Bab II - Fakultas Hukum UNSOED - Universitas Jenderal Soedirman

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian
pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan
dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan
pemidanaan. Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana adalah merupakan
suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari
Bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan sebagai ”hukuman”. 6
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau
misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi
dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para
sarjana. Sebagai gambaran umum pengertian kejahatan atau tindak pidana
yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso bahwa secara yuridis pengertian
kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan pelanggarannya dikenakan sanksi”, selanjutnya Djoko Prakoso
menyatakan bahwa secara kriminologis kejahatan atau tindak pidana adalah
“perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara psikologis
kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang abnormal yang
6
Moeljatno, 1987. Op. Cit., hlm. 37
5
6
bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari
si pelaku perbuatan tersebut. 7
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
“perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen atau misdaad)
yang biasa diartikan secara yuridis (hukum atau secara kriminologis).
Mengenai isi dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat di
antara para sarjana. 8
Moeljatno, dengan tegas membedakan dapat dipidananya perbuatan,
dapat dipidana orangnya dan sejalan dengan ini beliau memisahkan antara
pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Karena
pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.
Pandangan beliau dapat disebut sebagai pandangan yang dualistis mengenai
perbuatan pidana (tindak pidana dan strafbaarfeit). Pandangan ini adalah
penyimpangan dari pandangan yang disebut beliau sebagai pandangan yang
monistis yang dianggapnya kuno. Pandangan monistis ini melihat
keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya
merupakan sifat dari perbuatan.9
a. Istilah tindak pidana
Istilah tindak pidana berasal dari kata Strafbaarfeit, yang terdiri
dari tiga kata, yaitu straf yang artinya pidana, baar yang artinya dapat
7
8
9
Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, 1987. Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi
dalam Konteks KUHAP. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 137
Sudarto, 1990/1991. Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B. Fakultas hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto. hlm. 25
Sudarto, Loc. Cit.
7
atau boleh, dan feit yang artinya perbuatan. Kata Strafbaarfeit sering
diartikan berbeda oleh para sarjana hukum, sehingga belum ada unifikasi
yang pasti mengenai definisi dari kata tersebut. Istilah “tindak pidana”
dipakai sebagai pengganti Strafbaarfeit. 10
Dalam perundang-undangan di Negara Republik Indonesia dapat
dijumpai istilah-istilah lain yang dimaksudkan untuk menggantikan
Strafbaarfeit antara lain adalah :
1) Peristiwa pidana (Pasal 14 ayat (1) UUDS 1950);
2) Perbuatan pidana (UUD No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan
Sementara Pengadilan-pengadilan Sipil);
3) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Pasal 3 Undang-Undang
Darurat No. 2 Tahun 1950 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijk
Byzondere Straftberalingen S.1948-17 dan UU RI (dahulu) No. 8
Tahun 1948 Pasal 3;
4) Hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang
dikenakan hukuman (Pasal 19, 21, 22 Undang-undang Darurat No. 16
Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan)
5) Tindak pidana (Pasal 129 Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan)
6) Tindak pidana (Pasal 1 dan seterusnya Undang-undang Darurat No. 7
Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi);
10
Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana I. Raja, Jakarta. hlm. 69
8
7) Tindak pidana (Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1964 tentang
Kewaiban Kerja Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatan Bagi
Terpidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Merupakan
Kejahatan, Pasal 1). 11
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pembentuk undangundang sekrang sudah agak tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana.
Sudarto mengetakan sebagai berikut :
Pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadi soal,asal diketahui
apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang lebih penting adalah
isi dari pengertian tersebut. Namun lebih condong untuk memakai
istilah tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undangundang, di samping itu juga sudah dapat diterima oleh masyarakat.
Jadi istilah ini sudah mempunyai sosiologishe gelding.12
b. Pengertian tindak pidana
Sebagaimana halnya dalam pemakaian istilahnya, mengenai
pengertian Strafbaarfeit tidak ada kesatuan pendapat daripara sarjana.
Pembentuk
mengenai
undang-undang
apa
Strafbaarfeit.
13
sebenarnya
sendiri
yang
tidak
memberikan
dimaksud
penjelasan
dengan
perkataan
menurut Mezger yang dikutip Sudarto, merumuskan
tindak pidana sebagai perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan pemberian pidana. 14
Moeljatno
yang
menggunakan
istilah
memberikan definisi tindak pidana sebagai berikut :
11
12
13
14
Sudarto, 1990/1991. Op. Cit. hlm. 38-39
Sudarto, Loc. Cit.
Adami Chazawi, 2002. Op. Cit. hlm. 67
Sudarto, 1990/1991. Op. Cit. hlm. 39
perbuatan
pidana,
9
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu
aturan dialrang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat,
bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan
atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedang
ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbukannya
kejadian itu. 15
Pompe
menjelaskan
bahwa
perkataan
Strafbaarfeit
dapat
dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap
ketertiban umum) yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku adalah perlu demi terpeliharanya ketertiban umum dan
terjaminnya kepentingan umum. Lebih lanjut Pompe menjelaskan
menurut hukum pidana positif kita, suatu Strafbaarfeit itu sebenarnya
adalah tidak
lain dari pada suatu tindakan yang menurut rumusan
undang-undang telah dinyatakan sebagai keadaan yang dapat dihukum.16
Lain halnya dengan pandapat Bambang Poernomo, yang
menyatakan bahwa Strafbaarfeit mempunyai arti yaitu menunjukkan
kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang dan
menunjukkan kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan
dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 17
2. Unsur-unsur tindak pidana
Dikemukakan oleh Sudarto bahwa untuk mengenakan pidana itu
harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu tersebut lazimnya
15
16
17
Moeljatno. 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37
P. A.F. Lamintang, 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 183
Bambang Poernomo, 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 126
10
disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang dapat dikenakan
pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi unsur-unsur pidana
(strafbaarfeit). Menurut Sudarto, pengertian unsur tindak pidana hendaknya
dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut
dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur), ialah lebih
luas dari yang kedua (unsur-unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit)
dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 326
KUHP. 18
Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP
pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu
unsur-unsur subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur
“subjektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud
dengan unsur “objektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan mana tindakan dari si pelaku itu
harus dilakukan. 19
Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah :
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
b. Maksud
atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
18
19
Sudarto, 1990/1991. Op. Cit. hlm. 43
P.A.F. Lamintang, 1984. Op. Cit. hlm. 183
11
Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain
a. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
b. Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Sedangkan unsur-unsur dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
a. Sifat melanggar hukum;
b. Kualitas si pelaku;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 20
Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit)
ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur tindak
pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis.
Para sarjana yang berpandangan aliran monistis, yaitu :
a. D. Simons
Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah :
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);
5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar
persoon). 21
20
21
Ibid., hlm. 184.
Sudarto, 1990/1991. Op. cit., hlm. 32.
12
Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan
adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :
1) Yang dimaksud dengan unsur subyektif ialah : perbuatan orang;
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka
umum”
Sedangkan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah :
1) Orangnya mampu bertanggung jawab;
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari
perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu
dilakukan. 22
b. Van Hamel
Menyatakan Stafbaarfeit adalah een weterlijk omschre en mensschelijke
gedraging onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi menurut
Van Hamel unsur-unsur tindak pidana meliputi :
1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
2) Bersifat melawan hukum;
3) Dilakukan dengan kesalahan dan
4) Patut dipidana.23
c. E. Mezger
Menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya
pidana, dengan demikian usnur-unsurnya yaitu :
22
23
Sudarto, 1990/1991. Loc. cit
Ibid., hlm. 33.
13
1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
2) Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat
subyektif);
3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
4) Diancam dengan pidana.
d. J. Baumman
Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi rumusan delik : bersifat melawan hukum;
dan dilakukan
dengan kesalahan. 24
Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan
criminal responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tindak pidana
menurut pendapat para sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai
berikut :
a. H.B. Vos
Menyebutkan
bahwa Strafbaarfeit hanya berunsurkan : kelakuan
manusia dan diancam pidana dengan undang-undang.
b. W.P.J. Pompe
Menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak lain dari
feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi
perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan dan diancam pidana.
24
Sudarto, 1990/1991. Loc. cit.
14
c. Moeljatno
Pada pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Tahun 1955 yang
berjudul Perbuatan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban dalam
Hukum Pidana, Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu
sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar
larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :
1) Perbuatan (manusia);
2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan
syarat formil) dan
3) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang
tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat meteriil pun harus ada
pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut
dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat
tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh
masyarakat. 25
Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak
mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana.
Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang
pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian. Bagi
orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana
sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis, sama
sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai
syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat atau
pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis semua syarat yang
diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.26
25
26
Ibid., hlm. 27
Ibid., hlm. 28
15
B. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana
Dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum tidak terlepas
dari kehidupan manusia, maka dalam membicarakan masalah hukum tidak dapat
lepas membicarakan kehidupan manusia. Setiap manusia memiliki kepentingan
yang didasarkan pada kebutuhan hidupnya. Manusia memiliki tiga kebutuhan
dasar yaitu kebutuhan primer antara lain adalah sandang, pangan dan papan
(tempat tingga), kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut manusia sebagai individu tidak dapat lepas dari suatu proses
yang bernama interaksi. Sehingga dalam pola interaksi manusia bahu-membahu
dengan lainnya membentuk komunitas yang disebut masyarakat. Banyak nilai
positif yang didapatkan manusia dalam melakukan kerjasama seperti perasaan
lebih kuat karena bersama-sama dalam menghadapi ancaman dan gangguan dari
pihak lain. 27
1. Pengertian hukum pidana
Hukum pidana mempunyai pokok norma dan sanksi, serta mempunyai
tugas menentukan agar setiap orang mentaati ketentuan dalam pergaulan
hidup bermasyarakat dan menjamin ketertiban hukum. Ilmu hukum pidana
dalam hal ini mempunyai tujuan untuk menjelaskan dan menguraikan secara
sistematis norma hukum pidana dan sanksi pidana tersebut agar dalam
aplikasinya dalam masyarakat menjadi lancar. Batasan hukum sendiri oleh
Mochtar Kusumaatmadja dirumuskan sebagai berikut : “keseluruhan asasasas dan kaidah-kaidah serta lembaga dan proses-proses untuk mewujudkan
itu dalam kenyataan di dalam masyarakat dan hukum yang baik adalah
27
Sudikno Mertokusumo, 1996. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta. hlm. 1
16
hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat”. 28
Pidana adalah suatu istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa
belanda “straf” dan dalam bahasa Inggris disbut sentence. Digunakannya
istilah pidana di sini dan bukan hukuman adalah bertujuan untuk
menfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut. Selain itu,
hukuman merupakan istilah konvensional yang bisa mempunyai arti luas
karena dapat berkaitan dengan bidang-bidang lainnya, seperti bidang
pendidikan, moral, dan agama. Pidana juga merupakan istilah forma yang
sering digunakan dalam berbagai peraturan prundang-undangan yang berlaku,
khususnya peraturan hukum pidana.29
Secara sederhana hukum pidana dapat diartikan sebagai hukum yang
mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilrang undang-undang dengan
sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada setiap orang yang melanggarnya.
Menurut pendapat Mustofa Abdul dan Ruben Achmad, yang dimaksud
ilmu hukum pidana adalah :
“Ilmu yang mempelajari terutama mengenai asas-asas yang menjadi
dasar daripada peraturan-peraturan hukum pidana positif, serta mencari
hubungan antara asas-asas tadi dalam suatu sistem agar dapat
dipahami apa yang menjadi maksud daripada peraturan-peraturan yang
berlaku itu”. 30
Van Hamel, mengartikan pidana atau straf menurut hukum positif,
adalah :
Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara
28
29
30
Romli Atmasasmita, 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung. hlm. 134
Muhari Agus Santoso, 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana. Averroes Press, Malang. hlm.19
Mustafa Abdul dan Ruben Achmad, 1983. Intisasi Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. hlm. 22
17
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umm bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar
suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh negara. 31
Moeljatno, merumuskan hukum pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut;
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sbagaimana yang diancamkan;
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidnaa itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut. 32
Menurut pendapat Sudarto, bahwa hukum pidana berpokok pada dua
hal, yaitu sebagai berikut :
a. Perbuatan-perbuatan yang memenuhi sysrat-syarat tertentu
Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan
perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya
pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan
yang dapat dipidana atau disingkat “perbuatan jahat” (verbrechen atau
crime). Oleh karena itu “perbuatan jahat” ini harus ada orang yang
melakukan maka persoalan tetang “perbuatan tertentu” itu dapat diperinci
menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melangar
larangan itu.
b. Pidana
Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Di dalam hukum pidana modern, pidana meliputi
apa yang disebut “tindakan tata tertib” (tuchtmaatregel, masznahme).33
31
32
33
Lamintang, 1984. Hukum Penetensier Indonesia. Amrico, Bandung. hlm. 47
Andi Hamzah, 1994. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta Jakarta, hlm. 4-5
Sudarto, 1990/1991. Op. cit. hlm. 5
18
2. Fungsi hukum pidana
Mengenai fungsi hukum pidana oleh Sudarto dibedakan menjadi dua
fungsi, yaitu :
a. Fungsi umum
Oleh karena hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan lapangan
hukum, maka fungsi hukum pidana pada umumnya ialah mengatur
hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang “social
relevant”, artinya ada sangkut - pautnya dengan masyarakat.
b. Fungsi khusus
Fungsi yang khusus bagi hukum pidana ialah melndungi kepentingan
hukum
terhadap
perbuatan
yang
hendak
memperkosanya
(rechtsguterchutz) dengan sanki yang berupa pidana yang sifatnya
lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabangcabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda
hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektif,
misalnya masyarakat, negara dan sebagainya. Sanksi yang tajam itu dapat
mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa
seseorang yang memperkosa badan-badan hukum itu, dapat dikatakan,
bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk melindungi
perbuatan jahat. 34
Fungsi hukum dapat diartikan sebagai pedoman perilaku dalam
masyarakat, sebagai petunjuk hidup mengatur tata tertib dalam pergaulan
masyarakat, memelihara kepentingan umum dalam masyarakat dan menjaga
hak-hak manusia, dan mewujudkan keseimbangan atau keselarasan tatanan
dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto hukum adalah suatu sarana
pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun
perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya. 35
Disatu pihak memang benar bahwa hukum merupakan sarana
pengendalian sosial, akan tetapi dilain pihak hukum mungkin juga berfungsi
34
35
Ibid., hlm. 7 - 8
Soerjono Soekanto, 1991. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. PT. Citra Aditya Bakti,.
Bandung. hlm. 48.
19
sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial (“law as a
facilitation of human interaction”). Mana yang lebih utama senantiasa
tergantung pada bidang hukum yang dipersoalkan dan kadang-kadang kedua
fungsi tadi berkaitan dengan eratnya sehingga sulit untuk dibedakan secara
tegas. Akan tetapi adalah kurang tepat untuk menyatakan bahwa kedua fungsi
adalah penting, semata-mata untuk mengatasi masalah.
36
Dinyatakan oleh Muladi fungsi hukum pidana dilihat dari aspek
tujuan sistem peradilan pidana dalam kontek politik kriminal, maka fungsi
hukum pidana dapat dibedakan ke dalam :
a. Fungsi hukum pidana dalam upaya mencapai “tujuan jangka pendek”
yaitu resosialisasi pelaku tindak pidana;
b. Fungsi hukum pidana dalam upaya mencapai “tujuan jangka menengah”,
yaitu pencegahan kejahatan;
c. Fungsi hukum pidana dalam upaya mencapai “tujuan jangka panjang”,
yaitu kesejahteraan sosial.
Lebih lanjut menurut Muladi apabila fungsi hukum pidana dilihat
dari fungsi sistem peradilan pidana dalam konteks kriminal, maka fungsi
hukum pidana dapat dibedakan menjadi yaitu :
a. Fungsi hukum pidana sebagai “crime containment system”,
artinya hukum pidana yang dioperasionalkan melalui sistem peradilan
pidana berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan
mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu.
b. Fungsi hukum pidana berfungsi sebagai “secondary prevention”,
artinya berfungsi untuk pencegahan sekunder, yakni mencoba
mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan
tindak pidana, dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan melalui
proses deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana. 37
36
37
Soerjono Soekanto, Loc. Cit.
Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Universitas Diponegoro, Semarang.
hlm. 21-22.
20
3. Tujuan hukum pidana
Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia hukum
pempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun
tujuan tersebut adalah menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
tercapainya ketertiban dan keseimbangan maka diharapkan kepentingan
manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan hukum, hukum bertugas
membagi hak dan kewajiban, antar perorangan di dalam masyarakat,
membagi wewenang an mengatur cara memecahkan masalah hukum serta
memelihara kepastian hukum.38
Dikemukakan oleh Van Apeldoorn, tujuan hukum ialah : mengatur
pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Apa yang
kita sebut tertib hukum mereka sebut damai (vrede). Keputusan hakim
disebut vredeben (vredegebod), kejahatan berarti pelanggaran perdamaian
(vredebreuk), penjahat dinyatakan tidak damai (vredeloos), yaitu dikeluarkan
dari perlindungan hukum. Perdamaian di anata manusia dipertahankan oleh
hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusai yang tertentu,
kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dsb. Terhadap yang
merugikannya.
39
Kepentingan dari perseorangan dan kepentingan golongan-golongan
manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan ini
selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan peperangan antara semua orang
melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk
38
39
Sudikno Mertokusumo, 1996. Op. cit. hlm. 64
Van Apedoorn, 2004. Pengantar Ilmu Hukum. (Terjemahan oleh Oetarid Sadino, 2004). Pratnya
Paramita, Jakarta. hlm. 11.
21
mempertahankan perdamaian. Hukum mempertahankan perdamaian dengan
menimbang kepentingan yang bertentangan
secara teliti danmengadakan
keseimbangan di anttaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan
(mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil,
artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingankepentingan yang dilindungi, pada mana setiap orang memperoleh sebanyak
mungkin yang menjadi bagiannya. 40
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro,
tujuan hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan. Kemudian beliau
menambahkan bahwa tujuan hukum pidana ialah:
a. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan
kejahatan orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti
orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di
kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventie);
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan
suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya,
sehingga bermanfaat bagi masyarakat;
c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara,
masyarakat, dan penduduk, yakni :
1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna
2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak
pidana. 41
B. Tindak pidana melarikan orang/menculik
Sehubungan dengan tindak pidana melarikan orang atau penculikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 328 s/d Pasal 332 KUHP. Pasal 332 KUHP
merumuskan sebagai berikut :
40
41
Van Apedoorn, Loc. Cit.
Djoko Prakoso, 1988. Hukum Penetensier di Indonesia. Liberty, Yogyakarta. hlm. 41
22
(1) Dihukum karena melarikan perempuan :
1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, barangsiapa
melarikan perempuan yang belum dewasa tidak dengan kemauan orang
tuanya atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri
dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan nikah,
maupun tidak dengan nikah.
2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, barang
siapa melarikan perempuan dengan tipu, kekeasan atau ancaman dengan
kekerasan denan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan
nikah, maupun tidak dengan nikah.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan;
(3) Pengaduan itu dilakukan :
a. Jika pada waktu dilarikan perempuan itu belum dewasa, oleh perempuan
itu sendiri, atau oleh orang yang harus memberi izin padanya, kalau ia
hendak kawin.
b. Jika ia pada waktu dilarikan sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh
suaminya.
(4) Jika orang yang melarikan kawin dengan yang dilarikan, dan nikah itu ta’luk
kepada Kitab Undang-undang Hukum Sipil, maka tidak akan dijatuhkan
hukuman sebelum perkawinan itu dibatalkan oleh hakim. 42
Dikemukakan oleh Wirdjono Prodjodikoro, bahwa tidak kurang dari
lima pasal yaitu Pasal 328 s.d. Pasal 332 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), mengenai melarikan orang dengan melawan hukum. Menurut
328, barangsiapa membawa pergi orang dari tempat kediamannya
Pasal
atau tempat
tingga sementara, dengan maksud membawanya di bawah penguasaannya atau di
bawah penguasaan orang lain dengan melanggar hukum, atau membiarkan orang
itu dalam keadaan tak tertolong, dihukum dengan hukukan penjara selamalamanya dua belas tahun. Tindak pidana ini dinamakan dalam bahasa Belanda
mensenroof yang kiranya dapat diterjemahkan ”penculikan orang”. 43
42
43
R. Soesilo, 1989. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Politea, Bogor, hlm. 236
Wirdjono Prodjodikoro, 1986. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Eresco, Bandung.
hlm. 83
23
Dengan hukuman yang lebih ringan, yaitu maksimum hukuman penjara
tujuh tahun, oleh Pasal 329 diancam barang siapa yang dengan sengaja
mengangkut seseorang yang telah berjanji akan bekerja di suatu tempat tertentu,
dengan melanggar hukum, ke tempat lain. Kini, lain daripada dalam Pasal 328,
tidak disebut tujuan si pelaku, tetapi kiranya yang dimaksudkan ialah untuk
memberantas persaingan tak jujur antara dua majikan yang masing-masing
membutuhkan seorang ahli dalam perusahannya.
Pasal 330 ayat (1) mengenai seseorang yang belum dewasa, yang
dilepaskan dari kekuasaan yang sah atau dari penjagaan oleh orang yang diberi
wewenang untuk itu. Perbuatan tersebut diancam dengan maksimal hukuman
penjara tujuh tahun. Menurut ayat (2) hukuman dinaikkan menjadi hukuman
sembilan tahun jika, dalam hal itu, dilakukan akal tipu, kekerasan, atau ancaman
kekerasan, atau apabila oarang yang dilaraikan itu berusia kurang dari dua belas
tahun. Ini yang lazim dinamakan kidnapping (penculikan anak kecil).44
Kalau orang belum dewasa tidak begitu mudan, misalnya sudah berumur
sembilan belas tahun, maka kemungkinan besar bahwa ia sendiri ada niat untuk
membebaskan diri dari kekuasaan orang tua atau walinya, dan dengan demikian
perbuatan orang itu sebetulnya hanya berupa menolongnya. Tetapi, oleh karena
tidak diadakan batas umur di antara orang-orang yang berusia kurang dari dua
puluh satu tahun, maka harus diartikan bahwa, dalam hal ini, tidak diperdulikan
bagaimana perasaan orang yang belum dewasa ini.
Kalau pelepasan dari kekuasaan ini sudah terjadi, maka oleh Pasal 331
dihukum orang yang menyembunyikan orang belum dewasa ini, yaitu dengan
44
Loc. Cit.
24
maksimum hukuman empat tahun penjara. Hukuman itu dinaikkan menjadi tujuh
tahun jika orang belum dewasa itu berusia kurang dari dua belas tahun. 45
Pasal 332 menamakan schaking (melarikan perempuan) apabila : ke-1 :
orang melarikan perempuan belum dewasa dengan tidak setahu orang tua atau
walinya, tetapi dengan persetujuan perempuan itu sendiri, dengan maksud
memiliki atau menguasai perempuan itu di dalam atau di luar perkawinan
(maksimum hukuman tujuh tahun penjara); ke- 2 : orang melarikan perempuan
dengan akal tipu, kekerasan, atau ancaman kekerasan, dengan maksud seperti di
atas (maksimum hukuman sembilan tahun penjara).
Menurut ayat (2) penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, yaitu
menurut ayat (3) :
1. dalam hal perempuan itu belum dewasa pada waktu dilarikan: olrh
perempuan itu sendiri atau oleh seseorang, yang harus memberi izin kawin;
2. dalam hal perempuan itu sudah dewasa pada waktu ia dilarikan: oleh
perempuan itu sendiri atau suaminya.46
Ayat (4) menambahkan, bilamana yang membawa lari sudah kawin dengan
perempuan yang dibawa lari, serta atas perkawinan itu berlaku Burgerlijk
Wetboek, penghukuman tidak dapat dilakukan sebelum perkawinan dinyatakan
tidak sah. Istilah ”memiliki” orang perempuan itu harus diartikan sebagai
bersetubuh dengan perempuan itu, meskipun hanya satu kali saja.47
45
46
47
Loc. Cit.
Ibid., hlm. 84
Loc. Cit.
25
C. Pengertian anak /orang yang belum dewasa
1. Pengertian anak
Pengertian anak dalam berbagai literatur maupun pendapat yang
dikemukakan oleh para sarjana memang ada yang menyebutkan istilah anak
dimaksudkan untuk membatasi umur minimal dan maksimal seseorang yang
dikategorikan sebagai anak-anak, akan tetapi tidak ada keseragaman
pengertian tentang anak-anak. Hal ini disebabkan adanya perbedaan sudut
pandang dan tergantung dari disiplin ilmu yang mereka tekuni.
Dikemukakan oleh Lilik Mulyadi apabila ditinjau dari aspek yuridis
maka pengertian “Anak” di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan
sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang
yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority)
atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali
(minderjarige ondervoodij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek
tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ius
operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku
universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak. 48
Untuk lebih jelasnya pengertian anak dijabarkan secara lebih intens,
detail dan terperinci terhadap beberapa batasan umur bagi seorang anak
dilihat dari hukum positif Indonesia, adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor : 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut : “Anak adalah
48
Lilik Mulyadi, 2005. Pengadilan Anak di Indonesia. Teori, Praktik dan Permasalahannya.
Mandar Maju, Bandung. hlm. 4.
26
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan”.
b. Undang-Undang Nomor : 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) “Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
c. Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 1
mengatur bahwa : “Anak yang belum mencapai usia 18 (delapan belas)
tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.
Pasal 6 ayat (2) menyebutkan : ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang
anak yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang
tua”.
Zakiah Dradjat memberikan pendapat mengenai batas usia anak,
remaja dan dewasa berdasarkan batasan umur, yaitu sebagai berikut :
“Masa sembilan tahun antara tiga belas dan dua puluh satu tahun
sebagai masa remaja (adolensi) merupakan masa peralihan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa di mana anak-anak mengalami pertumbuhan
yang cepat di segala bidang dan mereka bukan lagi anak-anak baik
bentuk badan maupun sikap berpikir, dan bertindak tetapi bukan pula orang
dewasa”. 49
Dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa menurut S 1931 No. 54, jika
dalam perundang-undangan dipakai istilah ”minderjarig” (belum cukup
umur) terhadap golongan bumiputra maka yang dimaksud ialah mereka yang
umurnya belum cukup dua puluh satu tahun dan belum kawin sebelumnya.
49
Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Ghalia Indonesia, Jakarta.
hlm. 84.
27
Jika sebelum umur dua puluh satu tahun, perkawinannya diputus (bercerai),
mereka tidak kembali menjadi (belum cukup umur). 50
2. Pengertian kenakalan anak
Kenakalan anak diambil dari istilah asing Juvennile Delinquency (JD),
yang secara etimologis dapat dijabarkan bahwa Juvenile artinya young, anakanak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada
periode remaja. Delinquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar
aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi,
durjana, dursila dan lain-lain. Dapat juga JD secara etimologis adalah
kejahatan anak dan dilihat dari pelakunya maka JD yang berarti penjahat
atau anak jahat. 51
Ada berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan
tentang JD, sebagai berikut :
a. Paul Moedikno memberikan perumusan pengertian JD yaitu :
1) Semua perbuatan dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi
anak-anak merupakan delinquency. Contoh hal ini seperti mencuri,
menganiaya, membunuh dan lain-lain;
2) Semua perbuatan penyelewengan dari norma-norma kelompok
tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat;
3) Semua perbuatan yang menunjukan kebutuhan perlindungan bagi
sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain. 52
b. Kartini Kartono menyatakan JD sebagai berikut : Perlaku jahat/dursila,
atau kejahatan anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial
pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
50
51
52
Moeljatno, 1985. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Bina Aksara, Jakarta. hlm. 48
Setya Wahyudi, 2009. Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak . Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang. hlm. 11.
Ibid., hlm 12
28
pengabaian sosial sehingga mereka mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang. 53
c. Maud A. Merril merumuskan JD sebagai berikut :
”A child is classified as a delinquent when his anti social tendencies
appear to so grave that become or ought to become the subject of official
action” (Seorang anak digolongkan delinquency apabila tampat adanya
kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya
sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan
terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya).
d. Romly Atmasasmita memberikan perumusan sebagai berikut :Setiap
perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan
belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum
yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak
bersangkutan. 54
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa JD adalah :
”sustu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma baik norma hukum
maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda”. Pengertian
tersebut cenderung sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak, karena
rasanya terlalu ekstrim bila seorang anak yang melakukan tindak pidana
dikatakan sebagai penjahat. Kenakalan anak timbul sebagai akibat proses
alami setiap manusia yang harus mengalami kegoncangan semasa menjelang
kedewasaannya. Tingkah laku yang menjurus kepada masalah JD, menurut
Adler, antara lain sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
53
54
Loc. Cit
Loc. Cit.
Kebut-kebutan dijalanan;
Perilaku ugal-uggalan, mengacau ketenteraman lingkungan sekitarnya;
Perkelaian antar geng, antar sekolah, tawuran;
Membolos sekolah;
29
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Kriminalitas anak/remaja;
Berpesta sambil mabuk-mabukan;
Agresivitas seksual;
Kecanduan dan ketagihan narkotika;
Perjudian, permainan;
Perbuatan a-sosial karena gangguan kejiwaan.
Memberi pengertian Juvennile Delinquency (JD) sebagai kejahatan
anak dapat diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap
anak yang menjadi pelakunya, pengertian secara etimologis telah mengalami
pergeseran, yakni istilah kejahatan menjadi kenakalan. Oleh karena itu
B. Simanjuntak menegaskan lebih suka menggunakan istilah kenakalan
untuk menggantikan JD.55
Menurut Singgih D. Gunarsa, bahwa istilah kenakalan anak
menunjukan pada suatu tingkah laku yang menimbulkan persoalan bagi orang
lain, dan di dalam kenakalan anak dapat dibagi menjadi dua macam persoalan
kenakalan dari yang ringan atau berat yang ditimbulkannya. Oleh karena itu
terdapat dua macam kenakalan anak yaitu kenakalan semu dan kenakalan
sebenarnya. Kenakalan semu yaitu kenakalan di mana bukan merupakan
kenakalan bagi pihak-pihak lain, walupun tingkah laku yang agak berlebihan
akan tetapi masih dalam batas-batas normal dan sesuai dengan nilai-nilai
normal. Kenakalan semu dalam bahasa sehari-hari disebut ”kenakalan” dan
dinyatakan keterlaluan, tetapi sebenarnya masih terletak dalam batas-batas
normal. Hanya dalam kenakalan semu ini sering menimbulkan kekesalan dan
ketidaksabaran orang tua. Contohnya kenakalan semu misalnya anak suka
merusak mainannya. Kenakalan sebenarnya adalah tingkah laku, perbuatan
55
Ibid., hlm. 13.
30
anak yang merugikan dirinya sendiri atau orang lain, dan melanggar nilainilai normal maupun nilai-nilai sosial. Misalnya anak sering berbohong, suka
mencuri dan sebagainya. 56
Istilah kenakalan anak digunakan dalam Undang-Undang Nomor: 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa kenakalan anak mengandung
pengertian anak yang nakal dan kenakalan yang dilakukan anak tersebut.
Yang dimaksud Anak Nakal di Indonesia berdasar Undang-Undang Nomor :
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ditentukan yaitu anak yang berumur
antara 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah
kawin, yang melakukan tindak pidana, atau perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.57
Secara umum mereka dianggap ada dalam satu periode transisi dengan
tingkah laku anti-sosial yang potensial, disertai dengan banyak persoalan hati
atau kekisruhan batin pada fase-fase remaja. Maka segala gejala kebrandalan
dan kejahatan yang muncul itu merupakan akibat perkembangan pribadi anak
yang mengandung unsur dan usaha :
a. Kedewaaan seksual;
b. Pencarian suatu identitas kedewasaan;
c. Adanya ambisi meteriil yang tidak terkendali;
d. Kurang atau tidak adanya disiplin diri.
56
57
Ibid., hlm. 14
Loc. cit.
31
Maka dalam konteks perspektif baru dari periode keremajaan, gang
delinquent tadi mereka interpretasikan sebagai manifestasi kebudayaan
remaja, dan tidak dilihat sebagai bagian dari gang kriminal orang-orang
dewasa. Menurut Kartini kartono, bahwa kejahatan anak-anak remaja ini
merupakan produk sampingan dari :
a. Pendidikan masal yang tidak menekankan pendidikan watak dan
kepribadian anak;
b. Kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa menanamkan moralitas dan
keyakinan beragama pada anak-anak muda;
c. Kurang ditumbuhkannya tanggung jawab sosial pada anak-anak remaja. 58
Anak-anak remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya
kurang memiliki kontrol diri, atau justru menyalahgunkan kontrol diri
tersebut, dan suka menegakan standar tingkah laku sendiri, di samping
meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada
umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu
untuk mencapai satu subyek tertentu dengan disertai kekerasan dan agresi.
Pada umumnya anak-anak muda tadi sangat egois, dan suka sekali
menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga-dirinya. 59
58
59
Kartini Kartono, 1992. Op. cit., hlm 10.
Loc. cit.
Download