1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia karena tanpa kesehatan manusia tidak dapat beraktivitas dengan normal, bahkan ada kata-kata bijak bahwa kekayaan tidak berarti tanpa kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Dalam rangka peningkatan derajat kesehataan tersebut perlu adanya hukum kesehatan yaitu rangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medis dan sarana medis. Berkaitan dengan hal tersebut jaminan akan kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang Nomor No 23 tahun 1992. Dalam UndangUndang Kesehatan yang baru tersebut terdapat perubahan paradigma upaya 2 pembangunan kesehatan yaitu dari paradigma sakit yang begitu kental pada Undang-Undang Kesehatan sebelumnya bergeser menjadi paradigma sehat yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Usaha pelayanan kesehatan dapat ditempuh dengan cara ilmiah yaitu melalui pengobatan kedokteran modern maupun pengobatan tradisional yang bersumber dari berbagai latar belakang, seperti tradisional, keagamaan, kepercayaan, atau berbagai cara yang belum terbukti secara ilmiah dengan berbagai teknik dan perangkat pengobatan. Pengobatan tradisional tersebut masih banyak yang belum memiliki dasar ilmiah, sehingga sulit untuk menentukan parameter yang objektif dan penilaiannya. Dengan banyaknya tenaga pengobatan tradisional yang tidak memiliki standar kompetensi dalam menangani pasien dimungkinkan akan merugikan masyarakat. Kontroversi pengobatan tradisional yang akhir-akhir ini sedang marak, yaitu munculnya Ponari yang menarik perhatian ribuan pasien yang berobat. Pengelola pengobatan Ponari ini dilakukan sejak 11 Januari 2009. Selama ini pro dan kontra bermunculan dimana orang-orang yang bisa berfikir rasional menginginkan aparat bertindak tegas menutup pengelola pengobatan dengan media batu itu. Apalagi pengelola itu secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan lima orang meninggal dunia dan tidak sedikit dari mereka yang berobat justru penyakitnya bertambah parah. Disisi lain banyak juga elemen masyarakat yang menginginkan pengelola pengobatan Ponari 3 tidak ditutup, karena dipercaya bahwa Ponari mampu menyembuhkan keluhan penyakit yang diderita pasien. Berdasar pada pertimbangan kerugian yang diderita oleh masyarakat akibat pengobatan tradisional tersebut Muspida dan Kapolres baru Jombang, AKBP Tomsi Tohir mengambil tidakan tegas menutup secara resmi pengelola pengobatan tradisional Ponari. (http://gugling.com/praktek-ponari-ditutup-selamanya. html). Standar kompetensi dalam melayani kesehatan masyarakat merupakan hal yang harus dipenuhi bagi penyelenggara pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.” Pada pengobatan kedokteran modern, telah dilakukan pengaturan, standarisasi, dan pengawasan oleh pemerintah melalui Pasal 182 UndangUndang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan“. Sedangkan pada pengobatan tradisional belum banyak pengaturan dan standarisasi yang diatur dalam perundang-undangan. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah hanya sebatas pada pendaftaran saja. 4 Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas tanggal 25 Juni 2009 terlihat masih banyak sarana atau tenaga pengobatan tradisional yang tidak terdaftar di Dinas Kesehatan yakni sejumlah 27 pengobatan tradisional (Wawancara dengan staff Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas). Dengan tidak adanya pengaturan standarisasi, dan pengawasan yang memadai dari Pemerintah terhadap pengelola pengobatan tradisional menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum yang memadai bagi para penggunanya jika terdapat penyimpangan. Pada dasarnya hukum diadakan berfungsi untuk menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dapat dilakukan dengan cara : 1. Peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional. 2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing. 3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum. 4. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintahan ke arah penegak hukum, keadilan terhadap perlindungan harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. (C.S.T Kansil,1986:547). 5 Bertolak dari langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka fungsi hukum sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh khususnya pada poin ke empat di atas, maka dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan khususnya bagi pengelola pengobatan tradisional. Tingkat kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional akan mempengaruhi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukumnya maka akan semakin baik pula pemberian pelayanan kepada pasien. Sehingga di dalam pelayanan yang baik akan terdapat jaminan perlindungan hukum bagi pasien. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal tersebut diuraiakan bahwa mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat 6 yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Di dalam undang-undang kesehatan tersebut juga mengatur tentang kewajiban bagi siapapun untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dinyatakan bahwa “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.” Peningkatan kesehatan masyarakat tidak lepas dari peranan hukum, karena hukum mengatur tata cara dalam palayanan kesehatan. Di dalam hukum sendiri terdapat kesadaran hukum yang merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 1977:152). Ada 4 (empat) indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, perilaku hukum, dan sikap hukum. Masalah kesadaran hukum masyarakat berkaitan dengan berfungsinya hukum itu dalam masyarakat. Oleh karena itu di dalam pelaksanaan hukum tersebut masyarakat dituntut untuk sadar terhadap hukum, sehingga dapat diketahui efektivitas hukum itu bagi masyarakat. 7 Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam masalah tersebut dan merumuskan dalam judul “Pengobatan Tradisional (Studi Tentang Kesadaran Hukum Pengelola Pengobatan Tradisional Terhadap Standarisasi Pelayanan Kesehatan Di Kabupaten Banyumas)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah yang akan dikaji adalah : 1. Bagaimana tingkat kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas? 2. Mengapa kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas diperlukan standarisasi pelayanan? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas. 2. Untuk menjelaskan kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas memerlukan standarisasi pelayanan. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan tingkat kesadaran hukum Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan. 8 b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian sejenis yang akan datang sekaligus sebagai pembanding terhadap penelitian-penelitian sejenis yang telah ada sebelumnya. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan-bahan pertimbangan dalam rangka pemupukan kesadaran hukum pada Pengelola pengobatan khususnya yang berkaitan dengan Pengelola pengobatan tradisional. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pada instansi yang berwenang dalam rangka pembinaan dan pengawasan Pengelola pengobatan tradisional. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum 1. Definisi Hukum Hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyelesaian sengketa, tetapi juga mengatur kehidupan manusia secara luas. Baik dalam lapangan yang sifatnya individual (privat) maupun yang sifatnya komunal/umum (public). Hukum adalah seperangkat aturan/norma yang memiliki kekuatan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh Negara/aparat penyelenggara Negara. Hukum berisi seperangkat aturan yang mengatur kehidupan manusia. Hukum diciptakan untuk melindungi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai penghormatan atas jiwa, tubuh, harta, kehormatan dan kemerdekaan. Hal ini akan berdampak pada semangat dan kesadaran masyarakat untuk mentaati hukum. Tanpa adanya kesadaran masyarakat, maka hukum hanya akan menjadi aturan semata dan tidak akan berfungsi sempurna dalam masyarakat. Permasalahan mengenai berfungsi tidaknya hukum dalam masyarakatat adalah permasalahan mengenai kesadaran hukum masyarakat. 10 Hukum diartikan oleh Aristoteles adalah particular law is that which each community lays down and aplies to its own member. Universal law is the law of nature. Sedangkan Grotius mengartikan hukum sebagai Law of moral action obliging to that which is right (CST Kansil, 1989 : 14). Menurut Leon Duguit: “hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaanya pada saat tertentu di indahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”. Sedangkan menurut Prof. Mr. E. M Meyers dalam bukunya “De Algemene Bgrippen van het Burgerlijk Recht” memberikan definisi hukum sebagai berikut “hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasapenguasa negara dalam melakukan tugasnya”. (C. S.T Kansil, 1986:36). Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki kekuatan sanksi yang pelaksanaanya dapat dipaksakan oleh negara/aparat penyelenggara negara. Hukum berisi seperangkat aturan yang mengatur sebagian besar kehidupan manusia. Hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis dituangkan dalam bentuk pasal-pasal, dalam undang-undang yang disusun secara sistematis dalam lembaran negara, sedangkan hukum tidak tertulis bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 11 Hukum diciptakan untuk melindungi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai penghormatan atas jiwa, tubuh, harta, kehormatan dan kemerdekaan. Kegiatan manusia amat banyak dan hukum itu sendiri sudah dipastikan tidak mampu untuk mengakomodir atau melindungi dan mengatur seluruh kegiatan manusia ini. Menurut Max Weber untuk berlakunya suatu hukum harus terdapat alat pemaksa dalam hukum karena alat pemaksa menentukan bagi adanya hukum. Prof. Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang merugikannya. Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-golongan manusia, pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjadi peperangan, seandainya hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian. (C. S. T Kansil, 1986:42). Kusumadi Pudjosewojo menggambarkan bahwa hukum pertalian dengan adanya manusia dan manusia merupakan kesatuan yang melakukan tindakan-tindakan untuk memenuhi segala apa yang berharga bagi hidupnya karena dorongan batin. Menurut Lon Fuller menyatakan bahwa 12 hukum itu sebagai usaha untuk tujuan tertentu. Penekanan disini adalah pada usaha, maka dengan sendirinya mereka mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energi, wawasan, intelegensi, dan kejujuran dari mereka yang harus menjalankan hukum itu (Raharjo, 1986 : 22). 2. Fungsi hukum Salah satu fungsi hukum adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Di samping itu maka hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan warga-warga masyarakat ketujuan yang dikehendaki oleh perubahan yang terencana tersebut. Dari hal tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa hukum sebagai alat perubahan masyarakat (a tool of sosial engineering). Dari pendapat tersebut juga dapat disimpulkan bahwa hukum adalah pengendali utama kegiatan masyarakat dalam suatu negara hukum. Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya tidak memerlukan banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaedah, yaitu pedoman perilaku, yang menyiratkan perilaku yang seyogiannya atau diharapakan diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan sesuatu kegiatan yang diatur oleh hukum (Ishaq, 2007:11). 13 Fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu: 1. Pengawasan/pengendalian sosial (social control) 2. Penyelesaian sengketa (dispute settlement) 3. Rekayasa sosial (social engineering) Thoe Huijbers, menyatakan bahwa fungsi hukum ialah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Peters sebagaimana dikutip oleh Ronny Hanityo Soemitro, bahwa fungsi hukum itu terdapat tiga perspektif, yaitu: a. Perspektif kontrol sosial daripada hukum. Tujuan ini disebut tujuan dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the policemen view of the law). b. Perspektif sosial engineering merupakan tinjauan yang dipergunakan oleh para pejabat (the officials perspective of the law) dan karena pusat perhatiannya adalah apa yang diperbuat oleh pejabat/penguasa dengan hukum. c. Perspektif emansipasi masyarakat daripada hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s up view of the law). 14 Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum di atas, dapat disusun fungsi-fungsi hukum sebagai berikut: 1. Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku. 2. pengawasan atau pengendalian sosial (social control). 3. penyelesaian sengketa (dispute setllement). 4. rekayasa sosial (social engineering). (Ishaq, 2002:11). Pengendalian sosial dari hukum, pada dasarnya dapat diartikan suatu sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum. Dengan kata lain, dari sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu usaha untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang, sedang represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu. Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa. Persengketaan atau perselisihan dapat terjadi dalam masyarakat antara keluarga yang dapat meretakkan hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan bersama, yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa dapat mengenai perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya. Sengketa atau perselisihan itu perlu diselesaikan, adapun cara penyelesaian sengketa dalam suatu masyarakat ada yang diselesaikan melalui lembaga formal yang disebut pengadilan dan ada juga yang diselesaiakan sendiri 15 oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat bantuan orang yang ada di sekitarnya. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengerahkan pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Dengan demikian hukum dijadikan sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat. (Ishaq, 2002:12). 3. Kesadaran Hukum Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri wargawarga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan atau dikehendaki bahwa ada keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis (Soerjono Soekanto, 1977:145). 16 Masalah yang sama juga terungkapkan oleh ajaran-ajaran yang berpendapat pokok, bahwa sahnya hukum ditentukan oleh kesadaran kelompok sosial. Apa yang penting adalah kesungguhan daripada tekanantekanan sosial yang ada di belakang peraturan-peraturan, hal mana menyebabkan timbulnya faktor ketaatan terhadapnya. Bahkan kemudian dinyatakan, bahwa pembentukan hukum harus didasarkan pada tata kelakuan yang ada dan agar pembentukan hukum mempunyai kekuatan, maka proses tersebut harus konsisten dengan tata kelakuan tersebut. Apabila pembentuk hukum menerbitkan peraturan-peraturan yang tidak cocok dengan kesadaran atau perasaan masyarakat, maka diharapkan akan timbul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar pertentangan antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit untuk menerapkannya. Menurut Soerjono Soekanto, kesadaran hukum adalah konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya (Soerjono Soekanto, 1982:159). Indikator kesadaran hukum meliputi : a. Pengetahuan Hukum Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang maupun perilaku yang 17 diperbolehkan oleh hukum sebagaimana dapat dilihat dalam masyarakat bahwa seseorang mengetahui membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut di undangkan (Otje Salman, 1993:40). b. Pemahaman Hukum Pemahaman hukum dalam arti disini adalah sebanyak informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum merupakan suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut (Otje Salman, 1993:41). Kebanyakan warga masyarakat tidak mengetahui adanya suatu peraturan, akan tetapi mengetahui isinya dengan sistem nilai-nilai yang berlaku halmana disebabkan karena adanya proses internalisasi. Di dalam hal ini seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan, yang hasilnya adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik yang pusat kekuatannya terletak pada kepercayaan warga masyarakat terhadap tujuan kaedah-kaedah hukum bersangkutan (Soerjono Soekanto, 1977:241). 18 c. Perilaku Hukum Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturaan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum dalam masyarakat (Otje Salman, 1993:42). Perikelakuan hukum merupakan setiap perikelakuan teratur yang bertujuan untuk mencapai keserasian antara ketertiban dengan kebebasan. Dapat diduga bahwa setiap perikelakuan yang sesuai dengan hukum merupakan salah satu kriteria akan adanya kepatuhan atau ketaatan hukum yang cukup tinggi, sehingga pola perikelakuan hukum merupakan hal yang identik dengan kepatuhan hukum. Pola perikelakuan hukum merupakan kriterium kepatuhan apabila warga masyarakat berperikelakuan demikian, oleh karena proses internalisasi di mana hukum ternyata sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh para warga masyarakat tersebut (Soerjono Soekanto, 1977:247). d. Sikap Hukum Suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya suatu penghargaan terhadap hukum sebagai seseuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum ditaati. Sebagaimana terlihat disini bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat (Otje Salman, 1993:42). 19 Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturaan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum dalam masyarakat (Otje Salman, 1993:42). B. Pengobatan Tradisional 1. Definisi Pengobatan Tradisional Sehat menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah keadaan baik seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas dari rasa sakit); waras. Menurut World Health Organization (WHO) definisi sehat adalah a state of completely physical, mental, and social well being and not merly the absent of disease or infirmity (Suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan) (http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081223210437AAnxc 70). Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan konsep sehat yang positif : 1. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh. 2. Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal. 3. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup. (http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehatsakit) 20 Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat setiap warga Negara dan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia maka pembangunan bidang kesehatan harus dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama taraf kesehatannya. Pengobatan tradisional tidak lepas dari peranan dalam meningkatkan taraf kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terdapat 3 (tiga) pasal yang mengatur Pelayanan Tentang Kesehatan Tradisional, yaitu : Pasal 59 1. Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi : a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan. 2. Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21 Pasal 60 1. Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang. 2. Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat. Pasal 61 1. Masyarakat diberi mengembangkan, kesempatan meningkatkan yang dan seluas-luasnya menggunakan untuk pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. 2. Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat. Untuk mencapai pengobatan tradisional yang memiliki kualitas maka perlu diadakannya standarisasi. Standarisasi tersebut standar pemberian pelayanan, standar tenaga medis dan perizinan. meliputi 22 2. Mutu Pelayanan Kesehatan Dalam menyelenggarakan program pelayanan kesehatan perlu dipahami apa yang dimaksud mutu pelayanan kesehatan. Untuk ini banyak batasan yang dikenal. Beberapa diantaranya yang dipandang cukup penting adalah sebagai berikut: a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan dan penampilan sesuatu yang diamati. b. Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program. c. Mutu adalah totalitas dan wujud serta ciri suatu barang atau jasa yang didalamnya terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna. d. Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (YPB Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 21). Dari keempat batasan ini, untuk pelayanan kesehatan hanya dapat diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan penilaian. Dalam praktek sehari-hari melakukan penilaian ini tidaklah mudah. Penyebab utamanya adalah karena mutu pelayanan kesehatan tersebut bersifat multi dimensional. Tiap orang, tergantung latar belakang dan kepentingan masing-masing, dapat saja melakukan penilaian dan dimensi yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Roberts dan Prevost telah berhasil membuktikan adanya perbedaan dimensi tersebut: a. Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan 23 lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, keperihatinan serta keramahtamahan petugas dalam melayani pasien, dan atau kesembuhan penyakit yang sedang diderita oleh pasien. b. Bagi penyelenggara kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi kesesuaian pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan atau otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien (YPB Sarwono Prawirohardjo. 2002:21). Mengatasi perbedaan dimensi ini telah diperoleh kesepakatan bahwa dalam membicarakan mutu pelayanan kesehatan, pedoman yang dipakai adalah hakekat dasar dari diselenggarakannya pelayanan kesehatan tersebut. Untuk ini mudah dipahami bahwa hakekat dasar yang dimaksud tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesehatan para pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang apabila berhasil dipenuhi akan menimbulkan rasa puas terhadap pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Dengan kesepakatan ini, disebutkan dengan mutu pelayanan kesehatan adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pasien. Semakin sempurna kepuasan tersebut, semakin baik pula mutu pelayanan kesehatan. 24 Sekalipun pengertian mutu yang terkait dengan kepuasan telah diterima secara luas, namun penerapannya tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah pokok yang ditemukan ialah karena kepuasan tersebut hanya bersifat subyektif. Tiap orang, tergantung dan latar belakang yang dimiliki dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda. Disamping itu sering pula ditemukan pelayanan kesehatan yang telah memuaskan pasien, namun karena penyelenggaraanya tidak sesuai dengan standar sulit disebut sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu. Mengatasi masalah ini, telah disepakati bahwa pembahasan tentang kepuasan pasien yang diakitkan dengan mutu pelayanan kesehatan, bukanlah pembahasan yang bersifat luas melainkan mengenal dua pembatasan: a. Pembatasan pada derajat kepuasan pasien. Untuk menghindari subyektifitas ditetapkanlah bahwa yang dimaksud kepuasan disini, sekalipun orientasinya tetap individual, tetapi ukuran yang dipakai adalah kepuasan rata-rata penduduk. Dalam perkataan lain, suatu pelayanan kesehatan dinilai bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut memuaskan pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk. b. Pembatasan pada upaya yang dilakukan. Untuk melindungi kepentingan pemakai jasa pelayanan kesehatan yang 25 pada umumnya awam terhadap tindakan kedokteran, dilakukanlah upaya untuk menimbulkan kepuasan tersebut harus sesuai dengan standar pelayanan kesehatan. Suatu pelayanan kesehatan, sekalipun dapat memuaskan pasien, tetapi apabila diselenggarakannya tidak sesuai dengan standar pelayanan, bukanlah pelayanan kesehatan bermutu. Bertitik tolak dari adanya dua pembatasan ini, dapatlah dirumuskan apa yang disebut mutu pelayanan kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. 3. Standarisasi Kesehatan Telah disebutkan bahwa masalah mutu akan muncul apabila ditemukan penyimpangan terhadap standarisasi yang telah ditetapkan. Dengan demikian untuk dapat melaksanakan mutu pelayanan kesehatan yang baik perlu dipahami lebih lanjut mengenai standar tersebut. Untuk mencapai pengobatan tradisional yang memiliki kualitas maka perlu diadakannya standarisasi. Pengertian mengenai sandarisasi kesehatan diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang 26 menyatakan bahwa standarisasi kesehatan adalah batasan-batasan yang harus dipenuhi untuk mencapai penyelenggaraan kesehatan yang optimal. Standarisasi tersebut meliputi standar pemberian pelayanan, standar tenaga medis dan perizinan. Yang dimaksud dengan standar adalah : a. Keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang dipergunakan sebagai batas penerimaan. b. Kisaran variasi yang masih dapat diterima. c. Spesifikasi dan fungsi atau tujuan yang harus dipenuhi oleh suatu sarana pelayanan kesehatan agar pemakai jasa pelayanan kesehatan dapat memperoleh keuntungan yang maksimal dari pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. d. Rumusan tentang penampilan atau nilai diinginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan (YPB Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 22). Jika diperhatikan keempat batasan ini sekalipun rumusannya berbeda, namun pengertian yang terkandung didalamnnya adalah sama. Standar menunjuk pada tingkat ideal tercapai yang diinginkan. Lazimnya ukuran tingkat ideal tercapai tersebut tidaklah disusun terlalu kaku, melainkan dalam bentuk maksimal atau minimal (range). Penyimpangan yang terjadi, tetapi masih dalam batas-batas yang dibenarkan disebut dengan nama toleransi. 27 Memandu para pelaksana pelayanan kesehatan agar tetap berpedoman pada standar yang telah ditetapkan, disusunlah protokol. Protokol (pedoman, petunjuk pelaksanaan) adalah suatu pernyataan tertulis yang disusun secara sistematis dan yang dipakai sebagai pedoman pada waktu menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Semakin dipatuhi protokol tersebut, semakin tercapai standar yang telah ditetapkan. Untuk mengukur tercapai atau tidaknya standar, dipergunakanlah indikator. Indikator (tolok ukur) menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Semakin sesuai sesuatu yang diukur dengan indikator, semakin sesuai pula keadaannya dengan standar yang telah ditetapkan (Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 23). 4. Ketentuan Pidana Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam rangka menunjang peningkatan kesehatan yang cukup aman, bermutu, perlu adanya sanksi tegas yang mengatur pengelola pengobatan tradisional. Salah satu pasal yang mengatur mengenai praktek pengelolaan pengobatan tradisional yaitu Pasal 191 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan : ”Setiap orang yang tanpa izin melakukan pengelola pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian hukum sosiologis mengikuti penelitian ilmu-ilmu sosial yang lain berusaha melakukan “theory building”, yaitu menemukan “middle range theories” dan membangun “grand theories”. Penelitian hukum sosiologis memberikan arti penting pada langkah-langkah observasi dan analisis yang bersifat empiris kuantitatif (Ronny Hanitijo Soemitro, 1988 : 35). Pendekatan kuantitatif antara aktifitas pengumpulan data dengan aktifitas analisis benar-benar dituntut pilahnya secara jelas. Pada pendekatan ini dilakukan pembakuan instrument, sehingga pemisahan subyek peneliti dengan subyek responden merupakan keharusan (Noeng Muhadjir, 1996 : 29). Pada pendekatan kualitatif data yang disajikan dalam bentuk kata verbal bukan dalam bentuk angka. Data dalam kata verbal sering muncul dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama atau sebaliknya. Data kata verbal yang beragam tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas dan sistematis. Olahan tersebut mulai dari menuliskan hasil observasi, wawancara, atau rekaman, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, dan menyajikan (Noeng Muhadjir, 1996 : 32). 29 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yang berusaha untuk menggambarkan secara rinci fenomena sosial melalui perhitungan secara statistik. Deskripsi disini bukan dalam arti sempit karena akan memberi gambaran tentang fenomena yang ada yang dilakukan sesuai dengan metode penelitian dan fakta-fakta yang ada digambarkan dengan suatu interpretasi, evaluasi, dan pengetahuan karena fakta tidak akan mempunyai arti tanpa interpretasi, evaluasi, dan pengetahuan umum. C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Pengelola pengobatan tradisional yang ada di Kabupaten Banyumas. D. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua data agar tercapai kelengkapan dan keterpaduan data, yaitu: a. Data Primer Data primer adalah data yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan objek penelitian. Dalam penelitian ini data primer berasal dari informasi yang diperoleh dari penyelenggara Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas melalui angket dan wawancara. 30 b. Data Sekunder Data sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan ini diperlukan untuk melengkapi bahan hukum primer, adalah : 1. Rancangan peraturan perundang-undangan 2. Hasil karya ilmiah para sarjana 3. Hasil-hasil penelitian Data sekunder ini terdiri dari: 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki suatu otoritas mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundangan, catatan resmi lembar Negara penjelasan, putusan hakim dan yurisprudensi. Pada penelitian ini digunakan bahan hukum yang berkaitan yaitu Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari studi pustaka dan hasil penelitian di bidang ilmu hukum, literatur-literatur, surat edaran, dan sumber lain yang akan diteliti. 3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Ronny Hanitijo Soemitro, 1988 : 12). 31 E. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan metode sebagai berikut: a. Data primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode angket dan wawancara. Angket berupa blanko daftar pertanyaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Untuk melengkapi data dilakukan wawancara secara mendalam (depth interview) terhadap informan. a. Data sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang berhubungan dengan objek yang diteliti. F. Metode Pengambilan Sampel Sampel diambil menggunakan metode Probability Sampling dengan metode Simple Random Sampling yaitu bahwa semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel (Burhan Ashofa, 2004:80). Dalam penelitian ini sampel dipilih dari pengelola pengobatan alternatif yang terdapat di kabupaten Banyumas sebanyak 50 buah. Dari jumlah tersebut kemudian diambil sampel sabanyak 30 responden. Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri utama populasi 32 b. Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung cirri-ciri yang terdapat pada populasi c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan (Ronny Hanitijo Soemitro, 1988 : 51). G. Metode Pengolahan Data Dalam penelitian ini akan digunakan metode pengolahan data dengan tekhnik sebagai berikut : 1. Editing artinya memerilsa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggung jawabkan. 2. Coding artinya mengkategorikan data dengan cara memberikan kode-kode atau simbol-simbol menurut kriteria yang diperlukan. 3. Tabulasi artunya memindahkan data dari daftar pertanyaan ke dalam tabeltabel yang telah dipersiapkan. H. Metode Penyajian Data Dalam penelitian ini diajukan beberapa pertanyaan kesadaran hukum, pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, perilaku hukum. Dari setiap pertanyaan diberikan nilai 1-3 berdasarkan jawaban yang diperoleh responden, kemudian setelah diketahui nilai masing-masing indikator kesadaran hukum maka dicarilah interval kelas dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Nazir, 2005 : 23) : I= R K 33 I = besarnya interval kelas R = range (nilai tertinggi – nilai terendah) K = jumlah kelas yang dikehendaki Sedangkan pada data kuantitatif atas karakteristik datanya yang kata verbal menjadi memerlukan olahan mulai dari mengedit sampai menyajikan dalam keadaan ringkas, dan dikerjakan di lapangan. Dalam hal ini data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi sederhana untuk menampilkan tingkat kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas, adapun penyajian data kualitatif berbentuk tabel matrik guna menguraikan alasan dari pengelola pengobatan tradisional menggunakan standarisasi pelayanan yang sesuai. Kedua data yang diperoleh akan disajikan secara sistematis dan terperinci, sehingga dapat menggambarkan secara jelas pokok penelitian secara utuh dan menyeluruh. I. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif kualitatif melalui proses analisis yang meliputi : 1. Reduksi data atau ringkasan data, yaitu proses pemilihan penyederhanaan kemudian pengambilan inti dari data kasar yang muncul dari catatan di lapangan. 2. Sajian data, yaitu penyajian data secara tertulis berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan dari penelitian dalam bentuk teks naratif untuk 34 menjadi informasi yang bermakna dan disajikan dalam bentuk uraianuraian yang sistematis, logis, rasional sesuai dengan alur permasalahan yang diteliti. 3. Menarik kesimpulan atau verifikasi Penarikan kesimpulan atas pola keteraturan yang ada, dibuat prediksiprediksi atas kemungkinan pengembangan selanjutnya. 35 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tingkat Kesadaran Hukum Pengelola pengobatan Tradisional Terhadap Standarisasi Pelayanan di Kabupaten Banyumas. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya (Soerjono Soekanto, 1982:159). Tingkat kesadaran hukum seseorang menurut Soerjono Soekanto dapat dilihat dari empat indikator, indikator dari kesadaran hukum tersebut adalah ( Soerjono Soekanto, 1982:2 29) : 1. 2. 3. 4. Pengetahuan hukum, artinya bahwa seseorang mengetahui perilaku tertentu diatur oleh hukum. Pemahaman hukum, artinya bahwa seseorang mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, terutama mengenai isinya. Sikap hukum, artinya bahwa seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. Perilaku hukum, artinya bahwa seseorang berprilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. Tingkat kesadaran hukum manusia dalam kehidupannya dapat dicontohkan dalam standarisasi pelayanan kesehatan. Kebanyakan masyarakat Indonesia sering mengabaikan standarisasi pelayanan kesehatan yang telah diatur oleh undang-undang. Banyak kasus yang terjadi karena tidak standarnya pelayanan kesehatan maka menimbulkan permasalahan seperti mal praktek dan masalah lainnya. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 36 Tahun 36 2009 Tentang Kesehatan bahwa pengobatan tradisional perlu adanya pembinaan pengawasan untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan dan atau perawatan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat sehingga diharapkan dengan adanya pembinaan dan pengawasan yang memadai maka pengobatan tradisional tidak akan merugikan masyarakat. Dalam penelitian ini untuk mengetahuai tingkat kesadaran hukum penyedia Pengelola pengobatan tradisional (responden) terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas dapat diketahui dengan mengetahui tingkat masing-masing indikator kesadaran hukum yaitu: 1. Pengetahuan hukum responden terhadap peraturan kesehatan, terutama pengetahuan mengenai kualifikasi tenaga medis, penggunaan obat tradisional, dan pengetahuan mengenai tanggung jawab tenaga kesehatan yang terdapat dalam ketentuan tentang standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub dalam Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal tersebut akan diketahui tingkat pengetahuan hukum responden yang didasarkan pada jawaban responden. 2. Pemahaman hukum responden terhadap peraturan kesehatan, terutama pemahaman mengenai kualifikasi tenaga medis, penggunaan obat tradisional, dan pemahaman mengenai tanggung jawab tenaga kesehatan yang terdapat 37 dalam ketentuan standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub dalam Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal tersebut akan diketahui tingkat pemahaman hukum responden yang didasarkan pada jawaban responden. 3. Sikap hukum responden terhadap peraturan kesehatan terutama sikap terhadap adanya peraturan yang mengatur mengenai standarisasi pelayanan kesehatan, sikap terhadap pengenaan sanksi pada pelanggaran peraturan kesehatan, sikap terhadap ketentuan-ketentuan penggunaan alat dan obat tradisional, dan sikap terhadap ketentuan izin praktek yang terdapat dalam ketentuan tentang standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub dalam Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal tersebut akan diketahui tingkat sikap hukum responden yang didasarkan pada jawaban responden. 4. Perilaku hukum terhadap peraturan kesehatan terutama kesesuaian perilaku dengan ketentuan yang mengatur tentang standarisasi kesehatan, kesesuaian perilaku dengan ketentuan yang mengatur tentang penggunaan alat dan obat tradisional, kesesuaian perilaku dengan ketentuan yang mengatur tentang perizinan praktek dan kesesuaian perilaku dengan ketentuan yang mengatur tentang tanggung jawab pelaku medis terhadap pasien yang terdapat dalam Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal tersebut akan diketahui tingkat perilaku hukum responden yang didasarkan pada jawaban responden. 38 Tingkat masing-masing indikator kesadaran hukum tersebut dapat diketahui dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh responden. Adapun pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 40 pertanyaan tentang kesadaran hukum yang terdiri dari unsur pengetahuan hukum sebanyak 10 pertanyaan, unsur pemahaman hukum sebanyak 10 pertanyaan, unsur sikap hukum sebanyak 10 pertanyaan dan unsur perilaku hukum sebanyak 10 pertanyaan. Dari setiap pertanyaan akan diberikan nilai antara 1-3 berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden. Nilai dari masing-masing indikator kesadaran hukum dan nilai kesadaran hukum dapat dilihat dalam tabel berikut ini: 39 Tabel 1. Distribusi Nilai Masing-masing Indikator Kesadaran Hukum dan Nilai Kesadaran Hukum Pengetahuan Hukum Pemahaman Hukum Sikap Hukum Perilaku Hukum Kesadaran Hukum 1 12 22 28 27 89 2 13 27 30 29 99 3 11 20 30 28 89 4 15 27 30 30 102 5 11 25 30 29 95 6 11 25 30 29 95 7 15 27 30 29 101 8 14 26 30 29 99 9 15 27 30 29 101 10 10 28 30 27 95 11 15 27 30 29 101 12 14 27 30 30 101 13 14 25 30 29 93 14 15 27 28 29 99 15 14 26 30 28 98 16 15 30 30 30 105 17 11 25 30 29 95 18 14 26 30 29 99 19 15 26 27 29 97 No 40 20 14 25 30 30 99 21 14 25 30 29 98 22 14 25 25 25 89 23 13 28 30 29 100 24 9 21 30 17 77 25 13 28 23 26 90 26 14 20 30 27 91 27 10 27 28 29 94 28 13 25 30 28 96 29 14 26 30 27 97 30 12 21 28 22 83 Sumber : Data primer yang diolah Setelah diketahui nilai masing-masing indikator kesadaran hukum dan nilai kesadaran hukum, maka tingkat masing-masing indikator kesadaran hukum dan tingkat kesadaran hukum dapat diketahui dengan terlebih dahulu menentukan interval klas. I= R K I = Besarnya interval klas R = Range (nilai tertinggi – nilai terendah ) K = Jumlah klas yang dikehendaki Tabel 1 kolom 1 di atas memperlihatkan dalam unsur pengetahuan hukum dalam Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan 41 responden, nilai tertinggi yang diperoleh responden adalah 15 dan yang terendah adalah 9. Apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat, yaitu pengetahuan hukum responden dalam Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan tinggi, pengetahuan hukum responden Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan sedang, dan pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan dalam peraktek pengobatan tradisional rendah, maka interval klasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas sebagai berikut : 15 -9 i= 3 i= 2 Dengan demikian besarnya interval klas tingkat pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 2, sehingga dapat dikategorikan unsur pengetahuan hukum sebagai berikut: 1. Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional rendah, intervalnya antara nilai 9 – 11. 2. Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, intervalnya antara nilai 12 – 14. 3. Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional tinggi, intervalnya adalah >15. Tabel 1 kolom 2 di atas memperlihatkan dalam unsur pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, nilai tertinggi di peroleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh 42 responden adalah 20. Apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat, yaitu pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional tinggi, pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, dan pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional rendah, maka interval kelasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas sebagai berikut: 30 - 20 i= 3 i= 3,33 dibulatkan menjadi 3 Dengan demikian besarnya interval klas tingkat pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 3, sehingga dapat dikategorikan unsur pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sebagai berikut: 1. Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional rendah, interval antara nilai 20 – 23 2. Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, interval antara nilai 24 – 27 3. Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional tinggi, interval antara nilai 28 – 30 Tabel 1 kolom 3 di atas memperlihatkan dalam unsur sikap hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, nilai 43 tertinggi yang di peroleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh responden adalah 23. Apabila jumlah kelas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat yaitu sikap setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sikap kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan sikap tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, maka interval klasnya dapat dihitung dengan rumus diatas sebagai berikut: 30 - 23 i= 3 i= 2,33 dibulatkan menjadi 2 Dengan demikian besarnya interval klas tingkat sikap hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 2, sehingga dapat dikategorikan unsur sikap hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah sebagai berikut: 1. Sikap tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 23 – 25 2. Sikap kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 26 – 28 3. Sikap setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 29 – 30 Tabel 1 kolom 4 di atas memperlihatkan dalam unsur perilaku hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional nilai 44 tertinggi yang diperoleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh responden adalah 17. Apabila jumlah kelas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat, yaitu perilaku hukum sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, perilaku hukum kurang sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan perilaku hukum tidak sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, maka kelasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas sebagai berikut: 30 - 17 i= 3 i= 4,33 dibulatkan menjadi 4 Dengan demikian besarnya interval kelas tingkat perilaku responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 4, sehingga dapat dikategorikan unsur perilaku hukum sebagai berikut: 1. Perilaku hukum responden yang tidak sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 17 – 21 2. Perilaku hukum responden yang kurang sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 22 – 26 3. Perilaku hukum responden yang sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 27 – 30 Data nilai kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional yang terdapat pada tabel 1 kolom 5 diperoleh dengan menjumlahkan seluruh nilai indikator-indikator kesadaran hukum 45 responden terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional yaitu meliputi pengetahuan hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, pemahaman hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sikap hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan perilaku hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Tabel 1 kolom 5 di atas memperlihatkan bahwa nilai tertinggi yang diperoleh responden adalah 105 dan nilai terendah yang diperoleh responden adalah 77, apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat, yaitu kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional pelayanan tinggi, kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, dan kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional rendah, maka interval kelasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas sebagai berikut: 105 - 77 i= 3 i = 9,33 dibulatkan menjadi 9 Dengan demikian interval klas tingkat kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 9, sehingga dapat dikategorikan kesadaran hukum sebagai berikut: 46 1. Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional rendah, interval antara nilai 77 – 86 2. Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, interval antara nilai 87 – 96 3. Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 97 – 105 Setelah diketahui nilai dan interval klas dari kesadaran hukum, maka tingkat kesadaran hukum dapat diketahui dalam tabel distribusi frekuensi sebagai berikut: Tabel 2. Kesadaran Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan Pengelola Pengobatan Tradisional Kesadaran Hukum Rendah Interval Klas 77-86 Frekwensi (F) 2 Persentase % 6,66 Sedang 87-96 12 40,00 Tinggi 97-105 16 53,34 30 100,00 Jumlah Sumber : Data Primer yang diolah Tabel 2 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30 orang, sejumlah 2 (6,66%) responden mempunyai tingkat kesadaran hukum yang relatif rendah terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sejumlah 12 orang (40,00%) responden mempunyai tingkat kesadaran hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan sejumlah 16 orang (53,34%) responden mempunyai tingkat 47 kesadaran hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa sebagian besar sampel yang terdiri dari beraneka ragam pengelola pengobatan tradisional seperti juru pijat, dukun bayi (dukun beranak), tabib dan lainnya memiliki kesadaran hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang diisi oleh responden dengan hasil tertinggi (53,34%). Hal ini menunjukan para pengelola pengobatan tradisional telah mengikuti aturan, anjuran dan arahan pemerintah Kabupaten Banyumas. Membuktikan tingkat kesadaran hukum seperti yang terdapat pada Tabel 2 di atas, maka dapat dilihat dari masing-masing indikator kesadaran hukum yaitu pengetahuan hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, pemahaman hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sikap hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional dan perilaku hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Dan tingkat dari indikator kesadaran hukum tersebut dapat dilihat dari tabel distribusi frekuensi sebagai berikut : 48 Tabel 3. Pengetahuan Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan Pengelola Pengobatan Tradisional Pengetahuan Hukum Rendah Interval Klas 9-11 Frekwensi (F) 7 Persentase % 23,33 Sedang 12-14 16 53,34 Tinggi >15 7 23,33 30 100,00 Jumlah Sumber : Data Primer yang diolah Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30 orang, sejumlah 7 orang (23,33%) responden mempunyai tingkat pengetahuan hukum yang relatif rendah terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sejumlah 16 orang (53,34%) responden mempunyai tingkat pengetahuan hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan sejumlah 7 orang (23,33%) responden mempunyai tingkat pengetahuan hukum yang relatif tinggi terhadap peraturan standarisasi pelayanan kesehatan. Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa sebagian besar pengelola pengobatan tradisional memiliki tingkat pengetahuan hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang diisi oleh responden dengan hasil tertinggi (53,34%). Hal ini menunjukkan sedangnya tingkat pengetahuan hukum pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, oleh karena itu mungkin perlunya 49 sosialisasi tentang standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional kepada pengelola pengobatan tradisional agar pengetahuan pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas lebih tinggi. Tabel 4 . Pemahaman Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan Pengelola Pengobatan Tradisional Pemahaman Hukum Rendah Interval Klas 20-23 Frekwensi (F) 5 Persentase % 16,67 Sedang 24-27 21 70,00 Tinggi 28-30 4 13,33 30 100,00 Jumlah Sumber : Data Primer yang diolah Tabel 4 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30 orang, sejumlah 5 orang (16,67%) responden mempunyai pemahaman hukum yang relatif rendah terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sejumlah 21 orang (70,00%) responden mempunyai tingkat pemahaman hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan sejumlah 4 orang (13,33%) responden mempunyai tingkat pemahaman hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa sebagian besar pengelola pengobatan tradisional memiliki tingkat pemahaman hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola 50 pengobatan tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang di isi oleh responden dengan hasil tertinggi (70,00%). Dari data tersebut diatas menunjukan bahwa sedangnya tingkat pemahaman hukum pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, oleh karena itu mungkin perlunya adanya sosialisasi tentang peraturan standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional kepada para pengelola Pengelola pengobatan tradisional yang dilakukan oleh institusi kesehatan atau instansi lainnya yang terkait agar pemahaman terhadap peraturan terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional kepada para pelaku usaha Pengelola pengobatan tradisional lebih tinggi lagi. Tabel 5. Sikap Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan Pengelola Pengobatan Tradisional Sikap Hukum Tidak Setuju Interval Klas 23-25 Frekwensi (F) 2 Persentase % 6,66 Kurang Setuju 26-28 5 16,67 Setuju 29-30 23 76,67 30 100,00 Jumlah Sumber : Data Primer yang diolah Tabel 5 diatas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30 orang, sejumlah 2 orang (6,66%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sejumlah 5 orang (16,67%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, 51 dan sejumlah 23 orang (76,67%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa sebagian besar responden mempunyai sikap hukum yang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang di isi oleh responden dengan hasil tertinggi (76,67%). Hal ini menujukan betapa pentingnya standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional untuk diterapkan bagi para pelaku usaha Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas. Tabel 6. Kesesuaian Perilaku Responden Dengan Peraturan Standarisasi Pelayanan Pengelola Pengobatan Tradisional Perilaku Hukum Tidak Sesuai Interval Klas 17-21 Frekwensi (F) 1 Persentase % 3,33 Kurang Sesuai 22-26 3 10,00 Sesuai 27-30 26 86,67 30 100,00 Jumlah Sumber : Data Primer yang diolah Tabel 6 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30 orang, sejumlah 1 orang (3,33%) responden mempunyai perilaku hukum yang relatif tidak sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sejumlah 3 orang (10,00%) responden mempunyai perilaku hukum yang relatif kurang sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan sejumlah 26 orang (86,67%) responden mempunyai perilaku 52 hukum yang relatif sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Berdasarkan data diatas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa sebagian besar responden mempunyai perilaku hukum yang relatif sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang di isi oleh responden dengan hasil tertinggi (76,67%). Apabila fakta tersebut diatas didialogkan dengan teori kesadaran hukum yang di kemukakan oleh Soerjono Soekanto, maka dapat di interpretasikan bahwa teori tersebut masih relevan untuk diterapkan dalam menentukan tingkat kesadaran hukum Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas. B. Perlunya Standarisasi Pelayanan Terhadap Kesadaran Hukum Pengelola Pengobatan Tradisional di Kabupaten Banyumas Berjalannya suatu hukum tak lepas dari suatu sistem yang dinyatakan Lawrence M Friedman bahwa dalam berjalannya sistem hukum dipengaruhi oleh 3 aspek yaitu Struktur, Substansi, dan Kultur. (Achmad Ali, 2008 : 54) Menurut Friedman, struktur merupakan rangka yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan implementasi hal tersebut dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia maka mencakup pada unsur struktur adalah struktur institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan. 53 Menurut Friedman yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku yang nyata manusia yang berada pada sistem hidup. Substansi disini termasuk pula The Living Law (Hukum yang hidup) dan tidak hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau Law in The Book (Achmad Ali, 2002 : 22). Kultur hukum merupakan bagian yang menentukan jalannya penegakan hukum. Hal ini menyangkut kesadaran hukum masyarakat. Tingkat kesadaran hukum masyarakatlah yang menunjukan bagaimana kualitas suatu regulasi yang diterapkan pemerintah. Kultur masyarakat tentunya dipengaruhi oleh segala aspek atau konstruksi sosial yang berpengaruh disekitarnya. Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri warga masyarakat yang merupakan faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka tersebut timbul masalah oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar syahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut (Soerjono Soekanto, 1989 : 23). Berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat, menurut Soerjono Soekarto setiap masyarakat sebenarnya memiliki kesadaran hukum. Oleh karena itu tidak ada masyarakat yang tidak ingin hidup dalam keadaan teratur (Soekamto, 1989 : 24). Kemudian menurut Otje Salman kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan 54 demikian masyarakat mentaati nilai bukan karena keterpaksaan melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Otje Salman, 1993 : 66). Keinginan untuk hidup teratur membuat manusia mentaati segala peraturan yang dibuat masyarakat yang diwakili dewan dan pemerintah. Standarisasi pelayanan merupakan upaya pemerintah untuk melindungi konsumen kesehatan yang membutuhkan kesehatan. Dalam penelitian ini penulis mencoba menguraikan secara rinci faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum. Hasil wawancara dengan 30 responden disusun secara sistematis melalui matriks hasil penelitian. Matriks tersebut dimaksudkan untuk menafsirkan, menganalisis dan mencari makna dari hasil wawancara yang dilakukan penulis. Hasil penelitian dapat dilihat dalam matriks dibawah ini : Matriks 1. Kesadaran Hukum Pengelola pengobatan Tradisional Terhadap Standarisasi Pelayanan di Kabupaten Banyumas No 1 2 3 Kode Substansi responden DKB/1 Ya menurut saya faktor kesadaran hukumnya itu mas pendidikan lah mas… DKB/2 Ya kalo kita sih sadar hukum tapi mau bagaimana lagi kadang keterbatasan biaya operasional juga... DKB/3 Ya kalo ditanya kesadaran hukum … itu tergantung pengetahuannnya… sehingga latarbelakang pendidikan menunjang…. Makna Kesadaran hukum dipengaruhi faktor Pendidikan/pengetahuan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor ekonomi Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pendidikan/pengetahuan 55 4 DKB/4 5 6 DKB/5 TB/1 7 8 TB/2 TB/3 9 TB/4 10 TB/5 11 JP/1 12 JP/2 13 JP/3 14 JP/4 Kalo menurut saya kesadaran hukum standarisasi Pengelola pengobatan tradisional itu harus dijelaskan lagi…karena pemerintah sendiri belum jelaskan mas…. Ya bingung mas…. Kalo kita sihh sadar mas terhadap aturan pemerintah tapi mau bagaimana lagi, perizinan, sarana kan butuh uang …padahal kami ya pengobartan sederhana.. Kurang tau mas… Kalo menurutsaya pendidikan berpengaruh… Kalo saya sih harus tau dulu aturrannya… Kesadaranhukum itu terletak pada beberapa aspek seperti tau peraturannya dan menjalankan peraturanntaya… tapi kembali lagi bagaimana penegalkan hukumnnya Ya dipengaruhi budaya masyarakat..mas…. Dipengaruhi latar belakang pendidikan individu itu sendiri…. Ya dipengaruhi budaya masyarakat mas….kalo budayanya jelek ya percuma hukum sebagus apapun… Terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan dan informasi Tidak tau Kesadaran hukum dipengaruhi faktor ekonomi Kurang tau Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pendidikan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan dan penegakan hukum Kesadaran hukum dipengaruhi faktor budaya masyarakat Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pendidikan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor budaya masyarakat Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan, pemahaman hokum 56 15 JP/5 kalo kita sih sudah menerapkannya…hal ini didukung tenaga kesehatan kami yang cukup kompeten baik dalam segi ilmu ataupun segi pemahaman hukumnnya. Ya dipengaruhi budaya.... 16 17 PA/1 PA/2 Kurang tau mas….. Pendidikannya mas… 18 PA/3 19 PA/4 20 PA/5 21 DKH/1 22 DKH/2 23 DKH/3 Ya….. tergantung sosialisasi nya… Jelas itu sangat tergantung pengetahuannya…kalo nda tau ya ga sadarsadar Kalo standarisasi pelayanan sih pernah dengar…tapi untuk menjalankannya kan membutuhkan berbagai sarana…nah kita sebagai pelaku usaha sedang menuju kearah sana… Ya sangat dipengaruhi latarbelakang pendidikannya mas… Biasanya dipengaruhi individu itu sendiri, factor lingkungan lah yang dominn membentuk perilaku individu tersebut dalam kesadaran hukum. Standarisasi pelayanan telah kita laksanakan, hal ini didasarkan pada motivasi yang besar pelaku usaha dalam menciptakn pengobatan yang berkualitas…. Kesadaran hukum dipengaruhi faktor budaya masyarakat Kurang tau Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pendidikan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor sarana (ekonomi) Kesadaran hokum dipengaruhi faktor pendidikan Kesadaran hokum dipengaruhi faktor budaya dan lingkungan sosial Kesadaran hukum dipengaruhi faktor motivasi 57 24 25 DKH/4 DKH/5 26 DK/1 27 DK/2 28 DK/3 29 DK/4 30 DK/5 Wah kurang tau mas… Ya…sudah dilaksanakan standarisasi pelayanannya…hal tersebut karena sosialisasi pemerintah Pengetahuan sangat berperan penting mas…. Ya..kami sedang menuju kea rah standarisasi pelayanan tapi…banyak hambatan seperti ekonomi, sarana dan lainnya. Pengetahuan cukup berpengaruh mas… Budaya dan lingkungan yang membentuk watak dan kesadaran hukum seseorang. Ya tergantung sanksinya…kadang manusia itu baru sadar hukum kalo sanksinya besar mas…. Kurang tau Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan (informasi) Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor ekonomi dan sarana Kesadaran hukum dipengaruhi faktor pengetahuan Kesadaran hukum dipengaruhi faktor lingkungan dan budaya masyarakat Kesadaran hukum dipengaruhi faktor sanksi peraturan (substansi Peraturan) Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat diketahui bahwa kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas memerlukan standarisasi pelayanan dengan alasan : 1. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas dipengaruhi faktor pendidikan/ pengetahuan/ pemahaman; 2. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas dipengaruhi faktor ekonomi ; 3. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas dipengaruhi faktor penegakan hukum; 58 4. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas dipengaruhi faktor budaya dan lingkungan social ; 5. Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas dipengaruhi faktor motivasi. Pendidikan merupakan suatu faktor yang dominan dalam kesadaran hukum. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil wawancara yang dilakukan kepada responden. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spriritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan dapat mengubah pola pikir individu maupun masyarakat baik masyarakat yang bersifat homogen maupun heterogen. Kesadaran hukum tentunya tidak didapat begitu saja tetai ada pola-pola tertentu dengan mengetahui undang-undang atau aturan, kemudian memahaminya dalam sebuah serangkaian norma dan nilai yang pada akhirnya akan terbentuk peneilaian dan jiga aksi atau perbuatan. Proses tersebut tentunya memerlukan serangkaian ilmu yang menunjang, baik yang didapatkan pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah tingkat atas maupun perguruan tinggi. Untuk menangkap suatu stimulan bahwa hukum perlu taati maka haruslah terbentuk pola pikir nilai manfaat suatu hukum sehingga akan menghasilkan kesadar hukum. 59 Jika fakta tersebut didialogkan dengan hasil penelitian Abdul Syani dkk (1993 :271) yang menyatakan bahwa: ”Latar belakang pendidikan dan mobilitas sosial dapat mendorong perubahan-perubahan pada dasar pemikiran dan pola-pola perilaku sosial dari nilai-nilai kehidupan individu atau kelompok masyarakat. Perkembangan pendidikan secara formal dapat mempercepat perubahanperubahan pola perilaku suatu sistem tertentu. Faktor pendidikan dianggap sebagai unsur utama yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pengaruh-pengaruh tersebut cenderung dapat menggeser peran-peran individu atau kelompok dalam tata kehidupan sosial. Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seseorang turut mempengaruhi pola pikir seseorang menilai standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional, hal tersebut juga akan turut mengubah pola perilaku individu ataupun masyarakat terhadap perilaku sadar hukum mengenai standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional. Perkembangan pendidikan secara formal dapat mempercepat perubahanperubahan pola perilaku suatu sistem tertentu termasuk juga kesadaran hukum standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional. Faktor lain adalah perekonomian suatu individu yang turut mengubah pola pikir serta pola perilaku seseorang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Jika kita analisis lebih jauh ekonomi berasal dari dua padanan kata yaitu oikos dan nomos yang memiliki arti rumah tangga. Dalam rumah tangga timbulah perputaran kebutuhan dengan pemasukan, hal tersebut merupakan sesuatu yang saling melengkapi. 60 Ketika ada pola yang tidak seimbang maka akan terjadi penurunan dalam suatu pekerjaan. Dapat kita contohkan bagaimana pelayanan kesehatan dapat maksimal jika sarana dan prasarana tidak lengkap. Sarana dan prasarana tentunya dihasilkan dari biaya yang dibebankan kepada pelaku usaha Pengelola pengobatan tradisional. Dari beberapa preposisi di atas diketahui bahwa adanya hubungan kausal antara ekonomi dengan standarisasi pelayanan. Faktor lain yang mempengaruhi kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan traisional adalah faktor penegakan hukum. Penegakan hukum adalah bekerjanya berbagai organisasi yang mewakili pola kepentingan dan kontelasi nilai-nilai dominan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban sesuai dengan ideologi hukum berkuasa. Mencermati hal tersebut, hukum dapat berlaku secara baik jika memenuhi tiga unsur yang meliputi pemberlakuan hukum yang sifatnya Yuridis, Sosiologis, dan Filosofis. Bila ketiganya dilihat dari salah satu sudut saja maka akan timbul masalah-masalah. (Soerjono Soekanto, 1987:9) Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsinya kaedah hukum dalam masyarakat yaitu: 1. Kaedah hukum/peraturan sendiri. 2. Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan. 3. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah hukum. 4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. (Soerjono Soekanto, 1987:9) 61 Makna penegakan hukum sebagai suatu proses selain penyelenggaraan hukum juga sebagai penerapan hukum yang pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi menyangkut keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah peraturan hukum, melainkan sebagai tindakan yang sah dengan unsur penilaian yang berada diantara hukum dan etika. Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, dan dipengaruhi oleh lima faktor yaitu: hukumnya, penegak hukum, masyarakat, sarana fasilitas, dan kebudayaan. (Bambang Purnomo, 1993:282). Pernyataan di atas bermakna bahwa kebijakan kriminal, kebijakan sosial dan kebijakan penegakan hukum harus sejalan oleh masing-masing petugas yang bersangkutan dan harus menuju pada satu kebijakan yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Penegakan hukum pidana dengan pelaksanaanya menjadi bagian dari kebijakan penanggulangan kriminal dalam rangka untuk kebijakan perlindungan sosial dan menjadi bagian yang integral dari kebijakan sosial untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dalam menyelesaikan masalahmasalah sosial. (Bambang Purnomo, 1993:107) Jika pendapat tersebut dikaitkan pada fakta maka ada dua poin penting yang berkaitan yaitu penegakan hukum dengan budaya masyarakat dimana hal tersebut saling berkaitan. Penegakan hukum berkaitan dengan bekerjanya hukum didalam masyarakat, standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah upaya pemerintah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tetapi kadang niat baik terebut terhambat dengan pola pikir bahwa perizinan itu sulit, 62 lebih percaya dengan pengobatan tradisional yang diluar logika (klenik dan lainnya). Faktor lain yang mempengaruhi kesadaran hukum adalah faktor motivasi individu itu sendiri. Standarisasi pelayanan akan terjadi dengan sendirinya jika ada motivasi positif yang kiat untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Motivasi yang ada dalam setiap individu untuk melksanakan program standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional tentunya sangat beragam. William G.Scott mengatakan bahwa motivasi adalah sebagai rangkaian pemberian dorongan kepada seseorang untuk melakukan tindakan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan demikian masalah motivasi itu dianggap sederhana dan dapat pula menjadi masalah yang komplek. Dianggap sederhana karena pada dasarnya manusia mudah untuk dimotivasi, dengan memberikan apa yang menjadi keinginannya, akan tetapi menjadi sulit untuk menentukan imbalan apa yang dianggap penting bagi seseorang, karena sesuatu dianggap penting bagi orang tertentu dan bagi yang lainnya tidak bermanfaat (Fred N.Kerlinger dan Elazer J.Pedazur, 1987:161). Atkinson, memandang kekuatan motivasi ini dalam bentuk persamaan motivasi dengan fungsi. Kekuatan dari motivasi dalam melakukan beberapa kegiatan adalah suatu fungsi dari: 1. Kekuatan yang menjadi alasan bergerak adalah suatu keadaan dimana di dalam diri setiap orang, tingkat alasan atau motive-motive yang 63 mengemukakan tersebut menggambarkan tingkat untuk memenuhi suatu kepentingan. 2. Harapan atau exspectancy adalah dimana kemungkinan/keyakinan perbuatan akan mencapai tujuan. 3. Nilai dari incentive dimana ganjaran-ganjaran demi terciptanya tujuan. Jika pendapat tersebut dikaitkan dengan motivasi pelaku usaha Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas didapatkan hasil bahwa ada kaitan yang erat antara motivasi dengan pelaksanaan standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas dengan logika ada tujuan yang didapat pelaku usaha Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas baik finansial, rasa aman keamanan dan sosial. 64 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Tingkat kesadaran hukum pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional relatif tinggi, hal tersebut dapat dibuktikan dengan indikator-indikator sebagai berikut: a. Sedangnya tingkat pengetahuan hukum pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional. b. Sedangnya tingkat pemahaman hukum pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap peraturan standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional. c. Positifnya sikap hukum pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap peraturan standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional. d. Sesuainya perilaku pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas dalam standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional. 65 2. Kesadaran hukum pengelola pelayanan pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas memerlukan standarisasi pelayanan. Kesadaran hukum tersebut dipengaruhi oleh faktor Pendidikan / Pengetahuan / Pemahaman, faktor Ekonomi, faktor Penegakan Hukum, faktor Budaya dan Lingkungan Sosial, serta faktor Motivasi. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, tingkat kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap standarisasi pelayanan pengobatan tradisional relatif tinggi. Namun demikian untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat maka Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas perlu meningkatkan pengaturan dan pengawasan terhadap pengelola pengobatan tradisional dan diharapkan agar pengelola pengobatan tradisional lebih meningkatkan lagi tingkat pelayanannya sesuai dengan standarisasi pelayanan. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas juga perlu melakukan sosialisasi berkaitan diberlakukannya Undang-undang Kesehatan yang baru kepada pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas untuk menjamin keamanan, kepentingan dan perlindungan masyarakat. 66 DAFTAR PUSTAKA Literatur Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta. Ishaq. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika. Jakarta. Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta. Kerlinger, Fred N. 1987. Korelasi dan Analisis Regresi Ganda, Nur Cahaya. Jakarta. Nazir, Moh. 2005. Metodologi Penelitian, Gahalia Indonesia. Jakarta. Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin. Yogyakarta. YPB Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, JNPKKR POGI. Jakarta. Purnomo, Bambang. 1993. Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia. Jakarta. Raharjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat, Angkasa. Jakarta. Salman, Otje. 1993. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni. Bandung. Soekanto, Soerjono. 1980. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, CV. Rajawali. Jakarta. -------. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali. Jakarta. -------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta. -------. 1989. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, PT Citra Aditya Bhakti. Bandung. -------. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia. Jakarta. Syani, Abdul. 1993. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru. Jakarta. 67 Perundang-Undangan UUD Amandemen 1945 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Internet htpp://gugling.com/praktek-ponari-ditutup-selamanya.html http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081223210437AAnxc70 http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit