BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, komunikasi menjadi hal terpenting dalam kehidupan yang mana manusia tidak bisa terhindar dari proses komunikasi. Pentingnya proses komunikasi tampak pada makna serta manfaat yang dihasilkan oleh proses komunikasi itu sendiri. Makna komunikasi menurut Everett M. Rogers adalah proses ide yang dialihkan dari satu sumber kepada penerima untuk mengubah tingkah laku seseorang (Effendy,2005). Makna komunikasi juga dijelaskan oleh Steward yang berarti proses yang melibatkan indvidu kedalam suatu hubungan yang merspon dan menciptakan pesan (Effendy,2005). Makna di atas, menyimpulkan bahwa makna komunikasi merupakan proses dua orang atau lebih dalam menyampaikan pesan, merespon pesan serta menciptakan pesan yang berfungsi untuk memberitahukan kepada orang lain atau sebagai sarana seseorang mengubah sikap dan perilaku guna beradaptasi dengan lingkungannya. Pemaparan makna di atas menunjukan bahwa terdapat manfaat komunikasi di dalam kehidupan manusia. Melalui proses komunikasi seseorang dapat menyampaikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan hati kepada orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi juga membuat seseorang tidak 1 2 merasa terasing atau terisolasi dari lingkungan sekitarnya. Komunikasi dapat melihat seberapa besar kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki anak tersebut. Manfaat terakhir, komunikasi akan membuat seseorang mudah diatur dan berkembang lebih pesat. Kemampuan yang baik dan tepat dalam berkomunikasi merupakan kondisi dimana seseorang dapat menangkap pesan yang disampaikan individu lain dan mampu memberikan pesan yang dapat diterima kembali oleh individu tersebut (Pearson, 1983; 27). Pemaparan teori di atas, tidak diimbangi dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan. Kenyataannya, tidak semua manusia terlahir dalam keadaan sempurna. Masih banyak anak-anak memiliki gangguan dalam proses komunikasi, salah satunya yang menjadi fokus penelitian di atas adalah keberadaan anak penyandang autism yang semakin hari semakin meningkat. Pemaparan keberadaan anak penyandang autism turut diperkuat dengan data statistik yang tercatat dalam laporan pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di Amerika Serikat atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bahwa diperkirakan 1 dari 150 anak di dunia menyandang autism pada tahun 2002. Angka di atasterus bergerak, sehingga pada tahun 2006 anak penyandang autism di dunia menjadi 1:110. Peningkatan terus terjadi pada tahun 2008 yang mana, angka anak penyandang autism di dunia menempati rata-rata 1:100. Perkiraan di atas kembali mengalami peningkatan yang cukup signifikan dengan persentase mencapai 23% pada tahun 2012 dengan 3 jumlah rata-rata 1:88 anak merupakan penyandang autism (http://health.detik.com/read/2012/04/02/100034/1882522/763/jumlah-anak-autis-di2012-makin-banyak pada hari sabtu, 3 januari 2015 pukul 22.00 wib). Data statistik yang terjadi di dunia juga dipertegas oleh data laporan Yayasan Autisme Indonesia pada tahun 2013 dengan peningkatan anak autisme Indonesia yang melonjak hingga 56% dalam lima tahun terakhir. Terdapat 39.465 anak penyandang autism pada tahun 2008 dan berkembang pada tahun 2013 menjadi 61.570 di sekolah negeri yang tercatat sebagai anak penyandang autisme. Angka statistik menunjukkan bahwa rata-rata anak penyandang autism di Indonesia pada tahun 2013 mencapai angka 1:50 (Yayasan Autisme Indonesia,2013). Peningkatan keberadaan anak autism khususnya di Indonesia dengan permasalahan proses komunikasi yang telah dipaparkan, membukakan kenyataan bahwa kebutuhan penanganan komunikasi pada anak penyandang autisme harus segera dipenuhi. Kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu penunjang dalam kehidupan sosial di masyarakat. Permasalahan yang komplek dalam hal komunikasi jika tidak diatasiakan membuat anak penyandang autisme semakin tidak memiliki bekal dalam kehidupan bermasyarakat. Penanganan dalam hal komunikasi pada siswa penyandang autism idealnya dipahami oleh guru yang selalu mendampingi anak di kehidupan sekolahnya. Guru merupakan garda terdepan dalam menjalankan roda pendidikan (Asmani,2011), 4 sehingga permasalahan komunikasi diharapkan dapat teratasi oleh guru yang menanganinya. Idealnya seorang guru dengan siswa penyandang autism memiliki pendidikan khusus dalam penanganannya, mengingat anak autis memiliki tindakan dan kebiasaan yang berbeda dengan anak-anak biasa pada umumnya. Anak autisme memiliki kesulitan dalam hal bertatap mata serta fokus pada hal-hal tertentu. Biasanya, anak autisme suka menangis, tertawa secara tiba-tiba serta memiliki banyak simbol abstrak dalam proses komunikasi. Banyaknya simbol membuat makna sering tidak tersampaikan dengan baik (Torppa,2009). Perilaku juga tampak pada hasil asesmen di lapangan, yang menunjukan bahwa anak autism memiliki ciri-ciri perilaku yang tidak terarah dan tidak memiliki usaha dalam proses komunikasi sehingga, siswa penyandang autism tidak memiliki empati terhadap lingkungan sosialnya. Perilaku tidak terarah digambarkan dengan sikap anak yang menunjukan tantrum yang berarti, ekspresi kemarahan dengan berbaring di lantai, menendang, berteriak dan kadang-kadang menahan napas ketika keinginannya tidak terpenuhi (http://www.psikologizone.com/pengertian-sebab-dancara-mengatasi-temper-tantrum/065113939 pada hari sabtu, 3 januari 2015 pukul 22.30 WIB). Pemaparan di atas, lagi-lagi tidak sejalan dengan prkatek di lapangan. Kenyataannya, komunikasi yang terjadi sering tak berjalan sebagaimana mestinya dan sebagaimana fungsinya. Tidak semua guru dilahirkan dari sarjana dengan jurusan 5 khusus untuk anak-anak autism. Masih banyak guru yang bukan merupakan lulusan dari pendidikan luar biasa. Hal ini membuat masih banyak guru kesulitan menangkap dan memahami pesan dari proses komunikasi yang terjadi pada siswa penyandang autism. Masih banyak guru yang hanya mengambil kesimpulan secara umum apa yang dibutuhkan anak penyandang autism yang didampinginya. Pemaparan di atas, juga terlihat pada hasil penelitian Theo Peeters yang lebih jauh mengungkapkan bahwa masih banyak guru menginterpretasikan anak penyandang autism yang memiliki kecenderungan mengekspresikan keinginannya dengan cara mengamuk atau menyakiti diri sendiri harus segera “dipenuhi”. Sayangnya, “Terpenuhi” dalam penelitian di atas, berarti memberikan apa yang diinginkan anak secara sigap dan cuma-cuma tanpa mengajarkan anak melakukan usaha berkomunikasi positif terlebih dahulu (Theo Peeters,2004). Hasil penelitian di atas, turut diperkuat dengan hasil asesmen awal yang dilakukan oleh peneliti dengan mengobservasi beberapa SLB di wilayah Yogyakarta. Hasil lapangan mengungkapkan kebenaran dari penelitian Theo Peeters terdahulu. Masih banyak guru SLB di Wilayah Yogyakarta yang hanya mengajarkan siswa untuk mengubah perilaku tantrum menjadi diam. Hasil asesmen yang dilakukan di lapangan adalah guru mengubah perilaku tantrum pada anak penyandang autism dengan cara memberikan makanan ataupun mainan secara cuma-cuma. Pemberian mainan atau makanan secara cuma-cuma berarti mereka hanya diberikan sesuatu yang 6 diinginkan tanpa diajarkan dan dibiasakan mengubah proses komunikasi yang salah. Anak tidak dibiasakan meminta dengan cara menjelaskan atau menunjuk sesuatu yang diinginkan. Dampaknya, setiap kali anak penyandang autism menginginkan sesuatu maka menangis dan menyakiti diri akan menjadi pilihan penyampaian. Permasalahan yang telah dipaparkan di atas menunjukan bahwa dalam mendidik anak autis tidak terlepas dari berbagai strategi, termasuk didalamnya strategi komunikasi. Strategi komunikasi itu sendiri merupakan paduan perencanaan komunikasi yang berbasis pada hasil proses untuk merangsang perubahan sosial. Strategi komunikasi secara unik bertujuan untuk mendorong dalam mengatasi beberapa tantangan yang dapat memfasilitasi baik bagi individu maupun masyarakat (UNICEF,2005). Strategi komunikasi yang diharapkan merujuk pada pendekatan yang dapat berubah sewaktu-waktu tergantung pada situasi dan kondisi. Keseluruhan perencanaaan, taktik serta cara yang akan dipergunakan harus memperhatikan keseluruhan aspek yang ada pada proses komunikasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Banyaknya cara yang dilakukan, secara tidak langsung juga membantu dalam keberhasilan mengajarkan anak tentang kemandirian, menahan diri serta usaha komunikasi yang baik. Strategi komunikasi guru dan siswa penyandang autisme yang berjalan baik akan memudahkan guru tersebut untuk mengetahui perkembangan pengetahuan peserta didik secara terbuka. Semakin banyak gagasan menarik dalam 7 berkomunikasi akan semakin memperkuat dasar dalam pengembangan kemampuan dikemudian hari. Permasalahan di atas menggambarkan bahwa seorang guru harus memiliki gagasan yang mampu mengarahkan anak penyandang autisme untuk mempelajari tujuan komunikasi dan keuntungan yang menyertai khususnya dalam proses belajar mengajar di sekolah (Theo Peeters, 2004). Penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa proses belajar mengajar bagi anak penyandang autism membutuhan komunikasi non verbal yang selalu digabungkan dengan komunikasi verbal. Komunikasi verbal tanpa menyertakan komunikasi non verbal akan menimbulkan banyak kebingungan bagi anak penyandang autism (Theo Peeters,2004). Penelitian lain juga turut memperkuat dengan hasil yang menunjukan bahwa jenis komunikasi nonverbal dapat membantu pemahaman anak penyandang autisme mengenai cara mengekspresikan keinginannya. Komunikasi non verbal merupakan jenis komunikasi yang menjadikan berbagai alat sebagai media yang membutuhkan peran panca indera seperti visual dan body language. Bantuan media dan peran panca indera yang sederhana namun menarik akan membuat penyandang autisme paham bahwa menunjukan ekspresi apa yang diinginkan merupakan salah satu usaha komunikasi yang bisa dilakukan. Melalui media akan tampak dukungan visual yang membuat anak-­‐anak autism dapat meningkatkan belajar serta produksi bahasa. Meningkatkan proses komunikasi dapat menjadi bantuan 8 yang luar biasa untuk anak-­‐anak memahami tentang dunia sekitar mereka (Yuniar & Nirahma, 2012). Sayangnya, pemaparan harapan pada strategi komunikasi tidak berjalan sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Hasil lapangan menunjukan bahwa masih banyak guru-guru autis di SLB kota Yogyakarta yang hanya terpaku pada jenis komunikasi secara verbal saja. Guru masih belum mengeksplor gagasan-gagasan menarik yang dibutuhkan dalam strategi komunikasi itu sendiri. Hal di atas, tampak pada masih banyaknya guru-guru yang terpaku pada cara mengajar siswa dengan menulis, membaca serta berbicara dengan bahasa lisan tanpa mengajarkan komunikasi dengan menggunakan ekspresi, sentuhan atau media-media menarik seperti poster, gambar,dll. Hasil lapangan menujukan bahwa masih banyak guru yang belum mampu mengembangkan konsep-konsep yang inovatif dalam menangani permasalahan komunikasi siswa penyandang autism. Harapan bahwa anak penyandang autisme dapat lancar berbicara secara “instan” memang hal yang tidak realistis dalam kehidupan. Pemaparan di atas dapat disiasati dengan memulai berbagai strategi komunikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa penyandang autisme oleh guru dalam proses belajar mengajar (Theo Peeters, 2004). Pendapat Theo Peeters juga dipertegas oleh Asmani dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan dan latihan profesi guru”. Asmani mengungkapkan bahwa guru professional harus memiliki gagasan-gagasan baru untuk selalu mengembangkan 9 kreativitasnya. Adanya stategi komunikasi yag kreatif akan mempermudah guru dalam memilih konten atau tema pembelajaran, mampu membuat rencana pelajaran, memiliki kemampuan dalam mengorganisasikan materi dan pada akhirnya mampu menyelesaikan tugas-tugas sebagaimana mestinya menjadi seorang pendidik yang professional (Asmani, 2011). Ulasan permasalahan dan latar belakang di atas, mendasari penulis untuk melakukan penelitian lebih mendalam agar mengetahui apakah terdapat hubungan antara kreativitas dengan strategi komunikasi guru dalam menangani Siswa penyandang autism. Hasil asesmen di lapangan juga mendasari penulis memilih beberapa sekolah khusus autis di Kota Yogyakarta seperti; SLB Autis Bina Anggita, SLB Autis Dian Amanah dan SLB Autis Citra Mulya Mandiri dalam melakukan penelitian. SLB Khusus Autisme memiliki kesesuaian kriteria penulis dengan mempertimbangkan jumlah responden. Kriteria di atas berkaitan dengan syarat pengambilan data yang baik dalam penelitian. Harapan penulis, SLB khusus Autis di Yogyakarta mampu menjawab pertanyaan dalam penelitian sehingga dapat menjadi contoh bagi SLB dan sekolahsekolah yang memiliki siswa penyandang autism dalam penanganan komunikasi yang tepat. Selain hal di atas, diharapkan penelitian memberikan kontribusi di dunia psikologi perkembangan, pendidikan, sosial, dan klinis mengenai siswa autisme yang tidak banyak diminati mahasiswa khususnya psikologi UGM. 10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka masalah yang akan diteliti ialah hubungan kreativitas dengan strategi komunikasi dalam penanganan anak penyandang autisme oleh guru di SLB khusus Autisme kota Yogyakarta. Rumusan pertanyaan yang tampak berdasarkan permasalahan di atas adalah ; Apakah kreativitas berhubungan dengan strategi komunikasi guru dalam menangani anak penyandang autism? C. Tujuan penelitian Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan serta sumbangsih kreativitas dengan strategi komunikasi dalam penanganan anak penyandang autisme oleh guru sekolah khusus autism di kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan 2 manfaat, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang psikologi Klinis, Pendidikan, Sosial serta Perkembangan. Penelitian di atas juga diharapkan dapat berguna sebagai bahan bagi penelitian lain. 2. Manfaat Praktis • Bagi Guru Penelitian diharapkan dapat memberikan gagasan-gagasan bagi guruguru di Sekolah Khusus Autism untuk dapat terus mengevaluasi strategi komunikasi dengan mengeksplorasi pembelajaran yang didasari invovasi- 11 inovasi menarik dan disesuaikan dengan perkembangan jaman demi meningkatkan profesionalisme guru melalui pelatihan-pelatihan bagi guru khusus penyandang autism. • Bagi Siswa Penelitian diharapkan secara tidak langsung dapat menjadikan siswa penyandang autism mampu berinteraksi, berkomunikasi serta bersosialisasi untuk dapat mengembangkan bakat akademik maupun non akademik di dalam masyarakat demi terwujudnya visi dan misi yang tertera dalam sekolah masing-masing dengan adanya kreativitas guru yang berkaitan dengan strategi komunikasi yang akan dipakai dalam proses pembelajaran.