. Hurlock menegaskan, behaviour which may be called “true morality” not only conforms to social standarts but also is carried out voluntarily, it comes with the transition from external to internal authority and consist of conduct regulated from within. (Elizabeth B. Hurlock, 1978: 386). Artinya, bahwa tingkah laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya itu bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilak- sanakan dengan suka rela, tingkah laku it terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan (bertindak) yang diatur dalam diri. Selanjutnya Imam AlGhazali mengemu- kakan definisi akhlak sebagai berikut: ﻣﻦ ﺣﺎﺟﺔ ◌ّ ﻋﻖ ة ﻋﻦ وروي . Bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu) (al-Ghazali, t.th.: 58) Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut al-Ghazali mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya. Nilai-Nilai Karakter Keshalehan yang Seimbang Nilai-nilai karakter yang diharapkan dari akhlak Islam meliputi sikap hidup secara menyeluruh, baik menyangkut hu- bungan dengan Allah, sesama manusia dan ligkungan. Rumusan akhlak dalam Islam dapat dilihat dalam rincian sebagai berikut: 1. Akhlak kepada Allah SWT Beribadah kepada Allah sebagai bukti ketundukan dan kepatuhan kepda- Nya. a) Al- Hubb, mencintai Allah melebihi cinta kepada apapun b) Berzikir, yaitu selalu mengingat Allah dalam semua kondisi dan si- tuasi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. c) Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah dan meru- pakan mengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia. d) Bertaubat, sikap menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukan. e) Tawakkal 294 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk kepada Allah, berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan usahan secara maksimal. f) Tawadhu’ kepada Allah, merasa rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. g) Bersyukur, berterimakasih kepada Allah atas segala nikmat yang diberikannya dengan cara memanfaatkan nikmat tersebut di jalan Allah serta meningkatkan ibadah kepada-Nya. h) Ridha dan ikhlas terhadap segala keputusan Allah, menjauhkan diri dari riya’. 2. Akhlak kepada Rasulullah, meliputi: a) Mencintai Rasulullah secara tulus dan mengikuti semua sunnahnya b) Menjadikan Rasulullah sebagai idola, suri teladan dalam kehidupan c) Melakukan apa yang disuruhnya dan meninggalkan apa yang dila- rangnya. 3. Akhlak kepada Ibu Bapak, meliputi: a) Mencintai dan menyayangi ibu bapak b) Bertutur kata sopan dan lemah lembut c) Mentaati segala perintahnya selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. d) Menyantuni mereka jika sudah tua e) Mendoakan keduanya, baik ketika masih hidup apalagi setelah meninggal dunia. f) Meneruskan silaturrahmi dengan kerabat ibu bapak. 4. Akhlak kepada sesama manusia a) Saling hormat menghormati dan bersikap sopan santun b) Saling Bantu menbantu c) Saling nasehat menasehati d) Suka memaafkan Apabila semua itu terwujud, maka akan tercipta suatu masyarakat yang aman dan makmur. 5. Akhlak kepada Diri sendiri a) Menjaga kesucian diri dan tidak menzalimi diri sendiri b) Menjaga kesehatan diri c) Memperhatikan hak-hak diri baik secara fisik maupun psikis d) Sabar dan pengendalian diri. e) Memperhatikan kebutuhan jasmani dan rohani diri 6. Akhlak terhadap lingkungan a) Memakmurkan bumi dan mengelola sumber daya alam (Hud,11:16). b) Tidak membuat kerusakan di muka bumi (Alqashas, 28: 77). Nilai-nilai karakter yang dirumuskan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan yang dapat dikembangkan dalam pendidikan termasuk juga dalam pendidikan keluarga meliputi: kereligiusan, Kejujuran, Kecerdasan, Ketangguhan, Kedemokratisan, Kepedulian, Kemandirian, Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, Keberanian mengambil risiko, Berorientasi pada tindakan, Berjiwa kepemimpinan, Kerja keras, Tanggung jawab, Gaya hidup sehat, Kedisiplinan, Percaya diri, Keingintahuan, Cinta ilmu, Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, Menghargai karya dan prestasi orang lain, Kesantunan, Nasionalisme, dan Menghargai keberagaman. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 295 4. KESIMPULAN Sebagai penutup kesimpulan & rekomendasi, saya sebagai penulis yang juga masih banyak memiliki kekurangan sehingga saya mohon maaf jika ada kesalahan penulisan, penulis berniat mengajak saudara pembaca marilah bersama-sama kita menuju kematangan berbudaya dengan memahami dan menghargai kehidupan yang luas ini, dengan pemahaman dan penghargaan terhadap berbagai macam budaya tersebut maka insyaAllah akan membentuk diri kita menjadi individu yang lebih dewasa lagi. DAFTAR PUSTAKA [1.] [2.] [3.] [4.] [5.] [6.] [7.] [8.] [9.] (HUBUNGAN POLA DIDIK ORANG TUA DENGAN SIKAP TAWADHU’ ANAK PADA GURU DI SEKOLAH DASAR NEGERI GIYANTI CANDIMULYO MAGELANG TAHUN 2012. SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperolah Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam. Oleh: SITI CHUMAIDAH NIM, 11410084 PROGRAM STUDI AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012 (Kepercayaan Mahasiswa Terhadap Ustadz: Pendekatan Indigenous Psikologi Silvia Desmawarita, Linda Aryani Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Email:[email protected]) Nurhasanah Bakhtiar: Peran Orang Tua Dalam Membina Karakter Anak Shaleh Sebagai Upaya Mewujudkan Masyarakat Madani Menuju Visi Riau 2020. S o s i a l B u d a y a : M ediaKomunikasiIlmu-IlmuSosialdanBudaya,Vol.12,No.2Ju li-Desember2015 Mujidin, “Garis Besar Psikologi Transpersonal: Pandangan Tentang Manusia dan Metode Penggalian Transpersonal Serta Aplikasinya dalam Dunia Pendidikan”.Humanitas :Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1,Fakultas Psikologi Unuversitas Ahmad Dahlan,2005, hlm. 56. Abuddin Nata. 1997. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Baqir Syarif al-Qarashi. 2000. Seni Mendidik Islam. Jakarta: Pustaka Zahra. Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rajawali Pers. Jakarta. Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003 Endang Saifuddin Anshari,1992, Kuliah Al-Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet III H.A.R Tilaar (1999), Pendidikan, kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 296 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk [10.] Imam Ahmad bin Hambal, t.t.Musnad Juz II, (Beirut: Darul Kutub al Ilmiyah. Imam AlGhazali,t..t. Ihya’ Ulumuddin Juz III, (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al- Ilmiyah,) [11.] Inun Mualifah, et.al., 2008. Perkembangan Peserta Didik Edisi Pertma, Surabaya: LapisPGMI. [12.] Kementerian Nasional, 2012. Pendidikan Karakter Terintegrasi Dalam Pembelajaran, Jakarta. Lexi [13.] J. Moleong. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya, Lickona, 1992. T, Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books, New York, 1992, Raising Good Children: From Birth Through the Teenage Years. Bantam Books, New York. [14.] Mattew B. Miles dan Michael A. Huberman, Analisis data Kualitatif, terjem., Tjetjep Rohendi (Jakarta:UI Press, 1992. [15.] Megawangi, R. (1999), Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Pustaka Mizan, Bandung. 2007. Pendidikan Karakter, Jakarta. [16.] Singgih D. Gunarsa dan Y. Singgih Gunarsa. 2004. Psikologi Praktis Anak Remaja dalam Keluarga, (Jakarta: Gunung Mulia. Yuliana. 2008. Anakku Islam Itu Indah, Bogor: Mahabbah Pustaka. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016 297