2. Skripsi - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup manusia karena tanpa kesehatan manusia tidak dapat beraktivitas
dengan normal, bahkan ada kata-kata bijak bahwa kekayaan tidak berarti
tanpa kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam rangka mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakan
upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu
rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di
antaranya pembangunan kesehatan. Dalam rangka peningkatan derajat
kesehataan tersebut perlu adanya hukum kesehatan yaitu rangkaian peraturan
perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medis
dan sarana medis.
Berkaitan dengan hal tersebut jaminan akan kesehatan diatur dalam
Undang-Undang
Nomor
36
Tahun
2009
tentang
Kesehatan
yang
menggantikan Undang-Undang Nomor No 23 tahun 1992. Dalam UndangUndang Kesehatan yang baru tersebut terdapat perubahan paradigma upaya
2
pembangunan kesehatan yaitu dari paradigma sakit yang begitu kental pada
Undang-Undang Kesehatan sebelumnya bergeser menjadi paradigma sehat
yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif
tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.
Usaha pelayanan kesehatan dapat ditempuh dengan cara ilmiah yaitu
melalui pengobatan kedokteran modern maupun pengobatan tradisional yang
bersumber dari berbagai latar belakang, seperti tradisional, keagamaan,
kepercayaan, atau berbagai cara yang belum terbukti secara ilmiah dengan
berbagai teknik dan perangkat pengobatan. Pengobatan tradisional tersebut
masih banyak yang belum memiliki dasar ilmiah, sehingga sulit untuk
menentukan parameter yang objektif dan penilaiannya. Dengan banyaknya
tenaga pengobatan tradisional yang tidak memiliki standar kompetensi dalam
menangani pasien dimungkinkan akan merugikan masyarakat.
Kontroversi pengobatan tradisional yang akhir-akhir ini sedang marak,
yaitu munculnya Ponari yang menarik perhatian ribuan pasien yang berobat.
Pengelola pengobatan Ponari ini dilakukan sejak 11 Januari 2009. Selama ini
pro dan kontra bermunculan dimana orang-orang yang bisa berfikir rasional
menginginkan aparat bertindak tegas menutup pengelola pengobatan dengan
media batu itu. Apalagi pengelola itu secara langsung maupun tidak langsung
telah mengakibatkan lima orang meninggal dunia dan tidak sedikit dari
mereka yang berobat justru penyakitnya bertambah parah. Disisi lain banyak
juga elemen masyarakat yang menginginkan pengelola pengobatan Ponari
3
tidak ditutup, karena dipercaya bahwa Ponari mampu menyembuhkan keluhan
penyakit yang diderita pasien. Berdasar pada pertimbangan kerugian yang
diderita oleh masyarakat akibat pengobatan tradisional tersebut Muspida dan
Kapolres baru Jombang, AKBP Tomsi Tohir mengambil tidakan tegas
menutup
secara
resmi
pengelola
pengobatan
tradisional
Ponari.
(http://gugling.com/praktek-ponari-ditutup-selamanya. html).
Standar kompetensi dalam melayani kesehatan masyarakat merupakan
hal yang harus dipenuhi bagi penyelenggara pelayanan kesehatan sebagaimana
diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa “Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan
masyarakat harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat
yang dibutuhkan.”
Pada pengobatan kedokteran modern, telah dilakukan pengaturan,
standarisasi, dan pengawasan oleh pemerintah melalui Pasal 182 UndangUndang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Menteri
melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara
kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan
upaya kesehatan“. Sedangkan pada pengobatan tradisional belum banyak
pengaturan dan standarisasi yang diatur dalam perundang-undangan.
Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah hanya sebatas pada
pendaftaran saja.
4
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas
tanggal 25 Juni 2009 terlihat masih banyak sarana atau tenaga pengobatan
tradisional yang tidak terdaftar di Dinas Kesehatan yakni sejumlah 27
pengobatan tradisional (Wawancara dengan staff Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas).
Dengan tidak adanya pengaturan standarisasi, dan pengawasan yang
memadai dari Pemerintah terhadap pengelola pengobatan tradisional
menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum yang memadai bagi para
penggunanya jika terdapat penyimpangan.
Pada dasarnya hukum diadakan berfungsi untuk menertibkan dan
mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul. Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana penunjang
perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh dapat
dilakukan dengan cara :
1. Peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional.
2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya
masing-masing.
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
4. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para
penguasa dan para pejabat pemerintahan ke arah penegak hukum, keadilan
terhadap perlindungan harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta
kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. (C.S.T
Kansil,1986:547).
5
Bertolak dari langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka fungsi
hukum
sebagai
sarana
penunjang
perkembangan
modernisasi
dan
pembangunan yang menyeluruh khususnya pada poin ke empat di atas, maka
dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan
kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan khususnya
bagi pengelola pengobatan tradisional. Tingkat kesadaran hukum pengelola
pengobatan tradisional akan mempengaruhi penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukumnya maka akan semakin
baik pula pemberian pelayanan kepada pasien. Sehingga di dalam pelayanan
yang baik akan terdapat jaminan perlindungan hukum bagi pasien.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa tujuan pembangunan
kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Selanjutnya
dalam Penjelasan Pasal tersebut diuraiakan bahwa mewujudkan derajat
kesehatan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan keadaan kesehatan
yang lebih baik dari sebelumnya. Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
mungkin dapat dicapai pada suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta
kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat. Upaya kesehatan
harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus agar masyarakat
6
yang sehat sebagai investasi dalam pembangunan dapat hidup produktif secara
sosial dan ekonomis.
Di dalam undang-undang kesehatan tersebut juga mengatur tentang
kewajiban bagi siapapun untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Dinyatakan
bahwa
“Setiap
orang
berkewajiban
ikut
mewujudkan,
mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan,
upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.”
Peningkatan kesehatan masyarakat tidak lepas dari peranan hukum,
karena hukum mengatur tata cara dalam palayanan kesehatan. Di dalam
hukum sendiri terdapat kesadaran hukum yang merupakan kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia yang ada atau tentang hukum
yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang
fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian
yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan (Soerjono Soekanto,
1977:152). Ada 4 (empat) indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan
hukum, pemahaman hukum, perilaku hukum, dan sikap hukum.
Masalah kesadaran hukum masyarakat berkaitan dengan berfungsinya
hukum itu dalam masyarakat. Oleh karena itu di dalam pelaksanaan hukum
tersebut masyarakat dituntut untuk sadar terhadap hukum, sehingga dapat
diketahui efektivitas hukum itu bagi masyarakat.
7
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam
masalah tersebut dan merumuskan dalam judul “Pengobatan Tradisional
(Studi Tentang Kesadaran Hukum Pengelola
Pengobatan Tradisional
Terhadap Standarisasi Pelayanan Kesehatan Di Kabupaten Banyumas)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan
masalah yang akan dikaji adalah :
1. Bagaimana tingkat kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional
terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas?
2. Mengapa
kesadaran hukum
pengelola
pengobatan
tradisional
di
Kabupaten Banyumas diperlukan standarisasi pelayanan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum Pengelola pengobatan
tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas.
2. Untuk menjelaskan kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di
Kabupaten Banyumas memerlukan standarisasi pelayanan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan tingkat kesadaran
hukum Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi
pelayanan.
8
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian
sejenis yang akan datang sekaligus sebagai pembanding terhadap
penelitian-penelitian sejenis yang telah ada sebelumnya.
2. Kegunaan Praktis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan-bahan
pertimbangan dalam rangka pemupukan kesadaran hukum pada
Pengelola pengobatan khususnya yang berkaitan dengan Pengelola
pengobatan tradisional.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
pada instansi yang berwenang dalam rangka pembinaan dan
pengawasan Pengelola pengobatan tradisional.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum
1. Definisi Hukum
Hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyelesaian
sengketa, tetapi juga mengatur kehidupan manusia secara luas. Baik dalam
lapangan yang sifatnya individual (privat) maupun yang sifatnya
komunal/umum (public). Hukum adalah seperangkat aturan/norma yang
memiliki kekuatan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh
Negara/aparat penyelenggara Negara. Hukum berisi seperangkat aturan
yang mengatur kehidupan manusia. Hukum diciptakan untuk melindungi
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah
nilai-nilai penghormatan atas jiwa, tubuh, harta, kehormatan dan
kemerdekaan.
Hal ini akan berdampak pada semangat dan kesadaran masyarakat
untuk mentaati hukum. Tanpa adanya kesadaran masyarakat, maka hukum
hanya akan menjadi aturan semata dan tidak akan berfungsi sempurna
dalam masyarakat. Permasalahan mengenai berfungsi tidaknya hukum
dalam masyarakatat adalah permasalahan mengenai kesadaran hukum
masyarakat.
10
Hukum diartikan oleh Aristoteles adalah particular law is that
which each community lays down and aplies to its own member. Universal
law is the law of nature. Sedangkan Grotius mengartikan hukum sebagai
Law of moral action obliging to that which is right (CST Kansil, 1989 :
14).
Menurut Leon Duguit: “hukum ialah aturan tingkah laku para
anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaanya pada saat tertentu di
indahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan kepentingan bersama dan
yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang
melakukan pelanggaran itu”. Sedangkan menurut Prof. Mr. E. M Meyers
dalam bukunya “De Algemene Bgrippen van het Burgerlijk Recht”
memberikan definisi hukum sebagai berikut “hukum ialah semua aturan
yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku
manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasapenguasa negara dalam melakukan tugasnya”. (C. S.T Kansil, 1986:36).
Hukum adalah seperangkat aturan atau norma yang memiliki
kekuatan sanksi yang pelaksanaanya dapat dipaksakan oleh negara/aparat
penyelenggara negara. Hukum berisi seperangkat aturan yang mengatur
sebagian besar kehidupan manusia. Hukum terdiri dari hukum tertulis dan
hukum tidak tertulis. Hukum tertulis dituangkan dalam bentuk pasal-pasal,
dalam undang-undang yang disusun secara sistematis dalam lembaran
negara, sedangkan hukum tidak tertulis bersandarkan pada nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
11
Hukum diciptakan untuk melindungi nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai penghormatan
atas jiwa, tubuh, harta, kehormatan dan kemerdekaan. Kegiatan manusia
amat banyak dan hukum itu sendiri sudah dipastikan tidak mampu untuk
mengakomodir atau melindungi dan mengatur seluruh kegiatan manusia
ini. Menurut Max Weber untuk berlakunya suatu hukum harus terdapat
alat pemaksa dalam hukum karena alat pemaksa menentukan bagi adanya
hukum.
Prof. Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah
mengatur pergaulan hidup manusia secara damai, hukum menghendaki
perdamaian. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia tertentu,
kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang
merugikannya. Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan
kepentingan golongan-golongan manusia, pertentangan kepentingan ini
dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjadi peperangan, seandainya
hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan
perdamaian. (C. S. T Kansil, 1986:42).
Kusumadi Pudjosewojo menggambarkan bahwa hukum pertalian
dengan adanya manusia dan manusia merupakan kesatuan yang melakukan
tindakan-tindakan untuk memenuhi segala apa yang berharga bagi
hidupnya karena dorongan batin. Menurut Lon Fuller menyatakan bahwa
12
hukum itu sebagai usaha untuk tujuan tertentu. Penekanan disini adalah
pada usaha, maka dengan sendirinya mereka mengandung resiko
kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energi, wawasan,
intelegensi, dan kejujuran dari mereka yang harus menjalankan hukum itu
(Raharjo, 1986 : 22).
2. Fungsi hukum
Salah satu fungsi hukum adalah sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Di samping itu maka hukum sebagai tata kaidah dapat
berfungsi sebagai sarana untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan
warga-warga masyarakat ketujuan yang dikehendaki oleh perubahan yang
terencana tersebut. Dari hal tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa
hukum sebagai alat perubahan masyarakat (a tool of sosial engineering).
Dari pendapat tersebut juga dapat disimpulkan bahwa hukum adalah
pengendali utama kegiatan masyarakat dalam suatu negara hukum.
Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya
tidak memerlukan banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah
disifatkan sebagai kaedah, yaitu pedoman perilaku, yang menyiratkan
perilaku yang seyogiannya atau diharapakan diwujudkan oleh masyarakat
apabila warga masyarakat melakukan sesuatu kegiatan yang diatur oleh
hukum (Ishaq, 2007:11).
13
Fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:
1. Pengawasan/pengendalian sosial (social control)
2. Penyelesaian sengketa (dispute settlement)
3. Rekayasa sosial (social engineering)
Thoe
Huijbers,
menyatakan
bahwa
fungsi
hukum
ialah
memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak
manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Peters sebagaimana
dikutip oleh Ronny Hanityo Soemitro, bahwa fungsi hukum itu terdapat
tiga perspektif, yaitu:
a.
Perspektif kontrol sosial daripada hukum. Tujuan ini disebut tujuan
dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the policemen
view of the law).
b.
Perspektif sosial engineering merupakan tinjauan yang dipergunakan
oleh para pejabat (the officials perspective of the law) dan karena
pusat perhatiannya adalah apa yang diperbuat oleh pejabat/penguasa
dengan hukum.
c.
Perspektif emansipasi masyarakat daripada hukum. Perspektif ini
merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s up view
of the law).
14
Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum di atas,
dapat disusun fungsi-fungsi hukum sebagai berikut:
1.
Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berperilaku.
2.
pengawasan atau pengendalian sosial (social control).
3.
penyelesaian sengketa (dispute setllement).
4.
rekayasa sosial (social engineering). (Ishaq, 2002:11).
Pengendalian sosial dari hukum, pada dasarnya dapat diartikan
suatu sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga
masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum. Dengan kata lain, dari
sudut sifatnya dapat dikatakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat
preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu usaha untuk
mencegah terjadinya perilaku menyimpang, sedang represif bertujuan
untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.
Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa. Persengketaan atau
perselisihan dapat terjadi dalam masyarakat antara keluarga yang dapat
meretakkan hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan
bersama, yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa dapat mengenai
perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya.
Sengketa atau perselisihan itu perlu diselesaikan, adapun cara penyelesaian
sengketa dalam suatu masyarakat ada yang diselesaikan melalui lembaga
formal yang disebut pengadilan dan ada juga yang diselesaiakan sendiri
15
oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat bantuan orang yang
ada di sekitarnya.
Hukum sebagai sarana rekayasa sosial. Menurut Satjipto
Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan
dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk
mengerahkan pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan
yang dipandang tidak sesuai lagi menciptakan pola-pola kelakuan baru dan
sebagainya. Dengan demikian hukum dijadikan sebagai sarana untuk
melakukan perubahan masyarakat. (Ishaq, 2002:12).
3. Kesadaran Hukum
Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri wargawarga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya
hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses
penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses
tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar
sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran
warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak
ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang
dicita-citakan atau dikehendaki bahwa ada keserasian proporsional antara
pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan
kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis (Soerjono Soekanto,
1977:145).
16
Masalah yang sama juga terungkapkan oleh ajaran-ajaran yang
berpendapat pokok, bahwa sahnya hukum ditentukan oleh kesadaran
kelompok sosial. Apa yang penting adalah kesungguhan daripada tekanantekanan sosial yang ada di belakang peraturan-peraturan, hal mana
menyebabkan timbulnya faktor ketaatan terhadapnya. Bahkan kemudian
dinyatakan, bahwa pembentukan hukum harus didasarkan pada tata
kelakuan yang ada dan agar pembentukan hukum mempunyai kekuatan,
maka proses tersebut harus konsisten dengan tata kelakuan tersebut.
Apabila pembentuk hukum menerbitkan peraturan-peraturan yang tidak
cocok dengan kesadaran atau perasaan masyarakat, maka diharapkan akan
timbul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar
pertentangan antara peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit
untuk menerapkannya.
Menurut Soerjono Soekanto, kesadaran hukum adalah konsepsi
abstrak dalam diri manusia tentang keserasian antara ketertiban dengan
ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya (Soerjono Soekanto,
1982:159).
Indikator kesadaran hukum meliputi :
a. Pengetahuan Hukum
Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai
beberapa perilaku yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut
berkaitan dengan perilaku yang dilarang maupun perilaku yang
17
diperbolehkan oleh hukum sebagaimana dapat dilihat dalam masyarakat
bahwa seseorang mengetahui membunuh, mencuri, dan seterusnya
dilarang oleh hukum. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan
asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan
manakala peraturan tersebut di undangkan (Otje Salman, 1993:40).
b. Pemahaman Hukum
Pemahaman hukum dalam arti disini adalah sebanyak informasi
yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum
tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum merupakan suatu
pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu
hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi
pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut (Otje Salman,
1993:41).
Kebanyakan warga masyarakat tidak mengetahui adanya suatu
peraturan, akan tetapi mengetahui isinya dengan sistem nilai-nilai yang
berlaku halmana disebabkan karena adanya proses internalisasi.
Di dalam hal ini seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh
karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan, yang
hasilnya adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi
secara intrinsik yang pusat kekuatannya terletak pada kepercayaan
warga masyarakat terhadap tujuan kaedah-kaedah hukum bersangkutan
(Soerjono Soekanto, 1977:241).
18
c. Perilaku Hukum
Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran
hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturaan berlaku atau
tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh
kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum
dalam masyarakat (Otje Salman, 1993:42).
Perikelakuan hukum merupakan setiap perikelakuan teratur
yang bertujuan untuk mencapai keserasian antara ketertiban dengan
kebebasan. Dapat diduga bahwa setiap perikelakuan yang sesuai dengan
hukum merupakan salah satu kriteria akan adanya kepatuhan atau
ketaatan hukum yang cukup tinggi, sehingga pola perikelakuan hukum
merupakan hal yang identik dengan kepatuhan hukum. Pola
perikelakuan hukum merupakan kriterium kepatuhan apabila warga
masyarakat berperikelakuan demikian, oleh karena proses internalisasi
di mana hukum ternyata sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh para
warga masyarakat tersebut (Soerjono Soekanto, 1977:247).
d. Sikap Hukum
Suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya
suatu penghargaan terhadap hukum sebagai seseuatu yang bermanfaat
atau menguntungkan jika hukum ditaati. Sebagaimana terlihat disini
bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di
masyarakat (Otje Salman, 1993:42).
19
Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran
hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturaan berlaku atau
tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh
kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum
dalam masyarakat (Otje Salman, 1993:42).
B. Pengobatan Tradisional
1. Definisi Pengobatan Tradisional
Sehat menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah keadaan baik
seluruh badan serta bagian-bagiannya (bebas dari rasa sakit); waras.
Menurut World Health Organization (WHO) definisi sehat adalah
a state of completely physical, mental, and social well being and not merly
the absent of disease or infirmity (Suatu keadaan yang sempurna baik
fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan)
(http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081223210437AAnxc
70).
Definisi WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang
dapat meningkatkan konsep sehat yang positif :
1. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh.
2. Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan
eksternal.
3. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.
(http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehatsakit)
20
Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945
bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat setiap warga Negara dan bahwa
kesehatan merupakan hak asasi manusia maka pembangunan bidang
kesehatan harus dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan taraf hidup
masyarakat terutama taraf kesehatannya. Pengobatan tradisional tidak
lepas dari peranan dalam meningkatkan taraf kesehatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
terdapat 3 (tiga) pasal yang mengatur Pelayanan Tentang Kesehatan
Tradisional, yaitu :
Pasal 59
1. Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional
terbagi menjadi :
a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan;
dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
2. Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma
agama.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan
kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
21
Pasal 60
1. Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga
kesehatan yang berwenang.
2. Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta
tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.
Pasal 61
1. Masyarakat
diberi
mengembangkan,
kesempatan
meningkatkan
yang
dan
seluas-luasnya
menggunakan
untuk
pelayanan
kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
2. Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan didasarkan pada
keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat.
Untuk mencapai pengobatan tradisional yang memiliki kualitas
maka perlu diadakannya standarisasi. Standarisasi tersebut
standar pemberian pelayanan, standar tenaga medis dan perizinan.
meliputi
22
2. Mutu Pelayanan Kesehatan
Dalam menyelenggarakan program pelayanan kesehatan perlu
dipahami apa yang dimaksud mutu pelayanan kesehatan. Untuk ini banyak
batasan yang dikenal. Beberapa diantaranya yang dipandang cukup
penting adalah sebagai berikut:
a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan dan penampilan sesuatu yang
diamati.
b. Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program.
c. Mutu adalah totalitas dan wujud serta ciri suatu barang atau jasa yang
didalamnya
terkandung sekaligus
pengertian
rasa
aman atau
pemenuhan kebutuhan para pengguna.
d. Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (YPB
Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 21).
Dari keempat batasan ini, untuk pelayanan kesehatan hanya dapat
diketahui apabila sebelumnya telah dilakukan penilaian. Dalam praktek
sehari-hari melakukan penilaian ini tidaklah mudah. Penyebab utamanya
adalah karena mutu pelayanan kesehatan tersebut bersifat multi
dimensional. Tiap orang, tergantung latar belakang dan kepentingan
masing-masing, dapat saja melakukan penilaian dan dimensi yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Roberts dan Prevost telah berhasil
membuktikan adanya perbedaan dimensi tersebut:
a.
Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan
23
lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan
pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, keperihatinan
serta keramahtamahan petugas dalam melayani pasien, dan atau
kesembuhan penyakit yang sedang diderita oleh pasien.
b.
Bagi penyelenggara kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait
pada dimensi kesesuaian pelayanan kesehatan yang diselenggarakan
dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan atau otonomi
profesi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien (YPB Sarwono Prawirohardjo. 2002:21).
Mengatasi perbedaan dimensi ini telah diperoleh kesepakatan
bahwa dalam membicarakan mutu pelayanan kesehatan, pedoman yang
dipakai adalah hakekat dasar dari diselenggarakannya pelayanan kesehatan
tersebut. Untuk ini mudah dipahami bahwa hakekat dasar yang dimaksud
tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesehatan para
pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang apabila berhasil dipenuhi akan
menimbulkan
rasa
puas
terhadap
pelayanan
kesehatan
yang
diselenggarakan. Dengan kesepakatan ini, disebutkan dengan mutu
pelayanan kesehatan adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pasien.
Semakin sempurna kepuasan tersebut, semakin baik pula mutu pelayanan
kesehatan.
24
Sekalipun pengertian mutu yang terkait dengan kepuasan telah
diterima secara luas, namun penerapannya tidaklah semudah yang
diperkirakan. Masalah pokok yang ditemukan ialah karena kepuasan
tersebut hanya bersifat subyektif. Tiap orang, tergantung dan latar
belakang yang dimiliki dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang
berbeda-beda. Disamping itu sering pula ditemukan pelayanan kesehatan
yang telah memuaskan pasien, namun karena penyelenggaraanya tidak
sesuai dengan standar sulit disebut sebagai pelayanan kesehatan yang
bermutu.
Mengatasi masalah ini, telah disepakati bahwa pembahasan tentang
kepuasan pasien yang diakitkan dengan mutu pelayanan kesehatan,
bukanlah pembahasan yang bersifat luas melainkan mengenal dua
pembatasan:
a. Pembatasan pada derajat kepuasan pasien.
Untuk menghindari subyektifitas ditetapkanlah bahwa yang dimaksud
kepuasan disini, sekalipun orientasinya tetap individual, tetapi ukuran
yang dipakai adalah kepuasan rata-rata penduduk. Dalam perkataan
lain, suatu pelayanan kesehatan dinilai bermutu apabila pelayanan
kesehatan tersebut memuaskan pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata
penduduk.
b. Pembatasan pada upaya yang dilakukan.
Untuk melindungi kepentingan pemakai jasa pelayanan kesehatan yang
25
pada umumnya awam terhadap tindakan kedokteran, dilakukanlah
upaya untuk menimbulkan kepuasan tersebut harus sesuai dengan
standar pelayanan kesehatan. Suatu pelayanan kesehatan, sekalipun
dapat memuaskan pasien, tetapi apabila diselenggarakannya tidak
sesuai dengan standar pelayanan, bukanlah pelayanan kesehatan
bermutu.
Bertitik tolak dari adanya dua pembatasan ini, dapatlah dirumuskan
apa yang disebut mutu pelayanan kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan
menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang disatu
pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan
tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta di pihak lain tata cara
penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan yang telah
ditetapkan.
3. Standarisasi Kesehatan
Telah disebutkan bahwa masalah mutu akan muncul apabila
ditemukan penyimpangan terhadap standarisasi yang telah ditetapkan.
Dengan demikian untuk dapat melaksanakan mutu pelayanan kesehatan
yang baik perlu dipahami lebih lanjut mengenai standar tersebut. Untuk
mencapai pengobatan tradisional yang memiliki kualitas maka perlu
diadakannya standarisasi.
Pengertian mengenai sandarisasi kesehatan diatur dalam Pasal 55
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang
26
menyatakan bahwa standarisasi kesehatan adalah batasan-batasan yang
harus dipenuhi untuk mencapai penyelenggaraan kesehatan yang optimal.
Standarisasi tersebut meliputi standar pemberian pelayanan, standar tenaga
medis dan perizinan.
Yang dimaksud dengan standar adalah :
a. Keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang
dipergunakan sebagai batas penerimaan.
b. Kisaran variasi yang masih dapat diterima.
c. Spesifikasi dan fungsi atau tujuan yang harus dipenuhi oleh suatu
sarana pelayanan kesehatan agar pemakai jasa pelayanan kesehatan
dapat memperoleh keuntungan yang maksimal dari pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan.
d. Rumusan tentang penampilan atau nilai diinginkan yang mampu
dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan (YPB
Sarwono Prawirohardjo, 2002 : 22).
Jika diperhatikan keempat batasan ini sekalipun rumusannya
berbeda, namun pengertian yang terkandung didalamnnya adalah sama.
Standar menunjuk pada tingkat ideal tercapai yang diinginkan. Lazimnya
ukuran tingkat ideal tercapai tersebut tidaklah disusun terlalu kaku,
melainkan dalam bentuk maksimal atau minimal (range). Penyimpangan
yang terjadi, tetapi masih dalam batas-batas yang dibenarkan disebut
dengan nama toleransi.
27
Memandu para pelaksana pelayanan kesehatan agar tetap
berpedoman pada standar yang telah ditetapkan, disusunlah protokol.
Protokol (pedoman, petunjuk pelaksanaan) adalah suatu pernyataan tertulis
yang disusun secara sistematis dan yang dipakai sebagai pedoman pada
waktu menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Semakin dipatuhi protokol
tersebut, semakin tercapai standar yang telah ditetapkan. Untuk mengukur
tercapai atau tidaknya standar, dipergunakanlah indikator. Indikator (tolok
ukur) menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah
ditetapkan. Semakin sesuai sesuatu yang diukur dengan indikator, semakin
sesuai pula keadaannya dengan standar yang telah ditetapkan (Sarwono
Prawirohardjo, 2002 : 23).
4.
Ketentuan Pidana
Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam
rangka menunjang peningkatan kesehatan yang cukup aman, bermutu,
perlu adanya sanksi tegas yang mengatur pengelola pengobatan
tradisional. Salah satu pasal yang mengatur mengenai praktek pengelolaan
pengobatan tradisional yaitu Pasal 191 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan : ”Setiap orang yang tanpa izin melakukan
pengelola pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan
teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif kualitatif dengan
pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian hukum sosiologis mengikuti
penelitian ilmu-ilmu sosial yang lain berusaha melakukan “theory building”,
yaitu menemukan “middle range theories” dan membangun “grand theories”.
Penelitian hukum sosiologis memberikan arti penting pada langkah-langkah
observasi dan analisis yang bersifat empiris kuantitatif (Ronny Hanitijo
Soemitro, 1988 : 35).
Pendekatan kuantitatif antara aktifitas pengumpulan data dengan
aktifitas analisis benar-benar dituntut pilahnya secara jelas. Pada pendekatan
ini dilakukan pembakuan instrument, sehingga pemisahan subyek peneliti
dengan subyek responden merupakan keharusan (Noeng Muhadjir, 1996 : 29).
Pada pendekatan kualitatif data yang disajikan dalam bentuk kata
verbal bukan dalam bentuk angka. Data dalam kata verbal sering muncul
dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama atau sebaliknya. Data
kata verbal yang beragam tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas dan
sistematis. Olahan tersebut mulai dari menuliskan hasil observasi, wawancara,
atau rekaman, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, dan menyajikan (Noeng
Muhadjir, 1996 : 32).
29
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yang berusaha untuk
menggambarkan secara rinci fenomena sosial melalui perhitungan secara
statistik. Deskripsi disini bukan dalam arti sempit karena akan memberi
gambaran tentang fenomena yang ada yang dilakukan sesuai dengan metode
penelitian dan fakta-fakta yang ada digambarkan dengan suatu interpretasi,
evaluasi, dan pengetahuan karena fakta tidak akan mempunyai arti tanpa
interpretasi, evaluasi, dan pengetahuan umum.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Pengelola pengobatan tradisional yang
ada di Kabupaten Banyumas.
D. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua data agar tercapai
kelengkapan dan keterpaduan data, yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang dapat memberikan informasi secara
langsung mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan objek penelitian.
Dalam penelitian ini data primer berasal dari informasi yang diperoleh
dari penyelenggara Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten
Banyumas melalui angket dan wawancara.
30
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer. Bahan ini diperlukan untuk melengkapi bahan hukum
primer, adalah :
1. Rancangan peraturan perundang-undangan
2. Hasil karya ilmiah para sarjana
3. Hasil-hasil penelitian
Data sekunder ini terdiri dari:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki suatu otoritas
mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar,
peraturan perundangan, catatan resmi lembar Negara penjelasan,
putusan hakim dan yurisprudensi. Pada penelitian ini digunakan bahan
hukum yang berkaitan yaitu Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari studi pustaka dan
hasil penelitian di bidang ilmu hukum, literatur-literatur, surat edaran,
dan sumber lain yang akan diteliti.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Ronny
Hanitijo Soemitro, 1988 : 12).
31
E. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan metode sebagai berikut:
a. Data primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode angket dan
wawancara. Angket berupa blanko daftar pertanyaan yang berkaitan
dengan
pokok
permasalahan.
Untuk
melengkapi
data
dilakukan
wawancara secara mendalam (depth interview) terhadap informan.
a. Data sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap
bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang berhubungan dengan objek
yang diteliti.
F. Metode Pengambilan Sampel
Sampel diambil menggunakan metode Probability Sampling dengan
metode Simple Random Sampling yaitu bahwa semua elemen dalam populasi
mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel (Burhan Ashofa,
2004:80). Dalam penelitian ini sampel dipilih dari pengelola pengobatan
alternatif yang terdapat di kabupaten Banyumas sebanyak 50 buah. Dari
jumlah tersebut kemudian diambil sampel sabanyak 30 responden.
Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah
dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang
merupakan ciri-ciri utama populasi
32
b. Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek
yang paling banyak mengandung cirri-ciri yang terdapat pada populasi
c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi
pendahuluan (Ronny Hanitijo Soemitro, 1988 : 51).
G. Metode Pengolahan Data
Dalam penelitian ini akan digunakan metode pengolahan data dengan
tekhnik sebagai berikut :
1. Editing artinya memerilsa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk
menjamin apakah sudah dapat dipertanggung jawabkan.
2. Coding artinya mengkategorikan data dengan cara memberikan kode-kode
atau simbol-simbol menurut kriteria yang diperlukan.
3. Tabulasi artunya memindahkan data dari daftar pertanyaan ke dalam tabeltabel yang telah dipersiapkan.
H. Metode Penyajian Data
Dalam penelitian ini diajukan beberapa pertanyaan kesadaran hukum,
pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, perilaku hukum. Dari
setiap pertanyaan diberikan nilai 1-3 berdasarkan jawaban yang diperoleh
responden, kemudian setelah diketahui nilai masing-masing indikator
kesadaran hukum maka dicarilah interval kelas dengan menggunakan rumus
sebagai berikut (Nazir, 2005 : 23) :
I=
R
K
33
I = besarnya interval kelas
R = range (nilai tertinggi – nilai terendah)
K = jumlah kelas yang dikehendaki
Sedangkan pada data kuantitatif atas karakteristik datanya yang kata
verbal menjadi memerlukan olahan mulai dari mengedit sampai menyajikan
dalam keadaan ringkas, dan dikerjakan di lapangan. Dalam hal ini data
kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi sederhana untuk menampilkan
tingkat kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional terhadap
standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas, adapun penyajian data
kualitatif berbentuk tabel matrik guna menguraikan alasan dari pengelola
pengobatan tradisional menggunakan standarisasi pelayanan yang sesuai.
Kedua data yang diperoleh akan disajikan secara sistematis dan
terperinci, sehingga dapat menggambarkan secara jelas pokok penelitian
secara utuh dan menyeluruh.
I. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif kualitatif melalui
proses analisis yang meliputi :
1. Reduksi data atau ringkasan data, yaitu proses pemilihan penyederhanaan
kemudian pengambilan inti dari data kasar yang muncul dari catatan di
lapangan.
2. Sajian data, yaitu penyajian data secara tertulis berdasarkan data-data yang
berhasil dikumpulkan dari penelitian dalam bentuk teks naratif untuk
34
menjadi informasi yang bermakna dan disajikan dalam bentuk uraianuraian yang sistematis, logis, rasional sesuai dengan alur permasalahan
yang diteliti.
3. Menarik kesimpulan atau verifikasi
Penarikan kesimpulan atas pola keteraturan yang ada, dibuat prediksiprediksi atas kemungkinan pengembangan selanjutnya.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Tingkat Kesadaran Hukum Pengelola pengobatan Tradisional Terhadap
Standarisasi Pelayanan di Kabupaten Banyumas.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah
konsepsi-konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara
ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya (Soerjono
Soekanto, 1982:159). Tingkat kesadaran hukum seseorang menurut Soerjono
Soekanto dapat dilihat dari empat indikator, indikator dari kesadaran hukum
tersebut adalah ( Soerjono Soekanto, 1982:2 29) :
1.
2.
3.
4.
Pengetahuan hukum, artinya bahwa seseorang mengetahui perilaku
tertentu diatur oleh hukum.
Pemahaman hukum, artinya bahwa seseorang mempunyai
pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu,
terutama mengenai isinya.
Sikap hukum, artinya bahwa seseorang mempunyai kecenderungan
untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum.
Perilaku hukum, artinya bahwa seseorang berprilaku sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Tingkat
kesadaran
hukum
manusia
dalam
kehidupannya
dapat
dicontohkan dalam standarisasi pelayanan kesehatan. Kebanyakan masyarakat
Indonesia sering mengabaikan standarisasi pelayanan kesehatan yang telah diatur
oleh undang-undang. Banyak kasus yang terjadi karena tidak standarnya
pelayanan kesehatan maka menimbulkan permasalahan seperti mal praktek dan
masalah lainnya. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 36 Tahun
36
2009 Tentang Kesehatan bahwa pengobatan tradisional perlu adanya pembinaan
pengawasan untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan dan atau perawatan
cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk digunakan dalam
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat sehingga
diharapkan dengan adanya pembinaan dan pengawasan yang memadai maka
pengobatan tradisional tidak akan merugikan masyarakat.
Dalam penelitian ini untuk mengetahuai tingkat kesadaran hukum
penyedia Pengelola pengobatan tradisional (responden) terhadap standarisasi
pelayanan di Kabupaten Banyumas dapat diketahui dengan mengetahui tingkat
masing-masing indikator kesadaran hukum yaitu:
1.
Pengetahuan hukum responden terhadap peraturan kesehatan, terutama
pengetahuan mengenai kualifikasi tenaga medis, penggunaan obat tradisional,
dan pengetahuan mengenai tanggung jawab tenaga kesehatan yang terdapat
dalam ketentuan tentang standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub
dalam Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan
hal tersebut akan diketahui tingkat pengetahuan hukum responden yang
didasarkan pada jawaban responden.
2.
Pemahaman hukum responden terhadap peraturan kesehatan, terutama
pemahaman mengenai kualifikasi tenaga medis, penggunaan obat tradisional,
dan pemahaman mengenai tanggung jawab tenaga kesehatan yang terdapat
37
dalam ketentuan standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub dalam
Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal
tersebut akan diketahui tingkat pemahaman hukum responden yang
didasarkan pada jawaban responden.
3.
Sikap hukum responden terhadap peraturan kesehatan terutama sikap
terhadap adanya peraturan yang mengatur mengenai standarisasi pelayanan
kesehatan, sikap terhadap pengenaan sanksi pada pelanggaran peraturan
kesehatan, sikap terhadap ketentuan-ketentuan penggunaan alat dan obat
tradisional, dan sikap terhadap ketentuan izin praktek yang terdapat dalam
ketentuan tentang standarisasi pelayanan kesehatan yang termaktub dalam
Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal
tersebut akan diketahui tingkat sikap hukum responden yang didasarkan pada
jawaban responden.
4.
Perilaku hukum terhadap peraturan kesehatan terutama kesesuaian perilaku
dengan ketentuan yang mengatur tentang standarisasi kesehatan, kesesuaian
perilaku dengan ketentuan yang mengatur tentang penggunaan alat dan obat
tradisional, kesesuaian perilaku dengan ketentuan yang mengatur tentang
perizinan praktek dan kesesuaian perilaku dengan ketentuan yang mengatur
tentang tanggung jawab pelaku medis terhadap pasien yang terdapat dalam
Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, jadi berdasarkan hal
tersebut akan diketahui tingkat perilaku hukum responden yang didasarkan
pada jawaban responden.
38
Tingkat masing-masing indikator kesadaran hukum tersebut dapat
diketahui dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh responden. Adapun
pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 40 pertanyaan tentang
kesadaran hukum yang terdiri dari unsur pengetahuan hukum sebanyak 10
pertanyaan, unsur pemahaman hukum sebanyak 10 pertanyaan, unsur sikap
hukum sebanyak 10 pertanyaan dan unsur perilaku hukum sebanyak 10
pertanyaan. Dari setiap pertanyaan akan diberikan nilai antara 1-3 berdasarkan
jawaban yang diberikan oleh responden. Nilai dari masing-masing indikator
kesadaran hukum dan nilai kesadaran hukum dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
39
Tabel 1.
Distribusi Nilai Masing-masing Indikator Kesadaran Hukum dan
Nilai Kesadaran Hukum
Pengetahuan
Hukum
Pemahaman
Hukum
Sikap Hukum
Perilaku
Hukum
Kesadaran
Hukum
1
12
22
28
27
89
2
13
27
30
29
99
3
11
20
30
28
89
4
15
27
30
30
102
5
11
25
30
29
95
6
11
25
30
29
95
7
15
27
30
29
101
8
14
26
30
29
99
9
15
27
30
29
101
10
10
28
30
27
95
11
15
27
30
29
101
12
14
27
30
30
101
13
14
25
30
29
93
14
15
27
28
29
99
15
14
26
30
28
98
16
15
30
30
30
105
17
11
25
30
29
95
18
14
26
30
29
99
19
15
26
27
29
97
No
40
20
14
25
30
30
99
21
14
25
30
29
98
22
14
25
25
25
89
23
13
28
30
29
100
24
9
21
30
17
77
25
13
28
23
26
90
26
14
20
30
27
91
27
10
27
28
29
94
28
13
25
30
28
96
29
14
26
30
27
97
30
12
21
28
22
83
Sumber : Data primer yang diolah
Setelah diketahui nilai masing-masing indikator kesadaran hukum dan
nilai kesadaran hukum, maka tingkat masing-masing indikator kesadaran hukum
dan tingkat kesadaran hukum dapat diketahui dengan terlebih dahulu menentukan
interval klas.
I=
R
K
I = Besarnya interval klas
R = Range (nilai tertinggi – nilai terendah )
K = Jumlah klas yang dikehendaki
Tabel 1 kolom 1 di atas memperlihatkan dalam unsur pengetahuan hukum
dalam Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan
41
responden, nilai tertinggi yang diperoleh responden adalah 15 dan yang terendah
adalah 9. Apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat, yaitu
pengetahuan hukum responden dalam Pengelola pengobatan tradisional terhadap
standarisasi pelayanan tinggi, pengetahuan hukum responden Pengelola
pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan sedang, dan pengetahuan
hukum responden dalam standarisasi pelayanan dalam peraktek pengobatan
tradisional rendah, maka interval klasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut
diatas sebagai berikut :
15 -9
i=
3
i=
2
Dengan demikian besarnya interval klas tingkat pengetahuan hukum
responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah
2, sehingga dapat dikategorikan unsur pengetahuan hukum sebagai berikut:
1.
Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional rendah, intervalnya antara nilai 9 – 11.
2.
Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional sedang, intervalnya antara nilai 12 – 14.
3.
Pengetahuan hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional tinggi, intervalnya adalah >15.
Tabel 1 kolom 2 di atas memperlihatkan dalam unsur pemahaman hukum
responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, nilai
tertinggi di peroleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh
42
responden adalah 20. Apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat,
yaitu pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional tinggi, pemahaman hukum responden dalam standarisasi
pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, dan pemahaman hukum
responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional rendah,
maka interval kelasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas sebagai
berikut:
30 - 20
i=
3
i=
3,33 dibulatkan menjadi 3
Dengan demikian besarnya interval klas tingkat pemahaman hukum
responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah
3, sehingga dapat dikategorikan unsur pemahaman hukum responden dalam
standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sebagai berikut:
1.
Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional rendah, interval antara nilai 20 – 23
2.
Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional sedang, interval antara nilai 24 – 27
3.
Pemahaman hukum responden dalam standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional tinggi, interval antara nilai 28 – 30
Tabel 1 kolom 3 di atas memperlihatkan dalam unsur sikap hukum
responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, nilai
43
tertinggi yang di peroleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh
responden adalah 23. Apabila jumlah kelas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat
yaitu sikap setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional, sikap kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional, dan sikap tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional, maka interval klasnya dapat dihitung dengan
rumus diatas sebagai berikut:
30 - 23
i=
3
i=
2,33 dibulatkan menjadi 2
Dengan demikian besarnya interval klas tingkat sikap hukum responden
terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 2,
sehingga dapat dikategorikan unsur sikap hukum responden terhadap standarisasi
pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah sebagai berikut:
1.
Sikap tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional, interval antara nilai 23 – 25
2.
Sikap kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional, interval antara nilai 26 – 28
3.
Sikap setuju terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan
tradisional, interval antara nilai 29 – 30
Tabel 1 kolom 4 di atas memperlihatkan dalam unsur perilaku hukum
responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional nilai
44
tertinggi yang diperoleh responden adalah 30 dan nilai terendah yang diperoleh
responden adalah 17. Apabila jumlah kelas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat,
yaitu perilaku hukum sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional, perilaku hukum kurang sesuai terhadap standarisasi
pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan perilaku hukum tidak sesuai
terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, maka kelasnya
dapat dihitung dengan rumus tersebut diatas sebagai berikut:
30 - 17
i=
3
i=
4,33 dibulatkan menjadi 4
Dengan demikian besarnya interval kelas tingkat perilaku responden
terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 4,
sehingga dapat dikategorikan unsur perilaku hukum sebagai berikut:
1. Perilaku hukum responden yang tidak sesuai terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 17 – 21
2. Perilaku hukum responden yang kurang sesuai terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 22 – 26
3. Perilaku hukum responden yang sesuai terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional, interval antara nilai 27 – 30
Data nilai kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional yang terdapat pada tabel 1 kolom 5 diperoleh
dengan menjumlahkan seluruh nilai indikator-indikator kesadaran hukum
45
responden terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional yaitu meliputi pengetahuan hukum responden terhadap standarisasi
pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, pemahaman hukum responden
terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sikap hukum
responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, dan
perilaku hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional.
Tabel 1 kolom 5 di atas memperlihatkan bahwa nilai tertinggi yang
diperoleh responden adalah 105 dan nilai terendah yang diperoleh responden
adalah 77, apabila jumlah klas yang ditetapkan sebanyak 3 tingkat, yaitu
kesadaran
hukum
responden
terhadap
standarisasi
pelayanan
Pengelola
pengobatan tradisional pelayanan tinggi, kesadaran hukum responden terhadap
standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional sedang, dan kesadaran
hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional rendah, maka interval kelasnya dapat dihitung dengan rumus tersebut
diatas sebagai berikut:
105 - 77
i=
3
i = 9,33 dibulatkan menjadi 9
Dengan demikian interval klas tingkat kesadaran hukum responden
terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional adalah 9,
sehingga dapat dikategorikan kesadaran hukum sebagai berikut:
46
1.
Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional rendah, interval antara nilai 77 – 86
2.
Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional sedang, interval antara nilai 87 – 96
3.
Kesadaran hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional, interval antara nilai 97 – 105
Setelah diketahui nilai dan interval klas dari kesadaran hukum, maka
tingkat kesadaran hukum dapat diketahui dalam tabel distribusi frekuensi sebagai
berikut:
Tabel 2. Kesadaran Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan
Pengelola Pengobatan Tradisional
Kesadaran
Hukum
Rendah
Interval
Klas
77-86
Frekwensi
(F)
2
Persentase
%
6,66
Sedang
87-96
12
40,00
Tinggi
97-105
16
53,34
30
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 2 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30
orang, sejumlah 2 (6,66%) responden mempunyai tingkat kesadaran hukum yang
relatif rendah terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional, sejumlah 12 orang (40,00%) responden mempunyai tingkat kesadaran
hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional, dan sejumlah 16 orang (53,34%) responden mempunyai tingkat
47
kesadaran hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan sementara
bahwa sebagian besar sampel yang terdiri dari beraneka ragam pengelola
pengobatan tradisional seperti juru pijat, dukun bayi (dukun beranak), tabib dan
lainnya memiliki kesadaran hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi
pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil
kuisioner yang diisi oleh responden dengan hasil tertinggi (53,34%). Hal ini
menunjukan para pengelola pengobatan tradisional telah mengikuti aturan,
anjuran dan arahan pemerintah Kabupaten Banyumas.
Membuktikan tingkat kesadaran hukum seperti yang terdapat pada Tabel 2
di atas, maka dapat dilihat dari masing-masing indikator kesadaran hukum yaitu
pengetahuan hukum responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional, pemahaman hukum responden terhadap standarisasi
pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, sikap hukum responden terhadap
standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional dan perilaku hukum
responden terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional. Dan
tingkat dari indikator kesadaran hukum tersebut dapat dilihat dari tabel distribusi
frekuensi sebagai berikut :
48
Tabel 3. Pengetahuan Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan
Pengelola Pengobatan Tradisional
Pengetahuan
Hukum
Rendah
Interval
Klas
9-11
Frekwensi
(F)
7
Persentase
%
23,33
Sedang
12-14
16
53,34
Tinggi
>15
7
23,33
30
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30
orang, sejumlah 7 orang (23,33%) responden mempunyai tingkat pengetahuan
hukum yang relatif rendah terhadap terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional, sejumlah 16 orang (53,34%) responden mempunyai
tingkat pengetahuan hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional, dan sejumlah 7 orang (23,33%) responden
mempunyai tingkat pengetahuan hukum yang relatif tinggi terhadap peraturan
standarisasi pelayanan kesehatan.
Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa
sebagian besar pengelola pengobatan tradisional memiliki tingkat pengetahuan
hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang diisi oleh responden
dengan hasil tertinggi (53,34%). Hal ini menunjukkan sedangnya tingkat
pengetahuan hukum pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi
pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, oleh karena itu mungkin perlunya
49
sosialisasi tentang standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional
kepada pengelola pengobatan tradisional agar pengetahuan pengelola pengobatan
tradisional terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional di
Kabupaten Banyumas lebih tinggi.
Tabel 4 . Pemahaman Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan
Pengelola Pengobatan Tradisional
Pemahaman
Hukum
Rendah
Interval
Klas
20-23
Frekwensi
(F)
5
Persentase
%
16,67
Sedang
24-27
21
70,00
Tinggi
28-30
4
13,33
30
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 4 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30
orang, sejumlah 5 orang (16,67%) responden mempunyai pemahaman hukum
yang relatif rendah terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional, sejumlah 21 orang (70,00%) responden mempunyai tingkat
pemahaman hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional, dan sejumlah 4 orang (13,33%) responden mempunyai
tingkat pemahaman hukum yang relatif tinggi terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat diambil kesimpulan sementara
bahwa sebagian besar pengelola pengobatan tradisional memiliki tingkat
pemahaman hukum yang relatif sedang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
50
pengobatan tradisional. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuisioner yang di isi oleh
responden dengan hasil tertinggi (70,00%). Dari data tersebut diatas menunjukan
bahwa sedangnya tingkat pemahaman hukum pengelola pengobatan tradisional
terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional, oleh karena itu
mungkin perlunya adanya sosialisasi tentang peraturan standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional kepada para pengelola Pengelola pengobatan
tradisional yang dilakukan oleh institusi kesehatan atau instansi lainnya yang
terkait agar pemahaman terhadap peraturan terhadap standarisasi pelayanan
Pengelola pengobatan tradisional kepada para pelaku usaha Pengelola pengobatan
tradisional lebih tinggi lagi.
Tabel 5. Sikap Hukum Responden Terhadap Standarisasi Pelayanan
Pengelola Pengobatan Tradisional
Sikap
Hukum
Tidak Setuju
Interval
Klas
23-25
Frekwensi
(F)
2
Persentase
%
6,66
Kurang Setuju
26-28
5
16,67
Setuju
29-30
23
76,67
30
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 5 diatas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30
orang, sejumlah 2 orang (6,66%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif
tidak setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional,
sejumlah 5 orang (16,67%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif
kurang setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional,
51
dan sejumlah 23 orang (76,67%) responden mempunyai sikap hukum yang relatif
setuju terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional.
Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa
sebagian besar responden mempunyai sikap hukum yang setuju terhadap
standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional hal ini dibuktikan dengan
hasil kuisioner yang di isi oleh responden dengan hasil tertinggi (76,67%). Hal ini
menujukan betapa pentingnya standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional untuk diterapkan bagi para pelaku usaha Pengelola pengobatan
tradisional di Kabupaten Banyumas.
Tabel 6. Kesesuaian Perilaku Responden Dengan Peraturan Standarisasi
Pelayanan Pengelola Pengobatan Tradisional
Perilaku
Hukum
Tidak Sesuai
Interval
Klas
17-21
Frekwensi
(F)
1
Persentase
%
3,33
Kurang Sesuai
22-26
3
10,00
Sesuai
27-30
26
86,67
30
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer yang diolah
Tabel 6 di atas menjelaskan bahwa dari seluruh responden sebanyak 30
orang, sejumlah 1 orang (3,33%) responden mempunyai perilaku hukum yang
relatif tidak sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional, sejumlah 3 orang (10,00%) responden mempunyai perilaku hukum
yang relatif kurang sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional, dan sejumlah 26 orang (86,67%) responden mempunyai perilaku
52
hukum yang relatif sesuai terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan
tradisional.
Berdasarkan data diatas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa
sebagian besar responden mempunyai perilaku hukum yang relatif sesuai terhadap
standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional hal ini dibuktikan dengan
hasil kuisioner yang di isi oleh responden dengan hasil tertinggi (76,67%).
Apabila fakta tersebut diatas didialogkan dengan teori kesadaran hukum
yang di kemukakan oleh Soerjono Soekanto, maka dapat di interpretasikan
bahwa teori tersebut masih relevan untuk diterapkan dalam menentukan tingkat
kesadaran hukum Pengelola pengobatan tradisional terhadap standarisasi
pelayanan di Kabupaten Banyumas.
B. Perlunya Standarisasi Pelayanan Terhadap Kesadaran Hukum Pengelola
Pengobatan Tradisional di Kabupaten Banyumas
Berjalannya suatu hukum tak lepas dari suatu sistem yang dinyatakan
Lawrence M Friedman bahwa dalam berjalannya sistem hukum dipengaruhi
oleh 3 aspek yaitu Struktur, Substansi, dan Kultur. (Achmad Ali, 2008 : 54)
Menurut Friedman, struktur merupakan rangka yang memberikan
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan implementasi hal tersebut
dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia maka mencakup pada unsur
struktur adalah struktur institusi-institusi penegak hukum seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan.
53
Menurut Friedman yang dimaksud dengan substansi adalah aturan,
norma, dan pola perilaku yang nyata manusia yang berada pada sistem hidup.
Substansi disini termasuk pula The Living Law (Hukum yang hidup) dan tidak
hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau Law in The Book
(Achmad Ali, 2002 : 22).
Kultur hukum merupakan bagian yang menentukan jalannya penegakan
hukum. Hal ini menyangkut kesadaran hukum masyarakat. Tingkat kesadaran
hukum masyarakatlah yang menunjukan bagaimana kualitas suatu regulasi yang
diterapkan pemerintah. Kultur masyarakat tentunya dipengaruhi oleh segala aspek
atau konstruksi sosial yang berpengaruh disekitarnya. Paham kesadaran hukum
sebenarnya berkisar pada diri warga masyarakat yang merupakan faktor yang
menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul
dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka
tersebut timbul masalah oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar syahnya
hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga
masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya)
hukum positif tertulis tersebut (Soerjono Soekanto, 1989 : 23).
Berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat, menurut Soerjono
Soekarto setiap masyarakat sebenarnya memiliki kesadaran hukum. Oleh karena
itu tidak ada masyarakat yang tidak ingin hidup dalam keadaan teratur (Soekamto,
1989 : 24). Kemudian menurut Otje Salman kesadaran hukum berkaitan dengan
nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan
54
demikian masyarakat mentaati nilai bukan karena keterpaksaan melainkan karena
hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Otje Salman,
1993 : 66).
Keinginan untuk hidup teratur membuat manusia mentaati segala peraturan
yang dibuat masyarakat yang diwakili dewan dan pemerintah. Standarisasi
pelayanan merupakan upaya pemerintah untuk melindungi konsumen kesehatan
yang
membutuhkan
kesehatan.
Dalam penelitian ini
penulis mencoba
menguraikan secara rinci faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum.
Hasil wawancara dengan 30 responden disusun secara sistematis melalui
matriks hasil penelitian. Matriks tersebut dimaksudkan untuk menafsirkan,
menganalisis dan mencari makna dari hasil wawancara yang dilakukan penulis.
Hasil penelitian dapat dilihat dalam matriks dibawah ini :
Matriks 1. Kesadaran Hukum Pengelola pengobatan Tradisional Terhadap
Standarisasi Pelayanan di Kabupaten Banyumas
No
1
2
3
Kode
Substansi
responden
DKB/1
Ya menurut saya faktor
kesadaran hukumnya itu
mas pendidikan lah
mas…
DKB/2
Ya kalo kita sih sadar
hukum tapi mau
bagaimana lagi kadang
keterbatasan biaya
operasional juga...
DKB/3
Ya kalo ditanya
kesadaran hukum … itu
tergantung
pengetahuannnya…
sehingga latarbelakang
pendidikan menunjang….
Makna
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor Pendidikan/pengetahuan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor ekonomi
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pendidikan/pengetahuan
55
4
DKB/4
5
6
DKB/5
TB/1
7
8
TB/2
TB/3
9
TB/4
10
TB/5
11
JP/1
12
JP/2
13
JP/3
14
JP/4
Kalo menurut saya
kesadaran hukum
standarisasi Pengelola
pengobatan tradisional
itu harus dijelaskan
lagi…karena pemerintah
sendiri belum jelaskan
mas….
Ya bingung mas….
Kalo kita sihh sadar mas
terhadap aturan
pemerintah tapi mau
bagaimana lagi,
perizinan, sarana kan
butuh uang …padahal
kami ya pengobartan
sederhana..
Kurang tau mas…
Kalo menurutsaya
pendidikan
berpengaruh…
Kalo saya sih harus tau
dulu aturrannya…
Kesadaranhukum itu
terletak pada beberapa
aspek seperti tau
peraturannya dan
menjalankan
peraturanntaya… tapi
kembali lagi bagaimana
penegalkan hukumnnya
Ya dipengaruhi budaya
masyarakat..mas….
Dipengaruhi latar
belakang pendidikan
individu itu sendiri….
Ya dipengaruhi budaya
masyarakat mas….kalo
budayanya jelek ya
percuma hukum sebagus
apapun…
Terhadap standarisasi
pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan dan informasi
Tidak tau
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor ekonomi
Kurang tau
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pendidikan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan dan
penegakan hukum
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor budaya masyarakat
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pendidikan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor budaya masyarakat
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan, pemahaman
hokum
56
15
JP/5
kalo kita sih sudah
menerapkannya…hal ini
didukung tenaga
kesehatan kami yang
cukup kompeten baik
dalam segi ilmu ataupun
segi pemahaman
hukumnnya.
Ya dipengaruhi budaya....
16
17
PA/1
PA/2
Kurang tau mas…..
Pendidikannya mas…
18
PA/3
19
PA/4
20
PA/5
21
DKH/1
22
DKH/2
23
DKH/3
Ya….. tergantung
sosialisasi nya…
Jelas itu sangat
tergantung
pengetahuannya…kalo
nda tau ya ga sadarsadar
Kalo standarisasi
pelayanan sih pernah
dengar…tapi untuk
menjalankannya kan
membutuhkan berbagai
sarana…nah kita sebagai
pelaku usaha sedang
menuju kearah sana…
Ya sangat dipengaruhi
latarbelakang
pendidikannya mas…
Biasanya dipengaruhi
individu itu sendiri,
factor lingkungan lah
yang dominn membentuk
perilaku individu tersebut
dalam kesadaran hukum.
Standarisasi pelayanan
telah kita laksanakan, hal
ini didasarkan pada
motivasi yang besar
pelaku usaha dalam
menciptakn pengobatan
yang berkualitas….
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor budaya masyarakat
Kurang tau
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pendidikan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor sarana (ekonomi)
Kesadaran hokum dipengaruhi
faktor pendidikan
Kesadaran hokum dipengaruhi
faktor budaya dan lingkungan
sosial
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor motivasi
57
24
25
DKH/4
DKH/5
26
DK/1
27
DK/2
28
DK/3
29
DK/4
30
DK/5
Wah kurang tau mas…
Ya…sudah dilaksanakan
standarisasi
pelayanannya…hal
tersebut karena
sosialisasi pemerintah
Pengetahuan sangat
berperan penting mas….
Ya..kami sedang menuju
kea rah standarisasi
pelayanan tapi…banyak
hambatan seperti
ekonomi, sarana dan
lainnya.
Pengetahuan cukup
berpengaruh mas…
Budaya dan lingkungan
yang membentuk watak
dan kesadaran hukum
seseorang.
Ya tergantung
sanksinya…kadang
manusia itu baru sadar
hukum kalo sanksinya
besar mas….
Kurang tau
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan (informasi)
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor ekonomi dan sarana
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor pengetahuan
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor lingkungan dan budaya
masyarakat
Kesadaran hukum dipengaruhi
faktor sanksi peraturan (substansi
Peraturan)
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat diketahui
bahwa
kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas
memerlukan standarisasi pelayanan dengan alasan :
1.
Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas
dipengaruhi faktor pendidikan/ pengetahuan/ pemahaman;
2.
Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas
dipengaruhi faktor ekonomi ;
3.
Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas
dipengaruhi faktor penegakan hukum;
58
4.
Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas
dipengaruhi faktor budaya dan lingkungan social ;
5.
Kesadaran hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas
dipengaruhi faktor motivasi.
Pendidikan merupakan suatu faktor yang dominan dalam kesadaran
hukum. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil wawancara yang dilakukan kepada
responden. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spriritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan dapat mengubah pola pikir individu maupun masyarakat baik
masyarakat yang bersifat homogen maupun heterogen. Kesadaran hukum
tentunya tidak didapat begitu saja tetai ada pola-pola tertentu dengan mengetahui
undang-undang atau aturan, kemudian memahaminya dalam sebuah serangkaian
norma dan nilai yang pada akhirnya akan terbentuk peneilaian dan jiga aksi atau
perbuatan.
Proses tersebut tentunya memerlukan serangkaian ilmu yang menunjang,
baik yang didapatkan pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah
tingkat atas maupun perguruan tinggi. Untuk menangkap suatu stimulan bahwa
hukum perlu taati maka haruslah terbentuk pola pikir nilai manfaat suatu hukum
sehingga akan menghasilkan kesadar hukum.
59
Jika fakta tersebut didialogkan dengan hasil penelitian Abdul Syani dkk
(1993 :271) yang menyatakan bahwa:
”Latar belakang pendidikan dan mobilitas sosial dapat mendorong
perubahan-perubahan pada dasar pemikiran dan pola-pola perilaku sosial
dari nilai-nilai kehidupan individu atau kelompok masyarakat.
Perkembangan pendidikan secara formal dapat mempercepat perubahanperubahan pola perilaku suatu sistem tertentu. Faktor pendidikan dianggap
sebagai unsur utama yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Pengaruh-pengaruh tersebut cenderung dapat
menggeser peran-peran individu atau kelompok dalam tata kehidupan
sosial.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
seseorang turut mempengaruhi pola pikir seseorang menilai standarisasi
pelayanan pengelola pengobatan tradisional, hal tersebut juga akan turut
mengubah pola perilaku individu ataupun masyarakat terhadap perilaku sadar
hukum mengenai standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional.
Perkembangan pendidikan secara formal dapat mempercepat perubahanperubahan pola perilaku suatu sistem tertentu termasuk juga kesadaran hukum
standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional.
Faktor lain adalah perekonomian suatu individu yang turut mengubah pola
pikir serta pola perilaku seseorang terhadap standarisasi pelayanan Pengelola
pengobatan tradisional. Jika kita analisis lebih jauh ekonomi berasal dari dua
padanan kata yaitu oikos dan nomos yang memiliki arti rumah tangga. Dalam
rumah tangga timbulah perputaran kebutuhan dengan pemasukan, hal tersebut
merupakan sesuatu yang saling melengkapi.
60
Ketika ada pola yang tidak seimbang maka akan terjadi penurunan dalam
suatu pekerjaan. Dapat kita contohkan bagaimana pelayanan kesehatan dapat
maksimal jika sarana dan prasarana tidak lengkap. Sarana dan prasarana tentunya
dihasilkan dari biaya yang dibebankan kepada pelaku usaha Pengelola pengobatan
tradisional. Dari beberapa preposisi di atas diketahui bahwa adanya hubungan
kausal antara ekonomi dengan standarisasi pelayanan.
Faktor lain yang mempengaruhi kesadaran hukum responden terhadap
standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan traisional adalah faktor penegakan
hukum. Penegakan hukum adalah bekerjanya berbagai organisasi yang mewakili
pola kepentingan dan kontelasi nilai-nilai dominan untuk menciptakan keamanan
dan ketertiban sesuai dengan ideologi hukum berkuasa. Mencermati hal tersebut,
hukum dapat berlaku secara baik jika memenuhi tiga unsur yang meliputi
pemberlakuan hukum yang sifatnya Yuridis, Sosiologis, dan Filosofis. Bila
ketiganya dilihat dari salah satu sudut saja maka akan timbul masalah-masalah.
(Soerjono Soekanto, 1987:9)
Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
fungsinya kaedah hukum dalam masyarakat yaitu:
1.
Kaedah hukum/peraturan sendiri.
2.
Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan.
3.
Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah hukum.
4.
Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. (Soerjono
Soekanto, 1987:9)
61
Makna penegakan hukum sebagai suatu proses selain penyelenggaraan
hukum juga sebagai penerapan hukum yang pada hakekatnya merupakan
penerapan diskresi menyangkut keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh
kaidah peraturan hukum, melainkan sebagai tindakan yang sah dengan unsur
penilaian yang berada diantara hukum dan etika. Penegakan hukum bukan
semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, dan dipengaruhi oleh lima
faktor yaitu: hukumnya, penegak hukum, masyarakat, sarana fasilitas, dan
kebudayaan. (Bambang Purnomo, 1993:282).
Pernyataan di atas bermakna bahwa kebijakan kriminal, kebijakan sosial
dan kebijakan penegakan hukum harus sejalan oleh masing-masing petugas yang
bersangkutan dan harus menuju pada satu kebijakan yang rasional untuk
menanggulangi kejahatan. Penegakan hukum pidana dengan pelaksanaanya
menjadi bagian dari kebijakan penanggulangan kriminal dalam rangka untuk
kebijakan perlindungan sosial dan menjadi bagian yang integral dari kebijakan
sosial untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dalam menyelesaikan masalahmasalah sosial. (Bambang Purnomo, 1993:107)
Jika pendapat tersebut dikaitkan pada fakta maka ada dua poin penting
yang berkaitan yaitu penegakan hukum dengan budaya masyarakat dimana hal
tersebut saling berkaitan. Penegakan hukum berkaitan dengan bekerjanya hukum
didalam masyarakat, standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional
adalah upaya pemerintah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tetapi
kadang niat baik terebut terhambat dengan pola pikir bahwa perizinan itu sulit,
62
lebih percaya dengan pengobatan tradisional yang diluar logika (klenik dan
lainnya).
Faktor lain yang mempengaruhi kesadaran hukum adalah faktor motivasi
individu itu sendiri. Standarisasi pelayanan akan terjadi dengan sendirinya jika
ada motivasi positif yang kiat untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat.
Motivasi yang ada dalam setiap individu untuk melksanakan program standarisasi
pelayanan Pengelola pengobatan tradisional tentunya sangat beragam.
William G.Scott mengatakan bahwa motivasi adalah sebagai rangkaian
pemberian dorongan kepada seseorang untuk melakukan tindakan guna mencapai
tujuan yang diinginkan. Dengan demikian masalah motivasi itu dianggap
sederhana dan dapat pula menjadi masalah yang komplek. Dianggap sederhana
karena pada dasarnya manusia mudah untuk dimotivasi, dengan memberikan apa
yang menjadi keinginannya, akan tetapi menjadi sulit untuk menentukan imbalan
apa yang dianggap penting bagi seseorang, karena sesuatu dianggap penting bagi
orang tertentu dan bagi yang lainnya tidak bermanfaat (Fred N.Kerlinger dan
Elazer J.Pedazur, 1987:161).
Atkinson, memandang kekuatan motivasi ini dalam bentuk persamaan
motivasi dengan fungsi. Kekuatan dari motivasi dalam melakukan beberapa
kegiatan adalah suatu fungsi dari:
1.
Kekuatan yang menjadi alasan bergerak adalah suatu keadaan dimana di
dalam
diri
setiap orang,
tingkat
alasan atau
motive-motive
yang
63
mengemukakan tersebut menggambarkan tingkat untuk memenuhi suatu
kepentingan.
2.
Harapan atau exspectancy adalah dimana kemungkinan/keyakinan perbuatan
akan mencapai tujuan.
3.
Nilai dari incentive dimana ganjaran-ganjaran demi terciptanya tujuan.
Jika pendapat tersebut dikaitkan dengan motivasi pelaku usaha Pengelola
pengobatan tradisional terhadap standarisasi pelayanan di Kabupaten Banyumas
didapatkan hasil bahwa ada kaitan yang erat antara motivasi dengan pelaksanaan
standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas
dengan logika ada tujuan yang didapat pelaku usaha Pengelola pengobatan
tradisional di Kabupaten Banyumas baik finansial, rasa aman keamanan dan
sosial.
64
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Tingkat kesadaran hukum pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten
Banyumas terhadap standarisasi pelayanan Pengelola pengobatan tradisional
relatif tinggi, hal tersebut dapat dibuktikan dengan indikator-indikator sebagai
berikut:
a. Sedangnya tingkat pengetahuan hukum pelaku usaha pengobatan
tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap standarisasi pelayanan
pengelola pengobatan tradisional.
b. Sedangnya tingkat pemahaman hukum pelaku usaha pengobatan
tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap peraturan standarisasi
pelayanan pengelola pengobatan tradisional.
c. Positifnya sikap hukum pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten
Banyumas
terhadap
peraturan
standarisasi
pelayanan
pengelola
pengobatan tradisional.
d. Sesuainya perilaku pelaku usaha pengobatan tradisional di Kabupaten
Banyumas dalam standarisasi pelayanan pengelola pengobatan tradisional.
65
2.
Kesadaran hukum pengelola pelayanan pengobatan tradisional di Kabupaten
Banyumas memerlukan standarisasi pelayanan. Kesadaran hukum tersebut
dipengaruhi oleh faktor Pendidikan / Pengetahuan / Pemahaman, faktor
Ekonomi, faktor Penegakan Hukum, faktor Budaya dan Lingkungan Sosial,
serta faktor Motivasi.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, tingkat kesadaran
hukum pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas terhadap
standarisasi pelayanan pengobatan tradisional relatif tinggi. Namun demikian
untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat maka Dinas Kesehatan
Kabupaten Banyumas perlu meningkatkan pengaturan dan pengawasan terhadap
pengelola pengobatan tradisional dan diharapkan agar pengelola pengobatan
tradisional lebih meningkatkan lagi tingkat pelayanannya sesuai dengan
standarisasi pelayanan. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas juga perlu
melakukan sosialisasi berkaitan diberlakukannya Undang-undang Kesehatan yang
baru kepada pengelola pengobatan tradisional di Kabupaten Banyumas untuk
menjamin keamanan, kepentingan dan perlindungan masyarakat.
66
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta.
Ishaq. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika. Jakarta.
Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka. Jakarta.
Kerlinger, Fred N. 1987. Korelasi dan Analisis Regresi Ganda, Nur Cahaya.
Jakarta.
Nazir, Moh. 2005. Metodologi Penelitian, Gahalia Indonesia. Jakarta.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin.
Yogyakarta.
YPB Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, JNPKKR POGI. Jakarta.
Purnomo, Bambang. 1993. Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia. Jakarta.
Raharjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat, Angkasa. Jakarta.
Salman, Otje. 1993. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris,
Alumni. Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1980. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, CV. Rajawali. Jakarta.
-------. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali. Jakarta.
-------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta.
-------. 1989. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
PT Citra Aditya Bhakti. Bandung.
-------. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Syani, Abdul. 1993. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru.
Jakarta.
67
Perundang-Undangan
UUD Amandemen 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Perubahan atas Undang-Undang nomor
23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Internet
htpp://gugling.com/praktek-ponari-ditutup-selamanya.html
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081223210437AAnxc70
http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit
Download