PENGARUH PENGEMBANGAN WILAYAH (ASPEK EKONOMI

advertisement
PENGARUH PENGEMBANGAN WILAYAH (ASPEK EKONOMI
SOSIAL DAN BUDAYA) TERHADAP PERTAHANAN NEGARA
DI WILAYAH PANTAI TIMUR SUMATERA UTARA
Asren Nasution
Kapendam Kodam I Bukit Barisan
Abstract: Regional development focusing on economic, social and cultural
empowerment is an important aspect in defending the country from every threat.
National defense, however, is a collective obligation between the government and
the whole citizen. The study is objected to analyze the influence of 1) the
economic aspect represented by welfare level, capital, labor, entrepreneurship
and economic institution, 2) the social aspects indicated by education, health,
social capital, social institution and communal conflict, and 3) the cultural aspect
reflected by separatist, fanatics, culture and prominent figure on national defense
in east coast of North Sumatra by using Structural Equation Modeling (SEM).
The result shows that the three aspects consist of social, economic and cultural
have significant influence on national defense in the level of significance of 99%.
The study implies that in maintaining national defense, the government should
have focused the development on specific economic, social and cultural aspect.
The improvement of the economic structure of the people of coastal area should
be delivered through proportional resources. The focus of social development is
to generate non formal education such as training, workshop and life skill, and to
promote health service to poor fisherman. The cultural development is to support
local culture, to avoid copious fanatics and separatist by enhancing cultural
institution and by revitalizing the role of public figure and intellectual. An
integrated and coordinative planning between the local government and District
Military Command (Kodim) is a necessity in regional development. A sustainable
public campaign at every level of the government and to the people is a perquisite
in building public perception of national defense.
Keywords: regional development and national defense
PENDAHULUAN
Pembangunan daerah merupakan
bagian integral dan merupakan penjabaran
dari pembangunan nasional dalam rangka
pencapaian sasaran pembangunan yang
disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan
permasalahan pembangunan di daerah. Kunci
keberhasilan pembangunan daerah dalam
mencapai sasaran pembangunan nasional
secara efisien dan efektif, termasuk
penyebaran hasilnya secara merata di seluruh
Indonesia adalah koordinasi dan keterpaduan
antara pemerintah pusat dan daerah,
antarsektor, antara sektor dan daerah,
antarprovinsi, antarkabupaten/kota, serta
antara
provinsi
dan
kabupaten/kota.
Pembangunan daerah dilaksanakan dengan
tujuan untuk mencapai sasaran pembangunan
nasional serta untuk meningkatkan hasil-hasil
pembangunan daerah bagi masyarakat secara
adil dan merata.
117
Berdasarkan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
perspektif pendelegasian urusan ditetapkan
dengan menggunakan 3 (tiga) prinsip dasar
yaitu
efisiensi,
eksternalitas,
dan
akuntabilitas. Ketiga prinsip dasar di atas
menjadi landasan dan kriteria bagi
pelaksanaan pembagian fungsi utama
pemerintah sebagaimana diuraikan di atas.
Dengan pemahaman ini, masing-masing
jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota)
memiliki
kewenangan
sekaligus peran dalam mewujudkan tujuan
pembangunan yang telah disepakati bersama
secara nasional.
Pada dasarnya pembangunan daerah
berorientasi pada pengembangan wilayah
pada suatu daerah yang dilakukan secara
gradual, yang menyangkut fisik dan nonfisik
wilayah dimana tercipta penataan ruang yang
efisien dan infrastruktur publik yang cukup
Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ...
serta kondisi lingkungan yang nyaman
(Miraza, 2005).
Dengan demikian keseimbangan
antarkawasan menjadi penting karena
keterkaitan yang bersifat simetris akan
mampu mengurangi disparitas antar wilayah
dan pada akhirnya mampu memperkuat
pembangunan ekonomi wilayah secara
menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh
manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan
wilayah akan mengakibatkan kondisi yang
tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah
menimbulkan banyak permasalahan sosial,
ekonomi dan politik (Rustiadi, 2001).
Undang-Undang No. 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara pada
pasal
1 ayat 1 menyatakan bahwa pertahanan
negara adalah segala
usaha untuk
mempertahankan
kedaulatan
negara,
keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan keselamatan segenap bangsa
dari ancaman dan gangguan terhadap
keutuhan bangsa dan negara. Kemudian pada
pasal 2 dinyatakan pula bahwa sistem
pertahanan negara adalah sistem pertahanan
yang bersifat semesta yang melibatkan
seluruh warga negara, wilayah dan sumber
daya nasional lainnya, serta dipersiapkan
secara
dini
oleh
pemerintah
dan
diselenggarakan secara total, terpadu, terarah
dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah dan keselamatan
segenap bangsa dari segala ancaman.
Wilayah Pantai Timur Sumatera
Utara merupakan salah satu bagian dari
wilayah NKRI yang sangat potensial dan
strategis, baik diihat dari aspek ekonomi
wilayah maupun aspek pertahanan wilayah,
karena wilayah ini secara geografis
berbatasan langsung dengan Selat Malaka,
Provinsi Riau, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dan memiliki kekayaan
laut yang menjanjikan. Namun secara
demografis belum memberikan sesuatu yang
signifikan bagi kesejahteraan masyarakat,
sehingga memberi peluang bagi ancaman
pertahanan wilayah.
Posisi geografis pesisir Pantai Timur
Sumatera Utara yang memanjang dari
Kabupaten Langkat sampai Labuhan Batu
dengan garis pantai sekitar 545 kilometer,
sangat strategis bagi pengembangan ekonomi
rakyat pesisir karena memiliki potensi
kelautan yang tinggi bagi pengembangan
tersebut. Berikut ini gambaran garis pantai
wilayah tersebut.
Berdasarkan data dapat diketahui
bahwa kabupaten yang memiliki panjang
garis pantai terpanjang adalah Kabupaten
Langkat dengan panjang 99,36 Km. Hal ini
berarti bahwa Kabupaten Langkat memiliki
potensi pengembangan wilayah yang besar
pula.
Apabila
terjadi
pengoptimalan
pengembangan dan pemanfaatan wilayah
maka kemungkinan besar akan mendorong
perekonomian masyarakat yang ada di
wilayahnya. Selain itu, Selat Malaka sebagai
jalur perdagangan laut internasional memiliki
potensi yang cukup besar dalam menciptakan
stabilitas keamanan laut dan meningkatkan
devisa negara. Namun, kondisi ini belum
sepenuhnya
dikembangkan
karena
keterbatasan sarana.
Salah satu teori pertumbuhan
ekonomi regional adalah teori eksport-base.
Kelompok ini mendasarkan pandangannya
dari sudut teori lokasi yang berpendapat
bahwa pertumbuhan ekonomi suatu region
akan lebih banyak ditentukan oleh jenis
keuntungan lokasi dan dapat digunakan oleh
daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor.
Keuntungan lokasi tersebut umumnya
berbeda-beda setiap region dan hal ini
tergantung pada keadaan geografis daerah
setempat.
Ini berarti untuk meningkatkan
pertumbuhan
suatu
region,
strategi
pembangunannya harus disesuaikan dengan
keuntungan lokasi yang dimilikinya dan
tidak
harus
sama
dengan
strategi
pembangunan
pada
tingkat
nasional
(Sirojuzilam, 2005).
Dilihat secara geopolitik dan
geostrategi, daerah ini menyimpan potensi
masalah yang bila tidak dikelola dengan
benar akan berpeluang menimbulkan
ancaman di bidang pertahanan keamanan,
ekonomi dan politik. Selain itu, kandungan
kekayaan alam yang potensial didaerah ini,
berdirinya berbagai objek vital berskala
nasional dan internasional akan menjadi
berkah sekaligus menjadi sumber kerawanan.
Menjadi berkah karena dengan cepat
mengakses berbagai kemajuan dari berbagai
negara tetangga, bertukar budaya dan
merespon berbagai dinamika perubahan yang
bermanfaat bagi kemajuan masyarakat kita.
Sebaliknya menjadi sumber kerawanan
karena luas dan panjangnya garis perbatasan
118
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
berarti luas dan panjang pula pintu masuk
dan titik-titik kerawanan yang bisa
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah dan keselamatan bangsa (Jenderal
TNI Agustadi S.P., 2008).
Rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat pesisir tidak hanya dipengaruhi
oleh tingkat pendapatan yang rendah semata.
Kemampuan menyerap tenaga kerja oleh
pihak pemerintah dan swasta merupakan
faktor yang mendukung terpuruknya kondisi
masyarakat nelayan. Kondisi ini juga sering
diperparah
dengan
ketidakmampuan
masyarakat untuk bersikap mandiri dengan
menumbuhkembangkan usahanya sendiri
selain usaha pokok untuk memperoleh
pendapatan
tambahan
keluarga.
Ketidakmampuan ini sering diakibatkan oleh
tidak tersedianya modal yang cukup.
Mayoritas penduduk yang bekerja
sebagai buruh dan nelayan di Pantai Timur
Sumatera Utara menggambarkan tingkat
ekonomi yang rendah. Selain itu, kerawanan
sosial dikarenakan ketimpangan ekonomi dan
perbedaan tingkat pendapatan memberi
peluang munculnya disharmonisasi sosial
ditengah-tengah
masyarakat,
sehingga
apabila tidak dikelola dengan tepat akan
memicu keresahan, demonstrasi/anarkhis dan
bahkan dapat memunculkan separatisme di
daerah. Selain itu, konflik komunal pun tidak
dapat terhindarkan pada kondisi seperti ini.
Dari sudut pandang pertahanan
negara, fakta-fakta diatas jika tidak dilakukan
perbaikan yang signifikan baik pada aspek
ekonomi maupun sosial dan budaya, maka
kondisi tersebut tidak hanya menambah
kesengsaraan masyarakat pesisir dari sisi
kesejahteraan namun menjadi sumber
ancaman bagi pertahanan wilayah Pantai
Timur Sumatera Utara.
METODE
Pembatasan wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara, sebagaimana dimaksudkan
dalam penelitian ini, mengacu pada sistem
pembagian wilayah yang sudah baku di
lingkungan Kodam I/Bukit Barisan. Dalam
peta wilayah dimaksud Provinsi Sumatera
Utara dibagi pada 2 (dua) komando
kewilayahan
setingkat
Korem,
yaitu
Komando Resor Militer 022/Pantai Timur,
berkedudukan di Pematang Siantar dan
Komando
Resor
Militer
023/Kawal
Samudera, yang berkedudukan di Sibolga.
Berdasarkan pembagian tersebut, wilayah
Pantai Timur meliputi 12 (dua belas)
kabupaten/kota, yang terdiri atas; Kota
Medan, Kabupaten Langkat, Kota Binjai,
Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang
Bedagai, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten
Simalungun, Kota Pematang Siantar,
Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai,
Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten
Batubara.
Penelitian ini menggunakan analisis
Struktural Equation Model (SEM). Analisis
yang digunakan dalam penelitian ini
digunakan Model Persamaan Struktur atau
Struktural Equation Model (SEM).
Diagram jalur akan dikonversikan ke dalam persamaan struktural dengan cara sebagai berikut:
Ekonomi (X1)
Konstruk Eksogen
Sosial (X2)
X11 = λ1 X1+ ε1
X12 = λ2 X1+ ε2
X13 = λ3 X1+ ε3
X14 = λ4 X1+ ε4
X15= λ5 X1+ ε5
X21 = λ6 X2+ ε6
X22 = λ7 X2+ ε7
X23 = λ8 X2+ ε8
X24 = λ9 X2+ ε9
X25 = λ10 X2+ ε10
Pertahanan Negara (Y)
Y11 = λ15 Y1+ ε15
Y12 = λ16 Y1+ ε16
Y13 = λ17 Y1+ ε17
Y = λ18 X1+ λ19 X2+ λ20 X3+ ε18
Keterangan :
X1
X11...X15
λ1 .... λ5
ε1 .....ε5
119
=
=
=
=
Konstruk Ekonomi
Indikator Ekonomi
Faktor Loading Ekonomi
Error Indikator Ekonomi
Budaya (X3)
X31 = λ11 X3+ ε11
X32 = λ12 X3+ ε12
X33 = λ13 X3+ ε13
X34 = λ14 X3+ ε14
Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ...
X2
X21...X25
λ 6 .... λ10
ε 6 .....ε10
X3
X31 ... X34
λ11 ... λ14
ε11 ... ε14
Y11
λ15
ε15
Y12
λ16
ε16
Y13
λ17
ε17
Y
λ 18 ... λ 20
ε18
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Konstruk Sosial
Indikator Sosial
Faktor loading Sosial
Error Indikator Sosial
Konstruk Budaya
Indikator Budaya
Faktor loading Budaya
Error Indikator Budaya
Konstruk Kesadaran Bela Negara
Faktor loading Kesadaran Bela Negara
Error Indikator Kesadaran Bela Negara
Konstruk Keamanan Ketertiban Masyarakat
Faktor loading Keamanan Ketertiban Masyarakat
Error Indikator Keamanan Ketertiban Masyarakat
Konstruk Profesionalisme Aparat
Faktor loading Profesionalisme Aparat
Error Indikator Profesionalisme Aparat
Konstruk Pertahanan Negara
Faktor Loading Pertahanan Negara
Error indikator Pertahanan Negara
HASIL
Wilayah Pantai Timur merupakan
salah satu wilayah di daerah Provinsi
Sumatera Utara bagian Timur yang terletak
di antara 1° 45’ LU dan 4° 15’ LU, 98° BT
dan 100° 20’ BT. Daerah ini merupakan
daerah pantai dengan panjang garis pantai
sepanjang 545 km dengan luas 110.000 km2
(60,5% dari total luas Sumatera Utara).
Wilayah ini juga berhadapan langsung
dengan Selat Malaka, dan negara tetangga,
seperti Malaysia dan Thailand.
Selanjutnya berdasarkan luas daerah menurut
kabupaten/kota yang berada di wilayah
Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara, luas
terbesar berada pada Kabupaten Labuhan
Batu dengan luas 9.223,18 km2 atau sekitar
37,20% dari keseluruhan luas wilayah Pantai
Timur Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan
berdasarkan panjang pantai maka Kabupaten
Langkat memiliki pantai yang terpanjang
sebesar 99,36 Km.
Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara
menyimpan sumberdaya alam yang begitu
besar. Namun kekayaan sumberdaya alam ini
belumlah sepenuhnya dimanfaatkan. Potensi
Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara dinilai
sangat strategis untuk dikembangkan agar
menjadi basis ekonomi dan wisata
masyarakat disekitarnya. Hal ini dilihat dari
potensi yang dimiliki wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Potensi Wilayah Pesisir Pantai Timur Tahun 2006
No
1
2
3
4
Uraian
Luas Laut
Panjang Garis Pantai Timur
Jumlah Pulau
Total Luas Hutan Mangrove
Jumlah (Keterangan)
110.000 Km2 (60,5 % Dari Total Luas Sumut)
545 Km
419 buah,
59.369,00 Ha
Kondisi Baik : 23.082,00 Ha
Kondisi Rusak
: 36.077,00 Ha
5
Total Sumber Daya Ikan Laut
P. Timur
: 276.030 ton/thn
6
Jenis Ikan Unggulan
P. Timur
: Kakap, kerapu, tenggiri dll.
7
Tingkat Pemanfaatan Ikan Laut
P. Timur
: 90, 75 % (250.489 ton)
8
Budidaya Perikanan Tambak
71.500 Ha
9
Budidaya Laut Perairan Laut
734.000 Ha
10 Potensi Pariwisata Bahari
Belum teridentifikasi dengan baik
11 Potensi Pertambangan Kawasan
Pertambangan Minyak di Blok Asahan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Bahan Galian Strategis: Energi, Panas Bumi, Timah
Putih
Bahan Galian Vital: Pasir, Kaolin, Bauksit
Sumber: Bappeda Provinsi Sumatera Utara, 2007
120
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
Selain potensi perikanan dan
kelautan, wilayah Pantai Timur juga
memiliki potensi bidang pertanian dan
perkebunan diantaranya yang menonjol
adalah beras, karet, kelapa sawit, kelapa
(kopra), teh, coklat dan kopi. Sedangkan
yang di export adalah karet dan minyak
kelapa sawit. Hasil tambang terdapat juga di
Kabupaten Langkat berupa minyak bumi
yang dikelola oleh Pertamina di Pangkalan
Brandan dan Pangkalan Susu, hasil tambang
yang lain terdapat juga di Kabupaten
Simalungun berupa tambang Batu Kapur
yang terletak di Kecamatan Silau Kahean
(Negeri Dolok) dengan pengelola PT.
Decontrago milik WNI Cina Medan, hasil
pengelolaannya menjadi tapal gigi, bahan
campuran pembuatan piring dan lain-lain.
Dari aspek potensi wilayah jika
dihadapkan dengan spektrum ancaman
nirmiliter, maka wilayah Pantai Timur rawan
terhadap ancaman pertahanan diantaranya:
1) Penangkapan ikan secara illegal,
pencemaran dan perusakan ekosistem.
2) Perusakan
lingkungan
seperti
pembakaran hutan, perambahan hutan
illegal, pembuangan limbah bahan
beracun.
3) Pelanggaran batas wilayah dan kejahatan
lintas Negara, seperti penyelundupan
barang narkoba, penyelundupan manusia
dan barang-barang lainnya.
4) Ketimpangan ekonomi dan pendapatan
yang
menyebabkan
disharmonisasi
sosial.
PEMBAHASAN
1. Tanggapan
Responden
Terhadap
Indikator Pertahanan Negara
Indikator variabel pertahanan negara
dalam penelitian ini adalah kesadaran bela
negara (Y11), keamanan dan ketertiban
masyarakat (Y12), dan profesionalisme
aparatur (Y13) yang dinilai signifikan
menggambarkan pertahanan negara di
wilayah Pantai Timur Sumatera Utara. Hasil
uji validitas menunjukkan bahwa nilai
korelasi indikator pertahanan negara berada
diantara 0,64 hingga 0,85. Dengan demikian
ketiga indikator dinyatakan valid untuk
menjelaskan konstruk pertahanan negara.
2. Pengaruh Pengembangan Wilayah
Terhadap Pertahanan Negara di
Pantai Timur Sumatera Utara
Pengembangan wilayah terhadap
pertahanan negara di Pantai Timur Sumatera
Utara dalam kajian ini dilihat dari aspek
ekonomi (X1), sosial (X2), dan budaya (X3).
Namun demikian adalah penting untuk
menganalisis validitas dan reliabilitas ketiga
variabel tersebut sebagai variabel yang
mampu menjelaskan variabel laten. Nilai
koefisien jalur yang dihasilkan akan
menggambarkan besaran hubungan langsung
antara kostruk eksogen yang dalam hal ini
variabel X1 s/d X3 kepada variabel laten yang
dalam hal ini pertahanan negara.
Tabel 2 menunjukkan rerata X1
sampai dengan X3 memiliki nilai rerata
antara 3,87 hingga 3,90. Hal ini memberi
makna
bahwa
responden
setuju
pengembangan wilayah di Kabupaten
Langkat, Batubara dan Labuhan Batu yang
dijelaskan oleh variabel ekonomi (X1), sosial
(X2), dan budaya (X3) adalah sesuai mewakili
variabel manifest pengembangan wilayah
untuk mempengaruhi variabel laten yang
dalam hal ini pertahanan negara.
Tabel 2. Rata-rata Tanggapan Responden per Kabupaten/Kota
Terhadap Variabel Pertahanan Negara
Kabupaten/Kota
Ekonomi (X1)
Sosial (X2)
Budaya (X3)
Labuhan Batu
4,07
4,07
3,93
Batubara
3,86
3,79
3,80
Langkat
3,77
3,74
3,98
3,90
3,87
3,90
Rerata
121
Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ...
Pengaruh variabel ekonomi, sosial, dan budaya terhadap pertahanan negara di wilayah
Pantai Timur Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:
γ = 0.77
SOSIAL
γ = 0,05
EKONOMI
PERTAHANAN
NEGARA
DI WILAYAH
PANTAI TIMUR
SUMATERA UTARA
γ = 0.80
γ = 0,77
BUDAYA
γ = 0.71
Gambar 1. Pengaruh Pengembangan Wilayah dari Variabel/Aspek Ekonomi, Sosial, dan Budaya
terhadap Pertahanan Negara
Pengaruh ini terdiri dari pengaruh
langsung, pengaruh tidak langsung dan
pengaruh total.
a. Pengaruh langsung adalah sebagai
berikut:
1. Pengaruh
langsung
ekonomi
terhadap pertahanan negara adalah
sebesar 0.80.
2. Pengaruh langsung sosial terhadap
pertahanan negara adalah sebesar 0.77.
3. Pengaruh langsung budaya terhadap
pertahanan negara adalah sebesar 0.71.
b. Pengaruh tidak
langsung adalah
sebagai berikut:
1. Pengaruh sosial terhadap pertahanan
negara melalui ekonomi adalah 0.80
x 0.05 adalah sebesar 0.04.
2. Pengaruh
budaya
terhadap
pertahanan negara melalui ekonomi
adalah 0.80 x 0.77 adalah sebesar
0.62.
c. Pengaruh total adalah sebagai
berikut:
1. Pengaruh total sosial terhadap
pertahanan
negara
adalah
penjumlahan
antara
pengaruh
langsung sosial terhadap pertahahan
negara ditambah dengan pengaruh
tidak langsung sosial terhadap
pertahahanan negara yaitu sebesar
0.77 + 0.04 = 0.81.
2. Pengaruh total budaya terhadap
pertahanan
negara
adalah
penjumlahan
antara
pengaruh
langsung
budaya
terhadap
pertahahan negara ditambah dengan
pengaruh tidak langsung budaya
terhadap pertahahanan negara yaitu
sebesar 0.71 + 0.62 = 1.33.
Dengan
demikian
persamaan
struktural dapat diturunkan sebagai
berikut :
PERTAHANAN NEGARA =
0.80 EKONOMI + 0.77 SOSIAL +
(t-hit = 18.93)
(t-hit = 18.66)
0.71 BUDAYA
(t-hit = 15.52)
Pengaruh Pengembangan Wilayah dari
Aspek Ekonomi Terhadap Pertahanan
Negara di Wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara
Temuan dari kajian ini menunjukkan
bahwa beberapa indikator kunci dalam
proses pemberdayaan ekonomi yang
merupakan
bahagian
integral
dari
pengembangan wilayah di Pantai Timur
Sumatera Utara seperti perbaikan tingkat
kesejahteraan (X11), tumbuh kembangnya
penyerapan tenaga kerja (X12), aksebelitas
permodalan (X13), sikap kewirausahaan
(X14), dan penguatan terhadap lembaga
keuangan (X15) merupakan satu keastuan di
bidang ekonomi yang berpengaruh pada
pertahanan negara di wilayah pesisir. Hal ini
senada dengan Arsyad (1999) yang
menyatakan bahwa pembangunan ekonomi
daerah merupakan suatu fungsi dari
sumberdaya alam, tenaga kerja, investasi
(permodalan),
entrepreneurship
(kewirausahaan), transportasi, komunikasi,
komposisi industri, teknologi, luas daerah,
pasar
ekspor,
pemerintah
daerah
(kelembagaan),
dan
bantuan-bantuan
pembangunan (ekonomi).
122
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
Dalam kajian ini ditemukan bahwa
persoalan pengembangan wilayah pesisir
melalui pemberdayaan ekonomi bermuara
pada
indikator
tingkat
kesejahteraan
masyarakat pesisir yang kini masih rendah
karena lemahnya kemampuan masyarakat
pesisir dalam pengelolaan sumberdaya yang
tersedia. Hal ini didukung oleh temuan Edy
(2004)
yang
menyatakan
bahwa
pengembangan masyarakat wilayah pesisir
yang
mengakibatkan
pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan yang tidak
lestari maka pada akhirnya akan membatasi
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat
pesisir disebabkan oleh rendahnya kualitas
SDM masyakakat serta rusaknya tatanan
lingkungan yang selama ini menjadi mata
pencaharian utama masyarakat. Dengan
demikian persoalan-persoalan perbaikan
kesejahteraan masyarakat pesisir dapat
dimulai dengan peningkatan kualitas SDM
dan perbaikan tata lingkungan yang
dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak
terkait agar kesejahteraan masyarakat
meningkat. Hasil penelitian ini sekaligus
mendukung kajian Ginting (2001) yang
mengemukakan bahwa SDP memiliki
produktivitas yang tinggi dan dapat
diharapkan
berperan
penting
dalam
mendukung pembangunan ekonomi nasional,
meningkatkan
devisa,
meningkatkan
lapangan kerja pendapatan dan kesejahteraan
penduduk Indonesia, dimana industri
unggulan perlu dikembangkan. Dengan
teratasinya permasalahan yang ada dan
didukung oleh faktor trigatra dalam negeri
maka akan mampu menciptakan lapangan
kerja dan kegiatan perekonomian secara
terpadu. Dengan demikian dapat membantu
mengatasi
masalah
pengangguran,
kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan,
memperkuat ketahanan nasional serta
mendorong terciptanya stabilitas nasional.
Dengan demikian hasil analisis dalam kajian
ini menemukan bahwa terdapat hubungan
antara
pemberdayaan
kesejahteraan
masyarakat pesisir Pantai Timur dengan
pertahanan negara.
Penemuan dari aspek penyerapan
tenaga kerja pada kajian ini juga mendapati
bahwa sebahagian besar tenaga kerja di
123
daerah penelitian tidak respon terhadap
perkembangan
teknologi.
Hal
ini
menyebabkan nelayan tidak memiliki
keunggulan dalam bersaing. Hasil ini sejalan
dengan temuan Wolff dan Howel (1989)
yang juga menyebutkan bahwa perubahan
struktur ekonomi yang antara lain disebabkan
karena berubahnya teknologi produksi
mempunyai konsekuensi pada tenaga kerja
secara keseluruhan. Konsekuensi tersebut
termasuk (1) perubahan job security, (2)
peningkatan pekerjaan paruh waktu, dan (3)
perubahan
tingkat
ketrampilan
yang
dibutuhkan untuk menghasilkan output.
Dalam hal ini ketrampilan tenaga kerja
mencerminkan kualitas tenaga kerja.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
nilai korelasi penyerapan tenaga kerja
terhadap varibel ekonomi sebesar 0.71 atau
71 persen dan valid pada alpha 0.001. Hasil
kajian ini memberikan implikasi bahwa
aspek ketenagakerjaan di wilayah pesisir
merupakan aspek yang penting untuk
diberdayakan dalam membangun ekonomi di
wilayah pesisir. Hasil kajian ini sejalan
dengan temuan Clark dalam Nasoetion
(1991) merumuskan bahwa pertumbuhan
ekonomi melalui proses transformasi dapat
dicapai melalui (1) peningkatan produktivitas
tenaga kerja di setiap sektor dan (2) transfer
tenaga kerja dari sektor yang produktivitas
tenaga kerjanya rendah ke sektor yang
produktivitas tenaga kerjanya lebih tinggi.
Industri unggulan perlu dikembangkan,
dengan teratasinya permasalahan yang ada
dan didukung oleh faktor trigatra dalam
negeri maka akan mampu menciptakan
lapangan kerja dan kegiatan perekonomian
secara terpadu. Dengan demikian dapat
membantu mengatasi masalah pengangguran,
kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan,
memperkuat ketahanan nasional serta
mendorong terciptanya stabilitas nasional.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
besarnya pengaruh permodalan terhadap
variabel ekonomi adalah 0.78. Hal ini berarti
bahwa masyarakat pesisir Pantai Timur
Sumatera Utara setuju jika terjadi kenaikan
permodalan sebesar satu satuan akan
mengakibatkan terjadinya kenaikan taraf
ekonomi masyarakat pesisir sebesar 0.78
satuan. Hal ini mendukung temuan De Jonge
(1989) bahwa kegiatan perikanan sangat
padat modal. Modal yang besar itu
Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ...
diutamakan untuk membeli sarana produksi,
seperti kapal/perahu, jaring dan mesin.
Sumber-sumber permodalan bagi nelayan
adalah tabungan dan harta benda pribadi,
pinjaman dari kerabat atau tetangga. Masalah
penyediaan fasilitas sering menjadi kendala
bagi para nelayan untuk menjaga konsistensi
atau kelangsungan usaha yang dilakukannya.
Kesulitan memenuhi kebutuhan modal lebih
dirasakan oleh nelayan-nelayan kecil yang
karena berbagai keterbatasannya tidak
memiliki akses kepada sumber-sumber
modal yang tersedia.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
lemahnya daya dukung dunia perbankan
secara konvensional sangat tidak kondusif
bila dihadapkan dengan kodisi aktual
masyarakat nelayan miskin dari aspek 5C
(Capital, Collateral, Capability, Charracter,
Condition). Dengan demikian diperlukan
Skim Kredit Perbankan Mikro. Implementasi
Skim Kredit Perbankan Mikro yang
dirancang sesuai dengan budaya dan perilaku
masyarakat nelayan miskin dengan pola yang
sangat
sederhana
diharapkan
dapat
digunakan sebagai salah satu solusi optimal
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
nelayan miskin.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
nilai rata-rata pendapat responden tentang
kaitan antara sifat kewirausahawanan sebagai
indikator variabel ekonomi terhadap terhadap
pemberdayaan masyarakat peisir adalah 3.92.
Hal ini memberi makna bahwa sifat
kewirausahawanan
masyarakat
pesisir
berpengaruh pada pemberdayaan ekonomi
responden dan merupakan bahagian integral
dalam pertahanan negara.
Hasil kajian juga menunjukkan nilai
korelasi
indikator
kewirausahawanan
terhadap variabel ekonomi sebesar 0.80 dan
nilai reliabilitas serta varians konstruk di atas
0.70.
Hal
ini
menandakan
bahwa
kewirausahawanan memberikan kontribusi
sebesar 80 persen dalam pemberdayaan
ekonomi rumah tangga masyarakat pesisir
dan hal ini valid karena nilai reliabilitasnya
lebih besar dari 0.70.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
rata-rata responden setuju (4.03) bahwa
perbaikan lembaga ekonomi di wilayah
Pantai Timur Sumatera Utara akan mampu
memperbaiki struktur ekonomi masyarakat
pesisir yang merupakan variabel pertahanan
negara. Dengan nilai korelasi sebesar 0.77
berarti terdapat hubungan antara lembaga
ekonomi dengan variabel ekonomi sebesar
77 persen dan dengan nilai standart solution
0.88. Berarti keterkaitan antara indikator
lembaga ekonomi dengan variabel ekonomi
adalah valid.
Pengaruh Pengembangan Wilayah dari
Aspek Sosial terhadap Pertahanan Negara
di Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara
Temuan
pada
kajian
ini
menunjukkan dinamika modal sosial
masyarakat nelayan di Pantai Timur terlihat
pada pergeseran tata nilai khususnya trust
(kepercayaan)
dan
resiprositas
yang
membangun berbagai pola hubungan dan
jaringan dalam komunitas masyarakat
pesisir. Ditemukan adanya keterkaitan antara
pengembangan sosial masyarakat dengan
eksistensi modal sosial masyarakat. Modal
sosial maksimum ditemukan pada komunitas
nelayan khususnya pada jaringan nelayan
berbasis agama. Sedangkan modal sosial
minimum ditemukan pada jaringan vertikal
antara komunitas dengan institusi pemerintah
desa. Beberapa hasil kajian menunjukkan
bahwa modal sosial masyarakat ternyata
linear dengan kondisi sosial masyarakat.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
tingkat korelasi modal sosial dengan variabel
sosial adalah 3,81. Hal ini memberi makna
bahwa pengembangan modal sosial dalam
aspek sosial masyarakat di wilayah pesisir
begitu penting untuk diperhatikan. Hal ini
sesuai dengan studi yang dilakukan Coleman
(1990) berpendapat bahwa modal sosial
adalah atribut struktur sosial dimana
seseorang ada di dalamnya. Modal sosial
melekat dalam struktur sosial dan memiliki
karakteristik public good namun setara
dengan financial capital, physical capital,
dan human capital.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
besarnya pengaruh modal sosial terhadap
variabel sosial adalah 78 persen. Hal ini
berarti bahwa kontibusi modal sosial dalam
memperbaiki aspek sosial masyarakat pesisir
adalah 78 persen. Modal sosial merupakan
salah satu komponen dalam pengembangan
wilayah. Modal sosial yang dimiliki
masyarakat pesisir jika dapat dimanfaatkan
secara optimal dalam mengelola sumberdaya
pesisir dan laut maka kesejahteraan
124
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
masyarakat dapat meningkat. Hal ini sesuai
dengan temuan Mitchel (1999) dan Winter
(2000) bahwa modal sosial bersama-sama
dengan modal lainnya mampu meningkatkan
produktifitas efisiensi dan keberlanjutan
proses pembangunan. Tanpa modal sosial,
aktivitas
ekonomi
akan
mengalami
kemunduran dan SDA akan menghadapi
ancaman kerusakan. Sebaliknya, tanpa
pertumbuhan ekonomi serta modal sosial
akan terganggu modal sosial dapat
mempengaruh kestabilan kehidupan keluarga
dan kemandirian masyarakat.
Hasil kajian juga menghasilkan
temuan bahwa lemahnya modal sosial akan
mengakibatkan munculnya konflik-konflik di
masyarakat yang pada tahapan tertentu akan
berujung pada aktivitas anarkhis seperti
perusakan sarana fasilitas umum dan lainnya
yang pada akhirnya mengganggu keamanan
dan kenyamanan. Ini merupakan ancaman
terhadap pertahanan negara. Ditinjau dari
sudut pandang modal sosial, hal tersebut
merupakan salah satu indikator melemahnya
rasa percaya dan norma-norma bersama yang
selama ini ditaati oleh masyarakat. Arogansi
kelompok dan melemahnya nilai-nilai
kebersamaan
tersebut
akhirnya
akan
melemahkan modal sosial. Padahal menurut
Gonarsyah (1977), penguatan modal sosial
merupakan salah satu upaya menekan
kesenjangan karena memungkinkan wilayahwilayah terkait untuk bekerjasama dan
sekaligus bersaing melalui pola kemitraan.
Selain itu, temuan pada penelitian
ini menunjukkan bahwa indikator kesehatan
merupakan hal yang berpengaruh pada
kerangka pengembangan bidang sosial dalam
rangka pengembangan wilayah. Kualitas
hidup yang rendah yang disebabkan
kemiskinan sering membawa dampak yang
buruk bagi kesehatan. Hasil penelitian
Amanah (2006) mengungkapkan kualitas
hidup nelayan kecil di Kabupaten Buleleng
relatif masih rendah dilihat dari segi
pendidikan, permodalan dan pendapatan
usaha, dan derajat kesehatan. Peningkatan
kualitas hidup dapat dilakukan melalui
berbagai
cara,
antara
lain
melalui
pemberdayaan
berdasarkan
kebutuhan
masyarakat yang terprogram secara baik dan
benar. Pemberdayaan seperti ini dapat
mendukung terpenuhinya kebutuhan dasar
manusia, tersedianya sarana dan prasarana
125
produksi secara lokal dengan harga
terjangkau, meningkatnya peran aktif
kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi
kolektif, adanya interaksi dan komunikasi
antar kelompok, dan terwujudnya struktur
ekonomi yang adil dan kuat.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
rata-rata responden setuju (3.77) menyatakan
terdapat hubungan yang erat antara indikator
kesehatan dengan variabel sosial dalam
rangka pertahanan negara. Hal ini memberi
makna bahwa peningkatan taraf kesehatan
masyarakat akan memperbaiki aspek sosial
masyarakat di wilayah pesisir Pantai Timur.
Temuan ini merupakan dukungan terhadap
hasil studi yang dilakukan Riyadi (2006)
yang menyimpulkan bahwa persepsi
masyarakat terhadap tingkat kualitas
pelayanan kesehatan di puskesmas sebagian
besar berada di kontinum cukup baik,
demikian pula berdasarkan rata-rata untuk
setiap dimensi juga berada pada kontinum
cukup baik. Kualitas pelayanan kesehatan
yang baik akan menciptakan ketahanan
nasional yang tangguh.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
masyarakat Pantai Timur Sumatera Utara
setuju menyatakan bahwa tingkat pendidikan
masyarakat Pantai Timur merupakan
bahagian dari aspek sosial yang dapat
memberikan pengaruh pada pertahanan
negara dengan nilai 3.97. Hal ini mendukung
temuan
Simanjuntak
(1985)
bahwa
pendidikan merupakan salah satu aspek yang
sangat penting dalam pengembangan sumber
daya manusia. Di satu pihak pendidikan
mempengaruhi produktivitas kerja yang
tercermin dari tingkat penghasilan dan di lain
pihak pendidikan merupakan indikator
tingkat kemiskinan dimana perbaikan
pendidikan
suatu
masyarakat
akan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Dalam rangka pemberdayaan sosial
masyarakat Pantai Timur Sumatera Utara
melalui tingkat pendidikan masyarakat dapat
dijadikan indikator kemajuan dalam usaha
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pendidikan yang sudah dianggap sebagai
kebutuhan dasar sering terabaikan yang akan
menyebabkan rendahnya Sumber Daya
Manusia (SDM) kelautan sehingga dalam
melakukan eksploitasi SDA di laut kurang
memperhatikan kelestarian dan dampaknya
Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ...
akan berpengaruh pada kelangsungan hidup
masyarakat pesisir di Pantai Timur.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
besarnya pengaruh pendidikan terhadap
variabel sosial adalah 84 persen. Hal ini
berarti bahwa setap terjadi kenaikan tingkat
pendidikan sebesar satu satuan akan
mengakibatkan terjadinya perbaikan struktur
sosial masyarakat pesisir. Peningkatan
pembangunan sosial dicirikan dengan esensi
proses, rebutan, dan cara bangkit dalam
sosial budaya yaitu keadaan hidup yang
harus dipandang dari sudut kualitas yang
dilihat dari pemikiran menyeluruh dan dari
sudut kualitas yang dapat diukur dan diamati
pada bidang agama, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kemandirian
masyarakat, dan kemandirian keluarga
sebagai basis berbangsa dan bernegara.
Indikator pendidikan memiliki nilai
standart solution sebesar 0,92 dan merupakan
indikator yang paling tinggi tingkat
reliabilitaslnya. Artinya konstruk sosial
masyarakat pesisir dapat dibentuk dari
indikator pendidikan yang terdapat di daerah
tersebut.
Pendidikanlah yang dapat
membawa masyarakat pesisir ke arah
kemiskinan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
masyarakat pesisir Pantai Timur menyatakan
pentingnya (3.82) lembaga sosial sebagai
indikator sosial dalam rangka pertahanan
negara. Hasil ini sesuai dengan studi Selo
Soemardjan (1964:14) dalam bukunya
Setangkai Bunga Sosiologi menjelaskan
hubungan antara norma-norma, kelembagaan
sosial dan lapisan masyarakat sebagai
berikut:
Hasil kajian menunjukkan bahwa
besarnya pengaruh lembaga sosial terhadap
variabel sosial adalah 82 persen. Hal ini
berarti bahwa lembaga sosial memberikan
kontribusi sebesar 80 persen dalam
membentuk variabel sosial. Hal ini didukung
oleh temuan Soekanto (1979) bahwa, secara
garis besar setiap lembaga kemasyarakatan
sekurang-kurangnya memiliki empat peranan
yaitu : peranan dalam menata interaksi sosial
intern anggotanya dan antar anggota
kelompok dengan kelompok yang lain.
Kedua peranan dalam mengatur status sosial
, ketiga peranan dalam memberikan sekuritas
sosial kepada anggotanya, yang keempat
berperan dalam melakukan pengawasan
sosial atau kontrol sosial terhadap
penyimpangan norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
masyarakat Pantai Timur Sumatera Utara
setuju bahwa konflik komunal merupakan
variabel sosial yang dapat memicu lemahnya
pertahanan negara.
Hal ini mendukung
temuan Miall (2000) bahwa konflik adalah
aspek instrinsik dan tidak mungkin dapat
dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik
adalah sebuah ekspresi heterogenitas
kepentingan, nilai dan keyakinan yang
muncul sebagai formasi baru yang
ditimbulkan oleh perubahan sosial yang
muncul bertentangan dengan hambatan yang
diwariskan. Hal ini berarti bahwa terjadinya
konflik pemanfatan lahan di satu kawasan
pesisir akan mempunyai nilai konflik yang
berbeda dengan kawasan pesisir lainnya.
Pengaruh variabel sosial terhadap
variabel pertahanan negara adalah sebesar
0.77. Hal ini berarti setiap terjadi perbaikan
aspek-aspek sosial masyarakat pesisir Pantai
Timur Sumatera Utara yang meliputi
perbaikan modal sosial (X21), layanan
kesehatan (X22), perbaikan pendidikan (X23),
pemberdayaan lembaga sosial (X24), dan
pencegahan konflik komunal (X25) akan akan
terjadi peningkatan sikap pertahanan
terhadap negara sebesar 0.77 satuan.
Pengaruh Pengembangan Wilayah dari
Aspek Budaya terhadap Pertahanan
Negara di Wilayah Pantai Timur
Sumatera Utara
Hasil analisis juga menunjukkan
bahwa Indikator-indikator di bidang budaya
memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi (di
atas 0.70). Semua indikator memiliki nilai thitung di atas t-tabel (2.57) dan cukup valid
untuk mewakili konstruk budaya. Dengan
demikian kelima indikator yaitu separatisme
(X31), fanatisme (X32), adat (X33), dan
ketokohan (X34) dapat menjelaskan variabel
budaya (X3). Selain itu hasil analisis standart
solution seperti yang digambarkan pada
Gambar 5.3 dan Tabel 5.48 menunjukkan
bahwa nilai reliabilitasl konstruk sosial (X3)
adalah sebesar 0.71. Hal ini memberi arti
bahwa kelima indikator pada konstruk
budaya tersebut di atas sudah reliabel untuk
menjelaskan konstruk karena koefesien
reliabel > 0.7 (Augusty, 2002). Hasil analisis
126
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
juga menunjukkan hasil varians ekstrak
sebesar 0.67 > 0.5 dimana hal ini memberi
penjelasan bahwa kelima indikator yang
membangun konstruk budaya telah terwakili.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
besarnya pengaruh separatis terhadap
variabel budaya adalah 80 persen dan
diterima pada Alpha 0.001. Hal ini berarti
bahwa keterkaitan atau kontribusi sikap
separatis terhadap budaya yang secara
langsung berpengaruh kepada pertahanan
negara adalah 80 persen. Indikator separatis
memiliki nilai standart solution sebesar 0,82
dan valid pada Alpha 0.001. Artinya
konstruk budaya masyarakat pesisir valid
dibangun dari indikator sikap separatisme.
Hasil kajian menunjukkan nilai ratarata jawaban responden terhadap indikator
fanatisme terhadap variabel budaya adalah
3.37. Hal ini memberi makna bahwa
masyarakat pesisir Pantai Timur kurang
setuju sikap fanatisme merupakan variabel
budaya yang dapat berhubungan langsung
dengan pertahanan negara. Namun demikian
hasil kajian menunjukkan bahwa nilai
tertinggi terdapat di Kabupaten Langkat yaitu
3.78 yang berarti masyarakat pesisir Langkat
memiliki sikap setuju terhadap keterkaitan
antara indikator fanatisme dengan variabel
budaya.
Hasil validasi menunjukan bahwa
tingkat validasi fanatisme terhadap budaya
adalah 0.82 atau 82 persen dan signifikan
pada Alopha 0.001. Indikator fanatis
memiliki nilai standart solution sebesar 0,80.
Artinya konstruk budaya masyarakat pesisir
dapat dipengaruhi indikator fanatisme yang
terdapat di daerah tersebut. Hasil kajian ini
mendukung Richard M. Daulay (2001)
bahwa setiap terjadi peningkatan fanatisme
satu satuan akan merusak aspek budaya
masyarakat
pesisir.
Gerakan-gerakan
separatisme yang bernuansa kesukuan atau
kedaerahan itu mengindikasikan bahwa
negara belum bisa menjalankan misinya
dengan
maksimal,
yaitu
misi
mempertahankan
kedaulatan,
mensejahterakan
rakyat,
dan
misi
mencerdaskan
kehidupan
bangsa.
Sentralisme pemerintah, ketidakadilan sosial
yang menimbulkan primordialisme adalah
faktor-faktor
yang
menimbulkan
meningkatnya fanatisme kesukuan yang
membahayakan integrasi nasional.
127
Hasil temuan ini mendukung hasil
penelitian yang dilakukan Sirojuzilam (2008)
menemukan bahwa heterogenitas suku di
wilayah pesisir Sumatera Utara mampu
memberikan pengaruh positif terhadap
perkembangan ekonomi di wilayah tersebut.
Dengan adanya heterogenitas suku ini maka
mempengaruhi peningkatan output dan
tingkat persaingan yang semakin kuat.
Mobilitas penduduk yang sering disebut
sebagai suku pendatang banyak memberikan
keuntungan tidak saja secara lokasi tetapi
juga kewilayahan.
Hasil temuan menunjukkan bahwa
besarnya pengaruh adat terhadap variabel
budaya adalah 80 persen dan menunjukkan
bahwa indikator adat memiliki nilai standart
solution sebesar 0,82. Artinya konstruk
budaya masyarakat pesisir dapat dipengaruhi
indikator adat yang terdapat di daerah pesisir
Pantai Timur. Konsekuensi logis dari temuan
ini adalah adat yang melekat di Pantai Timur
Sumatera Utara pada dasarnya sebuah
potensi yang dapat diberdayakan dalam
rangka mengembangkan budaya setempat
yang pada gilirannya dapat menjaga
pertahanan negara. Hilangnya adat dalam
jangka panjang dalam menyikapi persoalan
pembangunan di Pantai Timur dapat
berakibat buruk pada pengelolaan sumbersumber ekonomi wilayah pesisir yang
mampu merangsang ketidakadilan dan
kebersamaan yang dalam jangka panjang
dapat berakibat pada melemahnya pertahanan
negara.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
keterkaitan antara peran ketokohan dalam
proses budaya dalam rangka pengambilan
keputusan keinginan masyarakat pesisir
sebesar 79 persen. Hal ini sesuai dengan
studi yang dilakukan Kurniadi (2000)
menghasilkan
bahwa
hubungan
kepemimpinan dengan kinerja sumberdaya
manusia sebesar 93,48%, hubungan antara
kepemimpinan dengan ketahanan nasional
sebesar 95,86%, hubungan sumberdaya
manusia dengan ketahanan nasional sebesar
95,25% dan hubungan antara kepemimpinan
dan sumberdaya manusia (secara bersamasama) dengan ketahanan nasional sebesar
97,14%. Berarti ada hubungan yang
signifikan antara kepemimpinan dengan
sumberdaya manusia, antara kepemimpinan
dengan
ketahanan
nasional,
antara
Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ...
sumberdaya manusia dengan ketahanan
nasional,
antara
kepemimpinan
dan
sumberaya manusia (secara bersama-sama)
dengan ketahanan nasional.
Pengaruh Pengembangan Wilayah Aspek
Ekonomi, Sosial, dan Budaya terhadap
Pertahanan Negara
Pengaruh pengembangan wilayah
terhadap pertahanan negara di wilayah Pantai
Timur Sumatera Utara dalam kajian ini dapat
dilihat dari aspek ekonomi (X1), sosial (X2),
dan budaya (X3). Namun demikian adalah
penting untuk menganalisis validitas dan
reliabilitas ketiga variabel tersebut sebagai
variabel yang mampu menjelaskan atau
merefleksikan variabel laten. Nilai koefisien
jalur yang dihasilkan akan menggambarkan
besaran hubungan langsung antara konstruk
eksogen yang dalam hal ini variabel X1, X2,
dan X3 kepada variabel laten yang dalam hal
ini pertahanan wilayah.
Data menunjukkan rerata X1 sampai
dengan X3 memiliki nilai rerata antara 3,87
hingga 3,90. Hal ini memberi makna bahwa
responden setuju pengembangan wilayah di
Kabupaten Langkat, Batubara dan Labuhan
Batu yang dijelaskan oleh variabel ekonomi
(X1), sosial (X2), dan budaya (X3) adalah
sesuai
mewakili
variabel
manifest
pengembangan wilayah yang berpengaruh
terhadap variabel laten yaitu pertahanan
negara.
Hasil analisis estimasi menunjukkan
bahwa indikator ekonomi, sosial, dan budaya
berpengaruh signifikan terhadap pertahanan
negara. Hasil ini menjelaskan setiap kenaikan
di bidang ekonomi sebesar satu satuan maka
akan terjadi peningkatan pertahanan negara
sebesar 0,80 satuan. Sedangkan bila terjadi
kenaikan di bidang sosial sebesar satu satuan
maka akan terjadi kenaikan persepsi
responden terhadap pertahanan negara
sebesar 0,77 satuan. Pada sisi lain, terjadinya
peningkatan di bidang budaya satu satuan
maka akan terjadi peningkatan persepsi
responden terhadap pertahanan negara
sebesar 0,71 satuan.
KESIMPULAN
Bahwa
pengembangan
wilayah
merupakan proses pemberdayaan masyarakat
dengan segala potensinya dan meliputi
seluruh aktivitas masyarakat di dalam suatu
wilayah, baik aspek ekonomi, sosial dan
budaya, maupun aspek-aspek lainnya.
Pemberdayaan tersebut sangat strategis dan
signifikan bagi ketangguhan pertahanan
negara di suatu wilayah. Secara khusus, hasil
penelitian menyimpulkan :
1. Indikator
tingkat
kesejahteraan,
permodalan, penyerapan tenaga kerja,
kewirausahawanan
dan
lembaga
ekonomi valid dan reliabel untuk
merefleksikan variabel pengembangan
wilayah dari aspek ekonomi di Wilayah
Pantai Timur Sumatera Utara.
2. Indikator tingkat pendidikan, kesehatan,
modal sosial, lembaga sosial, dan konflik
komunal valid dan reliabel untuk
merefleksikan variabel pengembangan
wilayah dari aspek sosial di wilayah
Pantai Timur Sumatera Utara.
3. Indikator separatisme, fanatisme, adat
dan ketokohan valid dan reliabel untuk
merefleksikan variabel pengembangan
wilayah dari aspek budaya di Wilayah
Pantai Timur Sumatera Utara.
4. Indikator kesadaran bela negara,
keamanan dan ketertiban masyarakat,
dan profesionalisme aparatur valid dan
reliabel untuk merefleksikan variabel
pertahanan negara di wilayah Pantai
Timur Sumatera Utara.
5. Pengembangan wilayah dari aspek
ekonomi, sosial dan budaya berpengaruh
signifikan terhadap pertahanan negara di
wilayah Pantai Timur Sumatera Utara
dimana jika dilakukan perbaikan struktur
ekonomi, sosial dan budaya di wilayah
pesisir Pantai Timur akan mampu
memperkuat pertahanan negara di
wilayah Pantai Timur Sumatera Utara
dengan
meningkatkan
kesadaran
masyarakat pesisir untuk membela
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
meningkatkan keamanan dan ketertiban
masyarakat, serta meningkatkan kinerja
dan
profesionalisme
aparatur
pemerintahan.
SARAN
Berbagai saran yang dianjurkan
sesuai dengan hasil penelitian ini antara lain
sebagai berikut :
1. Untuk mengimplementasikan konsep
pengembangan wilayah dalam rangka
perkuatan pertahanan negara di wilayah
128
WAHANA HIJAU Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009
Pantai Timur Sumatera Utara hendaknya
pemerintah memfokuskan pembangunan
pada kepentingan-kepentingan yang
spesifik dari aspek ekonomi. Perbaikan
struktur ekonomi dapat dilakukan dengan
cara membagi secara proporsional
seluruh sumberdaya yang tersedia secara
adil pada masyarakat pesisir. Selain
daripada itu perlunya memperbesar akses
lembaga ekonomi keuangan dalam skala
mikro bagi kebutuhan permodalan para
nelayan. Proses pendampingan juga
merupakan bagian penting yang perlu
mendapat
pemerintah/stakeholder
khususnya pendampingan yang terfokus
pada sikap kewirausahawanan yang
selama ini masih belum optimal.
2. Fokus pengembangan wilayah di bidang
sosial
dalam
rangka
penguatan
pertahanan negara dapat diarahkan pada
peningkatan taraf pendidikan nonformal
seperti; pelatihan, BLK, dan kursus
keterampilan, yang dapat dijangkau oleh
masyarakat nelayan yang pada umumnya
miskin. Dari aspek pelayanan kesehatan
perlu dilakukan revitalisasi pos-pos
pelayanan kesehatan yang mudah diakses
oleh masyarakat dengan biaya yang
murah. Selain dari pada itu pemerintah
perlu merangsang tumbuh kembangnya
lembaga-lembaga sosial yang berpihak
kepada masyarakat.
3. Pengembangan wilayah di bidang
budaya
dalam
rangka
perkuatan
pertahanan negara,
pembangunannya
dapat difokuskan pada menumbuh
kembangkan adat istiadat setempat yang
telah lama hilang, sosialisasi tentang
pentingnya menghindari sikap fanatisme
berlebihan dan mencegah munculnya
separatisme
daerah
dengan
memberdayakan lembaga-lembaga adat
dan revitalisasi peran tokoh masyarakat
dan cendikiawan.
4. Penelitian ini baru sebatas kajian
pengembangan wilayah dari aspek
ekonomi, sosial dan budaya pengaruhnya
terhadap pertahanan negara. Namun,
sesungguhnya masih banyak lagi aspekaspek lain dari pengembangan wilayah
yang dapat dianalisis seperti aspek
politik, hukum, lingkungan, teknologi
dan informasi. Diharapkan kepada
peneliti selanjutnya agar mengkaji lebih
129
jauh pengembangan wilayah secara
komprehensif
sehingga
dapat
memberikan kontribusi bagi peningkatan
pengembangan wilayah di Provinsi
Sumatera Utara.
5. Diperlukan suatu perencanaan integratif
dan terkoordinir antar Pemerintah
Daerah/Kabupaten dengan Komando
Kewilayahan (Korem/Kodim) sehingga
terbangun sinergitas pengembangan
wilayah antara aspek kesejahteraan dan
aspek pertahanan.
6. Sosialisasi
yang
intens
tentang
pertahanan negara kepada aparatur
Pemerintah
Daerah,
Kecamatan,
Kelurahan, Desa, dan elemen masyarakat
lainnya sangat diperlukan agar terbentuk
persepsi yang sama tentang hakekat
pertahanan negara.
DAFTAR RUJUKAN
Armstrong, Harvey and Roger William
Vickerman (eds.), 1995. Convergence
and Divergence among European
Regions. Pion Limited London.
Arsyad, L., 1999. Pengantar Perencanaan
dan Pembangunan Ekonomi Daerah.
BPFE, Yogyakarta.
Azis, Iwan Jaya, 1994. Ilmu Ekonomi
Regional dan Beberapa Aplikasinya di
Indonesia, Lembaga Penerbit FE UI,
Jakarta.
Bakrie, C.R., 2007. Pertahanan Negara dan
Postur TNI Ideal. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Bandoro, B., 2005. Perspektif Baru
Keamanan Nasional. Central for
Strategic and International Studies
(CSIS). Kanisius, Yogyakarta.
Bayo, Adree, 1996. Kemiskinan dan Strategi
Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta,
Liberty.
Berkhofer, R.F., 1969. A Behavioral
Approach to Historical Analysis.
McMillan, The Free Press.
Blakely, Edward J., 1994. Planning Local
Economic Development: Theory and
Practice, Sage Publications.
Coser, L.A., 1964. Continuities in The Study
of Social Conflict. The Free Press,
New York.
Asren Nasution: Pengaruh Pengembangan Wilayah ...
Esmara, H., 1986. Politik Perencanaan
Pembangunan: Teori, Kebijaksanaan
dan Prospek. Penerbit Gramedia,
Jakarta.
Friedmann, John, 1981. Kemiskinan Urban
di Amerika Latin, dalam Andre Bayo
Ala (ed)., Kemiskinan dan Strategi
Memerangi
Kemiskinan.
Liberti,
Yogyakarta.
Fukuyama, F., 1999. Social Capital And
Civil Society. The Institute of Public
Policy. George Mason University.
Internasional Monetary Fund.
Kuncoro,
Mudrajad,
2000.
Ekonomi
Pembangunan. Akademi Manajemen
Perusahaan YKPN, Yogyakarta.
Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan:
Kemiskinan
dan
Perebutan
Sumberdaya
Perikanan.
LKiS,
Yogyakarta.
Nugroho, I. dan Rokhmin D., 2004.
Pembangunan Wilayah, Perspektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan.
LP3ES, Jakarta.
Glasson, John, 1974. An Introduction to
Regional Planning. Hutchinson of
London, London.
Riyadi dan Bratausumah D.S., 2003.
Perencanaan Pembangunan Daerah:
Strategi Menggali Potensi Dalam
Mewujudkan
Otonomi
Daerah.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jingan, M.L., 2000, Ekonomi Pembangunan
dan Perencanaan. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sirojuzilam,
2005,
Beberapa
Aspek
Pembangunan Regional. ISEI Cabang
Bandung, Bandung.
130
Download