BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan sebagai ”hukuman”. 6 Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso bahwa secara yuridis pengertian kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan pelanggarannya dikenakan sanksi”, selanjutnya Djoko Prakoso menyatakan bahwa secara kriminologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang abnormal yang 6 Moeljatno, 1987. Op. Cit., hlm. 37 5 6 bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut. 7 Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen atau misdaad) yang biasa diartikan secara yuridis (hukum atau secara kriminologis). Mengenai isi dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. 8 Moeljatno, dengan tegas membedakan dapat dipidananya perbuatan, dapat dipidana orangnya dan sejalan dengan ini beliau memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Karena pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana. Pandangan beliau dapat disebut sebagai pandangan yang dualistis mengenai perbuatan pidana (tindak pidana dan strafbaarfeit). Pandangan ini adalah penyimpangan dari pandangan yang disebut beliau sebagai pandangan yang monistis yang dianggapnya kuno. Pandangan monistis ini melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.9 a. Istilah tindak pidana Istilah tindak pidana berasal dari kata Strafbaarfeit, yang terdiri dari tiga kata, yaitu straf yang artinya pidana, baar yang artinya dapat 7 8 9 Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, 1987. Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi dalam Konteks KUHAP. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 137 Sudarto, 1990/1991. Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. hlm. 25 Sudarto, Loc. Cit. 7 atau boleh, dan feit yang artinya perbuatan. Kata Strafbaarfeit sering diartikan berbeda oleh para sarjana hukum, sehingga belum ada unifikasi yang pasti mengenai definisi dari kata tersebut. Istilah “tindak pidana” dipakai sebagai pengganti Strafbaarfeit. 10 Dalam perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dapat dijumpai istilah-istilah lain yang dimaksudkan untuk menggantikan Strafbaarfeit antara lain adalah : 1) Peristiwa pidana (Pasal 14 ayat (1) UUDS 1950); 2) Perbuatan pidana (UUD No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Pengadilan-pengadilan Sipil); 3) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Pasal 3 Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1950 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijk Byzondere Straftberalingen S.1948-17 dan UU RI (dahulu) No. 8 Tahun 1948 Pasal 3; 4) Hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dikenakan hukuman (Pasal 19, 21, 22 Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) 5) Tindak pidana (Pasal 129 Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) 6) Tindak pidana (Pasal 1 dan seterusnya Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi); 10 Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana I. Raja, Jakarta. hlm. 69 8 7) Tindak pidana (Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tentang Kewaiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatan Bagi Terpidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Merupakan Kejahatan, Pasal 1). 11 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pembentuk undangundang sekrang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana. Sudarto mengetakan sebagai berikut : Pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadi soal,asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang lebih penting adalah isi dari pengertian tersebut. Namun lebih condong untuk memakai istilah tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undangundang, di samping itu juga sudah dapat diterima oleh masyarakat. Jadi istilah ini sudah mempunyai sosiologishe gelding.12 b. Pengertian tindak pidana Sebagaimana halnya dalam pemakaian istilahnya, mengenai pengertian Strafbaarfeit tidak ada kesatuan pendapat daripara sarjana. Pembentuk mengenai undang-undang apa Strafbaarfeit. 13 sebenarnya sendiri yang tidak memberikan dimaksud penjelasan dengan perkataan menurut Mezger yang dikutip Sudarto, merumuskan tindak pidana sebagai perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan pemberian pidana. 14 Moeljatno yang menggunakan istilah memberikan definisi tindak pidana sebagai berikut : 11 12 13 14 Sudarto, 1990/1991. Op. Cit. hlm. 38-39 Sudarto, Loc. Cit. Adami Chazawi, 2002. Op. Cit. hlm. 67 Sudarto, 1990/1991. Op. Cit. hlm. 39 perbuatan pidana, 9 Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dialrang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat, bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedang ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbukannya kejadian itu. 15 Pompe menjelaskan bahwa perkataan Strafbaarfeit dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap ketertiban umum) yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku adalah perlu demi terpeliharanya ketertiban umum dan terjaminnya kepentingan umum. Lebih lanjut Pompe menjelaskan menurut hukum pidana positif kita, suatu Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai keadaan yang dapat dihukum.16 Lain halnya dengan pandapat Bambang Poernomo, yang menyatakan bahwa Strafbaarfeit mempunyai arti yaitu menunjukkan kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang dan menunjukkan kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 17 2. Unsur-unsur tindak pidana Dikemukakan oleh Sudarto bahwa untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu tersebut lazimnya 15 16 17 Moeljatno. 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37 P. A.F. Lamintang, 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 183 Bambang Poernomo, 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 126 10 disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi unsur-unsur pidana (strafbaarfeit). Menurut Sudarto, pengertian unsur tindak pidana hendaknya dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur), ialah lebih luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 326 KUHP. 18 Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur “subjektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur “objektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 19 Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus); b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 18 19 Sudarto, 1990/1991. Op. Cit. hlm. 43 P.A.F. Lamintang, 1984. Op. Cit. hlm. 183 11 Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain a. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; b. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah : a. Sifat melanggar hukum; b. Kualitas si pelaku; c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 20 Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis. Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu : a. D. Simons Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah : 1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); 2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld); 3) Melawan hukum (onrechtmatig); 4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad); 5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar persoon). 21 20 21 Ibid., hlm. 184. Sudarto, 1990/1991. Op. cit., hlm. 32. 12 Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah : 1) Yang dimaksud dengan unsur subyektif ialah : perbuatan orang; 2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; 3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka umum” Sedangkan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah : 1) Orangnya mampu bertanggung jawab; 2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 22 b. Van Hamel Menyatakan Stafbaarfeit adalah een weterlijk omschre en mensschelijke gedraging onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana meliputi : 1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; 2) Bersifat melawan hukum; 3) Dilakukan dengan kesalahan dan 4) Patut dipidana.23 c. E. Mezger Menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan demikian usnur-unsurnya yaitu : 22 23 Sudarto, 1990/1991. Loc. cit Ibid., hlm. 33. 13 1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2) Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat subyektif); 3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; 4) Diancam dengan pidana. d. J. Baumman Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik : bersifat melawan hukum; dan dilakukan dengan kesalahan. 24 Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut : a. H.B. Vos Menyebutkan bahwa Strafbaarfeit hanya berunsurkan : kelakuan manusia dan diancam pidana dengan undang-undang. b. W.P.J. Pompe Menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. 24 Sudarto, 1990/1991. Loc. cit. 14 c. Moeljatno Pada pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Tahun 1955 yang berjudul Perbuatan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : 1) Perbuatan (manusia); 2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil) dan 3) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat meteriil pun harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat. 25 Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana. Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian. Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.26 25 26 Ibid., hlm. 27 Ibid., hlm. 28 15 B. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka dalam membicarakan masalah hukum tidak dapat lepas membicarakan kehidupan manusia. Setiap manusia memiliki kepentingan yang didasarkan pada kebutuhan hidupnya. Manusia memiliki tiga kebutuhan dasar yaitu kebutuhan primer antara lain adalah sandang, pangan dan papan (tempat tingga), kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia sebagai individu tidak dapat lepas dari suatu proses yang bernama interaksi. Sehingga dalam pola interaksi manusia bahu-membahu dengan lainnya membentuk komunitas yang disebut masyarakat. Banyak nilai positif yang didapatkan manusia dalam melakukan kerjasama seperti perasaan lebih kuat karena bersama-sama dalam menghadapi ancaman dan gangguan dari pihak lain. 27 1. Pengertian hukum pidana Hukum pidana mempunyai pokok norma dan sanksi, serta mempunyai tugas menentukan agar setiap orang mentaati ketentuan dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan menjamin ketertiban hukum. Ilmu hukum pidana dalam hal ini mempunyai tujuan untuk menjelaskan dan menguraikan secara sistematis norma hukum pidana dan sanksi pidana tersebut agar dalam aplikasinya dalam masyarakat menjadi lancar. Batasan hukum sendiri oleh Mochtar Kusumaatmadja dirumuskan sebagai berikut : “keseluruhan asasasas dan kaidah-kaidah serta lembaga dan proses-proses untuk mewujudkan itu dalam kenyataan di dalam masyarakat dan hukum yang baik adalah 27 Sudikno Mertokusumo, 1996. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta. hlm. 1 16 hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat”. 28 Pidana adalah suatu istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa belanda “straf” dan dalam bahasa Inggris disbut sentence. Digunakannya istilah pidana di sini dan bukan hukuman adalah bertujuan untuk menfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut. Selain itu, hukuman merupakan istilah konvensional yang bisa mempunyai arti luas karena dapat berkaitan dengan bidang-bidang lainnya, seperti bidang pendidikan, moral, dan agama. Pidana juga merupakan istilah forma yang sering digunakan dalam berbagai peraturan prundang-undangan yang berlaku, khususnya peraturan hukum pidana.29 Secara sederhana hukum pidana dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilrang undang-undang dengan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada setiap orang yang melanggarnya. Menurut pendapat Mustofa Abdul dan Ruben Achmad, yang dimaksud ilmu hukum pidana adalah : “Ilmu yang mempelajari terutama mengenai asas-asas yang menjadi dasar daripada peraturan-peraturan hukum pidana positif, serta mencari hubungan antara asas-asas tadi dalam suatu sistem agar dapat dipahami apa yang menjadi maksud daripada peraturan-peraturan yang berlaku itu”. 30 Van Hamel, mengartikan pidana atau straf menurut hukum positif, adalah : Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara 28 29 30 Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung. hlm. 134 Muhari Agus Santoso, 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana. Averroes Press, Malang. hlm.19 Mustafa Abdul dan Ruben Achmad, 1983. Intisasi Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. hlm. 22 17 sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umm bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh negara. 31 Moeljatno, merumuskan hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk: a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut; b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sbagaimana yang diancamkan; c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidnaa itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 32 Menurut pendapat Sudarto, bahwa hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu sebagai berikut : a. Perbuatan-perbuatan yang memenuhi sysrat-syarat tertentu Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat “perbuatan jahat” (verbrechen atau crime). Oleh karena itu “perbuatan jahat” ini harus ada orang yang melakukan maka persoalan tetang “perbuatan tertentu” itu dapat diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melangar larangan itu. b. Pidana Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Di dalam hukum pidana modern, pidana meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” (tuchtmaatregel, masznahme).33 31 32 33 Lamintang, 1984. Hukum Penetensier Indonesia. Amrico, Bandung. hlm. 47 Andi Hamzah, 1994. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta Jakarta, hlm. 4-5 Sudarto, 1990/1991. Op. cit. hlm. 5 18 2. Fungsi hukum pidana Mengenai fungsi hukum pidana oleh Sudarto dibedakan menjadi dua fungsi, yaitu : a. Fungsi umum Oleh karena hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana pada umumnya ialah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang “social relevant”, artinya ada sangkut - pautnya dengan masyarakat. b. Fungsi khusus Fungsi yang khusus bagi hukum pidana ialah melndungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsguterchutz) dengan sanki yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabangcabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektif, misalnya masyarakat, negara dan sebagainya. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa badan-badan hukum itu, dapat dikatakan, bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk melindungi perbuatan jahat. 34 Fungsi hukum dapat diartikan sebagai pedoman perilaku dalam masyarakat, sebagai petunjuk hidup mengatur tata tertib dalam pergaulan masyarakat, memelihara kepentingan umum dalam masyarakat dan menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keseimbangan atau keselarasan tatanan dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya. 35 Disatu pihak memang benar bahwa hukum merupakan sarana pengendalian sosial, akan tetapi dilain pihak hukum mungkin juga berfungsi 34 35 Ibid., hlm. 7 - 8 Soerjono Soekanto, 1991. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. PT. Citra Aditya Bakti,. Bandung. hlm. 48. 19 sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial (“law as a facilitation of human interaction”). Mana yang lebih utama senantiasa tergantung pada bidang hukum yang dipersoalkan dan kadang-kadang kedua fungsi tadi berkaitan dengan eratnya sehingga sulit untuk dibedakan secara tegas. Akan tetapi adalah kurang tepat untuk menyatakan bahwa kedua fungsi adalah penting, semata-mata untuk mengatasi masalah. 36 Dinyatakan oleh Muladi fungsi hukum pidana dilihat dari aspek tujuan sistem peradilan pidana dalam kontek politik kriminal, maka fungsi hukum pidana dapat dibedakan ke dalam : a. Fungsi hukum pidana dalam upaya mencapai “tujuan jangka pendek” yaitu resosialisasi pelaku tindak pidana; b. Fungsi hukum pidana dalam upaya mencapai “tujuan jangka menengah”, yaitu pencegahan kejahatan; c. Fungsi hukum pidana dalam upaya mencapai “tujuan jangka panjang”, yaitu kesejahteraan sosial. Lebih lanjut menurut Muladi apabila fungsi hukum pidana dilihat dari fungsi sistem peradilan pidana dalam konteks kriminal, maka fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi yaitu : a. Fungsi hukum pidana sebagai “crime containment system”, artinya hukum pidana yang dioperasionalkan melalui sistem peradilan pidana berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu. b. Fungsi hukum pidana berfungsi sebagai “secondary prevention”, artinya berfungsi untuk pencegahan sekunder, yakni mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan tindak pidana, dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan melalui proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana. 37 36 37 Soerjono Soekanto, Loc. Cit. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Universitas Diponegoro, Semarang. hlm. 21-22. 20 3. Tujuan hukum pidana Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia hukum pempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan tersebut adalah menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dan keseimbangan maka diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan hukum, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban, antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang an mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.38 Dikemukakan oleh Van Apeldoorn, tujuan hukum ialah : mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Apa yang kita sebut tertib hukum mereka sebut damai (vrede). Keputusan hakim disebut vredeben (vredegebod), kejahatan berarti pelanggaran perdamaian (vredebreuk), penjahat dinyatakan tidak damai (vredeloos), yaitu dikeluarkan dari perlindungan hukum. Perdamaian di anata manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusai yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dsb. Terhadap yang merugikannya. 39 Kepentingan dari perseorangan dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara semua orang melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk 38 39 Sudikno Mertokusumo, 1996. Op. cit. hlm. 64 Van Apedoorn, 2004. Pengantar Ilmu Hukum. (Terjemahan oleh Oetarid Sadino, 2004). Pratnya Paramita, Jakarta. hlm. 11. 21 mempertahankan perdamaian. Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti danmengadakan keseimbangan di anttaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingankepentingan yang dilindungi, pada mana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. 40 Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, tujuan hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan. Kemudian beliau menambahkan bahwa tujuan hukum pidana ialah: a. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie); b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat; c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni : 1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna 2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. 41 B. Tindak pidana melarikan orang/menculik Sehubungan dengan tindak pidana melarikan orang atau penculikan sebagaimana diatur dalam Pasal 328 s/d Pasal 332 KUHP. Pasal 332 KUHP merumuskan sebagai berikut : 40 41 Van Apedoorn, Loc. Cit. Djoko Prakoso, 1988. Hukum Penetensier di Indonesia. Liberty, Yogyakarta. hlm. 41 22 (1) Dihukum karena melarikan perempuan : 1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, barangsiapa melarikan perempuan yang belum dewasa tidak dengan kemauan orang tuanya atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah, maupun tidak dengan nikah. 2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, barang siapa melarikan perempuan dengan tipu, kekeasan atau ancaman dengan kekerasan denan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah, maupun tidak dengan nikah. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan; (3) Pengaduan itu dilakukan : a. Jika pada waktu dilarikan perempuan itu belum dewasa, oleh perempuan itu sendiri, atau oleh orang yang harus memberi izin padanya, kalau ia hendak kawin. b. Jika ia pada waktu dilarikan sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya. (4) Jika orang yang melarikan kawin dengan yang dilarikan, dan nikah itu ta’luk kepada Kitab Undang-undang Hukum Sipil, maka tidak akan dijatuhkan hukuman sebelum perkawinan itu dibatalkan oleh hakim. 42 Dikemukakan oleh Wirdjono Prodjodikoro, bahwa tidak kurang dari lima pasal yaitu Pasal 328 s.d. Pasal 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mengenai melarikan orang dengan melawan hukum. Menurut 328, barangsiapa membawa pergi orang dari tempat kediamannya Pasal atau tempat tingga sementara, dengan maksud membawanya di bawah penguasaannya atau di bawah penguasaan orang lain dengan melanggar hukum, atau membiarkan orang itu dalam keadaan tak tertolong, dihukum dengan hukukan penjara selamalamanya dua belas tahun. Tindak pidana ini dinamakan dalam bahasa Belanda mensenroof yang kiranya dapat diterjemahkan ”penculikan orang”. 43 42 43 R. Soesilo, 1989. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea, Bogor, hlm. 236 Wirdjono Prodjodikoro, 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Eresco, Bandung. hlm. 83 23 Dengan hukuman yang lebih ringan, yaitu maksimum hukuman penjara tujuh tahun, oleh Pasal 329 diancam barang siapa yang dengan sengaja mengangkut seseorang yang telah berjanji akan bekerja di suatu tempat tertentu, dengan melanggar hukum, ke tempat lain. Kini, lain daripada dalam Pasal 328, tidak disebut tujuan si pelaku, tetapi kiranya yang dimaksudkan ialah untuk memberantas persaingan tak jujur antara dua majikan yang masing-masing membutuhkan seorang ahli dalam perusahannya. Pasal 330 ayat (1) mengenai seseorang yang belum dewasa, yang dilepaskan dari kekuasaan yang sah atau dari penjagaan oleh orang yang diberi wewenang untuk itu. Perbuatan tersebut diancam dengan maksimal hukuman penjara tujuh tahun. Menurut ayat (2) hukuman dinaikkan menjadi hukuman sembilan tahun jika, dalam hal itu, dilakukan akal tipu, kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau apabila oarang yang dilaraikan itu berusia kurang dari dua belas tahun. Ini yang lazim dinamakan kidnapping (penculikan anak kecil).44 Kalau orang belum dewasa tidak begitu mudan, misalnya sudah berumur sembilan belas tahun, maka kemungkinan besar bahwa ia sendiri ada niat untuk membebaskan diri dari kekuasaan orang tua atau walinya, dan dengan demikian perbuatan orang itu sebetulnya hanya berupa menolongnya. Tetapi, oleh karena tidak diadakan batas umur di antara orang-orang yang berusia kurang dari dua puluh satu tahun, maka harus diartikan bahwa, dalam hal ini, tidak diperdulikan bagaimana perasaan orang yang belum dewasa ini. Kalau pelepasan dari kekuasaan ini sudah terjadi, maka oleh Pasal 331 dihukum orang yang menyembunyikan orang belum dewasa ini, yaitu dengan 44 Loc. Cit. 24 maksimum hukuman empat tahun penjara. Hukuman itu dinaikkan menjadi tujuh tahun jika orang belum dewasa itu berusia kurang dari dua belas tahun. 45 Pasal 332 menamakan schaking (melarikan perempuan) apabila : ke-1 : orang melarikan perempuan belum dewasa dengan tidak setahu orang tua atau walinya, tetapi dengan persetujuan perempuan itu sendiri, dengan maksud memiliki atau menguasai perempuan itu di dalam atau di luar perkawinan (maksimum hukuman tujuh tahun penjara); ke- 2 : orang melarikan perempuan dengan akal tipu, kekerasan, atau ancaman kekerasan, dengan maksud seperti di atas (maksimum hukuman sembilan tahun penjara). Menurut ayat (2) penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, yaitu menurut ayat (3) : 1. dalam hal perempuan itu belum dewasa pada waktu dilarikan: olrh perempuan itu sendiri atau oleh seseorang, yang harus memberi izin kawin; 2. dalam hal perempuan itu sudah dewasa pada waktu ia dilarikan: oleh perempuan itu sendiri atau suaminya.46 Ayat (4) menambahkan, bilamana yang membawa lari sudah kawin dengan perempuan yang dibawa lari, serta atas perkawinan itu berlaku Burgerlijk Wetboek, penghukuman tidak dapat dilakukan sebelum perkawinan dinyatakan tidak sah. Istilah ”memiliki” orang perempuan itu harus diartikan sebagai bersetubuh dengan perempuan itu, meskipun hanya satu kali saja.47 45 46 47 Loc. Cit. Ibid., hlm. 84 Loc. Cit. 25 C. Pengertian anak /orang yang belum dewasa 1. Pengertian anak Pengertian anak dalam berbagai literatur maupun pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana memang ada yang menyebutkan istilah anak dimaksudkan untuk membatasi umur minimal dan maksimal seseorang yang dikategorikan sebagai anak-anak, akan tetapi tidak ada keseragaman pengertian tentang anak-anak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sudut pandang dan tergantung dari disiplin ilmu yang mereka tekuni. Dikemukakan oleh Lilik Mulyadi apabila ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoodij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak. 48 Untuk lebih jelasnya pengertian anak dijabarkan secara lebih intens, detail dan terperinci terhadap beberapa batasan umur bagi seorang anak dilihat dari hukum positif Indonesia, adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Nomor : 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut : “Anak adalah 48 Lilik Mulyadi, 2005. Pengadilan Anak di Indonesia. Teori, Praktik dan Permasalahannya. Mandar Maju, Bandung. hlm. 4. 26 seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. b. Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. c. Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 1 mengatur bahwa : “Anak yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Pasal 6 ayat (2) menyebutkan : ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang anak yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tua”. Zakiah Dradjat memberikan pendapat mengenai batas usia anak, remaja dan dewasa berdasarkan batasan umur, yaitu sebagai berikut : “Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu tahun sebagai masa remaja (adolensi) merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa di mana anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan lagi anak-anak baik bentuk badan maupun sikap berpikir, dan bertindak tetapi bukan pula orang dewasa”. 49 Dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa menurut S 1931 No. 54, jika dalam perundang-undangan dipakai istilah ”minderjarig” (belum cukup umur) terhadap golongan bumiputra maka yang dimaksud ialah mereka yang umurnya belum cukup dua puluh satu tahun dan belum kawin sebelumnya. 49 Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 84. 27 Jika sebelum umur dua puluh satu tahun, perkawinannya diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi (belum cukup umur). 50 2. Pengertian kenakalan anak Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvennile Delinquency (JD), yang secara etimologis dapat dijabarkan bahwa Juvenile artinya young, anakanak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila dan lain-lain. Dapat juga JD secara etimologis adalah kejahatan anak dan dilihat dari pelakunya maka JD yang berarti penjahat atau anak jahat. 51 Ada berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang JD, sebagai berikut : a. Paul Moedikno memberikan perumusan pengertian JD yaitu : 1) Semua perbuatan dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Contoh hal ini seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain-lain; 2) Semua perbuatan penyelewengan dari norma-norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat; 3) Semua perbuatan yang menunjukan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain. 52 b. Kartini Kartono menyatakan JD sebagai berikut : Perlaku jahat/dursila, atau kejahatan anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk 50 51 52 Moeljatno, 1985. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Bina Aksara, Jakarta. hlm. 48 Setya Wahyudi, 2009. Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak . Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. hlm. 11. Ibid., hlm 12 28 pengabaian sosial sehingga mereka mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. 53 c. Maud A. Merril merumuskan JD sebagai berikut : ”A child is classified as a delinquent when his anti social tendencies appear to so grave that become or ought to become the subject of official action” (Seorang anak digolongkan delinquency apabila tampat adanya kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya). d. Romly Atmasasmita memberikan perumusan sebagai berikut :Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak bersangkutan. 54 Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa JD adalah : ”sustu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda”. Pengertian tersebut cenderung sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak, karena rasanya terlalu ekstrim bila seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat. Kenakalan anak timbul sebagai akibat proses alami setiap manusia yang harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya. Tingkah laku yang menjurus kepada masalah JD, menurut Adler, antara lain sebagai berikut : a. b. c. d. 53 54 Loc. Cit Loc. Cit. Kebut-kebutan dijalanan; Perilaku ugal-uggalan, mengacau ketenteraman lingkungan sekitarnya; Perkelaian antar geng, antar sekolah, tawuran; Membolos sekolah; 29 e. f. g. h. i. j. Kriminalitas anak/remaja; Berpesta sambil mabuk-mabukan; Agresivitas seksual; Kecanduan dan ketagihan narkotika; Perjudian, permainan; Perbuatan a-sosial karena gangguan kejiwaan. Memberi pengertian Juvennile Delinquency (JD) sebagai kejahatan anak dapat diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya, pengertian secara etimologis telah mengalami pergeseran, yakni istilah kejahatan menjadi kenakalan. Oleh karena itu B. Simanjuntak menegaskan lebih suka menggunakan istilah kenakalan untuk menggantikan JD.55 Menurut Singgih D. Gunarsa, bahwa istilah kenakalan anak menunjukan pada suatu tingkah laku yang menimbulkan persoalan bagi orang lain, dan di dalam kenakalan anak dapat dibagi menjadi dua macam persoalan kenakalan dari yang ringan atau berat yang ditimbulkannya. Oleh karena itu terdapat dua macam kenakalan anak yaitu kenakalan semu dan kenakalan sebenarnya. Kenakalan semu yaitu kenakalan di mana bukan merupakan kenakalan bagi pihak-pihak lain, walupun tingkah laku yang agak berlebihan akan tetapi masih dalam batas-batas normal dan sesuai dengan nilai-nilai normal. Kenakalan semu dalam bahasa sehari-hari disebut ”kenakalan” dan dinyatakan keterlaluan, tetapi sebenarnya masih terletak dalam batas-batas normal. Hanya dalam kenakalan semu ini sering menimbulkan kekesalan dan ketidaksabaran orang tua. Contohnya kenakalan semu misalnya anak suka merusak mainannya. Kenakalan sebenarnya adalah tingkah laku, perbuatan 55 Ibid., hlm. 13. 30 anak yang merugikan dirinya sendiri atau orang lain, dan melanggar nilainilai normal maupun nilai-nilai sosial. Misalnya anak sering berbohong, suka mencuri dan sebagainya. 56 Istilah kenakalan anak digunakan dalam Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa kenakalan anak mengandung pengertian anak yang nakal dan kenakalan yang dilakukan anak tersebut. Yang dimaksud Anak Nakal di Indonesia berdasar Undang-Undang Nomor : 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ditentukan yaitu anak yang berumur antara 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin, yang melakukan tindak pidana, atau perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.57 Secara umum mereka dianggap ada dalam satu periode transisi dengan tingkah laku anti-sosial yang potensial, disertai dengan banyak persoalan hati atau kekisruhan batin pada fase-fase remaja. Maka segala gejala kebrandalan dan kejahatan yang muncul itu merupakan akibat perkembangan pribadi anak yang mengandung unsur dan usaha : a. Kedewaaan seksual; b. Pencarian suatu identitas kedewasaan; c. Adanya ambisi meteriil yang tidak terkendali; d. Kurang atau tidak adanya disiplin diri. 56 57 Ibid., hlm. 14 Loc. cit. 31 Maka dalam konteks perspektif baru dari periode keremajaan, gang delinquent tadi mereka interpretasikan sebagai manifestasi kebudayaan remaja, dan tidak dilihat sebagai bagian dari gang kriminal orang-orang dewasa. Menurut Kartini kartono, bahwa kejahatan anak-anak remaja ini merupakan produk sampingan dari : a. Pendidikan masal yang tidak menekankan pendidikan watak dan kepribadian anak; b. Kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa menanamkan moralitas dan keyakinan beragama pada anak-anak muda; c. Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada anak-anak remaja. 58 Anak-anak remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya kurang memiliki kontrol diri, atau justru menyalahgunkan kontrol diri tersebut, dan suka menegakan standar tingkah laku sendiri, di samping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu subyek tertentu dengan disertai kekerasan dan agresi. Pada umumnya anak-anak muda tadi sangat egois, dan suka sekali menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga-dirinya. 59 58 59 Kartini Kartono, 1992. Op. cit., hlm 10. Loc. cit.