BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Struktur Jembatan 2.1.1. Jembatan Jembatan merupakan salah satu elemen penting dalam sistem transportasi. Menurut Scott (1991), jembatan merupakan suatu struktur yang menghubungkan dua jalan yang terputus karena adanya jurang, lembah, sungai, jalan, saluran irigasi bahkan menghubungkan antar pulau yang terpisah cukup jauh. Jembatan dibangun untuk memberikan jalur penghubung bagi pejalan kaki, kendaraan maupun kereta api diatas halangan tersebut. Menurut Barker (2007) terdapat tiga alasan mengapa jembatan merupakan elemen penting dalam sistem transportasi. Tiga alasan tersebut yaitu: a. Merupakan pengontrol kapasitas dari sistem Lebar jembatan berpengaruh pada kapasitas jembatan untuk menampung jumlah jalur yang diperlukan lalu lintas. Apabila lebar jembatan kurang dari yang dibutuhkan, maka jembatan tentunya akan menghambat lalu lintas. b. Memiliki biaya tertinggi per mil dari system Jembatan merupakan struktur dengan nilai perencanaan, operasional serta maintenance yang mahal. Jenis biaya per mil dari jembatan jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya per mil jalan. Sehingga dalam perencanaan jembatan, biaya merupakan salah satu faktor penting. c. Jika jembatan runtuh, sistem akan gagal Ketika jembatan dihilangkan dari sistem karena runtuh atau perbaikan, maka sistem transportasi mungkin dibatasi dalam fungsiya. Pengguna sistem akan mencari jalur alternatif lain yang tentunya akan lebih menghabiskan bahan bakar dan waktu tempuh lebih lama. 5 6 2.1.2. Jembatan Rangka Baja Jembatan rangka (truss bridge), tersusun dari batang-batang yang dihubungkan satu sama lain dengan pelat buhul, dengan pengikat paku keling, baut atau las. Batangbatang rangka ini hanya memikul gaya dalam aksial (normal) tekan atau tarik, tidak seperti pada jembatan gelagar yang memikul gaya-gaya dalam momen lentur dan gaya lintang. Jembatan rangka telah menjadi kekuatan yang efektif dan efisien untuk jembatan bentang panjang lebih dari 150 tahun. (Thamrin, 2012) Gambar 2.1 Jembatan rangka Sumber: http://sidiksipil.blogspot.co.id/2015/09/jembatan-rangka-batang.html (4 Maret 2016, 20.40) 2.1.3. Pembebanan Jembatan Berdasarkan RSNI T-02-2005 mengenai Standar Pembebanan Untuk Jembatan secara umum pembebanan jembatan meliputi beban tetap, beban lalu lintas serta beban lingkungan (beban gempa). a. Beban Tetap Secara umum beban tetap terdiri dari berat sendiri dan beban mati tambahan. 1.) Berat Sendiri Berat sendiri dari bagian bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen non struktural yang dianggap tetap. 2.) Beban Mati Tambahan/Utilitas Beban mati tambahan adalah berat seluruh peralatan, utilitas dan komponen non struktural yang terdapat pada jembatan, serta lapisan 7 penutup permukaan, rencana pelebaran dan penambahan penutup permukaan jalan. Beban mati tambahan bisa berubah selama umur jembatan. b. Beban Lalu Lintas Beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur “D” dan beban truk “T”. Beban lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iringiringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri. Beban truk “T” adalah salah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan per lajur lalu lintas rencana. Secara umum, beban “D” akan menjadi beban penentu dalam perhitungan jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban “T” digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan. 1.) Beban Lajur “D” Beban lajur “D” terdiri dari beban terbagi rata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT). a) Beban Terbagi Rata (BTR) Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut: Untuk L ≤ 30 m, dipakai q = 9,0 kN/m2 (2.1) Untuk L > 30 m, dipakai q = 9,0 x (0,5 + 15 / L) kN/m2 (2.2) Sumber: SNI T-02-2005 dengan: 8 q = intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan (kPa) L = panjang total jembatan yang dibebani (meter) Selain dengan fungsi diatas, penentuan beban terbagi rata (BTR) juga bisa ditentukan berdasarkan grafik berikut. Gambar 2.2 Beban “D” : BTR vs panjang yang dibebani Sumber: SNI T-02-2005 Panjang yang dibebani L adalah panjang total BTR yang bekerja pada jembatan. BTR mungkin harus dipecah menjadi panjang-panjang tertentu untuk mendapatkan pengaruh maksimum pada jembatan menerus atau bangunan khusus. Dalam hal ini L adalah jumlah dari masing-masing panjang beban-beban yang dipecah. b) Beban Garis (BGT) Beban garis (BGT) dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah melintang jembatan pada bentang lainnya. 9 Gambar 2.3 Beban lajur “D” Sumber: SNI T-02-2005 c) Penyebaran Beban “D” pada Arah Melintang Beban “D” harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponenkomponen BTR dan BGT dari beban “D” pada arah melintang harus sama. Penempatan beban ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: i. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 %. ii. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban “D” harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (n) yang berdekatan (Tabel 2.x), dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis equivalen sebesar n x 2,75 q kN/m dan beban terpusat equivalen sebesar n x 2,75 p kN, kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar n x 2,75 m. iii. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50 %. Susunan pembebanan ini bisa diihat dalam Gambar 2.4. 10 iv. Luas jalur yang ditempati median yang dimaksud dalam harus dianggap bagian jalur dan dibebani dengan bebean yang sesuai, kecuali apabila median tersebut terbuat dari penghalang lalu lintas yang tetap. Gambar 2.4 Penyebaran pembebanan pada arah melintang Sumber: SNI T-02-2005 Tabel 2.1 Jumlah lajur lalu lintas rencana Tipe Lebar Jalur Jumlah Lajur Lalu Jembatan Kendaraan Lintas Satu Lajur 4,0 – 5,0 1 Dua arah, 5,5 – 8,25 2 tanpa median 11,3 – 15,0 4 8,25 – 11,25 3 11,3 – 15,0 4 15,1 – 18,75 5 18,8 – 22,5 6 Banyak arah Sumber: SNI T-02-2005 11 2.) Pembebanan Truk “T” a.) Besarnya Pembebanan Truk “T” Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat dalam Gambar 5. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan. Gambar 2.5 Pembebanan truk “T” (500 kN) Sumber: SNI T-02-2005 b.) Posisi dan Penyebaran Pembebanan Truk “T” dalam arah melintang Terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu kendaraan truk “T” yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana. Kendaraan truk “T” ini harus ditempatkan ditengah-tengah lajur lalu lintas rencana seperti pada Gambar 2.5. Jumlah maksimum lajur lalu lintas rencana dapat dilihat dalam Tabel 2.1, akan tetapi jumlah lebih kecil bisa digunakan dalam perencanaan apabila menghasilkan pengaruh yang lebih besar. Hanya jumlah lajur lalu lintas rencana dalam nilai bulat harus digunakan. Lajur lalu lintas rencana bisa ditempatkan dimana saja pada lajur jembatan. 12 c. Beban Gempa Secara umum pemilihan analisis pembebanan gempa tergantung pada tipe jembatan, besarnya koefisien akselerasi gempa dan tingkat kecermatan. Berdasarkan beban gempa terdapat dua jenis analisis yaitu analisis statis dan analisis dinamis. Untuk analisis statis yaitu dengan metode statis equivalen. Metode tersebut merupakan pendekatan beban gempa yang terdistribusi pada tiap lantai. Pendekatan tersebut berupa beban lateral yang dianggap sebagai representasi dari gaya gempa. Untuk analisis dinamis yaitu dengan metode pushover analysis dan analisis riwayat waktu. Pushover analysis merupakan metode yang menggunakan respon spektrum sebagai beban gempa. Metode ini juga merupakan pendekatan dengan mengasumsikan beban gempa yang sifatnya dinamis menjadi statis sehingga ada beberapa peneliti yang berpendapat bahwa metode ini bukan termasuk analisis dinamis namun termasuk analisis statis. Analisis riwayat waktu merupakan analisis dinamis dengan menggunakan ground motion record. Hasil yang didapatkan dari metode ini lebih akurat karena analisisnya menggunakan gerakan tanah asli yang pernah terjadi. Dalam mendesain suatu struktur, terkadang analisis dinamis diperlukan sebagai verifikasi bila kinerja struktur terhadap gempa tidak diwakili sepenuhnya oleh prosedur perhitungan statis dan semi dinamis. Namun dalam hal tertentu seperti evaluasi atau penelitian penggunaan analisis dinamis metode riwayat waktu dapat digunakan untuk semua tipe jembatan dan tidak terbatas pada spesifikasi diatas. 2.2. Analisis Riwayat Waktu Analisis riwayat waktu merupakan salah satu metode dalam menganalisis struktur berdasarkan gempa. Analisis riwayat waktu termasuk ke dalam kategori analisis dinamis. Analisis tersebut menggunakan rekaman pergerakan tanah (ground motion record) dalam menganalisis suatu struktur. 13 Menurut SNI 2833-2008 mengenai Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan analisis riwayat waktu memerlukan data gempa besar tipikal yang umumnya terjadi di luar lokasi jembatan. Gerakan gempa masukan berupa gelombang akselerasi dengan amplitudo yang dimodifikasi berdasarkan wilayah frekuensi (frekuency zone) sehingga sesuai akselerasi standar respon spektra. Gempa tipikal harus dipilih berdasarkan kondisi tanah dan topografi yang serupa dengan lokasi jembatan, sehingga dapat dilakukan modifikasi amplitudo. Dalam analisis ini, paling sedikit tiga gerakan tanah yang sesuai harus digunakan. Kekurangan dalam analisis ini yaitu membutuhkan waktu yang cukup banyak. Hal ini disebabkan oleh proses input data yang banyak dan beragam serta perhitungan yang rumit. Namun kelebihan dalam analisis ini yaitu hasil yang ditampilkan lebih akurat karena input yang dimasukkan dalam analisis adalah rekaman gempa yang pernah terjadi sehingga respon struktur yang dihasilkan lebih realistis. 2.2.1. Akselerogram Gerakan tanah dapat direpresentasikan dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah akselerogram. Akselerogram merupakan representasi terinci dari gerakan tanah gempa dan mengandung banyak informasi tentang sifat pergetaran tanah. Ketika riwayat waktu (time history) yang diperlukan, akselerogram dapat dipilih dari data penyimpanan akselerogram asli (yang pernah terjadi) atau dapat juga dihasilkan secara sintetis. Untuk semua kasus, akselerogram yang digunakan dalam desain tahan gempa harus kompatibel atau sesuai dengan tingkat resiko gempa serta harus mencerminkan sifat gerakan tanah yang ditinjau di lokasi. 14 Gambar 2.6 Akselerogram Hospital de Curico Sumber: http:www.fhwa.dot.gov/publications/research/infrastructure/structure/ 11030/002.cfm 2.2.2. Target Respon Spektra Target respon spektra merupakan respon spektra berdasarkan tinjauan lokasi serta kelas situs jembatan yang akan dianalisis. Target respon spektra tersebut berfungsi sebagai penyesuaian rekaman gempa (time history) sehingga sesuai dengan lokasi serta kelas situs jembatan yang ditinjau. Pada SNI 1726:2012 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung telah dijelaskan prosedur menyusun target respon spektra. Respon spektra sendiri merupakan konsep pendekatan yang digunakan untuk keperluan perancangan struktur bangunan. Definisi respon spektra adalah respon maksimum dari suatu sistem struktur Single Degree of Freedom (SDOF) baik percepatan, kecepatan dan perpindahan dengan struktur tersebut dibebani dengan gaya luar tertentu. Absis dari respon spektra adalah periode alami sistem struktur dan ordinat dari respon spectra adalah respon maksimum. Kurva respon spektra 15 akan memperlihatkan simpangan relatif maksimum (Sd), kecepatan relatif maksimum (Sv) dan percepatan total maksimum (Sa). Gambar 2.7 Desain Respon Spektra Sumber: https://rezkymulia.wordpress.com/2011/03/28/perencanaan-respons spektra-sesuai-asce-7-10/ 2.2.3. Menentukan Ground Motion Record dalam Analisis Riwayat Waktu Dalam menentukan ground motion yang akan dipakai diperlukan kriteria agar output yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Meskipun kriteria tersebut tidak mutlak harus dipenuhi semua, namun agar mempermudah proses serta hasilnya sesuai yang diinginkan hendaknya dipenuhi kriteria-kriteria tersebut. Kriteria yang dimaksud bisa berdasarkan FEMA, ASCE, atau peneliti lainnya. Berdasarkan ASCE/SEI 7-10 terdapat beberapa kriteria dalam pemilihan Ground Motion untuk analisis riwayat waktu. 16 a. Bentuk Respon Spektra dari Ground Motion Record Dalam analisis riwayat waktu diperlukan target respon spektra dan ground motion record. Untuk mempermudah analisis, diharapkan bentuk respon spektra dari ground motion record memiliki kemiripan dengan bentuk target respon spektra pada rentang 0,2T sampai 1,5T dimana T merupakan periode alami pertama dari struktur yang ditinjau. b. Magnitude Magnitude merupakan ukuran kekuatan gempa bumi yang menggambarkan besarnya energi yang terlepas pada saat gempa bumi terjadi dan merupakan hasil pengamatan Seismograf. Magnitude menggunakan skala Richter (SR). Dalam menentukan ground motion untuk analisis riwayat waktu, hendaknya dipilih magnitude antara 5-7,9 SR. Hal ini dikarenakan gempa dengan intensitas dibawah 5 SR tidak akan menimbulkan dampak yang berarti pada struktur. c. Jarak Berdasarkan jarak, ground motion dibagi menjadi dua, yaitu near fault dan far fault. Near fault merupakan ground motion dengan jarak sumber gempa yang tidak terlampau jauh (<10 km, berdasarkan FEMA) sedangkan far fault merupakan ground motion dengan jarak sumber gempa yang jauh (>10 km, berdasarkan FEMA). Untuk menganalisis IDA, hendaknya ground motion yang dipakai konsisten. Apabila memakai ground motion dengan near fault, maka seluruhnya memakai near fault. Begitu pula dengan far fault. Jarak juga mempengaruhi bentuk repon spektra dari ground motion. Oleh karenanya perlu konsistensi agar hasil yang dicapai sesuai harapan. d. Kondisi Tanah Bentuk respon spektra dari ground motion juga tergantung pada kondisi tanah. Tanah dengan kelas situs batuan akan memiliki rentang short period yang lebih awal daripada kelas situs tanah biasa (keras, sedang dan lunak). Hendaknya dalam memilih disesuaikan dengan bentuk target respon spektra. 17 2.2.4. Penyesuaian Ground Motion Record dengan Target Respon Spektra pada Analisis Riwayat Waktu Berdasarkan ASCE 7-10 terdapat dua metode untuk menyesuaikan ground motion record dengan target respon spektra. Metode yang pertama adalah amplitude scaling dan yang kedua adalah kombinasi amplitude scaling dengan modifikasi konten frekuensi. Metode amplitude scaling merupakan metode yang menerapkan scale faktor dalam bentuk skalar pada semua ordinat akselerasi pada tiap komponen horizontal (gempa arah x dan y). Skala faktor tersebut dapat dihitung dengan rumus berikut: SF = ∑๐ ๐=1 ฤ๐ ๐ด๐ ∑๐ ๐=1 ๐ด๐ ๐ด๐ (2.3) Sumber: Kalkan dan Chopra, 2010 dengan: SF = faktor Skala, ฤi = spectral acceleration target respon spektra pada periode ke-i, Ai = spectral acceleration respon spectra yang akan diskala pada periode ke-i. Untuk mengubah ground motion menjadi respon spektra dapat menggunakan metode Fast Fourier Transform (FFT) atau menggunakan software. Metode ini akan menghasilkan output yang baik apabila bentuk respon spektra dari ground motion record memiliki kemiripan dengan bentuk target respon spektra pada rentang 0,2T sampai 1,5T dimana T merupakan periode alami pertama dari struktur yang ditinjau. Metode yang kedua yakni kombinasi amplitude scaling dengan modifikasi konten frekuensi lebih sering disebut spectrum matching. Metode ini memodifikasi konten frekuensi dari tiap komponen horizontal setelah metode amplitude scaling digunakan. Metode ini digunakan apabila bentuk respon spektra dari ground motion record tidak memiliki kemiripan dengan bentuk target respon spektra pada rentang 0,2T sampai 1,5T. Output dari metode ini adalah artificial akselerogram yang memiliki frekuensi sama dengan akselerogram yang belum terskala. 18 2.3. Incremental Dynamic Analysis (IDA) Performance Based Earthquake Engineering (PBEE) atau kinerja berdasarkan gempa merupakan prosedur yang digunakan untuk memprediksi kapasitas seismik dari suatu struktur berdasarkan dengan gaya gempa. Kapasitas seismik tersebut menggambarkan kekuatan atau kemampuan suatu struktur terhadap gaya gempa. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas seismik dari suatu struktur adalah metode incremental dynamic analysis. Incremental dynamic analysis merupakan metode analisis yang dikembangkan untuk mengestimasi secara akurat respon gempa (seismic demand) dan kapasitas dari struktur. Metode tersebut membutuhkan riwayat waktu non linier (non linier time history) dari pergerakan tanah. Respon tersebut diskalakan untuk berbagai besaran sehingga dihasilkan respon keseluruhan struktur, dari perilaku elastik sampai dengan perilaku inelastik. 2.3.1. Konsep Dasar Incremental Dynamic Analysis Konsep-konsep dasar IDA diteliti oleh Vamvatsikos dan Cornell (2002) dengan menggunakan model struktur gedung baja 20 lantai dengan sistem rangka pemikul momen (SRPM). Pada awalnya mereka menggunakan sebuah rekaman gempa untuk mengetahui kapasitas struktur yang digambarkan melalui kurva IDA. Proses tersebut dikenal dengan single record IDA. Pada single record IDA hanya terbentuk satu kurva IDA. Dalam hal ini tentunya belum dapat merepresentasikan secara tepat kapasitas dari suatu struktur. Selanjutnya mereka menggunakan rekaman gempa yang lain sebanyak 30 buah pada struktur yang sama untuk melihat perbandingannya. Proses ini dikenal dengan multi records IDA. Dengan banyaknya rekaman gempa yang digunakan maka otomatis akan memberikan hasil kurva IDA yang semakin bervariasi. 19 Gambar 2.8 Kurva IDA dengan 30 rekaman gempa Sumber: Vamvatsikos dan Cornell, 2002 Untuk satu gempa, maka akan menghasilkan satu respon. Namun untuk jumlah gempa yang lebih dari satu, akan menghasilkan beberapa respon sesuai dengan jumlah gempa yang diberikan. Dengan banyaknya respon tersebut, maka respon struktur menjadi bervariasi sehingga diperlukan perhitungan statistik agar dapat mengestimasi kemungkinan distribusi dari respon struktur. Terdapat beberapa istilah yang digunakan pada metode Incremental dynamic analysis seperti scale factor, intensity measure, damage measure, single record IDA, multi records IDA, kurva IDA, kumpulan kurva IDA serta limit states. Scale Factor (SF) atau faktor skala merupakan nilai atau angka yang digunakan untuk menyekalakan percepatan alami dari riwayat waktu. Nilai dari scale Factor (SF) bisa kurang dari satu dan bisa lebih dari satu namun tidak kurang dari nol. A Monotonic Scalable Ground Motion Intensity Measure (mudahnya disebut intensity measure, IM) merupakan parameter dari intensitas struktur. Intensity measure dapat berupa Sa(T1,5%) percepatan absolut struktur dengan periode elastik mode pertama dan rasio redaman 5%. Damage Measure (DM) atau Structural State Variable merupakan karakteristik dari respon struktur berdasarkan beban gempa yang diberikan. Damage Measure dapat berupa drift ataupun displacement. 20 A Single Record IDA merupakan analisis dinamis dari suatu model struktur dengan menggunakan skala factor berdasarkan satu riwayat waktu pergerakan tanah. A Single Record IDA juga dikenal sebagai dynamic pushover (DPO). A Multi Record IDA merupakan kumpulan dari single record IDA pada model struktur yang sama dengan akselerogram berbeda. Kurva IDA merupakan plot grafik dari intensitas pergerakan tanah (IM) dengan parameter respon struktur (DM). Parameter intensitas struktur dapat berupa Sa (T1,5%) percepatan absolut struktur dengan periode elastik mode pertama dan rasio redaman 5%. Sedangkan untuk parameter respon struktur dapat berupa drift rasio atau displacement. Kumpulan kurva IDA merupakan kumpulan dari kurva IDA pada model struktur yang sama dengan akselerogram yang berbeda, yang semuanya menggunakan parameter IM dan DM yang sama. Menurut Vamvatsikos dan Cornell (2002), beberapa tujuan yang didapat dari metode Incremental dynamic analysis yaitu: a. Lebih memahami perubahan respon alami struktur seiring dengan peningkatan intensitas pergerakan tanah. b. Menghasilkan estimasi kapasitas dinamis dari system struktur global. c. Pada kumpulan grafik Incremental dynamic analysis, dapat dilihat bagaimana suatu struktur stabil atau tidak terhadap berbagai jenis pergerakan tanah. 2.3.2. Limit State Salah satu poin penting untuk mengestimasi kerusakan akibat gempa adalah menentukan batasan kinerja yaitu limit state. Banyak para peneliti yang telah meneliti limit states diantaranya Dumova Jovanoska (2000), Jiang et al (2012), Syed (2013), Hernandez (2007) serta Hazus. Secara umum, limit states terbagi menjadi sedikit (slight), sedang (moderate), luas (extensive), dan lengkap (complete). Tabel 2.2 memperlihatkan deskripsi dari limit state atau batas kerusakan menurut HAZUS serta Tabel 2.3 memperlihatkan definisi limit state untuk pier jembatan. 21 Tabel 2.2 Deskripsi batas kerusakan (Limit State) berdasarkan HAZUS Limit States Deskripsi Retakan kecil dan terdapat pecahan pada abutmen, terdapat sedikit pecahan dan retakan pada sendi atau sambungan, terjadi Degree I, Slight/minor damage sedikit pecahan pada kolom yang hanya membutuhkan perbaikan lapisan luar saja dan sedikit retakan pada dek jembatan. Pada beberapa kolom terdapat pecahan dan retakan yang agak besar namun kolom masih dengan aman dapat tegak berdiri Degree II, sebagai penopang utama struktur, pada sambungan terdapat Moderate damage retakan akibat gaya geser yang berlebihan hingga terdapat beberapa baut yang bengkok dan terjadi sedikit penurunan pada ujung jembatan. Beberapa kolom mengalami kerusakan yang cukup parah Degree III, hingga sudah tidak aman lagi sebagai penopang utama struktur, Extensive damage pada beberapa sambungan sudah kehilangan fungsinya sebagai tumpuan dan terjadi penuruan pada ujung jembatan. Beberapa kolom sudah collapse dan semua sambungan sudah Degree IV, kehilangan Complete damage fungsinya sebagai tumpuan sehingga mengakibatkan keruntuhan pada dek jembatan. Sumber: Nielson, 2005 Tabel 2.3 Definisi limit states untuk pier jembatan Damage Measure Referensi Limit State Slight Moderate Extensive Complete 1,0 % 2,5 % 5,0 % 7,5 % 0,7 % 1,5 % 2,5 % 5,0 % Li et al. (2012) 1,45 % 2,6 % 4,3 % 6,9 % Yi et al. (2007) 0,7 % 1,5 % 2,5 % 5% Banerjee dan Shinozuka (2008) Drift Ratio, δ/h Kim dan Shinozuka (2004) Sumber: SYNER-G: Typology Definiton and Fragility Functions for Physical Elements at Seismic Risk, 2005 22 2.3.3. Pengaplikasian Incremental Dynamic Analysis Metode incremental dynamic analysis merupakan salah satu analisis dinamis yang dapat digunakan untuk mengestimasi respon gempa dan kapasitas dari struktur. Dalam mengaplikasikan metode ini terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu model struktur serta pembebanannya (gravitasi). Secara umum, langkah yang dibutuhkan dalam mempresentasikan metode Incremental dynamic analysis, yaitu: a. Memilih intensitas gerakan tanah yang sesuai dan representative ukuran kerusakan. b. Menggunakan pendekatan algoritma untuk memilih rekaman penyekalaan. c. Menggunakan interpolasi yang tepat. d. Menetapkan limit states untuk menghitung kapasitas yang sesuai. Dalam pengaplikasiannya, metode ini telah banyak dikembangkan. Salah satunya oleh Rafie dan Bargi (2013). Mereka meneliti tentang penilaian kinerja seismik dari struktur jembatan beton dengan dua span. Mereka mengaplikasikan metode incremental dynamic analysis untuk menganalisis kapasitas seismik dari struktur jembatan tersebut. Mereka menggunakan 10 time history record untuk menghasilkan kurva kapasitas yang mana menunjukkan kapasitas seismik dari struktur yang mereka teliti. Pendeskripsian batas kerusakan mereka yaitu pada drift kolom. Menurut mereka, pemilihan metode incremental dynamic analysis dilakukan karena analisis dengan metode tersebut memprediksi secara akurat kapasitas dari struktur jembatan. Selaras dengan Rafie dan Bargi (2013), Mander, Dhakal dan Mashiko (2006) melakukan penilaian resiko seismik pada sebuah struktur jembatan dengan menggunakan metode incremental dynamic analysis. Mereka menggunakan 20 rekaman gempa untuk menganalisis struktur jembatan tersebut dan desain struktur jembatan tersebut menggunakan standar yang dipakai oleh New Zealand, Jepang dan Caltrans. Menurut mereka jembatan yang didesain berdasarkan gempa yang mempunyai kemungkinan 10% dalam 50 tahun dengan Peak Ground Acceleration (PGA): 0,4g dan detailing berdasarkan standar untuk setiap negara memiliki performa yang cukup baik tanpa extensive damage. Namun bila terjadi gempa 23 dengan intensitas yang lebih besar maka extensive damage bahkan collapse bisa saja terjadi. Dalam pengembangan yang lebih jauh lagi, metode ini dapat digunakan untuk membuat kurva kerapuhan. Kurva tersebut merupakan representasi dari kinerja seismik suatu struktur. Seperti Karimi dan Khodayari (2013) yang menggunakan metode incremental dynamic analysis untuk meneliti kinerja suatu struktur bangunan tinggi terhadap seismik. Hasil dari penelitian tersebut adalah seismic kurva kerapuhan dari struktur yang diteliti dalam intensitas seismik yang berbeda. 2.4. Kurva Kerapuhan Kurva kerapuhan merupakan salah satu cara dalam menilai (assessment) atau menggambarkan kemungkinan (probabilitas) suatu struktur mengalami kerusakaan saat terjadi gempa. Kurva kerapuhan tersebut menghubungkan antara intensitas gempa dengan kemungkinan jangkauan melewati batas kerusakan suatu struktur. Batas getaran dapat dihitung menggunakan ketidaksamaan intensitas parameter gempa termasuk peak ground acceleration/kecepatan/perpindahan, spectral acceleration, spectral velocity atau spectral displacement. Kurva kerapuhan seismik sangat penting untuk memperkirakan resiko secara keseluruhan pada infrastruktur sipil terhadap potensi gempa yang ada. Kurva kerapuhan juga dapat memprediksi dampak ekonomi (loss estimation) yang timbul akibat gempa sehingga kita dapat memperkirakan berapa kerusakan yang terjadi ketika terjadi gempa dengan kekuatan yang berbeda. Hal ini menjadi acuan para engineer untuk meneliti lebih jauh mengenai kurva kerapuhan. Karimi dan Khodayari (2013) melakukan penelitian tentang kinerja suatu struktur bangunan tinggi terhadap seismik dengan metode incremental dynamic analysis. Mereka menggunakan 31 ground motion records untuk menganalisis respon dari struktur yang diteliti. Untuk setiap rekaman gempa terhadap batas kapasitas (dalam hal ini global instability point), dianalisis secara incremental atau berulang. Menurut mereka tiga parameter penting untuk menilai kinerja struktur adalah resiko, respon dan kapasitas. Penelitian tersebut menghasilkan seismic kurva kerapuhan dari struktur yang diteliti dalam intensitas seismik yang berbeda. 24 Erlin (2015) mencoba menilai kerapuhan seismik struktur beton bertulang pada Gedung V Fakultas Teknik UNS Surakarta guna mengevaluasi kinerja seismik struktur bangunan tersebut. Sedangkan Anindityo (2011) mencoba meneliti tentang perilaku seismik struktur beton pada Gedung B Apartemen Tuning di Bandung dengan metode analisis pushover prosedur A. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kinerja gedung berdasarkan mekanisme terbentuknya sendi plastis pada balok, kolom serta hubungan base shear dengan displacement pada kurva pushover dan kurva seismic demand. Linda (2015) membandingkan kurva kerapuhan berdasarkan parameter HAZUS dan ATC-40. Hasil yang didapat adalah kriteria kerusakan yang dihasilkan menurut HAZUS lebih beragam dan memiliki sensitivitas kerusakan yang lebih baik dibanding ATC-40. 2.4.1. Metode Penurunan Kurva Kerapuhan Menurut Bower (2007), untuk membuat kurva kerapuhan terdapat beberapa metode penurunan yang dapat digunakan, antara lain empirical method, expert judgement, analytical method dan hybrid method. Empirical method merupakan metode yang mengacu pada hasil survei serta observasi kerusakan yang diakibatkan gempa terdahulu. Metode ini terbatas hanya untuk struktur, wilayah serta kondisi geologi tertentu. Jika struktur, wilayah serta kondisi geologi berbeda, maka analisis yang dilakukan akan menjadi sulit. Expert judgment merupakan metode yang menggunakan pendapat serta pengalaman para ahli untuk membuat kurva kerapuhan. Hasilnya mempunyai sifat yang subjektif tergantung pada pengalaman dari para ahli dalam membuat keputusan. Analytical method atau metode analisis merupakan metode yang sering digunakan untuk membuat kurva kerapuhan. Metode ini menggunakan simulasi pemodelan struktur dengan pembebanan gempa yang meningkat secara simultan. Dasar dari metode ini adalah distribusi kerusakan yang dihasilkan dari simulasi sebuah model struktur berdasarkan beban gempa. Hybrid method merupakan kombinasi dari analytical method dengan empirical method dan dapat dilengkapi 25 dengan expert judgment. Kelebihan pada metode ini adalah dapat saling melengkapi kekurangan antar metode sebelumnya. 2.4.2. Kurva Kerapuhan untuk Struktur Jembatan Kurva kerapuhan dari suatu struktur jembatan merepresentasikan potensi kinerja seismik dari sistem struktur jembatan tersebut dan menggambarkan ketidakpastian dari kemampuan sistem struktur jembatan tersebut untuk bertahan terhadap kejadian tertentu. Kerapuhan secara mudah digambarkan sebagai kemungkinan dari kondisi respon seismik melampaui kapasitas seismik berdasarkan intensitas pergerakan tanah (ground motion). Kemungkinan tersebut sering dimodelkan dengan lognormal probability distribution. (Ellen, 2007). Berdasarkan analytical method, fungsi dari kerapuhan dapat dihitung dengan rumus berikut: P = ะค[ ln(๐)−๐ ๐ฝ๐ ๐ ] (2.4) Sumber: Hezha Sadraddin. 2015 dengan: ะค[.] = fungsi standar normal distribusi kumulatif X = ground motion parameter (PGA atau Sa) x = ground motion parameter (PGA atau Sa) sesuai limit state λ = rata-rata dari ln(x) βRU = ketidakpastian total Ketidakpastian merupakan suatu cara untuk mentolerir terkait pendekatan yang dilakukan serta hasil yang terjadi secara acak. Secara umum, ketidakpastian terdiri dari dua kategori yaitu aleatory dan epistemic. Aleatory merupakan ketidakpastian yang disebabkan oleh fenomena yang akan terjadi secara acak. Contohnya adalah respon suatu struktur ketika diberi ground motion, maka hasilnya adalah pasti diantara struktur tersebut belum collapse atau sudah collapse. Ketidakpastian ini menyebabkan munculnya probabilitas. Epistemic merupakan ketidakpastian yang dikarenakan oleh terbatasnya pengetahuan kita terhadap alam. Contohnya adalah dalam membuat suatu model 26 pasti ada pendekatan yang dilakukan karena sangatlah sulit untuk membuat model dengan variable dan parameter yang sama persis dengan alam. Dalam menentukan nilai βRU yaitu kepastian total diperlukan nilai aleatory (βR) dan epistemic (βU). Untuk nilai aleatory (βR) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut: 1 βR = (๐๐ ๐ฅ 84% − ๐๐ ๐ฅ 16% ) 2 Sumber: Vamvatsikos dan Fragiadakis. 2009 dengan: βR = ketidakpastian aleatory x = ground motion parameter (PGA atau Sa) sesuai limit state ๐ฅ 84% = percentile 84% dari nilai x ๐ฅ16% = percentile 16% dari nilai x ln ๐ฅ 84% = ln dari percentile 84% dari nilai x ln ๐ฅ16% = ln dari percentile 16% dari nilai x Sedangkan untuk epistemic dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut: βU = √ 2 ∑๐ ๐=1(ln(๐ฅ๐)−ln(๐)) ๐−1 Sumber: Vamvatsikos dan Fragiadakis. 2009 dengan: βU = ketidakpastian epistemic n = jumlah data xi = ground motion parameter (PGA atau Sa) ke-i sesuai limit state ln xi = ln data xi ke-i λ = rata-rata dari ln xi (2.5) 27 Untuk nilai ketidakpastian total dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut: βRU = √๐ฝ๐ 2 + ๐ฝ๐2 Sumber: Vamvatsikos dan Fragiadakis. 2009 dengan: βRU = ketidakpastian total βR = ketidakpastian aleatory βU = ketidakpastian epistemic (2.7)