PENGARUH PENGEMBANGAN WILAYAH (ASPEK EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA) TERHADAP PERTAHANAN NEGARA DI WILAYAH PANTAI TIMUR SUMATERA UTARA Asren Nasution Kapendam Kodam I Bukit Barisan Abstract: Regional development focusing on economic, social and cultural empowerment is an important aspect in defending the country from every threat. National defense, however, is a collective obligation between the government and the whole citizen. The study is objected to analyze the influence of 1) the economic aspect represented by welfare level, capital, labor, entrepreneurship and economic institution, 2) the social aspects indicated by education, health, social capital, social institution and communal conflict, and 3) the cultural aspect reflected by separatist, fanatics, culture and prominent figure on national defense in east coast of North Sumatra by using Structural Equation Modeling (SEM). The result shows that the three aspects consist of social, economic and cultural have significant influence on national defense in the level of significance of 99%. The study implies that in maintaining national defense, the government should have focused the development on specific economic, social and cultural aspect. The improvement of the economic structure of the people of coastal area should be delivered through proportional resources. The focus of social development is to generate non formal education such as training, workshop and life skill, and to promote health service to poor fisherman. The cultural development is to support local culture, to avoid copious fanatics and separatist by enhancing cultural institution and by revitalizing the role of public figure and intellectual. An integrated and coordinative planning between the local government and District Military Command (Kodim) is a necessity in regional development. A sustainable public campaign at every level of the government and to the people is a perquisite in building public perception of national defense. Keywords: regional development and national defense PENDAHULUAN Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Kunci keberhasilan pembangunan daerah dalam mencapai sasaran pembangunan nasional secara efisien dan efektif, termasuk penyebaran hasilnya secara merata di seluruh Indonesia adalah koordinasi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah, antarsektor, antara sektor dan daerah, antarprovinsi, antarkabupaten/kota, serta antara provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan daerah dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional serta untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat secara adil dan merata. 117 Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perspektif pendelegasian urusan ditetapkan dengan menggunakan 3 (tiga) prinsip dasar yaitu efisiensi, eksternalitas, dan akuntabilitas. Ketiga prinsip dasar di atas menjadi landasan dan kriteria bagi pelaksanaan pembagian fungsi utama pemerintah sebagaimana diuraikan di atas. Dengan pemahaman ini, masing-masing jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) memiliki kewenangan sekaligus peran dalam mewujudkan tujuan pembangunan yang telah disepakati bersama secara nasional. Pada dasarnya pembangunan daerah berorientasi pada pengembangan wilayah pada suatu daerah yang dilakukan secara gradual, yang menyangkut fisik dan nonfisik wilayah dimana tercipta penataan ruang yang efisien dan infrastruktur publik yang cukup Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ... serta kondisi lingkungan yang nyaman (Miraza, 2005). Dengan demikian keseimbangan antarkawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik (Rustiadi, 2001). Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pada pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Kemudian pada pasal 2 dinyatakan pula bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara merupakan salah satu bagian dari wilayah NKRI yang sangat potensial dan strategis, baik diihat dari aspek ekonomi wilayah maupun aspek pertahanan wilayah, karena wilayah ini secara geografis berbatasan langsung dengan Selat Malaka, Provinsi Riau, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan memiliki kekayaan laut yang menjanjikan. Namun secara demografis belum memberikan sesuatu yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga memberi peluang bagi ancaman pertahanan wilayah. Posisi geografis pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang memanjang dari Kabupaten Langkat sampai Labuhan Batu dengan garis pantai sekitar 545 kilometer, sangat strategis bagi pengembangan ekonomi rakyat pesisir karena memiliki potensi kelautan yang tinggi bagi pengembangan tersebut. Berikut ini gambaran garis pantai wilayah tersebut. Berdasarkan data dapat diketahui bahwa kabupaten yang memiliki panjang garis pantai terpanjang adalah Kabupaten Langkat dengan panjang 99,36 Km. Hal ini berarti bahwa Kabupaten Langkat memiliki potensi pengembangan wilayah yang besar pula. Apabila terjadi pengoptimalan pengembangan dan pemanfaatan wilayah maka kemungkinan besar akan mendorong perekonomian masyarakat yang ada di wilayahnya. Selain itu, Selat Malaka sebagai jalur perdagangan laut internasional memiliki potensi yang cukup besar dalam menciptakan stabilitas keamanan laut dan meningkatkan devisa negara. Namun, kondisi ini belum sepenuhnya dikembangkan karena keterbatasan sarana. Salah satu teori pertumbuhan ekonomi regional adalah teori eksport-base. Kelompok ini mendasarkan pandangannya dari sudut teori lokasi yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region akan lebih banyak ditentukan oleh jenis keuntungan lokasi dan dapat digunakan oleh daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor. Keuntungan lokasi tersebut umumnya berbeda-beda setiap region dan hal ini tergantung pada keadaan geografis daerah setempat. Ini berarti untuk meningkatkan pertumbuhan suatu region, strategi pembangunannya harus disesuaikan dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan pada tingkat nasional (Sirojuzilam, 2005). Dilihat secara geopolitik dan geostrategi, daerah ini menyimpan potensi masalah yang bila tidak dikelola dengan benar akan berpeluang menimbulkan ancaman di bidang pertahanan keamanan, ekonomi dan politik. Selain itu, kandungan kekayaan alam yang potensial didaerah ini, berdirinya berbagai objek vital berskala nasional dan internasional akan menjadi berkah sekaligus menjadi sumber kerawanan. Menjadi berkah karena dengan cepat mengakses berbagai kemajuan dari berbagai negara tetangga, bertukar budaya dan merespon berbagai dinamika perubahan yang bermanfaat bagi kemajuan masyarakat kita. Sebaliknya menjadi sumber kerawanan karena luas dan panjangnya garis perbatasan 118 WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009 berarti luas dan panjang pula pintu masuk dan titik-titik kerawanan yang bisa membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa (Jenderal TNI Agustadi S.P., 2008). Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang rendah semata. Kemampuan menyerap tenaga kerja oleh pihak pemerintah dan swasta merupakan faktor yang mendukung terpuruknya kondisi masyarakat nelayan. Kondisi ini juga sering diperparah dengan ketidakmampuan masyarakat untuk bersikap mandiri dengan menumbuhkembangkan usahanya sendiri selain usaha pokok untuk memperoleh pendapatan tambahan keluarga. Ketidakmampuan ini sering diakibatkan oleh tidak tersedianya modal yang cukup. Mayoritas penduduk yang bekerja sebagai buruh dan nelayan di Pantai Timur Sumatera Utara menggambarkan tingkat ekonomi yang rendah. Selain itu, kerawanan sosial dikarenakan ketimpangan ekonomi dan perbedaan tingkat pendapatan memberi peluang munculnya disharmonisasi sosial ditengah-tengah masyarakat, sehingga apabila tidak dikelola dengan tepat akan memicu keresahan, demonstrasi/anarkhis dan bahkan dapat memunculkan separatisme di daerah. Selain itu, konflik komunal pun tidak dapat terhindarkan pada kondisi seperti ini. Dari sudut pandang pertahanan negara, fakta-fakta diatas jika tidak dilakukan perbaikan yang signifikan baik pada aspek ekonomi maupun sosial dan budaya, maka kondisi tersebut tidak hanya menambah kesengsaraan masyarakat pesisir dari sisi kesejahteraan namun menjadi sumber ancaman bagi pertahanan wilayah Pantai Timur Sumatera Utara. METODE Pembatasan wilayah Pantai Timur Sumatera Utara, sebagaimana dimaksudkan dalam penelitian ini, mengacu pada sistem pembagian wilayah yang sudah baku di lingkungan Kodam I/Bukit Barisan. Dalam peta wilayah dimaksud Provinsi Sumatera Utara dibagi pada 2 (dua) komando kewilayahan setingkat Korem, yaitu Komando Resor Militer 022/Pantai Timur, berkedudukan di Pematang Siantar dan Komando Resor Militer 023/Kawal Samudera, yang berkedudukan di Sibolga. Berdasarkan pembagian tersebut, wilayah Pantai Timur meliputi 12 (dua belas) kabupaten/kota, yang terdiri atas; Kota Medan, Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Batubara. Penelitian ini menggunakan analisis Struktural Equation Model (SEM). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini digunakan Model Persamaan Struktur atau Struktural Equation Model (SEM). Diagram jalur akan dikonversikan ke dalam persamaan struktural dengan cara sebagai berikut: Ekonomi (X1) Konstruk Eksogen Sosial (X2) X11 = λ1 X1+ ε1 X12 = λ2 X1+ ε2 X13 = λ3 X1+ ε3 X14 = λ4 X1+ ε4 X15= λ5 X1+ ε5 X21 = λ6 X2+ ε6 X22 = λ7 X2+ ε7 X23 = λ8 X2+ ε8 X24 = λ9 X2+ ε9 X25 = λ10 X2+ ε10 Pertahanan Negara (Y) Y11 = λ15 Y1+ ε15 Y12 = λ16 Y1+ ε16 Y13 = λ17 Y1+ ε17 Y = λ18 X1+ λ19 X2+ λ20 X3+ ε18 Keterangan : X1 X11...X15 λ1 .... λ5 ε1 .....ε5 119 = = = = Konstruk Ekonomi Indikator Ekonomi Faktor Loading Ekonomi Error Indikator Ekonomi Budaya (X3) X31 = λ11 X3+ ε11 X32 = λ12 X3+ ε12 X33 = λ13 X3+ ε13 X34 = λ14 X3+ ε14 Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ... X2 X21...X25 λ 6 .... λ10 ε 6 .....ε10 X3 X31 ... X34 λ11 ... λ14 ε11 ... ε14 Y11 λ15 ε15 Y12 λ16 ε16 Y13 λ17 ε17 Y λ 18 ... λ 20 ε18 = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = Konstruk Sosial Indikator Sosial Faktor loading Sosial Error Indikator Sosial Konstruk Budaya Indikator Budaya Faktor loading Budaya Error Indikator Budaya Konstruk Kesadaran Bela Negara Faktor loading Kesadaran Bela Negara Error Indikator Kesadaran Bela Negara Konstruk Keamanan Ketertiban Masyarakat Faktor loading Keamanan Ketertiban Masyarakat Error Indikator Keamanan Ketertiban Masyarakat Konstruk Profesionalisme Aparat Faktor loading Profesionalisme Aparat Error Indikator Profesionalisme Aparat Konstruk Pertahanan Negara Faktor Loading Pertahanan Negara Error indikator Pertahanan Negara HASIL Wilayah Pantai Timur merupakan salah satu wilayah di daerah Provinsi Sumatera Utara bagian Timur yang terletak di antara 1° 45’ LU dan 4° 15’ LU, 98° BT dan 100° 20’ BT. Daerah ini merupakan daerah pantai dengan panjang garis pantai sepanjang 545 km dengan luas 110.000 km2 (60,5% dari total luas Sumatera Utara). Wilayah ini juga berhadapan langsung dengan Selat Malaka, dan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Selanjutnya berdasarkan luas daerah menurut kabupaten/kota yang berada di wilayah Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara, luas terbesar berada pada Kabupaten Labuhan Batu dengan luas 9.223,18 km2 atau sekitar 37,20% dari keseluruhan luas wilayah Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan berdasarkan panjang pantai maka Kabupaten Langkat memiliki pantai yang terpanjang sebesar 99,36 Km. Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara menyimpan sumberdaya alam yang begitu besar. Namun kekayaan sumberdaya alam ini belumlah sepenuhnya dimanfaatkan. Potensi Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara dinilai sangat strategis untuk dikembangkan agar menjadi basis ekonomi dan wisata masyarakat disekitarnya. Hal ini dilihat dari potensi yang dimiliki wilayah Pantai Timur Sumatera Utara seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Potensi Wilayah Pesisir Pantai Timur Tahun 2006 No 1 2 3 4 Uraian Luas Laut Panjang Garis Pantai Timur Jumlah Pulau Total Luas Hutan Mangrove Jumlah (Keterangan) 110.000 Km2 (60,5 % Dari Total Luas Sumut) 545 Km 419 buah, 59.369,00 Ha Kondisi Baik : 23.082,00 Ha Kondisi Rusak : 36.077,00 Ha 5 Total Sumber Daya Ikan Laut P. Timur : 276.030 ton/thn 6 Jenis Ikan Unggulan P. Timur : Kakap, kerapu, tenggiri dll. 7 Tingkat Pemanfaatan Ikan Laut P. Timur : 90, 75 % (250.489 ton) 8 Budidaya Perikanan Tambak 71.500 Ha 9 Budidaya Laut Perairan Laut 734.000 Ha 10 Potensi Pariwisata Bahari Belum teridentifikasi dengan baik 11 Potensi Pertambangan Kawasan Pertambangan Minyak di Blok Asahan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Bahan Galian Strategis: Energi, Panas Bumi, Timah Putih Bahan Galian Vital: Pasir, Kaolin, Bauksit Sumber: Bappeda Provinsi Sumatera Utara, 2007 120 WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009 Selain potensi perikanan dan kelautan, wilayah Pantai Timur juga memiliki potensi bidang pertanian dan perkebunan diantaranya yang menonjol adalah beras, karet, kelapa sawit, kelapa (kopra), teh, coklat dan kopi. Sedangkan yang di export adalah karet dan minyak kelapa sawit. Hasil tambang terdapat juga di Kabupaten Langkat berupa minyak bumi yang dikelola oleh Pertamina di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, hasil tambang yang lain terdapat juga di Kabupaten Simalungun berupa tambang Batu Kapur yang terletak di Kecamatan Silau Kahean (Negeri Dolok) dengan pengelola PT. Decontrago milik WNI Cina Medan, hasil pengelolaannya menjadi tapal gigi, bahan campuran pembuatan piring dan lain-lain. Dari aspek potensi wilayah jika dihadapkan dengan spektrum ancaman nirmiliter, maka wilayah Pantai Timur rawan terhadap ancaman pertahanan diantaranya: 1) Penangkapan ikan secara illegal, pencemaran dan perusakan ekosistem. 2) Perusakan lingkungan seperti pembakaran hutan, perambahan hutan illegal, pembuangan limbah bahan beracun. 3) Pelanggaran batas wilayah dan kejahatan lintas Negara, seperti penyelundupan barang narkoba, penyelundupan manusia dan barang-barang lainnya. 4) Ketimpangan ekonomi dan pendapatan yang menyebabkan disharmonisasi sosial. PEMBAHASAN 1. Tanggapan Responden Terhadap Indikator Pertahanan Negara Indikator variabel pertahanan negara dalam penelitian ini adalah kesadaran bela negara (Y11), keamanan dan ketertiban masyarakat (Y12), dan profesionalisme aparatur (Y13) yang dinilai signifikan menggambarkan pertahanan negara di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara. Hasil uji validitas menunjukkan bahwa nilai korelasi indikator pertahanan negara berada diantara 0,64 hingga 0,85. Dengan demikian ketiga indikator dinyatakan valid untuk menjelaskan konstruk pertahanan negara. 2. Pengaruh Pengembangan Wilayah Terhadap Pertahanan Negara di Pantai Timur Sumatera Utara Pengembangan wilayah terhadap pertahanan negara di Pantai Timur Sumatera Utara dalam kajian ini dilihat dari aspek ekonomi (X1), sosial (X2), dan budaya (X3). Namun demikian adalah penting untuk menganalisis validitas dan reliabilitas ketiga variabel tersebut sebagai variabel yang mampu menjelaskan variabel laten. Nilai koefisien jalur yang dihasilkan akan menggambarkan besaran hubungan langsung antara kostruk eksogen yang dalam hal ini variabel X1 s/d X3 kepada variabel laten yang dalam hal ini pertahanan negara. Tabel 2 menunjukkan rerata X1 sampai dengan X3 memiliki nilai rerata antara 3,87 hingga 3,90. Hal ini memberi makna bahwa responden setuju pengembangan wilayah di Kabupaten Langkat, Batubara dan Labuhan Batu yang dijelaskan oleh variabel ekonomi (X1), sosial (X2), dan budaya (X3) adalah sesuai mewakili variabel manifest pengembangan wilayah untuk mempengaruhi variabel laten yang dalam hal ini pertahanan negara. Tabel 2. Rata-rata Tanggapan Responden per Kabupaten/Kota Terhadap Variabel Pertahanan Negara Kabupaten/Kota Ekonomi (X1) Sosial (X2) Budaya (X3) Labuhan Batu 4,07 4,07 3,93 Batubara 3,86 3,79 3,80 Langkat 3,77 3,74 3,98 3,90 3,87 3,90 Rerata 121 Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ... Pengaruh variabel ekonomi, sosial, dan budaya terhadap pertahanan negara di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini: γ = 0.77 SOSIAL γ = 0,05 EKONOMI PERTAHANAN NEGARA DI WILAYAH PANTAI TIMUR SUMATERA UTARA γ = 0.80 γ = 0,77 BUDAYA γ = 0.71 Gambar 1. Pengaruh Pengembangan Wilayah dari Variabel/Aspek Ekonomi, Sosial, dan Budaya terhadap Pertahanan Negara Pengaruh ini terdiri dari pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung dan pengaruh total. a. Pengaruh langsung adalah sebagai berikut: 1. Pengaruh langsung ekonomi terhadap pertahanan negara adalah sebesar 0.80. 2. Pengaruh langsung sosial terhadap pertahanan negara adalah sebesar 0.77. 3. Pengaruh langsung budaya terhadap pertahanan negara adalah sebesar 0.71. b. Pengaruh tidak langsung adalah sebagai berikut: 1. Pengaruh sosial terhadap pertahanan negara melalui ekonomi adalah 0.80 x 0.05 adalah sebesar 0.04. 2. Pengaruh budaya terhadap pertahanan negara melalui ekonomi adalah 0.80 x 0.77 adalah sebesar 0.62. c. Pengaruh total adalah sebagai berikut: 1. Pengaruh total sosial terhadap pertahanan negara adalah penjumlahan antara pengaruh langsung sosial terhadap pertahahan negara ditambah dengan pengaruh tidak langsung sosial terhadap pertahahanan negara yaitu sebesar 0.77 + 0.04 = 0.81. 2. Pengaruh total budaya terhadap pertahanan negara adalah penjumlahan antara pengaruh langsung budaya terhadap pertahahan negara ditambah dengan pengaruh tidak langsung budaya terhadap pertahahanan negara yaitu sebesar 0.71 + 0.62 = 1.33. Dengan demikian persamaan struktural dapat diturunkan sebagai berikut : PERTAHANAN NEGARA = 0.80 EKONOMI + 0.77 SOSIAL + (t-hit = 18.93) (t-hit = 18.66) 0.71 BUDAYA (t-hit = 15.52) Pengaruh Pengembangan Wilayah dari Aspek Ekonomi Terhadap Pertahanan Negara di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara Temuan dari kajian ini menunjukkan bahwa beberapa indikator kunci dalam proses pemberdayaan ekonomi yang merupakan bahagian integral dari pengembangan wilayah di Pantai Timur Sumatera Utara seperti perbaikan tingkat kesejahteraan (X11), tumbuh kembangnya penyerapan tenaga kerja (X12), aksebelitas permodalan (X13), sikap kewirausahaan (X14), dan penguatan terhadap lembaga keuangan (X15) merupakan satu keastuan di bidang ekonomi yang berpengaruh pada pertahanan negara di wilayah pesisir. Hal ini senada dengan Arsyad (1999) yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu fungsi dari sumberdaya alam, tenaga kerja, investasi (permodalan), entrepreneurship (kewirausahaan), transportasi, komunikasi, komposisi industri, teknologi, luas daerah, pasar ekspor, pemerintah daerah (kelembagaan), dan bantuan-bantuan pembangunan (ekonomi). 122 WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009 Dalam kajian ini ditemukan bahwa persoalan pengembangan wilayah pesisir melalui pemberdayaan ekonomi bermuara pada indikator tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang kini masih rendah karena lemahnya kemampuan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumberdaya yang tersedia. Hal ini didukung oleh temuan Edy (2004) yang menyatakan bahwa pengembangan masyarakat wilayah pesisir yang mengakibatkan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang tidak lestari maka pada akhirnya akan membatasi peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM masyakakat serta rusaknya tatanan lingkungan yang selama ini menjadi mata pencaharian utama masyarakat. Dengan demikian persoalan-persoalan perbaikan kesejahteraan masyarakat pesisir dapat dimulai dengan peningkatan kualitas SDM dan perbaikan tata lingkungan yang dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak terkait agar kesejahteraan masyarakat meningkat. Hasil penelitian ini sekaligus mendukung kajian Ginting (2001) yang mengemukakan bahwa SDP memiliki produktivitas yang tinggi dan dapat diharapkan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional, meningkatkan devisa, meningkatkan lapangan kerja pendapatan dan kesejahteraan penduduk Indonesia, dimana industri unggulan perlu dikembangkan. Dengan teratasinya permasalahan yang ada dan didukung oleh faktor trigatra dalam negeri maka akan mampu menciptakan lapangan kerja dan kegiatan perekonomian secara terpadu. Dengan demikian dapat membantu mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, memperkuat ketahanan nasional serta mendorong terciptanya stabilitas nasional. Dengan demikian hasil analisis dalam kajian ini menemukan bahwa terdapat hubungan antara pemberdayaan kesejahteraan masyarakat pesisir Pantai Timur dengan pertahanan negara. Penemuan dari aspek penyerapan tenaga kerja pada kajian ini juga mendapati bahwa sebahagian besar tenaga kerja di 123 daerah penelitian tidak respon terhadap perkembangan teknologi. Hal ini menyebabkan nelayan tidak memiliki keunggulan dalam bersaing. Hasil ini sejalan dengan temuan Wolff dan Howel (1989) yang juga menyebutkan bahwa perubahan struktur ekonomi yang antara lain disebabkan karena berubahnya teknologi produksi mempunyai konsekuensi pada tenaga kerja secara keseluruhan. Konsekuensi tersebut termasuk (1) perubahan job security, (2) peningkatan pekerjaan paruh waktu, dan (3) perubahan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan untuk menghasilkan output. Dalam hal ini ketrampilan tenaga kerja mencerminkan kualitas tenaga kerja. Hasil kajian menunjukkan bahwa nilai korelasi penyerapan tenaga kerja terhadap varibel ekonomi sebesar 0.71 atau 71 persen dan valid pada alpha 0.001. Hasil kajian ini memberikan implikasi bahwa aspek ketenagakerjaan di wilayah pesisir merupakan aspek yang penting untuk diberdayakan dalam membangun ekonomi di wilayah pesisir. Hasil kajian ini sejalan dengan temuan Clark dalam Nasoetion (1991) merumuskan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui proses transformasi dapat dicapai melalui (1) peningkatan produktivitas tenaga kerja di setiap sektor dan (2) transfer tenaga kerja dari sektor yang produktivitas tenaga kerjanya rendah ke sektor yang produktivitas tenaga kerjanya lebih tinggi. Industri unggulan perlu dikembangkan, dengan teratasinya permasalahan yang ada dan didukung oleh faktor trigatra dalam negeri maka akan mampu menciptakan lapangan kerja dan kegiatan perekonomian secara terpadu. Dengan demikian dapat membantu mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, memperkuat ketahanan nasional serta mendorong terciptanya stabilitas nasional. Hasil kajian menunjukkan bahwa besarnya pengaruh permodalan terhadap variabel ekonomi adalah 0.78. Hal ini berarti bahwa masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera Utara setuju jika terjadi kenaikan permodalan sebesar satu satuan akan mengakibatkan terjadinya kenaikan taraf ekonomi masyarakat pesisir sebesar 0.78 satuan. Hal ini mendukung temuan De Jonge (1989) bahwa kegiatan perikanan sangat padat modal. Modal yang besar itu Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ... diutamakan untuk membeli sarana produksi, seperti kapal/perahu, jaring dan mesin. Sumber-sumber permodalan bagi nelayan adalah tabungan dan harta benda pribadi, pinjaman dari kerabat atau tetangga. Masalah penyediaan fasilitas sering menjadi kendala bagi para nelayan untuk menjaga konsistensi atau kelangsungan usaha yang dilakukannya. Kesulitan memenuhi kebutuhan modal lebih dirasakan oleh nelayan-nelayan kecil yang karena berbagai keterbatasannya tidak memiliki akses kepada sumber-sumber modal yang tersedia. Hasil kajian menunjukkan bahwa lemahnya daya dukung dunia perbankan secara konvensional sangat tidak kondusif bila dihadapkan dengan kodisi aktual masyarakat nelayan miskin dari aspek 5C (Capital, Collateral, Capability, Charracter, Condition). Dengan demikian diperlukan Skim Kredit Perbankan Mikro. Implementasi Skim Kredit Perbankan Mikro yang dirancang sesuai dengan budaya dan perilaku masyarakat nelayan miskin dengan pola yang sangat sederhana diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu solusi optimal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan miskin. Hasil kajian menunjukkan bahwa nilai rata-rata pendapat responden tentang kaitan antara sifat kewirausahawanan sebagai indikator variabel ekonomi terhadap terhadap pemberdayaan masyarakat peisir adalah 3.92. Hal ini memberi makna bahwa sifat kewirausahawanan masyarakat pesisir berpengaruh pada pemberdayaan ekonomi responden dan merupakan bahagian integral dalam pertahanan negara. Hasil kajian juga menunjukkan nilai korelasi indikator kewirausahawanan terhadap variabel ekonomi sebesar 0.80 dan nilai reliabilitas serta varians konstruk di atas 0.70. Hal ini menandakan bahwa kewirausahawanan memberikan kontribusi sebesar 80 persen dalam pemberdayaan ekonomi rumah tangga masyarakat pesisir dan hal ini valid karena nilai reliabilitasnya lebih besar dari 0.70. Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata responden setuju (4.03) bahwa perbaikan lembaga ekonomi di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara akan mampu memperbaiki struktur ekonomi masyarakat pesisir yang merupakan variabel pertahanan negara. Dengan nilai korelasi sebesar 0.77 berarti terdapat hubungan antara lembaga ekonomi dengan variabel ekonomi sebesar 77 persen dan dengan nilai standart solution 0.88. Berarti keterkaitan antara indikator lembaga ekonomi dengan variabel ekonomi adalah valid. Pengaruh Pengembangan Wilayah dari Aspek Sosial terhadap Pertahanan Negara di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara Temuan pada kajian ini menunjukkan dinamika modal sosial masyarakat nelayan di Pantai Timur terlihat pada pergeseran tata nilai khususnya trust (kepercayaan) dan resiprositas yang membangun berbagai pola hubungan dan jaringan dalam komunitas masyarakat pesisir. Ditemukan adanya keterkaitan antara pengembangan sosial masyarakat dengan eksistensi modal sosial masyarakat. Modal sosial maksimum ditemukan pada komunitas nelayan khususnya pada jaringan nelayan berbasis agama. Sedangkan modal sosial minimum ditemukan pada jaringan vertikal antara komunitas dengan institusi pemerintah desa. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat ternyata linear dengan kondisi sosial masyarakat. Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat korelasi modal sosial dengan variabel sosial adalah 3,81. Hal ini memberi makna bahwa pengembangan modal sosial dalam aspek sosial masyarakat di wilayah pesisir begitu penting untuk diperhatikan. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan Coleman (1990) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur sosial dimana seseorang ada di dalamnya. Modal sosial melekat dalam struktur sosial dan memiliki karakteristik public good namun setara dengan financial capital, physical capital, dan human capital. Hasil kajian menunjukkan bahwa besarnya pengaruh modal sosial terhadap variabel sosial adalah 78 persen. Hal ini berarti bahwa kontibusi modal sosial dalam memperbaiki aspek sosial masyarakat pesisir adalah 78 persen. Modal sosial merupakan salah satu komponen dalam pengembangan wilayah. Modal sosial yang dimiliki masyarakat pesisir jika dapat dimanfaatkan secara optimal dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut maka kesejahteraan 124 WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009 masyarakat dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan temuan Mitchel (1999) dan Winter (2000) bahwa modal sosial bersama-sama dengan modal lainnya mampu meningkatkan produktifitas efisiensi dan keberlanjutan proses pembangunan. Tanpa modal sosial, aktivitas ekonomi akan mengalami kemunduran dan SDA akan menghadapi ancaman kerusakan. Sebaliknya, tanpa pertumbuhan ekonomi serta modal sosial akan terganggu modal sosial dapat mempengaruh kestabilan kehidupan keluarga dan kemandirian masyarakat. Hasil kajian juga menghasilkan temuan bahwa lemahnya modal sosial akan mengakibatkan munculnya konflik-konflik di masyarakat yang pada tahapan tertentu akan berujung pada aktivitas anarkhis seperti perusakan sarana fasilitas umum dan lainnya yang pada akhirnya mengganggu keamanan dan kenyamanan. Ini merupakan ancaman terhadap pertahanan negara. Ditinjau dari sudut pandang modal sosial, hal tersebut merupakan salah satu indikator melemahnya rasa percaya dan norma-norma bersama yang selama ini ditaati oleh masyarakat. Arogansi kelompok dan melemahnya nilai-nilai kebersamaan tersebut akhirnya akan melemahkan modal sosial. Padahal menurut Gonarsyah (1977), penguatan modal sosial merupakan salah satu upaya menekan kesenjangan karena memungkinkan wilayahwilayah terkait untuk bekerjasama dan sekaligus bersaing melalui pola kemitraan. Selain itu, temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa indikator kesehatan merupakan hal yang berpengaruh pada kerangka pengembangan bidang sosial dalam rangka pengembangan wilayah. Kualitas hidup yang rendah yang disebabkan kemiskinan sering membawa dampak yang buruk bagi kesehatan. Hasil penelitian Amanah (2006) mengungkapkan kualitas hidup nelayan kecil di Kabupaten Buleleng relatif masih rendah dilihat dari segi pendidikan, permodalan dan pendapatan usaha, dan derajat kesehatan. Peningkatan kualitas hidup dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain melalui pemberdayaan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang terprogram secara baik dan benar. Pemberdayaan seperti ini dapat mendukung terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, tersedianya sarana dan prasarana 125 produksi secara lokal dengan harga terjangkau, meningkatnya peran aktif kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif, adanya interaksi dan komunikasi antar kelompok, dan terwujudnya struktur ekonomi yang adil dan kuat. Hasil kajian menunjukkan bahwa rata-rata responden setuju (3.77) menyatakan terdapat hubungan yang erat antara indikator kesehatan dengan variabel sosial dalam rangka pertahanan negara. Hal ini memberi makna bahwa peningkatan taraf kesehatan masyarakat akan memperbaiki aspek sosial masyarakat di wilayah pesisir Pantai Timur. Temuan ini merupakan dukungan terhadap hasil studi yang dilakukan Riyadi (2006) yang menyimpulkan bahwa persepsi masyarakat terhadap tingkat kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas sebagian besar berada di kontinum cukup baik, demikian pula berdasarkan rata-rata untuk setiap dimensi juga berada pada kontinum cukup baik. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik akan menciptakan ketahanan nasional yang tangguh. Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat Pantai Timur Sumatera Utara setuju menyatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Pantai Timur merupakan bahagian dari aspek sosial yang dapat memberikan pengaruh pada pertahanan negara dengan nilai 3.97. Hal ini mendukung temuan Simanjuntak (1985) bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Di satu pihak pendidikan mempengaruhi produktivitas kerja yang tercermin dari tingkat penghasilan dan di lain pihak pendidikan merupakan indikator tingkat kemiskinan dimana perbaikan pendidikan suatu masyarakat akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Dalam rangka pemberdayaan sosial masyarakat Pantai Timur Sumatera Utara melalui tingkat pendidikan masyarakat dapat dijadikan indikator kemajuan dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pendidikan yang sudah dianggap sebagai kebutuhan dasar sering terabaikan yang akan menyebabkan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) kelautan sehingga dalam melakukan eksploitasi SDA di laut kurang memperhatikan kelestarian dan dampaknya Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ... akan berpengaruh pada kelangsungan hidup masyarakat pesisir di Pantai Timur. Hasil kajian menunjukkan bahwa besarnya pengaruh pendidikan terhadap variabel sosial adalah 84 persen. Hal ini berarti bahwa setap terjadi kenaikan tingkat pendidikan sebesar satu satuan akan mengakibatkan terjadinya perbaikan struktur sosial masyarakat pesisir. Peningkatan pembangunan sosial dicirikan dengan esensi proses, rebutan, dan cara bangkit dalam sosial budaya yaitu keadaan hidup yang harus dipandang dari sudut kualitas yang dilihat dari pemikiran menyeluruh dan dari sudut kualitas yang dapat diukur dan diamati pada bidang agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kemandirian masyarakat, dan kemandirian keluarga sebagai basis berbangsa dan bernegara. Indikator pendidikan memiliki nilai standart solution sebesar 0,92 dan merupakan indikator yang paling tinggi tingkat reliabilitaslnya. Artinya konstruk sosial masyarakat pesisir dapat dibentuk dari indikator pendidikan yang terdapat di daerah tersebut. Pendidikanlah yang dapat membawa masyarakat pesisir ke arah kemiskinan. Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Pantai Timur menyatakan pentingnya (3.82) lembaga sosial sebagai indikator sosial dalam rangka pertahanan negara. Hasil ini sesuai dengan studi Selo Soemardjan (1964:14) dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi menjelaskan hubungan antara norma-norma, kelembagaan sosial dan lapisan masyarakat sebagai berikut: Hasil kajian menunjukkan bahwa besarnya pengaruh lembaga sosial terhadap variabel sosial adalah 82 persen. Hal ini berarti bahwa lembaga sosial memberikan kontribusi sebesar 80 persen dalam membentuk variabel sosial. Hal ini didukung oleh temuan Soekanto (1979) bahwa, secara garis besar setiap lembaga kemasyarakatan sekurang-kurangnya memiliki empat peranan yaitu : peranan dalam menata interaksi sosial intern anggotanya dan antar anggota kelompok dengan kelompok yang lain. Kedua peranan dalam mengatur status sosial , ketiga peranan dalam memberikan sekuritas sosial kepada anggotanya, yang keempat berperan dalam melakukan pengawasan sosial atau kontrol sosial terhadap penyimpangan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Hasil kajian menunjukkan bahwa masyarakat Pantai Timur Sumatera Utara setuju bahwa konflik komunal merupakan variabel sosial yang dapat memicu lemahnya pertahanan negara. Hal ini mendukung temuan Miall (2000) bahwa konflik adalah aspek instrinsik dan tidak mungkin dapat dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan. Hal ini berarti bahwa terjadinya konflik pemanfatan lahan di satu kawasan pesisir akan mempunyai nilai konflik yang berbeda dengan kawasan pesisir lainnya. Pengaruh variabel sosial terhadap variabel pertahanan negara adalah sebesar 0.77. Hal ini berarti setiap terjadi perbaikan aspek-aspek sosial masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang meliputi perbaikan modal sosial (X21), layanan kesehatan (X22), perbaikan pendidikan (X23), pemberdayaan lembaga sosial (X24), dan pencegahan konflik komunal (X25) akan akan terjadi peningkatan sikap pertahanan terhadap negara sebesar 0.77 satuan. Pengaruh Pengembangan Wilayah dari Aspek Budaya terhadap Pertahanan Negara di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara Hasil analisis juga menunjukkan bahwa Indikator-indikator di bidang budaya memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi (di atas 0.70). Semua indikator memiliki nilai thitung di atas t-tabel (2.57) dan cukup valid untuk mewakili konstruk budaya. Dengan demikian kelima indikator yaitu separatisme (X31), fanatisme (X32), adat (X33), dan ketokohan (X34) dapat menjelaskan variabel budaya (X3). Selain itu hasil analisis standart solution seperti yang digambarkan pada Gambar 5.3 dan Tabel 5.48 menunjukkan bahwa nilai reliabilitasl konstruk sosial (X3) adalah sebesar 0.71. Hal ini memberi arti bahwa kelima indikator pada konstruk budaya tersebut di atas sudah reliabel untuk menjelaskan konstruk karena koefesien reliabel > 0.7 (Augusty, 2002). Hasil analisis 126 WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009 juga menunjukkan hasil varians ekstrak sebesar 0.67 > 0.5 dimana hal ini memberi penjelasan bahwa kelima indikator yang membangun konstruk budaya telah terwakili. Hasil kajian menunjukkan bahwa besarnya pengaruh separatis terhadap variabel budaya adalah 80 persen dan diterima pada Alpha 0.001. Hal ini berarti bahwa keterkaitan atau kontribusi sikap separatis terhadap budaya yang secara langsung berpengaruh kepada pertahanan negara adalah 80 persen. Indikator separatis memiliki nilai standart solution sebesar 0,82 dan valid pada Alpha 0.001. Artinya konstruk budaya masyarakat pesisir valid dibangun dari indikator sikap separatisme. Hasil kajian menunjukkan nilai ratarata jawaban responden terhadap indikator fanatisme terhadap variabel budaya adalah 3.37. Hal ini memberi makna bahwa masyarakat pesisir Pantai Timur kurang setuju sikap fanatisme merupakan variabel budaya yang dapat berhubungan langsung dengan pertahanan negara. Namun demikian hasil kajian menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat di Kabupaten Langkat yaitu 3.78 yang berarti masyarakat pesisir Langkat memiliki sikap setuju terhadap keterkaitan antara indikator fanatisme dengan variabel budaya. Hasil validasi menunjukan bahwa tingkat validasi fanatisme terhadap budaya adalah 0.82 atau 82 persen dan signifikan pada Alopha 0.001. Indikator fanatis memiliki nilai standart solution sebesar 0,80. Artinya konstruk budaya masyarakat pesisir dapat dipengaruhi indikator fanatisme yang terdapat di daerah tersebut. Hasil kajian ini mendukung Richard M. Daulay (2001) bahwa setiap terjadi peningkatan fanatisme satu satuan akan merusak aspek budaya masyarakat pesisir. Gerakan-gerakan separatisme yang bernuansa kesukuan atau kedaerahan itu mengindikasikan bahwa negara belum bisa menjalankan misinya dengan maksimal, yaitu misi mempertahankan kedaulatan, mensejahterakan rakyat, dan misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sentralisme pemerintah, ketidakadilan sosial yang menimbulkan primordialisme adalah faktor-faktor yang menimbulkan meningkatnya fanatisme kesukuan yang membahayakan integrasi nasional. 127 Hasil temuan ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan Sirojuzilam (2008) menemukan bahwa heterogenitas suku di wilayah pesisir Sumatera Utara mampu memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi di wilayah tersebut. Dengan adanya heterogenitas suku ini maka mempengaruhi peningkatan output dan tingkat persaingan yang semakin kuat. Mobilitas penduduk yang sering disebut sebagai suku pendatang banyak memberikan keuntungan tidak saja secara lokasi tetapi juga kewilayahan. Hasil temuan menunjukkan bahwa besarnya pengaruh adat terhadap variabel budaya adalah 80 persen dan menunjukkan bahwa indikator adat memiliki nilai standart solution sebesar 0,82. Artinya konstruk budaya masyarakat pesisir dapat dipengaruhi indikator adat yang terdapat di daerah pesisir Pantai Timur. Konsekuensi logis dari temuan ini adalah adat yang melekat di Pantai Timur Sumatera Utara pada dasarnya sebuah potensi yang dapat diberdayakan dalam rangka mengembangkan budaya setempat yang pada gilirannya dapat menjaga pertahanan negara. Hilangnya adat dalam jangka panjang dalam menyikapi persoalan pembangunan di Pantai Timur dapat berakibat buruk pada pengelolaan sumbersumber ekonomi wilayah pesisir yang mampu merangsang ketidakadilan dan kebersamaan yang dalam jangka panjang dapat berakibat pada melemahnya pertahanan negara. Hasil analisis menunjukkan bahwa keterkaitan antara peran ketokohan dalam proses budaya dalam rangka pengambilan keputusan keinginan masyarakat pesisir sebesar 79 persen. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan Kurniadi (2000) menghasilkan bahwa hubungan kepemimpinan dengan kinerja sumberdaya manusia sebesar 93,48%, hubungan antara kepemimpinan dengan ketahanan nasional sebesar 95,86%, hubungan sumberdaya manusia dengan ketahanan nasional sebesar 95,25% dan hubungan antara kepemimpinan dan sumberdaya manusia (secara bersamasama) dengan ketahanan nasional sebesar 97,14%. Berarti ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan dengan sumberdaya manusia, antara kepemimpinan dengan ketahanan nasional, antara Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ... sumberdaya manusia dengan ketahanan nasional, antara kepemimpinan dan sumberaya manusia (secara bersama-sama) dengan ketahanan nasional. Pengaruh Pengembangan Wilayah Aspek Ekonomi, Sosial, dan Budaya terhadap Pertahanan Negara Pengaruh pengembangan wilayah terhadap pertahanan negara di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara dalam kajian ini dapat dilihat dari aspek ekonomi (X1), sosial (X2), dan budaya (X3). Namun demikian adalah penting untuk menganalisis validitas dan reliabilitas ketiga variabel tersebut sebagai variabel yang mampu menjelaskan atau merefleksikan variabel laten. Nilai koefisien jalur yang dihasilkan akan menggambarkan besaran hubungan langsung antara konstruk eksogen yang dalam hal ini variabel X1, X2, dan X3 kepada variabel laten yang dalam hal ini pertahanan wilayah. Data menunjukkan rerata X1 sampai dengan X3 memiliki nilai rerata antara 3,87 hingga 3,90. Hal ini memberi makna bahwa responden setuju pengembangan wilayah di Kabupaten Langkat, Batubara dan Labuhan Batu yang dijelaskan oleh variabel ekonomi (X1), sosial (X2), dan budaya (X3) adalah sesuai mewakili variabel manifest pengembangan wilayah yang berpengaruh terhadap variabel laten yaitu pertahanan negara. Hasil analisis estimasi menunjukkan bahwa indikator ekonomi, sosial, dan budaya berpengaruh signifikan terhadap pertahanan negara. Hasil ini menjelaskan setiap kenaikan di bidang ekonomi sebesar satu satuan maka akan terjadi peningkatan pertahanan negara sebesar 0,80 satuan. Sedangkan bila terjadi kenaikan di bidang sosial sebesar satu satuan maka akan terjadi kenaikan persepsi responden terhadap pertahanan negara sebesar 0,77 satuan. Pada sisi lain, terjadinya peningkatan di bidang budaya satu satuan maka akan terjadi peningkatan persepsi responden terhadap pertahanan negara sebesar 0,71 satuan. KESIMPULAN Bahwa pengembangan wilayah merupakan proses pemberdayaan masyarakat dengan segala potensinya dan meliputi seluruh aktivitas masyarakat di dalam suatu wilayah, baik aspek ekonomi, sosial dan budaya, maupun aspek-aspek lainnya. Pemberdayaan tersebut sangat strategis dan signifikan bagi ketangguhan pertahanan negara di suatu wilayah. Secara khusus, hasil penelitian menyimpulkan : 1. Indikator tingkat kesejahteraan, permodalan, penyerapan tenaga kerja, kewirausahawanan dan lembaga ekonomi valid dan reliabel untuk merefleksikan variabel pengembangan wilayah dari aspek ekonomi di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara. 2. Indikator tingkat pendidikan, kesehatan, modal sosial, lembaga sosial, dan konflik komunal valid dan reliabel untuk merefleksikan variabel pengembangan wilayah dari aspek sosial di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara. 3. Indikator separatisme, fanatisme, adat dan ketokohan valid dan reliabel untuk merefleksikan variabel pengembangan wilayah dari aspek budaya di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara. 4. Indikator kesadaran bela negara, keamanan dan ketertiban masyarakat, dan profesionalisme aparatur valid dan reliabel untuk merefleksikan variabel pertahanan negara di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara. 5. Pengembangan wilayah dari aspek ekonomi, sosial dan budaya berpengaruh signifikan terhadap pertahanan negara di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara dimana jika dilakukan perbaikan struktur ekonomi, sosial dan budaya di wilayah pesisir Pantai Timur akan mampu memperkuat pertahanan negara di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara dengan meningkatkan kesadaran masyarakat pesisir untuk membela Negara Kesatuan Republik Indonesia, meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta meningkatkan kinerja dan profesionalisme aparatur pemerintahan. SARAN Berbagai saran yang dianjurkan sesuai dengan hasil penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Untuk mengimplementasikan konsep pengembangan wilayah dalam rangka perkuatan pertahanan negara di wilayah 128 WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009 Pantai Timur Sumatera Utara hendaknya pemerintah memfokuskan pembangunan pada kepentingan-kepentingan yang spesifik dari aspek ekonomi. Perbaikan struktur ekonomi dapat dilakukan dengan cara membagi secara proporsional seluruh sumberdaya yang tersedia secara adil pada masyarakat pesisir. Selain daripada itu perlunya memperbesar akses lembaga ekonomi keuangan dalam skala mikro bagi kebutuhan permodalan para nelayan. Proses pendampingan juga merupakan bagian penting yang perlu mendapat pemerintah/stakeholder khususnya pendampingan yang terfokus pada sikap kewirausahawanan yang selama ini masih belum optimal. 2. Fokus pengembangan wilayah di bidang sosial dalam rangka penguatan pertahanan negara dapat diarahkan pada peningkatan taraf pendidikan nonformal seperti; pelatihan, BLK, dan kursus keterampilan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat nelayan yang pada umumnya miskin. Dari aspek pelayanan kesehatan perlu dilakukan revitalisasi pos-pos pelayanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat dengan biaya yang murah. Selain dari pada itu pemerintah perlu merangsang tumbuh kembangnya lembaga-lembaga sosial yang berpihak kepada masyarakat. 3. Pengembangan wilayah di bidang budaya dalam rangka perkuatan pertahanan negara, pembangunannya dapat difokuskan pada menumbuh kembangkan adat istiadat setempat yang telah lama hilang, sosialisasi tentang pentingnya menghindari sikap fanatisme berlebihan dan mencegah munculnya separatisme daerah dengan memberdayakan lembaga-lembaga adat dan revitalisasi peran tokoh masyarakat dan cendikiawan. 4. Penelitian ini baru sebatas kajian pengembangan wilayah dari aspek ekonomi, sosial dan budaya pengaruhnya terhadap pertahanan negara. Namun, sesungguhnya masih banyak lagi aspekaspek lain dari pengembangan wilayah yang dapat dianalisis seperti aspek politik, hukum, lingkungan, teknologi dan informasi. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar mengkaji lebih 129 jauh pengembangan wilayah secara komprehensif sehingga dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan pengembangan wilayah di Provinsi Sumatera Utara. 5. Diperlukan suatu perencanaan integratif dan terkoordinir antar Pemerintah Daerah/Kabupaten dengan Komando Kewilayahan (Korem/Kodim) sehingga terbangun sinergitas pengembangan wilayah antara aspek kesejahteraan dan aspek pertahanan. 6. Sosialisasi yang intens tentang pertahanan negara kepada aparatur Pemerintah Daerah, Kecamatan, Kelurahan, Desa, dan elemen masyarakat lainnya sangat diperlukan agar terbentuk persepsi yang sama tentang hakekat pertahanan negara. DAFTAR RUJUKAN Armstrong, Harvey and Roger William Vickerman (eds.), 1995. Convergence and Divergence among European Regions. Pion Limited London. Arsyad, L., 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE, Yogyakarta. Azis, Iwan Jaya, 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta. Bakrie, C.R., 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Bandoro, B., 2005. Perspektif Baru Keamanan Nasional. Central for Strategic and International Studies (CSIS). Kanisius, Yogyakarta. Bayo, Adree, 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta, Liberty. Berkhofer, R.F., 1969. A Behavioral Approach to Historical Analysis. McMillan, The Free Press. Blakely, Edward J., 1994. Planning Local Economic Development: Theory and Practice, Sage Publications. Coser, L.A., 1964. Continuities in The Study of Social Conflict. The Free Press, New York. Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ... Esmara, H., 1986. Politik Perencanaan Pembangunan: Teori, Kebijaksanaan dan Prospek. Penerbit Gramedia, Jakarta. Friedmann, John, 1981. Kemiskinan Urban di Amerika Latin, dalam Andre Bayo Ala (ed)., Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Liberti, Yogyakarta. Fukuyama, F., 1999. Social Capital And Civil Society. The Institute of Public Policy. George Mason University. Internasional Monetary Fund. Kuncoro, Mudrajad, 2000. Ekonomi Pembangunan. Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta. Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKiS, Yogyakarta. Nugroho, I. dan Rokhmin D., 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES, Jakarta. Glasson, John, 1974. An Introduction to Regional Planning. Hutchinson of London, London. Riyadi dan Bratausumah D.S., 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Jingan, M.L., 2000, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sirojuzilam, 2005, Beberapa Aspek Pembangunan Regional. ISEI Cabang Bandung, Bandung. 130